Ceritasilat Novel Online

Jubah Tanpa Jasad 3

Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Bagian 3


dirimu!" Tiba-tiba Saraswati buka mulut dengan mata memandang jauh ke arah
lenyapnya sosok Pendekar
131. "Aku harus segera pergi. Kelak kalau ada kesempatan yang baik, kita akan lanjutkan pembicaraan ini!"
sahut Dewi Seribu Bunga seraya melangkah tinggalkan
tempat itu. Namun gadis ini mendadak hentikan langkah. Kepalanya memutar. Saat yang sama Saraswati membuat
gerakan seperti Dewi Seribu Bunga. Karena ternyata Putri Kayangan juga sudah
pergi tinggalkan tempat itu.
"Siapa gadis itu"!" Yang ajukan tanya Dewi Seribu
Bunga. "Kelak kau akan mengetahui sendiri!" jawab Saraswati. Dewi Seribu Bunga berpaling memandang pada Saraswati. Saraswati balas memandang. Namun keduanya sama kancingkan mulut. Tanpa buka suara,
akhirnya Dewi Seribu Bunga teruskan langkah tinggalkan tempat itu. Saraswati pandangi bagian belakang sosok Dewi Seribu Bunga. Seraya tersenyum
dingin dia berlalu dengan mengambil jurusan berlawa-nan.
*** Kita tinggalkan dahulu murid Pendeta Sinting dan
ketiga gadis cantik yang dalam hati masing-masing sebenarnya punya perasaan
hampir sama, yakni
tertarik pada Pendekar 131 Joko Sableng. Sekarang
kita ikuti perjalanan Setan Liang Makam yang dadanya dilanda gemuruh luar biasa
saat mengetahui Kembang Darah Setan yang diberikan padanya oleh Kiai Laras yang
saat itu menyamar sebagai Pendekar 131 adalah Kembang Darah Setan palsu.
Pada satu tempat, Setan Liang Makam hentikan
larinya dengan mulut megap-megap karena dia baru
saja berlari laksana orang kesetanan. Sambil berlari, dia terus berpikir, ke
mana harus mencari Pendekar 131 yang menurutnya sudah membuat dua kesalahan
besar dan tak mungkin diampuni.
"Hem.... Sialan keparat betul! Rahasia Kampung
Setan sudah kuketahui! Tapi nyatanya aku belum bisa menggenggam semuanya! Ini
gara-gara ulah Pendekar
131 keparat itu! Bisa-bisanya dia memalsu Kembang
Darah Setan! Ke mana sekarang aku harus mencari
bangsat sialan itu"!"
Selagi Setan Liang Makam berpikir, agak jauh di
belakang sana, satu sosok tubuh tampak berkelebat
lalu menyelinap ke balik sebuah pohon besar. Dia
adalah seorang gadis berparas cantik jelita mengenakan pakaian warna merah.
Begitu berada di balik batangan pohon, si gadis
segera pentangkan mata dan memandang tak berkesip
ke arah Setan Liang Makam. Karena saat itu Setan
Liang Makam tegak membelakangi, si gadis belum bisa menebak dan melihat
bagaimana raut wajah orang.
Dia hanya bisa memastikan jika orang itu adalah
seorang laki-laki.
"Sikap orang itu sepertinya sedang kalut.... Siapa dia sebenarnya"! Hem.... Apa
aku harus bertanya
padanya ke mana arah yang harus kuambil jika ingin ke Kampung Setan"! Kampung
Setan.... Aku tetap
harus segera ke sana! Kembang Darah Setan yang
dikabarkan orang berada di tangan Pendekar 131 Joko Sableng ternyata omong
kosong! Pemuda itu tidak
membawa Kembang Darah Setan. Dan pasti Kembang
Darah Setan masih berada di Kampung Setan seperti
keterangan yang selama ini kudengar.... Dengan
membekal pedang sakti, tentu aku lebih mudah
memasuki Kampung Setan...!" Tangan gadis berpakaian merah bergerak ke balik pakaiannya. Dia merasakan tangannya menyentuh
sebuah pedang. Bibirnya
tersenyum. "Pedang Tumpul 131 tentu bukan senjata sembarangan. Benda ini kudengar pernah menjadi rebutan
orang dunia persilatan! Dan pedang ini kini berada di tanganku.... Hem....
Sebaiknya aku bertanya pada
orang itu! Siapa tahu dia bisa memberi petunjuk arah Kampung Setan...."
Memikir sampai di situ gadis berpakaian merah
segera beranjak dari balik batangan pohon. Namun
tiba- tiba Setan Liang Makam yang berada di depan sana tengadahkan kepala dan
memutar tubuh. Hingga
si gadis urungkan niat dan buru-buru rapatkan tubuh ke batangan pohon.
"Aku harus berhati-hati dalam urusan ini.... Aku
harus yakinkan dahulu siapa adanya orang!" kata si gadis dalam hati lalu arahkan
pandang matanya
kembali ke arah Setan Liang Makam.
Mendadak paras muka gadis berpakaian merah
berubah. Matanya mementang besar.
"Setan Liang Makam!" desis gadis berpakaian merah
mengenali siapa adanya orang yang tegak di depan
sana. "Apakah aku harus bertanya padanya"!"
Setelah memikir agak lama, akhirnya dengan tabahkan hati si gadis memutuskan untuk keluar dari
balik batangan pohon. Saat yang sama, di depan sana Setan Liang Makam kembali
telah putar tubuh hingga sosoknya membelakangi si gadis.
Gadis berpakaian merah melangkah dari balik pohon ke arah Setan Liang Makam dengan mata tak
berkesip. Namun hingga jarak antara dia dengan orang yang didekati tinggal tujuh
langkah, si gadis tidak melihat Setan Liang Makam membuat gerakan atau
perdengarkan suara.
"Dari cara berkelebatnya tadi, adalah aneh kalau
dia tidak merasakan kehadiranku di belakangnya!
Atau ini karena pikirannya sedang dalam keadaan
kalut"!" seraya menduga-duga, gadis berpakaian
merah hentikan langkah. Dia menunggu beberapa saat dengan dada makin berdebar
teringat akan keangkeran paras wajah orang.
Namun setelah ditunggu lama orang di depannya
tidak juga perdengarkan teguran, gadis berpakaian
merah habis kesabaran. Apalagi dia mengira orang itu pasti tahu kehadirannya.
Gadis berpakaian merah buka mulut. Namun belum
sampai perdengarkan suara, tiba-tiba Setan Liang
Makam telah balikkan tubuh seraya membentak
garang. "Siapa kau"! Mengapa dari tadi mengintip ku"!"
Gadis berpakaian merah tersentak kaget. Mulutnya
yang menganga, mengatup, dan terkancing rapat.
Hanya sepasang matanya yang pandangi orang.
Sementara itu begitu melihat gadis di hadapannya,
Setan Liang Makam mendengus keras. Matanya yang
melotot memperhatikan sesaat lalu mengedar berkeliling.
"Ke mana empat anjing-anjing gundulnya"! Apa
mereka telah mampus"!" kata Setan Liang Makam
dalam hati. Lalu angkat suara.
"Kau tentu masih ingat ucapanku, Gadis Sialan!
Hamparan bumi akan kubuat sempit untuk tempatmu
bersembunyi!" Tiba-tiba Setan Liang Makam tertawa
ngakak. Lalu lanjutkan ucapan. "Kau sekarang bisa
buktikan sendiri ucapanku! Kau harus jumpa denganku lagi!" Gadis berpakaian merah kernyitkan kening. "Aku
memang pernah bertemu dengan manusia ini, tapi dari nada ucapannya jelas
dikiranya aku adalah Beda Kumala.... Hem.... Pasti ada ganjalan antara dia
dengan Beda Kumala. Bagaimana sekarang" Apakah aku akan
bertanya padanya tentang di mana Kampung Setan"!
Ah.... Sudah telanjur. Aku akan bertanya. Siapa tahu dia bisa memberi
keterangan! Dan aku akan berpura-pura sebagai Putri Kayangan!"
Setelah membatin begitu, gadis berpakaian merah
yang sebenarnya bukan lain adalah Pitaloka, gadis
yang telah berhasil membawa Pedang Tumpul 131
milik murid Pendeta Sinting, buka suara.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi. Tidak keberatan kalau kau memberi satu keterangan padaku"!"
Pertanyaan Pitaloka membuat Setan Liang Makam
kembali perdengarkan suara gelakan tawa panjang
seraya berucap.
"Keterangan telah membuat hidupku sengsara!"
"Itu karena kau salah memberi keterangan pada
orang!" sahut Pitaloka. "Aku minta keterangan bukan demi kepentingan sendiri.
Mungkin kau nanti bisa juga mengambil keuntungan!"
"Aku tak butuh tawar menawar keuntungan!"
"Kau yakin tidak akan menyesal"!"
"Jahanam! Kau yang minta keterangan, mengapa
aku harus menyesal"!"
"Ah, sudahlah.... Kalau kau keberatan memberi
keterangan, aku tidak memaksa. Hanya saja aku perlu memberi penjelasan padamu!"
"Penjelasan apa"!"
"Kita memang pernah bertemu di Bukit Kalingga!
Tapi kau jangan kaget bila bertemu orang sepertiku, tapi bukan aku!" ujar
Pitaloka seraya tersenyum.
Kening Setan Liang Makam bergerak-gerak, tanda
dia tengah berpikir.
"Sikapnya memang lain.... Aneh.... Beberapa saat ini aku menemukan orang yang
wajahnya hampir sama...!
Satunya lagi si keparat jahanam pemuda itu! Kini
gadis ini...! Tapi apa peduliku"! Dia gadis yang kutemui beberapa waktu lalu atau bukan yang jelas gadis itu...."
Belum sampai Setan Liang Makam teruskan membatin, Pitaloka telah angkat suara lagi. "Kulihat kau tadi tengah memikirkan
sesuatu. Mau katakan apa
yang membuatmu kalut"!"
Setan Liang Makam sudah hendak membentak.
Namun diurungkan saat terlintas pikiran jika saat ini dia tengah mencari
Pendekar 131. "Kau tengah mencari seseorang"!" Entah karena
apa, tiba-tiba Pitaloka ajukan tanya begitu. Gadis ini hanya berpikir, jika
seorang berilmu tengah dilanda kekalutan, maka urusannya adalah dia punya
ganjalan dengan seseorang yang belum bisa diselesaikan.
"Bukan hanya seorang yang kucari!" Setan Liang
Makam menyahut.
"Hem.... Jawabannya membuktikan kalau dia punya
beberapa orang yang dianggapnya musuh." Pitaloka
simpulkan ucapan Setan Liang Makam lalu bertanya.
"Mau sebutkan siapa mereka"!"
"Apa urusanmu hendak ikut campur"!"
"Aku hanya bertanya.... Siapa tahu aku mengetahui
orang yang tengah kau cari!"
"Sayang.... Aku sudah tidak percaya lagi pada mulut orang!"
"Itu hanya akan membuatmu makin kalut dan menemui jalan buntu! Dan perlu kau tahu, aku bukanlah manusia yang suka bicara
dusta!" "Aku sudah sering mendengar sumpah busuk!"
Pitaloka tersenyum. "Baiklah.... Kau tidak mau
mengatakannya. Berarti tak ada gunanya kita teruskan pembicaraan ini!" Pitaloka putar diri. Namun bersamaan dengan itu
mendadak Setan Liang Makam
tertawa pendek sambil berkata.
"Kau kira bisa pergi begitu saja"!"
Pitaloka urung langkahkan kaki. Lalu perdengarkan
suara agak keras. "Di antara kita tidak ada silang sengketa! Kuharap kau tidak
memulai silang sengketa itu!"
"Silang sengketa telah kau mulai beberapa waktu
yang lalu!"
"Hem.... Lalu apa maumu sekarang"!"
"Nyawamu!"
Seakan maklum dengan siapa kini berhadapan,
Pitaloka tidak mau bertindak ayal. Dia cepat selinapkan tangan ke balik pakaiannya. Saat tangan itu ditarik keluar, tampak sebuah
pedang bersarung
warna kuning yang pancarkan cahaya. Pitaloka cepat balikkan tubuh menghadap
Setan Liang Makam.
"Kau kira pedang butut itu mampu menyelamatkan
nyawamu"! Ha.... Ha.... Ha...! Daripada kau rasakan bagaimana sakitnya sedang
sekarat, lebih baik kau
cabut pedang itu dan bunuh diri! Itu akan menyelamatkanmu dari merasakan nikmatnya sekarat!"
Pitaloka tersenyum dingin. Perlahan-lahan tangan
kirinya bergerak mencekal sarung pedang. Pada saat yang sama tangan kanannya
bergerak menarik gagang
pedang keluar dari sarungnya.
Melihat apa yang dilakukan Pitaloka, Setan Liang
Makam makin keraskan tawanya. Sambil gerakkan
kepala tengadah, dia berkata.
"Bagus! Gadis cantik dan muda sepertimu memang
terlalu sayang jika harus rasakan nikmatnya meregang nyawa! Bunuh diri adalah
satu-satunya jalan terbaik!"
"Adalah tindakan bodoh jika turuti ucapanmu! Aku
mengeluarkan pedang ini bukan untuk bunuh diri!
Tapi dengan pedang ini aku akan tentukan nasibmu!"
Setan Liang Makam terus tertawa dan berkata. "Kau
tidak mau tahu tingginya langit dalamnya lautan! Kau tidak melihat siapa yang
tengah tegak di hadapanmu!"
"Justru matamu yang buta tidak mau melihat pedang apa yang ada di tanganku! Kau boleh punya ilmu setinggi langit selebar
lautan! Tapi pedang di tanganku jangan kira tak mampu menghadangnya!"
Sepasang mata Setan Liang Makam yang memandang ke hamparan langit tiba-tiba melihat cahaya
berkilau kekuningan semburat di udara. Laksana
disentak setan, kepala Setan Liang Makam berpaling ke arah Pitaloka.
Pitaloka tegak dengan tangan kiri memegang sarung
pedang sementara tangan kanan menghunus tinggitinggi sebuah pedang berwarna kekuningan yang
pancarkan cahaya berkilau hingga untuk beberapa
saat cucu Nyai Suri Agung itu harus sipitkan mata.
"Buka matamu lebar-lebar! Lihat pedang di tanganku!" Entah karena apa, Setan Liang Makam turuti ucapan Pitaloka. Dia perhatikan dengan seksama pedang yang pancarkan cahaya
kekuningan di tangan Pitaloka. Sebuah pedang bergagang hijau dari batu giok
yang tidak begitu panjang dan bagian ujungnya
tampak tumpul. Tiba-tiba Setan Liang Makam pentang mata makin
besar ketika melihat angka 131 yang terdapat pada
kerangka pedang.
***

Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SEPULUH PEDANGNYA tumpul. Pada kerangkanya terdapat
angka 131. Pasti pedang itu masih ada hubungannya
dengan pemuda jahanam itu!"
Berpikir begitu, Setan Liang Makam segera perdengarkan bentakan keras.
"Apa hubunganmu dengan Pendekar 131 keparat
itu, hah"!"
"Bagus! Berarti kau telah mengenalinya!" ujar Pitaloka. "Sebenarnya aku ingin
memberi keterangan
padamu. Namun kupikir tidak ada gunanya memberi
keterangan pada manusia yang nasibnya hampir
sampai!" Setan Liang Makam mendengus. Tulang rahangnya
terangkat. Saat lain cucu Nyai Suri Agung ini melesat ke udara. Di atas udara
kedua tangannya bergerak.
Wuutt! Wuutt! Pitaloka merasakan dorongan gelombang angin
dahsyat hingga sosoknya sesaat bergoyang-goyang.
Pitaloka rupanya sadar, kalau gelombang sebenarnya belum sampai tapi biasnya
telah membuat sosoknya
bergoyang, tentu orang yang dihadapi memiliki tenaga dalam luar biasa tinggi.
Sadar begitu, Pitaloka cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu didahului bentakan garang, sosoknya
melesat ke depan menyongsong tubuh Setan Liang
Makam dengan tangan kanan babatkan Pedang
Tumpul 131. Namun gerakan Pitaloka tertahan karena saat itu
gelombang yang melesat keluar dari kedua tangan
Setan Liang Makam telah memburu ke arahnya.
Pitaloka tak hendak urungkan niat. Dia tetap kelebatkan tangan kanan yang menggenggam pedang.
Wuutt! Terdengar gemuruh hebat. Cahaya kuning berkiblat
angker. Gelombang angin yang datang dari arah depan Pitaloka laksana ditebas
kekuatan dahsyat. Hingga
gelombang itu langsung buyar semburat.
Setan Liang Makam terbelalak dan merasakan sosoknya terdorong. Dia cepat kuasai diri lalu melayang turun dengan menyeringai.
Namun sejauh ini dia
masih kancingkan mulut. Hanya matanya yang memandang tak berkesip pada pedang di tangan Pitaloka.
Pitaloka tersenyum mengejek. "Kau sekarang tahu
siapa yang kau hadapi! Membunuhmu saat ini semudah membalik telapak tangan! Tapi kau tak akan
rasakan kematian kalau kau mengatakan silang
sengketa apa antara kau dan Pendekar 131!"
"Bicaramu terlalu tinggi, Keparat! Aku jadi ingin
bukti apa benar pedang butut ini mampu melukai ku!"
Setan Liang Makam angkat kedua tangannya.
"Tahan!" Pitaloka berseru namun tangan kanannya
yang memegang pedang tetap diacungkan ke atas.
"Perlu kau tahu. Pemuda pemilik pedang ini punya
urusan besar denganku! Dari makianmu tadi, kurasa
dia salah seorang yang kau cari! Benar"!"
"Kau tak akan mendapat jawaban!" hardik Setan
Liang Makam. Pitaloka sunggingkan senyum. "Kalau aku dengan
mudah bisa mengambil pedangnya, bagiku mudah
pula mengambil selembar nyawanya! Kalau kau
memang mencarinya, aku bisa tunjukkan!"
Sesaat Setan Liang Makam terdiam. Sementara Pitaloka terus membatin. "Kalau benar manusia ini
mencari Pendekar 131 pasti masih ada kaitannya
dengan Kembang Darah Setan. Hem.... Siapa tahu dari
mulutnya aku mendapat keterangan berharga...."
Memikir begitu, akhirnya Pitaloka buka mulut setelah ditunggu Setan Liang Makam tidak juga perdengarkan suara. "Saat ini, siapa pun juga pasti tengah mencari pemuda itu! Dan aku tahu pasti apa alasan mereka
mencarinya! Apa kau mencari dengan alasan yang
sama seperti mereka"!"
Walau dengan mimik marah dan seolah enggan buka mulut, namun akhirnya Setan Liang Makam jawab
juga pertanyaan Pitaloka.
"Mereka hanya orang-orang dungu yang hendak
memiliki benda orang lain!"
"Ucapanmu aneh.... Apa maksudmu"!" tanya Pitaloka tak mengerti maksud ucapan Setan Liang Makam.
"Mereka yang mencari pemuda itu bermaksud memiliki benda yang kini di tangannya! Tapi aku tidak!
Aku mencarinya justru ingin mengambil benda milikku yang sekarang ada di
tangannya!"
Pitaloka kerutkan dahi. Namun tak lama kemudian
tertawa panjang. "Kau tidak salah ucap"!"
Setan Liang Makam arahkan telunjuk jari tangan
kirinya tepat ke arah Pitaloka seraya berdesis tajam.
"Sekali lagi kau tertawakan diriku, lidahmu akan ku cabut!"
Namun percaya pedang di tangannya mampu mengatasi orang, Pitaloka tidak pedulikan ancaman Setan Liang Makam. Malah dia
makin keraskan tawanya.
Lalu berujar. "Mau katakan benda apa yang sekarang kau katakan berada di tangan Pendekar 131?"
"Kembang Darah Setan!"
Pitaloka sesaat putuskan tawanya. Namun cuma
sekejap. Lain saat kembali tawanya meledak. Malah
kini ganti tangannya yang menunjuk pada Setan Liang Makam seraya berkata.
"Canda mu terlalu berlebihan.... Siapa percaya dan mana mungkin Kembang Darah
Setan itu milikmu"!"
"Diam!" teriak Setan Liang Makam.
Namun lagi-lagi Pitaloka tak hiraukan teriakan Setan Liang Makam. Dengan terus menunjuk dia kembali berkata. "Namamu memang ada
setannya, namun
jangan kau hubungkan itu dengan Kembang Darah
Setan! Wajahmu memang pantas dikatakan keturunan
setan, namun terlalu lucu jika kau mengaku Kembang Darah Setan adalah milikmu!"
Setan Liang Makam tak bisa menahan sabar. Tangan kirinya yang tadi menjulur ke depan ditarik
pulang. Serta-merta kedua tangannya disentakkan ke depan melepas satu pukulan.
"Tunggu!" seru Pitaloka tetap siap babatkan pedang.
"Kalau kau memang benar-benar pemilik Kembang
Darah Setan, tentu kau tahu mana arah Kampung
Setan!" Setan Liang Makam urungkan lepas pukulan. Namun dia melangkah mendekat seraya berkata. "Aku
bukan saja tahu mana arah Kampung Setan! Tapi aku
tahu seluk beluk Kampung Setan! Karena aku lahir di sana!"
Pitaloka ragu-ragu. Lalu coba mengorek. "Semua
orang bisa mengatakan tahu Kampung Setan malah
tahu seluk beluknya. Namun tidak satu pun dari
mereka yang bisa buktikan ucapannya! Jangan-jangan kau salah seorang dari
mereka...!"
Setan Liang Makam tertawa pendek bernada mengejek. "Aku tahu apa maksud ucapanmu! Kau memancingku untuk mengatakan tentang Kampung Setan!
Aku bukan orang bodoh.... Aku akan mengatakannya
padamu tapi kau harus penuhi dua permintaanku!"
Pitaloka tersenyum. Sarung pedang di tangan kirinya dimasukkan ke balik pakaiannya. Lalu perlahan-lahan tangan itu bergerak ke
dadanya. Sepasang
matanya melirik ke arah Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam besarkan matanya demi melihat
bagaimana perlahan-lahan tangan kiri Pitaloka bergerak membuka kancing
pakaiannya, hingga tak berapa
lama kemudian, sembulan kedua payudaranya yang
mencuat kencang terlihat jelas.
Dada Setan Liang Makam berdegup kencang. Darahnya mulai menggelegak. Apalagi saat Pitaloka
teruskan gerakan tangan kirinya singkapkan pakaian bagian kiri dadanya yang
telah terbuka. Hingga untuk sesaat Setan Liang Makam bisa melihat dada si gadis
yang putih mulus dan kencang.
Namun Pitaloka rupanya bisa membuat penasaran
orang. Karena begitu pakaian bagian dadanya tersingkap dan dadanya sebelah kiri
tidak tertutup lagi,
telapak tangan kirinya segera bergerak menakup. Lalu tangan kanannya yang masih
menggenggam pedang
ikut pula bergerak menutup. Hingga meski dadanya
telah tersingkap, Setan Liang Makam tidak bisa
melihat dada kencang milik si gadis. Tapi hal itu makin membuat darahnya
bergemuruh. Saking tidak bisa menahan gelegak, Setan Liang
Makam melangkah mendekat. Pitaloka diam dan
hanya memandang dengan kepala sedikit di tengadahkan dan mulut setengah terbuka.
Begitu Setan Liang Makam berjarak lima langkah,
Pitaloka pejamkan mata seraya berujar pelan.
"Kau bisa menikmati yang lebih dari apa yang kau
lihat.... Tapi ceritakan dahulu tentang Kembang Darah Setan serta tunjukkan
padaku arahnya Kampung
Setan...!"
Setan Liang Makam hentikan gerakan kakinya. Mulutnya membuka. Pitaloka pasang telinga baik-baik.
Bibirnya sunggingkan senyum.
"Dua permintaanku bukan apa yang kau perlihatkan!" Senyum Pitaloka pupus. Sepasang matanya serentak terbuka. Dia sama sekali tidak menduga ucapan
Setan Liang Makam. Dia tadi menyangka jika permintaan Setan Liang Makam pasti tak akan jauh dari apa yang kini diperlihatkan pada
cucu Nyai Suri Agung itu.
Namun Pitaloka masih juga belum percaya. Dengan
sedikit membuka takupan telapak tangannya yang
menutupi dadanya, dia berucap.
"Kau mungkin masih malu-malu.... Percayalah, di
sini tidak ada orang lain!"
"Keterangan yang kau minta terlalu tinggi jika imba-lannya hanya dada dan
tubuhmu!" Pitaloka tersentak kaget. Belum sampai dia buka
mulut bertanya, Setan Liang Makam telah mendahului.
"Karena kau telah membuatku menginginkan mu,
permintaanku bertambah satu lagi kalau kau ingin
keteranganku!" Setan Liang Makam arahkan pandang
matanya pada telapak tangan Pitaloka yang menutup
dadanya. Lalu lanjutkan ucapan. "Pertama, kau harus katakan di mana Pendekar
131. Kedua, kau harus
serahkan pedang di tanganmu. Dan ketiga, kau harus melayaniku sekarang juga!"
"Gila!" desis Pitaloka. Paras wajah gadis yang sebenarnya adalah saudara kembar
Beda Kumala yang
dalam kancah rimba persilatan dikenal sebagai Putri Kayangan ini berubah merah
padam. Tapi Pitaloka
cepat berpikir dan berkata.
"Ketiga permintaanmu tidak sulit dipenuhi.... Tapi
kau yang harus terlebih dahulu penuhi permintaanku.... Kau tak usah khawatir aku akan ingkar janji.
Sebagai buktinya, aku akan letakkan pedang ini...."
Pitaloka tutupkan kembali dadanya yang terbuka.
Lalu memandang pada Setan Liang Makam. "Kuharap
kau tidak berlaku licik!"
Habis berkata begitu, Pitaloka ayunkan Pedang
Tumpul 131 ke atas tanah. Pedang itu perdengarkan
deruan angker. Tanah semburat ke udara dan bergetar. Tatkala semburatan tanah telah luruh, pedang itu tampak tegak menancap di
atas tanah yang di kanan
kirinya terbongkar.
"Sekarang saatnya kau menjelaskan apa yang kuinginkan!" kata Pitaloka seraya melirik pada Setan Liang Makam.
Setan Liang Makam memandang silih berganti pada
si gadis dan Pedang Tumpul 131 yang menancap di
atas tanah. Setelah tepis perasaan ragu-ragu, dia
akhirnya berkata juga.
"Kalau kau ingin ke Kampung Setan, pergilah lurus
ke jurusan timur. Di sana akan kau temukan hutan
belantara. Kau harus melewati hutan itu hingga
perbatasan. Di sana kau akan melihat beberapa batu karang tinggi yang melingkari
sebuah tanah terbuka.
Itulah Kampung Setan!"
Setan Liang Makam sesaat hentikan keterangan.
Matanya kembali memandang pada pedang yang
menancap di atas tanah. Seolah tak sabar, dia maju mendekat. Namun sebelum
kakinya bergerak melangkah, Pitaloka sudah buka mulut.
"Kau belum menerangkan semua yang kuinginkan!
Harap tidak bergerak dahulu!"
"Tapi jangan coba-coba berlaku licik padaku!" ucap Setan Liang Makam seraya
urungkan niat melangkah.
Pitaloka hanya tersenyum tanpa sambuti ucapan
Setan Liang Makam. Setan Liang Makam melirik lalu
mulai perdengarkan suara.
"Aku adalah generasi terakhir penghuni Kampung
Setan. Jadi jelas kalau Kembang Darah Setan adalah milikku! Hanya saja saat itu
aku bertindak ceroboh.
Dua orang kepercayaan ku berkhianat. Hingga pada
akhirnya aku masuk ke dalam lobang makam selama
hampir tiga puluh enam tahun! Namun hari kematianku rupanya belum datang. Karena pada saat yang
ditentukan, muncul seorang penolong yang mengeluarkan aku dari tempat celaka itu! Sayangnya si penolong meminta imbalan terlalu
tinggi! Dia meminta
Kembang Darah Setan."
Setan Liang Makam hentikan penuturannya sejenak. Kepalanya tengadah lalu sambung keterangan.
"Karena aku tak mau mati sia-sia, terpaksa aku
menyetujui imbalan yang diminta orang! Aku bisa
keluar dari makam terkutuk namun Kembang Darah
Setan lepas dari tanganku!"
"Siapa penolongmu itu"!"
"Siapa lagi kalau bukan pemuda bergelar Pendekar
131 Joko Sableng!"
Pitaloka tertawa lirih, membuat Setan Liang Makam


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak enak. "Kau tidak mengarang cerita"!"
"Kau lihat tubuhku! Ini gara-gara terkubur di makam celaka itu!"
"Bukan itu maksudku.... Benar si penolong yang
meminta Kembang Darah Setan itu adalah Pendekar
131"!"
"Rimba persilatan sekarang sudah tahu siapa yang
memegang Kembang Darah Setan! Dan memang
pemuda jahanam itu yang mengambilnya!"
"Bagaimana ini"! Aku telah meneliti sekujur tubuhnya. Tapi aku tidak menemukan Kembang Darah
Setan! Apa dia sengaja meletakkan benda itu di satu tempat"! Tapi itu tak
mungkin! Lalu bagaimana dia
bisa mengatakan kalau Pendekar 131 yang mengambilnya"!" Diam-diam Pitaloka membatin.
Seperti diketahui, dengan caranya sendiri, Pitaloka berhasil membuat pendekar
murid Pendeta Sinting itu lemas tak bisa bergerak. Lalu gadis cantik ini mencari
Kembang Darah Setan pada tubuh Pendekar 131. Tapi
dia tidak menemukan Kembang Darah Setan. Hingga
pada akhirnya dia hanya mengambil Pedang Tumpul
131. "Aku ragu pada keteranganmu!" ujar Pitaloka begitu terlihat Setan Liang Makam
kembali hendak melangkah ke arah pedang.
Setan Liang Makam menatap angker dengan rahang
terangkat. "Persetan kau percaya atau tidak! Yang jelas aku telah menerangkan
apa adanya! Dan jangan
berani cari alasan setelah kau dengar apa yang kau inginkan!"
Pitaloka gelengkan kepala. "Aku orang yang pegang
janji. Namun perlu kau ketahui. Aku telah mendapatkan Pedang Tumpul 131! Kalau seandainya Kembang Darah Setan berada di tangannya tentu aku tahu Tapi aku tidak melihatnya!"
"Itu urusanmu! Yang jelas dialah manusianya yang
mengambil Kembang Darah Setan dari tanganku! Da
kau jangan lupa! Pemuda itu bukan saja berilmu tinggi tapi berakal cerdik!"
"Hem.... Kau menduga Kembang Darah Setan di
simpannya di satu tempat"!"
"Bukan itu saja. Tapi dia juga membuat Kembang
Darah Setan palsu! Dan aku telah berhasil dikecohnya!" Mata Setan Liang Makam melotot merah. Tulang
pelipis kiri kanannya bergerak-gerak. Amarahnya
kembali menggelegak teringat bagaimana dia dikecoh oleh Kembang Darah Setan
palsu. Hingga begitu
matanya kembali menumbuk pada pedang yang
menancap di tanah, dia segera melompat.
Namun Pitaloka tidak tinggal diam. Hampir bersamaan, dia juga melompat. Setan Liang Makam berseru marah namun teruskan
lompatannya dan serta-merta
tangan kanannya bergerak menyambar ke arah Pedang
Tumpul 131. Pitaloka tak mau ketinggalan. Begitu
sosoknya bergerak, tangan kanan kirinya segera pula berkelebat menyambar ke arah
pedang. Kini tampak tiga buah tangan sama bergerak cepat
ke arah pedang. Karena kelebatan tangan itu bukan
kelebatan biasa, biasnya sempat membuat bagian atas Pedang Tumpul 131 bergoyanggoyang pulang balik
dengan pancarkan cahaya angker kekuningan serta
suara deru dahsyat.
Karena merasa kedua tangan Pitaloka akan mendahului, Setan Liang Makam berubah pikiran. Dia
urungkan niat mengambil pedang, sebaliknya dihantamkan pukulan ke arah kedua tangan Pitaloka. Di
lain pihak, Pitaloka sendiri khawatir kalau tangan Setan Liang Makam mendahului.
Hingga dia cepat
alihkan arah kelebatan kedua tangannya. Apalagi saat mengetahui Setan Liang
Makam hendak menghadang
kedua tangannya.
Bukkk! Bukkk! Dua benturan keras terdengar. Pitaloka perdengarkan seruan tertahan. Sosoknya tersurut lima langkah ke belakang dengan kedua
tangan bergetar dan tampak merah. Di seberang sana, Setan Liang Makam
terjajar tiga langkah. Paras wajahnya yang angker
makin tampak menakutkan.
Ternyata mulutmu tidak beda bahkan lebih busuk
dari yang lainnya!" teriak Setan Liang Makam. Kedua tangannya kini telah siap
melepas pukulan.
"Aku masih meragukan keteranganmu! Karena aku
tidak melihat Kembang Darah Setan di tangan Pendekar 131! Dan tidak mungkin benda seperti Kembang
Darah Setan disimpan di satu tempat! Kau masih tidak jujur dalam hal ini!
Mungkin kau sengaja menebar
berita bohong ini dengan tujuan agar orang yang
sebenarnya kau cari tidak banyak yang memburunya!
Karena semua orang sudah keburu percaya jika
Kembang Darah Setan berada di tangan Pendekar
131!" "Keparat jahanam!" teriak Setan Liang Makam makin marah. Namun cucu Nyai Suri Agung ini tidak mau lengah. Dia kini telah tahu
bagaimana kedahsyatan
Pedang Tumpul 131. Maka dia lebih tertarik untuk
segera menyambar pedang itu daripada melayani
Pitaloka. Karena dia maklum, dengan pedang di tangan Pitaloka, setidaknya akan
makin sulit menghadapi si gadis. Meski dia percaya, ilmu yang dimilikinya masih
mampu menghadang lawan yang bersenjatakan
Pedang Tumpul 131.
Setan Liang Makam melirik pada Pedang Tumpul
131. Rupanya Pitaloka dapat menangkap gelagat
orang. Hingga dia tidak pedulikan pada kedua tangan Setan Liang Makam yang masih
membuat gerakan
seperti hendak lepaskan pukulan. Sebaliknya dia
kerahkan segenap ilmu peringan tubuhnya untuk bisa berkelebat mendahului Setan
Liang Makam. Selagi pikiran kedua orang ini tengah tertuju bagaimana bisa berkelebat mendahului lainnya, tiba-tiba terdengar orang tertawa.
Pitaloka terkesiap. Setan Liang Makam tersentak. Kepala masing-masing bergerak bersamaan menoleh.
*** SEBELAS PITALOKA langsung tercekat. Bulu kuduknya seketika meremang dan dingin. Kedua lututnya tanpa
sadar bergerak mundur. Betapa tidak. Dia melihat
sebuah jubah hitam tegak menggantung di atas udara.
Hebatnya, di dalam jubah itu tidak kelihatan sosok yang mengenakannya! Anehnya,
justru dari jubah
hitam itu terdengar gelakan tawa!
"Hampir mustahil! Bagaimana mungkin sebuah
jubah bisa perdengarkan tawa! Atau jangan-jangan
mata dan telingaku yang menipu!"
Berpikir begitu, Pitaloka melirik pada Setan Liang Makam. Dia ingin yakinkan
diri melihat bagaimana
sikap Setan Liang Makam.
Sementara itu, begitu berpaling Setan Liang Makam
bukan main kagetnya! Dia segera pentang mata besar-besar seolah ingin
membuktikan jika pandang matanya benar-benar melihat kenyataan.
Setelah agak lama dan bisa kuasai rasa kaget, Setan Liang Makam mundur satu tindak. "Jubah Tanpa
Jasad...," desisnya mengenali jubah yang tegak menggantung di depan sana. "Siapa
gerangan yang memakainya"! Nenek Nyai Suri Agung..."!"
"Hem.... Dia juga tampak berubah tegang.... Berarti pandang mata dan telingaku
tidak menipu!" kata
Pitaloka begitu melihat sikap Setan Liang Makam.
Namun gadis ini tidak bisa menduga malah menemui
jalan buntu ketika memikirkan bagaimana sebuah
jubah bisa menggantung sendiri di udara tanpa
adanya sosok yang mengenakan, malah perdengarkan
tawa! Selagi Pitaloka dilanda rasa heran, Setan Liang Makam yang menduga jika sosok
tidak kelihatan yang
mengenakan jubah hitam yang bukan lain memang
Jubah Tanpa Jasad, adalah neneknya sendiri Nyai Suri Agung, Setan Liang Makam
bergerak maju dua langkah seraya berkata.
"Nek...!"
Jubah Tanpa Jasad di depan sana bergerak menyibak perdengarkan deruan keras. Namun tak ada suara orang yang terdengar.
Sebenarnya, si pemakai Jubah Tanpa Jasad yang
tidak lain adalah Kiai Laras merasa heran dengan
dirinya sendiri. Keheranan itu dimulai dengan rasa kaget yang terlihat dari
Pitaloka dan Setan Liang
Makam. Lalu ucapan Setan Liang Makam yang menyebutnya Nek.... "Aneh.... Ada apa ini"!" batin Kiai Laras. "Aku saat ini masih menyamar sebagai
Pendekar 131. Hanya saja kini aku mengenakan jubah hitam ini. Tapi pandangan
mereka sepertinya tidak mengenalku.... Apakah
wajahku telah berubah"!" Kiai Laras coba perhatikan dirinya sendiri. Lalu tangan
kanannya bergerak ke
arah wajahnya mengusap. "Kulit tipis penyamaran ini masih melekat.... Jadi rupa
ku masih mirip dengan Pendekar 131.... Tapi mengapa setan ini memanggilku
Nenek..."! Ada yang tidak beres.... Atau jangan-jangan setan satu itu sengaja
mengejek ku"! Jahanam betul!"
Kiai Laras mulai geram. Laki-laki yang selama ini
menyamar sebagai Pendekar 131 murid Pendeta
Sinting ini belum menyadari jika dengan mengenakan Jubah Tanpa Jasad yang
ditemukannya di Istana
Sekar Jagat, maka sosok tubuhnya tidak kelihatan!
Kiai Laras memandang silih berganti pada Setan
Liang Makam dan Pitaloka. "Sekarang sudah tiba
saatnya bagiku menunjukkan siapa aku sebenarnya!
Kembang Darah Setan di tanganku. Sementara jubah
ini pasti bukan jubah sembarangan!"
Tanpa berkata apa-apa, Kiai Laras kembali gerakkan tangan kiri kanannya ke arah bagian atas lehernya. Lalu perlahan-lahan kedua
tangannya bergerak
menarik kulit tipis yang melekat di bagian atas leher sampai wajahnya. Kini
terlihat jelas wajah di balik raut muka yang tadi mirip dengan Pendekar 131 Joko
Sableng. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut.
Lalu kedua tangan Kiai Laras terus bergerak ke atas.
Tangan kanannya ditekankan pada rambutnya lalu
ditarik perlahan- lahan. Rambut yang semula hitam panjang sebahu itu tertarik.
Dan di bawahnya terlihat geraian rambut panjang berwarna putih.
Kiai Laras tersenyum lalu campakkan kulit tipis dan rambut palsunya ke atas
tanah. Dia melirik pada
Pitaloka dan Setan Liang Makam. Kiai Laras mendelik dengan menyeringai
membayangkan perasaan marah.
Namun sebenarnya justru rasa kaget lebih terbayang di parasnya! Karena ternyata
Pitaloka dan Setan Liang Makam tidak menunjukkan rasa terkejut melihat
bagaimana dia bersalin rupa!
"Bangsat sialan! Apa mereka telah tahu sebelumnya
jika aku menyamar"! Hem.... Jangan-jangan Lidah
Wetan yang membocorkan rahasia ini! Tapi peduli
setan dengan semua itu.... Aku telah mendapat apa
yang kuinginkan! Mereka berdua harus mampus saat
ini juga! Mereka pasti tengah mencari-cari Kembang Darah Setan.... Dan siapa pun
yang punya niat begitu, harus segera kusingkirkan!"
Kiai Laras sudah akan angkat bicara. Namun tibatiba mulutnya mengatup lagi kala sepasang matanya
melihat sebuah pedang menancap di atas tanah.
Waktu pertama kali muncul tadi, laki-laki ini memang tidak begitu memperhatikan.
Dia puri hanya mendengar sepintas percakapan antara Pitaloka dan Setan
Liang Makam. Yang menarik perhatiannya adalah
Setan Liang Makam. Sebagai pemilik Kembang Darah
Setan, Setan Liang Makam pasti selamanya tidak akan tinggal diam. Untuk itulah
Kiai Laras sudah memutuskan hendak menyingkirkan Setan Liang Makam.
"Melihat angkanya, pasti pedang itu milik Pendekar 131! Hem.... Ternyata nasibku
baik! Aku bisa memperoleh barang sakti...."
Sementara itu di seberang sana, Pitaloka dan Setan Liang Makam tampak masih diam
mematung. Pitaloka
tak tahu harus berbuat apa. Hingga untuk beberapa
lama dia hanya pandangi jubah hitam yang tampak
bergerak-gerak. Namun sedikit banyak dia mulai
merasa gelagat tidak baik. Apalagi ketika mendengar Setan Liang Makam
perdengarkan sapaan pada jubah
hitam dengan sebutan Nenek. Di lain pihak, Setan
Liang Makam juga menunggu. Karena sapaannya
belum juga mendapat sambutan.
"Kalian berdua ingin selamat"!" Tiba-tiba terdengar suara dari jubah hitam.
Pitaloka terdiam dengan dada berdebar. Di lain pihak, Setan Liang Makam tercengang. Telinganya
laksana disambar petir begitu mengenali jika suara yang baru saja terdengar
adalah suara seorang laki-laki!
Tanpa sadar, Setan Liang Makam segera berteriak.
"Siapa kau"!"
Kiai Laras tersenyum. "Matamu telah melihat siapa
aku! Aku perlu jawaban dari kau dan kau!" Kiai Laras
arahkan telunjuk jari tangannya pada Setan Liang
Makam dan Pitaloka. Kiai Laras tidak sadar kalau baik Setan Liang Makam maupun
Pitaloka tidak bisa
melihat gerakan tangannya.
"Jawab! Kalian berdua ingin selamat"!" Kembali Kiai Laras ulangi pertanyaan.
Setan Liang Makam tidak segera menjawab. Dadanya masih dibuncah dengan berbagai tanya dan
duga. Namun satu hai yang pasti, jubah hitam di
depan sana diyakininya adalah Jubah Tanpa Jasad
milik nenek moyangnya.
Sementara Pitaloka bisa menangkap ke mana gerangan arah pertanyaan orang. Hingga tanpa berusaha buka mulut menjawab
pertanyaan orang, mata melirik pada pedang yang menancap di atas tanah.
"Aku harus segera mengambilnya! Siapa pun
adanya manusia di balik jubah aneh itu, pasti dia
menginginkan pedang itu!"
"Baik! Mulut kalian tidak ada yang berani bersuara!
Kalian dengar baik-baik! Kalau kalian berdua ingin selamat, jangan ada yang
berani lakukan gerakan!
Tetap di tempat kalian masing-masing! Jika kulihat kalian ada yang berani
lakukan gerakan, itu pertanda nasib buruk!"
"Siapa manusia di baliknya"! Jangan-jangan pendekar jahanam itu! Bukankah dia masih memegang
Kembang Darah Setan asli"! Tapi bagaimana mungkin
dia bisa tahu tempat Jubah Tanpa Jasad"! Dan
seandainya dia tahu, apakah Nyai Suri Agung tidak


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menghalanginya"!" Setan Liang Makam purapura turuti ucapan orang tidak terlihat di balik sosok jubah hitam dengan terus
menduga-duga. Namun
diam-diam dia kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Di seberang samping, Pitaloka juga pura-pura turuti
perintah orang. Namun dia telah mengukur jarak dan tahu kapan harus bergerak
jika dugaannya tidak
meleset. Sementara di seberang sana, begitu selesai berucap, Kiai Laras melangkah maju
perlahan-lahan dengan
mata melirik pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Pedang Tumpul 131. Baik
Pitaloka maupun Setan
Liang Makam hanya melihat gerakan jubah yang
melayang terapung di udara.
Kiai Laras hentikan langkah delapan tindak dari
Setan Liang Makam. "Kau!" kata Kiai Laras pada Setan Liang Makam seraya
tunjukkan jari tangan. "Mundur-lah ke belakang!"
Meski tidak melihat gerakan jari serta wajah orang, tapi Setan Liang Makam tahu
jika dirinya yang diperin-tah orang.
"Kau dengar ucapanku! Atau kau ingin cari mampus"!" ujar Kiai Laras.
Perlahan-lahan Setan Liang Makam gerakkan kaki
menyurut. Tapi sekonyong-konyong dia menghentak.
Sosoknya melesat ke depan. Kedua tangannya bergerak lepas pukulan.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat menderu ganas. Gelombang
itu membawa serta semburatan warna hitam serta
hawa luar biasa panas.
Meski Kiai Laras sudah waspada, namun karena
kali ini Setan Liang Makam kerahkan hampir segenap tenaga dalam yang dimiliki,
maka lesatan gelombang itu laksana sambaran kilat. Hingga baru saja Kiai
Laras sentakkan kedua tangannya. Gelombang dari
Setan Liang Makam sudah menggebrak!
Kiai Laras perdengarkan lolongan tinggi. Sosoknya
langsung mental mencelat dua tombak dan jatuh
terjengkang di atas tanah. Namun ada keanehan.
Meski Kiai Laras rasakan sosoknya terhantam gelombang, namun dia merasakan ada tabir yang menghalanginya. Hingga walau tubuhnya mencelat namun dia tidak mengalami luka berarti!
Di depan sana, Setan Liang Makam tercekat. Gelombang pukulan yang baru saja melabrak Kiai Laras laksana menghantam tembok.
Lalu memantul dan kini
berbalik melabrak ganas ke arahnya!
Setan Liang Makam sadar apa yang akan terjadi
padanya jika pukulan yang tadi dilepas melabrak ke tubuhnya. Maka begitu tahu
pukulannya mental balik, dia cepat-cepat hantamkan kembali kedua tangannya.
Bummm! Serta-merta tempat itu dirancah gelegar luar biasa keras. Pedang Tumpul 131
kembali bergoyang-goyang
pulang balik pantulkan cahaya angker dan deruan
ganas. Sosok Setan Liang Makam langsung tersapu
dan jatuh terduduk dengan mulut berseru tertahan.
Tangan kanannya yang bergetar bergerak ke atas
mengusap darah yang ternyata mengucur dari mulutnya. "Luar biasa.... Ini pasti akibat jubah yang kupakai!"
gumam Kiai Laras mendapati apa yang terjadi. Hatinya bersorak. Dan dengan cepat
dia bergerak bangkit. Lalu melompat dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di mana
dia tadi berdiri.
Di depan sana, Setan Liang Makam menatap tegang
pada Jubah Tanpa Jasad. Dia kini maklum kalau
terlalu berat jika berhadapan dengan orang yang
menggunakan Jubah Tanpa Jasad. Dia tahu, dengan
mentalnya sosok si pemakai Jubah Tanpa Jasad,
menunjukkan jika si pemakai ilmunya tidak berada di atasnya. Kalaupun si pemakai
tidak mengalami cedera
yang berarti malah pukulannya mental, semata-mata
karena orang itu mengenakan Jubah Tanpa Jasad.
"Kau telah kuberi peringatan, Setan Alas! Tapi kau ingin nasib itu ditentukan
sekarang! Aku akan turuti kemauanmu!" Kiai Laras angkat kedua tangannya.
Walau tidak melihat gerakan orang, tapi Setan Liang Makam seakan tahu apa yang
tengah dilakukan Kiai
Laras. Dia cepat lipat gandakan tenaga dalamnya.
Dalam keadaan seperti itu, Setan Liang Makam tidak pikirkan lagi kehebatan Jubah
Tanpa Jasad. Yang
terpikir adalah bagaimana bisa menghadang pukulan
orang! Kesempatan ini tampaknya tidak disia-siakan Pitaloka. Begitu sadar dari kesimanya melihat apa yang baru saja terjadi, dia segera
melompat ke arah Pedang Tumpul 131!
Namun belum sampai kedua tangan Kiai Laras bergerak, dan belum sempat Pitaloka berkelebat, sekonyong-konyong terdengar orang
bersin beberapa kali lalu disambut suara tawa cekikikan seorang perempuan!
*** DUA BELAS PITALOKA, Setan Liang Makam, dan Kiai Laras sama tersentak. Namun Pitaloka adalah orang pertama
yang palingkan kepala. Dia melihat seorang kakek
berpakaian agak lusuh duduk bersimpuh dengan satu
tangan memegang tongkat kayu. Sedang tangan
satunya diletakkan di atas pahanya. Kepalanya selalu bergerak pulang balik ke
depan ke belakang dengan
raut muka seperti orang hendak bersin.
Di sebelah si kakek tegak berdiri seorang perempuan berusia lanjut. Sesaat Pitaloka sempat menahan tawa melihat bagaimana
dandanan si nenek. Karena
meski telah nenek-nenek, dandanan perempuan ini
laksana gadis muda saja. Dia membedaki mukanya
tebal sekali. Bibirnya dipoles merah menyala. Pipi kanan kirinya pun tampak
diberi polesan pewarna
merah muda. Rambutnya yang telah putih dikelabang
dua dan pada ujung kelabangan rambutnya diberi pita.
Bagian depan rambutnya diponi dan digeraikan di
depan kening. Nenek ini mengenakan pakaian atas
berupa baju tanpa lengan dan sangat cingkrang.
Hingga ketiak dan pusarnya kelihatan. Sementara
pakaian bawahnya berupa celana pendek di atas lutut.
Nenek ini berkulit hitam, hingga dandanannya yang
seronok tidak menambah kecantikan wajahnya,
namun justru membuat sosok tampangnya jadi angker
menakutkan! "Aku belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan
mereka! Dengan kemunculan mereka pasti membuat
urusan di tempat ini makin tidak karuan! Aku harus segera mendapatkan pedang itu
kembali...." Pitaloka segera palingkan kepalanya ke arah Pedang Tumpul
131. Setan Liang Makam adalah orang kedua yang berpaling. Matanya langsung mendelik tak berkesip tatapi dua sosok yang baru
muncul. "Aku pernah bertemu
dengan laki-laki yang duduk bersimpuh di dekat
Jurang Tlatah Perak. Dia memiliki ilmu 'Pantulan
Tabir'. Pasti dia bukan lain adalah Galaga.... Hem....
Sayangnya Kembang Darah Setan tidak berada di
tanganku.... Tapi bukan berarti aku tidak bisa membunuhnya. Bukan tak mungkin
kebocoran rahasia
Kampung Setan dialah biang keroknya!"
Setan Liang Makam arahkan pandang matanya ke
perempuan yang tegak di samping si kakek yang
duduk bersimpuh yang bukan lain memang Galaga
alias Datuk Wahing. Orang luar dari generasi Kampung Setan yang sempat diambil murid oleh Nyai Suri Agung, nenek dari Maladewa
alias Setan Liang Makam sendiri yang juga saudara seperguruan Setan Liang
Makam. "Waktu yang habis terkubur di tempat makam celaka itu membuatku tidak banyak mengenal orang. Aku
tidak mengenali siapa adanya nenek berdandan slebor itu! Namun dari gelagatnya,
dia bukan manusia
sembarangan...."
Orang ketiga yang palingkan kepala adalah Kiai
Laras. Namun karena sosok laki-laki ini tidak kelihatan, semua orang tidak tahu
bagaimana sikap Kiai
Laras. Ternyata laki-laki ini adalah orang yang tidak begitu terkejut meski
kemunculan kedua orang tadi
sempat membuatnya tersentak.
Kiai Laras pandangi kedua orang di seberang sana
dengan bibir tersenyum. "Datuk Wahing dan Dayang
Sepuh.... Kemunculannya yang bersamaan tentu
bukan satu kebetulan! Dan itu menunjukkan kalau
mereka punya satu maksud tertentu! Mereka berdua
boleh memiliki ilmu tinggi. Tapi saat sekarang ini akulah yang paling berhak
dianggap sebagai manusia yang paling tinggi! Dan mereka berdua akan
membuktikannya! Mereka berdua termasuk orang yang harus
kusingkirkan! Orang seperti mereka dapat menjadi
batu sandungan!"
Setelah membatin begitu, Kiai Laras yang kini merasa yakin pada dirinya, segera buka mulut merobek kesunyian yang agak lama
menggantung di tempat itu.
"Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Kalian datang tepat
pada waktunya! Dan kuharap kalian telah menikmati
kebersamaan kalian selama ini. Dengan begitu mati
pun kalian sudah tidak merasa menyesal lagi!"
Mendengar ucapan orang, Dayang Sepuh berpaling
ke arah Datuk Wahing. Saat muncul tadi, Dayang
Sepuh sempat terkesima melihat jubah hitam yang
menggantung di udara tanpa melihat sosok orang yang mengenakannya. Namun rasa
kesimanya lenyap ketika
Datuk Wahing segera berbisik pelan. "Nek.... Itulah Jubah Tanpa Jasad yang
lenyap dari Istana Sekar
Jagat di Kampung Setan...."
"Kau dapat menduga siapa di balik jubah hitam
itu"!" tanya Dayang Sepuh begitu kepalanya berpaling dengan suara direndahkan.
Dengan tanpa hentikan gerakan kepalanya yang
pulang balik ke depan ke belakang, Datuk Wahing
menggumam. "Sulit mengetahui siapa yang berada di
balik jubah hitam itu. Tapi melihat Jubah Tanpa Jasad hanya bisa ditembus dengan
Kembang Darah Setan,
pasti orang di balik jubah itu sekarang membekal pula Kembang Darah Setan.
Sekarang kita tinggal memastikan siapa adanya orang yang memegang Kembang
Darah Setan. Karena pasti orang itulah di balik Jubah Tanpa Jasad itu...."
"Waktu di dekat sendang beberapa waktu yang lalu,
aku memang bisa mencium aroma kembang. Sayangnya orang itu mengenakan samaran sebagai pemuda
geblek itu! Seandainya tidak, tentu aku dapat memastikan orang itu...," ujar
Dayang Sepuh teringat akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang mengaku
sebagai Joko Sableng namun Dayang Sepuh bisa
melihat jika orang itu bukan Joko Sableng.
"Sebenarnya sedikit banyak aku bisa menduga.
Namun keadaan bisa saja berubah!" kata Datuk
Wahing menyambut ujaran Dayang Sepuh.
"Siapa dugaanmu"! Dia sepertinya mengenali kita.
Pasti aku juga mengenalnya!" kata Dayang Sepuh.
"Tidak jauh dari sendang itu, sebenarnya aku juga
berjumpa dengan Kiai Laras. Saat itu aku yakin jika Kiai Laras membekal Kembang
Darah Setan. Namun
mungkin saja Kiai Laras memberikan Kembang Darah
Setan pada orang lain. Dan orang lain itulah yang
mungkin mengenakan jubah hitam itu...."
"Tapi mana mungkin benda sakti begitu rupa diserahkan pada orang lain"!"
"Kemungkinannya memang sangat kecil bahkan
hampir tak mungkin. Tapi apa pun di dunia ini adalah serba mungkin! Yang jelas
kita harus berhati-hati....
Dia tidak suka dengan kehadiran kita.... Kalau terjadi apa-apa, kau perhatikan
pedang yang menancap di
tanah itu!"
"Dari angkanya, pasti pedang itu milik pemuda geblek Pendekar 131 Joko Sableng!"
"Benar.... Dan perhatikan gadis berbaju merah itu.
Gelagatnya dia seperti sedang menunggu kesempatan
untuk mengambilnya!"
"Bagaimana pedang itu bisa jatuh ke tangan orang
lain"!" tanya Dayang Sepuh. "Pasti pemuda itu telah bertindak tolol!"
"Itulah.... Segala sesuatu serba mungkin.... Bahkan terhadap hal yang bagi kita
sepertinya mustahil...."
Selagi Datuk Wahing sedang berbisik-bisik dengan
Dayang Sepuh, tiba-tiba Kiai Laras telah angkat bicara lagi.
"Datuk Wahing, Dayang Sepuh! Tunggulah sampai
giliran kalian datang! Aku akan selesaikan urusan
dengan manusia setan itu!" Kiai Laras tunjukkan
jarinya ke arah Setan Liang Makam.
"Bruss! Brusss! Jangan membuatku tambah heran,
Sobat! Kedatanganku bersama sahabatku ini bukan
cari perkara! Lagi pula di antara kita tidak ada sesuatu yang mengherankan yang
disebut silang sengketa...."
"Hem.... Apa kau kira membunuh seseorang diharuskan ada silang sengketa"!" tanya Kiai Laras lalu tertawa panjang.
"Bruss! Memang tidak.... Tapi hal itu akan membuat siapa pun terheran-heran!"
"Simpan dahulu keheranan mu, Datuk Wahing! Dan
kau harus hadapi keheranan mu sebagai kenyataan!
Karena bagiku, tidak aneh lagi membunuh tanpa
adanya silang sengketa!"
"Brusss! Brusss! Permintaanmu yang mengherankan akan kuterima dengan baik! Cuma kalau kau
tidak keberatan apalagi merasa heran, harap kau sudi katakan siapa dirimu!"
Kiai Laras tampak kernyitkan dahi. Untuk kedua
kalinya dia merasa ada yang tidak beres dengan
dirinya. "Aneh.... Tadi Setan Liang Makam memanggil-ku Nenek. Sekarang dia ingin
tahu siapa diriku!
Bagaimana ini..."! Padahal aku telah lama mengenalnya! Demikian pula
sebaliknya.... Atau dia sedang
bercanda"!"
"Datuk Wahing! Aku tak akan jawab pertanyaan
tololmu itu! Kau telah melihat sendiri siapa aku!" kata Kiai Laras.
"Bruss! Itu benar! Yang masih membuatku heran,
siapa kau sebenarnya"!"
Kiai Laras tertawa panjang mendengar ucapan Datuk Wahing. Sambil berkacak pinggang dan kepala
mendongak, dia berucap.
"Setiap manusia tidak selalu ingin diketahui siapa dia sebenarnya! Apalagi jika


Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia itu hidup dalam
kancah rimba persilatan! Jadi kau tidak akan bisa mendapat keterangan yang kau
minta! Kau bisa
mengenaliku sebatas apa yang kau lihat dan kau
dengar!" Saat itulah mendadak di seberang sana Pitaloka
telah membuat gerakan. Dia melesat ke arah Pedang
Tumpul 131 dan dengan cepat kedua tangannya
berkelebat menyambar.
Dayang Sepuh yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik Pitaloka cepat sentakkan tangan kanannya.
Sementara Setan Liang Makam dan Kiai Laras cepat
berpaling. Kedua orang ini juga tidak tinggal diam.
Tangan masing-masing orang sama bergerak, karena
sudah tidak mungkin lagi menghadang laju sosok
Pitaloka dengan berkelebat.
Wuutt! Wuutt! Wuutt!
Wuss! Wuss! Wuuss!
Hampir bersamaan, tiga gelombang dahsyat menggebrak ganas ke arah sosok Pitaloka.
Pitaloka terkesiap. Namun karena lebih dekat pada
gagang pedang, dia tidak hiraukan lagi gelombang
yang datang menggebrak. Dia teruskan gerakan kedua tangannya menyambar Pedang
Tumpul 131. Gagang pedang telah tersentuh tangan kanan Pitaloka. Namun belum sempat gadis ini membuat gerakan menarik, gelombang yang
melesat dari tangan kanan
Dayang Sepuh sudah datang menghempasi
Pitaloka menjerit. Tangan kanannya yang sudah
menyentuh gagang pedang terpental ke belakang.
Sosoknya tersapu hingga satu tombak dan jatuh
terjengkang di atas tanah! Namun terjengkangnya
gadis ini menyelamatkannya dari gelombang susulan
yang dilepas oleh Setan Liang Makam dan Kiai Laras.
Gelombang dahsyat itu lewat dua jengkal di atas
kepala Pitaloka! Lalu menghantam tanah agak tinggi jauh di belakang sana.
Terdengar dentuman keras. Tanah agak tinggi di
belakang sana langsung muncrat ke udara porakporanda. Tanah bergetar keras dan sesaat pemandangan tertutup oleh hamburan tanah.
"Gadis binal! Kau telah kuberi peringatan! Jangan
berani membuat gerakan! Tapi nyatanya kau sama
tololnya dengan manusia setan ini! Kau akan meneri-ma nasib sama dengannya!"
teriak Kiai Laras.
Pitaloka tidak pedulikan ancaman Kiai Laras. Dadanya bergemuruh marah melihat Dayang Sepuh
menghalangi gerakannya. Hingga begitu dia bergerak bangkit, dia segera arahkan
pandang matanya pada
Dayang Sepuh. "Nenek slebor! Aku tak peduli siapa kau adanya!
Yang jelas kau telah berani membuat urusan denganku! Aku siap melayani apa keinginanmu!"
"Hem.... Begitu"!" ujar Dayang Sepuh. Bersamaan
dengan itu si nenek melesat ke depan dan tahu-tahu sosoknya telah tegak lima
langkah di hadapan Pitaloka. "Aku tidak punya keinginan apa-apa, Anak Gadis.... Kalaupun aku masih punya keinginan dan
sampai saat ini belum juga terpenuhi, itu adalah
keinginanku kawin lagi dengan seorang pemuda gagah putra seorang pangeran....
Apa kau kira-kira bisa
melayani keinginanku..."!"
Pitaloka menyeringai. "Keinginan gila! Aku bertanya.
Kau sudah sering berkaca dan melihat keadaan
sendiri"!"
Tangan kiri Dayang Sepuh bergerak terangkat mengambil satu kelabangan rambutnya dan dipilin-pilin.
Sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas menata poni di depan keningnya.
"Dalam sehari, aku berkaca dua puluh lima kali.
Dan kurasa, keinginanku adalah wajar-wajar saja!
Tidak sampai pada tingkat gila.... Yang gila adalah keinginan untuk mengambil
milik orang lain.... Bukankah begitu, Gadis Cantik nan Jelita"!"
Sesaat Pitaloka tergagu diam. Tapi saat lain dia telah membentak garang.
"Kau mengira pedang itu milik orang lain, begitu"!"
Masih dengan memilin kelabangan rambutnya dan
melirik, Dayang Sepuh anggukkan kepala seraya
berucap kalem. "Apa kau mengira pedang itu milikmu..."!"
"Aku memang bukan pemiliknya! Namun aku yang
membawanya! Dan aku harus menjaganya dari tangan-tangan jahil yang hendak mengambilnya termasuk tanganmu! Bukankah kau juga
menginginkannya"!"
"Pedang itu bukan milikmu.... Tapi kau bisa membawanya! Jadi tidak salah bukan kalau aku punya niat yang sama denganmu"! Aku
tidak menginginkannya,
aku cuma ingin membawanya! Dan kurasa aku bisa
menjaganya...."
"Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada dalam
benakmu, Nenek Slebor!"
"Hem.... Rupanya kau pandai juga melihat hati
orang! Mau katakan padaku apa sebenarnya yang ada
dalam benakku"!" tanya Dayang Sepuh seraya melirik pada Setan Liang Makam dan
Jubah Tanpa Jasad.
"Kau ingin memiliki pedang itu!" sahut Pitaloka
dengan suara lantang.
Dayang Sepuh tertawa pendek. "Kau harus belajar
lagi soal tebak menebak isi hati orang, Anak Gadis...."
"Setiap orang berkeinginan busuk, mana mungkin
mau mengaku!"
"Hem.... Begitu"! Aku sekarang tanya padamu.
Seandainya kau punya benda keramat, apa mungkin
kau memberikannya pada orang lain"!"
"Lihat dulu siapa yang diberi! Dan itu mungkin saja!" "Bagus.... Sekarang jawab lagi satu pertanyaanku.
Apa hubunganmu dengan pemuda bergelar Pendekar
131 Joko Sableng"!"
Paras wajah Pitaloka berubah. Dia terdiam beberapa lama tak tahu harus menjawab
bagaimana. Namun
pada akhirnya dia berujar.
"Dia adalah sahabatku...."
"Betul"!" tanya Dayang Sepuh sambil tersenyum.
"Persetan kau percaya atau tidak!" sahut Pitaloka.
"Anak gadis.... Sekarang ini sahabatmu itu sedang
menghadapi urusan besar. Apakah mungkin dalam
keadaan begini dia memberikan pedangnya padamu"!
Meski seandainya kau adalah kekasihnya!"
"Itu tak mungkin terjadi! Ha.... Ha.... Ha...!" Tiba-tiba satu suara jawaban
terdengar. Namun bukan dari mulut Pitaloka. Juga bukan diperdengarkan oleh Setan
Liang Makam atau Kiai Laras. Datuk Wahing pun
tampak kancingkan mulut.
Semua orang di situ tampaknya maklum jika ada
orang yang hadir lagi di tempat itu. Hingga hampir bersamaan, semua kepala
berpaling. SELESAI Segera ikuti lanjutannya!!!
Serial Pendekar Pedang Tumpul 131
Joko Sableng dalam episode :
KUTUK SANG ANGKARA
Scan by Clickers
Juru Edit: Lovely peace
PDF: Abu Keisel
Document Outline
Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lindungan undang-undang ***
DUA *** TIGA *** EMPAT *** *** LIMA *** ENAM *** TUJUH *** SEMBILAN *** SEPULUH *** SEBELAS *** DUA BELAS SELESAI Pendekar Latah 2 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Bara Diatas Singgasana 4

Cari Blog Ini