Gento Guyon 4 Bayar Nyawa Bagian 2
Blukk! Sepasang mata yang terlindung di
balik rambut yang awut-awutan itu terbelalak lebar, memandang ke depannya di
mana satu sosok tubuh berkulit putih mulus berambut panjang tergeletak kaku
dengan bibir mengulum senyum menggoda. Si kakek cepat palingkan wajah dari mayat
gadis berumur belasan tahun itu,
perhatiannya kini kembali tertuju ke mulut Sumur Getih.
"Arwah Darah Senggini, kau masih tetap menuruti keinginan nafsu sesatmu"
Menggauli gadis-gadis tak berdosa, sungguh tak kusangka!" desis si kakek merasa
jijik. Dari dalam sumur kembali terdengar suara tawa dingin menusuk. Kemudian ketika
suara tawa itu lenyap maka terdengar bentakan.
"Manusia setan keparat, urusanku
denganmu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah pribadiku. Jangan coba-coba
alihkan pembicaraan dari persoalan yang sebenarnya. Muridmu si keparat Raden
Ponco Sugiri yang telah membuat ulah.
Jadi sekarang aku minta tanggung jawabmu!
Sedangkan mengenai kesenanganku dengan gadis-gadis itu merupakan persoalan
lain!" "Ha... ha... ha..
Arwah Darah Senggini, kau telah menebar petaka di tujuh penjuru angin. Kau bahkan dulu telah
memporak-porandakan Wonogiri dengan mengirimkan badai topan ke sana. Apakah
semua ini masih belum cukup untuk menebus kesalahan muridku?"
Dari dalam sumur nampak terdengar suara erangan marah. Air Sumur Getih yang
tadinya bergejolak kini nampak membentuk pusaran aneh yang langsung menukik
menembus kedalaman. Di saat pusaran air telah menyentuh ke bagian dasar telaga,
maka dari dasar telaga yang airnya tersibak melesat satu sosok tubuh seorang
perempuan berpakaian putih panjang seperti daster. Hanya sekejapan perempuan itu
berdiri tegak di depan Rowe Rontek Panjane.
Memandang pada perempuan cantik
berkulit putih berhidung mancung dengan bibir merah menggairahkan itu si kakek
jadi bersurut langkah. Dia mengusap
matanya seakan tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Bagaimana mungkin?" desis si kakek kaget. "Kau berubah, ini sulit kupercaya?"
"Hik... hik... hik. Di dunia ini segala sesuatunya bisa saja terjadi. Jadi apa
yang aneh bangsat tua?" dengus si perempuan yang usia sebenarnya lebih dari
tujuh puluh lima tahun.
"Kau pasti menggunakan mistik, mungkin juga menggunakan sihir untuk merubah
wajahmu. Sebagaimana dulu kau minta bantuan jin untuk menghancurkan Wonogiri.
Sekarang aku datang kepadamu dengan maksud membuat jelas semua persoalan yang
selama ini belum sempat kita tuntaskan!" menerangkan si kakek tua, sementara
matanya terus mengamati wajah perempuan cantik di depannya. Dalam pandangan Rowe
Rontek Panjane, walaupun wajah perempuan itu cantik luar biasa bagaikan gadis
berusia dua puluhan, tapi di balik semua itu mata hatinya dapat melihat satu
sosok wajah tua keriput dari ujud si perempuan yang sesungguhnya.
"Aku tak akan menanggapi ucapanmu yang pertama. Tapi terus terang aku memandang
perlu untuk mendengar semua alasan yang hendak kau sampaikan padaku, tentang
janji yang telah diikrarkan."
ujar si cantik yang sesungguhnya adalah
seorang nenek tua berusia lanjut.
"Apakah semua perjanjian di masa lalu itu tak dapat dibatalkan kembali Wowor
Baji Marani?" tanya Rowe Rontek Panjane menyebut nama asli perempuan itu.
"Aku kau minta membatalkan semua janji yang telah dibuat oleh muridmu"
Padahal kau melihat muridmu telah menikmati segala kemewahan hidup yang dia
dambakan selagi dirinya hidup melarat"
Coba kau ingat masa lalu dari muridmu.
Ingat dan bayangkan kembali baik-baik!"
tegas Arwah Darah Senggini. Si kakek terdiam. Kedua mata terpejam, sedangkan
tubuh bergetar. Segala peristiwa yang terjadi dua puluh delapan tahun yang silam
kini seakan terbayang kembali di depan matanya.
7 Tiga puluh tahun yang lalu Raden
Ponco Sugiri yang beristrikan Sri Rara Ageng hidup dalam kesengsaraan dan
penghinaan keluarganya datang pada kakek Rowe Rontek Panjane yang bukan lain
adalah gurunya sendiri. Ketika itu hari telah merembang petang, tapi suasana di
dalam tempat kediaman kakek itu terasa lebih gelap dan menebar bau busuk
menyengat. Rowe Rontek Panjane nampak terkejut ketika melihat wajah muridnya
bengkak lebam membiru, bibir mengucurkan darah, hidung melesak hancur. Sedangkan
mata kiri menggembung bengkak seperti bekas penganiayaan berat. Untuk
diketahui, saat itu kepandaian silat atau ilmu kesaktian yang dimiliki Raden
Ponco Sugiri belum tinggi, karena dia baru saja beberapa bulan diangkat murid
dan baru mendapat pelajaran dasar-dasar ilmu silat dari kakek itu.
Di depan gurunya raden Ponco Sugiri sedikit pun tidak mengeluh, namun Rowe
Rontek tahu di dalam dada sang murid menyimpan dendam tersembunyi yang sewaktuwaktu dapat meledak berubah menjadi angkara murka.
"Katakan apa lagi yang menimpa dirimu, Raden" Tubuh dan wajahmu babak belur
bagai prajurit yang kalah perang.
Pasti ini bukan perbuatan tukang pukul atau begundalnya para hartawan itu!"
berkata si kakek sedangkan matanya tak pernah lepas dari wajah muridnya.
"Guru... sudahlah. Saya datang ke mari bukan untuk membesarkan masalah atau
mengadukan perjalanan hidup yang sial dan nasib buruk yang menimpa diriku. Aku
ingin berguru, meminta petunjuk agar guru sudi menurunkan ilmu kesaktian agar
diriku tidak hina, lemah di mata
manusia." sahut Raden Ponco Sugiri pelan dan sopan. Sikap laki-laki muda yang
lemah lembut ini terkadang terasa menyentuh hati si kakek, hingga dia merasa tak
tega melihat penderitaan muridnya.
Si kakek hela nafasnya. Dia
memberikan dua butir pel, diberikannya pada sang murid.
"Telanlah, dalam waktu satu hari lukamu pasti sembuh!" ujar si kakek.
Raden Ponco Sugiri melakukan apa
yang dikatakan gurunya. Setelah menelan obat pemberian gurunya, sang Raden
merasakan dadanya menjadi sejuk. Perih di sekujur wajahnya lenyap, demikian juga
rasa sakit hebat yang mendera bagian hidungnya.
"Guru, saya merasa berterima kasih sekali. Segala kebaikan ini hanya Gusti Allah
yang dapat membalasnya." Raden Ponco Sugiri berkata haru dan teteskan air mata.
Kakek Rowe Rontek gelengkan kepala.
"Lupakan semua budi, lupakan semua jasa. Sekarang kau harus mengatakan siapa
yang mencideraimu begini rupa" Raden Ronggo Anom... saudara tiri yang telah
mengangkangi seluruh peninggalan harta orang tuamu, pasti dia orangnya!!" desis
si kakek geram.
Tak menyangka sang guru mengetahui apa yang telah terjadi, Raden Ponco Sugiri
belalakkan mata tak mampu menutupi
rasa kagetnya. Merasa terlanjur ditambah dendam kesumat atas kecongkakan serta
sifat tamak adik tirinya maka Raden Ponco berkata. "Memang dia orangnya. Saya
hanya sedikit melakukan kesalahan dalam mengurus harta kekayaannya. Tapi dia
menuduh jambangan emas kesayangannya saya yang mencuri. Dia menyiksa saya bahkan
menyakiti bagian anggota rahasia saya.
Setelah kelahiran anak saya yang ketiga ada kemungkinan saya tidak akan punya
keturunan lagi!"
"Ah, setan mana yang telah meracuni jiwa adik tirimu itu hingga tega
memperlakukan dirimu begini rupa?" seru si kakek gusar. "Hal ini tak bisa
dibiarkan begitu saja. Kau harus
melakukan sesuatu, paling tidak mengambil alih seluruh kekayaan peninggalan
ayahmu!" kata orang tua itu kemudian.
Raden Ponco Sugiri tersenyum kecut, wajahnya murung sedangkan matanya menatap
kosong ke arah pelita satu-satunya yang berada di ruangan itu.
"Dengan apa saya dapat melakukan semua itu guru" Raden Anom punya segudang
tukang kepluk, berlusin pembunuh bayaran dan beberapa orang tokoh silat. Selain
itu Raden Anom sendiri mempunyai
kesaktian sangat tinggi. Seandainya pun kita berdua menghadapi mereka,
menggempur bersama-sama pasti kita hanya membuang
nyawa sia-sia." kata Raden Ponco Sugiri.
Si kakek terdiam, wajahnya yang
tertutup rambut panjang awut-awutan nampak tegang sedangkan keningnya berkerut
pertanda si kakek sedang berpikir keras mencari jalan keluar.
Hingga pada akhirnya diapun berkata.
"Sekarang aku punya jalan.
Keberhasilannya bisa kujamin, tapi mengenai resiko yang terjadi di kemudian hari
aku tak berani mengatakannya. Pasti syaratnya terlalu berat bagimu!"
Mengingat akan nasib dan derita
hidup yang dialaminya selama ini, tanpa pikir panjang lagi Raden Ponco Sugiri
langsung berkata. "Apapun resikonya akan saya tanggung guru. Saya kasihan pada
anak-anak saya juga istri saya. Mereka tidak pernah merasakan kesenangan hidup
sama sekali!"
"Syarat yang harus kau tanggung terlalu berat Raden." kata gurunya.
"Sudah saya katakan, saya tak perduli! Meskipun nyawa saya sebagai taruhannya.
Saya sudah tak tahan menjadi kacung adik tiri laknat itu. Setiap melakukan
kesalahan berbalas dengan cambukan!" keluh Raden Ponco Sugiri.
Wajah yang berubah murung di balik rambut riap-riapan perlahan terangkat, mata
memandang lurus ke depan, mulut yang tertutup kumis terbuka. "Kalau itu maumu
aku tak bisa melarang. Tapi harus kau ingat, begitu kau keluar dari pintu rumah
ini berarti kau sudah tak dapat lagi menarik keinginanmu. Segala ucapanmu telah
tercatat di Sumur Getih."
"Sumur Getih" Siapa yang
mencatatnya?" tanya Raden Ponco Sugiri terheran-heran.
"Nanti kau akan tahu sendiri.
Sekarang kau tak usah banyak bertanya.
Berdirilah!" perintah si kakek.
Meskipun tak tahu apa maksud
keinginan gurunya, tapi dia bangkit dan berdiri juga. Si kakek kemudian bangkit.
"Kita akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Karena itu pejamkan matamu,
jangan kau buka jika belum ada tanda dariku. Mengerti"!"
"Saya mengerti guru." sahut sang raden.
Dalam keadaan mata terpejam Raden Ponco Sugiri kemudian mendengar gumam Seperti
orang yang sedang membaca mantra-mantra. Sedangkan di sekelilingnya terasa ada
sambaran angin yang membuat sekujur tubuh sang Raden laksana diselimuti es.
Lalu satu tangan menyambar pinggang.
Raden Ponco Sugiri
merasa tubuhnya
tersentak, melesat bagaikan dibawa terbang.
Di saat dirinya dalam keadaan
demikian rupa, ingin rasanya sang Raden
membuka mata melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi dan di mana saat itu dia
berada. Tapi niat itu tak dilaksanakan karena dia ingat dengan pesan Rowe Rontek
Panjane. Apa yang dilakukan si kakek saat itu merupakan pengerahan dari salah
satu ajian bernama Sapu Angin. Ajian ini dua tingkat lebih tinggi dari ilmu lari
cepat yang dimiliki oleh banyak tokoh. Biasanya kakek itu hanya menggunakan
ajian bila hendak melakukan perjalanan jauh untuk melaksanakan suatu urusan
penting. Raden Ponco Sugiri tak mampu
mengingat berapa lama dirinya berada dalam bimbingan sang guru. Sampai kemudian
dia merasa tubuhnya melesat turun dan kedua kaki menginjak tanah.
"Buka matamu, kita sudah sampai di tempat tujuan!" kata si kakek memberi abaaba. Tanpa ragu Raden Ponco buka matanya. Dia terkejut begitu menyadari dirinya
tidak lagi berada di tempat kediaman Rowe Rontek Panjane, melainkan di suatu
tempat yang luas dipenuhi batu-batu besar, sedangkan setengah tombak di depannya
dia melihat sebuah sumur yang gelap dan tak diketahui berapa dalamnya.
Sejenak lamanya Rowe Rontek Panjane memandang ke arah sumur. Lalu dengan suara
keras dia berteriak. "Wowor Baji Marani sahabatku. Aku datang membawa muridku
dengan harapan kau dapat membantu
menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya! Harap kau mau unjukkan diri!"
Di samping si kakek Raden Ponco
diam membisu. Dia tak tahu kepada siapa gurunya bicara, karena di tempat itu
selain sumur dan batu-batuan dia tidak melihat ada orang lain terkecuali mereka.
Pertanyaan itu nampaknya segera berjawab, karena tak lama kemudian terdengar
suara tawa mengikik aneh yang datang dari dalam sumur. Seiring dengan
terdengarnya suara tawa dari dalam kegelapan sumur melesat satu sosok serba
putih, berjumpalitan di udara sambil berputar, lalu jejakkan kaki tepat di
hadapan sang Raden dan gurunya.
Ketika Raden Ponco memperhatikan
dengan seksama, wajah laki-laki itu mendadak berubah pucat seperti kehilangan
darah, tubuh menggigil sedangkan mulut ternganga kaget. Sosok yang berdiri tegak
di depan mereka itu adalah sosok nenek tua renta, telinga kiri besar panjang,
sedangkan mata menjorok ke dalam rongga, kedua hidung hampir tak pernah berhenti
meneteskan darah, giginya yang hitam mencuat sedangkan bibir bawahnya yang besar
menggelantung seperti sarang lebah.
Dagunya sendiri tidak terlihat karena tertutup bibir yang bergelayutan itu.
"Hi... hi... hi, tamu datang mengapa tak memberi hormat pada tuan
rumah" Duduk...!" perintah si nenek bermuka seangker setan ketus. Seiring dengan
itu Raden Ponco merasakan adanya tekanan hebat di kedua bahunya, kedua kaki
bergetar, lalu dia pun jatuh terduduk tak bangkit-bangkit lagi.
Sedangkan gurunya masih dapat tegak di tempatnya meskipun kedua kakinya amblas
melesak ke dalam tanah. Maklumlah sang Raden, perempuan bermuka angker
bertelinga lebar panjang itu tengah menguji gurunya.
"Rowe Rontek Panjane, kau tetap seperti dulu. Keras kepala dan tak mau mengalah,
padahal kau menyadari ilmu yang kau miliki hanya setahi kukuku. Puah...!"
dengus si nenek.
Rowe Rontek Panjane hanya tersenyum sinis. Dia tahu betapa
tingginya kesaktian yang dimiliki perempuan tua di depannya. Kesaktiannya sulit dijajaki,
selain itu dia juga memiliki seorang jin yang dapat diperintahnya melakukan
pekerjaan apa saja, termasuk juga menghabisi melenyapkan nyawa orang.
"Saat ini kesaktian yang dimiliki si tua bodoh ini memang tak seberapa
dibandingkan tingginya ilmumu, mungkin nanti di suatu saat kau akan menjumpaiku
dalam keadaan yang lain."
"Saat itu kau sudah mampus disantap cacing tanah! Hi... hi... hi." Si nenek
berkata disertai tawa aneh panjang yang seakan datang dari alam para lelembut.
Sekejapan tawanya terhenti. Dia melirik Raden Ponco Sugiri sekilas. Yang
dipandang tundukkan wajahnya. "Aku sudah tahu riwayat hidup laki-laki ini. Aku
juga sudah tahu maksud tujuan apa kau datang ke sini membawa muridmu. Sebelum
kau datang tadi, aku sudah berusaha masuk mengintai ke tabir alam gaib, meminta
petunjuk pada para setan sesat mereka-reka dan menghitung hari apes saudara
tirimu itu. Malam ini jatuh pada untung mujurmu. Kau bisa hidup senang,
menikmati kemewahan dengan anak istrimu di waktu mendatang...!"
"Apa maksudmu, nek?" tanya Raden Ponco heran juga kaget.
"Keparat, jangan bicara jika tak kuminta. Kau hanya boleh mendengar. Aku tahu
bukankah maksud kedatanganmu ke sini adalah untuk mengambil alih harta
peninggalan ayahmu yang diserakahi Raden Ronggo Anom" Mengambil begitu saja
tidak mudah, terkecuali bila kau melenyapkan manusia sakti itu. Untuk
melakukannya juga tidak mudah, jangankan kau dan gurumu. Aku sendiri tanpa
bantuan Babad Nyawa mungkin tak sanggup."
Mendengar penjelasan si nenek Raden Ponco Sugiri jadi kaget. Dia tak
menyangka harus berbuat sejauh itu. Tapi
apa yang dikatakan oleh si nenek rasanya memang dapat diterima akal.
Terlanjur sudah melangkah, pantang bagi sang Raden untuk membatalkan niatnya.
"Lalu apa yang harus dilakukan muridku, Arwah Darah Senggini?" tanya si kakek.
"Hik... hik... hik. Muridmu tak perlu melakukan apapun. Aku yang
melakukan segalanya dengan dibantu Babad Nyawa. Tapi dengan satu syarat, kelak
aku meminta dua nyawa sebagai tebusan pekerjaan yang kulakukan sekarang. Pertama
aku meminta kedua tangan dan kakimu, Raden. Itu adalah penagihan janji yang
paling ringan. Setelah itu aku baru datang meminta nyawamu!" kata si nenek
tenang dan disertai seringai aneh.
Mendengar ucapan perempuan itu
bukan hanya Rowe Rontek Panjane saja yang tersentak kaget, Raden Ponco Sugiri
apalagi. Dia tak menyangka si nenek meminta tebusan seberat itu.
"Sobatku Arwah Darah Senggini, apakah tidak salah pendengaranku ini?"
Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau tidak salah mendengar, aku juga merasa pasti tidak salah mengatakan.
Kalian mengikat perjanjian denganku dan aku mengikat janji dengan setan! Saat
Raden Ronggo Anom kubunuh, berarti aku menghutangkan nyawa padamu Raden, kelak
aku menagih satu nyawa ditambah satu sebagai bunganya yaitu nyawa anakmu!"
"Anakku... anakku yang mana?" tanya sang Raden. Dia lalu teringat pada ketiga
anaknya, satu perempuan dan dua laki-laki.
"Anakmu yang paling bungsu. Anak itu akan lahir kemudian setahun setelah kau
datang ke sini!" tegas Arwah Darah Senggini.
"Tapi... muridku saat ini telah kehilangan fungsinya sebagai laki-laki, mustahil
dia dapat memberikan satu keturunan lagi!" menerangkan si kakek.
Sekejap nenek angker itu pandangi Raden Ponco Sugiri. Mulai dari ujung rambut
dan terhenti di bagian bawah perut. Ditatap seperti itu sang Raden menjadi
jengah. "Atas kehendak setan segalanya bisa diatur!" berkata begitu Arwah Darah
Senggini gerakkan tangan kanannya ke bagian bawah perut Raden Ponco Sugiri.
Walaupun gerakan tangan itu tak sampai menyentuh di bagian itu. Namun sang Raden
merasa anunya seperti diremas dan ditepuk pulang balik. Seketika dia juga
merasakan adanya hawa hangat menjalari di sekitar bawah perutnya.
Mula-mula terasa sakit, tapi lama-kelamaan sang Raden merasa lega, mulas di
perutnya akibat tepukan aneh juga hilang.
"Bagaimana perasaanmu kini?" tanya
nenek itu disertai senyum sekilas di bibirnya yang tebal.
"Aku merasa agak baikan nek." sahut Raden Ponco agak malu-malu.
"Nah itu artinya perjanjian tetap berjalan. Jika Raden Ronggo Anom telah
kubunuh, jika hidupmu telah mapan. Kau harus menyerahkan anak bungsumu. Aku
membutuhkan kulit juga nyawa bocah itu.
kau serahkan padaku tepat usianya sepuluh tahun. Jika janjimu tak kau penuhi,
kau harus membayar semua pengingkaranmu dengan seluruh nyawa keluargamu!"
Mendengar penjelasan si nenek,
menggigillah tubuh Raden Ponco Sugiri.
Dia memandang pada gurunya seakan minta pendapat, tapi kakek tua itu malah
mengangkat bahu. "Seperti yang telah kukatakan, kau tak boleh bersurut langkah
setelah meninggalkan pintu rumahku!" kata si kakek pelan.
"Baiklah, kupenuhi permintaanmu.
Tangan dan kakiku kelak kuserahkan padamu, kemudian nyawaku juga kulit serta
nyawa putraku yang terlahir di kemudian hari!" jawab Raden Ponco Sugiri dengan
suara bergetar.
"Bagus! Kata sepakat sudah sama kita dapat. Sekarang kau pergilah, kembali ke
Wonogiri. Besok pagi begitu kau sampai ke sana Raden Ronggo Anom pasti sudah
terbujur tanpa nyawa. Harta
pasti kau dapat, terkecuali harta milik nenek moyangmu yang pertama yang kini
terkubur di kaki gunung Liman sebelah timur Ponorogo. Harta itu akan menjadi
milikku. Karena aku yang akan memegang kuncinya, aku yang menyimpan peta
penyimpanannya. Hik... hik... hik!"
"Tapi nek peta itu sekarang ada di suatu tempat disembunyikan oleh Raden Ronggo
Anom." Sergah sang Raden yang mendadak jadi tidak rela jika harta keluarga yang
dapat dijadikan untuk membangun kerajaan besar jatuh ke tangan orang lain.
"Peta itu hangus malam ini. Kelak dia akan dipindahkan oleh Babat Nyawa ke satu
tempat. Tempat yang bergerak tak terjangkau oleh penglihatan mata biasa!"
"Apa maksudmu sobatku?" tanya si kakek heran.
"Kau tak perlu tahu. Sekarang pergilah kalian! Aku hendak mulai mengerjakan apa
yang menjadi permintaanmu, Raden!"
Merasa tak punya pilihan lain, maka Rowe Rontek Panjane mengajak muridnya untuk
meninggalkan tempat itu. Tidak berapa lama setelah murid dan guru meninggalkan
Sumur Getih. Maka Arwah Darah Senggini segera duduk bersila.
Kedua mata dipejamkan sedangkan kedua tangan dilipat ke depan dada. Bibir dower
si nenek nampak berkomat-kamit, lalu tubuhnya menggeletar hebat. Seiring dengan
itu pula dari bagian ubun-ubun si nenek mengepulkan kabut putih, dari telapak
tangan kanannya juga mengepulkan kabut. Tangan yang mengepulkan kabut lalu
digosok-gosokkan ke telinga kirinya yang lebar dan panjang. Keanehan kemudian
terjadi. Dari bagian telinga keluar asap tebal berwarna biru, asap semakin lama
membubung tinggi ke udara. Membentuk satu sosok samar besar dan angker. Sosok
samar itu semakin lama semakin jelas ujudnya.
Sampai kemudian tampak jelas seraut wajah laki-laki berambut kaku seperti
landak, alis tebal, cambang bawuk lebat, mata merah laksana api, sedangkan salah
satu telinganya memakai anting besar, bulat berkilauan.
"Apa yang harus kulakukan
junjunganku, aku Babat Nyawa datang memenuhi panggilan!" kata sosok setinggi
delapan tombak itu disertai senyum mengerikan.
Si nenek buka matanya, ketika dia menoleh ke sebelah kiri Arwah Darah Senggini
tersenyum. "Bagus! Malam ini aku berkehendak agar kau mencabut nyawa Raden Ronggo Anom. Kau
bunuh dia tepat di bagian jantung. Selain itu kau juga harus menghanguskan peta
penyimpanan harta
keluarga Raden Ponco Sugiri, kau ingat baik-baik isi peta itu, karena kelak kau
harus memindahkannya ke tubuh seseorang yang bakal terlahir ke dunia ini!" pesan
si nenek. "Aku tak pernah mengecewakanmu.
Tugas akan kujalankan dengan baik. Aku Babat Nyawa mohon diri" berkata begitu
Bosok tinggi besar rangkapkan tangan bungkukkan badan. Setelah itu tubuhnya raib
dari pandangan Arwah Darah Senggini.
Si nenek tersenyum, dia tetap di
situ. Sementara bulan sudah bergeser di langit
sebelah barat. Angin dingin
berhembus menampar wajah keriput si nenek sakti.
*** Keesokan harinya setelah sampai di Wonogiri, Raden Ponco Sugiri yang kembali
dengan diantar oleh gurunya mendapati kenyataan adik tirinya tewas secara aneh.
Seluruh Wonogiri menjadi gempar, para kaki tangan Raden Anom apalagi. Baru saja
tadi malam junjungan mereka bersenang-senang dengan empat orang gadis cantik.
Saat itu sang Raden dalam keadaan segar bugar. Tapi kini sosok yang penuh
angkara murka itu mati dengan cara aneh. Belum lagi hilang rasa kaget di hati
mereka, Raden Ponco Sugiri dan gurunya menyerbu
mereka. Dalam keadaan berduka kehilangan orang yang sangat mereka hormati,
menghadapi serbuan sang Raden apalagi dibantu oleh orang tua yang memiliki
kesaktian tinggi hanya dalam waktu singkat mereka pun bergelimpangan roboh.
Sedangkan mereka yang selamat langsung melarikan diri.
"Kini tujuanmu telah tercapai."
berkata si kakek beberapa saat setelah kejadian itu. "Kau bisa hidup layak. Tapi
harus kau ingat janjimu pada Arwah Darah Senggini. Kau telah berhutang nyawa
padanya, sesuai janjimu kelak kau harus membayar hutang itu dengan nyawamu juga
anakmu sendiri!!"
Raden Ponco Sugiri anggukkan
kepala. "Nyawa kubayar nyawa. Janji tak kulupakan. Terima kasih atas petunjuk
dan bantuanmu guru!" kata sang Raden. Dia lalu memandang ke depan, tapi Rowe
Rontek Panjane telah raib dari gedung megah itu.
8 "Sudah kau ingatkah semua perjanjian yang diucapkan muridmu dulu" Kau yang
menjadi saksi, tapi apa yang kemudian terjadi" Muridmu mengkhianati janjinya
sendiri. Dia tak menyerahkan tangan dan kakinya, sehingga aku yang terpaksa
datang meminta anggota badannya.
Kemudian ketika anaknya lahir, genap sepuluh tahun bocah itu tak diberikannya
padaku. Tapi dia sembunyikan di suatu tempat. Aku memberinya ingat dengan
menyuruh Babat Nyawa mengirim badai topan ke Wonogiri. Kubuat sanak keluarganya
tercerai-berai. Tapi itu kuanggap belum cukup....!" kata Wowor Baji Marani alias
Arwah Darah Senggini.
"Aku tak pernah lupa dengan segala janji yang telah disepakati antara kau dan
muridku. Tapi bukankah kau sendiri telah membunuh Raden Ponco Sugiri?" tanya si
kakek seakan ingin memastikan.
Beberapa hari yang lalu sebelum menemui perempuan cantik yang aslinya adalah
seorang nenek tua renta itu Rowe Rontek Panjane memang sengaja menyambangi
muridnya untuk sekedar mengingatkan tentang janji sumpah sang murid pada nenek
itu. Namun ketika sampai di puncak gunung Wilis ternyata Raden Ponco Sugiri
ternyata telah tewas, jasadnya dalam keadaan membusuk.
Mata Arwah Darah Senggini mendelik besar. Mulutnya terkatup sedangkan kedua
tangan tergetar. "Kau tahu apa tentang hidup dan matinya manusia" Agar kau tahu,
aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku ke puncak gunung Wilis. Aku
bahkan tak pernah menyuruh Babat Nyawa mencari laki-laki keparat itu, bagaimana
sekarang kau bisa mengatakan aku telah
membunuhnya?" hardik si nenek marah.
"Apa" Jadi... jadi siapa yang membunuh muridku?" tanya si kakek kaget dan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Kau mengenal diriku sudah sangat lama, Rowe. Walau hidupku menyimpang jauh dari
jalan yang telah digariskan Tuhan, tapi aku tak pernah berdusta! Kau mau percaya
atau tidak itu terserah padamu.
Satu hal yang harus kau ingat, kau harus memberikan nyawamu sebagai ganti nyawa
muridmu!" Mendengar ucapan si nenek, Rowe
Rontek Panjane tersentak kaget. Sama sekali dia tak menyangka ujung dari semua
langkah yang ditempuh muridnya akan berakhir dengan kematiannya sendiri.
Padahal kedatangannya ke Sumur Getih adalah ingin memastikan apakah nenek itu
telah menagih janjinya. Tapi siapa menyangka sang murid ternyata tewas bukan di
tangan Arwah Darah Senggini. Lalu siapa yang telah membunuh Raden Ponco Sugiri"
Beberapa saat lamanya si kakek mencoba berpikir dan menduga-duga siapa gerangan
pembunuh sang murid. Tapi dia tak menduga siapa orangnya. Bisa jadi yang
membunuh Raden Ponco Sugiri adalah salah satu dari keempat anaknya sendiri.
Bukankah sejak sang Raden mengasingkan
diri di puncak gunung Wilis anak-anaknya seperti saling curiga-mencurigai satu
sama lain"
"Selesaikah kau berdoa, Rowe Rontek Panjane?" tanya Arwah Darah Senggini sambil
memandang mendelik ke arah si kakek. Rowe Rontek tersentak kaget.
Lamunannya buyar seketika.
"Apa maksudmu, Marani?" tanya si kakek.
"Kau pura-pura pikun, kau lupa"
Nyawamu... kau harus serahkan nyawamu sebagai pengganti nyawa muridmu!" tegas si
nenek. "Tapi bukankah Raden Ponco Sugiri telah mati?"
"Hik... hik... hik. Kau benar, Raden keparat itu sudah mampus! Tapi bukan di
tanganku. Siapa pembunuhnya kau bisa menanyakannya nanti pada malaikat penjaga
neraka. Serahkan nyawamu sekarang juga, jika kau telah memberikan nyawamu
setelah itu akan kucari semua anak turun Raden Ponco Sugiri...!"
Mendengar ucapan si nenek Rowe
Rontek Panjane jadi terheran-heran.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku sudah jelas. Aku akan mengambil jiwa seluruh anak turun Raden Ponco
sebagai imbalan atas segala pengingkaran janji yang dilakukannya!"
sahut Arwah Darah disertai tawa lebar.
"Janji sudah terlanjur disepakati, muridku yang merasakan hidup senang sedang
aku cuma kebagian tulahnya. Tapi aku tak mungkin menerima kematian seperti
keledai tolol. Menyesal rasanya jika kau tak dapat menghentikan apa yang hendak
dilakukannya!" batin kakek renta itu dalam hati. Tapi kemudian dia berkata.
"Baiklah sobatku, jika muridku sudah mengikat janji padamu dan kau terikat janji
dengan para setan. Sebagai gurunya aku akan membayar dengan nyawaku.
Mengenai apa nanti yang akan kau lakukan setelah aku mati terserah dirimu.
Sekarang aku siap, turunkan tangan jahatmu yang paling keji. Hantam bagian
tubuhku yang kau sukai. Tapi ingat hanya dengan sekali hantam, jangan kau sakiti
diriku terlalu lama!" berkata si kakek dengan suara bergetar dan memelas. Dia
bahkan memejamkan matanya, tubuh
dibungkukkan seakan siap menyerahkan kepala. Sedangkan kedua tangannya memegang
tongkat ular kering.
Melihat sikap orang yang seperti
pasrahkan nyawa siap menerima kematian, maka arwah darah Senggini siapkan satu
pukulan yang dikenal dengan nama
Mengguncang Bumi Menguras Lautan. Dua tangan digosokkan satu sama lain, sebentar
saja kedua tangan itu
menggeletar hebat disertai mengepulnya
asap berwarna biru. Sedangkan tangan si nenek yang merubah wajahnya menjadi
cantik secara tak wajar sampai ke bagian siku telah berubah menjadi biru pula.
Si kakek yang pura-pura pejamkan mata menyadari bekas sahabatnya itu benar-benar
menghendaki jiwanya. Sehingga dia yang memang telah menyiapkan pukulan di tangan
kiri, serta siap menekan bagian leher tongkat ularnya segera mendahului lepaskan
serangan. "Aku sudah siap sahabatku!" Si kakek berseru. Bersamaan dengan terdengarnya
seruan Rowe Rontek Panjane, maka detik itu dia menekan bagian leher tongkat ular
kering sekaligus memba-renginya dengan hantaman tangan kiri.
Selarik sinar putih menyilaukan berkiblat, menderu sebat disertai menebarnya
hawa panas dari telapak tangan si kakek.
Sedangkan di bagian mulut tongkat ular kering di tangan si kakek melesat pula
cairan hitam disertai bau amis yang sangat luar biasa. Masing-masing serangan
itu menghantam lurus ke bagian yang paling mematikan di tubuh lawannya.
Tak menyangka si kakek melakukan
tindakan senekad itu tentu kejut Arwah Darah Senggini bukan olah-olah. Tapi dia
adalah tokoh sesat yang memiliki segudang pengalaman. Sambil memaki dia
bantingkan dirinya ke kiri, menelungkup sama rata
dengan tanah sambil melepaskan pukulan Mengguncang Bumi Menguras Lautan.
"Tua bangka keparat! Kelicikanmu akan kubalas dengan kematian yang paling
menyakitkan!" Suara teriakan si nenek cantik tenggelam oleh suara gemuruh suara
pukulan maut yang dilepaskannya sendiri.
Sinar hitam pekat menderu di udara, dua pukulan sakti sailing
bentrok, menimbulkan suara berdentum menggetarkan Sumur Getih dan memporak-porandakan
bebatuan yang terdapat di sekitar tempat itu.
Sosok si kakek Rowe Rontek Panjane terlempar dua tombak, si nenek tetap berada
di tempatnya. Tapi dia menjerit kesakitan ketika bagian bahunya sempat terkena
cairan racun yang tersembur dari tongkat hitam lawan. Laksana kilat Arwah Darah
Senggini bangkit berdiri. Dia memperhatikan bahunya, si nenek jadi terkesiap.
Bukan hanya pakaiannya yang hangus terkena sambaran cairan racun, tapi kulit dan
daging bahunya juga melepuh gosong menimbulkan rasa sakit dan panas luar biasa.
Si nenek segera telan sebutir pil berwarna hitam pipih seperti tahi ayam kering.
Beberapa bagian bahu di sekitar luka ditotoknya untuk mencegah agar racun ganas
tidak sampai menyebar ke pembuluh darah. Dalam hati dia tak menduga kalau bekas
sahabatnya yang dulu
memiliki tingkat kesaktian jauh berada di bawahnya ternyata kini ilmunya maju
pesat. Dari pukulan yang dilepaskan si kakek tadi dia bahkan mengetahui tenaga
dalam Rowe Rontek Panjane hanya satu tingkat di bawahnya. Tapi si nenek merasa
tongkat ular kering di tangan si kakek itulah yang paling sangat berbahaya.
Karena itu begitu Arwah Darah
Senggini melihat lawan tampak menderita luka dalam akibat bentrok pukulan tadi,
tanpa memberi kesempatan dia langsung menyerbu ke arah lawan. Dua tangan
berkelebat, satu menyambar ke arah tongkat dengan maksud merampas sedangkan
satunya lagi lakukan jotosan ke bagian wajah. Sambaran angin keras menampar
bagian wajah si kakek, walau terluka dia maklum kalau lawan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dia miliki. Si kakek juga tahu lawan bermaksud merampas
tongkat lawannya. Tanpa menghiraukan lukanya sambil memeluk tongkat dengan tangan kiri Rowe
Rontek Panjane bergulingan ke samping,
sebelum itu tangan kanan dipergunakan untuk menangkis jotosan lawan.
Duuk! Benturan yang terjadi membuat Rowe Rontek Panjane mengerang kesakitan.
Tangannya yang kurus bagaikan kulit pembalut tulang bengkak menggembung besar
dan terasa remuk di bagian dalam. Belum lagi hilang rasa kaget Rowe Rontek, pada
waktu bersamaan lawan kembali melepaskan pukulan Mengguncang Bumi Menguras
Lautan. Sinar biru kembali berkiblat.
Melihat pukulan menyambar di depan
Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
wajahnya mustahil bagi orang tua itu sempat menghindari. Dalam keadaan terluka,
Rowe Rontek putar tongkat ular di tangannya membentuk perisai diri.
Angin dingin berkesiuran akibat demikian cepatnya si kakek memutar senjata.
Buuum! Benturan keras tak dapat dihindari lagi, laki-laki tua itu menjerit, tongkat
yang dijadikan perisai hancur berkeping-keping. Pukulan lawan bukan saja hanya
menghancurkan tongkat, tapi juga menjebol dada orang tua itu, hingga bagian
anggota dalam Rowe Rontek berhamburan keluar. Si kakek tewas seketika dengan
mata melotot mulut ternganga lebar penasaran. Arwah Darah Senggini mendengus,
memperhatikan mayat bekas sahabatnya lalu tertawa terbahak-bahak.
"Kau boleh belajar belasan tahun lagi di alam baka, setelah itu baru datang
padaku. Huh...!" desis Arwah Darah Senggini. Dia lalu berpaling ke jurusan lain.
Bibir mengurai senyum. "Aku harus mencari anak turun Raden Ponco Sugiri, akan
kubunuh mereka semua. Tapi yang
lebih penting lagi aku harus menemukan anaknya yang paling bungsu!" selesai
berucap perempuan lalu berkelebat pergi.
9 Gadis berwajah cantik jelita
berpakaian putih ringkas itu sadar sejak meninggalkan Wonogiri dirinya merasa
ada orang yang terus mengikuti dirinya tak jauh di belakang sana. Tapi setiap
dia menoleh ke belakang, orang yang
mengikutinya sengaja menyelinap di balik semak belukar yang terdapat di kanan
kiri jalan yang dia lalui.
"Aneh... entah mengapa dia
mengikuti aku" Jika orang itu punya maksud tujuan yang jahat, tentu sudah sejak
tadi malam dia dapat mencelakaiku.
Tapi itu tak dilakukannya. Siapapun dia aku harus dapat menangkapnya hiduphidup!" membatin si cantik yang tiada lain adalah Ambini.
Dia yang sengaja memacu kudanya
secara perlahan kini menggebrak tali kendali kuda. Kuda berbulu putih itu lalu
berlari cepat melewati kelebatan pohon dan semak-semak belukar. Ketika jalan
setapak yang dilaluinya mulai mendaki punggung bukit kecil, dia membelokkan
kudanya ke kiri, menyelinap di balik
gelapnya bagian bawah pohon menunggu di sana dengan mata dipentang dan
pendengaran dipertajam.
Beberapa saat berlalu
si gadis masih belum melihat kemunculan orang yang membayanginya. Tapi dia terus menunggu
sambil bersikap waspada. Tak lama kemudian dia melihat ranting belukar
bergoyang-goyang, satu kepala terjulur memandang kian ke mari seperti orang
bingung. Sekilas Ambini sempat melihat wajah orang itu, dia sempat terkesiap.
Rasa-rasa Ambini pernah kenal dengan si pemilik wajah, dia mencoba berpikir
mengingat-ingat. Sayangnya semakin keras dia mencoba mengingat, bagian belakang,
kepalanya mendadak terasa sakit
mendenyut. Di depan sana Ambini melihat orang yang jujurkan kepala tadi sekarang sudah
berdiri tegak. Dari tempatnya berada dengan jelas si gadis melihat sosok seorang
pemuda berpakaian kuning berwajah tampan. Kembali pikiran Ambini yang pernah
terganggu akibat terbentur batu saat terjadi badai topan di Wonogiri diselimuti
perasaan aneh. "Aku seperti mengenalnya... aku seperti...!" Ambini tak melanjutkan ucapannya
karena pada saat itu si pemuda yang sibuk mencari dirinya tiba-tiba saja
berseru. "Kupu-kupu perak! Celaka, ke
mana aku harus lari. Kupu-kupu itu jumlahnya banyak sekali!"
Ambini merasa kaget dan dibuat tak mengerti dengan maksud ucapan si baju kuning.
Selagi Ambini dibuat heran dari segala arah di mana pemuda itu berada tiba-tiba
saja terdengar suara gemuruh aneh seperti suara sesuatu yang terbang di udara.
Lalu di sekeliling pemuda itu terlihat kilatan cahaya putih yang berkelebat
menyambar di udara menyerang pemuda berbaju kuning. Pemuda itu sambil berteriak
ketakutan membuka bajunya.
Dengan menggunakan
baju dia berusaha
mengusir si penyerang yang ternyata adalah kupu-kupu perak. Belasan kupu-kupu
dapat dipukulnya hingga berpentalan. Tapi bajunya yang dipergunakan untuk
memukul tampak hangus berlubang di sana-sini.
Melihat kenyataan ini bukan hanya pemuda itu saja yang dibuat terkejut, bahkan
Ambini pun tak mampu menutupi rasa kagetnya. "Kupu-kupu perak. Mahluk kiriman
dari alam gaib, siapa yang punya ulah!" desis si gadis heran.
"Mahluk jahanam, setelah tuanmu membunuh Raden Ponco Sugiri dan kau bunuh pula
adikku hingga mayatnya pun tak dapat kupungut. Kini kau menghendaki nyawaku.
Biarlah sebelum aku mati kau dulu yang kubikin mampus!" teriak si pemuda yang
bukan lain adalah Barep Pandara. Pemuda
itu sambil mengebutkan bajunya ke seluruh penjuru arah juga melepaskan pukulan
yang bersumber pada hawa panas. Pukulan yang dilepaskannya dengan telak
menghantam ke arah kawanan kupu-kupu maut itu. Begitu kena dihantam binatang
yang dapat membunuh manusia secara mengerikan berkaparan. Tapi dia harus
menguras seluruh tenaganya karena demikian banyaknya binatang itu yang
menyerang. Sementara itu Ambini jadi terkejut begitu mendengar Barep Pandara ada menyebut
Raden Ponco Sugiri yang bukan lain adalah ayahnya sendiri. Yang mengejutkan si
gadis pemuda itu
mengatakan Raden Ponco telah terbunuh.
Siapa yang membunuhnya" Pikir si gadis.
Sekarang dia baru ingat, pemuda yang membuntutinya tentu adalah orang
kepercayaan yang selama ini telah merawat ayahnya. Karena itu dia pun berteriak.
"Pemuda abdi ayahku. Selamatkan dirimu, aku akan mengusir mahluk-mahluk celaka
itu!" kaget juga girang mendengar suara Ambini membuat Barep Pandara menoleh ke
arah datangnya suara. Hanya sekilas saja memang, tapi kelengahan yang sedikit
itu harus ditebusnya dengan mahal. Dari arah belakang sedikitnya sepuluh kupukupu perak hinggap di punggung juga di bagian leher. Ujung mulut binatang ini
yang berbentuk belalai
menghunjam menusuk kulitnya. Barep Pandara menjerit. Dia jatuh terhempas dan
terguling-guling. Bersamaan dengan itu pula Ambini melesat dari atas punggung
kudanya. Dalam keadaan berjumpalitan di udara dia meraup sesuatu dari balik
kantong perbekalan. Dia lalu berkelebat, dilanjutkan dengan gerakan berputar di
udara. Dalam kesempatan itu dia meremas benda bulat yang tergenggam dalam
telapak tangannya. Ada cairan berwarna kuning berhamburan di udara disertai
menebarnya bau harum semerbak. Begitu cairan itu berjatuhan di atas rerumputan
maka ratusan kupu-kupu itu kini menyerbu ke arah cairan yang sengaja ditumpahkan
oleh Ambini. Dengan lahap kawanan kupu-kupu
perak menghisap cairan manis itu. Tapi sekejap kemudian binatang itu berkaparan
mati. "Hi... hi... hi... makanlah madu racun pemberianku...!" dengus si gadis jejakkan
kaki di atas tanah sambil tertawa panjang. Tapi kemudian dia segera teringat
pada pemuda baju kuning tadi.
Tawa terhenti, dia membalikkan badan. Di saat itu dia melihat tubuh pemuda
berpakaian kuning nampak menggembung besar bagaikan balon yang mau meletus.
Semua itu tentu mengejutkan Ambini.
"Kau... kau bukankah abdi ayahku.
Apa yang terjadi"!" seru Ambini mencoba mendekati Barep Pandara.
"Ja... jangan mendekat. Sekujur tubuhku kini keracunan. Aku Barep Pandara. Raden
Tua sudah berpulang.
Aku... saya... dibuat tak mengerti dengan semua kejadian ini. Siapa pembunuh dan
siapa yang akan terbunuh. Raden puteri kuingatkan berhati-hatilah!" kata Barep
Pandara tak beraturan.
"Kau mengikuti aku, siapa yang telah menyuruhmu?" tanya Ambini dengan perasaan
tercekat karena melihat sekujur tubuh Barep Pandara semakin bertambah membesar
saja. "Raden...!" Belum sempat Barep Pandara menyelesaikan ucapannya
sekonyong-konyong tubuhnya yang seperti dipompa itu meledak.
"Oh...!" Ambini terpekik sambil mendekap wajahnya tak sanggup menyaksikan
bagaimana tubuh Barep Pandara hancur berkeping-keping
bertaburan di udara
bagaikan ilalang terbakar.
Merinding tengkuk Ambini menyaksikan semua ini. Ketika dia menjauhkan kedua tangan dari wajahnya. Dia melihat
serpihan daging dan tulang belulang bertebaran di sekeliling tempat dia berdiri.
Dia melompat menjauhi kepingan daging dan tulang-tulang yang bertaburan.
Sejenak lamanya Ambini merasa dibuat
bingung dan tak mengerti. Bagaimana mungkin tubuh Barep Pandara bisa meledak
setelah terkena sengatan belalai kupu-kupu itu"
"Kupu-kupu perak itu rasanya pernah aku melihat, tapi entah di mana" Yang jelas
dia bukan kupu-kupu biasa, mereka pasti berdatangan dari alam gaib. Siapa yang
mengiring mereka ke mari?" kata Ambini seorang diri. Dia gelengkan kepala.
"Mungkinkah abangku" Aku curiga dengan segala gerak-geriknya. Tapi ada
kemungkinan saudaraku yang lain melakukan semua ini. Bisa jadi mereka berguru
pada seseorang tokoh sakti yang memiliki kesaktian tinggi. Sayang aku tak tahu
di mana kakang Aripraba dan adik Siwarana saat ini berada." batin gadis itu.
Dia akhirnya memutar tubuh, melangkah cepat mendapatkan kudanya yang masih berada di bawah pohon. Tanpa
membuang waktu lagi dia melompat ke atas punggung kudanya. Namun pada waktu
bersamaan mendadak terdengar suara tawa yang disertai dengan bergoyangnya cabang
pohon di atas Ambini. Si gadis tentu saja merasa terkejut, diapun memandang ke
atas pohon darimana suara tawa terdengar.
Ambini tersentak kaget begitu melihat seorang pemuda tampan berambut gondrong
bertelanjang dada berada di salah satu cabang pohon itu, dia tidak duduk
melainkan bergelayutan, kakinya sengaja disangkutkan di cabang pohon tersebut,
sedangkan kepala menghadap ke bawah.
Hingga rambutnya yang diikat kain biru terjulai. Dilihat sepintas lalu apa yang
dilakukan pemuda itu memang seperti kelelawar tidur. Apalagi kedua tangannya
dilipat ke depan dada.
"Pemuda aneh, matanya terpejam.
Mungkin saja dia tidur. Tapi yang tertawa tadi?" Ambini kitarkan pandang di
sekitar atas pohon. Tak ada siapapun yang berada di sana selain pemuda itu.
Merasa tidak punya kepentingan dengan si pemuda, maka si gadis hendak menggebrak
kudanya. Tapi niat Ambini urung. Dia memang tak tahu sejak kapan si gondrong
berada di pohon itu. Hanya bisa jadi pemuda itu merupakan tuan dari kupu-kupu
perak yang telah menewaskan Barep Pandara. Ingat betapa mengenaskan kematian
abdi setia itu. Maka tanpa pikir panjang lagi Ambini
berteriak. "Orang di atas pohon, apa yang kau lakukan di sini?" Tak ada jawaban. Si pemuda
tetap seperti semula tadi. Diam tak bergerak, mata terpejam kedua tangan
terlipat di depan dada.
"Hei apakah kau tak mendengar suaraku?" teriak Ambini lagi. Suara teriakan si
gadis lenyap. Tubuh si pemuda nampak bergoyang-goyang seperti ditiup
angin. Ambini tentu saja terkejut besar.
Betapa tidak" Tadi dia berteriak disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Jika
si gondrong itu orang biasa, pasti suara teriakannya membuat si pemuda pingsan
atau paling tidak terjaga dari tidurnya.
Di bawah pohon masih dengan duduk di atas punggung kudanya Ambini katupkan
bibirnya yang merah memikat. Kedua gerahamnya bergemeletukan. "Dia berlagak tuli
atau memang sengaja ingin
mempermainkan aku. Orang seperti ini hendaknya diberi pelajaran!" batin Ambini.
Tanpa banyak pikir lagi si gadis lentikkan jari telunjuknya. Begitu jari
dijentikkan maka selarik sinar putih berbentuk pipih laksana mata pedang menderu
lalu menghantam bagian pangkal cabang pohon itu. Braak! Terdengar suara
bergemeretakan. Bagian pangkal
cabang pohon bagai dibabat mata pedang. Cabang itu berikut si pemuda meluncur deras ke
bawah. Si gadis begitu melihat masih tetap berada dalam posisi kepala
menghadap ke bawah belalakkan mata.
Bagaimanapun di bawah pohon terdapat batu-batu besar. Jika pemuda tidak terjaga
akibatnya tentu sangat mengerikan. Dengan perasaan kaget dan merasa bersalah,
maka Ambini melompat dari atas kudanya bermaksud menangkap tubuh si pemuda. Tapi
gerakannya sekonyong-konyong
jadi tertahan karena sejengkal lagi kepala pemuda itu menghantam batu, mendadak
tangan pemuda melesat ke atas tanah menahan luncuran tubuhnya. Bluk!
Dengan gerakan perlahan dia jatuh rebah menelentang diatas batu-batu.
Sesaat dia menggeliat, mata mengerjap dan dikedip-kedipkan. Dia lalu memandang
ke sekelilingnya. Sampai kedua matanya nampak membulat lebar.
"Amboi... apakah aku tidak salah lihat, tidak sedang berada dalam buaian mimpi"
Ada gadis begini cantiknya. Sayang sekali tidurku begitu lelap sehingga aku tak
dapat melihatnya sejak tadi. Ah...
Ha...!" Si gondrong tapuk keningnya sendiri. Dia segera duduk, sedangkan matanya
hampir tak pernah lepas dari wajah Ambini. Merasa diperhatikan seperti itu dan
setelah melihat tingkah si gondrong yang seperti orang sinting Ambini membentak.
"Pemuda mata keranjang, siapa dirimu" Berani kau menatapku begitu rupa, kubunuh
kau!!" Si Gondrong terkejut, dia nampak
bingung. Kedua tangan mengusap mata pulang balik, mematut-matut dengan
jemarinya. Di lain kejap wajah yang kaget itu nampak berubah riang, senyum
terkembang. "Ha... ha... ha. Aku sudah
memeriksa, kau pasti salah lihat. Di mataku tak ada keranjangnya. Yang ada cuma
belek, itu pun kecil-kecil. Jadi kau membohongi aku!" kata si gondrong yang
bukan lain adalah Gento Guyon murid kakek Gentong Ketawa.
10 Rasa kaget si gadis kini berubah
jadi kejengkelan. Sama sekali dia tak menyangka si gondrong berwajah tampan yang
sempat membuat hatinya bergetar itu ternyata hanyalah seorang pemuda sinting.
Tapi melihat apa yang dilakukannya tadi rasanya dia bukan pemuda sembarangan. Di
rimba persilatan banyak orang yang mempunyai watak dan perilaku yang aneh untuk
menutupi ketinggian ilmunya.
"Aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu! Katakan padaku apakah engkau
orangnya yang memiliki kupu-kupu perak itu?" hardik Ambini.
"Kupu-kupu perak mana aku punya. Di dunia ini aku tak punya siapa-siapa.
Punya seorang guru itupun otaknya agak begini." berkata begitu Gento lintangkan
jari telunjuknya di atas kening.
"Inginnya punya seorang adik secantik dirimu!" kata Gento.
"Siapa sudi menjadi adikmu!" dengus
Ambini ketus. Gento tersenyum, lalu mengusap
hidungnya. Enak saja dia menyahuti. "Jadi adik tidak mau, mungkin kau lebih
senang kujadikan sebagai kekasih. Ah...
kebetulan sekali yang satu itu aku belum punya. Ha... ha... ha!"
Merah padam wajah si gadis
mendengar ucapan murid kakek Gentong Ketawa. Dia merasa sangat jengkel sekali.
"Pemuda sinting mulutmu semakin kurang ajar saja. Rasakan tamparanku!"
teriak si gadis. Sekali berkelebat dia telah sampai di depan si pemuda. Dengan
cepat tangannya melayang
bermaksud menampar pipi. Tapi kali ini Ambini benar-benar dibuat kaget. Tamparannya yang
dilakukan dengan sangat cepat itu hanya mengenai angin. Pemuda itu lenyap.
Mata si gadis jelalatan mencari kian ke mari. Pemuda bertelanjang dada itu
ternyata tak ditemukannya.
"Pemuda kurang ajar itu ternyata memang bukan manusia sembarangan. Huh...
aku tak mengenalnya. Tapi kurasa bukan dia yang telah menggerakkan kupu-kupu
dari alam baka itu. Sebaiknya aku mencari adik Siwarana saja. Mungkin dia
mengetahui tentang kejadian aneh ini."
berpikir begitu Ambini segera melompat ke atas kudanya. Kuda melangkah perlahan
menuju jalan setapak di depannya. Tapi
ketika sampai di jalan itu Ambini kembali dikejutkan dengan terdengarnya suara
si pemuda. "Badan hancur, daging tercerai berai seperti dicacah, ini adalah
korban tukang jagal untuk yang kedua. Tidak ada petunjuk selain kupu-kupu maut.
Banyak kupu-kupu di dunia ini. Tapi yang beracun dan membuat tubuh manusia
menjadi serpihan puing tak berguna baru dua kali kutemui!"
Ambini menatap tajam ke arah Gento yang bersikap acuh tak acuh. Belum lagi dia
Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sempat ajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara teriakan menggelegar yang
disertai dengan terciumnya bau busuk menyengat. "Siapa yang telah membunuh kupukupu itu, berarti dia harus
menyerahkan tubuh dan nyawanya kepadaku!"
kata satu suara.
"Yang jelas bukan aku. Tapi gadis itu!" sahut Gento.
Suara tadi lenyap, satu sosok
melayang di udara. Dalam keadaan melesat di udara sosok itu lambaikan tangannya
ke arah Gento Guyon. Satu gelombang angin berhawa panas luar biasa menderu
melabrak pemuda itu, sementara sosok yang baru datang terus melesat menyambar
pinggang Ambini.
Si gadis keluarkan seruan kaget.
Dia segera melompat dari kuda,
bergulingan selamatkan diri. Kuda
meringkik keras dan tergelimpang roboh.
Ketika Ambini melihat ke arah kudanya, dia melihat binatang tunggangan itu tak
berkutik. Bagian punggungnya hangus. Si gadis menjadi sangat marah melihat kuda
kesayangannya terkapar.
Sementara itu ketika Gento mendapat serangan dari sosok menebarkan bau busuk
tadi dia langsung
menghindar menjauh
sambil merutuk. "Bangkai gila! Kau
menghendaki gadis itu, tapi kau juga mau mengarah nyawaku. Kesalahan apa rupanya
yang telah kulakukan?" ucapannya itu disambut dengan suara ledakan dari pukulan
yang dilepaskan oleh bayangan yang berkelebat di atas kepalanya tadi.
Guncangan akibat ledakan membuat tubuh Gento tergetar. Kini setelah getaran tak
dirasakannya lagi si pemuda cepat berpaling memandang ke arah sosok yang berdiri
tegak antara dirinya dan Ambini.
Baik murid kakek Gentong Ketawa
maupun Ambini sama tak mampu menutupi rasa kagetnya begitu melihat orang yang
berdiri di hadapan mereka. Sosok yang menyerang dan hendak menangkap Ambini
ternyata adalah seorang laki-laki tua bertelanjang dada. Hampir sekujur tubuhnya
yang pucat bagaikan mayat rusak, pelupuk matanya meleleh, pipi berlubang growak
kanan kiri, bukit hidung tanggal hingga berupa dua lubang besar. Rambut
rontok, bagian leher tepat di tenggorokan bolong, sedangkan perutnya tepat di
bagian lambung juga berlubang, meneteskan cairan buduk berwarna kuning
kehijauan. Tak percaya dengan apa yang
dilihatnya Gento mengusap matanya. "Ah gila betul. Dia seperti bukan manusia
hidup. Manusia tak mungkin bisa bertahan hidup dalam keadaan begini rupa." batin
Gento. Meskipun saat itu perasaannya dilayapi ketegangan, tapi sambil tersenyum
si pemuda berkata. "Orang tua, rupamu bagus amat" Kau habis berkunjung ke alam
baka atau bagaimana" Atau kau memang orang yang sudah mati" Lalu di dalam kubur
bumi menolak jasadmu yang busuk begini" Kasihan sekali. Daripada gentayangan
meresahkan hati orang, bagaimana jika tubuh busukmu itu kubakar saja?"
Sosok yang terus pandangi Ambini
dengan sepasang matanya yang berwarna kuning mengerikan sejak tadi kini menoleh,
memutar badannya dengan gerakan yang kaku. Ada hawa angker aneh membersit lewat
tatap mata sosok itu. Mulutnya terbuka mengeluarkan asap tebal berwarna hitam.
Asap itu semakin menebal begitu dia berkata.
"Bocah tak tahu gelagat. Tak pandai bertuan pada siapa kau berhadapan. Aku
manusia terhormat, kedudukanku lebih
tinggi dari semua manusia yang ada di seluruh rimba persilatan ini. Lebih baik
kau pergi mencari selamat. Urusanku dengan gadis cantik itu tidak ada sangkut
pautnya dengan dirimu. Aku Raden Ronggo Anom tak pernah mengulang ucapan dua
kali. Jika kau membantah, ajal akan datang menjemputmu tak sampai sekedipan
mata!" kata sosok yang mengaku sebagai Raden Ronggo Anom. Suaranya serak kaku
dan dingin menyeramkan.
Gento tertawa terbahak-bahak
mendengar ucapan sosok angker yang tidak ubahnya seperti mayat hidup itu. Dia
lalu berkata. "Rupanya kau datang mewakili malaikat maut. Tapi melihat
tampangmu, kurasa kau sengaja dikirim setan
pelayangan untuk cari perkara. Melihat pada rupamu, aku yakin kau baru saja
menjalani hukuman berat di masa lalu.
Kemudian kau bermaksud membawa gadis itu untuk menemanimu di alam baka. Kurasa
jangankan dia, nenek pikun yang tubuhnya hanya tinggal rongsokan pun tak akan
sudi ikut denganmu. Ha... ha... ha!" kata si pemuda disertai tawa tergelakgelak. Mendengar ucapan si pemuda sosok
Raden Ronggo Anom tampak bergetar,
hidungnya yang bolong besar mendengus mengeluarkan suara bagai sapi melenguh.
Sebaliknya Ambini sendiri sempat
terkesiap mendengar orang mengatakan
siapa dirinya. Dia tahu pasti Raden Ronggo Anom telah meninggal secara aneh
sekitar tiga puluh tahun yang lalu.
Bagaimana manusia tamak, culas dan keji dan masih terhitung pamannya sendiri itu
kini bisa bangkit kembali" Atau mungkin sosok setengah bangkai ini hanya
mangaku-ngaku saja" Ingat akan ucapan Gento ketika melihat mayat Barep Pandara
yang hancur berkeping-keping itu. Maka dengan suara berbisik dia bertanya.
"Pertama kali kau melihat mayat yang seperti itu keadaannya di mana?"
Merasa pertanyaan itu ditujukan
padanya maka Gento menjawab. "Di puncak gunung Wilis."
"Puncak gunung Wilis. Di sana tempat pengasingan ayah. Menurut Barep Pandara
ayah sudah meninggal." pikir Ambini. Dia lalu bertanya.
"Apakah kau melihat bangkai
berjalan ini ada di sana saat itu?"
"Tidak. Aku bertemu dengan seorang pemuda bernama Aripraba. Aku juga melihat
mayat yang sudah membusuk, tangan dan kakinya buntung."
"Yang dimaksudkannya pasti adalah ayahku. Tapi aku tak menyangka dia bertemu
dengan saudaraku Aripraba. Sudah sangat lama aku tak bertemu dengan kakangku
itu. Konon menurut kakang Danang Pattira, peta penyimpanan harta warisan
keluarga ada di tangannya. Agaknya pemuda konyol ini tak tahu siapa diriku. Aku
sendiri bingung pada siapa harus
percaya." batin si gadis.
"Eeh, gadis cantik. Bangkai hidup ini memang apamu" Calon suami, kakek atau
ayahmu" Mengapa dia begitu bernafsu ingin mendapatkanmu?" celetuk Gento setelah
melihat Ambini hanya diam saja.
Si gadis melengak kaget. Sama
sekali dia tak mengenal siapa adanya si gondrong. Mustahil dia berterus terang.
Sehingga dia pun berkata. "Aku tak punya hubungan apapun dengan mahluk berwajah
setan ini. Kurasa dia hendak menculik, membunuhku di suatu tempat. Atau seperti
ucapanmu, dia hendak membawaku ke dalam liang kubur."
"Ah sayang, aku rasa tak rela jika gadis secantikmu harus menyerahkan diri pada
mayat rombeng ini. Kalau kau mau, pangeran mu ini bersedia mengusirnya.
Tapi dengan satu syarat...!"
"Katakan apa syaratmu?" tanya Ambini penasaran. Nampaknya dia mulai tertarik
melihat cara dan sikap si pemuda yang polos.
Gento tersenyum. "Syaratnya menyusul belakangan. Sekarang kau hanya tinggal
mengatakan apanya yang harus kutanggalkan" Tangannya, kaki, mata atau kepala
atas bawah" Ha... ha... ha!" kata
si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Sekejap kemudian tawanya terhenti. Dia melanjutkan. "Tapi mengingat keadaan
tubuhnya yang hampir membusuk tak karuan rupa, bisa jadi yang di bawah sudah
tanggal tanpa permisi."
Mendengar dan menyadari arti arah ucapan Gento Guyon wajah cantik Ambini merona
merah juga tak dapat menahan geli.
Sebaliknya sosok Raden Ronggo Anom sudah tak dapat menahan amarahnya.
11 Sejenak Raden Ronggo Anom menatap pemuda yang berdiri dengan tangan bertolak
pinggang itu. Mulutnya yang selalu mengepulkan uap aneh berbau busuk bila bicara
berucap. "Kau bocah sedeng yang pintar bicara. Aku suka padamu.
Karena aku suka maka kau orang pertama yang kucarikan jalan kematian yang paling
mudah!" dengus sosok yang mengaku sebagai Raden Ronggo Anom.
Si pemuda tertawa lagi. "Bangkai busuk yang mulutnya mengepul seperti cerobong
asap. Kau boleh bicara apa saja, tapi hidup matinya manusia adalah persoalan
takdir. Kau bicara seperti dewa, sebelum aku mati tentu aku akan
mengucapkan selamat tinggal terlebih dulu padamu dan tentunya juga aku harus
pamit pada gadis cantik sahabatku itu!" teriak si pemuda lantang. Menyadari
agaknya sosok mayat hidup ini memiliki ilmu yang sangat tinggi, maka begitu
melakukan gebrakan pertama dia langsung melepaskan pukulan Raja Dewa Ketawa.
Begitu si pemuda hantamkan kedua tangannya ke arah lawan. Angin keras laksana
badai topan menderu, hawa panas bergulung-gulung menyapu benda apa saja yang
dilaluinya. Di depannya sana Raden Ronggo Anom tertawa aneh. Jari tangannya yang nyaris
tanggal diacungkan menyambut deru angin yang melesat dari telapak tangan Gento.
Wuuut! Jemari tangan itu nampak bergetar ketika membentur pukulan yang dilepaskan si
pemuda. Secara aneh deru angin hebat yang sempat membuat Ambini terkagum-kagum
dan sempat pula menyambar pohon di kanan kiri mereka hingga roboh seolah
tersedot amblas ke dalam jemari tangan sosok mayat hidup.
Celakanya bukan hanya tenaga
pukulan itu saja yang tersedot, tapi tubuh Gento sendiri seakan ikut tertarik.
"Tikus gundul kebo budek. Mengapa bisa sampai terjadi begini?" rutuk si pemuda
dalam hati. Dengan mata melotot dan mulut terpencong dia kerahkan tenaga dalam
ke bagian kaki agar tubuhnya tetap bertahan di tempatnya. Apa yang dilakukannya ini
berhasil hingga membuat tubuhnya
bergoyang-goyang bagai pucuk cemara yang ditiup angin. Tapi hal ini nampaknya
tak berlangsung lama, karena begitu mayat hidup gerakkan jemari tangannya ke
atas, maka sekonyong-konyong tubuh Gento laksana disentakkan ke atas. Belum
hilang rasa kejut di hati Ambini maupun Gento sendiri, mayat hidup telah memutar
jemari tangannya. Tak pelak lagi tubuh Gento bagaikan titiran ikut berputarputar hingga membuat kepalanya mendadak pusing dan pemandangan berkunang-kunang.
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Gento berpikir keras mencari jalan keluar.
"Setan ini memiliki ilmu aneh, aku harus melepaskan dua pukulan sekaligus.
Akan kugabungkan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis dengan pukulan Selaksa Duka!"
pikir si pemuda sambil menyalurkan tenaga dalam ke bagian tangannya. Seperti
diketahui pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis adalah satu pukulan dahsyat warisan
Tabib Sesat Timur. Tabib sesat yang telah membuat sengsara si pemuda di waktu
kecil. Untuk lebih jelas (baca Episode Tabib Setan). Sedangkan pukulan Selaksa
Duka adalah warisan gurunya si kakek gendut besar Gentong Ketawa. Dua pukulan
digabungan menjadi satu. Sebuah kekuatan
hebat tercipta. Tak heran begitu Gento yang dalam keadaan berputar itu hantamkan
kedua tangannya ke arah lawan, maka menggemuruhlah suara angin dahsyat disertai
sambaran hawa panas dan dingin silih berganti. Dari telapak tangan pemuda itu
berkelebat sinar putih menyilaukan mata, sedangkan dari tangan kiri menderu
sinar merah hitam
mengerikan. Tak pelak lagi kedua pukulan maut itu menghantam tubuh lawannya. Terjadi ledakan
keras mengguntur dua kali berturut-turut, terdengar suara tulang berderak-derak.
Pasir dan debu berhamburan memenuhi udara, pemandangan jadi gelap seketika. Tanah terguncang,
Mayat Hidup jatuh terbanting. Dia rebah menelentang, mulutnya mengerang, hidung
mendengus mengepulkan asap aneh. Mayat Hidup merasakan sekujur tulang
belulangnya laksana bertanggalan.
Melihat betapa tinggi serta anehnya ilmu yang dimiliki lawan. Maka Ambini
berteriak. "Gondrong sinting aku akan membantumu!"
Selesai dengan ucapannya si gadis melolos pedang lentur yang melingkar di
pinggangnya. Dia melesat ke arah lawan dengan gerakan laksana kilat. Sementara
sambil mengayunkan senjata dia meraup sesuatu dari balik sakunya. Benda yang
diraup dan ternyata merupakan serbuk beracun itu disambitkan ke bagian wajah
lawannya. Sementara pada saat yang sama pedang di tangan kirinya melesat
menghantam bagian perut.
Wuuus! Tringg! Mayat hidup yang baru saja
merasakan kehebatan pukulan yang
dilepaskan pemuda bertelanjang dada tak sempat menghindar dari sabetan pedang
dan tebaran serbuk beracun. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Gento berseru
kaget dengan mata mendelik tak percaya.
Betapa tidak, tebaran serbuk beracun yang dilepaskan Ambini tidak berpengaruh
bagi lawan, malah berbalik menyerang pemi-liknya begitu hidung growong Mayat
Hidup menghembusnya. Bukan itu saja, pedang di tangan Ambini yang membabat perut
lawan juga seperti membentur palang baja. Malah pedang itu kini nampak rompal.
Masih untung si cantik cepat berjumpalitan ke belakang selamatkan diri. Kalau
tidak tentu dia menjadi korban serbuk
beracunnya sendiri.
Dengan muka pucat dan wajah
kucurkan keringat Ambini berdiri tegak.
Matanya masih melotot seakan tak percaya dengan kenyataan yang dilihatnya.
"Manusia bangkai ini sesungguhnya punya ilmu aneh apa" Tubuhnya kebal
senjata tak mempan pukulan!" desis si gadis. Tanpa sadar dia melirik ke arah
Gento Guyon. Pemuda itu kedipkan mata. Di
tangannya kini tergenggam sebuah benda bulat berwarna kuning berkilau dengan
besar tak lebih besar dari ibu jari dan sepanjang dua jengkal.
"Pemuda goblok itu. Dia hendak berbuat apa dengan benda sebesar itu?"
rutuk Ambini yang menduga Gento telah berlaku tolol. Saat itu mayat hidup telah
bangkit berdiri, kini dia memandang tajam ke arah si gadis. Sambil mengusap
kuku-kukunya yang panjang hitam dan jelas mengandung racun jahat dia berseru.
"Kali ini kau tak bakal lolos dari tanganku!"
Mendadak Mayat Hidup melompat ke
depan, kedua tangan melakukan gerakan memeluk yang dilanjutkan dengan gerak
menerkam. Jemari tangan berkuku hitam kanan kiri menyambar pinggang si gadis
dari dua arah. Karena jaraknya yang hanya sekitar satu tombak, hanya dengan
sekali lompatan Mayat Hidup hampir berhasil merengkuh Ambini. Si gadis berseru
tertahan, sambil melompat mundur dia babatkan pedangnya ke arah jemari tangan
lawan yang terjulur.
Tring! Tring! Kembali terdengar suara
berdentringan. Pedangnya laksana
membentur baja tipis. Sedangkan tangan Mayat Hidup terus saja terjulur, Ambini
jatuhkan diri, berguling-guling
menghindar dari jangkauan lawannya.
Selagi Mayat Hidup berupaya menyambar tubuh lawannya. Dari arah sampingnya
terdengar teriakan menggeledek.
"Mayat busuk, kalau kau sudah jadi bangkai tak usah serakah hendak memeluk gadis
itu. Aku yang hidup dan masih gagah begini saja tak berani sembarang peluk.
Enak saja kau hendak berbuat kurang ajar!
Kupecahkan kepalamu!"
Mayat Hidup mendengus panjang.
Serentak dia menoleh, begitu menoleh dia melihat satu kilatan cahaya kuning
berbentuk bulat lonjong menghantam kepala. Secepat apapun dia menghindar
selamatkan kepala. Namun senjata di tangan Gento tetap menghantam kepalanya.
Tang! Tang! Hantaman yang menggunakan seluruh tenaga dalam itu, jangankan batu karang atau
kepala. Bola besi sekalipun pasti pecah. Tapi apa yang terjadi pada Mayat Hidup
sungguh membuat Gento yang dibuat terpelanting dengan tenaga pukulannya yang
membalik jadi geleng-geleng kepala seperti putus asa.
Ambini yang melihat semua ini juga jadi kecut. Dia menoleh ke arah Gento.
Justru pada saat itu si pemuda itu
sendiri selain heran melihat lawan tak dapat dibuatnya roboh setelah dihantam
senjata Penggada Bumi juga heran melihat perubahan yang terjadi pada senjatanya
sendiri. Senjata sepanjang dua jengkal
sebesar ibu jari itu begitu dipukulkan ke bagian kepala lawan nampak bergerak
membesar sekaligus memanjang. Dalam keadaan kalut melihat kehebatan lawan, tapi
dia juga tak mampu menahan geli.
Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Senjata ini seperti hidup saja. Ha...
ha... ha! Dia jadi menggembung bengkak dan bergerak memanjang seperti ha...
ha... ha..!"
"Hei... awas!" teriak Ambini tiba-tiba.
Rupanya ketika itu selagi Gento
dibuat heran dengan keanehan senjata sendiri, Mayat Hidup mempergunakan
kesempatan itu melompat ke arahnya sambil melepaskan satu pukulan dahsyat
berhawa dingin luar biasa. Si pemuda terkesiap begitu melihat hawa dingin
disertai sinar biru meluncur dan menghantam ke bagian dada. Sedapat mungkin
secara reflek dia putar senjata di tangannya. Benturan keras tak dapat
dihindari. Si pemuda jatuh terhempas. Mulutnya meneteskan darah. Di depannya
sana Mayat Hidup terhuyung ke belakang. Melihat kenyataan ini tanpa membuang
waktu lagi Ambini
berkelebat dan menyambar tubuh si pemuda.
Dalam gelapnya udara akibat ledakan tadi Ambini melarikan Gento yang
sesungguhnya hanya menderita cidera ringan dari tempat itu.
"Gadis cantik! Kau tak mungkin bisa meloloskan diri dari tanganku. Pemuda itu
pasti kubunuh sedangkan kau harus ikut denganku ke pesanggrahan abadi!" dengus
si Mayat Hidup. Setelah membaca arah, dia lalu mengejar ke arah mana gadis itu
membawa Gento Guyon.
12 Setelah menempuh perjalanan hampir dua hari lebih pada pagi berikutnya kakek
berbadan tambun besar seperti raksasa dan pemuda bungkuk berwajah bertotol hitam
bermulut runcing sampai di Ponorogo. Di tempat ini si kakek singgah sebentar di
sebuah kedai memesan makanan untuk kemudian pergi lagi meneruskan perjalanan ke
gunung Liman. Di luar sepengetahuan si kakek atau pun si pemuda ketika mereka masuk ke dalam
kedai tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan kehadiran mereka dengan
tatapan matanya yang aneh. Bahkan ketika mereka meninggalkan kedai itu pemilik
sepasang mata itu juga mengikuti
mereka. Sampai sejauh itu baik si kakek gendut besar yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa maupun si bongkok Siwarana Sala Anuna tidak dapat mencium
kehadiran penguntitnya.
Malah setelah sampai di luar dusun Ponorogo, Gentong Ketawa yang berjalan di
belakang Siwarana berkata. "Kurasa gunung Liman tak jauh lagi dari sini. Aku
lelah, perutku lapar. Kita istirahat saja dulu barang beberapa jenak lamanya. Di
depan sana ada pohon besar, tempatnya teduh dari tempat itu kita bisa melihat
keindahan gunung Liman. Makan sambil melihat pemandangan indah sungguh
mengasyikkan, lebih sedap." Si kakek julurkan lidah basahi bibir. Dia melirik ke
dalam kantong perbekalannya. Di sana dia menyimpan makanan dan juga sekendi tuak
harum. Membayangkan nikmatnya tuak itu tenggorokan si kakek bergerak-gerak.
"Kakek... gunung Liman sudah dekat, mengapa kita harus istirahat" Jika sudah
sampai di tempat tujuan kita bebas berbuat apa saja. Di sana kau bisa makan
sepuasmu atau mengorok sepanjang hari."
menyahuti si bongkok Siwarana.
"Sebenarnya apa yang kau cari di sana" Tempat penyimpanan harta karun
keluargamu" Aku percaya harta itu cukup untuk mendirikan sebuah kerajaan yang
paling besar di Jawa. Tapi terus terang
kau mana pantas menjadi seorang raja...!"
"Maksudmu?" tanya Siwarana tak mengerti.
"Ha... ha... ha. Seharusnya kau tahu diri. Kau tak punya potongan atau tampang
menjadi raja. Tapi kalau kau mau jadi raja di gurun pasir bolehlah. Aku yakin
teman-temanmu pasti banyak di sana!" kata si kakek disertai tawa berderai.
Menyadari arah ucapan si kakek yang mengejek keadaan dirinya, wajah Siwarana
sempat berubah. "Aku tak punya keinginan lagi apapun kek. Harta warisan keluarga
bagaimana pun harus diselamatkan. Menurut ayah akulah yang menjadi kuncinya.
Dalam diriku ada tanda, ada semacam peta. Aku baru ingat sekarang untuk
melihatnya dengan jelas kita membutuhkan limau asam." ujar Siwarana.
Si kakek yang tadi hendak membuka mulut kini pandangi Siwarana. Mata si gendut
yang sipit berkedap-kedip. "Limau asam" Mengapa kau tak bilang sedari tadi.
Padahal aku banyak melihat buah limau di samping halaman kedai. Eeh... orang
jelek. Bagaimana bentuk peta itu, apakah putih membentuk pulau seperti panu.
Atau bulat seperti kurap" Ha... ha... ha!"
"Aku sendiri tak tahu, mungkin satu dari yang kau sebutkan itu." menyahuti si
pemuda dengan perasaan jengkel.
"Hei, kubilang kita istirahat dulu.
Aku hendak makan dan minum barang sekejap." kata Gentong Ketawa. Enak saja dia
duduk menjelepok di bawah pohon sambil menurunkan kantong perbekalannya.
Sementara Siwarana terus berjalan sambil berkata. "Makanlah di situ sepuasmu
kakek Gendut. Aku tak punya selera, aku lebih baik menunggumu di depan sana
dekat pohon pinus!" sahut Siwarana.
Si kakek anggukkan kepala. Dia
segera membuka makanan yang dibungkus dengan daun pisang. Orang tua ini makan
dengan lahap. Hanya dalam waktu sekejap makanan amblas ke dalam perut besar si
kakek. Dia lalu membuka penutup kendi.
Begitu terbuka tercium bau harum
menyengat. "Wah baunya saja sudah sangat sedap sekali, apalagi isinya?" gumam si kakek.
Gluk! Gluk! "Betul-betul enak. Ha... ha...
ha...!" kata Gentong Ketawa sambil menyapu mulutnya yang berselemotan tuak
dengan punggung tangan, sedangkan wajah si kakek saat itu berubah memerah karena
pengaruh tuak itu.
"Hem, ternyata hidup ini penuh dengan kenikmatan, walau palsu sedikit tidak
mengapa. Ha... ha... ha." celetuk orang tua itu setelah meneguk habis isi
tuak di dalam kendi.
Setelah merasa kekenyangan, dengan bermalas-malasan si kakek mendadak bangkit
berdiri. Di saat itulah mendadak sontak dia dikejutkan dengan suara bergemuruh
dahsyat yang disertai dengan terdengarnya suara jeritan Siwarana. Di depan sana
ada lidah api sempat mencuat di udara, berkobar sekejap lalu lenyap.
Suara bergemuruh sirna, jeritan Siwarana bagaikan terputus. Dalam kagetnya
Gentong Ketawa memang sempat terkesiap. Tapi begitu menyadari bahaya apa kiranya
yang terjadi pada Siwarana, maka tanpa membuang waktu lagi kakek gendut itu
langsung berkelebat ke arah pohon pinus di mana suara gemuruh dan jeritan tadi
datang. Sampai di tempat itu si kakek
tersentak kaget. Dia melihat tanah di bawah pohon terbelah merekah. Di kanan
kirinya rumput dan semak-semak hangus terbakar. Api yang membakar sudah padam,
namun Siwarana sendiri lenyap tak berketentuan. Kakek Gentong Ketawa hanya
menemukan cabikan kain hitam yang merupakan bagian dari pakaian pemuda cacat
itu. "Jahanam keparat! Siapa yang telah melakukan semua ini?" desis si orang tua
dengan perasaan tegang diliputi
kecemasan. Dia lalu kitarkan pandang
memperhatikan setiap sudut. "Siwarana...
Siwarana... kau di mana?" teriak Gentong Ketawa memanggil-manggil nama pemuda
itu. Gema suaranya lenyap begitu saja. Sunyi mencekam, di sudut sebelah kirinya dia
melihat reranting pohon bergoyang seperti bekas tersentuh sesuatu yang bergerak.
"Hh, siapapun yang membawa pemuda itu, aku berharap sesuatu yang sangat buruk
tidak sampai terjadi pada dirinya!"
membatin si kakek gendut dalam hati.
Tanpa menunggu lebih lama orang tua ini segera mengejar ke arah di mana orang
yang menculik Siwarana melarikan diri.
TAMAT Nantikan Episode Mendatang!!!
HUTANG DOSA Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Setia 9 Rahasia Istana Terlarang Karya Wo Lung Shen Suling Emas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama