Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut I 2

Candika Dewi Penyebar Maut I Bagian 2


nya. Dan selendang itu tiba
-tiba meluncur ke arah muka Tara. Sesaat perhatian Tara tidak pada kecantikan
sang bidadari. Ia melihat kilasan serangan. Maka ia
langsung memusatkan perhatian pada pe
rtahanan. Dua kali melangkah dengan
Sura-caya dan sambaran selendang itu tak mengenai sasaran.
Sang bidadari, seperti yang dijulukkan oleh Tara,
seakan tertawa mengejek. Dan tiba-tiba saja selendangnya meluncur ke sana
-kemari. Menyerang dengan kecepatan tinggi dan sasaran tak tanggung-tanggung. Kecipukan Tara bergerak dengan tata
-gerak Sura-caya. Beberapa kali selendang itu nyaris mengenai tubuhnya,
dan Tara merasakan betapa anginnya saja membuat
kulit serasa terbakar.
"Hei, kaukira dengan berlompatan begitu saja kau
bisa selamat," desis sang bidadari, dengan suara le
m but dan senyum dikulum. Tara tak berani menjawab. Bergerak saja sudah cukup sulit. Ia harus memusatkan pe
r- hatian agar gerakannya tak bisa diduga oleh bidadari
itu. Akibatnya ia sungguh terdesak ke sudut pagar
panggung. Dalam suatu kesempatan Tara mencoba. Sambil
membungkuk rendah tangannya mencoba menebas kaki sang bidadari. Diteruskan dengan sapuan kaki
Ban- tala Liwung. Pada akhirnya ia terpaksa mengalihkan serangan sebab dengan tertawa sang bidadari malah menyambut serangan itu dengan sambaran sele
ndangnya. "Katak dalam tempurung!" desis bidadari itu. "Kau
pasti tidak tahu nama gerakanku, dan kau mencoba
menyerangku dengan Bantala Liwung" Rhagani agaknya terlalu pelit jadi guru!"
Sang bidadari mempercepat gerakannya kini. Bahkan kaki dan tangannya pun ikut menyerang. Di tempat
yang sempit itu terpaksa Tara begitu repot berjumpalitan dan berlompatan. Dan ia terus saja terdesak ke pagar. Suatu saat bahkan sambaran selendang sang bidadari menghancurkan salah satu sudut pagar. Dengan
keringat dingin Tara terpaksa nekat menerobos ke seberang. Akibatnya kulit di bahunya bagaikan dikelupas
oleh sambaran selendang sang bidadari.
"Hai, kau cukup hebat jika harus kujatuhkan dengan mengeluarkan darah!" Sang bidadari tertawa tergelak-gelak berdiri di tepi panggung, membelakangi sudut yang pagarnya hancur itu. Di seberangnya Tara
memasang kuda -kuda dan memikirkan bagaimana harus menyerang. "Kaukira kau bisa bertahan sekian lama
hanya karena kekuatanmu semata, heh" Ketahuilah,
kalau aku mau kau sudah menghadap Yama begitu kau
menginjakkan kaki di halaman dalam padepokan ini.
Semua tingkahmu yang lucu terlihat dari sini, dan aku
bisa membunuhmu dari jarak jauh. Tetapi kulihat wajahmu cukup tampan. Sayang kalau kau mati tanpa tahu siapa yang membunuhmu. Sekarang, sudahlah. Sudah cukup lama kau hidup. Jadi... eh!" kata
-kata bida- dari itu terhenti. Seakan ia tak percaya sesuatu. Matanya yang indah terbelalak. Kemudian meredup. Terlihat tubuhnya melemas.
Ia masih sadar untuk memutar tubuhnya. Agaknya
ingin melihat ke belakang. Tapi kemudian ia tak sada
r- kan diri. Gerakan terakhirnya itu membuat ia jatuh te
r- telentang saat roboh ke lantai panggung.
Dan sebutir peluru besi menggelinding di lantai.
Beberapa saat sunyi.
Tara begitu terpukau hingga ia tak bergerak sedikit
pun. Matanya membelalak pada si bidadari yang kini
terk apar di lantai panggung. Tampaknya tidak merasa
kesakitan. Bagaikan tidur nyenyak. Begitu cantik. Rambutnya tergerai di sekeliling kepalanya. Dan dari rambut
yang hitam kelam itu memancar beberapa permata. Juga anting -anting yang berbentuk bulan sabit, dengan
permata berwarna hijau. Wajahnya begitu halus, lembut, dengan alis hitam yang lebat. Dan bulu mata lentik
menghiasi mata yang kini terkatup rapat. Bibirnya memerah segar, seakan tersenyum.
Lehernya yang jenjang berhias kalung yang menjuntai ke dada putih dibalut kain penutup dada.
Tara menggelengkan kepala. Mengapa ia malah
memperhatikan wajah gadis itu"
Pandang matanya tertuju pada peluru besi itu, yang
kini menggelinding dan berhenti dekat dengan ujung
tangan sang bidadari.
Ia kenal peluru itu. Ini adalah senjata khas milik Suranggana. Suranggana punya keahlian melontarkan peluru -peluru besinya secara tepat, mengenai titik-titik
terlemah di badan manusia dan melumpuhkannya.
Agaknya sang bidadari ini pun terkena senjata itu dengan lemparan dari bawah, saat ia membelakangi pelemparnya. Terdengar langkah kaki di belakang Tara
. Dan Su - ranggana muncul.
"Gila! Kenapa belum kauringkus dia?" geram orang
berkulit hitam itu. Dihunusnya kerisnya dan ia pun maju serta siap untuk menusukkan senjatanya. "Aku yakin dia yang punya ulah. Dan ia harus kita lumpuhkan
dulu. Kenapa kau malah te
rmangu-mangu...."
"Paman... jangan dulu...." Tara tergagap maju mencegah terhunjamnya keris di dada yang putih itu. "Dia
toh pingsan...."
"Kaukira dia macam apa" Seisi padepokan dilumpuhkannya, pasti ia begitu sakti. Kita lumpuhkan dulu
baru aman hatiku."
"Tunggu, Paman."
"Akhhhh...!" Suranggana mengangkat tangannya.
Tak terasa Tara menepis tangan yang menggenggam keris itu saat ujung keris hampir terhunjam di dada sang
bidadari. Dan tiba-tiba saja Suranggana menjerit.
Entah bagaimana, peluru besi yang tadi berada di
lantai panggung telah melesat langsung menghajar kepala Suranggana! Pada saat yang sangat kritis Suranggana memang memiringkan kepalanya, namun tak
urung pelipisnya terhantam pelurunya sendiri.
Suranggana terpental dan langsung tak sadarkan diri. Tara ternganga. Sang bidadari itu tiba-tiba tersenyum dan membuka mata. Begitu sadar akan hal itu,
Tara langsung melompat mundur.
Sang bidadari dengan gerak lemah gemulai bangkit.
Berdiri. Merapikan kainnya. Dengan kakinya yang putih
bagai pualam ditendangnya tubuh Suranggana ke pinggir. Kemudian ia berpaling pada Tara.
"Kalian memang katak di bawah tempurung. Tak tahu besarnya langit! Kaukira peluru tanah liat begini bisa menggangguku?" sekali sentil dengan jari kakinya,
peluru besi yang kini berdarah itu melompat dan langsung disambut dengan tangannya. Sekali remas peluru
besi itu hancur. "Kau Ingin mampus" Minggir!" bentaknya pada Tara yang memang menghadang di ujung telundakan ke bawah.
"Tidak," kata Tara kini tegas. "Kau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu. Kau harus... harus
dihukum untuk semua perbuatanmu ini!" dengan geram Tara mulai merapal aji-aji Birawadana.
Sesaat sang bidadari tertegun melihat sikap Tara
yang bagaikan orang akan mencangkul itu. Kemudian ia
tertawa tergelak-gelak, memperlihatkan giginya yang
putih-putih bagaikan mutiara. "Ya ampuuun! Kau anak
ingusan ini punya aji-aji juga?"
Tara tak peduli lagi. Dengan kemurkaan hebat dihantamkannya pukulan Birawadana. Tak terpikir olehnya bahwa sesungguhnya ia belum begitu menguasai
ilmu itu. Atau bahwa lawannya agaknya sudah tahu
benar tingkatan kewiraannya, hingga dapat mencemoohkannya. Gerakannya memang hebat. Dan pukulannya mampu menerbitkan wibawa guncangan keras.
Dan hawa teramat panas. Hanya itu.
Sang bidadari tidak mengelak. Diulurkannya tangan
kirinya. Cepat menangkap tinju Tara yang terluncur. Diremasnya hingga Tara menjerit - hawa dingin bagaikan
air sewindu merasuk menyusup ke sungsum. Dan ta
- ngan kanan sang bidadari melecut menampar. Tara
menjerit lagi. Tubuhnya berputar bagai gasing dan ia
terhempas roboh, pipinya bagaikan terbakar bara.
"Kuampuni kau, karena kau ternyata punya cukup
rasa kasihan padaku," kata sang bidadari. "Tetapi lain
kali jika kita bertemu, jangan harap aku akan bermurah
hati. Nah, aku tak punya banyak waktu. Jika gurumu
yang tua renta itu datang, kalau ia masih bisa datang,
katakan padanya untuk mengingat peristiwa
Wukir Po- laman . Katakan, siapa yang berutang, cepat atau la
m- bat harus membayar utangnya."
Sekilas sang bidadari mengibaskan selendangnya.
Dan Tara pun jatuh pingsan.
44.. SSII MMUUKKAA BBUURRUUKK
HUTAN itu memang cukup lebat. Walaupun ada jalan
setapak yang tampaknya sering digunakan. Jalan setapak itulah satu-satunya jalan yang menghubungkan
padepokan di puncak Rahtawu dengan dunia luar. Walaupun sesungguhnya bagi mereka yang tidak takut bahaya lebih menyukai mencari jalan sendiri-sendiri dengan berpedoman matahari.
Bibi Madraka dan Sodrakara berjalan di jalan setapak itu. Bukan karena mereka takut menerobos hutan,
tetapi Bibi Madraka punya pertimbangan lain.
"Si Tara itu sungguh berbakat," kata Bibi Madraka
pada Sodrakara. "Hanya, dia masih kekanak-kanakan.
Kakang Resi pernah berkata, Tara itu bagaikan anakanak abadi...." tiba-tiba Bibi Madraka tersenyum. "Kalau kau ingat, Sodrakara, Kakang Resi dahulu juga dijuluki anak-anak abadi, bukan?"
"Benar, Guru," kata Sodrakara. Ia mengimbangi jalan
cepat tanpa suara Bibi Madraka, sementara matanya jelalatan memperhatikan hampir setiap sudut kegelapan
bayang-bayang pepohonan yang mereka lalui. "Tetapi
kini beliau kan sudah berubah."
"Itu pun karena Kakang Resi menemukan guru yang
bisa menaklukkannya... dalam arti menaklukkan sifatsifat kekanak-kanakannya itu. Kalau hanya ditaklukkan dengan kekerasan... hmmhh, jangan harap. Sungguh perubahan manusia begitu tak diduga...." Tiba-tiba
Bibi Madraka berhenti dan termenung. Seakan ada beban pikirannya yang tiba-tiba memberat.
Sodrakara juga berhenti. Sesaat keduanya terdiam
mematung. Dua orang wanita tua, sebaya, memakai jubah pendeta. Di tengah kegelapan bayang-bayang pohon raksasa. Dalam hutan yang begitu sunyi, suara burung pun tiada.
"Aku memikirkan ramalan Tara. Yang kuherankan
adalah, justru ramalannya itu tepat sekali dengan ramalanku. Dan memang untuk itulah aku berkunjung ke
Rahtawu ini sebelum waktunya. Menurut perhitunganku, suatu bencana akan tiba. Sesungguhnya bukan untuk Rahtawu saja... tapi untuk beberapa keluarga yang
tersebar luas namun berkaitan dalam suatu hubungan." Bibi Madraka merunduk. "Bintang-bintang menunjukkan bahwa mereka akan menerima
petaka. Itulah yang aku tak bisa mengerti. Apa hubungan mereka semua?" Sodrakara tidak menjawab. Dan ia tahu bahwa jawabannya memang tak diperlukan.
"Beberapa keluarga kami masih mengambil jalan
dunia, jadi mereka setidak-tidaknya punya sandaran
untuk menghadapi cobaan. Maksudku, cobaan yang
bersifat kasar. Entahlah. Aku jadi ingin mengunjungi
Kakang Resi di sini, kemudian Bapa Panembahan Megatruh dan k eluarga beliau di Gunung Lawu... ah... sudah
puluhan tahun rasanya tak berjumpa dengan mereka.
Mereka belum pernah mengirim berita batin pada kami.... Mudah-mudahan Dewata Agung melindungi mereka." "Tentunya Guru sangat rindu bertemu dengan Bibi
Sinom," Sodrakara mencoba mengikuti pembicaraan ini.
Dan nama itu memang mengundang senyum di bibir
tua Bibi Madraka.
"Ya. Bibi Sinom. Entah apakah beliau masih senakal


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu.... Kurasa... kurasa jika sekarang bertemu de
ngan- nya, beliau akan lebih cocok jadi muridku." Bibi Madraka menggelengkan kepala. "Kau tahu, jasad kasar
Bibi Sinom tak bisa bertambah tua lagi sejak beliau berumur belasan tahun. Walaupun beliau berumur hampir
delapan puluhan... mungkin kini takkan lebih tua dari
Tari tampaknya...."
"Ah, ya... hamba perhatikan Guru mengambil jalan
yang menuju ke Telaga Biru... apakah Guru mengkhawatirkan anak-anak itu?" ucap Sodrakara.
"Memang benar. Dari arah sanalah menurut perhitunganku petaka akan tiba."
Seakan disentakkan dari lamunan, Bibi Madraka tiba-tiba melesat melanjutkan perjalanan. Sodrakara pun
bergegas menyusul.
Beberapa jurang telah mereka lalui ketika tiba-tiba
Bibi Madraka menghentikan langkah lagi. Sodrakara
pun langsung berhenti.
Mereka mematung. Tempat ini sudah begitu jauh dari padepokan. Hutan masih lebat, namun tidak seseram
tadi. "Ada sesuatu yang aneh, Sodrakara?" bisik Bibi Madraka. "Mungkin Guru juga mengetahuinya... hamba mencium suatu keharuman yang aneh... bukan suatu bunga," kata Sodrakara.
"Kau benar.... Aku seakan pernah mencium keharuman ini, tetapi aku lupa di mana," Diam-diam Bibi Madraka mengencangkan ikat pinggang yang menutupi jubahnya. Dan kebutan pendetanya disiapkannya di pinggangnya. Sesaat ia berpandangan dengan Sodrakara.
Mata itu seakan berkata bahwa ia mengkhawatirkan
suatu bahaya yang mungkin tak bisa diatasinya. Agaknya Sodrakara bisa menangkap sorot mata itu. Dan ia
mengangguk, kepalanya sesaat menunduk seakan
menghaturkan sembah. Ia rela berkorban nyawa untuk
gurunya itu. "Wahai siapa pun yang ada di sekitar kami," Bibi
Madraka mendongak dan berkata nyaring. "Kami tidak
bermaksud buruk pada siapa pun. Kami harap, tak ada
yang bermaksud buruk pada kami. Tetapi jika kami b
e- gitu malang untuk menerima suatu perlakuan buruk,
kami akan terima dengan tulus ikhlas. Hanya, perkenankan kami melihatmu...."
Suara itu seakan lembut. Tapi terasa menusuk. Beberapa daun kering gemerisik rontok. Dan suatu wibawa yang menekan rasa pun seakan mengungkung. Sepi
tak ada jawaban.
Bibi Madraka memejamkan mata, memantapkan
ajiannya. Ilmu bicara
Guntur di Balik Langit bukan sesuatu yang terlalu musykil. Intinya hanyalah meneba
r- kan wibawa saja, dan bila orang lain berada di sekitarnya, maka ia akan terpaksa mendengar apa yang diucapkannya. Tergantung dari kekuatan kejiwaan orang
itu, maka ia akan terpengaruh atau hanya te
rgugah saja untuk mendengarkan. Dilakukan oleh seseorang seperti
Bibi Madraka, maka ilmu ini berlipat ganda pengaruhnya, hingga bukan saja manusia, hewan pun akan te
r- pengaruh. Bahkan pada puncak kekuatannya, ilmu ini
bisa menggetarkan benda
-benda mati. Seperti kemudian
terjadi dengan rontoknya daun-daun kering.
Beberapa saat tak ada reaksi apa pun. Bibi Madraka
masih memejamkan mata rapat-rapat. Kemudian ia
memutar badannya, ke arah timur. Ia pun tersenyum.
Dan berkata tanpa membuka mata, masih dengan
menggunakan ilmunya.
"Aku merasakan getaran kehadiranmu, Ki Sanak...
mengapa kau tak segera menampakkan diri" Jika kau
tak ingin bertemu dengan kami, baiklah. Biarlah kita
berpisah dengan rasa damai. Tanpa saling menyakiti."
Tak ada jawaban. Beberapa ranting kering patah oleh
suara Bibi Madraka.
"Baiklah. Jika kau tak ingin menemui kami, terserah. Tetapi ketahuilah, bahwa ini masih daerah Padepokan Rahtawu. Dan aku akan mewakili tuan rumah untuk menyambutmu. Tunggulah kedatanganku, Ki Sanak!" tiba-tiba Bibi Madraka membentak. Dan beda
dengan caranya berlari tadi, maka kini tubuhnya betulbetul melesat - bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, melesat ke sebatang pohon untuk kemudian
terpental ke sebatang pohon lainnya, menerobos dedaunan dan semak-semak dengan sangat cepat.
Sodrakara pun belum pernah melihat kecepatan seperti ini . Ia hanya terpaku di tempatnya sambil be
rseru terkejut, "Guru!"
Tetapi Bibi Madraka telah jauh. Sekilas bagaikan
bayang-bayang kelabu saja beterbangan. Sampai akhirnya ia berhenti di sebuah tempat terbuka, lapangan kecil dikelilingi pepohonan rapat. Dan di bawah sebatang
pohon beringin raksasa duduk seseorang - seorang lelaki bertubuh pendek bundar dengan muka sangat sangat buruk. Beberapa saat Bibi Madraka terdiam di tepi lapa
ngan kecil itu, memperhatikan si buruk rupa. Jelas terlihat
baju orang yang mukany
a sangat buruk itu sedikit basah. Demikian pula rambutnya yang awut-awutan. Bibi
Madraka merasakan sesuatu yang aneh pada orang ini.
Karenanya ia terdiam, tak menyapa.
Beberapa saat mereka berdua saling pandang. Si buruk muka dengan matanya yang hampir tertutup oleh
alis dan rambut. Bibi Madraka dengan mata yang memancarkan sinar welas asih.
"He he he he...." tiba-tiba si buruk muka itu tertawa,
tanpa mukanya tertawa. "Aku dengar suaramu yang buruk. Kau mengaku mewakili tuan rumah. He he he he...
jadi kau ada hubungan dengan Resi Rhagani?"
"Terima kasih jika kau sudah tahu tentang Padepokan Rahtawu, Ki Sanak." Bibi Madraka terdengar agak
ragu-ragu. Betulkah ini orang yang dicarinya" Memang
benar, bau harum itu ada di sini. Tapi makhluk yang
mirip gandarwa inikah pemiliknya" "Resi Rhagani adalah kakakku."
"Oh, oh, oh oh! He he he he... jadi aku berhadapan
dengan Dewi Isyana?" Si buruk muka itu seakan tak bisa menahan geli.
"Dewi Isyana telah mangkat puluhan tahun yang lalu," Bibi Madraka berkata sabar.
"He he he he he... aku lupa... Dewi Isyana tiada, yang
ada adalah Batari Madraka, he he he he." Si buruk muka mengorak sila dan melangkah mendekati Bibi Madraka, memperhatikan mukanya, sementara Bibi Madraka pun memperhatikan si buruk muka. Sesaat Bibi
Madraka terkejut. Sinar mata di muka yang sangat buruk itu tampak begitu cemerlang dan tajam, seakan tidak tepat jika berada di wajah yang begitu buruk.
"Ah, kau masih secantik dulu," gumam si buruk muka. "Jadi... kau mengenal aku, dulu?" Bibi Madraka
mengerutkan kening. "Mungkin aku bisa menebak siapa
sebenarnya yang ada di balik topeng buruk ini."
"Matamu cukup tajam, Madraka... tapi otakmu ta
k- kan bisa menebak aku. Lagi pula... tak akan ada gunanya." "Kenapa?" Bibi Madraka masih me
ncoba mengingatingat. "Sebab sekaranglah saatmu menghadap Dewa Yama!" si buruk muka memekik, dan mendadak tubuhnya
yang bulat bundar itu melesat menerjang!
"Eiiiit!" Bibi Madraka sesungguhnya sedang melamun, mencoba memikirkan siapa gerangan si buruk
rupa ini. Serangan itu begitu cepa
t. Bibi Madraka terpaksa menjatuhkan diri ke samping untuk menghindar.
Kemudian tendangan beruntun dilepaskannya untuk
menjaga diri. Si buruk rupa bagaikan bola karet. Membal dan kembali menyerang dengan kedua tangan terjulur kejang dan jari-jemari berkuku panjang terentang
mengarah titik-titik maut di tubuh Bibi Madraka. Bibi
Madraka berhasil menyusun sikap dan semakin teratur
menghindar serta balas menyerang. Ia pun tak sungkan-sungkan lagi. Dari hawa pukulan lawan yang menyebarkan maut, ia menarik kesimpulan lawan ini luar
biasa. Serta sang lawan betul-betul menginginkan nyawanya. Maka ia pun langsung mempersenjatai diri dengan kebutan kependetaannya. Kedua kebutan di tangannya itu bergerak bagaikan baling-baling. Ia melindungi diri sambil sekali
-sekali mengubah kebutan
menjadi serangan yang meluncur deras mencoba menembus pertahanan si buruk muka. Si buruk muka
sendiri seakan tak memikirkan pertahanan. Apa yang
menjadi pertahanannya adalah serangkaian serangan
yang tak kunjung putus. Mengalir bagaikan semburan
air terjun - dahsyat dan tak berkeputusan.
Pertempuran yang terjadi berlangsung sangat cepat.
Ajian-ajian pun beruntun dilontarkan dan memberi wibawa dahsyat - pukulan-pukulan Bibi Madraka membawa wibawa panas menggelora, sementara hantaman
si buruk muka memberikan rasa miris yang hebat.
Semakin lama si buruk muka semakin merasa bahwa ia takkan bisa segera menaklukkan pendeta wanita
ini, walaupun ia terlihat selalu mengepungnya. Ini
agaknya membuat ia kesal dan semakin gencar mela
n- carkan serangan.
Sebaliknya, terasa gerakan Bibi Madraka semakin
lambat. Bukan hanya karena diam-diam ia mencoba
memusatkan perhatiannya untuk melontarkan aji Birawadana perguruannya, tetapi usaha itu sendiri justru
buyar oleh pikiran kedua yang sangat mengganggu: ia
seolah-olah semakin ingin tahu siapa lawannya ini. Makin lama ia merasa semakin kenal, tetapi begitu Ingatan
itu akan muncul, maka langsung bubar lagi hingga ia
semakin kesal. Karena itulah ia bertempur bagaikan dalam mimpi saja.
Ini sangat berlawanan dengan lawannya, yang merasa bahwa Bibi Madraka seakan asal bergerak saja.
Dan si buruk muka pun semakin gencar menghamburkan serangan. Tapi suasana pertempuran berubah saat tiba
-tiba dari balik semak
-semak terdengar beberapa kaki berlari
mendatangi dan suara-suara berseru.
"Nimas Madraka, aku datang. Jangan takut, adikku,"
seru seorang lelaki.
"Guru, aku datang! Dan Paman Guru juga!" sebuah
suara wanita berseru.
"Kawan-kawan, cepat susun Nawa Bajra!" sebuah
suara serak berkata.
"Hi hi hi... Madraka, lawan seperti itu saja kau tak
mampu?" sebuah suara yang tak keruan te
rdengar. Baik Bibi Madraka maupun si buruk rupa tertegun.
Si buruk rupa lebih dahulu sadar. Tangannya bagaikan
baling-baling menyambar. Bibi Madraka menjerit. Tangannya yang secara serta-merta terangkat langsung
tergores oleh empat buah kuku seruncing pisau baja. Ia
cepat menggulingkan diri menjauh. Tapi si buruk rupa
tidak meneruskan serangan. Ia melompat dan lenyap.
Dari balik semak-semak bermunculan Sodrakara,
Tari, Lati, dan Rati.
Mereka beringas
melihat ke sekeliling tempat itu. Sodrakara memberi isyarat pada Rati untuk mengurus Bibi Madraka yang roboh di tanah. Kemudian ia berseru
keras - dengan suara yang mirip suara lelaki, "Anakanak, urus bibimu, biar kami kejar dia. Mari, Paman..."
dan ia melompat ke arah dari mana tadi si buruk rupa
lenyap. Tari dan Lati beberapa saat terpaku, sementara Rati
telah bersimpuh di samping Bibi Madraka, ternganga
melihat lukanya.
Tangan Bibi Madraka robek oleh empat garis luka
yang memanjang terbuka. Yang menggetarkan hati adalah darahnya - darah yang keluar berwarna hitam dan
berbau amis sekali.
Ketika tak terdengar apa pun lagi, Tari dan Lati ikut
bersimpuh di samping Bibi Madraka. Pendeta wanita itu
tak sadarkan diri. Gugup Lati mengeluarkan tablet penawar racun. Tapi ia pun tertegun. Bagaimana ia memaksa bibi gurunya itu menelan tablet" Dan apakah
nanti akan berguna" Tari sendiri sudah merobek kainnya untuk membalut luka. Tapi ia pun tertegun. Luka


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

macam apa ini"
Tak terdengar apa pun, tiba-tiba Sodrakara telah berada di situ. "Tak ada jejaknya," bisik Sodrakara. "Lati,
kaupaksakan tablet pemunah racunmu itu masuk ke
mulut Bibi Gurumu. Kurasa tak ada gunanya, tetapi lebih baik kita coba. Melihat hitamnya darah itu, kurasa
ini adalah akibat racun Upas Gemet. Atau semacamnya.
Kauikat erat-erat bagian atas luka itu, Tari. Kemudian
kita bawa Guru lari ke padepokan. Semi!"
"Ya, Bibi...," terdengar jawaban jauh dari balik s
e- mak-semak. "Kau tetap berjauhan dari kami. Apa pun yang terjadi, salah seorang dari kita harus mencapai padepokan.
Mengerti" Berangkat!"
Tari telah selesai mengikat lengan Bibi Madraka. Lati
langsung mengangkat pendeta wanita itu dan menaruhnya di atas bahunya yang bidang. Dengan isyarat
dari Sodrakara, mereka pun berangkat. Berlari-lari kecil, berge gas. Rati berada di depan membuka jalan. Kemudian Lati
yang mendukung Bibi Madraka, didampingi Tari. Dan di
belakang Sodrakara bersiap sedia dan waspada.
Akhirnya mereka mencapai jalan setapak dan bisa
bergerak lebih cepat. Lati mulai terengah-engah, dan
Tari langsung menyambar Bibi Madraka untuk didukungnya. Mereka terus berlari. Sampai kemudian terdengar jeritan mengerikan dari semak-semak jauh di sebelah kiri
mereka. Rombongan kecil itu berhenti seketika. Sodr
a- kara, Lati, dan Rati bersiap mengelilingi Ta
ri yang menggendong Bibi Madraka.
Sunyi. Kemudian terdengar suara desir dan derak ranting
kayu. Rati menjerit ketakutan.
Sesosok tubuh lelaki terhempas di depannya. Semi!
Terdengar suara tawa dari kejauhan.
"Kalian cerdik," sayup-sayup sebuah suara berkata,
tak bisa dikenali apakah suara pria ataukah wanita.
"Aku sungguh malu tertipu oleh monyet-monyet seperti
kalian. Aku sungguh malu atas kenyataan bahwa kalian
menduga tepat - aku takkan sanggup menghadapi keroyokan Resi Rhagani, paman gurunya, dibantu beberapa
siswa. Sungguh aku malu... he he he he...."
Suara tawa itu bagaikan berputar mengelilingi me
- reka. "Kalian tikus
-tikus kecil memang licik, tapi aku suka
itu. Aku akui kalian menang. Lagi pula, tujuanku sudah
tercapai. Madraka takkan hidup lama. Dan Resi Rhagani dapat peringatannya. Baiklah. Kuampuni jiwa kalian, he he he he he...."
Sunyi lagi. Sunyi.
"Bibi...." Tari gemetar memandang Sodrakara.
"Kita tak usah khawatir lagi," Sodrakara berkata tenang kini. "Orang itu agaknya beberapa angkatan di
atas kita, tikus-tikus cilik ini. Sebagai angkatan yang
lebih tinggi, pasti ia akan memegang janjinya. Ia tak
akan mengganggu kita lagi. Kalau tidak, ia pasti jadi
bahan tertawaan orang sejagat!"
Agaknya Sodrakara sengaja berkata jelas-jelas agar
terdengar oleh orang yang berkata tadi. Dan harapannya terwujud. Dari kejauhan terdengar sayup-sayup
suara tawa mengejek yang makin lama makin jauh.
Keempat orang itu lama terpatung di situ. Kemudian
Lati bergegas mendekati sosok tubuh Semi. Tewas. Tapi
tanpa bekas. "Ini Paman Semi, Bibi," kata Lati. Entah kenapa ia
berbisik. "Apakah ia kita bawa?"
Setelah agak lama, Sodrakara mengangguk. "Kita tak
akan diganggu lagi. Kita bisa berjalan leluasa. Kau bawa
dia, Lati."
"Baik, Bibi." Dengan mudah gadis bertubuh tinggi
besar itu mengangkat tubuh Semi dan memanggulnya.
Mereka pun berangkat.
"Apakah... apakah Bibi Guru masih bisa tertolong?"
tanya Rati kemudian.
"Racun itu begitu jahat," Sodrakara menjawab.
Rati berjalan beberapa langkah. Kemudian tiba
-tiba ia bersimpuh di pinggir jalan dan menangis tersedusedu. "Rati, diam!" bentak Lati.
Tapi Rati masih juga menangis.
Tari memandang Sodrakara. Akhirnya Sodrakara
mengangguk. "Kita istirahat dulu. Orang itu berjanji tak
akan mengganggu kita. Tempat ini sudah tak begitu
jauh dari ladang padepokan. Lati, kau larilah lebih dahulu. Minta Paman Guru menjemput kami."
Lati menurunkan tubuh Semi. "Baiklah. Harap hatihati, Bibi... Tari, dan Rati...."
"Kau pun hati-hati, Lati," kata Tari.
Lati telah berlari pergi.
Rati masih menangis. Tari meletakkan Bibi Madraka
di pangkuan Sodrakara dan merangkul Rati.
"Sudahlah, Rati, diamlah," bisik Tari tak tahu harus
berkata apa. Rati masih terus menangis. "Oh... Gendar... dan Pudak... dan Uduup...," tangis Rati makin menjadi-jadi.
Tari memeluknya erat-erat.
"Diamlah, Rati... ini sudah kehendak Dewata," bisik
Tari. "Bukan! Ini kehendak si penyebar maut itu. Aku...
aku... akulah yang berdosa... aku yang mengajak kalian
mandi di Telaga Biru itu," tangis Rati.
"Jangan salahkan dirimu, ini sudah kehendak Dewata! Bahkan... jangan kau menaruh dendam... sebab
mungkin ini semua adalah buah karma kita semua....
Bukan kita yang berhak mengatakan bahwa orang yang
melakukan ini semualah yang bersalah dan harus kita
balas. Biarlah Dewata menghukumnya jika ia benarbenar bersalah," Tari kehabisan kata-kata untuk menghibur Rati. "Tari, sebagai seorang anak-anak, kata-katamu tadi
cukup lucu terdengar," kata Sodrakara selesai mengurus luka Madraka yang masih tak sadarkan diri. "Sebetulnya, apa yang telah terjadi" Beruntung sekali kalian tadi muncul hingga kita bisa menipu orang itu. Kalau tidak, bukan tidak mungkin kita semua akan mengalami nasib yang sama. Dan ingat, siasat ini tadi pun
siasatmu. Jadi aneh jika kau menganjurkan kita tidak
mendendam dan tidak mencari balas."
"Memang aneh, Bibi... tapi... ya, dalam pikiranku
yang picik ini, rasanya balas-membalas dendam suatu
tindakan yang sia-sia serta mendahului kehendak Dewata. Bibi ingat apa yang terjadi di Singasari waktu
itu... Sang Rajasa membunuh Tunggul Ametung, Anusapati membunuh Rajasa, Tohjaya membunuh Anusapati... dan seterusnya. Bukankah pusing para Dewata
akhirnya untuk meluruskan sejarah hingga akhirnya
kerajaan Singasari dapat berdiri tenteram dan jaya?"
"Anak kecil, kau tahu apa tentang para Dewata hingga kau bisa mengatakan mereka pusing?" Sodrakara tak
terasa terpaksa tersenyum mendengar uraian gadis berumur enam belas tahun itu. "Apa yang terjadi tadi di
telaga?" "Kami... kami sedang mandi...." tiba-tiba suara Tari
tidak setegas tadi. "Tiba-tiba... kami rasakan sesuatu
yang aneh. Aku tak tahu. Entah itu suara atau bau harum... aku dan Lati merasakan keanehan itu...."
"Hm, kami tadi mencium bau harum itu...," kata Sodrakara. "Yah. Mungkin itu... kemudian... kemudian waktu
kami naik... kami lihat seorang yang... berwajah sangat
buruk. Gendar paling tidak sabar di antara kami. Ia
menyerang orang itu. Dan menendangnya hingga masuk ke telaga," Tari berhenti sejenak. Rati merapat memegang lengannya. Menahan napas.
"Lamaaaa sekali ia tak muncul. Dan memang ta
k muncul lagi," Tari berkata lirih. "Kami putuskan untuk
meninggalkan tempat itu.... Kami atur... empat di antara kami berganti pakaian dulu... kemudian yang tiga
berjaga -jaga. Gendar, Udup, Sunti, dan Pudak berganti
pakaian. Setelah mereka selesai... mereka naik, kami
berganti pakaian. Ketika... ketika..."
Tari tak bisa meneruskan ceritanya.
"Ketika kami keluar lagi, keempat kawan kami itu telah lenyap... tanpa bekas!" Rati mulai menangis tersedusedu. "Kami bertiga mencarinya. Tak ada hasil sedikit
pun. Kemudian kami memutuskan untuk pulang saja...." "Dan kami bertemu dengan Bibi yang berkata bahwa
Bibi Guru sedang bertempur. Oh, betulkah orang yang
melawan Bibi Guru itu si buruk rupa seperti yang
menghadang kami?"
"Aku tak melihat jelas wajahnya, Tari... hanya sekilas
waktu ia lari.... Yang jelas orang itu bertubuh pendek
gendut bagaikan bulatan besar. Yang jelas orang itu
sakti sekali hingga Guru pun kewalahan melawannya.
Untung kalian datang, dan akal cerdik Tari menyelamatkan kita!"
"Kakak Tari memang
luar biasa. Ia tahu orang itu,
siapa pun namanya, akan ngeri berhadapan dengan para tetua... karena itu sungguh cocok ajakan Tari agar
kita meniru suara-suara para pemimpin padepokan
itu," Rati memandang bangga pada Tari.
"Oh, kalau Bapa Guru tahu, pasti aku akan dihukumnya berat-berat," kata Tari menunduk.
"Jangan takut, aku dan Bibi Gurumu pasti akan
membelamu. Paling tidak, kau akan menerima hukuman ringan."
"Ah, Tari sesungguhnya tidak takut pada hukuman
itu. Ia hanya malu. Malu sekali kalau dihukum. Apalagi
kalau disaksikan oleh Kakang Tara!" Rati te
rtawa. Agak- nya rasa takutnya telah lenyap.
"Sudahlah, yang penting kita harus memikirkan persoalan yang kita hadapi," kata Sodrakara tenang. "Mudah-mudahan Lati segera datang dengan membawa
bantuan, hingga kita tak perlu terlalu takut begini."
"Bibi takut" Padahal, menurut cerita... Bibi pernah
bertarung di atas kapal yang sedang terbakar!" mata
Rati membulat besar.
"Ketakutan dan keberanian itu harus ada pada waktu dan tempat yang tepat. Kalau tidak, hanya akan
menjadi rasa takabur atau ketakutan yang tak ada alasannya." "Mengapa Bibi menyusul kami?" tanya Tari.
"Bukan menyusul. Saudaramu Tara meramalkan
bahwa kita akan kedatangan malapetaka dari arah sini.
Bibi Gurumu dan aku ingin agar kami menegakkan jasa
pada Padepokan Rahtawu. Karenanya kami mencoba
mencegat malapetaka itu... eh, kiranya kami bertemu
kau di sini."
55.. UUTTUUSSAANN
SUNYI. Semua bagaikan mematung. Juga Rangga Prawangsa yang baru saja berhasil menyarangkan tenda
- ngan maut pada Anengah. Kedua pengawalnya tadi ingin ikut campur saat mereka melihat Anengah sulit ditaklukkan oleh Rangga itu. Namun kini mereka pun
terdiam. Pertama, mereka berjaga-jaga akan sambutan
dari orang-orang Padepokan Rahtawu melihat Anengah
terkulai dengan mulut mengucur dar
ah. Kedua, mereka
tak mengerti mengapa tiba-tiba Resi Rhagani membantu
Rangga Prawangsa. Para pengikut Resi Rhagani juga
tertegun. Apa arti tindakan Sang Resi itu" Dan mereka
harus bagaimana"
Mata Anengah memandang tak percaya pada Resi
Rhagani. Ia tak percaya bahwa gurunya akan mencelakakannya. Ia tak percaya bahwa ia dikorbankan untuk
sesuatu maksud.
Resi Rhagani sendiri terdiam dengan mulut terpejam.
Dan mulutnya tak habis-habisnya membaca doa.
Rangga Prawangsa tiba-tiba tertawa. "Hah, dasar
anak gunung. Baru punya ilmu sedikit sudah besar kepalamu, he" Entah kalau dibiarkan kau kelak jadi apa...
jadi, lebih baik kuhabisi kau sekarang juga!"
Tiba-tiba rangga itu mencabut kerisnya langsung
menerjang ke arah Anengah. Rasanya Anengah takkan
dapat menghindar lagi. Tapi yang kemudian menjerit
terkejut ternyata malah Rangga Prawangsa sendiri! Sekilas terlihat sesosok bayangan menyelinap di depannya. Dan terasa kerisnya seakan menusuk sesuatu
yang sangat empuk. Tapi kemudian sama sekali tak dapat digerakkan. Dan ketika ia mulai sadar ternyata
ujung keris itu telah digepit oleh dua ujung jari Resi
Rhagani yang tahu-tahu telah menghadang di depan
Anengah. "Tua bangka! Minggir kau!" bentak Rangga Prawangsa dengan sengit.


Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sudah menjanjikan untuk menghukum kekurangajaran muridku. Dan kurasa ia sudah terhukum.
Kesalahannya tidaklah layak untuk diberi hukuman
mati," kata Resi Rhagani dengan s
abar. "Akhhhhh! Dasar kau juga sudah bosan hidup!" dengan geram Rangga Prawangsa akan mencabut kerisnya. Tetapi jepitan kedua jari Resi Rhagani bagaikan jepitan baja. Keris itu sama sekali tidak dapat be
rgerak. Rangga Prawangsa mengerahkan kekuatannya. Matanya melotot. Otot-ototnya menggelembung. Keringatnya
mengucur. Keris itu tak bergerak. Seme
ntara Resi Rhagani masih memejamkan mata sambil membaca doa.
Rangga Prawangsa mengganti siasat. Tiba
-tiba ia berputar dan tendangan geledeknya dihajarkannya ke
pinggang Sang Pendeta. Akibatnya hebat. Sebelum kakinya menyentuh tubuh Sang Pendeta, ia menjerit keras
dan tubuhnya sendiri
terhempas berguling-guling di tanah. Gubar Baleman dan Kali Limpuk gugup mengejar
majikan mereka.
"Ada apa, Tuanku?" Gubar Baleman mengulurkan
tangan menyentuh tubuh Rangga Prawangsa yang meringkuk di tanah. "Akhhhhhh!" Gubar Baleman menjerit
keras... be gitu tangannya menyentuh Rangga Prawangsa. Terasa tangan itu bagaikan memegang api membara!
"Jangan... jangan sentuh aku!" Rangga Prawangsa
terhuyung berdiri. Matanya liar memperhatikan Resi
Rhagani. Resi Rhagani seolah tak memperhatikan mereka. Juga tak memperhatikan kala Rangga Prawangsa
mengangkat tangan dan dari tepi hutan bermunculan
beberapa belas prajurit berseragam siaga perang. Mereka datang mendekat.
Resi Rhagani berpaling. Dipegangnya punggung
Anengah. Anengah terlihat mengangkat kepala dan me
- regang dada, mereguk napas dalam-dalam. Suatu hawa
hangat yang nyaman merasuk masuk ke dalam tubuhnya. Ia terbatuk. Dan rasanya tiada lagi luka di dalam.
Pandangan mata Resi Rhagani membuat ia menunduk.
Bersimpuh dan menyembah.
Melihat majunya belasan prajurit yang agaknya akan
membantu Rangga Prawangsa, Kanigara memberi isyarat pada siswa -siswa yang sedang bekerja di ladang.
Mereka pun bergerak. Seolah tanpa arah. Tetapi dengan
membawa berbagai peralatan bertani sebagai senjata,
mereka lebih mengancam dari sekadar berpencar. Juga
para pengiring Resi Rhagani.
Di tengah itu semua, Rangga Prawangsa telah berdiri
tegak kembali, berhadapan dengan Resi Rhagani. Mereka berdua saling pandang.
"Rasanya hal ini tidak usah diteruskan, Tuan Rangga," kata Resi Rhagani lembut. "Ini hanyalah salah paham. Tuan merasa dipertuan hingga mengharap kami
menghamba. Murid kami terlalu mendunia hingga tak
tahan menanggung beban malu palsu. Jika Tuan lupakan semuanya, maka kami bisa menerima Tuan s
ebagai tamu yang layak kami hormati."
Tiba-tiba Rangga Prawangsa tersenyum. "Mpungku
* * Tuanku (pendeta)
hamba minta lebih dari sekadar kehormatan yang
Mpungku berikan pada kami. Kami minta persahabatan
dan persaudaraan. Sebab kami membawa salam s
ejah- tera dari junjunganku Bhre Daha...."
Tak diduga siapa pun, Rangga Prawangsa berlutut
dan menghaturkan sembah pada Resi Rhagani. Bahkan
Resi Rhagani pun gugup menerima sembah itu. Ia cepat-cepat mengulurkan tangan untuk mengangkat
Rangga Prawangsa. Namun Rangga Prawangsa telah
mengeluarkan sebutir permata berbentuk bunga tanjung dengan warna hijau cemerlang. Melihat permata
itu Resi Rhagani tertegun. Sang pendeta pun menghela
napas dalam-dalam dan tersenyum, berkata lirih, "Putri
junjungan kawula Daha itu ternyata masih memikirkan
orang tak berguna seperti aku. Katakan, Tuan Rangga,
apakah junjunganmu itu sehat?"
"Tidak kurang suatu apa pun, Mpungku," sembah
Rangga Prawangsa, begitu hormat kini. "Mohon ampun
akan tingkah hamba. Hamba khusus diperintahkan untuk mencoba ketangguhan siswa
-siswa Mpungku, terutama seorang siswa yang termuda, yang hamba kira
pastilah anak muda yang hebat ini."
Kening Resi Rhagani berkerut. "Apakah junjunganku
Bhre Daha menyebutkan suatu nama?"
"Beliau tidak berkenan menyebutkan suatu nama,
Mpungku, beliau hanya menyebutkan bahwa siswa itu
pastilah yang termuda, dan te
rsakti." Resi Rhagani merenung.
"Apakah Tuan juga diberi pesan khusus oleh Sang
Agung Raja Wengker?"
"Mohon diampun,
Mpungku , junjungan hamba Yang
Dipertuan Wengker tak tahu-menahu akan kepergian
hamba," Rangga Prawangsa s
emakin tunduk. "Rasanya kata
-katamu mengandung suatu rahasia,
Tuan Rangga?" kata Resi Rhagani.
"Memang ada yang tak patut dikatakan di tempat
terbuka seperti ini, tetapi yang jelas adalah... junjungan
hamba Bhre Daha mengkhawatirkan kalau-kalau
Mpungku akan memperoleh malapetaka."
"Ya, Dewata Agung... apa kiranya yang dikhawatirkan oleh sarika?"
* Rangga Prawangsa memberi isyarat agar anak-anak
"Junjunganku bersabda bahwa beberapa belas tahun
yang lalu ada seseorang bersumpah untuk membasmi
keluarga junjunganku Bhre Daha. Dan dendamnya kemungkinan lebih tertuju pada Mpungku. Hamba datang
untuk memperingatkan
Mpungku tentang itu. Dan
memberi bantuan jika diperlukan. Tapi rasanya... bantuan hamba tak terlalu diperlukan."
Resi Rhagani memejamkan mata. "Ya, Dewata
Agung... adakah dendam itu akan selalu hadir" Tuan
boleh berkata bebas di sini. Rangga, mereka semua adalah aku dan aku adalah mereka semua. Katakan apa
pesan junjunganmu, dan apa yang kauketahui."
* sarika=beliau buahnya menjauh. Tinggal Gubar Baleman dan Kali
Limpuk yang ada di situ.
Rangga Prawangsa terdiam sejenak. "Mpungku... dunia luar tidak setenang padepokan yang tenteram damai
dan sejuk ini. Mungkin Mpungku belum tahu itu. Ada
suatu gerakan yang sangat mengganggu kehidupan pemerintahan Wilwatikta. Semua bersumber dari suatu
desas-desus. Bahkan... sekarang pun masih desas-desus...." Rangga Prawangsa menundukkan kepala. "Junjungan hamba Bhre Daha, seperti juga
Mpungku, tidak selalu berpikir segaris dengan pemikiran Sang Hyang
Daha ibunda maharaja. Angin me
m bawa berita bahwa
Sang Wirabhumi telah menanamkan benih dan benih
itu tumbuh berkembang di Pantai Selatan. Dari Pacayita
muncul bunga dengan semerbak wangi mengandung
racun. Racun yang sungguh ampuh dan membawa
maut. Demang Wirapramuda di Lawor, beserta seluruh
keluarganya yang berjumlah empat puluh tujuh orang,
telah tewas. Tumenggung Wuyaranggarit dari Walingi,
ditebas beserta seluruh isi rumah besarnya. Demang
Wulung Rat, dari Akusya, begitu juga. Ratap tangis ratusan jiwa telah sampai di telinga junjunganku. Dan
Panembahan Stopaka dari Wilwatikta khusus berkunjung pada junjunganku untuk menunjukkan suatu kesamaan - mereka yang secara mengerikan dibasmi itu
adalah keluarga dekat junjungan hamba, sedang garis
kematian akan menjulur terus ke utara. Junjungan
hamba tak membuang waktu lagi, segera mengutus
hamba kemari."
"Hmm... lalu kenapa kau bersikap memusuhi kami,
Tuan Rangga?" Resi Rhagani bertanya.
"Hamba tak mengerti. Junjungan hamba menginginkan hamba mencoba kewiraan seorang siswa muda
di padepokan Mpungku. Hamba harus mengetahui secara jelas kemampuan kewiraan si muda. Karenanya,
hamba bersikap bermusuhan. Hamba pikir, dengan jalan begitu akan jelas tampak pribadi serta kekuatan si
muda." Kini Resi Rhagani lama termenung.
"Mengapa junjunganmu Bhre Daha berka
ta begitu?"
katanya akhirnya. "Memang ada dua orang muridku
yang paling muda dari antara semua. Tapi, kemungkinan yang mana yang dimaksudkan oleh Bhre Daha,
tentunya Tuan tidak tahu. Dan aku pun tidak tahu apa
hubungan mereka dengan Bhre Daha. Aku menerima
mereka atas usulan Dinda Madraka.... Seingatku... Dinda Madraka menemukan keduanya dalam suatu perjalanan baktinya."
Tak terasa Rangga Prawangsa mengangkat muka.
Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata
Anengah yang kebetulan juga mengangkat muka. Anak
muda itu langsung menundukkan muka kembali. Rangga Prawangsa melihat kilatan mata yang tajam pada
anak itu. Kilatan mata yang menandakan kecerdasan
dan kemantapan diri.
"Lalu... di manakah yang seorang lagi, Mpungku?"
"Yang seorang lagi bernama Utta
ra. Usianya hanya
berbeda beberapa bulan dari Anengah. Saat ini ia s
e- dang kusuruh pulang ke padepokan."
"Baiklah, hal ini kita bicarakan nanti saja," sembah
Rangga Prawangsa. "Hamba sungguh bersyukur bahwa
ternyata petaka itu belum sampai kemari. Dan hamba
akan berusaha sekuat tenaga agar ramalan Panembahan Stopaka gugur.... Junjungan hamba Sang Hyang
Madraka... di manakah pwangkulun?"
* * beliau (pendeta)
"Sebentar lagi akan datang berita tentang sarika."
* "Sembah putu maharsi
Resi Rhagani menundukkan kepala. "Dan berita itu rasanya tak begitu me
nyenangkan."
Semua yang kebetulan ikut mendengar terlihat terkejut dan saling pandang.
"Bapa Guru, apa yang Guru maksud?" tanya Ane
- ngah. "Lihat itu," Resi Rhagani memalingkan kepala ke
arah ladang. Di tengah hamparan padi, terlihat seseorang berlari
dengan tak memakai peraturan tata lari lagi.
"Lati!" Anengah terkejut. Gugup ia menghaturkan
sembah dan beringsut mundur langsung berlari menyambut Lati. Semua terdiam. Di kejauhan terlihat Lati telah be
r- henti berlari. Berdiri terengah-engah dan hampir roboh.
Anengah langsung menyambarnya. Agaknya Anengah
berbicara sesuatu, dan Lati menjawab. Tak sabar Anengah membopong Lati serta membawanya kembali ke
depan Resi Rhagani, berlari secepat ia dapat.
"Guru," kata Anengah gugup. "Lati berkata... Bibi
Madraka... Bibi Madraka mengalami bencana... di Hutan Radesa... pwangkulun... diserang... gandarwa...."
Resi Rhagani membungkuk, mengusap dahi Lati
yang ternyata sudah pingsan. Tetapi kena sentuhan
Sang Resi, Lati membuka matanya, berusaha untuk
bangkit namun tersungkur di depan kaki Resi Rhagani.
* * sarika=beliau * hamba (murid) harap diterima...," sulit sekali
Lati mencoba menyembah.
"Tak usah banyak basa
-basi, Lati... apa yang terja

Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di?" bisik Resi Rhagani lembut.
"Putu maharsi... mandi bersama... saudara-saudara
yang lain... di... di Telaga Biru.... Ada... ada gandarwa
muncul... lalu... lalu bentrok dengan... Gendar.... Gandarwa itu jatuh ke telaga.... Kemudian... kemudian hilang... dan... ketika kami berganti pakaian... empat
orang saudara kami lenyap...," Lati berkata megapmegap. "Bagaimana Adik Tari?" Anengah be
rtanya gugup. "Adik Tari... se... selamat... juga Rati... yang lain lenyap...." Semua saling pandang, kecuali Resi Rhagani yang
masih membungkuk dan membelai kepala Lati.
"Lalu... waktu kami sudah putus asa mencari... kami
pulang.... Kami berjumpa dengan Bibi Madraka dan Bibi
Sodrakara. Bibi Madraka bertempur dengan gandarwa
itu. Bibi Sodrakara menyuruh kami menyamarkan suara menjadi... Guru. Gandarwa itu lari, tapi sempat...
mencakar Bibi Madraka hingga pingsan...."
Sunyi. Lati mencoba menangis, tetapi suaranya tak
keluar. Resi Rhagani menghela napas panjang, berpa
- ling pada Anengah.
"Anengah. Ajak pamanmu Kanigara, Drawalika, dan
Pawungsari. Susul bibimu ke Hutan Radesa. Berangka
t- lah," kata Resi Rhagani tegas.
Keempat orang itu langsung menyembah dan melesat berlari meninggalkan tempat itu.
"Mpungku... biar hamba ikut mereka," Rangga Prawangsa siap untuk bangkit.
"Jangan. Tuan lelah. Lagi pula Tuan merupakan tenaga tambahan jika terjadi sesuatu di sini. Mari duduk
di bawah beringin itu."
Resi Rhagani memberi isyarat. Para siswa kembali
bekerja di ladang. Ia dan pengikutnya pergi ke sebatang
pohon beringin yang sangat besar dan rindang, di tepi
tanah lapang kecil itu. Pohon tersebut begitu besar
hingga dua puluh orang dewasa mungkin tak bisa melingkari batangnya dengan saling bergandengan. Se
o- rang pembantu Sang Resi membopong Lati yang pingsan lagi. Keadaan sunyi. Sang Resi duduk di salah satu akar
yang menonjol ke luar, para pengikutnya duduk mengelilinginya. Rangga Prawangsa berada di depan beliau, duduk bersila dan menundukkan kepala. Di ladang para siswa kini bekerja seperti tanpa gairah.
Sang Resi mulai menggumamkan sebuah lagu pujaan keagamaan. Satu demi satu para pengikutnya ikut
menyanyi. Kemudian para siswa pun ikut menyanyi,
hingga suasana agak lebih meriah.
Tapi semua tiba-tiba terdiam, kecuali Sang Resi, saat
beberapa lama kemudian muncul beberapa orang di tepi
hutan. Makin dekat dan makin dekat. Ya. Itu Anengah
yang mendukung Bibi Madraka. Dan Kanigara mendukung seseorang lelaki. Drawalika agaknya membantu
Tari berjalan. Sedang Pawungsari menggendong Rati
yang mungkin sudah pingsan. Yang tampak masih gagah berjalan adalah Sodrakara.
Semua mematung saat rombongan itu makin dekat.
Beberapa orang siswa menghambur untuk membantu
Anengah dan Kanigara. Rati mungkin sudah sadar dan
kini minta turun, ikut berlari terhuyung-huyung.
Rati dan Tari seakan melemparkan tubuh mereka ke
tanah di depan Resi Rhagani. Tangis mereka me
njadi- jadi. Resi Rhagani mengusap kepala kedua gadis itu, berkata, "Rati, Tari... tabahkan hati kalian. Ini masih bukan apa-apa dibandingkan cobaan yang harus kalian
terima jika ingin menjadi manusia yang utuh. Diamlah."
Mungkin lagu bicara Resi Rhagani begitu menyejukkan hingga Rati dan Tari sanggup bangkit dan duduk
bersandar pada Lati. Bertiga mereka menahan tangis.
Resi Rhagani bangkit untuk memeriksa Bibi Madraka
yang tak sadarkan diri. Diperiksanya luka bekas cakaran besi di lengan Madraka. Diciumnya. Dan ia menge
- rutkan kening. "Upas Gemet," bisiknya. "Ya Dewata Mulia Raya... ini
Upas Gemet tingkat lima! Sesuatu yang sangat langka
ada di dunia ini. Ya Dewata Mulia Raya, ya Dinda Resi...
maafkan aku!"
Cepat sekali tangan Sang Resi bekerja. Mula-mula
seakan memijat seluruh lengan Bibi Madraka. Gerakannya makin lama makin cepat. Jari-jemarinya bagaikan
menari. Napasnya sendiri pun semakin memburu. Keringat mulai membersit di mukanya. Dan jari-jemari itu
semakin cepat juga.
Kemudian Sang Resi mencengkeram pangkal lengan
Bibi Madraka. Memejamkan mata. Mengucapkan mantra. Lalu ia mengulurkan tangan pada Rangga Prawangsa. "Tuan Rangga, aku minta pinjam pedangmu," katanya tanpa membuka mata. Sesaat Rangga Prawangsa
ternganga. Kemudian dengan gemetar ia mencabut pedang yang ada di pinggang Gubar Baleman. Pedang itu
pedang keprajuritan. Bukan pedang pusaka. Tajam.
Mengkilap. Sang Resi menerimanya dengan tangan kiri.
Mengusapnya dengan tangan kanan. Tak lama pedang
itu merah membara. Sang Resi meniupnya. Pedang itu
mendesis bagaikan dicelupkan ke air.
Dan mendadak saja Sang Resi Rhagani meng
ayun- kan pedang itu. Tari, Rati, dan Lati menjerit. Bahkan
Sodrakara sampai ternganga. Lengan Bibi Madraka
langsung putus.
Tepat di pangkal bahu.
Darah mengucur deras. Tapi Sang Resi segera sibuk
lagi dengan pijatannya. Dan darah itu pun berhenti
mengucur. Dari sebuah kantung di balik jubahnya Sang
Resi mengeluarkan beberapa butir tablet berwarna merah muda. Dengan paksa dibukanya mulut Bibi Madraka. Dan tablet-tablet itu dilemparkannya masuk ke dalam mulut. Sang Resi bersemadi. Suasana menjadi sangat sunyi.
Bahkan Tari, Rati, dan Lati menahan isakan tangis mereka. Akhirnya Sang Resi membuka mata kembali. Diusapnya keringat yang ada di dahi Bibi Madraka. "Tidurlah, Adikku...," bisiknya. Kemudian seolah terkejut
ia berpaling pada Sodrakara. Perlahan ia bangkit dari
duduknya, meletakkan kepala Bibi Madraka di to
njolan akar. "Rawatlah gurumu, Sodrakara," katanya. "Kanigara, kaupimpin sepuluh siswa menunggu Bibi Gurumu
di sini. Jika ia sudah sadar, bawa dengan tandu pulang
ke padepokan. Sebelumnya, jangan sekali-sekali digerakkan badannya. Tuanku Rangga..."
"Hamba, Mpungku...."
"Aku mohon pinjam anak buah Tuan untuk membantu Kanigara dan siswa lainnya. Tuan sendiri silakan
pergi ke padepokan bersama kami."
Semua hanya mengangguk mengiyakan. Agak lama
Sang Resi memperhatikan Bibi Madraka, sebelum pe
r- lahan berdiri dan berjalan lemah ke arah puncak gunung. Yang lain bergerak sesuai tugas yang ditentukan.
Rombongan itu bagaikan rombongan yang mengantar seseorang menghadap Dewata Agung.
Terdepan Sang Resi dengan jubah yang penuh bercak darah. Menunduk seakan tak melihat jalan yang ditempuh. Kemudian Rangga Prawangsa. Jalannya gagah.
Tapi matanya suram. Wajahnya muram. Kemudian para
pengikut lainnya. Di antara semua, tampak Anengah gelisah. Sesekali ia mencuri pandang melirik pada Rangga
Prawangsa. Sekali-sekali ia melirik Tari. Keduanya tak
memperhatikannya.
Di pintu gerbang padepokan, rombongan itu bagaikan tersambar halilintar. Bahkan Sang Resi pun tak
kuasa menahan kekagetannya
. Di halaman depan, Tara agaknya sedang sibuk
mengangkut mayat-mayat yang bertebaran di manamana. Dan ia langsung mematung saat Sang Resi muncul. Sesaat hening. Dan kemudian pecahlah kesunyian
dengan jeritan tangis dan kekagetan. Kaki-kaki pun ribut berlarian. Teriakan pertanyaan dilontarkan pada
Tara. Beberapa orang menyerbu pemuda itu. Meneriakinya. Mengguncang lengannya. Memukul dadanya. Berteriak lebih keras lagi. Tapi Tara bagaikan kena sihir.
Diam. Ternganga. Matanya terbelalak memandang Sang
Resi yang berjalan mendekat.
"Tara, kenapa kau?" Sang Resi mengulurkan tangan
menyentuh bahu Tara.
"Oh... oh... Gu... Guru!" tiba-tiba Tara menjerit. Berbalik. Dan lari ke arah bagian dalam padepokan.
Beberapa orang mencoba menahannya. Dengan gerakan geram Tara menghantam kalang-kabut. Orangorang menjerit dan bertumbangan.
"Tara! Tunggu!"
"Berhenti, Tara!"
"Awas, minggir, kawan!"
"Minggir!"
Beberapa orang mulai membalas hantaman Tara.
Kemudian semua seakan mengeroyok Tara. Menubruknya. Merangkulnya. Mendekapnya. Menghantamnya.
Tara menjerit-jerit. Makin ganas menghantam kirikanan. Makin gesit meloloskan diri dari kepungan. Ane
- ngah agaknya tak sabar. Ia langsung menyerang Tara.
Tara telah berada di pendapa utama. Sebuah ruang
luas yang terbuka di empat sisinya. Lantainya terbuat
dari batu hitam yang disusun hingga halus mengkilap.
Memang sering pula digunakan untuk berlatih kewiraan. Dan saat Tara kalap menghindar dari penyergapnya,
Anengah menyerangnya. Tara bergerak gesit. Langkahlangkahnya gemulai namun tegas. Licin sekali ia melesat ke kiri-ke kanan, maju dan mundur.
Gerakan Anengah tampak berbeda. Mantap dan berat. Kasar dan ganas. Anengah menyiarkan hawa panas
yang terus memburu. Ia membuat para penye
rgap Tara lainnya melompat minggir tak tahan. Hingga
akhirnya di ruang luas itu tinggal Tara dan Anengah saling berhadapan. Sementara itu Resi Rhagani telah memberi isyarat
agar para pengikutnya menyelidiki apa yang terjadi. Di
sana -sini sekali-sekali terdengar jeritan memilukan saat
sosok mayat seorang kena
lan diketemukan. Di pendapa
sendiri Anengah dan Tara masih bertarung ketat. Jelas
Anengah mendesak terus. Tara mundur, menghindar,
dan menjerit-jerit tak keruan.
Sang Resi merenungi pertarungan itu dan menghela
napas panjang. Resi tua itu seakan menyesali telah menurunkan ilmunya pada kedua murid yang dikasihinya
itu. Rangga Prawangsa menahan napas memperhatikan
kedua pemuda tersebut. Gerakan mereka memang enak
dilihat. Indah. Matang. Maut. Lincah dan gesit. Sesekali
ia berdecak kagum.
Terdengar jeritan panjang dari bangunan dalam. Beberapa siswa ribut. Dan muncul rombongan orangorang yang menggotong Suranggana.
"Suranggana!" desis Resi Rhagani. Cepat ia meninggalkan kedua siswanya yang bertarung dan mendekati
Suranggana. Suranggana bagaikan bermandikan darah. Darah
mengucur dari kepalanya, tempat tadi ia terserempet
peluru besi yang dilontarkan sang bidadari. Dan ia bagaikan akan pingsan. Yang terdengar hanya guma
mnya, "Tangkap dia... dia pengkhianat! Hei... hei... kau bisa
membunuhnya... kenapa tak kaulakukan" Ayo... ayo..."
Resi Rhagani menyambar lengan Suranggana. Dipijatnya tangan itu dan ia berbisik, "Ayo, bicaralah de
- ngan baik."
Rabaan Sang Resi menggetarkan jiwa Suranggana.
Jeritannya lenyap. Sesaat matanya berputar-putar. Kemudian ia meronta
-ronta. Dan ia menjatuhkan diri di
depan Resi Rhagani.
"Haduh, Bapa Pendeta... maafkan hamba... haduh...
ha ha ha ha... Ampuuun, Gusti, ampuuun, Pangeran...
Dewi Wita sudah menunggu...."
Terlihat sorot mata Sang Resi seakan tersentak. Dan
ia mengulurkan tangan untuk memegang kepala Suranggana. Suranggana tunduk, menangis tersedu-sedu.
Dan roboh. Di samping mereka, Anengah dan Tara masih gegap
bertarung. Sang Resi agaknya sudah bosan. Ia memben

Candika Dewi Penyebar Maut I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak keras, "Diam kalian!"
Anengah bagaikan dihantam palu godam. Ia terle
m- par ke samping membentur tiang pendapa. Tara sendiri
hanya menghentikan langkah dan kemudian berputar.
Ia tertegun mengamat-amati Sang Resi.
"Jangan seperti anak kecil! Tara, apa yang terjadi?"
tukas Sang Resi.
Lama Tara berpikir, megap-megap bagaikan orang
akan kelelap. "Ya ampun... Bapa Guru... muridmu ini lalai... hukumlah hamba, Guru...."
"Dia pengkhianat!" tiba-tiba Suranggana bangkit dan
berteriak. Tara sangat terkejut, dia melompat ke samping namun dihadang oleh Rangga Prawangsa. Kembali
ia beringsut ke hadapan Sang Resi.
"Guru... sewaktu hamba datang kemari..." kata Tara.
"Bohong!" teriak Suranggana, geram. "Ia yang me
n- datangkan dewi penyebar maut itu. Dia! Dia berkhianat!
Dia tak mampu membunuh musuh!"
"Apakah sebenarnya yang terjadi?" tanya Sang
Resi. "Waktu hamba datang... sudah banyak yang te
rbu- nuh... tanpa luka...," kata Tara.
"Dusta licik!" teriak Suranggana.
"Aku dan Paman Suranggana langsung mencari...
hampir semua isi padepokan ini tewas!" Tara menunduk. "Ia punya kesempatan membunuh ganda
rwa itu... cepat!" kata Suranggana.
"Aku... aku... aku kemudian bertemu dengan wanita
yang... yang... yang cantik... cantik.... Dia... dia mencoba membunuhku tapi tak berhasil!" kata Tara.
"Oh, duniaaaa, banyak sekali tukang dusta di sini.
Dia dusta, Panembahan... dia licik... dia tak memikirkan
saudara -saudaranya yang tewas.... Dia punya kesempatan membunuh dia, tetapi dia tak tega... karena dia
itu... sangat cantik!"
"Tidak demikian, Bapa Guru... aku ingin menangkap
wanita itu hidup-hidup."
"Ya, Panembaha
n... aku takkan rela hidup di dunia
ini jika laknat itu tidak dihukum.... Aku berhasil melumpuhkan gandarwa perempuan itu... aku sudah
hampir membunuhnya... tapi dia... dia melindunginya!
Dia melindungi orang yang telah membunuh sekian banyak saudara-saudara kita! Ya, Dewata Agung! Aku
takkan puas sebelum bisa minum darahnya!" Suranggana menangis tersedu-sedu. Badannya gemetar menahan marah, sakit, dan penyesalan. Luka di kepalanya
seakan tak pernah kering, darah mengucur terus wa
- laupun Resi Rhagani berusa
ha meredakan luka itu.
"Tara! Jelaskan apa yang terjadi! Kalau benar kata
Paman Suranggana..." Anengah tak bisa melanjutkan
kata-katanya karena begitu geram.
Resi Rhagani mengangkat tangan. Semua yang di
pendapa itu diam. Semua memandang dengan sorot
mata membenci pada Tara. Tara sendiri seperti orang
linglung, berdiri terhuyung, matanya kosong sesekali
memandang Suranggana. Di luar terdengar lolongan
dan jeritan mereka yang merasa kehilangan saudara
ataupun teman. "Ya, Panembahan..." Suranggana me
ratap lagi. "Tak
banyak aku meminta sesuatu pada Panembahan... kabulkan yang satu ini.... Aku ingin minum darah bangsat
cilik itu!"
Tiba-tiba Suranggana berhasil mengumpulkan seluruh kekuatan terakhirnya. Tiba-tiba ia berdiri kaku.
Wajahnya yang hitam penuh darah. Rambutnya sudah
tak tersanggul lagi, semburat tak keruan menutupi s
e- bagian muka. Dan tangannya teracung kaku ke arah Tara.
Bersambung ke jilid 2.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Pedang Keadilan 11 Alap Alap Laut Kidul Seri Ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kereta Berdarah 11

Cari Blog Ini