Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada penerbit di
bawah lindungan undang-undang
Joko Sableng telah
Terdaftar pada Dept. Kehakiman R.I
Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan
Merk di bawah nomor 012875
SATU TEMPAT itu seketika hening laksana kuburan. Pitaloka, Setan Liang Makam, serta Kiai Laras hampir bersamaan gerakkan kepala
berpaling. Dayang Sepuh pun
ikut menoleh. Hanya Datuk Wahing yang tidak hadapkan wajahnya ke arah suara yang tiba-tiba menyahut. Kakek ini tetap saja gerakkan kepala pulang balik ke depan ke belakang
dengan mimik seperti orang
hendak perdengarkan bersinan. Namun sejauh ini suara bersinannya tidak juga terdengar!
Semua orang selain Datuk Wahing melihat seorang
laki-laki berusia lanjut bertubuh tambun besar. Rambutnya yang putih digelung
tinggi ke atas. Kakek ini mengenakan pakaian gombrong warna hijau. Pada
pinggangnya yang bengkak besar tampak melilit sebuah ikat pinggang besar dari kulit yang di bagian depannya tepat di perut
dihias dengan sebuah cermin
bulat. Sepasang matanya terpejam rapat.
Pitaloka dan Setan Liang Makam pandangi laki-laki
bertubuh tambun besar dari kepala sampai mata kaki
dengan mulut terkancing. Kedua orang ini tidak bisa mengenali siapa adanya
orang. Sementara Kiai Laras yang belum menyadari kalau
sosoknya tidak kelihatan, sipitkan mata seraya berdesis. "Gendeng Panuntun! Dari
ciri-cirinya pasti dia!
Meski aku belum pernah berjumpa...."
Di seberang lain, begitu melihat siapa adanya kakek bertubuh tambun besar,
ketegangan pada paras wajah
Dayang Sepuh serta-merta lenyap. Bibirnya yang merah menyala sedikit membuat sebuah senyum lebar.
Namun nenek berdandan seronok ini belum juga perdengarkan suara. Sebaliknya angkat kedua tangannya.
Tangan kiri mengambil satu kelabangan rambutnya
dan dipilin-pilin, sedangkan tangan kanan rapikan geraian poni pada keningnya!
Mendadak kakek bertubuh tambun besar buka mulut perdengarkan tawa ngakak. Tangan kanannya bergerak mengusap cermin bulat di depan perutnya. Bersamaan dengan itu sepasang matanya membuka. Ternyata sepasang mata itu berwarna putih. Pertanda jika si empunya mata adalah
orang buta! Namun seolah bisa melihat di mana orang tegak
berdiri, kepala si kakek bergerak menghadap ke arah satu persatu orang yang ada
di tempat itu! Kejap lain si kakek buka mulut berujar.
"Hem.... Ku rasakan langit cerah. Tidak ada hujan.
Angin pun sangat bersahabat. Adalah aneh kalau aku
di sini merasakan wajah-wajah tegang. Apa yang membuat ketegangan ini"! Jangan-jangan bukan hanya wajah-wajahnya yang tegang. Tapi yang lainnya ikutikutan tegang...."
"Bruss! Bruss! Kuharap jangan merasa aneh apalagi
heran, Sahabat! Isyarat alam tidak selamanya pertanda baik!" Datuk Wahing
menyahut. Kakek bertubuh tambun bermata putih mendongak
ke langit. "Bersinan mu tidak ku lupa! Senang berjum-pa denganmu lagi sahabatku,
Datuk Wahing...."
Datuk Wahing hentikan gerakan kepalanya lalu
berpaling ke arah kakek bertubuh tambun. Mulutnya
sudah membuka hendak bersuara. Namun bersinannya keburu mendahului. Hingga untuk beberapa saat
Datuk Wahing harus tunda ucapannya. Namun begitu
bersinannya selesai dan belum sempat perdengarkan
suara, Setan Liang Makam telah membentak garang.
"Manusia buta tak dikenal! Kuperintahkan kau segera enyah dari tempat ini! Atau kubuat kau tidak bisa lagi merasakan keadaan
alam!" "Bruss! Bruss! Sahabatku, Gendeng Panuntun....
Kebalikan isyarat alam baru saja kau dengar. Sekali lagi harap tidak heran,
apalagi ikut-ikutan tegang!"
"Bagi orang buta sepertiku, mana bisa tegang jika
tidak disentuh"!" sahut kakek bertubuh tambun bermata putih yang tidak lain adalah Gendeng Panuntun, lalu tertawa gelak-gelak.
"Jadi jangan mengherankan mu kalau aku tidak mungkin ikut tegang!"
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun kembangkempiskan hidung. Wajahnya bergerak menghadap
pada Dayang Sepuh. "Datuk Wahing.... Ternyata kau
bernasib bagus. Di usiamu yang telah lanjut masih ju-ga menggandeng seorang
perempuan cantik nan jelita.... Aku dapat merasakan gemulai kedua tangannya
yang selalu bergerak-gerak. Senyum yang merebak di
bibirnya yang merah menyala. Dandanan serta pakaian yang bikin deg-degan! Apa dia kekasih barumu"!"
Datuk Wahing bersin beberapa kali. Namun kali ini
tidak disusuli dengan ucapan. Sementara Dayang Sepuh tampak makin lebarkan sunggingan senyumnya.
Lalu mengerling pada Pitaloka. Pitaloka membuang
muka seraya menyeringai.
Dayang Sepuh melangkah perlahan dengan lemah
gemulai ke arah Gendeng Panuntun. Senyum di bibirnya terus mengembang. Namun begitu tegak tiga langkah di hadapan Gendeng Panuntun, sekonyongkonyong si nenek pupuskan senyumnya. Tangan kanannya sibakkan poni di depan kening. Kini tampaklah wajahnya yang angker. Saat
lain tiba-tiba dia membentak.
"Dari dulu mulutmu selalu bersuara tidak enak di
telingaku setiap kali bertemu! Apa kau ingin aku mendahului ancaman manusia
kerangka itu, hah"!" Seolah bicara dengan orang yang bisa melihat, tangan kiri
Dayang Sepuh menunjuk pada Setan Liang Makam.
"Eh.... Mana suaraku yang tidak enak"!" tanya Gendeng Panuntun. Matanya yang putih mengerjap beberapa kali. "Suaramu.... Astaga! Aku tadi salah lihat!
Sungguh.... Aku tidak menyangka kalau perempuan
itu kau adanya! Habis dandanan mu membuat dadaku
deg-degan hingga sampai aku salah lihat...."
Tampang garang Dayang Sepuh mendadak berubah.
Kejap lain nenek ini tertawa terbahak-bahak hingga geraian poni rambutnya
bersibakan. Kepalanya dihadapkan pada Datuk Wahing lalu berkata.
"Kau dengar itu, Datuk Wahing"! Sahabatmu yang
buta ini mengatakan salah lihat...!"
"Gendeng Panuntun.... Hem.... Aku pernah dengar
ceritanya manusia itu! Selain ilmunya sulit dijajaki, dia juga memiliki keahlian
aneh! Matanya buta, namun
seolah bisa melihat.... Urusan di tempat ini akan makin kacau dengan
kehadirannya! Bagaimana sekarang"
Manusia setan serta manusia yang tidak terlihat di balik jubah hitam itu nyatanyata menginginkan Pedang Tumpul 131! Dan melihat gelagatnya, nenek slebor dan
kakek bersin-bersin itu juga menginginkannya! Sialan benar! Tidak kusangka akan
jadi begini akhirnya....
Padahal ku tancapkan pedang itu semata-mata untuk
menipu Setan Liang Makam agar mau memberi keterangan!" Pitaloka diam-diam membatin seraya terus
melirik pada Pedang Tumpul 131 yang masih menancap di atas tanah.
Seperti diketahui, Pitaloka, saudara kembar Beda
Kumala alias Putri Kayangan berhasil memperdayai
murid Pendeta Sinting. Gadis cantik ini pada mulanya menduga Pendekar 131
membawa Kembang Darah Setan. Namun begitu bisa membuat murid Pendeta Sinting lemas laksana pingsan, ternyata Pitaloka tidak menemukan Kembang Darah Setan
walau telah menggerayangi sekujur tubuh Joko. Saat itulah mendadak dia
dikejutkan dengan terdengarnya suara bersinan. Takut diketahui orang, Pitaloka
segera berkelebat seraya
mencabut Pedang Tumpul 131.
Pada akhirnya Pitaloka meneruskan perjalanan. Karena telah tahu bahwa Kembang Darah Setan tidak di
tangan murid Pendeta Sinting seperti apa yang tersiar dalam rimba persilatan,
Pitaloka memutuskan pergi ke Kampung Setan. Tapi karena belum tahu di mana
Kampung Setan berada, seraya terus berjalan Pitaloka selalu bertanya pada setiap
orang yang dijumpainya.
Tentu saja setelah menyelidik siapa adanya orang yang hendak ditanya.
Pada satu kesempatan, Pitaloka bertemu dengan
Setan Liang Makam. Kali ini rupanya Pitaloka bertemu dengan orang yang benarbenar bisa memberi keterangan. Hanya saja Setan Liang Makam minta syarat. Pitaloka memenuhi persyaratan yang diajukan Setan
Liang Makam. Namun di balik itu sebenarnya Pitaloka telah punya rencana sendiri.
Yang jelas dia tidak akan begitu saja memenuhi permintaan Setan Liang Makam.
Apalagi yang diminta adalah Pedang Tumpul 131 yang
baru saja diambilnya dari murid Pendeta Sinting.
Ketika Setan Liang Makam hendak mengambil Pedang Tumpul 131 seperti persyaratan yang dimintanya pada Pitaloka dan di lain
pihak Pitaloka sendiri hendak pertahankan pedang dari jamahan tangan Setan Liang
Makam, muncullah Kiai Laras yang saat itu telah mengenakan Jubah Tanpa Jasad
hingga sosoknya tidak
kelihatan. Tampaknya Kiai Laras juga menginginkan
Pedang Tumpul 131. Saat itulah datang Datuk Wahing
dan Dayang Sepuh.
Ketika terjadi adu mulut antara Pitaloka dan
Dayang Sepuh, tiba-tiba ada suara orang menyahut.
Yang muncul ternyata adalah Gendeng Panuntun.
"Bruss! Bruss! Jangan membuatku heran dengan
berucap begitu, Sahabatku Dayang Sepuh," ujar Datuk Wahing sambuti kata-kata si
nenek. "Tidak jarang
orang buta bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat!
Dan kalaupun dia tadi berkata salah lihat dan salah duga terhadapmu, kau harus
maklum dan jangan heran. Karena dia memang buta!"
Mendengar ucapan Datuk Wahing, Gendeng Panuntun geleng kepala. "Jangan percaya pada ucapannya,
Nenek Cantik! Mana mungkin orang buta macam aku
bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang bermata.
Buktinya aku salah menduga mu...." Gendeng Panuntun arahkan wajahnya menghadap Kiai Laras yang
saat itu sosoknya tidak kelihatan karena mengenakan Jubah Tanpa Jasad. Agak lama
si kakek ini terdiam
sebelum akhirnya berkata.
"Rasanya aku pernah bertemu muka dengan sahabatku ini.... Sayang aku lupa kapan dan di mana! Mau mengingatkan padaku,
Sahabat"!" Gendeng Panuntun
bertanya pada Kiai Laras.
Kiai Laras palingkan kepala sambil mendengus.
Namun dia tidak buka mulut menjawab. Kejap lain
orang tua ini arahkan pandang matanya pada satu
persatu orang di tempat itu. Lalu perdengarkan suara keras membahana di Seantero
tempat itu. "Kuperingatkan pada kalian semua! Kalau masih
sayang pada nyawa masing-masing jangan ada yang
berani lancang menghadang langkahku! Jangan ada
yang kurang ajar berani buka mulut! Tetap di tempat kalian masing-masing!"
"Eh.... Memangnya ada apa ini"! Orang tidak boleh
bersuara dan bergerak.... Sepertinya ada sesuatu yang luar biasa! Jangan-jangan
gadis cantik itu.... Ah.... Gadis cantik di mana-mana memang sering jadi persoalan! Padahal tidak jarang justru tanpa disadari, gadis cantik itu yang membuka
urusan!" Habis berucap begitu, Gendeng Panuntun luruskan
wajahnya ke arah Pitaloka dan lanjutkan ucapan. "Kuharap kau tidak marah, Gadis
Rupawan.... Aku tadi
hanya mengatakan kebiasaannya. Sekali-kali tidak
bermaksud menyinggung apalagi membuat persoalan
denganmu...!"
"Hem.... Berarti dia bisa melihat meski matanya
tampak buta!" gumam Pitaloka. Pandang matanya menatap tajam pada Gendeng Panuntun. Namun cuma
sekejap. Dia lantas arahkan pandang matanya pada
jubah hitam tanpa sosok yang mulai bergerak maju,
"Manusia di balik jubah itu akan mengambil Pedang
Tumpul 131!" Pitaloka kerahkan tenaga dalam pada
kedua tangannya. Walau dia maklum kalau kepandaiannya masih di bawah orang, namun dia sudah
memutuskan mempertahankan Pedang Tumpul 131
dari jamahan tangan orang lain. Keputusan hatinya
makin kuat setelah dia mendengar keterangan Setan
Liang Makam tentang di mana Kampung Setan serta
cerita Kembang Darah Setan. Karena dengan senjata
sakti di tangannya, setidaknya kekuatannya akan ber-tambah. Apalagi dia kini
tahu, banyak sekali beberapa tokoh berilmu tinggi yang belum dikenalnya telah
ber-munculan. Di lain pihak, Setan Liang Makam tampak pula
memperhatikan gerakan jubah hitam. Laki-laki cucu
Nyai Suri Agung ini tampak bimbang dan gelisah. Dia kini yakin kalau sosok tidak
kelihatan di balik jubah hitam juga membekal Kembang Darah Setan asli. Jubah
Tanpa Jasad adalah bukti akan keyakinannya. Karena menurut Nyai Suri Agung, dinding tidak tembus
pandang yang memagari Jubah Tanpa Jasad bisa terbongkar hanya dengan Kembang Darah Setan.
Hanya Dayang Sepuh dan Datuk Wahing yang tampak tenang-tenang saja. Dayang Sepuh terus memilinmilin kepangan rambutnya, sementara Datuk Wahing
tetap gerakkan kepala pulang balik ke depan ke belakang dengan mimik orang
hendak bersin. Sementara di sebelah Dayang Sepuh, Gendeng Panuntun alihkan wajahnya dari Pitaloka pada Kiai Laras yang terus melangkah
perlahan mendekati Pedang
Tumpul 131. Suasana mendadak mencekam ketika gerakan jubah hitam sudah berjarak tujuh langkah dari Pedang
Tumpul 131 yang menancap di tanah. Semua orang
sama kancingkan mulut dan tidak ada yang membuat
gerakan seolah menuruti perintah Kiai Laras. Hanya
mata Pitaloka dan Setan Liang Makam yang sama saling lontar berpindah-pindah. Sepasang bola mata Pitaloka bergerak liar. Dari
Pedang Tumpul 131, gerakan Jubah Tanpa Jasad serta sosok Setan Liang Makam.
Sementara sepasang mata besar milik Setan Liang Makam melotot dari gerakan Jubah Tanpa Jasad, Pedang
Tumpul 131, serta sosok Pitaloka.
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di lain pihak, justru Kiai Laras tidak melirik pada Pitaloka maupun Setan Liang
Makam. Sebaliknya sepasang matanya terus melirik pada Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun.
Kiai Laras rupanya sadar. Dengan Kembang Darah
Setan serta jubah yang dikenakannya, hadangan Pitaloka dan Setan Liang Makam dapat diatasi. Namun dia masih belum yakin benar jika
hadangan itu datang da-ri Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun. Karena dia telah paham siapa adanya ketiga
orang itu. Tapi dengan peristiwa yang dialaminya saat berhadapan dengan Nyai
Suri Agung serta Setan Liang Makam, keyakinannya perlahan-lahan timbul. Hingga
dia teruskan saja langkahnya mendekati Pedang Tumpul 131. "Sahabat sekalian.... Kenapa kalian diam saja"! Tidak ada yang bersuara, tidak ada yang bergerak!" Tiba-tiba Gendeng Panuntun
angkat bicara. Pitaloka tidak hiraukan ucapan orang karena diamdiam dia telah siap lepaskan satu pukulan jarak jauh.
Demikian juga Setan Liang Makam. Pada puncak kegelisahannya, cucu Nyai Suri Agung ini akhirnya memutuskan untuk menghadang gerakan Jubah Tanpa Jasad dengan siapkan satu pukulan. Selain untuk
menghalangi orang mengambil pedang, sekaligus untuk menghantam orang dan mengambil Jubah Tanpa
Jasad. Di depan sana, begitu Gendeng Panuntun angkat
bicara, Kiai Laras hentikan gerakan kakinya. Kepalanya berpaling sesaat memandang pada Pitaloka dan
Setan Liang Makam. Bibirnya menyeringai buruk. "Rupanya kalian manusia-manusia bodoh! Sudah tahu
tingginya langit dalamnya lautan yang tak mungkin
kalian jangkau, namun kalian hendak coba-coba menjajakinya! Kalian akan mampus penasaran!"
Kiai Laras teruskan pandang matanya ke arah Gendeng Panuntun. Lalu membentak.
"Kau telah kuperingatkan! Namun kau ingin unjuk
kebolehan! Kau mau maju sendirian atau bersama teman-temanmu itu"!"
"Ah.... Kau salah menangkap ucapanku, Sahabat!"
ujar Gendeng Panuntun. "Bukannya aku mengajak
mereka untuk bergerak atau berkata. Aku hanya ingin tahu mengapa mereka tidak
bersuara, tidak bergerak!"
"Itu karena mereka telah tahu tingginya langit dalamnya laut! Mereka masih sayang hidup daripada mati percuma!"
Gendeng Panuntun arahkan wajahnya pada Dayang
Sepuh dan Datuk Wahing. "Apa betul demikian, Sahabat-sahabatku..."!"
Dayang Sepuh geleng kepala. "Tidak demikian!"
"Bruss! Bruss! Memang tidak demikian!" sahut Datuk Wahing. "Kalau aku belum berkata apalagi membuat gerakan, kupikir saatnya belum sampai! Kita harus yakin dahulu sebelum tahu
sebenarnya!" kata Dayang Sepuh.
"Bruss! Bruss! Benar. Kita tidak boleh melakukan
hal-hal yang mengherankan sebelum tahu pasti apa
yang akan dilakukan orang!"
"Kalian benar.... Kita tidak boleh berprasangka je-lek. Siapa tahu meski
tampaknya melangkah ke sana
namun tujuannya lain"!" Gendeng Panuntun menimpali. "Siapa tahu.... Itulah memang pertimbangannya!"
ujar Dayang Sepuh.
"Bruss! Bruss! Betul sekali! Siapa tahu.... Itulah
yang menjadikan kami belum berani melakukan halhal yang mengherankan!"
Kiai Laras menyeringai mendengar ucapan-ucapan
orang. Seraya pasang tangan di atas pinggang kanan
kiri dia menggumam. "Aku ingin tahu apa yang akan
kalian lakukan!" Kiai Laras tengadah lalu teruskan
langkah. Baru saja Jubah Tanpa Jasad bergerak, pertanda
Kiai Laras melangkah, mendadak Pitaloka telah gerakkan kedua tangannya melepas
satu pukulan dahsyat
jarak jauh. Wuutt! Wuutt! Dua gelombang ganas menerjang ke arah Kiai Laras. Hampir bersamaan dengan melesatnya dua gelombang dari kedua tangan Pitaloka, Setan Liang Makam
telah pula sentakkan kedua tangannya. Laki-laki cucu Nyai Suri Agung ini
berpikir jika gabungan antara pukulannya dengan pukulan Pitaloka setidaknya akan
menambah daya gedor pada sosok di balik Jubah Tanpa Jasad. Hingga untuk sesaat tempat itu laksana di buncah gempuran gelombang
luar biasa yang menuju
satu titik arah. Yakni jubah hitam tanpa sosok yang sudah berada lima langkah
dari tempat tertancapnya
Pedang Tumpul 131.
Kiai Laras mendengus marah. Dia rupanya merasa,
tidak mungkin menghadang dua pukulan orang sekaligus dengan kekuatan tenaga dalamnya sendiri. Apalagi begitu melihat ganasnya
pukulan dari kedua tangan
Setan Liang Makam yang menunjukkan jika pukulan
itu dengan pengerahan tenaga dalam sangat kuat.
Laksana kilat, tangan kanan Kiai Laras segera menyelinap ke balik pakaiannya. Laki-laki itu berpikir hanya dengan Kembang Darah
Setan pukulan orang
bisa dihadang. Begitu tangan kanan Kiai Laras keluar, semua
orang di tempat itu melihat cahaya berkilau tiga war-na. Merah, hitam, dan putih
dari setangkai bunga yang terapung di atas udara sejajar bagian dada Jubah
Tanpa Jasad. Saat lain kembang tiga warna yang tidak lain adalah Kembang Darah
Setan, berkelebat.
Wuutt! Wuuttt! Satu gelombang disertai berkiblatnya sinar tiga
warna melesat angker.
*** DUA TEMPAT itu laksana dihantam petir. Keadaan seketika terang benderang berwarna merah, hitam, dan putih. Sinar tiga warna
menembus gelombang. Terdengar ledakan hebat. Gelombang yang datang dari kedua
tangan Pitaloka dan Setan Liang Makam serta-merta
buyar berantakan lalu membubung tinggi ke udara.
Sinar tiga warna pecah. Hebatnya pecahan sinar tiga warna menebar datar di atas
udara lalu melaju deras ke arah Pitaloka dan Setan Liang Makam.
Di seberang, Pitaloka perdengarkan seruan tertahan
bersamaan dengan buyarnya gelombang tertembus sinar tiga warna. Sosoknya terdorong amblas ke belakang sebelum akhirnya terbanting keras di atas tanah.
Di lain pihak, sosok Setan Liang Makam terpental sebelum akhirnya jatuh terduduk
dengan sekujur tubuh
yang hanya merupakan susunan kerangka bergerakgerak keras. Sepasang matanya melotot dan mulut
menganga tanpa adanya suara yang terdengar.
Kiai Laras sendiri hanya terdorong tiga langkah. Sesaat Jubah Tanpa Jasad memang
bergerak-gerak oleng. Tapi saat lain telah tegak mengapung di atas udara. Kembang Darah Setan
terlihat pula mengapung
sejajar bagian perut Jubah Tanpa Jasad.
"Dugaanku tidak salah!" desis Setan Liang Makam
begitu melihat terapungnya Kembang Darah Setan.
Laksana hendak terbang, Setan Liang Makam cepat
bergerak bangkit.
Di seberang samping sana, Dayang Sepuh cepat pula melompat ke arah Datuk Wahing. Dengan mata
memperhatikan Kembang Darah Setan dia berbisik.
"Manusia tanpa sosok berjubah hitam itu memegang dua senjata sakti! Aku tahu kau adalah orang
paling mengerti tentang Kembang Darah Setan serta
Jubah Tanpa Jasad! Katakan padaku bagaimana cara
menghadapinya!"
"Bruss! Ucapanmu benar! Namun adalah mengherankan kalau kau menduga aku tahu bagaimana cara
menghadapinya! Aku tidak tahu.... Aku tidak tahu!"
gumam Datuk Wahing seraya geleng-gelengkan kepala.
Kali ini mimik wajahnya tidak membayangkan seperti
orang ingin bersin, sebaliknya berubah tegang. "Mungkin sahabat buta itu tahu!
Coba tanyakan padanya!"
Dayang Sepuh menggerendeng. Tapi cepat melompat ke arah Gendeng Panuntun yang kini duduk menjeplok di atas tanah.
"Aku juga kesulitan menjawab pertanyaan yang
hendak kau ajukan!" Gendeng Panuntun sudah buka
mulut sebelum Dayang Sepuh angkat bicara. "Ada
penghalang yang membuat aku laksana berjalan di
tengah malam buta! Gelap.... Itu jawabannya!"
"Hem.... Maksudmu kita bisa menghadapi dengan
menunggu datangnya malam, begitu" Apa mungkin kita bisa bertahan sampai malam. Padahal saat ini matahari baru saja condong!"
Gendeng Panuntun geleng kepala. "Bukan. Aku tidak mengatakan kita bisa menghadapinya dengan menunggu sampai datangnya malam. Namun aku menemui jalan buntu! Aku tidak tahu bagaimana cara
menghadapinya...."
"Celaka! Kita tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Padahal dia hendak mengambil juga pedang
milik pemuda geblek itu!" gumam Dayang Sepuh.
"Memang celaka! Tapi apa hendak dikata...," sahut
Gendeng Panuntun pula.
"Kau memiliki ilmu yang tidak dimiliki orang lain!
Coba sekali lagi kau lihat! Siapa tahu kita menemukan jawaban!" desak Dayang
Sepuh. "Apa pun yang dimiliki makhluk bernama manusia,
semuanya serba terbatas! Jika kita paksakan diri, kita akan mendapat celaka dua
kali!" "Setan! Ini bukan urusan paksakan diri atau tidak!
Ini usaha!" hardik Dayang Sepuh mulai tidak sabaran.
"Usaha pun ada batasnya!" ujar Gendeng Panuntun
dengan tenang. "Sialan! Lalu apakah kita akan berdiam diri"
Hah..."!"
Gendeng Panuntun tidak segera sambuti ucapan
Dayang Sepuh. Sebaliknya dia berpaling. Karena saat itu Datuk Wahing tampak
bergerak bangkit lalu membuat gerakan satu kali. Tahu-tahu sosoknya telah duduk
bersimpuh di samping Gendeng Panuntun.
"Kau juga tua bangka sialan!" Dayang Sepuh sudah
menyemprot begitu Datuk Wahing duduk bersimpuh.
"Bagaimana bisa tidak tahu bagaimana cara menghadapi sesuatu yang bertahun-tahun ditongkronginya"!"
Datuk Wahing bersin-bersin lalu tertawa panjang.
Gendeng Panuntun mendehem lalu berkata.
"Itulah rahasia alam, Sahabatku.... Bahkan kita kadangkala tidak tahu sesuatu yang ada di tangan kita sendiri!"
"Hanya orang tidak bisa melihat sepertimu yang tidak tahu sesuatu di tangannya!" sergah si nenek dengan ketus karena makin tidak
sabar. "Bruss! Bruss! Kau tak usah marah-marah...."
"Sialan! Siapa yang marah"!" tukas Dayang Sepuh.
Belum sampai ada yang menyahut ucapan Dayang
Sepuh, di depan sana terdengar bentakan keras.
"Anjing jahanam! Serahkan Kembang Darah Setan
dan Jubah Tanpa Jasad padaku! Akulah pemilik sah
keduanya!" Yang perdengarkan bentakan dahsyat ternyata Setan Liang Makam. Seraya membentak, tangan
kirinya terulur ke depan, tangan kanan ditarik ke belakang. Lalu kakinya
bergerak melangkah maju.
Kiai Laras tersenyum dingin. "Di atas dunia, hanya
anjing tolol yang menyatakan diri sebagai pemilik sah sesuatu benda! Anjing
tolol seperti itu tidak layak diberi hidup lebih lama! Dunia tidak
membutuhkannya!"
Baru saja ucapan Kiai Laras selesai, tiba-tiba Kembang Darah Setan yang terlihat mengapung di udara
berkelebat. Wusss! Terdengar deruan dahsyat. Tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih untuk kedua kalinya berkiblat angker ke arah Setan Liang
Makam. Setan Liang Makam tidak terkejut karena telah
waspada. Namun demikian ketegangan di wajahnya
tampak nyata. Dan tanpa membuang waktu, laki-laki
yang pernah terkubur dalam makam batu puluhan tahun ini berkelebat ke samping. Kedua tangannya didorong seraya perdengarkan
bentakan keras.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang angin yang disertai kabut hitam
menderu laksana amukan ombak, lurus menghadang
berkiblatnya sinar tiga warna.
Saat kedua tangan Setan Liang Makam mendorong,
dari arah samping terlihat Datuk Wahing angkat tangan kanannya yang memegang tongkat kayu. Kepalanya bergerak ke depan untuk perdengarkan bersinan. Bersamaan dengan itu tongkat kayu disentakkan
ke depan. Tongkat kayu butut melesat berputar-putar di udara menimbulkan desingan tajam dan sapuan-sapuan
gelombang dahsyat. Saat lain tongkat kayu yang kini hampir tidak terlihat itu
menjajari gelombang yang dilepas Setan Liang Makam lalu bersama-sama melabrak
ke arah sinar tiga warna yang datang.
Blaarr! Blaarr!
Dua kali gelegar keras terdengar. Sinar tiga warna
dari Kembang Darah Setan menebar ambyar. Namun
ambyarnya sebagian tetap lurus mengarah pada Setan
Liang Makam! Di lain pihak, gelombang yang keluar dari kedua
tangan Setan Liang Makam serta-merta amblas buyar.
Tongkat kayu milik Datuk Wahing mencelat tinggi ke
udara. Ketika luruh kembali telah berubah menjadi
serpihan dan hangus serta bertabur di udara sebelum akhirnya lenyap terbawa bias
gelombang gelegaran.
Setan Liang Makam lagi-lagi terpental. Namun ka
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rena sudah tahu apa yang hendak terjadi, begitu sosoknya dirasakan melambung ke belakang, cucu Nyai
Suri Agung ini cepat kerahkan tenaga dalam untuk
kuasai diri. Tapi dia terlengak. Karena baru saja hendak kerahkan tenaga dalam,
ambyaran sinar tiga warna telah menyongsong ke arahnya.
Setan Liang Makam serba salah. Kalau dia menyambut ambyaran sinar tiga warna, tentu dia tidak
bisa lagi kuasai diri dan tak ampun sosoknya akan
terbanting menghantam tanah. Sedang kalau teruskan
untuk kuasai diri, niscaya ambyaran sinar tiga warna akan menghajarnya! Sinar
tiga warna itu memang telah ambyar, namun Setan Liang Makam sadar, jika
ambyaran itu masih mampu memporak-porandakan
sesuatu yang terhajar.
Kebimbangan Setan Liang Makam membuat dia
lengah. Hingga begitu bisa mengambil keputusan apa
yang harus dilakukan, ambyaran sinar tiga warna telah setengah tombak di hadapannya. Kali ini apa pun keputusan yang diambil Setan
Liang Makam tidak
akan bisa menyelamatkan dirinya!
Sesaat lagi ambyaran sinar tiga warna menghajar
sosok Setan Liang Makam yang hanya bisa mendelik
saking terkejutnya, tiba-tiba saja tanpa diduga satu gelombang angin deras
melesat. Bukan menghadang pada ambyaran sinar yang hendak menghajar sosok Setan Liang Makam, melainkan menghantam ke arah Setan Liang Makam yang masih berada di atas udara.
Bukkkk! Mentalan sosok Setan Liang Makam berubah arah.
Kalau tadi terdorong keras ke belakang. Kali ini sosoknya terpental deras ke samping lalu jatuh bergedebukan di samping sana. Namun
perubahan arah ini menyelamatkan Setan Liang Makam dari hajaran ambyaran sinar tiga warna. Ambyaran sinar tiga warna menerabas terus lalu menghajar
beberapa jajaran pohon di depan sana. Beberapa batangan pohon perdengarkan
derakan lalu satu persatu tumbang dengan patahpatah dan hangus! Daunnya langsung bertabur dan
berubah menghitam!
Setan Liang Makam tampaknya tahu gelagat. Begitu
sosoknya jatuh dia cepat kerahkan tenaga dalam
meski rasakan sekujur tubuhnya laksana hancur dan
lidahnya rasakan asin pertanda mulutnya telah kucurkan darah. Di lain saat cucu Nyai Suri Agung ini bangkit tegak. Dia tahu
siapa gerangan yang baru saja menghantamnya namun membuatnya selamat.
Setan Liang Makam berpaling pada Datuk Wahing.
Walau dia tidak buka mulut namun diam-diam dia
membatin. "Galaga...! Jangan berharap tindakanmu
yang menyelamatkan diriku akan menghapus urusan
di antara kita! Aku juga curiga jangan-jangan kaulah yang membocorkan rahasia
Kampung Setan! Karena
hanya kau satu-satunya manusia di atas bumi ini yang tahu rahasia Kampung Setan!
Mungkin kau juga yang
memberitahukan pada anjing pemegang Kembang Darah Setan serta pemakai Jubah Tanpa Jasad itu, mengenai bagaimana bisa mengeluarkan aku dari makam
celaka itu! Lalu kau sekarang berpura-pura di hadapanku!"
Datuk Wahing sendiri yang tampak bergoyanggoyang dan duduknya bergeser akibat bias bentroknya pukulan yang disalurkan
lewat tongkatnya untuk
menghadang kiblatan sinar dari Kembang Darah Setan, hentikan gerakan kepalanya. Dia balas memandang pada Setan Liang Makam yang bukan lain memang saudara seperguruannya. Kakek yang selalu bersin ini hendak buka mulut. Namun diurungkan begitu
melihat Setan Liang Makam alihkan pandang matanya
ke arah Kiai Laras yang masih tampak jubahnya saja.
Jubah Tanpa Jasad itu sejenak tadi tampak bergerak deras ke belakang dan hampir saja jatuh ketika
terdengar gelegar. Namun belum sampai menyentuh
tanah, Jubah Tanpa Jasad itu telah bergerak lagi terangkat ke atas dan tak lama
kemudian tegak mengapung diam. Kejap lain terdengar batuk dua kali. Lalu terlihat ludah bercampur
darah melesat dari atas jubah hitam. Meski orang tidak bisa melihat bagaimana
paras wajah si pemakai Jubah Tanpa Jasad, tapi orang sudah bisa menebak jika
terjadinya bentrok pukulan
membuat si pemakai kucurkan darah dari mulutnya.
Sementara di seberang sana, sebenarnya Pitaloka
sudah berkelebat ke arah tertancapnya Pedang Tumpul 131 begitu tahu kalau Kiai
Laras dan Setan Liang Makam saling baku hantam. Namun kelebatan sosok gadis ini bersamaan saatnya dengan bentroknya pukulan. Hingga meski kedua tangannya terus bergerak
hendak menyambar pedang, namun gagal. Karena begitu terdengar gelegaran, Pedang Tumpul 131 kembali bergerak pulang balik,
membuat Pitaloka bukan saja
kesulitan, namun kalau saja dia tidak segera batalkan maksudnya, niscaya dia
sendiri akan mendapat celaka.
Karena gerakan pedang akibat gelegaran menimbulkan
gelombang dan melesatnya cahaya kekuningan berhawa panas luar biasa!
Kiai Laras rupanya dapat melihat apa yang tadi
hendak dilakukan oleh Pitaloka. Hingga begitu tegak kembali, sosoknya langsung
berputar menghadap Pitaloka.
"Kau memang punya hak untuk mengambil benda
itu! Tapi itu melanggar apa yang kuperintahkan! Dan
itu akan mengubah jalan takdirmu!" kata Kiai Laras.
Pitaloka melihat Kembang Darah Setan bergerak.
Kuduk gadis cantik ini menjadi dingin. Dia kini telah tahu sedang berhadapan
dengan siapa. Kalau pukulan
Setan Liang Makam yang dibantu dengan Datuk Wahing tidak mampu membuat sosok di balik jubah jatuh
terjengkang, adalah satu keanehan kalau dia dapat
menghadapinya! Tapi di balik semua itu Pitaloka juga maklum, sosok tidak
kelihatan di balik Jubah Tanpa
Jasad tentu tidak akan membiarkan dia pergi begitu
saja. Hal inilah yang perlahan-lahan membuat Pitaloka menjadi nekat. Hingga
begitu melihat gerakan pada
Kembang Darah Setan, dia cepat kerahkan segenap tenaga dalam yang dimiliki.
"Anak bodoh.... Apakah dia pikir bisa menghadapi
setan berjubah itu"!" ujar Dayang Sepuh melihat apa yang dilakukan Pitaloka.
"Brusss! Memang mengherankan dan mustahil! Tapi
itu adalah satu-satunya jalan yang harus dilakukan!
Atau kau bisa melakukan satu hal yang tidak mengherankan"!" sahut Datuk Wahing.
"Kau hanya bisa heran-heran melulu!" bentak
Dayang Sepuh. Lalu alihkan pandangannya pada Gendeng Panuntun. "Kita tidak usah pedulikan siapa adanya gadis itu!
Yang jelas kita cegah terjadi pertumpahan darah di si-ni! Kita gebuk sama-sama
setan berjubah hitam itu!"
"Itu hanya akan membawa darah makin banyak
tumpah, Sahabatku!" kata Gendeng Panuntun.
"Setan! Kalian berdua setan! Hanya bisa omong dan
mencegah tapi tidak bisa memberi jalan keluar!"
Dayang Sepuh berteriak sambil bantingkan kaki. Lalu bergerak hadapkan tubuh ke
arah Pitaloka. Kemudian
berteriak. "Hai, Gadis Setan! Jangan berlagak di sini! Cepat
menyingkir!"
"Tidak ada yang akan tinggalkan tempat ini!" Kiai
Laras menyahut.
"Jangan percaya! Cepat lari!" Kembali Dayang Sepuh berteriak. Saking tak sabar dia gerakkan kedua
tangannya ke depan membuat gerakan seperti orang
mengusir. Pitaloka bimbang. Walau tadi telah nekat, namun
begitu mendengar teriakan Dayang Sepuh, hatinya jadi ragu-ragu. Dayang Sepuh
terlihat gemas.
"Gadis setan! Masih banyak kenikmatan yang belum
kau rasakan! Apa kau benar-benar tak ingin menikmatinya, hah"!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan mendengar
teriakan Dayang Sepuh. Di sampingnya, Gendeng Panuntun tertawa bergelak-gelak. Pitaloka terdiam sesaat. Kejap lain mendadak kedua tangan gadis ini telah bergerak lepaskan pukulan
mendahului kelebatan
Kembang Darah Setan. Saat bersamaan, sosoknya melesat hendak tinggalkan tempat itu.
"Jangan mimpi bisa tinggalkan tempat ini dengan
nyawa utuh!" bentak Kiai Laras. Kembang Darah Setan di tangan kanannya
berkelebat. Tiga sinar berkiblat menggidikkan, menyongsong gelombang yang melesat dari kedua tangan Pitaloka.
Dayang Sepuh menggerendeng panjang pendek. Lalu kedua tangannya bergerak menghantam ke depan
memotong lesatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan. Kembali terdengar ledakan tatkala gelombang dari
kedua tangan Dayang Sepuh memotong sinar tiga
warna. Saat bersamaan, gelombang dari kedua tangan
Pitaloka melabrak. Hingga ledakan kedua terdengar.
Sosok Dayang Sepuh terhuyung-huyung dan Plukk!
Sosok si nenek jatuh terduduk di atas pangkuan Gendeng Panuntun yang ada di belakangnya!
Sementara di depan sana, sosok Pitaloka yang berkelebat terlihat oleng. Lalu terputar hendak menghantam tanah. Gadis cantik ini
menjerit tinggi. Namun sejengkal lagi sosoknya beradu dengan tanah, satu
bayangan merah berkelebat.
*** TIGA SOSOK Pitaloka tertahan satu jengkal di atas tanah.
Saat lain sosok gadis cantik ini terangkat lalu tegak dengan bergetar keras.
Dari mulutnya terlihat kucuran darah. Dadanya bergerak-gerak turun naik tak
karuan. Paras wajahnya berubah pucat pasi dan tegang.
Setelah agak lama dan baru menyadari kalau lengannya dicekal orang, Pitaloka segera berpaling. Tampang gadis ini makin
berubah. Mulutnya yang masih
kucurkan darah bergerak membuka namun tak ada
suara yang terdengar.
Sementara di depan sana, sosok Kiai Laras tersurut
tiga langkah. Dan begitu tahu kalau ada orang yang ikut lepaskan pukulan
memotong kiblatan sinar tiga
warna dari Kembang Darah Setan, orang tua ini cepat berpaling. Dia tahu siapa
yang baru memotong pukulan Kembang Darah Setan. Hingga sepasang matanya
mendelik angker pada Dayang Sepuh yang masih terduduk di atas pangkuan Gendeng Panuntun.
Di lain pihak, begitu sosok Dayang Sepuh terhuyung dan jatuh di atas pangkuan Gendeng Panuntun, Datuk Wahing perdengarkan bersinan beberapa
kali lalu tawanya meledak.
"Sahabat.... Kurasa di sini banyak mata melihat.
Mengapa kau bercanda dengan minta dipangku segala"!" Gendeng Panuntun berujar. Sepasang mata putihnya mengerjap beberapa kali. Lalu hidungnya mendengus. Kepalanya terangkat dan.... "Bruss! Bruss!"
Gendeng Panuntun bersin dua kali.
"Sebagian rambutmu masuk ke hidungku...!" kata
Gendeng Panuntun.
Bersinan dua kali membuat sosok Dayang Sepuh
yang berada di pangkuannya terlonjak-lonjak balik ke atas ke bawah. Tanpa
disadari lonjakan sosoknya
membuat kelabangan rambutnya bergerak-gerak dan
kembali menerpa wajah Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun kelabakan. Saat lain dia kembali perdengarkan bersinan karena sebagian rambut itu masuk ke hidungnya. Hal ini
membuat sosok Dayang
Sepuh kembali terlonjak pulang balik ke atas ke bawah. Tawa Datuk Wahing makin meledak. Dan di selasela tawanya dia beberapa kali bersin-bersin. Hingga untuk beberapa saat tempat
itu disemaraki dengan
suara bersinan yang ditingkah dengan gelakan tawa
berderai. Dayang Sepuh sendiri sepertinya keenakan karena
sosoknya bergerak pulang balik ke atas ke bawah. Sosok tambun Gendeng Panuntun
membuat si nenek tidak merasakan sakit tatkala berbenturan dengan anggota tubuh Gendeng Panuntun.
Pada satu kesempatan, tiba-tiba Gendeng Panuntun
menggeser duduknya ke samping. Si nenek yang keenakan sampai sepasang matanya terpejam-pejam tidak
menduga. Hingga ketika sosoknya meluncur ke bawah,
bukan lagi menumbuk pangkuan Gendeng Panuntun,
melainkan menghantam tanah!
Bukkk! Dayang Sepuh mengeluh. Lalu cepat bangkit. Tangan kanannya berkelebat ke arah Gendeng Panuntun.
"Bruss! Mengherankan kalau kau menyalahkan
orang lain, Nenek!"
Dayang Sepuh tarik pulang tangan kanannya. Lalu
arahkan pandang matanya ke arah Pitaloka. Sementara baik Kiai Laras maupun Setan Liang Makam sudah
agak lama memandang tajam ke arah yang sama.
Namun baik Dayang Sepuh, Kiai Laras, maupun Setan Liang Makam bukannya memandang pada Pitaloka. Tapi pada satu sosok di sampingnya yang tegak
dengan tangan satunya mencekal lengan Pitaloka.
Dayang Sepuh kucek-kucek sepasang matanya. Lalu disodorkan ke depan seolah belum percaya dengan
apa yang dilihat.
"Brusss! Harap tidak heran dengan apa yang kau lihat, Nenek...."
Dayang Sepuh tidak menyahut. Sebaliknya terus
memandang pada sosok yang tegak di samping Pitaloka. Dia adalah seorang gadis muda berparas cantik jelita. Rambutnya panjang
sebahu mengenakan pakaian
warna merah. Tapi bukan kecantikan atau pakaian si
gadis yang membuat Dayang Sepuh, Kiai Laras, serta
Setan Liang Makam memandang tak berkedip. Ketiga
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang ini hampir tidak bisa membedakan di antara Pitaloka dan gadis yang tegak
di sampingnya! Wajah kedua gadis ini sama!
"Beda Kumala...," gumam Pitaloka setelah agak lama hanya bisa menganga tanpa perdengarkan suara.
Gadis cantik yang tegak di samping Pitaloka dan
memiliki wajah yang sama persis, sunggingkan senyum seraya anggukkan kepala. Lalu berbisik perlahan. "Pitaloka.... Kita harus cepat tinggalkan tempat ini!
Orang-orang itu bukan tandingan kita!"
"Aku tidak berurusan dengannya! Mereka sendiri
yang cari urusan!" kata Pitaloka.
Gadis di sampingnya yang tadi dipanggil dengan
Beda Kumala dan bukan lain adalah Putri Kayangan,
kembali sunggingkan senyum.
"Lupakan dulu semua itu.... Yang jelas kita harus
segera tinggalkan tempat ini!"
"Aku tak akan pergi tanpa pedang itu!" Pitaloka
arahkan pandang matanya pada Pedang Tumpul 131
yang masih menancap di atas tanah.
Putri Kayangan menghela napas panjang. Kepalanya menggeleng perlahan lalu berucap perlahan "Tak ada untungnya
mempertahankan benda yang bukan
milikmu!" Habis berkata begitu, Putri Kayangan arahkan pandang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan Kembang
Darah Setan yang mengapung di udara. Wajahnya berubah tegang. "Aku belum pernah melihat. Tapi aku yakin itulah
Kembang Darah Setan! Aneh.... Bagaimana mungkin
jubah dan kembang itu bisa mengapung di udara"!"
Membatin Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat
muncul menyelamatkan saudara kembarnya Pitaloka,
gadis ini memang belum sempat edarkan pandangan
karena terburu memperhatikan saudaranya. Kalaupun
dia sempat mengenali salah seorang yang ada di tempat itu, itu adalah keberadaan Datuk Wahing. Dan melihat bagaimana Pitaloka
sampai hendak terbanting di atas tanah, cukup membuat Putri Kayangan paham ji-ka
orang yang dihadapi Pitaloka bukan orang yang berilmu di bawahnya. Maka tanpa
melihat dulu siapa
orang yang dihadapi Pitaloka, buru-buru Putri Kayangan mengajak saudara
kembarnya untuk segera tinggalkan tempat itu.
Belum sempat lenyap rasa kesima melihat terapungnya Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa Jasad, kembali Putri Kayangan dibuat tersentak kala
pandang matanya menumbuk pada sosok Setan Liang
Makam. Namun gadis ini segera dapat kuasai diri dan dengan cepat arahkan pandang
matanya jauh ke depan di mana tampak Datuk Wahing, Dayang Sepuh,
serta Gendeng Panuntun.
"Hem.... Yang sempat ku kenali cuma Datuk Wahing
di antara ketiga orang itu.... Tapi melihat sikapnya, si nenek dan kakek
bertubuh gemuk itu adalah sahabat
Datuk Wahing.... Hem.... Urusanku hanya mencari Pitaloka dan membawanya menghadap Eyang Guru. Sekarang dia telah kutemukan. Aku tak ingin terlibat dalam urusan di sini!"
Berpikir begitu, akhirnya Putri Kayangan berbisik
pada Pitaloka. "Kita harus segera pergi!"
"Kau telah dengar ucapanku. Aku tak akan pergi
tanpa pedang itu!" Pitaloka menyahut.
"Kau tahu siapa yang tengah kau hadapi?"
"Persetan siapa mereka! Setan sekalipun aku tidak
takut! Kau tahu, pedang yang menancap di tanah itu
adalah senjata pusaka! Pedang Tumpul 131 milik Pendekar 131 Joko Sableng!"
Paras wajah Putri Kayangan tiba-tiba bersemu merah. Lalu cepat-cepat berpaling ketika Pitaloka menoleh. Namun Pitaloka masih
sempat melihat perubahan
pada raut muka saudara kembarnya.
"Wajahmu berubah. Ada apa"! Kau mengenal Pendekar 131!"
"Pitaloka.... Waktu kita tidak banyak! Kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
seraya berkata Putri
Kayangan tarik lengan Pitaloka. Namun Pitaloka segera tepiskan tangan Putri
Kayangan. "Kau saudaraku. Tapi bukan berarti kau bisa memaksakan kehendakmu atas diriku! Aku tanya. Kau
hendak mengajakku ke mana"!"
"Pitaloka.... Eyang Guru memerintahkan ku untuk
menjemput dan membawamu menghadap!"
Tampang Pitaloka berubah berang. "Sudah kuduga!"
desisnya dingin. "Beda Kumala! Urusanku belum selesai. Kau tak usah menjemputku. Begitu urusanku selesai, aku akan datang sendiri menghadap Eyang
Guru...!" Putri Kayangan gelengkan kepala. "Kau terlibat dalam urusan yang tak akan pernah ada selesainya, Pitaloka! Dan kalaupun kau ingin
tuntaskan urusanmu,
kuharap kau penuhi dahulu permintaan Eyang
Guru...." "Tidak! Aku akan selesaikan dahulu urusanku!"
"Pitaloka...! Kuharap kau mengerti. Untuk sekali ini penuhi dahulu permintaan
Eyang Guru. Setelah itu
terserah kau!"
Pitaloka mendengus marah. "Sekali aku bilang tidak, tidak! Dan cepat angkat kaki dari sini!"
Putri Kayangan lagi-lagi masih sunggingkan senyum
sembari berujar kalem. "Pitaloka. Aku tidak akan tinggalkan tempat ini tanpa mu!
Dan harap kau mengerti.
Kali ini urusannya bukan lagi masalah saudara. Tapi kita berdua sebagai murid
dari seorang guru!"
"Hem.... Begitu"! Kalau aku tak mau, kau mau
apa"!" Pitaloka menantang.
Putri Kayangan geleng kepala. "Pitaloka. Aku tak bi-sa memberi jawaban apa-apa
atas pertanyaanmu! Yang
pasti aku harus membawamu pada Eyang Guru!"
"Beda Kumala! Simpan dulu keinginanmu! Dan kalau kau menganggap urusan ini sebagai urusan antara murid, hanya ada dua pilihan
antara kita. Kau yang
menghadap Eyang Guru dengan membawa mayatku,
atau kau tak akan pernah menghadap Eyang Guru untuk selamanya!"
"Pitaloka...."
"Cukup!" tukas Pitaloka. "Urusan kita akan kita selesaikan setelah aku tuntaskan persoalan di sini!"
Walau hatinya mulai panas, namun Putri Kayangan
masih coba tersenyum dan berkata. "Kau sadar siapa
yang sedang kau hadapi saat ini, Pitaloka"! Kembang Darah Setan bukan benda
sembarangan! Belum lagi
dia memiliki ilmu aneh dengan tanpa bisa dikenali siapa sosok orang di balik
jubahnya!"
Saking jengkelnya Pitaloka menyahut. "Biar dia
punya seribu Kembang Darah Setan dan memiliki seribu ilmu aneh. Tapi dia tidak akan punya dua nyawa!"
Putri Kayangan hendak buka mulut lagi. Tapi sebelum suaranya terdengar, tiba-tiba di seberang sana
Dayang Sepuh telah berteriak.
"Hai, Gadis-gadis Setan! Di sini bukan tempatnya
ngobrol! Minggat jauh-jauh dari sini dan cari tempat yang enak kalau ingin adu
mulut!" Pitaloka dan Putri Kayangan sama menoleh. Diamdiam Pitaloka membatin dalam hati. "Nenek aneh....
Dia tadi menolongku dengan memotong pukulan Kembang Darah Setan! Hem.... Sekarang aku tidak akan
tinggalkan tempat ini! Siapa pun nenek itu adanya serta dua sahabatnya, yang
pasti dia tidak akan membiarkan aku celaka! Aku tak peduli apa maksud mereka menolongku! Yang jelas setidaknya aku baru akan
tinggalkan tempat ini dengan Pedang Tumpul 131!"
Niat semula Pitaloka yang hendak menyelamatkan
diri tiba-tiba berubah begitu menangkap gelagat jika sebagian orang di situ
tidak akan tinggal diam seandainya terjadi bentrok antara dia dengan sosok di
balik Jubah Tanpa Jasad.
Kalau Pitaloka membatin begitu, diam-diam Putri
Kayangan juga berkata sendiri dalam hati. "Kalau dia tidak mau kuajak dengan
baik-baik, terpaksa aku
mengajaknya dengan sedikit kasar! Tempat ini sangat berbahaya. Keselamatannya
harus ku jaga sampai di
hadapan Eyang Guru...."
Sementara mendapati dua gadis berbaju merah belum juga beranjak dari tempatnya, Dayang Sepuh makin jengkel. Sekali lagi dia berteriak dengan keras.
"Gadis-gadis setan! Kalau kalian...."
Dayang Sepuh putuskan teriakannya. Mulutnya
terkancing rapat. Matanya mendelik besar tatkala sekonyong-konyong dia melihat
bagaimana Jubah Tanpa
Jasad bergerak memutar menghadap ke arahnya. Dan
bersamaan dengan itu Kembang Darah Setan berkelebat. Wuusss! Kiblatan tiga sinar berwarna merah, hitam, dan putih menderu dahsyat. Bukan itu saja. Begitu sinar tiga warna telah melesat,
Kembang Darah Setan kembali
bergerak ke belakang. Kejap lain kembali berkelebat.
Hingga untuk kedua kalinya terlihat lagi kiblatan melesatnya tiga sinar tiga
warna menyusuli sinar yang pertama!
Dayang Sepuh menggerendeng tak karuan. Namun
bersamaan itu dia melompat ke arah samping. Lututnya ditekuk sedikit. Sepasang matanya dipejamkan.
Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu
perlahan-lahan kedua tangannya dibuka dan didorong
ke depan dengan pelan.
Wusss! Wusss! Dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh menyembur jilatan api. Jilatan api itu mula-mula melarik lurus. Setengah jalan
mendadak larikan jilatan api mengembang datar dan saat lain telah menyungkup
tempat Itu! Hingga untuk beberapa saat udara di tempat itu laksana tenggelam
dalam lautan api!
Hampir bersamaan dengan bergeraknya kedua tangan Dayang Sepuh, terdengar suara bersinan tiga kali.
Lalu dua gelombang luar biasa dahsyat menggebrak
dari kedua tangan Datuk Wahing. Hebatnya, gelombang itu perdengarkan deruan yang seolah diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin! Anehnya, deruan itu terus memantul tiada
hentinya! Datuk Wahing tampaknya telah melepas jurus 'Pantulan Tabir'. Ilmu
warisan dari Nyai Suri Agung nenek Setan Liang Makam dari Kampung Setan.
Mungkin merasa sinar yang melesat dari Kembang
Darah Setan sangat berbahaya, begitu Datuk Wahing
perdengarkan bersinan, di sampingnya Gendeng Panuntun gerakkan tangan kiri kanan mengusap cermin
bulat di depan perutnya.
Blapp! Blaapp! Dua cahaya putih terang mencuat laksana kilat.
Begitu cepat lesatan cahaya putih dari cermin kakek tambun itu, cahaya putih itu
berkiblat mendahului jilatan api dari kedua telapak tangan Dayang Sepuh!
Hingga kiblatan sinar tiga warna yang datang pertama kali bukannya disongsong
oleh jilatan kobaran api, melainkan oleh cahaya putih terang.
Blaarr! Dentuman menggelegar mengguncang tempat itu.
Dan gelegar belum sirna, kembali terdengar dentuman luar biasa kala sinar tiga
warna yang kedua menghantam kobaran api!
Cahaya putih dan sinar tiga warna yang menimbulkan ledakan pertama sama muncrat ke udara setinggi
delapan tombak. Disusul dengan berhamburnya jilatan api ke udara dan pecahnya
sinar tiga warna. Hebatnya pecahan sinar tiga warna masih mampu menerobos
pekatnya suasana dan menerabas langsung ke arah
Dayang Sepuh! Namun terabasan pecahan sinar tiga warna tidak
berlangsung lama. Karena begitu melesat ke arah
Dayang Sepuh, gelombang yang perdengarkan deru
pantul memantul sudah menggebrak menghadang!
Hadangan gelombang yang terus memantul yang bukan lain dilepas oleh Datuk Wahing serta-merta timbulkan letupan-letupan. Hingga gelegar kedua belum lenyap, tempat itu kembali
telah diguncang dengan letupan-letupan keras beberapa kali!
Guncangan dahsyat mau tak mau membuat tempat
itu bergetar hebat. Hal ini membuat Pedang Tumpul
131 yang masih menancap di atas tanah bergerak pulang balik dengan keras. Gerakan pedang sakti itu perdengarkan deruan luar biasa
dan lesatkan cahaya kekuningan yang membawa gelombang serta hawa panas
menyengat! Hadangan yang dilakukan Dayang Sepuh, Datuk
Wahing, serta Gendeng Panuntun membuat sosok Kiai
Laras mencelat tiga kali dan jatuh terkapar di atas tanah setelah menghantam
satu batangan pohon hingga
berderak tumbang.
Namun Kiai Laras seolah tidak merasakan pukulan
berat. Kalaupun dia mengeluh dan berseru tertahan,
itu pada saat sosoknya menghantam batangan pohon
yang membuat tubuhnya terhenti. Orang tua itu merasakan ada tabir penghalang di hadapannya saat lesatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan dihadang orang. Hingga begitu sosoknya terkapar, dia bisa segera kuasai diri dan
bergerak bangkit. Dia hanya
merasakan sedikit sesak pada dadanya. Lalu tangan
kanannya yang memegang Kembang Darah Setan terasa ngilu. Selebihnya, dia tidak mengalami cedera!
Sementara di depan sana, begitu cahaya putih dari
cerminnya menghadang sinar tiga warna, sosok Gendeng Panuntun bergoyang-goyang keras. Saat lain sosok tambun kakek ini tersapu satu tombak ke belakang. Namun posisinya belum juga berubah. Tetap
duduk di atas tanah meski paras wajahnya berubah
dan sepasang mata putihnya mengerjap beberapa kali.
Di sebelah sampingnya, begitu ledakan kedua terdengar, sosok Dayang Sepuh terhuyung sampai satu
tombak. Sebelum tubuhnya jatuh, si nenek cepat tekuk kedua lututnya lalu jatuhkan diri duduk berlutut dengan kedua tangan segera
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditarik dan dirangkapkan di depan dada. Sepasang matanya makin dipejamkan
dan mulutnya berkemik.
Si nenek berusaha kuasai diri dan mengatur jalan
darahnya yang terasa menyentak-nyentak. Untuk beberapa lama sosoknya bergetar keras. Kelabangan
rambutnya tergerai lepas dan tampak berkibar-kibar.
Bedak putih tebal pada raut mukanya perlahan-lahan
luntur oleh keringat yang membanjir. Hingga dalam
beberapa saat terlihat mukanya yang tadi putih berubah menjadi hitam legam!
Bibirnya yang tadi dipoles warna merah belepotan luntur di sekitar mulutnya.
Hingga paras nenek ini berubah makin menakutkan!
Sedangkan Datuk Wahing tampak terseret lima
langkah namun posisinya tetap duduk bersimpuh. Walau paras mukanya berubah dan sosoknya bergetar,
tapi kakek ini dalam beberapa saat sudah gerakkan
kepala pulang balik ke depan ke belakang lalu perdengarkan bersinan beberapa
kali! Di lain pihak, meski Pitaloka dan Putri Kayangan,
serta Setan Liang Makam tidak terlibat dalam bentrok pukulan, namun bias
beradunya beberapa pukulan
membuat sosok masing-masing orang ini terdorong deras ke belakang. Seandainya mereka tidak segera kuasai diri dengan kerahkan
tenaga dalam, niscaya mere-ka akan jatuh terjengkang di atas tanah!
Kiai Laras yang sudah tegak dan kuasai diri pertama kali segera hadapkan tubuh pada Dayang Sepuh,
Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun. Kalau tadi
dia masih bimbang dalam menghadapi ketiga orang
itu, setelah tahu apa yang baru saja terjadi, kebimbangan sang Kiai sirna. Dia
kini yakin akan kekuatan di tangannya. Hingga seraya hadapkan tubuh, kedua
tangannya diangkat diletakkan pada pinggang kanan
kirinya. Namun karena semua orang di tempat itu tidak bisa melihat pada sosoknya, mereka hanya bisa
melihat pada gerakan Jubah Tanpa Jasad yang terangkat sedikit pada bagian lengan kanan kirinya.
"Kalian bertiga!" seru Kiai Laras lantang. "Hanya sa-tu jalan yang akan
menyelamatkan nyawa kalian masing-masing!" Kiai Laras tertawa pendek dahulu lalu
melanjutkan. "Mendekatlah kemari dengan merangkak
dan bersuaralah seperti gonggongan anjing! Lalu berlu-tutlah di hadapanku!"
Dayang Sepuh mendengus. Sepasang matanya dibuka lalu bangkit berdiri dengan kedua tangan masih merangkap di depan dada.
Sebelum nenek ini bersuara, Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua
kali lalu angkat bicara.
"Sahabat sekalian.... Apa kita harus melakukan perintah mengherankan itu"!"
"Ah.... Mungkin perintah itu hanya bercanda...,"
Gendeng Panuntun menyahut.
"Bercanda atau tidak, tapi mulut setan itu sudah
terlalu!" Dayang Sepuh menimpali dengan pasang
tampang garang.
Saat orang lain adu mulut, diam-diam Setan Liang
Makam yang sedari tadi hanya diam kerahkan segenap
tenaga dalamnya. Walau dia telah tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan serta Jubah Tanpa
Jasad, namun cucu Nyai Suri Agung ini seakan tidak
ambil peduli. Yang tertanam dalam benaknya adalah
bagaimana caranya bisa mengambil kembali dua senjata pusaka milik leluhurnya itu. Tapi Setan Liang Makam tidak bodoh apalagi
bertindak ayal. Dia menunggu kesempatan baik. Dan begitu melihat orang sedang
adu mulut, dirasa itulah kesempatan yang harus tidak disia-siakan. Maka lakilaki ini segera kerahkan segenap tenaga dalamnya. Kejap lain dia melesat ke arah
Kiai Laras. Kedua tangannya disentakkan.
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat yang disertai hamparan
warna hitam menggidikkan menderu ganas ke arah
Kiai Laras. Kiai Laras tersentak kaget. Namun kepercayaan diri
membuat laki-laki ini segera dapat kuasai rasa kejutnya. Bahkan kini menghadapi
pukulan lawan dengan
tertawa bergelak panjang! Bersamaan itu tangan kanannya yang memegang Kembang Darah Setan dikelebatkan seraya menyingkir ke samping dengan melompat. Setan Liang Makam kini balik tersentak. Dia sama
sekali tidak menduga jika gerakan lawan begitu cepat.
Dia tadi sudah mengukur jarak. Dan yakin kalau
orang yang dihantamnya tidak mungkin lagi punya kesempatan untuk laksanakan hadangan pukulan.
Blaarr! Dua gelombang yang menderu ke arah Kiai Laras
semburat berantakan. Kiai Laras terhuyung-huyung
tapi tidak sampai jatuh. Di lain pihak, Setan Liang Makam langsung terjerembab
di atas tanah dengan mulut keluarkan darah.
Sementara sebelum Kiai Laras kelebatkan Kembang
Darah Setan, Pitaloka yang secara diam-diam juga menunggu kesempatan tidak mau
lagi mengulangi kesalahan. Dia kini tidak mau menunggu sampai terjadi
bentrok pukulan yang mengakibatkan Pedang Tumpul
131 sukar didekati. Hingga begitu Kembang Darah Setan berkelebat menghadang pukulan Setan Liang Makam, Pitaloka cepat berkelebat ke arah Pedang Tumpul 131!
"Pitaloka! Jangan lakukan itu!" Putri Kayangan berteriak mencegah. Namun terlambat. Pitaloka teruskan kelebatannya.
Sejengkal lagi tangan Pitaloka menyentuh Pedang
Tumpul 131, tiba-tiba dari arah samping satu sambaran angin menggebrak. Pitaloka berseru tertahan. Kedua tangannya segera ditarik
lalu disentakkan menghadang gebrakan angin. Namun datangnya gerakan
angin lebih cepat dari sentakan kedua tangan si gadis.
Hingga tanpa ampun lagi sosok Pitaloka tersapu mental ke belakang. Saat itulah satu bayangan putih melesat ke arah Pedang Tumpul
131. *** EMPAT BEGITU sosok Pitaloka yang tersapu hendak menghantam tanah, ledakan keras akibat benturan pukulan Setan Liang Makam dan
Kembang Darah Setan terjadi.
Hingga sosok Pitaloka kembali terpental.
Putri Kayangan pentangkan mata memperhatikan
arah mentalan sosok Pitaloka. Lalu melesat dan menyambar tubuh saudara kembarnya tanpa menunggu
sosok Pitaloka melayang jauh ke bawah.
Kiai Laras tampaknya dapat menangkap gelagat apa
yang baru saja dilakukan Pitaloka. Hingga begitu dapat kuasai diri, dia cepat
putar tubuh. Mendadak orang ini bantingkan kaki dengan mulut perdengarkan
makian. Matanya membelalak ke tempat di mana tadi Pedang
Tumpul 131 menancap. Ternyata pedang itu sudah lenyap! Kiai Laras angkat sedikit mukanya yang berubah
garang. Matanya makin membeliak tak berkesip. Sosoknya bergetar tanda hawa amarahnya telah menggelegak ketika melihat satu sosok tubuh berpakaian putih tegak di depan sana dan
tengah memperhatikan
Pedang Tumpul 131 yang ada di tangan kanannya.
"Pendekar 131!" seru Pitaloka dan Putri Kayangan
hampir berbarengan ketika turun di atas tanah dan
matanya melihat seorang pemuda berwajah tampan
berambut panjang sedikit acak-acakan yang tengah
memperhatikan pedang di tangan kanannya.
"Hem.... Untung tidak dipalsu!" gumam si pemuda
berpakaian putih yang tidak lain memang Pendekar
131 Joko Sableng. Tanpa acuhkan berpasang-pasang
mata yang kini memandang ke arahnya, murid Pendeta
Sinting arahkan pandang matanya menyusur tanah.
"Sarungnya ada di sana!" ujar Joko. Masih tanpa
angkat kepala memandang siapa saja yang ada di tempat itu, dia melangkah ke arah sarung pedang yang
tergeletak di atas tanah.
"Setan geblek! Apa dia tidak melihat ada setan di
hadapannya"!" ujar Dayang Sepuh mendapati apa
yang dilakukan murid Pendeta Sinting.
"Pendekar 131! Lihat ke depan!" Putri Kayangan
mendadak berteriak tatkala melihat bagaimana Joko
terus melangkah tanpa mengangkat kepala. Padahal
lurus di depannya Kembang Darah Setan sudah bergerak terangkat ke atas.
Pendekar 131 berpaling ke arah suara yang baru
terdengar. Sesaat sepasang matanya melebar menyipit perhatikan Pitaloka dan
Putri Kayangan.
"Kini baru aku merasa yakin kalau ada dua Putri
Kayangan! Namun sulit bagiku mengatakan mana yang
mengambil pedangku tempo hari!" kata Joko lalu anggukkan kepala dan berujar.
"Mau mengaku siapa di antara kalian yang mengambil milikku tempo hari"!"
Paras muka Pitaloka dan Putri Kayangan sama berubah. Sulit diartikan perubahan pada wajah keduanya. Namun sejauh ini kedua gadis yang sama berparas cantik ini tidak ada yang buka mulut menjawab
pertanyaan murid Pendeta Sinting. Sebaliknya mereka berdua sama saling pandang.
"Sebelum kudapatkan kembali pedangku, rasanya
tanganku sudah gatal hendak menggebuk jika kutemukan. Tapi begitu benar-benar bertemu, rasanya
tanganku tak kuasa melakukannya! Nyatanya perempuan cantik bukan hanya menambah persoalan, tapi
juga dapat merubah niat!" kata Joko dalam hati. Lalu berpaling lagi ke depan.
Saat itulah matanya melihat jubah hitam serta Kembang Darah Setan yang terapung
di atas udara. Murid Pendeta Sinting melongo dengan mata mendelik. Tangan kirinya berulang kali diusap-usapkan pada matanya. Lalu kepalanya
disorongkan ke depan.
"Setan atau apa ini"!" gumamnya dalam hati. Tanpa
sadar kedua kakinya bergerak. Bukan melangkah
mundur melainkan maju! Namun begitu sadar, kembali kaki nya mundur ke tempat semula.
Belum lenyap rasa kaget Pendekar 131, di depan
sana Datuk Wahing telah perdengarkan bersinan dua
kali. Lalu disusul dengan ucapan.
"Harap tidak merasa heran dan ingat akan keteranganku, Anak Muda!"
"Datuk Wahing!" seru Joko lalu alihkan pandang
matanya. Ketika dilihatnya si kakek memandang ke
arahnya, Joko menjura hormat.
Mata murid Pendeta Sinting terus melebar ke samping. Saat menumbuk sosok Dayang Sepuh, kembali
Joko menjura seraya berucap.
"Nenek Dayang Sepuh...."
Dayang Sepuh mendelik. Lalu menukas ucapan Joko. "Dasar setan! Sudah berkali-kali ku ingatkan, tapi kau tidak mau mengerti
juga!" Joko buru-buru sadar. Kembali dia mengulangi
menjura seraya berkata. "Bibi nan Cantik, Dayang Sepuh...!"
Mata Dayang Sepuh terpejam-pejam dengan bibir
tersenyum. Lalu rapikan geraian poni rambutnya yang tadi bersibakan. Rambutnya
yang kini terlepas bergerai cepat-cepat disanggul sekenanya. Bajunya yang
cingkrang sedikit ditarik-tarik ke bawah.
Pendekar 131 segera alihkan pandang matanya, takut kalau si nenek tahu jika dia sedang menahan tawa. Ketika matanya melihat sosok Gendeng Panuntun,
kembali Joko membuat gerakan menjura. Namun kali
ini sebelum sempat bersuara, Gendeng Panuntun sudah mendahului.
"Selamat jumpa lagi, Anak Muda.... Bagaimana kabar gadis-gadismu"!"
Pendekar 131 sudah hendak menjawab. Namun
mendengar lanjutan ucapan Gendeng Panuntun, dia
jadi kancingkan mulut. Sebaliknya hanya menjawab
dalam hati. "Urusannya jadi repot kalau menghadapi
orang-orang begini...."
Di antara semua orang di situ, yang paling terkejut dengan kemunculan murid
Pendeta Sinting adalah Setan Liang Makam. Hingga meski masih merasakan sakit pada sekujur tubuhnya, laksana terbang dia beranjak bangkit. Seraya mengusap
kucuran darah pada
mulutnya, sepasang matanya mendelik.
"Pendekar 131 Joko Sableng! Bagaimana bisa begini"! Lalu siapa sebenarnya pemegang Kembang Darah
Setan dan pemakai Jubah Tanpa Jasad itu"!"
Selagi Setan Liang Makam menduga-duga, murid
Pendeta Sinting tepat sedang memandang ke arahnya.
Kembali Joko terkesiap kaget.
"Dugaan Datuk Wahing tepat.... Setan Liang Makam
masih hidup! Dan jubah hitam yang mengapung di
udara itu pastilah yang disebut-sebutnya Jubah Tanpa Jasad! Sebuah jubah yang
bila dikenakan, maka sosok si pemakai tidak akan kelihatan! Mungkin saat inilah
waktunya mengetahui siapa gerangan di balik peristiwa ini!
Dan kepastian itu akan terbukti dengan jalan mengenali siapa sebenarnya sosok tak kelihatan di balik Jubah Tanpa Jasad itu!"
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera alihkan pandang matanya pada Jubah Tanpa Jasad dan
berkata. "Siapa kau sebenarnya"! Mengapa hal ini kau lakukan dengan melibatkan diriku yang tak tahu apaapa"!"
Untuk kesekian kalinya Kiai Laras terkejut.
"Aneh.... Rupanya ada yang tak beres begitu aku mengenakan jubah ini! Semua
orang seakan tidak mengenaliku! Padahal aku yakin pasti dia tidak akan lupa pada wajahku! Hem....
Keanehan apa sebenarnya ini"!
Kalau benar mereka sekarang tidak bisa mengenaliku, itu akan lebih baik! Mereka
akan kubuat penasaran
sampai masuk liang neraka! Ha.... Ha.... Ha...!" Kiai Laras tertawa dalam hati.
Namun seakan belum percaya pada diri sendiri, Kiai
Laras angkat tangan kirinya lalu mengusap-usap pada wajahnya. Kepalanya pun
bergerak memperhatikan dirinya sendiri. "Tidak ada yang berubah...," gumamnya
masih merasa aneh. "Tapi persetan dengan semua itu!
Mereka mengenaliku atau tidak, yang jelas mereka harus mampus saat ini juga!"
Mendapati pertanyaannya tidak dijawab orang, malah terlihat gerakan-gerakan pada Jubah Tanpa Jasad, Joko waspada dan cepat
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sumpah Palapa 29 Pendekar Kembar Karya Gan K L Memanah Burung Rajawali 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama