Ceritasilat Novel Online

Jubah Tanpa Jasad 2

Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Bagian 2


perempuan ini tidak mau dikatakan sebagai perempuan tua. Karena paras wajahnya dibedaki tebal.
Bibirnya dipoles merah menyala. Pada pipi kiri kanannya tampak pemerah.
Rambutnya yang putih panjang
dikelabang dua. Pada ujung kelabangan rambutnya
diberi pita kain berwarna merah. Nenek ini mengenakan pakaian berupa baju tanpa
lengan berwarna
merah yang dibuat cingkrang. Hingga bukan saja
ketiaknya yang terlihat jelas, namun orang juga bisa melihat pada pusarnya.
Sementara pakaian bawahnya
berupa celana pendek di atas lutut juga berwarna
merah. Karena warna kulit si nenek ini berwarna
hitam, maka dandanannya yang seronok bukannya
membuat tampangnya sedap dipandang, melainkan
juga menakutkan!
"Dayang Sepuh!" desis Kiai Tung-Tung. "Rupanya
dia telah tahu juga siapa aku sebenarnya!"
"Bruss! Bruss! Kau jangan membuatku heran dengan tidak segera jawab pertanyaanku, Anak Muda!"
Berkata Datuk Wahing.
"Kek! Kau tadi bertanya apa"!" tanya Kiai TungTung. "Ah.... Kau sama saja dengan kakekmu! Tidak perhatikan ucapan orang kalau tidak ada kaitannya
dengan perempuan! Hik.... Hik.... Hik...!" Menyahut perempuan berpakaian merahmerah yang tidak lain
adalah Dayang Sepuh.
Kiai Tung-Tung sesaat pandang silih berganti pada
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh. Lalu buka suara.
"Sebenarnya aku tengah mengikuti Setan Liang Makam. Namun kedatanganku rupanya terlambat!"
"Bruss! Bruss! Jangan membuatku makin heran
tanpa teruskan keterangan, Anak Muda!" Datuk
Wahing kembali perdengarkan suara dengan kepala
terus bergerak-gerak ke depan ke belakang ketika Kiai Tung- Tung hentikan
ucapannya. "Aku menemukan nenek yang pernah perkenalkan
diri padaku dengan sebutan Nyai Suri Agung telah
tidak bernyawa lagi! Sementara tidak jauh dari mayat si nenek kutemukan kerangka
manusia yang telah
hancur berkeping-keping. Kuduga kerangka itu adalah sosok Setan Liang Makam!"
Mendadak sontak, gerakan kepala Datuk Wahing
terhenti. Kepalanya lurus menghadap Kiai Tung-Tung dengan mata membelalak dan
dahi berkerut. Untuk
beberapa lama kakek ini kancingkan mulut.
Sementara bersamaan dengan selesainya ucapan
Kiai Tung-Tung, Dayang Sepuh tiba-tiba melompat dan tegak dua langkah di samping
Kiai Tung-Tung. Namun, si nenek bukannya langsung buka mulut, melainkan
hanya memandang dari atas ke bawah pada Kiai TungTung. Saat lain dia ambil kepangan rambutnya. Seraya memilin-milin pita pada
ujung kelabangan rambutnya dia mulai buka mulut.
"Cucuku.... Kau jangan membuat hatiku deg-degan
tak karuan! Apa benar keteranganmu tadi"!"
"Untuk apa aku berdusta pada kalian"! Kalian bisa
melihatnya sendiri di bawah sana!"
Ucapan Kiai Tung-Tung belum selesai, masih dengan duduk bersimpuh, Datuk Wahing membuat
gerakan. Serta-merta sosoknya melesat ke depan dan kejap lain tubuhnya lenyap
masuk ke lobang di mana Kiai Tung-Tung baru saja keluar. Hampir bersamaan
dengan lenyapnya sosok Datuk Wahing, Dayang Sepuh
melompat dua kali. Sosoknya pun laksana ditelan
bumi. Lenyap masuk ke dalam lobang.
Di luar lobang, Kiai Tung-Tung tampak kebingungan. Saat itulah terdengar suara. "Kenapa kau masih bengong di situ, Cucuku"!"
Kiai Tung-Tung melangkah ke arah lobang. Saat
melongok, sosok Dayang Sepuh sudah tidak kelihatan lagi. Kiai Tung-Tung sejenak
berpikir. Lalu melompat masuk lagi ke dalam lobang.
Baru saja Kiai Tung-Tung melewati pintu bangunan
paling bawah, matanya melihat Datuk Wahing dan
Dayang Sepuh melangkah menuruni tangga di pojok
ruangan. Pada pundak kanan Datuk Wahing tampak
satu sosok tubuh mengenakan pakaian yang hangus
terbakar. Kedua orang ini sama kancingkan mulut
tidak ada yang bersuara. Malah wajah Datuk Wahing
terlihat murung.
"Dari sikapnya, aku sekarang yakin siapa adanya
Datuk Wahing.... Dia adalah orang bernama Galaga,
murid Nyai Suri Agung yang berarti juga adalah
saudara seperguruan Setan Liang Makam.... Yang
masih jadi tanda tanya adalah siapa adanya Dayang
Sepuh!" Diam-diam Kiai Tung-Tung membatin kala
teringat akan cerita Datuk Wahing pada beberapa
waktu yang lalu.
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh berhenti sejenak
di hadapan Kiai Tung-Tung. Keduanya hanya memandang, belum ada yang buka suara. Lalu masih tanpa
berkata apa-apa, kedua kakek nenek itu teruskan
langkah melewati Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung maklum akan sikap Datuk Wahing.
Tanpa buka suara pula dia mengikuti di belakang
Datuk Wahing dan Dayang Sepuh yang terus melangkah hingga akhirnya keluar dari lobang bekas bongkaran altar batu di atas sana.
Pada satu tempat di belakang salah satu julangan
batu karang, perlahan-lahan Datuk Wahing turunkan
sosok di pundak kanannya yang bukan lain adalah
sosok mayat Nyai Suri Agung.
Dengan gerak cepat, Datuk Wahing menggali tanah
memakai tongkat kayunya. Dalam beberapa saat, telah terlihat sebuah lobang
sedalam satu tombak membentuk persegi panjang satu setengah tombak berkeliling.
Dengan tanpa banyak mulut, Datuk Wahing angkat
mayat Nyai Suri Agung lalu dimasukkan ke dalam
lobang dan menimbunnya kembali.
Untuk beberapa saat Datuk Wahing duduk bersimpuh di samping makam Nyai Suri Agung. Sementara
Dayang Sepuh dan Kiai Tung-Tung memperhatikan
dari jarak delapan langkah tanpa ada yang perdengarkan suara.
"Anak muda...," tiba-tiba Datuk Wahing bersuara
setelah beberapa lama terdiam. "Aku harap kau tidak merasa heran jika aku
bertanya padamu. Lebih-lebih aku mengharap jawaban yang tidak mengherankan
diriku!" Datuk Wahing memberi isyarat dengan lambaian tangannya agar Kiai Tung-Tung alias murid
Pendeta Sinting mendekat.
"Siapa saja yang kau lihat masuk ke tempat ini"!"
Datuk Wahing bertanya begitu Kiai Tung-Tung telah
tegak di sampingnya.
"Aku hanya melihat Setan Liang Makam...!"
"Lainnya"!"
Kiai Tung-Tung gelengkan kepala. "Aku tidak melihat orang lain! Kedua pemuda yang sempat mengikuti Setan Liang Makam tidak
memasuki tempat ini.
Karena aku mengikuti mereka!"
"Bruss! Keterangan terakhirmu membuatku heran.
Ceritakan siapa yang kau maksud dengan kedua
pemuda itu!"
Kiai Tung-Tung lalu menceritakan dengan singkat
pengintaiannya di pesisir utara dekat teluk sampai dia kembali lagi ke Kampung
Setan. Datuk Wahing mendengarkan keterangan Kiai
Tung-Tung dengan kepala bergerak pulang balik ke
depan ke belakang. Namun dia tidak perdengarkan
bersinan meski raut mukanya jelas kalau dia ingin
bersin! "Kau duga ada orang lain masuk ke tempat ini,
Kek"!" tanya Kiai Tung-Tung seolah mengakhiri
ceritanya dan dilihatnya Datuk Wahing masih juga
belum memberi sambutan.
"Bruss! Bruss! Kau jangan heran kalau aku bukan
saja menduga, namun bisa memastikan jika ada orang lain masuk ke tempat itu!"
"Bagaimana kau bisa memastikan"!" Kali ini yang
buka suara adalah Dayang Sepuh yang ternyata sudah tegak di belakang Kiai TungTung seraya memilin
kelabangan rambutnya.
Datuk Wahing merogoh ke balik pakaiannya. Ketika
tangannya ditarik, terlihat serpihan daun yang telah hangus.
Seraya angkat serpihan daun dan ditaburkan, Datuk Wahing berucap.
"Dari sini aku dapat memastikan! Dan kalian tidak
usah heran bila aku dapat juga memastikan kalau
Kembang Darah Setan yang diberikan pada Setan
Liang Makam di teluk adalah Kembang Darah Setan
palsu! Kembang Darah Setan asli tak mungkin bisa
hangus!" "Aku belum mengerti bagaimana kau dapat memastikan ada orang lain!" ujar Dayang Sepuh.
"Terbunuhnya Nyai Suri Agung dan berserakannya
kerangka!"
"Mungkin saja Setan Liang Makam yang melakukannya! Bukankah kalau dihubungkan dengan ceritamu dahulu masuk akal"!" kata Kiai Tung-Tung.
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya yang
bergerak ke depan ke belakang. Kini kepala itu bergerak ke samping kiri kanan
menggeleng. "Dengan
Kembang Darah Setan palsu, aku akan jadi heran jika Setan Liang Makam mampu
melakukannya! Sekalipun
seandainya Setan Liang Makam memiliki ilmu tinggi!
Pastinya, ada orang lain yang melakukannya, dan
orang itu membekal Kembang Darah Setan asli!"
"Hem.... Jangan-jangan salah satu pemuda yang
menyamar itu...!" gumam Kiai Tung-Tung. "Dia sengaja memberikan Kembang Darah
Setan palsu lalu diam-diam mengikuti Setan Liang Makam. Dan.... Tapi
apakah mungkin"! Aku tahu mereka berkelebat jauh
dari Kampung Setan...."
"Dugaanmu itu yang masuk akal, Anak Muda!" ujar
Datuk Wahing. "Nyai Suri Agung hanya bisa dihadapi dengan Kembang Darah Setan!
Itu pun yang menggenggam Kembang Darah Setan harus cerdik. Jika
tidak, dia tetap tidak akan mampu menghadapi Nyai
Suri Agung! Dan dengan terbunuhnya Nyai Suri
Agung, berarti si pembawa Kembang Darah Setan
adalah orang cerdik!"
"Lalu apakah kerangka yang berserakan itu sosok
Setan Liang Makam yang juga terbunuh"!" tanya Kiai Tung-Tung.
Datuk Wahing perdengarkan bersinan dahulu sebelum buka suara.
"Kurasa Setan Liang Makam masih bernyawa...."
"Kerangka itu..."!" ujar Kiai Tung-Tung.
"Itu adalah kerangka pendiri Istana Sekar Jagat.
Nenek moyang para generasi Kampung Setan," jawab
Datuk Wahing. Kakek ini menghela napas panjang.
Lalu perdengarkan suara lagi. "Dunia persilatan akan menghadapi bencana
besar.... Dan aku sangsi, apakah ada seseorang yang kelak dapat
menghentikannya!"
"Maksudmu"!" Kali ini yang bertanya adalah
Dayang Sepuh. "Pendiri Istana Sekar Jagat itu mengenakan sebuah
jubah hitam yang dinamakan Jubah Tanpa Jasad.
Sebuah jubah sakti yang luar biasa! Dan orang yang telah membunuh Nyai Suri
Agung telah mendapatkan-nya!"
"Setan Liang Makam sendiri ke mana"!" Kembali
Dayang Sepuh ajukan tanya.
"Mungkin dia telah pergi begitu tahu kembang di
tangannya adalah Kembang Darah Setan palsu...."
"Kek.... Kau tahu banyak tentang tempat itu. Aku
sekarang jadi yakin, kaulah orang yang dalam cerita-mu dahulu kau sebut sebagai
Galaga. Saudara seperguruan Maladewa dan murid Nyai Suri Agung! Betul"!"
kata Kiai Tung-Tung.
"Bruss! Itu bukan hal yang mengherankan dan
penting untuk dibicarakan saat ini, Anak Muda! Yang mengherankan adalah jika
kita tidak segera tahu siapa adanya pemegang Kembang Darah Setan dan sekarang
telah juga mendapatkan Jubah Tanpa Jasad! Kalau
kita terlambat, kiamat besar akan terjadi dalam rimba persilatan! Dan mungkin
saja hal itu sekarang telah mulai!"
"Aku curiga pada seseorang...," ucap Kiai TungTung. "Siapa"!" tanya Dayang Sepuh.
"Kiai Laras!"
"Bruss! Curiga boleh. Tapi jangan membuat orang
heran dengan curiga tanpa membuktikan!"
"Aku hampir saja bisa membuktikan. Sayang mendadak ada orang yang usil menghadang...," kata Kiai Tung-Tung dalam hati ingat
akan pengejarannya pada Kiai Lidah Wetan. Lalu bergumam.
"Aku hanya merasa aneh. Kalau memang Kiai Laras
yang melakukannya, mengapa dia menyamar"!"
"Bruss! Bruss! Seharusnya kau tidak boleh merasa
aneh apalagi heran, Anak Muda! Justru hal itulah
yang harus kau selidiki! Mengapa dia mengenakan
penyamaran dan melakonkan diri sebagai sosok
dirimu!" "Mungkin ada kaitannya dengan hilangnya kakekmu!" Yang menyahut Dayang Sepuh.
"Nek.... Aku...."
Belum sampai Kiai Tung-Tung lanjutkan ucapannya, Dayang Sepuh telah angkat tangan kirinya. Kiai Tung-Tung putuskan ucapan
dengan dahi mengernyit.
Namun kejap lain dia tersenyum dan buka mulut.
"Bibi.... Aku sekarang akan berterus terang padamu! Yang kucari itu sebenarnya bukan kakekku.
Melainkan eyang guruku, Pendeta Sinting...."
Dayang Sepuh turunkan tangan kirinya lalu membuat seulas senyum dingin. Belum sampai dia buka
suara, Datuk Wahing telah bergerak bangkit. Bersin dua kali lalu berkata.
"Kurasa sudah tidak ada sesuatu yang mengherankan di tempat ini!"
Habis berkata begitu, sang Datuk mulai melangkah
tinggalkan gundukan tanah di mana baru saja Nyai
Suri Agung dikebumikan.
Dayang Sepuh memandang sesaat, lalu berpaling
pada Kiai Tung-Tung. Dia hanya lambaikan tangan
lalu melangkah mengikuti Datuk Wahing.


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Tung-Tung angkat bahu, lalu bergerak mengikuti di belakang. Namun baru saja melangkah, di
depan sana Datuk Wahing bersin-bersin lalu berkata.
"Jangan lakukan sesuatu yang mengherankan dengan ikuti langkah kami, Anak Muda.... Tujuan kita
memang tidak beda. Tapi akan mengherankan jika kita berbondong-bondong!"
Kiai Tung-Tung menghentikan langkahnya. Lalu
menunggu sampai Datuk Wahing dan Dayang Sepuh
lenyap di depan sana.
*** ENAM DI SATU tempat agak jauh dari Kampung Setan,
Kiai Tung-Tung hentikan langkahnya ketika matanya
dapat menangkap satu bayangan berlari menuju ke
arahnya. Begitu cepatnya sosok bayangan itu hingga belum sampai Kiai Tung-Tung
melompat menyelinap si bayangan tadi tahu-tahu sudah tegak berjarak sepuluh
langkah di hadapannya.
Untuk beberapa saat sepasang mata orang di depan
sana pandangi Kiai Tung-Tung dari atas hingga bawah.
Namun karena Kiai Tung-Tung masih mengenakan
caping lebar yang dimasukkan dalam-dalam pada
kepalanya, si orang rupanya merasa kesulitan untuk mengenali raut wajahnya.
Hingga dia segera buka
mulut. "Boleh aku tahu siapa kau adanya, Orang Tua"!"
Kiai Tung-Tung kerutkan dahi. "Aku sepertinya pernah dengar suara orang ini! Tapi mengapa wajahnya
lain"! Apa memang suara mirip tapi lain orangnya"!"
Kiai Tung-Tung angkat sedikit kepalanya lalu memperhatikan orang di seberang
depan. Dia adalah seorang laki-laki yang seperti halnya Kiai Tung-Tung, mengenakan
caping lebar dan dimasukkan
dalam-dalam pada kepalanya hingga raut wajahnya
tidak mudah dikenali. Mengenakan pakaian gombrong
warna hitam sebatas betis berlengan panjang. Hingga dari anggota tubuhnya yang
kelihatan hanyalah
telapak kedua tangannya, bagian betis ke bawah lalu sebagian dari paras
wajahnya. Tangan kanannya
memegang buntalan kain yang disampirkan pada
pundaknya. "Aku Kiai Tung-Tung...," Kiai Tung-Tung alias murid Pendeta Sinting yang tengah
menyamar menjawab
pertanyaan orang. Lalu balik bertanya. "Kau sendiri siapa, Orang Tua"!"
Orang yang ditanya tidak segera menjawab. Sebaliknya angkat kepalanya sedikit. Lalu pandangi Kiai Tung-Tung dengan seksama.
Diam-diam dalam hati
dia membatin. "Suaranya tidak mungkin ku lupa! Apa benar-benar dia"! Kurang ajar
betul, Sontoloyo ini!
Kudengar dia telah melakukan beberapa hal yang tak terpuji setelah peristiwa di
Kedung Ombo! Sontoloyo seperti ini harus diberi pelajaran dan kalau perlu
dibunuh jika benar melakukan hal yang mengotori
dunia persilatan! Aku memang belum yakin benar
akan berita yang saat ini tersebar, namun melihat arah
datangnya, mungkin dia baru dari Kampung Setan.
Sementara berita yang terdengar, mengaitkan dirinya dengan perihal Kampung
Setan.... Benar-benar celaka kalau apa yang tersiar sekarang benar-benar
kenyataan...."
"Orang tua! Kau keberatan mengatakan siapa dirimu"!" Kiai Tung-Tung kembali perdengarkan suara
ketika agak lama si orang yang ditanya tidak segera menjawab.
Tiba-tiba orang di seberang depan perdengarkan
tawa ngakak. Namun laksana dirobek setan, orang ini putuskan tawanya dan
mendadak buka mulut membentak.
"Aku Malaikat Jagal Manusia! Kau tidak beruntung,
Manusia! Karena harus bertemu denganku!"
"Maksudmu..."!" tanya Kiai Tung-Tung dengan palingkan kepala melirik.
"Telingamu telah dengar gelarku. Malaikat Jagal
Manusia! Jadi tak ada makhluk bernama anak manusia yang lewat begitu saja bila jumpa denganku!
Termasuk kau sendiri!"
"Tapi.... Bukankah di antara kita tidak ada perkara apa-apa"! Lagi pula rasanya
tidak..." "Anak manusia!" Orang yang sebutkan diri sebagai
Malaikat Jagal Manusia telah menukas sebelum Kiai
Tung-Tung selesaikan ucapan. "Bagi Malaikat Jagal
Manusia, tidak butuh perkara jika hendak menjagal
manusia! Yang jelas, siapa pun anak manusia yang
bertemu denganku, maka saat itulah nasibnya ditentukan!" "Hem.... Berarti hanya suaranya saja yang mirip....
Orangnya lain!" gumam Kiai Tung-Tung dalam hati.
Lalu berkata. "Kalau setiap kali kau selalu menjagal manusia,
jangan-jangan kau melakukan hal ini atas suruhan
orang lain! Benar"!"
Mendengar ucapan Kiai Tung-Tung, Malaikat Jagal
Manusia tertawa bergelak panjang. "Malaikat Jagal
Manusia pantang mendapat perintah orang! Penjagalan ini adalah tugas sejak aku
dilahirkan! Ha.... Ha....
Ha...! Masih ada yang hendak kau tanyakan sebelum
nyawamu terjagal tanganku, Anak Manusia"!"
Kiai Tung-Tung anggukkan kepala. "Boleh aku tahu, apa kau dapat menduga siapa gerangan kira-kira yang dapat menjagal dirimu
sekaligus menentukan
akhir nasibmu"!"
Malaikat Jagal Manusia putuskan tawanya. Sepasang matanya mendelik angker. Setelah mendengus
keras dia berkata.
"Aku sendiri yang menentukan nasibku!"
Kali ini ganti Kiai Tung-Tung yang balik tertawa
panjang. Lalu kepalanya kembali menggeleng. "Kau
salah, Malaikat Jagal Manusia! Bukan kau yang
tentukan akhir nasibmu. Tapi tanganku! Ha.... Ha....
Ha...!" Malaikat Jagal Manusia gerakkan tangan kiri tekankan pada caping lebarnya. Saat lain tiba-tiba laki-laki ini melompat ke
depan. Tangan kirinya yang telah terangkat ke atas berkelebat lepaskan satu
pukulan ke arah kepala Kiai Tung-Tung.
Kiai Tung-Tung tidak mau menunggu. Dia menyongsong pukulan tangan orang dengan angkat
tangan kanannya. Namun bukan untuk lepaskan
pukulan, melainkan dipalangkan pada kepalanya.
Bukkk! Tangan kiri Malaikat Jagal Manusia membentur
tangan Kiai Tung-Tung. Saat bersamaan mendadak
tangan kanan Malaikat Jagal Manusia telah pula
berkelebat. Kiai Tung-Tung tidak tinggal diam. Tangan kirinya cepat menyambut.
Bukkk! Kembali terjadi benturan. Masing-masing orang
sama tersurut satu langkah ke belakang dengan dahi sama mengernyit. Namun itu
cuma sesaat. Kejap lain, Malaikat Jagal Manusia telah menyergap ke depan.
Kini kedua tangannya bergerak bersamaan lepaskan
pukulan. "Ah.... Manusia ini nyatanya tidak main-main....
Apa sebenarnya kemauan orang ini"! Apa ucapannya
benar kalau dia akan menjagal setiap anak manusia
yang ditemuinya"!"
Sambil membatin begitu, Kiai Tung-Tung angkat
kedua tangannya menghadang kedua tangan Malaikat
Jagal Manusia. Bukk! Bukkk! Baik Kiai Tung-Tung maupun Malaikat Jagal Manusia sama surutkan langkah dua tindak ke belakang.
Dari benturan tangan kali ini, rupanya masing-masing orang sudah mulai dapat
mengukur kekuatan tenaga
dalam lainnya. "Tenaga dalamnya sangat kuat. Jangan-jangan bukan Sontoloyo itu!" Malaikat Jagal Manusia mulai ragu dengan dugaannya melihat
bagaimana tingkat tenaga dalam orang. "Atau ini karena dia telah memperoleh
kitab kedua itu...?"
"Ada sesuatu yang ingin kau utarakan"!" tanya Kiai Tung-Tung melihat perubahan
sikap orang. Namun Kiai Tung-Tung tidak menunggu jawaban.
Begitu selesai berkata dia sudah melompat seraya
kelebatkan tangan kiri kanan ke caping Malaikat Jagal Manusia.
"Sialan! Dia ingin tahu siapa diriku! Ini tidak boleh
terjadi sebelum aku dapat yakin siapa dia adanya!"
desis Malaikat Jagal Manusia. Dia cepat mundur dan serta-merta menyongsong sosok
tubuh Kiai Tung-Tung dengan lepaskan pukulan jarak jauh.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Kiai TungTung terkesiap. Dia buru-buru tarik pulang kedua
tangannya yang hendak menyambar caping Malaikat
Jagal Manusia. Kedua tangannya serta-merta disentakkan ke depan.
Blamm! Gelegar keras terdengar saat gelombang dari ke dua tangan Malaikat Jagal Manusia
bentrok dengan gelombang yang keluar dari kedua tangan Kiai TungTung. Sosok Malaikat Jagal Manusia tersurut satu tindak.
Demikian juga sosok Kiai Tung-Tung. Paras masingmasing orang berubah.
"Ternyata kau memiliki ilmu juga, Anak Manusia!
Tapi jangan harap apa yang kau miliki bisa merubah nasib yang ku tentukan!"
sentak Malaikat Jagal
Manusia. Habis berkata begitu, Malaikat Jagal Manusia berkelebat ke depan. Setengah jalan, dia sudah dorong kedua tangannya.
Wuutt! Wuutt! Tempat itu seketika disemburati cahaya kuning.
Lalu satu gelombang berhawa panas luar biasa menggebrak ganas. "Pukulan 'Lembur Kuning'! Jadi memang...." Kiai
Tung-Tung tidak lanjutkan gumamannya. Sebaliknya
dia buka mulut berteriak.
"Tahan, Eyang...."
Tapi teriakan Kiai Tung-Tung terlambat. Karena
gelombang yang disemburati cahaya kuning dan
membawa hawa panas menyengat itu telah mencuat.
Kiai Tung-Tung sesaat bimbang. Kalau dia tidak
menyambut pukulan yang kini datang, dia bisa
bayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Sebaliknya kalau dia sambuti
pukulan itu, paling tidak akan membawa akibat pada kedua belah pihak.
Padahal pukulan itu sudah menderu makin dekat dan
tidak ada kesempatan lagi baginya untuk berpikir.
Pada puncak kebimbangannya, akhirnya Kiai TungTung berkelebat ke belakang. Lalu dorong kedua
tangannya ke depan lepaskan pukulan sakti 'Lembur
Kuning'. Dari kedua tangan Kiai Tung-Tung yang tiba-tiba
berubah menjadi kuning melesat cahaya kekuningan
disertai gelombang dan hawa panas.
Blaammm! Tempat itu laksana dilanda gempa luar biasa dahsyat. Tanahnya muncrat ke udara setinggi lima tombak lalu menebar berhamburan
mendatar di atas udara
sepanjang delapan tombak berkeliling. Hingga untuk beberapa saat udara di tempat
itu laksana ditelan
gelap malam. Begitu hamburan tanah sirap kembali, di sebelah
kanan tampak sosok Kiai Tung-Tung jatuh terduduk
dengan tubuh bergetar keras. Caping lebarnya mencelat. Parasnya berubah pucat
pasi. Mulutnya menganga lalu menutup dengan dada bergerak keras turun naik.
Sementara di seberang depan sana, sosok Malaikat
Jagal Manusia duduk bersimpuh. Sepasang matanya
mendelik menyipit. Caping yang dikenakannya juga
mencelat amblas. Hingga raut wajahnya terlihat jelas.
"Benar-benar si Sontoloyo itu!" desis Malaikat Jagal Manusia begitu bisa melihat
paras wajah Kiai TungTung. Dia bergerak bangkit. Mendadak sepasang
matanya melotot besar. Tanpa berkata apa-apa lagi dia berkelebat ke depan.
Tangan kiri kanannya terangkat.
"Eyang.... Tunggu! Aku Joko!" teriak Kiai TungTung menduga kalau Malaikat Jagal Manusia belum
mengetahui siapa dirinya.
Malaikat Jagal Manusia yang ternyata adalah Pendeta Sinting tegak lima langkah di hadapan Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131
Joko Sableng dengan tangan tetap terangkat dan mata mendelik angker. Mulutnya
tiba-tiba perdengarkan suara keras.
"Sejak tadi aku tahu siapa kau, Sontoloyo!"
Joko Sableng berdiri lalu membungkuk memberi
hormat sambil berkata.
"Kalau Eyang sudah tahu, mengapa memukul ku"!"
"Hem.... Rupanya kau belum sadar akan tindaktandukmu selama ini! Dan kau kira aku tidak tahu,
hah"!"
"Eyang.... Tunggu.... Sebenarnya ada apa ini"!"
Pendeta Sinting perdengarkan dengusan keras.
"Kau masih juga berpura-pura!"
"Busyet! Jangan-jangan Eyang termakan kabar fitnah ini! Bisa celaka...," gumam Joko lalu buka mulut.
"Eyang.... Harap jelaskan semuanya! Aku...."
"Apa lagi yang perlu ku jelaskan"!" potong Pendeta Sinting dengan membentak.
Tangan kanan kirinya
sudah bergerak.
"Eyang.... Tahan dulu! Biar aku yang menjelaskan!"
ujar Joko dengan mata memperhatikan pada gerakan
kedua tangan eyang gurunya. "Tentu Eyang mendengar sesuatu yang kurang baik tentang diriku...."
"Bukan kurang baik! Tapi perbuatanmu sudah melampaui batas! Mampus sudah layak menjadi bagianmu! Dan karena aku yang memberimu ilmu, adalah
lebih layak jika tanganku sendiri yang harus menghentikan ulah mu!"
Joko Sableng menghela napas panjang. "Eyang....
Sebagai murid aku rela tanganmu yang mencabut
nyawaku. Namun sebelumnya harap Eyang dengar
dahulu penjelasanku."
Pendeta Sinting turunkan kedua tangannya. "Cepat


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katakan penjelasan apa yang akan kau berikan!"
"Sesuai dengan permintaanmu di Kedung Ombo,
tiga hari setelah peristiwa itu, aku ke Jurang Tlatah Perak. Namun kau tidak
ada. Aku menunggu hampir
setengah purnama. Namun kau tidak muncul juga.
Kupikir telah terjadi sesuatu padamu. Aku berniat
mencarimu...." Lalu Joko mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Dayang
Sepuh di kedai, kemudian pertemuannya dengan Datuk Wahing, Setan Liang Makam,
Kiai Laras, Kiai Lidah Wetan, Dewi Seribu
Bunga, Saraswati, dan Putri Kayangan. Dia juga
menceritakan bagaimana fitnah itu tiba-tiba menebar.
Terakhir Joko menceritakan soal penyamaran dirinya sebagai Kiai Tung-Tung hingga
pemakaman Nyai Suri
Agung. "Kau tidak mengarang cerita itu"!" tanya Pendeta
Sinting begitu Joko hentikan ceritanya.
"Kelak jika kau bertemu dengan salah seorang yang
kuceritakan, kau bisa membuktikannya, Eyang...."
"Kiai Laras.... Hem...." Pendeta Sinting bergumam.
"Eyang.... Kalau boleh ku tahu. Eyang mengenal
dia"!"
"Dia siapa"!"
"Kiai Laras.... Karena gerak-geriknya mencurigakan!" Pendeta Sinting berpaling. "Kau berpikir dalang di balik semua ini adalah dia"!"
"Aku hanya mengaitkan apa yang pernah terjadi.
Tapi semua itu masih perlu dibuktikan...."
"Tapi apa mungkin"! Dari apa yang ku tahu, rasanya mustahil dia bisa menerobos Kampung Setan
dan tahu banyak tentang rahasia tempat itu!" kata Pendeta Sinting perlahan.
"Eyang.... Masalahnya sekarang bukan bagaimana
dia bisa menerobos Kampung Setan meski hal itu
patut ditanyakan. Yang lebih penting adalah, kalau memang benar-benar Kiai
Laras, mengapa dia mengenakan penyamaran sebagai diriku"! Padahal aku tidak
pernah punya urusan dengannya! Kalau seseorang
melakonkan orang lain dengan maksud jahat, tentu
orang itu punya sesuatu yang terpendam. Sementara
kalau aku dan dia tidak punya urusan apa-apa, pasti urusannya ada di antara dia
dengan orang yang dekat denganku. Sedang orang satu-satunya yang paling
dekat denganku adalah kau.... Apa Eyang pernah
punya urusan dengan Kiai Laras"!"
"Hem.... Aku memang pernah punya urusan dengan
dia. Tapi kukira urusannya terlalu sepele jika harus diselesaikan dengan cara
begini! Lagi pula urusan itu sudah tuntas dan kulupakan!"
"Eyang.... Seseorang akan berbeda dalam menghadapi satu urusan. Bisa saja kau menganggapnya
sudah tuntas malah sudah melupakannya dan bahkan
menghitungnya sebagai persoalan sepele! Namun
mungkin saja orang lain beranggapan urusan belum
tuntas malah menghitungnya sebagai urusan besar
dan tidak bisa dilupakan sepanjang hidupnya!"
"Hem Sontoloyo ini sudah pandai pula bicara...," kata Pendeta Sinting dalam hati. "Tapi ucapannya ada juga benarnya....
Hanya saja, mungkinkah
Kiai Laras"!"
Selagi Pendeta Sinting masih membatin, Joko sudah
buka mulut lagi.
"Eyang.... Mau katakan apa urusan antara Eyang
dengan Kiai Laras?"
Untuk beberapa lama Pendeta Sinting terdiam. Sepasang matanya memandang jauh. Joko menunggu.
Dan pada akhirnya Pendeta Sinting angkat bicara.
*** TUJUH PADA beberapa puluh tahun yang lalu, terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap beberapa tokoh
rimba persilatan. Selain dilakukan oleh orang-orang yang menamakan diri dari
Kampung Setan, ada pihak
lain yang ikut menyusup lakukan pembantaian. Orang ini memanfaatkan keadaan yang
keruh. Hingga sulit
dicari siapa dia adanya. Setelah aku mencari dan
menyelidik, akhirnya aku dapat memastikan jika
dalang di belakang pembunuhan itu adalah Kiai Laras.
Beberapa tokoh yang ada saat itu tidak percaya pada ucapanku. Karena selama ini
Kiai Laras memang
diketahui tidak memiliki ilmu tinggi. Namun orangorang rupanya lupa. Kiai Laras memang tidak memiliki ilmu tinggi. Tapi dia
mempunyai akal cerdik!"
Sejenak Pendeta Sinting hentikan ucapannya. Setelah menghela napas panjang, dia melanjutkan. "Begitu cerdiknya, sampai dia
lolos. Bukan saja dari maut, juga dari dugaan orang! Namun di mataku, dia tetaplah duri! Itulah sebabnya suatu saat aku menemuinya.
Ku coba menyadarkannya. Tapi usahaku gagal. Sejak itulah dia beberapa kali
mencoba membunuhku
dengan tangan orang lain...."
Kembali Pendeta Sinting hentikan keterangan. Lalu
kepalanya berpaling pada Joko. "Urusan itu telah
berlalu beberapa puluh tahun. Keadaan pun telah
berubah. Aku telah melupakan semuanya. Bahkan
tentang Kiai Laras. Sekarang aku jadi heran kalau Kiai Laras tidak bisa
melupakan urusan itu...."
"Eyang.... Mungkin ada hal lain selain yang Eyang
katakan yang ada hubungannya dengan Kiai Laras...."
Pendeta Sinting gelengkan kepala. "Kurasa aku tidak punya urusan lain selain apa yang baru kuceritakan!"
"Eyang pernah dengar Kiai Laras punya seorang
saudara"!" tanya Joko begitu ingat akan kemiripan
paras wajah Kiai Laras dengan Kiai Lidah Wetan.
"Aku tidak terlalu peduli dengan semua itu! Yang
jelas bagiku, dia punya akal cerdik! Dan aku telah buktikan hal itu!"
"Eyang.... Boleh aku tahu ke mana Eyang setelah
peristiwa Kedung Ombo"!"
"Aku ke tempat seorang sahabat...."
"Sendirian"!"
Pendeta Sinting mendelik. "Apa maksudmu, hah"!"
"Bukankah saat berpisah di Kedung Ombo Eyang
bersama...." Joko tidak lanjutkan ucapan. Sebaliknya melirik pada eyang gurunya.
Tiba-tiba Pendeta Sinting perdengarkan tawa bergelak. "Yang kau maksud tentu Ni Luh Padmi! Kau tahu, Sontoloyo.... Justru karena
nenek itu aku terpaksa pergi ke tempat seorang sahabat.... Jika tidak, tentu kau
sudah tidak akan jumpa denganku lagi. Tapi aku tidak menyalahkan nenek itu! Apa
yang dilakukannya mungkin sudah harus jadi bagianku! Kau pernah
jumpa dengannya setelah peristiwa di Kedung Ombo"!"
Joko gelengkan kepala. Pendeta Sinting balikkan
tubuh. "Saat ini kau menghadapi urusan berat! Aku
tak bisa banyak membantu! Yang jelas, kau harus
segera selesaikan urusan ini! Jika tidak, bukan namamu saja yang bakal tertulis
hitam, namun namaku
juga ikut! Dan satu hal lagi, jika benar di belakang semua ini adalah Kiai
Laras, maka kau harus lebih berhati-hati!"
Habis berkata begitu, Pendeta Sinting melangkah.
Namun Joko cepat melompat dan tegak menghadang.
Belum sampai Joko buka mulut berucap, Pendeta
Sinting sudah sambung ucapannya. "Dan kuperingatkan, untuk sementara ini hindari hubungan dengan seorang gadis! Kau dengar"!"
Joko anggukkan kepala. Namun lagi-lagi belum
sampai Joko buka mulut, Pendeta Sinting sudah buka suara lagi. "Aku telah
mengalami. Perempuan hanya
akan menambah masalah! Anehnya jarang sekali lakilaki yang bisa lepas daripadanya walau dia tahu apa risikonya!"
Pendeta Sinting teruskan langkah tanpa pedulikan
muridnya yang hendak angkat bicara. Membuat Joko
menghela napas dan buru-buru berucap.
"Eyang.... Kau mengenali siapa sebenarnya nenek
yang sebutkan diri Dayang Sepuh"!"
Tanpa hentikan langkah, Pendeta Sinting menjawab. "Nenek itu memang bergaya aneh! Tapi dua hal
yang harus kau ketahui. Pertama, kau harus berhati-hati padanya! Kedua, jangan
sampai kau tertarik
apalagi jatuh cinta padanya!"
Joko menahan tawanya. Namun begitu sosok Pendeta Sinting sudah berada jauh di depan sana, tawanya meledak keras. Hingga bahunya berguncang
keras dan sepasang matanya terpejam-pejam.
Namun tiba-tiba laksana ditelan setan, murid Pendeta Sinting putuskan tawanya ketika sadar dia tidak sendirian di tempat itu.
Dan dia yakin orang lain itu bukan Pendeta Sinting.
"Puas"!" Satu suara tiba-tiba terdengar.
Pendekar 131 cepat berpaling. Dia melihat seorang
gadis berwajah cantik berambut panjang sebahu.
Sepasang matanya bulat. Hidungnya mancung ditingkah kulit putih bersih. Gadis ini mengenakan pakaian warna kuning.
Beberapa lama murid Pendeta Sinting pandangi si
gadis. Yang dipandang balas memandang dengan
tatapan dingin lalu sentakkan wajahnya menoleh ke
jurusan lain. "Saraswati...!" gumam Joko ketika sadar dari rasa
kesimanya mengenali siapa yang saat itu tegak.
Si gadis yang bukan lain memang Saraswati sunggingkan senyum galak. Gadis cantik yang biasanya
mengenakan samaran sebagai seorang pemuda berkumis tipis dan memakai pakaian hitam-hitam ini
rupanya telah tanggalkan samarannya.
"Aku tak menyangka jika kau pandai juga mengelabui pandang mata orang! Apakah kau kira hal ini akan membuatmu selamat"!" ujar
Saraswati dengan suara
bergetar tanda dadanya sudah sesak dilanda kemarahan. "Saraswati.... Kuharap kau mengerti kalau aku
sampai melakukan ini! Hal ini satu-satunya jalan
untuk mengetahui siapa adanya orang yang memfitnahku!" Saraswati tertawa pendek bernada mengejek. "Kau
salah besar, Pendekar! Justru tindakanmu ini lebih meyakinkan ku kalau kau tidak
sedang mencari siapa adanya orang yang memfitnah mu! Karena sebenarnya
kau sendirilah yang memfitnah diri sendiri!" Saraswati
hentikan ucapannya. Kepalanya bergerak menghadap
murid Pendeta Sinting. "Kau ingin menutupi semua
kelakuanmu, bukan"! Aku menyesal bicara panjang
lebar dengan seorang laki-laki tua mengenakan caping lebar membawa tongkat butut
jika ku tahu orang itu adalah kau adanya!"
Seperti diketahui, Saraswati yang saat itu masih
menyamar sebagai seorang pemuda berkumis tipis
sempat jumpa dengan murid Pendeta Sinting yang juga tengah menyamar sebagai
laki-laki mengenakan caping lebar. Saraswati sempat bercerita tentang apa yang
baru saja dialaminya. (Lebih jelasnya silakan baca serial Joko Sableng dalam
episode: "Liang Maut di
Bukit Kalingga").
"Celaka! Bagaimana aku harus menjelaskan padanya"! Ah, daripada jadi masalah besar, lebih baik dia ku hindari. Bicara
panjang lebar pun belum tentu dia percaya!"
Membatin begitu, murid Pendeta Sinting balikkan
tubuh lalu berkata.
"Saraswati.... Untuk saat ini kurasa aku belum bisa memberi keterangan karena
kau tak mungkin percaya!
Kuharap...."
Saraswati sudah menyahut. "Aku memang tidak
butuh keterangan apa-apa! Semua sudah cukup jelas bagiku! Yang kuminta sekarang
kau ikut denganku
kembali ke Bukit Kalingga. Dan selanjutnya kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
"Saraswati! Percuma saja kita ke sana! Di sana tidak ada apa-apa!"
Saraswati mendelik. Tubuhnya bergetar keras.
"Pendekar 131! Apa ucapanmu memberi arti jika...."
Saraswati tidak lanjutkan ucapannya. Sebaliknya dia segera melompat dan tegak di
hadapan Joko. "Apa
yang kau lakukan pada ibuku"!" Suara gadis berwajah cantik ini bergetar parau.
Kedua tangannya yang
gemetar telah terangkat.
Diam-diam murid Pendeta Sinting mengeluh dalam
hati. "Bagaimana urusannya bisa sampai begini jauh"!"
"Jawab, Pendekar 131! Apa yang kau perbuat pada
ibuku"!" teriak Saraswati setengah menjerit.
"Dengar, Saraswati.... Aku belum pernah berjumpa
dengan ibumu semenjak pertemuan terakhir di depan
Istana Hantu! Aku pun tahu Bukit Kalingga dari
keteranganmu!"
"Manusia busuk! Kau masih juga bicara tak karuan!" Bersamaan dengan berucap, kedua tangan Saraswati yang telah terangkat bergerak.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang melesat menghantam ke arah murid
Pendeta Sinting. Pendekar 131 cepat melompat ke
samping hingga gelombang dari kedua tangan Saraswati menggebrak tempat kosong.
"Saraswati.... Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua ini!"
"Terlambat, Pendekar 131! Penjelasan apa pun tak
mungkin dapat merubah! Yang kuinginkan sekarang
kau ikut denganku ke Bukit Kalingga!"
"Aku memang tak akan menjelaskan urusan ini
dengan kata-kata!"
"Hem.... Lalu"!" sentak Saraswati. Kedua tangannya kembali telah terangkat.
Matanya membelalak.
"Aku perlu waktu! Dan kuharap kau bersabar menunggu!" Saraswati tersenyum dingin. "Waktuku hanya
memberimu kesempatan untuk menambah korban!"
"Saraswati.... Kita tak perlu bicara! Itu hanya akan
menambah urusan jadi tak karuan!"
Habis berkata begitu, murid Pendeta Sinting menatap sejenak pada Saraswati, tanpa berkata apa-apa lagi dia gerakkan kaki
tinggalkan tempat itu.
"Kau kira hanya cukup begitu"!" ujar Saraswati.
Lalu tegak menghadang.
Joko Sableng perhatikan gadis di hadapannya. Belum sampai dia buka mulut, Saraswati telah angkat
bicara.

Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar 131! Untuk menuju Bukit Kalingga tidak
perlu penjelasan kata-kata!"
"Bener! Tapi jika kita ke sana sekarang, urusan ini bukannya jadi selesai, tapi
akan malah makin panjang!"
"Bagaimana bisa begitu"!" kata Saraswati dengan
tertawa perlahan. "Aku hanya akan menjemput ibuku!
Dan kau tak usah khawatir. Aku nanti mungkin bisa
mencegah tindakan Ibu terhadapmu!"
"Itulah masalahnya, Saraswati.... Aku takut kita
tidak akan menemukan orang yang kau cari!"
"Jahanam!" maki Saraswati saking geramnya. "Berarti kau telah membunuh ibuku!"
'Tahan!" seru murid Pendeta Sinting kala melihat
kedua tangan Saraswati akan bergerak lepaskan
pukulan. "Ibumu memang punya ganjalan padaku.
Namun bagiku semuanya sudah berakhir. Jadi tidak
ada untungnya membuat urusan baru dengan ibumu
apalagi sampai membunuhnya!"
"Lalu apa maksud ucapanmu kita tak akan menemukan orang yang kucari"!"
"Aku tak bisa memberi jawaban. Karena aku sendiri
belum tahu apa sebenarnya yang telah terjadi pada
ibumu!" "Kau benar-benar manusia brengsek! Di depan mataku kau perlakukan ibuku dengan seenakmu! Sekarang kau masih bisa mengatakan tak tahu apa yang
terjadi padanya!"
"Itulah mengapa tadi kukatakan beri aku waktu!
Dan kita tak perlu bicara karena akan menambah
urusan jadi makin tak karuan!"
"Kau hanya cari alasan! Aku tanya sekali lagi. Kau ikut ke Bukit Kalingga
atau...." "Dia memang perlu waktu dan kesempatan!" Tibatiba satu suara menyeruak menyambuti suara Saraswati. Saraswati kancingkan mulut. Kepalanya tersentak
ke samping kanan menghadap ke arah dari mana
datangnya suara terdengar. Sementara Pendekar 131
meski terkejut, namun belum juga gerakkan kepala
berpaling. Dari suara orang, dia jelas bisa menebak jika orang yang baru muncul
adalah seorang perempuan.
Sesaat Saraswati sipitkan mata. Memandang ke
depan, dia melihat seorang gadis muda berparas luar biasa cantik mengenakan
pakaian warna merah.
"Putri Kayangan...," kata Saraswati dalam hati mengenali siapa adanya si gadis.
Dia hanya memandang
sejenak, lalu matanya memutar berkeliling. "Aneh....
Biasanya dia bersama empat laki-laki yang disebut
sebagai Tokoh-tokoh Penghela Tandu! Tapi kali ini dia muncul sendirian! Hem....
Bagaimana dia bisa berada di sini"! Dari ucapannya saat bertemu beberapa waktu
yang lalu, serta kata-katanya yang baru saja terdengar, pasti dia berpihak pada
Pendekar 131! Pasti ada apa-apa di antara kedua manusia itu!"
Dada Saraswati perlahan-lahan dirasuki perasaan
cemburu. Hingga tanpa memandang pada orang yang
baru muncul dan bukan lain memang Putri Kayangan
adanya, dia angkat bicara dengan nada dingin.
"Siapa pun adanya kau, harap tidak ikut turut
campur! Lebih dari itu harap segera angkat kaki dari sini!"
Putri Kayangan sunggingkan senyum. Lalu tanpa
sambuti ucapan Saraswati, gadis cantik ini melangkah mendekat. Namun belum
sampai melangkah terlalu
jauh, kembali Saraswati telah buka mulut dengan
nada ketus. "Harap tidak beranjak dari tempatmu sebelum urusanku selesai!" seraya berkata, Saraswati berpaling memandang pada Putri
Kayangan dengan tatapan
tidak senang. Sementara murid Pendeta Sinting segera gerakkan
kepala ke samping. Sesaat dia pandangi Putri Kayangan lalu beralih pada
Saraswati. Lalu matanya kembali tertuju lama pada Putri Kayangan. Diam-diam
dalam hati dia berkata.
"Dia muncul sendirian! Jangan-jangan dia Pitaloka!"
Tiba-tiba sepasang mata murid Pendeta Sinting mendelik. Saat lain dia melompat dan tegak hanya berjarak lima langkah dari gadis
berpakaian merah.
"Kembalikan pedangku!" bentak Pendekar 131 dengan suara keras membahana. Tangan kanannya sudah
terulur ke depan membuat gerakan meminta.
Saraswati perhatikan sikap murid Pendeta Sinting
dengan dahi berkerut. Dia coba menduga-duga.
Namun belum sampai mendapat jawaban dari dugaannya, Putri Kayangan telah buka mulut.
"Pendekar 131.... Aku bukan Pitaloka! Berarti aku
tidak membawa pedangmu...."
Murid Pendeta Sinting sekali lagi perhatikan gadis di hadapannya dengan seksama.
"Edan! Aku tak bisa
membedakan! Tapi apa betul memang ada dua Putri
Kayangan"!"
Selagi Joko membatin begitu, Putri Kayangan telah
angkat tangannya dengan telapak dibuka. "Kau tentu masih ingat dengan
keteranganku tempo hari, Pendekar 131."
"Tahi lalat pada ibu jarinya...," gumam murid Pendeta Sinting begitu melihat tahi lalat pada ibu jari tangan kiri Putri Kayangan
dan ingat akan keterangan si gadis saat berjumpa beberapa waktu yang lalu.
Putri Kayangan turunkan tangannya sambil tetap
tersenyum. Gadis ini rupanya dapat menangkap apa
yang ada dalam benak Saraswati dan Pendekar 131.
Hingga tak lama kemudian dia telah angkat bicara lagi.
"Beberapa sahabatku kali ini memang tidak Ikut
bersama. Ada sesuatu yang harus mereka selesaikan...." Putri Kayangan menoleh pada Saraswati.
Belum sampai Putri Kayangan berkata lagi, Saraswati telah mendahului.
*** DELAPAN AKU tak peduli kau Pitaloka atau Putri Kayangan.
Aku juga tak mau tahu ke mana perginya dan apa
yang diselesaikan para sahabatmu! Aku pun tak akan ulangi ucapanku. Kau tadi
telah mendengarnya! Harap segera lakukan apa yang kuminta!"
Putri Kayangan melirik pada Pendekar 131. Namun
cuma sekejap. Begitu dilihatnya sang Pendekar memandang ke arahnya, gadis berparas luar biasa cantik ini segera alihkan
pandangannya. Entah apa yang
dirasakan, yang jelas sikapnya berubah. Raut wajahnya sedikit bersemu merah. Dia
merasakan dadanya
berdebar. Hingga untuk beberapa saat dia tidak
sambuti kata-kata Saraswati meski sebenarnya dia
telah berniat untuk angkat bicara.
Mendapati sikap Putri Kayangan, dada Saraswati
mulai terbakar. Dugaan kalau di antara Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting
ada hubungan makin
kuat. Hingga rasa cemburu lebih kuat menguasai
dirinya daripada urusan yang ada kaitannya dengan
ibunya. Seperti diketahui, Saraswati sempat menyaksikan
bagaimana ibunya diseret masuk ke dalam goa oleh
Pendekar 131 di Bukit Kalingga. Dan dia sendiri
sempat pula ditotok oleh Pendekar 131 yang sebenarnya adalah Kiai Laras yang
saat itu sedang menyamar sebagai murid Pendeta Sinting.
Saraswati arahkan pandangan matanya pada Putri
Kayangan. Lalu berkata.
"Aku tanya. Kau punya urusan dengan pemuda
itu"!"
Putri Kayangan terdiam sesaat. Dia bimbang apa
yang harus diutarakan. Karena sebenarnya dia tidak ada urusan apa-apa dengan
murid Pendeta Sinting.
"Baik! Aku tak memaksamu untuk bicara! Tapi aku
menawarkan dua pilihan padamu!" Saraswati hentikan ucapannya. Matanya memandang
tak senang. Sementara Putri Kayangan belum juga buka suara.
Saraswati alihkan pandang matanya lalu teruskan
bicara. "Kau segera angkat kaki dari sini atau menunggu aku selesaikan urusan! Tapi ingat, jangan
berani buka mulut bicara apalagi ikut turun tangan!
Kalau itu kau lakukan, kau membuka urusan denganku!" "Hem.... Aku sekarang yakin kalau gadis ini adalah pemuda berkumis yang tempo
hari jumpa denganku....
Dari bicaranya dia memang punya silang sengketa
dengan murid Pendeta Sinting. Namun nada suaranya
lebih menunjukkan kalau dia cemburu...." Putri
Kayangan membatin dalam hati. Saat muncul tadi, dia masih menduga-duga siapa
adanya Saraswati. Namun
setelah menyimak ucapan Saraswati dan memperhatikan paras wajahnya lebih seksama, pada akhirnya
Putri Kayangan bisa menebak siapa adanya Saraswati yang beberapa waktu lalu
pernah jumpa dengannya.
Hanya saja saat itu Saraswati tengah menyamar
sebagai pemuda berkumis tipis.
Setelah membatin begitu, Putri Kayangan yang tetap saja sunggingkan senyum walau
nada ucapan Saraswati terdengar ketus, melangkah dua tindak ke belakang seraya
berujar. "Kau tak usah khawatir aku akan ikut campur urusanmu.... Namun kalau boleh, aku hanya ingin bicara!
Bukan apa-apa, aku hanya tak ingin melihat urusan
berkembang jadi besar dengan salahnya turun tangan!" "Hem.... Kau sepertinya tahu banyak semua urusan
orang! Padahal apa kau tahu dengan mata kepalamu
sendiri apa yang dilakukan pemuda itu, hah"!"
Putri Kayangan gelengkan kepala. Matanya sesekali
melirik pada Pendekar 131 yang masih tegak tanpa
buka mulut. "Bagus! Kau tidak melihat apa yang dilakukannya.
Sementara aku melihat di depan mataku sendiri apa
yang dilakukannya! Jadi aku tidak butuh ucapanmu!
Dan jangan berdalih dengan mengatakan tidak mau
melihat urusan jadi berkembang besar dengan salah
turun tangan!" Saraswati tertawa sesaat. Lalu lanjutkan ucapan dengan suara makin keras.
"Aku tidak gila hingga sampai salah turun tangan!
Pemuda macam dia bukan saja pantas dihajar dengan
tangan, namun adalah salah besar jika membiarkannya hidup!"
"Apa yang kau lihat dengan mata belum tentu benar...," ujar Putri Kayangan dengan suara kalem.
"Kalau yang melihat dengan mata belum tentu benar, lalu bagaimana yang tidak melihat sendiri, hah"!"
sahut Saraswati.
"Maksudku bukan begitu...."
"Lalu"!" bentak Saraswati.
"Yang kau lihat saat itu mungkin saja dia. Namun
itu hanyalah wajahnya saja! Orangnya lain.... Bukankah kau sendiri ketika
bertemu denganku mengenakan wajah orang lain"!"
Saraswati terdiam. Namun dadanya makin menggelegak panas. Sambil alihkan pandang matanya dia
berkata. "Sekarang kutanya. Apa maumu sebenarnya"!"
"Aku hanya ingin bicara...."
"Bicara sama siapa"! Aku atau pemuda itu"!"
"Sama kau dan dia...."
"Dengar! Aku tak butuh bicara denganmu! Kalau
kau mau bicara dengan dia, silakan! Tapi tunggu
sampai urusanku dengannya selesai! Kau mengerti"!"
"Urusanmu tak akan selesai kalau kau bersikap
bermusuhan begitu rupa...."
Saraswati tertawa mendengar kata-kata Putri
Kayangan. "Aku tidak merasa bermusuhan! Aku hanya
tak ingin kau ikut campur! Tapi kalau kau ikut campur, aku bersedia melayani apa
maumu!" Ucapan tantangan Saraswati bukannya membuat
Putri Kayangan marah, sebaliknya gadis ini gelengkan kepala perlahan. Lalu
berujar. "Kau jangan salah paham. Aku tahu kau memiliki
ilmu tinggi. Sementara aku hanya orang biasa tak
punya kepandaian apa-apa! Aku hanya bisa bicara....
Dan mungkin hanya itulah yang bisa kuperbuat!"
"Kau sok merendah agar orang menjadi tertarik padamu! Hem.... Kau jangan khawatir kalau dia tertarik padaku! Mustahil itu
terjadi, karena dia adalah salah satu manusia yang harus kulenyapkan!"
Putri Kayangan tergagap dan salah tingkah dengan
ucapan Saraswati. Wajahnya berubah dan tidak berani memandang pada murid Pendeta
Sinting. Dia merasa
seolah-olah Saraswati sudah tahu apa yang ada dalam benaknya.
Di lain pihak, Pendekar 131 sendiri tampak terkejut dengan ucapan Saraswati. Dia
hendak berucap,
namun Saraswati sudah mendahului berkata.
"Sekarang mungkin kau sudah lega! Namun jangan
salahkan aku kalau saat ini juga kau sudah menjadi hitungan musuhku!"
"Saraswati...," sahut murid Pendeta Sinting yang
sudah tidak sabar mendengar ucapan-ucapan keras
Saraswati. "Yang kau temui di bukit itu bukan aku!
Namun seseorang yang menyamar sebagai diriku!"
"Silakan bicara panjang lebar, Pendekar! Tapi jangan harap ucapanmu bisa merubah apa yang akan
kulakukan padamu! Dan jangan kira aku mundur
meski kalian maju bersama!"
"Saraswati...," kata Putri Kayangan. "Kau terlalu
jauh menduga padaku.... Aku tahu, ucapanmu tadi
semata-mata hanya karena kau cemburu padaku!"
Putri Kayangan kembali gelengkan kepala. "Tahu
begini akhirnya, aku sangat menyesal berada di sini.
Seandainya tidak ada aku, mungkin urusan ini bisa
kalian selesaikan dengan cara baik-baik...."
Saraswati kembali perdengarkan tawa panjang.
"Perlu kau tahu. Urusan ini tidak akan pernah selesai hanya dengan bicara baikbaik! Dia atau aku yang
nanti mampus, itulah yang menentukan selesai
tidaknya urusan ini! Jadi kau salah besar jika mengatakan ucapanku karena
cemburu! Adalah manusia
biadab yang masih menaruh perasaan cemburu pada


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang telah melakukan tindakan semena-mena
pada ibunya!"
"Hem.... Benar juga pesan Eyang Guru. Perempuan
hanya mendatangkan masalah...." Diam-diam murid
Pendeta Sinting teringat akan ucapan Pendeta Sinting.
"Urusan satu belum selesai, kini timbul lagi masalah baru...."
"Saraswati...," kata Pendekar 131 setelah agak lama tidak ada yang buka mulut.
"Kalau kau masih menganggap aku yang melakukannya, baiklah! Tapi
kuharap kau memberi ku kesempatan beberapa lama.
Kelak aku akan datang mencarimu dan kau bisa
lakukan apa yang kau mau padaku!"
"Enak saja kau bicara! Apa kau lupa" Bagaimana
saat itu aku merengek-rengek agar kau melepaskan
ibuku. Tapi apa yang kau lakukan"! Kau pura-pura
tuli! Bahkan semakin kau buat-buat!" Saraswati
berpaling pada murid Pendeta Sinting. "Tidak! Kesem-patanmu sudah terlalu lama!
Dan waktu itu kini sudah habis! Kecuali jika kau bersedia ikut ke Bukit Kalingga
dan ibuku dalam keadaan baik!"
Pendekar 131 menghela napas seraya memandang
pada Putri Kayangan. Putri Kayangan sendiri saat itu tengah memandang ke
arahnya. Hingga untuk beberapa saat kedua orang ini saling berpandangan. Namun Putri Kayangan buru-buru alihkan pandangannya kala Saraswati menoleh.
"Saraswati! Permintaanmu tidak bisa kulakukan!"
kata murid Pendeta Sinting. "Karena aku telah tahu jika ibumu tidak ada di Bukit
Kalingga!"
"Itu berarti di antara kita tidak akan ada yang angkat kaki dari sini sebelum
mampus salah satunya!"
Selesai berucap begitu, Saraswati telah melompat
dan langsung menyergap ke arah Joko dengan lepaskan pukulan ke arah kepala.
Putri Kayangan berkelebat mundur. Sementara karena tidak ada kesempatan lagi bagi Joko untuk
menghindar, terpaksa dia angkat kedua tangannya
menghadang pukulan Saraswati.
Bukkk! Bukkk! Saraswati berseru tertahan. Sosoknya tersurut tiga langkah dengan paras berubah.
Kedua tangannya yang baru saja berbenturan dengan kedua tangan murid
Pendeta Sinting tampak bergetar keras. Di hadapannya, Joko meringis namun sosoknya hanya bergoyanggoyang. Saraswati lipat gandakan tenaga dalam. Sosoknya
makin bergetar. Tanda tenaga dalam yang dikerahkan sudah sangat kuat.
"Saraswati, tunggu!" seru Putri Kayangan. "Kita
semua nanti akan menyesal karena termakan fitnah!"
Saraswati memandang angker pada Putri Kayangan.
"Siapa yang kau maksud kita"! Dengar, hanya manusia dungu yang merasa menyesal dengan kematiannya!
Dan aku bukan manusia dungu! Aku bukan termakan
fitnah! Tapi kau yang termakan perasaan!"
"Dari tadi ucapanmu tidak enak...."
"Hem.... Lalu kau mau apa"! Kau kuberi kesempatan untuk maju bersama-sama!"
Putri Kayangan coba menekan perasaannya yang
mau tak mau mulai jengkel. Di lain pihak, Saraswati makin dibuncah rasa cemburu.
Sementara Pendekar
131 belum juga menemukan jalan untuk menyadarkan
Saraswati. Ketika ditunggu sesaat Putri Kayangan tidak menyahut ucapannya juga tidak membuat gerakan,
Saraswati arahkan pandang matanya pada Joko.
Kedua tangannya diangkat. Dia melirik pada Putri
Kayangan. Saat lain kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang angin dahsyat melesat ganas ke
arah murid Pendeta Sinting. Kali ini Joko tidak tinggal diam. "Gadis keras
kepala begini sesekali perlu diberi peringatan.... Meski sebenarnya sayang ini
harus terjadi!" Pendekar 131 angkat kedua tangannya. Lalu disentakkan ke depan menyongsong gelombang angin yang
datang. Wuutt! Wuutt! Dari kedua tangan murid Pendeta Sinting mencuat
dua gelombang yang perdengarkan deruan keras. Saat lain terdengar ledakan kala
gelombang angin dari
kedua tangan Saraswati bentrok dengan dua gelombang dari tangan Joko.
Sesaat Saraswati rasakan pijakannya goyah. Kejap
lain sosoknya mencelat mental hingga satu setengah tombak ke belakang. Gadis ini
coba imbangi diri,
namun gagal. Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya
melaju deras. Tapi dua jengkal lagi sosoknya terbanting di atas tanah, satu
bayangan berkelebat dan
menyambar pundak Saraswati. Meski sambaran ini
tidak bisa menahan gerakan Saraswati hingga jatuh
terduduk, namun setidaknya mampu menahan Saraswati dari terbanting di atas tanah.
Saraswati cepat berpaling. Namun saat itu juga
kembali kepalanya disentakkan ke lain jurusan dengan
mulut perdengarkan suara ketus dan dingin.
"Aku tak butuh bantuanmu! Dan jangan mimpi
tindakanmu ini bisa menghalangi apa yang akan
kulakukan padanya!"
"Kau masih juga berprasangka buruk padaku....
Padahal aku hanya tak ingin melihatmu terluka...."
Yang menyahut dan baru saja menyelamatkan Saraswati ternyata adalah Putri Kayangan.
"Cukup!" sentak Saraswati seraya bergerak bangkit.
"Kalau kau tak ingin melihatku terluka, aku juga tak ingin mendengar kau bicara
manis di depanku! Aku
muak melihat dan mendengarnya! Kau dengar, aku
muak!" Putri Kayangan menghela napas lalu melangkah
menjauh sambil berkata perlahan. "Baiklah.... Tidak susah menuruti apa yang kau
inginkan! Silakan kau
lakukan apa yang kau mau...."
Tanpa menyambuti ucapan Putri Kayangan, Saraswati kembali kerahkan tenaga dalam pada kedua
tangannya. Sementara di seberang sana, murid Pende-ta Sinting terlihat raguragu. Di satu sisi, kalau dia tidak menghadang pukulan Saraswati tentu dia akan
terluka. Sementara kalau dia terpaksa menyambuti
pukulan Saraswati, dia maklum apa yang akan terjadi pada gadis itu. Padahal dia
tidak mau Saraswati
terluka. Karena bukan saja akan menambah urusan,
namun akan semakin menorehkan dendam di dada
Saraswati. Selagi murid Pendeta Sinting dilanda kebimbangan,
tiba-tiba di depan sana Saraswati telah membuat
gerakan melompat. Kedua tangannya berkelebat
lepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam kuat.
"Biarkan dia hidup untuk buktikan ucapannya!"
Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Satu bayangan
berkelebat. Saat yang sama satu gelombang yang
disertai pijakan bunga-bunga api melesat menghadang pukulan Saraswati.
Blamm! Terdengar ledakan keras membuat tempat itu bergetar. Di atas udara terlihat hamburan gelombang
bercampur tanah dan percikan bunga-bunga api.
Saraswati terkesiap. Belum sempat dia melihat siapa adanya orang yang baru saja berteriak dan menghadang pukulannya, sosoknya telah terdorong deras ke belakang tapi tidak sampai
terjatuh. Begitu dapat kuasai diri, Saraswati cepat berpaling sambil mendengus. Putri
Kayangan dan Pendekar 131
ikut pula gerakkan kepala masing-masing ke kanan.
"Siapa dia"!" desis Saraswati sambil memandang
tajam ke depan.
Putri Kayangan tampak pula kernyitkan dahi dengan dada bertanya-tanya. Sementara murid Pendeta
Sinting terlihat angkat bahu dengan paras muka
tegang. Diam-diam dia mengeluh dalam hati. "Celaka.... Aku bisa kaku sendiri kalau tidak segera angkat kaki!"
"Orang tak dikenal! Siapa kau"!" Saraswati sudah
membentak dengan mata terus perhatikan pada sosok
yang tegak di seberang depan.
*** SEMBILAN DIA adalah seorang gadis yang juga mengenakan
pakaian warna merah. Wajahnya cantik. Rambutnya
hitam lebat dikuncir tinggi hingga lehernya yang putih jenjang terlihat jelas.
Gadis berpakaian merah yang rambutnya dikuncir
ini gerakkan kepala memandang pada Pendekar
Pedang Tumpul 131 Joko Sableng. Tapi cuma sesaat.
Lalu alihkan pandang matanya pada Putri Kayangan.
Agak lama dia memperhatikan. Sukar ditebak arti
pandangannya. Namun Putri Kayangan sempat tidak
enak tatkala gadis yang baru muncul alihkan pandangannya pada Saraswati yang
seraya tersenyum agak
sinis. Begitu pandang matanya beradu dengan mata Saraswati, gadis yang baru datang langsung buka suara.
"Siapa diriku tidaklah begitu penting untuk kita
bicarakan saat ini! Yang jelas kita punya urusan
dengan orang yang sama!"
"Dewi Seribu Bunga.... Rupanya dia belum juga
percaya!" kata murid Pendeta Sinting dalam hati
mengenali siapa adanya gadis berpakaian merah yang baru saja muncul. Gadis ini
bukan lain memang Dewi Seribu Bunga. Seorang gadis bekas murid tunggal
seorang tokoh beraliran hitam bergelar Maut Mata
Satu yang kemudian diambil murid oleh Dewi Es
setelah terjadinya peristiwa di Pulau Biru.
Seperti diketahui pula, Dewi Seribu Bunga punya
ganjalan urusan dengan murid Pendeta Sinting karena dia pernah hampir saja
diperkosa oleh Kiai Laras yang saat itu juga tengah menyamar sebagai Pendekar
131. Meski Dewi Seribu Bunga pernah diberi penjelasan
oleh Dayang Sepuh dan Datuk Wahing jika bukan
murid Pendeta Sinting yang melakukannya, namun
gadis ini tampaknya belum percaya betul.
"Apa urusanmu"!" Kembali Saraswati ajukan tanya.
Dewi Seribu Bunga gelengkan kepala sambil berucap. "Urusannya terlalu tidak pantas diucapkan di
tempat ini!"
Jawaban Dewi Seribu Bunga membuat Saraswati
mulai geram. "Kau tidak mau sebutkan diri. Kau juga tak mau katakan urusannya!
Jangan-jangan kau
hanya manusia yang cari-cari alasan untuk bisa
campuri urusanku! Terbukti kau sengaja menghalangi tanganku yang hendak
membunuhnya!"
"Kalau tindakanku kau anggap menghalangi niatmu, aku minta maaf! Tapi untuk sementara ini aku
akan menghalangi siapa saja yang hendak membunuhnya!" "Hem.... Berarti kau tidak punya urusan dengannya! Justru kau membuat urusan denganku!"
"Kalau aku akan menghalangi siapa saja yang hendak membunuhnya, bukan berarti aku tidak punya
urusan dengannya! Aku hanya ingin dia hidup untuk
sementara waktu dan membuktikan semua ucapannya! Setelah itu baru tanganku sendiri yang akan
bertindak! Dan kalau kau masih punya urusan dengannya, kita bisa berbagi satu nyawanya!"
"Hem.... Rasanya percuma aku bicara kalau keadaannya sudah begini!" gumam murid Pendeta Sinting pada dirinya sendiri. "Lebih
baik aku segera menyingkir!" Joko melirik ke samping kanan kiri lalu memandang
dengan ekor matanya pada ketiga gadis di
seberang sana. "Kita perlu bicara sebentar, Pendekar 1311" Tibatiba Dewi Seribu Bunga sudah menegur tatkala dia
menangkap gelagat.
Pendekar 131 Joko Sableng urungkan niat yang
hendak berkelebat. Namun dia tidak berusaha buka
mulut. "Kau punya waktu untuk buktikan bahwa bukan
kau yang melakukannya! Tapi jangan main-main
dengan kesempatan ini! Hampir semua orang rimba
persilatan sekarang telah tahu tentang dirimu! Kalaupun kau lolos dari tanganku
dan tangan gadis berbaju kuning itu, kau tak akan lolos dari tangan orang yang
kini mengincar nyawamu!"
"Hem.... Hanya itu yang perlu kau bicarakan"! Atau masih ada peringatan lagi?"
tanya Joko tanpa memandang pada Dewi Seribu Bunga atau Saraswati. Sebaliknya dia arahkan pandang matanya pada Putri
Kayangan. Membuat Putri Kayangan tidak enak pada
Saraswati maupun Dewi Seribu Bunga. Namun diamdiam gadis ini juga merasa gembira diperhatikan
begitu rupa. Karena Dewi Seribu Bunga tidak menjawab, perlahan-lahan murid Pendeta Sinting balikkan tubuh dan melesat pergi. Bersamaan itu
Saraswati melompat ke arah Dewi Seribu Bunga seraya berkata.
"Terlalu enak jika dia dibiarkan pergi begitu saja!
Dan aku tak akan tinggal diam!"
Dewi Seribu Bunga mencekal lengan Saraswati yang
hendak berkelebat mengejar. "Untuk saat ini biarkan dia pergi! Ini tak akan
lama! Mula-mula aku memang punya perasaan sama sepertimu. Tapi sekarang aku
mulai percaya pada ucapannya meski masih perlu
bukti nyata!"
Entah apa yang terpikir dalam benak Saraswati.
Yang jelas dia tidak lagi berniat mengejar murid
Pendeta Sinting yang sudah melangkah jauh.
"Kurasa sekarang saatnya kau mengatakan siapa
Pendekar Pemetik Harpa 33 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Bangau Sakti 34

Cari Blog Ini