Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut I 1

Candika Dewi Penyebar Maut I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT - 1 oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain dan gambar sampul oleh Djokolelono
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Desember 1988
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
11.. OORRAANNGG AASSIINNGG
?Tara-Tari ke Kotaraja, Ja
Jangan lari kalau berdua, A
Ada yang melirik, Rik
?Ri -kanan gadis cantik, Tik
Tinggal pilih siapa boleh, Leh
Lelepah makan Tari, Ri..."
SUARA renyah gadis-gadis. Di udara pagi yang dingin.
Nyaris berka but. Berlagu seadanya. Dengan lirik seadanya. Diselingi tawa. Dan pukulan telapak tangan pada permukaan air telaga. Bung, tak, tak, bung, tak,
BLUNG! Kemudian suara tawa lagi.
Telaga kecil terpencil. Hanya nyempil di dataran
sempit di antara lereng-lereng curam dan terjal. Di atas
sana puncak Gunung Rahtawu sudah disentuh matahari pagi. Tapi di sini selapis tipis embun masih menepis kegelapan. Tapi gadis-gadis itu bukan main ceria
bermain di air jernih yang sedingin air sewindu.
"Kok aku saja sih yang diolok-olok?" seorang gadis
berumur enam belasan muncul dari dalam air. Dikibaskannya rambutnya yang basah kuyup. Rambut hitam tebal itu memuncratkan air begitu banyak hingga
teman-teman di kiri-kanannya berjerit menghindar. Wajahnya cantik kuning langsat. Walaupun alisnya yang
tebal berkerut, matanya berseri menikmati olok-olokan
teman-temannya.
"Siapa yang mengarang lagu tolol itu?" gadis itu be
r- tanya lagi. Berenang kecil ke air terjun kecil di padas di
pinggir telaga.
"Kami kan bukan mengolok-olok kamu!" seorang gadis lain menyahut. Ia bertubuh nyaris bundar, kulitnya
sehat segar, matanya berbinar-binar. "Kan Kakang Tara
sendiri yang mengajarkannya pada kita ya?" ia be
rtanya pada gadis-gadis yang mengelilinginya, empat-lima gadis yang umurnya sebaya.
"Kakang Tara" Kenapa baru sekarang kudengar?"
tanya si gadis cantik tadi.
"Nah, itulah sebenarnya yang lucu, Tari," seorang
gadis dengan kulit hitam manis menahan tawa. "Kakang
Tara ingin melagukannya padamu, tapi ia tak berani.
Jadi... bisa kita simpulkan apa s
esungguhnya yang terjadi, kan" Masakan kalau memang hanya bercanda, pada saudara sendiri tidak berani" Ya tidak, kawankawan?" "Benar kata Sunti," kata si bundar. "Lagi pula, Kakang Tara jelas
-jelas menceritakan artinya pada kita."
"Lalu, apa kata Kakang Tara, Gendar?" Sunti bertanya. Tapi jelas dari sikapnya bahwa ia hanya ingin
menggoda Tari. "Katanya..." Gendar seolah-olah berpikir, matanya
dimeramkan dan ujung jari telunjuknya dirapatkan di
dahi. "Tara-Tari ke Kotaraja itu artinya... artinya anu...
Suatu hari nanti Tari akan dilamarnya...." Gendar tak
kuat menahan tawa. Begitu juga yang lain. Hanya Tari
makin cemberut jadinya.
"Ngaco!" dengus Tari menghantam permukaan air
hingga air menyemprot keras ke arah Gendar.
"Lalu apa lagi katanya, Pudak?" Gendar
tertawa menghindar ke balik seorang kawannya yang bertahi lalat besar di atas bibirnya.
"Kata Kang Tara, kalau Sang Guru menampik lamarannya, maka ia akan melarikan Tari, begitu kan ya katanya?" Pudak ini kalau berbicara kepalanya selalu be
r- gerak-gerak. "Benar kan, Udup?"
"Awas, Udup, kalau kau ikut menggangguku...." Tari
menyelam dan para dara itu ribut sekali menjerit-jerit
serta berhamburan berenang menghindar. Tak urung si
Udup, seorang dara bertubuh paling kecil-mungil di antara mereka, akhirnya meronta-ronta dan menjerit-jerit.
"Kak Tari! Lepaskan! Aku tak akan bicara apa-apa!"
teriak Udup, sementara kawan-kawan lainnya tertawa
geli dari kejauhan.
Tari muncul di belakang Udup, mengembus-embuskan air dan tangannya sigap menyambar rambut Udup.
"Awas, ka lau kau berani, ya!" ancam Tari.
"Tidak, aku tak berani," kata si kecil Udup dengan
pandang mata nakal. "Tolong lepaskan, Kak, sakit ra
m- butku! Aku hanya disuruh Kak Gendar kok... k
ata- nya..." Udup menelengkan kepala, mengeluarkan air dari kupingnya. Saat itu Tari telah melepaskan genggamannya. Dan tiba-tiba saja tubuh Udup melesat meluncur keluar dari air, melesat ke arah Gendar dan kawankawannya! Betul-betul melesat lurus bagaikan anak
panah! "Udup!" sesaat Tari ternganga.
"Katanya Kang Tara takut membawamu ke Kotaraja
karena mungkin di sana kau akan tergoda oleh para jejaka ibu kota itu!" Udup yang kini aman di antara kawan-kawannya berkata keras dan tertawa lepas.
"Dan kau akan dimakan mentah-mentah oleh mereka, seperti le-le-pah!" Di samping Udup seorang gadis
bertubuh kurus berambut keriting tertawa terpingkalpingkal hingga hampir saja kain basahannya terlepas.
"Untung yang dimakan bukan kamu, Rati, bisa copot
semua gigi le-le-pah itu memakanmu.... Kau hanya bermodal tulang, sih!" Gendar main hantam kromo, sekarang malah mengolok-olok si kurus.
"Sudahlah, jangan mengolok-olok Tari terus. Lihat,
dia sudah hampir menangis tuh...," seorang gadis yang
dari tadi tampak paling tenang kini ikut berbicara. Gadis yang ini tampak yang terbesar di antara semua mereka - tinggi besar bagaikan pria, namun dengan wajah
yang tenang dan ayu.
"Alaaaa... si Lati sih... paling-paling akan merasa senang jika Kang Tara tidak jadi melamar Tari!" goda
Gendar. Semua tertawa dan saling menyemburkan air. Tapi
terlihat bahwa kini
Tari tidak memperhatikan mereka.
Kepalanya dimiringkan. Matanya yang berkilauan itu
melirik tajam ke atas perbukitan, di mana ujung-ujung
sinar matahari mulai memanjang menyentuh ujung pepohonan. Lati segera melihat sikap aneh Tari ini. Ia pun segera
menga ngkat tangan dan berkata, "Ssst, denga
rkan!" Ajakannya disambut dengan teriak-teriak ramai serta
pukulan pada air yang semakin ramai.
"DENGARKAN!" Lati kini membentak. Tangannya
menghantam air. Bentakan dan hentakan itu terasa begitu berwibawa. Bahkan Gendar terdiam tanpa sempat
menutup mulutnya. Dan ketujuh gadis itu mematung.
Sunyi kini di tempat itu. Terdengar gemeresik angin.
Dan beberapa kicau burung kecil. Dan gemercik air.
Enam pasang mata bergerak liar ke sana
-kemari. Mata Tari terpejam memusatkan perhatian. Sunyi.
Udup tak tahan dan berbisik takut, "Ada apa sih?" Ia
merangkul Gendar erat-erat.
"Ssst," Lati mendesis. Kini ia memperhatikan Tari.
Tari mempererat kain yang melilit tubuhnya. Tak terasa
gerakan ini diikuti oleh yang lain. Lati menggerakkan
badan meluncur mendekati Tari.
"Kau dengar?" bisik Lati.
"Di sebelah utara. Dekat pohon pakis itu," bisik Tari.
"Siapa?" Udup berenang mendekat. Matanya membelalak. "Kalian ini bercanda atau tidak sih?" Gendar juga
mendekati, langsung diikuti yang lain.
"Bergeraklah yang wajar," kata Tari. "Ayo berenang
ke tempat pakaian kita. Duduki gelar
Rahula Wayu . Udup, kau di kepala. Gendar, kau di leher. Rati dan P
u- dak di punggung. Kemudian Lati dan Sunti. Dan aku di
ekor. Udup, kau harus segera menyelamatkan pakaian
kita. Ayo."
Hanya sekilas tampak ketujuh orang dara itu memejamkan mata. Memusatkan pikiran. Kemudian mereka
bergerak. Mereka berenang. Mereka beriringan. Tetapi gerakan
mereka seakan saling menutup. Berirama. Serasa me
- reka hanya gemerlap sisik ikan ya
ng membalik tubuh.
Gemerlap. Lenyap. Gemerlap. Tahu-tahu sudah melesat. Mereka bergerak cepat. Seolah tak teratur. Tapi sa
- ling melindungi. Cepat. Tapi ada yang lebih cepat.
Di batu padas yang mereka tuju tiba-tiba saja berdiri
seorang pria. Udup langsung menghentikan gerakannya. Gendar
cepat memutar tubuh menggeser ke kiri hingga ia tak
menubruk gadis cilik itu. Rati dan Pudak juga mengayun tangan ke samping. Berenang miring.
Dan kini mereka membentuk garis sejajar dengan garis pinggir padas. Dalam keadaan siaga.
Lelaki itu bertubuh pendek. Kepalanya besar de
ngan rambut digelung bundar di puncak kepala. Pada gelung
itu ditusukkan beberapa batang bilah bambu kuning.
Alisnya lebat. Matanya bagaikan tersembunyi. Hidungnya pesek dan pendek. Kumisnya tegak semrawut.
Mulutnya selalu ternganga, memperlihatkan gigi yang
besar-besar dan kuning.
Lehernya hampir sebesar kepalanya. Dan pendek.
Kalung akar hitam melingkar di pangkal leher. Bahunya
bidang penuh bulu. Kain kasar menutupi dadanya, te
r- sampir di bahu. Kakinya tertutup oleh kain gelap.
Dan orang itu tertawa. Suaranya parau.
"He he he hehe...," tawanya. "He he he he...."
Ketujuh dara itu terus mengawasinya.
"He he he he he...," orang itu tertawa lagi. "He he he
he he...."
"Hei, apakah kau tak bisa bersuara lain kecuali... he
he he he he?" Gendar menirukan tawa orang itu. Begitu
tepat ia menirukan, hingga tak terasa Udup tertawa te
r- kikik. Tapi si kecil mungil ini langsung menekap mulutnya ketika ternyata yang lain tak ada yang ikut te
rtawa. Para dara itu seolah tak bergerak. Tapi kedudukan badan dan tangan mereka telah berubah. Tubuh-tubuh
segar itu kini setiap saat seakan siap menghadapi be
n- turan. Sementara tangan-tangan halus mereka siap melontarkan serangan.
"He he he he...," si lelaki buruk rupa terkekeh-kekeh
lagi. "Tak heran kalau orang bilang daerah ini adalah
daerah Indrokilo," k
atanya. Suaranya tetap parau. "Cuma kalian tidak cocok sebagai para bidadari keindraan!"
"Kenapa tidak cocok?" Gendar langsung menyahut.
"He he he he... kamu sendiri... kamu kira
rupamu cukup cantik jika dianggap sebagai bidadari" He he he...
ha, coba lihat bayanganmu di air... apa kamu tidak takut melihat mukamu sendiri... he he he he...."
"Kurang ajar! Kamu... coba saja lihat mukamu!" dengus Gendar. "He he he he... ha ya tak usa
h. Untuk apa" Kamu
pasti kagum, ya" Kamu pasti kagum, ya" He he he
he...." "Kagum" Apa yang bisa kukagumi pada mukamu?"
sahut Gendar. "He he he he... ha, jangan berdusta... kamu pasti kagum melihat mukaku. Tidak banyak lho muka sejelek
aku ini... he he he


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

he.... Coba bilang, pernah kaulihat
muka yang lebih jelek dari mukaku" Kamu kagum toh
ya" He he he he he... kalau mukamu masih jauh... tapi
ya sudah cukup jelek! Aku heran, kamu kok tidak b
u- nuh diri saja melihat teman-temanmu yang... yah... cukupanlah... he he he he... terutama yang itu, yang kuning langsat itu... wah, cukup lumayan, he he he he...."
Tiba-tiba kaki Gendar bergerak. Dan sebutir batu
meluncur. Melesat. Tak terlihat. Menyibak permukaan
air. Langsung menyambar ke arah si buruk muka.
"He he he he... Kau... ekkk! Thak! Auuuuuuu!"
Akibatnya tak terduga. Batu itu telak menghantam
gigi si buruk rupa yang langsung menutupi mulutnya
dengan tangan-tangan yang berjari-jemari pendek dan
tebal-tebal berbulu.
Si buruk muka itu terus menjerit-jerit. Dan ketujuh
orang dara itu tertegun. Di antara jari-jemari tangan tadi mengalir darah. Ya. Darah.
Lati melirik Tari. Pada saat Tari juga melirik Lati.
Serangan Gendar tadi sangat sederhana. Memang
cepat. Tapi sederhana. Dan jelas terlihat goyangan tubuhnya. Bagi mata yang tajam pun pasti terlihat gerakan air saat batu tadi melesat dari dalam air menuju ke
permukaan. Dan, walaupun cepat, jelas kecepatan batu
sudah terhambat oleh air.
Namun batu itu masih bisa tepat mengenai gigi si
buruk muka. Terdengar tadi suara gemertak. Dan kini
terlihat darah mengalir. Serta orang itu meraung-raung.
Sama sekali tidak cocok dengan perkiraan mereka.
Gunung Rahtawu memang bukanlah Mahameru.
Toh tidak sembarang orang bisa sampai ke daerah ini.
Toh daerah ini harus dicapai melewati berbagai rintangan alam yang mengandung maut.
Dan si buruk rupa telah berada di depan mereka.
Tanpa terlihat cedera apa pun. Bahkan lebih segar.
Bahkan masih galak. Bahkan sempat tertawa tergelakgelak. Kemudian dengan suatu serangan sangat sederhana
dari Gendar, giginya putus.
Kesunyian daerah itu kini hanya diisi oleh raungan
kesakitan si buruk muka.
Lalu, Gendar tertawa.
"Hi hi hi hi... biar kubuat makin buruk mukamu!"
Tubuh bundar Gendar meluncur dari air.
"Gendar! Jangan!" teriak Tari.
"Gendar!" teriak Lati.
Ada dua kemungkinan tidak menyenangkan, jika seseorang meninggalkan kedudukannya pada gelar
Rahu- la Wayu . Dia akan terbinasa oleh lawan. Atau gelar itu
sendiri seluruhnya akan hancur oleh lawan.
Itu, tentunya, kalau lawan tangguh.
Tetapi Gendar berhasil hinggap di batu padas itu.
Kaki kirinya mantap menapak menjulur ke depan. Badannya miring dengan tangan kanan tertarik ke belakang. Sikap keenam tata gerak
Bantala Liwung.
Sekali lagi Tari menahan napas. Memang semuanya
berlangsung sekilas. Tapi setiap gerak rekannya terekam oleh matanya.
Bantala Liwung adalah tata gerak
kegemaran Gendar. Ia sangat mahir. Dan tata gerak itu
sangat cocok dengan tubuhnya yang tegap gempal serta
gimbul itu. Tapi tentunya harus diukur dulu kekuatan lawan.
Kedudukan Gendar sangat lemah. Suatu serangan yang
mungkin tak berarti pun rasanya akan membuat Ge
n- dar terjungkal.
Ternyata tidak. Pada saat sekilas itu, saat kelemahan
Gendar terbuka lebar, ternyata si buruk muka tak
mengubah kedudukan. Tetap menekap mulut dan meraung-raung. Maka tendangan beruntun Gendar tak terelakkan lagi. Tendangan kaki kanan menghajar pinggang si buruk
muka hingga orang itu terlempar ke samping. Disusul
tendangan kaki kiri yang seakan menyambut dada
orang tersebut. Disusul pula oleh meluncurnya tinju
Gendar yang kecuali besar juga sekeras batu.
"Gendar! Hentikan!" Lati ikut melompat. Disusul
yang lain. Hingga kini mereka bertujuh telah berada dalam kedudukan Rahula Wayu lagi, di permukaan batu
padas yang sempit.
Mereka mengepung si buruk muka yang kini menggerung -gerung terguling-guling di tanah, bingung memegang gigi ataukah perutnya.
"Biar saja," kata Gendar dengan dada kembangkempis. "Dia begitu bangga akan mukanya yang buruk.
Mungkin ia lebih bangga lagi kalau sudah jadi mayat!"
Tari menjentikkan jarinya.
Serentak mereka bergerak. Mengikuti kedudukan Tari yang kini berada di tumpukan pakaian dan barangbarang mereka. Dengan jari-jemari kakinya Tari membuat sebuah pundi-pundi kain meloncat dari tanah.
Dan jatuh tepat di telapak tangannya. Dari pundi-pundi
berwarna hijau itu dikeluarkannya dua butir tablet berwarna kelabu. Tari mengangguk pada Lati.
"Maafkan saudaraku ini, Ki Sanak," kata Lati yang
walaupun bertubuh tinggi besar ternyata dapat bertutur
lemah-lembut. "Ini hanya salah paham. Kuharap kau
dapat memaafkan. Ini dua butir obat penghilang rasa
sakit. Harap diterima. Mohon kemudian Ki Sanak meninggalkan tempat ini."
"He... henak saja... ha!" Si buruk rupa itu terengahengah menahan rasa sakit. Kini tangannya turun dan
menekan tanah. Mukanya yang buruk terlihat sangat
menyeramkan. Darah dari mulutnya berhamburan ke
mana -mana. Bercampur ludah dan air mata. Dan memang, sebutir giginya hilang. "Kahu pihikir hini tempahat kahamu hapa ha... haku mahau membahalas ha!
Kahu pahasti hiri yaha kaharenaha hanyaha haku yahang buhuruk mukaha, ha ya!"
Orang itu menggeram. Tari menjentikkan jari. Semua
berpindah tempat.
"Tak ada gunanya diteruskan, Ki Sanak, kami tak ingin mencari gara-gara...," kata Lati. Ia agak khawatir.
Gelar Rahula Wayu memerlukan pemusatan pikiran.
Dan biasanya perubahan hanya dilakukan dengan kejapan mata atau gerakan bahu. Kini Tari harus menjentikkan jari. Ia tahu salah satu sebabnya mungkin karena mereka kini hanya memakai kain basahan. Kain tipis
melilit tubuh mereka. Dan hanya digunakan untuk
mandi. Tipis. Dan basah. Tak heran jika Gendar jadi begitu pemarah. Mungkin hanya Udup yang tak begitu
terganggu. Tubuhnya yang kecil-mungil bagaikan tubuh
seorang anak-anak. Rasanya tak ada yang bisa dipakai
sebagai alasan untuk malu. Tapi
yang lain"
Juga orang itu. Siapa dia" Betulkah ia tak bisa apa
- apa" Atau hanya berpura-pura" Mata Tari yang memandang padanya seolah berkata.
"Hawas kahau!" si buruk rupa itu menjerit. Dengan
bertumpu pada kedua tangannya di tanah. Dan ia me
- nerjang. Gerakannya terasa berat. Kakinya serabutan berlari.
Menghambur ke arah Gendar. Sama sekali berlari biasa!
Tari menjentikkan jari. Semua bergerak. Tapi Ge
ndar tak bisa menahan diri. Ia melangkah menghindar. Dan
memutar. Serta menghajar orang itu dengan te
ndangan Tatit Katiga. "Gen...!" hampir serentak Tari dan Lati yang terus
mengawasi gerak-gerik orang itu berseru tertahan. Tapi
terlambat. Tendangan termaut dari
Bantala Liwung te- lah dilepas oleh Gendar. Dengan kekuatan penuh. De
- ngan arah yang sangat tepat. Tula
ng belakang di pinggang belakang si buruk rupa! Pada saat orang itu kedua
kakinya berat menapak ke tanah!
Yang terdengar bukan jeritan. Hanya batuk te
rtahan. Dan degup keras saat tumit Gendar menghantam punggung orang itu. Dan kembali seakan ada derak tula
ng patah. Orang itu terlempar melambung melampaui batu pa
- das melayang ke arah telaga. Kemudian tercebur.
"Hei!" Ketujuh dara itu terpaku di tempat masingmasing. Seakan patung mereka melihat dari balik bahu
mereka ke arah telaga. Hanya Gendar yang telah berputar dan benar-benar menghadap ke telaga.
Sesaat air telaga sedikit bergolak. Kemudian tenang
kembali. Saat ini sinar matahari telah menyentuhnya.
Permukaan bening bagai kaca.
Satu saat. Dua saat. Beberapa saat berlalu. Permukaan telaga tetap bening bagai kaca.
Orang itu tak muncul lagi.
"Tari... apakah... dia... tewas?" bisik Gendar.
"Tetap di kedudukan masing-masing...," bisik Lati. Ia
melangkah ke tepi batu padas. Dan yang lain bergerak
sesuai perubahan itu.
Mereka menunggu lama. Air telaga kini tenang. Hanya ada riak kecil dari air terjun kecil di sela
-sela batu padas. Keadaan pun terasa sunyi. Walaupun sesekali ada
decit burung terbang melintas. Dan air pun masih gemerisik. Dan sesekali daun-daun pepohonan berdesir.
"Kok... tidak keluar-keluar?" bisik Udup.
"Gendar, Udup, Sunti, dan Pudak. Pakai pakaian kalian. Yang lain tunggu," bisik Lati. Matanya terus me
n- gawasi permukaan air. Apakah orang itu menyelam dan
akan muncul di tempat lain" Tari melihat ke s
emak- semak di belakang mereka. Wajahnya yang cantik sebeku batu. Mereka yang disebut tadi telah berlompatan turun ke
suatu celah di antara dua batu padas besar di mana
mereka menyimpan pakaian. Terdengar Gendar be
rseru tertahan. Sangat lemah. Tetapi Tari mende
ngarnya. "Ada apa, Gendar?" tanya Tari dari atas batu padas.
Ia tak bisa melihat kawan-kawannya itu memang.
"Ah... anu... tidak apa-apa... ada semut merah," kata
Gendar setelah beberapa saat.
"Kau tak melihat apa
-apa?" bisik Tari kini pada Rati
yang memperhatikan perbukitan di kiri mereka.
"Aku merasa seperti diawasi," bisik Rati. Gadis kurus
itu tangan kirinya menggenggam beberapa cundrik kecil.
Keris-keris sangat kecil itu khusus dibuat untuk dilemparkan. "Aku juga," kata Lati, Matanya masih nanar mengawasi permukaan air. "Gila. Apakah kita harus mencarinya ke sana?"
"Pokoknya, apa yang harus kita lakukan?" bisik Tari.
Gendar muncul memakai pakaian kering. Disusul
oleh Udup, Sunti, dan Pudak.
"Gendar, pimpin ketiga adikmu," kata Lati. "Kami
akan berganti pakaian. Ingat. Jangan bergerak se
m ba- rangan. Dan kalau ada apa-apa, cepat beri tahu kami."
Gadis bertubuh tinggi besar itu sekali lompat masuk
ke dalam celah tempat pakaian mereka berada. Tari dan
Rati menyusul. Tapi sesaat Tari berhenti di pinggir padas. Memperhatikan Gendar. Namun kemudian ia ikut
masuk. "Di mana sesungguhnya orang itu?" bisik Lati sambil
membuka kain basahan yang menutupi tubuhnya. Digosoknya tubuhnya yang sudah kering oleh angin itu
dengan kain pengering. "Hei, jangan memperhatikan
aku terus. Ada yang aneh?" dengusnya pada Rati yang
memang sedang merenunginya.
"Ah, tidak... aku cuma... membayangkan bagaimana
keadaan... orang itu... kini...." Rati cepat
-cepat meng- ambil kainnya sendiri.
"Gila! Kaupikir aku mirip mayat, ya?" sahut Lati ketus. "Aku tahu maksud Rati," kata Tari. "Ia paling membayangkan bagaimana tubuh lelaki tanpa busana. Contoh paling dekat hanya tubuhmu, hi hi hi...." Tari terta

Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wa. "Bangsat!" desis Lati. "Dalam keadaan seperti ini kau
sempat bercanda!"
Tari hanya tertawa dan meloncat kembali ke atas.
Ia tertegun. Padas itu kosong. Gugup ia melihat ke kiri ke kanan.
"Gendar! Di mana kalian"!" bisiknya.
Lati dan Rati muncul. Mereka pun terbelalak.
"He. Ke mana mereka?"
Tempat itu sepi. Hanya air telaga gemercik hampir
tak terdengar. Dan semak-semak serta pepohonan yang
sekali-sekali tergoyang angin. Dan burung-burung yang
satu-dua terbang melintas.
Tak ada yang lain.
"Heh!" Ketiga dara itu gugup kini. Mereka melihat ke
tepi air. Ke semak-semak dan hutan. Ke perbukitan.
"Gendar! Udup! Sunti! Pudaaaak!" tak tertahankan
lagi mereka berteriak-teriak.
Hanya gema suara mereka yang menyahut.
Tari akan meloncat turun, ke tanah.
"Mau ke mana?" cegah Rati kaget.
"Mencari mereka." Tari agak kasar menarik ta
ngan- nya. "Aku takut," bisik Rati.
"Tari, tenang, jangan gugup," bisik Lati. "Janganjangan si Gendar itu hanya bercanda. Bersembunyi dan
menahan tertawa melihat kegugupan kita."
Sesaat Tari diam. Tapi ia menggelengkan kepala. "Kalau Udup diajak berkomplot dalam canda ini, tak
mungkin. Ia tadi sudah sangat ketakutan."
Lati mengang guk. "Gendaaaar! Uduuuuuup! Di mana kalian?" Rati tak
tahan berteriak. Keras. Gemanya memantul. Tak ada
jawaban. Beberapa saat ketiga gadis itu mematung.
"Apakah... mereka ditarik ke... ke dalam telaga?" bisik Rati. "Rasanya... tak mungkin. Kita tak terla
lu lama di bawah. Mestinya... air akan... bergolak... dan tak ada
bekasnya...," Lati menjawab tetapi tidak begitu meya
- kinkan. "Dan... misalnya memang begitu... takkan bisa ditolong lagi," bisik Tari, memperhatikan batu padas yang
diinjaknya. Matahari tela
h menyinari batu itu. Bekas
kaki basah tak ada lagi. Tak ada bekas apa pun.
"Kemungkinan mereka... pergi ke arah hutan," kata
Lati. "Kita cari jejak mereka."
"Jangan berpencar, kita cari bersama
-sama saja,"
pinta Rati. Lati dan Tari berpandangan. Kemudian
mereka mengangguk. "Kalau tak ada petunjuk yang kita temukan, kita c
e- pat-cepat pulang ke padepokan. Kita minta tolong Eyang Guru," usul Rati.
Lati dan Tari mengangguk. Mereka pun menyiapkan
se njata-senjata cundrik kecil seperti Rati.
22.. TTAAMMUU MATAHARI telah mencapai tinggi sejengkal di atas puncak Gunung Rahtawu. Tapi hawa masih begitu dingin.
Tidak bagi orang-orang yang bekerja di sebuah ladang
di lereng dekat puncak gunung itu.
Ladang itu luas. Menyelimuti sebuah punggung lereng. Baga ikan hamparan permadani yang diletakkan
begitu saja di antara kungkungan rimba lebat di sekelilingnya. Keadaan pun tidak sepi.
Sekitar tiga puluh orang lelaki bekerja di ladang itu.
Mereka kini sedang membersihkan rumput-rumput dan
tanaman liar yang tumbuh di antara padi lahan kering
itu. Mereka bergerak seirama. Dan mereka menggumam
berirama. Bukan gumaman sekadar meringankan pe
- kerjaan mereka. Tapi gumaman ajaran guru mereka
yang dibentuk menjadi semacam senandung agar mudah dihapalkan.
Senandung tentang tata-cara hidup yang baik.
Senandung tentang cara mendekatkan diri pada keselamatan dunia.
Senandung tentang tata-cara bertani.
Mereka adalah murid-murid dari Padepokan Rahtawu. Rata-rata berbadan segar dan kekar. Muka mereka bagaikan memancarkan kemantapan dalam menghadapi kehidupan dunia.
Seorang muda tampak menonjol di antara mereka.
Ia saja yang bertubuh kecil dalam arti tak ada tonjolan otot berlebihan di tubuhnya yang bertelanjang dada
itu. Kulitnya pun kuning langsat sementara yang lain
berwarna gelap. Rambutnya yang digelung bulat di atas
kepalanya lebih menampilkan wajahnya - tampan dan
halus, bahkan lebih mendekati ayu.
Ia berdiri di belakang baris-baris orang-orang lainnya. Tapi ia-lah yang memimpin semua gerakan mereka. Ia juga yang membetulkan kata-kata gumaman
mereka. Dan kadangkala, salah seorang dari mereka
berhenti bergerak dan bergumam, bertanya dengan suara lantang. Jika ini terjadi maka semua pun berhenti
bergerak dan bergumam. Semua mendengarkan jawaban si anak muda tanpa harus menoleh kepadanya. Jawaban diberikan dengan suara lantang. Hampir be
rlagu. Kemudian gerakan dan gumaman pun berlanjut.
Pagi itu mereka sudah mencapai hampir dua pertiga
ladang luas itu ketika tiba-tiba si anak muda memberi
aba -aba berhenti. "Kawan-kawan, agaknya pagi ini kita beruntung untuk dikunjungi Sang Maha Bijak," katanya lembut.
Semua berhenti bekerja. Mengusap-usapkan tangan
membersihkannya dari tanah dan rumput. Merapikan
kain putih yang melilit pinggang mereka dan menutupi
separuh kaki. Dan masih dalam gerakan yang serempak
mereka kemudian mengikuti si anak muda be
rjalan ke tepi ladang. Di situ ada sebuah tanah lapang kecil, sebelum hutan kembali menghadang. Dan sebuah jalan setapak kecil keluar dari hutan membelah tanah lapang itu untuk
kemudian menuju ke puncak gunung, kembali memasuki pepohonan yang lebih teratur tumbuhnya. Jauh di
atas sana, sekali-sekali terlihat menara pemujaan, yang
menandai juga tempat Padepokan Rahtawu berada.
* "Kadang-kadang aku sangsi, mungkin kau memang
dilahirkan untuk menjadi petani - kau begitu suka pada
pekerjaan mengolah tanah daripada melancarkan ilmu
kewiraan yang aku ajarkan. Kau tidak takut akan kalah
dengan Anengah?" sang pendeta tersenyum, berpaling
pada seorang lelaki muda bertubuh kekar yang berdiri
Dari antara pepohonan di sebelah atas itulah muncul
serombongan pria dan wanita.
Melihat mereka, orang-orang yang tadi bekerja di ladang telah bersimpuh di tanah.
Mereka yang datang itu pun segera tiba.
Terdepan seorang lelaki tua berwajah segar. Ra
m- butnya putih bagaikan kapas dibusur. Mukanya bersih
dari jenggot dan kumis. Tubuhnya te
rtutup oleh lilitan
kain putih dan manik-manik kependetaan. Dan ia tersenyum memandang pada si anak muda.
"Tara, sepagi ini kau sudah menyelesaikan sebanyak
itu?" tanyanya dengan suara lembut.
"Berkat bimbingan Bapa Guru, para siswa sungguh
bersema ngat dan mampu melakukan yang terbaik," si
anak muda menjawab.
* Padepokan ini terletak di lereng gunung yang sekarang bernama Arjuno. Guru besar di sini adalah Resi Rhagani, dengan beberapa siswa di a
n- taranya Anengah dan Uttara.
Sekali dalam sebulan, adik Sang Resi, Bibi Madraka, berkunjung dengan membawa siswa
-siswa perempuan, merekalah yang disebut Tujuh Bunga: Tari, Rati, Lati, Gendar, Pudak, Sunti, Udup.
Tetua siswa Resi Rhagani adalah Kanigara. Pengikut Resi Rhagani, bekas pengawalnya semasa muda dulu, adalah: Suranggana, Drawalika,
dan Pawungsari.
di sampingnya. Lelaki ini gagah sekali. Berdirinya tegak
hingga tingginya hampir satu setengah kali sang pendeta. Dadanya bidang dengan rambut lebat
di dada itu. Wajahnya keras dengan tonjolan tulang
-tulang mu- kanya. Rambutnya sebagian digelung dan sebagian be
r- gerai menambah berwibawanya guratan mukanya. Sepasang matanya tajam bagai mata elang di bawah alis
yang hitam tebal.
"Walaupun hamba belajar sejak di penghidupan yang
lalu pun rasanya hamba tak berani berpikir bisa me
nga- lahkan ilmu Kakang Anengah," pemuda be
rnama Tara itu berkata sambil menyembunyikan senyum.
Anak muda yang disebut Anengah itu tidak berusaha
menyembunyikan dengusnya. "Hamba rasa dalam hati
Adik Tara sudah mengalahkan hamba tiga puluh dua
kali, Bapa Guru," katanya. Suaranya pun berat berwibawa. "Hamba rasa suatu saat Bapa Guru harus me
- nyuruhnya bertanding dengan hamba. Dan pasti ia bisa
mengalahkan hamba."
"Hamba tak akan berani,
Bapa Guru," kata Tara. "Tetapi jika Kakang Anengah sudi bertanding menanam
padi hamba sanggup kapan saja. Coba, Bapa Guru, petak di sebelah timur itu hamba tanami padi hasil sila
n- gan hamba. Padi Cempa dengan padi Pasundan. Sebulan lagi sudah dapat Bapa Guru rasakan. Begitu lembut, pasti."
"Dasar anak ingusan, ingatannya hanya makanan
saja," seorang wanita gemuk yang berdiri di belakang
pendeta dan Anengah ikut berbicara. Wanita itu nyaris
bundar, matanya bersinar-sinar lucu dan tak pernah
berhenti. Kini walaupun berbicara dengan Tara tetapi
matanya melayang ke arah ladang. "Mengapa tidak
kaukawinkan saja padi dengan cabai agar kau tak usah
mencoba-coba membuat sambal yang tak keruan itu...."
"Tapi menurut apa yang kudengar Bibi Madraka ternyata suka juga pada sambal kedelai yang hamba ciptakan, bukan?" Tara menahan geli.
"Anak kurang ajar. Satu pekan aku terpaksa terbaring lemas karena perutku murus," yang disebut Bibi
Madraka mendengus. "Sudah, Kakang Resi, katakan
maksud Kakang pada anak ini daripada omongan berlarut-larut ke berbagai macam bumbu dapur. Sudah kukatakan padamu, kau mendidiknya untuk menjadi lelaki sejati, tapi aku yakin kelak ia hanya mampu jadi
guru tari. Itu pun kalau ia beruntung. Paling-paling ia
akan membuka warung di Kambang Putih. Kau pernah
mencoba membuat masakan Tartar, Tara?"
"Hamba menunggu sampai Bapa Guru menurunkan
ilmu Dharmacakra, dan hamba dapat menguasainya dengan sempurna, baru hamba bisa mempersembahkan
hidangan orang Tartar pada Paduka, Bibi," sembah
Tara. "Apa pula hubungan ilmu itu dengan makanan orang
Tartar?" "Dengan ilmu itu hamba akan menyerbu ke Atas Angin. Akan hamba tawan juru masak istana mereka.
Dan hamba persembahkan pada Bibi," jawab Tara.
"Wah, wah, wah! Kalau yang berjanji itu si Anengah,
aku mungkin sabar menunggu. Kalau kamu... apa aku
harus menunggu sampai tiga penitisan lagi?" Bibi Madraka tertawa. "Bibi lupa, hamba juga sangat lumayan dalam ilmu
perbintangan. Bukankah hamba dengan tepat dapat
meramal kedatangan Bibi di padepokan ini?" Tara ini
walaupun tampaknya pendiam agaknya senang juga
berbicara tak keruan.
"O" Dan kauramalkan bahwa kau bisa memenuhi
janjimu itu sebelum aku muksa?" Bibi Madraka menahan tawa. "Menurut ramalan hamba, malah hamba takkan
mampu melaksanakannya, Bibi. Ilmu itu habis diserap
oleh Kakang Anengah," sembah Tara.
Tiba-tiba senyum Bibi Madraka lenyap. Ia menghela


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

napas panjang dan berpaling pada Sang Pendeta.
"Kakang Resi, maafkan aku telah mempergunakan
waktumu," katanya. "Kalau saja aku tadi tutup mulut,
mungkin kau sudah selesai berbicara dengan Tara."
"Ada dua hal yang ingin kuketahui. Tidak biasanya
sepagi ini kau sudah menyelesaikan begitu banyak pekerjaan. Aku tahu. Kau dan siswa lainnya berangkat
jauh lebih pagi dari biasanya. Katakan," kata Sang Pe
n- deta. "Hamba ingin segera menyelesaikan tugas hamba ini,
agar hamba siap untuk tugas berikutnya, yang agaknya..." Tara melirik ke arah matahari, "takkan lama lagi
tiba." "Anengah, apa yang kaulihat di antara siswa
-siswa yang dipimpin adikmu ini?" tanya Sang Pendeta.
"Mmm... mereka... mereka... mereka nampaknya lelah, Guru," kata Anengah bingung.
"Perhatikan lagi, apa yang kaulihat?" kata Sang Pe
n- deta lagi. "Oh..." kini Anengah berpikir. "Oh, ya. Katengeng,
Mayang, Semi, dan Pelana tidak ada."
"Benar," Sang Pendeta tersenyum. "Di mana mereka,
Tara?" "Hamba... hamba memberanikan diri memberi mereka tugas di luar tugas yang diberikan Guru." Tara menunduk. "Mohon Guru dapat mengampuni kelancangan
hamba ini."
"Tergantung kekeliruanmu nanti. Ke mana mereka?"
suara Sang Pendeta lebih
dingin dari hawa gunung itu
terasa. "Mereka hamba sebar ke empat penjuru pe
rbatasan wilayah padepokan kita ini... karena... hamba menilik
perbintangan dan menurut perkiraan hamba... kita
akan kedatangan tamu. Yang pasti bukan Bibi Madra
- ka... sebab menurut bintang, tamu-tamu itu akan
membawa petaka ke Padepokan Rahtawu ini."
"Hh!" dengus Anengah. Terdengar nyata. Tetapi Bibi
Madraka mengerutkan kening dan beberapa saat bertemu pandang dengan Sang Pendeta.
"Oh, biar aku berjalan-jalan dulu, Kakang Resi. Sodrakara, ayo ikut aku," kata Bibi Madraka pada seorang
pendeta wanita yang sejak tadi berdiri mematung di belakang mereka. "Harap hati-hati saja, Yayi," kata Sang Pendeta.
"Tara, coba katakan ke mana kau menyuruh kawankawanmu itu."
Tara agaknya tak mendengar kata-kata Sang Pendeta. Ia asyik memperhatikan gerak kaki Bibi Madraka
dan pengiringnya. Gerak kaki mereka seakan lamban.
Melangkah hampir tak bertenaga. Tetapi anehnya mereka tahu-tahu sudah berada di tempat yang jauh. Sesaat keduanya telah berada di tengah ladang. Dan pada
saat lain mereka telah menghilang di hutan di s
eberang ladang. "Wah, ilmu lari Sura-caya Bibi Madraka demikian
sempurna," gumam Tara seolah pada dirinya sendiri.
"Itukah ilmu Sang Kertarajasa dahulu?"
"Aku bertanya padamu, Tara," Sang Pendeta mengulang. "Oh, mohon ampun, Guru... hamba begitu terpesona
akan ilmu Bibi Madraka...," gugup Tara mengangkat
kedua tangannya menghaturkan sembah.
"Kau begitu mengagumi ilmu orang hingga ilmumu
sendiri tak kauperhatikan?" Anengah berkata ketus.
"Aku tidak setuju, Kakang. Bibi Madraka adalah saudara kandung Bapa Guru... mengapa kaukatakan orang
lain" Terus terang aku mengagumi ilmu lari itu, itu
memang benar. Karena kurasa hanya dengan berlari saja aku kelak bisa menyelamatkan diri darimu, jika kita
kelak harus bertanding. Kuharap saja itu tak akan te
r- jadi, tetapi siapa tahu...." Tara tersenyum licik.
"Tara, kau jangan terlalu lancang. Katakan ke mana
keempat kawanmu itu kausuruh?" sela Sang Pendeta.
"Ya, Bapa Guru, mohon diampuni. Kakang Kate
- ngeng hamba minta ke selatan sampai ke Beringin Kerdil. Kakang Mayang ke timur sampai ke Batu Besar.
Kakang Semi ke utara sampai ke Telaga Biru. Kakang
Pelana ke barat sampai Randu Hutan," jawab Tara tak
berani main-main.
Sang Pendeta memejamkan matanya berpikir. Tangannya bergerak-gerak seolah-olah sedang menghitung. Kemudian tangan itu berhenti menghitung. Dan
matanya terbuka memancarkan kesedihan.
"Kau salah hitung, Tara. Mestinya yang terkuat di
antara keempat orang itu kaukirim ke Telaga Biru. Dan
itu mestinya bukan si Semi. Kedua, kau terlalu takabur
untuk menanyakan pendapatku tentang perhitunganmu. Bukankah itu bisa kaulakukan tadi malam" Kulihat kau tadi malam berada di menara pemujaan, bukan" Ketiga, ramalan tidak berarti kita harus membuat
apa yang mungkin akan terjadi batal. Itu bertentangan
dengan kehendak para dewata. Keempat, kakangmu
Anengah benar. Seharusnya kau menekuni ilmumu dahulu sebelum kau kagum akan ilmu orang. Aku tidak
berbicara tentang bibimu. Aku berbicara te
ntang ilmu perbintanganmu. Sesungguhnya bukan itu yang harus
kaupelajari di sini. Karena kau kagum akan ilmu itu,
kau jadi melalaikan ilmu yang semestinya kaupelajari.
Akibatnya, dua-duanya tidak sempurna."
"Hamba mohon kemurahan ampun Paduka, Bapa
Guru," Tara menyembah hingga menyentuh tanah.
"Setidak-tidaknya kau benar. Akan ada tamu. Dan
kakangmu Anengah yang akan menyambutnya. Kau tak
boleh ikut campur. Sekarang juga kau harus kembali ke
asrama. Suranggana!"
"Ampun, Bapa Guru...." Salah seorang pengiring
Sang Pendeta, seorang yang bertubuh tinggi besar dan
berkulit hitam-legam, maju menyembah.
"Kaubawa Tara kembali ke asrama. Jaga jangan
sampai ia meninggalkan asrama itu. Sekejap pun ia tak
boleh hilang dari matamu," kata Sang Pendeta.
"Baik, Bapa Guru. Mari, Tara." Suara Sura
nggana ini juga sebesar tubuhnya. Berat, keras.
"Bapa Guru, apakah ini hukuman?" Tara belum beranjak dari duduknya.
"Kenapa?" tanya Sang Pendeta.
"Jika ini hukuman, maka sukarela hamba melaksanakan. Permintaan hamba, biarkan hamba berada di
sini sampai ta mu itu tiba. Sesudah itu, jika Paduka ingin menghukum hamba empat puluh hari empat puluh
malam sekalipun hamba akan menurut."
"Tidak, Tara. Jika kau membantah, pamanmu Suranggana aku beri wewenang menghajarmu," kata Sang
Pendeta. "Hamba sangat ingin melihat siapa tamu itu," kata
Tara. "Aku harus tegas padamu, Tara, kalau tidak, orang
akan bilang Resi Rhagani pilih kasih," kata Sang Pendeta. Sesaat Tara terdiam. Ia ingin mengatakan sesuatu.
Tetapi tak jadi. Ia merasakan sesuatu yang lain. Kata
- kata gurunya tadi. Memang lemah-lembut. Dan seolah
biasa saja. Tetapi betapapun lembutnya, kalimat itu
adalah kalimat menyombongkan diri. Dan ini tak biasa
dilakukan Sang Pendeta.
"Kalau begitu... hamba mohon pamit," Tara menghaturkan sembah. "Kalau boleh, hamba ingin bertitip
pesan kepada Ki Kanigara...."
"Katakanlah," sahut Sang Pendeta.
Tara menyembah lagi, kemudian berpaling pada seorang pria tua yang duduk bersimpuh di belakangnya.
"Paman Kanigara, kalau Paman meneruskan pekerjaan
menyiangi ladang kita, jangan lupa membuka sumber
air yang di utara itu. Jagalah agar aliran airnya baik.
Paman ingat itu?"
"Tentu, Ananda." Kanigara mengangguk hormat.
"Hamba mohon diri, Bapa Guru... Kakang Anengah
... dan Paman-paman semua." Beberapa kali Tara melakukan sembah, kemudian ia berjalan mundur, diikuti
oleh Suranggana.
Beberapa saat tempat itu sunyi. Sang Pendeta memejamkan matanya. Beberapa orang memperhatikan Tara
dan Suranggana yang berjalan semakin jauh.
"Anengah," kemudian Sang Pendeta berkata. "Bawa
para siswa ini ke ladang. Pimpin mereka bekerja seperti
yang dilakukan adikmu tadi."
"Baik, Bapa Guru," Anengah menghaturkan sembah
dan berpaling pada rombongan yang tadi bekerja di ladang. "Mari, kawan-kawan, Bapa Guru telah menyampaikan petunjuk."
"Kanigara, ingat kata-kata Tara tadi. Kurasa ada baiknya jika kaulaksanakan nanti," kata Sang Pendeta.
"Baik, Bapa Guru." Kanigara menghaturkan se
m bah. Satu per satu mereka mundur. Kembali ke ladang.
Sang Pendeta berjalan ke sebatang pohon. Ada
bayang-bayang rindang di sekitar pohon itu. Sang Pendeta duduk di akar pohon. Bersandar pada batangnya.
Dan para pengikutnya duduk mengelilinginya.
Mereka tak berbicara. Mereka memperhatikan siswasiswa yang mulai bekerja sambil menggumam seperti
tadi. Sekali-sekali ada yang bertanya. Dan Anengah
menjawab pertanyaan tersebut. Jika tanya
-jawab ber- langsung, maka kelompok yang ada di bawah pohon itu
terlihat memasang kuping. Sekali-sekali tampak Sang
Pendeta tersenyum. Sesekali ia menge
rutkan kening. Sampai tiba-tiba Sang Pendeta berdiri dan berkata,
"Ah, itu mereka datang!"
Semua berhenti bergerak. Dari arah selatan, di bawah mereka, muncul segerombolan orang. Dari kejauhan pun mereka tampak berbeda. Sinar matahari se
- kali-sekali berkilauan di badan mereka.
Rombongan itu mungkin terdiri dari k
urang-lebih sepuluh orang. Tapi hanya tiga orang yang melanjutkan
perjalanan, mendekat.
Tiga orang. Seorang bertubuh gagah dan matanya
sangat berwibawa. Gaya jalannya pun bagaikan orang
yang terlatih kewiraan. Kalung emas menutupi dadanya
yang bidang dan berbulu. Demikian juga gelang bahu
dan gelang tangan. Begitu mewah.
Kedua orang yang mengapitnya lebih sederhana.
Namun mereka pun memakai kalung emas. Dan rambut
mereka digelung rapat di kepala.
Mereka kini berada di hadapan Sang Pendeta.
"Terimalah salamku, wahai Sang Resi. Tentunya Bapa yang bernama Resi Rhagani, bukan?" suara orang itu
berat dan seakan mengguncangkan dada siapa pun
yang mendengarnya.
"Selamat datang, wahai orang gagah," sambut sang
Resi. "Selamat datang. Dengan siapakah aku berbic
a- ra?" "Hm. Namaku Rangga Prawangsa. Ini kedua pengawalku. Gubar Baleman dan Kali Limpuk. Sungguh hebat ilmu Paduka, Bapa Pendeta, Bapa bisa merama
lkan kedatangan kami hingga sudah menyambut jauh dari
Padepokan."
"Ah, hanya kebetulan. Memang kami biasa bekerja
pagi," Sang Pendeta berkata.
"Bagus, bagus... kalau memang begitu, ya, bagus.
Hanya, hamba lihat, para siswa yang berada di ladang
itu agaknya telah menduduki tata letak pengepungan,"
kata Rangga Prawangsa.
"Mereka sesungguhnya bekerja sambil menghapalkan pelajaran. Jika kedudukan mereka Tuan anggap
memiliki rencana kewiraan, sekali lagi itu memang kebetulan." "Ah, ya, sudahlah. Walaupun mereka mengambil kedudukan kewiraan, mungkin juga tak ada gunanya
nanti." Rangga Prawangsa memelintir kumisnya. "Apakah
aku akan Bapa persilakan masuk ke Padepokan Rahtawu, ataukah Bapa ingin berbicara di sini?"
"Jika Tuan hanya ingin berbicara, di mana saja te
n- tunya memadai. Jika Tuan ingin bertamu, tentunya
kami akan mempersilakan Tuan berkunjung ke padepokan kami. Kami hanya tuan rumah. Tuanlah sebagai
tamu yang akan menentukan."
"Hmmmm, segar sekali hawa di sini." Alih-alih me

Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyambut pembicaraan Resi Rhagani, Rangga Prawangsa
mengangkat muka dan menghirup udara dalam-dalam.
Dengan demikian mukanya kini menghadap ke arah ladang. Dan terpandang olehnya Anengah yang berdiri
terpaku di antara batang-batang padi serta sedang
memperhatikannya. "Ah, hawa segar dan kerja keras
membentuk orang-orang gagah. Apakah pemuda itu
murid utama Bapa, Sang Resi?"
"Semua muridku sama. Tidak ada yang utama ataupun yang kurang utama," jawab Resi Rhagani.
"Aha! Aku yang keliru. Maafkan. Bolehkah aku be
r- bicara dengannya?" Rangga Prawangsa tersenyum.
"Anengah, kemarilah," kata Sang Resi. Walaupun kata-katanya itu perlahan, tetapi cukup jelas terdengar
oleh Anengah yang berada agak jauh dari tempat itu.
"Baik, Guru," sahut Anengah. Dan dengan kepala
menunduk ia berjalan mendekat, bersimpuh di depan
gurunya dan menghaturkan sembah. "Hamba menghadap, Guru."
"Nah, Tuan Rangga, apa yang ingin Tuan katakan
pada muridku ini?" tanya Resi Rhagani.
"Namanya Anengah...." Rangga Prawangsa mengangguk-angguk memperhatikan pemuda itu. "Hanya inikah
murid Bapa" Yang umurnya sekitar... dua puluhan tahun" Atau ada lagi di padepokan?"
"Seperti yang kukatakan tadi, jika Tuan kehendaki,
Tuan boleh berkunjung ke padepokan," kata Resi Rhagani. "Kalaupun aku ke sana, toh aku takkan tahu apakah
ada yang Bapa sembunyikan atau tidak," Rangga Prawangsa tertawa.
"Maaf, Tuan Rangga, kukira tak ada alasan bagi
Tuan untuk menghina guruku seburuk itu," Anengah
menyela. "Anengah, kau tak perlu ikut berbicara," sanggah Resi Rhagani. "Waduh, ada anak macan kiranya." Rangga Prawangsa bertolak pinggang kini. "Kalau kau tersinggung,
maafkan aku, bocah. Sudah menjadi adatku untuk berbicara terus terang."
"Mohon ampun, Bapa, izinkan hamba berbicara langsung dengan Tuan Rangga ini, karena beliau toh memang ingin berbicara dengan hamba," Anengah menyembah pada Resi Rhagani.
"Engkau bukan budak belian, mengapa harus minta
izin segala hanya untuk berbicara," ejek Rangga Prawangsa. "Hanya guru yang pendek pikirannya saja yang
mencegah siswanya berkembang. Bukankah demikian,
Bapa Resi?"
"Tuan datang dari jauh, jadi adat Tuan mungkin tidak sama dengan kami," tiba
-tiba Anengah memberanikan diri untuk menyahut. "Karena Tuan bukan dari
daerah ini pulalah agaknya Tuan menyembunyikan
lambang Syangkha Tuan." Anengah berhenti sesaat.
Terkesan bibirnya tersenyum. "Sungguh Tuan orang
yang suka berterus terang."
Tak terasa Rangga Prawangsa menekap tinju kana
n- nya. Hanya di cincinnyalah ada lambang
Syangkha, lambang kerang bersayap yang merupakan lambang
Daha. Dan memang cincin itu diputarnya agar lambang
tersebut tak terlihat.
"Tajam lidahmu, tajam pula matamu, anak muda,"
Rangga Prawangsa mengepalkan kedua tinjunya. "Kalau
tahu aku dari mana, tentu saja kau pun bisa memperkirakan kepangkatanku, b
ukan?" "Tuan seorang rangga, itu kalau Tuan berterus te
- rang. Kita tak boleh terlalu yakin dan percaya pada kata
orang. Dari cara Tuan berbicara, agaknya Tuan pun tidak yakin bahwa yang ada di hadapan Tuan ini adalah
Sang Resi Rahtawu. Jika Tuan yakin, tentunya Tuan
akan lebih menghormat, bukan?"
"Anengah, kembalilah ke ladang," Resi Rhagani menyela. "Tuan Rangga agaknya tak ingin berbicara de
- nganmu." "Tunggu," tiba-tiba-orang yang tadi disebut sebagai
pengawal Rangga Prawangsa, Gubar Baleman, mencegah. "Anak muda ini harus minta maaf karena menyindir Tuan Rangga. Bukankah ia seakan berkata bahwa semua orang bisa saja mengaku Rangga tetapi sesungguhnya hanya seorang
pengemis" Hayo. Minta
maaf!" "Minta maaf mengapa harus dipaksa?" bantah Ane
- ngah. "Anengah, kau kembali!" tukas Resi Rhagani tegas.
Dan kepada Rangga Prawangsa resi itu berkata, "Sekali
lagi maafkan muridku. Biar aku yang menghukumnya
nanti." "Tidak," kata Rangga Prawangsa tegas. "Kata Gubar
Baleman benar. Anak muda ini menghina aku. Apa aku
harus membuktikan diri bahwa aku seorang rangga" Itu
mudah saja. Aku biasa menghajar orang yang kurang
ajar padaku. Nah, pasti tendangan seorang rangga
lain.... Yattth!"
Anengah masih duduk di tanah. Tendangan itu beg
i- tu cepat. Anengah duduk dan seakan tak bergerak. Namun sesungguhnya ia menekan tanah dengan kedua telapak tangannya. Badannya bertumpu pada jari-jemarinya. Dan jari-jari itu bergerak. Bagaikan berjalan.
Dengan langkah-langkah Sura-caya.
Tubuh Anengah seakan tak bergerak. Tetapi sesungguhnya tubuh itu meluncur ke kiri dan ke kanan. Maju
dan mundur. Dan kaki-kaki Rangga Prawangsa yang
dengan deras melakukan tendangan beruntun hanya
membentur angin.
Rangga Prawangsa semakin kalap. Gerakannya semakin cepat. Angin bagaikan menderu dari kakinya.
Agaknya ia terpaksa hanya menggunakan kaki saja, karena Anengah tetap juga tampak duduk di tanah. Ane
n- gah bagaikan melayang-layang rapat dengan tanah itu.
Selalu dengan tepat bergerak menghindari tendangan
Rangga Prawangsa.
Sampai suatu saat.
Anengah agaknya terpaksa menghindar ke dekat Resi Rhagani. Dan tiba-tiba saja Resi Rhagani menjulurkan kakinya. Jari jempolnya menyentuh paha Anengah.
Akibatnya tubuh Anengah berputar. Tepat ke arah ke
mana tendangan kilat Rangga Prawangsa te
rtuju. Tak pelak lagi terdengar suara bagaikan tulang berderak.
Anengah menjerit keras dan terhempas. Ia bangkit, namun terhuyung roboh. Ia bangkit lagi dan merayap berdiri dengan merambat di batang pohon. Lemas ia merangkul batang pohon itu. Dari mulutnya mengucur darah. Matanya sayu tak percaya mema
ndang pada Resi
Rhagani. 33.. BBIIDDAADDAARRII
TARA berjalan gemas. Jalan setapak itu dipagari oleh
semak-semak. Dan secara iseng sekali-sekali Tara menebaskan tangan. Beberapa kali tebasannya terlihat
menghasilkan keanehan. Pucuk semak sudah putus
terbang beberapa saat sebelum dua ujung jarinya melintas menyentuh. Sesekali ia berhenti untuk memeriksa
hasil tebasannya. Semak-semak dengan ranting liat itu
kebanyakan terpotong bersih bagaikan diiris pisau tajam. Tapi ia sendiri agaknya tidak kagum.
Suranggana memperhatikan itu semua dengan wajah
dingin tanpa perasaan. Wajahnya yang hitam tak berubah sedikit pun.
Sekali Suranggana tak sabar.
"Cepat, Tara, kau diperintahkan Bapa Guru untuk
ke padepokan, bukannya menghabiskan waktumu di jalan ini," katanya.
"Sama saja, kan" Aku tahu, Bapa Guru hanya tidak
menghendaki aku berada di sana, saat tamu yang kuramalkan akan datang itu datang," kata Tara seenaknya. "Pas ti bukan itu maksud Bapa Guru. Mungkin ramalanmu meleset. Ayo, berjalan!" Dengan tangannya yang
besar Suranggana mendorong punggung Tara. Sesaat
Tara ingin mengerahkan tenaga untuk memusnahkan
dorongan itu. Tetapi pada saat itu juga terasa betapa telapak tangan Suranggana melemas dan lengket.
"Paman Suranggana, berapa lama Paman mengikuti
Bapa Guru?" tanya Tara melanjutkan perjalanan. Jalan
mereka menanjak terjal. Dan mereka telah menempuh
separuh perjalanan. Pohon-pohon besar mereka tinggalkan. Kini mereka
berada di hutan kecil, pohonnya jarang, dan di kejauhan gapura utama Padepokan Rahtawu telah terlihat.
"Aku telah mengikuti beliau sebelum beliau mendirikan padepokan ini," jawab Suranggana.
"Aku dengar Bapa Guru sesungguhnya adalah se
o- rang pangeran Wilwatikta?" tanya Tara.
"Apa yang berkenaan dengan Bapa Guru sepenuhnya
berada dalam wewenang beliau. Aku tak berhak menga
- takannya," sahut Suranggana.
"Paman tak usah mengatakannya. Bilang saja ya
atau tidak," kejar Tara.
"Jika kau berbicara tentang pribadi
beliau, aku takkan segan melemparkanmu ke jurang sana. Kau tahu
aku selalu melakukan apa pun yang kujanjikan."
"Itulah yang aku heran," Tara tiba
-tiba melompat.
Tinggi. Berputar di udara. Dan hinggap di sebuah batu
besar di antara pepohonan, di kiri jalan setapak itu. Ia
hinggap dengan lunak sekali kemudian melompat kembali ke depan Suranggana. "Paman mestinya sudah menyerap semua ilmu beliau. Tetapi tidak. Terus
-terang, Paman hanya menang tenaga saja melawan kami siswa
- siswa Sang Pendeta. Bahkan Paman tak diperkenankan
mengajar kami. Lalu, sesungguhnya Paman itu ada hubungan apa dengan Guru?"
Suranggana mengangkat tangannya. Mengepal keras.
Tara segera meloncat mundur.
"E, e, e, e... tunggu dulu," kata Tara tergesa
-gesa. "Paman tadi memang berjanji akan melemparkan aku
ke jurang. Tetapi itu jika kita membicarakan Bapa
Guru. Padahal yang berbicara hanya aku. Bukan kita.
Jadi Paman tak usah marah. Biar saja aku bicara terus.
Aku tak menunggu jawaban." Ia menyeringai. "Jadi, jika
Paman memukulku, Paman yang salah lho!"
"Jalan!" perintah Suranggana.
Tara melompat kembali ke jalan dan berbicara se
o- lah-olah pada dirinya sendiri.
"Jadi... baiklah. Kita anggap saja bahwa Sang Resi
dari Wilwatikta. Kalau dia pangeran, maka pantas ia
memiliki begitu banyak ilmu kewiraan. Dan menilik ilmu keagamaannya, kemungkinan besar beliau datang
dari Singasari. Ilmu kewiraan Paman lain dari beliau.
Tetapi Paman tidak mencoba belajar ilmu beliau. Dan
beliau tidak mengajar Paman. Paman hanya belajar
pengetahuan agama dari beliau. Be
rarti Paman dahulu
kurang pengetahuan tentang itu. Kesimpulannya, Pa
- man hanyalah seorang pengawal dahulunya. Tetapi
pengawal yang sudah begitu dicinta hingga bagai saudara. Demikian juga sikap Paman-paman Drawalika
dan Pawungsari. Paman-paman bertiga berilmu tinggi
sejak dulu. Rasanya jarang ada orang yang memiliki
pengawal dengan ilmu setinggi Paman-paman. Kesimpulannya, Sang Guru adalah seorang pangeran dengan
kedudukan sangat tinggi di Singasari. Jika aku mau,
akan mudah bagiku untuk menyelidiki siapa sebenarnya Resi Rhagani itu. Aku bisa ke Singasari, me
- nanyakan pada orang-orang tua di sana siapa yang sekitar dua-tiga puluh tahun yang lalu adalah pangeran
kuat di istana, yang memiliki tiga orang pe
ngawal yang setia. Orang seperti Bapa Guru pasti terkenal di masa
mudanya. Dan dengan demikian aku bisa membuka rahasia Paman. Tetapi akhirnya mungkin Paman akan
malu bila aku berhasil me
m buka rahasia Paman. Jadi...
lebih baik ceritakan saja langsung sekarang. Ini
mum- pung aku mau mendengarkannya, lho!"


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai jawaban tiba-tiba Suranggana menghantam
Tara. Tara menjerit. Lebih karena dibuat-buat daripada
terkejut. Atau terkena. Sebab dengan sekali gerakan
kaki maka tubuhnya melejit ke udara, berputar dan jatuh menjauh. Suranggana tidak berhenti. Ia pun terbang menyerang.
"Paman! Paman! Ampun, Paman!" Tara berteriakteriak sambil berkelit ke sana
-kemari. "Jangan pukul
aku, Paman!" Kembali ia menjerit. Tetapi ternyata ia tidak hanya menghindar. Sekali-sekali ia memasang kaki
atau tinjunya hingga walaupun tidak
menyerang toh Suranggana terpaksa menangkis atau menghindar.
"Bocah ingusan, kau mencoba aku ya!" kata Suranggana geram. Gerakannya semakin gesit. Pukulannya
semakin getas. Tebasan tangannya terdengar menderu.
Dan kini Tara tak bisa lagi bercanda. Ia betul-betul memusatkan diri untuk meladeni Suranggana. Agaknya ia
memang membatasi diri untuk tidak balas menyerang.
Tapi serangan Suranggana yang makin ganas membuat
ia lebih banyak berlompatan mundur. Makin lama mereka makin mendekati gapura Padepokan Rahtawu.
Wajah hitam Suranggana tampak semakin seram. Ia
semakin bersungguh-sungguh melontarkan berbagai
serangannya. Sekali ia berhenti sejenak, mengucapkan
rapal kewiraan. Dan melihat ini Tara menjerit ketakutan. "Paman! Jangan!"
Terlambat. Tinju Suranggana me
luncur deras. Tara
melompat dan memutar tubuhnya ke samping. Batu
besar tempatnya berdiri langsung semburat pecah berkeping-keping. "Wah, ampun, Paman, ampun!" Tara langsung lari.
Dan kini Suranggana tertegun. Bukan hanya untuk meluruhkan ajiannya tetapi
juga karena melihat gerakan
lari Tara. "Anak alas! Kau mencuri ilmu bibimu, ya!" geram Suranggana. Tahu-tahu Tara sudah berada di telundakan pintu
gerbang padepokan. Ia tertawa. Tak terlihat lelah di badannya walaupun kini ia bersimbah keringat.
"Ilmu Sura-caya kan juga ilmu Bapa Guru kita, Paman.... Siapa yang mencuri?" teriak Tara. Mereka memang sudah terpisah jauh.
"Itu tadi Sura-caya dengan gaya wanita. Kaukira aku
buta?" Suranggana melangkah berat mendekat.
"Tunggu, Paman, biar kujelaskan dulu.... Paman,
tunggu... ceritanya begini..." Tara tampak ketakutan.
Tiba-tiba Suranggana berhenti. Terdiam. Mematung.
"Paman, Paman kan tahu..."
Suranggana memberi isyarat agar Tara diam. Dan
tampak ia mendengar-dengarkan. Tara melompat turun
mendekat. "Ada apa, Paman?" ia langsung mengerti bahwa waktu untuk bercanda telah selesai. Dan ia segera tahu apa
yang membuat Suranggana tertegun.
Keadaan begitu sepi.
Memang daerah di puncak gunung itu sepi. Tapi tidak sesepi ini. Mestinya, paling tidak di gapura itu ada
Ki Danu yang tua, yang selalu berhenti sejenak di gapura dalam perjalanannya mengambil air yang tak pernah
selesai. Paling tidak di sana mestinya ada seorang siswa
yang membersihkan pagar dari lumut-lumut, atau entah apa kerjanya tetapi selalu tiap hari ada seorang siswa di sudut pagar itu. Paling tidak terdengar celoteh para penghuni padepokan di balik pagar. Apalagi jika Sang
Guru keluar, mereka pasti merasa lebih bebas. Biasanya jika Sang Pendeta keluar, maka halaman dalam
akan ramai dengan pembicaraan simpa
ng-siur para pembantu. Sekarang sepi. Suranggana memberi isyarat. Dikencangkannya ikat
pinggangnya. Disingsingkannya kainnya agar ia dapat
bergerak lebih bebas. Dan kerisnya pun dipindahkannya ke samping. Tara yang tidak membawa se
njata juga membereskan kain dan ikat pinggangnya.
Hampir bersamaan mereka maju ke pintu gerbang.
Di pintu gerbang mereka tertegun.
Di situ terkapar tubuh Ki Danu, tepat di bagian dalam telundakan hingga tadi tak terlihat dari luar. Tempat airnya pecah. Dan tanah berbatu di sekelilingnya
basah. Masih basah! Suranggana dan Tara saling pa
n- dang. Mereka melompat masuk. Dan nyawa mereka
seakan lenyap. Di halaman dalam berserakan tubuh-tubuh. Tak
bergerak. Dan mungkin... Tara cepat membungkuk
memeriksa Ki Danu. Ya. Tak bernyawa! Suranggana
bergegas mendekati tubuh terdekat di halaman itu. Ini
pun tak bernyawa!
Tara akan bersuara, tetapi Suranggana memberinya
isyarat untuk tutup mulut dan menggamitnya untuk
berlindung di balik arca di depan balai pertemuan besar. "Apa pun yang terjadi, a
gaknya baru terjadi. Pelakunya mungkin masih ada di sini. Cepat kau ke bagian
belakang. Selidiki dari sana. Aku mulai dari sini. Jika
kau bertemu sesuatu yang mencurigakan, jangan ta
- ngani sendiri. Panggil aku. Mengerti" Jangan berusaha
jadi pahlawan!" Suranggana berbisik pada Tara. Dan air
muka Suranggana yang begitu dekat dengan mukanya,
membuat Tara tak berani membantah. Muka hitam itu
begitu seram. Dan napas Suranggana memang tidak harum, hingga sesak napas Tara. "Kalau tidak apa-apa, kita bertemu dekat balai pertemuan dalam. Sudah. Pergi."
Suranggana tak menunggu. Ia langsung meloncat.
Dan dengan gerak tak bersuara berlari ke arah menara
pemujaan. Tara juga tak menunggu lagi. Ia berlari ke
dinding pagar kiri. Dan dengan kecepatan tinggi menyusuri pagar itu hingga sampai ke sudut paling belakang.
Pagar tadi cukup panjang memang. Mungkin ada dua
ratus depa. Memang padepokan tersebut nyaris mer
u- pakan perkampungan kecil. Beberapa bangunan dikelilingi pagar. Bahkan terdapat asrama di belakang.
Di halaman be lakang ini Tara berhenti. Begitu ia
muncul belasan ekor ayam terkejut dan berteriak ribut.
Disusul oleh embikan kambing di kandang belakang.
Tara merapat ke batang sebatang pohon trembesi. Diperhatikannya sekelilingnya.
Kandang sepi. Mestinya kambing-kambing itu sudah
dikeluarkan. Kini mereka gelisah di dalam. Tara berlari
ke kandang itu.
Di pintu kandang tergolek sesosok tubuh. Tara k
enal dia, Pangon. Dan ia tak bernyawa. Tak ada bekas apa
pun di tubuhnya. Seperti yang lain.
Berdiri bulu kuduk Tara. Ia merasa seolah sedang
diperhatikan seseorang. Dan kambing-kambing itu ribut
sekali. Dibukanya pintu kandang, sambil melompat berlari
ke dapur besar. Kambing-kambing ikut berlarian keluar
sambil mengembik-embik.
Tara sudah berada di dapur. Dapur itu besar, karena
digunakan untuk memasak makanan bagi seluruh isi
padepokan. Api di tungku-tungku besar masih membara. Dan di atas tungku-tungku itu kuali-kuali menggelegak airnya. Dua orang tukang masak tergeletak di dekat pintu. Sesaat pikiran Tara melayang pada warga
wanita pa- depokan ini. Tari dan kawan-kawannya! Ia menahan
langkah. Ah, mungkin tidak. Mereka tadi pamitan pergi
ke Telaga Biru. Kalau pulang pastilah melewati ladang
tempatnya bekerja. Tapi tidak. Ia belum melihat mereka.
Tak urung Tara berlari ke rumah besar untuk kaum
wanita - Bibi Madraka satu pekan dalam sebulan selalu
membawa murid-muridnya kemari, dan untuk itu mereka dibuatkan asrama tersendiri. Pintu asrama terbuka
lebar. Tak ada mayat di sini. Entah ke mana Bibi Cingur
dan Bibi Sari yang biasa menjaga asrama ini.
Tara berlari ke menara pemujaan belakang. Ruang di
bawah menara itu gelap. Sekilas Tara memperhatikan
rak-rak berisi berbagai perlengkapan pemujaan. Tak
ada yang mencurigakan. Tara melompat ke telundakan
batu yang menuju ke atas. Sesaat ia tertegun.
Apa pun yang telah terjadi, mungkinkah pelakunya
ada di atas" Mungkin tergantung si pelakunya ingin
mencapai apa dengan perbuatannya ini. Membunuh para warga padepokan. Untuk apa" Mungkin mencari sesuatu rahasia. Rahasia apa" Sejauh ini Rahtawu agaknya tak menyimpan rahasia apa pun. Tapi... ya... dan
juga kemungkinan bahwa Resi Rhagani punya musuh.
Ini mungkin sekali. Lalu... apakah si pembunuh ingin
membunuh Resi Rhagani atau hanya mengha
ncurkan Padepokan Rahtawu" Kalau itu yang te
rjadi, mungkin buang-buang waktu saja pergi ke atas, jangan-jangan
pelakunya berada di ruang-ruang utama.
Tapi... berapa orangkah mereka" Tak mungkin satu
orang dapat membunuh begitu banyak orang yang terpisah begitu jauh.
Tara berpaling, akan melangkah turun.
Tidak, ia harus melihat ke atas dahulu. Paling tidak
dari sana toh ia bisa melihat ke berbagai tempat di padepokan ini. Tara berlari menaiki tangga batu itu.
Menara pemujaan itu sekitar satu setengah kali tinggi pohon kelapa. Dari puncak sana ia akan bisa melihat
bahkan sampai ke ladang. Mungkin ia bisa memberi
isyarat pada mereka yang ada di sana.
Ketika berada di pertengahan ketinggian menara,
Tara merasa mencium suatu bau yang aneh. Bau harum yang serasa belum pernah dikenalnya. Bukan dupa. Bukan pula harum bunga. Bukan minyak wangi
yang biasa dipakai untuk upacara.
Apa" Ia berhenti di ruang tengah, yang digunakan untuk
menyucikan diri sebelum melanjutkan diri ke ruang
pemujaan di atas. Ruang ini pun tak menunjukkan apaapa. Ia naik lagi. Dan sampai di tempat pemujaan.
Tempat pemujaan itu semacam panggung terbuka.
Berbentuk segi empat dengan masing-masing sisi sekitar tiga depa. Setiap sisi berpagar setinggi pinggang.
Atap tempat itu atap rumbia yang didukung oleh empat
tiang kayu berukir.
Tara sangat terkejut.
Di tengah ruang tersebut berdiri seseorang. Seseorang wanita. Membelakangi dia. Berpakaian putri atau, paling tidak, begitulah perkiraan Tara. Pokoknya
pakaiannya jauh lebih mewah dari siapa pun yang pernah dilihatnya. Rambutnya terurai sampai ke pinggang,
menutupi ikat pinggang yang berhiaskan emas dan
mungkin permata. Kulitnya terlihat kuning-putih, segar
dan sehat. Dan yang mencolok, harum itu.
Beberapa saat Tara harus menenangkan pikirannya.
Dadanya berdebar keras. Tangannya gemetar.
"Si... siapakah kkk...
kau?" akhirnya ia bertanya.
Dan orang itu berpaling.
Disambar petir pun rasanya Tara takkan sekaget itu.
Wajah orang itu begitu cantik... rasanya tak akan ada
yang bisa menyamai kecantikannya. Rasanya tak akan
ada manusia yang bisa secantik itu. Ini bukan manusia... ini... ini pasti bidadari! Ya. Dan pakaiannya sungguh gemerlap. Mukanya bagaikan dilingkupi oleh cahaya yang begitu menyilaukan. Ini pasti bidadari!
"Kau bertanya padaku?"
Dan suara itu begitu merdu. Bagaikan nyanyian.
Atau mungkinkah ini memang nyanyian"
"Oh, kau tak mau berbicara padaku?" Dan bidadari
itu tersenyum! "Ehh... maksudku... siapakah kau?" Tara memaksakan diri untuk bertanya.
"Namaku rasanya tidak penting... kau sendiri siapa"
Apa hubunganmu dengan Padepokan Rahtawu ini?"
Tara merasa dadanya sesak oleh kecantikan wanita
itu. Tapi dengan diucapkannya nama Padepokan Rahtawu, sebagian semangatnya kembali.
"Aku adalah anggota Padepokan Rahtawu ini. Jika...
jika... kau ada hubungan dengan... bencana yang ada di
bawah sana... maka aku harus mena... menanyaimu...
kkau siapa?"
"Itulah yang kukatakan... namaku tidak penting. Sebab, jika kau anggota Padepokan Rahtawu ini... maka
kau harus kulenyapkan!" Bidadari itu masih tersenyum.
Tetapi dari matanya memancar kekejaman. Tak terasa
Tara mundur selangkah. "Tapi... kkkenapa?"


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Untuk apa kau bertanya?" tiba
-tiba tangan bidadari
itu bergerak. Ada semacam selendang di ikat pinggang Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 9 Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Kisah Para Pendekar Pulau Es 17

Cari Blog Ini