Ceritasilat Novel Online

Dewi Penyebar Maut V I I 2

Candika Dewi Penyebar Maut V I I Bagian 2


pas saat hantaman jarak jauh si Buyut memberi perbawa dentuman dan bumi pun serasa terguncang.
"Huhhh!" bentak si Buyut lagi, kembali memutar tubuhnya. "Hei, jangan pukul aku lagi!" Sambil berbaring di pasir Sampana melemparkan
beberapa butir batu kecil.
Seakan serabutan. Tapi bahkan di mata Ahireng pun
tampak bahwa si Buyut terkejut.
"Huhhhh!" bentak si Buyut, agak tergesa. Tangannya
berputar cepat di depan dada. Wajraprayaga Bintang!
Batu-batu itu melaju bagai peluru. Semua terhantam
hancur. Namun si Buyut tampak makin terkejut. Dua
butir batu hampir saja lolos menghantam dadanya. Dua kedudukan bintang terpaksa
dilepaskannya untuk menyambar kedua batu tersebut. Akibatnya ia terhuyung
mundur satu langkah. Dan tangannya terasa pedas panas. "Hei, siapa kau!" bentak si Buyut, dan diam-diam
tangannya menyentil. Sebelum suaranya selesai, kedua butir batu itu telah
melesat cepat mendahului. Sampana mungkin telah memperkirakan hal itu.
Gerakannya menunjukkan ia tepat menghindar. Namun ia tak memperkirakan kecepatan si batu. Tahu-tahu ia merasa ha-wa panas mengancam dua
titik di dadanya. Titik maut!
Tak terasa ia menggenjot tenaga, dan tanpa terasa mulutnya berteriak
"PRATAPAAAAA!"
Tak urung tubuh itu bagaikan terlanggar hantaman
dahsyat. Terdorong hebat. Terbang melesat. Dan amblas di tengah bengawan yang
mengalir deras. Lenyap.
Si Buyut bagai terbang melompat ke tepi bengawan.
Tetapi Sampana sudah tak terlihat. Hanya golakan air hitam-pekat di tengah sana.
"Huh!" terdengar si Buyut mengeluh. Ujung jubahnya
basah oleh percikan air. "Kemari kau, Ahireng!" katanya kemudian berat.
Di persembunyiannya Ahireng terperanjat. Ia tak
menduga gurunya mengetahui dirinya.
"Buyut?" Ragu-ragu ia keluar.
"Kau tahu siapa itu tadi?" tanya si Buyut tanpa menoleh. "Ttt... tidak, Buyut.... tapi... tapi agaknya dialah yang mengenali Peksayomayaku." Ahireng membungkuk-bungkuk mendekat.
"Hmmm... aneh. Ia memiliki Lembu Sakilan. Dan ajian itu hanya dimiliki oleh
orang-orang sangat pilihan saja. Namun sejak lenyapnya Sang Mahapatih Gajah
Mada... ajian itu tak pernah kudengar. Anehnya lagi, aku tak kenal mukanya.
Pemilik Lembu Sakilan, siapa pun dia, pastilah kukenal. Ini aneh. Atau...
mungkinkah orang itu memiliki seni tatarias yang tinggi?" Si Buyut seolah
berbicara sendiri. "Lebih aneh lagi... Madri tidak muncul. Ah, gila!"
"Apa, Buyut?"
"Orang itu datang dari sana. Seharusnya ia bertemu
dengan Madri. Ia tak mengaku. Dan Madri tidak muncul. Jadi... mungkin Madri..." Baru kali ini Ahireng melihat si Buyut ragu-ragu.
Ia menelengkan kepala seolah ingin mendengarkan lebih jelas. Kemudian ia menangkupkan dua buah jari di mulutnya - walau tak tampak
apakah itu betul mulut atau tidak. Kemudian ia bersuit.
Keras sekali. Dada Ahireng seakan hampir pecah.
Sunyi kemudian.
Si Buyut menggelengkan kepala. Tak ada sahutan.
"Apakah... kita... cari?" tanya Ahireng ragu-ragu.
"Kurasa tak ada gunanya," kata si Buyut akhirnya.
"Jika ia ada di daerah sini, ia pasti mendengar. Dan datang. Jika ia cedera,
atau tertawan, dan disembunyikan... membuang-buang waktu untuk mencarinya. Ayo.
Kita mengunjungi Ki Gong."
"Tapi Ki Gong..."
"Ki Gong adalah gurumu juga. Ingat" Kita harus
memanfaatkannya selagi ia baru kenyang bersantap.
Hayo!" Si Buyut langsung lenyap. Berangkat.
Sesaat Ahireng tertegun.
Memang gua tempat tinggal si Buyut sesungguhnya
berhubungan dengan Sumur Hitam. Kedua tempat itu
dihubungkan dengan suatu lorong bawah tanah. Namun lorong itu begitu banyak bercabang untuk mengacaukan orang yang secara tak berhak memasuki lorong tersebut. Itulah sebabnya Ahireng tidak pernah berani turun di Sumur Hitam
untuk muncul di tempat si
Buyut. Ia pasti tersesat!
Pada saat-saat tertentu, si Buyut membawa Ahireng
ke dalam lorong itu. Ke salah satu lorong. Dan tahutahu sudah berhadapan dengan Ki Gong. Ini merupakan salah satu saat yang sangat menakutkan bagi Ahireng. Di salah satu lorong itu, si Buyut akan menyihir Ki
Gong untuk diam. Tidur. Kemudian ia akan mengambil
sebagian darahnya. Dan dimandikan pada Ahireng.
Karena itulah Ahireng makin lama makin hitam. Dengan maksud agar makin lama kesaktian Ahireng makin tebal. Walaupun mungkin hasilnya tidak seperti itu.
Mungkin ramuan yang dilemparkan Ahireng pada saatsaat tertentu pada Ki Gong kurang berkhasiat. Mungkin otak Ahireng memang bebal.
Dan itulah yang saat ini akan terjadi.
Tak ada gunanya Ahireng membantah. Si Buyut telah tak di depannya. Bergerak bagaikan bayang-bayang melayang di antara bebatuan
dan semak-semak. Dan
menghilang di dinding tebing.
Ahireng cepat mengejar.
Ia harus bergerak cepat. Si Buyut tak pernah menunggunya. Masuk ke celah tersembunyi tempat pertemuan mereka. Kemudian si Buyut dengan kekuatan
raksasa mendorong sebuah batu besar di dinding gua.
Dan Ahireng harus cepat-cepat melompat masuk celah
sebelum batu itu serta-merta menutup kembali dan
takkan mampu dibukanya sendiri.
Si Buyut berjalan cepat di lorong gelap. Membawa
obor, memang, tetapi sangat kecil. Tubuhnya yang berjubah gelap bagaikan makhluk
halus meluncur. Cepat,
memilih lorong-lorong yang tepat. Sekejap pun tak pernah tampak ragu.
Ahireng harus berusaha terus berada di dekatnya.
Kalau tidak, sudah pasti ia akan tersesat. Begitu banyak cabang, begitu banyak
lorong yang hanya cukup
untuk lewat tubuhnya. Semuanya mirip.
Biasanya, Ahireng mencoba untuk mengingat-ingat
lorong-lorong itu, walaupun selalu tak berhasil. Tetapi kini pikirannya begitu
kacau. Tentang adiknya. Atau... adiknyakah itu" Di mana
dia kini" Dan tentang... ah. Sosok tubuh berjubah yang bergerak cepat di depannya itu terlihat begitu menarik. Mengapa ia berpikir seperti
ini" Apakah karena sejak ia
'bertugas' di tempat Emban Layarmega ia hanya melihat orang bermesraan, hingga
kini ia pun ingin menikma-tinya. Tetapi... mengapa justru pada si Buyut ini ia
tertarik" Padahal ia tahu si Buyut pastilah setua ibunya, kalaupun ia punya ibu.
Ah. Entah sudah berapa tikungan. Berapa cabang dilewatinya. Tahu-tahu ia berada di tempat itu.
Pastilah ini suatu tempat jauh di bawah rumah Emban Layarmega. Mungkin di perut bukit yang ada di halaman belakang rumah itu. Di
sini lorong meluas menjadi gua. Basah. Lembab. Berbau busuk. Berdinding ba-tu cadas hitam.
Gua itu dasarnya hampir berbentuk lingkaran. Di
tengah-tengah terdapat sebuah batu berbentuk meja.
Permukaannya cukup luas untuk tidur seorang dewasa.
Dan seekor ular besar.
Si Buyut meletakkan obornya ke dinding. Ahireng
tahu apa yang harus dilakukannya.
Ia pergi ke meja itu. Satu per satu seluruh pakaiannya dicopotnya. Entah kenapa pula tiba-tiba kini ia merasa malu. Diliriknya si
Buyut. Wanita itu sedang
memusatkan pikiran untuk mengerahkan tenaga. Di
dinding gua ada sebuah batu besar nyaris bulat. Batu ini harus digeser. Dengan
kekuatan sangat besar. Dan dari dalam sana akan tersebar bau sangat busuk.
Kemudian Ki Gong sendiri muncul.
Terkadang di saat-saat seperti itu, Ahireng sangat ingin lari saja. Kadangkadang terpikir olehnya, baiklah, ini untuk terakhir kalinya saja. Dan ia akan
melarikan diri.
Tetapi ia takut. Atau, ada rasa takut yang lebih besar lagi dari itu semua. Ia
tahu, ke mana pun ia lari, si Buyut akan menemukannya. Dan entah hukuman apa
yang akan diterimanya. Kedua rasa takut itu terus
menguasai dirinya. Ya. Mungkin karena itulah kesaktian yang diturunkan si Buyut tak pernah bisa merasuk sempurna ke dalam dirinya.
Ia tertegun. Sepotong kain terakhir masih menutupi
pinggangnya. Kenapa kini ia begitu malu" Dilihatnya si Buyut toh tak
memperhatikannya. Nanti, memang. Nanti si Buyut akan mengoleskan darah Ki Gong
ke seluruh tubuhnya. Seluruh tubuhnya!
Apa perasaan si Buyut waktu itu" Tentu ia tak tahu,
apa yang tergambar di wajah yang selalu tertutup kerudung itu. Dan usapannya pun tak menggambarkan
perasaan apa pun.
Ahireng lebih lama tertegunnya. Si Buyut telah mendorong batu penutup. Ah. Inilah saat paling mengerikan bagi Ahireng. Di dinding
kini terlihat sebuah lubang.
Dan bau busuk mulai tersiar. Ini memaksa Ahireng untuk menggunakan latihan pernapasannya. Mungkin hal
ini memang telah diatur oleh si Buyut.
Ada yang tidak beres.
Lubang hitam itu tetap hitam. Tidak muncul cahaya
hijau yang mewakili mata Ki Gong. Tidak ada desis suaranya.
Mungkinkah Ki Gong sedang tidur"
Ki Gong belum juga muncul. Si Buyut pun mulai terlihat tergoda kesabarannya.
Tiba-tiba si Buyut melompat dan menyambar pedang
hitam milik Ahireng. Kemudian ia melompat lagi ke depan lubang, serta memainkan
pedang tersebut dengan
sangat cepat. Di tangan si Buyut pedang tersebut mengeluarkan bunyi bersiul berlagu, melengking bagai seruling. Sesuatu yang memang
biasa dilakukannya jika
Ki Gong kadang-kadang malas keluar.
Ki Gong masih juga belum mau keluar.
Ini sangat aneh. Ahireng memakai kembali kainnya
dan melangkah mendekat.
"Ki Gong, keluar kau!" bentak si Buyut kini. Suaranya tidak keras. Tetapi memberi perbawa menghantam dada. Kalau di atas sumur sana ada orang, pikir
Ahireng, pastilah merasakan perbawa itu walaupun
mungkin tidak mendengar suaranya. Ah, ya. Bagaimana
kalau seseorang telah menuruni sumur dan mencoba
menolong Turi" Apakah kiranya ada yang berani" Rasanya tidak. Kalaupun ada, pasti sudah punah oleh Ki Gong. Kalaupun ada yang
lolos... Ah. Rasanya tak
mungkin. "Ki Gong. Aku datang!" kata si Buyut akhirnya. Dan
ia akan melangkah masuk ke dalam lubang di dinding
itu. Tetapi ia menjerit. Si Buyut benar-benar menjerit kaget! Ini saja sudah
suatu keajaiban yang sangat langka terjadi. Tapi, kalau ada sesuatu yang bisa
membuat si Buyut kaget, pastilah itu bisa membuat Ahireng jatuh pingsan!
Dan memang Ahireng hampir pingsan.
Dari dalam lubang itu mula-mula muncul sesuatu
makhluk. Dalam remang-remang cahaya obor yang kecil
tak terlihat itu makhluk apa: seakan bulatan gelap dengan bulu panjang mencuat
tak keruan. Saat dada Ahireng agak tenang, baru ia sadar bulatan itu adalah kepala yang sungguh
menyeramkan: muka warna merah
gelap, mata memancar cemerlang, dan rambut hitam.
Dan tubuh yang mengikuti kepala itu tak kurang seramnya. Semula Ahireng menyangka, mungkin kepala
Ki Gong sudah menjadi kepala manusia seperti di dongeng. Tubuh itu telanjang. Mengkilap oleh sinar lemah obor. Semu merah. Semu
hitam. Benar-benar telanjang.
Bagaikan ular. Tapi kemudian makhluk itu berdiri. Bersandar ke
dinding gua di samping lubang itu. Dan, tampak ia pun sangat ketakutan. Dadanya
yang busung terengah-engah. Dan sekali lagi tampak, seluruh tubuhnya berwarna kemerahan.
"Siapa kau?" bentak si Buyut.
Makhluk itu diam.
"Siapa kau!" bentak si Buyut, melangkah mundur
menyiapkan pedang. Siapa pun makhluk itu, agaknya
ia telah lolos dari Ki Gong. Dan itu berarti seseorang yang luar biasa.
Makhluk itu masih diam. Matanya membelalak. Takut. Gelisah. Tapi bersinar sangat tajam.
Tiba-tiba si makhluk melihat Ahireng. Dan jelas tampak rasa terkejutnya kini bercampur malu. Tangannya
ditakupkan ke dada dan ia memalingkan tubuh ke dinding. "Kau tidak menjawab. Berarti kau tidak ada di dunia
ini!" si Buyut berkata gemas. Dengan geram ia melemparkan pedang hitam Ahireng.
Kembali terjadi keajaiban. Kecepatan dan ketepatan
melempar si Buyut jelas tak bisa ditandingi siapa pun, kecuali Dewa Indra turun
ke bumi. Namun makhluk itu
menjerit dan melangkah sedikit, memiringkan tubuh sedikit, serta membungkuk.
Pedang itu pun tertancap ke dinding. Bergetar panjang mendengung.
"Hei. Kau kenal Sura-caya?" si Buyut berseru heran.
Ahireng ternganga. Ia pernah mendengar ilmu itu.
Betulkah makhluk itu tadi bergerak"
Si makhluk hanya membelalakkan mata.
"Kau mata-mata, ya?" Si Buyut mengubah letak kaki.
"Buyut... jangan...," hampir tak mampu Ahireng berbisik. Si Buyut tak memperhatikannya. Tiba-tiba saja tubuh berjubah itu berputar, dan dua buah lengannya
menghantam ke depan.
Bayu Wajraprayaga! Hantaman tenaga angin puyuh!
Tak terasa Ahireng memejamkan mata. Pastilah makhluk itu hancur berantakan dan darahnya memuncrat
membasahi dinding gua.
"Huh!" terdengar si Buyut mendesis.
Ahireng membuka mata. Si makhluk tidak di tempatnya. Ia berada di seberang ruangan... di atas dinding!
"Huh!" kembali si Buyut menghantam.
Angin pukulan membuat dinding gua bergetar. Tapi


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk itu telah meloncat ke sudut. Merapat ke dinding, ketakutan.
Ketakutan! Ahireng terpukau. Sebagai orang yang
mampu beberapa kali menghindar dari hantaman dahsyat si Buyut, maka sepantasnya makhluk itu paling tidak punya semangat - kalau
bukan untuk melawan ya
untuk melarikan diri. Gerakannya, walaupun sangat
cepat namun sama sekali tidak menggambarkan tatagerak silat yang dasar sekalipun. Semua lebih mirip gerak serta-merta saja.
Tanpa dipikirkan. Namun, dengan tenaga yang dahsyat!
Agaknya si Buyut pun menyadari hal ini. Ia menghentikan gerakannya untuk memberi hantaman memusnahkan. Beberapa lama wanita berkerudung itu
menatap si makhluk. Kemudian ia berkata rendah,
"Siapa kau?"
Makhluk itu tak menjawab. Wajahnya yang tak keruan semakin tampak ketakutan. Kedua tangannya
bingung menutupi dirinya.
"Siapa kau?" ulang si Buyut.
"Tunggu, Buyut!" Tiba-tiba Ahireng teringat sesuatu.
Walaupun mukanya begitu seram, makhluk di depannya mirip Turi!
"Tt... Turi... kitakah itu?" tanya Ahireng ragu-ragu.
Dan jelas terlihat, makhluk itu pun tertegun.
"Tu... ri...?" ia seakan berbisik.
"Ya... kita adalah Turi, kan?" Ahireng begitu sesak bernapas.
"Turi..." Si makhluk masih ragu, makin merapat malu. "Kita kenal dia?" bisik si Buyut kini.
"Yah... dia... anak buah Emban Layarmega... yang...
yang dihukum untuk dimasukkan ke dalam Sumur Hitam...," bisik Ahireng.
"Yang... kata nyu adalah ardanareswari?"
"Yah... tapi... dia begitu berubah."
"Dia... begitu dahsyat... tapi begitu... ah, mungkinkah..." Si Buyut
menggelengkan kepala, memperhatikan si makhluk terus. Kemudian perlahan
diangsurkannya pedang hitam ke tangan Ahireng. "Jaga dia. Panggil aku jika ia menyerangmu.
Habisi dia kalau ia menyerangmu."
Dan dengan waspada si Buyut merambat ke lubang
di dinding gua. Sekilas ia memandang si makhluk, kemudian ia lenyap di dalam sana.
Ahireng ketakutan terus mengawasi si makhluk.
"Kau... Turi...," Ahireng agak tegas berkata.
"Turi...," si makhluk seakan mengulang.
"Ya..." Sesaat Ahireng bingung. Kemudian ia menyambar selembar kainnya, dan dilemparkannya pada
makhluk itu. Dan ternyata si makhluk tampak begitu
lega. Menerima kain tadi. Dan membelitkannya di tubuhnya. Kemudian ia berkata pelan, "Turi..."
"Ya... Turi... apa... apa..." Sesaat Ahireng bingung. Ia biasa memakai bahasa
tertinggi jika berbicara dengan Turi. Apakah ia harus melakukannya" Lebih baik
tidak. "Apa yang terjadi?"
"Apa yang terjadi...?" keluh si makhluk. Memang ia
yang biasa dikenal sebagai Turi. Dan sesungguhnya
bernama Tari. "Engkau dimasukkan ke Sumur Hitam...," kata Ahireng, ragu-ragu.
"Ia telah membunuh Ki Gong!" desis si Buyut yang
baru muncul dari lubang di dinding. Suaranya begitu
dingin. "Dan ia telah membenamkan diri dalam darah
ular sakti itu!"
"Hah" Ki Gong!" Tari terlihat sangat ketakutan mendengar nama itu.
"Ya, kau membunuh Ki Gong," kata si Buyut dengan
suara dalam bergema. " Kau... membunuh... Ki... Gong!"
Suara itu seolah mendengung di telinga Ahireng. Dadanya bagaikan dihantam palu
godam. Agaknya si Buyut
sedang menjalankan ilmu merebut sukma-nya.
"Aku... membunuh... Ki... Gong.... Oh. Siapa Ki
Gong?" Tari kebingungan.
"Ya. Dan kau harus dihajar untuk itu! Tunduk!" bentak si Buyut. "Aku... harus... di... hukum...." Tari begitu lemah. Ia berusaha melawan. Tapi
kekuatan si Buyut begitu besar. Ia menunduk. Ia tunduk. Membungkuk.
Si Buyut seakan meledak amarahnya. Tiba-tiba saja
ia melompat. Dan menendangi tubuh Tari sejadi-jadinya. "Kau harus dihukum! Kau harus dihukum!" bentak
si Buyut berkali-kali, menendang punggung Tari berka-li-kali. Tari terlempar.
Tari terbanting. Tari terkapar membentur dinding. Dan si Buyut terus menghantamnya. "Buyut! Jangan!" teriak Ahireng.
"Mati kau! Mati kau! Mati kau!" Si Buyut tak peduli
dan terus menghajar Tari.
"Buyut, jangan!" Ahireng menjerit tak tahan, gugup
ia pun menubruk si Buyut dan mencengkeram tangan
gurunya itu. "Jangan, Buyut... Jangan!"
"Manusia tak berguna. Minggir!" Si Buyut memutar
tubuh dan menampar muka Ahireng. Ahireng terpental
terbanting ke dinding. Dan diam. Terpesona. Tak bergerak bagai pingsan.
Bukan karena pukulan itu. Tapi baru kali inilah ia
berani menyentuh si Buyut dan mampu memegang tangannya. Dalam keadaan setegang itu pun Ahireng merasakan... tangan di balik jubah panjang itu lembut.
Wangi. Dan sekilas tadi terlihat pancaran mata indah di muka berkerudung yang
sesaat begitu dekat dengannya. "Kau tak tahu... Ah... tak guna mengatakannya padamu. Kau begitu tolol!" Si Buyut terdengar sangat me-nyesal sekali, berpaling
menghadap dinding, menunduk. Di sudut sana Tari terkapar dengan mata membelalak ketakutan.
"Ada sesuatu yang aneh pada gadis ini," kata si
Buyut, kini dengan nada datar lagi. "Dia beberapa kali menerima pukulanku. Tapi
kaulihat. Dia tidak cedera.
Masih utuh. Kau tahu artinya itu?"
Ahireng masih terpesona memandang si Buyut.
"He. Kau dengar kata-kataku?" geram si Buyut murka. "Oh, ampuun, Buyut... Hamba... ugh... kerongkong-an hamba rasanya...
tercekik...," gugup Ahireng mencari alasan.
"Hanya tamparan biasa, dan kau tak sanggup menerimanya...." Si Buyut akan berpaling. Tapi mungkin terpandang olehnya sinar mata
Ahireng yang begitu memelas. Terpikir olehnya, mungkin karena ia begitu bernaf-su menghajar makhluk aneh
itu maka kekuatan yang
dihantamkannya pada Ahireng terlalu berat.
"Coba kulihat," akhirnya ia berkata, menghampiri
Ahireng, membungkuk. "Pejamkan matamu!" Tangannya terulur meraba leher Ahireng. Ahireng tak berani tidak, memejamkan mata.
Namun hidungnya kembali
menghirup keharuman yang begitu menawan. Bukan
harum wangi bunga atau minyak yang biasa dipakai
oleh anak buah Emban Layarmega. Mungkin ini bau
rempah-rempah atau zat-zat penawar racun. Namun tetap saja di hidung Ahireng terasa harum. Dan sentuhan tangan yang biasa
dikembangkan untuk ulah pukulan
dan ulah senjata itu terasa lembut. Kemudian terasa
hawa hangat penyembuhan tersalur ke kerongkongannya. "Engkau hanya manja!" tiba-tiba bentakan keras
membuyarkan impian Ahireng. Dan kembali tamparan
keras menyengat pipinya. "Ayo kembali ke atas!"
Si Buyut kembali ke tempat Tari, mencengkeram
rambut gadis yang tak berbusana itu dan menyeretnya
di lantai gua yang penuh batu tajam tersebut. Si Buyut bergerak cepat sekali di
antara berbagai lorong, diikuti terengah-engah oleh Ahireng.
5. JNANA PICACA
DI KAPATIHAN Kuripan.
Mereka telah berkumpul sejak malam tiba. Dan kini
sudah lewat tengah malam.
Agak lumayan juga Nyai Patih pandai membuat para
tamu itu betah. Dengan makanan dan minuman kegemaran Rakryan Mapatih sendiri. Bahkan seperangkat
mainan dadu. Serta seorang penari yang agak nakal jika Nyai Patih masuk ke Rumah
Dalam. Namun akhirnya mereka tak sabaran juga.
Mereka adalah Rakryan Tumenggung: Mpu Gagarang; Rakryan Kanuruhan: Mpu Gatra; dan Juru Wira
Prakara yang mewakili ayahnya, Rakryan Demung.
Rakryan Mapatih mengundang mereka untuk merundingkan sesuatu malam itu. Sesuatu yang sangat
penting, katanya.
"Wuahhh... lha kalau kita harus menunggu terus di
sini... apa lebih baik kita tidur saja di Rumah Dalam, Kakang Kanuruhan?"
akhirnya Mpu Gagarang berkata
agak kurang ajar, setelah menguap beberapa kali. "Besok aku akan pergi berburu,
he... Kakang Kanuruhan
mau ikut apa?"
"Heheh lha mau berburu apa lho, Yayi Tumenggung... macan ompong seperti aku ini apa tidak malah nakut-nakuti binatang
buruan.... Dari jauh mereka kan sudah dengar gemertak tulang tuaku ini, he he
he.... Nduk... minumnya lagi sini!" sahut Rakryan Kanuruhan dan mengulurkan mangkuknya
pada si penari yang sudah capek menari serta menembang dan kini merangkap jadi pelayan di antara kantuknya yang tak tertahankan. "Ya susah... si Juru ini begitu bulat juga membuat
takut buruan... hua ha ha ha.... Tapi yang jelas, nggak takut kelaparan kalau
tersesat ya, Kakang, tinggal kita iris saja perutnya sedikit-sedikit... terus
dipanggang, wuah, pasti sedap! Ayahmu dulu memberimu makan
apa to, Le?"
"Seingat hamba, ya biasa-biasa saja, Uwa Tumenggung, tetapi memang agaknya bakat hamba untuk menjadi seperti ini," Juru Wira Prakara yang berbadan bulat ini masih bisa
menguasai diri dan berbicara dengan
lengkap. "Huh... rasanya tak ada anak muda yang sesempurna anakku, Ra Wirada...." Tiba-tiba lenyap kegembiraan di wajah Rakryan
Tumenggung. Wajahnya jadi muram.
Matanya berapi, dan dengan gemas dibantingnya dadu
di tangannya. "Wirada..." Tangannya mengepal keras
dan mendadak dihantamnya tiang agung yang disandarinya. Ruang pertemuan itu berderak seakan hendak
roboh dan sesaat lampu-lampu yang ada hampir padam
terguncang. "Huh! Bangsat Sindura itu... belum puas jika aku belum minum darahnya! Anakku lelaki satu-satunya, calon pahlawan Wilwatikta... terpaksa harus pupus oleh si Busuk itu! Huh! Kalau
pertemuan kali ini jadi berlangsung, Kakang Kanuruhan, aku akan mendesak agar
Dinda Mapatih memberi penjelasan dan keputusan: di
mana Sindura kini, dan kapan ia dihukum picis. Kakang harus membantuku mendesak Dinda Mapatih,
huh?" Rakryan Kanuruhan tidak tunduk oleh pandang mata berapi-api Rakryan Tumenggung. "Itu aku tidak tahu, Dinda Tumenggung. Dinda
Mapatih punya banyak pertimbangan. Dan kurasa banyak pula benarnya. Mungkin Dinda harus minta jaksa di Wilwatikta guna menun-tut keadilan untuk anakmu
si Wirada itu."
"Ahhh... Kakang Kanuruhan dari dulu memang bersikap terlalu banyak pertimbangan! Ragu-raguuuuu terus. Karena itu Kakang tak pernah ditimbang-timbang
untuk dijadikan Mapatih, tahu! Huh. Buat keturunan
pun Kakang tak mampu!" gerutu Rakryan Tumenggung
yang sudah sangat dipengaruhi tuak.
Rakryan Kanuruhan hanya tertawa. "Jika kau seperti
aku, Dinda, telah lolos dari maut peperangan sebanyak 56 kali, Dinda, mungkin
kau pun merasa bahwa menikmati hidup ini suatu anugerah tak terhingga... untuk
apa memikirkan yang lain" Huh. Siapa itu?"
Mereka semua mengangkat kepala dan berpaling ke
halaman depan. Terdengar ada sedikit keributan di sa-na, seolah para prajurit
penjaga gerbang sedang mencegah seseorang masuk. Kemudian di remang-remang
halaman depan itu tampak sesosok bayang-bayang terhuyung mendatangi.
"Wuah! Dinda Patih!" Rakryan Kanuruhan terkejut
dan cepat bangkit menyambut kedatangan orang tadi,
yang memang adalah Rakryan Mapatih Kuripan.
"Dinda basah kuyup tetapi begini panas!" seru Rakryan Kanuruhan heran saat ia menyambut tubuh Rakryan Mapatih yang akan roboh. "Prajurit! Cepat haturkan berita ini pada gustimu di Rumah Dalam, dan
siapkan tempat istirahat!"
Para punggawa yang masih jaga segera juga berhamburan sibuk.
"Aku tidak apa-apa, Kakang... maaf, terlambat..."
Rakryan Mapatih akan mengatakan sesuatu, tetapi ia
kemudian terkulai pingsan di tangan Rakryan Kanuruhan. "Dinda Tumenggung..." Rakryan Kanuruhan minta
bantuan. "Biar kubantu, Uwa," Juru Wira Prakara menyediakan diri. Dan berdua mereka mengangkat Rakryan
Mapatih ke Rumah Dalam.
Rumah besar itu segera saja begitu sibuk. Tetapi
Nyai Mapatih cukup tenang. Dan ketika semua sudah
siap, ia pun mengundurkan diri, meninggalkan sang
suami beserta ketiga tokoh utama Kuripan itu - walaupun Juru Wira Prakara hanya mewakili ayahnya.
Pintu bilik bergeser. Juru Wira sangat terperanjat.
Tidak demikian dengan Rakryan Kanuruhan dan Rakryan Tumenggung. Seperti dugaan mereka, Ki Wadda,
tabib terkenal di kota itu, muncul. Ki Wadda menyembah tiga kali baru maju dan memeriksa Rakryan Mapatih dengan teliti.
Kemudian Ki Wadda termenung. Lama. Menggelengkan kepala. Dan membungkuk untuk memeriksa jempol
kaki Rakryan Mapatih.
Kembali ia termenung. Memejamkan mata.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa beliau, Kakek Obat?" tanya Juru Wira tak
sabar. Seperti anak-anak keluarga terpandang lainnya, sedari kecil Juru Wira ini
memang dipegang oleh Ki
Wadda. Dan nama yang diberikan anak-anak pada tabib tua ini memang 'Kakek Obat'. "Kau tak mampu menyembuhkannya?"
"Juru, kau bukan anak kecil lagi," tegur Rakryan
Kanuruhan berbisik. Maksudnya, Juru Wira seharusnya lebih bisa menahan diri. Dan, tidak memakai kata-kata kekanak-kanakan itu.
Apalagi, dengan kalimat
yang terlalu menantang itu.
"Rasanya hamba memang takkan bisa menyembuhkan Gusti Mapatih, Gusti Rakryan," terdengar suara Ki Wadda bagai bisikan angin,
mendesis di antara kumis
putihnya yang berhamburan. "Benar, Gusti... Gusti Mapatih agaknya mendapat
hantaman dahsyat. Berkat kesaktian beliau, maka dari luar tak terlihat kerusakan apa pun. Tetapi bagian
dalam tubuhnya banyak yang
rusak. Dan keracunan oleh suatu hawa yang aneh."
Baru sekarang Rakryan Kanuruhan tampak terkejut.
Ia menyembah sekali pada tubuh Rakryan Mapatih
yang berbaring itu dan memegang pangkal lehernya. Ia berpikir lama. Kemudian
mengangguk. "Kau benar,
Wadda, Sang Mapatih agaknya baru bertempur. Tetapi... siapa di negeri ini yang sanggup mencederai beliau separah ini?"
Rakryan Kanuruhan saling pandang dengan Rakryan
Tumenggung. "Kita harus segera menghaturkan hal ini pada Sang
Raja," bisik Rakryan Tumenggung.
"Malam ini juga" Dengan kemungkinan mati digantung karena mengganggu ketenangan Baginda beradu?"
balas Rakryan Kanuruhan. Dan tiba-tiba keduanya berpaling pada Juru Wira Prakara.
"H...hh... hamba?" tanya Juru Wira Prakara tergagap. "Dinda Rakryan Tumenggung benar," bisik Rakryan
Kanuruhan. "Betapapun, Wira Prakara adalah saudara
selir terkasih Baginda. Walaupun telah tiada."
"Inilah kesempatan bagimu untuk menonjolkan diri,
Juru," bisik Rakryan Tumenggung. "Sudah waktunya
negeri ini mempunyai seorang rakryan yang masih muda. Siapa lagi kalau bukan kau!"
"Baik... baiklah...." Juru Wira Prakara masih bingung tampaknya. "Tapi... apa
yang harus hamba katakan?"
Rakryan Tumenggung menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. "Ya... apa?"
"Tidak dapatkah kau membuat Gusti Mapatih sadar?" tanya Rakryan Kanuruhan pada Ki Wadda.
"Dapat, tetapi mungkin akan sangat mengganggu
kekuatan beliau nantinya," bisik Ki Wadda. "Bukankah Paduka hanya ingin
mengetahui apa yang terjadi pada
beliau" Dari mulut beliau sendiri?"
Sesaat Rakryan Kanuruhan terdiam. Dipandangnya
Ki Wadda beberapa lama. Kemudian ia berpaling pada
tubuh Rakryan Mapatih yang terbujur bagai tidur di depannya. Dan ia menghela
napas panjang. "Maksudmu dengan... Jnana Picaca?" bisiknya perlahan, tangannya meraba
jenggotnya yang panjang.
"Kau sadar akan akibatnya, jika itu kaulakukan pada
gustimu Mapatih?"
Ki Wadda tertunduk. Jnana Picaca adalah ilmu sim-panannya. Semacam ilmu hipnotis
di mana ia memasuki raga seseorang untuk menyuruh orang itu berbicara.
Jika orang itu memiliki tenaga kejiwaan yang kuat, besar kemungkinan 'jiwa'nya
sendiri takkan bisa kembali.
Jelas Rakryan Mapatih seorang yang punya kekuatan,
batin besar. "Hamba sadar akan hal itu, Gusti," sembah Ki Wadda. "Namun, hamba kira keterangan Gusti Mapatih jauh lebih penting dari nyawa
hamba." "Hmmm... dan kau sadar bahwa gustimu Mapatih
jauh lebih penting darimu?" tanya Rakryan Kanuruhan
lagi. "Hamba tahu itu, Gusti, dan hamba sanggup mengorbankan diri hamba daripada membuat Gusti Mapatih cedera," sembah Ki Wadda.
"Baiklah. Jika sesuatu terjadi denganmu, aku akan
mengurus seluruh keluargamu. Rakryan Tumenggung
dan Juru Wira Prakara menjadi saksinya," kata Rakryan Kanuruhan.
"Terima kasih, Gusti," sembah Ki Wadda.
"Mulailah." Rakryan Kanuruhan mundur hingga bersandar ke dinding. Rakryan Tumenggung mengikutinya.
Sesaat Juru Wira Prakara kebingungan. Tetapi kemudian tubuh bundar itu pun mundur.
Ki Wadda telah mengeluarkan berbagai peralatan dari kantongnya. Dan sesaat asap dupa telah mengepul
membuat wangi udara di situ, dan ia pun khusyuk bersemadi. "Apa yang terjadi, Paman?" bisik Juru Wira Prakara
pada Rakryan Tumenggung.
"Kau diam, Juru, jika sampai Ki Wadda terganggu,
bisa berbahaya bagi Sang Mapatih!" bisik Rakryan Kanuruhan sambil memelototkan matanya.
Juru Wira Prakara terdiam.
Sunyi. Di kejauhan sayup-sayup terdengar suara
ayam jantan berkokok.
Ki Wadda masih menggumam dan memejamkan mata di depan kepulan dupa.
Juru Prakara jadi salah tingkah.
Dan tiba-tiba... kepala Rakryan Mapatih bergerak.
Matanya terkejap.
Dan ia berbicara!
"Kakang Kanuruhan... Dinda Tumenggung... Kakang
Demung...," bisiknya lirih.
"Ayahanda tidak hadir, Paman...," gugup Juru Wira
Prakara berkata. Namun ia langsung terdiam disodok
oleh Rakryan Tumenggung.
"Dinda Mapatih, jangan buang-buang tenaga... apa
yang terjadi?" tanya Rakryan Kanuruhan. Kepada Ki
Wadda. "Orang itu, pastilah yang memakai julukan Dewi
Candiku, ...Candika...," bisik Rakryan Mapatih lemah.
"Di bengawan... antara Gelagah danJurang Telu.... Dia...
sangat... sakti... Ugh!" Tiba-tiba Rakryan Mapatih terbatuk. Dan Ki Wadda muntah
darah! "Kakek Obat!" Gugup Juru Wira Prakara hendak
bangkit. Tapi tubuhnya yang bundar itu membuat ia
sulit bergerak. Dan sebelum bangkit Rakryan Tumenggung telah mengulurkan tangannya yang kurus kering
namun bertenaga untuk menekan orang muda itu.
"Perintahkan pasukan mengepung daerah itu.... Kalian takkan punya panglima yang bisa mengalahkannya... paling tidak usir dia... jaga keluarga istana... minta bantuan ke
Wilwatikta.... Lepaskan Sindura... dia tidak bersalah.... Madri adalah anak buah
Candika... Pasti Madri yang membunuh Dewi Malini... dan Wirada...."
Rakryan Mapatih berbicara cepat sekali walaupun tanpa tenaga.
"Sindura tak bersalah" Tak mungkin!" bantah Rakryan Tumenggung.
"Aku tawan Madri... kusembunyikan di dekat daerah
itu... carilah.... Lepaskan Sindura... suruh dia mencari adiknya... Tun... Tun
Kuma... Ugh! Ugh!" Kembali Rakryan Mapatih terbatuk-batuk. Kembali Ki Wadda muntah darah. "Tanya... tanya Emban Layarmega... awasi
dia... dia punya... pasukan terpendam... mungkin dia...
salah satu mata rantai Darma Putra... Ugh! Ugh! Ugh!"
Batuknya menjadi-jadi. Dan Ki Wadda yang memejamkan mata pun menjadi-jadi memuntahkan darah. Dan
roboh! Bahkan kedua rakryan tua itu pun terkejut. Tetapi
mereka sanggup mengekang mulut, tidak seperti Juru
Wira Prakara yang menjerit keras dan... ikut roboh terpental ke samping!
Sunyi. Rakryan Mapatih terbujur diam. Ki Wadda
terbaring dalam kubangan darah muntahannya. Juru
Wira Prakara telentang dalam kedudukan yang aneh:
kedua kakinya di atas dan dalam keadaan bersila.
Beberapa saat berlalu. Kemudian Rakryan Kanuruhan menyembah sekali, berjalan jongkok memeriksa
Rakryan Mapatih. Agak lama ia memeriksa leher Sang
Mapatih. Dan ia mengangguk-angguk, berpaling pada Ki Wadda.
"Bagaimana, Kakang?" bisik Rakryan Tumenggung.
"Ki Wadda menjalankan tugas terakhirnya," bisik
Rakryan Kanuruhan. "Dinda Mapatih... mungkin tertolong... tapi kurasa macan Kuripan itu takkan bertaring lagi. Sehebat itukah Dewi
Candika?" "Kakang percaya akan apa yang dikatakannya... tentang Sindura, Wirada... Madri?" tanya Rakryan Tumenggung.
"Aku percaya," Rakryan Kanuruhan berkata perlahan. Berjalan berjongkok ia mencoba menegakkan kembali duduk Juru Wira Prakara. Ia harus menggunakan
tenaga. Dan Juru Wira Prakara duduk tanpa sadarkan
diri. Rakryan Kanuruhan menggelengkan kepala berpaling pada Rakryan Tumenggung lagi.
"Dinda Mapatih memang punya harapan pada Sindura, tetapi itu tidak akan membutakan rasa keadilannya. Lagi pula, ia tahu ini
kesempatan satu-satunya untuk menyatakan apa yang dilihatnya. Sebenarnya. Jadi,
kuharap Dinda bisa menerima kenyataan ini. Tentang
Sindura. Tentang Wirada. Tentang... Candika."
Rakryan Kanuruhan mengepalkan tinju. "Kalau Dinda Tumenggung tak berkeberatan, biar aku yang memimpin pasukan ke bengawan itu. Untuk itu... aku terpaksa meminjam pasukanmu.
Dan pasti pasukan Kapatihan juga ingin membalas aib ini."
"Aku bisa pergi dengan Kanda," kata Rakryan Tumenggung. "Kurasa, Dinda lebih baik pergi ke Wilwatikta. Menghaturkan ini semua pada Sang Mahapatih. Minta petunjuk beliau. Dan minta pembebasan Sindura. Rasanya
Kuripan akan betul-betul kosong tanpa anak muda seperti Sindura. Dan... ah..." Rakryan Kanuruhan menghela napas panjang. "Yah... sesungguhnya Wirada dan
Sindura bisa bergabung untuk menjadi bintang kembar
Kuripan." "Kalau memang anakku tewas oleh Candika, selayaknya jika aku berusaha membalas sakit hatinya. Atau menyusul dia lewat tangan
yang sama." Gigi Rakryan
Tumenggung gemertak.
"Karena itulah, lebih baik kau yang ke Wilwatikta.
Kau akan sangat dipengaruhi perasaanmu. Sementara
orang Wilwatikta akan lebih yakin akan keputusan
pembebasan Sindura karena kau sendiri yang memintanya." "Aduuuuh... apa yang terjadi?" Kata-kata Rakryan
Kanuruhan terputus oleh bangunnya Juru Wira Prakara yang kemudian langsung melompat mundur melihat
keadaan Ki Wadda.
"Paman... Uwa... apa yang terjadi?" tanyanya gagap.
"Tidak apa-apa... Uwamu mendongeng dan kau tertidur," kata Rakryan Tumenggung ketus.
"Kau cepat pergi ke Rumah Dalam. Minta Bibimu untuk merawat Sang Mapatih. Kemudian minta para pimpinan pasukan Kapatihan berkumpul di depan. Kau
mengerti itu semua" Nah, kau tunggu aku di depan. Berangkatlah."
Masih kebingungan Juru Wira Prakara berangkat.
"Dinda Tumenggung, aku minta Dinda memerintahkan tiga pasukan Dinda berkumpul di alun-alun. Dua
kelompok pasukan lagi harus mengiringi Dinda ke Wilwatikta. Berangkatlah sekarang juga. Aku akan menghadap Sang Raja sebelum berangkat ke bengawan. Dan
akan kuhaturkan apa yang terjadi."
"Baiklah. Jika Kakang sanggup, jangan bunuh Candika itu. Aku akan sangat berutang budi pada Kakang, jika aku sempat
menyiksanya," kata Rakryan Tumenggung geram.
"Akan ku usahakan, Dinda. Walaupun mungkin untuk itu kepalaku akan menggelinding. Berangkatlah."
Kedua rakryan itu saling memegang bahu.
6. SIASAT NYAI TUMENGGUNG
AYAM berkokok untuk ketiga kalinya saat kuda Rakryan Tumenggung memasuki halaman rumah Ketumenggungan. Dua orang prajurit yang terbangun dari
tidur mereka oleh gedoran tinju pengawal Rakryan Tumenggung segera memegangkan kendali kuda itu.
"Panggil Lengsong, Pasong, dan Lobar," perintah
Sang Tumenggung entah pada siapa. "Palana dan
Mayang suruh masuk ke dalam."
Dan tanpa menoleh lagi Sang Tumenggung bergegas
masuk ke Rumah Dalam.
Walaupun matahari belum terbit, Nyai Tumenggung
telah berdandan rapi berbau wangi, duduk di Ruang
Dalam, menunggu. Empat orang selir juga ada di sana, segar dan harum. Nyai
Tumenggung yang tua itu langsung menyambut kedatangan Rakryan Tumenggung,
membawanya ke tempat duduk yang beralaskan beludru. Para selir yang muda-muda dan cantik-cantik itu agaknya sudah terlatih.
Seorang segera membasuh kaki Sang Tumenggung dengan air mawar hangat. Seorang
menghaturkan minuman mengepulkan asap. Seorang
membawakan kain lembut penyeka keringat. Sementara
seorang lagi menunggu dengan nampan berisi juadah.
"Pergi semua! Kecuali Nyai Tumenggung," Rakryan
Tumenggung menggeram. Kata-kata yang sangat lain
dari biasanya ini membuat semua yang ada di situ ter-cengang. Tetapi kerdipan
mata Nyai Tumenggung membuat semua segera bergegas pergi.
"Selamat datang Kiai, apa kiranya yang membuat
Kiai begitu muram?" bisik Nyai Tumenggung setelah
semua orang pergi. Ia pun menyembah dan bangkit untuk memijit-mijit bahu suaminya.
"Siapa sebenarnya Candika itu?" kata Rakryan Tumenggung bagaikan mengeluh. "Dia membuat kekacauan saat kita merasa hampir siap. Ini sangat mengacaukan rencana.... Di satu
pihak, mungkin ia membuat Wilwatikta lemah. Di pihak lain... ia juga membuat


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wilwatikta berwaspada. Dan mencurigai siapa pun. Juga,
seandainya kita berhasil, ada di pihak manakah dia?"
"Bagaimana kalau kita ajak saja dia bergabung...
kemudian toh lebih mudah menyingkirkannya setelah
kita berhasil nanti, karena saat itu kita kan sudah tahu siapa dia."
Sesaat Rakryan Tumenggung memejamkan mata.
"Kau sudah tua, Nyai, tidak sesegar selir-selir itu. Tapi otakmu sungguh cantik!
Pikiran yang sangat bagus."
"Ah, soal seperti itu Junjungan sendiri pasti bisa
memikirkannya." Nyai Tumenggung tersenyum. "Apakah ada kesulitan lainnya, Kiai" Apa lagi yang dibuat si Candika itu hingga
mengurangi selera Kiai?"
"Candika mungkin tidak akan semudah itu kita tipu." Sang Tumenggung mengerutkan kening. "Ia berhasil membuat Rakryan Mapatih cedera dalam."
"Hah" Benarkah?" Nyai Tumenggung benar-benar
terkejut. "Ya. Dan saat ini, Rakryan Kanuruhan sedang menyiapkan pasukan untuk mengusik Candika. Jika benar Candika yang melumpuhkan Rakryan Mapatih, kurasa tugas itu takkan berhasil. Dan karena itu pulalah aku harus ke Wilwatikta.
Minta bantuan dan minta agar Sindura dibebaskan."
"Sindura dibebaskan?" Nyai Tumenggung begitu terkejut hingga berhenti memijit.
"Ya. Madri ternyata adalah antek Candika. Karenanya Rakryan Mapatih berpendapat kesaksian Madri dahulu dusta. Berarti Sindura tak bersalah."
"Wah, anak muda itu mampu jadi penghalang, Kiai.
Baik bagi gerakan kita yang gelap ataupun gerak maju Kiai di Istana."
"Aku tahu, Nyai.... Apa yang bisa kulakukan?"
"Mungkin Kiai mesti minta tolong si Buyut," kata
Nyai Tumenggung dengan hati-hati.
"Ah?" Rakryan Tumenggung menelengkan kepala.
"Toh Kiai juga harus memberi tahu beliau tentang
perkembangan Candika. Ya. Mungkin bisa Kiai usulkan, agar si Buyut menolong
Candika yang sebentar lagi
akan digempur pasukan Wilwatikta. Dengan demikian...
bukankah Candika akan berutang budi hingga mungkin
mau bergabung?" Nyai Tumenggung mengulurkan
mangkuk minuman hangat yang diterima sambil termenung oleh Rakryan Tumenggung. "Atau kalau perlu,
hancurkan sekalian Candika itu! Atau kita pancing agar Sindura terjebak oleh
Candika. Selesai semuanya, bukan" Tak perlu Kiai terlalu bingung" Atau si Buyut
sen- diri bisa membereskan Sindura. Semuanya terserah si
Buyut. Tapi Kiai sudah mendirikan jasa dengan memberinya berita dan usulan ini, bukan" Nah, tunggu apa lagi?"
"Nyai... kalau saja umurmu tak usah tambah, dan
kau masih semuda dan secantik dulu... akan kuusir semua selirku...." Rakryan
Tumenggung kini tersenyum
dan memegang tangan Nyai Tumenggung yang memijitnya. "Aku akan ke Wilwatikta. Kau ingin kubelikan apa di sana?"
"Ah, Kiai... aku sudah tua. Kurasa aku tak perlu apa-apa. Hanya... maukah Kiai
memikirkan permintaanku
tentang si Rami?"
"Hm..." Tiba-tiba wajah Rakryan Tumenggung muram. Dan melihat ini Nyai Tumenggung buru-buru menekuk lutut dan menyembah.
"Maafkan hamba, Kiai... mestinya hamba tahu ini
bukan waktunya membicarakan tentang hal itu. Hanya
menurut hamba, selir Paduka yang satu itu merasa terlalu Tuan kasihi hingga
berani kurang ajar pada hamba.
Tapi, biarlah lain kali saja hal itu kita bicarakan...."
"Tidak, Nyai, kau benar. Sepulang aku dari Wilwatikta, aku akan menyuruh pulang si Rami itu. Mulai sekarang pun, ia harus tinggal
di Rumah Luar saja," kata Rakryan Tumenggung dengan nada berat.
"Paduka memang sangat bijaksana, Kiai. Apakah boleh hamba ambilkan seekor burung untuk mengirimkan
pesan Kiai pada si Buyut?" kata Nyai Tumenggung tersenyum. "Tepat sekali, Nyai. Ambillah!"
7. DI PASANGGRAHAN
AHIRENG membuka matanya sambil menghirup dalamdalam hawa sejuk pegunungan ini. Matahari pagi menyinari tubuhnya yang hitam berkilauan oleh keringat.
Sekitarnya alam hijau segar. Langit pun biru dalam.
Dan harum bunga liar memenuhi udara.
Ini memang di pegunungan. Semalaman tadi ia, si
Buyut, dan makhluk aneh yang ia tahu bernama Turi
itu harus mengadakan perjalanan cepat. Menurut perhi-tungan si Buyut, tepi
bengawan tempat mereka sembunyi itu tak ada lagi gunanya, toh Ki Gong telah tiada.
Dan ada kemungkinan orang akan datang untuk menyelidiki kematian orang-orang yang dibunuh Madri itu.
Tempat ini bagaikan tempat peristirahatan keluarga
bangsawan. Besar, teratur rapi. Dengan beberapa pelayan yang aneh: bertubuh kasar, tinggi besar, berwajah seram, tak pernah
berbicara. Tapi semua takut pada si Buyut.
Ahireng selesai berlatih. Dan ia melompat ke pagar
kayu yang mengurung halaman tempatnya berlatih. Ia
bertekad untuk menempa dirinya sebaik mungkin... karena ia tak usah lagi menunggui Ki Gong di tempat Emban Layarmega.
Oh. Belum pernah ia berada di tempat seindah dan
sesejuk ini. Dan luas sekali.
Ahireng melompat turun di luar pagar. Segera didengarnya seseorang melompat di belakangnya. Terkejut
Ahireng berpaling.
Ternyata Ki Prutung, salah seorang pelayan yang
agaknya merangkap menjadi pengawal.
"Oh. Selamat pagi, Ki. Aku mau jalan-jalan, ya?" sapa Ahireng ramah.
Ki Prutung tidak menjawab. Ia hanya menuding ke
balik pagar. "Oh, aku harus kembali ke sana?" tanya Ahireng setelah tertegun sesaat. "Nanti sajalah, Ki, aku mau jalan-jalan dulu. Hitunghitung latihan!"
Kembali Ki Prutung menuding ke dalam.
"Tidak, Ki. Si Buyut juga tidak ada. Biar aku jalanjalan." Ki Prutung bersedekap di hadapan Ahireng. Kembali
menggelengkan kepala.
"Hei, kalau kau bersikeras melarangku, aku nekat lari, lho!" Ki Prutung agaknya bersikeras.
"Baiklah kalau begitu, bersiaplah untuk menahanku." Ahireng melompat ke pinggir. Dan tahu-tahu Ki
Prutung telah ada di hadapannya. Cepat ia memutar
tubuh, melompat ke arah yang berlawanan. Ki Prutung
pun ada di sana.
"Kau mau main-main, ya?" geram Ahireng. Dan ia
mulai melakukan langkah-langkah dasar Wajraprayaganya. Heran, Ki Prutung dengan
gerak mantap mampu
mengimbanginya.
"He, hebat kau ya!" seru Ahireng, mulai menambah
tenaga dan kecepatan gerakannya. Dan makin lama ia
makin gembira. Memang Ki Prutung bisa melayaninya,
tetapi jelas bahwa makin lama ia berhasil menindih
orang seram itu. Makin lama ia makin merasa yakin
bahwa sesungguhnya ia menguasai ilmunya dengan
baik. Hanya, sedari dulu ia hanya berlatih dengan si Buyut. Karenanya ia merasa
selalu salah. Sampai-sampai saat menghadapi... adiknya" Ia juga terdesak terus.
Kini tanpa beban ia merangsek Ki Prutung. Dan terlihat kini betapa kegagahan Ki
Prutung makin lama makin
tertekan, sampai akhirnya rangkaian pukulan dan tendangannya membuat pelayan merangkap pengawal itu
sama sekali tak berkutik!
"Sudahlah!" Tanpa pedang, Ahireng melakukan gerak
Peksayomaya. Tubuhnya mendadak melesat ke udara, berputar dan mendarat jauh dari
tempat Ki Prutung.
"Kalau mau berlatih ilmu lari, ikutilah aku!"
Ahireng sedang gembira. Tubuhnya melesat cepat
seolah tidak mengambah tanah. Sekilas ia melirik ke belakang, Ki Prutung memang
berusaha mengejar, tetapi
rasanya tak akan mampu. Baiklah. Ia akan berlari sampai ke puncak bukit sana
itu, kemudian meluncur ke
jurang di baliknya, dan jika ia berlari ke arah kanan mengikuti punggung bukit,
pastilah ia akan sampai di pasanggrahan tadi.
Ahireng berlari dan makin gembira akan kemajuannya sendiri. Mungkin dari dulu persoalan dengannya
hanya rasa kepercayaan diri. Lihat, betapa ia bisa melesat di antara pepohonan
hampir tanpa menyentuh dahan sedikit pun. Kemudian menerobos semak-semak
tanpa bersuara. Dan... he, dia sudah sampai di puncak bukit.
Di mana Ki Prutung"
Pasti jauh entah di mana.
Hmm. Pemandangan di sini lebih indah lagi. Jurang
padas hitam mengkilap tampak jauh di sana. Pohonpohon rimbun. Angin sejuk membuat badannya yang
panas karena berlari tadi terasa segar. Dan merdunya angin... he, apakah ia
mimpi" Ia serasa mendengar
merdunya suara seorang gadis menyanyi. Menyanyi di
tengah hutan di puncak gunung ini" Pastilah itu permainan khayal belaka.
Tapi tidak. Ia yakin suara itu ada. Mungkin dari
jauh... dibawa angin.... Ah. Agak jauh dari tempatnya berdiri terlihat suatu
kepulan tipis asap atau uap. Ahireng pernah dengar tempat ini memang memiliki banyak sumber air panas. Tapi mana mungkin ada seseorang mandi di sumber air panas yang terpencil seperti ini" Mungkinkah peri"
Atau bidadari"
Ahireng tak berpikir lagi segera berlari ke arah kepulan uap itu.
Ternyata tempat tersebut tak semudah dicapai seperti yang dilihatnya tadi. Ia harus berloncatan di antara jurang-jurang kecil,
berjumpalitan di dahan raksasa, menerobos semak-semak berduri.
Dan tiba-tiba saja Ahireng tertegun.
Jika tadi berada di dunia penuh kehijauan, tiba-tiba saja di depannya membentang
dunia merah: bunga-bunga besar merah terhampar, dengan berbagai semak
berdaun kemerahan, dan asap yang mengepul dari sebuah sumber air panas.
Dan... di sumber air panas itu!
Sumber air panas itu sendiri agaknya ada di dinding
jurang kecil itu. Mancur menggelegak ke kolam kecil di bawahnya, mengepulkan
asap bagai tabir putih.
Kolam itu cukup besar. Dan indah karena beberapa
semak di pinggir kolam agaknya tahan panas dan menjulurkan dahannya ke air, penuh pula dengan bungabunga berwarna merah berbentuk semburan bintang.
Di antara hijaunya daun, merahnya bunga, dan tabir
asap putih itu suatu pemandangan membuat jantung
Ahireng seakan langsung lumpuh.
Seorang wanita sedang menikmati mandi di kehangatan air kolam itu. Dari tempat Ahireng terlihat betapa indah tubuh wanita
itu, betapa halus mulus kulitnya, saat ia merendamkan diri hingga ke batas punggung. Memang, sayang sekali wanita itu selalu membelakangi Ahireng, tetapi dari bentuk tubuh dan mulusnya kulit, Ahireng bisa membayangkan bahwa wanita
itu masih muda dan cantik!
Ahireng betul-betul menahan napas, takut kalau
sampai deburan jantungnya terdengar oleh si wanita.
Ingin rasanya ia maju mendekat setiap saat wanita itu membenamkan diri hingga
tinggal rambutnya yang hitam-legam kemilau itu saja yang tampak mengambang
di air. Tetapi... betulkah itu manusia" Manusia, secantik
itu, selembut itu, berani bersendirian di tempat seliar ini" Tak ada siapa pun
atau apa pun yang tampak di
sekitar tempat itu. Hanya dekat tepi kolam, di antara semak-semak merah yang
tinggi, Ahireng seperti melihat setumpuk kain berwarna kelabu. Mungkin juga pakaian peri, atau bidadari ini.
Ah, coba menoleh kemari barang sesaat, pikir Ahireng. Harapannya mungkin akan terkabul. Wanita itu berjalan di air setinggi dadanya untuk mendekati tempat pakaiannya. Pasti nanti ia
harus naik ke darat. Pasti paling sedikit ia akan menoleh kemari.
Seakan mendengar kata hati Ahireng, wanita itu tiba-tiba berhenti. Dan membenamkan diri hingga walaupun kemudian ia memang menoleh ke arah Ahireng,
mukanya tertutup oleh semak-belukar. Hanya matanya
yang bulat, hitam, berkilau bening di antara semaksemak merah itu.
Oh. Apakah dia telah mengetahui kehadirannya" keluh Ahireng. Untung. Ternyata tidak. Atau... entahlah. Tapi di kejauhan ia memang mendengar
seseorang berteriak. Masih sangat jauh. Tapi jelas mendatangi.
Si Prutung itu! keluh Ahireng. Perlahan ia mencoba
memutar kepalanya untuk melihat ke arah suara Prutung tadi. Masih jauh, dan ia memang tersembunyi, tetapi sungguh berabe jika ia
kepergok melihat orang sedang mandi.
Agaknya si Prutung salah jalan. Suaranya seperti
menjauh kini. Sedikit lega Ahireng menoleh kembali ke kolam air panas di
bawahnya itu. Dan ia terperanjat.
Orang itu sudah tak ada! Tempat itu sunyi. Kosong.
Hampir Ahireng tak berani bernapas. Bagaimana kalau wanita itu tiba-tiba ada di sampingnya atau di belakangnya. Ia sama sekali
tak berani bergerak.
Sesaat. Dua saat. Ia menunggu. Tak ada suara apa
pun kecuali desir air panas di bawah itu dan teriakan Prutung yang makin jauh.
Agaknya tersesat bangsat itu, geram Ahireng. Perlahan Ahireng melirik ke
sekeliling-nya.
Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
Ahireng bangkit. Mungkinkah itu tadi memang bidadari yang kini sudah terbang pergi" Ia bergerak lagi. Tak ada suara lain. Ia
berdiri. Masih sunyi. Suara Prutung sudah tak kedengaran lagi. Ahireng
memberanikan diri keluar dari semak-semak. Selangkah. Dua langkah. Ah.
Kenapa ia begitu berhati-hati. Ia pun melompat turun.
Berlari cepat mendekati kolam. Dan berhenti mematung. Tak ada tanda apa-apa di sana. Ahireng melompat ke
tepi kolam. Memperhatikan tanah dengan saksama. Tak
ada barang terjatuh sedikit pun.


Candika Dewi Penyebar Maut V I I di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah. Ke mana 'dia' pergi" Siapa" Dan bagaimana bisa
secepat itu"
Gemas Ahireng menyambar semak-semak bunga di
dekatnya. Ia menjerit kecil. Ternyata semak-semak itu berduri. Hampir saja diamuknya semak tersebut. Tapi
matanya yang tajam melihat bekas tangkai bunga yang
dipetik. Ah. Wanita itu masih sempat memetik bunga
dan membawanya pergi, secepat itu"
Mungkinkah ia makhluk halus"
Geram Ahireng pun memetik sekuntum. Dan ia melompat melesat pergi dari tempat itu.
Bersambung ke jilid 8.
Scan/Edit: Clickers
PDF: Abu Keisel
Document Outline
CANDIKA: DEWI PENYEBAR MAUT-7 1. KI GONG MINTA KORBAN"
2. GADIS GALIJAO
3. SI BUYUT 4. MAKHLUK ANEH
5. JNANA PICACA
6. SIASAT NYAI TUMENGGUNG
7. DI PASANGGRAHAN
Pendekar Seribu Diri 4 Raja Naga 7 Bintang Karya Khu Lung Seruling Gading 11

Cari Blog Ini