Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut V I I 1

Candika Dewi Penyebar Maut V I I Bagian 1


CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-7 Oleh Djokolelono
? Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Desain sampul oleh Djokolelono
Ilustrasi sampul oleh Yan Mintaraga
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Juni 1989
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
1. KI GONG MINTA KORBAN"
GELAP sekali. Dan busuk. Busuk sekali. Tapi juga dingin. Dingin sekali. Dan ia terayun-ayun. Ribut sekali.
Sesuatu melintang di dadanya. Berat sekali.
Tari mencoba membelalakkan matanya. Apakah ia
buta" Apakah kelopak matanya tak bisa dibuka lagi"
Tidak. Ini hanya karena gelap saja. Dan di dadanya
ini... ih! Hampir Tari pingsan lagi. Didorongnya batang tubuh yang licin dan
basah itu ke samping.
Ia hampir pingsan lagi" Jadi tadi ia pingsan" Dan
ini... heran. Semuanya kini kembali jelas di ingatannya.
Ia berada di sebuah ruang di rumah Emban Layarmega. Ia harus meladeni seorang pria muda dari seberang. Tun Kumala. Padahal ia tertarik pada Wisti, saudagar wewangian dari Tosari
itu. Kemudian... kemudian ternyata Tun Kumala mengenali kalung kayunya. Kalung
kayu itu. Tak terasa Tari meraba lehernya. Heran.
Kalung kayu itu masih ada. Siapa yang menaruhnya
kembali di lehernya" Ataukah, memang tidak terlepas"
Kalung itu... dengan kalung itu Tari serasa punya
hubungan dengan masa lalunya yang gelap. Dan Tun
Kumala mengenalinya. Maka ia menanyakannya. Setelah itu... terjadi pergulatan dengan Tun Kumala. Tapi...
Bima datang melerai. Dan menghukumnya. Dengan
menceburkannya ke dalam Sumur Hitam. Kemudian...
Ah. Ia ingat. Sumur Hitam. Itu untuk menghukum anak
buah Bibi Layarmega yang dianggap kurang bisa memuaskan para tamu. Dengan cara kurang ajar, misalnya. Atau membuat malu mereka. Atau... banyak kesalahan lain yang bisa diganjar hukuman dimasukkan ke
Sumur Hitam. Sumur itu dijaga oleh seseorang yang
berkulit hitam-legam. Ahireng. Mungkin Ahireng ingin berbuat baik padanya.
Mungkin juga lupa. Pintu sangkar besi tempat orang yang dihukum diturunkan ke dalam Sumur Hitam ternyata tidak dikunci. Mungkin supaya ia bisa lari" Siapa yang bisa lari dari Sumur Hitam" Sumur itu bagaikan
sampai ke pusat bumi. Begitu dalam. Gelap. Kelam. Hitam. Dan... ada Ki Gong di
sa-na. Ki Gong adalah seekor ular raksasa. Biasanya berada di dasar sumur.
Biasanya hanya untuk menakut-nakuti
si terhukum. Buas memang, tetapi sesungguhnya ia
takkan bisa menyantap orang yang ada di dalam kerangkeng. Tapi kali itu pintu kerangkeng terbuka.
Dan Ki Gong berhasil menyerbu masuk.
Jelas, Tari merupakan makanan empuk. Ia sudah
lupa semua ilmu silatnya. Namun dalam keadaan bahaya yang begitu mengancam itu ternyata secara wajar muncul kekuatan dan
ketangkasan yang sudah begitu
tertanam dalam diri Tari.
Dengan cerdik Tari berhasil menyumpal mulut si
ular. Kemudian menoreh lehernya dengan tusuk gelungnya. Menorehnya. Agaknya sampai leher ular raksasa itu putus.
Ihh. Sampai di situ yang diingatnya. Kemudian...
mungkin ia pingsan. Dan kini tampaknya ia sadar. Dalam kegelapan. Dengan bangkai ular itu di dadanya.
Tari mendorong tubuh berat dan licin itu. Mendorong
terus. Hingga semuanya jatuh dari kerangkeng. Bergedebug di dasar. Ah. Dasar sumur itu mungkin tak terlalu jauh dari kerangkeng.
Dan... apa gunanya ia selamat"
Tubuhnya terasa lengket. Entah berapa lama dirinya
tersembur oleh darah Ki Gong. Baunya sangat amis.
Ia menengadah. Mungkin. Jauh tinggi di sana. Kegelapan seakan menipis menjadi kelabu. Bulat. Ah. Itulah
pasti mulut sumur. Sudah kelabu. Sudah pagi" Berapa
lama ia tak sadarkan diri. Di sini"
Sayup-sayup terdengar kokok ayam. Jauh dari mulut sumur. Ah. Ya. Sudah pagi. Pagi kapan"
Bau amis yang menusuk hidung hampir membuatnya lemas dan roboh. Bagaimana cara naik ke sana"
Mungkin dengan tali yang berada di atas kerangkeng. Ya. Itu cara yang baik.
Tari meraba-raba hingga menemui pintu. Kemudian
ia memegang dua batang terali besi. Dan mengangkat
dirinya ke atas.
"Hei!" seru Tari terkejut. Tiba-tiba saja badannya seakan didorong ke atas.
Keras. Hampir saja ia terlempar jatuh. "Ugh. Ada apa?" Bingung Tari. Ia
merasakan suatu tenaga. Dahsyat. Hebat. Tenaga itu tersalur lewat tangannya. Dan
saat ia tadi mengerahkan tenaga untuk mengangkat dirinya, maka tenaganya keluar
berlebihan. Ah. Mungkin itu hanya bayangannya saja.
Tari meraba-raba. Dan tangannya menemukan tali
yang menggantungkan kerangkeng itu ke kerekan di
atas sana. Ah. Tak terlihat. Begitu tinggi dan begitu gelap.
Dipegangnya tali itu erat-erat. Kemudian perlahan ia berdiri. Kerangkeng itu
bergoyang. Tari makin erat memegang talinya. Kemudian ia menarik tali itu.
"Ugh!" ia berseru terkejut. Kemudian menjerit. Tali
sebesar kepalan yang dipegangnya terasa terguncang.
Dan kerekan jauh di atas sana ternyata telah jebol dari palang kayunya!
"Aiii!" Tari menjerit keras dan terbanting ke kerangkeng, sementara
kerangkengnya pun terempas ke bawah. Kerangkeng itu bergedebam di dasar sumur yang
kering dan ternyata penuh tengkorak dan tulangbelulang manusia... serta tubuh Ki Gong. Tulang-tulang itu berderak patah oleh
kerangkeng besi, dan tubuh Ki Gong menjadi peredamnya. Suaranya memualkan. Dan
bau pun kembali bagaikan meledak. Tari yang tadi terempas ke terali besi, kemudian tertimpa gulungan tali, diserbu oleh bau sebusuk
itu... rasanya langsung lenyap nyawanya.
Kerangkeng itu agak miring. Tari gugup mencoba
duduk. Ugh. Bau itu begitu menusuk hidung. Ia terpak-sa menutup hidungnya. Ia
terpaksa menahan napasnya. Beberapa kali ia megap-megap tak tahan. Tapi, he, serasa makin lama makin
mudah. Dan makin lama ia
makin tahan menahan napas. Pernapasannya makin teratur. Asal bau busuk itu hilang... ah, begitu ia memikirkan hal itu, bau
tersebut memang lenyap!
Pikirannya serasa semakin jernih. Ia dapat duduk di
atas kerangkeng itu. Bersila. Menutup mata. Mengatur pernapasan. Dan dengan
wajar - tanpa disadarinya maka ia telah menggunakan ilmu pernapasan dan ilmu
semadi dari Perguruan Rahtawu!
Dan tanpa disadarinya pula, ilmu Coban Saleksa
yang pernah diterimanya dari Bibi Madraka mulai
mengalir dalam urat nadinya.
Ilmu itu tidak membuka pengaruh ramuan kuat Emban Layarmega. Tetapi secara tak disadarinya maka
hampir seluruh kepandaian dan tenaga dalamnya pulih.
Walaupun jelas ia tak tahu apa artinya semua itu bagi dirinya.
Dirinya terasa panas. Panas sekali. Serasa ada api
menggumpal dalam perutnya. Bergerak terus. Berputar
terus. Meledak-ledak. Ia begitu panas. Begitu PANAS.
BEGITU PANAS! Dan ia mulai berdesah-desah. Kemudian menjerit.
Menjerit-jerit. Tubuhnya serasa akan meletus oleh hawa
panas itu. Dadanya begitu sesak!
Tangannya mulai tak bisa dikendalikannya. Merenggut kemben yang menutupi dadanya. Merobeknya sekali renggut. Dan ia masih
kepanasan. Masih kepanasan.
Masih KEPANASAN!
Padahal stagen dan kainnya pun telah lama terlepas.
Oh, tapi hawa panas ini masih juga menyiksa. Ia ingin mandi. Ia ingin menceburkan diri ke air Telaga Biru.
Sekilas ia hampir pingsan memikirkan kenapa nama itu terlompat begitu saja di
benaknya. Tapi ia panas. PANAS! Ia harus terjun ke air! Ke Telaga Biru! Harus!
Dan ia pun meloncat. Terjun ke dalam kegelapan di bawah kerangkeng itu. Badannya
langsung terempas dalam
kubangan darah Ki Gong yang bercampur lumpur berbau busuk. OooOOoooOoooOooo OOhhh! Baunya memang tak tertahankan.
Tetapi lumpur dan darah Ki Gong begitu menyejukkan. Tari berguling-guling dalam kesejukan itu sambil menahan napas. Mengatur
napas. Mengendalikan pernapasannya.
Begitulah. Tanpa berbusana, dalam kegelapan Sumur Hitam. Tari tak sengaja menyalurkan Coban Saleksa.
Dan waktu pun berlalu.
Malam itu terang bulan. Nyai Emban Layarmega dan
Bima perlahan menaiki bukit di belakang rumah Nyai
Emban. Mereka berjalan perlahan. Karena malam begitu indah. Langit jernih, bintang-bintang hampir tak tampak
oleh terangnya sang purnama. Di bawah, rumah Emban
Layarmega yang terkenal itu bagaikan bermandikan cahaya. Obor dan lampu ada di sana-sini. Juga terdengar kegembiraan tawa ria para
pria yang sedang menikmati malam mereka. Dan suara tetabuhan mengiringi tarian
para pemabuk. Berhenti sesaat di punggung bukit, Layarmega bisa
melihat bagian kota. Diterangi oleh purnama. Rumah
dan pepohonan bagai disepuh perak. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak bermain. Begitu damai. Tak terasa Emban Layarmega
menghela napas panjang.
"Ada yang Paduka pikirkan, Junjungan?" tanya Bima
yang dengan sopan selalu menunggu pada jarak yang
cukup jauh jika Layarmega berhenti.
"Kedamaian ini, Bima," kata Layarmega, menghirup
hawa malam yang segar sedalam-dalamnya. "Dan aku
jadi tidak mengerti, mengapa orang harus mengorbankan segala-galanya untuk menguasai dunia ini.... Apakah mereka mengira mereka
lebih pandai daripada Sang Mahesywara dalam mengatur jagat raya ini...."
"Junjunganku agaknya berbicara tanpa dipertimbangkan, tidak seperti biasanya," Bima yang bertubuh tinggi besar ini tampak
begitu tunduk luruh di hadapan Layarmega.
"Aku mengerti, Bima... tapi ini pendapat pribadiku.
Dan... sering aku berpikir, alangkah senangnya jika aku lebih sering lagi
menikmati kepribadianku sendiri, tanpa harus diatur oleh orang lain."
Beberapa saat hening. Yang terdengar hanya desir
angin di pohon sawo dekat mereka berdiri.
"Junjunganku punya kekuatan, Junjunganku punya
sandaran... rasanya tidak akan sulit jika ingin menjadi manusia bebas," kata
Bima kemudian dengan suara berat. "Di situlah letak kesulitannya, Bima," Emban
Layarmega menunduk, membetulkan letak selendang yang
menutupi bahunya. Sambil berjalan perlahan ia pun
berkata, "Semua yang ada di dunia ini pun diciptakan untuk saling tergantung.
Tak ada yang benar-benar bebas. Merdeka. Aku pun sudah merupakan salah satu
bagian dari dunia itu."
Mereka telah sampai ke rumah hitam di bawah
bayang-bayang pohon besar di puncak bukit itu. Rumah tempat Sumur Hitam berada.
Dari balik bayang-bayang Ahireng muncul dan membungkuk memberi hormat.
"Harum Junjungan sungguh memberi tempat ini keindahan yang lebih dari yang bisa diberikan purnama,"
kata Ahireng. "Sungguh suatu kunjungan yang tak berani hamba impikan, hingga terpikir oleh hamba mungkinkah Junjungan akan menjatuhkan hukuman pada
hamba... memenggal kepala hamba misalnya...."
"Tak usah banyak omong, Orang hitam," Bima menukas. "Dan tidak pantas bagimu untuk memakai katakata yang berbunga-bunga."
"Ah, Bima, bagimu tentu sudah terbiasa bertemu dengan junjungan kita, tetapi bagiku ini bagaikan mimpi kejatuhan bulan! Itu saja
sudah merupakan alasan cukup untuk menjadi gila, bukan?" suara serak Ahireng
tertuju pada Bima, tetapi matanya masih tertuju pada Layarmega. Dan sungguh
aneh, kedua mata itu tampak
putihnya saja di muka yang hitam-legam.
"Sudahlah, Bima, biarkan Ahireng menyatakan pendapatnya," suara Layarmega, tersenyum. "Kunjunganku
kemari memang luar biasa, Ahireng... aku ingin meninjau salah seorang anak
buahku yang telah salah jalan dan harus menjalani hukuman di sini. Dan kudengar
beberapa kali kau menolak mengangkatnya ke luar karena kau hanya ingin menerima perintah itu langsung
dariku." "Mohon diampun, Junjungan, bukan hanya menolak, bahkan hamba pun terpaksa harus adu kekuatan
dengan Sang Bima ini, he he he.... Cuma, belum ada
kepastian siapa yang menang, Sang Bima sudah mundur lebih dahulu. Mungkin Junjungan harus mengganti
pengawal utama Junjungan ini, he he he he...."
"Kau harus tahu diri, Ahireng, orang seperti Bima
punya wawasan luas. Dalam suatu pertempuran, menang atau kalah adalah suatu pilihan, bukan lagi suatu keadaan yang dipaksakan
padanya," kata Layarmega. Ia kini membelakangi sinar bulan purnama hingga wajahnya tertutup bayangan. Tidak nyata apakah ia tersenyum atau tidak. Tetapi suaranya begitu merdu terdengar. "Kau tahu, anak buahku itu dibawa sendiri kema-ri olehnya, dan ia sendiri
yang memintanya, mengapa
tak kauberikan?"
"Karena hamba begitu menghormatimu, Junjungan,"
kata Ahireng tegas. "Hamba tahu anak buah yang dibawa kemari itu adalah anak buah kesayangan Paduka.
Jadi ada dua hal: Bima terlalu iri padanya hingga ia menyiksanya, atau Paduka
memang menghendaki ia
mendapat hukuman yang sangat berat. Sewaktu membawanya kemari, Bima tidak mau memberikan keterangan sejelasnya, dan rasanya hamba takkan kuasa menolaknya, toh kalaupun waktu itu ia berhasil hamba


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tundukkan ia bisa saja membawa Ni Turi ke penyiksaan lainnya. Lain dengan waktu
mau mengambil. Ni Turi
ada di dalam Sumur Hitam. Bertempur tujuh hari tujuh malam pun hamba ladeni.
Hamba pikir Bima juga punya pikiran waras. Hamba minta agar Paduka sendiri
yang datang mengambil anak itu. Jika ia ngotot menolak, maka terbukti bahwa perintah untuk menghukum Ni Turi bukan dari Paduka."
"Bagaimana jika aku begitu sibuk hingga tak sempat
memenuhi permintaanmu itu?" tanya Emban Layarmega. "Maka hamba bisa yakin bahwa anak buah yang
menjalani hukuman itu sama sekali tak berarti bagi Paduka, hidup-matinya sudah
tak berarti lagi," sembah
Ahireng. "Jadi bagi hamba pun tak ada artinya ia hidup, mati atau dimakan
manusia raksasa ini. Heh heh heh
heh...." "Mestinya kau juga dilemparkan ke dalam Sumur Hitam itu baru tahu rasa!" geram Bima.
"Bagi hamba, Sumur Hitam bukanlah apa-apa. Bahkan Ki Gong pun bukan apa-apa. Kami malah bersaudara, he he he he.... Ki Gong sakti sekali lho, Junjungan, jadi biar ular hamba
akui sebagai saudara."
"Sakti bagaimana?" tanya Emban Layarmega sabar.
Ia tahu Ahireng sangat jarang memperoleh teman bicara, karenanya bisa dimaklumi jika kali ini ia begitu giat berucap.
"Dia adalah keturunan langsung dari ular sakti yang
ada di Pura Kapila, yang konon merupakan tempat tidur Sang Hyang Wisnu sendiri.
Telurnya dibawa ke tanah
Jawa ini oleh Sang Agastya sendiri. Ki Gong adalah keturunan ketujuh dari ular
Kapila tersebut... dan selama ini turun-temurun ular tersebut bertapa untuk
menjel-ma menjadi manusia. Konon dari lahir ke lahir lagi,
sang ular menerima puluhan kesaktian dari Sang Mahesywara yang ingin membujuknya agar ia melepaskan
niat menjadi manusia."
"Ahhhhhh! Jangan hiraukan orang gila ini, Junjungan. Ayo masuk saja!" geram Bima.
"Ah, kalau Tuan tidak percaya kesaktian Ki Gong,
coba masuk ke dalam sumur itu. Dan coba bunuh dia.
Paling-paling kepala Tuan remuk oleh sabetan ekornya,"
kata Ahireng. "Untuk meremukkan kepalamu, aku tak memerlukan Ki Gong," desis Bima.
"Sudahlah. Aku ingin melihat kembali anak buahku
itu, Ahireng. Bawa dia keluar," kata Emban Layarmega.
"Silakan menunggu, Junjungan...." Ahireng membungkuk rendah-rendah dan mundur.
Tak lama terdengar ia memantikkan batu api. Dan
sebatang obor pun menyala. Rumah hitam itu tak begitu hitam lagi. Emban Layarmega berhenti, dan membelakangi rumah hitam itu. Sebab dari tempat itu pun bau tak sedap sudah mulai terisap.
Kemudian terdengar jeritan terkejut Ahireng.
Bima langsung tersentak menegakkan tubuh mendengar itu. Emban Layarmega menoleh tajam.
"Junjungan!" Ahireng muncul dari dalam rumah hitam. Tergopoh-gopoh. Ketakutan. "Junjungan! Tali kerangkeng putus!"
"Apa?" Bima langsung melompat berdiri dan berlari
masuk ke dalam rumah hitam itu.
Hanya ada sebuah ruangan tengah. Dan di tengah
ruangan tadi ada sebuah sumur besar. Tiang yang menyangga kumparan tali untuk menarik atau menurunkan kerangkeng patah. Patah!
Cepat Bima memeriksa tiang itu. Dan menjenguk ke
dalam sumur. Di sana hanya terlihat hitam-kelam. Bahkan obor yang diangkatnya
tinggi-tinggi tak membantunya menunjukkan ada apa di sana. Baunya menusuk
hidung. Di belakangnya terdengar langkah Emban Layarmega
berlari kecil mendekat.
"Junjungan, jangan mendekat. Baunya tak sedap sekali!" desis Bima.
"Ini luar biasa," bisik Ahireng gemetar. "Biasanya
baunya tidak bisa naik dan keluar seperti ini!"
"Apa... apa yang terjadi" Masakan kau tak tahu bahwa talimu putus" Mungkin karena itu kau tak memperkenankan aku masuk?" Tiba-tiba Bima membalik dan
menyambar leher Ahireng, hampir mencekiknya.
"Akk... akkku tak pernah masuk ke... kkke sini jika
tidak untuk menarik atau menurunkan hukuman!" teriak Ahireng, kali ini tidak melawan. "Hatiku tidak sekeji kamu!".
"Kau sekarang masuk!" Bima langsung mengangkat
Ahireng untuk dilemparkan ke dalam sumur.
"Jangan, Bima!" cegah Emban Layarmega yang menekap hidung dengan selendangnya dan mencoba melihat ke dalam sumur. "Ahireng! Ini baru kauketahui sekarang ini?"
"Jawab!" Bima membanting Ahireng ke lantai.
"Bbe... benar, Junjungan... hhhamba ttak pernah
masuk kkke... kke sini jika tidak..."
"Dan Turi sudah hampir lima hari di sana!" Emban
Layarmega membelalakkan mata. "Bima, coba panggil
dia!" Bima mengumpulkan kekuatan dan berteriak di
pinggir sumur, "TURRRRIIIIIIII!"
Suara itu bergema bersahut-sahutan di dalam sumur. Mereka sejenak terdiam mendengarkan. Tak ada
sahutan. "Jjjikkka... jika tali putus... tak mungkin ia ssse... selamat...," bisik
Ahireng. Sekarang tidak setegas tadi dan dalam cahaya obor tampak kulit mukanya
yang hitam-legam mengkilap oleh keringat.
"Aku akan turun!" Bima jelalatan mencari-cari sesuatu di ruang itu. Tak ada tali. Ia melompat ke bibir sumur, mencoba melihat ke
dalam dan mengangkat ob-or tinggi-tinggi. "Berapa dalam sumur ini?"
"Se... seratus ddua... dua ratus deppa... akku... aku tak tahu...," kata Ahireng
masih gemetar. "Mungkin kau membunuhnya!" tiba-tiba Bima menggeram dan menyambar Ahireng. Tetapi dalam ketakutan
atau kekagetannya, Ahireng ternyata tetap waspada.
Dan kuat. Cekatan ia menggulingkan tubuh ke tanah.
Ketika Bima menghajar dengan tendangan beruntun
maka dengan berani Ahireng menghadang tendangan
tersebut dengan tebasan tangannya. PRAKKK!!!!
Bima terlompat mundur. Ahireng berguling ke samping dan berdiri dengan badan membungkuk rendah
memasang kuda-kuda. Dari mulutnya terdengar desisan melengking bagaikan seruling, "Auuuiiiiieeeeiiiiiii...."
sementara tangan kanannya bergerak di atas kepalanya. Perlahan. Mengancam.
"Bangsat! Berani melawan, kau?" geram Bima.
"Junjungan! Hamba tidak bersalah!" Masih merendahkan badan Ahireng menukar kedudukan kakinya,
bergeser ke samping. "Aku tidak bersalah! Tali itu putus sendiri! Aku... hamba
memang tidak pernah memerik-sanya, tetapi... bukan hamba yang memutuskannya!"
"Kau cepat cari tali, dan cepat turun ke sana!" geram Bima, juga mengubah
kedudukan kakinya hingga ia dalam keadaan siap menerjang Ahireng.
"Tidak ada gunanya, Junjungan... jika... jika tali itu putus... siapa pun yang
jatuh akan jadi mangsa Ki
Gong!" desis Ahireng.
"Kau pantas jadi santapan Ki Gong!" tiba-tiba Bima
menerjang. Kakinya yang besar itu gesit melesat ke depan. Disusul oleh injakan
mengentak menghajar bumi.
Ahireng telah tak ada di tempatnya. Dan dia pun tidak tinggal diam. Sambil
menghindar tangannya bergerak
cepat menghujani tubuh Bima dengan tebasan dan tusukan. "Hentikan! Hentikan!" jerit Emban Layarmega, keras,
melengking, berulang-ulang.
Tapi tak ada yang memperhatikan. Kedua orang itu
bertarung makin seru. Satu-dua tiang berderak patah
kena terjang mereka. Dan atap pun mulai berderak
akan roboh. "Hentikan!" teriak Emban Layarmega lagi.
Sebuah tendangan Bima yang luput mengenai Ahireng menghantam tiang utama rumah itu. Dan rumah
tersebut pun berderak roboh!
"Aiiiii!" Emban Layarmega menjerit, menutup kepalanya dengan tangan.
"Junjungan!" teriak Bima terkejut. Dan sebagai akibatnya, tendangan Ahireng telak menghantam lambungnya. Bima menjerit, namun ia tak menghiraukan rasa
sakit yang begitu sangat itu. Ia langsung menubruk
Emban Layarmega dan melindunginya dengan badannya yang besar dan lebar, membawanya melesat ke
luar, menembus runtuhan kayu-kayu dan atap rumbia.
Bima terguling-guling di tanah, masih terus mendekap Emban Layarmega. Di belakangnya rumah hitam
tadi berderak roboh dengan suara gemuruh.
"Junjungan?" Bima merebahkan Emban Layarmega
ke rerumputan. Wanita itu pingsan. Darah mengalir di dahinya. "Junjungan...,"
bisik Bima lagi.
Di belakangnya terdengar kayu-kayu dilempar-lemparkan. Dan Ahireng muncul dari balik reruntuhan.
"Kau... kau menghancurkan rumahku...," desis Ahireng, berjalan terhuyung ke arah Bima. Cahaya bulan
bersinar di pedang panjang warna hitam yang dibawanya, entah diperolehnya dari mana. "Kau... mungkin membuat Ki Gong menjadi
ketakutan... dan aku tak su-ka itu...."
"Junjungan...," bisik Bima tak menghiraukan Ahireng, diusapnya darah di dahi junjungannya.
"Kau harus mati, keparat!" pekik Ahireng. Dan pedang panjangnya menyambar cepat ke arah leher Bima.
"Kau keterlaluan!" jerit Bima. Ia langsung meloncat
tinggi, lebih tinggi dari garis tebasan pedang Ahireng.
Dan begitu menginjak tanah, tangan Bima telah memegang sebilah keris. "Kurajam kau, jahanam!" jeritnya.
Kerisnya langsung menyerang.
Ahireng tertawa di hidung. Dengan nekat ia menebas
Bima. Bima tak gentar. Dihantamnya ujung pedang dengan gagang kerisnya. Kemudian tubuhnya berputar di
udara, mengikuti gerak pedang.
Pertandingan bersenjata itu langsung berkecamuk.
Bima kalap kini. Walaupun senjatanya pendek, tapi gesit sekali ia berlompatan ke
kiri dan ke kanan, ke bawah dan berguling, mengikuti dan menghindari tebasan
Ahireng. "Ooooooh..." Emban Layarmega perlahan mengangkat kepalanya. Beberapa saat pandangannya kabur.
Kemudian dia melihat di dalam sinar bulan purnama
dua bayang-bayang begitu gesit saling sambar dan hindar, diiringi bentakanbentakan dan dengus napas penuh dendam. Bima. Dan Ahireng.
Bima. Sudah begitu lama lelaki itu mengikutinya. Ia
tahu ketangguhannya. Tapi sebegitu lama ia tak bisa
menundukkan Ahireng" Seorang yang mungkin hanya
setara dengan pelayan" Hanya seorang penjaga halaman. Dan Bima rasanya tak sanggup cepat mengalahkannya. Ahireng sendiri aneh. Pedangnya itu. Dan gerakannya. Ahireng diwarisinya dari pemilik tempat ini yang terdahulu. Seperti juga ia
mewarisi nama Layarmega ini.
Tak banyak yang diketahuinya dari hambanya yang hitam itu. Hanya bahwa ia memang penjaga Sumur Hitam. Sejak dahulu kala.
Tetapi agaknya Ahireng bukan orang biasa.
Perlahan Emban Layarmega terhuyung berdiri.
Ia memikirkan hal lain.
Turi. Atau siapa pun sebenarnya gadis itu. Bagaimana nasibnya" Ia tahu apa akibatnya jika seseorang diturunkan ke Sumur Hitam.
Jika selamat, mereka akan
dikeluarkan dengan pribadi yang hancur - tak akan berani berontak lagi.
Ia hampir tak percaya sewaktu dulu ia dilapori Bima
tentang Turi. Tapi, ya, ia setuju bahwa tindakan Turi bi-sa membahayakan
usahanya. Ya, ia setuju untuk itu
Turi harus dihukum. Namun, ia juga ingat bahwa Turi
punya ciri-ciri yang begitu dekat dengan ciri-ciri seorang
Stri Ardanareswari. Seorang wanita yang mungkin dila-hirkan untuk berderajat
sangat tinggi. Kemudian ia ingat asal-usul Turi. Bahwa gadis itu adalah hasil
temuan Ra Wirada, putra Rakryan Tumenggung, Mpu Gagarang. Sementara Ra Sindura, pemuda putra Rakryan
Rangga yang didesas-desuskan sebagai calon kuat untuk menjadi bintang Kuripan, merasa mengenalinya.
Untuk itulah Turi, atau siapa pun nama sebenarnya,
selalu harus dijejali dengan obat Pelupa Diri. Dan keadaan agak berubah karena
Ra Wirada tewas sementara
Ra Sindura terpaksa ditahan sebagai pembunuhnya.
Memang Emban Layarmega tahu bahwa ini semua adalah gara-gara junjungannya, Dewi Wara Hita, yang didesas-desuskan sebagai Dewi
Candika - dewi penyebar
maut. Namun... di luar itu semua sesungguhnya Emban
Layarmega telah merasa begitu senang pada Turi. Bahkan mulai membayangkan kemungkinan Turi menjadi
Layarmega berikutnya.
Tiba-tiba Layarmega tertegun.
Bima bergerak cepat mendesak Ahireng. Dan tibatiba saja Ahireng menghunjamkan pedang hitamnya ke
tanah. Tepat menghalangi keris Bima untuk bergerak
maju. Dan dengan suatu gerakan aneh, Ahireng menggunakan gagang pedangnya sebagai tumpuan. Dan tubuhnya berputar, terlontar. Tinggi. Dan ia memekik melengking saat tubuhnya
masih di udara. Bima dengan
sigap menjatuhkan diri untuk menerima serangan Ahireng. Serangan Ahireng datang begitu cepat. Pekiknya pun
menggetarkan dada. Tangannya terjulur kaku menghantam keris Bima ke pinggir dan langsung menerkam
leher lelaki bertubuh tinggi besar itu.
Bima membentak keras. Dan menjerit. Tinjunya
menghajar Ahireng. Ahireng bagaikan terlempar. Namun Bima juga langsung terempas
terkapar dengan leher robek lebar.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Peksayomaya!"
Suara itu bukan datang dari Emban Layarmega.
Suara itu datang dari pohon besar yang menghitam
di cahaya bulan.
Ahireng tampak terkejut. Ia kini telah berdiri dekat tumpukan reruntuhan
rumahnya. "Siapa?" tanyanya serak.
Tak ada jawaban.
Tiba-tiba Ahireng meloncat. Menyambar dan mencabut kembali pedang hitamnya. Dan melompat mundur.
Menjauh. "Aku tak punya waktu untuk menemuimu!" teriaknya lagi. Dan ia memutar diri. Berkelebat. Dan lenyap.
Emban Layarmega tak memperhatikan itu semua. Ia
telah menubruk Bima, memeriksa leher lelaki itu.
"Bima... Bima...," bisiknya.
"Dia tak akan mati," terdengar suara di belakangnya.
Emban Layarmega terkejut. Menoleh.
Sesosok lelaki berdiri di sana. Mata Emban Layarmega sudah terlatih unjuk mengenal wajah orang. Walaupun orang itu membelakangi bulan dan mukanya
tak terlihat. "Tuan... Aria Sampana," bisiknya seakan bertanya.
"Yang dulu datang bersama... pemuda Tumasik itu?"
"Ya. Dan beberapa kali aku datang ke rumahmu,
Emban, untuk menanyakan temanku itu...." Orang tadi
memang Aria Sampana, atau Rakryan Mapatih Kuripan
yang sedang menyamar. Dengan tenang ia duduk di
samping Emban Layarmega, memeriksa luka di leher
Bima. "Orang ini kuat, dan cukup gesit. Untung. Pada orang lain, pukulan cakar
besi itu pasti bisa memutuskan lehernya. Beri dia obat-obatan luka biasa. Dan
dia pasti sembuh. Ia pun hanya pingsan biasa."
Emban Layarmega tak berbicara lagi membebat leher
Bima. "Tuan seorang saudagar?" tanya Layarmega.
"Aku begitu sering berkeliling, hingga tahu sedikit
tentang beberapa ilmu untuk membunuh orang." Dari
suaranya, mungkin Aria Sampana tersenyum. "Aku
khawatir tentang temanku itu. Sudah lima hari tidak
muncul di pemondokan kami. Ya, ya, ya... aku tahu kau telah berkata kau tak tahu
apa-apa... dan bahwa temanku itu pergi bersama... Wisti, saudagar minyak wangi
itu. Tapi ke mana" Dan siapa Wisti itu?"
"Sudah kukatakan, aku tak tahu." Emban Layarmega bisa menguasai diri kini. "Dan... maaf, sesungguhnya Tuan telah memasuki
bagian halaman rumahku yang
sesungguhnya tertutup untuk umum."
"Ahhh! Misalkan aku tak muncul, kalian berdua
mungkin telah dibunuh oleh si Hitam tadi itu. Ah, ya.
Siapa sesungguhnya dia" Anak buahmukah?"
"Agaknya Tuan lebih kenal dia?"
"Aku pernah melihat gerakan itu. Dulu sekali. Kurasa gerakan tadi sudah lenyap. Ah, ya..." Tiba-tiba Aria
Sampana melihat berkeliling. "Mestinya kukejar dia...
tapi aku tak berani. Tadinya akan kuajak Bima ini untuk mengejarnya."
"Bantu aku membawa Bima ke rumah. Aku punya
anak buah banyak. Mungkin mereka bisa membantu
Tuan." Emban Layarmega memperhatikan Aria Sampana. "Itu tak penting. Yang penting, beri keterangan lebih jelas tentang temanku
itu. Atau tentang Wisti. Kalau aku harus berangkat ke Tosari untuk
menyelidikinya,
aku akan berangkat. Tapi dari penyelidikanku, di Tosari tak ada saudagar
wewangian bernama Wisti."
"Aku tak pernah... terlalu teliti menyelidiki... langga-nanku," kata Emban
Layarmega. "Kudengar ada orang bertanya-tanya tentang diriku,"
kata Aria Sampana.
"Tuan langganan baru kami. Aku patut menyelidiki
apakah... Tuan bisa menjadi langganan yang menguntungkan. Itu memang biasa kulakukan," kata Emban
Layarmega, perlahan menaruh kepala Bima di rumput.
"Dan hasil penyelidikanku rupanya tidak lengkap. Tak ada yang mengatakan bahwa
Tuan sanggup menyelun-dup masuk dan bersembunyi di pohon di luar pengetahuan Bima."
"Aku hanya saudagar biasa. Dan itu berarti aku harus bisa membela diriku sendiri. Tidak seperti kau yang bahkan punya pasukan
kecil untuk melindungi diri.
Tapi... aku bukannya tak punya pengaruh, Emban. Besok pagi aku akan kembali. Dan aku akan bertanya tentang kawanku itu. Dan kau
harus sudah punya jawaban. Kalau tidak... aku akan minta seseorang yang punya kekuatan besar untuk
membuat hidupmu sulit. Bagaimana" Mungkin sekarang saja akan kaukatakan?"
"Tidak, Tuan, aku tidak tahu apa-apa," kata Emban
Layarmega lemah, mundur. "Jika Tuan ingin menyulitkan aku... silakan. Aku memang tak bisa apa-apa, tetapi kemungkinan Dewata
Mulia Raya akan melindungiku...."
"Kita lihat saja nanti, Nyai...." Aria Sampana tertawa.
"Bima, kau tak perlu pura-pura pingsan. Kaudengar
semua kata-kataku tadi. Jadi, kau juga harus bersiap-siap menjawab pertanyaanku
besok. Dan o, ya, katakan pada anak buahmu yang matanya juling itu, kalau
mengikuti aku jangan terlalu mencolok. Agak jauh sedikitlah! Sudah, Nyai, aku akan mengejar orang hitam itu tadi."
Dan Aria Sampana berjalan berlenggang meninggalkan tempat itu.
2. GADIS GALIJAO
AHIRENG berhenti. Badannya merapat ke dinding tebing. Tebing itu adalah punggung bukit kecil tempat Sumur Hitam berada. Di situ
gelap. Sinar bulan tak men-capainya. Suara kegembiraan di rumah Emban Layarmega juga tak terdengar. Apalagi kegiatan di Kuripan.
Perlahan Ahireng menyusupkan pedang hitamnya ke
kainnya. Dan melongok ke balik sudut tebing. Sunyi.
Tak ada yang mengejarnya.
Peksayomaya. Orang tadi mengenal gerakannya. Padahal... rasanya tak mungkin
setelah sekian puluh tahun orang masih mengenal gerak Burung Besi. Siapa-kah
orang itu" Mengapa ia tak mengejar" Mungkinkah
ia juga mengenal siapa pemakai gerak itu"
Ahireng tengadah menyandarkan kepala di dinding
tebing. Pedangnya telah diselipkannya di ikat pinggangnya. Ia mengusap muka.
Muka itu basah kuyup oleh
keringat, walaupun hawa begitu dingin.
Wuah! Ia tak peduli akan apa yang terjadi pada dirinya. Tetapi... apa yang terjadi dengan Ki Gong"
Ahireng tiba-tiba tersentak dari sikap pasrahnya. Ia tidak boleh tinggal diam.
Ia harus segera mengabarkan hal ini. Dan Ahireng pun segera berlari.
Ia berlari di jalan setapak. Menembus semak-semak.
Mukanya yang hitam mengkilap oleh keringat tertampar pedas dahan-dahan keras.
Dan ia terus berlari.
Jelas ia menjauhi jalan ramai. Ia menuruni tebing.
Hingga ke dasar, ke tepi sungai kecil yang merupakan saluran pembuangan air dari
keraton. Jalannya bukan jalan manusia. Ia menyelinap di antara celah sempit. Menyuruk di rerambatan rapat. Berulang kali menengok ke
belakang. Dan yang dilihatnya
hanyalah kegelapan.
Sampai kemudian ia sampai di tepi bengawan. Seakan tiba-tiba saja dunia terbuka di depannya. Ia menunduk. Mempertajam telinga. Terdengar desah air
bengawan. Dan di hutan seberang suara kera liar tiba-tiba ribut.
Ahireng berlari kecil sepanjang tebing. Dan tiba-tiba berhenti.
Ada desir pasir yang tak pada tempatnya.
Ahireng langsung melompat ke dalam kegelapan
bayang-bayang. Sunyi. Kemudian...
"Untuk apa kau kemari?" sebuah suara terdengar.
Dari kegelapan juga.
"Siapa kau?" Ahireng berbisik. Matanya nyalang.
"Pergi," suara itu tegas.
"Kau yang pergi...." Perlahan Ahireng mencabut pedang hitamnya. Ia tak boleh membuang waktu dengan
pertarungan panjang. "Hh."
Hanya dengus itu. Dan tiba-tiba saja sesosok tubuh
muncul, menebas dengan sebatang senjata panjang.
"Ugh!" Ahireng terkejut, langsung menekuk lutut
sambil mengangkat pedangnya. Dencing pedang melawan senjata tadi terdengar nyaring. Dan Ahireng makin terkejut. Tenaga lawan
begitu kuat hingga tangannya terasa panas.
Dengan memegang gagang pedang erat-erat dengan
kedua tangannya Ahireng membabat sekuat tenaga.
Lincah sekali bayang-bayang itu melompat dan senjatanya menyambar, mendengung. Ahireng terpaksa melompat mundur berguling sambil langsung mengirimkan
suatu tusukan. Lawannya ternyata tidak turun di tempat yang diperkirakannya, kembali malah balas membabat. "Ugh, kau orang Galijao!" desis Ahireng. Ia mengenal gerakan gesit lawannya.
Hanya itu. Itu sama sekali tak bisa menolongnya dari rangsakan serangan beruntun
senjata bertangkai panjang itu.
"Karena kau tahu itu, kau harus mampus!" bayangbayang tadi menyahut. Terdengar suaranya tetap mantap, napasnya teratur. Sama sekali tidak terlihat betapa pertarungan itu
melibatkan berbagai gerakan yang me-meras tenaga dan kelincahan. Dan kini
Ahireng jadi yakin. Lawannya seorang wanita!
Wanita mana yang... ugh! Trang! TRANG! Pedang
Ahireng terpukul lepas dari tangannya saat ia tadi sedikit lengah!
Dan besi dingin menempel di lehernya.
"Kau sudah berani masuk kemari, dan kau tahu aku
dari Galijao. Kau patut mati!"
Bayangan itu menarik senjatanya sedikit mengambil
ancang-ancang untuk membabat leher Ahireng.
"Jangan!" terdengar bisikan lembut. Dan mata Ahireng yang sudah terbelalak menantikan datangnya parang melengkung di ujung tombak lawan untuk membabat lehernya makin terbelalak.
Dilihatnya sebutir batu kerikil. Melesat cepat. Namun cukup jelas. Membentur
badan parang melengkung itu.
Dan membuatnya bergetar. Dan hampir terlepas.
Ahireng cepat berguling. Melompat, menyambar pedangnya yang terjatuh tadi.
"Siapa?" tanya penyerang Ahireng. Dengan suara gemetar. Kini Ahireng bisa melihatnya. Seorang wanita berpakaian keprajuritan. Dengan penutup punggung terbuat
dari kulit berwarna gelap.
Sunyi. Di situ seakan hanya mereka berdua.
"Tujuh bunga terpendam di Badander," terdengar
suara lembut itu tiba-tiba. Tak tahu dari arah mana.
Tapi mendengar itu, lawan Ahireng langsung mengorak sikapnya. Tombak dengan ujung melengkungnya
berputar dan berhenti dalam sikap menghormat di balik tubuhnya.
"Hamba tidak tahu," katanya terdengar sangat takut.
Tak terdengar apa pun lagi. Beberapa saat.
Kemudian prajurit wanita itu memberi isyarat dengan gerakan tangan kirinya. Mempersilakan Ahireng
berlalu. Ahireng pun tak menyia-nyiakan waktu. Ia mengangkat pedangnya memberi hormat. Dan melompat ke
dalam gelap. Si prajurit wanita masih agak lama berdiri mematung
di situ. Bagaikan bayang-bayang. Tali pengikat gelungnya berkibar ditiup angin. Kulit kambing penutup bahunya tidak menutupi bentuk dadanya yang indah dan
terpeta di bayang-bayang.
Dan tiba-tiba saja tubuh itu seakan meledak. Mendadak saja ia melompat, menekuk kaki, membabat, berputar, membentak, dan menerjang. Gerakannya begitu
cepat, namun terpatah-patah, dan setiap ayunan senjatanya menyiarkan hawa maut.
Makin lama makin cepat.
Kakinya menghentak, membentuk kuda-kuda kuat.
Ia agaknya sedang berlatih. Dan seakan melampiaskan suatu kegeraman yang terpendam. Makin lama
makin geram. Makin lama makin terpendam. Makin ingin dilepas dilampiaskan.
Sampai akhirnya. Ia meloncat tinggi. Tubuhnya berputar di udara. Dan tombaknya membabat berputar bagaikan kitiran. Kemudian menghajar sebuah batu besar di tepi sungai itu.
Benturan keras terdengar. Dan ujung batu itu terpapas putus bagaikan sepotong tahu. Dan sesosok bayangan terguling menjauh menjerit parau.
"Siapa kau?" bentak si prajurit wanita.
"Aduh, ampuuun, ampuuun, aku tak sengaja melihat Tuan berlatih... sungguh... aku cuma... aku cuma bersembunyi... aku dikejar
orang... sungguh!" Orang itu terbongkok-bongkok memegang perutnya. Entah
bagaimana tahu-tahu parang melengkung di ujung tombak prajurit wanita itu telah melingkari lehernya.
"Namamu?" tanya si prajurit wanita.
"HHhamba... Sss... Sampana... ssaudagar saja...."
Orang itu makin gemetar. "Tolong... hamba dike... dikejar orang...."
"Sejak kapan kau ada di situ?" si prajurit wanita bertanya.
"Bbba... baru... Lli... lihat orang yyang mengejar
hhamba dattang.......... aduuuh... tolong."
Sesaat Sampana merasakan parang bengkok itu menekan ke lehernya. Serasa leher itu sudah tembus. Tetapi tidak. Tombak itu
berputar lagi. Mengambil sikap menunggu di punggung si prajurit wanita.
Memang. Di tebing di kejauhan, sebuah obor tampak
bagai berloncatan dibawa pemegangnya menuruni tebing. Dan suara beberapa orang berteriak. Dan suara beberapa kaki berlari.
"Kau jangan lari!" Si prajurit mengayunkan tombaknya. Ujung tombak menyambar ke arah kaki Sampana,
tepat saat Sampana ketakutan menggulingkan tubuh ke
samping. Bagai tak sengaja, gerakan itu menyelamatkan kakinya. Dan Sampana
berguling lebih cepat dari ayunan tombak berikutnya.
Sebelum si prajurit wanita sempat mengejar, orangorang itu telah tiba.
Mereka berempat. Lelaki-lelaki kasar. Dipimpin oleh
seorang berbadan tegap yang membawa gada besi.
"Heh, kau. Minggir!" bentak orang itu, melihat tombak panjang yang dipegang melintang di depan dada si prajurit wanita.
"Kalian terpaksa kubunuh," si prajurit wanita berka

Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ta tenang dan menggeser kaki kanannya mundur, memasang kuda-kuda.
"Kau" Membunuh kami" Huahahaha... ekh!" Orang
itu tak sempat menyelesaikan tawanya. Tombak si prajurit wanita telah menyambarnya. Ia memaki, mencoba
menangkis dengan gada besinya. Tetapi ujung tombak
itu telah menyambar ke kiri dan kanannya. Si pemegang obor roboh. Sesaat gelap-pekat karena obor yang dipegangnya tiba-tiba
padam. Dalam kegelapan terdengar jeritan maut hampir serempak. Kemudian sunyi.
Ketika kegelapan karena silau obor mereda dan remang-remang kembali, tampak si prajurit wanita berdiri tegar menggosok parang di
ujung tombaknya pada pasir di tepi bengawan. Sampana agaknya tak mengira si
prajurit wanita akan begitu cepat menyudahi pertempurannya. Ia tadi tak segera
lari karena mengira si prajurit wanita akan memerlukan bantuannya. Dan kini ia
ter-perangah. "Hei, kuberi kau kesempatan untuk lari...," Si prajurit wanita kini
mendekatinya. "Oh... tak kukira... kau begitu... hebat.... Hei, kudengar di keraton ada
seorang prajurit wanita kesayangan sang Raja. Namanya... Ddd... Darmi?" Agak
ketakutan Sampana bergeser ke balik sebuah batu besar setinggi pinggangnya di tepi
bengawan. "Madri. Itu aku." Si prajurit wanita memutar tombaknya sekali. "Kau kenal aku. Kau pun harus mati!"
"Aku kenal kau... maka aku harus mati" Belum pernah aku mendengar peraturan macam itu. Di mana pun
juga! Selama aku menjadi saudagar keliling ini... belum pernah! Dan aku sudah
banyak berkeliling, lhoh! Pernah ke Bantayan, Wandan... bahkan ke Udamakatraya... kau tahu tidak bahwa..."
"Diam!" bentak Madri. "Kau harus mati!" Dalam remang kegelapan, tombaknya berayun. Mendengung.
Sampana berteriak kaget. Cepat menjatuhkan diri. Parang melengkung di ujung tombak Madri, menyisir tipis batu yang dipakainya
berlindung. Saat itu pun Madri telah meloncat tinggi. Dan dari atas tombaknya
menyam- bar lagi. "Mati aku!" teriak Sampana. Ia menggulingkan diri
lagi ke arah bengawan. Badannya sudah masuk ke dalam air. Madri mengejar.
Dan terjadilah suatu keanehan. Setidaknya bagi Madri. Tempat kakinya akan berpijak sudah sangat diperhitungkannya. Tetapi begitu kaki itu akan menapak, gerakan kaki Sampana membuat sebutir batu terlontar ke tempat itu. Dan untuk
pertama kali dalam hidupnya,
Madri terpeleset!
Tidak itu saja. Sampana yang terbaring di air pinggir bengawan, seakan membabibuta melemparkan segeng-gam pasir. Dan pasir basah itu tepat menghantam mata
Madri. Pedas. Menyengat.
Kemudian... terasa tombaknya dirampas. Begitu mudah. Dan pangkal tombak menghantam pangkal tengkuknya. Perlahan. Namun membuat ia pingsan.
3. SI BUYUT RUANG itu gelap remang. Sebuah celah sempit di dalam tanah.
Agak pengap oleh bau asap biji jarak yang dijadikan
pelita. Ahireng menunduk. Terengah-engah. Pedang hitamnya tergeletak di depannya. Ia menunduk. Dan terengah-engah. Bukan karena capek. Tapi ketakutan.
Wanita yang berada di depannya tak pernah dilihatnya mukanya. Sejak dulu. Sejak ia sudah lupa. Tahutahu ia adalah seorang anak kecil. Dan diberi berbagai pelajaran. Berbagai ilmu.
Dan ditanamkan pengertian
bahwa ia adalah seorang besar. Sangat besar.
Wanita itu selalu menutup dirinya begitu rapat. Dengan jubah yang membungkusnya dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Dan mukanya tertutup oleh
bayang-bayang kerudung. Hanya matanya yang tajam
bersinar menusuk. Juga suaranya.
Wanita itu sungguh berilmu. Yang diajarkannya bukan hanya ilmu kadigdayan. Tetapi juga ilmu pemerin-tahan. Ilmu tatacara
keraton. Dahulu Ahireng tak mengerti untuk apa ia belajar semua ini. Tetapi makin la-ma ia makin tahu.
Setidak-tidaknya punya dugaan.
Wanita itu membuat ia yakin, dialah pewaris Wilwatikta. "Ternyata melawan prajurit wanita itu saja kau tak
mampu," terdengar wanita itu berkata. Suram. Seram.
"Hamba memang belum siap. Dan bodoh," Ahireng
begitu sopan di sini. Suaranya pun jadi seakan terpelajar. "Mohon diberi hukuman
yang berat, ya, Buyut."
Ia selalu memanggil wanita itu "Buyut". Entah kenapa. Dan sejak dulu ia tak berani bertanya. Tak berani ingin tahu. Pertanyaan
tentang pelajaran diterima dengan senang hati. Pertanyaan tentang hal-hal
sepele, dihadiahi gebukan.
"Kesalahanmu pasti bukan itu saja," si Buyut berkata dingin. "Paduka begitu berpandangan tajam," Ahireng seolah
mengeluh. "Hamba tak berani menghaturkan apa yang
terjadi...."
"Tentang Ki Gong?"
"Buyut begitu waskita."
Sesaat si Buyut terdiam. Tubuhnya bergerak sedikit
seolah tubuh itu bergeser untuk bisa melihat Ahireng lebih jelas.
"Terakhir kaukatakan, Ki Gong mungkin mendapat
santapan seseorang yang luar biasa. Seorang ardanareswari?"
"Begitulah. Mungkin dugaan hamba bahwa orang itu
adalah ardanareswari benar... kerangkeng tempat mengulurkan korban runtuh dan...
Bima mengobrak-abrik rumah hamba...."
"Dan melawan tukang pukul pasar itu engkau lari?"
"Bukan dia... Buyut... seseorang mengenali gerak
Peksayomaya hamba," gemetar suara Ahireng.
"Hm..." Ternyata hanya itu tanggapan dari si Buyut.
Kemudian dia seolah menghela napas panjang.
"Siapa orang itu?"
"Hamba tak mengenalnya, Buyut. Hamba begitu terkejut. Hamba patut dihukum...." Ahireng makin dalam
menundukkan kepala.
"Kau sungguh mengecewakan. Bahkan melawan
adikmu sendiri kau tak mampu," si Buyut sekali lagi
seolah mengeluh.
"A... adik hamba?" Tak terasa Ahireng berani mengangkat muka. Tapi ia tak bisa melihat apa-apa. Wajah di bawah bayang-bayang
kerudung itu hanya gelap-pekat. "Ddd... dia?"
"Ya. Sudah waktunya kau mulai mengumpulkan
orang. Dan adikmu merupakan pilihan utama untuk
membantumu. Waktunya sudah tiba. Tapi kau belum
siap." "Adik hamba... tapi... dia orang... Galijao!"
"Kau jelas belum siap. Ada persoalan besar. Tapi kau terpukau oleh berita kecil
itu. Dan kau tak memperca-yaiku" Mungkin lebih baik kau kubunuh sendiri daripada kelak mengecewakan dan memalukan aku," begitu
dingin kata-kata itu.
Ahireng langsung bersujud menempelkan mukanya
di tanah. "Hamba memang patut mati, Buyut! Mungkin di penitisan mendatang baru bisa membuat Paduka gembira!" katanya.
"Hm..." Agaknya si Buyut kehabisan kata-kata untuk
memarahi Ahireng. Kembali ia terdiam.
"Apa yang terjadi dengan Ki Gong?" tanyanya kemudian. Beberapa saat hening.
"Ahireng, aku bertanya padamu!" si Buyut hampir
membentak. "Ampuuun, Buyut!" Kembali Ahireng menundukkan
kepala dalam-dalam.
"Ah. Kenapa justru kau yang kuperoleh...." Si Buyut
menghela napas panjang. "Dan aku telah bersumpah
untuk membawamu ke tahta Wilwatikta!"
Ahireng hanya bisa menunduk.
Dan tiba-tiba saja si Buyut 'meledak'. Tiba-tiba saja ia melabrak Ahireng.
Ahireng hampir tak berjaga-jaga.
Memang cukup gesit ia mengangkat tangan untuk menangkis. Tetapi tendangan si Buyut masuk merangsak.
Menghantam, menendang. Sekali Ahireng menjerit. Tetapi ia mengerti si Buyut sedang mengujinya. Maka di tempat sempit itu ia
mencoba bergerak gesit.
Jelas sesungguhnya sia-sia. Si Buyut gerakannya
jauh lebih gesit. Serangannya jauh lebih berat. Hanta-mannya membawa angin
berwibawa prahara. Dinding
pun bergetar. Namun Ahireng terus melawan.
Hanya sekitar enam belas jurus.
Dan ia roboh tak berdaya dengan jari si Buyut siap
mencabut nyawanya.
"Huh. Tak ada kemajuan!" Si Buyut geram menarik
tangannya. "Bahkan tenagamu pun tidak tambah."
Mendadak si Buyut bersila di hadapan Ahireng. Tangannya terulur menampar keras bahu Ahireng dan
menempel di sana. Ahireng bagaikan terkena tampar
keras melonjak bergerak. Duduk langsung mengambil
sikap bersemadi. Ia pun mengulur tangan dan menampar bahu si Buyut. Mereka berdua berhadapan. Berpegangan. Dan hening.
Tak berapa lama hawa pun terasa makin panas. Nyala dian bergerak-gerak gelisah. Keringat mengucur dari tubuh Ahireng. Wajahnya
tampak menahan rasa kesa-kitan yang amat sangat.
Tapi ia sekuat tenaga menahan rasa sakit itu. Teringat olehnya tentang suatu pagi. Mungkin ingatan pertama tentang dirinya.
Mungkin saat itu ia baru berumur empat tahun. Ia masih dituntun. Oleh si Buyut.
Si Buyut yang bahkan waktu itu pun telah memakai jubah
dan kerudung. Ia dituntun saat matahari akan terbit. Hawa sangat
dingin. Dan ia menangis. Sebagai akibatnya ia dipukul dengan lidi. Kemudian ia
ditelanjangi. Dituntun di jalan berpasir. Jalan penuh pasir. Dan memang hanya
ada pasir. Laut pasir. Sangat dingin. Dan pasirnya seakan merajam kakinya.
Ia berjalan sangat jauh. Sampai ke tepi sebuah kawah. Dengan api berkobar ganas di bawah. Mungkin
saat itu ia sudah beku mati kedinginan. Dan si Buyut melemparkannya ke dalam
kobaran api. Ia menjerit keras. Keras sekali.
Dan ia terengah-engah.
Si Buyut mencengkeram bahunya. Keras sekali. Tenaga panas mengalir dari cengkeraman itu. Memasuki
tubuhnya. Mengalir cepat di dalam tubuh. Bergolak.
Bergelora. Ia terengah-engah.
Kemudian sayup-sayup terdengar suara gurunya, si
Buyut. Lembut. Tidak membentak. Halus merasuk.
Si Buyut menyalurkan pemahaman ilmu Wajraprayaga. Entah berapa lama. Ahireng kemudian merasa dirinya begitu kosong, tetapi serasa penuh berisi. Begitu lemas, tetapi serasa
segar. Begitu tak berdaya, tetapi begitu perkasa.
Ia mengorak sila. Membuka mata.
Ia sendiri. Bilik di dalam tanah itu kosong.
"Terima kasih, Buyut," ia bersujud menyembah bekas tempat si Buyut.
Lama ia merenung. Seharusnya ia meneruskan semadinya. Tetapi begitu banyak pikiran membuat otaknya kalut. Betulkah wanita dari Galijao itu adiknya" Adiknya"
Apakah ia juga berdarah Galijao" Lalu bagaimana si Buyut merasa yakin dirinya
adalah pewaris tahta Wilwatikta" Kalau gadis Galijao itu adiknya... mengapa ia begitu perkasa" Siapa gurunya"
Apakah si Buyut juga" Lalu,
mengapa dirinya sendiri begitu... bebal"
Benarkah ia begitu bebal"
Ia mengangkat kepala. Dilihatnya bayangan dirinya
di dinding. Apakah mukanya buruk" Hitam" Dan gadis
itu begitu cantik" Memang. Madri berkulit gelap. Tapi cantik.
Cantik. Ah. Mengapa kemudian terpikir olehnya si
Buyut. Berapakah usia wanita itu" Ia tak tahu pasti. Ia seolah mengenalnya sejak
ia bayi. Tapi, kini, serasa si Buyut tak pernah mewakili suatu usia.
Dan... serasa cantik. Walaupun ia tak pernah bersikap manis padanya. Walaupun dia tak pernah melihat
muka si Buyut. Mungkin sudah tua. Tetapi si Buyut selalu meninggalkan suatu keharuman yang khas.
Tiba-tiba Ahireng mengangkat muka. Betulkah telinganya" Sayup-sayup terdengar bentakan. Ia kenal benar. Itu
suara si Buyut. Dan si Buyut seingatnya tak pernah
membentak orang lain. Bahkan mungkin juga tak pernah bertemu dengan orang selain dia.
Ahireng sekali lagi menyembah. Dan berlari ke luar.
4. MAKHLUK ANEH
TIBA-TIBA saja langit gelap.
Dua bayangan berdiri di tepi bengawan.
Seorang dengan tubuh tertutup jubah gelap seluruh
tubuhnya. Jubah itu berlambaian ditiup angin dingin.
Si Buyut. Dan seorang pria setengah umur yang dalam kegelapan tampak tak menunjukkan tanda-tanda berasal dari
kasta ksatria. Bahkan mirip seorang saudagar. Aria
Sampana. Dan di balik semak-semak, Ahireng menahan napas.
"Aku tak tahu daerah ini terlarang... maafkan aku,"
kata Aria Sampana merendah membungkuk-bungkuk.
Ahireng mengernyitkan mata di kegelapan. Betulkah itu orang yang tadi memergoki
gerakan Peksayomaya- nya"
"Aku tidak melarangmu. Aku hanya ingin tahu. Kau
datang dari arah sana. Dan kau mengaku tak bertemu
seorang pun. Kau dusta. Dan aku paling tidak suka
pendusta," kata si Buyut.
Siapa, pikir Ahireng. Ah. Pasti Madri. Ya. Orang itu seharusnya melewati Madri.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku memang tidak melihat siapa pun!" bantah
Sampana. "Dan kaubilang kau turun ke bengawan ini tanpa keinginan apa pun?" tanya si Buyut.
"Tepat. Aku hanya mencoba mencari jalan ke kota.
Kupikir aku bisa menyeberang di tikungan itu, kemudian naik ke desa Gelagah. Dan sampailah aku di Jurang Telu. Betulkah?" Sampana begitu ramah.
"Hh."
Jawaban yang bukan jawaban. Dan dalam remangremang malam Ahireng melihat bagian jubah sebelah
kiri bawah seakan bergoyang terkena angin. Namun ia
tahu. Itu bukan angin. Si Buyut akan melancarkan serangan. Celakanya, orang yang di hadapannya itu tidak tahu!
Atau, setidak-tidaknya begitulah menurut pandangan
Ahireng. Sampana dengan santai terus berkata, "Terus terang... anu... ada
sedikit persoalan... terus terang...
hhh... aku tak berani lewat jalan biasa karena... yah...
ada suatu persoalan kecil...."
Saat itu si Buyut telah melebarkan kaki. Tangannya
perlahan terangkat. Tangan kiri perlahan mengacung ke depan. Tangan kanan
terangkat seakan untuk menampar. Dan Sampana yang sedang asyik berceloteh pun
melihat gerakan ini dan tertegun.
"He... kenapa Tuan?" tanya Sampana.
Halilintar Wajraprayaga!
Wajraprayaga adalah ilmu gaib. Wajraprayaga adalah ilmu yang diciptakan oleh
Wajraprayaga sendiri. Wajraprayaga konon meninggalkan negeri bangsa berkulit
hitam di Atas Angin guna menyempurnakan ilmunya dengan cara harus membunuh gurunya sendiri. Konon
pula, Wajraprayaga berhasil. Gurunya adalah Sang
Agastya, gembala ular sakti dari Kapila - yang di antaranya menurunkan Ki Gong.
Menurut kisah, Sang Agastya datang ke Tanah Jawa dalam rangka mengejar salah satu keturunan ular sakti
Kapila tersebut. Kemudian
dalam perjalanan Sang Agastya pernah menjadi guru
besar di Wilwatikta. Sampai akhirnya Wajraprayaga me-nyusulnya. Dan membunuhnya.
Dan berhasil menggantikan kedudukannya sebagai guru besar.
Di istana Wilwatikta itulah Sang Wajraprayaga mengembangkan ilmunya, yang konon hanya diturunkan
pada Pangeran Pati, sang putra mahkota, saja. Sang
Wajraprayaga pun menuliskan ilmu-ilmunya itu.
Kemudian Sang Wajraprayaga lenyap. Namun bukunya masih. Ilmunya masih. Hanya, dari tahun ke tahun ilmu itu makin pecah
berhamburan. Ada ilmu kadigdayaan. Ada ilmu peperangan. Ada ilmu ulah kewiraan.
Ahireng berpendapat, si Buyut menguasai semuanya.
Dalam ilmu silatnya, ada Wajraprayaga Halilintar.
Ada Wajraprayaga Halimun. Ada Wajraprayaga Gunung.
Ada Wajraprayaga Air Bah.
Konon, ilmu yang berpencaran itu makin menjauhi
aslinya. Kebanyakan kalangan istana menguasai yang
semu-semu saja. Dengan menggunakan istilah yang
makin lama makin jauh dari sumbernya.
Dan si Buyut, menurut pandangan Ahireng, menguasai aslinya. Dengan pekikan melengking si Buyut melontarkan
hantaman tenaga gaibnya.
"Hei, jangan!" teriak Sampana, dan secara aneh menekuk tubuhnya ke belakang. Betul-betul tubuhnya bagai patah di pinggang! Dan sinar biru yang seakan
muncul dari tangan si Buyut melesat begitu saja melewati tempat yang semestinya
adalah tempat dada Sampana. "Huhh!" bentak si Buyut, memutar tubuh, mengangkat kaki dan siap melontarkan pukulan gaib keduanya.
Wajraprayaga Gunung!
"Ampun!" Sampana berguling di pasir dan melejit le Pendekar Lembah Naga 26 Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Seruling Perak Sepasang Walet 9

Cari Blog Ini