Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 14
Heran Sin Tjie mendengar ini. "Mesti ada hubungannya di antara dia dan Kim Tjoa Longkoen,"
pikirnya. Karena uwah ini kenali diapunya ilmu pukulan menghalau serangan kuku
yang berbahaya itu.
Walaupun ia heran, Sin Tjie toh tidak berhentikan gerakan tubuhnya, malah belum sempat
dia menjawab, dia sudah sampai di atas tembok, akan terus lompat kesebelah luar, untuk
susul kawan-kawannya.
A Pa beramai telah lindungi Tjeng Tjeng sampai ditembok yang keempat, justru itu,
mereka dengar satu suara berkeresek yang nyaring menyusul mana pada tembok
terbukalah satu lowongan beberapa kaki lebarnya.
Sin Tjie tahu, itulah pintu rahasia, maka untuk lindungi A Pa semua, ia lompat melesat
kearah pintu rahasia itu, tanpa berayal lagi ia menyerang dengan kedua tangannya dengan
tipu-silatnya "Pay san to hay" atau "Mendorong gunung untuk menguruk lautan."
Berbareng sama terpentangnya pintu rahasia, serombongan orang Ngo Tok Kauw
tertampak meluruk datang, untuk keluar dari situ, tetapi dua yang maju paling depan telah
jadi kurban serangannya anak muda kita, tanpa ampun mereka rubuh jumpalitan beberapa
kali, kembali kesebelah dalam, karena mana kawan-kawannya jadi merandak, tak berani
mereka lancang maju.
Phoa Sioe Tat licik, dia lantas berikan tanda titahnya, atas mana empat anggauta Ngo Tok
Kauw segera angkat bumbung mereka, yang merupakan sumpitan, untuk menyemburkan
barang cair kearah Sin Tjie. Itu adalah air racun mereka.
Sin Tjie kaget sekali, belum ia sampai kena tersemprot, hawa busuk telah bikin kepalanya
rada pusing, syukur ia dapat berlompat mundur dengan cepat, ia jadi lolos dari bahaya.
Dengan menyingkir jauh-jauh, semprotan air racun tidak sampai kepadanya, air racun itu
jadi menyiram melulahan disebelah depan dia. Air racun itu bersemu hitam dan baunya
keras. Tembok di belakang Sin Tjie ada tembok kuning, yang jauh lebih kate daripada temboktembok
lainnya disebelah dalam, maka itu di sini ia tidak gunai ilmu merayapnya "Cecak
main ditembok," ia hanya enjot tubuhnya, untuk berlompat, hingga dilain saat, ia sudah
sampai kebahagian atas tembok. Dari sini ia lompat keluar dengan tidak memutar tubuh
lagi, hanya sambil lompat jumpalitan, secara begini ia jadi tidak mensiasiakan tempo.
Ho Tiat Tjhioe dapat lihat cara berlompat itu.
"Bagus!" serunya tanpa dia merasa.
Sin Tjie susul kawannya terus sampai ditembok terakhir, yang warnanya hitam. Ia tidak
lihat orang mengejar akan tetapi tak mau ia membuang-buang tempo. Malah untuk bisa lari
lebih cepat lagi, ia sambar Tjeng Tjeng, untuk dipanggul dibelakangnya, bersama semua
kawannya itu, ia kabur terus.
Benar disaat mereka mendatangi dekat rumah mereka, Sin Tjie merasakan gatal-gatal pada
pundaknya, ada hawa panas yang menghembusnya, apabila ia menoleh ke belakang,
Tjeng Tjeng tertawai ia, si nona cekikikan pelahan. Maka legalah hatinya, sebab itu ada
suatu tanda kawan ini tidak terluka parah.
Segera setelah sampai didalam rumah, Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, untuk tolongi
Thie Lo Han dan Sian Tiat Seng, kemudian Baru ia periksa lukanya Tjeng Tjeng, yang
menjadi kurban senjata rahasia yang berupa gelang dari kepala agama Ngo Tok Kauw.
Kakinya si nona, yang terkena gelang, yang tadinya putih-bersih, sekarang telah menjadi
berwarna hitam dan bengkak juga, suatu tanda liehaynya serangan dari Ho Tiat Tjhioe. Sin
Tjie lantas mengobatinya.
Adalah kemudian, selagi semua orang beristirahat, Sin Tjie minta keterangan pada Sian
Tiat Seng tentang Ngo Tok Kauw, itu pengemis yang memuja ular berbisa.
"Ngo Tok Kauw itu biasanya tidak pernah melintas keluar dari wilayah mereka, keempat
propinsi Inlam, Kwietjioo, Kwiesay dan Kwietang, sama sekali belum pernah mereka
datang ke Utara," sahut Tokgan Sin-Liong dengan keterangannya, "meskipun demikian,
umum ketahui baik keliehayan mereka. Sekalipun dalam kalangan Rimba Persilatan, asal
orang omong tentang Ngo Tok Kauw, wajah muka orang pasti berubah karena gelisah
sendirinya. Sebegitu jauh yang aku ketahui, tak pernah ada orang yang berani main gila
terhadap rombongan pengemis itu."
Thia Tjeng Tiok diam saja sedari tadi, ia telah kerutkan alis ketika ia dengar hal
pertempuran di gedung Pangeran Seng Ong itu, akan tetapi, seperti orang yang ingat
suatu apa, sehabis katanya Sian Tiat Seng, ia campur bicara.
"Wan Siangkong," katanya, "orang bilang Oey Bok Toodjin dari Boe Tong Pay telah
terbinasa ditangannya kawanan Ngo Tok Kauw itu..."
"Bagaimana cara kematiannya itu" Siapakah yang telah menyaksikannja?" Sin Tjie tanya.
"Jikalau ada yang telah menyaksikan, mestinya saksi itu sendiri tidak akan luput dari
tangannya orang-orang Ngo Tok Kauw," sahut Tjeng Tiok. "Menurut kalangan orang kangouw,
kebinasaannya Oey Bok Toodjin itu ada dalam cara sangat hebat dan menyedihkan.
Pernah orang-orang Boe Tong Pay meluruk ke Inlam, untuk mencari balas, akan tetapi
tidak ada hasilnya. Ngo Tok Kauw itu adalah satu rahasia untuk umum..."
Tiba-tiba See Thian Kong perdengarkan suara tak nyata, kemudian dia tegasi Tjeng Tiok:
"Saudara, Thia, apa benar-benar kau tidak kenal pengemis wanita tua itu?"
Ditanya begitu, Thia Tjeng Tiok perlihatkan roman duka.
"Aku percaya saudara-saudara merasa heran, sebenarnya aku mempunyai kesulitan, yang
sukar untuk aku menjelaskannya," kata dia kemudian.
See Thian Kong tertawa.
"Aku pernah tempur kau, aku tahu, makin tua kau makin gagah!" katanya. "Siapa juga
tidak nanti bilang bahwa kau takut mati!"_
"Aku telah terima pesan orang, untuk itu aku telah beri kata-kataku dengan sumpah berat,"
kata pula Thia Tjeng Tiok, "maka itu, tak dapat aku bicara. Itu juga sebabnya kenapa aku
tak ingin datang kebalai istirahat dari Pangeran Seng Ong itu."
Orang tahu, sebagai ketua dari Tjeng Tiok Pay, Tjeng Tiok tidak nanti bicara dusta,
karenanya, orang tidak desak dia untuk menjelaskan kesulitannya itu. Tapi karena itu,
untuk sesaat, semua orang berdiam, mereka pada tunduk kepala, hingga gedung menjadi
sunyi-senyap. Dalam suasana terbenam itu, mendadak satu bujang datang masuk.
"Ada satu Nona Tjiauw mohon ketemu sama Wan Siangkong l" katanya.
Tjeng Tjeng kerutkan alis dengan tiba-tiba.
"Dia datang, apakah dia mau?" katanya.
"Undang dia masuk !" Sin Tjie perintah bujangnja.
Bujang itu menyahuti, lantas ia keluar. Tidak lama ia sudah kembali bersama Tjiauw Wan
Djie. Begitu lekas ia berhadapan sama Sin Tjie, Nona Tjiauw segera berlutut, ia memberi hormat
sambil menangis menggerung-serung.
Sin Tjie lihat orang pakai pakaian berkabung, hatinya sudah bercekat, tetapi karena si
nona berlutut, ia lekas-lekas berlutut juga untuk membalas hormat.
"Silahkan bangun, Nona Tjiauw," katanya kemudian, mempersilahkan.
"Apakah ayahmu baik?"
Masih nona itu menangis.
"Ayah, ayah telah dibunuh si orang she Bin..." katanya dengan tak lancar.
Sin Tjie terperanjat, sampai ia berjingkrak.
"Bagainianakah duduknya hal?" tanya dia dengan bernapsu.
Wan Djie sudah berbangkit, ia lolosi satu bungkusannya, untuk diletaki diatas meja, terus
ia buka. Isinya itu sebatang pisau belati yang tajam mengkilap dimana antaranya ada sisa
tanda-tanda darah terotolan.
Sin Tjie jumput senjata itu, untuk diperiksa. Maka melihatlah ia ukiran huruf-huruf pada
gagangnya, yang dikelam dengan emas, bunyinya "Bin Tjoe Hoa, murid Boe Tong Pay
golongan huruf Tjoe".
Itu adalah senjata warisan atau tanda mata kepada setiap murid Boe Tong Pay, yang biasa
diberikan kepada setiap murid yang telah rampungkan pelajarannja dan diijinkan turun
gunung, keluar dari rumah perguruan.
"Ketika itu hari ayah pulang habis menghadirkan rapat besar di gunung Tay San," Tjiauw
Wan Djie segera menerangkan, "kami telah mampir di Tjietjioe untuk bermalam didalam
sebuah rumah penginapan. Dihari besoknya, sampai siang ayah masih belum keluar dari
kamar, maka aku pergi kekamarnya, untuk mengasi bangun. Akan tetapi ayah kedapatan
sedang rebah dengan sudah tidak bernapas, didadanya tertancap sebatang pisau belati
ini... Wan Siangkong, aku mohon sukalah kau pikirkan jalan untuk aku..."
Kembali Wan Djie menangis menggerung-gerung.
Mulanya Tjeng Tjeng heran atas kedatangan Nona Tjiauw itu, timbullah kecurigaannya,
akan tetapi sekarang, melihat kesulitan orang itu dan menyaksikan keadaannya yang
menyedihkan, timbullah rasa simpati dan kasihannya, lantas saja ia menghampirinya,
untuk pegang tangannya Nona Tjiauw, akan susuti air matanya nona yang bernasib
malang itu. "Toako," kata Tjeng Tjeng dilain pihak kepada Sin Tjie, "orang she Bin itu sudah berjanji
untuk bikin habis persengketaan, kenapa sekarang dia lakukan perbuatan hina-dina ini,
membunuh secara menggelap" Tak dapat kita sudahi perkaranya ini!"
Sin Tjie tidak lantas menyahuti, hanya dia berdiam. Dia berpikir.
"Nona Tjiauw," tanyanja kemudian, "apakah setelah itu kau pernah bertemu sama orang
she Bin ini?"
"Dua kali aku pernah bertemu padanya," sahut Wan Djie dengan masih menangis
sesenggukan, "maka kami telah susul dia. Baru kemarin kami sampai di sini..."
"Bagus!" seru Tjeng Tjeng. "Dia ada di Pakkhia, mari kita cari padanya! Adikku, kau sabar,
kau tenangkan diri, pasti aku nanti membalas dendam untukmu!"
Thia Tjeng Tiok, See Thian Kong dan yang lain-lain berdiam saja. Tjeng Tjeng tahu, itulah
tentu disebabkan mereka tak ketahui duduknya hal. Maka nona Hee lantas ceritakan
pengalamannya Sin Tjie di Kim-leng dimana pemuda itu telah pecahkan ilmu silat "Liang
Gie Kiam-hoat" untuk mengakurkan perselisihan diantara Tjiauw Kong Lee dan Bin Tjoe
Hoa. Mendengar ini, Tjeng Tiok semua menjadi tidak puas. Teranglah Bin Tjoe Hoa sudah
langgar kehormatan kaum kang-ouw, perbuatannya itu ada sangat busuk.
"Mahluk apa Bin Tjoe Hoa itu?" tanya See Thian Kong dalam sengitnya. "Ingin aku si tuabangka
she See mencoba menempur dia!"
Tjiauw Wan Djie lantas menjura kepada Thian Kong beramai.
"Aku mohon semua paman untuk membelakan pri-keadilan," minta dia.
Thia Tjeng Tiok pun sengit sekali, hingga dia keprak meja.
"Dimana adanya Bin Tjoe Hoa sekarang?" dia tanya. "Tidak perduli Boe Tong Pay banyak
anggautanya dan berpengaruh, aku si orang she Thia tak gentar terhadap mereka!"
"Setelah kebinasaan ayah," kemudian Tjiauw Wan Djie menerangkan lebih jauh, "bersama
beberapa soeko aku rawat jenasahnya, tetapi sekarang ini jenasah itu masih dititipkan
dirumahnja In Piauwsoe dari Kong Boe Piauw Kiok di Tjietjioe. Segera setelah itu, aku
mencoba mengundang sejumlah sesama orang kang-ouw, untuk mereka tolong cari tahu
dimana beradanya Bin Tjoe Hoa. Aku bersyukur kepada roh ayahku, selang beberapa hari
telah datang kabar dari sahabat-sahabat di Hoolam, ada diantara mereka yang dapat lihat
orang she Bin itu sedang dalam perjalanan dari Hoolam ke Pakkhia. Atas warta itu, pihak
kami sudah lantas bekerja. Pelbagai hiotjoe dalam dan luar dari Kim Liong Pang bersama
semua totjoe dari semua pelabuhan darat dan air telah berpencar diri, untuk mencari dan
memegat, dua kali telah dilakukan pertempuran, saban-saban dia bisa loloskan dirinya.
Tidak beruntung adalah aku, karena aku tidak punya guna, pernah satu kali,aku kena
dilukai dia..."
Sin Tjie lihat, pundak kiri dari si nona masih dibalut. Ia merasa kasihan berbareng kagum.
Pasti nona ini, meskipun kalah tangguh dari Bin Tjoe Hoa, untuk membalas sakit hati
ayahnya, sudah berlaku nekat, dia tempur mati-matian musuh besarnya itu. Tentu sekali
dia ini bukannya tandingan Bin Tjoe Hoa.
"Sampai kemarin kami terus kuntit orang she Bin itu," Wan Djie melanjuti keterangannya.
"Sekarang kami telah ketahui dimana dia telah pernahkan diri."
"Dimana?" tanya Tjeng Tjeng dengan bernapsu. "Mari lekas kita satroni dia, supaya dia
jangan keburu mabur lagi!"
"Dia bertempat di gang Hoe Kee Hootong di dalam sebuah rumah," sahut Wan Djie.
"Seratus lebih orangku sudah memasang mata disekitar rumah itu."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut.
"Meskipun nona ini masih muda tapi ia cerdik dan pandai bekerja," memuji ia dalam
hatinya. "Kaum Kim Liong Pang telah keluar dalam rombongan seluruhnya, pasti sekali
sebelum mereka dapat binasakan Bin Tjoe Hoa, belum mereka mau sudah..."
"Barusan saja ditengah jalan aku telah bertemu sama satu sahabat yang juga Baru
kembali dari rapat di Tay San," menambahkan Nona Tjiauw itu, "dari dia itu aku dapat tahu
bahwa kau justru berada di sini, Wan Siangkong..."
See Thian Kong tunjuki jempolnja, dia bersenyum puas.
"Nona Tjiauw, sempurna sekali tindakan kau ini!" dia memuji. "Menurut kau, sudah terang
Bin Tjoe Hoa itu telah berada didalam genggamanmu, tetapi kau toh masih datang kemari
untuk minta keadilan dari bengtjoe kita, supaja kaum kang-ouw nanti mengutuk Bin Tjoe
Hoa yang harus dibikin binasa itu! Bagus, bagus!"
"Kapan kamu hendak turun tangan?" kemudian Sin Tjie tanya.
"Sebentar malam jam dua," jawab Wan Djie, yang terus bungkus rapi pula pisau belati
yang meminta jiwa ayahnja itu.
"Ya, simpan senjata ini, adik," kata Tjeng Tjeng. "Sebentar kau gunakan ini untuk tikam
mampus musuhmu itu !"
Nona Hee pun sengit seperti yang lain-lainnya, hingga lenyap kecurigaan atau
cemburuannya.....
Wan Djie manggut terhadap nona ini.
Diam-diam Sin Tjie menghela napas. Ia berkasihan terhadap Tjiauw Kong Lee, ia sayangi
ketua Kim Liong Pang itu. Ia tahu jago ini berbudi, siapa sangka dia mesti binasa ditangan
jahat. Di sebelah itu, ia menyesal sekali, iapun berkuatir. Permusuhan ini akan menghebat
dendaman diantara Boe Tong Pay dan Kim Liong Pang. Apabila orang saling dendam tak
putusnya, sampai kapan itu dihabiskannya" Untuk selanjutnja, pasti bahaya akan saling
menimpa satu pada lain...
Pemuda kita lantas tahan Wan Djie bersama, untuk si nona beristirahat, untuk diajak
bersantap sama-sama kapan sang sore telah sampai, sesudah mana, ia bersiap. Tjeng
Tjeng dan Thie Lo Han tak dapat turut karena mereka sedang terluka. Juga Sian Tiat Seng
tidak ikut, karena kepala opas itu telah diantar pulang ke rumahnya. Maka itu cuma Thia
Tjeng Tiok, See Thian Kong, A Pa, Ouw Koei Lam dan Ang Seng Hay yang bisa
memberikan bantuannya.
Begitu sang malam sampai, berenam mereka berangkat dengan Tjiauw Wan Djie jalan di
muka untuk jadi petunjuk jalan ke gang Hoe Kee Hootong.
Tjeng Tjeng menyesal yang ia tidak dapat turut, saking masgul dan mendongkol, ia lantas
kutuki Ho Tiat Tjhioe yang telah lukai padanya.
Kapan Sin Tjie beramai sampai didekat gang, beberapa muridnya Kong Lee, yang sedang
memasang mata, papak mereka. Lantas saja mereka kisiki bahwa Bin Tjoe Hoa masih ada
di dalam rumah bersama Tong Hian Toodjin, soehengnya dia itu. Mereka pun girang sekali
menampak Sin Tjie telah dapat diundang. Semua orang telah ketahui baik keliehayannya
anak muda ini. "Wan Siangkong, apa boleh kita turun tangan sekarang juga?" Wan Djie tanya pemuda
kita. Nona ini cerdik dan bisa memikir panjang, tak mau ia mendahului beng-tjoe itu.
"Sabar dulu," Sin Tjie bilang. ..Sekarang minta semua orang berjaga-jaga seperti biasa,
mari kita sendiri pergi mengintai dulu."
"Baik," jawab nona itu, yang terus kisiki kawan-kawannya. Maka mereka itu lantas
undurkan diri. Sin Tjie ajak semua kawannya mendekati rumah, lantas mereka saling susul lompati
tembok, untuk masuk kedalam.
Seng Hay masih belum sempurna ilmunya entengkan tubuh, diwaktu ia lompat turun
ketanah, ia menerbitkan suara, benar suaranya enteng sekali, akan tetapi didalam rumah,
didalam kamar, api padam seketika.
Sampai waktu itu Tjiauw Wan Djie tak dapat kendalikan lagi hatinya. Ia pun rupanja kuatir
musuh nanti lolos pula. Maka ia lantas perdengarkan suara suitannya. Suara itu pelahan,
akan tetapi menyambut itu, di empat penjuru rumah, di pojok tembok, segera muncul
pelbagai kepala orang - ialah orangnya yang mengurung rumah itu.
Habis itu, Wan Djie perdengarkan suaranya yang keren: "Orang she Bin, lekas kau keluar!
Kau lihat, siapa telah datang kemaril" Sunyi rumah itu, tidak ada suara jawaban.
"Nyalakan api!" Wan Djie berseru. "Semua nyerbu kedalam!"
Orang-orang Kim Liong Pang, dan sahabat-sahabat mereka, yang datang membantu, taati
seruan itu. Mereka memang telah siapkan obor. Maka sebentar saja, teranglah cahaya api.
Empat anggauta, yang memegang obor, maju di depan, golok mereka dipakai melindungi
diri. Dengan tiba-tiba saja terdengar beberapa kali suara beruntun, menyusul itu, tiga batang
obor padam apinya, hingga tinggal yang satu, kemudian menyusul itu, dua bajangan
kelihatan lompat mencelat lari arah rumah itu.
Dengan serentak, orang-orang Kim Liong Pang lompat menerjang, hingga selanjutnja,
riuhlah suara pelbagai senjata beradu satu pada lain.
Kembali terdengar suara suitan, kali ini itu disusul sama merangsaknya orang-orang di
empat penjuru, sedang api obor pun jadi bertambah, sehingga pekarangan disitu jadi
terang sekali, bagaikan siang saja.
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa telah lakukan perlawanan dengan membaliki belakang
satu sama lain, dengan jalan ini mereka hendak cegah mereka nanti terbokong. Mereka
perlihatkan ilmu pedang mereka, sebab rupanya mereka insyaf, saat ini adalah saat mati
atau hidup mereka. Tidak heran, karena cara berkelahi mereka, sebentar saja sudah ada
tujuh atau delapan orang Kim Liong Pang yang kena dilukai. Akan tetapi, delapan orang
mundur, serombongan yang lain maju menggantikannya, sebab diaorang ini sangat gusar,
mereka setia kepada kawan, sehingga mereka tak takut mati.
Repot juga Bin Tjoe Hoa dan soehengnya itu menghadapi demikian banyak musuh, yang
nekat semua. Benar mereka bisa lukai beberapa orang lagi, tetapi mereka sendiri pun tak
bebas dari serangan-serangan musuh-musuh yang seperti kalap itu. Begitulah Tong Hian
terluka pada bahu kirinya, sehingga ia mesti geser pedangnya ke tangan kanan.
Kedua orang Boe Tong Pay ini berkelahi menurut ilmu silat Liang Gie Kiam-hoat, Tong
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hian mencekal pedang ditangan kiri, Bin Tjoe Hoa ditangan kanan, dengan itu, mereka
bisa bergerak dengan leluasa. Sekarang dua-dua pedang berada ditangan kanan,
perlawanan mereka menjadi kipa, gerakan mereka jadi kendor sendirinya.
Lagi beberapa saat, Tong Hian terluka pula dan Tjoe Hoa pun tak terluput, dalam keadaan
seperti itu, mereka juga tidak sempat menyingkirkan diri, saking hebat dan rapatnya
kepungan. Tidak semua musuh liehay tapi mereka nekat, mereka tak dapat dipandang
ringan. Sin Tjie lihat kedua orang sudah dapat beberapa luka, ia anggap tak boleh ia menonton
lebih lama pula. Ia juga beranggapan, satu jiwa mesti diganti dengan satu jiwa, cukuplah
kalau Bin Tjoe Hoa sendiri yang dibikin binasa, tak usah Tong Hian Toodjin kawani
soeteenya itu pergi menghadap Raja Akherat. Maka itu, disaat dua jago Boe Tong itu
tinggal rubuh binasa, mendadak ia loncat keantara mereka, pedang Kim Tjoa Kiam ia
babatkan ditengah-tengah.
Sekejab saja, kedua pedangnya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa sapat terkutung,
begitu juga beberapa ujung pedangnya orang-orang Kim Liong Pang yang sedang
mengepung hebat.
"Tahan!" Sin Tjie berseru.
Gerakan ini membuat kedua pihak tercengang, tapi ia sendiri pun melengak sesaat, saking
kagum sendirinya. Ini adalah untuk pertama kali ia gunai pedang Ular Emas itu, diluar
dugaannya, pedang itu sangat tajam. Sebenarnja dia hendak halau semua senjata tidak
tahunya, semua senjata yang bentur Kim Tjoa Kiam telah kutung sendirinya.
Bin Tjoe Hoa telah mandi darah, kaget ia menampak Sin Tjie. Dalam saat itu juga, habislah
pengharapannya. Melayani musuh-musuh Kim Liong Pang saja sudah berat, bagaimana
dapat ia tempur jago muda itu, yang sekarang malah bersenjatakan pedang mustika"
Tong Hian Toodjin juga putus asa, sehingga ia lantas lemparkan pedangnya yang sudah
buntung Tapi ia tertawa menyengir.
"Tak tahu aku, dalam hal apa kami dua saudara, telah berbuat salah terhadap kau, tuan,
maka kau telah desak kami begini rupa?" tanya imam itu.
Dimulutnya, Tong Hian mengucap demikian, diam-diam ia rogo keluar pisau belati
dipinggangnya, pisau mana ia terus pakai menikam dadanya. Rupanya dalam berputus
asa, ia jadi berpikiran pendek juga.
Sin Tjie lihat kenekatan itu, ia ulur kedua tangannya, secara sangat sebat. Dengan tangan
kiri ia menolak dada orang itu, dengan tangan kanan ia menyambar ke lengan si imam,
maka dilain saat, ia telah dapat rampas pisau belati itu yang tajam berkilauan.
Malah dalam sekelebatan itu, Sin Tjie bisa lihat huruf-huruf ukiran pada gagangnya belati
yang berbunyi: "Tong Hian Toodjin murid Boe Tong Pay golongan huruf Tjoe," Dan pisau
belati itu mirip benar macamnya dengan pisau belati Bin Tjoe Hoa yang dipakai
membunuh Tjiauw Kong Lee.
Mukanya Tong Hian Toodjin jadi merah-padam, lalu pucat-pias.
"Satu laki-laki boleh dibunuh tetapi tak dapat diperhina!" dia berseru. "Aku tahu ilmu
silatku belum sempurna, aku bukannya tandingan kau. Maka biarlah aku binasa dengan
kau tonton! Lekas kembalikan pisauku itu kepadaku!"
Imam ini nyata bernyali besar, keras hatinya.
Sin Tjie kuatir orang bunuh diri, tidak saja ia tidak kembalikan pisau itu, ia malah selipkan
dipinggangnya. "Mari kita bicara dulu sampai terang, Baru nanti aku kembalikan kepadamu." katanya,
dengan sungguh-sungguh.
Tapi Tong Hian Toodjin sedang gusar, dia jadi bertambah murka.
"Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah!" menjerit dia." Tak dapat kau terlalu
menghina!"
Jeritan ini disusul sama satu sampokan tangan ke muka si anak muda.
Sin Tjie kelit dengan mundur satu tindak.
"Kapannya aku hinakan kau?" dia tanya. Benar-benar ia heran.
Tong Hian masih sengit, dia hunjuk roman bengis.
"Pisauku itu ada pisau hadiah dari Tjouwsoe kami dari Boe Tong Pay!" kata dia dengan
nyaring. "Maka pisau itu biarnya aku mesti hilang jiwa, tak dapat dibiarkan jatuh ditangan
lain orang l"
Kembali Sin Tjie heran hingga is tercengang. Berbareng dengan itu kecurigaannya jadi
semakin besar. "Kalau pisau ini dipandang begini suci, kenapa Bin Tjoe Hoa tinggalkan ditubuh Tjiauw
Kong Lee sehabis dia bokong ketua Kim Liong Pang itu?" demikian dia berpikir.
Ia keluarkan pisau itu, untuk dikasi pulang kepada pemiliknya.
"Tootiang, ada satu hal untuk mana aku mohon keterangan kau," kata ia, dengan sikapnya
yang sabar. Imam dari Boe Tong Pay itu sambuti pisaunya, karena ia dengar orang punya suara
menghormat, iapun tidak bersikap keras lagi.
"Silahkan," sahut dia dengan ringkas.
Sin Tjie berpaling kepada Tjiauw Wan Djie.
"Nona Tjiauw, mari bungkusan kau, kasikan padaku!" dia minta
Wan Djie menghampirkan, akan serahkan bungkusannya yang berisikan pisau belati Bin
Tjoe Hoa. Ia belum tahu tindakan Sin Tjie.
Lebih jauh, ia pun tak hendak menanyakannja, akan tetapi ia cekal keras sepasang
goloknya. Ia awasi dengan bengis pada Bin Tjoe Hoa, siapa sebaliknya berdiri diam
didampingnya Tong Hian Toodjin.
Dengan sabar Sin Tjie buka bungkusan itu, hingga kelihatanlah isinya, menampak mana,
Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa perdengarkan seruan tertahan dari mereka, lebihlebih
Bin Tjoe Hoa sendiri yang kenali pisaunya itu.
Dipihak lain, orang-orang Kim Liong Pang yang melihat bukti senjata pembunuhan ketua
mereka, lantas ingat kebinasaan hebat dan menyedihkan dari ketua mereka itu, berbareng
sedih, kemurkaan mereka pun timbul pula secara tiba-tiba, hingga dengan roman sangat
bengis, mereka bertindak maju.
"Ini... ini... adalah senjataku!" seru Bin Tjoe Hoa. "Darimana kamu dapatkan ini?" tanya
dia, sambil ulur tangannya, untuk ambil pulang pisau belati itu.
Sin Tjie tarik pulang tangannya, tetapi disebelah dia, Tjiauw Wan Djie membacok dengan
goloknya, kepada lengan orang, hingga Bin Tjoe Hoa mesti dengan sebat tarik pulang
tangannya. Panas Wan Djie, maka ia maju, untuk membacok pula.
"Sabar," kata Sin Tjie, yang lintangi tangannya, untuk mencegah. "Mari kita tanya jelas
dulu." Karena tak dapat ia menyerang lebih jauh, Wan Djie menangis, air matanya bercucuran
dengan deras. Bin Tjoe Hoa agaknya tidak mengerti, dia berseru : "Ketika dulu kita bikin pertemuan di
Lamkhia, urusan telah dibereskan, persengketaan kedua pihak telah didamaikan dan
dibikin habis, kenapa orang-orang Kim Liong Pang tidak pegang kepercayaan dan
kehormatannya" Kenapa kamu berulang-ulang kali dengan cara gelap hendak bikin celaka
padaku" Sekarang kamu suruhlah Tjiauw Kong Lee keluar, mari kita berpadu diri, untuk
bicara biar jelas! Jikalau benar aku siorang she Bin yang bersalah, dihadapan kamu aki
nanti bereskan diriku sendiri, tidak nanti aku menyangkal!"
Belum sempat Bin Tjoe Hoa tutup mulutnya, beberapa orang Kim Liong Pang telah bentak
dia: "Ketua kami telah kau bunuh, sekarang kau masih berpura-pura, kau hendak mencoba
bersihkan dirimu, manusia hina-dina dan busuk!"
Bin Tjoe Hoa, begitu juga Tong Hian Toodjin, melengak. Mereka kaget dan heran bukan
main. "Apa?" tanya mereka. "Tjiauw Kong Lee telah terbinasa?"
Sin Tjie tampak wajah orang itu sungguh-sungguh, ia mau percaya mereka itu bukannya
sedang bersandiwara.
"Ah, benar-benar mesti ada halnya dalam urusan ini," pikir ia. Maka ia lantas tegasi:
"Apakah benar-benar kamu tidak ketahui bahwa ketua Kim Liong Pang telah terbinasa?"
"Tidak!" sahut Bin Tjoe Hoa. "Sejak itu hari aku kalah dan aku serahkan rumahku, aku tak
punya muka lagi akan hidup dalam dunia kangouw, aku lantas pergi ke Kayhong kepada
toa-soehengku Tjoei In Tootiang yang mewariskan guru kami menjadi ketua, untuk
memberi penjelasan kepadanya, untuk kami berdamai, sayang itu waktu aku tak dapat
bertemu sama soehengku itu. Adalah sekembalinya dari Kayhong, dengan tak aku ketahui
apa sebab musababnya ditengah jalan, dua kali aku dipegat orang-orang Kim Liong Pang
hingga kita mesti bertempur hebat. Aku tidak mengerti kenapa Tjiauw Kong Lee
terbinasa?"
Tjiauw Wan Djie ada seorang yang pintar, mendengar perkataannya orang she Bin ini,
melihat wajah orang itu, dia mulai bercuriga. Tiba-tiba saja ia menangis pula, dengan
sesenggukan. "Ayahku.... ada....ada orang bunuh secara menggelap dengan pisau belati ini!" katanya
dengan susah-payah. "Umpama kata benar bukannya kau yang lakukan pembunuhan itu,
mestinya dia adalah sahabatmu!"
Bin Tjoe Hoa terkejut.
"Ah, ah, inilah..."
"Inilah apa?" bentak Tjiauw Wan Djie.
Bin Tjoe Hoa bungkam, agaknya ia hendak bicara tetapi batal, nampaknya ia merasakan
suatu kesulitan.
Orang-orang Kim Liong Pang menjadi panas pula, sedang tadinya mereka pun sudah
melengak, mereka mau percaya, benar-benar musuh ini berdusta, maka lantas mereka
maju pula. Tong Hian Toodjin ambil pedang buntung dari tangannya Bin Tjoe Hoa, dia lempar itu ke
tanah sebagaimana pedangnya sendiri tadi, kemudian ia angkat dadanya.
"Jikalau tuan-tuan lebih suka sakit hatinya Tjiauw Loopangtjoe tak terbalas untuk
selamanya-lamanya dan kamu kehendaki supaya si penjahat diam-diam tertawai kamu dari
samping, baiklah, kami berdua saudara suka serahkan jiwa kami! Sama sekali kami tidak
takut mati!" demikian katanya.
"Menampak keberanian orang itu, orang-orang Kim Liong Pang merandek, sangsi mereka
untuk serbu imam itu.
Sin I'jie lantas berkata pula:
"Jikalau begini, kelihatannya Tjiauw Loopangtjoe bukanlah kau yang bunuh, saudara
Bin?" tanya dia.
"Aku mengaku aku si orang she Bin tidak punyakan kepandaian cukup," jawab Bin Tjoe
Hoa, "akan tetapi aku mengerti benar hidupnya seorang didalam dunia mengandali
kepercayaan, kehormatannya! Aku telah kalah di tangan kamu, selagi sekarang ada orang
jahat yang mainkan perannya secara diam-diam, bagaimana aku bisa datang pula ke
Lamkhia untuk melanjuti permusuhan?"
"Tetapi Tjiauw Loopangtjoe bukannya terbunuh di Lamkhia," Sin Tjie terangkan.
Bin Tjoe Hoa heran.
"Dimanakah itu terjadinya?" dia tanya.
"Di Tjie-tjioe."
"Inilah terlebih aneh pula!" kata Tong Hian Toodjin. "Kami dua saudara, sudah lebih
daripada sepuluh tahun belum pernah injak pula kota Tjie-tjioe! Kecuali kami mempunyai
pedang-terbang, tidak nanti kami bisa rampas jiwa orang di tempat jauhnya ribuan lie!"
"Apakah ini benar?" Sin Tjie tegaskan.
Tong Hian tepuk batang lehernya.
"Kepalaku ada di sini!" ia jawab.
"Habis, dari mana datangnya pisau belati ini?" tanya Wan Djie.
"Jikalau sekarang aku berikan keteranganku, aku kuatir kamu tidak dapat mempercayai
aku!" sahut Tong Hian. "Sekarang mari aku ajak kamu beramai kesuatu tempat, di sana
kamu nanti Baru ketahui duduknya hal."
"Soeheng, jangan!" mencegah Bin Tjoe Hoa, yang agaknya jadi sangat gelisah.
"Wan Siangkong dan Nona Tjiauw ada sahabat-sahabat baik, sama sekali tidak ada
halangannya", bilang Tong Hian.
Bin Tjoe Hoa bungkam.
"Kemana kita pergi?" Wan Djie tanya.
Tong Hian Toodjin tidak segera menjawab, hanya ia kata "Aku cuma hendak ajak Wan
Siangkong berdua dengan kau saja, Nona Wan. Lebih banyak lagi, tak dapat!"
(Bersambung bab ke 20)
Orang-orang Kim Liong Pang lantas berseru-seru: "Dia hendak gunai tipu-daya keji,
jangan percaya dia! Jaga supaya jangan sampai dia kabur!"
Wan Djie tidak mau lantas dengar orang-orangnya itu.
"Bagaimana kau pikir, Wan Siangkong?" dia tanya Sin Tjie. Dia lebih percaya anak muda
ini. Sin Tjie berpikir.
"Mestinya dua orang ini ada punya rahasia, baik kami ikut mereka, untuk mengetahui
duduknya hal yang sebenarnya. Apa mungkin mereka hendak gunai tipu-daya" Bisakah
mereka nanti loloskan diri dari tanganku?"
Lalu ia menjawab: "Mari kita pergi, untuk memperoleh penjelasan!"
Tjiauw Wan Djie segera menoleh kepada semua kawannya, untuk kata: "Aku beserta Wan
Siangkong, aku percaya mereka tidak nanti berani main gila!"
Sejak meninggalnya Tjiauw Kong Lee, semua orang Kim Liong Pang telah pandang Nona
Tjiauw sebagai gantinya ketua mereka. Mereka percaya nona ini, yang mereka pun
hormati, karena Wan Djie pintar dan bisa bawa diri. Mereka telah saksikan sendiri
bagaimana pandai si nona pimpin mereka untuk kepung-kepung musuh ini. Mereka juga
percaya Sin Tjie, yang kegagahannya dan kemuliaan hatinya mereka sudah buktikan
sendiri. Maka itu, mereka tidak bersangsi pula. "Baiklah," kata mereka.
"Mari kita pergi sekarang!" kata Tong Hian kemudian.
Dengan bertangan kosong, imam ini ajak soeteenya jalan di sebelah depan, di belakang
mereka, Sin Tjie mengikuti bersama Tjiauw Wan Djie. Mereka keluar dengan melompati
tembok. Lebih dahulu daripada itu, Sin Tjie minta See Thiam Komg berempat pulang lebih dahulu
kehotel mereka, sedang orangnya Kim Liong Pang undurkan diri di bawah pim-pinannya
Gouw Peng, murid kepala dari Tjiauw Kong Lee.
Sin Tjie dan Wan Djie ikuti Tong Hian dan Tjoe Hoa menuju kearah utara, mereka jalan
sambil berlari-lari, menghampirkan tembok kota. Di sini imam itu keluarkan bandringan
gaetan, untuk membangkol tembok kota, dengan itu Wan Djie merayap naik paling dulu,
Baru Tjoe Hoa dan Sin Tjie. Paling akhir adalah si imam sendiri. Dari atas tembok, mereka
lompat turun kelain sebelah, untuk melanjutkan perjalanan mereka ke utara.
Ketika itu sudah tengah malam, rembulan bersinar sedang terangnya, cahayanya putihbersih
dan permai. Perjalanan disini, makin jauh makin sukar. Setelah melalui empat-lima lie, Tong Hian dan
Tjoe Hoa mulai menindak naik ke sebuah tanjakan.
Heran juga Sin Tjie dan Wan Djie. Entah kemana mereka hendak diajak pergi. Mereka pun
pikir-pikir, sebenarnya mereka hendak diperlihatkan apa. Tapi mereka tak jeri, mereka
mengikuti terus. Mereka mendaki tanjakan untuk dua-tiga lie. Di sini tidak ada jalanan, dan
tanahnya penuh batu. Maka itu untuk bisa maju, mereka berlari-lari dengan ilmu entengi
tubuh. Saban-saban mereka injak batu besar, untuk dari situ lompat kelain batu besar lagi,
demikian seterusnya.
Belum sampai dipuncak tanjakan, Wan Djie sudah, bernapas sengal-sengal. Inilah
pengalaman hebat untuknya. Maka itu Sin Tjie cekal lengan orang.
"Mari aku bantu padamu!" kata pemuda ini.
Wan Djie tidak malu-malu palsu, ia kasi dirinya dibantui. Seperti tanpa merasa, ia lantas
bisa maju terlebih jauh. Kalau tadi mereka telah ketinggalan Tong Hian dan Tjoe Hoa,
sebentar saja mereka mendahului sampai dipuncak bukit.
Di sini keadaan tempat ada lebih berbahaya daripada ditengah jalan tadi dan suasana pun
menyeramkan, sebab di sana-sini kelihatan batu-batu besar yang berdiri bagaikan hantu
atau binatang buas, ada yang kecil-kurus mirip pedang atau tumbak...
Sebentar kemudian, Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa dapat menyusul mereka sampai
dipuncak, Tong Hian mendahului menuju kebelakang setumpukan batu besar. Di sini dia
menjumput sepotong batu, yang ia ketoki ke sebuah batu besar sampai tiga kali. Ia
berhenti sedetik, lalu ia menyambungi, dua kali. Habis ini, ia mengulang mengetok lagi tiga
kali. Setelah mengetok-ngetok tumpukan batu secara demikian, Tong Hian lantas bekerja, ialah
dengan kedua tangannya, ia angkat sesuatu batu yang menjadikan tumpukan itu, ketika ia
sudah singkirkan enam-tujuh potong, dibawah tumpukan itu tertampak sebuah peti mati
yang besar. Wan Djie terkejut akan menampak peti mati itu, inilah tidak pernah ia sangka-sangka.
Suasana disitu memang sudah sangat menyeramkan.
Tong Hian bekerja lebih jauh, tanpa bantuan Bin Tjoe Hoa, yang berdiri diam saja
mengawasi dia. Dengan kedua tangannya, ia pegang tutup peti, lalu ia kerahkan
tenaganya, untuk angkat itu, hingga terdengarlah satu suara menjeblak yang keras.
Begitu lekas tutup peti terangkat ke belakang, menyusul suara menjeblak itu, didalam peti
bergerak satu tubuh, yang bangun untuk berduduk!
Wan Djie keluarkan seruan saking kagetnya.
"Hai, kamu ajak orang luar?" tiba-tiba si "mayat hidup" bertanya.
"Inilah dua sahabat baik," sahut Tong Hian dengan tenang. "Ini ada Wan Siangkong,
muridnya Kim Tjoa Long-koen, dan ini ada Nona Tjiauw, puterinja Soehoe Tjiauw Kong
Lee." "Mayat hidup" itu lantas awasi kedua orang yang diperkenalkan itu.
"Maaf, djiewie," katanya. "Pintoo sedang terluka, tak dapat aku berbangkit...." Ia memberi
hormat. Belum Sin Tjie bilang suatu apa, Tong Hian sudah mendahului.
"Inilah Toasoeheng kami Tjoei In Toodjin, yang mewariskan kedudukan ketua Boe Tong
Pay," demikian katanya. "Untuk menyingkir dari musuh, buat sekalian memelihara diri
toasoeheng sengaja berdiam di sini..."
Mengetahui orang bukannya "mayat hidup," Sin Tjie dan Wan Djie membalas hormat.
Imam itu manggut, untuk membalas.
Sin Tjie dan Wan Djie dapatkan wajah Tjoei In Toodjin pucat sekali, bagaikan kertas putih
saja, tanda luka kedapatan dari batas jidatnya sampai kebatang hidungnya. Luka itu
adalah luka belum terlalu lama. Tapak luka itu membuat romannya si imam jadi jelek dan
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyeramkan. Sambil mengawasi, dua anak muda ini pun pikiri, kenapa untuk merawat diri dan
menyingkir dari musuh, imam ini sampai sembunyikan diri secara demikian macam.
Sekarang nampaknya imam itu berhati lega, bisa ia bersenyum.
"Dimasa hidupnya guruku, Oey Bok Toodjin," katanya, "dia bersahabat dengan Kim Tjoa
Long-koen, gurumu itu, Wan Siangkong. Ketika Hee Lootjianpwee datang ke Boe Tong
San, untuk merundingkan ilmu silat pedang, aku dapat kesempatan untuk melayani dia.
Apakah ada banyak baik lootjianpwee itu?"
Sin Tjie anggap tak usah ia sembunyikan apa-apa lagi.
"Guruku itu telah menutup mata," ia jawab.
Tjoei In Toodjin lantas saja menghela napas, ia terus berdiam, air mukanya menjadi suram
pula, tandanya ia berduka. Karena ini, semua orang turut berdiam.
"Ketika barusan Tong Hian Soetee menyebutkan siangkong adalah murid dari Kim Tjoa
Long-koen, aku girang bukan kepalang," kata pula si imam "mayat hidup" itu sesaat
kemudian. "Aku telah memikir, asal Hee Lootjianpwee suka turun tangan untuk membantu,
pastilah sakit hatinya guruku akan dapat terbalas. Ah, siapa sangka, Hee Lootjianpwee
telah meninggal dunia... Benar-benar aku kuatir orang jahat itu nanti malang-melintang
didunia ini tanpa ada orang yang sanggup mencegahnya!"
Didalam hatinya, Wan Djie kata : "Aku datang untuk urusan pembalasan sakit hati ayahku,
siapa tahu di sini muncul urusan sakit hati guru..."
Sin Tjie sebaliknya berpikir: "Siapa sih musuh mereka ini, yang agaknya demikian liehay,
hingga sampai, tanpa Kim Tjoa Long-koen, tidak ada orang lainnya lagi yang sanggup
mengendalikannya?"
Sampai disitu, Tong Hian Toodjin lantas bicara sama soehengnya, kakak seperguruan itu.
Dia tuturkan urusan pihak Kim Liong Pang menyeterukan Bin Tjoe Hoa.
"Aku minta soeheng suka menjelaskannya kepada Nona Tjiauw ini," katanya kemudian.
"Hai!" mendadak Tjoei In Toodjin berseru. Memangnya, selama memasang kuping, ia
sudah panas hatinya, makin mendengar, ia jadi makin gusar. Diakhirnya, tiba-tiba saja ia
ayun tangannya, ia hajar pinggiran peti mati.
"Prak!" demikian satu suara nyaring, dan peti itu sempal!
Sin Tjie terkejut dalam hatinya.
"Teranglah kepandaiannya imam ini jauh lebih tinggi daripada kedua soeteenya ini,"
pikirnya. "Dia berkepandaian begini liehay, kenapa dia sebaliknya sangat jeri terhadap
musuhnya, hingga ia rela sembunyikan diri di dalam peti ini bagaikan mayat saja?"
"Nona Tjiauw," Tjoei In kemudian kata kepada Wan Djie, "sukalah kau dengar
keteranganku. Adalah aturan di dalam kalangan Boe Tong Pay kami, sesuatu murid yang
telah lulus pelajarannya, hingga ia boleh turun gunung, ia selalu mesti dibekali sebilah
pisau belati oleh guru kami. Pintoo telah diangkat sebagai ketua Boe Tong Pay, untuk
menggantikan guru kami itu, benar kepandaianku tidak berharga, sampai pintoo mesti
menelan malu, merawat diri dengan sembunyi didalam peti mati secara begini, tetapi
terhadap sahabat-sahabat tak dapat pintoo omong dusta. Nona, tahukah kau, apa
keperluannya pisau belati kami itu?"
"Aku tidak tahu," Wan Djie menggeleng kepala.
Tjoei In Toodjin dongak, akan memandang si Puteri Malam, lalu ia menghela napas.
"Tjouwsoe kami dari tingkat ke-empatbelas ada Hie Hian Tootiang," berkata dia, melanjuti,
"kepandaian ilmu silat pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini, maka
sayang sekali, dia bertabeat keras dan jumawa juga, karenanya, tak sedikit sudah ia
membunuh orang, hingga tak sedikit musuh-musuhnya. Maka kejadianlah dia diundang
dalam satu rapat besar di atas gunung Heng San, di sini dia tempur jago-jago dari pelbagai
kaum, yang lawan ia secara bergiliran, maka walaupun dia berhasil merubuhkan delapanbelas
musuh, akhirnja ia sendiri kehabisan tenaga, dengan kesudahan ia mendapat lukaluka
parah. Setelah itu, dia gunai pisau belati, untuk membunuh diri, karena tak sudi dia
terbinasa di tangan musuh. Sejak kejadian itu, maka mulai Tjouwsoe kami yang kelimabelas,
Boe Tong Pay telah mengadakan aturan setiap lulusan murid dihadiahkan
sebilah pisau belati. Tong Hian Soetee, pergi kau kesana!"
Tjoei In menunjuk.
Tong Hian bingung, tetapi ia toh bertindak, sampai beberapa ratus tindak, diwaktu mana:
"Cukup!" sang soeheng bilang.
Soetee itu hentikan tindakannya
Tjoei In lantas memandang kepada Bin Tjoe Hoa.
"Bin Soetee," katanya dengan pelahan, "ketika soehoe hadiahkan pisau belati kepadamu,
apakah pesanannya?"
"Pesan soehoe adalah pantangan keras untuk membunuh karena urusan pribadi, bahwa
pisau belati itu mesti dirawat dan disimpan hati-hati," sahut Bin Tjoe Hoa. "Soehoe pesan,
apabila didalam satu pertempuran kita terang sudah tak dapat melawan lebih jauh, kita
mesti bunuh diri dengan pisau itu."
Tjoei In Toodjin manggut-manggut.
"Nah, pergilah kau kesana," menitah dia seraya menunjuk ke lain jurusan dari Tong Hian
Toodjin. Bin Tjoe Hoa menurut.
Ketua Boe Tong Pay itu kemudian panggil balik pada Tong Hian Toodjin.
"Tong Hian Soetee," katanya, "ketika soehoe hadiahkan kau pisau belati, apakah
pesannya?"
Tong Hian unjuk sikapnya sungguh-sungguh.
"Itulah," sahutnya, "aku dilarang keras membunuh karena urusan pribadi, pisau mesti
dirawat dan disimpan hati-hati, apabila kita tak berdaya dalam satu pertempuran, dengan
pisau itu kita mesti bunuh diri!"
Soeheng itu manggut, lantas ia panggil balik pada Bin Tjoe Hoa.
Setelah adik seperguruan itu sudah datang dekat, Tjoei In pandang Sin Tjie dan Wan Djie.
"Sekarang tentu djiewie percaya bahwa Boe Tong Pay mempunyai pesan terakhir itu,"
katanya.." Maka juga orang-orang anggauta kita, tidak perduli bagaimana tersesatnya,
tidak nanti mereka gunai kay-sat-too untuk bunuh orang."
"Jadi pisau belati itu dinamakan kay-sat-too?" Sin Tjie tegaskan.
"Kay-sat-too" berarti "pisau yang dilarang dipakai membunuh orang lain."
"Benar," Tjoei In Toodjin manggut. "Pisau belati adalah alat tajam untuk membunuh
manusia, akan tetapi sejak contoh dari Hie Hian Soe-tjouw itu, mulai soetjouw tingkat kelimabelas,
kami telah mengadakan aturan keras ini. Semenjak itu, apabila ada murid yang
hendak menyingkirkan orang jahat, dia Baru boleh lakukan itu setelah peroleh ijin dari
ketua, kecuali apabila dia kena dikepung dan terpaksa mesti membela diri. Apabila ada
murid yang lancang membunuh, tidak perduli si kurban bagaimana besar kejahatannya,
jikalau itu dilakukan tanpa perkenan atau setahu ketua, maka perkaranya itu mesti
ditangguhi sampai rapat besar di Boe Tong San yang biasa diadakan setiap dua tahun
sekali, diwaktu itu perkara bakal diperiksa dan diputuskan, siapa bersalah, dia mesti
bunuh dirinya dengan kay-sat-too itu. Ketika dahulu Bin Soetee hendak bunuh Tjiauw
Soehoe, untuk pembalasan sakit hati bagi kakaknya, ia telah peroleh perkenanku, akan
tetapi belakangan, setelah ketahuan dia telah dipermainkan oleh orang jahat, apabila
setelah itu dia masih membunuh juga Tjiauw Soehoe, maka dia telah langgar aturan kami!"
Imam ini menghela napas.
"Kay-sat-too adalah alat untuk membunuh diri sendiri," ia menambahkan, menjelaskan,
"Umpama ada murid Boe Tong Pay yang menghadapi musuh tangguh, hingga tak
sanggup dia melawannya, dan musuh itu masih terus mendesak dia, sampai dia tak bisa
loloskan diri lagi, maka dia mesti gunai pisau belati ini, untuk membunuh diri, supaya
dengan begitu bisa dicegah rubuhnya nama baik dari Boe Tong Pay. Mengenai Bin Soetee
ini, diumpamakan benar dia sudah langgar pesan, akan tetapi dikolong langit ini ada
banyak macam senjata lain, mengapa dia demikian tolol hingga dia sudah menggunakan
kay-sat-too" Dan kenapa, sesudah dia melakukan pembunuhan, dia masih tidak bawa
kabur pisau belatinya itu?"
Mendengar ini, Sin. Tjie dan Wan Djie manggut-manggut.
"Nona Tjiauw, aku akan kasikan kau sepucuk surat," kata Tjoei In Toodjin.
Dari dalam peti, imam ini angkat satu bungkusan, yang ia terus buka, disitu ada sesusun
surat-surat tapi ia hanya ambil satu di antaranya, yang ia terus angsurkan kepada si nona.
Wan Djie berpaling kepada Sin Tjie. Anak muda kita manggut, maka ia lantas sambuti
surat itu dari tangan si imam. Diantara cahaya rembulan, ia baca alamat dan alamat si
pengirim. Itulah surat dari Bin Tjoe Hoa untuk Tjoei In Toodjin, sang soeheng. Ia lantas
tarik keluar suratnya, yang kertasnya ada kertas-tulis dari hotel "Thong Siang" di Pangpouw,
ia beber itu, untuk dibaca.
Huruf-huruf tidak keruan, tata-bahasanya pun kalut. Ia terus baca:
"Tjoei In Toasoeheng yth.,
Dalam perkara dengan Tjiauw Kong Lee, Baru sekarang siauwtee ketahui bahwa siauwtee
telah dipermainkan orang. Sudah begitu, apa celaka tadi malam pun siauwtee punya kaysattoo telah dicuri orang jahat. Siauwtee merasa malu sekali karena kecurian ini. Maka,
kalau tak berhasil siauwtee mencari pulang pisau itu, tidak ada muka siauwtee akan
menemui pula Toasoeheng.
Harap Toasoeheng mengetahui adanya.
Hormat dari siauwtee, Bin Tjoe Hoa."
Bergemetar kedua tangannya Wan Djie setelah ia membaca habis, lantas saja ia berbalik
untuk menghadapi Bin Tjoe Hoa, buat memberi hormat sambil menjura.
"Bin Siok-hoe," katanya, "aku telah keliru menyangka kepada kau, aku telah berbuat
kurang ajar terhadapmu..."
Lantas ia pun memberi hormat pada Tong Hian Toodjin.
Soeheng dan soetee itu lekas-lekas balas kehormatan itu.
"Entah bangsat anjing yang mana sudah curi pisauku ini yang ia pakai membunuh Tjiauw
Soehoe," kata Tjoe Hoa kemudian. "Dia telah tinggalkan pisau ini, terang maksudnya
supaya ia bisa timpahkan kedosaan atas diriku."
"Ya, aku semberono sekali, tak sampai aku memikir kesitu," Wan Djie akui. "Aku tadinya
kira, setelah Bin Siok-hoe bunuh ayahku, kau sengaja tinggalkan pisau itu, untuk
banggakan bahwa kau adalah satu laki-laki sejati."
"Sebenarnya bersama-sama Tong Hian Soeheng, aku telah cari pisau itu kemana-mana,"
menerangkan Bin Tjoe Hoa, "sampai sebegitu jauh belum pernah kami peroleh endusan.
Belakangan kami terima surat dari Toasoeheng, yang memanggil kami datang ke kota raja,
maka itu, kami lantas berangkat menuju kemari; adalah diluar sangkaanku, di sepanjang
jalan, kami dipegat dan dirintangi oleh rombongan kau, Nona Tjiauw, sampai tadi kamu
telah kepung aku. Syukur ada Wan Siangkong, maka sekarang urusan telah menjadi
terang." Sin Tjie merendahkan diri, tak mau ia menerima pujian.
"Sekarang tunggulah sampai aku sudah sembuh dan urusanku telah dapat dibereskan,"
kata Tjoei In Toodjin kemudian, "selama itu, asal ada untung hingga jiwaku masih ada, aku
nanti bantu kau, Nona Tjiauw, untuk cari si pencuri kay-sat-too, yang telah bunuh ayahmu
itu." Kembali Wan Djie memberi hormat seraya haturkan terima kasih pada imam ketua dari
Boe Tong Pay itu, kemudian ia pulangkan kay-sat-too pada Bin Tjoe Hoa.
Sin Tjie bisa duga, soeheng dan soetee itu bertiga tentu bakal berempuk, untuk
mendamaikan urusan mereka; yang mestinya ada satu rahasia untuk pihak luar, hingga
tak dapat ia mencampurinya, dari itu ia ajak Wan Djie untuk memberi hormat kepada
mereka itu. "Ijinkan kami undurkan diri!" kata pemuda kita, yang terus memutar tubuh, untuk berjalan
pergi. "Djiewie, tunggu dulu!" tiba-tiba berseru Tong Hian Toodjin, selagi dua orang itu Baru
jalani beberapa ratus tindak.
Sin Tjie dan Wan Djie lantas merandak.
Tong Hian berlari-lari, untuk menghampirkan.
"Wan Siangkong, Nona Tjiauw," kata imam ini, "ada satu hal untuk mana aku hendak
memohon, tapi lebih dahulu aku harap kamu tidak buat kecil hati..."
"Bicaralah, tootiang," Sin Tjie jawab.
"Aku ingin bicara hal kami disini," kata Tong Hian. "Kami mohon supaya siangkong
berdua tidak sampai membocorkannya. Tidak selayaknya aku banyak omong, akan tetapi
urusan mengenai keselamatan jiwa soehengku, terpaksa aku majukan juga permohonan
ini kepada djiewie..."
Tentu saja Sin Tjie mengerti kebiasaan kaum kang-ouw, untuk tidak banyak omong
mengenai rahasia dari masing-masing partai, dan ia pun mengerti, urusan mesti sangat
penting maka Tong Hian sampai berikan pesannya itu. Urusan mereka itu tidak mengenai
urusannya sendiri, Sin Tjie tidak berkeberatan untuk berikan janjinya. Tapi barusan ia
saksikan ketangguhan tangan dari Tjoei In Toodjin, ia jadi ketarik. Ia bersimpati kepada
imam itu. "Sebenarnya saudaramu itu sedang menghadapi urusan besar bagaimana?" ia tanya.
"Aku tidak punya pengertian apa-apa akan tetapi suka aku memberikan bantuan sebelah
lenganku."
To-ng Hian tahu pemuda ini liehay sekali, yang pasti melebihkan juga toasoehengnya,
maka mendengar perkataan itu, ia girang sekali.
"Siangkong sudi membantu kami, ini adalah hal yang untuk memintanya pun kami tidak
berani," ia lekas bilang. "Baik, aku nanti beritahukan dulu toasoeheng."
Dengan lantas Tong Hian lari kepada Tjoei In, untuk menyampaikan tawaran Sin Tjie, hal
mana, Tjoei In Toodjin segera damaikan bersama Tjoe Hoa juga. Agaknya urusan ada
ruwet, sampai sekian lama masih belum ada keputusannya.
"Tentu ada keberatannya bagi mereka, tak suka mereka orang luar campur tahu urusan
mereka, baiklah aku tidak memaksa," pikir Sin Tjie. Maka ia lantas kata dengan nyaring:
"Djiewie tootiang, saudara Bin ijinkan aku berangkat lebih dulu! Sampai ketemu pula!"
Bersama Wan Djie, ia angkat tangan, untuk memberi hormat, setelah itu mereka memutar
tubuh. Tapi, belum sampai mereka bertindak, Tjoei In Toodjin sudah memanggil. "Wan
Siangkong, mari sebentar, mari kita bicara!"
Sin Tjie terima baik undangan itu, ia kembali kepada mereka.
"Wan Siangkong sudi membantu kami, kami bertiga sangat bersyukur," berkata ketua dari
Boe Tong Pay itu. .Akan tetapi baiklah kami menjelaskannya. Urusan kami adalah urusan
pribadi dan bahayanya pun sangat besar, karena mana dengan sesungguhnya, tak ingin
kami bahwa Wan Siangkong, dengan tak ada sebab-musababnya, nanti kena kerembetrembet
dan mendapat kesukaran karenanya. Maka itu kami mohon supaya Siangkong
jangan jadi kecil hati dan jangan mengatakan kami tidak tahu diri...."
Habis berkata, imam itu menjura dengan dalam.
Sin Tjie percaya orang bicara dengan jujur, ia tidak berkecil hati, sebaliknya, ia puji imam
ini. "Jangan menyebut demikian, tootiang," ia bilang. "Jikalau demikian tootiang bilang, baik,
ijinkan kami berlalu. Tapi ingin aku menerangkan, andaikata dibutuhkannya, umpama
uang, Baru jumlah sepuluh laksa tail saja, sanggup aku menyediakannya, sedang dalam
hal tenaga, dapat aku mengumpulkan saudara-saudaraku dari enam atau tujuh propinsi.
Apabila ada surat-surat, tolong tootiang segera kirim itu kepada kami di gang Tjeng-tiauwtjoe."
Mendengar itu, Tjoei In Toodjin berdiam, lalu ia menarik napas panjang.
"Wan Siangkong, sungguh mulia hatimu," kata dia kemudian. "Sebenarnya urusan kami
sangat memalukan, akan tetapi, apabila tetap kami menutupinya, benar-benar kami jadi
tidak menghargai sahabat-sahabat sejati. Djiewie, silahkan duduk! Tong Hian Soetee,
silahkan kau menjelaskannya."
Tong Hian tunggu sampai itu pemuda dan pemudi telah duduk di batu, ia pun cari sebuah
batu lagi, untuk duduk diatasnya.
"Guru kami, Oey Bok Toodjin tak betah berdiam saja, ia gemar sekali pesiar," lantas imam
itu mulai dengan keterangannya, "maka itu kecuali satu kali setiap dua tahun, di waktu
rapat besar di Boe Tong Sam, jarang sekali ia berada di gunung. Pada lima tahun yang
lampau musim Rontok ada saat untuk rapat besar dua tahun sekali itu, ketika itu soehoe
tidak pulang, dia juga tidak mengirimkan surat pemberian tahu. Hal itu adalah hal yang
belum pernah terjadi. Semua murid menjadi heran dan berkuatir. Apa yang kau tahu, kali
itu soehoe pesiar ke Selatan untuk sekalian mencari bahan obat-obatan. Dengan segera
kami memecah diri, untuk mencari, ke Inlam, Kwietjioe, Kwiesay dan Kwietang. Sampai
lama, masih kami tidak peroleh kabar suatu apa. Kemudian adalah aku yang bersama Bin
Soetee menerima kabar panggilan dari Twie-hong kiam Ban Hong. Dia itu adalah dari
partai Tiam Tjhong Pay di Tay-lie. Ketika pada suatu hari kami sampai di rumah Ban
Toako, dia bilang ada urusan sangat penting. Berdua kami segera berangkat ke Tay-lie.
Ketika pada suatu hari kami sampai dirumah Ban Toako, dia sedang rebah dipembaringan
karena luka hebat. Baru setelah kami menanyakan sebabnya Ban Toako terluka, kami
mendapat tahu bahwa itu disebabkan urusan guru kami."
Mendengar sampai di sini, Sin Tjie segera ingat keterangannya Thia Tjeng Tiok bahwa Oey
Bok Toodjin telah terbinasa di tangannya kaum Ngo Tok Kauw. Diam-diam dia manggut.
"Menurut Twie-hong-kiam Ban Toako itu," Tong Hian Toodjin melanjuti, "ketika hari
kejadian itu, dia pergi keluar kota untuk mengunjungi satu sahabatnya, di luar kota itu
dengan kebetulan ia saksikan soehoe sedang dikepung oleh sejumlah orang. Antara Tiam
Tjhong Pay dan Boe Tong Pay terdapat hubungan yang erat sekali, dari itu Ban Toako
tidak bersangsi akan segera hunus pedangnya akan bantui soehoe. Diluar sangkaan,
pihak musuh liehay sekali, walaupun berdua, tak dapat Ban Toako berbuat suatu apa,
malah segera dialah yang terluka paling dulu, hingga dia rubuh pingsan. Belakangan
Barulah ada orang yang tolongi Ban Toako, buat dibawa pulang. Mengenai soehoe,
ketenangan rada gelap, tak ada yang tahu ia masih hidup atau sudah mati, tak tahu dia
pergi atau dibawa kemana. Ban Toako terluka dipundak dan iganya, bekas cengkeraman
kuku-kuku besi, lukanya sangat hebat. Kami semua percaya dia terluka oleh orang-orang
Ngo Tok Kauw. Syukur untuk Ban Toako, ia bertemu sama tabib yang liehay, hingga
jiwanya ketolongan. Pihak kami. semua tiga-puluh-dua murid, lantas dikirim ke Inlam,
untuk cari soehoe, untuk sekalian cari Ngo Tok Kauw guna mencari balas. Sudah empat
tahun kami mencari terus-terusan, tidak juga kami peroleh hasil, tetap tak ada kabar
tentang soehoe, tidak ada endusan mengenai Ngo Tok Kauw. Setelah lebih dari tiga tahun,
kami meninggalkan wilayah Inlam. Barulah paling belakang ini, kami dengar selentingan
dari Utara bahwa rombongan dari Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, telah
datang berbondong ke Pakkhia...."
"Oh...." Sin Tjie perdengarkan suara tertahan.
Tong Hian heran.
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah Wan Siangkong kenal kauwtjoe itu?" tanyanya.
"Baru saja kemarin beberapa sahabatku menjadi kurbannya mereka punya tangan-tangan
yang jahat," jawab Sin Tjie. "Aku sendiri turut terlibat dalam pertempuran itu."
"Apakah tak berbahaya sahabat-sahabatmu itu?" Tong Hian tanya pula.
"Syukur, semua telah bebas dari ancaman malapetaka," sahut Sin Tjie.
"Sungguh beruntung!" Tong Hian memuji. Lalu ia meneruskan penuturannya: "Begitu
lekas kami dengar warta itu, toasoeheng lantas keluarkan perintah untuk semua murid
Boe Tong Pay kumpul di Pakkhia. Adalah karena ini, ditengah perjalanan, kami telah
bertemu sama nona Tjiauw serta sekalian saudara-saudara dari Kim Liong Pang. Tentang
ini, tak usah aku menceritakannya pula. Toasoeheng sampai terlebih dahulu daripada kita,
kebetulan sekali, dia lantas bertemu sama Ho Tiat Tjhioe. Selama pembicaraan,
perempuan hina itu mencuci diri bersih sekali, katanya belum pernah dia bertemu sama
soehoe. Dimana pembicaraan tidak berjalan lancar, pertarungan menggantikannya.
Perempuan hina itu benar-benar liehay. Karena kurang waspada, jidat toasoeheng kena
kegaruk gaetan besi tangan kiri dari musuh, lalu tubuhnya terserang lima potong senjata
rahasia. Perempuan itu tahu baik, gaetannya, senjata rahasianya, ada racunnya, dia duga
toasoeheng bakal tidak hidup lebih lama, sambil tertawa menghina, ia ajak kawankawannya
angkat kaki. Toasoeheng mempunyai lweekang yang sempuma, dia juga bekal
banyak macam obat untuk punahkan segala rupa racun, malah sebelumnya dia bertempur,
dia sudah makan obat-obat pencegahan, maka itu, meskipun dia telah terluka, dia bisa
obati dirinya sendiri, hingga karenanya tak usahlah dia nampak bahaya maut."
Tjoei In Toodjin menghela napas.
"Pintoo kuatir dia mendapat tahu pintoo tidak mati," katanya, "pintoo kuatir dia nanti
datang pula untuk ulangi serangannya, dari itu tak berani pintoo ambil rumah penginapan,
dengan terpaksa pintoo cari tempat perlindungan ini, untuk sekalian merawat diri. Aku
percaya, selang lagi tiga bulan, sisa racun dalam tubuhku akan sudah dapat dibikin bersih.
Mengenai guru kami, pintoo percaya bahwa benar soehoe telah terbinasa ditangannya
perempuan busuk itu, hingga sakit hati itu tak dapat tidak dibalas. Sayang sekali musuh
kami liehay luar biasa. Inilah sebabnya, siangkong, mengapa kami segan merembetrembet
sahabat baik dalam urusan kami ini..."
"Wan Siangkong," Bin Tjoe Hoa menyela, "apa sebabnya maka pihakmu pun bentrok sama
Ngo Tok Kauw?"
Sin Tjie jawab pertanyaan ini dengan keterangan mulanya ia dan Tjeng Tjeng bertemu
sama si pengemis tukang tangkap ular, Tjeng Tiok dilukai oleh si pengemis wanita tua,
sampai mereka dikepung didalam balai istirahatnya Pangeran Seng Ong.
"Kalau begitu, Wan Siangkong, permusuhanmu dengan Ngo Tok Kauw tidak hebat," kata
Tjoei In Toodjin, "pun tidak apalah yang pihakmu nampak kerugian kecil. Kau ada sangat
berharga, selanjutnya tidak ada perlunya untuk kamu berurusan lebih jauh dengan bangsa
telengas itu yang bagaikan ular dan kelabang ganasnya."
Sin Tjie anggap kata-katanya imam ini benar adanya. Bukankah ia sendiri sedang
mengandung sakit hati ayahnya" Bukankah iapun bertugas berat untuk membantu Giam
Ong membela negara" Memang, urusan kang-ouw itu boleh dikesampingkan dulu, urusan
itu sukar menemui penyelesaiannya.
"Tootiang benar," kata ia sambil manggut. "Di sini aku mempunyai mustika, mari aku coba
menolongi tootiang membersihkan racun pada luka-lukamu itu."
Tjoei In Toodjin suka terima pertolongan itu, maka Tong Hian dan Tjoe Hoa segera bantui
ia, untuk keluar dari dalam peti-mati itu.
Sin Tjie lantas keluarkan mustikanya, ia tempel itu pada luka-lukanya si imam. Baru saja
satu kali sedot, si imam sudah merasa ringan sakitnya.
Disitu tidak ada arak, untuk dipakai merendam mustika, sebaliknya, Tjoei In membutuhkan
mustika itu terlebih jauh, karena terpaksa, Sin Tjie serahkan mustikanya pada Tong Hian
seraya ajari bagaimana mustika itu mesti saban-saban direndam dalam arak, untuk bisa
sedot bersih semua sisa racun.
"Kalau sudah dipakai, Baru kau nanti antarkan itu kembali padaku," ia pesan.
Tong Hian terima itu sambil mengucap terima kasih, iapun menjura berulang-ulang.
Sampai disitu, mereka berpisahan.
Sm Tjie ajak Wan Djie jalan turun bukit dengan perlahan-lahan.
Baru jalan kira-kira setengah, tiba-tiba Wan Djie berhenti, akan duduk atas sebuah batu,
terus ia nangis dengan perlahan.
"Kenapa, nona?" tanya Sin Tjie kaget. "Apakah kau kurang sehat?"
Wan Djie menggeleng kepala, ia susuti air matanya, lantas ia bangun untuk berdiri, akan
jalan pula, seperti tidak ada terjadi suatu apa.
Sin Tjie tidak menanya lebih jauh, akan tetapi ia sudah mengerti. Tentulah si nona
bersedih karena musuhnya tak dapat dicari karena "musuh" Boe Tong Pay berubah
menjadi sahabat, dia sangat cerdas, bisa sekali dia menguasakan diri. Maka ia jadi sangat
kagum. Terus mereka pulang, ketika mereka sampai didalam kota, langit sudah mulai terang. Nona
ini masih muda sekali, toh langsung Sin Tjie antar si nona kepondokannya, sesudah mana
Baru ia menuju pulang kerumahnya didalam gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia gunai ilmu
entengkan tubuh, karena ia berjalan diatas genteng dari banyak rumah orang, ia lompati
pelbagai gang. Ia ingin lekas sampai. Dalam gembiranya, ia telah gunai Bhok Siang
Toodjin punya ilmu entengkan tubuh "Pek pian kwie eng," hingga ia bisa bergerak dengan
sangat gesit dan cepat.
"Sungguh suatu kepandaian luar biasa!" sekonyong-konyong Sin Tjie dengar pujian selagi
ia berlari-lari terus. Sekejab saja, ia berhenti berlari, menyusul mana, satu bajangan putih
melesat lewat disampingnya sebelah kiri.
"Apakah dapat kau kejar aku?" demikian ia dengar pula.
Itulah suara si bajangan, yang bicara sambil tertawa. Sedetik saja, bajangan itu sudah
lewat tujuh atau delapan tumbak jauhnya. Itulah gerakan tubuh sebat luar biasa.
"Siapakah dia ini?", pikir pemuda kita, yang kaget dan heran dengan berbareng. "Kenapa
ilmu entengkan tubuhnya begini sempurna?"
Karena ia ingin tahu, Sin Tjie batal pulang, ia lantas lompat, untuk mengejar.
Bajangan di depan itu kabur terus, tanpa menoleh lagi.
Biar bagaimana, ilmu entengkan tubuh dari Sin Tjie ada setingkat lebih tinggi, belum
terlalu lama, ia dapat menyusul, maka ia melombai, sampai beberapa tumbak, Baru ia
berhenti, akan putar tubuh, untuk menunggu.
Bajangan itupun berhenti berlari, ia tertawa haha-hihi.
"Wan Siangkong, kali ini Baru aku takluk padamu!" katanya.
Sin Tjie lihat seorang dengan tangan baju panjang, bajunya indah, tubuhnya langsing
bagaikan cabang bunga. Dia itu adalah Ho Tiat Tjhioe, kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw, yang
dandan serba putih. Cuma sepatunya berwarna hitam mulus.
Adalah kebiasaan dalam kalangan Rimba Persilatan, orang keluar dengan pakaian serba
hitam atau abu-abu, supaya pakaiannya samar-samar ditempat gelap, supaya kalau ada
serangan senjata rahasia, tubuhnya bisa seperti menghilang. Tapi nona ini memakai serba
putih, jikalau dia tidak liehay tidak nanti dia dandan secara begini menantang.
Sambil mengawasi, Sin Tjie memberi hormat.
"Ho Kauwtjoe, ada pengajaran apakah darimu untuk aku?" tanyanya.
Kepala agama itu tertawa manis.
"Ketika kemarin ini Wan Siangkong berkunjung kepadaku, di sana ada banyak sekali
orangku, yang seperti merintangi kita, yang memecah pemusatan pikiran kita, hingga
karenanya, tak dapat kita berdua mendapatkan keputusan, siapa terlebih tinggi, siapa
terlebih rendah," jawab dia, "maka itu sekarang ini sengaja siauwmoay datang kemari
untuk memohon pengajaran beberapa jurus dari siangkong..."
Kembali ia bahasakan dirinya "siauw moay", adik perempuan. Dan habis berkata-kata, ia
bersenyum-senyum pula. Ia bicara dengan halus, gerak-gerik tubuhnya pun halus dan
menarik hati. "Orang dengan kepandaian tinggi sebagai kauw-tjoe didalam kalangan pria pun jarang
sekali ada," Sin Tjie bilang. "Kagum sekali aku terhadap kepandaian kauwtjoe itu."
Masih si nona tertawa.
"Kemarin ini siangkong perlihatkan kepandaianmu dengan tangan kosong," katanya,
"pukulan-pukulanmu itu telah membawa angin yang menyambar-nyambar, sampai siauwmoay,
yang tenaganya tidak cukup, tidak berani menyambutnya. Bagaimana kalau
sekarang kita main-main dengan senjata tajam?"
Dan tak tunggu jawaban lagi, nona ini meraba kepinggangnya, begitu lekas ia menarik
kembali tangannya, bersama itu tertarik keluar sebatang djoan-pian, ruyung lemas seperti
tungkat panjang, yang sebagian batangnya mempunyai gaetan-gaetan halus, maka siapa
tak beruntung terkena ruyung itu, mesti - sedikitnya - dagingnya bakal terbetot sepotong
demi sepotong. "Wan Siangkong, inilah yang disebut Kat bwee-pian," kata si nona, yang perkenalkan
ruyungnya sebagai ruyung Ekor Kala. "Diujung semua duri ini ada racunnya, maka itu,
harus siangkong berlaku waspada sekali. Sudah siapkah?"
Mau atau tidak, dalam hatinya, Sin Tjie bergidik.
Begitu merdu suara si nona, begitu manis lagunya, demikian cantik-molek orangnya, siapa
sangka, sikapnya sebaliknya sangat ganas. Itulah suatu hal yang sangat bertentangan
satu dengan lain!
Tentu saja tak sudi Sin Tjie melayani ular cantik Ini. Maka ia segera rangkap kedua
tangannya, untuk memberi hormat.
"Maaf!" katanya seraya ia hendak memutar tubuh, untuk undurkan diri.
Ho Tiat Tjhioe tidak tunggu orang pergi, dengan sebat ia menyabet dengan djoanpian
istimewanya itu, berbareng mana, sambaran anginnya sampai terdengar nyata.
Rupanja Sin Tjie telah bisa menduga, maka atas datangnya serangan, kepada dadanya, ia
segera mengelak sambil bersenyum, hingga serangan melewati sasarannya, menyusul
mana, ia berlompat mundur, untuk lompat terus, hingga sekejab saja, ia sudah jauhkan diri
beberapa tumbak.
Ho Tiat Tjhioe pasti merasa ia tidak bakal sanggup susul si anak muda, dari itu ia
perdengarkan suaranya yang nyaring: "Begini saja muridnya Kim Tjoa Long-koen"
Sungguh dia membikin merosot derajat gurunya, yang namanya sangat kesohor! Ha-haha!"
Diperhina secara demikian, Sin Tjie melengak
"Senantiasa aku mengalah saja, dia rupanya jadi kepala besar?" demikian ia pikir. "Kaum
Ngo Tok Kauw ini jumawa sekali! Apakah mungkin aku jeri terhadapnya?"
Karena memikir demikian, Sin Tjie berdiri diam, ketika ini digunai si nona, untuk
berlompatan menyusul dia, malah segera, berbareng sama berkelebatnya cahaya putih,
nona itu menyambar dengan ruyungnya.
Sin Tjie kerutkan alis.
"Kenapa dia menggunai senjata terkutuk ini?" pikir dia. "Dia begini eilok, kenapa dia
tersesat?"
Ia lantas saja berkelit, untuk menyingkir dari serangan itu.
Oleh karena lawan menggunai senjata yang banyak durinya dan beracun juga, Sin Tjie
tidak berani melayani sebagaimana biasanya ia melawan musuh bersenjata dengan tangan
kosong, tapi juga ia tidak mau lekas-lekas gunai senjatanya, dari itu, ia berkelahi dengan
kedua kepalannya dikasi masuk dalam ujung tangan bajunya. Ia berkelahi dengan
senantiasa berkelit dari sesuatu serangan, untuk ini ia andalkan kelincahannya.
Ho Tiat Tjhioe gesit sekali, cepat sesuatu serangannya, akan tetapi kemplangannya,
sabetannya, ataupun sodokannya, tidak pernah mengenai sasarannya, malah melanggar
ujung baju pun tidak bisa.
Dua-puluh jurus telah dikasi lewat dengan cepat, tidak pernah Ho Tiat Tjhioe peroleh hasil,
akhirnya ia jadi sengit nampaknya, hingga ia menegur: "Kau main berkelit saja, apakah
kau masih terhitung satu hoohan?"
Sin Tjie tertawa.
"Bukankah kau hendak bikin panas hatiku, supaya aku rampas senjatamu?" ia tegaskan.
"Itulah tak sukar!"
Pemuda ini segera jumput dua potong genteng, yang ia pegang dengan masing-masing
sebelah tangannya. Ia masih berkelit saja, tapi kali ini ia memasang mata kepada
djoanpian orang itu.
"Lepas ruyungmu!" tiba-tiba ia berseru membarengi iapunya dua potong genteng yang
dipakai menyambut ujung ruyung yang dipakai menyerang kepadanya, sambil terus ia
membetot, sementara kaki kanannya diangkat, untuk dupak kakinya si nona.
Kaget Ho Tiat Tjhioe. Tidak ia sangka, musuhnya demikian liehay.
Tentu saja ia menjadi repot. Mana ia hendak tarik pulang ruyungnya, mana ia hendak
lindungi kakinya. Ia lantas lepaskan ruyungnya sambil mundur. Tapi ia telah berdiri di
pinggiran genteng, inilah ia tidak ketahui, tidak ampun lagi ia kejeblos, tubuhnya turut
melayang jatuh kebawah!
Sin Tjie cekal ruyung orang, ia tertawa,
"Bagaimana kau lihat muridnya Kim Tjoa Long-koen?" tanyanya.
"Bagus!" seru si nona selagi tubuhnya jatuh. Benar-benar dia gesit luar biasa, sebab
begitu mengenai tanah - ia tidak rubuh, hanya dapat menaruh kaki - tubuhnya sudah
mencelat pula naik keatas genteng!
Menampak ini, meski juga ia sendiri sangat liehay, Sin Tjie kagum tidak kepalang.
"Sekarang aku hendak belajar kenal sama senjata rahasiamu, Wan Siangkong," kata pula
si nona, yang sangat bandel. "Kami dari kaum Ngo Tok Kauw ada punya pasir Tok-siamsee...."
Itulah "pasir kodok beracun"...
Sin Tjie dengar suara orang yang nyaring tetapi empuk, ia tidak dapat lihat orang
mengayun tangan, tapi tahu-tahu di hadapannya ada berkelebat sinar-sinar kuning emas,
hingga ia jadi sangat kaget. Ia insyaf, itulah senjata rahasia si nona. Dalam keadaan
terhimpit seperti itu, ia lantas apungi tubuhnya, akan berlompat tinggi!
Segeralah terdengar suara merotok pelahan diatas genteng, itulah senjata rahasianya Ho
Tiat Tjhioe, diapunya "pasir pasir" yang beracun, sedikitnya belasan biji. Sebenarnya itu
bukannya pasir tulen, itu adalah jarum baja halus, yang digunainya bukan dengan
disambitkan. Jarum-jarum itu termuat dalam satu pipa atau bungbung, yang dia cantel di
dadanya. Untuk kasi kerja itu, cukup asal dengan tangan kanannya dia tepuk pinggangnya
dimana ada dipasang alat rahasianya. Untuk melepaskan jarum ini, iapun tak usah main
mengincar lagi, cukup asal dia berdiri menghadapi sasarannya. Jadi senjata ini beda
dengan senjata rahasia lainnya yang memerlukan ayunan tangan. Maka tidak heran kalau
Sin Tjie terkejut. Memangnya hampir tak ada orang yang ketahui, kauwtjoe dari Ngo Tok
Kauw ini mempunyai semacam senjata rahasia.
Akan tetapi pemuda kita juga tidak diam saja, selagi dia berlompat, belum sampai
tubuhnya turun pula, tangannya telah diayun, tiga biji caturnya dikasi menyambar kearah
jalan darah yang lemah dari si nona. Dan ia pun sambil membentak: "Aku tidak bermusuh
denganmu, kenapa kau berlaku begini telengas?"
Ho Tiat Tjhioe berkelit untuk dua biji catur, sedang yang ketiga ia sambut dengan
tangannya. "Ayo, sungguh liehay!" dia menjerit. "Sakit tanganku!...."
Lalu, dengan melihat turunnya tubuh, ia balas menyerang dengan biji catur itu.
Sin Tjie lihat serangan itu, tangannya si nona toh diayun. Ia bisa duga, serangan pasti tak
kena. Tadinya ia niat sambuti biji caturnya itu, tetapi sekicapan mata ia ingat, mungkin
tangannya si nona ada racunnya, maka ia lantas gunai tangan bajunya, untuk menyampok,
hingga biji catur terlempar kesamping.
Habis menyerang dengan biji catur itu, Ho Tiat Tjhioe tidak berhenti untuk beristirahat, dia
hanya masuki sebelah tangannya kedalam sakunya. Ketika ia sudah tarik itu keluar, ia
terus ayun itu. Maka lantas, belasan tali yang bukan tali sutera atau tali air emas,
menyambar kearah kepalanya si anak muda, yang hendak ditungkrap!
"Hebat!" pikir Sin Tjie, yang terus waspada untuk orang punya pelbagai alat yang ada
racunnya. Karena ia tidak mau menyingkir, ia ajun djoanpian lawannya, untuk dipakai
menangkis serangan tali-tali istimewa itu.
Sebat luar biasa, Ho Tiat Tjhioe tarik pulang tali-talinya itu. Iapun tertawa.
"Kat-bwee-pian itu ada kepunyaanku!" katanya. "Kau pakai senjataku itu, kau malu atau
tidak?" Teranglah nona ini mengejek. Pun terang juga iapunya lagu-suara orang Inlam asli.
Sin Tjie lemparkan djoanpian keatas wuwungan.
"Jikalau aku bisa rampas beberapa lembar talimu itu, maukah kau berjanji yang kau
bersama semua orang Ngo Tok Kauw tidak akan grembengi aku pula?" tanya dia.
"Inilah bukannya tali," sahut si nona. "Inilah tali yang terlalai dari galagasi si kawa-kawa.
Jikalau kau menghendaki untuk merampas, silakan, kau boleh coba!"
Nona itu menantang, dengan talinja itu ia segera menyambar, kearah pinggang si anak
muda. Sin Tjie segera berkelit, ia niat menyambar benang itu tapi ia batalkan niatnya dengan tibatiba.
Sebab tiba-tiba saja ia ingat pada racun!
Ho Tiat Tjioe melanjuti serangannya, berulang-ulang, atas mana, si anak muda melayani
terus dengan unjuk kegesitannya, yaitu ia senantiasa main berkelit, ke samping atau
mundur, secara begini ia bisa berbareng perhatikan gerak-gerik orang. Nona itu hebat
menyerangnya, pandai juga pembelaannya.
Selang sepuluh jurus, Sin Tjie berpikir: "Ngo Tok Kauw gemar memelihara binatangbinatang
beracun, antaranya kawa-kawa, sekarang permainan silat tali si nona ini mirip
dengan terkaman-terkamannya sang kawa-kawa itu. Bisa sekali ia menelad kawa-kawa,
untuk menciptakan ilmu silat ini."
Lantas pemuda ini menunggu ketika lowongan, untuk turun tangan.
Segera datang saatnya Ho Kauwtjoe menyerang secara hebat, apabila si anak muda
berkelit ke samping, serangannya gagal, tangannya terlonjor kedepan. Inilah ketikanya Sin
Tjie, sebelum orang sempat perbaiki diri, ia maju, untuk merangsak, guna totok iga si
nona. Ho Tiat Tjhioe tampak ia terancam bahaya, tidak sempat ia menarik pulang
senjatanya, maka untuk tolong diri, ia egos tubuhnya kesamping.
Dengan tiba-tiba saja muka Sin Tjie merah sendirinya, ia tidak sangka serangannya ini
bakal memberikan hasil, hingga ia pikir, bagaimana ia dapat meletaki tangannya ditubuh
satu wanita. Kesangsiannya ini membuat gerakannya menjadi ayal.
Ho Tiat Tjhioe mendapat ketika karena kesangsiannya lawan, yang ia tak tahu disebabkan
apa, ia lantas gunai ketika ini, akan memutar tubuh, akan terus menyambar dengan tangan
kirinya, dengan gaetannya.
Sin Tjie terperanjat, lekas-lekas ia tarik pulang tangannya. Ia batal menyerang terus.
"Bret!" demikian satu suara nyaring.
Gaetannya si nona menyambar baju si anak muda, baju itu robek!
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ayo!" berseru Ho Kauw-tjoe." Celaka betul! Bajumu pecah, Wan Siangkong! Mari buka
bajumu itu, nanti aku bawa pulang untuk dijahiti!...."
Mendongkol juga Sin Tjie menampak orang demikian licik, karena ini, sedang si nona goda
ia, dengan cepat ia menyerang dengan tangan kanannya, ujung bajunya dipakai
menyampok, tatkala si nona berkelit, ia merangsek, ia ulangi serangannya secara
beruntun. Dalam keadaan terdesak itu, Ho Tiat Tjhioe lompat mundur, lalu ia menyabet dengan
talinya, tapi Sin Tjie papaki dengan tangan bajunya yang robek tadi, yang sekarang
bergeliwiran, hingga ujung baju itu terlibat tali, setelah itu, ia membetot dengan kaget.
Ho Kauw-tjoe tarik pulang talinya, ia terlambat, malah cekalannya terlepas, talinya jatuh ke
tanah, berbareng sama ujung baju, yang pun robek lebih jauh, terputus dari bajunya.
"Bagaimana sekarang?" tanya Sin Tjie.
Nona itu tidak menjawab, hanya tangan kanannya dipakai meraba ke bebokongnya hingga
dilain saat, ia sudah tarik keluar sebatang Kim-kauw ialah gaetan terbuat atau tercampur
emas, hingga kelihatannya bercahaya berkilau-kilau.
Heran juga Sin Tjie menyaksikan alat-senjata orang yang seperti tak habis-habisnya,
banyak macamnya. Ia juga tak mengerti maksud si nona.
"Aku telah rampas talimu. kau tak boleh ganggu aku lebih lama!" katanya, untuk
memperingati janji.
"Kau bicara sendiri! Kapan aku telah berjanji?" balik tanya si nona.
Sin Tjie bungkam. Memang juga, si nona belum pernah terima baik perjanjian yang ia
kemukakan tadi, hanya si nona malah menantang ia untuk coba rampas senjatanya dia itu.
Ia jadi masgul. Kalau terus-terusan ia melayani, sampai kapan gangguan ini bisa dibikin
tamat. "Hm!" akhirnya ia bersuara. "Aku mau lihat, berapa banyak macamnya gegamanmu!"
Ia memikir untuk rampas sesuatu senjatanya si nona, supaya dia tahu rasa dan akan
mundur sendirinya.
"Ini dia jang dinamakan Kim-gia-kauw!" kata Ho Kauw-tjoe. "Kim-gia-kauw" berarti "gaetan
kelabang emas." Lantas ia tonjolkan tangan kirinya, yang merupakan gaetan hitam. "Dan
ini Tiat-gia-kauw!" ia menambahkan. "Tiat-gia-kauw" berarti "gaetan kelabang besi." Dan ia
menambahkan terlebih jauh: "Untuk meyakinkan ini macam gaetan, ayahku telah kutungi
tanganku yang kiri ini. Ayah bilang, daripada memegang senjata, lebih baik senjata
dipasang tetap ditangan. Aku telah yakinkan gaetan ini untuk tigabelas tahun, masih juga
belum sempurna. Wan Siangkong, gaetan ini ada racunnya, awas, jangan kau
merampasnya dengan tanganmu!"
Sin Tjie lihat orang bicara sambil tertawa, sambil bersenyum berseri-seri. Tabah sekali
nona ini. Lalu si nona maju menghampirkan, dengan tindakannya pelahan-lahan.
Kuatir orang nanti menggunai tipudaya, Sin Tjie memasang mata, ia berlaku waspada.
Mendadak saja di kejauhan terdengar suara suitan, suara yang sayup-sayup. Mendadak
Sin Tjie, ingat suatu apa, hingga ia berseru dalam hatinya: "Celaka! Apa mungkin dia ini
sengaja tahan aku di sini sedang konco-konconya dia perintah pergi serbu Tjeng Tjeng!"
Tidak ayal lagi, pemuda kita putar tubuhnya, untuk lari pulang.
Ho Tiat Tjhioe tertawa berkakakan.
"Baru sekarang kau pulang, kau terlambat!" katanya.
Walaupun dia mengucap demikian, nona ini pun berlompat, untuk sambar si anak muda,
bebokong siapa ia hajar dengan gaetan besinya.
Masih Sin Tjie lihat gerakan si nona, ia berlompat, berkelit kesamping, sembari membaliki
tubuh, sebelah kakinya menyapu.
Ho Kauw-tjoe lompat, akan hindarkan diri dari sapuan itu, tetapi hampir berbareng dengan
itu, ia barengi menyerang dengan dua-dua gaetannya.
Itu waktu ada diwaktu fajar, sinar matahari pertama Baru saja mulai muncul, maka diantara
sorotannya sinar sang Batara Surya itu, kedua gaetan berkilauan hitam dan kuning emas,
memain di depan mukanya si anak muda.
Bercekat hatinya Sin Tjie. Segera ia dapat kenyataan, ilmu silat dari kepala agama Ngo Tok
Kauw ini tidak saja berada di atas dari Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa. malah masih
di atasannya Ngo-tjouw dari Tjio Liang Pay. Maka itu, melayani si nona, ia sibuk juga,
sebab pikirannya terpecah dua. Di sana ada Tjeng Tjeng yang keselamatannya ia
kuatirkan, meskipun masih belum tentu Nona Hee berada dalam bahaya. Beberapa kali
pemuda ini berniat rampas Kim-gia kauw, senantiasa ia gagal, sebab sambil menarik
pulang gaetannya itu, Ho Tiat Tjhioe berbareng melindungi dengan Tiat-gia-kauw,
gaetannya yang lain yang dipasang di tangan. Yang lebih menyulitkan dia, dia kuatirkan
racun di kedua ujungnya gaetan yang liehay itu.
Sampai di jurus yang ketiga-puluh, masih Sin Tjie belum berhasil dengan pelbagai
dayanya untuk merampas gaetan orang itu, untuk memunahkan Tiat-gia-kauw. Itu berarti
ia mensiasiakan ketika. Itu pun mungkin membahayakan Tjeng Tjeng andai-kata benar
puterinya Kim Tjoa Long-koen diserbu orang-orang Ngo Tok Kauw
Akhir-akhirnya, dalam sibuknya itu, pemuda ini menjadi putus asa, maka terpaksa ia lantas
raba Kim Tjoa Kiam, untuk hunus itu pedang mustika, yang sejak turun gunung, belum
pernah ia pakai secara sungguh-sungguh. Baru saja tadi ia pakai itu untuk memapas
senjatanya Tong Hian Toodjin dan Bin Tjoe Hoa serta beberapa anggauta Kim Liong Pang.
Kapan Ho Tiat Tjhioe tampak senjata ular-ularan itu, dia kaget hingga mukanya pias.
"Bagus!" serunya. "Kiranja Kim Tjoa Kiam terjatuh dalam tanganmu!"
"Ya, habis apakah kau mau?" menantang si pemuda, yang terus saja maju menyerang,
beberapa kali ia menabas pulang-pergi.
Ho Tiat Tjhioe sibuk dalam sekejab. Terpaksa ia main mundur saja, tak sempat ia
membalas menggaet, sedang tadi, ia ada leluasa merangsak lawannya ini.
Sin Tjie tidak mau mengasi ketika, maka akhirnya datanglah saatnya ia tabas kutung
ujungnya Kim gia-kauw, hingga si nona kaget tak terkira.
Lantas si anak muda mengancam:
"Jikalau tetap kau ganggu aku, aku nanti tabas juga Tiat-gia kauw!" demikian serunya.
Benar-benar Ho Tiat Tjhioe tidak berani maju pula, ia cuma bisa mengawasi dengan
mendelong. Sin Tjie masuki pedangnya ke dalam sarung, ia putar tubuhnya, terus ia lari pulang. Ia lari
dengan keras sekali, hingga sebentar kemudian, ia telah sampai di mulut gang. Justru ia
sampai di situ, lantas ia saksikan hal yang mengejutkan dia.
Di situ Ang Seng Hay rebah di antara kobakan darah! Lekas-lekas ia mengangkat bangun.
Syukur sekali, pengiring itu masih bernapas, tapi karena dia terluka pada lehernya, dia
tidak dapat bicara, sebagai gantinya omongan, dia lantas menunjuk berulang-ulang ke
dalam rumah. Sin Tjie pondong tubuh orangnya itu, untuk dibawa masuk. Kapan ia sampai di dalam,
rumahnya menjadi kacau tidak keruan-macam. Kursi dan meja terbalik-balik, rusak, rusak
juga daun-daun pintu dan jendela, begitupun perabotan lainnya. Itulah bukti dari bekas
pertempuran hebat, bekas serbuan membabi-buta.
Dengan hati berkuatir, Sin Tjie robek tangan bajunya, untuk balut lukanya Seng Hay, untuk
mencegah darah keluar terus, habis itu ia lari kesebelah dalam. Pemandangan di sini tak
kurang hebatnya, kerusakan terdapat pada segala bagian. Paling hebat adalah ketika ia
tampak Ouw Koei Lam dan Thia Tjeng Tiok pun rebah dilantai dengan masing-masing
sedang merintih.
"Apakah sudah terjadi?" tanya Sin Tjie.
"Nona Tjeng Tjeng, Nona Tjeng Tjeng..." kata Koei Lam dengan susah. "Dia dibawah lari
orang-orang Ngo Tok-Kauw!..."
Inilah puncaknya kehebatan.
"Mana See Thian Kong dan yang lain-lain?"
Masih pemuda itu dapat tetapkan hati, untuk menanyakan lain-lain kawannya itu.
Ouw Koei Lam tidak menyahut, dia cuma menunjuk keatas, ke wuwungan rumah.
Sin Tjie tidak menanya lagi, ia lari ke tjimtjhee, untuk lompat naik ke atas genteng, maka di
sana, yang paling pertama, ia tampak Tay Wie dan Siauw Koay sedang peluki A Pa, si
empeh gagu, kedua binatang itu memekik-mekik tak hentinya, terang mereka lagi tidak
berdaya. Akan tetapi, kapan mereka lihat majikannya, mereka lompat untuk menubruk,
suaranya dibuka lebih besar, agaknya mereka hendak mengadu. Sayang mereka tidak
mampu bicara. See Thiah Kong juga berada diatas genteng, mukanya bersemu hitam, suatu tanda dia pun
telah terluka, malah terluka hebat. A Pa sendiri terluka pada tubuhnya.
Menampak semua itu, Sin Tjie kertak gigi. Meluaplah hawa-amarahnya.
"Kenapa aku jadi tolol sekali!" dia sesalkan diri sendiri. "Kenapa aku kasi diriku dicantel
oleh itu perempuan hina?"
Ketika itu, sang pagi sudah datang, maka semua bujang, yang tadinya lari kalang-kabutan,
akan singkirkan diri, mulai pada pulang.
Sin Tjie pondong A Pa dan See Thian Kong, untuk dibawa turun dengan bergantian,
kemudian lekas-lekas ia tulis surat untuk Tjiauw Wan Djie, buat minta si nona lekas minta
pulang mustika kodok es, guna ia tolongi See Thian Kong semua. Satu bujang diperintah
lekas sampaikan surat itu ditempat penginapan si nona. Kemudian ia mulai tolongi See
Thian Kong dan yang lain-lain, untuk balut luka mereka. Sembari menolongi, ia tanyakan
duduknya kejadian.
Thie Lo Han belum sembuh dari lukanya, ia belum bisa bangun dari pembaringannya,
karena ini, ia tidak terlibat dalam pertempuran hebat ini, ia jadi luput dari bahaya, maka
cuma ia yang bisa lantas bicara.
"Pada kira-kira jam tiga, Tay Wie dan Siauw Koay adalah yang mulai sadar akan ancaman
bahaya," kata tauwto ini. "Mereka itu bersuara tidak sudahnya, mereka tarik-tarik A Pa
untuk naik ke atas genteng. Begitu A Pa naik, ia segera dikepung belasan musuh. A Pa
tidak bisa bicara, dari itu, dia tendangi genteng, sebagai tanda untuk kita pun naik untuk
sambut musuh. Aku berada di mulut jendela, aku bisa menyaksikan dengan tegas. Karena
aku tidak berdaya, aku cuma bisa sibuk sendiri. Aku lihat A Pa bersama saudara-saudara
See dan Thia bisa rubuhkan beberapa musuh, akan tetapi jumlah musuh ada terlalu besar,
pihak kita akhirnya kena terdesak mundur, Pertempuran pun dilanjuti di bawah, di dalam
rumah, di setiap kamar. Di akhirnya, semua orang telah kena dilukai dan rubuh, adalah
sesudah itu Tjeng Tjeng kena ditawan dan dibawa pergi. Wan Siangkong, kami menyesal
sekali buat kejadian ini...."
"Semua ini disebabkan aku telah kena dipancing musuh," kata Sin Tjie, untuk menghibur.
"Mereka menggunai tipu memancing harimau meninggalkan gunung. Sekarang ini
menolong ada paling penting."
Lantas ini anak muda lari ke luar, ke istal, untuk tuntun keluar seekor kuda, kapan ia sudah
lompat naik ke bebokong kuda itu, ia kabur ke luar kota. Ia menuju langsung ke itu rumah
luar biasa, balai istirahat dari Pangeran Seng Ong. Begitu ia sampai, ia lompat turun dari
kudanya, setelah tambat binatang itu di sebuah pohon, ia lari ke depan rumah, untuk terus
lompat naik ke tembok, akan lompat turun ke dalamnya. Dia masih tetap murka dan sibuk.
"Ho Kauwtjoe!" dia berteriak. "Ho Kauwtjoe, silakan keluar! Aku hendak bicara
denganmu!"
Jawaban tidak ada, kecuali dari kumandang yang nyaring, ketika toh datang juga jawaban,
adalah terpentangnya pintu rahasia dari mana lantas merubul keluar belasan ekor anjing
yang bengis-bengis, di belakang semua binatang galak itu mengikuti beberapa belas
orang. "Sekarang ini tak dapat aku berlaku sungkan-sungkan lagi," pikir Sin Tjie, yang tidak kenal
takut "Aku mesti bikin ambruk dulu semangat mereka!"
Segera juga pemuda ini ayun tangan kirinya, berulang tali, maka sebagai kesudahan dari
itu, belasan potong Kim-tjoa-tjoei, bor-bor Ular Emas, menyambar-nyambar kearah
rombongan anjing galak itu.
Beberapa ekor lantas saja rubuh binasa begitu lekas mereka keluarkan jeritan, lalu
menyusul yang lainnya, sebab semua bor tidak ada yang lolos. Kemudian dengan sebat, ia
lompat kepada bangkai anjing itu, untuk dengan kedua tangannya lekas cabuti semua
bornya itu. Orang-orang Ngo Tok Kauw pada melongo, mereka kaget dan kagum.
Tadinya mereka ini sudah merencanakan, selagi si anak muda bergulat dengan anjing
mereka, mereka hendak menyemprot dengan racun mereka di dalam bungbung, mereka
tidak nyana, semua anjing mereka bisa dibikin mati dalam tempo demikian pendek.
Apabila kemudian mereka sadar, perasaan mereka yang pertama adalah takut, hingga
batal mereka hendak menyerang dengan semprotan, mereka putar tubuh, lantas lari.
Orang yang pertama telah lari sambil menjerit-jerit.
Sin Tjie lompat, untuk nerobos masuk ke dalam pintu rahasia itu. Beberapa orang telah
membalik tubuh, dengan niatan menutup pintu tapi mereka kalah sebat.
Pintu merah terpentang, rupanya bekas tadi dipakai keluar oleh rombongan Ngo Tok Kauw
itu, Sin Tjie lihat ini, dengan satu lompatan luar biasa, ia lombai semua musuh, maka ia
telah mendahului masuk di pintu rahasia itu. Itu berarti ia sudah masuk semakin dalam di
sarang musuh, di tempat yang berbahaya, akan tetapi justru karena ini, hatinya jadi
semakin tenang.
"Ho Kauw-tjoe, apabila kau tetap tidak hendak keluar, maka jangan kau nanti katakan aku
keterlaluan!" dia berseru pula dengan ancamannya.
Sebagai jawaban, Sin Tjie dengar suara suitan, sebagai kesudahan dari itu, segera
tertampak munculnya orang-orang Ngo Tok Kauw, yang terus berbaris dikiri-kanan, habis
itu dari sebelah dalam, berlerot keluar belasan orang, yang bertindak dimuka adalah Ho
Ang Yo, wanita tua yang jelek itu, dibelakangnya mengapit Phoa Sioe Tat dan Thia Kie Soe
berikut Kim-ie Tok Kay Tjee In Go. Di belakang si pengemis tukang tangkap ular ini
Barulah lain-lain orang liehay dari kawanan Ngo Tok Kauw itu.
Sin Tjie mendahului membuka mulut. Ia berkata:
"Aku tidak kenal tuan-tuan, kitaorang tidak punya dendaman lama, tidak punya
permusuhan baru, maka itu, kenapa tuan-tuan sudah datangi rumahku dimana kamu telah
lukai sahabatku serta culik adikku" Apakah sebabnya semua itu" Aku minta supaya
sukalah Ho Kauwtjoe memberikan penjelasannya!"
"Orang-orang dirumahmu tidak bermusuhan dengan kami, itulah tidak salah," menyahut
Ho Ang Yo, "itu pun sebabnya kenapa kami sudah berlaku murah hati, yaitu tidak ada satu
diantaranya yang kami lantas bikin mati! Bukankah kau mempunyai obat mustika" Dengan
itu dengan gampang kau bisa sembuhkan mereka. Tapi mengenai itu bocah she Hee" Hm!
Dengan cara pelahan-lahan, kami hendak beri pengajaran kepadanya!"
"Dia masih sangat muda, apakah dia telah berbuat terhadap kamu yang membikin kamu
mendendam?" tanja Sin Tjie. Ia masih belum tahu hubungannya kawanan ini dengan Tjeng
Tjeng. Ho Ang Yo tertawa dingin.
"Siapa suruh dia terlahir sebagai puteranya Kim Tjoa Long-koen?" jawabnya. "Hm! Siapa
suruh dia bolehnya dilahirkan oleh itu perempuan hina she Oen?"
Sin Tjie terperanjat. Heran dia kenapa wanita tua ini ketahui ibunya Tjeng Tjeng ada
seorang she Oen. Karenanya, ia jadi berdiam.
Ho Ang Yo tampak orang diam saja, ia menegur, suaranya seram: "Apa kau mau maka kau
datang mengacau di sini?"
"Jikalau kamu ada punya sangkutan sama Kim Tjoa Long-koen," jawab Sin Tjie, "kenapa
kau tidak mau cari dia sendiri untuk balas lakukan pembalasan sakit hatimu?"
"Bapaknya hendak aku bunuh, anaknya juga hendak aku binasakan!" bentak Ho Ang Yo.
"Kau ada punya sangkutan dengan dia itu, kau juga hendak aku bunuh!"
Bukan main bengisnya pengemis wanita ini, akan tetapi Sin Tjie tak gentar terhadapnya,
malah tak sudi dia berurusan dengannya terlebih lama pula.
"Ho Kauw-tjoe!" segera ia teriaki pula Tiat Tjhioe. "Sebenarnya kau hendak keluar atau
tidak" Mau kau lepaskan orang tawananmu atau tidak?"
Dari dalam tetap tidak ada jawaban, hanya ada juga jawaban ialah suara kumandang.
Habis sabarnya ini anak muda, tiba-tiba saja ia lompat maju, akan lewati Ho Ang Yo. Ia
berlompat disampingnya wanita tua yang romannya menyeramkan itu. Di depan ia ada
sebuah pintu. Dua orang Ngo Tok Kauw di belakang si nyonya tua lompat maju, untuk merintangi, tetaipi
Sin Tjie sambut mereka dengan gerakan kedua tangannya ke kiri dan kanan, atas mana
dua orang itu terpental rubuh terbanting. Setelah itu, pemuda ini lompat lebih jauh masuk
ke dalam pintu.
Nyata kamar yang Baru dimasuki ini kosong. Karena ini Sin Tjie lari ke kamar sebelah
timur, di situ ia mendupak pintu hingga daunnya menjeblak. Di dalam sini ada dua
anggauta Ngo Tok Kauw sedang rebah, ialah dua orang yang kemarin ini kena dilukai dan
sekarang sedang beristirahat. Melihat si anak muda, mereka kaget hingga mereka lompat
berjingkrak. Sin Tjie tidak perdulikan orang ini, ia pergi ke lain kamar, tidak juga ia ketemukan Ho Tiat
Tjhioe atau Tjeng Tjeng, maka ia cari terus di lain-lain kamar atau ruangan. Ada orangorang
Ngo Tok Kauw yang mencoba merintangi tetapi mereka tidak berani menyerang.
Dalam tempo yang pendek, Sin Tjie sudah periksa semua kamar, tetap tidak ada Tjeng
Tjeng, tidak ada Ho Tiat Tjhioe, dalam sengitnya, ia ubrak-abrik semua jambangan, guci
dan peti, hingga banyak macam binatang beracun, yang dikurung atau dipiara di situ, pada
terlepas, lari merayap ke segala penjuru.
Orang-orang Ngo Tok Kauw menjadi kaget, di satu pihak mereka coba menyerang, di
pihak lain ada yang menangkap-nangkapi pula rupa-rupa binatang piaraan mereka itu.
Didalam pertempuran kalut seperti itu, pihak Ngo Tok Kauw tidak berani gunai semprotan
racun mereka, rupanya mereka takut nanti mencelakai orang sendiri.
"Jikalau benar kau satu laki-laki, mari kita pergi keluar, untuk pertempuran yang
memutuskan!" Phoa Sioe Tat akhirnya menantang.
Sin Tjie tahu orang ini mempunyai kedudukan penting, maka ia pikir, baik ia bekuk orang
ini, untuk nanti ia korek keterangan dari mulut dia itu.
"Baik!" ia menyambut. "Baik, aku nanti coba belajar kenal dengan tuan punya Tok-seetjiang!"
Dengan satu loncatan dari Pek-pian Kwie-eng, Sin Tjie sudah melesat ke depan pahlawan
Ngo Tok Kauw ini.
Phoa Sioe Tat terkejut, inilah ia tidak sangka, tetapi ia sudah lantas memapaki, dengan
serangan kedua tangannya saling susul.
"Lain orang takuti tanganmu yang beracun, aku tidak!" seru Sin Tjie, yang menghalau diri
dari dua sambutan musuh itu.
"Baiik, kau cobalah!" seru Sioe Tat juga, sambil ia menyerang pula.
Sin Tjie angkat tangan kanannya., untuk menangkis.
Girang sekali Sioe Tat melihat tangkisan orang, di dalam hatinya, ia kata: "Jikalau kita
Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saling serang, mungkin aku sukar menangi kau, akan tetapi sekarang kau berani bentrok
tangan dengan tangan, kau seperti cari mampusmu sendiri, maka janganlah kau sesalkan
aku!" Lalu dua-dua tangannya dimajukan dengan tenaga penuh, sepuluh jarinya terbuka, untuk
dipakai mencengkeram tangan musuh.
Di saat kedua tangan hampir bentrok satu dengan lain, girangnya Sioe Tat sudah bukan
alang-kepalang, karena ia merasa, segera ia akan bikin terluka musuhnya itu. Akan tetapi
justru di saat itu, mendadak ia dapatkan musuh tarik pulang kepalannya, belum sempat ia
melihat nyata, ia tampak bajangan berkelebat kesampingnya, hingga ia menjadi kaget,
sehingga ia niat berkelit, untuk menyingkirkan diri, kedua tangannya sendiri mendahului
ditarik pulang juga. Tapi ia telah terlambat, ia menjadi kaget ketika tahu-tahu, batang
lehernya tercekal keras, dan belum ia sempat berdaya, tubuhnya sudah kena diangkat
tinggi! Orang-orang Ngo Tok Kauw pun kaget, sampai mereka berseru, lantas mereka merangsak,
akan tolongi pahlawan mereka, akan tetapi mereka disambut Sin Tjie dengan si anak muda
putarkan diri sambil tubuhnya Sioe Tat diputarkan juga, dipakai sebagai alat untuk
menangkis serangan!
Semua orang Ngo Tok Kauw merandak, tidak ada satu juga yang berani maju akan serang
si anak muda, sebab mereka kuatir nanti mereka melukai "hoe-hoat" mereka atau
pelindung agamanya.
Sin Tjie lantas saja berseru: "Dimana adanya orang yang kau culik" Lekas bilang!"
Phoa Sioe Tat meramkan mata, tak sudi ia memberikan jawaban.
Sin Tjie gunai jeriji tangannya, akan menotok jalan darah di tulang bebokongnya orang
tawanannya itu.
"Aduh, aduh!" Sioe Tat menjerit-jerit. Tak tahan ia akan sakitnya totokan itu, hingga ia
mencoba berontak-rontak.
Sin Tjie membarengi, akan lepaskan cekalannya, akan banting tubuhnya pahlawan musuh
itu. Sioe Tat benar-benar seorang berani dan beradat keras, walaupun ia mesti rebah
bergulingan berulang-ulang, tak mau ia memberi jawaban, hingga pemuda kita jadi
kewalahan. "Baik!" pikir Sin Tjie. "Kau tidak sudi bicara, mustahil lain orang tidak?" Ia segera ingat
kepada ilmu totokan jalan darahnya yang liehay, asal dia gunai itu, siapa juga tak akan
dapat menyadarkan korbannya.
"Aku mau lihat, kalau mereka sudah ditotok semua, Ho Tiat Tjhioe masih berani ganggu
Tjeng Tjeng atau tidak?" demikian pikirnya akhirnya.
Orang-orang Ngo Tok Kauw segera maju pula begitu lekas mereka lihat pahlawannya
sudah dilepaskan, tetapi justru mereka merangsak, musuh pun menerjang mereka. Tapi
Sin Tjie maju untuk perlihatkan kelincahannya, ia berlompat kesana-sini, untuk kelit
sesuatu serangan, dilain pihak, saban ia menyerang, ia membuat sesuatu sasarannya
rubuh tak berdaya.
Beberapa orang Ngo Tok Kauw yang cukup liehay masih bisa berkelahi dua-tiga jurus,
Baru mereka rubuh, tidak demikian dengan yang kebanyakan, maka dalam tempo yang
cepat, sudah kira-kira tiga-puluh orang pada rebah bagaikan mayat.
Ho Ang Yo kaget tidak terkira, ia lantas berseru, ia terus lompat ke pintu, untuk
menyingkirkan diri, perbuatannya ini dicontoh oleh sisa kawan-kawannya. Maka sekejab
saja, ruangan yang lebar itu kosong dari anggauta-anggauta Ngo Tok Kauw itu kecuali
mereka yang bergeletakan dilantai, yang pada keluarkan rintihan, cuma mata mereka,
dengan sorot membenci, mengawasi kearah musuh mereka.
"Adik Tjeng! Adik Tjeng 1" Sin Tjie memanggil-manggil. "Adik Tjeng, kau dimana?"
Kecuali sambutan kumandang, tidak ada jawaban.
Dalam penasaran, Sin Tjie ma-sesuatu kamar pula, akan mencari, hasilnya siasia saja. Ia
coba desak tanya beberapa orang Ngo Tok Kauw, mereka ini diam saja bagaikan gagu,
mata mereka mereka rapatkan.
Ketika itu, gedung itu telah kosong dari orang-orang Ngo Tok Kauw kecuali mereka ini
yang rebah semua.
Saking kewalahan, Sin Tjie keluar dari gedung, akan naik pula atas kudanya, buat kabur
pulang. Ketika ia sampai dirumah di gang Tjeng-tiauw-tjoe, ia dapatkan Tjiauw Wan Djie
sudah datang bersama beberapa murid kepala dari Kim Liong Pang, nona itu sudah
tolongi See Thian Kong semua, malah lukanya mereka ini pun sudah dibalut rapi.
Sin Tjie periksa sesuatu dari sahabatnya itu, apabila ia dapati mereka sudah bebas dari
ancaman malaikat elmaut, Baru hatinya lega, sehingga sekarang ia pikirkan Tjeng Tjeng
saja, juwitanya.
Wan Djie coba hiburkan ini anak muda, dilain pihak, ia kirim beberapa anggotanya untuk
pergi keempat penjuru kota, guna menyerep-nyerepi kabar.
Selama itu, rumah menjadi sunyi. Tidak ada orang yang bicara. Berselang kira-kira
setengah jam, mendadak ada suara menggabruk diatas genteng dibetulan tjimtjhee, lantas
satu bungkusan besar menggelinding jatuh.
Semua orang menjadi kaget, malah Sin Tjie sangat bergelisah. Ia lompat pada bungkusan
itu, dengan kedua tangannya, ia putuskan tambang ikatannya. Belum sampai ia buka
bungkusan itu, hidungnya sudah diserang bau bacin, bau darah yang amis, hingga hatinya
memukul keras, kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin.
Begitu lekas bungkusan telah dibuka, disitu tertampak satu tubuh mayat seperti
tercincang, karena telah menjadi delapan potong. Kepala mayat kelihatan hitam mukanya,
tetapi rambutnya, kumis dan jenggotnya, tetap putih. Maka dengan mengawasi sedikit
lama saja, Sin Tjie segera kenali Tok-gan Sin-liong Sian Tiat Seng si Naga Sakti Mata Satu!
Bukan main kagetnya anak muda ini, berbareng pun ia jadi sangat gusar karena
pemandangan yang menyayatkan itu, tanpa bilang suatu apa, ia loncat naik keatas
genteng, kewuwungan, akan memandang kesekitarnya. Ia masih lihat satu tubuh bagaikan
bajangan yang lagi berlari-lari diarah selatan-barat. Ia menduga pada orang Ngo Tok Kauw
yang barusan membawa mayatnya Sian Tiat Seng, tidak ayal lagi, ia lompat turun ketanah,
untuk mengejar. Kali ini ia telah keluarkan kepandaiannya, untuk bisa menyandak orang
yang telah lari jauh itu.
Pengejaran dilakukan sampai disuatu tempat dimana ada banyak pepohonan lebat,
kedalam situ bajangan tadi lari masuk.
Ada pantangan didalam kalangan kaum kangouw, apabila kita menemui rimba, kita
dilarang memasukinya, akan tetapi Sin Tjie langgar pantangan ini, karena keras sangat
tekadnya untuk cari Tjeng Tjeng, untuk tolongi Nona Hee itu. Demikian ia lompat masuk
ketempat lebat itu, akan susul orang yang dikejarnya itu. Tidak ada rintangan untuk anak
muda ini, sampai setelah masuk sedikit jauh, ia lihat beberapa puluh orang asik berkumpul
merubungi segundukan api tabunan, kelihatannya mereka sedang pasang omong dengan
asik sekali, rupanya mereka tidak menyangka bahwa ada orang telah susul kawannya tadi
dan sekarang lagi terus mencari mereka.
Seorang kebetulan menoleh ke belakang, kaget ia kapan ia lihat Sin Tjie lagi mendatangi,
dalam kagetnya itu, ia lantas berteriak, terus ia bangun berdiri, untuk lari. Perbuatan ini
diturut oleh kawannya, yang pun kaget bukan main, semua lari serabutan.
Sin Tjie menyerbu, ia hajar sesuatu orang yang dapat ia susul, ia menoyor, ia menendang,
ia totok mereka, hingga siapa menjadi kurban sasaran, tentulah dia rubuh tak berdaya.
Malah siapa lari sedikit jauh, ia rubuhkan dengan biji-biji caturnya. Ia bisa berkelahi
dengan leluasa, karena hampir tidak ada perlawanan.
Semua musuh itu perdengarkan suara berisik, tapi sedetik saja rimba menjadi sirap, tidak
ada lagi satu musuh jua disitu. Maka Sin Tjie kebuti pakaiannya, ia bertindak keluar.
Diantara korban-korban itu kedapatan Thia Kie Soe, Tjee In Go dan beberapa lagi orang
liehay dari Ngo Tok Kauw, yang tidak ada adalah Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang Yo.
"Mungkin Tjeng Tjeng belum terganggu," pikir pemuda ini, yang hatinya mulai tenteraman.
"Aku percaya selanjutnya dia tidak bakal diganggu..."
Lantas setelah itu, pemuda ini berjalan pulang.
Sampai magrib itu hari, orang-orangnya Wan Djie masih belum berhasil memperoleh
endusan apa juga.
Atas permintaannya Sin Tjie, Gouw Peng dan Lo Lip Djie antar mayatnja Sian Tiat Seng ke
kantor pembesar yang menjadi seatasannya Tok-gan Sin-liong. Di sini orang tidak berdaya
kapan mereka saksikan keadaan mayat, karena bukti terang kepala oppas ini telah menjadi
korbannya Ngo-Tok Kauw. Cuma orang tidak mengerti, bagaimana hebatnya pekerjaannya
kawanan orang dari Inlam itu.
Malam, itu Tjiauw Wan Djie tidak pulang, bersama beberapa anggauta Kim Liong Pang ia
wajibkan diri untuk merawat dan menjagai orang-orang yang terluka, sebab benar
diaorang ini sudah bebas dari ancaman kematian, tetapi diaorang masih lelah, perlu
rawatan dan istirahat.
Sin Tjie sangat masgul, sampai ia tak dapat tidur. Ia duduk di atas pembaringannya,
memikirkan daya bagaimana untuk cari Tjeng Tjeng.
Sudah satu jam Sin Tjie duduk diam, pikirannya masih terbenam dalam kepepatan, meski
begitu, karena rumah dan sekitarnya sunyi-senyap, ia dapat dengar suara anjing
menggonggong dua kali sedikit jauh di dalam gang. Ia juga dengar suara kentongan, yang
suaranya datang semakin dekat, tandanya orang ronda lagi mendatangi.
"Benar-benar kali ini aku terpedaya," pikir ini anak muda. Ia ingat bagaimana ia telah
makan pancingannya Ho Tiat Tjhioe. Ia anggap itu adalah kekalahannya yang pertama,
yang paling besar.
Tiba-tiba saja, dalam kesunyian itu, ia dengar suara ketokan pelahan pada tembok.
"Inilah bukannya Gouw Peng dan Lip Djie jang kembali," ia menduga-duga. "Ilmu
entengkan tubuh dari mereka tidak begini sempurna. Mestinya telah datang musuh..."
Kendati juga ia telah menerka kepada musuh, Sin Tjie tidak bergerak dari tempatnya
bercokol, ia duduk terus dengan tenang, melainkan kali ini, ia memasang mata, ia waspada
luar biasa. Segera terdengar suara enteng di luar jendela, seperti suara jatuhnya daun rontok, suara
mana disusul sama tertawa pelahan tetapi tedas sekali di malam yang sunyi itu. Itulah
tertawa manis yang diikuti dengan kata-kata yang halus:
"Wan Siangkong, ada tetamu!..."
"Oh, Ho Kauw-tjoe yang datang!" sahut Sin Tjie. "Silakan masuk!"
Baru sekarang pemuda ini berbangkit, untuk nyalakan lilin, sesudah mana ia bertindak ke
pintu, untuk membukai, akan sambut tetamunya itu yang cantik-manis, yang nyalinya
besar. Ho Tiat Tjhioe muncul tetap dengan dandanannya serba putih, ia pun bertindak masuk
dengan tindakan tenang, air mukanya bersenyum-senyum. Sekelebatan saja ia telah lihat
orang punya seluruh kamar di mana, kecuali pembaringan dan kursi-meja, tidak ada
lainnya perabotan lagi.
"Sungguh, Wan Siangkong hidup sangat sederhana!" katanya sambil tertawa.
Sin Tjie bersenyum, ia tidak menjawab.
"Kali ini aku datang ke mari, Wan Siangkong tentulah telah ketahui maksudnya," kata pula
si nona, yang tak ketinggalan tertawanya yang manis.
"Dalam hal itu aku ingin Ho Kauw-tjoe menjelaskannya," sahut pemuda kita.
"Kau kehendaki suatu apa dari aku, aku juga hendak memohon apa-apa dari kau," berkata
kepala agama dari Ngo Tok Kauw. "Dalam satu jurus ini, pertempuran kita menghasilkan
tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah...."
Sin Tjie tertawa.
"Aku pikir tak usah kita lanjuti pertempuran kita ini," ia biang. "Ho Kauw-tjoe sangat cerdik
dan kosen, aku sangat mengaguminya."
Kepala agama itu tertawa.
"Ini adalah babak yang pertama," ia menetapinya. "Kecuali kau musnahkan semua
anggauta Ngo Tok Kauw kami, Wan Siangkong, maka di belakang hari masih ada saja
kejadian-kejadian yang akan membuat kau sakit kepala "
Kaget juga Sin Tjie. Ia anggap hebat benar kauwtjoe ini. Dialah satu wanita yang tak dapat
dipandang ringan. Berani dan bandel!
"Ho Kauw-tjoe," katanya kemudian, "karena kau bermusuh dengan ayahnya sahabatku itu,
baiklah kau cari saja ayahnya itu. Kenapa sih kau hendak bikin susah pada seorang anak
muda yang belum tahu apa-apa" Laginya ada pri bahasa yang berkata, permusuhan itu
lebih baik didamaikan tetapi jangan tambah diperhebat..."
Nona Ho itu tertawa geli hihi-hihi.
"Hal itu baiklah kita bicarakan belakangan," katanya. "Sekarang aku ingin minum arak!"
"Sungguh aneh orang ini," pikir Sin Tjie yang toh teriaki kacungnya untuk lekas sediakan
arak dan sayurannya.
Wan Djie berkuatir, untuk penjagaan, ia lekas dandan untuk menyamar sebagai kacung,
kemudian ialah yang keluar membawa nenampan arak serta beberapa rupa sayurannya.
Ho Tiat Tjhioe tertawa apabila ia lihat kacung itu.
"Benarlah, dibawah perintahnya satu jenderal jempolan tidak ada serdadu yang lemah!"
katanya. "Kacung Wan Siangkong saja begini hebat tampangnya!"
Sin Tjie tidak meladeni, ia hanya isikan dua cawan.
"Silakan!" ia mengundang.
Ho Tiat Tjhioe angkat cawannya, ia tenggak isinya, lalu ia minum pula, hingga ia keringkan
dua cawan beruntun.
"Wan Siangkong tidak memberi muka kepadaku dengan tak sudi minum arakku," kata dia
sambil bersenyum, "siauwmoay sendiri sebaliknya sangat lancang dan bernyali besar...".
"Arak kami tidak ada racunnya," kata Wan Djie, yang tak dapat mengendalikan diri untuk
tidak turut bicara.
"Bagus, bagus!" Ho Kauwtjoe tertawa pula. "Sungguh satu pengurus rumah muda yang
cerdik! Mari keringi!"
Ia minum pula araknya.
Sin Tjie minum, untuk menemani.
Diantara terangnya sinar lilin, pemuda kita lihat sepasang mata yang tajam dari kepala
agama Ngo Tok Kauw itu, satu wajah yang eilok, sepasang sujen yang manis sekali,
hingga ia berpikir: "Diantara nona-nona yang aku kenal, mengenai kecantikan A Kioe
adalah yang nomor satu, Siauw Hoei ada manis dan polos, Wan Djie terbuka dan cerdas.
Tjeng Tjeng benar berandalan, akan tetapi terhadap aku, ia tulus dan lemah-lembut. Maka
sungguh aku tidak sangka, disebelah mereka semua, masih ada ini satu kauwtjoe yang
eilok bagaikan bunga-bunga toh dan lie yang indah-permai tetapi yang hatinya berbisa
bagaikan ular dan kala! Benar-benar, dikolong langit yang luas ini, orang aneh, orang luar
biasa ada dimana-mana!"
Ho Tiat Tjhioe lihat orang awasi dia, ia diam saja, ia melainkan bersenyum. Adalah selang
sekian lama, Baru ia buka mulut pula.
"Wan Siangkong," katanya, "dengan sesungguhnya siauwmoay takluk sekali untuk
siangkong punya kepandaian ilmu silat. Turut apa yang aku dengar, gurumu itu, Kim Tjoa
Long-koen, tidak punyakan ilmu menotok jalan darah tiam-hiat-hoat seliehay kau ini. Apa
mungkin siangkong ada punya lain guru lagi?"
Rahasia Peti Wasiat 9 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Hati Budha Tangan Berbisa 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama