Ceritasilat Novel Online

Bayar Nyawa 1

Gento Guyon 4 Bayar Nyawa Bagian 1


1 1 Dua sosok berpakaian serba kuning berlari cepat menuju sebuah pondok tersembunyi
di puncak Gunung Wilis. Saat itu hujan lebat mengguyur puncak gunung, kabut
tebal memutih menutupi pemandangan sedangkan suara angin menderu-deru
mengiriskan. Beberapa kejap kemudian dua sosok tubuh yang berlari cepat di
tengah derasnya hujan segera hentikan langkah.
Mereka kini berdiri tegak di depan pintu pondok. Ternyata mereka adalah dua
orang pemuda yang memiliki kemiripan wajah satu sama lain.
Beberapa saat lamanya mereka tegak di situ dengan pakaian basah kuyup. Ada rasa
curiga terpancar lewat tatapan mata mereka ketika melihat pintu pondok yang
terbuka. "Apakah kau melupakan tugasmu mengunci pintu ketika hendak berangkat ke Wonogiri
adik Ragil Pandara?" bertanya saudara tua yang bernama Barep Pandara sambil
memperhatikan pemuda di
sebelahnya. "Tidak. Aku telah mengunci semua pintu. Lampu bagian dalam juga kupadam-kan.
Karena aku tahu Raden Tua tak membutuhkan penerangan!" sahut Ragil Pandara.
Kedua pemuda bersaudara kembar yang
mengabdikan diri pada majikannya selama belasan tahun itu saling pandang. "Ada
sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
Mari kita lihat...!!" sergah Barep Pandara dengan perasaan kecut dan hati
diliputi kegelisahan.
Tanpa perduli dengan tubuh dan
pakaian mereka yang basah kuyup. Kedua bersaudara kembar ini melangkah masuk,
pintu dibuka lebar, namun mereka tak dapat melihat apapun karena suasana dalam
ruangan dalam keadaan gelap gulita.
"Nyalakan pelita!" seru Barep Pandara ditujukan pada adiknya. Sementara sang
adik sibuk mencari lampu yang tergantung di dinding, maka Barep Pandara mulai
berteriak. "Raden Tua... kami datang. Raden... kami baru pulang dari Wonogiri!"
Tak terdengar suara jawaban. Gema suara si pemuda lenyap ditelan gemuruhnya
hujan yang makin menggila. Sedangkan
disaat itu pelita yang diambil Ragil Pandara baru saja menyala menerangi
sebagian ruangan.
"Celaka! Ruangan ini dalam keadaan berantakan. Siapa yang melakukan semua ini"!"
desis Ragil Pandara begitu melihat hampir semua perabotan yang terdapat di
seluruh ruangan nampak berhamburan memenuhi lantai tanah pondok yang tidak
seberapa luas, tak kurang beberapa jenis
kitab yang di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat, ilmu pengobatan dan juga
kitab-kitab sastra bergeletakan di atas lantai.
"Cari Raden Tua. Mari cepat kita cari!" perintah Barep Pandara kepada adiknya.
Kedua pemuda itu akhirnya meneliti ke seluruh ruangan dalam. Sampai kemudian
Ragil Pandara memekik kaget.
"Gusti Allah apa dosa orang tua ini?"
"Adik apa yang kau temukan?" tanya Barep Pandara yang berada di sudut ruangan
yang lain. Dia cepat berpaling, memandang ke arah adik kembarnya. Barep Pandara
melihat sang adik berdiri tegak dengan wajah pucat mata terbelalak dan mulut
ternganga. Sekali pemuda ini berkelebat dia sampai di samping adiknya.
Ketika dia ikut melihat ke arah mana adiknya memandang, Barep Pandara tanpa
sadar sampai bersurut dua tindak ke belakang. Di depannya pemuda itu melihat
satu sosok tubuh yang mempunyai cacat di bagian kedua kaki dan kedua tangan,
dalam keadaan tergeletak kaku berlumuran darah.
Bagian leher nampak menganga seperti digorok senjata tajam, sedangkan tulang
dada berpatahan mencuat keluar. Di bagian lebih ke bawah lagi ternyata perut
orang tua berambut putih yang mereka panggil
'Raden Tua' robek besar. Bagian isi perut
berbusaian. Melihat luka yang terdapat di bagian leher, dada serta perut
nampaknya masing-masing luka itu bukan disebabkan oleh satu senjata yang sama.
Dalam perhitungan Barep Pandara sedikitnya ada dua orang yang telah datang
membantai Raden Tua. Melihat semua apa yang telah terjadi baik Barep Pandara dan
adiknya segera melakukan pemeriksaan. Mula-mula si mayat yang mereka teliti,
karena tak menemukan apapun. Maka Ragil Pandara segera meneliti ke sekeliling di
mana mayat itu ditemukan.
"Siapapun yang telah membunuhnya, aku yakin pembunuh itu belum jauh dari sini!"
desis Barep Pandara dengan suara tersendat tak kuasa menahan rasa sedih dan
haru. "Kakang betul. Selain itu apa jawaban kita nanti jika putra dan putri Raden Tua
menanyakan perihal kematian ayahnya?" ujar Ragil Pandara menimpali.
Dua abdi bersaudara kembar ini
saling diam. Barep Pandara segera teringat kepergian mereka ke Wonogiri sematamata karena mendapat kabar bahwa putra Raden Tua yang bernama Danang Pattira
sedang menderita sakit keras.
Raden Tua kemudian mengutus mereka untuk menyambangi putra tertua itu. Mereka
kemudian pergi ke Wonogiri, tapi ketika mereka sampai di tempat kediaman Danang
Pattira, putra bekas hartawan paling kaya di Wonogiri ini, kedua abdi
kepercayaan ini jadi terkejut.
Danang Pattira ternyata dalam
keadaan segar bugar tak kekurangan suatu apa. Malah ketika dia sampai di pendopo
luar, Barep Pandara dan adiknya melihat Danang Pattira sedang berlatih diri
menerapkan jurus-jurus ilmu silatnya yang handal itu. Sang putra sulung nampak
kaget melihat kehadiran mereka. Setelah mendapat penjelasan dari kedua abdi itu
maka Danang Pattira segera menyuruh Barep Pandara dan adiknya kembali ke gunung
Wilis. "Kakang ke marilah! Aku menemukan sesuatu!" seru Ragil Pandara. Sang kakak
tersentak kaget dan lamunannya pun buyar seketika. Cepat sekali dia menghampiri
adiknya yang berdiri tegak di bagian pintu belakang. Apa yang dilihat adiknya
ternyata bukan lain adalah sebuah benda terbuat dari bahan perak berbentuk kupukupu yang menempel di dinding.
"Kupu Kupu Perak?" desis Barep Pandara begitu mengenali benda yang tergantung di
bagian papan pintu. "Aku tak tahu benda ini milik siapa. Tapi aku merasa yakin
benda ini pasti ada
hubungannya dengan pembunuh Raden Tua."
"Apa yang dicarinya" Mengapa dia begitu tega membunuh orang tua papa yang
tidak punya kekuatan apa-apa dengan cara begini keji?" tanya Ragil Pandara
heran. Barep Pandara berpikir sejenak. Dia ingat betul, Raden Ponco Sugiri atau yang
sering mereka panggil dengan sebutan
'Raden Tua' orangnya sangat baik dan dermawan. Selain itu dia juga tak mempunyai
seorang musuh pun. Raden Tua memiliki kekayaan melimpah ruah. Hampir seluruh
tanah di daerah Imogiri konon dulunya adalah milik Raden Tua. Tak mengherankan
bila dia adalah seorang bangsawan yang paling kaya. Bahkan harta bendanya
sebagian tersimpan di suatu tempat yang dirahasiakan, sehingga bukan orang luar
yang menginginkan harta itu saja yang tak tahu keberadaan harta itu, sebaliknya
putranya sendiri bahkan tak mengetahuinya.
"Kita tak menemukan petunjuk selain kupu-kupu perak ini. Kurasa ada baiknya jika
kita kuburkan mayat Raden Tua, setelah itu baru membawa kupu-kupu perak ini
untuk ditunjukkan pada seluruh putra putri almarhum," pada akhirnya Ragil
Pandara mengajukan pendapatnya.
"Kalau sudah ketemu, sebaiknya kau ambil kupu-kupu perak itu. Aku sendiri akan
mengurus mayat Raden Tua. Nanti jika hujan mereda, kita secara bersama-sama
menggali sebuah kubur. Besok pagi kurasa kita sudah bisa berangkat kembali ke
Imogiri untuk menjumpai Raden Danang Pattira!" Ragil Pandara anggukkan kepala.
Dia kemudian meraih kupu-kupu perak yang bagian kakinya menancap di papan pintu.
Begitu kupu-kupu perak berada dalam genggaman tangannya si pemuda memperhatikan
hiasan yang terbuat dari bahan perak tersebut. Ada sesuatu yang dirasakannya
aneh begitu dia menyentuh bagian perut kupu-kupu ini. Bagian perut kupu-kupu
diusap beberapa kali. Mendadak si pemuda merasakan adanya suatu getaran yang
sangat aneh menjalari tubuhnya.
"Gila... mengapa tanganku jadi terasa panas begini" Akh...!" teriak Ragil
Pandara sambil mengibaskan tangannya yang memegang benda aneh itu. Tapi apa yang
terjadi sungguh sulit dipercaya karena ternyata kupu-kupu perak itu tetap
melekat di telapak tangannya. "Kakang Barep tolong...!" satu jeritan menyayat
terlontar dari mulut si pemuda. Bersamaan dengan itu pula telapak tangan sampai
pergelangan pemuda itu langsung melepuh, menggembung besar. Semakin lama semakin
bertambah besar sampai akhirnya mengeluarkan suara letupan keras. Daging dan
darah berhamburan ke seluruh penjuru arah.
"Adik Ragil Pandara... kau... apa yang terjadi!" seru Barep Pandara sambil
melompat menghampiri adiknya. Ragil
Pandara tampak terhuyung limbung, sementara matanya mendelik sambil memegangi
tangannya yang hancur dengan tangan lain yang masih utuh. Barep Pandara mencoba
merangkul adiknya agar jangan sampai jatuh. Tapi pada saat itu pula terdengar
seruan keras sang adik.
"Akh... jangan... jangan kau sentuh tubuhku! Cepat menjauh...!" teriak Ragil
Pandara yang kiranya sudah mengetahui bahwa kupu-kupu perak yang dipegangnya
tadi bukan saja sangat beracun, tapi juga dikendalikan oleh satu kekuatan yang
tidak terlihat.
"Adik kenapa?" seru sang kakak yang terpaksa urungkan niatnya tapi tetap
tertegak di tempatnya.
Ragil Pandara tak sanggup lagi
memberi jawaban karena pada saat itu juga kupu-kupu perak yang jatuh dari
genggaman tangannya tadi kini nampak melayang, terbang berputar-putar di udara
sebanyak tiga kali mengelilingi Barep Pandara.
Kepakan sayapnya yang cepat menimbulkan suara mendengung yang bila didengar
dengan seksama tidak ubahnya seperti
suara orang yang melontarkan suara makian yang datang dari satu tempat yang
sangat jauh. "Siapapun yang merasa dirinya dekat dengan Raden Ponco Sugiri, maka mulai saat
ini hidupnya pasti tak akan bertahan
lama!" kata satu suara yang terdengar di antara suara dengung kepakan kupu-kupu
perak. Suara aneh itu mendadak lenyap, Barep Pandara merasa kaget bukan main.
Belum juga rasa kejutnya lenyap, kupu-kupu perak tadi mendadak menukik dan kini
hinggap di bagian dada Ragil Pandara.
Sekujur tubuh pemuda yang telah hancur bagian tangannya itu bergetar hebat. Dia
jatuh tersungkur. Sang kupu-kupu perak nampaknya sedang mengerahkan racun dan
kekuatan aneh yang terkandung di dalam tubuhnya. Tidak tega melihat segala
penderitaan yang dialami oleh Ragil Pandara, maka Bara Pandara menghambur
bermaksud meremas hancur kupu-kupu perak yang menempel erat di dada adiknya.
Dalam keadaan setengah sadar di mana tubuhnya sendiri mulai bengkak menggembung
di sana-sini, Ragil Pandara sempat melihat langkah nekad yang hendak diambil
saudara tuanya. Diapun melepaskan pukulan sambil berteriak. "Sudah kukatakan,
jangan sentuh tubuhku. Cepat pergi tinggalkan tempat ini! Kabarkan tentang semua
yang terjadi di sini pada seluruh keluarga Raden Tua!" Seiring dengan
terdengarnya suara teriakan sang adik, detik itu pula segulung angin keras
menderu dan melabrak Barep Pandara hingga membuat tubuh si pemuda yang tak
menyangka mendapat serangan jadi terpental. Dia jatuh
terhempas melabrak pintu depan. Pada saat Barep Pandara hendak bangkit berdiri,
detik itu pula sekujur tubuh Ragil Pandara yang telah menggembung bengkak secara
aneh langsung meledak di sana-sini. Daging halus seperti dicacah, potongan
tulang, kepala dan darah bermentalan ke berbagai sudut ruangan.
"Adikku... huk... huk... huk...!"
seru Barep Pandara dengan mata terbelalak lebar dan tubuh menggigil melihat
semua keganjilan yang terjadi. Dia ingin sekali mendekati kepingan tubuh
adiknya. Tapi pada saat itu pula dari kepingan daging serta darah yang
berserakan di lantai tanah dia melihat mahluk-mahluk putih beterbangan. Mahluk
kecil yang beterbangan itu ternyata bukan lain adalah kupu-kupu perak.
"Celaka! Bagaimana binatang keparat itu dapat berkembang biak hanya dalam waktu
yang singkat"!" desis si pemuda.
Dia pun tak dapat berpikir lebih jauh tentang segala perubahan sekaligus
keanehan yang terjadi di depan matanya karena saat itu dia melihat puluhan kupukupu perak yang beterbangan di atas kepingan mayat adiknya seperti mendapat
perintah langsung menyerbu ke arahnya.
"Adik... adik... maafkan aku! Aku terpaksa meninggalkan dirimu dan Raden Tua
berdua di sini." ujar Barep Pandara
dengan perasaan pilu dan rasa bingung yang tiada terkira.
Laksana kilat Barep Pandara
bergulingan ke arah pintu. Pintu cepat dibuka, dia lalu menyelinap keluar.
Setelah menutupkan pintu itu kembali. Dia pun lari menghambur menuruni puncak
gunung Wilis. Saat itu hujan sudah mulai reda, namun kabut tebal masih
menyelimuti puncak Wilis sampai ke bagian lerengnya.
Barep Pandara sama sekali tak
mempedulikan semua itu. Dia terus saja berlari sampai akhirnya sosok si pemuda
lenyap ditelan kepekatan kabut yang menyelimuti suasana di sekeliling puncak
gunung itu. Sementara di dalam pondok di mana mayat Raden Tua dan kepingan mayat Ragil
Pandara berada, puluhan kupu-kupu perak yang berkembang biak secara aneh itu
nampak berusaha menerobos keluar. Kawanan kupu-kupu aneh ini bahkan menyerbu
pintu sambil semburkan cairan biru dari balik mulutnya. Setiap semburan membuat
papan pintu seperti hangus nyaris menimbulkan lubang besar, namun pada saat itu
pula terdengar suara seseorang yang seakan diucapkan dari sebuah tempat yang
teramat jauh. "Jangan dikejar! Apapun yang hendak dilakukannya dia tidak begitu berarti
bagiku. Sekarang sebaiknya kau bawa
teman-temanmu pulang, datang ke tempatku.
Hidangan yang nikmat telah kusediakan untuk kalian. Ha... ha... ha!" kata suara
itu. Puluhan kupu-kupu terbang meninggalkan pintu, terbang berputar di langitlangit rumah. Plaash! Puluhan kupu-kupu perak ini akhirnya lenyap menjadi
setitik kabut yang tak meninggalkan bekas sama sekali.
2 DI tepi muara sungai Lanang yang
menghadap langsung ke laut Kidul hampir setiap hari selalu terdengar suara orang
melantunkan senandung yang meratapi nasib dan membuat haru bagi orang yang
mendengarkannya. Di muara sungai yang banyak ditumbuhi pohon-pohon bakau banyak
dihuni oleh kawanan kelelawar. Tak heran bila hampir setiap menjelang pagi atau
setelah matahari terbenam, daerah itu selalu diwarnai oleh suara hiruk pikuk
kelelawar. Siang itu terik matahari terasa
menggarang batok kepala. Deburan ombak di pantai laut kidul terdengar sayupsayup di kejauhan. Tak jauh dari muara sungai seorang kakek tua berbadan gemuk
besar luar biasa berwajah bulat berkening lebar duduk seenaknya di atas cabang
pohon cepluk yang sedang berbuah lebat. Sambil
duduk mulutnya terus mengunyah, sesekali terdengar pula suara menyiplak disertai
seringai pertanda buah cepluk yang dimakannya walau berwarna merah, segar namun
asam bukan main. Melihat besarnya badan si kakek dengan berat lebih dari dua
ratus kati, seharusnya cabang pohon itu sudah patah sejak tadi. Tapi ternyata
tidak, cabang pohon yang sekecil itu jangankan patah, bergoyangpun tidak. Ini
merupakan pertanda bahwa si kakek gendut besar memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa.
"Kau tak suka buah cepluk ini, Gege?" berucap si kakek yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa.
Pemuda yang duduk di cabang pohon di atas si kakek menyeringai. Sama seperti si
kakek sikapnya acuh tak acuh.
Sekali dia melirik ke bawah di mana Gentong Ketawa duduk sambil menikmati buah
cepluk, setelah itu dia kembali memandang ke hamparan laut yang membiru di
depannya. "Aku tidak akan heran kau
mengatakan buah itu manis. Orang
sepertimu apa saja dicaplok, karena pada dasarnya kau memang manusia rakus.
Ha... ha... ha!" sahut si pemuda disertai tawa tergelak-gelak.
Di cabang pohon bawah Gentong
Ketawa ikutan tertawa, perut gendutnya
bergoyang-goyang. Sambil tertawa dengan gerakan secepat kilat tangannya
berkelebat ke atas. Wuuut! Satu buah cepluk melesat laksana kilat ke mulut si
pemuda yang bukan lain adalah Gento Guyon. Terdengar suara orang seperti
tersedak makanan. Tawa si pemuda lenyap, matanya mendelik sedangkan tangan kanan


Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini sibuk memijit-mijit bagian
tenggorokannya. Melihat muridnya tidak ubahnya seperti ayam tertelan karet, tawa
si kakek semakin bertambah keras hingga pohon cepluk yang didudukinya ikut pula
terguncang keras.
"Ha... ha... ha! Dasar serakah, pura-pura malu padahal mau. Kalau mau makan
harus dikunyah dulu, jangan langsung ditelan. Sekarang kau jadi kelolodan,
tersedak. Bocah goblok....
Ha... ha... ha...!" kata si kakek sambil memegangi perutnya
Di cabang pohon atas Gento Guyon
dengan muka merah dan mata berair terpaksa pukul bagian belakang lehernya
sendiri, hingga buah cepluk meloncat keluar dari dalam tenggorokannya. Dengan
perasaan kesal dia sambar buah cepluk yang masih hijau.
Wuut! Belasan buah yang masih muda
berhamburan melesat ke arah si kakek yang sedang tertawa. Tiga di antara buah
itu masuk ke dalam mulutnya. Dua lagi menghantam kening si kakek yang lebar, satu
menyentil tenggorokan dan yang lainnya jatuh di atas perut Gentong Ketawa. Buah
yang masuk ke dalam mulut langsung tertelan, amblas ke dalam perut akibat
sentilan buah di bagian leher.
Sedangkan kening kakek Gentong Ketawa nampak benjol di tiga bagian berbentuk
segitiga. Seakan tak percaya Gentong Ketawa mengusap keningnya. Tawa terhenti
sedangkan mata mendelik besar.
"Guru, kau sedang mabok atau apa"
Makan buah saja bisa ngawur begitu.
Biasanya orang makan dimasukkan ke mulut, bukan dibenturkan ke jidat, leher atau
perut. Rupanya kau tak puas memakan yang masak, hingga yang masih hijau pun guru
telan. Dasar orang tua pikun. Ha... ha...
ha!" kata Gento disertai tawa mengekeh.
Merasa kesal melihat ulah Gento
yang konyol, si kakek sejenak jadi lupa kalau pemuda itu adalah muridnya
sendiri. Enak saja tangan kanannya dihantamkan ke cabang pohon di atasnya. Seketika itu
juga dari telapak tangan Gentong Ketawa menderu serangkum angin dingin yang
langsung menghantam pohon di mana Gento berada. Cabang pohon rambas seperti
dipulas angin ribut. Tapi sesaat sebelum itu Gento Guyon sudah melesat ke udara,
berjumpalitan tiga kali, kemudian
tubuhnya meluncur ke tempat semula. Tapi dia jadi terkejut begitu menyadari
cabang pohon yang hendak ditujunya rambas gundul. Takut tubuhnya jatuh terhempas
dari atas ketinggian, tanpa pikir panjang lagi dengan menggunakan sebagian
tenaga luncuran dia berkelebat dan bergerak ke arah gurunya.
Bluk! Tanpa terduga oleh Gentong
Ketawa gerakan terakhir yang dilakukan muridnya membuat pemuda itu dapat
merangkul kedua bahu si kakek, hingga keadaannya seperti anak kecil yang
digendong di bagian punggung.
"Bocah geblek! Apa-apaan kau...!"
damprat Gentong Ketawa sambil mengibaskan bahunya agar tangan Gento terlepas.
"Ha... ha... ha. Asiiik... sudah digendong diayun lagi." kata si pemuda sambil
tertawa-tawa. "Kurang ajar. Kau benar-benar tak punya aturan sama sekali!" dengus si kakek.
Kali ini dia menggerakkan tubuhnya lebih keras.
"Hei, cabang pohon ini bisa patah!"
seru si pemuda.
"Biar, biar saja patah, nanti kita jatuh bersama-sama." dengus Gentong Ketawa
cemberut. Kraaak! "Tuh kan, patah juga akhirnya!"
celetuk si pemuda. Tubuh mereka pun
akhirnya meluncur deras bersama patahan cabang pohon. Selagi kedua sosok tubuh
ini meluncur deras ke bawah, murid dan guru masing-masing cari selamat. Sehingga
mereka jatuh dengan kaki menjejak ke tanah.
"Murid sinting. Kau selalu
membuatku kesal Gege!" teriak gurunya. Si pemuda tampan berambut gondrong
bertelanjang dada hendak menyahuti. Tapi mulutnya yang sudah membuka mendadak
terkatup kembali karena pada saat yang bersamaan dari arah muara sungai Lanang
terdengar suara sayup-sayup seseorang.
"Di muara sungai Lanang aku
dibesarkan, di dalam bebas tidak bertuan.
Di sini aku jauh dari bapak ibu moyangku.
Aku berada di tengah suara cericit mahluk hitam kawanku. Tidurku berselimut
dingin-nya malam. Aku makan dari belas kasihnya hewan. Tanah moyangku jauh dari
impian. Tapi aku rindu ingin pulang ke haribaan ayah. Kadang rinduku ingin kembali dalam
pelukan ibu. Sayang langkah terhalang oleh cacat celak laknat. Tuhan... oh
Tuhan. Namamu selalu kuagungkan, namun mengapa nasib tak berpihak padaku" Kutahu
ibuku telah berpulang. Tapi mengapa seorang ayah begitu tega mencampakkan daku
dari kehidupannya" Ohh... malang sungguh malang. Aku ingin menangis.
Huk... huk... huk!"
Suara yang terdengar mendadak
lenyap. Murid dan guru saling berpan-dangan. "Aneh...!" desis Gentong Ketawa.
"Di tempat sesepi ini ternyata masih ada kehidupan juga. Entah buat siapa dia
bicara. Tapi apa yang diucapkannya sungguh mengharukan menusuk kalbu."
"Mungkin itu suara jin laut, atau bisa jadi suara hantu penunggu muara.
Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. Aku takut guru kesurupan dan ikutan
bicara ngaco seperti suara yang kita dengar itu!" kata si pemuda. Gentong Ketawa
gelengkan kepala.
"Tidak begitu Gege. Aku yakin yang bicara tadi adalah manusia. Pasti ada sesuatu
yang membuat perasaannya tertekan dan hati tersiksa. Aku ingin tahu siapa dia
adanya." tegas si kakek.
"Guru jangan nekad. Siapa tahu dia bermaksud menjebak kita," Gento Guyon tampak
meragu. Gentong Ketawa keluarkan suara tawa bergelak. Dia berpikir sejenak
lamanya. Menurut pendapat si kakek mustahil pemilik suara tadi menjebak mereka,
karena ucapan orang itu nampaknya ditujukan pada dirinya sendiri.
"Aku harus ke sana!" pada akhirnya si kakek memutuskan.
"Guru...!" Gento berseru. Sejenak lamanya dia berdiri tegak dalam
kebimbangan. Tapi setelah gurunya tak
terlihat lagi dari pandangan mata, si pemuda lalu segera menyusulnya. "Dasar
gendut keras kepala. Kalau sudah katanya tetap tak mau dibantah." rutuk si
pemuda. Di muara sungai Lanang yang cukup dalam dan berair keruh begitu banyak ikan yang
hidup di situ. Hampir setiap saat permukaan air berombak karena berbagai jenis
ikan terus bermain menyambar apa saja yang mengambang di atas air.
Di balik tikungan muara, di atas
salah satu pohon bakau, sosok tubuh mendekam di situ. Sosok berpakaian hitam
rombeng ini masih sangat muda. Wajahnya dipenuhi totol-totol hitam, mulutnya
lancip seperti mulut kera, sedangkan hidung rata seperti hidung monyet. Di
bagian leher si pemuda terdapat benjolan besar seperti gondok. Sedangkan
punggungnya bongkok, sehingga badan terkesan tertarik ke belakang. Selain cacat
pada bagian wajah dan badan, ternyata tangan pemuda itu juga dalam keadaan
cacat. Bagian tangan tidak tumbuh normal.
Melainkan kecil seperti tangan bayi yang baru terlahir sedangkan panjangnya
setengah dari panjang tangan orang dewasa. Walau kedua tangan cacat dan tidak
berfungsi sama sekali. Tapi sosok pemuda yang memiliki banyak cacat itu memiliki
dua kaki sempurna sebagaimana layaknya manusia lain. Ketika itu salah
satu kaki si pemuda masuk ke dalam air.
Hanya beberapa saat kaki terangkat ke atas.
Wuut! Pluk! Pluk!
Beberapa ekor ikan air payau
berlesatan di udara. Si pemuda buka mulutnya lebar-lebar sambil menyendok.
Glek! Glek! Ikan yang berhasil ditangkap dengan cara yang aneh ini dalam keadaan hidup
langsung amblas ke dalam mulut si pemuda cacat. Di balik tonjolan akar pohon
bakau si kakek yang melihat pemandangan ini mendadak merasa perutnya menjadi
mual. "Hoeek...hueek...!"
Buah cepluk berhamburan keluar dari mulut Gentong Ketawa. Gento yang baru saja
sampai di tempat itu jadi kaget.
"Guru, kau kenapa" He... he... he.
Aku tahu kau pasti terlalu banyak makan buah cepluk. Perutmu mulas, perutmu
sakit. Rasakan sendiri...!" kata si pemuda. Karena masih muntah, Gentong Ketawa
hanya dapat menunjuk-nunjuk ke arah mana tadi dia melihat pemuda aneh mengail
ikan dengan kakinya.
Gento langsung memandang ke arah
yang dimaksudkan gurunya. Tapi dia tidak melihat apapun di sana terkecuali
puluhan kelelawar yang bergelantungan memenuhi cabang pohon.
"Cuma kelelawar, cuma bapak kampret
buat apa ditakuti." sergah Gento.
"Kadal buntung, pentang matamu baik-baik. Kau lihat pemuda di atas pohon bakau
itu?" sambil berkata si kakek layangkan pandangannya ke arah semula. Si orang
tua jadi melengak kaget karena pemuda yang dilihatnya tadi ternyata lenyap dari
pandangan mata, "Eeh, ke mana dia?" desis Gentong Ketawa heran.
"Ha... ha... ha. Sudah kukatakan buah yang kau makan sangat memabukkan.
Sekarang semuanya terbukti bukan" Kau mabuk sungguhan!" kata si pemuda sambil
cibirkan bibirnya.
"Aku tidak mabuk. Aku melihat pemuda cacat itu, dia memancing dengan kakinya.
Memakan hasil kailan nya hidup-hidup. Sungguh aneh mengherankan." desis kakek
itu sambil melempar pandang ke segenap penjuru sudut pohon.
"Nah ketahuan sudah, bicaramu ngaco kau mabuk berat guru." dengus Gento Guyon
tetap tak percaya.
3 Mendengar ucapan muridnya si kakek terkesan tak perduli. Mata sipitnya terus
saja jelalatan memandang ke arah mana tadi dia melihat pemuda bungkuk bermulut
lancip, berhidung pesek, muka bertotol hitam.
"Itu dia...!" berseru si kakek begitu melihat pemuda tadi julurkan kepala
mengintip dari balik pohon. Seruan si kakek membuat si pemuda tarik wajahnya ke
belakang, hingga ketika Gento memandang ke arah itu dia tak melihat apa-apa.
"Guru... kau sengaja hendak
mempermainkan diriku?" gerutu si pemuda.
"Sialan, aku tak pernah
mempermainkan dirimu, ngibul sedikit tak jadi apa. Tapi kali ini aku bicara
serius. Kalau kau tak percaya cepat periksakan dari arah depan, biar aku dari
arah belakang." berkata begitu tubuh tambun gemuk luar biasa segera
berkelebat, lenyap di antara celah kerapatan pohon bakau.
"Hem, agaknya guru memang tidak main-main dengan ucapannya. Biarlah aku yang
akan melihat dari arah depan sini,"
Gento Guyon akhirnya memutuskan. Pemuda ini kemudian melompati akar-akar bakau
yang bersembulan di permukaan tanah.
Belum lagi pemuda ini sampai di tempat gurunya melihat pemuda aneh tadi.
Mendadak sontak terdengar suara pekikan aneh disertai dengan menderunya sinar
hitam yang langsung menghantam Gento Guyon.
"Kampret. Belum sempat bertegur sapa malah disambut dengan pukulan maut begini
rupa!" damprat si pemuda. Dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dia melesat ke salah satu cabang pohon
yang terdapat di sebelahnya. Di belakangnya, di bawah sana terdengar suara
ledakan berdentum. Beberapa pohon bakau bertumbangan menimbulkan suara gemuruh
hingga membuat kelelawar yang tinggal di situ beterbangan tak tentu arah.
Sementara dari arah belakang di mana gurunya menyelidik juga terdengar suara
orang mengumpat.
"Majikan pemilik muara, kami datang dengan membawa maksud baik. Jangan serang
kami. Aih... tega juga kau memukul kakekmu ini!" pekik si kakek gendut. Sama
seperti muridnya, laksana kilat dia langsung berlindung di balik kerapatan pohon
cari selamat. Ledakan keras kembali terdengar beberapa pohon besar
bertumbangan. Satu sosok tubuh berpakaian serba hitam berkelebat laksana kilat
meninggalkan tempat persembunyiannya.
Karena sosok aneh itu melesat melewati kepala Gento, maka pemuda ini mendongak
ke atas. Dia tercengang dengan mata terbelalak. Walau sekilas namun dia sempat
melihat sosok yang melintas di atas kepalanya tadi.
"Orang itu menanggung kutuk atau dosa apa hingga keadaannya begitu menyedihkan?"
batin si pemuda. Belum juga hilang rasa kagetnya dari arah yang sama
mengejar sosok tinggi tambun besar bukan main sambil tertawa tergelak-gelak.
"Kejar anak kampret itu jangan sampai lolos!" seru si kakek.
Gento yang merasa dilewati untuk
yang kedua kalinya merutuk habis-habisan.
"Yang tua saja tak tahu peradatan apalagi cuma sekedar anak kampret. Monyet
betul!" Berkata begitu si pemuda segera menyusul gurunya. Sampai di satu tempat di luar
daerah muara sungai Lanang orang yang dikejar gurunya mendadak hentikan langkah
dan langsung membalikkan tubuh menghadap langsung ke arah si kakek. Memandang
pada Gentong Ketawa sejenak dan juga Gento Guyon yang datang kemudian, agaknya
pemuda ini segera menyadari kalau sebenarnya mereka bukanlah orang jahat.
Sehingga ketegangan yang menyelimuti wajahnya secara perlahan lenyap.
"Agaknya di dunia ini sudah tidak ada tempat yang aman bagi si buruk rupa
begini. Sejak kecil aku diasingkan, lalu diburu seperti kelinci. Wahai orang
berbudi, kalau boleh aku meminta
hendaknya kau membunuhku saat ini juga!"
berkata pemuda bongkok muka bertotol hitam itu. Suaranya pelan, bergetar dan
terkesan putus asa. Gento dan gurunya diam-diam merasa kaget. Tanpa sadar mereka
saling melempar pandang.
"Satu lagi permintaan yang dilaknat
Gusti Allah kudengar hari ini." kata si kakek berbisik.
"Mungkin dia mengira kau malaikat pencabut nyawa, hingga begitu melihatmu dia
langsung merindukan kematian."
menyahuti Gento Guyon dengan berbisik pula.
Gentong Ketawa sunggingkan seulas senyum. Dia tidak menanggapi ucapan muridnya.
Sebaliknya sekarang dia melangkah maju mendekati pemuda bungkuk dengan cacat
tubuh mengenaskan itu. Walau sadar pemuda itu telah melepaskan pukulan ke
arahnya tadi, namun begitu melihat sikap
serta keadaan si pemuda yang
mengenaskan dengan suara perlahan Gentong Ketawa ajukan pertanyaan. "Anak muda
siapa dirimu" Gerangan apa yang membuatmu merasa berputus asa hilang harapan?"
Pemuda yang ditanya tidak langsung menjawab, melainkan menangis terguguk seperti
orang yang baru saja ditinggal mati orang yang dikasihinya. Si kakek gendut
besar jadi serba salah dan usap-usap keningnya yang lebar.
Sebaliknya Gento Guyon jadi tidak sabar. "Sampai kapan kita harus menunggu dia
berhenti menangis. Aneh... sungguh sebaiknya guru cari tahu apa yang membuatnya
menangis?"
Sambil tersenyum si kakek anggukkan kepala. Dia baru saja hendak mengatakan
sesuatu ketika pemuda itu hentikan tangisnya. Sejenak si pemuda menyeka air mata
dengan punggung tangan, lalu duduk ngejelepok di atas tanah di bawah kerindangan
pohon. Melihat apa yang dilakukan si pemuda maka si kakek juga ikut melakukan
hal yang sama. "Kakek, diriku yang buruk ini bernama Siwarana Sala Anuna." berkata si pemuda
memperkenalkan diri.
Mendengar pemuda itu
sebutkan namanya, Gento tak dapat menahan tawa.
Sebaliknya Gentong Ketawa hanya senyum-senyum saja.
"Ha... ha... ha. Begitu banyak nama bagus di dunia ini. Mengapa kau mau diberi
nama seburuk itu. Memang anumu yang mana yang salah. Apakah letaknya yang
terbalik, miring atau agak ke samping." celetuk si pemuda masih saja tertawatawa. Ditanya seperti itu si pemuda
nampak bingung. "Aku tak tahu maksudmu!"
kata si pemuda.
"Dasar tolol, apa harus kubuka dulu pakaianku. Aku sih mau saja, tapi aku takut
si kakek gendut jadi ngiler. Karena kudengar anunya kakek itu disimpan di suatu
tempat dalam lubang es. Ha... ha...
ha!" ucapan Gento Guyon tentu merupakan satu banyolan belaka. Tapi hal ini
membuat Gentong Ketawa seperti kebakaran


Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jenggot. Dia mendelik, pipi menggembung sedangkan kedua tangannya dikepal.
"Murid sinting. Sekali lagi kau bicara seperti itu kubetot lidahmu!"
rutuk si kakek sambil bersungut-sungut.
Siwarana Sala Anuna akhirnya jadi melongo begitu mengerti arti ucapan si pemuda.
Dengan muka masam dia menjawab.
"Tidak, anuku tidak ada yang salah.
Semuanya normal saja tanpa kekurangan suatu apa."
"Hmm, begitu. Lalu apa yang
membuatmu ingin mengakhiri hidup dengan cara menyedihkan seperti itu?" tanya si
pemuda dengan mimik bersungguh-sungguh.
"Sulit aku mengatakannya pada kalian. Sejak kecil aku diasingkan oleh ayahku di
tempat ini. Konon karena di dalam diriku tersimpan suatu rahasia yang amat
penting bagi keselamatan harta pusaka milik keluarga. Tapi kemudian aku merasa
tertipu, karena kemudian tanda atau rahasia apapun di tubuhku selain cacat cela
yang kalian lihat ini. Aku merasa mungkin ayahku merasa malu punya anak cacat
seperti diriku ini." kata si pemuda sambil tundukkan wajahnya.
"Siapa ayahmu?" tanya Gentong Ketawa sekedar ingin tahu.
"Ayahku adalah Raden Ponco Sugiri, hartawan terpandang di Wonogiri.
Sedangkan ibuku sudah meninggal ketika
melahirkan aku."
"Rupanya kau putra seorang Raden?"
berkata begitu Gento berputar mengelilingi si pemuda, sepasang matanya berkedapkedip mengawasi sampai akhirnya dia tertawa sendiri. "Bicara terus terang
sebenarnya kau tak pantas menjadi anak seorang raden. Pantasnya jadi anak kere.
Tapi dasar nasibmu apes, ternyata kau tetap jadi kere juga. Ha... ha... ha!"
"Gege kau jaga mulutmu!" hardik Gentong Ketawa. Si pemuda langsung terdiam dan
pura-pura memandang ke jurusan lain. Selanjutnya si kakek beralih pada Siwarana
Sala Anuna. "Ternyata hidupmu tak putus dirundung malang. Aku turut prihatin mendengarnya.
Tapi... percayalah kau tidak boleh berprasangka seburuk itu. Aku yakin ayahmu
pasti mempunyai maksud-maksud tertentu hingga membawamu ke tempat ini."
kata Gentong Ketawa.
"Kalau benar dugaanmu orang tua, tentu dia tidak akan membuatku sengsara seperti
ini. Sekali dia datang ke tempat ini, lalu tak pernah muncul kembali.
Apakah ini yang namanya baik?" dengus si pemuda sinis.
Si kakek tersenyum. "Kau tadi mengatakan ayahmu menyimpan suatu rahasia dalam
dirimu. Mungkin satu rahasia besar, kalau boleh aku memeriksanya!" ujar si
kakek. "Apa... apa maksudmu kakek tua" Kau menyuruhku telanjang?" desis Siwarana Sala
Anuna kaget dan berjingkrak mundur.
Belum sempat si kakek menjawab,
Gento Guyon sudah nyeletuk. "Guruku tidak menyuruhmu bugil seutuhnya. Lagipula
siapa yang mau melihat" Kami tidak punya kelainan. Lagipula kujamin anumu tidak
bagus, mungkin bulukan dan bengkok serta ada kutilnya. Guruku hanya ingin kau
menanggalkan baju!"
Mendengar ucapan Gento yang
seenaknya, wajah pemuda bongkok berubah merah. Tapi walaupun merasa geram
Siwarana Sala Anuna tidak mengambil tindakan apapun. Dia maklum kakek dan pemuda
itu pasti bukan manusia sembarangan. Walau terkadang bicara mereka terkesan
ngaco seperti orang-orang yang kurang waras. Di samping itu juga dalam hati
pemuda ini berharap agar kedua manusia aneh ini bersedia membantunya dalam
mengungkapkan semua misteri yang tersimpan dalam dirinya.
"Baik, sekarang kubuka baju butut ini. Silakan kalian lihat!" kata si pemuda.
Tanpa menunggu lama si pemuda buka bajunya. Gentong Ketawa segera meneliti
punggung Siwarana. Tapi dia tak menemukan tanda atau apapun terkecuali tulangtulang yang menonjol, dua bahu
yang tipis memipih mengundang rasa iba.
"Bagaimana guru?" tanya Gento sambil datang menghampiri.
"Aku tak menemukan tanda apapun!"
"Terang saja, matamu belekan begitu jadi pandanganmu lamur." dengus si pemuda.
Si kakek hanya menulikan telinga mendengar ucapan muridnya. Saat itu si pemuda
sudah meneliti sekujur tubuh Siwarana. Sama seperti gurunya dia juga tak
menemukan petunjuk apapun.
"Agaknya mataku ikut belekan juga guru. Sayang sekali aku hanya melihat punggung
unta." kata Gento.
"Kunyuk, kuharap kau bisa menjaga mulutmu. Jika tidak aku bisa
menghajarmu!" hardik Siwarana merasa tersinggung.
"Sialan, besar juga ambeknya kodok buduk ini!" gerutu si pemuda dalam hati.
Siwarana merapikan pakaiannya lagi. Dia lalu menoleh, memandang ke arah Gentong
Ketawa dengan tatapan tajam menusuk.
"Rahasia itu tidak terlihat.
Cobalah kau ingat, mungkin ada petunjuk lain?"
"Petunjuk apa. Di mataku semua keluargaku turunan ayah seperti hidup dalam
selubung misteri. Seperti ayahku yang buntung tangan dan kakinya. Kemudian aku
juga tak tahu di mana ketiga
saudaraku yang lain. Ayah sendiri sejak
lama telah meninggalkan Wonogiri. Entah mengapa kini beliau mengasingkan diri di
gunung Wilis."
"Ini suatu cerita yang menarik.
Tapi selain itu apalagi keluhanmu yang lain?" tanya Gento Guyon ikut menanggapi.
"Beberapa malam ini aku merasa ada orang yang mendatangi muara sungai Lanang.
Aku tak tahu apa yang dicarinya.
Namun aku merasa keselamatanku sedang berada dalam incaran bahaya maut."
menerangkan Siwarana Sala Anuna.
"Orang yang mendatangi tempat tinggalmu laki-laki atau perempuan?"
tanya Gentong Ketawa.
"Aku tak tahu. Saat itu malam gelap, mereka semua memakai kerudung."
"Mereka" Berarti orang itu tidak seorang diri?"
"Benar, mereka datang berdua."
jawab si pemuda.
"Apa mungkin mereka menginginkan dirimu?" tanya Gento lagi.
"Bisa jadi begitu. Tapi untuk lebih jelasnya harus ada yang pergi ke gunung
Wilis. Di sana tentu ayahku bisa
memberikan jawaban."
"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Gentong Ketawa.
"Andai saja kau bisa menolong dan melindungiku, orang tua. Tentu budimu tak
kulupakan."
Murid dan guru sama terdiam,
Gentong Ketawa berpikir keras. Jika benar apa yang dikatakan Siwarana, rasanya
lebih baik dia mengutus Gento muridnya untuk pergi ke gunung Wilis. Sementara
dia sendiri bisa menemani pemuda banyak cacat itu di muara kali Lanang.
"Guru, bagaimana andai aku saja yang pergi ke gunung Wilis?"
Si kakek tersenyum. "Aku baru saja hendak berkata begitu. Jika kau pergi kau
harus berhati-hati." pesan Gentong Ketawa. Dia lalu menoleh pada Siwarana.
Pada pemuda itu dia bertanya. "Siapa yang harus ditemui oleh muridku?"
"Ayahku, Raden Ponco Sugiri biasa dipanggil dengan Raden Tua. Jika ayah tak ada.
Orang lain yang bisa ditemu adalah Barep Pandara atau adik kembarnya Ragil
Pandara. Mereka yang menjaga ayahku selama ini." ujar si pemuda.
"Guru, kalau begitu aku berangkat sekarang. Tidak sampai dua pekan di depan jika
tidak ada halangan aku pasti sampai ke sini lagi."
"Jangan," sergah Siwarana. "Tak jauh dari Ponorogo persis di sebelah timur
terdapat sebuah gunung. Kalau tak salah namanya gunung Liman. Dulu ayahku sering
menyebut nama itu. Kurasa di tempat itu kita bisa melakukan
pertemuan!"
"Ingat Gege. Seperti yang dikatakan Siwarana. Kita bertemu di sebelah barat
Ponorogo di kaki gunung Liman." Gentong Ketawa kembali menegaskan.
"Pasti kuingat. Bertemu di sebelah barat Ponorogo di kaki gunung Liman!"
celetuk si pemuda mengulangi ucapan gurunya. "Sekarang aku mohon pamit guru."
Gento menjura hormat. Setelah itu dia berkelebat pergi meninggalkan gurunya juga
Siwarana. 4 Hanya selang satu hari setelah
kedatangan Barep Pandara dan adik kembarnya. Di tempat kediaman
Danang Pattira muncul seorang gadis berwajah cantik jelita berpakaian sutera putih
ringkas, berambut panjang tergerai. Gadis itu menunggang seekor kuda berbulu
putih. Sedangkan di bagian punggungnya tergantung sebuah kantong perbekalan di mana
pada salah satu sisinya berhiaskan sulaman kupu-kupu putih dan biru.
Melihat gerak-geriknya setelah
turun dari kuda yang langsung menuju bagian pintu depan, jelas sudah kalau gadis
berwajah rupawan dengan dada padat menantang dan berpinggul bagus ini pastilah
dia merupakan sanak kerabat Danang Pattira yaitu salah satu anak
Raden Ponco Sugiri. Beberapa saat lamanya si gadis berdiri mematung di depan
pintu. Seakan ada keraguan merayapi hatinya ketika dia hendak mengetuk pintu di
depannya. Tapi sejenak kemudian jemari mungilnya bergerak, mengetuk
Tok! Tok! Suara ketukan pada pintu berlalu.
Si gadis menunggu dengan perasaan tidak sabar. Karena tidak ada suara sahutan,
maka si gadis bermaksud mengetuk untuk yang kedua kalinya. Pada saat itulah
lapat-lapat dia mendengar suara langkah kaki mendekat ke pintu dari bagian
dalam. Sebuah lubang kecil yang biasa
dipergunakan melihat tamu yang datang tersibak, satu mata mengintip dari bagian
dalam. Ada helaan nafas lega, selanjutnya pintu terkuak lebar. Satu sosok pemuda
gagah berpakaian biru berdiri tegak di sana. Wajahnya menyunggingkan seulas
senyum begitu melihat siapa yang datang.
Sebaliknya gadis jelita berkulit putih bersih itu nampak tertegun dengan kening
mengernyit dalam. Saat itu dia melihat wajah pemuda tampan yang berdiri
dihadapannya nampak pucat, tubuhnya berkeringat. Sedangkan tangannya sedikit
gemetar. "Adik Ambini. Ada kabar apa hingga kau datang ke sini?" tanya si pemuda.
Suaranya yang keras dan tegas menyadarkan
si gadis dari lamunannya. Ambini sempat tersipu. Senyum merekah di sudut
bibirnya yang kemerahan tanpa polesan pewarna.
Hingga membuat terpesona bagi siapapun yang memandangnya.
"Kakang Danang Pattira Sena."
berucap Ambini menyebut nama lengkap pemuda di hadapannya. "Entah mengapa hatiku
tergerak untuk menyambangimu ke sini. Lagipula aku sudah sangat lama tak pernah
melihat keindahan kota Wonogiri di malam hari."
"Kau benar. Mari masuk!" berkata begitu si pemuda melangkah masuk ke bagian
ruangan tamu. Ambini mengikuti sang kakak tak jauh di belakang. Mereka duduk di
atas permadani merah yang terbuat dari anyaman bulu domba. Sekilas Ambini
layangkan pandang ke segenap penjuru ruangan. Suasana di dalam ruangan itu masih
tetap seperti dulu. Beberapa jenis senjata yang terdiri dari tombak, pedang dan
ruyung masih terpajang di pojok kiri ruangan. Lukisan gunung gersang yang
dilukis di atas pelepah nipa juga masih dipajang di dinding ruangan dalam.
Selain itu beberapa ekor harimau yang diawetkan tetap dibiarkan berada di tengah
ruangan tamu. Tidak ada yang berubah setelah sepuluh tahun terpisah.
Yang berubah adalah tentang keluarganya yang tercerai berai sejak badai topan
dan gempa bumi memporak-porandakan
daerah Wonogiri dan sekitarnya.
"Adikku apa yang kau pikirkan?"
tanya Danang Pattira dengan tiba-tiba.
"Eeh... tidak. Aku heran mengapa wajah kakang seperti itu" Apakah kakang sakit?"
tanya si gadis mencoba menutupi galau perasaannya sendiri.
"Eeh, tidak. Wajahku memang nampak pucat, karena aku baru saja melatih ilmu
silat. Semuanya masih dalam tahap belajar, jadi terkadang selalu
bersalahan!" kata si pemuda beralasan.
Mendengar ucapan Danang Pattira,
sedikit banyaknya Ambini jadi terheran-heran. Seingatnya dulu sang kakak adalah
pemuda yang sangat menyukai sastra, bukan berbagai macam ilmu silat.
"Kakang tidak salahkah
pendengaranku ini?" tanya si gadis dengan mulut ternganga. Danang Pattira
gelengkan kepala.
"Tidak! Kau tidak keliru mendengar dan aku mengucapkan sesuatu yang benar."
jawab si pemuda enteng.
"Bukankah dulu kau paling membenci ilmu silat?"
"Memang. Tapi sejak topan celaka itu memporak-porandakan kota ini. Dan ayah
kehilangan kaki serta tangan akibat dibuntungi oleh seseorang. Kini aku bertekad
untuk mencari siapa adanya orang
yang telah membuat cacat ayah kita serta mencuri peta rahasia penyimpanan harta
kekayaan milik keluarga kita." tegas si pemuda. Berkata begitu tatap mukanya
memancarkan kilatan cahaya aneh yang sulit ditebak. Ambini hela nafasnya yang
terasa menyesak.
"Kakang Pattira. Aku sendiri sejak ikut dengan guruku yang misterius itu sama
sekali tak tahu perkembangan yang terjadi dengan keluarga kita. Aku juga tak
tahu di mana beradanya kakang Aripraba. Sedangkan mengenai ayah, kabar yang
kudengar beliau saat ini
mengasingkan diri di gunung Wilis. Aku tak tahu maksud dari semua ini. Tapi di
luar semua yang kukatakan aku juga mendengar kabarnya kita mempunyai seorang
adik bungsu bernama Siwarana Sala Anuna."
Mendapat pertanyaan seperti itu
wajah Danang Pattira sempat berubah. Dia terdiam sejenak lamanya, tapi pada
akhirnya dia berkata. "Mengenai perihal ayah aku tak berani mengusik. Sejak
tangan dan kakinya dibuntungi oleh tokoh misterius itu, beliau lebih banyak
membisu. Terlebih-lebih bila aku
menanyakan tentang peta harta keluarga.
Biasanya ayah langsung mengusirku. Ayah seperti merahasiakan sesuatu dari kita.
Tapi biarlah, aku sendiri sudah tak pernah lagi melihat ayah di tempat
pengasingan." Ujar pemuda itu seakan mengadukan sikap ayahnya pada sang adik.
Setelah itu si pemuda kembali
melanjutkan. "Sedangkan mengenai adik Aripraba aku sendiri tak tahu di mana dia
gerangan. Lalu mengenai adik bungsu sial itu mana aku perduli di mana dia. Suatu
ketika tiba-tiba saja dia raib. Sudahlah, jangan bicarakan tentang dia aku
muak!!" Mendengar suara kakaknya yang agak meninggi tentu saja si gadis terkejut besar.
Bola matanya yang indah membulat besar, sedangkan kedua alisnya terangkat lebih
ke atas. "Kakang, apa maksudmu" Sungguh aku tidak mengerti mengapa kakang begitu membenci
adik bungsu Siwarana?" ujar si gadis.
"Kau dengar! Aku benci padanya bukan saja karena cacat yang dibawanya sejak
terlahir ke dunia ini. Aku benci karena melahirkan bocah menjijikkan itu ibu
kita meninggal. Selain itu setelah kelahirannya, Wonogiri yang tak pernah
dilanda musibah sepanjang masa, akhirnya berubah menjadi tempat terjadinya
malapetaka. Bukan rakyat biasa saja yang menjadi korban. Tapi ayah juga mendapat
serangan ganas dari seorang tokoh misterius, peta penyimpanan harta pusaka
lenyap. Engkau menghilang beberapa tahun setelah kehilangan kewarasan. Bersusah
payah aku yang selamat berusaha
mengumpulkan saudara yang tercerai-berai.
Tapi aku hanya bisa menemukan dirimu, adik Aripraba sendiri hingga sampai saat
ini tidak kuketahui apakah masih hidup atau sudah mati." kata si pemuda seakan
menyesalkan. "Sudahlah, mudah-mudahan dia selalu berada dalam lindungan Gusti Allah. Aku
sendiri jika guru memberi ijin padaku nantinya pasti akan mencari kakang
Aripraba." berkata Ambini. Mendengar ucapan adiknya, Danang Pattira Sena
tersentak tampak kaget. Entah mengapa si pemuda merasa ada sesuatu yang ganjil
terdapat dalam diri sang adik yang memiliki kecantikan luar biasa itu. Suatu
kelainan yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Lalu bila dia melirik ke
arah kantong perbekalan Ambini yang berhiaskan sulaman kupu-kupu putih dan biru
perasaan Danang Pattira semakin gelisah saja.
"Adik Ambini," ucap si pemuda
sambil mengusap wajahnya. "Kukira apa yang kau katakan itu benar. Untuk mencari
Aripraba jika kulakukan sendirian akan memakan waktu yang lama. Tapi jika kita
mencarinya bersama-sama dalam waktu singkat pasti kita dapat menemukannya."
Ambini gelengkan kepala. "Maksudmu kita harus pergi bersama-sama begitu?"


Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya si gadis. Danang Pattira anggukkan
kepala. "Tidak! Kita tetap mencarinya dengan cara kita masing-masing. Jika di
antara kita nantinya menemukan kakang Aripraba, maka dia harus kembali ke tempat
tinggalmu ini secepatnya!" Ambini menegaskan.
Mendengar penjelasan adiknya, dalam hati pemuda itu berkata. "Dia semakin aneh.
Gerak-gerik dan ucapannya
mengundang rasa curiga. Ambini tak mau berjalan berdua denganku, apakah ini
berarti dia merahasiakan sesuatu yang tak boleh kuketahui?" berpikir begitu si
pemuda lalu ajukan satu pertanyaan biasa tapi cukup mengejutkan buat Ambini.
"Adik, buat apa kita bersusah payah mencari Aripraba. Bukankah sejak ayah
mengasingkan diri di puncak Wilis tidak sebaiknya kita urusi persoalan hidup
kita masing-masing?"
"Semula aku juga berpendapat begitu. Tapi setelah kupikirkan cukup lama, aku
merasa ada sesuatu yang dirahasiakan oleh ayah. Aku ingin tahu semua ini.
Lagipula kakang Aripraba adalah anak terkasih ayah kita. Sejak badai topan
melanda Wonogiri, memporak-porandakan semua yang dimiliki keluarga kita. Kakang
Aripraba lenyap, peta rahasia tempat penyimpanan harta kekayaan keluarga kita
juga ikut raib. Mengingat kakang Aripraba merupakan anak yang
sangat dipercaya oleh ayah, aku menduga peta itu sekarang ada di tangannya."
jelas Ambini. "Bicara berbelit-belit, ternyata buntutnya pada peta harta juga. Rencana apa
sebenarnya yang ada dalam benak adikku ini?" batin Danang Pattira.
Mendadak dia ingat akan sesuatu hingga membuat tengkuknya menjadi dingin.
"Bagaimana pendapatmu kakang?"
tanya si gadis setelah melihat saudara tuanya hanya diam saja.
Danang Pattira menarik nafas
pendek. Sejenak tatap matanya menerawang memandangi langit-langit ruangan.
Setelah itu dia memperhatikan adiknya sekilas.
Setiap dia menatap wajah cantik jelita itu, entah mengapa dadanya berdebar
keras, sedangkan darah di tubuhnya berdesir, wajah menjadi panas. Danang Pattira
cepat tundukkan kepala. "Adik, aku tidak kemaruk dengan segala harta benda.
Kalau ayah bersikap pilih kasih pada anaknya aku juga tidak perduli.
Menurutku mencari tahu siapa adanya orang yang membuntungi kedua kaki dan tangan
ayah adalah penting. Dan ini yang harus segera kita lakukan!" tegas si pemuda.
Ambini tersenyum. "Dengan ilmu yang kau pelajari dari kitab-kitab butut itu kau
hendak mencari orang yang mencelakai ayah" Hi... hi... hi...!" ujar si gadis
disertai tawa meremehkan.
"Kenapa rupanya?" tanya sang kakak tanpa merasa tersinggung.
"Kakang, jika ayah yang memiliki kepandaian silat dan ilmu kesaktian yang cukup
tinggi saja tak mampu berbuat banyak bahkan tak sanggup mengenal orang yang
telah membuatnya cacat begitu rupa, apalagi engkau" Namun walau bagaimanapun aku
tentu tak bisa memaksamu. Kau boleh saja menunjukkan baktimu pada orang tua,
tapi aku sendiri harus mencari harta kekayaan keluarga yang disembunyikan ayah.
Untuk mendapatkannya kuncinya adalah peta rahasia itu."
Danang Pattira gelengkan kepala.
"Kemauanmu begitu besar adikku.
Jika turut kataku, sebaiknya kau tak usah berlelah diri mencari adik Aripraba
atau juga Siwarana. Kau tinggal saja di sini bersamaku. Rumah yang kubangun dari
sisa puing kejayaan keluarga ini sangat besar.
Sepi rasanya hidup seorang diri tanpa sanak tanpa kadang, tanpa saudara tanpa
keluarga."
Mendengar ucapan kakaknya Ambini
tersenyum tipis. Senyuman itu terasa mempesona, memikat. Tidak dibuat-buat tapi
menggoda setiap mata yang
melihatnya. "Kakang... mengapa kau tidak menikah saja, agar hidupmu tidak
kesepian. Lagipula ke mana para kekasihmu
itu?" Danang Pattira tersenyum. "Para kekasih"!" desis si pemuda sambil delikkan
matanya. "Kekasihku hanya satu, yaitu Arum Sapana. Saat ini kami belum lagi
terpikir untuk menikah, apalagi masing-masing sibuk dengan urusan sendiri.
Mungkin dua tahun mendatang aku, maksudku kami akan melaksanakan hajat kami!"
jelas si pemuda polos.
Si gadis tertawa renyah mendengar ucapan Danang Pattira. "Kuucapkan selamat.
Kelak aku pasti akan datang di saat kau melaksanakan perhelatan suci itu!"
selesai berkata Ambini bangkit berdiri. Dia menarik nafas hingga dadanya yang
membusung bergerak turun naik mendebarkan.
"Adik kau hendak ke mana?" bertanya sang kakak yang hampir tak pernah lepas
memperhatikan adiknya. Ambini merapikan anak rambut yang menutupi sebagian
wajah. "Aku sudah tegaskan tadi. Yang ingin kulakukan saat ini adalah mencari kakang
Aripraba. Syukur jika bertemu dengan adik kita yang malang Siwarana. Peta itu
sangat penting bagiku, daripada jatuh ke tangan orang lain, bukankah harta yang
disimpan ayah jatuh ke tangan kita sebagai anak-anaknya?"
"Kalau begitu mengapa kau tidak minta petunjuk ayah?" pancing Danang
Pattira. Mendapat pertanyaan seperti itu, wajah si gadis tidak menunjukkan
perubahan sama sekali.
Ambini tersenyum getir, tapi dia
tetap memberi jawaban. "Percuma minta petunjuk ayah. Dia pasti akan marah besar
bila aku menyinggung tentang peta dan juga harta yang disimpannya itu."
"Heh, terkadang aku juga merasa heran mengapa ayah bersikap pilih kasih terhadap
anak-anaknya. Atau jangan-jangan...!" Danang Pattira tiba-tiba katupkan mulut
tak jadi teruskan ucapan.
"Apa maksudmu kakang?" tanya Ambini heran.
"Tidak... tidak ada apapun!" sahut si pemuda dengan cepat.
"Dia jelas merahasiakan sesuatu dariku." membatin Ambini dalam hati sambil
melirik kakaknya berusaha membaca apa yang disembunyikan si pemuda.
Sebaliknya Danang Pattira dalam
hati juga membatin. "Mana mungkin aku berterus terang padanya. Walau dia adikku,
tapi dia besar di tangan orang lain bahkan seorang guru misterius pula.
Aku melihat di kantong perbelakalannya terdapat sulaman kupu-kupu. Menurut Barep
Pandara kupu-kupu maut perak salah satu yang telah menewaskan adiknya di puncak
gunung Wilis."
"Kakang kalau begitu aku mohon diri
dulu." Ambini berpamitan.
"Baiklah... hati-hati di jalan."
pesan Danang Pattira.
Si pemuda lalu mengantar adiknya
sampai di halaman depan. Ambini segera melompat ke atas kuda tunggangan. Sesaat
sebelum pergi meninggalkan Ambini masih sempat memperhatikan kakaknya dengan tatap matanya yang aneh.
Tapi semua ini tentu luput dari
perhatian Danang Pattira karena dia sendiri dengan tergesa-gesa segera masuk ke
dalam rumahnya. Masih dengan berdiri tegak sesampai di bagian dalam dia membuka
mulut. "Barep Pandara lekas ke mari!"
katanya memanggil satu nama.
Dari balik sebuah kamar muncul
seorang pemuda berpakaian kuning berwajah tampan. Dialah Barep Pandara. Dengan
terbungkuk-bungkuk pemuda itu menghampiri.
"Raden, apa yang dapat saya lakukan untuk Raden?" bertanya Barep Pandara dengan
suara perlahan, sopan.
"Dari balik kamar kau tentu melihat kantong perbekalan adikku"!" bertanya si
pemuda seakan ingin memastikan.
"Saya melihatnya Raden. Sebuah kantong dengan sulaman berupa kupu-kupu biru dan
putih warna perak. Mengenai kupu-kupu biru saya belum pernah
melihatnya sebelum ini. Tapi sulaman kupu-kupu putih, bentuknya sama persis
dengan kupu-kupu perak yang menyerang dan menghancurkan adik saya Ragil Pandara.
Apakah ini berarti ada kaitannya dengan kematian adik saya juga Raden Tua?"
"Sulit memastikan." sahut Danang Pattira setelah terdiam beberapa jenak lamanya.
"Tapi walau dia adik kandungku, kami terpisah selama belasan tahun. Siapa yang
mendidiknya aku pun tak tahu. Kurasa masih belum terlambat jika kau
mengikutinya."
"Saya Raden..."!" terkejut Barep Pandara mendengar keputusan pemuda itu.
Danang Pattira mengulum senyum,
tapi wajahnya masih membersitkan
kesedihan mendalam. Dengan suara perlahan dia berkata. "Aku merasa sedih
mengenang kematian ayah. Tapi akan lebih sedih lagi jika aku tak sanggup
menangkap pembunuh ayahku. Pergilah Barep, ikuti Ambini.
Dulu kewarasannya pernah terganggu setelah terbentur batu di bagian kepala.
Siapa tahu sekarang masih suka angot dan kambuh. Sehingga Ambini melakukan
perbuatan keji yang tidak disadarinya."
"Apa yang harus saya lakukan jika berhasil menyusulnya Raden?"
"Kau cukup mengikuti. Melihat apa saja yang dia lakukan termasuk juga mengingat
dengan siapa saja dia bertemu!"
pesan Danang Pattira.
"Baiklah, kalau Raden sudah berkata begitu. Saya akan berangkat sekarang juga."
ujar Barep Pandara. Ketika si pemuda hendak melangkah pergi mendadak Barep
Pandara hentikan langkah, dia berpaling sambil berkata. "Raden bolehkah saya
menunggang kuda?"
"Tidak! Kau harus puas dengan berjalan kaki saja. Perjalanan dengan berkuda akan
mengundang banyak rasa curiga." menerangkan Danang Pattira.
"Terima kasih atas petunjuk Raden."
ujar Barep Pandara. Tanpa pikir panjang dia pun melangkah pergi.
5 Ketika sampai di puncak gunung
Wilis, si gondrong tampan bertelanjang dada ini gelengkan kepala. Saat itu
puncak gunung Wilis terasa sepi, walau tak diselimuti kabut namun udara dingin
tetap terasa menusuk. Sejenak lamanya si pemuda kitarkan pandangan mata.
Mengamat-amati keadaan di sekelilingnya dia tak menemukan atau melihat apapun.
"Edan, tempat ini sesunyi kuburan.
Jangankan manusia sapi budek pun tak kutemui di sini." celetuk Gento Guyon
sambil meringis. Tiba-tiba si pemuda menepuk keningnya sendiri. "Ah, aku baru
ingat sekarang. Bagaimana jika pemuda banyak cacat itu menipuku" Aku dikadali,
lalu guruku dikerjainya" Bisa morat-marit perabotan kakek gendut itu dibuatnya."
Gento menyengir lalu berkelebat ke sebelah selatan puncak gunung. Sampai di
dekat kerimbunan pohon langkahnya terhenti. Dia melihat di balik lebatnya
pepohonan terdapat sebuah pondok yang agak tersembunyi. Jika mata kurang jeli
tentu pondok ini tak terlihat karena dindingnya tertutup reranting pohon yang
telah kering. "Agaknya tempat butut itu yang dimaksudkan Siwarana Sala Anuna." ketika berkata
begitu si pemuda meraba bagian bawah perut, kemudian senyumnya mengem-bang. "Aku
beruntung tak ada yang salah pada anuku. Tapi... rumah Raden mengapa begini
buruk, kandang ayam sekalipun masih lebih bagus. Si pemuda terdiam sejenak,
berpikir. Menurut pemuda banyak cacat di pondok itu dijaga oleh dua pemuda
kembar. Selain mereka Raden Tua juga berada di situ. Tapi mengapa dia tak
melihat siapapun. "Aku harus menyelidik ke dalam." Baru saja Gento hendak
melaksanakan niatnya mendadak sayup-sayup Gento mendengar suara isak tangis
seseorang. "Ada orang menangis" Siapa yang ditangisi?" batin si pemuda.
"Ayah... ayah, mengapa begini buruk akhir hidupmu" Siapa yang telah berlaku keji
terhadapmu?" kata satu suara dari dalam pondok di sela-sela isak tangis.
"Ayah..."!" gumam Gento. "Seorang abdi tak mungkin memanggil ayah pada
juragannya." Penasaran Gento melangkah lebih mendekat lagi ke pondok.
"Hu... hu... hu, ayah. Maafkan aku karena baru sekarang dapat menyambangimu.
Tapi mengapa harus berakhir begini. Siapa di luar!!" hardik suara yang sedang
menangis. Si pemuda melengak kaget. "Tikus buluk. Sedang asyiik menangis masih sempatnya
bertanya siapa di luar." gerutu si pemuda. Tanpa ragu lagi Gento Guyon langsung
menjawab. "Saya orang baik datang dari jauh."
Suara tangis terhenti, sepi
sejenak. Pintu depan pondok membuka
lebar, satu sosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berdiri tegak di depan
hidung Gento Guyon. Pemuda itu terkejut besar, walau kaget namun bibirnya tetap
tersenyum ramah. Melihat cara orang yang datang menghampirinya. Gento Guyon
maklum tentulah pemuda yang kini tegak di depannya bukan pemuda sembarangan.
Sedikitnya dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat luar biasa.
Sejenak lamanya Gento menatap
pemuda itu, memperhatikan pakaiannya yang putih bersih, wajah yang tampan serta
rambut panjangnya yang berminyak. Setelah membanding-bandingkan celananya
sendiri dengan pakaian orang, akhirnya Gento menjura hormat.
"Orang gagah senang aku bertemu denganmu. Siapakah dirimu" Apa yang membuatmu
menangis atau siapa yang kau tangisi?" Gento dengan sopan ajukan pertanyaan.
Si pemuda balas menatap, ada rasa curiga terpencar lewat tatap matanya yang
tenang namun tajam menusuk.
"Kau sendiri siapa" Mengapa
berkeliaran di daerah ini?"
"Oh, aku bukan orang liar. Aku datang ke mari atas permintaan seseorang.
Namaku Gento Guyon." polos si pemuda menjawab.
"Gento Guyon, manusia sinting yang akhir-akhir ini namanya tersebar ke seluruh
penjuru persilatan tanah Jawa.
Mana gurumu kakek edan yang bernama Gentong Ketawa itu?" dengus si pemuda.
Mendengar orang yang tak dikenal
mengetahui siapa dirinya bahkan diri sang guru, Gento pun tak mampu menutupi
rasa kagetnya. Tapi paling tidak dia merasa jengkel juga ketika gurunya
dikatakan edan oleh pemuda berbaju putih itu.
"Saudara, jika lagi sedih jangan
kau bawa-bawa guruku. Kalau aku sampai marah, aku bisa memperpanjang tangismu
sampai tujuh hari tujuh malam!" bentak si pemuda.
Pemuda di depannya tersenyum sinis.
"Kau tak tahu apa yang sedang kurasakan.
Sekarang pentang matamu, lihat baik-baik!" dengus si pemuda berpakaian putih
itu. Belum lagi Gento dapat memahami arah ucapannya. Mendadak pemuda itu memutar
tubuh, memunggungi Gento Guyon sedangkan kedua tangannya diarahkan lurus ke
bagian pondok. Sejenak lamanya bibir si pemuda berkemak-kemik, ketika dua tangan
didorong dan disentakkan ke udara, maka sekonyong-konyong pondok beratap ilalang
berdinding ranting melesat ke udara dalam keadaan utuh. Gento tercengang,
sedangkan pemuda itu menggerakkan kedua tangannya ke sebelah kiri ke arah
lapangan rumput.
Secara aneh pondok yang sudah mengapung di udara ikut pula bergerak searah
dengan gerakan tangan. Ketika pemuda baju putih menurunkan tangannya dengan
gerakan perlahan, pondok itu jatuh di atas lapangan rumput seperti diletakkan
dengan sangat hati-hati.
"Walah hebat. Belum pernah ku melihat tontonan gratis semenarik ini.
Bagus... bagus...!" Sambil bertepuk tangan Gento berseru memuji.
"Pemuda edan. Bukan pondok itu yang
harus kau lihat. Buka matamu lihat ke lantai pondok itu!" kata si pemuda sambil
menunjuk ke lantai pondok.
Gento alihkan perhatiannya ke arah yang ditunjuk si baju putih. Mata murid kakek
kocak Gentong Ketawa terbelalak lebar. "Mustahil, sulit kupercaya!" desis si
pemuda kaget. Dia melangkah mendekati sosok yang tergeletak di lantai dari
pondok yang telah dipindahkan. Semakin dekat semakin jelas dia melihat satu
sosok tubuh tergeletak di situ dalam keadaan membusuk. Jasad busuk itu tidak
mempunyai tangan dan kaki. Kedua kaki maupun lengannya seperti bekas dipenggal.
Melihat pada keadaan mayat, nampaknya kematian orang itu sudah lebih dari lima
hari yang lalu.
"Si bungkuk mulut musang itu tidak berdusta. Mayat ini pasti ayahnya. Dan pemuda
itu ketika menangis tadi aku mendengar dia memanggilnya ayah. Apakah mungkin dia
saudaranya Siwarana?" pikir Gento.
"Kau tahu, itu adalah mayat ayahku.
Hidup dalam kemalangan kehilangan kaki dan tangan. Sekarang kematiannya pun
terasa lebih tragis!" menerangkan pemuda itu. "Sedangkan mayat yang di sebelah
sana kurasa adalah mayat salah seorang kepercayaan ayah. Tubuhnya tercerai
berai. Entah benda atau senjata apa yang
melukainya."
Karena tak berapa jauh dari mayat pertama, hanya beberapa langkah saja Gento
telah sampai di depan mayat kedua.
"Mengerikan. Sulit kupercaya!" desis si pemuda begitu melihat kepingan tulang
dan serpihan daging membusuk yang bertebaran di lantai pondok.
"Kau telah melihat kematian yang mengenaskan. Sekarang katakan siapa yang
menyuruhmu ke sini?" tanya pemuda itu sinis.


Gento Guyon 4 Bayar Nyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gento Guyon membalikkan tubuh
hingga kini mereka saling berhadapan.
"Sebelum kujawab pertanyaanmu, bukankah lebih baik kau katakan dulu siapa namamu
agar aku tak kesalahan kata bicara pada orang yang salah." ujar Gento.
"Mengenai namaku rasanya tak penting. Yang jelas ada kemungkinan aku punya
hubungan kerabat dengan keluarga Raden Tua. Nah tak perlu aku berpanjang kata.
Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu datang ke puncak gunung Wilis ini?"
Walau ragu, namun pada akhirnya
Gento menjawab juga. "Yang menyuruhku ke mari adalah Siwarana Sala Anuna."
Mendengar disebutnya nama itu paras pemuda berpakaian putih sontak berubah
kelam. Sekujur tubuhnya sempat bergetar.
Ada kemarahan terpancar lewat tatap
matanya. "Kau dengar baik-baik. Jika kau bertemu dengan si cacat bangsat itu
katakan padanya agar membunuh diri secepat mungkin. Aku tak mau melihatnya ada
di dunia ini!" tegas si pemuda.
Mendengar permintaan pemuda itu
tentu Gento jadi terheran-heran. "Eh, kau ini siapakah" Malaikat maut atau setan
haus darah. Pemuda itu sudah banyak mengalami kesengsaraan seumur hidup, mengapa
kau memintanya untuk membunuh diri?" tanya Gento.
"Perintahku tak pernah kuulang, ucapanku tak boleh dibantah!" hardik si pemuda.
Dengan penuh kemarahan dia melanjutkan. "Siwarana tak layak hidup.
Kehadirannya hanya membawa sial bagi keluarga kami, kau paham?"
Mendengar itu Gento tertawa
tergelak-gelak. "Tak kusangka kau masih anak turun Raden Tua. Kau pasti salah
satu kakak dari Siwarana. Seorang kakak begitu tega menyuruh adiknya membunuh
diri" Jika kau bukan manusia yang telah kehilangan kewarasan, pasti putra asuhan
iblis. Ha... ha... ha!"
"Pemuda keparat jangan campuri urusanku!" maki si pemuda hampir tak dapat
membendung amarahnya.
"Siapa yang mencampuri urusanmu"
Tapi kalau boleh aku nasehatkan bukankah lebih baik lagi jika kau cari siapa
pembunuh ayahmu?" dengus Gento polos.
"Pembunuh ayahku" Aku memang sedang mencarinya. Aku tak tahu apakah mungkin
saudaraku yang melakukannya. Tapi terus terang aku telah merencanakan jauh
sebelum ini. Bahkan sejak badai angin ribut memporak-porandakan Wonogiri!"
"Hemm, kau menduga malapetaka itu datangnya dari adikmu?" tebak Gento disertai
senyum sinis. "Mungkin. Sangat mungkin sekali!
Sekarang kau tunggu apalagi" Pergilah dari hadapanku!" hardik si pemuda.
"Mungkin aku akan pergi setelah kau mau memberitahu siapa namamu!" ujar si
pemuda. "Baik. Kau catat dalam otakmu.
Namaku Aripraba. Aku putera kedua Raden Ponco Sugiri. Nah aku sudah
memberitahukan namaku. Sekarang kerjakan apa yang aku perintahkan!"
"Apa perintahmu" Aku sudah lupa."
bertanya si pemuda sambil terbatuk-batuk.
Merasa dipermainkan pemuda itu jadi marah besar. Matanya mencorong merah,
sedangkan pelipisnya bergerak-gerak.
"Monyet kurang ajar. Aku menyuruhmu agar menyampaikan pesan pada Siwarana untuk
membunuh diri!"
"Ha... ha... ha. Pesan gilamu pasti kusampaikan. Tapi ingin kulihat apakah
sekarang kau mau bunuh diri di depanku"!"
"Boleh, sebelum itu terjadi kau harus mendahuluiku berangkat ke akherat!"
Selesai berkata Aripraba melompat ke depan sambil hantamkan kedua tangannya ke
bagian wajah Gento Guyon.
Melihat serangan ganas yang dapat meremukkan batok kepalanya itu si pemuda jelas
tak mau mati konyol. Dia geser langkah ke samping, tubuh dibungkukkan sedangkan
kepala dimiringkan.
Wuut! Serangan luput menderu di atas
kepala si pemuda. Tak menyia-nyiakan kesempatan Gento mendorongkan sikunya ke
depan. Desss! Hantaman yang telak mendarat di bagian perut Aripraba.
Setelah berhasil menghantam lawan sambil melompat mundur Gento memandang ke
depan. Kejut di hati si pemuda bukan olah-olah begitu melihat lawan, jangankan cidera
bergeming pun tidak. Padahal hantaman yang dilakukan si pemuda bukan saja
sanggup menghancurkan tembok tebal tapi juga mampu meremukkan batu karang.
"Hebat, dia memiliki semacam kekebalan. Aku tak punya silang sengketa dengannya,
jadi aku harus menjatuhkan dengan cara lain." batin Gento.
Baru saja pemuda itu kerahkan
tenaga dalam ke bagian tangannya, pada saat itu pula lawan kembali menyerangnya
dengan serangkaian serangan gencar yang
tak berkeputusan. Sambaran angin dahsyat disertai mengepulnya debu di udara
menyertai tendangan atau pukulan yang dilancarkan oleh Aripraba.
6 Gento Guyon menghindari semua
serangan yang sangat berbahaya itu dengan menggunakan rangkaian jurus Kera Mabok
yang digabungkan dengan jurus Belalang Terbang. Akibatnya tentu sangat hebat
sekali. Sambaran kaki ataupun hantaman tangan yang dilakukan oleh lawan secara
bertubi-tubi tak satu pun yang mengenai tubuh Gento. Malah jotosan yang oleh
Aripraba diperkirakan menghantam dada lawan dengan telak secara aneh hanya
mengenai tempat kosong.
"Celaka. Pemuda ini mempunyai jurus apa" Tubuhnya oleng, langkah grubak grubuk,
kepala bergoyang tak mau diam, terkadang tubuhnya melesat di udara seperti mau
terbang." membatin Aripraba dalam hati.
Sebaliknya Gento juga berkata dalam hati. "Setan itu sama sekali tak memberi
kesempatan padaku. Sepertinya aku ini dia anggap sebagai seorang musuh
bebuyutan!"
Belum lagi si pemuda melakukan
serangan balasan lawan telah merubah jurus silatnya. Jika pertama tadi
Aripraba lebih banyak melakukan serangan yang diarahkan ke bagian kepala dan
dada, maka kini dia menyerang bagian perut dan kaki Gento. Adapun jurus yang
dipergunakan pemuda itu adalah jurus
Menggempur Karang Memapas Kaki Bukit.
Akibatnya tentu bertambah lebih
dahsyat lagi. Beberapa kejapan Gento merasa perut dan dadanya seperti dihantam
gelombang angin panas bertubi-tubi, sedangkan kakinya laksana diterabas mata
pedang. Kenyataan ini membuatnya melompat ke samping, lawan terus merangsak
sambil hantamkan tangan kiri sedangkan kaki melabrak ke arah kaki Gento.
Dengan cepat murid Gentong Ketawa gerakkan tangannya menangkis hantaman lawan.
Benturan keras terjadi, keduanya sama terhuyung. Tapi dalam keadaan seperti itu
kaki lawan masih sempat menyambar kedua kakinya, sehingga pemuda ini pun jatuh
dengan punggung menyentuh tanah terlebih dulu. Gento meringis kesakitan sambil
mengusap-usap pantatnya.
Melihat hal ini Aripraba yang merasa berada di atas angin tanpa membuang
kesempatan langsung melepaskan pukulan mautnya. Angin dingin menderu, sinar biru
berkiblat, melesat laksana kilat ke arah Gento.
"Kadal buduk. Tak kusangka dia ternyata memang hendak membuat celaka
diriku!" rutuk Gento dalam hati. Tak mau konyol oleh serangan ganas lawannya.
Maka pemuda ini sambil duduk bersila dan mata terpejam segera melepaskan pukulan
Dewa Awan Mengejar Iblis. Selarik sinar merah kehitaman mencuat dari telapak
tangan pemuda itu menderu di udara. Tak dapat dihindari lagi bentrokan antara
kedua tenaga sakti pun tak dapat dihindari lagi.
Buum! Ledakan keras menggelegar mengguncang puncak gunung Wilis. Batu dan pasir
bertebaran memenuhi udara membuat suasana jadi gelap. Satu sosok tubuh terlepas
jauh dari hadapan si pemuda. Sedangkan Gento sendiri jatuh rebah menelentang di
atas tanah. Nafasnya sesak, dada terasa panas laksana terbakar. Selain itu dia
juga merasa ada cairan hangat yang menetes di sudut bibirnya. Ketika si pemuda
menyeka mulutnya dia jadi
menyeringai. "Manusia geblek itu membuat aku keluarkan kecap. Kalau tak cepat kuberi
pelajaran dia bisa jadi besar kepala!"
dengus Gento. Dengan cepat dia bangkit berdiri. Saat itu suasana telah kembali
seperti semula. Tapi pemuda ini jadi kaget, karena dia tidak melihat lagi lawan
berada di tempat itu.
"Dia kabur, dia melarikan diri.
Ternyata dia memang seorang pengecut yang tahu dirinya bersalah!" gerutu si
pemuda. Dia berpikir sejenak sampai pada akhirnya memutuskan. "Pemuda itu berpesan jika
urusan di sini selesai aku harus kembali ke muara sungai Lanang atau ke gunung
Liman sebelah timur Ponorogo. Sebaiknya rencana itu kutunda dulu. Aku ingin
menyelidik rahasia apa sebenarnya yang tersembunyi di balik serangkaian
peristiwa yang menimpa keluarga Raden Ponco Sugiri. Aku harus tahu mengapa satu
sama lain antara mereka nampaknya seperti bermusuhan." kata murid kakek aneh
Gentong Ketawa sambil melangkah pergi tinggalkan tempat itu.
*** Di sebelah utara dusun Wilangan,
tepat di tengah hamparan daerah ber-batuan. Di sana terdapat sebuah sumur tua
yang sudah tidak terpakai. Di sekeliling sumur itu berserakan tulang belulang
manusia. Pada waktu tertentu air sumur yang berwarna merah darah nampak bergerak
seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya. Bahkan terkadang tak jarang terjadi
pusaran yang menyedot seluruh air yang berada di dalamnya. Keanehan seperti itu
sudah seringkali terjadi. Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang terjadi di
bawah sana. Hanya tulang belulang yang menjadi saksi bisu dari semua misteri
yang tersembunyi di dasar sumur tersebut.
Tapi walaupun tempat itu sudah
bertahun-tahun tak pernah disambangi oleh siapapun, pagi itu di saat matahari
baru menampakkan diri di ufuk sebelah timur, di pinggir sumur Getih seorang
kakek renta berpakaian merah lusuh duduk mencangkung menghadap ke mulut sumur.
Wajahnya yang cekung, angker
mengerikan hampir tak terlihat karena tertutup rambutnya yang memutih panjang
awut-awutan. Sambil duduk seperti itu sesekali dia membetulkan tempat yang
didudukinya yaitu sebuah tengkorak kepala manusia yang telah ditumbuhi lumut.
Sejenak lamanya si kakek terdiam, sedangkan tongkat hitam di tangan terus
digerakkan, diputar dengan cepat hingga menimbulkan suara angin menderu-deru. Di
saat seperti itu tiba-tiba saja gerakkan tongkat terhenti. Dari mulut si kakek
yang keriput terdengar suara racau yang tidak jelas. Sementara di dalam Sumur
Getih justru permukaan airnya saat itu nampak bergolak hebat. Bersamaan dengan
itu pula dari dalam mulut sumur mendadak terdengar satu suara menegur. "Rowe
Rontek Panjane, gerangan apa yang membuatmu datang ke mari" Aku merasa tak
mengundang, apakah kau sekarang merasa
pantas bertatap muka denganku?"
Si kakek renta bertongkat ular
kering yang diawetkan melengak kaget. Dia julurkan kepala, pentang mata melongok
ke mulut Sumur Getih. Tidak terlihat apapun.
Sumur dalam keadaan gelap gulita. Si kakek gelengkan kepala. Tapi akhirnya dia
buka mulut menjawab.
"Wowor Baji Marani bergelar Arwah Darah Senggini, tak kusangka tidak kunyana
matamu masih awas. Aku Rowe Rontek Panjane yang tak tahu diri terpaksa
menyambangi ingin satu kepastian jawaban darimu?"
Dari dalam sumur di mana airnya
yang berwarna merah terus bergejolak terdengar suara tawa panjang, dingin angker
menyeramkan. Tawa lenyap, dari dalam sumur terdengar suara bergemuruh hebat.
Angin dingin laksana es melesat dari dalamnya menyambar kakek renta dengan satu
sapuan mematikan.
Si kakek renta bertubuh kurus
kering tersentak kaget, wajah pucat mulut ternganga. Tapi dalam kagetnya dia
masih sempat bergulingan menjauh dari mulut sumur selamatkan diri.
Wuus! Wuus! Walaupun begitu kakinya masih
sempat terkena sambaran angin dingin luar biasa itu. Si kakek mengeluh pendek,
kakinya laksana beku. Tapi dengan
mengerahkan tenaga dalam berhawa panas ke bagian kaki, maka hawa dingin yang
menyerang kakinya berangsur lenyap.
Laksana kilat dia berdiri kembali.
Belum hilang rasa kagetnya mendapat serangan gelap begitu rupa, dari dalam sumur
terdengar suara mendesis panjang.
Satu sosok tubuh dalam keadaan polos telanjang melesat berputar di udara secara
kaku dan jatuh satu tombak di depan Rowe Rontek Panjani.
Pedang Asmara 15 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Pendekar Guntur 14

Cari Blog Ini