Ceritasilat Novel Online

Jejak Darah Masa Lalu 2

Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Bagian 2


dari punggung Joko.
Lalu berpaling ke kanan. Murid Pendeta Sinting sendiri cepat gerakkan kepalanya
ke samping kanan.
Sejarak delapan langkah dari tempat mereka berdua, tegak seorang gadis muda
berparas cantik mengenakan pakaian hijau.
"Puspa Ratri...," gumam Joko mengenali siapa adanya gadis berpakaian hijau.
Untuk beberapa lama Raka Pradesa menatap tak berkesip ke dalam sepasang bola
mata gadis berpakaian hijau yang bukan lain memang Puspa Ratri adanya. Sementara gadis yang
dipandang balas menatap silih berganti pada Raka Pradesa dan murid Pendeta
Sinting dengan wajah tak mengerti.
"Apa yang sedang mereka lakukan" Apakah dia memang Joko Sableng. Apa
penglihatanku tidak salah...," membatin Puspa Ratri. Lalu menatap ke arah Raka
Pradesa berlama-lama. Hingga untuk beberapa lama kedua orang ini saling bentrok
pandang. "Dia dahulu mengaku sebagai sahabat Joko. Tapi mengapa dia berbuat seolah
seperti seorang kekasih..." Ada yang tidak beres dengan orang ini!
Atau keduanya sama-sama tidak beres! Aku curiga jangan-jangan pemuda berpakaian
hitam-hitam ini bukan seorang...."
Puspa Ratri gelengkan kepalanya. Lalu buka mulut.
"Pemuda berpakaian hitam-hitam. Siapa kau sebenarnya"!"
Raka Pradesa tarik pulang kedua tangannya yang melingkar di pinggang Joko. Joko
sendiri terlihat salah tingkah dan tak tahu harus berkata apa.
"Hem.... Selagi dia berada di sini, akan ku-tunjukkan siapa aku sebenarnya. Jika
aku terus-terusan menyamar, beban dalam dada ini akan makin bertambah. Apalagi
gadis ini bisa jadi penghalang...,"
kata Raka Pradesa dalam hati.
"Kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya. Hanya orang punya niat jahat
yang sembunyikan siapa dirinya sebenarnya!" kata Puspa Ratri dengan tersenyum
dingin. "Jaga bicaramu! Jangan berani menuduh orang atau mulutmu minta ditampar"!"
Puspa Ratri tersenyum sambil perdengarkan suara
tawa pendek. "Aku tidak menuduh! Tapi hari ini aku menemukan satu pemandangan
aneh...!" "Begitu"!" ujar Raka Pradesa sambil melangkah satu tindak ke depan. "Kau memang
perlu kenyataan agar tidak berpandangan aneh...."
Habis berkata begitu, Raka Pradesa angkat kedua tangannya. Tangan kanan
tanggalkan kumis tipis pada atas bibirnya, tangan kiri membuka gulungan
rambutnya. Kejap lain Raka Pradesa gerakkan kepalanya. Saat itu juga terlepaslah
geraian rambut panjang. Parasnya pun berubah menjadi seorang gadis muda berparas
jelita. Puspa Ratri tegak dengan mulut terkancing dan mata membelalak. Meski tadi sempat
menyeruak kecurigaan dalam hatinya, namun begitu benar-benar matanya melihat,
gadis ini seolah hampir tidak percaya. Sedangkan murid Pendeta Sinting melongo.
"Astaga! Jadi dia adalah seorang gadis!" gumam Joko dengan mata tak berkesip
pandangi Raka Pradesa yang kini telah lepaskan penyamarannya.
"Ah. Aku ingat sekarang.... Makanya dia tidak mau jadi saksi tatkala pertemuan
dengan Hantu Makam Setan.
Tak tahunya jika dia adalah seorang gadis...."
Seperti diketahui, waktu terjadi pertemuan antara Pendekar 131 dan Hantu Makam
Setan, ketika itu Ratu Malam meminta syarat pada Hantu Makam Setan untuk
membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki. Tapi saat itu Raka Pradesa yang
berada di tempat itu tidak mau menjadi saksi pembuktian Hantu Makam Setan (Lebih
jelasnya baca Joko Sableng dalam episode : "Gerbang Istana Hantu").
"Apakah kau masih melihat satu keanehan"!" ujar Raka Pradesa alias Saraswati
dengan tertawa pelan.
Puspa Ratri mengeluh. Dadanya mulai dirasuki
rasa cemburu. Dia berpaling pada murid Pendeta Sinting.
"Hem.... Dia juga tampaknya terkejut. Tapi jangan-jangan itu hanya karena untuk
menutupi. Hem.... Tak kusangka jika dia pemuda yang punya banyak gadis!"
Tanpa berkata, Puspa Ratri balikkan tubuh. Joko buka mulut hendak menahan. Namun
sebelum suaranya terdengar, mendadak seantero tempat itu dibuncah dengan suara tawa
orang mengekeh panjang. Semua kepala bergerak berpaling.
*** TUJUH DI tempat itu ternyata telah tegak satu sosok yang sekujur tubuhnya ditutup
dengan jubah terusan berwarna abu-abu. Kepala di balik jubah terusan abu-abu
menghadap lurus ke arah Pendekar 131 yang saat itu juga tengah menatapnya.
Sementara Saraswati memandang tak berkesip dengan dahi mengernyit.
"Dua kali aku jumpa dengan orang ini! Tapi apakah memang dia bukan Ayah" Lalu
siapa" Mengapa dia mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Ayah"
Sejak beberapa waktu lalu tampaknya dia selalu memburu Joko. Hem.... Janganjangan dia adalah Ayah yang selama ini memang sembunyikan sesuatu padaku!
Bukankah selama ini dia juga tidak pernah berterus terang padaku?" membatin
Saraswati. Yang paling terkejut adalah Puspa Ratri. Gadis berpakaian hijau ini diam-diam
juga membatin. "Ibu punya perjanjian dengan orang ini. Apakah mereka sudah
berjumpa" Hem.... Walau parasnya tidak kelihatan, tapi sikapnya seperti tidak
bersahabat. Apakah dia hendak lanjutkan urusan tempo hari" Apa yang harus kulakukan
sekarang" Tetap di sini rasanya akan menambah sakit hati! Tapi aku tak mau
melihat Joko mendapat celaka!" Dada gadis ini diselimuti berbagai perasaan.
Tetap berada di situ berarti akan menambah rasa kecewa dan cemburu tapi
meninggalkan tempat itu dia tak tega melihat Joko harus menghadapi orang yang
diyakininya punya niat jahat.
Ketika dua orang gadis ini didera perasaan
masing-masing, mendadak Joko menghambur ke arah orang berjubah abu-abu terusan.
"Harap maafkan jika selama ini aku berburuk sangka. Aku berterima kasih atas
bantuanmu...," ujar murid Pendeta Sinting sambil menjura hormat.
Pendekar 131 menduga jika orang berjubah abu-abu di hadapannya adalah orang
berjubah abu-abu yang ditemuinya dan mendorongnya masuk ke dalam lobang dalam
Istana Hantu hingga dia menemukan kitab bersampul kuning dan mahkota bersusun
tiga. Melihat sikap Joko, baik Saraswati maupun Puspa Ratri sama-sama melengak heran.
Keduanya sama tak habis mengerti. Tapi yang paling tersentak adalah orang
berjubah abu-abu terusan yang selama ini memperkenalkan diri sebagai Tengkorak
Berdarah. Kepala di balik jubah orang ini sempat tertarik jauh ke belakang saking
terkejutnya. Untung paras wajahnya tertutup. Jika tidak niscaya orang di tempat
itu akan melihat perubahan wajahnya.
"Apa maksud ucapan anak ini" Bantuan apa yang kuberikan" Aneh.... Selama ini aku
tak pernah memberi bantuan. Malah dari mulutnya aku butuh keterangan!" membatin
Tengkorak Berdarah. "Hem....
Jangan-jangan dia hanya mengada-ada karena tahu aku akan mengorek keterangan
dari mulutnya!"
Habis membatin begitu, Tengkorak Berdarah perdengarkan suara.
"Kau jangan bicara tak ada juntrungan! Jangan kira aku tak tahu apa di balik
ucapanmu itu!"
"Ah.... Orang ini masih juga suka bercanda. Bukan hanya tindak tanduknya yang
sulit diterka namun sepertinya dia tidak suka memperlihatkan budinya...."
Joko lalu angkat kepalanya. Matanya memandang tajam dengan bibir tersenyum. "Dia
bagaimanapun juga telah membantuku. Aku harus memberitahukan apa yang kuperoleh...." Lalu
Joko selipkan kedua tangannya ke balik pakaiannya. Ketika tangannya ditarik
kembali, maka semua orang di tempat itu melengak. Di tangan kanan Joko tampak
sebilah kitab bersampul kuning, sedang di tangan kirinya terlihat sebuah mahkota
berwarna kuning bersusun tiga yang digantungi beberapa peniti juga berwarna
kuning. "Atas bantuanmu, inilah benda yang berhasil kutemukan...."
"Kitab dan mahkota!" seru Tengkorak Berdarah dalam hati. Kepala di balik jubah
orang ini tengadah.
"Aku tahu apa maksud ucapan pemuda ini. Aku juga tak mengerti mengapa dia
menunjukkan benda-benda itu padaku!" Kepalanya lantas lurus kembali menghadap
Pendekar 131. "Kitab bersampul kuning.... Sayang tulisan pada sampulnya tak jelas kulihat.
Tapi melihat bentuknya seperti sebuah kitab kuno! Jangan-jangan pemuda ini
menganggapku sebagai... Ah. Ini rejeki besar bagiku!
Jika benar, berarti tanpa bersusah payah aku berhasil mendapatkan kitab itu!"
Tengkorak Berdarah memutar otak. Kejap
kemudian dia perdengarkan suara.
"Syukur kau telah mendapatkan benda-benda itu.
Harap kau suka memperlihatkan padaku!" sambil berkata, kedua Jangan Tengkorak
Berdarah menjulur membuat sikap meminta.
Saraswati sebenarnya hendak buka mulut. Namun segera dibatalkan begitu terlihat
Pendekar 131 telah maju dan memberikan kitab bersampul kuning serta mankota
bersusun tiga pada Tengkorak Berdarah.
Begitu kitab bersampul kuning dan mahkota
bersusun tiga berada di tangannya, Tengkorak
Berdarah sesaat memperhatikan dengan seksama.
Lalu tangan kanannya yang memegang mahkota bergerak membuka sampul kitab.
"Sundrik Cakra!" desis Tengkorak Berdarah membaca tulisan yang tertera pada
halaman pertama. Suaranya bergetar. Kedua tangannya gemetar.
"Inilah kitab sakti yang kuinginkan!" kata Tengkorak Berdarah dalam hati. Lalu
angkat kepalanya. Perlahan dia melangkah maju mendekati murid Pendeta Sinting.
Kedua tangan Tengkorak Berdarah menjulur memberikan kitab bersampul kuning dan
mahkota pada Joko.
Saraswati dan Puspa Ratri yang tadi diam-diam masih dihantui perasaan cemas
meski tak tahu mengapa, bernapas lega. Namun kelegaan kedua gadis ini pupus
seketika tatkala melihat bagaimana begitu kedua tangan Pendekar 131 hendak
menerima kitab dan mahkota, tiba-tiba kaki kanan di balik jubah orang terangkat.
Lalu tangannya yang memegang mahkota berkelebat cepat.
Bukkk! Bukkk! Satu tendangan dan satu jotosan bertenaga dalam tinggi menghantam telak ke arah
dada dan bahu Pendekar 131 Joko Sableng!
Meski pada dasarnya dalam tubuh murid Pendeta Sinting terpendam tenaga dalam
kakek di dalam kuil serta punya jurus Sukma Es yang dapat lindungi diri, namun
karena saat itu dia dalam keadaan biasa maka murid Pendeta Sinting rasakan
laksana dihantam benda sangat berat. Dari mulutnya terdengar pekikan keras.
Kejap lain sosoknya mencelat sampai dua setengah tombak lalu terkapar dengan
darah menyembur keluar dari mulut dan
hidungnya. Murid Pendeta Sinting sejenak coba bergerak bangkit. Tapi tubuhnya
kembali terkapar.
Berbarengan, Saraswati dan Puspa Ratri sama-sama berteriak. Saat lain keduanya
sama-sama sentakkan kedua tangannya ke arah Tengkorak Berdarah. Namun gelombang
angin yang menyambar keluar dari masing-masing tangan gadis ini hanya menggebrak
udara kosong. Sosok Tengkorak
Berdarah telah berkelebat tinggalkan tempat itu sambil perdengarkan suara tawa
panjang. Begitu Tengkorak Berdarah berlalu, Saraswati dan Puspa Ratri sama putar diri
setengah lingkaran. Kini keduanya berhadap-hadapan. Kedua pasang mata saling
perang pandang. Mulut keduanya sama membuka.
"Kau...!" desis Saraswati dingin.
"Kau...!" balas Puspa Ratri tak kalah dingin malah terdengar ketus. "Pasti
jahanam tadi itu temanmu!
Kalian bersekongkol! Kau pura-pura merayu agar benda itu diberikan pada temanmu!
Perbuatan busuk!"
Sepasang mata Saraswati makin mendelik
berkilat. Dadanya turun naik. Pelipisnya bergerak-gerak. "Jangan kau berani
lancang mulut menuduh yang bukan-bukan! Kaulah yang bersilat lidah!
Bukankah sebenarnya kau dan manusia bergelar Tengkorak Berdarah tadi datang
bersama-sama" Lalu kalian...."
Ucapan Saraswati belum habis, Puspa Ratri telah memotong.
"Perempuan sepertimu pandai bicara, membalik kenyataan! Kau tadi sembunyikan
wajah asli. Sedangkan jahanam tadi juga takut diketahui rupanya! Apa kau masih akan berdalih
cari alasan, hah"!"
Sesaat Saraswati terdiam mendengar ucapan
Puspa Ratri. Namun kejap lain dia sudah buka mulut lagi. "Sama tindakan belum
tentu punya tujuan sama!
Aku tahu, kau melontarkan tuduhan karena kau cemburu padaku! Kau takut hati
pemuda itu berpaling padaku! Dengar! Pemuda itu telah tahu siapa aku sebenarnya
meski aku mengenakan
penyamaran! Kau dengar"!" kata Saraswati berdusta.
Paras wajah Puspa Ratri jadi merah padam. "Peduli setan dia tahu dirimu atau
tidak! Yang jelas kau telah bersekongkol dengan orang untuk mencelakainya!"
Saraswati tertawa. "Tampaknya kau tak bisa dibuat sadar dan terus menuduhku yang
bukan-bukan. Aku tanya padamu. Sekarang apa yang kau mau"!"
"Kau bicara layaknya orang tak bersalah! Kau mengira apa yang kau lakukan
tindakan benar!"
"Tak pantas kau bicara tentang tindakanku!
Kuperingatkan, lekas menyingkir atau kau akan merasa menyesal!"
Puspa Ratri tersenyum menyeringai. "Dengan begitu kau akan leluasa melakukan apa
saja. Bukankah itu maksudmu"! Justru kau yang harus cepat tinggalkan tempat ini!"
"Hem.... Dengan begitu kau akan bebas bercumbu dengannya, begitu"!"
"Rupanya kau yang dirasuki rasa cemburu! Hingga bukan cedera orang yang terpikir
olehmu tapi nafsu busuk yang menghantuimu!"
"Tutup mulutmu!" hardik Saraswati. "Kaulah yang dirasuki nafsu busuk! Kau
bercumbu di sembarang tempat!"
"Ah.... Rupanya kau juga gadis yang suka ngintip orang! Lalu apakah kau masih
akan berkeras kepala
jika tahu orang telah sama berbagi kasih"!
Seharusnya kau tahu diri! Jangan memaksakan hati orang!"
"Aku tak butuh nasihat! Kuulangi lagi, lekas menyingkirlah!"
Kepala Puspa Ratri menggeleng. "Tak akan kubiarkan tangan kotormu menyentuhnya!"
"Kau cari jalan ke neraka!" bentak Saraswati.
Kedua tangannya diangkat sejajar dada dengan mata mendelik angker.
Puspa Ratri tidak tinggal diam. Kakinya di-renggangkan. Bersamaan dengan itu
kedua tangannya diangkat ke atas.
Begitu kedua tangan Puspa Ratri berada sejajar kepala, Saraswati telah sentakkan
kedua tangannya lepas satu pukulan jarak jauh.
Melihat hal ini, Puspa Ratri segera pula sentakkan kedua tangannya.
Dua gelombang angin dari samping kiri kanan melesat ke udara. Namun sebelum dua
pukulan itu bentrok, mendadak terlihat satu cahaya putih mengerlap. Kejap lain
dua pukulan yang melesat dari tangan Saraswati dan Puspa Ratri ambyar berantakan
dan lenyap! Sosok Saraswati tampak terjajar lalu jatuh terduduk. Di seberang depan, Puspa
Ratri terhuyung-huyung lalu roboh dengan kaki menekuk.
Dengan menindih rasa kaget baik Saraswati
maupun Puspa Ratri sama palingkan kepala ke kanan dari mana cahaya putih yang
membuat ambyar lenyap pukulan masing-masing gadis berasal. Dari tempat masingmasing, kedua gadis yang sama berwajah cantik ini melihat seorang kakek bertubuh
gemuk besar mengenakan pakaian hijau gombrong.
Rambutnya disanggul ke atas dan kepalanya
ditengadahkan. Pada pinggangnya tampak melingkar satu ikat pinggang besar yang
pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Kakek ini duduk dengan tangan usap-usap
cerminnya! *** DELAPAN "KAKEK bermata buta itu!" gumam Saraswati. "Hem....
Aku tak mau urusan ini dicampuri orang lain!
Bagaimanapun gadis bermulut lancang itu harus mendapat pelajaran!"
"Kek! Harap kau tidak libatkan diri!" teriak Saraswati memecah kesunyian di
tempat itu. Gadis berpakaian hitam-hitam ini serentak bergerak bangkit. Lalu
menoleh ke arah Puspa Ratri.


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puspa Ratri sejurus menatap pada kakek bertubuh besar mengenakan pakaian hijau
yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun adanya. "Siapa orang itu"
Mungkin masih teman gadis itu!"
Menduga demikian, Puspa Ratri cepat pula bergerak bangkit lalu berkata.
"Aku tak keberatan jika kalian berdua maju bersama!"
Gendeng Panuntun gerakkan kepalanya lurus ke arah Saraswati, lalu bergerak lagi
menghadap Puspa Ratri. Tangan kanannya usap cermin bulat di depan perutnya.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Lalu buka mulut.
"Gadis-gadis cantik! Rasa cemburu adalah pangkal dari prasangka buruk! Hal baik
akan terbalik jadi jelek jika telah dicemari rasa cemburu! Harap endapkan hati.
Ada sesuatu yang lebih penting daripada harus bertindak yang pada akhirnya hanya
akan mendatangkan rasa sesal. .
Ucapan Gendeng Panuntun membuat Saraswati
dan Puspa Ratri sama terkesiap. Tapi karena hati
panas lebih menguasai dada masing-masing gadis ini, begitu ucapan Gendeng
Panuntun selesai, Saraswati menyahut.
"Bagiku yang terpenting saat ini adalah menampar gadis bermulut lancang ini!
Justru aku merasa menyesal jika tanganku tak mampu membuat
mulutnya berdarah!"
Mendengar kata-kata Saraswati, Puspa Ratri cepat berujar.
"Sebelum tanganmu sempat membuat mulutku berdarah, kedua tanganmu akan
kupatahkan!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Saraswati dan Puspa Ratri.
"Rasa cinta kadangkala memang membutuhkan pengorbanan.
Tapi adalah tindakan bodoh bila berani berkorban hanya karena perturutkan
perasaan! Selain
pengorbanan jadi sia-sia, orang jadi lupa jika orang yang dicintai memerlukan
pertolonganl"
Habis berkata begitu, tanpa menunggu jawaban Saraswati atau Puspa Ratri, Gendeng
Panuntun melangkah ke arah murid Pendeta Sinting yang terkapar.
Mungkin masih menduga jika Gendeng Panuntun teman Saraswati, saat orang tua ini
jongkok di samping Joko, Puspa Ratri berteriak lantang.
"Orang tua! Aku tidak mengenalmu. Aku tidak tahu kau berniat jahat atau baik!
Jadi jangan coba-coba menyentuh pemuda itu!"
Saraswati yang mengetahui jika Gendeng
Panuntun adalah sahabat Pendekar 131 segera menyahut. "Kau gadis kemarin sore!
Tidak tahu siapa adanya orang! Hingga orang berniat baik pun masih kau tuduh tak
karuan!" Puspa Ratri angkat tangan kirinya. Telunjuknya
diarahkan lurus ke arah muka Saraswati. "Kau mengenalnya. Berarti kau temannya!
Kalau kau punya niat jahat, apakah tindakan temanmu tidak patut dicurigai"!"
"Dasar gadis tolol!" bentak Saraswati. "Buka mata dan telingamu lebar-lebar. Aku
bukan temannya! Tapi aku tahu dia adalah sahabat Joko!"
Dahi Puspa Ratri berkerut. Sepasang matanya memperhatikan Gendeng Panuntun
berlama-lama. Lalu berpaling pada Saraswati. Gadis ini tampaknya belum mau percaya begitu saja
pada ucapan Saraswati. "Siapa mau percaya pada ucapan gadis sepertimu!
Yang suka berpura-pura dan senang tunjukkan wajah palsu!"
"Keparat!" teriak Saraswati sambil bantingkan kaki di atas tanah. "Gadis dungu
dan tolol macammu memang tak mempan dengan ucapan!"
"Jaga mulutmu! Ucapan gadis jahat mana bisa dipegang"!" jawab Puspa Ratri lalu
perdengarkan dengusan bernada mengejek.
Kali ini Saraswati tidak lagi membuka mulut menyahuti kata-kata Puspa Ratri.
Sebaliknya gadis berpakaian hitam-hitam ini maju dua langkah. Kedua tangannya
diangkat. Kejap lain sosoknya melompat ke depan. Kedua tangannya kirimkan
hantaman ke arah kepala Puspa Ratri.
Puspa Ratri menyeringai. Dia segera geser tubuhnya ke samping selamatkan diri.
Lalu kedua tangannya bergerak menangkis.
Bukkk! Bukkk! Dua pasang tangan beradu keras. Keduanya sama mundur dua langkah dengan paras
sama berubah. Mata masing-masing tak berkesip perhatikan lawan.
Saat lain tiba-tiba Puspa Ratri berkelebat. Gerakannya begitu luar biasa cepat.
Hingga belum sempat Saraswati mengetahui ke mana lawan bergerak, tahu-tahu
sebuah tendangan telah berada di mukanya!
Saraswati tidak sempat untuk mengangkat tangan memangkas tendangan atau membuat
gerakan mengelak, hingga akhirnya gadis ini hanya berteriak keras.
Sesaat lagi tendangan itu menghantam sosok Saraswati, mendadak terdengar orang
berseru. Orang yang berada di situ tahu jika orang yang berseru bukanlah Gendeng
Panuntun, karena suara itu suara seorang perempuan.
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara seruan, mendadak ada sesuatu menahan
tendangan yang dilepas Puspa Ratri yang tidak saja mampu membuat tendangan itu
tertahan di udara namun sesaat kemudian membuat sosok Puspa Ratri terhuyung ke
belakang hingga jatuh terduduk.
Puspa Ratri kertakkan rahang. Dia cepat bangkit lalu putar diri ke kanan di mana
saat itu ternyata telah tegak seorang perempuan berusia tidak muda lagi
mengenakan pakaian warna putih. Walau usianya sudah tidak muda, tapi bayang
kecantikan masih memancar dari orang ini.
"Ibu...," desis Puspa Ratri begitu melihat siapa adanya si perempuan.
Perempuan di hadapan Puspa Ratri yang selama ini menyamar dengan menggunakan
bedak tebal di wajahnya dan tidak lain adalah ibu Puspa Ratri yakni Prabarini,
anggukkan kepala sambil tersenyum. Lalu menoleh pada Gendeng Panuntun yang saat
itu tengah tempelkan tangan kirinya pada dada murid
Pendeta Sinting. Sejenak kemudian dia berpaling pada Saraswati yang saat itu
tengah memandangnya dengan dahi mengernyit. Karena Prabarini telah tanggalkan
penyamarannya, Saraswati tentu saja sulit mengenali meski antara Prabarini dan
Saraswati pernah jumpa. Sebab ketika berjumpa pada beberapa waktu lalu,
Prabarini masih membedaki wajah dan memoles bibirnya serta mewarnai rambutnya
dengan hitam berkilat.
"Ah.... Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi.... Aku harus lakukan sesuatu
sebelum semuanya telanjur jauh...," kata Prabarini dalam hati sambil menghela
napas panjang. Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya Prabarini melangkah ke
arah Puspa Ratri.
Begitu dekat dia berbisik.
"Puspa.... Ada sesuatu yang hendak kubicarakan denganmu! Ayo ikut aku!"
Puspa Ratri memandang tajam pada ibunya. Lalu beralih pada sosok Pendekar 131
yang tampak sudah mulai bangkit.
"Ibu.... Aku punya hal yang harus kuselesaikan! Aku nanti akan segera
menyusul...."
Prabarini gelengkan kepalanya. "Kali ini kau jangan membantah, Anakku.... Aku
tahu apa yang hendak kau selesaikan di sini. Urusan ini bisa kau tunda. Aku
tidak akan ikut campur.... Percayalah. Tidak lama lagi, kau dan orang-orang di
sini akan berjumpa lagi....
Bahkan urusanmu akan menjadi tuntas dan jelas!"
"Ibu...."
"Anakku.... Kau jangan membuat ibumu kecewa,"
bisik Prabarini lalu menarik tangan kanannya untuk berlalu dari tempat itu.
Meski pada akhirnya Puspa Ratri turuti kemauan Prabarini, namun sambil melangkah
pergi, matanya tak beranjak memandang tajam pada Saraswati.
Begitu Prabarini dan Puspa Ratri berlalu, Saraswati tampak tegak tercenung
dengan kepala sedikit tengadah.
"Aku harus meyakinkan, apakah orang berjubah tadi orang lain atau Ayah!"
Saraswati memandang sejurus ke tempat beradanya Pendekar 131 dan Gendeng
Panuntun. Gadis ini menarik napas dalam. "Setelah dapat kuyakinkan, aku akan
mencari Joko dan mengatakan terus terang...."
Habis bergumam begitu, Saraswati balikkan tubuh dan pergi tinggalkan tempat itu.
*** "Terima kasih...," ucap murid Pendeta Sinting begitu dapat bangkit duduk seraya
pandangi Gendeng Panuntun.
"Kalau kau sampai terhantam pukulan begitu rupa, kurasa kau terlalu lengah.
Dapat kau ceritakan apa sebenarnya yang terjadi?"
Pendekar 131 tidak segera menjawab pertanyaan Gendeng Panuntun. Sebaliknya dia
edarkan pandangannya berkeliling. "Ke mana perginya gadis-gadis tadi?"
"Gadis-gadis tadi sudah pergi. Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" ujar Gendeng
Panuntun sambil usap cermin bulatnya.
"Ternyata tindakan orang sulit ditebak. Mula-mula aku salah sangka, tapi setelah
tahu yang dilakukan, aku mengira telah salah paham. Namun di sinilah justru
akhirnya aku terjerumus! Aku merasa telah bersalah hingga aku lengah!" Joko
hentikan ucapannya sejenak, seraya menatap tajam dia teruskan bicara. "Aku tak tahu harus
bagaimana memper-tanggungjawabkan kesalahan gara-gara menunjukkan kitab itu pada
orang yang salah! Tentunya dunia persilatan akan mengutukku jika..."
"Penyesalan sudah tidak berguna, Anak Muda"
tukas Gendeng Panuntun. "Sekarang kau harus cepat bertindak. Kalau tidak, bukan
hanya dunia persilatan akan mengutukmu, namun rimba persilatan akan dilanda
prahara besar!"
"Ah.... Tak kusangka sebesar itu akibat yang akan terjadi!"' keluh murid Pendeta
Sinting. "Sudahlah. Sekarang ceritakan bagaimana kejadi-annya!"
Joko arahkan pandangannya ke jurusan lain.
Setelah agak lama terdiam dia lalu tuturkan ceritanya pada Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun mengeluh panjang begitu Joko mengakhiri ceritanya. Lalu
berujar. "Menarik kesimpulan dari ceritamu, aku menduga orang berjubah yang
tiba-tiba menghantammu setelah kau berikan kitab dan mahkota, bukanlah Tengkorak
Berdarah yang menghuni Istana Hantu...."
"Kek! Bagaimana kau bisa menduga begitu"! Aku tidak mungkin salah lihat! Pakaian
yang dikenakan sama. Suaranya juga tidak beda!"
"Tidak beda belum tentu sama, Anak Muda. Di sinilah aku menduga jika ada dua
orang berjubah abu-abu terusan yang sama-sama memaklumkan diri sebagai si
Tengkorak Berdarah. Tapi aku yakin hanya salah satu di antara keduanya
menjalankan peran.
Sementara satunya lagi hanya mengambil untung!
Dan kau orang yang sial. Karena begitu mendapat untung dari si Tengkorak
Berdarah yang menjalankan
peran, kau tertipu dengan Tengkorak Berdarah yang mengambil untung!"
"Ucapanmu mungkin saja benar. Tapi rasanya tidak mungkin penglihatanku keliru!"
Gendeng Panuntun mendehem. "Anak muda.
Penglihatan adalah pangkal segala kesalahan. Jadi jangan menjaminkan penglihatan
dalam urusan ini!
Kau butuh penglihatan lain! Tentunya sambil menyelidik! Itulah tindakan yang
harus segera kau lakukan sekarang! Kau harus berhati-hati. Kau menghadapi dua
orang sama namun berbeda peran!
Jangan sampai kau terjerumus lagi.... Nak, aku harus pergi sekarang!"
Gendeng Panuntun bangkit berdiri. Lalu melangkah. Tapi dia lalu berhenti. Kepalanya tengadah.
"Anak muda. Kalau mau turut ucapanku, dalam hari-hari mendatang ini, jangan kau
jauh-jauh dari Istana Hantu. Aku punya firasat, ada sesuatu yang akan terjadi di
sekitar tempat itu...."
"Kek! Apakah selama ini kau menyirap keberadaan Iblis Ompong dan saudarasaudaramu?"
Gendeng Panuntun menggeleng. "Aku belum mengetahui di mana beradanya manusiamanusia itu. Tapi kurasa kejadian di sekitar Istana Hantu kelak akan juga berhubungan dengan
mereka...."
Gendeng Panuntun teruskan langkah. Dia tampaknya melangkah pelan saja. Namun
dalam sekejap, sosoknya telah berada di depan. Saat lain tubuhnya lenyap tidak
kelihatan lagi.
Murid Pendeta Sinting tidak beranjak dari tempatnya semula. Dia berusaha
mengatur napas dan peredaran darahnya yang tadi sempat laksana terputus karena
terhantam tendangan dan jotosan orang. Dia lalu memusatkan pikiran merenungi
kata- kata Gendeng Panuntun. Anehnya yang muncul justru wajah Saraswati dan Puspa
Ratri silih berganti.
"Raka Pradesa yang ternyata seorang gadis itu.
Apa sebenarnya yang hendak dikatakan padaku"
Mengapa selama ini dia menyamar sebagai seorang pemuda" Lalu mengapa dia
memintaku memberi maaf. Untuk siapa..." Kalau saja Puspa Ratri tidak muncul,
tentu masalahnya jadi jelas...."
Pendekar 131 tengadahkan kepala. Saat itu ternyata gelap mulai membungkus
hamparan bumi. Joko kembali menarik napas. "Puspa Ratri.... Pasti gadis ini
menaruh prasangka yang tidak-tidak padaku. Tapi apa boleh buat. Aku tidak
mengetahui jika Raka Pradesa adalah seorang gadis! Kelak jika aku bertemu lagi,
aku akan menjelaskan semuanya....
Sekarang aku harus menyelidik ke Istana Hantu."
Murid Pendeta Sinting bergerak bangkit. "Ah....
Mengapa aku tidak menanyakan perihal kitab bersampul kuning itu pada Gendeng
Panuntun" Sialan.
Gara-gara ikutnya beberapa gadis cantik, pikiranku jadi terpecah-pecah! Tapi
dirangkul gadis cantik memang asyik. Seandainya aku sebelumnya tahu jika Raka
Pradesa seorang gadis cantik. Hem...," murid Pendeta Sinting tersenyum sendiri
lalu melangkah tinggalkan tempat yang telah sepi itu.
Melangkah sejarak lima belas tombak, mendadak terdengar suara duutt! duut!
berulangkali. Lalu dalam gelapnya malam laksana hantu gentayangan, satu bayangan
berkelebat. Dan tahu-tahu di hadapan murid Pendeta Sinting tegaksatu sosok tubuh
dengan kaki di atas kepala di bawah!
*** SEMBILAN NENEK berjubah merah menyala itu berlari kencang laksana dikejar hantu. Dalam
waktu sekejap sosoknya telah berada jauh dari tempatnya semula.
Memasuki sebuah dataran yang berbatasan dengan satu aliran sungai dia
memperlambat larinya. Pada satu tempat di atas aliran sungai si nenek hentikan
larinya. Kepalanya yang berambut putih sebatas tengkuk bergerak ke samping kanan
kiri. Sepasang matanya yang sipit dan berada dalam cekungan rongga amat besar
tampak liar memperhatikan tempat di sekelilingnya.
"Sialan! Mana tempat yang dikatakan manusia buta itu" Jangan-jangan dia hanya
membual! Awas. Jika dia mendustaiku akan kupuntir kepalanya!
Hem.... Kalau tidak karena masih hubungan saudara, aku tidak mau ikut-ikutan
kebingungan cari urusan!"
Nenek ini terus edarkan pandangannya ke se antero tempat di mana dia berada.
Mulutnya tampak komat-kamit. Ternyata pada mulut si nenek terlihat satu gumpalan
tembakau hitam yang begitu si nenek komat-kamit, gumpalan tembakau itu kelihatan
keluar masuk. "Astaga!" Tiba-tiba si nenek tersenyum sendiri sambil goyang-goyangkan kepala.
"Bukankah yang dikatakan adalah sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai"
Sampai kiamat pun aku tidak akan menemukan tempat itu di sini! Aku harus
menyusur sungai ini!"
Nenek berjubah merah menyala yang mulutnya
selalu mainkan gumpalan tembakau hitam putar diri.
Saat lain sosoknya telah kembali berkelebat menyusuri aliran sungai.
Tidak berapa lama, tepatnya pada sebuah batu besar yang memisahkan aliran sungai
ke kanan dan kiri, si nenek berhenti.
"Pasti ini tempat itu...," desis si nenek dengan usap keringat yang membasahi
wajah dan lehernya.
Untuk beberapa lama nenek berjubah merah ini tegak diam, sepasang matanya yang
sipit mendelik tak berkesip perhatikan pada batu besar yang memisahkan aliran
sungai. Kemudian terdengar dia bergumam.
"Batu itu batu biasa. Tak ada istimewanya! Lalu apa yang harus kulakukan
sekarang" Menunggu seperti yang dikatakan Gendeng Panuntun" Tapi sampai kapan"
Tak puas hatiku jika hanya menunggu tak menyelidik!"
Si nenek perlahan melangkah. "Terpaksa aku harus berenang untuk sampai ke batu
itu! Hem.... gara-gara urusan saudara aku harus berbasah-basah!
Tapi apa hendak dikata. Jika tidak terpaksa begini, tubuhku tidak akan tersentuh


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

air.... Hik.... Hik....
Hik...!" Si nenek hentikan langkahnya di bagian atas aliran sungai. "Tapi daripada
berbasah-basah, apa tidak lebih baik kutanggalkan saja pakaianku" Tapi jika
tiba-tiba ada orang" Ah.... Siapa mau lihat tubuh rongsokan begini" Kalaupun ada
yang lihat, pasti dia akan segera ngacir sendiri. Hik.... Hik.... Hik...!"
Sambil terus cekikikan sendiri si nenek mulai hendak tanggalkan jubah merahnya.
Namun baru saja tangannya hendak tanggalkan jubah, mendadak aliran sungai di
bawahnya berkecipak dan beriak. Si
nenek jadi terkesiap sendiri. Sepasang matanya dipentangkan perhatikan air yang
beriak. "Mungkin ikan.... Apa dikira aku bidadari"! Hingga ikan-ikan sama kegirangan"
Hik.... Hik.... Hik..."
Si nenek teruskan niat hendak tanggalkan jubah merahnya. Namun dia jadi
terperangah sendiri ketika tiba-tiba terdengar orang tertawa terbahak. Meski
tadi seolah akan acuh jika ada orang, tapi begitu benar-benar ada suara orang
tertawa, tangan nenek ini cepat tutupkan kembali jubah merahnya.
Suara tawa orang sekonyong-konyong lenyap.
Kejap lain terdengar suara.
"Dunia makin lama makin edan. Sudah nenek-nenek masih juga ingin pamer tubuh!
Ha.... Ha. Ha...!
Lumayan kalau cuma kering kerontang. Yang ini sudah kering kerontang ditambah
tidak pernah tersentuh air. Ha.... Ha.... Ha...!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara, di atas permukaan air tampak sebuah cahaya
memantul. Anehnya, permukaan air yang terkena pantulan tampak muncrat dan bergelombang
deras! "Busyet! Ini pasti pekerjaan orang buta itu!" Si nenek mengomel lalu secepat
kilat kepalanya dipanglingkan ke samping. Sejarak sepuluh tombak, terlihat
seorang kakek bertubuh gemuk melangkah perlahan ke arah si nenek. Kakek besar
ini mengenakan pakaian gombrong warna hijau yang diikat dengan sebuah ikat
pinggang besar yang pangkalnya berupa sebuah cermin bulat. Dari cermin inilah
cahaya pantulan tadi berasal.
Sebelum si kakek berpakaian hijau yang ternyata sepasang matanya berwarna putih
dan bukan lain adalah Gendeng Panuntun sampai mendekat, si nenek berjubah merah
menyala yang mulutnya selalu
mainkan gumpalan tembakau hitam dan tidak lain adalah tokoh rimba persilatan
yang dikenal dengan gelar Ratu Malam telah menyambutnya dengan berujar keras.
"Kenapa kau ikut-ikutan menyusulku ke sini, heh"!
Bukankah menurut tugas yang kita sepakati bersama, kau seharusnya berada di
tempat lain"!"
"Keadaan berubah! Rencana semula jadi berantakan. Terpaksa kita harus menyusun
rencana baru!"
"Berubah bagaimana"! Coba cepat katakan!" sahut Ratu Malam. Tak sabar si nenek
melompat ke arah Gendeng Panuntun yang saat itu terus melangkah.
"Sabar. Beri waktu aku untuk bernapas dahulu...,''
ucap Gendeng Panuntun lalu hentikan langkah dua tindak di hadapan Ratu Malam
yang kini memandangnya dengan tak sabar.
"Kita harus tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada yang perlu ditunggu lagi di
sini!" kata Gendeng Panuntun setelah beberapa saat terdiam.
"Kau ini bagaimana" Aku sudah susah-susah menemukan tempat ini. Begitu sudah
kutemukan kau enak saja mengajak pergi!" ujar Ratu Malam dengan wajah
memberengut. Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Keadaan mengharuskan demikian. Apa boleh buat!"
"Kau belum jelaskan keadaan bagaimana yang berubah!" sahut Ratu Malam cepat
dengan mata mendelik.
"Di tengah jalan tanpa sengaja aku berjumpa dengan Daeng Upas. Sialnya ternyata
dia masih memendam dendam pada kita. Untung aku tidak
melayani. Lebih sialnya lagi, tiba-tiba muncul orang yang selama ini memaklumkan
diri sebagai Tengkorak Berdarah. Tanpa ada hujan dan angin rupanya dia juga menginginkan
satu-satunya nyawaku. Tapi rupanya hidupku masih diperpanjang, karena ternyata
Tengkorak Berdarah juga menginginkan kematian Daeng Upas. Ketika kedua orang itu saling adu
mulut dan kemudian saling lepas pukulan, aku diam-diam menyelinap pergi."
"Daeng Upas. Hem...." Ratu Malam bergumam, lalu berkata. "Lalu bagaimana nasib
perempuan itu"!"
"Aku tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan dia harus menerima nasib buruk!
Sebenarnya dia sudah kuperingatkan untuk segera tinggalkan tempat itu sebelum
munculnya Tengkorak Berdarah. Tapi kau tahu sendiri. Daeng Upas keras kepala."
"Lanjutkan keteranganmu!" kata Ratu Malam begitu Gendeng Panuntun terdiam
sesaat. "Di lain tempat, aku jumpa dengan anak sedeng itu."
"Anak sedeng siapa"!"
"Siapa lagi kalau bukan murid Pendeta Sinting dari Jurang Tlatah Perak! Anak itu
besar sekali rejeki-nya...."
"Rejeki apa yang didapatnya?"
"Dia jadi rebutan gadis-gadis cantik! Gadis-gadis sekarang tak tahu malu ya...."
Mau-maunya mereka adu otot gara-gara laki-laki."
Tampang Ratu Malam sesaat tampak cemberut.
Mulutnya komat-kamit makin keras. "Tidak semua perempuan begitu! Hanya perempuan
dungu yang mau-maunya berkelahi soal laki-laki!"
Gendeng Panuntun tertawa bergelak mendengar ucapan Ratu Malam. "Kau lupa. Kalau
orang sudah dibakar rasa cinta, mana ada orang jadi pintar"
Malah sebaliknya dia akan berubah jadi orang bodoh dan lucu. Apalagi...."
"Sudah, sudah!" tukas Ratu Malam. "Kau akan tambah ngelantur kalau diladeni
bicara soal cinta-cintaan! Sekarang teruskan ceritamu!"
"Hem.... Selain mendapat rejeki besar, tampaknya anak itu ketiban sial....
Menurut keterangannya, dia ternyata telah berhasil mendapatkan sebuah kitab dan
sebuah mahkota setelah memasuki Istana Hantu!"
Raut wajah Ratu Malam berubah kaget. Tapi
sebelum dia sempat buka mulut Gendeng Panuntun telah sambung ucapannya.
"Sayangnya, dia lengah.
Kitab serta mahkota itu diberikan pada orang yang selama ini mengaku sebagai
Tengkorak Berdarah. Dia menduga Tengkorak Berdarah yang di hadapannya saat itu
adalah orang yang sempat ditemuinya di dalam Istana Hantu! Bukan hanya itu, dia
sempat terkena pukulan si Tengkorak Berdarah itu." Gendeng Panuntun menghela
napas, lalu bergumam. "Padahal menurut dugaanku, rimba persilatan akan diguncang
malapetaka besar jika sampai kitab itu jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggung jawab! Malah bisa kiamatl"
Dahi keriput Ratu Malam semakin berkerut begitu mendengar ucapan Gendeng
Panuntun. Perempuan berambut putih sebatas tengkuk ini akhirnya berujar.
"Apa menurutmu memang ada dua Tengkorak Berdarah"!"
"Aku sebelumnya menduga begitu. Tapi setelah mendengar keterangan anak sedeng
itu, aku jadi yakin. Ada dua Tengkorak Berdarah. Hanya peran mereka satu sama
lain berbeda. Di sinilah lalu timbul
kekacauan!"
"Lalu bagaimana urusan Iblis Ompong, Dewa Sukma, serta Dewi Es"!"
"Anak sedeng itu tidak menemukan mereka. Itulah yang membuat kita harus
tinggalkan tempat ini!"
"Lalu apa hubungannya"!"
"Hem.... Tempat di batu itu kurasa adalah tempat yang masih berhubungan dengan
Istana Hantu. Lalu mendengar cerita anak itu, ternyata benar. Kalau murid
Pendeta Sinting itu tidak menemukan mereka di tempat itu, berarti percuma kita
menunggu di sini!"
"Tapi kalau belum menyelidik sendiri hatiku tidak puas!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepala. "Ucapanmu menunjukkan kau masih berprasangka
jelek terhadap penghuni Istana Hantu...."
"Kau telah dengar sendiri tentang kelakuan penghuni Istana Hantu! Sudah pada
tempatnya jika kau curiga!"
"Sudah kukatakan tadi, aku yakin ada dua Tengkorak Berdarah. Satu di antara
keduanya pasti ada yang punya peran ganda. Dia coba mengail di air keruh lalu
mengambil untung daripadanya. Terbukti dia mengambil kitab dan mahkota! Kalau
tidak, untuk apa dia membantu anak sedeng itu hingga dapat menemukan kitab dan
mahkota!" "Lalu ke mana gerangan lenyapnya manusia-manusia geblek itu"!"
"Untuk itulah aku mengajakmu pergi dari sini. Aku punya firasat akan terjadi
sesuatu di sekitar Istana Hantu. Dan itu masih ada hubungannya dengan lenyapnya
mereka!" Ratu Malam perhatikan kakek bermata putih di hadapannya yang masih saudara
seperguruannya itu.
Mulutnya yang mainkan gumpalan tembakau hitam membuka hendak mengatakan sesuatu.
Namun sebelum suaranya terdengar, Gendeng Panuntun sudah balikkan tubuh.
"Aku tahu tempat yang aman untuk mandi berbasah-basah tanpa khawatir diintip
orang. Tapi kalau kau ingin pamer tubuh di sini, silakan saja! Asal kau tahu
orang buta sepertiku ini saja sudah tidak ingin melihatnya! Apalagi orang yang
melek. Ha.... Ha....
Ha...!" Dengan terus tertawa bergelak Gendeng Panuntun melangkah. Ratu Malam pentangkan
mata sambil menggerendeng panjang pendek.
"Dasar orang buta. Bicaranya ngaco tak karuan.
Sampai nungging seumur-umur pun mana orang buta bisa melihat!" ujar Ratu Malam
sambil bantingkan kaki. Tapi saat lain dia tertawa cekikikan lalu berkelebat
menyusul Gendeng Panuntun.
*** SEPULUH KITA kembali dulu pada Pendekar 131 Joko Sableng.
Seperti diketahui, begitu murid Pendeta Sinting hendak melangkah meninggalkan
tempat di mana tadi terjadi pertengkaran antara Saraswati dan Puspa Ratri,
mendadak terdengar suara duutt! Duuutt!
beberapa kali. Tahu-tahu satu sosok tubuh telah tegak di hadapannya dengan kaki
di atas kepala di bawah!
"Dewa Orok!" desis Pendekar 131 dengan mata terpentang besar. "Kemunculan orang
ini pasti meneruskan urusan di sungai itu! Kalau benda yang diminta adalah salah
satu benda yang berhasil dibawa kabur Tengkorak Berdarah, pasti suasana akan
jadi tambah runyam!"
Baru saja Joko membatin begitu, orang di
hadapannya yang bukan lain memang Dewa Orok adanya semburkan bundaran karet di
mulutnya hingga mengapung di udara. Kejap lain dia telah membentak keras.
"Orang muda! Jangan kira dunia ini luas bila kau berani berkata dusta padaku!"
Belum sampai ucapannya habis, Dewa Orok telah membuat gerakan sekali.
Wuuuttt! Kini pemuda berwajah tampan bertangan buntung ini telah tegak dengan
kepala di atas kaki di bawah. Tapi yang dibuat tumpuan tubuhnya adalah dua ibu
jari kakinya! Begitu telah tegak, Dewa Orok sambung kata-katanya. "Aku masih memberimu
kesempatan. Lekas serahkan benda itu padaku! Jika tidak, kau tak akan
bisa mengelak dari kenyataan buruk! Ingat. Jangan banyak berdalih!"
Sesaat murid Pendeta Sinting tampak berubah tegang. Ketika dia sudah dapat
kuasai diri, bibirnya tersenyum. Lalu berkata.
"Dewa Orok. Kau terus menerus minta benda dariku. Harap katakan benda apa
sebenarnya yang kau minta"!"
Sepasang mata Dewa Orok menyipit membelalak.
Setelah terdiam beberapa lama, akhirnya dia berkata.
"Aku minta mahkota bersusun tiga berwarna kuning yang pasti sudah kau ambil dari
tempat dalam tanah itu!"
"Ah...!" Murid Pendeta Sinting mengeluh. "Rupanya aku kemarin salah sangka. Dia
bukan menginginkan kitab itu! Tapi sekarang terlambat. Mahkota yang dimintanya
pun sudah lenyap!"
"Dewa Orok! Harap kau mau mendengar kata-kataku dahulu...."
Dewa Orok segera gelengkan kepalanya. "Sudah kubilang. Jangan banyak berdalih!"
"Aku tidak berdalih. Ini kenyataan!"
"Kalau tidak berdalih, kau tak usah bicara.
Keluarkan mahkota itu lalu serahkan padaku!"
"Mahkota itu memang kutemukan. Namun
sekarang dibawa kabur orang!"
Mendadak Dewa Orok tertawa bergelak-gelak
mendengar ucapan murid Pendeta Sinting hingga tumitnya yang berjingkat tampak
turun naik menyentuh tanah.
"Jangan mimpi bisa membohongiku untuk kedua kalinya, Orang Muda! Kau tahu bukan,
sekali orang ketahuan berdusta, selamanya tidak akan dipercaya orang!"
"Terserah kau mau bilang bagaimana. Yang jelas mahkota itu memang telah dibawa
kabur orang dengan cara licik!"
"Aku tak mau tahu urusan itu. Itu urusanmu! Yang jelas, kau membawa mahkota
milik nenek moyangku itu! Aku berhak minta darimu!"
"Kalau kau tetap memaksa, apa hendak dikata.
Sekarang apa maumu?" ujar Pendekar 131 setelah berpikir tak ada gunanya memberi
keterangan lebih jauh.
Mendengar ucapan murid Pendeta Sinting, dahi Dewa Orok berkerut. Sepasang
matanya pandangi si pemuda lama tak berkesip. "Hem.... Ucapannya seperti orang
pasrah. Apa kali ini dia benar-benar tidak mendustaiku?"
"Orang muda! Katakan padaku bagaimana kejadian sebenarnyal"
Sebenarnya Joko tidak mau turuti permintaan Dewa Orok. Tapi merasa dia juga
salah, apalagi dilihatnya Dewa Orok agak melunak, akhirnya Joko menceritakan
bagaimana sampai mahkota itu bisa dibawa kabur Tengkorak Berdarah. Namun Joko
sengaja tidak menceritakan kalau dirinya juga menemukan kitab bersampul kuning.
Karena Dewa Orok pun tidak pernah menyebut-nyebut soal kitab.
"Orang muda! Aku tanya sekali lagi. Apa ceritamu tadi tidak mengada-ada?" kata
Dewa Orok setelah mendengar cerita murid Pendeta Sinting.
"Aku tidak menginginkan mahkota itu. Jadi tak ada untungnya aku mengarang
cerita!" "Hem.... Lalu mengapa saat di atas sungai itu kau berkata dusta" Jika saat itu
kau berkata jujur, tidak akan urusan jadi begini rupa!"
"Aku baru saja mengenalmu! Aku harus berhatihati! Kau tahu sendiri, belum sampai lama tiba-tiba muncul perempuan tua itu!
Dia juga minta sesuatu dariku!" Yang dimaksud Joko tidak lain adalah Daeng Upas.
Dewa Orok anggukkan kepalanya perlahan. Tapi wajah pemuda bertangan buntung ini
tampak berubah cemas. Dia lalu mendongak tanpa berkata apa-apa.
"Kalau boleh tahu, bagaimana kau bisa mengatakan mahkota itu milik nenek
moyangmu?"
tanya Joko setelah di antara keduanya tidak ada yang buka mulut lagi.
Dewa Orok gerakkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131. Lalu pemuda ini mulai
angkat bicara. "Menurut orang yang mengangkatku sebagai murid, aku sebenarnya masih keturunan
raja-raja Singasari.
Pada beberapa ratus tahun silam, terjadi satu peristiwa yang sempat menggegerkan
kerajaan. Sang permaisuri raja yang saat itu memerintah dikabarkan punya anak
hasil hubungan gelap dengan orang lain.
Sang permaisuri akhirnya meninggalkan istana dan terakhir dikabarkan bunuh diri.
Aku adalah masih keturunan permaisuri itu dari seorang anak perempuannya!"
"Menyedihkan sekali ceritamu. Lalu bagaimana anak hasil hubungan gelap itu?"
tanya Joko. "Dia dibawa pergi oleh seorang abdi istana. Tapi sebelum itu ternyata si
permaisuri telah memberikan mahkota bersusun tiga yang sempat dibawanya kepada
si abdi agar kelak diberikan pada anak hasil hubungan gelapnya. Dia juga
berpesan, jika sang anak besar dan ingin menduduki istana, dia terlebih dahulu
diharuskan merebut dua kitab pusaka kerajaan! Begitu besar sang anak turuti
pesan sang permaisuri. Namun anak ini mengalami kegagalan merebut dua kitab pusaka. Setelah
itu kabar berita-nya tidak terdengar lagi hingga akhirnya muncul satu kejadian
besar. Seorang gadis cantik berhasil me-nerobos istana tempat penyimpanan dua
kitab pusaka. Gadis itu dikabarkan membekal juga mahkota bersusun tiga yang
berarti gadis ini ada hubungan dekat dengan anak sang permaisuri.
Namun si gadis akhirnya harus menerima karma. Dia terjerumus masuk dalam lobang
rahasia istana tempat penyimpanan dua kitab pusaka. Hanya sayang, bersamaan
dengan itu dua kitab pusaka kerajaan lenyap tak tentu rimbanya! Ada sebagian
orang mengatakan kitab itu berhasil dibawa masuk si gadis, tapi sebagian orang
mengatakan kitab itu dibawa lari orang lain."


Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar 131 perhatikan wajah Dewa Orok. Tiba-tiba hatinya berdebar "Janganjangan kitab itu adalah kitab yang kutemukan di dalam tempat itu...," katanya
dalam hati. Lalu dia bertanya dengan alihkan pandangan pada jurusan lain.
"Kau tahu nama dan ciri-ciri kitab itu?"
"Dua kitab itu satu bersampul biru satunya lagi bersampul kuning...."
Murid Pendeta Sinting terkesiap. Belum lenyap rasa kejutnya Dewa Orok telah
lanjutkan keterangannya. "Yang bersampul biru bernama Kitab Serat Biru sedang
yang bersampul kuning bernama Kitab Sundrik Cakra."
Murid Pendeta Sinting tak dapat lagi menahan rasa kaget. Kakinya tersurut sampai
dua tindak. Sepasang matanya mementang memandang ke arah Dewa Orok.
"Kau tampak tersentak kaget. Ada apa" Kau
menemukan juga kitab itu"!"
Mungkin karena khawatir Dewa Orok akan juga meminta kitab itu, Joko gelengkan
kepala. Dewa Orok tertawa pelan. "Orang muda. Kau tak usah khawatir. Urusanku adalah
mahkota, bukan kitab! Hanya kau harus berhati-hati jika benar telah mendapat
kitab itu!"
"Bagaimana ini" Apa sebaiknya kukatakan saja juga padanya tentang kitab itu?"
Joko berpikir sesaat.
Lalu berkata. "Sebenarnya aku memang telah menemukan kitab yang bersampul kuning. Hanya karena
ketololanku, kitab itu akhirnya dibawa kabur juga bersama mahkota!"
Dewa Orok menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng. "Mungkin kau tidak
berjodoh dengan kitab itu! Hanya saja orang yang membawa kabur itu belum bisa
bernapas lega...."
"Maksudmu..."!"
"Kalau benar yang dibawa kabur kitab yang bersampul kuning, maka terlebih dahulu
dia harus mendapatkan kitab yang bersampul biru yang bernama Kitab Serat Biru.
Tanpa mendapatkan Kitab Serat Biru, kitab bersampul kuning tidak bisa dibuka!
Kitab bersampul kuning adalah kitab kedua. Sedang yang bersampul biru adalah
kitab pertama!"
Untuk kesekian kalinya murid Pendeta Sinting mengeluh. Diam-diam dia berkata
sendiri dalam hati.
"Kitab kedua yang kucari sebenarnya sudah di tangan, tapi mungkin masih belum
saatnya...."
"Orang muda. Aku harus segera pergi. Tapi aku perlu meyakinkan sekali lagi. Apa
betul semua yang kau ceritakan tadi"!"
"Kali ini aku tidak berdusta. Dan...." Joko tidak
lanjutkan ucapannya. Dia tampak bimbang.
"Dan apa..."!" tanya Dewa Orok. "Jangan kau menggantung ucapan. Aku perlu
kepastian!"
"Kalau kau mau kuberi tahu, kau jangan berada jauh dari sekitar Istana Hantu
hari-hari ini. Aku menangkap isyarat bahwa orang yang sama-sama kita cari akan
berada di sekitar tempat itu!"
"Hem.... Bagaimana kau bisa berkata begitu"
Kulihat kau bukan ahli ramal!"
"Aku memang bukan tukang ramal. Tapi yang mengatakan ini adalah sahabatku
Gendeng Panuntun!"
"Ah. Tokoh sakti yang punya ilmu hebat itu. Hem....
Aku pernah dengar namanya juga kehebatannya. Jika dia yang mengatakan begitu,
tentu aku akan turuti ucapannya. Tapi sebelum itu aku juga perlu menyelidik
dahulu!" "Lalu bagaimana kabar nenek cantik itu"!" tanya murid Pendeta Sinting.
Dewa Orok menggeleng. "Setelah aku dan dia mandi bersama, dia tak sabar dan
sepertinya langsung mengejarmu!"
"Walah. Kau tampaknya ketiban rejeki juga. Bisa mandi bersama-sama nenek
cantik...."
"Inilah nasib jelek orang sepertiku. Orang bisa saja mengatakan rejeki. Tapi
apalah arti satu rejeki jika tak memiliki tangan" Apakah aku harus meraba dengan
kaki" Jadi, rejeki menurut orang namun malapetaka bagiku. Karena aku hanya bisa
memandang tanpa dapat pegang-pegang! Ha.... Ha....
Ha...!" "Ah. Seharusnya nenek itu tahu. Jadi dialah yang seharusnya pegang-pegang
milikmu! Kau tinggal kerdap-kerdipkan mata! Ha.... Ha.... Ha...!" Joko ikutikutan tertawa.
Tempat itu sesaat dibuncah dengan suara bergelak bersahutan. Namun tiba-tiba
Dewa Orok putuskan tawanya. Mulutnya menyedot. Bundaran karet yang mengapung di
depan wajahnya tertarik ke belakang lalu masuk ke mulutnya. Bersamaan dengan itu
dia melejit ke udara. Di atas udara membuat gerakan jungkir balik. Lalu
melompat-lompat dengan kaki di atas dan kepala di bawah!
"Dasar kerabatnya Dewa.... Meski namanya Orok tapi sudah tahu nenek cantik!"
ujar Joko seraya terus tertawa lalu berkelebat mengambil jurusan berlawanan
dengan Dewa Orok.
*** SEBELAS DUA bayangan hitam berkelebat laksana angin menyeruak pekatnya kabut pagi hari.
Sesaat kemudian perlahan-lahan suasana berubah.
Lingkaran kabut sirna dan keadaan menjadi terang.
Seiring dengan itu sang mentari unjuk diri dari bentangan kaki langit di sebelah
trmur. Pada satu tempat, mendadak bayangan hitam
sebelah kanan cekal tangan bayangan di sebelah kiri.
Kedua bayangan ini serta-merta hentikan lari masing-masing. Mereka tegak dengan
kepala lurus memandang ke depan.
Bayangan hitam sebelah kanan ternyata adalah seorang kakek bermuka pucat dengan
rambut putih disanggul ke atas. Sepasang matanya besar melotot.
Kakek ini mengenakan jubah hitam besar dan panjang. Sepasang tangannya
dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya. Sementara bayangan hitam di sebelah
sang kakek adalah seorang perempuan berambut pirang yang tidak bisa dikenali
raut wajahnya. Wajah orang ini ditutup dengan kain cadar berwarna hitam hanya
menyisakan lobang pada kedua matanya. Perempuan bercadar ini memakai jubah
berwarna hitam sepanjang lutut. Kedua tangannya juga dibungkus dengan kulit
berwarna hitam dan tampak merangkap di depan dada. Kedua orang ini bukan lain
adalah Ki Buyut Pagar Alam dan Durga Ratih alias Dewi Siluman.
Untuk beberapa lama Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tegak dengan mulut
terkancing tak ada
yang perdengarkan suara. Hanya sepasang mata keduanya memandang tak berkesip.
Malah Dewi Siluman sejenak kemudian pentangkan matanya makin besar. Wajah di
balik cadar hitamnya berubah.
Tengkuknya menjadi dingin.
Sejarak dua belas langkah dari kedua orang ini tampak satu sosok tubuh seorang
perempuan tergeletak di atas tanah. Perempuan ini belum jelas benar karena posisinya
telungkup. Sementara pakaian yang dikenakan tampak hangus serta tak karuan.
Sosok inilah rupanya yang membuat Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman tampak
tersentak kaget hingga tak ada yang buka mulut.
"Ki Buyut...,"' kesunyian dipecah oleh suara Dewi Siluman. "Apa yang ada dalam
benakmu"!"
Kakek bermuka pucat menyahut tanpa berpaling.
"Rasanya dugaan kita sama. Tapi kita belum melihat dengan teliti untuk
mengenalinya!"
"Dari bentuk serta pakaiannya, meski sudah compang-camping tidak karuan, agaknya
aku hampir yakin!" gumam Dewi Siluman. Tubuh perempuan bercadar hitam ini
bergetar. Tengkuknya makin merinding.
"Keyakinan tak cukup selain dibuktikan dengan mata kepala sendiri, Dewi!"
Ucapan Ki Buyut Pagar Alam belum selesai,
laksana elang Dewi Siluman telah berkelebat ke depan.
Ki Buyut Pagar Alam segera menyusul.
Begitu Dewi Siluman tegak di samping sosok perempuan yang tergeletak tak
bergerak, sepasang matanya mendelik besar. Kedua tangannya yang terbungkus
sarung tangan kulit gemetar. Ki Buyut Pagar Alam yang telah tegak di samping
Dewi Siluman tak kalah kagetnya. Namun kakek ini cepat dapat kuasai diri dan segera berkata.
"Buktikan dahulu, Dewi!"
Dengan lutut gemetar, Dewi Siluman perlahan-lahan jongkok. Kedua tangannya
pegang bahu orang yang tergeletak menelungkup. Lalu tangannya bergerak membalik
tubuh orang. Laksana disengat, sosok Dewi Siluman langsung terlonjak dengan mulut keluarkan
jeritan keras. Pada saat bersamaan, Ki Buyut Pagar Alam terhenyak dengan tampang
memucat dan matanya membeliak.
"Daeng Upas!" desis Ki Buyut Pagar Alam dengan suara laksana orang dicekik.
Perempuan yang menggeletak dan kini telentang itu ternyata seorang perempuan
berusia agak lanjut.
Pakaiannya terbuat dari sutera. Tidak jauh dari tempatnya menggeletak tampak
sebuah bambu berwarna kuning. Dari ciri-ciri orang cukup membuat Ki Buyut Pagar Alam yakin
jika perempuan yang telah jadi mayat itu adalah Daeng Upas, kakak kandung serta
ibu Dewi Siluman.
Tiba-tiba Dewi Siluman menghambur kembali ke depan. Tubuhnya langsung direbahkan
ke atas sosok perempuan yang tidak lain memang Daeng Upas.
Tangan sang Dewi mengguncang-guncang sosok ibunya. Bersamaan itu terdengar
ledakan tangisnya.
Sedang Ki Buyut Pagar Alam menghela napas dalam sambil usap-usap wajahnya.
"Dewi...," bisik Ki Buyut Pagar Alam setelah beberapa saat berlalu seraya pegang
pundak Dewi Siluman dan perlahan-lahan ditarik dari atas tubuh Daeng Upas. "Kita
harus segera mengurus jenazah-nya...."
Dewi Siluman tepiskan tangan Ki Buyut Pagar
Alam. Lalu berteriak keras.
"Jahanam siapa yang punya ulah ini"! Siapa"
Siapa"!"
"Itu akan segera kita selidiki, Dewi...," sahut Ki Buyut dengan suara tetap
pelan dan bergetar.
Dewi Siluman angkat tubuhnya dari atas tubuh Daeng Upas yang telah kaku.
Sepasang mata perempuan bercadar ini sembab. Air matanya terus mengalir. Kedua tangannya yang
bersarung tangan mengusap-usap wajah Daeng Upas.
"Semua telah terjadi. Percuma kita tangisi nasib!
Tidak akan menyelesaikan masalah...."
Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut Pagar Alam. Mulut di balik cadar
perempuan ini hendak mendamprat. Tapi setelah dipikir-pikir ucapan si kakek
benar juga, perlahan-lahan Dewi Siluman arahkan kembali wajahnya pada Daeng
Upas. "Aku bersumpah akan menguliti tubuh manusia jahanam yang membunuh Ibu!"
"Itu akan segera kita lakukan! Sekarang kita harus mengurusnya dahulu!" sahut Ki
Buyut Pagar Alam lalu jongkok. Tubuh Daeng Upas perlahan-lahan diangkat lalu
dibawa melangkah. Dewi Siluman hanya
memandang. Tak lama kemudian dia mengambil bambu kecil berwarna kuning yang tadi
tergeletak di samping sosok Daeng Upas. Lalu bangkit dan menyusul Ki Buyut Pagar
Alam. *** Dewi Siluman dan Ki Buyut duduk bersimpuh di depan gundukan tanah merah tempat
dikuburnya Daeng Upas. Dewi Siluman masih terisak. Sedang Ki Buyut tundukkan
kepala. "Ibu, aku akan membalas manusia jahanam yang membuatmu begini!" isak Dewi
Siluman. Ki Buyut Pagar Alam bangkit berdiri. Memandang pada gundukan tanah merah lalu
beralih pada Dewi siluman sambil berujar.
"Dewi.... Kita tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman seka air matanya. Lalu perlahan-lahan bangkit. Setelah menarik
napas dalam dia balikkan tubuh melangkah menyusul Ki Buyut yang telah melangkah
pelan mendahului.
"Buyut! Kau bisa menduga siapa manusia jahanam penyebab kematian Ibu"!" tanya
Dewi Siluman setelah dekat dengan Ki Buyut.
"Ada beberapa orang. Mereka selama ini punya masalah dengan ibumu! Namun kita
masih perlu menyelidiki agar kita tidak buang-buang tenaga percuma. Apalagi kini
rimba persilatan sedang dilanda kemelut. Jika kita tidak teliti, kita akan salah
turunkan tangan!"
"Katakan siapa kira-kira jahanam itu!"
"Hem.... Orang pertama adalah Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya. Ibumu
kuketahui sejak lama memendam dendam pada mereka. Merekalah yang membuat hidup
ibumu merana. Orang kedua adalah pemuda bergelar Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko
Sableng. Kau tahu, rahasia Kitab Serat Biru sebenarnya harus jatuh ke tangan
ibumu. Namun karena ulah Gendeng Panuntun dan saudara-saudaranya, Kitab Serat
Biru akhirnya dimiliki pemuda itu. Bukan tak mungkin pemuda itu lalu
menyingkirkan ibumu karena tahu masalahnya dari Gendeng Panuntun dan saudarasaudaranya! Orang ketiga adalah penghuni Istana Hantu yang dikenal dengan
Tengkorak Berdarah. Tokoh misterius inilah
yang selama ini dikabarkan orang dalang di belakang terbunuhnya beberapa tokoh
rimba persilatan! Tapi siapa pun pembunuh itu yang jelas kepandaiannya tidak
berada di bawah ibumu! Dari sini kita harus berhati-hati!"
"Peduli setan dengan kepandaian orang! Aku akan menuntut balas!" menyahut Dewi
Siluman dengan setengah berteriak.
Ki Buyut menggelengkan kepala. "Kau tidak boleh gegabah, Dewi! Itu akan
mendatangkan celaka!
Dalam urusan ini kita dituntut untuk bertindak hati-hati bahkan kalau perlu
harus berlaku licik!"
Dewi Siluman terdiam mendengar ucapan Ki Buyut Pagar Alam. Agak lama baru dia
perdengarkan suara lagi. "Ki Buyut. Apa yang kau ketahui tentang Tengkorak
Berdarah?"
"Bukan hanya aku, tapi mungkin semua orang masih diliputi teka-teki tentang
tokoh satu itu! Apa gerangan di balik perbuatannya selama ini! Tapi bagiku orang
itu punya tujuan tertentu!"
"Kau bisa menebak apa tujuannya"!"
Ki Buyut Pagar Alam menggeleng. "Sulit meraba apa tujuannya. Hanya yang bisa
kutangkap, dia seolah ingin mengundang munculnya beberapa orang! Kau tahu
sendiri. Kini banyak tokoh yang muncul. Salah satunya adalah pemuda aneh
bertangan buntung yang sempat bentrok dengan
ibumu...."
"Ah.... Jangan-jangan pemuda itu yang membunuh Ibu! Bukankah dia pernah punya
urusan juga dengan Ibu"!" gumam Dewi Siluman.
"Itu mungkin saja. Tapi ibumu tampaknya belum mengenal pemuda itu. Jadi
kemungkinannya jauh sekali...."
"Aku jadi bingung! Sekarang yang mana harus kita cari dahulu"!"
"Kita tak dapat mendahulukan yang mana. Ketiga orang yang kukatakan sama
pentingnya. Siapa yang kita temui dahulu di antara ketiganya, dialah yang kita
selesaikan dahulu!"
"Lalu ke mana...." Dewi Siluman putuskan ucapannya. Saat itu mendadak terdengar
satu seruan dahsyat. Kejap lain satu gelombang angin luar biasa keras menggebrak
ganas ke arah Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
Ki Buyut Pagar Alam dorong sosok Dewi Siluman hingga tersurut tiga langkah ke
samping. Si kakek sendiri melompat dua langkah. Gelombang angin lewat di tengah
antara sosok sang Dewi dan Ki Buyut Pagar Alam melabrak tempat kosong.
Hampir berbarengan, kepala Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam berpaling ke
arah asal datangnya gelombang angin yang jelas-jelas hendak mencelakai keduanya.
Rahang di balik cadar sang Dewi
mengembung. Sepasang matanya berkilat. Di sebelah sampingnya Ki Buyut Pagar Alam
kernyitkan kening dengan mulut komat-kamit. Sepasang matanya yang melotot besar
mementang tak berkesip memandang ke depan.
Kurang lebih sepuluh tombak dari tempat masing-masing, Dewi Siluman dan Ki Buyut
Pagar Alam melihat seorang yang sekujur tubuhnya dibungkus dengan jubah terusan
warna abu-abu yang pada bagian dadanya ada lukisan tengkorak.
Ki Buyut Pagar Alam segera melompat ke arah Dewi Siluman. Sang Dewi berkata.
"Ki Buyut. Siapa adanya manusia ini"! Kenapa tiba-tiba menyerang kita"!"
"Aku baru kali ini bertemu dengannya! Aku akan ajukan tanya!"'
Dewi Siluman mendengus. "Untuk membunuh orang yang jelas hendak mencelakai kita
apa pentingnya tahu siapa dia"!"
"Dewi.... Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita harus bisa menghemat tenaga
dan mengambil

Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untung sebisanya!"
"Apa maksudmu, Ki Buyut"!"
Ki Buyut Pagar Alam tidak menjawab pertanyaan Dewi Siluman. Sebaliknya kakek ini
maju satu tindak.
Lalu berkata. "Rasanya kita baru jumpa sekali ini. Harap sebutkan diri agar tidak terjadi
silang sengketa tanpa urusan yang jelas!"
Orang berjubah abu-abu terusan yang tidak lain adalah orang yang selama ini
perkenalkan diri dengan Tengkorak Berdarah tertawa bergelak. Tapi mendadak
tawanya diputus. Saat lain dia berucap.
"Ucapanmu benar. Kita baru kali ini berjumpa, Tua Bangka! Tapi aku tahu siapa
adanya kalian berdua!
Sebenarnya aku ingin menjawab pertanyaanmu, namun mungkin kau dan perempuan
bercadar itu tak punya waktu lagi! Kedua tanganku akan mengirim kalian menyusul
si kampret Daeng Upas sebelum kalian mendengar jawabanku!"
Baik Dewi Siluman maupun Ki Buyut Pagar Alam terkesiap kaget. Dewi Siluman
segera angkat kedua tangannya siap lepaskan pukulan. Dia telah menduga bahwa
orang di hadapannya masih ada sangkut paut dengan terbunuhnya Daeng Upas.
"Tahan, Dewi!" seru Ki Buyut Pagar Alam. "Jangan sampai kita dikecoh orang!
Bukan tak mungkin dia hanya mengaku-aku agar orang sebenarnya yang
membunuh ibumu bisa leluasa tak dicurigai!"
"Manusia jahanam ini telah mengaku sendiri.
Untuk apa berpanjang lebar"!" sahut Dewi Siluman dengan kedua tangan masih
terangkat. Tapi dia batalkan untuk lepaskan pukulan.
Ki Buyut Pagar Alam menoleh pada Dewi Siluman.
Tapi kakek ini tidak berkata apa-apa. Kejap lain Ki Buyut memandang ke arah
Tengkorak Berdarah lalu berkata.
"Kau bilang tahu siapa kami berdua. Coba katakan siapa adanya kami!" pancing Ki
Buyut. Kakek ini berlaku cerdik. Dia tidak ingin saja mempercayai ucapan orang.
Dia maklum, dalam situasi kemelut seperti saat ini, sulit membedakan mana lawan
mana kawan. Tak jarang orang yang dianggap kawan menghantam dari belakang dan
sebaliknya. "Kau dengar ucapanku! Kalian tak mungkin punya kesempatan mendengar jawabanku!"
Mendengar kata-kata orang berjubah abu-abu terusan, Dewi Siluman yang tidak
sabaran dan sedari tadi sudah geram segera sentakkan kedua tangannya mendahului
gerakan Tengkorak Berdarah.
Wuuttt! Wuuttt!
Dua gelombang kabut hitam melesat dan melabrak ganas ke arah Tengkorak Berdarah! Anak perempuan Daeng Upas telah
lepaskan pukulan andalan 'Kabut Neraka'.
*** DUA BELAS KI Buyut Pagar Alam tidak tinggal diam. Kakek ini mulai geram begitu mendengar
jawaban Tengkorak Berdarah. Hingga Dewi Siluman kirimkan pukulan, dari arah lain
dia lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat. Jelas jika keduanya ingin
cepat selesaikan Tengkorak Berdarah.
Meski sejenak tampak tersentak dengan bergeraknya kepala di balik jubah abu-abu terusan tengadah, saat lain orang ini
terdengar mendengus keras. Tangan kiri kanan segera bergerak menyentak.
Wuuutt! Wuuutt!
Terdengar suara gelombang angin berkelebat angker. Sesaat kemudian satu ledakan
dahsyat mengguncang tempat itu. Sosok Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam
terlihat bergoyang-goyang. Lalu sama tersapu hingga kedua orang ini mundur empat
langkah. Dewi Siluman hampir saja terhuyung jatuh jika tidak imbangi diri dengan
sentakkan kedua bahunya. Sedangkan Ki Buyut Pagar Alam tampak tetap tegak meski
sesaat tadi tampak tersapu.
Di sebelah depan, Tengkorak Berdarah tergontai-gontai lalu tersurut tiga
langkah. Kedua tangannya bergetar. Kepala di balik jubah terusannya bergerak
bergantian menghadap Dewi Siluman dan Ki Buyut Pagar Alam.
"Tua bangka itu tenaganya lebih tinggi. Hem.... Dia harus kuhabisi dahulu!"
gumam Tengkorak Berdarah.
Tanpa tunggu lebih lama dia langsung melompat. Dari jarak delapan langkah tangan
kanannya menyentak
lepaskan pukulan ke arah Dewi Siluman. Kejap lain sosoknya melesat ke arah Ki
Buyut Pagar Alam. Kini kedua tangannya segera bergerak menghantam ke arah kepala
si kakek! Wajah di balik cadar Dewi Siluman menyeringai.
Perempuan berambut pirang ini tertawa pelan melihat datangnya serangan. Hal ini
bisa dimaklumi karena saat itu Tengkorak Berdarah sengaja lepaskan pukulan hanya
dengan seperempat tenaga dalamnya, hingga Dewi Siluman tampak meremehkan. Dewi
Siluman tidak tahu, jika serangan yang kini mengarah padanya hanya untuk membagi
perhatian Ki Buyut Pagar Alam.
Tipuan Tengkorak Berdarah tidak meleset. Ki Buyut Pagar Alam ikut-ikutan
lepaskan pukulan saat Dewi Siluman hendak memangkas pukulan lawan.
Kakek ini dapat merasa jika Dewi Siluman sendiri sudah bisa mengatasi. Justru
dia terlihat ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan sang Dewi.
Namun begitu melihat lawan terus berkelebat ke arahnya dan langsung kirimkan
pukulan ke arah kepalanya, kakek ini sejurus tampak terkesiap kaget.
Ki Buyut Pagar Alam silangkan dua tangannya di atas kepala untuk menangkis
serangan lawan.
Namun bersamaan dengan terangkatnya kedua
tangan untuk melindungi kepala, kaki kanannya bergerak berkelebat susupkan
tendangan! Sosok Tengkorak Berdarah yang sedang lancarkan pukulan ke arah kepala si kakek
tak mau bertindak ayal. Jelas jika dia teruskan menghantam kepala lawan, maka
sebelum kedua tangannya sempat membuat pecah kepala si kakek, niscaya tendangan
orang tua itu akan menyambutnya terlebih dahulu.
Memikir sampai di situ, Tengkorak Berdarah cepat tarik pulang kedua tangannya.
Saat lain kaki kanan di balik jubah abu-abunya mencuat lepaskan
tendangan. Lalu kedua tangannya yang kini ditarik kembali dihantamkan lewat
bawah mengarah pada selangkangan si kakek yang kosong karena kaki kanannya
sedang kirimkan tendangan.
Ki Buyut tidak tinggal diam. Kedua tangannya yang menyilang di atas kepala cepat
pula disentakkan ke bawah memangkas kedua tangan lawan yang hendak membongkar
selangkangannya.
Bukkk! Bukkk! Bukkk! Bukkk! Terdengar benturan keras berulangkali ketika secara berbarengan dua tendangan
dan dua pasang tangan bertemu.
Sosok Tengkorak Berdarah mental balik melayang ke belakang. Namun setengah jalan
orang ini membuat gerakan jungkir balik lalu melayang turun. Orang ini seakan
baru saja menghantam dinding kokoh, hingga saat sepasang kaki di balik jubahnya
menginjak tanah, jelas terlihat sosok orang ini terhuyung-huyung. Sepasang
kakinya bergetar hebat dan goyah.
Di seberang, karena saat terjadi benturan Ki Buyut Pagar Alam tegak bertumpu
pada kaki kirinya maka tak ampun lagi sosoknya terjengkang roboh di atas tanah
dengan wajah makin pucat. Tapi tiba-tiba kakek ini keluarkan bentakan keras.
Tubuhnya segera bangkit. Dan saat sekilas memandang terlihat lawan terhuyunghuyung, orang tua ini tidak sia-siakan kesempatan. Laksana terbang dia melesat
ke arah Tengkorak Berdarah. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya, lalu kirimkan gebrakan ke arah kepala lawan dari
samping kanan kiri!
Tengkorak Berdarah tidak membuat gerakan
menghindar atau menangkis. Rupanya orang ini telah memperhitungkan sesuatu.
Sementara melihat lawan tidak coba menghindar atau menangkis, membuat Ki Buyut
Pagar Alam makin bernafsu. Dia teruskan gebrakan kedua tangannya dari arah
samping kanan kiri kepala Tengkorak Berdarah tanpa perhitungan apa-apa lagi.
Malah dia lupa jika tidak mungkin lawan akan begitu saja menyerah diam bila
sebelumnya tidak memperhitungkan.
Ketika sejengkal lagi kepala di balik jubah abu-abu rengkah terhantam kedua
tangan sang kakek, dengan gerakan luar biasa cepat Tengkorak Berdarah rundukkan
kepalanya. Pada saat bersamaan dia jatuhkan diri berguling di atas tanah.
Kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam menggebrak udara kosong. Saat itulah sepasang
kaki Tengkorak Berdarah lepaskan satu tendangan bersamaan ke arah perut. Begitu
cepatnya gerak tendangan itu, hingga tak ada kesempatan lagi bagi Ki Buyut Pagar
Alam untuk lakukan gerakan menghindar. Orang tua ini akhirnya hanya bisa
berteriak. Bukkk! Bukkk! Sosok Ki Buyut Pagar Alam mencelat sampai tiga tombak dan jatuh bergedebukan
dengan mulut semburkan darah. Mukanya yang pucat makin
tampak tak berdarah. Dadanya bergerak cepat turun naik tak karuan.
Dewi Siluman tegak di atas tanah dengan rahang di balik cadarnya menggertak. Dia
kini merasa tertipu
dengan pukulan lawan yang tadi diarahkan padanya.
"Jahanam!" teriak anak perempuan Daeng Upas ini seraya melompat. Namun sebelum
tubuhnya berkelebat, Tengkorak Berdarah yang masih di atas tanah segera bangkit.
Kejap lain sosoknya melesat ke depan.
Dewi Siluman yang menduga lawan hendak berkelebat ke arahnya segera angkat kedua
tangannya. Namun kali ini kembali perempuan bercadar ini tertipu. Tengkorak Berdarah
melesat ke arah Ki Buyut Pagar Alam!
Dewi Siluman berteriak marah. Tapi perempuan berambut pirang ini urungkan niat
untuk berkelebat karena di seberang sana Tengkorak Berdarah telah jambak rambut
Ki Buyut Pagar Alam lalu ditariknya ke atas hingga sosok Ki Buyut Pagar Alam
yang tadinya telentang terangkat.
"Apa yang hendak kau lakukan, Jahanam"!" teriak Dewi Siluman gusar.
Tengkorak Berdarah berpaling ke arah Dewi
Siluman dengan tangan kanan masih menjambak rambut Ki Buyut Pagar Alam.
"Aku tak ingin melihat kalian mati enak! Kau dengar, Perempuan! Ibumu adalah
salah satu manusia yang pernah andil membuat hidupku
berantakan! Setelah ibumu tewas, aku tak ingin ada keturunan atau kerabatnya
yang hidup!"
Ki Buyut Pagar Alam buka kelopak matanya. Dia melirik sebentar ke arah Tengkorak
Berdarah yang tegak di sampingnya. Orang tua ini kerahkan tenaga dalamnya pada
kedua tangannya. Namun dia tersentak kaget. Aliran darahnya serasa terbalik dan
kedua tangannya laksana lumpuh. Malah saat itu
juga mulutnya mengembung dan perutnya mual. Saat lain orang tua ini tersedak.
Lalu darah kehitaman menyembur keluar dari mulutnya.
Tengkorak Berdarah tertawa pendek. "Jangan ber-mimpi hendak membokongku, Tua
Bangka!" bentak-nya seraya tarik rambut Ki Buyut Pagar Alam hingga orang tua itu
meringis kesakitan.
Mengetahui dirinya tak berdaya, Ki Buyut Pagar Alam terlihat kerdipkan sepasang
matanya memberi isyarat pada Dewi Siluman seraya gerakkan tangan kanannya.
Melihat isyarat yang diberikan Ki Buyut Pagar Alam, Dewi Siluman tampak
tengadah. "Tak mungkin aku meninggalkan dia!"
Mendapati Dewi Siluman tidak menuruti isyaratnya yang memberitahukan agar Dewi
Siluman tinggalkan tempat itu, si kakek sedikit pelototkan sepasang matanya lalu
gerakkan tangan kanannya ulangi isyarat.
Habis memberi isyarat begitu, Ki Buyut Pagar Alam kembali coba kerahkan tenaga
dalamnya. Dia menarik napas lega. Tenaga dalamnya dapat disalurkan meski dengan
susah payah. Tengkorak Berdarah gerakkan kepalanya ke
bawah. Diam-diam orang ini berkata dalam hati.
"Hem.... Tua bangka ini luar biasa. Kukira dia sudah tak mampu salurkan tenaga
dalam. Kalau tidak cepat kuhabisi, akan berbahaya!"
Baru saja membatin begitu, mendadak Ki Buyut Pagar Alam berteriak keras.
"Dewi! Cepat lari!"
Bersamaan dengan terdengarnya teriakan, kedua tangan Ki Buyut Pagar Alam
bergerak menghantam ke arah perut Tengkorak Berdarah.
"Bangsat keparat!" maki Tengkorak Berdarah. Dia cepat lepaskan jambakan pada
rambut orang. Tangan kiri kanan segera menghantam ke bawah memangkas pukulan Ki
Buyut Pagar Alam.
Bukkk! Bukkk! Meski kedua tangan Tengkorak Berdarah sempat menghantam mental kedua tangan si
kakek namun tak urung perutnya masih tersambar pukulan orang.
Hingga sosoknya terjajar dua langkah mundur.
Sementara sosok Ki Buyut sendiri tampak tertarik ke belakang dengan derasnya.
Karena telah cedera parah, kakek ini tidak bisa imbangi tubuh. Sosoknya
terbanting keras di atas tanah.
Tengkorak Berdarah menggereng marah. Sekali lompat tubuhnya telah di samping Ki
Buyut yang kembali telentang. Satu kaki bergerak dari balik jubah abu-abu.
Bukkk! Tubuh Ki Buyut Pagar Alam mencelat. Menghempas pada sebatang pohon tiga tombak di
belakang sana lalu terpental balik sejauh satu tombak dan jatuh terkapar di atas
tanah. Mulutnya megap-megap lalu keluarkan darah. Sesaat tubuhnya bergerak-gerak
seakan hendak mencoba bangkit.
Tapi di lain kejap mendadak sosoknya menghempas dan tak bergerak-gerak lagi!
Adik kandung Daeng Upas ini tercabut nyawanya dengan wajah digelimangi darah
yang muncrat dari mulut serta hidungnya.
Tengkorak Berdarah cepat putar diri. Tapi dia segera bantingkan kaki begitu
dilihatnya Dewi Siluman sudah tidak ada di tempatnya semula!
"Hari ini nyawanya masih selamat. Tapi tak akan lama!" desis Tengkorak Berdarah.
Orang ini gerakkan kedua tangannya meraba pinggang dan perutnya. Dia
tampak menarik napas panjang. Lalu tanpa berpaling pada mayat Ki Buyut Pagar
Alam, orang berjubah abu-abu terusan ini berkelebat tinggalkan tempat itu.
SELESAI Segera menyusul!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng dalam episode :
MISTERI TENGKORAK BERDARAH
Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pedang Naga Kemala 10 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Elang Terbang Di Dataran Luas 7

Cari Blog Ini