Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat Bagian 2
yang tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka
ini telah sentakkan kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang luar biasa dahsyat melesat ganas ke
arah Tokoh-tokoh Penghela Tandu.
Terlambat bagi Putri Kayangan untuk mencegah.
Karena bersamaan dengan melesatnya gelombang dari
kedua tangan Setan Liang Makam, Tokoh-tokoh Penghela Tandu telah angkat kedua tangan masing-masing.
Lalu keempatnya bergerak saling bersilangan dengan
tangan sama melepas pukulan.
Wuutt! Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Empat gelombang angin mencuat dari dua laki-laki
di sebelah depan. Tak lama kemudian empat gelombang datang menyusul. Inilah jurus pertama dari 'Barisan Naga Iblis'. Dua orang
menghadang terlebih dahulu serangan lawan kemudian dua lainnya segera
menyusul. Dua pukulan yang menyusul ini selain untuk membendung pukulan lawan yang tidak bisa dihadang dua orang yang pertama, namun juga untuk
membuat lawan tidak punya kesempatan untuk lakukan susulan pukulan! Hingga jika lawan tidak memiliki kecepatan luar biasa, maka
jelas lawan akan mengalami akibat fatal.
Blamm! Terdengar letupan keras tatkala gelombang pukulan
Setan Liang Makam bertemu dengan pukulan dua
orang di bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tan-du. Dua orang dari Tokohtokoh Penghela Tandu tampak berseru. Saat bersamaan sosok keduanya tersapu
ke belakang hingga lima langkah. Sosok keduanya,
yang ternyata adalah si celana kolor warna merah dan hitam terlihat bergetar
keras dengan dada turun naik tak karuan serta mulut megap-megap.
Di seberang, Setan Liang Makam hanya bergoyanggoyang sambil umbar tawa bergelak. Namun tawa Setan Liang Makam tiba-tiba terputus. Sosoknya dilanda gelombang angin dahsyat
hingga terpental sejauh dua tombak dan jatuh terduduki.
Setan Liang Makam rupanya memandang remeh
lawan. Hingga selain hanya kerahkan sedikit tenaga dalam untuk lepas pukulan,
dia juga tidak memperhatikan gerakan dua orang di belakang dan dua orang
yang lepas pukulan di bagian depan. Kelengahannya
ini membuat dirinya sangat terlambat untuk menghadang pukulan yang menyusuli pukulan dua orang di
bagian depan dari Tokoh-tokoh Penghela Tandu. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya terhantam gelombang
dari dua orang di bagian belakang!
Si celana kolor warna merah dan hitam segera kerahkan tenaga dalam kembali. Mereka tampaknya sudah dilanda kemarahan akibat ucapan Setan Liang
Makam. Hingga begitu melihat Setan Liang Makam jatuh terduduk, laksana hendak terbang, kedua orang
ini segera melesat.
"Tahan!"
Tiba-tiba Putri Kayangan melompat dan memotong
kelebatan sosok celana kolor warna merah dan hitam.
"Jangan menambah permusuhan! Kita selesaikan
urusan ini dengan bicara baik-baik...."
Si celana kolor warna merah dari hitam memandang
sesaat pada Putri Kayangan. "Aku tahu bagaimana
menyelesaikan urusan ini tanpa harus ada...." Ucapan Putri Kayangan belum
selesai, tiba-tiba terdengar suara dahsyat.
Si celana kolor warna merah mendelik. Tangan kanannya segera mendorong tubuh Putri Kayangan,
hingga sosok gadis cantik ini terjajar beberapa langkah ke samping. Saat yang
sama, si celana kolor warna merah dan hitam telah melesat ke depan. Dari atas
udara kedua orang ini sentakkan tangan masing-masing ke
depan, karena saat itu ternyata Setan Liang Makam telah melepas kembali satu
pukulan! Malah mungkin karena tidak mau ulangi lagi kesalahan, begitu lepas pukulan ke arah celana kolor
warna merah dan hitam,
Setan Liang Makam melompat ke samping. Kedua tangannya kembali bergerak lepaskan pukulan ke arah celana kolor warna kuning dan
hijau yang baru saja
membuat tubuhnya terpental dan jatuh terduduk.
Si celana kolor warna kuning dan hijau tidak tinggal diam. Dia segera pula lepas
pukulan untuk menghadang.
Untuk beberapa saat tempat itu dibuncah suara deruan dahsyat melesatnya beberapa gelombang. Saat
lain suara deruan berubah menjadi suara gelegar dua kali berturut-turut.
Sosok Setan Liang Makam tersurut satu langkah
dan terhuyung-huyung oleng. Namun di seberang sana, keempat laki-laki bertelanjang dada sama terpelanting sebelum akhirnya sama terkapar di atas tanah.
Darah tampak mengucur dari mulut masing-masing
orang. Tampaknya kali ini Tokoh-tokoh Penghela Tandu
yang lengah. Karena melihat Setan Liang Makam bisa
mereka buat jatuh terduduk dalam satu kali gebrakan, membuat keempatnya lepas
pukulan hanya dengan setengah tenaga dalam yang mereka miliki. Di lain pihak,
Setan Liang Makam tidak lagi berani main-main.
Begitu melihat Tokoh-tokoh Penghela Tandu terkapar, Setan Liang Makam perdengarkan tawa panjang.
Sosoknya bergerak melesat ke depan.
"Tunggu!" satu suara menahan. Bersamaan dengan
itu satu bayangan melompat dan tegak menghadang
lesatan sosok Setan Liang Makam.
"Tak ada gunanya hal ini diteruskan! Kita bicara
baik-baik!"
Setan Liang Makam hentikan kelebatannya. Memandang tajam pada orang yang menghadang yang
ternyata bukan lain adalah Putri Kayangan.
"Baik! Kuampuni nyawa anjing-anjingmu itu! Tapi
lekas jawab pertanyaanku tadi! Pesan yang harus kau sampaikan pada Pendeta
Sinting!" "Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam pesan
itu...," ujar Putri Kayangan.
"Setan alas! Aku butuh dengar pesan itu! Jangan
berani menilai!" sentak Setan Liang Makam.
Tokoh-tokoh Penghela Tandu segera bangkit lalu
kembali tegak berjajar dengan posisi dua di depan dan dua lainnya di belakang.
Setan Liang Makam memperhatikan dengan sinis. Putri Kayangan segera memberi
isyarat dengan angkat tangan kanannya.
"Guruku memberi pesan agar Pendeta Sinting datang ke tempatnya! Hanya itu perlu ku menemui Pendeta Sinting!"
"Di mana tempat gurumu"!" tanya Setan Liang Makam. "Lereng Gunung Semeru!"
Setan Liang Makam melotot memandang pada Putri
Kayangan. "Kau!" katanya seraya menunjuk lurus pada Putri Kayangan. "Akan kubuktikan ucapanmu!" Lalu tangannya bergerak ke arah Saraswati yang sedari tadi hanya diam. "Kau juga!"
kata Setan Liang Makam.
"Aku akan ke tempat yang kau tunjuk!" Lalu Setan
Liang Makam arahkan telunjuk tangannya silih berganti pada Saraswati dan Putri Kayangan. "Jika ucapan kalian tidak benar, itu nasib buruk bagi kalian berdua!"
Habis berkata begitu, Setan Liang Makam arahkan
tangannya pada Tokoh-tokoh Penghela Tandu. "Anjinganjing gundul! Kalian telah membuat lobang dengan
Setan Liang Makam! Lobang itu tak akan tertutup sebelum tubuh anjing kalian masuk ke dalamnya!"
Rupanya Putri Kayangan sudah dapat menduga apa
yang akan dilakukan Tokoh-tokoh Penghela Tandu begitu mendengar ucapan Setan Liang Makam. Hingga
gadis cantik ini segera putar diri dan langsung berkata.
"Sahabat-sahabat.... Kuharap kalian bersabar!"
Tokoh-tokoh Penghela Tandu yang ternyata telah
angkat tangan masing-masing sesaat saling berpandangan. Lalu dengan menghela napas dalam mereka
turunkan tangan.
Setan Liang Makam memperhatikan sekali lagi pada
beberapa orang di tempat itu. Kejap lain, tanpa berkata apa-apa, dia berkelebat
sambil perdengarkan suara ta-toa panjang.
"Mengapa Putri mengatakan pesan serta tempat kediaman Eyang Guru"!" Bertanya si celana kolor warna merah.
"Pesan dan tempat kediaman Guru tidak ada gunanya bagi Setan Liang Makam! Karena bukan pesan
atau tempat itu sebenarnya yang dicari!"
"Tapi kalau dia tidak menemukan Pendeta Sinting,
dia akan datang ke lereng Semeru!" Kali ini yang angkat bicara adalah laki-laki bercelana hitam.
"Guru pasti dapat menyelesaikannya! Dan aku akan
memberitahukan kejadian ini jika kelak berjumpa dengan Pendeta Sinting! Dengan
begitu dia pasti akan menunda menemui Guru...."
Putri Kayangan melangkah mendekati Saraswati.
"Kau mengatakan yang sebenarnya pada orang itu tadi"!"
Kecemburuan Saraswati semakin dalam begitu
mendengar pertanyaan Putri Kayangan. "Dia seolah
menganggap sepele apa yang baru saja menimpa para
pembantunya. Dan sangat mengkhawatirkan sekali
akan keselamatan pemuda itu! Aku ingin tahu sampai
di mana hubungan antara mereka!" Saraswati membatin. Lalu berkata.
"Kematian pemuda jahanam itu akan mengobatiku
meski sebenarnya aku masih merasa kecewa jika bukan tanganku sendiri yang memutus selembar nyawanya!" "Gila! Jadi kau mengatakan yang sesungguhnya
tentang tempat murid Pendeta Sinting berada"!" tanya Putri Kayangan dengan wajah
berubah. Saraswati tersenyum seraya anggukkan kepala.
"Apa boleh buat!"
Putri Kayangan menghela napas panjang dengan
wajah dipalingkan. "Seharusnya kau tadi menuruti
permintaanku!"
"Permintaanmu lain dengan tujuanku! Dan kurasa
tidak ada yang perlu disesalkan dalam hal ini!"
"Benar! Tapi aku menangkap ada kejanggalan dalam hal ini!"
"Tapi aku tidak melihat adanya hal itu! Aku bertemu dengan pemuda jahanam itu dan mata kepalaku
melihat sendiri di tangannya menggenggam sekuntum
bunga bersinar tiga warna! Apanya yang janggal?"
Putri Kayangan gelengkan kepala perlahan. "Kau
tak tahu apa sebenarnya yang terjadi...."
Saraswati tertawa panjang. "Aku mengalaminya
sendiri! Bagaimana mungkin kau mengatakan aku tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi"! Kau ini aneh.... Aku menduga ada
apa-apa antara kau dengan
pemuda keparat itu!"
Putri Kayangan terkejut. "Kau cemburu padaku"!"
Saraswati tidak menjawab atau memberi isyarat sebagai jawaban atas pertanyaan Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri sebenarnya
menunggu jawaban. Hatinya gelisah. Namun setelah ditunggu agak lama Saraswati tidak juga memberi jawaban, akhirnya Putri
Kayangan angkat bicara.
"Aku akan cerita padamu. Kau boleh percaya boleh
juga tidak!" Putri Kayangan alihkan pandang matanya jauh ke depan sana seraya
lanjutkan ucapan. "Aku
punya seorang saudara kembar yang wajah maupun
pakaiannya persis denganku! Dia juga bersama empat
orang laki-laki sahabatnya yang juga adalah saudara empat sahabatku itu!"
Sesaat Putri Kayangan hentikan keterangannya. Saraswati sejenak tampak terkesima mendengar penuturan Putri Kayangan. Namun sejauh ini dia belum menyahut. Hingga Putri Kayangan lanjutkan keterangan.
"Aku tahu bagaimana tindakan saudara kembar ku
itu! Itulah salah satu tujuanku turun dari lereng Semeru. Beberapa waktu
berselang, aku sempat berjumpa dengan murid Pendeta Sinting! Dia bersama seorang tokoh yang kukenal dengan gelar Datuk Wahing.
Ternyata murid Pendeta Sinting baru kehilangan Pedang Tumpul 131! Anehnya begitu aku muncul, dia
langsung menuduh akulah yang mengambil pedangnya!" Kembali Putri Kayangan hentikan keterangan. Sementara Saraswati tampak makin bingung. Namun belum berusaha mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. Dia tetap menunggu sampai nanti Putri Kayangan selesaikan keterangannya.
"Setelah murid Pendeta Sinting menerangkan duduk persoalannya, aku baru bisa menebak siapa gerangan yang mengambil senjata miliknya! Dia bukan
lain adalah saudaraku sendiri!"
Putri Kayangan hentikan ucapan. Kali ini dia agak
lama tak berkata lagi. Hingga Saraswati akhirnya buka mulut.
"Dari keteranganmu, kurasa tidak ada yang janggal!
Kau telah menduga pedang itu diambil oleh saudara
kembar mu sendiri! Berarti orangnya sudah jelas!"
Putri Kayangan gelengkan kepala. "Ada yang belum
kukatakan...." Putri Kayangan alihkan pandang matanya pada Saraswati. "Saat ini hampir semua kalangan rimba persilatan telah mendengar jika Kembang
Darah Setan berada di tangan murid Pendeta Sinting...." "Aku bukan hanya mendengar! Tapi aku telah melihatnya sendiri!" Saraswati menyahut.
"Di sinilah kejanggalan itu!"
"Maksudmu..."!"
"Kalau benar Kembang Darah Setan telah berada di
tangan murid Pendeta Sinting, tentu saudara kembar
ku tidak sia-siakan kesempatan hanya dengan mengambil pedangnya dan meninggalkan Kembang Darah
Setan! Siapa pun tahu, Kembang Darah Setan adalah
sebuah senjata dahsyat! Kalau saudaraku bisa mengambil Pedang Tumpul 131 aku yakin dia tidak akan
kesulitan mengambil Kembang Darah Setan!"
Putri Kayangan kembali alihkan pandangan. Lalu
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata lagi. "Kalau benar murid Pendeta Sinting memiliki Kembang Darah Setan, saat itu juga pasti dia terus terang akan mengatakan juga jika
Kembang Darah Setan di
tangannya juga lenyap! Anehnya, murid Pendeta Sinting tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Setan! Ini membuatku yakin bahwa sebenarnya dia tidak memiliki Kembang Darah
Setan!" "Bisa saja dia tidak mengatakan kehilangan Kembang Darah Setan! Karena takut akan banyak orang
memburu saudara kembar mu!" ujar Saraswati.
"Dalam keadaan panik kehilangan pedangnya, tidak
mungkin murid Pendeta Sinting mampu menyembunyikan rasa kecewanya dengan hilangnya Kembang
Darah Setan jika benda itu memang ada di tangannya!"
"Dia pandai bicara dan bersikap pura-pura! Banyak
orang yang selama ini tertipu dengan sikapnya! Tidak terkecuali aku! Lebih dari
itu, mataku tidak mungkin berdusta! Aku benar-benar melihatnya menggenggam
Kembang Darah Setan!"
"Itulah yang ku maksud dengan kejanggalan itu!
Kau melihatnya menggenggam Kembang Darah Setan!
Sementara aku yakin dia tidak memiliki Kembang Darah Setan! Jadi ada yang tidak beres di sini!"
"Aku tidak menganggap itu sebagai satu hal yang
janggal! Aku melihat dengan mata sementara kau
hanya dengan keyakinan! Melihat dengan mata pasti
benar! Tapi melihat dengan keyakinan belum tentu benar!"
Putri Kayangan akhirnya terdiam. Sementara Saraswati tersenyum lalu berkata.
"Kulihat dari tadi kau selalu mengkhawatirkan jiwa
pemuda itu! Kau tahu di mana dia berada! Sementara
saat ini ada orang yang menginginkan jiwanya! Menga-pa kau tidak segera ke
sana"!"
Habis berkata begitu, Saraswati berkelebat. Kali ini Putri Kayangan tidak lagi
menahan Saraswati. Dia
hanya memandang dengan perasaan gundah. "Apa
yang harus kulakukan sekarang" Ke tempat pemuda
itu sesuai petunjuk dari pemuda berkumis tipis yang menyamar itu"! Perjalanan ke
Jurang Tlatah Perak rasanya tidak perlu lagi karena orangnya tidak ada....
Hem.... Sebaiknya...." Putri Kayangan balikkan tubuh.
Lalu melangkah mendekati Tokoh-tokoh Penghela
Tandu. "Kita batalkan ke Jurang Tlatah Perak. Kita menuju
ke Bukit Wonoayu!"
"Putri.... Kau percaya dengan ucapan pemuda itu
tadi"!" tanya si celana kolor warna merah.
"Kita ke sana untuk membuktikan benar tidaknya
ucapannya!"
Putri Kayangan melompat. Saat lain gadis cantik ini telah masuk ke dalam tandu
yang diletakkan di atas
tanah. Begitu Putri Kayangan masuk ke dalam tandu, Tokoh-tokoh Penghela Tandu serentak berkelebat. Tak
lama kemudian, keempat laki-laki berkepala gundul
bertelanjang dada ini telah berlari-lari dengan pundak masing-masing memanggul
dua batangan bambu yang
tepat di tengahnya terdapat tandu berkain merah.
*** ENAM Bayangan putih itu hentikan kelebatannya di tepi
sebuah sungai. Memandang ke depan dia hanya melihat hamparan sungai beriak yang di sana sini terdapat beberapa tonjolan batu. Di
seberang sungai tampak
sebuah bukit kecil. Jauh di sebelah barat terlihat lembah luas gersang.
Si bayangan putih angkat tangannya mengusap wajah. Dia adalah seorang perempuan berusia sangat lanjut. Seluruh wajahnya telah
mengeriput dan hanya di-bungkus lapisan daging tipis. Hingga yang tampak
menonjol adalah tengkorak wajahnya. Sepasang matanya besar. Dan mungkin demikian tuanya, rambut
nenek ini hanya tinggal merupakan bulu-bulu halus
berwarna putih. Hingga jika tidak dilihat secara sek-sama, kepala nenek ini
seperti gundul plontos. Dia
mengenakan pakaian putih panjang.
"Aku belum bisa memutuskan langkah apa yang
kulakukan sekarang. Maladewa ternyata diberi takdir baik. Dia bisa selamat
keluar dari Kampung Setan.
Hanya saja aku merasa menyesal.... Mengapa Kembang Darah Setan kudengar raib dari tangannya!" Si
nenek membatin. Dia memandang riakan air sungai
seraya menghela napas dalam. "Siapa sebenarnya yang memegang Kembang Darah Setan
saat ini" Kabar tentang Pendekar 131 yang katanya memegang Kembang
Darah Setan nyatanya hanya omong kosong! Aku telah
bertemu dengan pemuda itu. Dari pancaran tubuhnya,
aku sudah bisa memastikan kalau dia tidak memiliki Kembang Darah Setan! Hem....
Sayangnya aku belum
bisa bertemu dengan Maladewa! Cucuku malang....
Seandainya kau tidak keburu nafsu dan menunggu
sampai upacara penyerahan, tentunya peristiwa ini tidak akan terjadi! Dan nama
Kampung Setan sudah
pasti akan menjulang seperti pada beberapa puluh tahun silam...."
Si nenek yang tidak lain adalah Nyai Suri Agung,
nenek Maladewa yang sekarang telah bergelar Setan
Liang Makam arahkan kepala menghadap lembah gersang di seberang barat.
"Usiaku sudah begini lanjut. Tak mungkin aku melakukan pekerjaan ini sendiri! Dan ini memang bukan menjadi hakku! Ini hak
Maladewa untuk melakukannya! Tapi tanpa Kembang Darah Setan apa bisa"!" Nyai
Suri Agung kembali menghela napas panjang. Paras
wajahnya jelas membayangkan perasaan menyesal dan
kecewa. "Ah.... Apa hendak dikata. Takdir memang sudah
mengharuskan demikian! Tanpa atau dengan Kembang
Darah Setan di tangannya, aku harus menyampaikan
amanat ini pada Maladewa! Aku akan merasa berdosa
kalau tidak mengatakannya! Terserah setelah itu apa yang hendak dilakukan
Maladewa! Yang penting aku
sudah menyampaikan amanat nenek moyang.... Secepat mungkin aku harus menemukan Maladewa!"
Membatin sampai di situ, akhirnya Nyai Suri Agung
berniat meninggalkan tepian sungai. Namun belum
sampai nenek ini lakukan apa yang telah diputuskan, telinganya yang tajam bisa
met ungkap kelebatan seseorang menuju arah sungai di mana saat itu si nenek
berada. Tanpa gerakkan kepala berpaling pada arah datangnya orang, Nyai Suri Agung angkat kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. Saat yang sama sepasang matanya dipejamkan.
Nyatanya Nyai Suri Agung tidak menunggu lama.
Baru saja sepasang matanya memejam, dari arah timur tampak satu bayangan berlari cepat. Hanya beberapa saat bayangan itu telah berada sejarak lima belas langkah di belakang Nyai
Suri Agung dan tegak dengan mata memandang tak berkesip.
"Aku sepertinya mengenali pakaian yang dikenakan
manusia itu! Apakah memang dia"!" Orang yang baru
muncul di belakang sana membatin.
Dan baru saja orang di belakang membatin, Nyai
Suri Agung telah perdengarkan suara.
"Katakan siapa kau dan apa gelarmu jika punya!"
Suara si nenek terdengar berat dan parau. Malah sua-ra itu seperti menggema ke
seantero tempat itu!
Orang di belakang sana terkesiap dan langsung surutkan langkah satu tindak. Bukan karena teguran
orang, melainkan suara itu mengingatkannya pada seseorang yang sangat dikenal!
"Dari suaranya aku hampir yakin memang dia! Apa
dia sengaja menungguku di sini"! Dari mana dia tahu aku akan datang ke tempat
ini"! Hem.... Tapi ini satu rezeki besar bagiku...."
"Kau dengar perintahku, Manusia! Lekas jawab!"
Nyai Suri Agung kembali perdengarkan teguran.
"Aku Setan Liang Makam! Dan siapa aku tentu kau
telah mengenalnya!" jawab orang di belakang sana
yang ternyata adalah seorang laki-laki berambut awut-awutan dengan sekujur tubuh
hanya merupakan kerangka tanpa dilapis daging sama sekali dan tidak lain memang Setan Liang Makam
adanya. Suara jawaban orang belum selesai, Nyai Suri
Agung telah putar diri. Namun ia belum buka kelopak matanya meski telah beberapa
saat menghadap orang.
Dia sengaja ingin memberitahukan pada orang siapa
dirinya! Walau sudah dapat menduga, namun begitu Nyai
Suri Agung putar diri menghadap, tak urung Juga Setan Liang Makam masih terkesima.
Perlahan-lahan Nyai Suri Agung buka kelopak matanya. Bola mata itu untuk beberapa lama memperhatikan orang dari atas hingga bawah.
"Aku tidak mengenalmu! Tapi aku memang pernah
dengar suaramu! Katakan siapa kau sesungguhnya!"
kata Nyai Suri Agung.
Setan Liang Makam bukannya menjawab pertanyaan orang, melainkan melangkah perlahan-lahan
mendekati Nyai Suri Agung.
"Jangan berani mendekat sebelum kau katakan
siapa kau sebenarnya!"
Setan Liang Makam tidak pedulikan ancaman si
nenek. Dia teruskan langkah dan berhenti empat langkah di hadapan Nyai Suri
Agung. Setan Liang Makam
sengaja tegak dengan kancingkan mulut dan hanya
memandang pada si nenek.
"Kalau kau tak mengerti bahasa ucapan, aku akan
mengajarimu bahasa tangan!" kata Nyai Suri Agung
sudah mulai geram melihat sikap orang.
"Kau lupa padaku"!" tanya Setan Liang Makam.
"Kau telah dengar! Aku memang mengenali suaramu tapi aku tidak kenal siapa dirimu!"
"Kau pernah merasa punya seorang cucu"!" kembali
Setan Liang Makam bertanya.
"Hem.... Suaranya jelas dia. Tapi rupanya.... Dan
ucapannya tadi.... Apakah yang di hadapanku ini Maladewa"!" Nyai Suri Agung menduga-duga.
"Aku memang punya cucu, tapi namanya bukan Setan Liang Makam!"
Setan Liang Makam kembali melangkah. Dan tibatiba dia jatuhkan diri berlutut di hadapan Nyai Suri Agung.
"Eyang Guru.... Aku adalah Maladewa.... Murid dan
cucumu...."
Nyai Suri Agung laksana tersedak. Dia arahkan
pandang matanya ke bawah memperhatikan pada sosok Setan Liang Makam yang duduk berlutut. Kepalanya menggeleng perlahan. Dan seolah tidak sadar
mulutnya membuka.
"Apakah benar kau cucuku si Maladewa...?"
"Aku minta maaf atas tindakanku padamu pada puluhan tahun silam.... Kini aku baru sadar akan kekeli-ruan ku...." Suara Setan
Liang Makam terdengar serak.
Nyai Suri Agung bungkukkan sedikit tubuhnya lalu
menarik pundak Setan Liang Makam hingga laki-laki
ini berdiri. "Kau tak perlu minta maaf. Aku maklum akan apa
yang kau lakukan! Kau saat itu masih muda dan mendengar hasutan dari kanan kiri sebelum kau siap menerimanya! Hanya sebenarnya aku sangat menyesal
sekali. Mengapa hal itu harus terjadi.... Padahal kau telah dipersiapkan sejak
lama untuk menjunjung kembali harkat kebesaran keluarga! Tapi sudahlah....
Semuanya sudah terjadi...."
Nyai Suri Agung arahkan pandang matanya pada
riakan air di depan sana. "Aku tidak menduga kalau
kita dipertemukan di sini! Lebih-lebih aku tidak menduga kalau kau sudah sangat
berubah...."
"Ini karena keadaanku yang terkubur di makam batu itu!" "Maladewa.... Ada sesuatu yang harus kusampaikan
padamu! Sebenarnya hal ini harus kukatakan padamu
pada beberapa tahun silam. Namun karena keadaan
tak memungkinkan, terpaksa baru saat ini kukatakan!
Tapi sebelumnya aku ingin tanya padamu!"
Maladewa alias Setan Liang Makam sedikit kaget
dan menduga-duga. Sementara Nyai Suri Agung berpaling dan angkat suara lagi.
"Di mana Kembang Darah Setan"!"
Setan Liang Makam tampak gelagapan. Nyai Suri
Agung memperhatikan dengan mata menyipit.
"Benda itu diambil seorang pemuda...."
"Aku ingin mendengar bagaimana sampai Kembang
Darah Setan bisa diambil orang!" kata Nyai Suri Agung dengan suara agak tinggi.
Nadanya jelas mengandung
kemarahan. "Sebagaimana yang kau ucapkan, setelah aku masuk ke dalam makam batu, ternyata semuanya benar!
Begitu aku berada di dalam makam batu selama hampir tiga puluh enam tahun, pada satu saat, tiba-tiba saja ada seseorang yang
muncul dan mau membe-baskan aku! Aku bertanya padanya. Ternyata dia tahu rahasia
bagaimana caranya membongkar makam batu!
Hanya saja, sebagai imbalannya, dia meminta Kembang Darah Setan! Karena aku masih ingin hidup, terpaksa aku menyetujui
permintaannya!" Setan Liang
Makam memberi keterangan tanpa berani memandang
ke arah Nyai Suri Agung. (Lebih jelasnya tentang bagaimana Maladewa bisa keluar
dari makam batu, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode : "Kembang Darah Setan").
"Siapa pemuda yang mengambil Kembang Darah
Setan itu"!"
"Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng!"
Nyai Suri Agung mendengus. "Kau jangan berdusta
padaku, Maladewa!"
"Nek! Aku memang bukan cucu yang baik! Tapi dalam hal ini aku berkata jujur!"
"Kau masih dusta, Maladewa!"
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nek! Dalam keadaan seperti sekarang ini tak ada
untungnya berkata dusta padamu! Pemuda itu adalah
Pendekar 131 Joko Sableng!"
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. "Aku telah bertemu dengan Pendekar 131 Joko Sableng! Dari pancaran tubuhnya aku sudah bisa mengatakan dengan
pasti jika pemuda itu tidak memegang Kembang Darah
Setan! Maladewa! Katakan dengan jujur, siapa yang
mengambil Kembang Darah Setan!"
"Nek! Terserah kau mau percaya atau tidak! Bangsat itu adalah Pendekar 131!"
Nyai Suri Agung menghela napas dalam. "Dalam
rimba persilatan memang tersiar kabar jika Kembang
Darah Setan berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng. Maladewa pun seakan yakin kalau pemuda itu
yang mengambilnya! Tapi aku tetap pada keyakinanku
kalau pemuda itu tidak membawa Kembang Darah Setan! Hem.... Bagaimana hal ini bisa terjadi"!" Nyai Suri Agung berkutat dengan
batinnya sendiri.
"Cucuku, Maladewa.... Kau pernah berjumpa dengan pemuda itu"!"
"Semenjak keluar dari makam batu, aku pernah sekali berjumpa dengannya! Sayang saat itu dia bisa lolos! Tapi aku telah
bersumpah untuk mencarinya! Dan kini aku tahu di mana dia berada!"
"Coba katakan di mana dia berada!" kata Nyai Suri
Agung. Setan Liang Makam angkat tangan kanannya lalu
ditunjukkan pada bukit di seberang sungai.
Nyai Suri Agung tampak sedikit heran. "Dari mana
kau dapatkan keterangan jika Pendekar 131 berada di bukit itu"!"
"Dari seorang pemuda yang sempat kutemui tidak
jauh dari tempat ini!" Setan Liang Makam lalu menceritakan pertemuannya dengan
Saraswati dan Putri
Kayangan. "Kau terlalu percaya pada orang yang belum kau
kenal, Cucuku! Kau lupa. Dunia di mana kita sekarang berada adalah dunia
persilatan. Dunia yang seharusnya tidak boleh begitu saja percaya pada orang!
Karena di dalamnya kebohongan dan fitnah merupakan hal
yang lumrah! Seharusnya kau belajar dari apa yang
pernah kau alami! Kau pernah dikhianati oleh orang
yang kau percaya hingga kau sendiri akhirnya terjerumus masuk ke dalam makam batu! Kau tahu, Cucuku.... Tanpa ke bukit itu, aku sudah bisa memastikan kalau di sana tidak ada
seorang pun!"
"Hem.... Aku mengenal betul siapa dia! Ucapannya
tidak pernah melesat!" kata Setan Liang Makam dalam
hati. Mendadak saja paras wajah Setan Liang Makam
berubah. Sepasang matanya mendelik angker. Tulang
pelipisnya bergerak-gerak.
"Jahanam itu telah berkata dusta padaku! Dia tidak
tahu! Dia tidak tahu dengan siapa dia berani mainmain! Lebarnya dunia akan kubuat sempit bagi langkahnya! Dalamnya laut akan kubuat sejengkal bagi
tempat persembunyiannya!" Setan Liang Makam hentakkan kaki. Tanah di tempat itu kontan bergetar keras dan tanahnya muncrat!
Nyai Suri Agung menggeleng. "Percuma kau menyumpah-nyumpah, Cucuku! Semuanya sudah telanjur! Yang penting, mulai saat ini kau tidak boleh percaya pada siapa pun! Bahkan
pada keyakinanmu sendiri jika kau belum melihat dengan mata kepalamu!"
Setan Liang Makam coba menindih gejolak hawa
kemarahan. Lalu berkata dengan dada masih bergerak
turun naik pertanda belum sepenuhnya dia dapat kuasai diri. "Nek! Kau tadi mengatakan hendak menyampaikan
sesuatu...!"
"Cucuku.... Sebenarnya hal ini kusampaikan ketika
Kembang Darah Setan berada di tanganmu! Namun
mengingat usiaku sudah terlalu tua, dan jika menung-gu Kembang Darah Setan aku
khawatir terlambat, maka meski dengan tanpa Kembang Darah Setan di tanganmu, hal ini harus kusampaikan...." Nyai Suri Agung sesaat hentikan ucapannya
Setelah menarik napas dia teruskan ucapan.
"Kau kembalilah ke Kampung Setan. Hancurkan altar batu putih di dekat makam batu di mana kau pernah terkubur!"
Setan Liang Makam mendengarkan dengan seksama. Begitu Nyai Suri Agung hentikan ucapan, dia angkat bicara.
"Nek.... Bukankah altar itu hanya sebagai pembuka
makam batu"!"
"Itu jika diinjak! Tapi kalau dihancurkan, kau akan menemukan hal lain! Tapi ada
satu hal yang harus
kau ingat, Maladewa! Lakukan apa yang kukatakan jika kau telah mendapatkan kembali Kembang Darah
Setan! Jika tidak, kau hanya akan mengalami kecewa!
Karena kau tak akan mendapatkan apa-apa!"
"Nek.... Sebenarnya ada apa di sana"!"
Nyai Suri Agung gelengkan kepala. "Aku tidak bisa
mengatakannya! Kau sendiri kelak akan mengetahuinya! Hanya aku bisa memastikan, jika kau telah
berhasil maka kejayaan Kampung Setan akan kembali!
Dan kaulah satu-satunya tumpuan dalam urusan ini!"
Nyai Suri Agung putar tubuh. "Cucuku.... Sekarang
kau harus cepat mendapatkan kembali Kembang Darah Setan! Dan kau harus ingat. Jangan termakan
dengan berita yang kini tersebar dalam rimba persilatan! Setiap orang harus kau
curigai! Sekarang aku harus pergi...."
"Nek! Tunggu!" tahan Setan Liang Makam, membuat
Nyai Suri Agung urungkan niat untuk tinggalkan pinggiran sungai.
"Boleh aku minta sesuatu padamu"!"
"Aku sudah tidak punya sesuatu yang pantas kuberikan padamu, Cucuku! Dan keterangan yang baru saja kau dengar sudah lebih berharga dari segalanya!"
"Kau masih memiliki ilmu 'Pantulan Tabir'...!"
"Kau ingin aku mampus sekarang"!" tanya Nyai Suri
Agung. "Nek.... Apa maksudmu"!"
"Ilmu itu hanya bisa diwariskan pada satu orang!
Begitu diwariskan pada orang kedua, maka yang mewariskan akan menemui ajal!"
Setan Liang Makam memaki dalam hati. Lalu berujar pelan dengan nada marah.
"Kalau begitu, berarti nenek telah berbuat ceroboh!
Nenek telah mewariskan ilmu langka itu pada Galaga
yang sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa dengan
kita!" Nyai Suri Agung sedikit belalakkan mata. Masih
tanpa memandang pada Setan Liang Makam, si nenek
berkata. "Kau jangan menyalahkan aku, Maladewa! Galaga
memang tidak punya hubungan apa-apa dengan kita!
Namun sebenarnya dia kupersiapkan untuk membantumu jika saatnya datang! Aku mewariskan ilmu 'Pantulan Tabir' padanya karena aku yakin kau akan mendapatkan yang lebih daripada yang kuberikan pada
Galaga! Sayangnya.... Semua rencana itu harus buyar akibat nafsumu yang tidak
mau bersabar! Seandainya
kau saat ini tidak tergesa-gesa, tentu saat ini kita tidak begini!"
"Nek.... Apa Galaga juga telah tahu apa yang baru
kau katakan tadi"!"
"Cucuku...! Hubungan ku dengan Galaga hanya
terbatas sebagai murid dan guru! Sementara kau adalah cucuku! Aku dapat memisahkan mana yang harus
kukatakan pada murid dan mana yang harus kukatakan pada cucuku sendiri!"
"Berarti dia tidak tahu tentang rahasia batu altar
itu! Tapi bukan berarti aku akan membiarkannya hidup!" ujar Setan Liang Makam.
"Maladewa.... Kau tahu, jika begini perjalanan yang harus kita tempuh,
sebenarnya aku merasa menyesal
mewariskan ilmu itu pada Galaga. Tapi sudahlah....
Semuanya sudah terjadi! Aku menyerahkan semuanya
padamu! Kalau kau anggap Galaga sebagai perintang, kau tahu apa yang harus kau
lakukan, begitu pula se-baliknya!"
"Nek.... Apa tidak sebaiknya kita bersama-sama
mencari Kembang Darah Setan"!"
"Kembang Darah Setan telah kuserahkan padamu!
Kau yang harus menjaga sekaligus mendapatkannya
kembali jika benda itu lolos dari tanganmu! Aku sema-ta-mata hanya sebagai
perantara dan penunjuk!"
Dada Setan Liang Makam kembali bergerak turun
naik. Nyai Suri Agung rupanya bisa menangkap apa
yang melanda dada cucunya.
"Maladewa.... Aku tahu, kau mungkin merasa tidak
suka dengan perkataan ku tadi! Tapi kau harus maklum, itu adalah yang harus kukatakan! Dan kau jangan menganggap ucapanku tadi sebagai isyarat aku
cuci tangan! Tidak, Cucuku.... Aku akan tetap membantumu sekuat apa yang ku bisa! Dan kau harus paham. Demi keluarga, apa pun akan kulakukan! Meski
harus membunuh murid sendiri!"
Nyai Suri Agung tengadahkan kepala. "Lekas dapatkan kembali Kembang Darah Setan! Kita bangun
kembali puing kehancuran Kampung Setan agar bisa
tegak jaya sebagaimana puluhan tahun silam!"
Masih dengan mendongak, Nyai Suri Agung perlahan-lahan melangkah. Setan Liang Makam melompat
dan tegak di samping neneknya.
"Nek! Sekarang hendak ke mana kau pergi"!"
"Kau punya urusan yang harus segera kau lakukan!
Aku pun punya urusan yang juga harus kulaksanakan!" Habis berkata begitu, Nyai Suri Agung luruskan kepala. Saat bersamaan nenek ini gerakkan kaki. Sosoknya melesat dan kejap lain
telah berada di depan sana sebelum akhirnya lenyap dari pandangan Setan Liang
Makam. Setan Liang Makam putar kepala ke arah bukit di
seberang sungai. Dadanya tiba-tiba bergetar keras.
"Aku tidak akan lagi percaya pada mulut orang! Semuanya penipu busuk! Penipu
busuk!" Saking marahnya, Setan Liang Makam hantamkan
kedua tangannya ke aliran sungai di hadapannya.
Byurr! Byurr! Air sungai muncrat sampai dua tombak ke udara.
Lamping tanah pinggiran sungai longsor terkena gelombang riak air tatkala muncratan air itu menghempas kembali. Dan begitu aliran sungai telah mengalir tenang kembali, sosok Setan
Liang Makam sudah tidak kelihatan lagi.
*** TUJUH Dua orang itu duduk bersila saling berhadapan di
sebuah tempat sepi di pinggiran hutan. Saat itu matahari sudah lama tenggelam.
Bentangan langit hanya
disemaraki titik-titik bintang tanpa cahaya sang rem-bulan, hingga dua orang
yang duduk bersila di pinggiran hutan itu laksana bayang-bayang hitam pantulan
batangan pohon yang banyak berjajar di sekitar jalanan menuju hutan.
Walau suasana kelam dan sepi, namun sesekali dua
orang itu tampak gerakkan kepala ke samping kanan
kiri dengan mata mementang. Jelas memberi tanda kalau keduanya waspada dan sepertinya mereka tidak
ingin diketahui orang lain.
"Pasti ada satu hal yang amat penting hingga kau
mengajakku bertemu di sini di luar rencana kita!"
Orang yang duduk di sebelah kanan angkat bicara
dengan suara pelan setengah berbisik setelah yakin
tempat di mana mereka berada aman dari mata dan telinga orang lain.
Orang yang duduk di sebelah kanan adalah seorang
laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna hitam. Rambutnya putih panjang
sebahu. Sepasang matanya besar agak sayu. Pada cuping laki-laki ini tampak melingkar anting-anting
dari benang berwarna merah. Kumis dan jenggotnya yang lebat juga telah berwarna
putih. "Benar! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"
sahut orang satunya dengan suara pelan pula. Orang ini juga adalah laki-laki
berusia lanjut. Pakaian yang dikenakan juga berwarna hitam. Rambutnya telah pula
berwarna putih dan panjang sebahu.
Seandainya saat itu ada orang yang melihat, pasti
orang itu cepat bisa menebak jika dua laki-laki yang duduk bersila masih ada
hubungan darah. Karena paras wajah kedua laki-laki itu hampir tak bisa
dibedakan. Kalaupun ada yang menunjukkan jika keduanya
berlainan, itu hanyalah anting pada cuping hidung salah satu dari mereka. Lakilaki yang duduk di sebelah kanan mengenakan anting pada cuping hidungnya,
sementara laki-laki yang duduk di hadapannya tidak
mengenakan anting pada cuping hidungnya.
Laki-laki sebelah kanan memandang jauh lalu buka
suara. "Meski tempat ini sepi dan aman, namun setiap waktu kita tidak boleh
lengah! Kuharap kau segera
mengatakan apa yang harus kita bicarakan!"
"Lidah Wetan.... Beberapa waktu berselang, aku
bertemu dengan seorang laki-laki yang sebutkan diri sebagai Kiai Tung-Tung.
Walau aku yakin dia berdusta tentang namanya, tapi keterangannya tidak
bohong...."
Laki-laki yang dipanggil Lidah Wetan, dan ternyata
bukan lain adalah Kiai Lidah Wetan, berpaling menatap pada laki-laki di hadapannya.
"Laras.... Kau jangan mudah mempercayai keterangan orang apalagi kau menduga dia berkata dusta tentang siapa namanya! Tapi....
Coba kau katakan keterangan apa yang kau peroleh dari orang itu...," ujar Kiai Lidah Wetan.
Orang yang disebut Laras, dan tidak lain adalah
Kiai Laras edarkan pandang matanya sesaat sebelum
akhirnya bersuara.
"Dia membawa pesan yang harus disampaikan pada
Pendekar 131 Joko Sableng!"
Kiai Lidah Wetan sedikit terkejut. "Apa pesannya"!"
Kiai Laras gelengkan kepala. "Dia tidak mau mengatakan isi pesan itu...."
"Lalu apa gunanya kita bicarakan kalau dia tidak
mau mengatakan isi pesan itu"!" kata Kiai Lidah Wetan menukas ucapan Kiai Laras.
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
(Tentang Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras, silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Kembang Darah Setan").
"Orang itu tidak mau mengatakan isi pesan itu karena dia sendiri tak tahu apa isi pesan yang harus dis-ampaikannya pada Pendekar
131! Dia hanya perlu
memberi tahu pada Pendekar 131, jika dia harus pergi ke pesisir utara bagian
barat dekat dengan sebuah teluk!"
"Kukira hal itu tidak begitu penting, Laras...! Rencana kita sudah sampai di
pertengahan jalan! Jangan masukkan rencana baru yang pada akhirnya dapat
merusak rencana yang hampir berhasil ini! Sekarang
kita tinggal mencari siapa gerangan yang saat ini dicari Setan Liang Makam yang
tentu ada hubungannya dengan rahasia di balik Kembang Darah Setan!"
"Lidah Wetan! Kalau seorang pendekar mendapat
pesan, tentu di dalamnya ada satu hal yang penting!
Dan jangan lupa, saat ini berita tentang Kembang Darah Setan sudah jadi buah
bibir. Siapa tahu pesan itu nanti masih ada kaitannya dengan rahasia di balik
Kembang Darah Setan!"
Kiai Lidah Wetan berpikir sejenak. Lalu angkat bica-ra. "Seandainya kau dapat
mengenali siapa adanya la-ki-laki bernama Kiai Tung-Tung itu, mungkin aku tidak ragu-ragu! Aku khawatir laki-laki itu menjebak ki-ta!" Kiai Laras tertawa
pendek. "Kembang Darah Setan berada di tanganku! Tak ada yang perlu dicemaskan!
Sekali dia berani mempermainkan kita, berarti dia sia-siakan selembar nyawanya!"
Mendengar ucapan Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan balik tertawa. "Kembang Darah Setan memang senjata
luar biasa dahsyat! Namun kau jangan berani menentang peruntungan! Boleh saja manusia memiliki ilmu
setinggi langit bahkan dengan senjata luar biasa sakti namun sampai saat ini
belum ada manusia yang bisa
menang jika harus berhadapan dengan nasib!"
"Hem.... Jadi kau kira ini pekerjaan untunguntungan"!" tanya Kiai Laras.
"Aku tak bisa mengatakan apa namanya. Namun
yang pasti kita belum tahu apa yang ada di sana! Jangan kita bernafsu memburu
ular kecil kalau harus me-relakan lolosnya ular besar yang sudah ada di genggaman tangan!"
"Hem.... Jadi kau tidak setuju dengan rencanaku
yang hendak menyelidik ke sana"!"
Kiai Lidah Wetan tidak segera menjawab. Kiai Laras
alihkan pandang matanya ke depan menembusi kepekatan malam. "Lidah Wetan.... Pada mulanya aku memang punya pikiran sama denganmu. Namun setelah
kupikir-pikir, tak ada salahnya kita berdua lakukan penyelidikan ke tempat itu!
Kita memang masih buta
dengan apa yang ada di sana. Namun hal ini bukanlah untung-untungan! Karena satu
pesan untuk seorang
pendekar pasti bukan pesan sembarangan!"
"Hem.... Baiklah! Tapi sebaiknya penyelidikan itu ki-ta lakukan setelah semua
rencana kita selesai!"
"Tidak, Lidah Wetan! Penyelidikan ini harus segera
kita lakukan! Saat ini Pendekar 131 tengah berkeliaran. Hal ini tentu sangat
memudahkan bagi Kiai Tung-Tung untuk menemukannya!"
Kiai Lidah Wetan tidak menyahut. Sebenarnya lakilaki ini yang juga adalah kakak kandung Kiai Laras tidak setuju dengan jalan
pemikiran adiknya. Tapi setelah agak lama menimbang-nimbang, dia berkata.
"Aku turut saja apa kemauanmu. Namun untuk
menjaga hal yang tidak kita inginkan, kita harus sama-sama menyamar! Dan yang
pasti, siapa pun nanti yang kita temukan di sana, dia harus kita buat bungkam
se-lamanya!"
Kiai Laras tersenyum. Laki-laki ini perlahan beranjak bangkit. Tanpa memandang ke arah Kiai Lidah Wetan yang masih duduk bersila, dia berucap.
"Kudengar saat ini Lasmini juga mencari Pendekar
131 dan Pendeta Sinting. Apa kau sempat bertemu
dengannya"!"
Paras wajah Kiai Lidah Wetan berubah. Dadanya
berdebar. Namun laki-laki ini cepat sembunyikan rasa kejutnya dengan segera buka
mulut. "Setelah putusnya hubungan ku dengannya, sampai
saat ini aku belum pernah bertemu dengannya! Dan
kukira wajar saja kalau dia mencari Pendekar 131 dan gurunya. Peristiwa besar
gegernya Istana Hantu
mungkin masih menorehkan dendam di dadanya!"
Kiai Laras tertawa dalam hati. Lalu menyahut. "Bagaimana kau tahu dia masih memendam dendam setelah peristiwa gegernya Istana Hantu"!"
Kembali raut muka Kiai Lidah Wetan berubah tegang. Entah untuk menutupi ketegangan, dia beranjak bangkit seraya berkata.
"Siapa pun tahu dan mendengar peristiwa itu! Aku
hanya menduga-duga!"
"Lidah Wetan.... Kau masih punya niat untuk jumpa
dengannya"!"
Kiai Lidah Wetan kerutkan kening. "Pertanyaannya
aneh.... Ada apa sebenarnya" Apakah Lasmini telah
mengatakan semua ini pada Laras"!"
Setelah membatin begitu, Kiai Lidah Wetan angkat
bicara. "Kau sempat bertemu dengannya"!"
Yang ditanya gelengkan kepala masih tanpa memandang. "Aku hanya mendengar!"
"Lalu apa maksud pertanyaanmu tadi"!"
"Kalian dahulu adalah pasangan kekasih. Siapa tahu kau ingin jumpa dengannya."
Kiai Lidah Wetan tertawa. "Masa yang lalu bagiku
tidak ada! Apalagi perempuan itu telah membuat hati-ku kecewa!"
"Kalau begitu, apakah kau ingin membunuhnya"!"
tanya Kiai Laras.
Kiai Lidah Wetan tampak semakin heran dengan
pertanyaan adiknya. Namun karena dia tak mau apa
yang telah dilakukannya bersama Lasmini diketahui
orang lain, Kiai Lidah Wetan bersuara.
"Saat aku baru saja dikhianati, aku memang berniat
membunuhnya! Malah aku akan menguburnya hiduphidup! Tapi saat ini kupikir tidak ada gunanya hal itu kulakukan! Aku masih bisa
mencari perempuan lain
yang tentu lebih muda dan lebih cantik daripada dia!"
Kiai Laras putar tubuh menghadap Kiai Lidah Wetan. Namun sepasang matanya hanya melirik, membuat sang kakak tidak enak dan gelisah.
"Lidah Wetan.... Kudengar Pendeta Sinting juga raib dari tempat tinggalnya! Apa
kau tahu hal itu"!"
"Hem.... Ternyata dia telah banyak mengetahui apa
yang terjadi! Sialan betul! Aku terlambat...," pikir Kiai
Lidah Wetan. "Tapi aku tidak boleh berterus terang!"
"Laras.... Aku bukan saja mendengar tentang raibnya Pendeta Sinting. Tapi aku telah membuktikannya sendiri! Manusia tua itu
memang tidak ada di tempatnya!"
"Lalu apakah kau tahu di mana kira-kira dia sekarang"!" tanya Kiai Laras.
"Tidak mudah mencari keterangan di mana beradanya manusia seperti Pendeta Sinting! Namun dengan apa yang saat ini terjadi
dalam dunia persilatan, aku menduga tak lama lagi dia akan muncul!"
Kiai Laras sunggingkan senyum dingin. "Aku sudah
tak sabar ingin melunaskan hutang itu!" gumamnya
seraya angkat kedua tangannya yang mengepal.
"Saatnya akan tiba, Laras.... Kuharap kau bersabar!" Kiai Laras tengadahkan kepala dengan tangan masih mengepal. Entah apa yang dirasakan laki-laki ini.
Yang pasti sepasang matanya mendelik angker. Rahangnya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak.
"Laras! Apa ada yang masih harus kita bicarakan!"
Kiai Laras kancingkan mulut. Kiai Lidah Wetan melangkah mondar-mandir dengan mata liar memandang
berkeliling. "Kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, sebaiknya kita
segera berpisah! Besok malam kita bertemu di sebelah timur pesisir utara!"
Kiai Laras berpaling. "Besok malam kita bertemu.
Dan kuharap kau mengenakan penyamaran seperti diriku!" Kiai Lidah Wetan anggukkan kepala. Memandang
sejurus pada adiknya lalu berkelebat tinggalkan pinggiran hutan.
"Lidah Wetan.... Kau berdusta padaku.... Aku tahu
kau telah menyusun rencana tersendiri dengan perempuan itu! Kau terlambat.... Dan jangan mimpi kau bisa
berbuat macam-macam di belakangku! Ha.... Ha....
Ha...! Kekasih lamamu saat ini sedang mengadakan
perjalanan ke neraka. Dan tak lama lagi kau akan segera menyusul! Ha.... Ha....
Ha...!" Kiai Laras tertawa mengekeh dalam hati. Setelah
sosok kakaknya lenyap, Kiai Laras putar pandangan.
Saat lain dia berlari tinggalkan pinggiran hutan yang makin sunyi dan gelap.
DI satu tempat, Kiai Lidah Wetan berhenti. Kepalanya berpaling sesaat ke belakang. Lalu tengadah.
"Apa yang terjadi dengan Lasmini"! Pandangan Laras
tampak berubah tatkala menceritakan tentang perempuan itu! Hem.... Setelah penyelidikan besok malam, aku harus tahu apa
sebenarnya yang telah terjadi!"
Setelah berpikir begitu, Kiai Lidah Wetan kembali
menoleh ke belakang. Kejap lain dia teruskan kelebatannya.
*** DELAPAN Laki-laki bercaping lebar dari daun pandan itu duduk di bibir tebing tinggi dengan dua kaki diuncang-uncang ke bawah. Dari
mulutnya terdengar gumaman
tak jelas antara nyanyian dan ucapan biasa. Tangan kirinya diletakkan di atas
caping lebarnya dan ditekankan dalam-dalam seolah khawatir caping di atas
kepalanya lenyap disambar angin. Padahal meski dia
duduk di tempat ketinggian, tempat itu tidak dihembus angin kencang. Sementara
tangan satunya lagi tampak sesekali diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan
ke lobang telinganya dan digerak-gerakkan, hingga seraya bergumam, kadang-kadang
tubuh bagian atas laki- laki ini bergerak berjingkat. Lalu cengar-cengir meringis sendirian!
Tempat di mana laki-laki bercaping lebar yang bukan lain adalah Kiai Tung-Tung berada adalah satu
tebing agak tinggi. Siapa pun yang berada di situ, ma-ka ia akan dapat melihat
dengan jelas bila ada orang yang lewat di bawah sana. Karena tempat itu tepat
membelah jalur tiga jalan dari arah barat, timur, dan utara.
"Aku harus secepatnya menuju pesisir utara bagian
barat di dekat teluk! Siapa tahu Kiai Laras masih ada kaitannya dengan Joko
palsu! Aku melihat ada sesuatu yang disembunyikan orang tua itu!" Kiai Tung-Tung
bergumam. Baru saja Kiai Tung-Tung bergumam, tiba-tiba sepasang matanya menangkap gerakan satu sosok tubuh
dari sebelah barat. Kiai Tung-Tung hentikan gerakan kedua kakinya. Tangan
kirinya makin ditekankan dalam-dalam pada caping lebarnya hingga raut wajahnya
makin tenggelam tidak kelihatan. Sementara sepasang matanya dipentang besarbesar tak berkesip memperhatikan gerakan orang di sebelah bawah sana.
"Sepertinya aku mengenali orang itu...," desis Kiai Tung-Tung seraya sorongkan
wajahnya ke depan dengan tangan kanan berpegangan erat-erat pada bibir
tebing. "Ah.... Betul, Memang dia...!" akhirnya Kiai TungTung dapat memastikan setelah orang di bawah sana
teruskan langkah dan membawanya berada tidak jauh
dari tebing. Begitu merasa yakin, Kiai Tung-Tung tarik pulang
sorongan wajahnya. Kedua tangannya serta merta diangkat lalu dirangkapkan di depan dada. Bersamaan
dengan itu sepasang matanya dipejamkan. Lalu tibatiba dia buka mulut perdengarkan suara keras.
"Mencari barang yang hilang tentu makam waktu
dan tenaga. Namun bila tidak disertai dengan bertanya, waktu dan tenaga akan hilang percuma! Bahkan mungkin akan membawa sengsara!"
Tiba-tiba orang yang berjalan di bawah sana hentikan langkah. Perlahan-lahan kepalanya bergerak mendongak ke arah tebing. Sepasang matanya yang besar
dan liar memperhatikan sesaat. Lalu kepalanya kembali diluruskan.
"Ucapan manusia itu sepertinya ada hubungannya
dengan diriku! Siapa dia sebenarnya"!" desis orang di bawah yang ternyata adalah
seorang laki-laki yang paras wajah serta sekujur tubuhnya hampir tidak dapat
disebut sebagai manusia karena wajah dan seluruh
anggota tubuhnya hanya merupakan susunan kerangka. Orang di bawah yang tidak lain adalah Maladewa
alias Setan Liang Makam kembali tengadah seolah ingin yakinkan pandangan dengan apa yang baru saja
didengar. Di lain pihak, Kiai Tung-Tung tampak buka sedikit
kelopak matanya. Lalu mulutnya kembali perdengarkan suara keras.
"Barang yang hilang seharusnya didapatkan kembali! Tapi kalau tidak bertanya, mana mungkin hal itu bi-sa terjadi"! Ha....
Ha.... Ha...! Jalan telah kubuka, hanya manusia tolol jika tidak mengerti apa
yang kuu-capkan!"
"Jahanam!" maki Setan Liang Makam. "Ucapannya
benar-benar menyindir ku!"
Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke
bawah tebing. Saat lain cucu dari Nyai Suri Agung ini berkelebat.
"Ke mana dia"! Apa menuju kemari"!" gumam Kiai
Tung-Tung dalam hati begitu dia buka sedikit kelopak
matanya dan tidak lagi melihat sosok Setan Liang Makam. Kepalanya digerakkan
dengan mata dibuka lebarlebar meneliti keadaan di bawah tebing.
"Manusia! Siapa kau sebenarnya"!" Tiba-tiba satu
suara mengejutkan Kiai Tung-Tung.
"Busyet! Dia telah berada di belakangku!" ujar Kiai Tung-Tung dalam hati.
Perlahan-lahan kepalanya di-tengadahkan. Tanpa berpaling ke belakang dia angkat
suara. "Aku biasa dipanggil orang Kiai Tung-Tung! Dan
kau pasti anak manusia yang bergelar Setan Liang
Makam...!"
Setan Liang Makam sedikit terkesiap mendapati
orang telah mengenalinya. Dia coba menduga-duga
dengan mata dijerengkan memandangi orang. Namun
karena dia berada di belakang, apalagi Kiai Tung-Tung mengenakan caping lebar
yang dimasukkan dalam-da
lam pada kepalanya, Setan Liang Makam bukan saja
gagal mengenali siapa adanya orang, namun juga tidak bisa melihat jelas raut
wajah orang. "Dengar, anak manusia bergelar Setan Liang Makam!" kata Kiai Tung-Tung masih tanpa putar tubuh
dan kedua tangan tetap merangkap di depan dada.
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tahu, saat ini kau tengah mencari barang mu
yang lenyap diambil orang. Ha.... Ha.... Ha...! Aku tanya dahulu, apa Kembang
Darah Setan sudah kau
dapatkan kembali"!"
Untuk kedua kalinya Setan Liang Makam terkejut.
"Siapa kau sebenarnya"!" bentaknya seraya melangkah mendekat.
"Kau perlu Kembang Darah Setan atau perlu bertanya siapa aku"!" Kiai Tung-Tung balik bertanya.
Setan Liang Makam kancingkan mulut tidak menjawab. Sebaliknya dia terus melangkah mendekat.
"Harap tidak teruskan langkah! Percuma kau ingin
tahu siapa aku sebenarnya!" ujar Kiai Tung-Tung
membuat Setan Liang Makam mau tak mau hentikan
langkah berjarak tujuh tindak dari belakang Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung tertawa bergelak. Lalu setelah agak
lama Setan Liang Makam tidak juga memberi jawaban,
laki-laki bercaping lebar ini angkat bicara lagi.
"Kalau aku dapat mengatakan siapa kau, aku juga
bisa memberi keterangan di mana Kembang Darah Setan!" Saking bernafsunya, laksana hendak terbang Setan
Liang Makam melompat ke depan seraya berteriak keras. "Di mana"!"
"Harap kau mundur dahulu!" ujar Kiai Tung-Tung
yang sebenarnya khawatir jika tiba-tiba Setan Liang Makam membuat gerakan yang
tidak diduga. Setan Liang Makam yang seolah tak sabar tampak
menghela napas lalu perlahan-lahan melangkah mundur. Begitu dia tegak di tempat mana tadi berdiri, dia segera berteriak lagi.
"Katakan di mana Kembang Darah Setan itu!"
Dari suara Setan Liang Makam, Kiai Tung-Tung sudah bisa melihat jika laki-laki cucu dari Nyai Suri Agung itu telah turuti
ucapannya. Hingga dia segera pula buka mulut.
"Sebelum kukatakan di mana, kau perlu tahu lebih
dahulu jika Kembang Darah Setan saat ini berada di
tangan seorang pemuda bergelar Pendekar 131 Joko
Sableng!" "Sialan keparat! Aku sudah tahu itu!" sentak Setan
Liang Makam. Mendengar sentakan orang, Kiai Tung-Tung tertawa
ngakak. Puas tertawa dia berkata. "Harap jangan terlalu terburu marah, Sahabat!
Dan harusnya kau bersyukur bisa bertemu denganku.... Karena walau kau
tidak akan mendapat keterangan apa-apa mengenai diriku, tapi kau akan mendapat keterangan berharga
tentang apa yang selama ini kau cari-cari...."
"Mengapa kau akan memberi keterangan padaku"!"
tanya Setan Liang Makam utarakan keheranan yang
sejak tadi melanda dadanya.
Kiai Tung-Tung gerakkan kepala menggeleng. "Hal
itu tidak usah kau tanyakan! Karena jawabannya akan membuatmu bingung!"
"Siapa percaya pada ucapanmu! Kau mungkin
hanya manusia yang mendengar dari beberapa orang
lalu sengaja menghadangku dan berpura-pura tahu
akan urusanku! Tapi justru sebenarnya kau ingin tahu lebih dalam tentang Kembang
Darah Setan!" Setan
Liang Makam mendengus keras sebelum akhirnya lanjutkan ucapan. "Kau manusia bernasib buruk! Karena
bukan keterangan yang akan kau dapatkan, tapi tangan maut yang akan kau terima!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Kau terlalu jauh bicara, Sahabat!
Aku tidak perlu keterangan banyak darimu urusan
Kembang Darah Setan! Aku tahu bagaimana ceritanya
dari awal hingga akhir! Malah mungkin aku tahu lebih banyak dari apa yang kau
ketahui!" Kiai Tung-Tung hentikan ucapannya sejenak, lalu
melanjutkan. "Coba kau dengar ucapanku. Kau adalah
generasi terakhir dari Kampung Setan. Kau masih
punya seorang nenek yang sekaligus adalah gurumu.
Dia bernama Nyai Suri Agung! Dan lebih dari itu, sebenarnya kau juga punya
saudara seperguruan yang
diangkat nenekmu dari kalangan orang di luar Kampung Setan. Kau pernah dikhianati oleh orang kepercayaanmu hingga kau akhirnya masuk ke dalam sebuah makam batu! Bagaimana"! Dari keteranganku
tadi apa ada yang salah"!"
Setan Liang Makam tegak dengan mulut terkancing
dan mata mementang besar. Dia tak habis pikir bagaimana rahasia dirinya bisa diketahui oleh orang! Padahal dia yakin orang yang
dihadapinya saat itu bukanlah saudara seperguruannya yang jelas tahu banyak tentang dirinya. Di lain pihak, sebenarnya Kiai Tung-Tung tampak cemas dan
dadanya berdebar keras. Diam-diam dia membatin. "Mudah-mudahan dugaanku tidak meleset! Datuk Wahing memang tidak
mau mengatakan siapa dirinya. Namun dari keterangannya, aku bisa menduga jika dia adalah saudara seperguruan manusia di belakang
itu! Dan nenek yang
pernah kutemui tempo hari adalah orang yang dimaksud Datuk Wahing sebagai Eyang Guru sekaligus nenek orang di belakang itu...."
Kiai Tung-Tung beberapa lama menunggu sahutan
dari Setan Liang Makam dengan perasaan gundah dan
khawatir. Karena apa yang baru saja diucapkan adalah dugaannya setelah mendengar
keterangan dari Datuk
82 - - Wahing. Dan itu jelas menunjukkan kalau si lakilaki bercaping lebar ini bukan lain adalah Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng yang tengah menyamar.
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, murid
Pendeta Sinting ini pernah mendapat cerita dari Datuk Wahing perihal Kembang
Darah Setan serta perihal
Kampung Setan. Walau saat itu Datuk Wahing tidak
menjelaskan secara gamblang, namun Joko sudah bisa
menarik kesimpulan. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode : "Rahasia Kampung Setan").
"Dari mana kau tahu cerita itu"!" Setan Liang Makam akhirnya ajukan tanya setelah terdiam beberapa
lama. Pertanyaan Setan Liang Makam membuat Kiai
Tung-Tung menghela napas lega. Karena dari pertanyaan orang dia sudah maklum kalau dugaannya tidak salah! "Sahabat!" ujar Kiai Tung-Tung. "Soal dari mana cerita itu, bukan masalah besar yang harus kita bicarakan di sini! Yang jadi
masalah sekarang justru bagaimana kau bisa mendapatkan kembali Kembang Darah
Setan yang lepas dari tanganmu! Bukankah begitu"!"
"Sialan benar! Siapa manusia ini sebenarnya"!"
kembali Setan Liang Makam didera perasaan ingin tahu. Namun ingat akan ucapan Kiai Tung-Tung yang
tak ingin diketahui, akhirnya dia urungkan niat untuk bertanya.
"Sahabat! Kalau kau ingin mendapatkan kembali
Kembang Darah Setan, pergilah ke pesisir utara bagian barat dekat dengan sebuah
teluk! Dan ingat, apa yang kau cari adalah benda sakti warisan leluhur mu. Jadi
hal itu membutuhkan kesabaran...."
"Maksudmu"!" tanya Setan Liang Makam.
"Kau harus bersabar menunggu!"
"Apa yang kutunggu"!"
"Aku tidak bisa mengatakannya.... Kau kelak bisa
melihat sekaligus membuktikannya!"
"Apa ucapannya manusia ini tidak menipu"! Jangan-jangan dia semacam manusia-manusia yang selama ini pernah menipuku!" Setan Liang Makam didera
kebimbangan begitu ingat akan penipuan yang dilakukan oleh Saraswati.
"Apakah manusia jahanam Pendekar 131 akan berada di sana"!" Bertanya Setan Liang Makam setelah
agak lama berpikir.
"Ada dua kemungkinan! Tapi aku tidak bisa memberi keterangan secara jelas. Yang pasti dua kemungkinan itu masih berhubungan
dengan Kembang Darah
Setan!" "Jahanam! Kalau kau tak bisa memberi kepastian,
kau sama saja dengan manusia lainnya!"
"Jangan salah menduga, Sahabat! Aku memang tidak bisa memastikan! Tapi kemungkinan itu jelas ada hubungannya dengan Kembang
Darah Setan! Dan kau
harus ingat! Tidak penting kau nanti akan bertemu
dengan Pendekar 131 atau tidak! Yang penting kau
mendapatkan Kembang Darah Setan itu kembali!"
"Bagaimana mungkin akan kudapatkan kembali jika pemuda jahanam itu tidak muncul di sana!"
"Sahabat!" kata Kiai Tung-Tung dengan suara keras
bernada marah. "Aku telah memberimu keterangan
tanpa kau minta! Seharusnya kau berterima kasih!
Dan kalaupun seandainya aku mau, aku tidak akan
memberitahukan hal ini padamu! Aku akan pergi ke
pesisir sendirian dan mendapatkan Kembang Darah
Setan!" "Mengapa hal itu tidak kau lakukan"!" tanya Setan
Liang Makam balik membentak.
Kali ini Kiai Tung-Tung tertawa panjang terlebih dahulu sebelum berkata. "Aku
tidak mau memiliki benda yang sudah menjadi hak seseorang! Justru kalau bisa,
aku harus membantu agar benda di tangan orang yang
tidak berhak bisa beralih ke tangan orang yang berhak untuk memilikinya! Dalam
hal ini kaulah orang yang
berhak, dan aku hanya bisa membantu dengan keterangan, mengingat hanya hal itu yang bisa kulakukan!" Setan Liang Makam tergagu diam mendengar ucapan Kiai Tung-Tung. Dan Kiai Tung-Tung sendiri tampaknya tak mau memberi kesempatan bicara. Begitu
dia selesai berucap, laki-laki bercaping lebar ini telah sambung ucapannya.
"Kau telah dengar keterangan. Dalam keadaan seperti saat ini, kau dituntut untuk bertindak cepat! Dan
kurasa sudah tidak ada yang bisa kuberikan lagi padamu!" Habis berkata begitu, enak saja Kiai Tung-Tung uncang-uncang kedua kakinya lagi ke lamping tebing.
Kedua tangannya yang merangkap di depan dada dibuka. Tangan kanan ditekankan pada caping lebarnya
sementara tangan kiri diangkat lalu salah satu jarinya dimasukkan ke dalam
lobang telinga dan digerak-gerakkan. Bersamaan dengan itu kepalanya bergerak
teleng dengan tubuh berjingkat-jingkat keenakan!
Setan Liang Makam memandang berlama-lama dengan mata dibeliakkan. Dia tetap masih merasa ragu
dengan keterangan orang. Hal itu terlihat dari ucapannya kemudian. "Untuk
membuktikan kalau ucapanmu
tidak dusta, kau harus ikut aku!"
Kiai Tung-Tung seolah tidak mendengar perkataan
orang. Dia seakan asyik dengan permainannya sendiri.
Malah kini dari mulutnya terdengar gumaman tidak jelas. Setan Liang Makam mulai
marah. Dia melangkah
maju dua tindak. Namun sebelum mulutnya perdengarkan suara, Kiai Tung-Tung telah mendahului.
"Sahabat! Kalau kau mau mengajakku ikut serta,
aku punya syarat!"
"Katakan apa syaratmu!"
"Kelak Kembang Darah Setan harus kau serahkan
padaku!" "Jahanam! Kau harus langkahi dulu mayatku kalau
ingin memiliki Kembang Darah Setan!"
"Sahabat! Tadi sudah kubilang. Seandainya aku
mau, tidak sulit bagiku mendapatkan Kembang Darah
Setan! Malah tanpa harus melangkahi mayatmu! Kalau
kau ingin bukti, tunggulah di sini sampai tujuh hari di muka! Tapi sekali lagi,
begitu Kembang Darah Setan di tanganku, kau tidak berhak untuk mengambilnya! Bagaimana, kau setuju"!"
"Ucapan gila!" maki Setan Liang Makam dengan dada makin menggelegak.
Kiai Tung-Tung tertawa terbahak. "Dalam beberapa
hal, kadang-kadang manusia dituntut untuk berbuat
dan bicara gila-gilaan! Apalagi jika urusannya berkaitan dengan senjata sakti!"
"Kalau kau tidak mau ikut, aku tidak akan pergi ke
pesisir utara!" ujar Setan Liang Makam. "Aku sudah
kenyang dengan ucapan dusta manusia!"
"Terserah! Aku hanya memberi keterangan. Soal
kau mau menerima atau tidak bukan lagi urusanku"
seraya berucap, Kiai Tung-Tung hentikan gerakan kedua kakinya. Lalu perlahan-lahan dia bergerak bangkit. Namun meski sekarang telah tegak, dia belum Ju-ga putar diri menghadap
Setan Liang Makam yang tegak di belakangnya.
"Aku menunggu jawaban persetujuan mu, Sahabat!"
kata Kiai Tung-Tung.
Setan Liang Makam tidak juga mau menyahut. Dia
hanya memandang liar. Sementara Kiai Tung-Tung
perlahan-lahan balikkan tubuh. Mata Setan Liang Makam makin dipentang besar-besar. Namun karena caping itu dimasukkan dalam-dalam, dan sebagian rambut menutupi bagian samping wajah Kiai Tung-Tung,
sampai demikian jauh Setan Liang Makam tidak bisa
mengenali raut wajah orang.
"Sahabat! Waktuku tidak banyak!" ujar Kiai TungTung. Setan Liang Makam mendengus. Sikap dan ucapan
Kiai Tung-Tung perlahan-lahan membuat kebimbangan Setan Liang Makam sirna. Tanpa buka suara, Setan Liang Makam balikkan tubuh.
"Kau telah gantungkan nyawamu pada tanganku!
Begitu ucapanmu dusta, maka tak ada tempat layak
bagimu untuk sembunyi!"
"Sahabat, Untuk adilnya, boleh aku tanya"!" kata
Kiai Tung-Tung.
"Apa yang akan kau tanyakan"!" sentak Setan Liang
Makam. "Bagaimana kalau ucapanku nanti benar"!"
Setan Liang Makam tertawa pendek. "Itu nanti terserah pada takdir yang tertulis untukmu! Mungkin aku akan memberi hadiah
untukmu. Dan tak tertutup kemungkinan aku akan membunuhmu!"
Setan Liang Makam tertawa bergelak panjang. Lalu
Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkah perlahan tinggalkan tebing. Kiai Tung-Tung putar tubuh. Melihat ke
bawah tampak Setan Liang
Makam telah berlari menuju ke arah utara.
*** SEMBILAN Waktu itu hampir menjelang malam. Bundaran matahari tampak menggantung sejengkal di atas hamparan air laut sebelah barat. Warnanya yang telah berubah kekuningan membuat
seluruh permukaan air laut
berkilat keemasan. Gulungan ombak yang melamun
dahsyat pancarkan sinar pelangi. Beberapa batu karang yang banyak bertebaran di pesisir perlahan-lahan berubah warna. Dan begitu
sang mentari benar-benar
tenggelam, beberapa jajaran batu karang laksana paku-paku besar yang ditancapkan kokoh di hamparan
bumi. Di pesisir sebelah barat, di mana terlihat sebuah teluk, suasana menjelang malam
itu tampak dibuncah
dengan suara bergemuruh menghempasnya gelombang
yang abadi menghantam samping teluk. Suasana teluk
pun sudah berubah menghitam meski jika mata dilayangkan, orang masih bisa melihat keadaan sekitar.
Kira-kira lima puluh tombak dari teluk, satu sosok
tubuh tampak duduk mendekam di balik satu gugusan
batu karang agak tinggi hingga sosok orang ini tidak kelihatan jelas.
"Hari sudah malam! Kenapa dia terlambat muncul"!
Atau dia memang tidak akan muncul di sini"!" Orang
di balik batu karang mendesis. Sepasang mata diarahkan lurus pada satu jurusan.
Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian putihputih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan diikat dengan ikat kepala warna
putih pula. Kalau orang pernah berjumpa dengan Pendekar 131 Joko Sableng,
maka orang itu pasti menyangka jika si pemuda di balik batu karang adalah murid
Pendeta Sinting.
Baru saja si pemuda yang paras wajahnya mirip
dengan Pendekar 131 mendesis, tiba-tiba sepasang
matanya menangkap gerakan satu bayangan putih di
depan sana. Si pemuda di balik batu karang segera gerakkan tubuh makin merunduk.
Namun sepasang matanya makin dipentang.
Bayangan putih yang berlari menuju arah teluk tiba-tiba berhenti. Sepasang matanya liar memandang
dengan kepala digerakkan berputar. Jelas sikapnya
Pedang Ular Mas 14 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Kuda Putih 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama