Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah Bagian 2
karena begitu terlepas, tiba-tiba cahaya yang memancar dari pedang itu, hilang.
Dan pedang itu hancur menjadi debu!
Sementara tubuh Bayangan Hitam
masih menggelepar. Kali ini dari mata dan duburnya mengeluarkan darah.
"Madewa...." rintihnya. "Bunuh, bunuh saja aku. Jangan kau siksa
begini... ah!"
Madewa terus meniup serulingnya.
Orang sesat macam Bayangan Hitam biar disiksanya dulu sebelum dibunuh. Tak ada
gunanya orang macam ini hidup. Tetapi akhirnya Madewa menghentikan juga meniup
serulingnya. Tak tahan melihat lawannya sudah merintih demikian.
Hati-hati dihampirinya lawannya
yang tengah sekarat. Sebentar lagi ajal pasti menjemputnya.
Diperhatikannya topeng hitam yang berwarna karena darah yang mengalir dari
seluruh wajah orang itu. Perlahan Madewa membungkuk dan menarik topeng itu. Dia
terkejut. Mulutnya menganga. Dia kenal wajah ini.
Wajah yang tak asing lagi!
Wajah Biparsena! Majikannya!
Orang itu ternyata memang
Biparsena. Murid durhaka yang berani merebut pusaka dan membunuh gurunya
sendiri, Niniwulandari.
Megap-megap orang itu menatap
Madewa. "Madewa... kau... ampunilah
dosa-dosaku..... Aku bersalah...
maafkanlah aku... aku tahu kau orang gagah... ja-ja... jaga... jagalah Ratih
Ningrum dalam... dekapanmu.... Aku...
aku rela... aku... ah...."
Tubuh itu ambruk untuk selamalamanya. Madewa mendesah. Tak tahan dia melihat siksaan yang terjadi pada bekas
musuhnya, juga majikannya.
Dengan gontai dia berdiri.
Menatap senja yang mulai berarak.
Tak terasa pertempuran itu memakan waktu setengah hari.
Diperhatikannya satu per satu mayat yang bergeletakan. Dia menguburkannya dengan
menahan haru dan air mata.
Ditatapnya tubuh Biparsena dan
Niniwulandari sebelum dikuburkan.
Orang-orang gagah yang mati dalam kesesatan.
Setelah menguburkan keduanya,
Madewa menghampiri Pratiwi yang masih pingsan. Dibalutnya lengan kiri wanita itu
yang buntung, agar darah tidak mengalir terus.
Senja semakin turun.
Tak ada hukuman yang akan dijatuhkan Biparsena padanya.
Tanpa menghiraukan Pratiwi lagi,
dia beranjak meninggalkan tempat itu.
Meninggalkan dua tubuh yang dikebumikan.
Meninggalkan Pratiwi yang masih pingsan.
Dan meninggalkan sepotong harapan yang diberikan Biparsena untuk menjaga
putrinya. Dia tidak melangkah menuju rumah
Biparsena. Dia tidak ingin menemui Ratih Ningrum. Tugas mendiang gurunya telah
diselesaikan. Dia ingin mencari ayahnya, mendadak kerinduan itu muncul. Dan
dirasakan sebagai tugas selanjutnya. .
Tetapi dia juga berjanji, akan
menolong orang-orang yang lemah. Dia akan membela kebenaran dan membasmi
kejahatan. Seperti janjinya pada
mendiang gurunya.
Dia cinta Ratih Ningrum. Tetapi dia juga tahu, gadis itu ada yang menjaga.
Tiga pengawal Biparsena yang hebat.
Mukti, Patidina dan Tek Jien.
Biarlah nanti kalau ada waktu dia akan menemui Ratih Ningrum. Tetapi untuk saat
ini tidak. Kalau dia bertemu dengan gadis itu, mau tidak mau dia akan bercerita
tentang ayah gadis itu, tentang
kematiannya. Biparsena yang mati di tangannya!
Madewa terus melangkah. Tak tahu
arah, tak tahu hendak ke mana. Madewa
hanya berpikir, ke mana kakinya akan melangkah, dia akan mengikuti.
* * * 5 Malam yang gelap dan dingin, membuat orang merasa lebih senang dan aman berada
di rumah. Bercakap dan menghangatkan tubuh di depan perapian bersama
keluarga. Suasana di jalan itu hening. Tak
seorang pun yang kelihatan berkeliaran.
Tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dari satu atap rumah ke atap yang
lain. Gerakannya ringan. Dan langkahnya cepat. Menandakan orang itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi.
Di salah sebuah rumah di ujung
jalan, orarig itu berhenti. Kembali dengan ringannya dia melompat turun. Dan
bersalto dua kali hingga sampai di samping rumah.
Kelihatan dia terdiam, seperti
mengingat-ingat. "Hmm, benar ini rumah yang diinapi pemuda bangsat itu.
Mudah-mudahan dia belum pergi. Aku harus membalaskan dendam itu sekarang juga!"
Siapa sebenarnya orang itu" Kalau dilihat dari gumamannya tadi, dia memendam
dendam kesumat yang amat dalam.
Dan dia telah bersumpah harus membalas dendam itu sampai akhir hayatnya.
Orang itu tidak lain adalah
Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda, yang begitu dendam pada
Madewa Gumilang, pemuda yang tengah dicarinya saat ini. Pemuda itu pernah
mengalahkannya setahun yang lewat.
Tetapi Wirapati tidak akan bisa tenang sebelum membalas kematian kakak dan adik
seperguruannya, yang tewas di tangan Madewa Gumilang. Dalam waktu setahun itu,
Wirapati bersembunyi. Berlatih ilmu silat. Dan bisa di duga, kemajuan ilmu
silatnya sangat pesat sekali. Ilmu meringankan tubuhnya pun semakin tinggi.
Dendam begitu membakarnya, sampai dia bisa menciptakan ilmu silat yang hebat
sekali, yang dinamakannya jurus Naga Menguak Langit dan ilmu pedang yang tak
kalah dahsyatnya, yang dinamakan, ilmu pedang membelah mega!
Setelah dirasakannya bekalnya telah cukup, Wirapati pun keluar dari
persembunyiannya. Dia mulai melangkah mencari jejak Madewa Gumilang, pemuda yang
tak akan terlupakan selama
hidupnya. Hampir sebulan Wirapati tidak menemukan jejek pemuda itu, sampai
akhirnya dia mendengar kalau di kota ini ada seorang pemuda yang memiliki ilmu
pukulan bayangan sukma! Yang dengan ilmunya itu telah menghancurkan
segerombolan perampok yang hendak merampok rumah Tuan Abindamanyu, orang yang
terpandang di kota itu.
Wirapati berpikir, siapa lagi
orangnya yang memiliki ilmu pukulan bayangan sukma selain Madewa alias murid
tunggal Ki Rengsersari, yang meninggal akibat kabar bohong yang menimpa
dirinya. Maka Wirapati pun mulai menyelidik tentang adanya pemuda itu. Dan hasilnya
memuaskan. Memang benar, pemuda itu yang telah menyebabkan kematian kedua
saudara seperguruannya. Dan pemuda itu selama ini menginap di rumah Tuan
Abindamanyu, tuan hartawan yang telah ditolongnya.
Wirapati pun tak
kuasa lagi memendung dendamnya lama-lama. Dia mulai mempersiapkan diri. Dan malam ini dia
menjalankan missinya.
Dengan langkah yang tetap ringan
malah seakan tak menginjak tanah, Wirapati berkelebat mendekati pintu. Dia sudah
menghitung berapa banyaknya pengawal Tuan Abindamanyu itu. Hanya lima dan tampak
seperti keroco yang hanya mengandalkan tampang yang bengis dan golok yang besar
dan panjang. Tidak sulit untuk melumpuhkan
mereka. Dia mengendap mendekati penjaga yang berberewok tebal yang menjaga di
pintu masuk dari belakang. Dengan sigap Wirapati mengambil sebuah batu kerikil
yang kecil. Disambitnya batu itu ke arah penjaga, sedetik kemudian terlihat
kalau penjaga itu tersentak dan terdiam kaku.
Rupanya Wirapati menotok dari jauh melalui kerikil itu.
"Benar-benar tidak sulit," gumamnya seraya bersalto menghampiri penjaga di pintu
depan yang sedang tertawa-tawa sambil menikmati kopi hangat. Rupanya di bagian
depan di tempatkan penjaga dua orang. Dan keduanya tengah tertawa kegirangan
merasa nasib mereka sebagai penjaga sangat baik.
Kali ini Wirapati langsung
berkelebat ke depan. Kedua penjaga itu tak sempat berbuat apa-apa. Karena tangan
Wirapati sudah mengepit kedua leher mereka. Terdengar tarikan nafas dipaksakan.
Heiik! Lalu kedua tubuh itu ambruk tak
bernyawa. Wirapati berkelebat lagi. Tinggal dua penjaga. Hmm, itu tidak sulit. Dia harus
masuk ke dalam rumah. Dengan setengah berlari Wirapati memeriksa setiap bagian
yagn bisa dipakai untuk masuk. Hmm, jendela di sebelah kanan tampak sedikit
terbuka. Keadaan dalamnya pun terang. Wirapati mendekat. Dan mengintip. Terlihat
olehnya seorang gadis manis tengah membaca buku di tempat tidur. Cantik sekali.
Dialah Nindia, putri tunggal Abindamanyu yang
kecantikannya tersohor sekali. Selain cantik, budi pekerti Nindia juga baik
sekali dinilai oleh orang sekitarnya.
Nindia tidak sombong seperti kebanyakan anak-anak orang kaya yang lain. Dia mau
berteman dengan siapa saja, tak perduli kaya atau miskin.
Wirapati melihat ke sana kemari
Tidak ada tanda-tanda orang yang datang.
Sementara Nindia tidak sedikit pun melihat bahaya mengancam, dia terus asyik
dengan buku sastranya. Nindia menggemari sastra-sastra. Tetapi begitu bayangan
hitam itu berkelebat masuk, dia bangkit terkejut.
"Siapa kau"!" jeritnya. Tetapi hanya itu yang sempat diucapkan, karena tiba-tiba
dia merasakan lidahnya sukar untuk bicara. Wirapati telah menotok urat suaranya!
"Jangan ribut, Nona! Kalau Nona berisik, berarti Nona akan menemui kematian!"
ancam Wirapati bengis.
Tetapi Nindia masih mau berontak, walau suaranya sukar untuk dikeluarkan.
Wirapati menjadi geram. Tangannya melayang ke pipi gadis itu yang kontan
terjengkang ke ranjangnya.
Nindia mengaduh dalam hati. Dan
menangis ketakutan.
"Sudah kubilang, kau diam saja!
Atau... kau ingin kuhina, Nona. Biar semua orang tahu, kalau gadis kesayangan
Tuan Abindamanyu, sudah tidak perawan lagi!!"
Mendengar ancaman yang mengerikan itu, Nindia terdiam. Tetapi air matanya
jatuh satu per satu. Dia menyesal mengapa jendela kamarnya tidak ditutup.
Padahal ayahnya selalu berpesan sejak terjadinya peristiwa perampokan yang gagal
itu karena ada Madewa Gumilang yang menolong mereka.
Wirapati mendekatkan wajahnya ke
wajah Nindia yang ketakutan setengah mati. Tangannya bergerak, membebaskan
totokannya pada urat suara Nindia.
"Jangan ribut, atau kuperkosa kau!
Sekarang jawab pertanyaanku, di mana pemuda yang telah menolong kalian!"
"Oh... dia... dia," desis Nindia takut-takut.
"Jawab yang benar!"
"Dia... dia baru saja pergi tadi sore...."
"Hah?" potong Wirapati terkejut.
Sia-sia kalau begini kedatangannya. "Ke mana dia pergi"!"
"Ka... kami tidak ada... yang tahu, karena... pemuda itu aneh... katanya dia...
hendak merantau lagi...."
"Bangsaaat!!" Wirapati menggeram jengkel. Belum lagi dia berkata apa-apa,
terdengar jeritan dari laur,
"Pembunuhan! Pembunuhan!"
Wirapati bergerak sigap. Ia menotok tubuh Nindia yang seketika menjadi lemas.
Cepat dibopongnya tubuh yang montok itu. Sebelum pergi dia menggigit ujung jari
telunjuknya hingga berdarah.
Lalu dangan darah itu dia menulis di
cermin yang ada di depan meja rias Nindia.
KALAU INGIN MENEMUI PUTRIMU, SURUH
MADEWA GUMILANG MENEMUIKU DI TANAH
GENTING SEBELAH TIMUR LAUT SELATAN
WIRAPATI. Setelah menulis itu dia melompat ke luar. Walaupun membawa beban, sedikit pun
dia tak kelihatan repot. Malah seakan tak membawa apa-apa Wirapati berkelebat
menghilang. Melompat dari atap yang satu ke atap yang lain. Lalu menghilang di
telan malam bersama tubuh Nindia.
Keadaan di rumah Abindamanyu
menjadi kacau. Tuan rumah itu keluar dengan cepat bersama istrinya begitu
mendengar seruan penjaganya tentang pembunuhan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pada dua penjaganya itu.
"Jaka dan Topa kami temukan mati, Tuan!" sahut penjaganya yang bertubuh lebih
pendek dari yang satu. Dia bernama Dika.
"Kenapa bisa begini?" tanya Abindamanyu tak mengerti.
Belum lagi Dika menjawab, penjaga kebun berlari-lari dari belakang, "Tuan, Kang
Depa berdiri kaku di belakang! Saya tidak bisa membua-nya bergerak lagi!"
Teman Dika yang satu langsung
berlari ke belakang. Dia membebskan Depa
dari totokan itu. Semula sukar sekali dia menemukan di mana totokan itu. Tapi
akhirnya ketemu. Di urat yang berada di dada sebelah kanan. Kalau saja totokan
itu langsung dilakukan melalui melalui tangan, bukan melalui batu, pasti orang
itu tidak akan bisa membebaskan Depa.
Depa mengeliat. Lalu mengucapkan
terima kasih pada temannya.
"Apa yang terjadi, Depa?"
"Seseorang yang berbaju serba hitam menyerangku, Kang Raga."
"Siapa?" dengus Raga memburu. Dia nampak geram sekali melihat semua ini.
Tadi dia dan Dika sedang mengontrol bagian luar rumah sehingga tidak
mengetahui semua ini. Dan baru tahu setelah melihat tubuh Jaka dan Topa yang
tergeletak dengan lidah menjulur.
Diketahui kalau keduanya mati tercekik dan belum lama, karena tubuh mereka masih
hangat. "Aku tidak tahu, Kang Raga. Memang apa yang telah terjadi di sini?"
"Jaka dan Topa diketemukan mati!"
"Oh, Tuhan!" Tanpa banyak tanya lagi, Depa melesat ke depan lalu Raga menyusul.
Benar kata Raga, kedua
temannya itu mati dan di sana sudah ada tuan rumah berserta istrinya yang
wajahnya pucat bukan main. Mungkin terpukul melihat mayat itu dan terkejut yang
amat sangat. Tuan Abindamanyu menyuruh tiga
orang pengawalnya mengangkat tubuh Jaka dan Topa, lalu menenangkan istrinya
dengan jalan memeluknya.
Tapi tiba-tiba istrinya memberontak dan seraya berlari ke dalam dia menjerit,
"Anakku"!" Di mana anakku, Nindia!!"
Serentak mereka terkejut. Dan
langsung mengikuti nyonya rumahnya masuk. Dari dalam kamar Nindia terdengar
jeritan kaget dan panik istri tuannya.
Abindamanyu memburu dengan cepat dan menemukan tubuh istrinya yang jatuh pingsan
dengan tangan tertunjuk ke cermin.
Sambil memeluk tubuh istrinya,
Abindamanyu menoleh ke cermin. Terlihat dan terbaca tulisan berdarah yang sudah
agak mengering itu. Dia menghela nafas panjang, tubuhnya mendadak lemas.
Anaknya hilang diculik oleh orang yang mengaku bernama Wirapati!
Lagi-lagi dia menghela nafas
panjang. Wajahnya kuyu dan lemah. Semua ini terjadi karena orang itu mencari
Madewa Gumilang! Sedikit yang
Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disesalkannya, kenapa Madewa pergi sebelum kejadian ini terjadi.
Pengawalnya yang berdesakan masuk, melihat kedua tuan rumahnya dalam keadaan
menunduk, sementara istri
tuannya jatuh pingsan dalam rangkulan suaminya.
Mereka sadar, kalau putri Nindia
tidak ada di tempat. Dan baru jelas setelah membaca tulisan berdarah di cermin.
Raga melangkah ke depan. Menghormat pada tuannya, "Tuan Abindamanyu, jika
persoalan ini menyangkut nama Dik Madewa Gumilang, ada baiknya kalau sekarang
juga saya mencarinya. biar kita tahu apa yang menjadi masalah ini dan biar dia
yang menyelesaikan semuanya, karena dari tulisan itu jelas diketahui kalau ada
sangkut paut antara Madewa dengan Wirapati yang pasti suatu dendam lama!"
Abindamanyu tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya mengangguk saja. Dan mencium
wajah istrinya yang terkulai lemas seraya memanggil nama putrinya lemah,
"Nindia...."
Malam itu juga Raga cepat berangkat setelah memerintahkan pada dua orang
temannya untuk menjaga di tempat itu dengan baik dan menyuruh mereka
mengerahkan tukang kebun dan penjaga kuda agar tidak tidur semalam suntuk ini.
Raga berjanji, sebelum matahari
esok terbit, dia sudah kembali bersama pemuda yang bernama Madewa Gumilang.
Dengan cepat dia berlari ke kudanya dan menggeprak punggung kudanya sehingga
kuda itu melompat dengan menyentak.
Bersamaan dengan itu, di suatu
tempat yang jauh dari kota itu, di sebuah rumah besar terdengar bentakan dan
seruan keras seorang perempuan. Kalau dilihat sekilas nampak seperti
marah-marah dan ketakutan. Tetapi kalau dilihat dari dekat, jalas sekali gadis
itu tengah berlatih silat.
Gerakannya mantap dan kukuh.
Tenaganya pun besar. Di dekatnya
berlatih berdiri tiga orang laki-laki yang memperhatikan. Merekalah guru dari
gadis cantik itu. Masing-masing guru mempunyai kebiasaan sendiri. Dan mereka
dengan sukahati dan serempak menurunkan ilmu mereka pada gadis itu, yang
menjadikan murid kesayangan mereka.
Selain cantik, kemauan gadis itu
besar untuk bisa menguasai ilmu yang diajarkan ketiga gurunya.
Laki-laki yang berdiri agak kiri, seorang laki-laki yang tegap. Orang itu
memakai baju hitam dan berselempang dua buah pedang di punggungnya. Orang itu
adalah Mukti yang berjuluk si Pedang Kembar.
Di sebelahnya berdiri orang yang
mamakai pakaian keraton, dialah Patidina si keris tunggal.
Dan yang terakhir memakai celana
hitam gombrang tanpa baju. Orang itu ada keturunan Cina, matanya sipit. Wajahnya
dingin. Dialah Tek Jien, si Pukulan Seribu.
Mereka adalah tiga pengawal Pribadi dari Biparsena (baca : Pusaka Dewa
Matahari). Sedangkan gadis yang menjadi
murid mereka tak lain adalah Ratih Ningrum. Putri tunggal Biparsena. Yang
sekarang semakin nampak kecantikan dan kemolekkannya. Juga perubahan pada bentuk
tubuhnya. Bentuk tubuh yang padat dan indah, semakin menarik karena banyak bergerak.
Dalam gerakan ilmu silat, terdapat gerak senam yang harus dikuasai oleh setiap
pendekar. Dan senam itu semakin membuat
keindahan tubuh Ratih Ningrum.
Peristiwa setahun yang lalu masih terbayang di benak Ratih Ningrum.
Kejadian yang menimpa dirinya dan Madewa. Madewa dulu adalah kekasihnya, tetapi
sekarang ini entah dia berada di mana. Waktu itu Ratih Ningrum tidak tahu apa
sebabnya Madewa meninggalkannya. Dan akhirnya dia tahu, sebelum ayahnya pergi,
ayahnya pernah bilang, kalau dia tidak boleh berhubungan dengan Madewa, karena
dia telah dijodohkan oleh
Buntoro, adik seperguruan ayahnya dari guru Niniwulandari. Tentu saja Ratih
Ningrum terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena ayahnya pantang ditentang. Sesudah itu ayahnya pergi keluar, katanya mau mencari angin.
Dan setelah itu ayahnya tidak pernah pulang ke rumah. Tidak ada kabarnya pula
sedikit pun. Baru kemudian diketahui di dekat sungai hitam ditemukan dua buah
kuburan yang masih kelihatan baru. Ratih
Ningrum curiga dengan kuburan itu. Dia menyuruh membongkar kembali kuburan itu.
Dan bukan main terkejutnya dia ketika diketahui kalau dua buah mayat itu adalah
mayat ayahnya dan Niniwulandari.
Perasaan Ratih Ningrum saat itu
menjadi kacau balau. Lalu didengarnya pula telah diketemukan mayat Buntoro.
Ratih Ningrum tetap tidak tahu apa yang telah terjadi.
Pikirannya semakin kalut, apalagi tidak ada Madewa Gumilang di sisinya, ketika
tempat 'kupu-kupu cantik' ayahnya porak poranda, karena tidak ada yang
membiayainya. Ratih Ningrum terkejut, karena dia baru tahu sekarang kalau
ayahnya mengelola tempat itu.
Lalu dia menyuruh tiga orang
pengawal ayahnya yang setia membubarkan tempat itu dan membakar hanguskannya,
sementara masing-masing penghuni diberi biaya sedikit untuk hidup.
Setelah itu keadaan Ratih Ningrum semakin parah. Akhirnya Mukti, si Pedang
Kembar, menyarankan kepada kedua
temannya untuk menghibur Ratih Ningrum dengan jalan mengajarkannya permainan
ilmu silat. Kedua temannya sepakat. Lalu mulailah mereka menggembleng Ratih
Ningrum, yang mau mengikuti saran dan usul mereka.
Kelihatan sekali kalau Ratih
Ningrum begitu berbakat. Dan sedikit demi sedikit dia menguasai ilmu yang
diturunkan oleh ketiga pengawalnya yang sekarang menjadi gurunya. Dia juga mulai
melupakan kesedihan yang menimpanya.
Sekarang ini, masing-masing guru
tengah melihat kelihaian dan kematangan ilmu silat Ratih Ningrum. Benar-benar
mengagumkan. Sepasang tongkat kayu yang dimainkan Ratih Ningrum, sungguh hebat
sekali. Keduanya bergerak bergantian, saling mengisi tempat yang kosong.
Begitu pula ketika dia memainkan
jurus keris tunggal dengan menggunakan sebatang kayu. Benar-benar pesat ilmu
silat yang dimiliki Ratih Ningrum.
Gadis itu kelihatan begitu tegar
sekarang. Begitu kukuh dan mengagumkan.
Selain cantik, ilmu silatnya pun dalam.
Dari Tek Jien, dia menerima ilmu tangan kosong pukulan tangan seribu dan ilmu
meringankan tubuh yang dikuasainya dengan sempurna. Mungkin kalau gurunya
melawan dia, belum tentu mereka
menguasai muridnya. Karena muridnya menguasai ilmu ketiganya, sedangkan gurunya
hanya menguasai ilmu yang diturunkan pada muridnya saja.
Ratih Ningrum sudah selesai
memainkan ilmu pedang kembarnya dengan baik. Wajahnya yang cantik terlihat
semakin cantik dengan tubuh berpeluh dan wajah
agak berkeringat. Riap-riap
rambutnya basah kena keringat.
Ketiga gurunya bertepuk tangan
dengan kagum. "Bukan main! Kau menguasai ilmu pedang kembar dengan baik, Ratih!"
Ratih Ningrum menjura. Sikapnya
menghormat. "Terima kasih, Paman Mukti.
Kalau tidak Paman ajarkan, apakah bisanya saya" Demikian pula dengan Paman
Patidina dan Paman Tek Jien. Saya menghaturkan beribu terima kasih." Tek Jien
tertawa sambil menggoyang-goyangkan tangannya.
"Tak perlu berterima kasih, sudah sepatutnya kami mendidikmu. Hari sudah larut
malam, sebaiknya kamu masuk saja, Ratih. Beristirahatlah dengan tenang."
Ratih Ningrum menjura lagi. "Maaf, Paman. Sebenarnya ada yang hendak saya
bicarakan dengan Paman sekalian."
"Apakah itu, Ratih?" tanya Patidina.
"Sekali lagi maaf, Paman. Sebenarnya, telah lama keinginan saya ini muncul..."
"Keinginan apakah gerangan itu, Ratih?" Ratih Ningrum tertunduk tersipu.
Wajahnya mendadak semburat merah. Dengan malu-malu dia berucap, "Sa... saya
ingin mencari Kang Madewa, Paman."
"Oh!" seruan itu terdengar bersamaan dari mulut ketiga gurunya.
Rupanya gadis itu masih ingat dengan pemuda yang telah pergi, yang telah membawa
sebagian hatinya bersama
kepergiannya itu. Mukti menyambung,
"Lalu maksudmu apa, Ratih?"
"Sa... saya, minta izin paman sekalian, untuk mengizinkan saya mencari
Kang Madewa. Saya ingin melihat dunia luar, Paman. Telah lama saya tidak
berjalan-jalan. Keinginan itu pun akan saya laksanakan kalau Paman sekalian
mengizinkan. Karena Paman bertigalah yang saya anggap sebagai pelindung dan
penganti orang tua saya...."
Ketiga gurunya saling berpandangan.
Tak ada yang bersuara, Ratih Ningrum menunggu tegang. Tetapi jika tidak
diizinkan dia tidak akan memaksa dan memberontak. Dia akan tetap menurut. Dan
menuruti apapun yang akan dikatakan ketiga gurunya itu.
Tek Jien mengangkat wajahnya,
menatap Ratih Ningrum. Lalu katanya lembut, "Ratih, sebaiknya kau masuk saja ke
dalam. Malam semakin larut. Tentang izin yang kau inginkan itu, bisa kau dengan
besok pagi. Masuklah."
Ratih Ningrum menjura lagi. Lalu
melangkah perlahan ke dalam. Tetapi kali ini langkahnya kelihatan mantap dan
kukuh bertanda bukan gadis yang cengeng lagi dia, melainkan gadis yang tegar dan
mampu bermain silat dengan cemerlang!
Sementara itu ketiga gurunya
meneruskan percakapan mereka sambil merundingkan permintaan Ratih Ningrum.
Sampai ayam berkokok mereka baru masuk ke dalam. Dan telah menemukan sebuah
keputusan! Keesokan harinya, seperti biasa
Ratih Ningrum bangun. Mandi. Berpakaian
lalu makan. Pelayan-pelayannya masih setia kepadanya. Hanya dua orang yang
berhenti, itu pun dia tidak tahu ke mana.
Yang satu adalah Genda, penjaga kuda yang kita ketahui meninggal di tangan
Pratiwi alias Selendang Merah. Yang satunya lagi, adalah Manggada, penjaga kebun
yang minta berhenti tanpa menjelaskan maksudnya. Ratih Ningrum hanya
mengabulkan saja, tanpa banyak tanya.
Sedangkan yang lain, tetap seperti yang dulu.
Selesai makan, dia melangkah ke
ruang samping. Beristirahat dulu
sebenar, lalu mulai melatih ilmu
silatnya. Kali jni ia memainkan jurus pukulan tangan seribu yang diwariskan oleh
Tek Jien. Pukulan itu mantap sekali dimainkan Ratih. Tak ada celanya sedikit
pun. Malah terlihat lebih mantap
daripada Tek Jien sendiri.
Lalu ia melompat ke sana kemari,
melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Wuttt! Dia melompat ke atas dan langsung bersalto ke belakang. Begitu hinggap di tanah,
langsung melompat kembali seolah di bawahnya ada per yang membuatnya melompat.
Begitu seterusnya. Ratih Ningrum tak puas-puasnya berlatih.
Sebenarnya dalam hati kecilnya,
keinginan untuk mencari Madewa hanya alasan saja kepergiannya. Sebenarnya dia
ingin mencari pembunuh ayahnya. Sampai
saat ini dia tidak tahu siapa pembunuh ayahnya dan apa penyebabnya.
Ratih Ningrum hanya mendengus,
pembunuh ayahnya adalah Pratiwi si Selendang Merah, yang dia tidak tahu di mana
wanita itu berada.
Begitu selesai berlatih, terdengar tepukan dari samping. Ratih Ningrum menoleh
dan langsung menjura hormat.
Ketiga gurunya sudah berada di sana.
Lengkap dengan senjata mereka, kecuali Tek Jien yang memang hanya berkosong
tangan. "Selamat pagi, Guru sekalian!"
"Selamat pagi, Ratih! Pukulan tangan seribumu sudah sempurna sekali," kata Tek
Jien memuji. "Terima kasih, Paman."
Mukti melambaikan tangannya,
menyuruh Ratih Ningrum mendekat.
Perlahan gadis itu melangkah. Mendadak dadanya berdebar, melihat keseriusan
wajah Mukti. "Ada apa, Paman?"
"Ratih... pagi ini kau akan
mendengar apa yang menjadi jawaban kami atas keinginanmu Untuk merantau
sekaligus mencari Madewa Gumilang."
Semakin berdebar dada Ratih Ningrum mendengar itu. Tetapi dia nampak tenang,
tidak menampilkan wajah yang tegang.
"Tetapi kami harap, kau tegar mendengar semua ini. Kau tidak boleh marah atau
kecewa mendengar keputusan kami. Kau bersedia, Ratih?"
Ratih Ningrum menganggtik mantap.
"Apa pun keputusan Paman sekalian, akan saya terima dengan senang hati. Bukankah
kemarin malam saya pun mengatakan yang demikian?"
"Kami memang mendengarnya, Ratih.
Tapi kami ingin lebih meyakinkan diri.
Baiklah, sekarang dengarkan keputusan kami. Kalau memang niatmu hanya untuk
merantau dan mencari Madewa Gumilang, kami semua mendukung dan... menyetujui
keinginanmu," sampai di situ Muktu berkata, wajah Ratih Ningrum berseri-seri.
Sambil tersenyum si Pedang Kembar melanjutkan, "Untuk itu, kami bertiga telah
sepakat untuk membekali
kepergianmu."
Kali ini kening Ratih Ningrum
berkerut. Bekal" Bukankah sudah cukup bekal ilmu yang diberikan ketiga gurunya
padanya" Dia yakin, dia mampu membela diri dari setiap serangan yang datang.
Ah, lagipula, belum tentukan akan adanya serangan itu"
Seperti mengetahui jalan pikiran
Ratih Ningrum, Mukti berkata lagi, "Kami bertiga yakin, kamu mampu menjaga diri.
Tapi kami akan tetap memberimu bekal, walaupun bekal itu tidak seberapa
besarnya."
Bekal uangkah" Kalau memang iya,
Ratih Ningrum bersiap akan menolak. Dia masih punya uang simpanan yang banyak.
Lagipula, warisan ayahnya begitu
melimpah ruah. Lalu apa gerangan bekal itu"
"Ratih, bekal itu kami minta agar kau menjaganya. Dan gunakanlah untuk kebaikan,
karena kami tidak ingin bekal ini, ternodai oleh darah kejahatan."
Ratih Ningrum akhirnya mencetuskan keheranannya, "Paman, sejak tadi Paman hanya
menyebutkan bekal, tanpa
memberitahu bekal apa yang hendak Paman bekalkan padaku."
Mukti tersenyum. Melirik Patidina, yang terlihat mengangguk. "Baiklah, Ratih,"
kata Mukti seraya meloloskan sepasang pedang kembarnya. "Ini yang kumaksudkan
dengan bekal itu. Terimalah sepasang pedang kembarku, yang telah lama ada
bersamaku dengan setianya. Hei, terimalah!"
Ragu-ragu Ratih Ningrum mengambil bekal itu. Dia tidak menyangka kalau itu yang
akan diberikan oleh guru-gurunya.
Begitu pula dengan Patidina, dia
menyerahkan keris tunggalnya. Rupa-rupanya Tek Jien tidak mau kalah. Setelah
semalam mereka mencapai keputusan untuk membekali Ratih Ningrum dengan senjata
masing-masing, Tek Jien mengambil sumpit beracunnya, yang telah lama disimpan.
Sumpit itu pun diberikannya pada Ratih Ningrum, yang menerima kesemuanya dengan
sukacita. Matanya mengembang bening.
Terharu. Begitu cinta nampaknya ketiga
gurunya padanya. Guru yang dulu sebagai pengawal!
Setelah menerima kesemua itu, Ratih Ningrum berlutut.
"Paman, terima kasih atas bekal yang Paman sekalian berikan. Saya berjanji, akan
menjaga bekal ini dengan baik, dan tidak akan menodainya dengan kejahatan."
"Bagus!" kata Mukti. "Kapan Kau akan berangkat?"
"Kalau bisa, ketika matahari sepenggalah saya sudah meninggalkan rumah."
"Begitu cepat?" tanya Mukti agak kaget.
"Karena lebih cepat lebih baik Paman."
Mukti menghela nafas panjang.
"Baiklah, persiapkanlah dirimu dengan baik. Kalau bisa, ada baiknya kau menyamar
Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai pria dan kalau bisa gantilah namamu."
"Baik, Paman."
Setelah memberi hormat, Ratih
Ningrum berlari ke kamarnya. Dia segera mempersiapkan segala sesuatunya dengan
baik. Dia juga merias dirinya menjadi seorang pria. Kumis tipis dipakainya untuk
menyempurnakan samarannya. Ketika dia keluar lagi, ketiga gurunya agak terkejut,
karena seorang pria keluar dari kamar Ratih Ningrum!
Serentak mereka menyebar dengan
sigap. Berdiri dengan sikap mengurung.
Tentu saja Ratih Ningrum yang sudah menyamar itu menjadi keheranan.
"Hei, Paman" Kenapa Paman bertiga mengurung saya?"
Mendadak ketiga gurunya tersipu.
Rupanya Ratih Ningrum. Sungguh pekerjaan yang cepat. Disuruh menyamar, saat itu
pula dia menyamar. Dan dalam hati mereka tahu apa penyabab Ratih berbuat segala
sesuatunya dengan cepat. Dia ingin buru-buru bertemu dengan sang pujaan!
Patidina cepat-cepat memperbaiki
sikapnya, juga dengan yang lain. Ia memandang Ratih dengan penuh kasih sayang,
seperti orang tua yang hendak ditinggal pergi oleh anaknya. Dan kali ini benarbenar dirasakan demikian oleh Patidina.
"Hati-hati Ratih. Pesan Paman, hati-hatilah dalah bertindak. Jangan sembarangan
menjatuhkan tangan. Dan ingat, kau harus segera kembali setelah bertemu dengan
Madewa Gumilang!"
"Baik, Paman. Pesan Paman akan saya laksanakan. Seperti kata saya tadi Paman,
saya akan berangkat sebelum matahari sepenggalah."
Ketiga gurunya menatap terharu.
Perlahan Ratih Ningrum
mengangkat buntelannya di pundak. Sikapnya seperti seorang pria sejati! Dengan sepasang
pedang di punggung. Keris di pinggang dan sumpit di dalam buntelan, Ratih merasa
cukup bekalnya untuk pergi. Untuk mencari pembunuh ayahnya!
Langkahnya pun mulai beranjak. Ia menjura lagi. "Selamat tinggal, Paman
sekalian! Saya berharap kita bisa bertemu lagi."
Tak ada yang bersuara. Ketiga
gurunya melambaikan tangan. Tanpa
diminta oleh Ratih untuk menjaga rumah warisan mendiang ayahnya, ketiga gurunya
itu mempunyai kewajiban untuk
menjaganya. Ratih Ningrum membalas lambaian
itu. Dan melangkah perlahan. Hatinya riang merasa lepas dari rumah yang
membuatnya teringat akan kejadian yang lalu.
Namun dalam hati kecilnya, dia
merasa bersalah. Telah membohongi ketiga gurunya tentang kepergiannya. Yang tak
lain dan tak bukan, hendak mencari siapa pembunuh ayahnya!
"Maafkan saya, Paman sekalian...."
Suaranya bersatu dengan desir
angin. * * * 7 Derap kuda itu memecah kesunyian.
Paman yang tengah membakar ikan menjadi bersiaga. Tetapi dia tidak berusaha
bersembunyi. Sikapnya wajar. Malah dia
seperti menunggu orang yang berkuda itu mendekat.
Tiba-tiba orang yang berkuda itu
menghentikan laju kudanya. Hidungnya mencium asap wangi yang enak, yang langsung
membuat perutnya menagih. Orang itu baru ingat, sejak tengah malam dia berkuda
dan belum sekali pun istirahat, apalagi makan.
Dia langsung tururi mencari sumber bau wangi itu. Tak jauh dari tempatnya
berhenti, terlihat asap mengepul. Dia langsung mendekati tempat itu, dengan
sedikit harapan agar kiranya yang membakar ikan itu mau membaginya sedikit untuk
mengganjal rasa laparnya. Dengan harapan itu, dia mendekat.
"Selamat pagi, Tuan." " Pemuda yang sedang membakar itu menoleh sambil
tersenyum. Tetapi mendadak senyumnya hilang dan berubah menjadi keterkejutan.
Demikian pula dengan tamu yang baru datang itu. Matanya terbelalak.
"Tuan Madewa!"
"He, Raga! Ada apa kau kemari"!"
tanya pemuda yang tak lain adalah Madewa Gumilang. Sebenarnya sehabis makan dia
akan melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi menunda karena yang datang adalah
pengawal Tuan Abindamanyu.
Raga seperti kejatuhan bulan.
Hampir setengah malam dia mencari pemuda itu sehubungan dengan penculikan
Nindia, tak tahunya pemuda itu berhasil ditemui.
Dia hampir putus asa. Seperti janjinya, akan kembali sebelum matahari terbit!
Dia buru-buru menghormat, "Kiranya Tuan Madewa ada di sini..."
"Duduk yang baik, Raga. Ceritakan, kenapa kau sampai ke tempat ini" Kalau
dilihat dari bicaramu tadi, kau memang seperti mencariku. Ada apa gerangan?"
Raga buru-buru bercerita tentang
kejadian yang menimpa keluarga
majikannya setelah pemuda itu pergi.
"Sekarang Nona Nindia diculik, Tuan. Dia berada di dalam kekuasaan penculik
itu.... Sebelum pergi penculik itu menulis dengan tetesan darahnya, kalau kami
ingin mencari Nona Nindia, harap menemuinya di tanah genting sebelah timur laut
selatan. Tulisan itu
ditujukan kepada Tuan Madewa, karena nampak orang itu mendendam kepada Tuan."
"Siapa nama penculik itu?"
"Wirapati."
"Wirapati?" Kening Madewa berkerut.
Lalu terbayang kejadian setahun yang lalu, ketika dia mengalahkan Tiga Dewa
Penunggang Kuda. Sebelum Wirapati meninggalkan tempat itu, masih dingatnya benar
akan seruan Wirapati, "Ingat, Madewa! Aku akan datang menuntut balas!"
Dan rupa-rupanya dia benar-benar tidak melupakan seruannya itu.
Madewa menjadi tidak enak hati.
Putri Tuan Abindamanyu dalam kesulitan gara-gara persoalannya. Lalu ia mengajak
makan Raga. Setelah itu dengan
membonceng kuda Raga, mereka kembali ke rumah Abindamanyu.
Jelas Abindamanyu merasa gembira.
Tadi dia sudah cemas karena Raga belum kembali seperti yang dijanjikannya.
Tiba-tiba dia mendengar derap kuda, dia langsung bangkit menyambut. Kiranya
tepat dugaannya, Raga dengan Madewa Gumilang!
"Oh, Tuan Madewa!" serunya
sukacita. Madewa turun dengan gerakan ringan. "Maafkan saya, Tuan Abindamanyu.
Karena persoalan saya, Tuan sekalian dalam kesulitan," katanya sambil menjura.
"Oh, tidak-tidak apa-apa. Hanya yang kurisaukan, masalah putriku. Aku tidak
ingin dia dihina oleh orang yang mengaku bernama Wirapati. Oh... mari silahkan
masuk!" Kedua orang itu masuk ke dalam.
Abindamanyu bertepuk tiga kali. Lalu keluar pelayan dengan hidangan yang enak.
Sambil mempersilahkan Madewa mencicipi hidangan itu, Abindamanyu memanggil
istrinya, yang keluar dari kamar dalam keadaan kuyu dan sembab matanya. Rupanya
dia terus menerus memikirkan nasib putri tunggalnya.
"Maafkan saya, Kakak Nadia," kata Madewa seraya berdiri hormat.
Nadia menghapus air matanya. Ia
berusaha tersenyum, namun terasa sekali kalau dipaksakan.
"Itu bukan salahmu, Dik Madewa.
Mungkin itu sudah nasib adikmu, Rayi Nindia."
Madewa tersenyum mendengar perkataan Nadia yang mencerminkan jiwa yang tabah. Abindamanyu menyuruh Madewa
menceritakan masalahnya terhadap
Wirapati. Dengan hati-hati Madewa menceritakan peristiwa yang dihadapinya dulu.
Setelah mendengar cerita itu, Abindamanyu mengangguk-angguk.
"Sekali lagi saya tidak menyalahkan masalahmu, Adik Madewa. Tetapi sebagai
seorang ayah, saya amat mengkhawatirkan keselamatan putriku...."
"Saya akan berusaha mencari putri Nindia, Tuan Abindamanyu." kata Madewa mantap.
"Kalau itu memang keinginanmu, saya tidak melarang. Dan ingat Madewa, kau jangan
merasa dipaksa olehku... walau ini agak merupakan paksaan. Pasti kau mengerti,
bagaimana galaunya perasaan seorang ayah terhadap putrinya, yang tidak tahu di
mana rimbanya."
"Saya mengerti, kakang. Dan saya memang berniat hendak menyelesaikan masalah
dengan Wirapati. Dalam
kesempatan ini saya juga akan berusaha mencari dan menyelamatkan Putri Nindia."
Nadia menghapus air matanya. Wanita setengah baya itu menatap Madewa penuh
harap, "Dik Madewa... temukanlah putriku. Bawalah dia kepadaku...."
"Saya akan berusaha memenuhi harapan kakak Nadia. Untuk itu, saya tidak perlu
berlama-lama lagi di sini.
Saya mohon pamit dan mohon doa agar berhasil menyelesaikan masalah ini."
Abindamanyu berdiri. "Kenapa harus terburu-buru?"
"Semakin cepat, akan semakin baik.
saya mohon diri," kata Madewa seraya mundur. Lalu menghormat sekali lagi. Dan
melompat ke belakang.
Wutt! Seperti terbang begitu saja. Dan
menghilang. Abindamanyu dan istrinya memandang kagum. Diam-diam dalam hati keduanya, akan
menjodohkan Madewa dengan putri mereka kalau berhasil diselamatkan.
Begitu meninggalkan rumah
Abindamanyu, Madewa melangkah ke arah timur. Dia hendak langsung menyusul ke
tanah genting, tempat yang diinginkan Wirapati bertempur dengannya.
Tanah genting itu sungguh sukar
sekali dicapai. Orang sudah tahu, kalau yang nekat berani datang ke sana, hanya
maut taruhannya. Karena di sana-sini banyak tempat yang berbahaya. Belum lagi
lumpur hidupnya yang penuh dengan lintah.
Tempat yang mengerikan! Dan hanya orang-orang yang mati saja yang ingin datang
ke sana. Namun Madewa tak gentar mendengar semuanya itu. Dia hanya bertekad untuk
menyelesaikan masalahnya dengan
Wirapati. Dan menggembalikan putri Nindia secara utuh pada Abindamanyu, orang
kaya yang pernah ditolongnya dari perampokan.
Wirapati benar-benar menepati
ucapanya dulu. Dia akan datang lagi menuntut balas. Menuntut kematian dua
saudara seperguruannya.
Pasti kepadaian Wirapati semakin
maju, Orang macam Wirapati sudah tidak memikirkan kehidupan. Di benaknya hanya
ada satu pikiran, menuntut balas!
Dan bunuh orang itu!
Mendadak Madewa menghentikan
langkahnya. Di depannya terjadi
keributan. Beberapa orang berpakaian lengkap seperti pengawal istana sedang
mengolok-olok seorang pengemis yang duduk ketakutan di bawah sebatang pohon.
Wajah pengemis itu pias dan pucat.
Rupanya pengemis itu kelaparan dan hendak memasuki sebuah rumah makan yang
mewah. Namun oleh penjaga rumah makan itu tidak diizinkan, karena hanya
orang-orang terpandang saja yang boleh memasuki rumah makan itu.
Dan orang-orang yang berpakaian
seperti pengawal istana itu tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengganggu si pengemis. Mereka
beramai-ramai mengolok-olok dengan kata-kata yang tidak sopan. Kelihatan mereka
orang-orang yang berkuasa. Karena orang-orang di sana diam saja, tak ada yang
berani menolong pengemis itu.
"Hei, Gembel busuk!" bentak yang kurus tinggi dengan codet di sebelah pipi
kiranya. "Kau tidak pantas masuk ke rumah makan! Makananmu cukup hanya sampah
yang busuk itu!"
Kata-katanya disambut oleh yang
lain. Jumlah orang-orang itu ada
delapan. Lengkap dengan senjata pedang masing-masing. Madewa jadi geram
mendengarnya. Benar-benar tidak
berperikemanusiaan orang-orang itu.
Namun ia menunggu sampai di mana prilaku orang-orang itu terhadap si pengemis.
"Kalau ingin makan, nih ambil!" kata yang seorang lagi seraya melempar
bungkusan. Rupanya pengemis itu benar-benar
kelaparan. Dia langsung menubruk
bungkusan yang dilempar tadi. Namun sebelum sampai pada sasarannya, orang tadi
menendang bungkusan itu ke samping.
Si pengemis berusaha untuk mengambilnya.
Namun di tendang lagi. Begitu
seterusnya. Sampai si pengemis kelelahan dan ludahnya berceceran saking tak
kuatnya menahan lapar. Sementara
orang-orang itu tertawa kegirangan, merasa mendapat mainan yang mengasyikan.
Madewa menggeram jengkel. Dia akan membereskan persoalan itu. Tetapi tiba-tiba
meloncat bayangan ringan ke dekat pengemis itu, yang langsung masuk ke lingkaran
para pengawal. Bayangan yang berkelebat itu,
seorang pemuda yang perkasa. Tubuhnya tegap. Dia memakai caping yang bagus
sekali. Pemuda itu menolong sang
pengemis. Lalu memberinya makanan dari bekal yang dibawanya.
Hal itu membuat orang-orang yang
mempermainkan pengemis tadi menjadi marah. Salah seorang membentak, "Hei, siapa
kau! Berani lancang menolong gembel busuk itu!!"
Tetapi pemuda itu tenang-tenang
saja. Tidak beranjak dari tempatnya, memperhatikan pengemis itu makan.
Orang-orang itu semakin marah.
"Bangsat! Kau ingin main-main rupanya dengan kami! Delapan Pendekar Berpakaian
Pengawal!"
Kali ini pemuda itu bangkit.
Sikapnya tetap tenang. Wajahnya tampan sekali. Matanya yang kecil menatap mereka
dengan garang. "Heh!" serunya mengejek. "Julukan yang kosong saja! Kalian hanya berani
menganggu orang yang lemah! Kalau kalian hebat, coba layani aku beberapa jurus!
Ditanggung, sebelum sepuluh jurus kalian sudah berantakan!!"
Kata-kata itu semakin membuat
orang-orang itu geram. Diam-diam Madewa memperhatikan pemuda yang bersuara
angkuh itu. Suaranya terdengar merdu.
Menandakan dia orang yang berpendidikan tinggi.
Tiba-tiba dua orang yang berpakaian pengawal itu maju seraya menyabetkan
pedangnya secara bersamaan namun
berlawanan. "Wuit! Des!"
Dua bayangan pedang itu berkelebat bagai sinar putih. Namun pemuda itu tetap
tenang. Tanpa beranjak sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya. Mendadak
terdengar kedua orang itu menjerit.
"Des!!"
Lalu ambruk dengan tangan yang
terasa ngilu. Pemuda itu tertawa. "Ha... ha...
siapa lagi yang mau maju! Cepat, selagi aku ingin bermain-main dengan kalian!!"
Enam orang yang lain itu menjadi
demikian geramnya. Tanpa aba-aba lagi, serentak mereka mengurung pemuda tampan
itu. "Hei, pemuda ceriwis! Katakan siapa namamu sebelum kami mencabut nyawamu"!"
"Ha... ha... baik, baik, kalau memang itu perlu. Camkan baik-baik, namaku Adi
Permana, alias Walet Putih
dari Utara! Ha... ha... bawalah namaku ke liang kubur kalian masing-masing!"
Pemuda itu berkelit begitu serangan datang. Gerakannya ringan. Benar seperti
walet terbang. Kembali pedang-pedang itu bersambaran dengan cepat. Dan terlihat
gulungan bayangan putih menjadi satu dengan tubuh yang lincahnya melompat dan
menghindar. Sampai lima jurus
Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang-pedang itu belum satu pun
menyentuh tubuh si Pemuda yang bernama Adi permana.
Tiba-tiba pemuda itu melompat
dengan menyambar.
Dukk! Tubuh seorang lawannya terjungkal dengan muntah darah. Gerakan pemuda itu begitu
cepat. Seolah tangannya
berkelebat menjadi banyak. Demikian terus menerus, sampai semua lawannya ambruk
tak berkutik. Pemuda itu terbahak."Ha... ha...
benar kataku, bukan" Sebelum sepuluh jurus, kalian akan tumbang di tanganku!
Sekarang cepat kalian berlutut dan ngabur dari sini! Cepaaaatt!!"
Terburu-buru delapan orang itu
berlutut. Sikap mereka pasrah. Dan malunya tidak ketulungan. Setelah itu mereka
lari seperti anak perempuan, yang diiringi oleh tawa pemuda itu.
Madewa kagum bukan main. Dengan
sebentar saja delapan orang itu dibuat kalang kabut oleh sang pemuda. Tetapi
mendadak, dia teringat. Dia seperti mengenai pukulan yang dilakukan pemuda itu.
Hmm, tapi siapa orangnya yang punya pukulan demikian. Tanpa memikirkan soal itu
lagi, Madewa berkelebat. Bersamaan dengan itu, Adi Permana menoleh. Sekilas
melihat wajah Madewa. Dia berseru, "Hei, tunggu!!" Lalu berkelebat mengejar.
Madewa yang merasa dirinya
dipanggil, menghentikan larinya. Pemuda yang mengejar itu sampai di tempatnya
menunggu. "Ada keperluan apa, Walet Putih, memanggil saya?" tanya Madewa sopan.
Pemuda itu memperhatikan Madewa.
Tiba-tiba dia tersenyum, "Maaf, kusangka kau salah seorang dari pengacau tadi!"
"Oh, tuduhan yang keliru."
"Sekali lagi maaf. Boleh kutahu namamu?" Madewa mengangguk.
"Namaku, Madewa Gumilang," kata Madewa yang merasa Adi Permana bicara akrab
dengannya. "Hmm, boleh kutahu ke mana kau pergi?" "Tidak ada salahnya. Kebetulan sekali,
saat ini aku hendak ke tanah genting di sebelah timur laut selatan.
Ada keperluan apakah kiranya saudara Adi Permana mengetahui kepergian saya?"
"Oh, tidak. Aku hanya ingin
bersahabat denganmu. Sejak turun gunung, belum seorang pun aku mendapat sahabat.
Apakah kiranya Saudara Madewa menerima persahabatanku?"
Madewa tersenyum. Pemuda ini sopan.
Tidak ada salah menerima persahabatan itu. "Dengan senang hati."
"Terima kasih, Saudara Madewa,"
kata Adi Permana seraya membuka
capingnya. Madewa melihat wajah yang sangat tampan sekali. Mata itu begitu
bening. Alisanya begitu hitam. Dan kumis tipis semakin menambah ketampanan wajah
itu. " Aku harap, kita bisa menjadi dua
sahabat yang baik."
"Aku pun berharap begitu. Namun...
aku harus melanjutkan perjalanan ke tanah genting, di sana ada masalah yang
sangat penting yang harus kuselesaikan."
"Apakah Saudara Madewa tidak keberatan kalau aku ikut serta?"
"Oh."
"Kenapa, Saudara Madewa?"
"Tentu dengan senang hati. Hanya saja, perjalananku kali ini menempuh bahaya
yang amat tinggi. Karena
kedatanganku ke sana, harus
menyelesaikan dendam yang tak mungkin akan padam."
"Walaupun bagaimana bahayanya, sebagai seorang sahabat, aku bersedia membantu."
"Kalau memang itu keinginanmu, baiklah. Mari kita berangkat."
Lalu keduanya melangkah. Persahabatan yang cepat. Tanpa saling
mencurigai siapa sahabatnya itu,
keduanya berjalan dengan riang dan penuh tawa. Tidak menyadari kalau di tanah
genting sebelah timur laut selatan maut telah menunggu kedatangan mereka.
Di suatu tempat yang sunyi,
terdengar langkah kaki terseok-seok.
Seakan pemilik kaki itu sudah tak kuat lagi melangkah.
Enggan, namun dipaksakan.
Tangannya memegang sebuah tongkat kayu.
Dan pakaiannya betapa lusuh dan
jeleknya. Warnanya sudah pudar.
Rambutnya pun kusut. Wajahnya kuyu. Dan tubuh orang itu baunya minta ampun.
Mungkin sudah setahun orang itu
tidak mandi! Ya, orang itu adalah pengemis yang tadi di tolong oleh Walet Putih, yang kini
pergi bersama Madewa ke tanah genting.
Walaupun sudah mendapat makanan, pengemis itu masih kelihatan lemah.
Tanpa disadari, langkahnya mengarah pada tanah genting! Entah kenapa dia
mengikuti Madewa melangkah.
Ia pun tahu saat ini Madewa bersama siapa. Tiba-tiba terdengar suara
membentak, "Itu dia orangnya!"
Pengemis itu gugup. Ketakutan dia mencari suara itu. Tahu-tahu telah muncul
orang-orang berpakaian pengawal mengurungnya. Merekalah yang mengganggu
pengemis itu di depan rumah makan.
Delapan Pendekar Berpakaian Pengawal!
"Bangsat rendah!" geram salah seorang jengkel. Ia menendang pengemis itu hingga
jatuh bergulingan. Lalu yang lain menyambar. Menendang pula.
"Gara-gara kau kami dibuat malu oleh pemuda itu!
Des! Des!" Pengemis itu sampai tak berdaya.
Tetapi orang-orang itu belum puas juga. Mereka menghajar pengemis itu sampai tak
berdaya. Mereka marah.
Menurut mereka gara-gara pengemis inilah mereka dipecundangi oleh Walet Putih.
Padahal, kalau mereka tidak
menganggu pengemis itu, tidak akan mereka dikalahkan oleh Adi Permana alisa
Walet Putih. Tapi orang-orang bengis itu tak
perduli. Mereka menghantam. Memukul.
Menendang. Pengemis itu sampai
benar-benar sekarat.
Dan mereka tertawa kegirangan
merasa kemarahan mereka terlampiaskan.
Pengemis itu mengaduh dan memohon ampun. Namun hanya tawa dan cacian yang
diterimanya. Juga pukulan!
"Am... ampuni saya... aaahh!"
Des! Plak! Plak!"
Pengemis itu ambruk tak berdaya.
Dari seluruh tubuhnya mengalir darah
"Bunuh saja!"
"Cepat habisi!"
Salah seorang dari mereka
mengangkat tangan kanannya. Dan siap menghabisi nyawa pengemis itu.
"Tahan!"
Orang itu menghentikan ayunan
tangannya. Sesosok tubuh melayang dari atas pohon. Gerakannya ringan. Dan tidak
menimbulkan suara.
"Ingin kalian apakan orang itu"!"
Mereka hanya tertawa. Mereka sangka siapa tadi. Tidak tahunya seorang wanita
setengah baya yang masih kelihatan cantik. Dan berpakaian indah. Sungguh besar
nyali wanita ini, berani
menghalangi perbuatan mereka.
"Hei, kamu mau apa mencampuri urusan kami" Cepat minggat dari sini!"
Wanita itu hanya tersenyum saja.
Tidak bergeser sedikit pun dari
tempatnya berdiri. Bahkan dia melangkah menghampiri pengemis yang sudah mau
mampus itu. Dua orang bersalto menghalanginya.
"Cepat enyah dari sini, sebelum kami keprus kepalamu!" bentak salah seorang.
Wanita itu tetap hanya tersenyum.
Kecantikan wajahnya masih menggetarkan setiap pria. Tahu-tahu matanya menatap
dengan mesra sekali. Kedua orang itu menjadi gugup. Dan tanpa mereka sadari,
mereka begitu bernafsu sekali pada wanita itu.
Serentak keduanya menubruk.
Memeluk. Dan menciumi. Kawan-kawannya
terkejut. Sedangkan wanita itu hanya tenang saja. Dibiarkan saja kedua orang itu
memeluk dan menciuminya.
Namun tiba-tiba kedua tangan wanita itu terangkat. Dan menggeprak kepala kedua
orang itu. "Haitt! Des!"
Kedua orang itu terkulai dengan
kepala pecah. Wanita itu menepuk-nepuk kedua tangannya. Hmm, hanya mengotorngotori tanganku saja, katanya dalam hati.
Teman-teman kedua orang itu kaget.
Tak menyangka semudah itu wanita itu menghabisi nyawa teman mereka.
Tanpa diperintahkan, serentak
mereka mengurung. Wanita itu sangat berbahaya. Mereka sudah tidak perduli dengan
pengemis itu. "Kejam!" desis salah seorang dari mereka.
Wanita itu hanya tertawa.
"Kalian tidak sadar dengan
perbuatan kalian... yang lebih kejam dari binatang," ejeknya sambil menunjuk
pengemis itu. "Itu urusan kami! Kau tak perlu mencampuri!!"
Wanita itu tersenyum.
"Kalian juga tidak perlu mencampuri urusanku. Biar kedua orang itu mampus.
Itu urusanku, bukan urusan kalian!"
"Setan! Mereka teman kami, dan urusan kami!"
"Pengemis itu temanku, dan
urusanku."
Orang itu menggeram marah. Mendadak dia menyerang dengan goloknya yang panjang.
Wanita itu hanya berkelit sedikit. Luput dari serangan pedang itu.
Namun golok-golok yang lain segera berterjangan. Silih berganti.
Tetapi wanita itu tetap tenang.
Lagi-lagi ia hanya menghindar ke
sana-kesini dengan gerakannya yang cepat. Bahkan dia sempat menjatuhkan dua
orang dari mereka, yang langsung mati terkena pukulannya.
Mereka terkejut. Hanya dengan
sekali pukul, kawan mereka mati. Lagi mereka serentak menyerang.
Dan ambruk tubuh mereka satu
persatu. Wanita itu mendengus.
Meremehkan. "Kepandaian cuma segitu, kalian pamerkan padaku!"
Lalu ia melangkahi mayat-mayat itu, menghampiri pengemis yang masih
tergeletak. Dia mengomel sendirian,
"Sudah kubilang jangan pergi, kau malah meninggalkanku. Dasar bandel!"
Wanita itu mendudukkan pengemis itu dalam posisi bersila. Sedangkan dia berada
di belakangnya. Kedua telaak tangannya bertumpu di punggung pengemis itu. Lalu
dia menarik nafas panjang. Dan mengalirlah tenaga dalamnya ke tubuh pengemis itu
Rupanya dia hendak mengobati
pengemis itu. Kedua telapak tangannya mengeluarkan asap putih. Sekian lama dia
menyalurkan tenaga dalamnya.
Dan mendadak pengemis itu tersentak dan muntah darah.
"Huaak!"
"Terus muntahkan, tolol!" bentak wanita itu masih tetap menyalurkan tenaga
dalamnya. Pengemis itu terus muntah darah. Tak berapa lama kemudian, berhenti. Tangan
wanita itu dengan cekatan menotok beberapa bagian tubuh pengemis itu. Lalu ia
berdiri dan membentak, "Sudah kukatakan jangan pergi, kau pergi juga!
Beginilah akibatnya!"
Pengemis itu menggeliat. Tubuhnya sudah terasa agak enakan. Dia jengkel dibentak
demikian. Tidak berterima kasih sedikit pun.
Ia balas membentak, "Kau tidak perlu memperdulikan aku lagi, Pandan! Cepat kau
balik ke rumah! Aku akan tetap dengan tujuanku!"
"Bah!" Wanita itu mendengus. "Mana mungkin kau masih mengenalinya" Sekian tahun
dia pergi! Dan tak ada kabarnya!
Kau pun belum tahu dia masih hidup atau sudah mati"!"
"Tidak, aku akan tetap mencarinya!
Aku rindu pada mereka!"
Wanita cantik itu sekali lagi
mendengus. Ia membentak lagi, "Kau tidak
akan menjumpainya, Karto! Sudah lama mereka pergi, entah ke mana!"
"Ini semua gara-gara kau, tahu! Kau telah membuat keluargaku berantakan! Kau
memang wanita iblis, Pandan!"
Wanita tu menggeleng. "Jangan salahkan aku! Salahkan ayahnya Warsih Inten,
istrimu itu! Dialah yang telah mempermainkan ibuku sampai ibuku menjadi gila.
Orang itu seenaknya saja
menghamili ibuku. Aku tidak terima, Karto.... Dan aku lahir ke dunia ini karena
cinta terpaksa dari ayah Warsih Inten, yang lalu membuang aku dan ibuku jauh ke
hutan. Aku mendendam pada orang itu,
sekalipun dia adalah ayahku sendiri.
Tapi sayang, orang itu sudah mati ketika aku ingin membalas dendam.
Tetapi istrimu adalah anaknya, aku bisa membalaskan dendam itu padanya, dengan
merebutmu dari sisinya!"
"Kau jahat, Pandan!" geram pengemis itu.
"Bukan aku!"
"Kau! Kau telah mempengaruhiku. Dan menyebabkan anak istriku pergi entah ke mana
dan bagaimana nasib mereka."
"Biar saja kedua orang itu mampus.
Aku toh istrimu...."
"Tidak! Aku akan tetap mencari mereka!!"
Wanita cantik berpakaian indah itu mengejar, "Aku ikut, Karto!"
"Tidak!" Pengemis itu berbalik dan menatap wanita itu dengan garang. "Sudah
kukatakan Pandan, kau tinggalkan aku sendiri di sini! Jangan ganggu aku lagi.
Kita sudah sama-sama tua...Pandan..
Kuminta padamu, di akhir hidupku ini, jangan ganggu aku lagi. Biarkan aku
mencari anak istriku. Aku ingin
mengakhiri hidupku bersama mereka."
"Tapi aku istrimu!"
"Iya, tapi kau tidak boleh ikut!"
Wanita itu menggeleng keras.
"Aku akan ikut denganmu! Akan kubunuh anak istrimu itu!"
"Pandan!"
"Aku mencintaimu, Karto... hu...
hu... kau jahat.... Jangan tinggalkan aku, Karto...."
Pengemis itu menggeleng-geleng
kepala bingung. Yah... pengemis itu bernama Kartonggolo dan wanita cantik itu
bernama Pandan Ningsih.
Kartonggolo itu sebenarnya adalah ayahnya Madewa Gumilang, yang telah berbuat
serong dengan Pandan Ningsih (baca : Pedang Pusaka Dewa Matahari).
Pandan Ningsih melakukan semua itu, karena mendendam pada ayahnya Warsih Inten,
istri Kartonggolo, yang telah menyebabkan ibunya menjadi gila. Dia sengaja
mengacaukan rumah tangga Warsih Inten. Dan menyebabkan wanita itu pergi bersama
Madewa ketika masih kecil.
Sangka Pandan Ningsih, setelah
menyebabkan wanita itu pergi, dia akan segera meninggalkan Kartonggolo. Namun
dia amat mencintai laki-laki. Dan dia pun enggan meninggalkannya. Selama 15
tahun dia hidup penuh cinta dengan laki-laki itu. Dan di saat yang lama itu, dia
teringat akan nasib Warsih Inten. Biar bagaimanapun, Pandan Ningsih masih
mempunyai naluri keibuan. Dia menyesal telah menyebabkan wanita itu pergi dan
sengsara.
Pendekar Bayangan Sukma 2 Dendam Orang Orang Gagah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ketika suaminya berniat
hendak menyusul mereka, Pandan Ningsih menjadi marah dan cemburu. Dia selalu
menghalangi ke mana pun suaminya pergi.
Sedangkan rasa rindu Kartonggolo
pada anak istrinya begitu mendesak dan menyentak. Namun suatu ketika, dia
berhasil lolos dari pengamatan istrinya yang
sedang mandi. Dengan cepat
Kartonggolo menyelinap dan menyelinap dan menyamar sebagai pengemis agar tidak
dikenali istrinya, Pandan Ningsih.
Tetapi agaknya Pandan Ningsih jeli.
15 tahun tinggal bersama, dia hafal bau Kartonggolo. Dia berhasil menjumpai
suaminya itu, yang merasa kembali ada halangan untuk menjumpai anak istrinya.
Karena Pandan Ningsih ingin
membunuh mereka, karena merasa kasih sayang Kartonggolo akan diambil alih oleh
mereka. Ini membuat Kartonggolo kebingungan lagi. Tapi kalau saja Pandan Ningsih yang
sudah menjadi istrinya secara sah tidak datang, dia pasti mampus di tangan
orang-orang tadi.
Diam-diam Kartonggolo bersyukur
juga jika istrinya ikut. Istrinya seorang wanita yang pandai bersilat.
Juga ilmu hipnotisnya yang hebat.
Kalau istrinya ikut, pasti
keselamatannya ter-amin. Namun istrinya akan membunuh putranya jika bertemu.
Tak ada pilihan lain. Kartonggolo mengajak Pandan Ningsin ikut mencari putranya.
Biar dia pergi sendirian, pasti Pandan Ningsih akan tetap
membuntutinya. * * * 9 Tanah genting itu sunyi. Tetapi di atas sana beberapa camar berteriak-teriak.
Tak seorang pun yang kelihatan berada di sana.
Hanya yang ingin cari mati saja yang nekad datang ke tampat itu.
Tetapi pagi itu terdengar suara isak dari goa yang terdapat di sana. Isak itu
begitu memilukan. Sejak malam isak itu terdengar.
Dan lagi-lagi terdengar bentakan
jengkel, "Jangan menangis! Atau kau ingin kubunuh"!"
Tetapi suara tangis itu bukannya
mereda malah berkepanjangan. Suara tangis wanita, yang tak lain adalah Nindia.
Dan yang membentak itu Wirapati yang sudah lima hari menyekap Nindia.
Wirapati kesal bukan main, karena sekian lama orang yang ditunggunya tidak
datang-datang. Apalagi
gadis itu sepanjang hari kerjanya menangis terus.
Dan terasa mengganggunya.
Ancaman apa pun tak mempan bagi
gadis itu. Walaupun diancam akan
dibunuh, tetap menangis. Bagi Nindia, lebih baik dibunuh daripada disekap oleh
penjahat itu. Bayangan wajah ayah dan ibunya
bermain di matanya setiap malam. Dia ingin lari dari sini. Dia ingin berada di
samping ayah ibunya.
Sudah dua kali dia mencoba lari.
Tetapi dua kali itu pula kepergok oleh Wirapati, yang langsung menyeretnya tanpa
ampun. Sejak kejadian itu, Nindia tidak
berani melarikan diri walau ada
kesempatan sekali pun.
Dan tidak ada yang dapat dilakukannya selain menangis. Dan menangis, memohon belas kasihan
penyekapnya agar dia dibebaskan.
Tapi Wirapati tetap tidak perduli!
Sebelum pemuda yang ditunggunya datang, dia tidak akan melepaskan sanderanya.
Hari ini Nindia menangis lagi.
Tubuhnya semakin kurus dan lemah.
Matanya sembab. Pipinya memerah. Dia selalu menolak makanan yang disuguhkan oleh
Wirapati. Dia tidak sudi memakan makanan yang dihidangkan oleh orang yang
dibencinya! "Hei, Gadis manis!" bentak Wirapati jengkel, karena tangis itu belum
berhenti juga. "Kalau kau tidak menghentikan tangismu, aku akan benar-benar
membunuhmu!" Wirapati menarik pedangnya dari sarungnya.
Sreeet! Pedang yang bercahaya itu
diacungkan di depan wajah Nindia. "Lihat ini, kalau kau tidak berhenti menangis,
akan kubuat cacat tubuhmu!"
"Lakukan, lakukan itu! Buat cacat wajahku!" tantang Nindia tidak takut.
Suaranya serak, penuh kegeraman. "Aku lebih baik mati daripada disekap olehmu!
Bunuh, bunuh aku!"
Wirapati menjadi semakin jengkel.
Dengan gerakan yang cepat tangannya mengayun.
Sreet! Sreeet! Ujung pedang itu mengenai pakaian atas Nindia. Tidak melukai wajahnya.
Juga tidak melukai bagian tubuh yang lain.
Gerakan itu sebenarnya tidak
sengaja. Tapi Wirapati benar-benar akan membunuh gadis itu. Kegeramannya sudah
naik ke ubun-ubun, minta ditumpahkan.
Tetapi dia ingat, akan datangnya
Madewa Gumilang untuk mengambil gadis ini. Wirapati seorang kesatria yang
memegang teguh adat kekesatriaannya.
Yang tidak boleh melanggar ucapannya sendiri.
Jika dilanggar bagaikan mencoreng mukanya sendiri. Makanya dia menyalahkan
sasaran pedangnya dari wajah Nindia.
"Oh!" Nindia mengeluh kaget melihat pakaiannya mendadak melorot begitu saja.
Reflek dia menutupi dadanya dengan kedua tangannya.
Matanya melotot merah dan benci pada Wirapati. "Kau"! Penjahat cabul!!"
bentaknya geram seraya beringsut ke belakang.
Justru dengan terlihatnya bagian
dada Nindia, mata Wirapati terbelelak.
Mendadak matanya berkilat-kilat penuh gairah. Marahnya mendadak tiba-tiba padam,
bergantian dengan nafsu birahi.
Tatapannya liar, nanar menatap
pemandangan yang sudah lama tidak dinikmatinya.
Sejak bergabung dengan Tiba Dewa
Penunggang Kuda, Wirapati telah lama tidak merasakan kehangatan tubuh wanita
lagi. Dan kali ini melihat Nindia, mendadak nafsu yang sudah padam itu
bangkit. Ia masih menatap. Ia menjilat lidahnya. Matanya memancarkan sorot yang
menakutkan. Berkilat dan bercahaya penuh gairah.
Nindia ketakutan melihat sorot mata itu. Dia beringsut ke sudut. Perlahan
Wirapati menjatuhkan pedangnya.
Perlahan pula mendekati dengan
menyeringai lebar.
"Ma... mau... apa kau"!" bentaknya takut-takut.
"He... he... tubuhmu sedap
dipandang juga, gadis manis," desis Wirapati sambil membelai lengan Nindia,
"Iih!" desis Nindia jijik. "Ja...
jangan ganggu aku! Kubunuh kau nanti!!"
"Ha... ha... omonganmu besar juga, Gadis. Hei, aku belum tahu siapa namamu?"
"Tidak, tidak! Jangan... jangan ganggu aku!"
"Ha... ha... aku ingin tahu namamu, Gadis manis." Tiba-tiba suara Wirapati
berubah bengis, "Ingat, kalau sampai besok Madewa tidak datang kau akan kuhina
habis-habisan! Kau harus melayaniku selama-lamanya di sini ha... ha...."
Nindia menangis terguguk. Sedikit lega karena Wirapati tidak sekarang
menghendaki tubuhnya. Tiba-tiba dia berharap, agar pemuda yang pernah menginap
di rumahnya datang menolong.
Tetapi kapan harapan itu akan datang.
Wirapati bangkit sambil menelan air liurnya. Tiba-tiba saja dia menyentak
kedua tangan Nindia dari dadanya. Nindia menjerit seraya meronta. Wirapati
terkekeh. Senang melihat buah dada Nindia yang montok.
"Penjahat cabul!!" tiba-tiba terdengar bentakan keras itu. Wirapati menoleh
sigap. Disangkanya Madewa yang datang, dia langsung menyambar pedangnya yang
jatuh, Tetapi dia terkejut, bukan Madewa, malainkan seorang wanita yang cantik.
Dengan senyumnya mendebarkan.
"Siapa kau"!" bentak Wirapati yang merasa wanita itu menganggu
keasyikannya. Dia tak perduli siapa wanita itu. Pokoknya yang telah
mengganggunya, akan dihabisinya.
Wanita cantik itu tertawa. Baju di lengan kirinya menjuntai. Rupanya lengan kiri
wanita cantik itu buntung! Ia mengenakan baju tipis berwarna merah, juga
selendangnya yang berwarna merah.
"Kau ingat dengan selendang ini?"
suara wanita itu mengerikan.
Wirapati terdiam. Mengingat-ingat.
Kalau selendang merahnya dia jelas tahu siapa wanita itu, tetapi mengapa lengan
kirinya buntung"
Belum lagi dia menjawab, wanita itu terkekeh, "Tepat dugaanmu, Penjahat cabul!
Akulah Pratiwi, si Selendang Merah. Hik... hik...!"
Wirapati terperangah. Kaget.
Matanya memperhatikan wanita yang lengan sebelah kirinya buntung. Wanita itu
mengaku Pratiwi" Apa tidak salah.
Wirapati tahu, Pratiwi adalah tokoh wanita sesat yang berpredikat Dewi cabul.
Tetapi akhir-akhir ini namanya telah lenyap. Namun sekarang ada yang mengakungaku sebagai Pratiwi. Ha...
ha... lucu! Pratiwi si Selendang Merah tidak buntung lengan kirinya!
"Hei, perempuan buntung!" bentak Wirapati mengejek. "Enak-enak saja kau mengaku
sebagai Pratiwi! Mimpi apa aku menjumpai wanita gila macam kau!"
Dibentak seperti itu Pratiwi hanya terkekeh.
Tanpa menghiraukan Wirapati, dia
menghampiri Nindia yang merasa beruntung karena datangnya dewi penyelamat itu.
Nindia langsung memeluk Dewi Cabul itu. Ia menangis terguguk. Pratiwi membelai
rambutnya dan berbisik lembut,
"Jangan menangis, Anak manis. Jangan takut. Selama ada aku di sini, kau akan
aman." "Bangsat kau, Perempuan buntung!"
geram Wirapati marah karena seruannya dianggap angin lalu saja oleh Pratiwi.
Pratiwi bangkit dengan cepat.
Matanya seakan menyala menatap Wirapati.
Jengkelnya bukan main karena sudah dua kali dia dipanggil perempuan buntung.
"Hmm," desisnya mengerikan.
Suaranya persis ular cobra yang sedang marah. "Katakan siapa namamu, sebelum
kucabut nyawamu"!"
Wirapati tergelak. "Punya nyali juga rupanya kau, Perempuan buntung!
Ketahuilah, aku Wirapati, salah seorang dari Tiga Dewa Penunggang Kuda. Ha...
ha... cepatlah berlutut sebelum kucabut nyawamu!"
"Hhh! Kau yang akan menerima akibatnya dari ucapanmu itu!"
"Ha... ha... aku ingin kau
membuktikan ucapanmu, Perempuan
Buntung! Biarpun kau mengaku sebagai Pratiwi alias Si Selendang Merah, tak ada
rasa takut sedikit pun terhadapmu!"
Merah wajah Pratiwi. Tahu-tahu
dengan gerakan yang sangat cepat, ia telah menguraikan selendang merah yang
membelit di dadanya. Wirapati hanya tertawa mengejek. Dia tahu siapa
Selendang Merah. Dan dia yakin, wanita ini hanya orang gila yang mengaku sebagai
tokoh wanita sesat itu.
"Baik, Wirapati! Kau sambutlah ilmu selendang merahku. Perhatikan baik-baik,
siapa aku sebenarnya!" sesudah berkata begitu, Pratiwi langsung
melecutkan selendangnya dengan jurus Angin Membelah Badai. Wirapati
tersentak. Dia mengenai jurus itu. Jurus yang nampak ringan namun berbahaya. Dia
langsung berkelit menghindari lecutan selendang itu. Serangan Pratiwi luput, dan
selendang merahnya meluncur mengenai dinding goa yang menimbulkan suara keras.
"Plarr!"
Dinding goa itu hancur berantakan.
Belum lagi Wirapti sempat membalas, selendang merah Pratiwi kembali
menyerang. Rupanya jurus Angin Membelas Badai, merupakan gerakan yang
menyambung, yang ujung selendang telah dialiri tenaga dalam yang kuat. Kali ini
Wirapati bergerak cepat. Dan tangannya mengayunkan pedang dengan gerakan cepat
pula. Pratiwi menarik pula selendang merahnya.
Dia langsung merubah jurusnya. Kali ini dia memainkan jurus selendang Menjadi
Tombak. Dan keanehan terjadi.
Selendang yang lemah dan lembut itu, mendadak berubah menjadi sebuah tombak yang
kokoh dan kuat. Dengan tombak itu dia melakukan tusukan yang cepat ke arah leher
Wirapati. "Trang... trang!!'
Bunyi itu terdengar keras. Sebelum tombak Pratiwi mengenai sasarannya, Wirapati
sudah menghalau dengan
pedangnya. Namun dia terhuyung ke belakang. Tangannya terasa kesemutan.
Tenaga yang mengalir dalam selendang itu begitu besarnya.
Sekarang Wirapati yakin, siapa
wanita ini sebenarnya. Memang Pratiwi alis si Selendang Merah. Tetapi mengapa
tangannya buntung" Dan ke mana dia selama setahun belakangan ini"
Nindia yang sejak tadi cemas, bisa bernafas dengan lega kembali. Wanita yang
datang itu benar-benar seorang tokoh jagoan yang sakti. Walaupun lengan kirinya
buntung, tetapi dia mampu menandingi Wirapati!
"Tahan!" jerit Wirapti seraya menghindar. "Kau memang benar Pratiwi adanya.
Sebelum dilanjutkan, ada
beberapa pertanyaanku."
"Hhh!" Pratiwi mendengus meremeh-kan. Tangannya memutar-mutar selendangnya yang
kini kembali lembut.
"Jangan bertele-tele Wirapati, aku sudah tak tahan ingin mencabut nyawamu!!"
"Tahan, Pratiwi! Dengar pertanyaanku, bukankah kau selama setahun ini sudah
mengundurkan diri" Apa gerangan yang membuatmu kembali ke rimba persilatan ini?"
"Itu urusanku! Kau tidak perlu tahu!"
"Baik! Kurasa kita hentikan saja pertandingan ini. Bawalah gadis itu bersamamu.
Aku tak ingin membuat
permusuhan denganmu!"
"Pengecut! Rupanya bekas anggota Tiga Dewa Penunggang Kuda, punya nyali seperti
tikus!" SELESAI Nah, sampai disini kisah ini
berakhir selanjutnya silakan anda simak dalam "Petaka Cinta Berdarah".
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Sepasang Naga Lembah Iblis 7 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Raja Pedang 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama