Ceritasilat Novel Online

Dewi Bunga Asmara 1

Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara Bagian 1


SATU PENDEKAR 131 Joko Sableng, Guru Besar Liang
San, dan Bidadari Bulan Emas tidak melihat siapasiapa meski baru saja telinga masing-masing mendengar suara dua orang. Suara seorang laki-laki dan perempuan. Bahkan sekalipun mereka telah putar pandangan masing-masing sekali lagi dengan mata dipentang besar-besar. Sementara Dewa Cadas Pangeran tidak acuhkan ucapan yang baru saja terdengar. Orang
tua yang wajahnya tertutup batu putih ini terus langkah-kan kaki mendekati
Bidadari Bulan Emas!
Seperti dituturkan dalam episode: "Dewa Cadas
Pangeran", ketika Pendekar 131 akan menyelidik ke
Perguruan Shaolin, mendadak muncul Guru Besar
Liang San. Setelah terjadi pembicaraan, keduanya tahu siapa orang yang ada di hadapannya. Tapi ketika
Guru Besar Liang San bersikeras meminta peta wasiat
pada murid Pendeta Sinting dan terjadi bentrok, muncullah Bidadari Bulan Emas. Dengan pesona tubuhnya, Bidadari Bulan Emas coba menggoda Joko.
Untuk mengalihkan perhatian Guru Besar Liang
San, Joko pura-pura tertarik dengan Bidadari Bulan
Emas. Kedua orang ini akhirnya hendak pergi. Guru
Besar Liang San tidak membiarkan begitu saja. Namun
belum sampai Guru Besar Liang San berbuat sesuatu,
muncul Dewa Cadas Pangeran. Dewa Cadas Pangeran
minta agar Joko memberikan kesempatan padanya untuk dapat membawa pergi Bidadari Bulan Emas. Karena merasa yakin Dewa Cadas Pangeran tahu apa yang
tengah dihadapi dan maklum apa yang tersirat di balik ucapan Dewa Cadas
Pangeran, akhirnya Joko mengizinkan Dewa Cadas Pangeran untuk membawa pergi
Bidadari Bulan Emas. Bidadari Bulan Emas terkejut
besar. Sementara Guru Besar Liang San sama palingkan kepala dengan raut membayangkan rasa kaget.
Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tampak tenangtenang saja, malah orang ini gerakkan kaki mendekati Bidadari Bulan Emas.
"Aneh! Dari gerakan kepala Guru Besar Liang San
dan Bidadari Bulan Emas, jelas kalau suara dua orang tadi benar-benar ada! Tapi
mana manusianya"!" Pendekar 131 kernyitkan kening. Ekor matanya melirik
pada Dewa Cadas Pangeran yang bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas. "Jangan-jangan suara tadi diperdengarkan orang tua ini! Bukankah kalau dia perdengarkan suara, orang tidak akan tahu karena mukanya tertutup batu putih"! Tapi suara tadi jelas bersumber dari arah seberang lain! Atau mungkinkah dia
pergunakan ilmu memindahkan suara"!"
Kalau murid Pendeta Sinting bertanya-tanya tentang siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan
suara, tidak demikian halnya dengan Bidadari Bulan
Emas. Walau dia juga menduga-duga, namun perhatiannya justru tertuju pada gerakan Dewa Cadas Pangeran. Hingga begitu kepalanya berpaling dan tak melihat siapa-siapa, perempuan bertubuh sintal mulus
dan berparas cantik ini cepat alihkan pandang matanya pada Dewa Cadas Pangeran.
"Celaka kalau dia memang hendak mengajakku
pergi! Ini bisa merusak rencanaku pada Pendekar 131
Joko Sableng! Padahal siasatku hampir saja berjalan
lancar! Jahanam betul! Menurut yang kudengar, orang
tua itu berilmu tinggi dan memiliki keanehan.... Apa yang harus kulakukan
sekarang"!" Bidadari Bulan Emas membatin dengan wajah makin tegang dan dada
berdebar. Sementara di lain pihak, Guru Besar Liang San tegak dengan tampang geram. Apalagi kala sepasang matanya tidak menemukan sosok orang yang suaranya
baru saja terdengar.
"Keparat! Urusan satu belum juga tuntas, sudah
ada lagi penghalang yang muncul!" Orang tua berkepala gundul dan sekarang menjadi Pimpinan Perguruan Shaolin ini tidak pedulikan gerakan Dewa Cadas
Pangeran. Dia menoleh pada Pendekar 131 begitu sepasang matanya tidak melihat sosok orang yang baru
saja perdengarkan suara.
Saat itulah, kembali tempat itu dipecah dengan terdengarnya suara. "Aku telah berkata! Telingamu telah mendengar! Kalau kau
teruskan langkah, berarti kau
menjemput kematian!" Semua orang di tempat itu tahu
kalau suara yang baru terdengar adalah suara seorang laki-laki. Semua juga tahu
jika suara teguran itu ditujukan pada Dewa Cadas Pangeran. Karena dialah satusatunya orang yang bergerak melangkah mendekati
Bidadari Bulan Emas.
Belum sampai ada yang gerakkan kepala, suara lain
menyahut. "Perintah telah diperdengarkan! Kalau ingin nyawa selamat, turuti
perintah kami!" Suara ini adalah suara perempuan.
Tahu kalau ucapan orang ditujukan padanya, Dewa
Cadas Pangeran hentikan tindakan. Namun orang tua
ini tidak berusaha gerakkan kepala ke sumber suara
meski hampir bersamaan Pendekar, Guru Besar Liang
San, dan Bidadari Bulan Emas berpaling ke arah dari
mana suara terdengar! Ketiga orang ini melihat satu
sosok bayangan berkelebat. Kejap lain di depan sana
telah tegak satu sosok tubuh !
Guru Besar Liang San, Pendekar, dan Bidadari Bulan Emas tegak di tempat masing-masing dengan mata
mendelik dan mulut sama terkancing. Mereka melihat
seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Rambutnya hitam lebat dibiarkan
bergerai. Tapi bukan karena ketampanan wajah orang
yang membuat Guru Besar Liang San, Joko, dan Bidadari Bulan Emas pentangkan mata. Ternyata, meski
sosok yang muncul adalah seorang pemuda, bibir pemuda ini diberi warna merah menyala! Pipi kanan kirinya yang berkulit putih juga
disaput dengan pewarna
merah muda. Bahkan dia juga mengenakan pakaian
panjang mirip kebaya milik seorang perempuan! Tangan kirinya disilangkan di depan dadanya yang mencuat kencang, sementara tangan kanannya bergerak
pulang balik lemah gemulai mempermainkan sebuah
kipas. Melihat tampang orang yang baru muncul, perlahan-lahan ketegangan di wajah Joko lenyap. Bibirnya
sunggingkan senyum meski dalam hati dia berkata.
"Dari lagak dan tampangnya, pasti suara dua orang
tadi diperdengarkan oleh pemuda satu ini!"
Sementara demi melihat munculnya si pemuda,
Guru Besar Liang San mendengus. Dia memperhatikan
agak lama. Lalu edarkan pandangan berkeliling.
"Apakah dua suara tadi diucapkan oleh pemuda
ini"! Ataukah ada orang lain"! Aku belum pernah melihat pemuda ini.... Jangan-jangan kemunculannya
bersamaan dengan...."
Belum sampai Guru Besar Liang San teruskan kata
hatinya, murid Pendeta Sinting telah angkat suara.
"Boleh kami tahu siapa kau adanya"! Dan apakah
kau yang mengucapkan perintah tadi"!"
Yang ditanya tidak menjawab. Dia sapukan pandang matanya pada Guru Besar Liang San, lalu ke
arah Bidadari Bulan Emas dan Dewa Cadas Pangeran.
Terakhir si pemuda hujamkan matanya pada Pendekar. Untuk beberapa saat sepasang matanya meneliti
dari kaki sampai kepala.
Dipandangi orang begitu rupa, Joko makin lebarkan
senyum meski dalam hati dia terus membatin. "Apakah perangai orang macam dia di negeri ini sama dengan di tanah Jawa"! Yang kudengar, orang seperti dia lebih suka sama laki-laki!
Hem.... Seandainya dia benar-benar seorang perempuan, sungguh sayang kalau
dilewatkan berlalu begitu saja.... Kulitnya putih, bibirnya merah menggoda.
Rambutnya panjang bergerai.
Dadanya...."
"Apa yang kau lihat"! Mengapa senyam-senyum"!"
Mendadak si pemuda yang mengenakan kebaya perdengarkan suara. Suaranya keras menggelegar dan jelas
suaranya adalah suara seorang laki-laki. Tangan kanannya yang bergerak pulang balik berkipas dihentikan. Sepasang matanya dibeliakkan menusuk tajam ke
dalam bola mata murid Pendeta Sinting.
Belum sempat Joko buka mulut, si pemuda telah
sambungi ucapannya. "Dari apa yang kudengar dan
kulihat, kau adalah pemuda asing dari seberang laut
bergelar Pendekar 131 Joko Sableng! Benar"!"
Selain Dewa Cadas Pangeran, semua yang ada di
tempat itu sempat terkejut. Karena suara si pemuda
kali ini jelas suara milik seorang perempuan! Tapi yang paling tampak kaget
adalah murid Pendeta Sinting
demi mendapati si pemuda telah tahu siapa dirinya.
"Dugaannya tepat! Berarti dia telah lama berada di
sekitar tempat ini dan mendengar pembicaraanku dengan Guru Besar Liang San, Bidadari Bulan Emas,
serta Dewa Cadas Pangeran!" kata Joko dalam hati.
Namun Joko tidak mau tunjukkan rasa kaget. Dia tetap sunggingkan senyum lalu berucap.
"Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kau dengar
dan kau lihat di tempat ini. Kalau kau ingin penjelasan, kita pergi dari sini!"
Ucapan Joko membuat Bidadari Bulan Emas berpaling. "Celaka! Apakah dia telah tahu rencanaku"!
Tadi dia memberikan kesempatan yang kuberikan pada Dewa Cadas Pangeran, sekarang dia mengajak pergi
pemuda yang baru datang itu! Ini tidak boleh terjadi!
Siapa tahu pemuda banci itu juga tahu urusan peta
wasiat!" Membatin begitu, tanpa memandang pada pemuda
yang mengenakan kebaya, Bidadari Bulan Emas angkat bicara. "Pemuda berkebaya! Harap katakan saja apa maksud kedatanganmu!"
Yang ditanya lagi-lagi tidak segera menjawab. Sebaliknya dia tertawa panjang sebelum akhirnya berkata
dengan tangan kanan kembali bergerak pulang balik
berkipas-kipas.
"Perempuan cantik! Hari ini aku mendapat rejeki
besar. Maksud pertama kedatanganku tadi sebenarnya
tertarik dengan pemuda asing bergelar Pendekar 131
Joko Sableng itu. Sebelum aku utarakan apa maksudku, ternyata Pendekar 131 telah tahu.... Malah kau dengar sendiri dia mengajakku
pergi dari sini!" Suara si pemuda kali ini adalah suara milik seorang perempuan.
Tanpa menunggu sambutan Bidadari Bulan Emas,
si pemuda berkebaya berpaling sesaat pada Bidadari
Bulan Emas. Bibirnya yang merah sunggingkan senyum. Lalu kepalanya menoleh pada Joko. Sebelah
matanya dikedipkan lalu berkata. Suaranya masih seperti suara perempuan.
"Pendekar.... Aku memang ingin banyak penjelasan
darimu. Dan kurasa tempat ini memang kurang enak
kalau dibuat menjelaskan. Apalagi ada yang lebih kuinginkan darimu daripada sebuah penjelasan!" Si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Dada Joko jadi
berdebar. Guru Besar Liang San dan Bidadari Bulan
Emas tegak dengan mata saling lontar pandang. Kedua
orang ini tampaknya telah dapat menangkap apa tujuan kata-kata si pemuda berkebaya.
Si pemuda berkebaya sapukan pandangannya sekali lagi. Saat bersamaan terdengar dia tertawa pendek. Lalu berkata.
"Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan! Aku
belum selesai dengan ucapanku. Yang kuinginkan lebih bukanlah ada hubungannya dengan peta wasiat!"
Si pemuda lontarkan pandang matanya pada Pendekar. Lalu lanjutkan ucapan. "Dia seorang pemuda tampan.... Tanpa kujelaskan lebih lanjut, kurasa kalian tahu apa maksudku!" Si
pemuda tertawa cekikikan.
Kipas di tangan kanannya ditutupkan pada mulutnya.
Sementara sebelah matanya berkedip-kedip.
"Busyet! Ternyata di sini dan di tanah Jawa tidak
ada bedanya!" gumam Pendekar 131 dengan kecut. Senyumnya yang dari tadi terus tersungging mendadak
pupus. "Kita pergi sekarang, Pendekar"! Aku tahu tempat
yang aman untuk menjelaskan dan bersenang-senang!" Si pemuda berkebaya berujar dengan perdengarkan suara perempuan. Saat lain dia melangkah ke
arah murid Pendeta Sinting dengan bibir tersenyum
dan kembali berkipas-kipas.
Namun belum sampai bergerak lebih jauh, Bidadari
Bulan Emas membentak.
"Siapa pun kau adanya, jangan kira gampang memotong langkah orang!"
Si pemuda berkebaya hentikan langkah. "Pemuda
tampan itu telah melepasmu untuk diberikan pada
orang tua yang malu-malu tunjukkan wajah itu! Jadi
sekarang dia bebas menentukan langkah! Dan seperti
kau dengar tadi, dia mengajakku pergi dari sini! Apakah aku salah kalau menuruti
kemauannya"! Lagi pula sejak pertama aku memang tertarik padanya! Baru
kali ini aku menemukan pemuda imut-imut seperti
dia... Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau saja tergoda, apakah keliru jika aku
juga tergiur"! Padahal di balik semua ini, aku tidak punya keinginan lain!
Berbeda de- nganmu.... Kurasa di balik ketergodaanmu, kau punya
keinginan lain!"
Paras wajah Bidadari Bulan Emas merah padam.
Sementara si pemuda berkebaya tersenyum lagi lalu
teruskan langkah. Namun baru mendapat tiga tindak,
terdengar bentakan keras.
"Ingat! Penentu hidup matimu adalah gerakan kedua kakimu! Sekali lagi kau gerakkan kaki maju, itu
adalah akhir hidupmu!" Yang perdengarkan bentakan
adalah Guru Besar Liang San.
Untuk kedua kalinya si pemuda berkebaya hentikan
langkah. Kepalanya berpaling pada Guru Besar Liang


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San. Kipas di tangan kanannya disentakkan. Seketika
kipas itu menutup. Saat lain kedua tangannya disatukan di depan dadanya yang membusung kencang. Tubuh bagian atasnya sedikit dibungkukkan. Lalu terdengar ucapannya.
"Amitaba.... Kalau aku boleh bertanya. Apakah Perguruan Shaolin mengajarkan gerakan kaki maju adalah akhir hidup seseorang"!"
"Jangan bicara soal ajaran di tempat ini!" sahut
Guru Besar Liang San.
"Kalau begitu, jangan keluarkan ucapan aneh di
tempat ini!" Si pemuda berkebaya menimpali.
"Hem.... Jika demikian, berarti aku sekarang bisa
lanjutkan acaraku"!" Dewa Cadas Pangeran yang sejak
tadi diam, perdengarkan suara.
Karena tidak ada yang buka mulut menjawab, Dewa
Cadas Pangeran anggukkan kepalanya. Lalu kakinya
bergerak ke arah Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas karuan saja jadi tercekat. Sementara pemuda berkebaya rundukkan kepala sekali
lagi. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka.
Saat berikutnya dia tidak acuhkan peringatan Guru
Besar Liang San. Kakinya bergerak melangkah.
Mungkin tak dapat menahan rasa geram, apalagi
dengan ucapan si pemuda berkebaya, Guru Besar
Liang San angkat kedua tangannya.
Bidadari Bulan Emas melirik. Perempuan setengah
baya berparas cantik ini berpikir cepat. Kejap lain dia berkelebat ke arah Joko
yang tegak tidak jauh dari
tempatnya. Pendekar 131 terkesiap. Terlambat baginya untuk
membuat gerakan. Hingga belum sempat dia tahu apa
yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, sosoknya
telah melesat dalam dekapan si perempuan yang menyambarnya dan berkelebat tinggalkan tempat itu!
Tahu apa yang terjadi, Guru Besar Liang San urungkan niat kelebatkan tangan ke arah pemuda berkebaya. Dia cepat putar diri menghadap ke arah mana
Bidadari Bulan Emas berkelebat. Tangan kiri kanannya bergerak lepaskan pukulan.
"Amitaba.... Mengapa kau hendak mencelakai
orang yang mengajakku pergi"!" Si pemuda berkebaya
berteriak melengking. Kipas di tangan kanannya disentakkan memotong pukulan
tangan Guru Besar Liang
San. Di lain pihak, Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala. "Ini kesempatan baik di akhir usiaku.... Bersenang-senang dengan perempuan
cantik! Dia tak boleh
lari begitu saja!" serunya. Kejap lain kepalanya ditarik ke belakang lalu
disentakkan ke depan! Batu putih di ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya
melenting deras ke udara. Bersamaan itu satu gelombang luar biasa dahsyat
berkiblat! *** DUA BUMMM! Terdengar ledakan keras saat gelombang angin pukulan Guru Besar Liang San dipotong gerakan kipas si pemuda berkebaya yang juga
lesatkan satu gelombang
hebat. Sementara hampir bersamaan dengan terdengarnya
ledakan, sosok Bidadari Bulan Emas tampak limbung
tersapu gelombang yang menyambar keluar dari gerakan batu putih yang selalu menutupi wajah Dewa Cadas Pangeran. Bidadari Bulan Emas cepat kerahkan tenaga dalam.
Tapi belum sampai berbuat sesuatu, dia merasakan
tubuhnya mencelat! Namun perempuan ini tidak hendak lepaskan dekapannya pada sosok murid Pendeta
Sinting. Hingga saat lain kedua orang ini tampak jatuh bertindihan di atas
tanah! Bidadari Bulan Emas berada di bawah sementara Joko jatuh di atas
tubuhnya. Kalau tadi Joko berusaha lepaskan diri dari dekapan Bidadari Bulan Emas, tapi begitu merasakan gelombang menyambar, kedua tangannya segera melingkar pada tubuh sang Bidadari. Dan begitu merasakan
sosoknya jatuh di atas sosok Bidadari Bulan Emas, entah karena khawatir akan
mendapat pukulan lagi, Joko cepat benamkan kepalanya ke atas dada Bidadari
Bulan Emas. Sementara kedua tangannya makin dikencangkan merangkul tubuh si perempuan.
Di lain pihak, karena tak mau dirinya dihantam lagi
sementara dia tidak bisa bergerak karena tertindih sosok murid Pendeta Sinting,
Bidadari Bulan Emas berusaha lepaskan diri. Namun Joko makin kencangkan
lingkaran kedua tangannya serta makin benamkan kepalanya menindih dada Bidadari Bulan Emas, membuat si perempuan berseru.
"Bukan sekarang saatnya bersenang-senang, Pendekar!" Joko seolah tidak mendengarkan seruan orang. Malah dia makin eratkan lingkaran kedua tangannya
hingga Bidadari Bulan Emas tampak megap-megap tak
bisa bernapas! Di seberang samping, melihat gelombang pukulannya dipotong si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang
San tak bisa lagi menindih gemuruh kobaran amarah.
Namun Guru Besar Liang San kini jadi maklum. Gerakan si pemuda berkebaya yang memotong pukulannya
dan sempat membuat sosoknya bergetar satu tanda jika si pemuda berkebaya tidak bisa dilihat sebelah ma-ta. Hingga begitu terdengar
ledakan, Guru Besar Liang San cepat lipat gandakan tenaga dalam. Kedua tangannya
cepat ditakupkan di depan dada. Namun begitu melirik dan melihat apa yang terjadi pada Bidadari Bulan Emas dan Pendekar,
dia membatin. "Hem.... Perempuan itu bisa berbuat hal di luar dugaan jika keadaannya terus begitu! Tanpa diketahui
orang, mungkin saja kedua tangannya bergerak menyelinap dan mengambil peta wasiat itu!"
Berpikir begitu, Guru Besar Liang San sapukan
pandang matanya pada si pemuda berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran. Saat lain tiba-tiba laki-laki berkepala gundul ini berkelebat
ke arah Bidadari Bulan
Emas dan murid Pendeta Sinting yang masih bertindihan di atas tanah.
Bidadari Bulan Emas terkesiap kaget melihat gerakan sosok Guru Besar Liang San. Sementara si pemuda berkebaya dan Dewa Cadas Pangeran tidak membuat gerakan atau perdengarkan suara meski keduanya melihat gerakan Guru Besar Liang San. Hal ini
makin membuat Bidadari Bulan Emas jadi tercekat.
"Pendekar! Lepaskan tanganmu!" Bidadari Bulan
Emas berbisik dengan suara tersendat.
Tapi Joko seolah tidak mendengar. Dia hanya gerakkan kepala ke arah samping. Dan begitu melihat
kelebatan sosok Guru Besar Liang San, dia cepat benamkan kembali kepalanya pada dada Bidadari Bulan
Emas seolah ngeri. Saat bersamaan kedua tangannya
makin kencang memeluk tubuh Bidadari Bulan Emas.
Bidadari Bulan Emas tak mau menanggung risiko.
Kaki kanan kirinya ditekuk lalu dihantamkan ke atas.
Bukkk! Bukkk! Pendekar 131 perdengarkan seruan tertahan. Pelukan tangannya pada sosok Bidadari Bulan Emas seketika lepas. Saat lain sosok tubuh bagian bawahnya
mencelat ke udara. Bidadari Bulan Emas sentakkan
kedua tangannya yang kini sudah bisa bergerak bebas
ke arah bahu kiri kanan Joko.
Bukkk! Bukkk! Untuk kedua kalinya terdengar seruan dari mulut
murid Pendeta Sinting. Sosoknya melenting ke udara.
Guru Besar Liang San pentangkan mata melihat
pada kedua tangan Bidadari Bulan Emas. Dan begitu
matanya tidak melihat apa-apa pada kedua tangan si
perempuan, laki-laki berkepala gundul ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Saat
berikutnya dia teruskan
kelebatan menyongsong sosok Pendekar 131 yang kini
meluncur deras ke bawah. Kedua tangannya bergerak
menyambar. Bukannya lepaskan pukulan, tapi sengaja
menyahut ke arah pinggang kanan kiri Joko.
Rupanya Bidadari Bulan Emas bisa menangkap gelagat. Hingga begitu Guru Besar Liang San teruskan
kelebatan dan gerakkan kedua tangannya, perempuan
bertubuh sintal ini gulingkan tubuhnya dua kali. Saat lain dia gerakkan kedua
tangannya memotong gerakan
Guru Besar Liang San.
Si pemuda berkebaya tampaknya tidak diam begitu
saja demi melihat luncuran tubuh murid Pendeta Sinting. Kipas di tangan kanannya segera disentakkan.
Satu gelombang dahsyat kembali melesat.
Guru Besar Liang San cepat rundukkan kepala begitu rasakan sambaran gelombang dari arah belakang.
Dan dia cepat putar kedua tangannya ketika tahu Bidadari Bulan Emas memotong gerakannya. Lalu kedua
tangannya disentakkan ke arah Bidadari Bulan Emas.
Bummm! Untuk kedua kalinya tempat itu diguncang dengan
suara ledakan ketika gelombang yang keluar dari kedua tangan Bidadari Bulan Emas bentrok dengan gelombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.
Saat bersamaan, Joko kembali perdengarkan seruan tatkala rasakan tubuhnya mencelat tersapu gelombang yang melesat dari kipas pemuda berkebaya.
Namun hal ini menyelamatkan dirinya dari jangkauan
Guru Besar Liang San. Dan untuk kesekian kalinya
tempat itu dibuncah seruan tertahan dari mulut murid Pendeta Sinting ketika
sosoknya jatuh terjengkang di
atas tanah. Di lain pihak, begitu ledakan terdengar, sosok Guru
Besar Liang San tampak bergetar. Kelebatannya terhenti. Sepasang matanya menyengat tajam pada sosok
Bidadari Bulan Emas yang bergerak bangkit setelah
bergulingan di atas tanah.
Guru Besar Liang San tidak menunggu lama. Begitu
Bidadari Bulan Emas bergerak tegak, dia melesat dengan kedua tangan berkelebat.
"Amitaba.... Dia calon pengantinku di mana aku bisa mereguk kenikmatan pada akhir usiaku! Harap
Guru Besar Liang San mau mengerti.... Kalau dia sampai cedera, aku tak tahu ke mana lagi harus mencari
penggantinya!"
Habis berkata begitu, Dewa Cadas Pangeran gerakkan kepalanya. Batu putih di depan wajahnya bergerak menyambar ke atas udara.
Saat bersamaan satu gelombang angin melesat ke arah Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San putar diri di atas udara. Namun orang ini tidak mau berlaku ayal, apalagi dia telah menangkap gerakan kedua
tangan Bidadari Bulan
Emas. Hingga untuk menjaga diri dari pukulan Bidadari Bulan Emas selagi dirinya akan menghadang gelombang yang menyambar ke arahnya, tangan kirinya
bergerak lepaskan pukulan terlebih dahulu pada Bidadari Bulan Emas, sementara tangan kanannya bergerak lepaskan pukulan menghadang gelombang dari
Dewa Cadas Pangeran.
Terdengar dua ledakan berturut-turut. Karena harus menahan dua gempuran, sosok Guru Besar Liang
San tampak mencelat di atas udara. Sementara sosok
Bidadari Bulan Emas terhuyung dua tindak ke belakang. Namun Bidadari Bulan Emas kali ini tidak siasiakan kesempatan, apalagi tahu jika Dewa Cadas Pangeran tidak akan membiarkan dirinya cedera oleh
pukulan Guru Besar Liang San.
Bidadari Bulan Emas kerahkan hampir setengah
dari tenaga dalamnya. Lalu melompat mengejar ke arah Guru Besar Liang San. Kedua tangannya diangkat.
Guru Besar Liang San mendarat di atas tanah dengan kaki sedikit bergetar. Sepasang matanya dipentang besar melihat pada gerakan sosok Bidadari Bulan Emas. Namun laki-laki
berkepala gundul ini tidak
membuat gerakan apa-apa meski tahu kedua tangan
Bidadari Bulan Emas hendak lepaskan pukulan ke
arahnya. Sebaliknya ia sunggingkan senyum lalu sepasang matanya dipejamkan. Kedua tangannya diangkat
ditakupkan di depan dada.
Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras tatkala kedua tangan Bidadari Bulan Emas menghantam telak dada Guru Besar Liang San. Namun Bidadari Bulan Emas tampak terkesiap kaget. Sosok Guru Besar Liang San tidak bergeming dari tempatnya! Malah sepasang
kakinya amblas masuk ke
dalam tanah sebatas mata kaki!
Bidadari Bulan Emas mundur dua tindak. Sepasang
matanya dibeliakkan seolah tidak percaya. Saat lain
kembali kedua tangan perempuan ini bergerak.
Bukkk! Bukkk! Untuk kedua kalinya dada Guru Besar Liang San
perdengarkan benturan keras akibat hantaman kedua
tangan Bidadari Bulan Emas. Namun sosok Guru Besar Liang San lagi-lagi tidak bergeming. Malah kedua tangan Bidadari Bulan Emas
terpental balik ke belakang!
Paras wajah Bidadari Bulan Emas berubah tegang.
Dia perhatikan sekali lagi sosok Guru Besar Liang San
dari kaki sampai kepala. Saat lain dia bergerak maju.
Kedua tangannya bergerak cepat menghantam ke bagian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San.
"Kau tak akan bisa menemukan di mana letak kelemahanku!" Guru Besar Liang San berucap tanpa buka
kelopak matanya. Sosoknya pulang balik ke depan ke
belakang akibat hantaman-hantaman kedua tangan
Bidadari Bulan Emas yang coba mencari titik lemah


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guru Besar Liang San. Namun sejauh ini sosok tubuh
Guru Besar Liang San tetap tidak bergerak dari tempatnya! Bidadari Bulan Emas tidak pedulikan ucapan Guru
Besar Liang San. Dia yakin ada bagian titik lemah dari laki-laki berkepala
gundul ini. Hingga dia teruskan
hantamannya ke bagian tertentu dari tubuh Guru Besar Liang San. "Cukup!" Mendadak Guru Besar Liang San berteriak. Kedua tangannya berkelebat. Karena tidak menduga, apa pun yang akan dilakukan Bidadari Bulan Emas, terlambat bagi perempuan ini untuk menghadang kelebatan kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkk! Bidadari Bulan Emas menjerit. Sosoknya mental ke
belakang. Di atas udara, dari mulutnya tampak menyembur kucuran darah. Saat lain sosoknya terbanting di atas udara sebelum akhirnya meluncur ke bawah. Belum sampai sosok Bidadari Bulan Emas terjerembab di atas tanah, satu sosok tubuh berkelebat.
Satu benda putih meluncur. Sosok Bidadari Bulan
Emas tertahan di udara oleh benda putih yang ternyata adalah batu putih di ujung tambang milik Dewa Cadas Pa-ngeran. Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepala melihat
sosok Bidadari Bulan Emas yang tertahan oleh batu
putihnya. Namun cuma sekejap. Saat lain orang tua ini gerakkan kepalanya.
Tambang pengikat batu putih
bergerak ke belakang. Sosok Bidadari Bulan Emas meluncur lagi ke bawah. Namun kali ini kedua tangan
Dewa Cadas Pangeran telah menantinya!
*** TIGA SI PEMUDA berkebaya sesaat tadi terkejut melihat
hantaman-hantaman kedua tangan Bidadari Bulan
Emas seakan tidak dirasa oleh Guru Besar Liang San.
Namun dia segera alihkan pandang matanya pada Pendekar 131 yang bergerak bangkit di seberang sana.
Dan ketika Dewa Cadas Pangeran berkelebat menyelamatkan Bidadari Bulan Emas, dia segera melesat ke
arah Joko. "Untuk sementara sebaiknya aku pergi dari sini!"
gumam Joko. Dia pandangi gerakan pemuda berkebaya dan tidak membuat gerakan apa-apa.
"Pendekar! Akan kutunjukkan tempat yang baik untuk bicara!" kata pemuda berkebaya seraya teruskan
lesatannya. Kejap lain kedua tangannya telah menyambar sosok murid Pendeta Sinting lalu berkelebat
tinggalkan tempat itu.
Pendekar 131 memang tidak berusaha untuk lepaskan diri dari sambaran tangan si pemuda berkebaya. Dia berpikir akan lebih enak menghadapi pemuda ber-kebaya daripada harus berhadapan dengan
Guru Besar Liang San, Dewa Cadas Pangeran, dan Bidadari Bulan Emas.
"Aku akan menurut saja ke mana dia membawaku
pergi. Namun aku harus segera bisa meloloskan diri
dan kembali mengikuti jejak Guru Besar Liang San!"
kata Joko dalam hati sembari melirik pada pemuda
berkebaya yang melesat dengan membawa tubuhnya.
Mendapati apa yang dilakukan si pemuda berkebaya, Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Didahului bentakan keras, sosoknya berkelebat mengejar.
Di pihak lain, Dewa Cadas Pangeran tertawa panjang,
lalu melangkah perlahan-lahan tinggalkan tempat itu
de-ngan membopong sosok Bidadari Bulan Emas.
Takut kehilangan jejak, Guru Besar Liang San kerahkan hampir segenap ilmu peringan tubuhnya.
Hingga dalam beberapa saat dia telah dapat menangkap arah kelebatan si pemuda berkebaya. Saat itu juga Guru Besar Liang San
sentakkan kedua tangannya lepas pukulan jarak jauh!
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang ganas semburat menghantam ke
arah pemuda berkebaya.
"Pendekar.... Kita cari selamat sendiri-sendiri!" bisik pemuda berkebaya. Kedua
tangannya bergerak. Sosok
murid Pendeta Sinting lepas mencelat. Saat bersamaan dia balikkan tubuh lalu
kedua tangannya diangkat. Kipas di tangan kanannya disentakkan membuka lalu dikibaskan. Sementara tangan kirinya berkelebat menghantam dengan telapak terbuka.
Werrr! Wuuutt! Terdengar deruan keras. Dua gelombang menyambar susul menyusul menghadang gelombang dari kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bummmm! Bummmm!
Dua ledakan keras terdengar mengguncang tempat
itu. Sesaat pemandangan tertutup semburatan tanah.
Sosok Guru Besar Liang San tampak terhuyunghuyung. Wajahnya berubah pucat pasi. Di seberang, si pemuda berkebaya terlihat
limbung. Namun pemuda
berbibir merah dan mengenakan pakaian milik perempuan ini cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia kembali berkelebat. Bukan
untuk menghantam balik
ke arah Guru Besar Liang San, tapi tinggalkan tempat itu! Guru Besar Liang San
masih melihat kelebatan si pemuda. Sebenarnya dia hendak mengejar, namun ketika
pandangannya menumbuk pada sosok murid Pendeta Sinting, dia urungkan niat. Sebaliknya dia segera melesat ke arah Pendekar.
"Busyet! Mengapa dia lari"! Jangan-jangan pemuda
tadi kambratnya Guru Besar Liang San! Mereka sengaja bersekongkol dan pura-pura bermusuhan agar dapat mengalihkan perhatian orang dan membawaku ke
tempat ini!" Joko bergumam sendiri seraya edarkan
pandangan. Sosok pemuda berkebaya memang telah
tidak kelihatan lagi.
"Aku tidak akan ulangi ucapan! Kau telah tahu semuanya!" Guru Besar Liang San angkat suara. Kedua
tangannya diulurkan ke depan. "Serahkan peta wasiat
itu!" "Aku juga tidak akan ulangi keterangan! Kau telah
mendengar semuanya!" jawab Joko.
Sebenarnya Guru Besar Liang San sudah tidak sabar. Namun orang ini tampaknya masih coba menahan
diri. Apalagi dia tahu pemuda di hadapannya telah ku-asai ilmu Sembilan Gerbang
Matahari, ilmu yang dimiliki salah satu tokoh ternama di dataran Tibet.
"Anak Muda.... Kalau boleh aku tahu, mengapa kau
bersikeras menyimpan peta wasiat itu" Padahal kau
tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya di tanganmu!"
Pendekar 131 tidak buka mulut menjawab. Guru
Besar Liang San tersenyum, lalu teruskan ucapannya.
"Kalau kau ingin imbalan, katakan saja apa imbalan
yang kau minta! Aku bahkan bisa memberimu lebih
dari apa yang dijanjikan Bidadari Bulan Emas!"
"Hem.... Benar kau akan memberikan imbalan yang
kuminta"!" tanya murid Pendeta Sinting.
Guru Besar Liang San tarik pulang kedua tangannya dengan bibir tersenyum. Kepalanya mengangguk.
Murid Pendeta Sinting memperhatikan sesaat. Lalu
berkata. "Aku ingin separo lagi dari peta wasiat itu!"
Guru Besar Liang San tegak dengan tampang terkejut. Sepasang matanya mendelik besar. Untuk beberapa lama lelaki berkepala gundul ini kancingkan mulut.
"Bagaimana"! Imbalan yang kuminta tidak susah,
bukan"!" ujar Joko seraya ikut-ikutan sunggingkan senyum.
"Hem.... Baiklah! Tapi aku minta kau tunjukkan dulu peta wasiat yang ada di tanganmu! Karena kau tadi mengatakan peta wasiat itu
telah kau berikan pada
Guru Besar Pu Yi!"
Kini ganti Pendekar 131 yang terkesiap mendengar
jawaban Guru Besar Liang San. Dia sama sekali tidak
menduga akan mendapat jawaban demikian. Karena
dia tadi merasa yakin jika Guru Besar Liang San tidak akan kabulkan
permintaannya. "Aku tidak mau dibodohi orang.... Siapa tahu kau
memang benar-benar telah berikan peta wasiat itu pada orang lain!" Guru Besar Liang San sambungi ucapannya dengan tetap sunggingkan senyum. "Barang
yang kau minta sekarang kubawa!" Tangan kanan
Guru Besar Liang San bergerak menyelinap ke balik
selempang kain merah di pundaknya. "Tunjukkan peta
wasiat itu, dan kau akan segera mendapatkan apa
yang kau minta...."
"Hem.... Meski dia berkata hendak memberikan apa
yang kuminta, tapi aku tidak percaya dengan janjinya!
Namun tidak ada salahnya aku ingin melihat kebenaran ucapannya sekaligus melihat separo dari peta wasiat itu!" Joko membatin. Perlahan-lahan dia juga seli-napkan tangan kanannya ke
balik pakaiannya.
Tiba-tiba paras wajah Pendekar 131 berubah. Dia
hentikan sejenak gerakan tangan kanannya. Keningnya berkerut. Saat lain kembali tangannya bergerak di balik pakaiannya.
Sementara di seberang sana, Guru
Besar Liang San memperhatikan dengan seksama. Diam-diam orang ini telah siapkan tenaga dalam pada
kedua tangannya dan siap melesat ke depan.
"Celaka! Kantong itu tidak ada! Ke mana"! Tak
mungkin jatuh...."
"Bagaimana, Anak Muda"! Aku hanya ingin melihat
dulu. Tidak susah, bukan"!" tanya Guru Besar Liang
San seolah menirukan ucapan Joko tadi.
Joko tidak hiraukan pertanyaan orang. Kini tangan
kirinya ikut digerakkan menyelinap ke balik pakaiannya. Namun hingga pakaiannya kedodoran, Joko tidak
menemukan apa yang dicari.
"Kantong itu benar-benar lenyap!" gumam Joko seraya hentikan gerakan kedua tangannya. "Astaga! Jangan-jangan ini ulah pemuda berkebaya itu!" Tanpa
sadar kepala Joko berpaling ke arah mana tadi si pemuda berkelebat pergi.
"Hem.... Dia lari begitu saja. Padahal sebelumnya
hendak mengajakku pergi.... Ini satu petunjuk kalau
dia yang mengambil kantong itu saat membawa tubuhku berlari! Sialan betul!"
"Anak muda.... Bagaimana"! Kau merasa keberatan
dengan usulku"!" Guru Besar Liang San kembali ajukan tanya. Tangan kanannya dikeluarkan lagi dari balik selempang kain merahnya.
Joko berpaling. Matanya melihat ke arah tangan kanan Guru Besar Liang San. Ternyata tangan kanan itu
tetap kosong. "Hem.... Jangan-jangan pertanyaan dan
usulnya tadi hanya untuk meyakinkan kalau apa yang
diminta sudah tidak ada di tanganku! Jadi benar dia
bersekongkol dengan pemuda berkebaya itu!"
Berpikir begitu, tanpa buka mulut menjawab pertanyaan orang, Pendekar 131 segera berkelebat ke arah
mana tadi pemuda berkebaya melesat pergi.
Namun Guru Besar Liang San tidak tinggal diam.
Sebelum Joko bergerak lebih jauh, dia telah ikut berkelebat dan tegak
menghadang. "Anak muda! Aku telah memberimu beberapa jalan.
Namun tampaknya kau keras kepala! Mungkin jalan
kematian yang kau inginkan!" Tangan kiri kanan Guru
Besar Lang San terangkat.
"Peta wasiat itu lenyap dari tanganku! Pemuda tadi
telah mengambilnya!"
Guru Besar Liang San kernyitkan dahi. Namun saat
lain dia perdengarkan tawa panjang. "Kau jangan berkata dusta padaku, Anak Muda!"
"Guru Besar Liang San! Kau boleh percaya atau tidak! Yang jelas pemuda temanmu itu telah mengambilnya!" "Aku tidak kenal pemuda itu! Kau jangan berkata
mengada-ada! Mungkin kau yang berteman dengan
pemuda itu!"
Murid Pendeta Sinting tidak acuhkan kata-kata
Guru Besar Liang San, dia kembali arahkan pandang
matanya ke jurusan mana si pemuda berkebaya berkelebat. "Dia pasti belum jauh dari tempat ini! Aku harus
mendapatkan kembali peta wasiat itu!"
Membatin begitu, dia cepat kerahkan tenaga dalam
pada kedua tangannya. Saat lain kedua tangannya disentakkan ke depan lepaskan pukulan. Bukan langsung mengarah pada Guru Besar Liang San, tapi sengaja dihantamkan pada tanah dua tindak di hadapan
Guru Besar Liang San.
Guru Besar Liang San sempat terkejut. Karena mengira pukulan ditujukan ke arahnya, kedua tangannya
segera pula dikelebatkan lepaskan pukulan hadangan.
Blaarrr! Tanah di hadapan Guru Besar Liang San langsung
membubung ke udara menutupi pemandangan. Dan
mungkin tahu gelagat, begitu terdengar ledakan keras akibat bentroknya pukulan,
Guru Besar Liang San cepat berkelebat menerobos hamburan tanah. Namun
ternyata Joko sudah tak kehilangan lagi batang hidungnya! Guru Besar Liang San tegak dengan sosok bergetar
keras. Kedua tangannya mendelik besar memperhatikan berkeliling.
"Bagaimana ini bisa terjadi"! Mungkinkah peta wasiat itu benar-benar jatuh ke tangan pemuda berkebaya itu"! Dari sikapnya, kedua orang tadi memang tidak saling kenal...."
Guru Besar Liang San arahkan pandangannya ke
jurusan si pemuda berkelebat pergi. "Kalau ucapannya benar, berarti anak muda
asing itu mengejar pemuda
berkebaya. Mereka tidak boleh lolos dari tanganku!"
Guru Besar Liang San mendongak sesaat. Entah
apa yang dipikirkannya. Yang jelas kepalanya tampak
bergerak mengangguk sejenak. Kejap lain dia berkele

Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bat mengambil arah ke mana tadi si pemuda berkebaya berlari tinggalkan tempat itu.
*** EMPAT DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat laksana
dikejar setan. Jarak keduanya kira-kira lima belas
langkah. Meski tampak dikejar, namun sosok yang berada di depan tidak berusaha menyelinap atau mempercepat larinya. Sementara sosok yang berada di belakang, meski tampak mengejar
namun tidak berusaha
memperpendek jarak. Hanya saja dia terus memperhati-kan seolah tidak mau kehilangan orang di hadapannya. Pada satu tempat sepi, sosok yang berada di depan
memperlambat larinya. Saat lain dia berhenti dan langsung putar diri. Sosok yang
berada di belakang ikut
berhenti dan tegak memandang ke depan.
Sosok yang tadi berada di depan ternyata adalah
seorang gadis muda berwajah jelita mengenakan pakaian warna merah. Rambutnya panjang digeraikan
menutup sebagian pundak kanan kirinya. Matanya bulat dengan hidung mancung dan bibir merah. Sementara sosok yang tadi berada di belakang dan kini tegak memandang ke arah gadis
berbaju merah ternyata juga
seorang gadis berwajah cantik. Dia mengenakan pakaian warna merah muda. Rambutnya diberi pita warna merah muda pula.
Untuk beberapa lama kedua gadis cantik ini sama
lempar pandang tanpa ada yang buka mulut. Namun
pandang mata mereka jelas membayangkan rasa tidak
senang. "Siao Ling Ling.... Aku telah turuti permintaanmu!
Harap segera utarakan apa yang akan kau bicarakan!"
Gadis berbaju merah muda angkat bicara.
Gadis jelita berpakaian merah yang dipanggil Siao
Ling Ling alihkan pandangan.
"Mei Hua.... Kita telah saling kenal bahkan bersahabat! Kuharap pembicaraan kita nanti tidak membuat
putusnya persahabatan kita!" Siao Ling Ling buka mulut. Gadis berbaju merah muda yang ternyata bukan
lain adalah Mei Hua ikut alihkan pandang matanya ke
jurusan lain. (Tentang Siao Ling Ling dan Mei Hua, silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Dewa Cadas Pangeran").
"Siao Ling Ling.... Harap tidak terlalu jauh menduga! Kurasa persahabatan lebih dari segalanya...,"
ujar Mei Hua. "Dari sikapmu, ternyata kau sudah kenal dengan
pemuda asing itu! Benar"!" Siao Ling Ling ajukan
tanya. Yang ditanya tidak segera buka mulut. Dia arahkan
kembali pandang matanya pada Siao Ling Ling. "Aku
memang telah mengenalnya. Tapi harap tidak punya
prasangka yang bukan-bukan...."
Seperti diketahui, ketika hendak menyelidik ke Kuil
Shaolin, Pendekar 131 bertemu dengan Siao Ling Ling.
Namun belum sampai kedua orang ini bicara lebih
jauh, muncullah Mei Hua. Baik Siao Ling Ling maupun
Mei Hua tampak sama terkejut. Tapi Siao Ling Ling kelihatan lebih kaget demi
mendapati Joko telah mengenal Mei Hua. Mei Hua sendiri tampak curiga de-ngan Siao Ling Ling. Hingga dia
hendak mengajaknya bicara.
Namun Siao Ling Ling tidak mau bicara di hadapan
Joko hingga akhirnya kedua gadis ini setuju untuk
mencari tempat.
"Aku tidak punya perangkap.... Aku hanya merasa
heran. Bukankah kau telah tahu siapa pemuda asing
itu"!" Siao Ling Ling menyahut.
Mei Hua tersenyum meski tampak dipaksakan.
"Aku tahu betul siapa dia! Dia adalah seorang pemuda asing yang kini menjadi
buruan kerajaan bahkan beberapa tokoh dunia persilatan negeri ini!"
"Hem.... Kau tahu apa akibatnya jika berhubungan
dengan seorang buruan kerajaan"!"
"Siao Ling Ling! Harap kau tidak campur adukkan
urusan kerajaan dengan rasa persahabatan! Siapa pun
adanya pemuda asing itu, yang jelas aku hanya bersahabat!" Siao Ling Ling tertawa perlahan. "Mei Hua.... Kau
harus tahu siapa dirimu dan siapa pemuda asing itu!
Jika hal itu diketahui orang kerajaan, kau tentu bisa bayangkan akibatnya!"
"Kau mengancamku"!" tanya Mei Hua dengan suara
ketus. Siao Ling Ling gelang kepala. "Aku hanya memperingatkan! Ini demi kebaikanmu!"
"Siao Ling Ling! Aku tahu mana yang terbaik untukku!" "Hem.... Dari ucapanmu, kuduga dia tidak hanya
se-kadar sebagai sahabat. Namun kau telah jatuh cinta padanya!"
Paras muka Mei Hua seketika berubah merah padam. "Kau telah lancang menduga! Sekarang aku ingin
tahu apa maksudmu sebenarnya mengajakku bicara!"
"Kau ini aneh.... Bukankah tadi kau yang lebih dahulu hendak mengajakku bicara saat berada di depan
pemuda asing itu"! Mengapa sekarang kau berbalik
kata"! Seharusnya aku yang bertanya, apa yang hendak kau bicarakan denganku"!"
"Mengapa kau ingin tahu siapa sebenarnya pemuda
asing itu"!" tanya Mei Hua.
"Hem.... Berarti dia telah mendengar pembicaraanku dengan pemuda asing itu! Jadi mungkin dia telah
berada di sekitar tempat itu ketika aku menemukan
pemuda asing itu! Hem.... Apa benar antara keduanya
telah terjalin hubungan tertentu"! Tapi secepat itukah"! Bukankah pemuda asing itu baru saja muncul di
negeri ini"! Ataukah ini hanya siasatnya saja untuk
mendapatkan sesuatu yang selama ini diburu oleh pihak kerajaan dan tokoh rimba persilatan negeri ini"!"
Siao Ling Ling menduga-duga dalam hati.
Karena Siao Ling Ling tidak segera angkat suara,
Mei Hua kembali berucap.
"Kau menginginkan sesuatu darinya"! Atau kau tertarik padanya"!"
Pertanyaan Mei Hua membuat tampang Siao Ling
Ling berubah. Namun gadis berbaju merah ini segera
perdengarkan suara tawa dan berkata.
"Mei Hua! Kalau aku memberi ingat padamu, mungkinkah aku melakukan hal yang akibatnya kita berdua
sudah tahu"!"
"Mulut bisa saja bicara, tapi hati orang sukar diduga!" "Nada ucapanmu menunjukkan kau cemburu padaku!" kata Siao Ling Ling dengan keraskan suara tawanya. "Tapi perlu kau dengar! Aku masih bisa melihat
siapa diriku dan siapa pemuda asing itu!"
"Hem.... Jika demikian, apakah kau akan memberitahukan urusan ini pada pihak kerajaan"!"
"Aku masih melihatmu sebagai sahabat! Tapi kalau
kau tidak hiraukan peringatanku, aku tahu apa yang
harus kulakukan!"
Mei Hua memandang tajam pada Siao Ling Ling.
Saat lain dia balikkan tubuh seraya berkata. "Masih
ada yang akan kau utarakan"!"
"Kita sama tahu siapa kita sebenarnya! Aku akan
menutup urusan ini jika kau melakukan peringatanku!
Jauhi pemuda itu dan jangan turut campur urusan kerajaan!" "Kau telah ikut campur urusan pribadiku! Terserah
apa yang akan kau lakukan. Yang jelas aku tidak butuh peringatanmu! Selamat tinggal!"
Mei Hua gerakkan tubuh berkelebat. Namun Siao
Ling Ling segera berteriak.
"Tunggu!"
Mei Hua batalkan niat. Namun dia tidak balikkan
tubuh saat berucap.
"Jangan berkata lagi jika itu masih ada kaitannya
dengan pemuda asing itu!"
Siao Ling Ling hendak buka mulut. Namun belum
sampai suaranya terdengar, ekor matanya menangkap
kelebatan satu sosok bayangan ke arahnya. Dia cepat
berpaling. Di lain pihak, Mei Hua juga segera menoleh.
Walau sama terkejut, tapi Mei Hua tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Malah saat itu juga dia
segera berkelebat ke samping, di mana tahu-tahu telah tegak satu sosok tubuh.
Dia adalah seorang laki-laki setengah baya mengenakan pakaian kebesaran
kerajaan. Pancaran wajahnya dingin. Alis matanya tebal sedikit mencuat ke atas
di bagian ujung sampingnya.
Sepasang matanya tajam. Pada bagian bawah mata kirinya terlihat tahi lalat agak besar.
"Ayah...," Mei Hua berkata dengan mata menyelidik
ke dalam bola mata laki-laki yang tegak di hadapannya. Diam-diam gadis ini merasa khawatir. "Apakah
dia tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling
Ling..."!"
Laki-laki di hadapan Mei Hua anggukkan kepalanya
sejenak. Lalu berpaling pada Siao Ling Ling. Dia bungkukkan tubuh hormat seraya
berkata. "Tuan Putri.... Harap maafkan jika kehadiranku mengejutkanmu.... Aku sama sekali tidak menduga kalau
Tuan Putri berada di sini...."
Siao Ling Ling tersenyum. Dia melirik sesaat pada
Mei Hua sebelum berkata pelan. "Panglima Muda Lie....
Aku juga kebetulan berada di sini. Secara tidak senga-ja aku bertemu dengan
putrimu.... Kau tengah mencarinya"!"
Laki-laki di hadapan Mei Hua yang ternyata ayah
gadis cantik berbaju merah muda itu dan tidak lain
ternyata Panglima Muda Lie, tidak menjawab pertanyaan Siao Ling Ling. Sebaliknya dia berkata.
"Tuan Putri.... Saat ini keadaan tidak aman. Sebaiknya Tuan Putri tidak keluar tanpa pengawalan....
Jika Yang Mulia Baginda tahu...."
Belum sampai Panglima Muda Lie teruskan ucapan,
Siao Ling Ling segera menukas.
"Panglima Muda Lie.... Terima kasih atas peringatanmu. Namun tentunya peringatan ini bukan berlaku
untukku saja, bukan"! Sebagai putri seorang panglima, Mei Hua juga sebaiknya tidak keluar tanpa pengawal...." Mata Siao Ling Ling melirik pada Mei Hua.
"Aku harus pergi...."
"Tuan Putri!" seru Panglima Muda Lie. Laki-laki ini
hendak mendekat. Tapi sebelum melangkah, Siao Ling
Ling telah berucap.
"Panglima.... Putrimu lebih membutuhkan pengawalan.... Dan kuharap pertemuan kita kali ini cukup
untuk kita bertiga saja yang tahu...."
Habis berkata begitu, Siao Ling Ling berkelebat
tinggalkan tempat itu. Panglima Muda Lie memandang
sesaat lalu berpaling pada Mei Hua.
"Mei Hua.... Ada apa sebenarnya"! Harap kau tidak
membuat masalah! Kau pasti tahu akibatnya jika bikin urusan dengan putri
penguasa negeri ini!"
"Ayah.... Aku tahu...."
"Hem.... Lalu ada apa sebenarnya"! Dari ucapan
Tuan Putri tadi, tampaknya ada sesuatu di antara kalian!" Mei Hua terdiam beberapa saat. "Dari pertanyaannya, berarti dia tidak tahu apa yang kubicarakan dengan Siao Ling Ling...." Mei Hua membatin. Lalu buka mulut.
"Ayah.... Seperti Ayah dengar tadi, dia hanya memberi ingat agar aku tidak keluar tanpa pengawalan!"
"Hem.... Benar"!"
"Tidak ada gunanya berkata dusta pada Ayah!"
Panglima Muda Lie memandang beberapa lama pada putrinya. "Anakku.... Kuharap kau mengerti siapa
kita. Dan kalaupun ada masalah antara kau dengan
Tuan Putri Siao, kau harus mengalah! Dan satu hal la-gi, jangan kau keluar tanpa
adanya orang yang mengawal!" "Ayah.... Rasanya aku tidak pantas kalau kau samakan dengan Putri Siao. Sebagai putri raja, dia memang sudah selayaknya mendapat pengawal! Sementara aku hanya anak seorang panglima! Lagi pula aku
sudah dewasa dan bisa menjaga diri!"
"Mei Hua.... Aku tidak menyamakan kedudukanmu
dengan Tuan Putri Siao. Namun sebaiknya kau menggunakan kesempatan yang diberikan pihak kerajaan.
Apalagi saat ini keadaan tidak begitu aman.... Aku percaya kau bisa menjaga
diri. Tapi perlu kau tahu, saat ini banyak kejadian yang mengakibatkan munculnya
beberapa orang berilmu tinggi. Aku tak mau kau akan
dijadikan batu loncatan bagi orang yang punya tujuan tertentu!"
"Ayah.... Apakah yang kau maksud ada kaitannya
dengan kejadian di biara Perguruan Shaolin?"
"Mei Hua.... Seharusnya kau tidak perlu tahu urusan ini. Namun agar kau berhati-hati, terpaksa aku
memberitahukan padamu."
"Jadi betul dugaanku"!"
Panglima Muda Lie anggukkan kepala. "Sejak kejadian di Perguruan Shaolin, keadaan memang tidak
aman lagi! Menurut beberapa penyelidik pihak kerajaan, sekarang ini telah muncul beberapa tokoh yang
tidak dikenal bahkan ada pula tokoh yang sudah dikabarkan tewas, ternyata muncul lagi!"
Paras wajah Mei Hua tampak sedikit berubah. Dia
alihkan pandang matanya jauh ke depan sana. Anehnya, yang muncul perlahan-lahan di depan sana adalah sosok Pendekar 131 Joko Sableng!
Mei Hua cepat angkat kedua tangannya dan diusapkan pada kelopak matanya. Dia terdengar menggumam
tak jelas, membuat Panglima Muda Lie berpaling.
"Kau memikirkan sesuatu, Anakku"!"


Joko Sableng 34 Dewi Bunga Asmara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin takut sikapnya ditangkap sang ayah, Mei
Hua tidak berpaling saat berucap. "Ayah.... Kalau benar banyak beberapa tokoh
yang muncul, pasti ada sesuatu yang luar biasa! Dan selama ini menurut A-yah, bukankah pihak kerajaan
tidak pernah ikut campur
masalah dunia persilatan"!"
Panglima Muda Lie tidak segera menyahut. Dia
dongakkan kepala. Lalu saat lain dia putar pandangan berkeliling sebelum
akhirnya berkata.
"Pada dasarnya, pihak kerajaan memang tidak akan
pernah ikut campur urusan dunia persilatan. Namun
karena urusan yang timbul saat ini adalah urusan
yang sangat penting, terpaksa pihak kerajaan ikut turun tangan meski hal itu
dilakukan dengan secara diam-diam!" "Hem.... Saatnya aku mengorek keterangan lebih jelas!" kata Mei Hua dalam hati. Lalu berkata.
"Ayah.... Boleh aku tahu, urusan apakah sebenarnya"!"
Sekali lagi kepala Panglima Muda Lie berputar dahulu sebelum berkata.
"Menurut keterangan yang bisa dipercaya, Perguruan Shaolin menyimpan sebuah peta wasiat! Sebenarnya, sudah banyak tokoh yang coba mengambilnya dari Perguruan Shaolin. Namun usaha itu selalu gagal
hingga sampai terjadinya peristiwa berdarah di perguruan itu beberapa waktu yang
lalu...." "Dalam peristiwa berdarah itu, apakah pihak kerajaan juga terlibat"!"
"Hem.... Aku tidak boleh berterus terang padanya
meski dia anakku! Ini adalah rahasia kerajaan!" Panglima Muda Lie membatin
seraya tertawa dan berkata.
"Mei Hua.... Kau jangan salah paham. Kalaupun pihak kerajaan ikut campur dalam urusan Perguruan
Shaolin, bukan berarti pihak kerajaan terlibat dalam peristiwa berdarah itu! Kau
tahu.... Begitu peristiwa terjadi, salah seorang guru besar di perguruan itu
lenyap meloloskan diri dan tidak ada kabar beritanya
hingga sekarang! Ini satu petunjuk kalau peristiwa itu terjadi akibat
perselisihan di dalam tubuh Perguruan Shaolin sendiri!"
"Guru besar itu lenyap dengan membawa peta wasiat"!" tanya Mei Hua.
"Sampai sekarang belum jelas! Dan untuk itulah pihak kerajaan terpaksa turun tangan. Hal ini dilakukan agar tidak terus terjadi saling pertumpahan darah!
Sebab hal itu bisa digunakan pihak tertentu untuk
mengusik keamanan pihak kerajaan!"
"Aku juga mendengar tentang munculnya seorang
pemuda asing. Apakah...."
Belum sampai Mei Hua lanjutkan ucapannya, Panglima Muda Lie telah menukas.
"Tampaknya kau sudah terlalu banyak tahu urusan
ini! Siapa yang memberi keterangan"!"
Mei Hua tertawa pendek. "Ayah.... Urusan ini sekarang sudah menjadi buah bibir di mana-mana! Bahkan
aku mendapat keterangan pemuda asing itu sekarang
menjadi orang buruan kerajaan! Hal ini bagiku sangat aneh.... Apalah artinya
seorang pemuda asing hingga
harus diburu begitu rupa"!"
"Hem.... Bagaimana aku harus menjawab"!" Panglima Muda Lie tampak kebingungan. Mei Hua arahkan
pandang matanya pada sang ayah.
"Ayah.... Apakah benar, pemuda asing itu membawa
peta wasiat"!"
Panglima Muda Lie terkesiap. Untuk beberapa lama
dia terdiam. Mei Hua tengadahkan kepala dan sambungi ucapannya.
"Ayah.... Ayah tak usah berdusta padaku! Aku
hanya sekadar ingin tahu...."
"Pemuda itu memang membawa peta wasiat!" Akhirnya Panglima Muda Lie berterus terang setelah
berpikir agak lama.
"Aneh.... Ayah tadi mengatakan peta wasiat itu berada di Perguruan Shaolin. Lalu bagaimana seorang
pemuda asing bisa membawa peta wasiat"!"
"Mei Hua.... Aku akan menceritakan padamu. Tapi
kuharap ini adalah satu-satunya rahasia kerajaan
yang kau dengar!" Panglima Muda Lie sekali lagi putar pandangan berkeliling
sebelum lanjutkan ucapan.
"Sebenarnya peta wasiat itu dipecah menjadi dua
bagian. Separo disimpan dalam Perguruan Shaolin, separonya lagi disimpan di satu tempat rahasia. Hal ini mungkin untuk menjaga
keamanannya. Dan beberapa
waktu yang lalu, seorang kepercayaan dari Perguruan
Shaolin diberi tugas untuk mengambil separo dari peta wasiat itu yang disimpan
di lain tempat. Hal ini dilakukan karena menurut yang kudengar, peta wasiat itu
baru bisa dilihat pada bulan ini!" Panglima Muda Lie hentikan keterangan
sejenak. Setelah memandang ke
arah putrinya, dia melanjutkan.
"Rupanya kepergian orang kepercayaan shaolin dapat dicium beberapa orang yang telah memperhitungkan! Mereka menghadang dan meminta separo dari peta wasiat itu! Tapi orang shaolin itu memilih mati daripada menyerahkan peta
wasiat pada orang yang tidak
berhak! Terjadilah bentrokan dahsyat. Orang kepercayaan shaolin itu akhirnya terluka parah. Namun dia berhasil melarikan diri
menyeberang laut! Dan ternyata diselamatkan oleh pemuda asing itu! Sejak itu
orang kepercayaan shaolin tidak diketahui ke mana rimbanya! Karena pemuda asing itu yang menyelamatkan,
pasti peta wasiat itu berada di tangannya!"
"Hem.... Tapi mengapa pihak kerajaan ikut memburunya"! Bukankah kalau pemuda itu kini yang membawa peta wasiat, itu adalah urusan Perguruan Shaolin"!"
Manusia Harimau Marah 2 Kisah Tiga Kerajaan Sam Kok Romance Of The Three Kingdom Karya Luo Guan Zhong Pedang Kayu Harum 14

Cari Blog Ini