Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut I V 2

Candika Dewi Penyebar Maut I V Bagian 2


membuat kami berutang budi. Maka lebih baik segeralah pergi. Dan jangan kembali lagi."
"Sayang. Aku butuh bantuan, dan kalian tak mau
memberikannya padaku." Rakryan Mapatih mengorak
sila dan berdiri.
"Tunggu, apakah yang Tuan inginkan dari kami" Di
samping kehancuran hati kami, tentunya," kata Rara
Sindu. "Pertama, aku ingin kau memanggilku 'Paman' seperti dulu lagi, Sindu," kata Mapatih. "Dan bukannya
'Tuan' atau 'Tuanku' atau 'Mapatih Agung' atau sebang-sanya."
"Ditolak," kata Rara Sindu tegas, merengut.
"Kedua... apakah akhir-akhir ini Sindura pernah ketamuan saudara seperguruan atau orang-orang yang
satu ilmu dengannya?"
"Tidak," sahut Rara Sindu.
"Kau lupa pada Tantri," kata suara dari dalam rumah. "Oh, Tantri. Dia tidak pernah kuanggap sebagai
orang," kata Rara Sindu.
"Siapakah Tantri ini?" tanya Rakryan Mapatih.
"Putra Bibi Guru Kakang Sindura," sahut Rara Sindu. Sesaat mukanya sedikit cerah. "Kalau Tantri ada di sini, pasti dihajarnya
seluruh pejabat Kuripan. Tanpa kecuali. Kecuali... Sang Maharaja, tentunya,
bukan karena apa-apa... cuma karena ia tak tahu yang mana
Maharaja, yang mana Raja Hama."
"Kakangmbok Rangga, lebih baik kurung saja anak
ini sebelum petaka dan murka Sang Raja jatuh padanya," kata Rakryan Mapatih dengan nada sedih. "Jika ia tak dapat mengendalikan
diri, mana dia memiliki ke-mantapan untuk mencapai cita-citanya."
"Tuanku Mapatih yang agung... untunglah Tuanku
ada di sini." Muram di wajah Rara Sindu kembali tampak tajam. Perlahan ia menyembah kepada ibu yang
masih berada di dalam rumah. Dan ia bangkit serta melangkah mundur hingga turun
ke halaman. Ia terus melangkah mundur. Badannya yang kecil hanya terbungkus kain hingga di dada. Kulitnya kuning halus terlihat nyata di bawah rambutnya
yang hitam kelam, tebal dan indah. Wajahnya segar karena baru terkena air,
matanya tajam cemerlang di bawah alis mata yang tebal hitam pula. Cantik, dengan
garis-garis wajah yang membayangkan kekerasan hati.
Ia mundur sampai berada di antara orang-orang bersenjata yang masih mengepung tempat itu.
Tiba-tiba tangannya menyambar sebilah pedang yang
dipegang oleh salah seorang prajurit Karanggan itu. Sesaat ia berdiri mematung
dengan kuda-kuda siap yang
biasa diperagakan oleh para prajurit wanita.
"Di hadapan Tuan Mapatih, Ibunda junjunganku,
dan semua yang ada di sini... aku bersumpah, tak akan memakai pakaian wanita
lagi, sebelum kubalas kematian Ayahanda, dan kuhapus cemar di nama Kakanda
Sindura!" teriaknya lantang.
"Rara!" teriak sang ibu dari dalam rumah.
"Sindu!" cegah Rakryan Mapatih.
Tapi gerakan Rara Sindu cepat, dan mantap. Tangannya berayun. Sekilas pedangnya mengkilap berkelebat. Dan Rara Sindu berdiri dengan tangan kiri menggenggam setumpuk rambut tebal indah. Tangan kanan
memegang pedang. Kepala tunduk dengan rambut terpapas hampir habis.
"Sindu!" desah Sang Mapatih.
"Anakku!" keluh sang ibu dari dalam.
Dan orang-orang lain terpukau terpaku. Seseorang
menangis terisak. Selebihnya sunyi senyap.
Perlahan tangan kanan Rara Sindu terkulai. Pedangnya jatuh berdentang di kerikil. Masih dengan kepala tunduk ia menimang rambut
indah yang kini tidak lagi di kepalanya itu. Dengan langkah perlahan kemudian ia
maju. Matanya masih menunduk hormat. Tapi kepalanya terangkat gagah. Maju naik
ke lantai, berjalan ber-jongkok sampai ke ambang pintu. Membungkuk hingga
mukanya hampir menyentuh lantai. Dan ditaruhnya
onggokan rambut itu di ambang pintu.
"Ibu... putrimu mohon ampun, tak akan bisa memberimu segera kebahagiaan menimang cucu... tak akan
segera memberimu kebahagiaan memiliki seorang anak
perempuan... menyakiti hatimu dengan merenggut lagi
seorang anak darimu.... Karena kau adalah ibu... yang selalu siap berkorban apa
saja demi kebahagiaan putrimu, maka aku tahu bahwa Ibu akan rela... sebab tia-da
yang lebih membuatku bahagia... dari memenuhi
sumpahku tadi."
Dari dalam, Nyai Rangga tak kuat untuk memberi
jawaban. Sesaat Rara Sindu seakan menunggu jawaban
itu. Tetapi kemudian ia menghaturkan sembah dalamdalam. Dan berjalan jongkok mundur.
Begitu menginjak tanah ia berlari ke arah rumah dalam. "Putrimu sangat keras kepala, Kakangmbok Rangga,"
kata Mapatih setelah sekian lama terdiam, merenungi
rambut yang helai-helainya berkibaran ditiup angin.
"Apa yang akan diperbuatnya?"
"Aku sedih, Dinda Patih," suara dari kegelapan itu
bergetar. "Tapi aku juga bangga. Kedua anakku memang putra sejati ayah mereka. Aku memang putus
asa... tapi... aku tak mau mengkhianati anakku sendi-ri... jika mereka mau
berusaha dan terus berusaha,
mengapa aku akan memberatkan mereka" Adinda Mapatih..." "Ya, Kakangmbok?"
"Kita bukan sanak, bukan pula keluarga. Tapi kakangmu Rangga dulu begitu kagum dan menghormatimu. Dan menganggapmu sebagai saudara kandung
saja. Untuk melestarikan ini, tak banyak yang aku inginkan. Tolong jaga si Rara
Sindu...."
Sulit bagi Rakryan Mapatih untuk menelan ludah.
Rasanya tenggorokannya tersekat oleh duri yang berca-bang banyak. Akhirnya ia
berkata, "Kakangmbok, lepas dari persoalan apa pun, Sindura dan Sindu memang
sudah kuanggap anakku sendiri. Tentang itu Kakangmbok tak usah khawatir lagi."
Dari jauh terdengar suara tepukan. Tepukan tangan
Rara Sindu. Orang-orang bersenjata yang tadi diam mematung tanpa suara bergerak
menjauh. Menghilang.
Kemudian ada suara langkah kaki mendekat.
Semula Rakryan Mapatih tak bergerak, sebab ia tahu
itu langkah Rara Sindu. Tetapi dari ekor matanya ia melihat orang yang mendekat
itu berpakaian aneh. Cepat ia mengangkat kepala.
Dan ia sedikit ternganga.
Di halaman, berdiri seorang pemuda. Tampan. Sangat muda. Memakai pakaian tanah seberang - celana
sutera hijau, kain dibelitkan di pinggang, kemeja lengan panjang dan longgar
dari sutera hijau pula, serta kepala yang dibeliti destar warna hijau.
"Sindu, apa maksudmu?" Rakryan Mapatih terpaksa
hampir tak kuat menahan tawa.
"Paman, hamba kini bukan Sindu lagi, melainkan
Tun Kumala... dari Tumasik," sahut 'pemuda' itu yang memang Sindu adanya.
"Rupamu tidak mirip, suaramu tidak mirip, dan jika
orang mengajakmu berbahasa Tumasik, apa yang akan
kaulakukan?"
"Hamba akan bilang hamba lahir di Hujung Galuh,
hingga sudah lupa akan adat-istiadat serta kebiasaan orang seberang. Siapa yang
akan membantah?"
"Lalu maksudmu?"
"Hamba akan terus mengikuti Paman selalu. Paman
harus bertanggung jawab akan keselamatan Kakang
Sindura, jadi harus mencari jalan menyelidikinya. Ham-ba akan terus menempel
Paman." "Mungkin kau akan tak berani ke tempat yang kukunjungi," kata Rakryan Mapatih.
"Coba saja," Rara Sindu bersikeras.
"Baiklah, coba saja." Rakryan Mapatih berpaling
kembali ke ambang pintu. "Kakangmbok Rangga."
"Ya, Dinda Patih."
"Tingkah Sindu mengubah rencanaku. Sebetulnya
aku memang akan mulai penyelidikan saat ini juga. Ja-di kebetulan. Relakan si...
si Tun Kumala mengikutiku...
kukira dia tak akan tahan."
"Coba saja," sahut Sindu, eh, Tun Kumala.
"Yah, aku tak bisa berbuat lain, Anakku," suara di
dalam itu terdengar gemetar berkata.
"Ibu sungguh bijaksana." Tun Kumala sesaat menundukkan kepala dan dengan gemulai berdatang sembah. Tapi kemudian mengangkat kepala, tegak, gagah.
Tangan kirinya beristirahat di hulu keris tanah seberang yang berkepala
bertatahkan emas.
Kembali Rakryan Mapatih menyembunyikan senyumnya. "Sebentar, Anakku Tun Kumala... dari mana
kauperoleh pakaian serta semua perangkat seberang
itu?" "Paman Patih tentunya ingat, dua-tiga tahun yang lalu Kakang, eh, Raden Sindura pernah berkunjung ke
Tumasik dan membawa banyak tanda mata dari sana.
Tentang pakaian dan perangkat, Paman tak usah khawatir." "Duduklah kemari, Tun. Mari kita berunding," akhirnya Rakryan Mapatih berkata. Dan diperhatikannya terus semua gerak-gerik Tun Kumala. Sekali ia menggelengkan kepala. "Lumayanlah... tak banyak kenalanku
orang seberang, tetapi paling tidak gerak-gerikmu berbeda dari orang di Nusa
Jawa ini. Begini..." Ia terdiam sesaat. "Terus terang aku sendiri kurang leluasa
bergerak. Karena persoalan ini menyangkut keluarga dekat
Sang Raja. Lebih dari itu," ia semakin merendahkan suaranya, "kini keluarga
istana mulai merasa bahwa ancaman orang yang dijuluki Dewi Candika benar ada.
Kesadaran yang agak terlambat. Dan gerakan rasa ketakutan ini adalah salah satu
penyebab pula yang membantu tertundanya hukuman atas Sindura. Tak ada
yang percaya pada pembelaan diri Sindura, tetapi tak ada yang tegas-tegas
berkata sepenuhnya tidak percaya.
Di samping itu, ada gerakan dalam keluarga istana sendiri. Mereka yang iri pada
kekuasaan yang berpusat di Wilwatikta. Juga... munculnya agama baru di daerah
pesisir yang memperlemah kekuatan Wilwatikta."
Beberapa saat sunyi. Rakryan Mapatih tiba-tiba terlihat begitu tua dengan berbagai beban pikiran. Beberapa saat seolah-olah ia
tidak berada di situ. Tetapi di mukanya yang penuh kerut itu terbersit senyum
saat dilihatnya 'Tun Kumala' mencoba mengunyah sirih dan
pinang dengan gaya orang seberang. Sindu agaknya begitu menghayati peran barunya. Sebetulnya ia belum
terbiasa makan sirih.
"Sulit untuk bertanya. Semua saling curiga. Bahkan
kedudukanku bukannya kedudukan paling berkuasa
kini, malah paling banyak disorot dan dicurigai. Tapi...
yah. Aku bertekad untuk menyelidiki perkara ini. Bukan karena ini menyangkut Sindura, tapi karena aku
percaya ini ada hubungannya dengan Dewi Candika."
Sang Mapatih terdiam lagi. "Sampai saat ini, satu hal yang kuketahui dengan
pasti. Malam itu, ada seseorang memata-matai pembicaraan kami. Namanya Landak.
Rakryan Tumenggung menyangkal pernah melihat orang itu, tetapi anak buahku yakin ia sering melihat Landak bersama Wirada. Dan
menurut laporan, Landak
adalah anak buah Emban Layarmega." Rakryan Mapatih berhenti dan menatap Tun Kumala. "Penyelidikan ki-ta pertama... kita
kunjungi Emban Layarmega. Kau berani ke sana?"
Sang Mapatih menyembunyikan tawanya saat Tun
Kumala begitu tertegun hingga sirihnya tertelan dan ia terbatuk-batuk
berkepanjangan.
4. DI TEMPAT EMBAN LAYARMEGA
DI RUANG khusus Emban Layarmega, pemilik rumah hiburan yang sangat berpengaruh itu, duduk dengan kepala tertunduk begitu dalam. Di belakangnya,
Sang Bima yang bertubuh tinggi besar itu bahkan menunduk lebih dalam lagi. Di depan mereka, dua orang
wanita duduk di bangku berlambarkan kulit harimau
kumbang. Seorang sangat cantik dan memancarkan bau harum
- orang bisa menebak bahwa dialah yang memancarkan
keharuman ini. Ia berpakaian mewah, namun bagian
kainnya yang panjang telah diangkat dan diselipkan ke pinggang hingga
memungkinkan ia bergerak gesit, jika perlu.
Yang seorang lagi sudah setengah umur, berpakaian
serba biru, dengan tata rias terlalu mencolok dan gaya kegenitan. Ruang Biru itu
tertutup rapat, walaupun jendela yang menghadap ke jalan terbuka mengalirkan hawa sejuk malam.
"Anakmas Wara Hita, kukira siasatmu tidak terlalu
berhasil kali ini," wanita yang berpakaian serba biru itu berkata sambil
mengunyah sirihnya. Potongan tangkai
daun dilemparkannya pada Sang Bima. Agaknya sentilan itu cukup bertenaga hingga Sang Bima terjingkat
sesaat, tetapi tak berani mengangkat muka. Si Serba Bi-ru tertawa cekikikan
melihat Sang Bima menahan rasa
sakit. "Belum tentu, Bibi Huyeng." Wanita yang luar biasa
cantiknya itu memalingkan muka agar tak melihat tingkah si Serba Biru. "Istana
Kuripan agaknya tidak selemah Padepokan Rahtawu. Sesungguhnya siasat yang
kujalankan sama berhasilnya, tetapi ada seseorang di Istana Kuripan yang
berhasil mengendalikan kekuatan
ketakutan itu."
"Atau siasatmu memang tidak berhasil. Bagaimana
pendapatmu, Bima" Badan besar, diam saja... anumu
kecil barangkali, ya" Maksudku, otakmu?" Yang dipanggil Huyeng tertawa lagi.
"Tak ada yang meragukan kemampuan Rakryan Mapatih sebagai tulang punggung istana, Gusti Sepuh,"
sembah Bima tanpa mengangkat kepala.
"Hamba pun sependapat, Gusti," sembah Emban
Layarmega. "Siapa yang menanyakan pendapatmu, Emban?" tukas Huyeng. "Dan kau, Bima, kenapa kau masih memanggilku Gusti Sepuh" Kalau orang tidak tahu dikira aku ini sudah nenek-nenek,
lho!"

Candika Dewi Penyebar Maut I V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita cantik yang bernama Wara Hita itu berdiri.
Berjalan perlahan ke jendela. Agaknya tingkah Huyeng sesungguhnya sangat membuat
hatinya kesal. "Sebetulnya rencanaku, seperti sewaktu aku hancurkan Rahtawu, adalah memilih yang paling berbobot di antara
mereka, membuatnya sebagai tertuduh dan menyebarkan saling dendam. Di samping menghancurkan muridmurid Ki Megatruh." Wanita cantik itu menghela napas panjang. Bagian atas
dadanya yang putih berisi itu sesaat terangkat dan seakan gumpalan udara yang
masuk bagaikan terlihat. "Sebagian yang kuarah tercapai. Kini rasanya ilmu Ki Megatruh
akan mulai mendapat soro-tan. Sementara ketakutan mulai mencengkam kalangan
Istana. Mereka agaknya telah menerima pesanku....
Candika tak bisa dicegah, lebih baik menyerah daripada melepas nyawa."
"Tetapi, Anakmas, sebegitu jauh korbanmu barulah
tingkat yang... sangat rendah!" kata Huyeng sambil me-lenggang-lenggokkan tubuh
meniru gerak-gerik Wara
Hita yang saat itu membelakanginya. "Dan rencanamu
menghancurkan Padepokan Rahtawu juga tak mencapai
hasil.... Mereka lenyap entah ke mana, hingga rencana kita untuk membuat mereka
jadi kambing hitam gagal.
Sementara itu... agaknya rencanaku lebih berhasil. Dengan menawan Tantri dan
Anengah, paling tidak bahkan kau pun memperoleh manfaatnya. Kalau mereka
berdua tidak kutawan, hayooooo, bagaimana kau bisa
mempelajari ilmu Ki Megatruh begitu menyeluruh" O,
ya, aku masih berpendapat bahwa gadis barumu itu mirip sekali dengan gadis dari Rahtawu dulu, Layarmega.
Tapi... entahlah, aku kan tidak tertarik pada gadis. Ya toh, Bima...." Huyeng
melemparkan senyum genitnya
pada Bima. "Mungkin Juru Meya tahu... dia yang dulu
mengumpulkan gadis-gadis itu. Eh, ya, Layarmega... ia titip salam padamu. Wah,
sesungguhnya ingin sekali ia kemari untuk memakanmu mentah-mentah... hi hi hi
hi...." "Kalau saja Juru Meya bisa segera mengumpulkan
pasukan... rasanya kita tak usah bersusah payah main kucing-kucingan seperti
ini," keluh Wara Hita.
Kali ini Huyeng tidak bercanda. "Kau harus bersabar, Anakmas... waktu yang
kaunantikan akan segera tiba."
Wara Hita kembali menghela napas dan menundukkan muka. "Bibi Huyeng, kita harus segera menghubungi orang-orang kita di Wengker. Menurut laporan, Sang Maharaja akan
berkunjung ke sana bulan depan
ini." "Wah, kau pasti sedih kutinggalkan ya, Bima.... Sayang badan sebesar itu terbuang percuma. Apa kau ikut aku saja, Bima" Akhirakhir ini makin sulit juga orang yang sangat kuat, lho!" Wara Huyeng tertawa
terkikik. "Bagaimana pasukan Juru Meya, Bibi?" tanya Wara
Hita sedikit tergesa, seolah ingin segera menghilangkan kebinalan Wara Huyeng.
"Mereka sudah membuat beberapa benteng terpendam, di daerah-daerah selatan Bale Latar. Memang tentang mutu itu tak begitu
menggembirakan. Para gadis
yang diambil dari Rahtawu tidak terlalu membantu. Pasukan Buih belum bisa
membuat pedih mata lawan kita
... kecuali jika Anakmas turun tangan sendiri," sesaat Wara Huyeng berbicara
bersungguh-sungguh dan memandang penuh perhatian pada si wanita cantik.
"Mereka salah satu tulang punggung gerakan kita,"
kata Wara Hita sedikit berbisik. "Menurut pertimbanganku, dan sesuai perhitungan
Eyang Nagabisikan, kelemahan pasukan Wilwatikta akan muncul saat berhadapan dengan barisan wanita. Pertama mereka tak terbia-sa. Kedua, mereka sudah
terlalu lama tidak mengalami perang besar hingga mereka jadi terlalu... sopan...
ter-buai oleh dongeng-dongeng kekesatriaan yang dijejalkan oleh para penembang
istana. Memang ada dua-tiga prajurit wanita mereka... tetapi mereka hanya
dianggap hiasan belaka. Prajurit dan senapati andalan mereka, seperti yang dihasilkan
oleh tempat penggemblengan
senapati di Madakaribajra lebih parah lagi. Kesaktian mereka tak memadai,
tatasusila mereka begitu ketat di-awasi. Kurasa dalam pertempuran nanti mereka
takkan tega mengangkat tangan melawan Prajurit Buih kita."
"Dan kemudian kita akan menghantam mereka dengan Pasukan Badai... sungguh nikmat rasanya kemenangan nanti," kata Wara Huyeng dengan mata bersinar-sinar. "Aku sangat gembira akan hasil yang kaucapai di sini, Layarmega," kata Wara Hita. "Gadis-gadismu sungguh ampuh untuk menggerogoti keperkasaan para warga Wilwatikta yang setia. Kuperhitungkan sudah tiga
perempat tokoh Kuripan yang terjerat dalam jaringmu."
"Layarmega sungguh enak tugasnya," Wara Huyeng
setengah mencibir berkata. "Tak pernah kekurangan lelaki... dan tambah kaya
lagi!" "Hanya ini yang bisa hamba sumbangkan untuk tujuan mulia Gusti Sepuh dan Gusti Anom," kata Emban
Layarmega. "Aku tahu, dan itu sungguh sudah besar sekali." Wara Hita melirik tajam pada Wara Huyeng. "Dua-tiga bulan lagi mungkin kau akan
kuminta untuk mulai mengembangkan usahamu di Wilwatikta sendiri. Dan kukira itu pun akan berhasil."
"Terima kasih, Gusti Anom," sembah Emban Layarmega. "Sekarang persiapkan segala keperluanku untuk berangkat ke Wengker. Bibi Huyeng, mohon Bibi berangkat lebih dahulu untuk membuka jalan."
Beberapa saat kemudian, di ruang itu tinggal Emban
Layarmega yang menyisiri rambut Wara Hita. Wara Huyeng telah pergi sementara Bima entah ada di mana.
Sambil menyisiri rambut yang indah hitam itu, Emban Layarmega pun bernyanyi perlahan. Sesungguhnya
bukan lagu sekadar lagu, tetapi itu adalah Kidung Pola-man. Kidung ini sangat
berbeda dari kidung dengan nama yang sama dan diciptakan oleh Prabu Jayakat-wang
- yang ini bercerita tentang sebuah danau kecil di Blambangan dan suatu kisah
cinta yang gagal karena
tidak setianya sang pria.
"Ah, jangan nyanyikan lagi kelanjutannya, Layarmega," tiba-tiba Wara Hita memutuskan nyanyian Emban
Layarmega. "Aku tak mengerti mengapa Ayahanda dan
Ibunda minta aku mendalami kidung itu... hanya kidung sedih belaka, lain tidak. Namun... agaknya kidung itu punya arti tertentu.
Ibunda selalu minta agar aku mengucapkan nama kidung itu pada keturunan
Kertarajasa. Agaknya pemuda Tara dulu itu lupa mengatakannya pada Resi Raghani. Ah..." Beberapa saat
Wara Hita memperhatikan bayangan dirinya di cermin
tembaga yang disodorkan Emban Layarmega. Emban
Layarmega sendiri kemudian mengubah sanggul wanita
cantik itu menjadi sanggul pria.
"Ah ya, gadis barumu itu... bagaimanakah?" tanya
Wara Hita sambil membuka kainnya dan tak lama telah
memperlihatkan keindahan tubuh yang bagaikan hanya
ada dalam impian yang paling mahal. Bahkan beberapa
saat Emban Layarmega seakan tak bisa bernapas melihatnya. "Ayo, Layarmega, kau melihat apa?" goda Wara Hita.
"Oh, maafkan hamba, Gusti Anom...," terkejut
Layarmega mengambil seperangkat pakaian yang sudah
disediakannya. "Gadismu yang baru itu... kaudapat dari mana?"
tanya Wara Hita lagi.
"Oh, ia ditemukan oleh Raden Wirada, putra Rakryan
Tumenggung yang... mmh, anu... yang tewas oleh Raden Sindura. Biasa... ia memang
sering mencari sendiri ke desa-desa dan jika menemukan 'bibit unggul' dibawa-nya
kemari untuk kudidik. Hanya yang satu ini agak
aneh. Pertama, Ra Sindura seolah sangat heran melihatnya, sementara Gusti Sepuh seakan mengenalnya.
Kedua, sulit untuk mengajarinya melayani tamu. Memang ia sudah bisa membuat tamu bahagia, tetapi bukan dengan cara seperti wanita lainnya. Mungkin saja pelajaran hamba untuk 'jual
mahal' begitu berhasil
hingga ia tak pernah sekalipun menyentuh tamu-tamunya. Toh mereka senang dan banyak yang menjadi langganannya."
"Ah, mungkin kau telah menciptakan sainganmu,
Layarmega," kata Wara Hita yang kini telah tampil sebagai seorang pemuda
bangsawan yang tampan dan gagah. "Didik terus dia, mungkin kita memerlukannya
nanti guna kita tempatkan di Wengker, misalnya. Coba tunjukkan dia padaku
nanti." Beberapa lama kemudian, rombongan Wara Hita,
yang sudah berdandan sebagai pria, menuruni tangga
menuju Ruang Utama. Rombongan itu sesungguhnya
hanya terdiri dari Wara Hita yang berpakaian pria, dan empat orang pengawalnya.
Tapi pakaian mereka begitu
mewah dan gemerlap hingga semua orang di dalam
Ruang Utama itu tertegun dan menoleh pada mereka.
Wara Hita selalu datang lewat suatu pintu rahasia.
Dan pergi lewat pintu itu pula. Jadi anak buah Emban Layarmega, kecuali Bima,
tak pernah melihatnya. Atau rombongannya. Kecuali Wara Huyeng yang senang
muncul di Ruang Utama untuk mencari atau paling tidak melihat-lihat pria yang mungkin berkenan baginya.
Dan kini mereka muncul gemerlapan di ruang itu, diiringi sendiri oleh Emban Layarmega!
Bahkan para penabuh gamelan pun beberapa saat
lupa memainkan musik. Dan tak ada yang melihat dua
orang pria yang muncul di pintu depan - seorang pria
setengah umur dengan pakaian yang menggambarkan
seorang bangsawan dari daerah pantai utara, dan seorang pemuda dengan pakaian tanah seberang serba hijau. Mereka adalah Rakryan Mapatih yang telah menyamar menyulap diri, dan Rara Sindu yang kini bernama
Tun Kumala. "Mari duduk dekat tiang agung itu, Tun."
"Ingat, Paman Mapa..."
Kata-kata Tun Kumala terhenti oleh sodokan siku di
pinggang kirinya.
"Ingat namaku adalah Aria Sampana, dari Hujung
Galuh," bisik Rakryan Mapatih. Kemudian dengan keras ia berkata, "Tun, sekarang
kau bisa lihat bahwa wanita Jawa tak kalah sedapnya dari wanita seberang!"
"Itu harus kita buktikan dulu, Pa... eh, Kakang Sampana," kata Tun Kumala. "Orang yang baru turun dari
tangga itu wanita atau pria, Kakang" He he he he...,"
Tun Kumala berkata keras-keras. Kata-kata Tun Kumala itu seakan membuyarkan keheningan yang disebabkan oleh munculnya Wara Hita dan kawan-kawannya.
Mendengar ini, Bima yang ikut mengantar rombongan Wara Hita segera mendekati Tun Kumala dan Ra...
eh... Aria Sampana.
"Tuan, adat di negerimu mungkin lain, tetapi di sini sungguh tidak sopan untuk
mengata-ngatai tamu lain,"
katanya pada Tun Kumala dengan nada rendah.
"Maafkan, Bima, sahabat mudaku ini tak bermaksud
apa pun... memang ia suka bercanda. Maafkan!"
"Siapa bercanda! Orang itu memang lebih mirip perempuan! Dan, he, Kakang Sampana sudah kenal orang
ini" Kalau sudah kenal mengapa minta maaf segala"
Orangnya juga mungkin tidak marah. Tanya saja mereka." Tun Kumala menggelengkan kepala ke arah Wara
Hita dan kawan-kawannya yang kini duduk di sudut terindah ruangan itu. Dan sebelum Aria Sampana dapat
mencegahnya, Tun Kumala telah pergi mendekati tempat Wara Hita duduk.
"Hm, harum sekali... wah, bisa mabuk aku kena wewangian ini," katanya sambil duduk dan menepuk paha
Wara Hita. "Tuan lelaki kok memakai wewangian begini mencolok sih?"
"Hei, kau!" Bima melihat ini melangkah panjang dan
memegang bahu Tun Kumala. "Mungkin aku terpaksa
membuangmu ke luar!"
"Apa alasannya, sih," kata Tun Kumala. "Kita kan di
sini mencari hiburan. Kalau berkata sedikit saja tentang kesenangan, tentang
wewangian, tentang... hiburan
nggak boleh... ya, lebih baik ubah tempat ini jadi wiha-ra. Dan kita semua
menyanyikan Bhuwanakosha. Bagaimana, kau ingin aku menyanyikannya" Oukh! Sakit,
he! Lepaskan!"
Tun Kumala terpaksa menjerit begitu karena Bima
telah memperkeras cengkeraman di bahunya.
"Bima, lepaskan," tiba-tiba Wara Hita menengahi.
Suaranya yang lembut telah berubah berat dan sedikit serak, pantas untuk tokoh
yang dibawakannya. Sementara itu 'Aria Sampana' tidak berusaha untuk ikut campur tangan. Agaknya ia ingin si 'Tun Kumala' tahu rasa.
Untung juga Bima segera melaksanakan perintah Wara
Hita. Tun Kumala dilepaskannya dan Bima mundur ke
dinding. "Tuan, maafkan kekasaran orang itu," Tun Kumala
malah yang berkata kepada Wara Hita. "Begitulah kalau orang kurang luas
bergaul.... Seperti nyamuk di bawah tempurung."
"Seperti katak di bawah tempurung, maksudmu?"
tanya Wara Hita.
"Kok Tuan tahu di situ juga ada katak?" Tun Kumala
tampak begitu heran. "Memang asalnya begitu. Ada
nyamuk di bawah tempurung, terus kataknya masuk
untuk makan nyamuk, dan akhirnya memang tinggal
kataknya yang ada di bawah tempurung. Dan si katak
ini akhirnya lebih terkenal dari si nyamuk. Kasihan, ya?"
Wara Hita tertawa. "Kau sungguh senang berbicara,
ya?" "Terpaksa! Memang ini anugerah Dewata, mengapa
tak kita pergunakan sebaik-baiknya. Sayang toh" Seperti Tuan ini... Tuan baunya haruuuuuum sekali...
pasti bukan karena habis tercebur ke kolam minyak
wangi, bukan" Mungkin Tuan saudagar minyak wangi...
tapi terus terang... harum Tuan terlalu mirip wanita...
terus terang..." Tun Kumala melihat berkeliling lebih dahulu. "Terus terang...
Tuan jadi lebih menarik daripada semua wanita yang ada di sini! Sungguh. Aku
jadi pikir-pikir... adakah kemungkinan bagi kita berdua untuk kencan?"
"Kau keterlaluan, Anak muda." Pengawal Wara Hita
bangkit sambil tangannya memegang hulu keris. Tapi
Wara Hita mencegahnya.
"Kalau aku harus berterus terang juga, rasanya kau
pun cukup menarik untuk dijadikan teman berbicara...


Candika Dewi Penyebar Maut I V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mmmh, siapa namamu?"
"Aku tak pernah bertukar nama dan rupa, jika tidak
diperlukan. Namaku Tun Kumala dari Tumasik. Tetapi
aku sudah begitu lama tinggal di Hujung Galuh, jadi
aku menyukai adat-istiadat dan bahasa orang Jawa. Terutama orangnya. Terutama
kalau semua harum seperti
Tuan. Terutama, tentu, kalau Tuan seorang wanita... ya
agak sulit juga ya berkencan sesama pria" Eh, kalau
Tuan punya nama, boleh disebutkan kok.... Jangan
membuatku takut seperti itu."
Wara Hita agak tergagap. Tadi memang ia seakan
terpesona oleh gaya bicara dan gerak bibir Tun Kumala.
Ini tak mengherankan. Rakryan Mapatih adalah orang
yang sangat berpengalaman dalam menyamar. Ia membantu 'merias' wajah Rara Sindu hingga sebagai Tun
Kumala ia betul-betul tampak gagah, jantan, dan tampan. Namun tata rias ini tentunya tidak menutupi gaya gerak-gerik Rara Sindu
yang sebenarnya hingga baik gerak bibir maupun matanya begitu khas serta menyenangkan untuk dipandang.
"Namaku... Wisti... aku memang saudagar wewangian dari Tosari. Tuan sendiri... apa kedudukan Tuan?"
"Hei, kita ke sini mencari hiburan. Memang berbicara dengan Tuan sungguh
menyenangkan. Tapi terus terang... bukankah kita kemari mencari kehangatan lembut seorang wanita" Hei, kau..." Tiba-tiba Tun Kumala menunjuk Emban Layarmega
yang sedari tadi diam sa-ja. "Kau cantik, tetapi terlalu... matang untukku.
Kukira kau cocok untuk temanku di sana itu. Dia jago tua, lho, sukanya tentu
dengan... he he he... betina tua!"
Bukan kata-katanya, tetapi gerak-gerik Tun Kumala
yang membuat orang di sekitar tempat itu tertawa.
"Kau keliru, Tuan... beliau ini bukanlah salah satu
wanita penghibur, tetapi adalah pemilik tempat ini!" ka-ta Wara Hita.
"Wah, kalau pemiliknya saja sedemikian cantik, ya...
sudah, pasti saja anak buahnya lebih cantik-cantik, ya toh" Agaknya Tuan begitu
sering kemari, ya" Tolong pi-lihkan untuk aku ya... aku ini orangnya agak
pemalu," kata Tun Kumala.
"Mari duduk di dekatku, biar Bibi Layarmega memanggilkan gadisnya yang terpilih." Wara Hita menger-dipkan mata pada Layarmega
dan menggeser duduknya
sedikit, mempersilakan Tun Kumala ke sampingnya.
Untuk itu seorang pengawalnya terpaksa keluar dari
lingkungan tersebut. Sementara itu Layarmega telah
bertepuk tangan empat kali. Segera suasana di ruang
itu kembali sedikit hening saat beberapa pembantu
Layarmega mempersilakan para tamu sedikit minggir.
Gamelan pun berubah iramanya, lembut dan indah.
Dan tak lama tujuh orang wanita muda muncul dari
pintu samping dan langsung menari di tempat yang telah disediakan tadi.
Salah satunya segera menarik perhatian semua orang. Tari menari di tengah, di antara para penari lainnya. Wajahnya mungkin
tidak terlalu cantik, tetapi ada sesuatu yang membuat perhatian orang langsung
tertu-ju padanya. Gerak tarinya pun sedikit kaku. Tapi kekakuan itu ditimpali oleh gerak yang manis dan khas
oleh kepatah-patahannya. Seolah-olah Tari sesungguhnya sedang melakukan gerak-gerak tata kewiraan yang
dibungkus oleh kelembutan tarian. Kesan utamanya
adalah: merangsang.
Wara Hita menggamit Emban Layarmega, berbisik,
"Siapa yang di tengah itu?"
"Itulah anak baru itu, Gusti... Kasturi...," bisik
Layarmega. "Ah, memang bagus," gumam Wara Hita.
"Mana yang bagus" Yang di tengah itu" Ummhhh...
bukan seleraku... tidak punya ini...." Tun Kumala me-ngepalkan kedua tinjunya di
depan dada. "Yang kiri itu lumayan... dadanya bagaikan sepasang kelapa gading,
pinggangnya pinggang tawon, belakangnya... ummmh!"
"Sayang, sesungguhnya aku akan mempersembahkan si... Kasturi itu untuk Tuan, sebagai tanda awalnya
persahabatan kita," kata Wara Hita, melirik tajam pada Tun Kumala.
"Maksud Tuan... Tuan yang akan... membayarnya
untukku?" tanya Tun Kumala.
"Bukan maksudku menghina Tuan, tapi..."
"Kalau cara Tuan menghina seperti itu, aku suka sekali dihina...." Tun Kumala tertawa. "Jadi sehabis tarian ini kami boleh..." Tun
Kumala menunjuk ke atas.
"Tentu...." Wara Hita tersenyum.
"Wuah! Dan aku tak perlu membayar sendiri" Wuah
dua kali! Sebentar, aku akan pamitan pada kawanku
dulu." Tun Kumala menunduk memberi salam dan berjalan seenaknya menyeberangi tempat menari, berjalan di antara para penari
bahkan menjentik janggut Tari.
"Bagaimana pendapat Gusti?" bisik Emban Layarmega. "Kukira kau akan mendapat saingan berat, Bibi," bisik Wara Hita. "Kasturi
itu punya daya tarik luar biasa.
Dan... tampaknya dia punya otak cerdas. Tubuhnya
sungguh impian. Tapi, itu di lehernya kalung apa?"
"Oh itu..." Emban Layarmega agak tertegun. "Itu...
katanya jimat dari desanya. Ia tak mau melepaskannya." "Tak apa. Malah khas."
"Gusti tidak ingin dia melayani Gusti?" tanya Layarmega. "Gila apa?" Wara Hita terpaksa menahan tawa. "Lagi
pula kau bilang dia belum.... belum bisa."
"Memang. Selama ini ia membuat para langganan
senang dengan hanya memijit-mijit, menembang. Tapi,
Gusti mau menawarkannya pada orang seberang itu?"
"Ya... orang seberang itu... begitu menarik." Wara Hi-ta melirik ke seberang
ruangan. Dilihatnya Tun Kumala menyeret lepas seorang wanita yang tadinya
merangkul rapat Sampana. Wara Hita tersenyum. "Tingkah lakunya khas... belum pernah kutemui pemuda seperti
itu." "Ehm! Ehm!" Emban Layarmega berdeham. Dan ia
heran luar biasa saat Wara Hita mengulurkan tangannya dan mencubit lengannya. "Gusti!" bisik Emban
Layarmega terkejut. Selama ini tingkah laku Wara Hita selalu agung dan tak
terlalu ramah. Tapi sekarang"
Dengan heran Emban Layarmega memperhatikan pemuda seberang yang sedang asyik berbicara dengan temannya itu. Ada apakah"
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, Bibi." Tak terasa pipi Wara Hita memerah. "Aku akan berangkat segera setelah mereka berdua... masuk. Kasturi belum
terlalu ahli, jadi si Tumasik itu tak akan... ternoda. Lagi pula, kukira ia
hanya besar mulut, sebetulnya ia tak ta-hu apa-apa... jadi gadismu itu aman,
kok!" Dan Layarmega mengerti mengapa Wara Hita mengajukan Kasturi pada si Tumasik. Ini demi keamanan si
Tumasik, bukan sebaliknya. Ah.
"Jika dia bertanya di mana bisa bertemu aku, suruh
Bima mengantarkannya ke Wengker. Jika ia tidak bertanya apa pun lagi tentang aku..." Wara Hita mengerutkan kening. "Bunuh dia."
5. KALUNG MANIK KAYU DEWA
"PAMAN, kau gila!" desis Tun Kumala pada Aria
Sampana. "Tun, kau edan!" bisik Aria Sampana alias Rakryan
Mapatih. "Maksudku... Paman bilang mau menyelidik, eh, kok
malah senang-senang!" bisik Tun Kumala.
"Kaukira menyelidiknya langsung menanyai mereka
satu per satu?" bisik Sampana. "Kau sendiri... untuk apa menempel terus pada
pemuda itu. Kaukira kau
nanti bisa... main-main dengannya" Ingat, kau juga lelaki, tahu!"
"Uhh! Siapa bilang ia menarik hatiku" Dia yang
agaknya tertarik padaku... dan jadi sulit nih." Tun Kumala betul-betul garukgaruk kepala. "Sulit kenapa?" Aria Sampana mengunyah sirihnya.
"Aku... akan disuruhnya... anu... mhhh... itu... lihat penari yang di tengah
itu..." Tun Kumala bingung mau bicara apa.
"Kenapa penari di tengah itu" Dia... wuahh, sangat
menggairahkan! Pasti dia yang termahal di antara
orang-orang baru Layarmega."
"Apanya sih yang menggairahkan" Kurus. Tidak cantik. Matanya seperti ngantuk terus. Mulutnya seperti orang tolol... apanya yang
menarik" Narinya juga... ma-sa menari yang banyak bergerak cuma pinggulnya. Ugh.
Tari macam apa?"
"Kalau kamu jadi lelaki, justru yang kausebutkan itu yang membuat gairah!" desis
Aria Sampana seolah putus asa.
"Selera lelaki memang rendah! Begitu kok dikatakan
cantik," gumam Tun Kumala.
"Sudah, apa kesulitanmu?"
"Ya, itu... perempuan itu nanti disuruh melayani
aku, nanti dia yang bayar," Tun kebingungan.
"Lha terus kenapa" Kan enak" Aku mau!"
"Dia paling yang nggak mau! Susahnya... nanti aku
harus bagaimana?"
"Bagaimana bagaimana?"
"Aku kan nggak tahu apa-apa!"
"Lho!" Aria Sampana agaknya baru teringat. Direguknya arak yang dipegangnya dan ia tertawa terbahak-bahak hingga orang-orang di
kanan-kirinya, walaupun sudah mabuk jadi kaget juga. Dan Aria Sampana tertawa
tergelak-gelak, meningkahi suara gamelan.
Di seberang ruangan, Wara Hita memperhatikan mereka. "Siapa orang tua itu?" bisik Wara Hita pada Emban
Layarmega. "Langgananmu?"
"Entahlah, Gusti," bisik Emban Layarmega. "Kulihat
dia sudah kenal banyak orang di sini. Tetapi bahkan
Bima pun tidak kenal padanya. Akan kuselidiki nanti."
"Juga selidiki si Tun itu. Lihatlah, betapa akrabnya mereka berdua... si Tua
gagah dan seakan tak peduli, si Tun manja dan seakan sangat tergantung. Pasti
hubungan mereka sangat erat. Mereka juga tampak saling
menghormat namun bebas untuk, misalnya saja, saling
mencerca."
"Hubungan seperti itu yang Gusti cari selama ini?"
tanya Emban Layarmega hati-hati.
Wara Hita menunduk, dan tiba-tiba menggelengkan
kepala. "Tidak, Bibi, aku tak boleh berpikir sejauh itu dulu." Dan matanya
kembali menerawang memandang
para penari. Di seberang sana, Tun Kumala kembali mendesak
Aria Sampana. "Paman ikut, ya" Paman ikut, ya?"
"Kau gila! Kau mengerti nggak sih apa yang terjadi
nanti?" "Justru! Mana aku tahu" Apa aku mesti pulang dan
tanya pada Bibi Rakryan Mapatih?" Tun Kumala langsung menekap mulutnya terkejut.
"Sudahlah. Pokoknya kauulur-ulur waktu saja. Suruh dia memijit kakimu atau... he he he, kakimu terlalu halus, ya" Atau suruh
dia menembang semalaman. Biasanya juga begitu kok, kalau aku sedang tidak...
sedang capek." Aria Sampana menahan geli.
"Tapi kalau dia menembang, aku bisa ketiduran, dan
dia bisa membuka bajuku dan..." Tun begitu khawatir.
"Terus terang, sebagai lelaki kau tak begitu menarik perempuan, Tun, jadi jangan
khawatir wanita panas itu akan membuka pakaianmu saat kau tidur. Paling-paling
dia pergi begitu kau lelap."
"Ya, bisa juga aku tidur secara menjijikkan... seperti mendengkur, atau keluar
liur... idih! Aku sendiri jadi jijik!"
"Sudah, tuh lihat, tarian sudah selesai... dan gadis itu dipanggil mereka,"
bisik Aria Sampana.
"Yah... gimana, ya..."!"
Tak urung Tun Kumala segera mendekati Wara Hita
dan rombongannya. Saat itu Tari, yang diberi nama
Kasturi oleh Emban Layarmega, sedang menghidangkan
arak pada Wara Hita. Wara Hita menangkap tangan gadis itu dan meremas-remasnya.
"Ah, tidak sehalus dan selembut tangan putri istana," goda Wara Hita.
"Tetapi putri istana belum tentu dapat memuaskan
Tuan seperti kami di sini," kata Tari tersenyum genit sambil matanya mengerling
seperti yang diajarkan oleh Emban Layarmega. Ia tak menarik tangannya yang masih
dipegang oleh Wara Hita.
"Ah, ini orang Tumasik," kata Wara Hita saat Tun
Kumala telah tiba di dekatnya. "Coba pegang tangan ini, Saudaraku, dan katakan
apa yang kaurasakan."
"Hmmmh, biar kucoba...." Tun Kumala pun mengambil tangan Tari dari tangan Wara Hita. Terlihat Tari agak segan. Dan senyumnya
pun hampir menghilang.
Tapi Tun Kumala tak peduli. Mula-mula dibelainya tangan itu. "Mmmhh, agaknya tangan ini dicoba untuk di-lembutkan dengan ampas
kelapa," katanya pada Wara
Hita. "Memang bisa, tetapi lebih bagus kalau direndam susu kerbau setiap malam
sebelum tidur...." Kemudian tangan itu diciumnya. Terlihat jelas Tari hampir
menarik kembali tangannya itu. Terlihat ia melirik cepat pada Emban Layarmega
dan Emban Layarmega memandang tajam padanya. "Ah, dia memakai mangir
daun melati, Saudaraku... pilihan yang kurang cocok...
mestinya digunakan daun bunga kenanga."
"Tuan begitu tampan dan gagah, tak sangka pengetahuan Tuan tentang perawatan kecantikan begitu mendalam." Perlahan Tari menarik tangannya dan menuangkan arak untuk Tun Kumala. "Hamba rasa ilmu asmara Tuan pun sangatlah luar biasa...."
"Kau akan membuktikannya, Turi... sebab kau akan
meladeni tuan ini. Dia sahabatku, jadi layani dia baik-baik. Sebaik-baiknya!"
kata Wara Hita.
"Oh, tapi..." Tari tampak terkejut dan kecewa. "Hamba sangat mengharapkan dapat melayani Tuan," katanya setengah meminta.
"Turi, dengan melayani tuan ini sebaik-baiknya, maka aku pun sudah merasa sangat puas. Tuan Tun Kumala... mari kita minum!" Wara Hita mengangkat
mangkuk araknya.
Tun Kumala gugup. Tetapi terpaksa juga arak itu diangkatnya dan direguknya. Ia terbatuk-batuk hebat dan tersembur-sembur.
"Oh, kenapa, Tuan?" Emban Layarmega cepat bangkit untuk membersihkan pakaian Tun Kumala.
"Oh, tidak usah, tidak usah...." Cepat-cepat Tun


Candika Dewi Penyebar Maut I V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kumala menolak dan bahkan menangkis tangan Emban
Layarmega yang terulur ke dadanya.
"Tapi pakaian Tuan basah," kata Emban Layarmega.
"Alaaaaa, gampang, kan nanti juga harus dibuka, ya
bukan?" Dan Tun Kumala ikut tertawa dengan Wara Hita yang sedari tadi telah menertawakannya.
"Itu berarti Saudara Tun ini ingin segera masuk, Bibi. Ya, siapa tahan kalau yang akan melayani adalah si Turi ini.... Silakan lho,
Saudara Tun."
"Aku... aku... maksudku..." Tun Kumala makin kebingungan. Tetapi dengan tertawa cekikikan empat
orang wanita telah memegang lengan dan punggungnya.
Dan karena Tun Kumala tak ingin rahasianya terbongkar, jika ia meronta pastilah ketiga wanita itu akan me-megangnya lebih keras,
maka terpaksa ia berdiri.
"Maksudku... sesungguhnya aku ingin minum lagi,"
kata Tun Kumala gugup.
"Ayolah, itu bisa Tuan lakukan nanti di kamar," kata Wara Hita.
"Antar Tuan Tun ini ke Kamar Jingga, Anak-anak,"
Emban Layarmega berkata pada 'gadis-gadisnya'.
"Siapkan segalanya... sebentar lagi Turi akan menyusul.
Ayo, Turi, biar kudandani lagi kau... keringatmu terlalu banyak mengucur waktu
menari tadi. Hamba mundur
dulu, Junjungan." Emban Layarmega menuntun Turi
yang agaknya tak mau pergi dari hadapan Wara Hita
itu. Di ruang samping, tiba-tiba Turi cemberut.
"Bibi, kau selalu menyuruhku memuaskan lelaki
yang datang. Kau tahu selama ini itu kulakukan hanya karena aku merasa berutang
budi padamu. Itu pun kulakukan dengan separuh hati. Sekarang... aku temukan seseorang yang sangat
kusukai, dan mungkin akan...
akan kulayani sepenuh hati... mengapa tak kauberikan aku padanya?" Dengan gemas
Turi mencopot pakaian
yang tadi dipakainya untuk menari.
"Kau senang dengan... ya, ampun!" Tak tertahankan
Bibi Emban Layarmega tertawa sambil mengusap keringat di tubuh Turi. "Jangan kau mimpi memperoleh dia, Turi... dia..."
"Dia kenapa" Yang jelas dia datang kemari!"
"Ya ampun, Turi, kau baru bertemu dengannya beberapa saat yang lalu, baru pula sekali ini... dan kau sudah tergila-gila! Mungkin
kau terlalu banyak minum
obat pembangkit asmara!"
"Aku tak pernah minum obat itu, Bi. Apa yang kulakukan selama ini hanyalah bermain sandiwara.... Kalaupun dia memakai ajian pemikat, aku pun tak menyesalinya... aku senang terpikat olehnya!"
"Hari ini aku bertemu banyak sekali orang gila," gumam Emban Layarmega sambil memakaikan kain baru
pada Turi. "Tapi kau yang tergila. Sudahlah. Ingat pelajaran pertama yang
kusampaikan dahulu. Dalam dunia
kita ini, jatuh cinta adalah suatu kemewahan yang tak pernah bisa kita jangkau.
Begitu berat biaya yang harus kita bayar. Berangkatlah ke Ruang Jingga. Dan
hibur-lah orang Tumasik itu. Dia toh tidak terlalu menyebalkan!"
"Dia terlalu ceriwis, seperti orang perempuan saja!"
dengus Turi. "Mudah-mudahan ia langsung tertidur
hingga aku bisa kembali ke Tuan Wisti itu."
Emban Layarmega menatap kepergian Tari dengan
tersenyum lega. Dahulu ia begitu khawatir akan kelanjutan perkara gadis itu.
Tetapi beberapa peristiwa membuat jalan begitu lebar kini. Mula-mula Ra Wirada
dan kedua punakawannya tewas. Ini sudah membuat Tari atau yang dikenalnya sebagai Turi - sepenuhnya miliknya. Disusul oleh menghilangnya Ra Sindura. Dan ternyata ramuan yang diberikannya cukup berhasil. Tari
tampaknya tak pernah ingat akan dirinya - kecuali kalung kayu yang entah bagaimana dipertahankannya
mati-matian - dan sangat penurut dalam menerima pelajaran tentang melayani tamu.
Satu hal yang meragukan Emban Layarmega. Apakah usaha junjungannya akan berhasil"
Emban Layarmega merasakan kehadiran Bima, dan
ia berpaling. "Ada apa, Bima?" tanya Layarmega.
"Gusti Anom sudah berangkat. Sarika mengingatkan kembali pesan sarika tentang
orang Tumasik itu."
"Hm. Seperti kukatakan pada Turi, hari ini banyak
sekali orang gila," gumam Layarmega.
"Orang yang menemani orang Tumasik itu adalah
Aria Sampana... hamba tak mengenalnya. Menurut
pembicaraan ia dari pesisir utara dan di Kuripan menginap di penginapan Ki
Rodeh. Bersama si orang Tumasik." "Bagus."
"Hamba lihat ada seseorang yang gerak-geriknya
mencurigakan. Tapi ia belum masuk halaman kita. Sementara aku suruh awasi saja."
"Bagus, Bima. Ada hal lainnya?"
"Tidak ada, Junjungan."
"Mari kita temui tamu-tamu lainnya."
Di Ruang Jingga, Tun Kumala bingung setengah mati. Ketiga wanita yang mengantarkannya segera diusirnya. Ia menjenguk ke luar
kamar. Rasanya tak bagus ji-ka ia keluar begitu saja. Di gang di depannya tampak
beberapa pasang orang sedang cekikikan dan bercengkerama. Ditutupnya pintu dan dibukanya jendela. Kamar itu ada di lantai dua. Menghadap ke halaman belakang yang penuh pepohonan.
Gelap. Kalau meloncat
mungkin kakinya patah. Ah, mestinya tadi ia minta saja si Aria Sampana itu ikut.
Pintu berderit terbuka.
Terkejut Tun Kumala berpaling.
Tari berdiri di ambang pintu, membawa nampan berisi minuman. Ia berhenti sejenak dan tersenyum.
"Tuan Tun kepanasan, ya?" Tari masuk dan berjalan
berlenggok menaruh nampan di meja kecil di sudut.
Tun Kumala tak terasa merapat ke dinding.
"Apakah Tuan memang ingin jendelanya dibuka saja?" Sambil tersenyum manis Tari duduk di bingkai jendela. "Tidak takut kalau...
ada yang mengintip?"
"Me... mengintip apa?" tanya Tun Kumala bingung.
"Mengintip kita.... Mari kubantu membuka baju itu...
basah begitu kok."
"Jangan, jangan...." Tun Kumala cepat bergeser menjauh. "Tak apa-apa kok."
"Basah begitu?"
"Aku... aku biasa basah... di Tumasik anu... sering
hujan... jadi sering basah... basah kuyup malah... nggak apa-apa kok... nggak
masuk angin. Situ...mmm... siapa namanya tadi... ah, ya, Turi... Kasturi, ya"
Takut basah, ya?"
"Tapi bagaimana aku bisa melayani Tuan, jika aku
tak boleh membuka pakaian Tuan?" Tari tampak agak
bingung juga memperhatikan tingkah pemuda seberang
itu. "Sesungguhnya... aku sedang... sedang berpantang kok." Tun Kumala makin
bingung, mundur kini ke jendela, sementara Tari menuangkan arak.
"Berpantang apa?" tanya Tari membawa semangkuk
arak mendekati Tun Kumala.
"Aku berpantang... mmm, anu..."
"Berpantang menjamah perempuan?" tanya Tari menawarkan mangkuk araknya.
"Ya, benar begitu... ya, benar...."
"Lalu mengapa Tuan kemari?"
"Aku... hanya mengantarkan temanku."
"Tapi Tuan tidak berpantang minum arak toh?" Tari
mengangsurkan mangkuk araknya hingga hampir mengenai bibir Tun Kumala. Bau arak yang harum dan tajam itu begitu menusuk hidung Tun Kumala hingga ia
hampir berbangkis. "Aku... aku juga berpantang minum," katanya.
"Tapi tadi di bawah Tuan minum?" tanya Tari.
"Aku tadi lupa, karenanya aku muntah tadi... aku
sesungguhnya berpantang, he he he.... Kalau kau mau
menghiburku... ya, nyanyikan lagu sajalah... atau do-ngengkan sesuatu..."
"Tuan tidak mau kulayani, tidak mau minum, jadi
Tuan kemari hanya untuk mempermainkan kami, ya!"
kata Tari dengan penuh rasa kesal. "Tuan kira karena Tuan punya uang maka
segala-galanya boleh Tuan lakukan" Kami juga punya harga diri, tahu" Sekarang
ju-ga, Tuan buka pakaian atau aku akan menjerit-jerit keras-keras agar semua
orang datang kemari dan mengolok-olokkan Tuan!" Dengan gemas Tari mengangkat
mangkuk untuk dibantingnya ke lantai. Tetapi tidak ja-di. Ia bisa memperoleh
hukuman berat dari Emban
Layarmega jika itu dilakukannya. Maka dengan gemas
diminumnya arak dalam mangkuk itu. Hanya dalam tiga reguk! Ia sudah diberi ilmu minum arak oleh Emban
Layarmega. Hingga arak nantinya tak punya pengaruh
pada dirinya. Tetapi dalam waktu yang singkat tentu sa-ja ia belum bisa
menguasai sepenuhnya ilmu itu. Pipinya langsung merah padam, dan ia bertolak pinggang di hadapan Tun Kumala.
"Cepat katakan, mau buka baju atau tidak?"
"Aku... aku..."
"Mau atau tidak?" Tak sabar Tari merenggut leher
baju Tun Kumala.
"Tunggu... tunggu... eh, tunggu!" Tiba-tiba wajah kebingungan Tun Kumala menjadi
penuh rasa ingin tahu.
"Tunggu! Kalung ini... kaudapat dari siapa?"
Tepat di depan mata Tun Kumala terlihat kalung
yang melingkari leher jenjang Tari. Tun Kumala ingat betul kalung itu. Kalung
itu adalah manik kayu dewa, kalung yang merupakan tanda jabatan Ra Sindura di
bidang ketentaraan.
Tun Kumala, alias Rara Sindu, sangat kenal kalung
itu. Sebab dialah yang dahulu merangkainya untuk kakaknya. Sebab di dalam keluarga mereka, Ra Sindura
sering bercanda dan memamerkan kalung itu sewaktu
dulu ia pertama berhak memakainya.
Mengapa dipakai wanita penghibur ini" Memang, ia
pernah mendengar bahwa kakaknya sering berkunjung
ke rumah Emban Layarmega. Tetapi tak mungkin hingga memberikan tanda mata suatu tanda kepangkatan
yang begitu penting.
"Dari mana kaudapat kalung ini?" tanya Tun Kumala
lagi. "Lepaskan! Ini kalungku!" bantah Tari, khawatir jika kalungnya putus.
"Aku hanya ingin tahu, dari mana kaudapat kalung
ini!" "Lepaskan dulu!" Tari begitu khawatir.
"Sudah! Cepat katakan dari mana kaudapat!" Tun
Kumala melepaskan pegangannya atas kalung itu. Tari
mundur. Ia melihat tangan Tun Kumala gemetar seolah
tak bisa menahan keinginan guna mengambil kalung
tersebut. "Tuan mundur dulu ke dinding sana," kata Tari lagi
menunjuk dinding yang terjauh.
"Sudah!" kata Tun Kumala makin kesal.
"Kenapa kau ingin tahu?" tanya Tari sambil berjalan
menyusur dinding menuju pintu.
"Sssa... sangat mirip milik sahabatku," kata Tun
Kumala. "Siapa sahabatmu?" Tiba-tiba sikap Tari berubah. Di
luar kelupaan yang menyelimuti pikirannya, yang menutupi semua ilmu yang dimilikinya, ada dua hal yang masih melekat. Nama Tantri
dan kalung manik kayu
ini. Ia tak tahu apa hubungannya dengan dirinya. Tapi dua hal itu selalu lamatlamat seakan membayang-bayangi batas ingatannya. Di dalam kekesalannya kare-na
ia tak pernah ingat siapa dirinya, bahkan namanya sendiri pun ia tak tahu - ia
tahu bahwa Kasturi namanya, tetapi nama itu seolah bukan miliknya - apalagi asalmuasalnya, kedua hal itu selalu menyiksanya. Se-kaligus menghiburnya.
Tantri. Nama itu menyiksa. Namun memberi kesan
manis. Dan kalung manik-manik kayu dewa itu. Ia tak tahu
mengapa ia memakainya. Ia tak mau mencopotnya karena merasa bahwa ini adalah salah satu hubungannya
dengan masa lalu yang begitu gelap. Ia tak mau melepaskannya. Ia tak mau berpisah dari kalung kayu itu
walaupun sesaat. Dan pada saat yang sama, ia juga
seolah sadar bahwa kalung kayu itu berhubungan dengan sesuatu yang sangat menyakitkan. Mungkin saat
menerima itu ia sakit. Mungkin saat menerima itu ia
disakiti. Sesungguhnya ia tak pernah berpikiran untuk mengetahui masa lalunya. Untuk apa... ia sudah bahagia dan dibahagiakan di tempat
Emban Layarmega.
Biasanya, orang tertarik pada kalung kayu itu hanya
karena tempatnya terlalu mencolok di samping kalung
emas pemberian Emban Layarmega. Emban Layarmega
sendiri tak pernah bisa menerangkan asal kalung kayu tersebut. Dan ia juga tidak
pernah memaksa Tari mele-paskannya.
Kini ada orang yang secara pasti mengenali kalung
ini! Suatu semburan harapan, atau siksaan, mencuat di dada Tari. Mungkin ini
hubungannya dengan masa lalunya. Mungkin ini hubungannya dengan penyiksanya.
Sesuatu tiba-tiba menguasai perasaan Tari.
Sesuatu meledak di dada Tari.
Mendadak saja ia beringas. Tangannya terulur cepat
menyambar leher Tun Kumala. Dan mencekiknya.
"Cepat katakan! Siapa sahabatmu yang punya kalung mirip ini! Cepat!" bentaknya dengan mata menyala seram.
"Ekhh... llleppa...skan ddullu..." Tun Kumala terkejut. Napasnya langsung tersumbat. Ia megap-megap dan meronta-ronta. Tapi
cengkeraman Tari tak mudah lepas.
Tari memang telah lupa semua ulah kewiraan yang
pernah dimilikinya. Semua ilmu yang dikuasainya. Tapi otot-otot tubuhnya tak
semudah itu lupa. Walaupun gerakannya sama sekali tanpa dasar ilmu apa pun,
ceki- kan itu cukup menyakitkan. Dan pada dasarnya, Tun
Kumala adalah Rara Sindu. Seorang gadis yang tak
pernah belajar ilmu kewiraan apa pun.
Bersambung ke jilid 5.
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-4
1. DEWI CANDIKA
***

Candika Dewi Penyebar Maut I V di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

2. TENDANGAN BANTALA LIWUNG
3. RARA SINDU 4. DI TEMPAT EMBAN LAYARMEGA
5. KALUNG MANIK KAYU DEWA
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 27 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Perguruan Sejati 7

Cari Blog Ini