Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara Bagian 2
kerahkan tenaga dalam pada
tangannya. Lalu kembali berkata.
"Kau telah dengar pertanyaanku, harap suka menjawab!" "Jawaban itu kelak akan kau peroleh di neraka!"
Kiai Laras perdengarkan suara.
"Hem.... Aku sepertinya pernah mendengar suara
orang ini! Berarti aku yakin mengenalnya, atau setidaknya pernah bicara
dengannya!" Murid Pendeta
Sinting dongakkan kepala seolah mengingat. Tapi tak lama kemudian dia geleng
kepala. "Mengenali orang
lewat suaranya sulit.... Ah, bukankah Kakek Gendeng Panuntun ada di sana. Kurasa
dia bisa mengetahui...."
Berpikir begitu, murid Pendeta Sinting segera saja
berkelebat. Dan tahu-tahu sosoknya telah tegak di
samping Gendeng Panuntun. Namun begitu Joko tegak, Gendeng Panuntun sudah gerakkan kepala menggeleng seraya berkata.
"Jangan tanya padaku, Anak Muda...."
Joko menghela napas lalu berpaling pada Datuk
Wahing. Lagi-lagi sebelum Joko sempat angkat suara, Datuk Wahing telah bersin
dua kali sembari berucap.
"Adalah satu hal yang mengherankan kalau aku lebih tahu dari dia!" Tangan kanan Datuk Wahing menunjuk pada Gendeng Panuntun.
Kini murid Pendeta Sinting alihkan pandangannya
pada Dayang Sepuh. Si nenek sudah tersenyum dahulu lalu berkata.
"Yang jelas dia adalah seorang laki-laki! Soal siapa orangnya, bisa kau tanyakan
pada setan gentayangan!"
Walau sudah merasa pasti tidak tahu juga, tapi murid Pendeta Sinting coba arahkan pandangannya pada
Pitaloka dan Putri Kayangan.
Yang dipandang sama saling pandang satu sama
lain. Lalu Pitaloka berpaling pada jurusan lain. Sementara Putri Kayangan
gelengkan kepala dengan raut
bersemu merah. "Aku masih sulit mengenali. Siapa yang menggeleng
dan siapa yang berpaling!" gumam murid Pendeta Sinting.
Di lain pihak, begitu mendapati apa yang dilakukan
Pendekar 131, Kiai Laras makin yakin jika semua
orang di tempat itu tidak bisa mengetahui siapa dia sebenarnya. Maka saat itu
juga dia berkata dengan kepala mendongak.
"Dengar semua! Agar kalian tidak mati penasaran,
akan kukatakan siapa aku!"
Tempat itu seketika hening. Semua orang sama
arahkan mata pada Jubah Tanpa Jasad kecuali Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun. Datuk Wahing tetap
gerakkan kepala pulang balik ke depan ke belakang
dengan mimik orang hendak bersin, sedang Gendeng
Panuntun pejamkan matanya yang putih sambil tengadah. Tangan kiri kanannya bergantian mengusap
cermin bulat pada depan perutnya.
"Aku adalah Penguasa Kampung Setan!" Kiai Laras
lanjutkan ucapan. "Dan sejak hari ini semua orang harus tunduk di bawah telapak
kakiku!" Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya dengan kepala digerakkan
menyapu ke seantero tempat itu. Seraya sunggingkan
senyum laki-laki ini lanjutkan ucapannya. "Ini memang bukan paksaan, tapi siapa yang membangkang
maka takdirnya buruk!"
"Siapa percaya!" Tiba-tiba satu suara menyahut.
Ternyata yang bersuara adalah Setan Liang Makam.
"Akulah Penguasa Kampung Setan! Aku generasi terakhir Kampung Setan!"
Kiai Laras tidak berpaling pada Setan Liang Makam
meski dia segera menyahut.
"Hem.... Begitu"! Mau tunjukkan padaku kalau
ucapanmu tadi bisa dipercaya"!"
Setan Liang Makam terdiam. Namun tak lama kemudian sudah buka suara.
"Hanya karena kelicikanmu, lambang Kampung Setan lepas dari tanganku!"
Kiai Laras tertawa. "Itu bukan jawaban pertanyaanku, Manusia Setan! Aku tanya tunjukkan kalau kau
Penguasa Kampung Setan!"
Dada Setan Liang Makam laksana meledak saking
geramnya. Namun laki-laki cucu Nyai Suri Agung ini
hanya bisa diam, membuat Kiai Laras berucap lagi.
"Kau mengaku sebagai Penguasa Kampung Setan.
Tapi tidak dapat tunjukkan bukti ucapanmu! Sekarang aku tanya padamu. Apa kau
ingin bukti kalau akulah
Penguasa Kampung Setan"!"
Setan Liang Makam lagi-lagi tidak menjawab. Kiai
Laras tertawa ngakak. "Bertahun-tahun Kampung Setan menjadi legenda karena kesaktian penguasanya.
Adalah manusia dungu kalau mengaku sebagai Penguasa Kampung Setan dengan bekal ilmu sejengkal!" Kini Kiai Laras putar tubuh
menghadap Setan Liang Makam. "Aku tanya sekali lagi.... Kau ingin bukti dariku
bahwa akulah sang Penguasa Kampung Setan"!" seraya berkata begitu Kiai Laras
mengangkat Kembang
Darah Setan di tangan kanannya.
Setan Liang Makam tercekat. Mulutnya terkancing.
Cucu Nyai Suri Agung ini sudah merasa tidak akan
mampu menahan jika sosok di balik Jubah Tanpa Jasad benar-benar hantamkan Kembang Darah Setan.
Selain dirinya telah terluka dalam, kesaktian Jubah Tanpa Jasad akan membuatnya
sia-sia melakukan
pukulan. Namun Kiai Laras perlahan-lahan turunkan Kembang Darah Setan. Lalu berkata.
"Membunuhmu semudah ini!" Semua orang yang
memandang melihat percikan air mencuat dari bagian
atas Jubah Tanpa Jasad. Jelas kalau semua orang tidak bisa melihat sosok di balik jubah, namun mereka bisa memastikan jika cuatan
air itu adalah air ludah!
"Namun sebagai penguasa, aku tidak akan mudah
turunkan tangan maut! Asal kau segera lakukan apa
yang kuperintahkan! Kau dengar, Manusia Setan"!"
Dada Setan Liang Makam makin bergemuruh. Namun maklum akan posisinya, cucu dari Nyai Suri
Agung ini hanya bisa memandang tanpa menyahut.
"Manusia setan! Merangkaklah ke hadapanku dengan mengembik! Tirukan suara kambing keras-keras
lalu berlutut di hadapanku!"
Setan Liang Makam laksana disambar petir. Sosoknya yang hanya merupakan susunan kerangka bergetar keras. Tulang sekujur wajahnya bergerak-gerak.
"Aku tak akan mengulangi perintah! Lakukan sekarang! Cepat!" Kiai Laras membentak. Saat yang sama
Kembang Darah Setan kembali diangkat.
Setan Liang Makam menghela napas dalam. Entah
apa pertimbangannya, perlahan-lahan laki-laki ini tekuk kedua lututnya lalu
duduk bersimpuh di atas tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan pada
Kembang Darah Setan. Dan begitu melihat Kembang
Darah Setan hendak berkelebat, dia cepat tarik tubuhnya ke depan membuat gerakan
menungging! "Jangan membuat kesabaranku habis! Tirukan suara kambing dan merangkak ke hadapanku!" Kiai Laras
menghardik. Dengan dada di buncah perasaan tak karuan, Setan
Liang Makam buka mulut. Lalu terdengarlah cucu Nyai Suri Agung ini perdengarkan
suara kambing seraya
merangkak! "Kau laki-laki, Manusia Setan! Jangan bersuara seperti perempuan! Yang keras!" bentak Kiai Laras ketika didengarnya suara Setan
Liang Makam sangat pelan.
"Kau akan rasakan batasanku nanti, Jahanam
Bangsat! Saat ini kau menang! Tapi itu hanya untuk
sementara! Kau nanti akan merasakan lebih dari semua ini!" Setan Liang Makam memaki dalam hati. Dan
dengan menindih segala perasaan serta tabahkan hati, akhirnya dia tirukan suara
kambing dengan keras-keras.
"Bagus! Bagus!" Kiai Laras anggukkan kepala berulang kali lalu tertawa ngakak. Sementara sepasang matanya melirik pada Dayang
Sepuh, Datuk Wahing,
Gendeng Panuntun, serta Pendekar 131. "Kalian juga
akan melakukan hal yang sama!"
Saat itulah mendadak ekor mata Kiai Laras menangkap berkelebatnya satu bayangan. Laksana disentak setan, kepala Kiai Laras cepat berpaling.
"Kau datang pada saat yang salah!" desis Kiai Laras.
Lalu alihkan pandangannya. Bersamaan dengan itu
satu sosok tubuh berkelebat dan tegak tidak jauh dari tempat berdirinya Pitaloka
dan Putri Kayangan.
*** LIMA DIA adalah seorang laki-laki berusia lanjut mengenakan pakaian warna putih. Rambutnya putih panjang. Sepasang matanya sedikit sayu. Pada cuping hidungnya melingkar sebuah
anting-anting. "Kiai Laras.... Atau Kiai Lidah Wetan"!" Pendekar
131 bergumam sendiri. Lalu perhatikan orang yang ba-ru muncul sekali lagi. "Yang
ini pasti Kiai Lidah Wetan!" Murid Pendeta Sinting meyakinkan. Lalu perlahan-lahan Pedang Tumpul 131 dimasukkan ke balik
pakaiannya dengan hati-hati karena pedang itu tanpa sarung.
"Kurasa ada seorang sahabat yang baru muncul...,"
Gendeng Panuntun angkat suara.
"Bruss! Kuharap kehadirannya tidak menambah
suasana heran di tempat ini!" Datuk Wahing menyahut. Dayang Sepuh yang tegak tidak jauh dari murid
Pendeta Sinting tidak buka mulut. Dia hanya memandang sekilas lalu melangkah ke arah Gendeng Panuntun. Di seberang sana, Pitaloka dan Putri Kayangan
sempat terkejut dengan kemunculan orang yang bukan
lain memang Kiai Lidah Wetan adanya. Kedua gadis ini sejenak berpaling pada Kiai
Lidah Wetan. "Pitaloka.... Tempat ini makin tidak aman! Tidak ter-tutup kemungkinan sebentar
lagi akan muncul orang
baru! Kita sebaiknya segera pergi!" Putri Kayangan
berbisik. Pitaloka melotot pada saudara kembarnya. "Kalau
kau takut, pergilah sendirian!"
"Aku bukannya takut.... Tapi ini demi perintah
Eyang Guru! Lagi pula pedang itu sudah diambil pemi-liknya! Tak ada lagi bukan
urusannya di tempat ini"!"
Pitaloka tertawa pendek. "Bukan pedang itu yang
kuinginkan! Tapi Kembang Darah Setan itu!"
"Pitaloka.... Kau boleh punya keinginan. Tapi kau
harus ukur dahulu kemampuan! Kau tadi telah melihat bagaimana peristiwa di tempat ini!"
"Aku memang tidak punya kemampuan tinggi untuk mengalahkan mereka! Tapi aku punya cara untuk
bisa mendapatkannya!"
"Tapi caramu salah...!"
Pitaloka angkat tangannya. Telunjuk jarinya diluruskan ke arah wajah Putri Kayangan. "Kau tidak berhak menilai caraku! Kau
dengar itu"!"
"Tapi apa yang kau lakukan setidaknya membuat
aku ikut terlibat! Orang yang tidak tahu pasti menduga akulah yang
melakukannya!"
"Persetan dengan semua itu! Yang penting aku tidak
melibatkan dirimu! Hanya orang tolol dan buta yang
tidak bisa membedakan!"
"Pitaloka! Jangan membuatku melakukan perintah
Eyang Guru dengan caraku sendiri!" Putri Kayangan
membentak dengan suara keras.
"Tadi sudah kukatakan, kau mau apa kalau aku tidak mau turuti perintah, hah"!"
Putri Kayangan menghela napas panjang. Untuk
beberapa saat dia edarkan pandang matanya menindih
kegeraman yang mulai melanda dadanya.
"Gadis-gadis setan!" gumam Dayang Sepuh. "Apa
mereka kira ini tempat yang cocok untuk adu mulut!"
"Harap mengerti.... Sebagai orang muda jalan pikirannya tentu belum sepanjang apa yang kau pikirkan, Nek...." Gendeng Panuntun
sambuti ucapan Dayang
Sepuh. "Kau tidak bisa melihat mereka! Jadi aku maklum
kalau gadis-gadis segede setan itu masih kau katakan sebagai orang muda!"
Gendeng Panuntun tertawa seraya gelengkan kepala. "Aku memang tidak bisa melihat mereka. Tapi aku dapat merasakan dari ucapanucapan mereka!"
"Ah, persetan dengan semua itu!" sahut Dayang Sepuh. "Sekarang aku ingin tanya. Kau tahu siapa setan yang kau katakan sebagai
sahabat dan tegak di depan sana itu"!" Dayang Sepuh arahkan pandangannya ke
arah Kiai Lidah Wetan.
"Kau yang bisa melihat. Mengapa bertanya padaku?" "Setan! Aku memang bisa melihat! Tapi aku tidak
mengenalinya!"
"Kalau yang bisa melihat tidak dapat mengenali, apa berarti yang buta bisa
mengenalinya"!"
"Kau benar-benar setan! Bukankah kau tadi sudah
mengatakan setan yang baru datang itu adalah seorang sahabat! Berarti kau mengenalinya!"
"Aku hanya mengatakan sahabat. Jadi belum pasti
aku mengenalinya.... Karena semua orang kuanggap
sebagai sahabat. Tidak terkecuali setan sekalipun...."
"Aku mengenal siapa dia, Bibi Cantik...." Joko ikut ambil suara. "Dia adalah
Kiai Lidah Wetan."
"Setan! Itu aku sudah tahu!"
"Lalu"!" Joko bertanya.
"Siapa dia sebenarnya"!"
"Ah, kalau itu persoalannya, sebaiknya kita tanyakan saja padanya!"
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dayang Sepuh sudah hendak menghardik. Namun
diurungkan ketika dari arah depan terdengar Kiai Laras angkat bicara.
"Orang yang baru datang! Kau lihat apa yang terjadi di depanku! Sebelum kau
nanti mengalami hal yang
sama, kuperingatkan kau untuk segera angkat kaki
dari sini!"
Kiai Lidah Wetan terkejut. Laki-laki kakak kandung
dari Kiai Laras ini sesaat tadi masih terkesima dengan pemandangan di
hadapannya. Dia tak habis pikir bagaimana sebuah jubah menggantung tegak di
udara. Dan dia pun makin terkesima melihat Kembang Darah
Setan yang juga terapung di atas udara.
Mula-mula Kiai Lidah Wetan menduga orang berjubah hitam adalah Setan Liang Makam. Namun begitu
melihat Setan Liang Makam merangkak dan tadi perdengarkan suara kambing, orang ini jadi bertanyatanya dan makin heran.
Sementara melihat kemunculan orang, Setan Liang
Makam hentikan rangkakannya. Mulutnya yang perdengarkan suara kambing pun dihentikan. Dia angkat
kepalanya lalu memandang ke arah Kiai Lidah Wetan.
"Aku pernah melihat orang ini.... Tapi aku lupa di
mana...," kata Setan Liang Makam dalam hati. Lalu
kembali tundukkan kepala.
"Mungkinkah orang yang baru bersuara tapi tidak
kelihatan wujudnya tadi adalah Laras"!" Kiai Lidah
Wetan menduga. "Suaranya memang hampir mirip.
Tapi bagaimana mungkin"! Bukankah Kembang Darah
Setan sudah diberikan pada Setan Liang Makam saat
di teluk tempo hari"! Hem.... Apa sebenarnya yang telah terjadi" Apa ini ada
hubungannya dengan berantakannya tempat di Kampung Setan itu"!"
Seperti diketahui, Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras
yang menyamar sebagai murid Pendeta Sinting datang
ke teluk. Di sana Kiai Laras menyerahkan Kembang
Darah Setan pada Setan Liang Makam. Lalu keduanya
mengikuti jejak Setan Liang Makam yang ternyata menuju ke Kampung Setan. Kiai Lidah Wetan tidak tahu
apa maksud Kiai Laras memberikan Kembang Darah
Setan dan mengikuti jejak Setan Liang Makam.
Begitu meninggalkan Kampung Setan, di tengah jalan Kiai Lidah Wetan dan Kiai Laras berpencar. Karena mereka merasa diikuti
orang yang ternyata adalah Kiai Tung-Tung alias Pendekar 131 Joko Sableng. Namun
Kiai Lidah Wetan agak tidak beruntung, karena ternya-ta Kiai Tung-Tung
mengejarnya. Sempat terjadi bentrok antara Kiai Lidah Wetan dan Kiai Tung-Tung.
Maklum kalau lawan memiliki ilmu di atasnya, akhirnya Kiai Lidah Wetan melarikan diri. Kiai Tung-Tung mengejar. Saat itulah tibatiba ada seseorang yang lepaskan pukulan menghadang Kiai Tung-Tung hingga
Kiai Lidah Wetan selamat.
Begitu bisa lolos dari kejaran orang, Kiai Lidah Wetan mulai berpikir apa yang
baru saja dilakukan Kiai Laras. Akhirnya dia memutuskan untuk menyelidik ke
Kampung Setan. Kiai Lidah Wetan sempat masuk ke Istana Sekar
Jagat. Namun setelah agak lama berada di Istana Sekar Jagat, dia tidak menemukan siapa-siapa. Dia
hanya bisa melihat porak-porandanya bangunan bagian atas yang berbentuk kerucut. Dan dia hanya bisa menduga jika tidak
berselang lama telah terjadi bentrokan hebat di tempat itu. Namun sejauh ini dia
tidak bisa menentukan siapa orangnya.
Pada akhirnya, Kiai Lidah Wetan keluar dari Kampung Setan dan berkelebat ke arah barat. Agak jauh
meninggalkan Kampung Setan, tiba-tiba Kiai Lidah
Wetan mendengar suara ledakan lalu ditingkah dengan terdengarnya gelakan tawa.
Terakhir sayup-sayup telinganya mendengar suara kambing. Yang membuat
Kiai Lidah Wetan memutuskan untuk melihat apa yang
terjadi, suara kambing itu sangat keras dan terus menerus! Hingga tanpa pikir
panjang lagi Kiai Lidah Wetan berkelebat ke arah datangnya suara kambing.
"Baik! Kau tak mau mendengar peringatanku!
Tunggulah di tempatmu sampai giliranmu sampai!"
Kiai Laras buka suara lagi. Jubah Tanpa Jasad bergerak memutar menghadap Setan
Liang Makam. "Aku tak memerintah mu berhenti! Atau kau ingin
mampus sekarang"!"
Hardikan Kiai Laras belum selesai, Setan Liang Makam telah bergerak merangkak lagi sambil buka mulut tirukan suara kambing. Kiai
Laras kembali tertawa
bergelak. "Bagus! Cukup!" kata Kiai Laras saat Setan Liang
Makam berjarak lima langkah di hadapannya. "Sekarang berlutut dan tempelkan keningmu di atas tanah!
Jangan berani angkat kepala sebelum aku perintah!"
Masih dengan sosok bergetar Setan Liang Makam
lakukan yang dikatakan Kiai Laras. Kiai Laras makin keraskan gelakan tawanya.
Tapi kali ini tiba-tiba dia putuskan tawanya. Jubah Tanpa Jasad memutar ke
arah Pitaloka dan Putri Kayangan.
Kedua gadis ini serentak tergagu. Tapi Putri Kayangan cepat berbisik. "Masih ada kesempatan, Pitaloka!"
"Tidak! Kau saja yang tinggalkan tempat ini! Justru saat inilah yang kutunggu!"
sahut Pitaloka.
"Kau jangan gila! Tak mungkin kita mampu!"
"Kau jangan mengukur segalanya dengan kemampuan! Tapi gunakan otak!"
Belum sampai Pitaloka selesai berucap, Putri
Kayangan sudah menarik tangan saudara kembarnya.
Tapi belum sempat Putri Kayangan bergerak lebih
jauh, Kiai Laras telah angkat suara.
"Kalian berdua! Kuperintahkan kalian untuk mendekat dengan merangkak!"
Putri Kayangan tidak hiraukan ucapan Kiai Laras.
Dia kembali menarik tangan Pitaloka. Namun Pitaloka segera sentakkan tangannya
hingga tarikan Putri
Kayangan lepas. Tanpa diduga-duga Pitaloka segera jatuhkan diri lalu merangkak
ke arah Kiai Laras.
"Pitaloka! Kau melakukan tindakan bodoh!" seraya
berkata Putri Kayangan segera berkelebat ke depan.
Kembali tangannya menarik tubuh Pitaloka.
"Setan! Apa yang ada dalam benak gadis setan itu"!"
Dayang Sepuh sudah menggerendeng melihat apa yang
dilakukan Pitaloka. Di sebelahnya Datuk Wahing bersin-bersin beberapa kali. Gendeng Panuntun tengadahkan kepala. Sementara Pendekar 131 Joko Sableng
hanya melihat dengan mulut terkancing.
Baru saja tangan Putri Kayangan hendak menarik
tubuh Pitaloka, tiba-tiba dari arah Jubah Tanpa Jasad menderu satu gelombang
dahsyat. Putri Kayangan urungkan niat. Kedua tangannya
ditarik pulang. Lalu disentakkan ke depan.
Blaamm! Terdengar ledakan dahsyat. Sosok Putri Kayangan
terjajar dua langkah. Pitaloka cepat selamatkan diri dengan jatuhkan diri
berguling di atas tanah. Namun gadis ini cepat bangkit dan membuat gerakan
merangkak. "Pitaloka! Kau membangkang perintah Eyang Guru,
sebaliknya enak saja menuruti perintah orang! Daripa-da gagal membawamu ke
hadapan Eyang Guru, lebih
baik kau mati di tanganku!"
Baru saja Putri Kayangan berucap begitu, Pitaloka
angkat tubuhnya. Kedua tangannya sekonyongkonyong didorong ke arah Putri Kayangan.
"Kau terlambat, Beda Kumala! Dan lebih dari itu
kau selalu merecoki urusanku! Bukan aku yang mati
di tanganmu, tapi kau yang akan mampus di tanganku!" Satu gelombang angin deras menghantam ke arah
Beda Kumala alias Putri Kayangan. Saat yang sama
kembali dari arah Jubah Tanpa Jasad menggebrak deruan gelombang.
Melihat hal ini murid Pendeta Sinting segera hendak melompat. Namun Datuk Wahing
sudah perdengarkan
bersinan dan berkata.
"Jangan melakukan tindakan yang mengherankan,
Anak Muda! Sebaiknya kita tunggu dulu agar kita tahu mengapa gadis cantik itu
melakukan hal yang mengherankan!"
"Dasar setan sableng! Kalau lihat gadis-gadis setan berantem, maunya nimbrung
cari muka! Tapi kalau
yang berantem nenek-nenek akan ngeloyor pergi!"
Dayang Sepuh menyemprot tanpa menoleh pada murid
Pendeta Sinting.
Di depan sana Putri Kayangan hendak menyingkir
melihat Pitaloka lepaskan pukulan ke arahnya. Dia sebenarnya hendak menyingkir
menghindar. Tapi begitu
mendapati pukulan juga menderu dari Jubah Tanpa
Jasad, Putri Kayangan urungkan niat. Sebaliknya cepat angkat kedua tangannya.
Lalu disertai bentakan
keras, kedua tangannya dihantamkan.
Untuk kedua kalinya kembali terdengar ledakan.
Sosok Putri Kayangan terhuyung dua langkah ke belakang karena harus menghadang dua pukulan. Sementara Pitaloka hanya terjajar dua tindak. Di seberang depannya, Jubah Tanpa Jasad
tidak bergeming dari
tempatnya. "Itu adalah peringatan kalau aku benar-benar tak
segan membunuhmu jika kau menghalangi niatku!" Pitaloka berteriak lalu kembali bungkukkan tubuh
membuat sikap merangkak.
"Bagus! Lakukan apa yang ku perintah, Anak Cantik!" kata Kiai Laras. "Untuk pembangkang itu biar ku tangani sendiri!"
Pitaloka berpaling sesaat pada Putri Kayangan. Lalu mulai merangkak ke arah Kiai
Laras. Putri Kayangan
hendak bergerak. Tapi dia urungkan tatkala matanya
menangkap gerakan pada Kembang Darah Setan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang"! Tak mungkin aku mampu menghadapi Kembang Darah Setan!
Pitaloka.... Apa sebenarnya yang hendak kau lakukan"!"
Selagi Putri Kayangan membatin begitu, tiba-tiba
Kiai Laras sudah menghardik.
"Kau berlaku bodoh berani menentang perintah
Penguasa Kampung Setan! Tapi aku masih memberimu kesempatan! Lakukan apa yang dilakukan temanmu itu!" Putri Kayangan tercengang. Perlahan-lahan ekor
matanya melirik jauh ke arah murid Pendeta Sinting.
Saat lain gadis berparas cantik jelita ini balikkan tubuh dan hendak tinggalkan
tempat itu. Kiai Laras tidak banyak bicara. Bersamaan dengan
berputarnya sosok Putri Kayangan, tangan kanannya
yang memegang Kembang Darah Setan segera dikelebatkan. Wuutt! Sinar tiga warna; merah, hitam, dan putih berkiblat ganas ke arah Putri
Kayangan. Rupanya sang Putri telah waspada. Hingga dia cepat
melompat jauh ke depan. Kejap lain seraya putar tubuh, kedua tangannya diangkat ditakupkan di depan
dada. Di seberang sana, melihat Putri Kayangan hanya
takupkan kedua tangannya tanpa membuat gerakan
apa-apa lagi, murid Pendeta Sinting segera berkelebat.
Karena dia tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan, dia segera lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'! *** ENAM TEMPAT itu seketika berubah menjadi terang benderang diselimuti cahaya merah, hitam, dan putih ser-ta kuning. Warna merah,
hitam, dan putih mencuat
dari Kembang Darah Setan di tangan Kiai Laras, sementara warna kuning berasal dari dorongan kedua
tangan murid Pendeta Sinting.
Sepuluh jengkal lagi sinar dari Kembang Darah Setan bentrok dengan pukulan Pendekar 131, mendadak
saja sosok Putri Kayangan laksana dibungkus cahaya
warna merah berkilau. Kejap lain dari tubuh gadis
cantik ini melesat kilauan warna merah lurus ke arah kiblatan sinar tiga warna
dari Kembang Darah Setan.
Terdengar benturan keras beberapa kali. Saat yang
sama tempat itu laksana dihantam gempa raksasa serta petir maha dahsyat. Udara diterpa cahaya yang
membuat semua mata terpejam karena silau. Hawa
panas luar biasa menyengat tajam laksana matahari
hanya beberapa tombak di atas hamparan bumi. Kejap
lain terdengar ledakan keras menggelegar.
Sosok murid Pendeta Sinting yang melepas pukulan
'Lembur Kuning' dengan melompat di atas udara, tampak tersapu mental dan turun dari atas tanah dengan lutut menekuk terhuyunghuyung. Joko coba kuasai
diri. Namun huyungan tubuhnya terlalu cepat. Hingga tanpa ampun lagi sosoknya
melorot jatuh. Namun dua
jengkal lagi pantatnya menghantam tanah, tiba-tiba
terdengar bersinan dua kali.
Pendekar 131 rasakan ada desiran angin dari bawah pantatnya. Gerakan pantatnya terhenti malah terangkat! Dan saat lain sosok murid Pendeta Sinting telah tegak dengan kedua kaki
laksana dipaku!
Di seberang sana, sosok Putri Kayangan terjengkang. Saat tubuhnya hampir saja melabrak tanah, satu bayangan merah berkelebat dan langsung menyambar tubuh si gadis. Melayang beberapa tombak ke uda-ra lalu menukik deras dan
menjejak di atas tanah. Si bayangan turunkan sosok Putri Kayangan yang berada
di pundaknya. Putri Kayangan cepat berpaling. Terlihat Dayang
Sepuh cemberut dan berkata.
"Kau benar-benar gadis setan! Sudah kuperingatkan malah adu mulut di sini!"
"Nek.... Terima kasih atas pertolonganmu! Kuharap
kau mengerti. Bukannya aku tidak mau dengar perintahmu. Tapi aku harus pergi bersama saudaraku itu!"
"Saudaramu sudah kerasukan setan! Sekarang kau
pergilah sendirian dari tempat ini!"
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putri Kayangan geleng kepala. "Aku baru tinggalkan
tempat ini jika bersamanya! Aku tak akan menghadap
Eyang Guru dengan tangan hampa...."
"Kalau itu keinginanmu, kau bukannya akan menghadap eyang gurumu dengan tangan hampa namun
dengan tanpa nyawa!"
"Itu lebih baik daripada pulang dengan tidak bisa
laksanakan tugas yang diberikan padaku...!"
"Setan keras kepala!" sentak Dayang Sepuh. "Bicara
seenak perutnya sendiri! Harusnya kau berpikir. Untuk sementara tinggalkan tempat ini. Dan kau punya
kesempatan untuk sadarkan saudaramu dari kesetanan!" "Waktu hanya akan menambah saudaraku berbuat
makin gila, Nek...!"
"Kalau begitu kau mampus saja!" seru Dayang Sepuh saking jengkelnya mendengar jawaban-jawaban
Putri Kayangan.
"Nenek aneh.... Tapi aku tahu hatinya baik meski
nada bicaranya kasar...," kata Putri Kayangan dalam hati.
"Nek...."
"Aku bukan nenekmu! Aku tak mau bicara dengan
gadis setan sepertimu!"
Putri Kayangan kancingkan mulut dengan menghela
napas panjang. Saat itulah ia baru merasakan dadanya sesak dan berdenyut nyeri. Mulutnya terasa
hangat dan asin. Saat si gadis usapkan tangan pada
mulutnya, ternyata mulutnya telah alirkan darah, pertanda bentroknya pukulan
tadi telah membuatnya terluka dalam. Sementara di depan sana, Kiai Laras tampak tegak
dengan seringai buas. Sesaat tadi dia terhuyung namun tidak sampai terjatuh. Dia pun hanya merasakan
sentakan pelan pada dadanya tatkala terjadi benturan antar pukulan. Hingga dia
bukan saja tidak mengalami cedera, namun segera dapat kuasai diri.
Di hadapan Kiai Laras, Setan Liang Makam tampak
angkat kepalanya. Namun sebelum kepalanya benarbenar terangkat, Kiai Laras sudah menghardik.
"Berani angkat kepalamu dari tanah, kepalamu
akan kutanggalkan!"
Setan Liang Makam cepat sentakkan kembali kepalanya dan ditempelkan di atas tanah. Tidak jauh dari Setan Liang Makam, Pitaloka
tampak menungging
dengan mata melirik ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Mungkin saking jengkelnya mendapati apa yang baru saja terjadi, Kiai Laras segera pula menghardik pada Pitaloka seakan hendak
tumpahkan semua kegera-mannya.
"Kau juga! Letakkan keningmu di atas tanah!"
Pitaloka tersenyum. Lalu lakukan apa yang dikatakan Kiai Laras. Kiai Laras putar tubuh menghadap Putri Kayangan dan Dayang
Sepuh. "Gadis setan! Kau masih juga ingin mampus"!"
tanya Dayang Sepuh.
"Kau sendiri bagaimana, Nek"!" Putri Kayangan balik bertanya membuat si nenek berpaling dengan pasang tampang angker.
"Itu urusanku, Gadis Setan!"
"Semua urusan di sini aku yang tentukan!" Tibatiba Kiai Laras menyahut. "Dan untuk kalian berdua
ku tentukan mampus saat ini juga!"
Bersamaan dengan selesainya bentakan, Kembang
Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat. Dayang Sepuh dan Putri Kayangan sempat terkesiap. Namun keduanya buru-buru gerakkan tangan
masing-masing. Dayang Sepuh takupkan kedua tangan di depan kening lalu dibuka dan didorong perlahan ke depan. Di sampingnya, Putri Kayangan takupkan kedua
tangannya di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Entah karena tak mau melihat Dayang Sepuh dan
Putri Kayangan terluka, Pendekar 131 segera berkelebat ke depan. Kembali kedua
tangannya didorong melepas pukulan sakti 'Lembur Kuning'.
Untuk kedua kalinya tempat itu laksana ditelan cahaya menyilaukan. Tebaran hawa panas menyengat
menyungkup. Saat lain gelegaran keras terdengar.
Tiga sosok tubuh tampak bermentalan. Yang pertama adalah sosok Dayang Sepuh. Disusul Putri Kayangan dan murid Pendeta Sinting. Dayang Sepuh mental
satu tombak dan jatuh terduduk dengan mulut menganga hembuskan napas karena dadanya laksana baru
saja dihantam tembok. Satu setengah tombak di samping Dayang Sepuh, Putri Kayangan terkapar dengan
mulut kucurkan darah. Parasnya yang cantik berubah
seperti tidak berdarah. Sebagian pakaian yang dikenakan hangus.
Tidak jauh dari tempat terkaparnya Putri Kayangan,
murid Pendeta Sinting jatuh terjengkang dengan mulut megap-megap dan kedua
tangan bergetar hebat.
Di seberang, Jubah Tanpa Jasad bergerak deras ke
belakang. Lalu terjungkal di atas tanah dengan perdengarkan dengusan marah. Namun dalam beberapa
saat Jubah Tanpa Jasad telah bergerak bangkit. Kiai Laras merasakan aliran
darahnya terbalik-balik. Walau tadi telah kelebatkan Kembang Darah Setan dengan
alirkan tenaga dalam pada tangan kanannya hingga lesatan sinar tiga warna berkiblat makin menggidikkan, namun hadangan tiga pukulan
sekaligus mau tak mau
membuat Kiai Laras tak mampu kuasai huyungan tubuhnya. Hanya saja dia kembali masih merasakan laksana ada tabir penghalang di depan tubuhnya saat
bentrokan terjadi. Hingga meski sempat terjungkal,
namun dia tidak mengalami cedera yang cukup berarti.
Begitu mendapati Jubah Tanpa Jasad telah bangkit,
baik Putri Kayangan, Dayang Sepuh, dan murid Pendeta Sinting segera pula berusaha berdiri. Pendekar 131
segera melompat dan tegak di samping Dayang Sepuh.
"Ada yang ingin kau bicarakan, Cucu Setan"!"
Dayang Sepuh telah mendahului.
"Kurasa dia terlalu berbahaya. Apakah Bibi tahu
bagaimana cara menghadapi orang itu"!"
"Kalau tahu, tak mungkin aku sampai begini rupa!"
Murid Pendeta Sinting berpaling pada Gendeng Panuntun. Rupanya Dayang Sepuh dapat menangkap arti pandangan Pendekar 131. Hingga si nenek kembali
buka suara. "Manusia buta itu juga tak tahu apa-apa!"
?"Kakek Datuk Wahing"!" tanya Joko.
"Setan tua itu tahunya cuma heran dan bersin!"
Joko alihkan pandang matanya pada Jubah Tanpa
Jasad. "Hem.... Pukulan 'Lembur Kuning' digabung
dengan pukulan Dayang Sepuh dan Putri Kayangan tidak mampu berbuat banyak! Akan ku coba dengan
pukulan 'Serat Biru'! Aku harus segera tahu siapa gerangan manusia di balik
jubah itu!"
Berpikir sampai ke sana, Joko cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kirinya. Saat itu juga tangan kirinya berubah menjadi biru.
Dayang Sepuh mencibir. "Kau kira pukulanmu akan
bisa menekuknya"!"
"Setidaknya aku berusaha!"
"Jangan terlalu mengumbar tenaga percuma! Tiga
pukulan sekaligus tidak dapat membuatnya bertekuk
lutut. Kita harus cari jalan lain!"
"Jalan lain bagaimana"!"
"Bukan di sini tempatnya membicarakan! Kita tinggalkan tempat ini segera!"
"Tapi dia tak mungkin membiarkan kita pergi begitu
saja!" "Kita gebuk sama-sama! Lalu kita segera angkat kaki!" Baru saja Dayang Sepuh berkata begitu, tiba-tiba dari arah seberang sana
Datuk Wahing angkat tangan
kanannya. Di sampingnya, Gendeng Panuntun beranjak bangkit. "Bruss! Brusss! Bruss!"
Datuk Wahing perdengarkan bersinan tiga kali.
Namun bersinan itu laksana diperdengarkan dari delapan penjuru mata angin dan
suaranya terus memantul
tiada putus-putus. Saat bersamaan tangan kanan Datuk Wahing bergerak mendorong. Satu gelombang
menderu ganas ke arah Jubah Tanpa Jasad. Seperti
halnya suara bersinan, suara deru gelombang itu terus memantul!
Begitu tangan kanan Datuk Wahing bergerak, Gendeng Panuntun usap cermin bulatnya. Satu cahaya
putih berkiblat menyilaukan mata menghampar ke
arah Jubah Tanpa Jasad.
"Apa lagi yang ditunggu"!" teriak Dayang Sepuh.
Kedua tangannya ditakupkan di depan kening. Lalu
dibuka dan didorong perlahan ke depan.
Putri Kayangan seakan tahu apa maksud semua
orang. Dia tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat ditakupkan di depan dada.
Sepasang matanya dipejamkan.
Murid Pendeta Sinting sesaat terdiam. Namun di kejap lain tangan kirinya yang telah berubah biru tanda dia siap lepaskan pukulan
'Serat Biru' cepat dikelebatkan ke depan.
Karena yang melepas pukulan saat itu bukan orang
sembarangan, tempat ini laksana neraka saking panasnya. Suara deruan yang memantul ditambah dengan cahaya berkilau dan serat-serat biru laksana benang terang bertabur. Belum
lagi cahaya merah yang
melesat dari tubuh Putri Kayangan serta gelombang
luar biasa dari dorongan kedua tangan Dayang Sepuh.
Kiai Laras yang sesaat tadi hadapkan diri pada
Dayang Sepuh dan murid Pendeta Sinting segera berpaling begitu mendengar suara bersinan Datuk Wahing. Dia terkesiap melihat tiba-tiba sang Datuk telah lepas pukulan disusul
dengan Gendeng Panuntun.
Rasa kaget sang Kiai belum sirna, dia dikejutkan
dengan lepasnya pukulan dari kedua tangan Dayang
Sepuh yang disusul dengan Putri Kayangan serta Pendekar 131. Pada puncak keterkejutannya, Kiai Laras bukannya
takut, melainkan tertawa bergelak! Karena dengan cara yang dilakukan oleh
beberapa orang di situ, Kiai Laras kini merasa maklum kalau dirinya tidak bisa
dihadapi hanya oleh seorang atau dua orang. Dan itu berarti dirinya bukan lagi
orang yang bisa dipandang remeh!
Apalagi dia tahu, orang-orang yang melepaskan pukulan saat itu adalah tokoh rimba persilatan yang ketinggian ilmunya tidak
diragukan lagi.
Dalam hujanan pukulan yang kini mengarah padanya, Kiai Laras masih berpikir cepat. Bukan saja dia harus menghadang pukulan,
namun setidaknya dia
harus selamatkan Setan Liang Makam dan Pitaloka
serta Kiai Lidah Wetan yang sejak tadi hanya diam dan makin tergagu tatkala
mengetahui bagaimana pukulan-pukulan yang sekarang membuncah tempat itu.
Pada mulanya Kiai Laras memang tidak tahu apa
yang hendak dilakukan pada Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Kiai Lidah Wetan. Namun begitu mulai sadar kalau kekuatan yang
dimilikinya sangat dahsyat, dia mulai bisa berpikir apa yang kelak bisa
dilakukan pada ketiga orang itu. Hingga dia kini berniat menyelamatkan juga
ketiga orang itu.
Karena pukulan yang kini melabrak pada Kiai Laras
sangat luar biasa dan tidak mungkin bagi sang Kiai
untuk lakukan penghadangan sekaligus menyelamatkan ketiga orang, maka tanpa pikir panjang lagi
Kiai Laras melompat ke depan. Belum sampai kedua
kakinya menginjak tanah, dia lakukan gerakan menendang ke samping kiri kanan ke arah sosok Setan
Liang Makam dan Pitaloka yang merangkak. Saat bersamaan tangan kirinya kelebatkan jubah hitamnya.
Bukkk! Bukkk! Setan Liang Makam dan Pitaloka tersentak. Begitu
cepatnya gerakan Kiai Laras, belum sampai keduanya
sempat membuat gerakan, sosok keduanya telah mental. Saat yang sama Jubah Tanpa Jasad menderu angker. Kiai Lidah Wetan rupanya tahu gelagat. Dia berkelebat. Namun terlambat.
Sambaran Jubah Tanpa Jasad yang keluarkan sambaran angin dahsyat telah
menggebrak. Hingga bukan saja membuat sosok Kiai
Laras terhenti, namun jubah terpelanting dan terbanting jatuh dengan punggung di
atas tanah, satu setengah tombak dari tempatnya tadi berdiri!
Setelah membuat tiga sosok mental, Kiai Laras cepat kerahkan tenaga dalam pada tangan kiri kanannya. Saat lain tangan kanan yang memegang Kembang
Darah Setan disentakkan ke depan. Tangan kiri mengambil Jubah Tanpa Jasad di bagian tengahnya lalu
dikelebatkan. Sinar tiga warna mencuat menggidikkan ditingkah
dengan menderunya gelombang raksasa.
Terdengar ledakan menggelegar. Di udara tampak
bertaburan kilauan cahaya pecah dan muncrat. Gelombang angin bermentalan dan mengambang di udara
dengan arah tak bisa ditentukan. Tanahnya tersapu
dan mengangkasa membungkus suasana, hingga kilauan cahaya dan berkiblatnya sinar yang tadi menghampar laksana disabet setan dan tiba-tiba lenyap ditelan hamburan tanah! Tempat
itu sekonyong-konyong
gelap gulita! Ketika suasana kembali terang dengan lurunya tanah, sosok Kiai Laras terlihat terkapar di atas tanah.
Demikian juga sosok Setan Liang Makam, Pitaloka,
serta Kiai Lidah Wetan.
Sesaat Kiai Laras perhatikan dirinya. Lalu bangkit
terhuyung-huyung. Sepasang matanya liar memandang berkeliling. Dari mulutnya terdengar makian panjang pendek. Karena ternyata
Putri Kayangan, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun sudah
tidak kelihatan lagi!
*** TUJUH SELAGI Kiai Laras dibungkus dengan kemarahan
akibat lenyapnya beberapa orang di tempat itu, men
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dadak satu bayangan berkelebat dan tegak di depan
sana dengan memperhatikan pada sosok Setan Liang
Makam, Kiai Laras, serta Pitaloka yang sama masih
berkaparan di atas tanah. Tendangan kaki kanan kiri serta kelebatan jubah yang
dilakukan Kiai Laras menyelamatkan ketiganya dari bertaburnya beberapa pukulan yang baru saja menggebrak di tempat itu meski tak urung ketiganya harus
terpental dan terkapar di
atas tanah. "Hem.... Gadis jahanam itu!" desis orang yang baru
muncul kala pandang matanya melihat sosok Pitaloka
yang bergerak-gerak bangkit. "Beberapa kali aku gagal membunuhnya. Mungkin saat
ini niatku baru kesampaian! Tempo hari dia selamat karena ada Pendekar
131. Sekarang tidak akan ada yang menghalangi
niatku!" Orang yang baru muncul membuat gerakan satu
kali. Gerakannya membawa dirinya tahu-tahu telah tegak di samping Pitaloka.
Tanpa memandang kanan kiri, dia langsung membentak.
"Putri Kayangan! Saat hidupmu telah berakhir!"
Pitaloka tersentak. Memandang ke samping dia melihat seorang perempuan berusia lanjut. Raut wajahnya cekung dengan kulit mengeriput. Sepasang matanya besar. Rambutnya putih lebat dibiarkan jatuh
bergerai menutupi sebagian bahu dan punggungnya.
Nenek ini mengenakan kain panjang besar berwarna
biru bersaku dua. Pada saku sebelah kanan terlihat
sebuah sapu tangan besar berwarna merah menyala.
Inilah satu tanda jika si nenek adalah seorang tokoh rimba persilatan yang
dikenal dengan julukan Ratu
Pewaris Iblis. Seorang nenek yang di tangannya tergenggam sebuah sapu tangan yang juga sangat dikenal dalam dunia persilatan
dengan Sapu Tangan Iblis.
"Ratu Pewaris Iblis!" seru Pitaloka mengenali siapa adanya si nenek. Dia cepat
bangkit. "Dia pasti meneruskan urusan lama! Hem.... Apa matanya tidak tahu
siapa saja yang ada di tempat ini"!"
"Beberapa kali kau selamat dari tangan maut ku!
Namun saat ini siapa lagi yang bisa menghalangi"!" Si nenek tertawa bergelak.
"Kau sentuh kulit gadis itu, nyawamu akan putus!"
Tiba-tiba satu suara menyahut.
Ratu Pewaris Iblis putuskan tawanya. Kepalanya
berpaling. Sepasang matanya serentak mendelik besar-besar. Kuduknya meremang.
Tanpa sadar kedua kakinya tersurut dua tindak ke belakang.
"Mustahil.... Mustahil! Bagaimana mungkin ada jubah dan setangkai bunga mengambang di udara"!"
Dada si nenek dilanda keheranan begitu melihat Jubah Tanpa Jasad dan Kembang Darah Setan mengapung di atas udara.
Tiba-tiba dahi Ratu Pewaris Iblis mengernyit. "Dari ciri-cirinya.... Tak salah!
Pasti itu Kembang Darah Setan! Tapi.... Siapa manusia yang baru saja bicara"!
Dan bagaimana tentang berita yang selama ini tersiar jika Kembang Darah Setan
berada di tangan Pendekar
131 Joko Sableng"! Atau mungkinkah manusia yang
baru saja bicara adalah pemuda keparat itu"!"
Selagi Ratu Pewaris Iblis menduga-duga, Setan
Liang Makam bergerak bangkit. Kembali untuk kedua
kalinya Ratu Pewaris Iblis terkesiap kaget kala pandang matanya melihat tampang
angker Setan Liang
Makam. "Susunan tubuhnya hanya merupakan kerangka.... Tapi...."
Sebelum Ratu Pewaris Iblis sempat teruskan kata
hatinya, Kiai Laras sudah buka suara. "Aku tahu siapa kau, Perempuan Tua!
Sekarang aku ingin tahu jawabanmu...." Sesaat Kiai Laras hentikan ucapannya
dengan gerakkan kepala ke samping. Jubah Tanpa Jasad
bergerak sedikit. "Kau ingin teruskan urusanmu dengan gadis itu atau kau akan melupakannya"!"
Belum sampai Ratu Pewaris Iblis angkat bicara, Kiai Laras sudah sambung
ucapannya. "Harus kau ingat.
Jika kau memilih yang pertama, maka nyawamu
hanya tinggal sesaat lagi!"
"Apa hubunganmu dengan gadis itu"!" Ratu Pewaris
Iblis mulai angkat suara.
"Aku ingin jawabanmu, Perempuan Tua!"
"Aku tak akan menjawab sebelum ku tahu siapa
kau adanya!" Ratu Pewaris Iblis menyahut dengan sua-ra agak keras meski dadanya
masih berdegup kencang
karena ngeri. "Kau akan tahu siapa aku! Tapi begitu keinginanmu
kesampaian, maka ajalmu tiba! Kau mau itu"!"
Ratu Pewaris Iblis melirik pada Pitaloka yang masih disangkanya sebagai Putri
Kayangan. Yang dilirik
sunggingkan seringai dingin.
"Apa maumu sebenarnya"!" Akhirnya Ratu Pewaris
iblis ajukan tanya setelah agak lama berpikir.
Kiai Laras tidak segera menjawab. Jubah Tanpa Jasad bergerak menghadap ke arah Kiai Lidah Wetan
yang kini juga telah tegak. Lalu bergerak lagi ke arah Setan Liang Makam dan
terakhir pada Pitaloka. Bersamaan itu terdengar suara.
"Kalian bertiga! Merangkaklah kembali ke hadapanku!" Setan Liang Makam lontarkan pandangan pada Pitaloka dan Kiai Lidah Wetan. Saat lain dia tekuk tubuhnya membuat gerakan
merangkak. Mendapati hal
demikian, Pitaloka tak menunggu lama. Dia cepat lakukan seperti apa yang dilakukan Setan Liang Makam.
Kiai Lidah Wetan sesaat gerakkan kepala memandang
silih berganti pada Setan Liang Makam dan Pitaloka.
Entah apa yang ada dalam benaknya, laki-laki saudara Kiai Laras ini segera pula
lorotkan tubuh lalu merangkak ke arah Jubah Tanpa Jasad.
Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan
hentikan rangkakan masing-masing empat tindak di
hadapan Jubah Tanpa Jasad. Kiai Laras tertawa panjang. "Kalian bertiga kini berada di tangan Penguasa
Kampung Setan! Nyawa kalian akan ku lindungi dari
setiap tangan yang berani menjamah! Setiap orang
yang membuat urusan dengan kalian bertiga berarti
membuka sengketa dengan Penguasa Kampung Setan!
Tapi kalian harus lakukan apa yang kukatakan! Jangan berani membantah atau bertanya! Kalian mengerti"!"
Ketiga orang di hadapan Kiai Laras sama anggukkan kepala. Kiai Laras makin keraskan gelakan tawanya. Lalu putar diri setengah lingkaran menghadap Ratu Pewaris Iblis.
"Matamu melihat apa yang dilakukan ketiga orang
itu! Sekarang giliranmu untuk melakukannya!"
Dada Ratu Pewaris Iblis bergemuruh. Perintah
orang membuat dia tidak pedulikan lagi siapa yang ki-ni ada di hadapannya.
Apalagi dia belum tahu bagaimana kedahsyatan Kembang Darah Setan.
"Bukan aku yang harus merangkak! Tapi kau yang
harus berlutut mencium telapak kakiku!"
Ucapan si nenek belum selesai, Kembang Darah Setan di tangan kanan Kiai Laras sudah berkelebat.
Ratu Pewaris Iblis terlengak. Namun nenek ini cepat sadar. Dia segera berkelebat
ke belakang. Saat lain tangan kanannya mengambil Sapu Tangan Iblis di sa-ku
pakaiannya. Lalu diangkat tinggi-tinggi dan dike-butkan menyongsong datangnya
tiga sinar merah, hitam, dan putih dari kelebatan Kembang Darah Setan.
Weerr! Sapu Tangan Iblis berkelebat ganas perdengarkan
desingan tajam. Sinar merah bertabur.
Blammm! Taburan sinar merah dari kelebatan Sapu Tangan
Iblis pecah berantakan perdengarkan ledakan keras.
Sinar tiga warna semburat. Hebatnya sebagian masih
melesat ganas lurus ke arah Ratu Pewaris Iblis!
Ratu Pewaris Iblis tersentak. Saat itu dia belum bisa
kuasai diri dari huyungan tubuh. Hingga meski dia
masih bisa selamatkan diri namun pecahan sinar putih tak urung menghantam pundak kanannya.
Ratu Pewaris Iblis berseru tertahan. Sosoknya langsung terbanting ke kanan. Sapu Tangan Iblis lepas dari genggaman tangannya.
Jubah Tanpa Jasad berkelebat dan tegak dua langkah di hadapan Ratu Pewaris Iblis. Si nenek tercekat tegang. Tangan kanannya
berkelebat. Bukan lakukan
hantaman, melainkan hendak menyambar pada Sapu
Tangan Iblis. Sejengkal lagi Sapu Tangan Iblis tergapai tangan
kanan si nenek, tiba-tiba si nenek menjerit. Jubah
Tanpa Jasad sudah mengapung di atas tangannya.
Dan dia merasakan tangan kanannya diinjak telapak
kaki. Ratu Pewaris Iblis putar tubuhnya. Kaki kiri kanannya membuat gerakan menendang ke arah Jubah Tanpa Jasad. Jubah Tanpa Jasad melenting ke udara. Tendangan
Ratu Pewaris Iblis menghantam tempat kosong. Namun injakan kaki orang pada tangan si nenek lepas. Si nenek cepat bangkit. Tapi
pada saat yang sama Jubah Tanpa Jasad telah berkelebat.
Si nenek kebingungan. Karena dia tidak bisa melihat gerakan orang, maka dia menghantamkan kedua
tangannya lurus ke arah bagian dada dan di atas leher Jubah Tanpa Jasad. Namun
si nenek terkesiap. Setengah jalan hantaman kedua tangannya, tiba-tiba dia
merasakan tendangan menghadang kedua tangannya
hingga tangannya terpental. Saat lain dia merasakan siuran angin pada pundaknya.
Ratu Pewaris Iblis cepat kelebatkan tangan. Namun satu tendangan telah
menggebrak dadanya.
Bukkk! Kembali Ratu Pewaris Iblis berseru. Sosoknya terjengkang roboh di atas tanah dengan mulut semburkan darah. Tampangnya pias dengan sosok menggigil
antara kesakitan dan ngeri. Dalam keadaan seperti itu si nenek masih melirik
pada Sapu Tangan Iblis yang
terhampar di tanah. Namun dia mengumpat dalam hati karena jarak antara dirinya dengan Sapu Tangan Iblis mengharuskan dia
melompat. Padahal Jubah Tanpa
Jasad kini sudah bergerak ke arahnya.
"Aku tanya sekali lagi!" Kiai Laras perdengarkan suara. "Kau ingin mampus
sekarang atau melakukan seperti teman-temanmu itu!"
Ratu Pewaris Iblis pentangkan kedua matanya seolah ingin mengetahui sosok di balik jubah hitam. Sementara di depannya Kembang
Darah Setan sudah
bergerak terangkat.
"Baik...," kata Ratu Pewaris Iblis dengan suara bergetar.
"Cepat! Lakukan!" hardik Kiai Laras.
Si nenek angkat tubuhnya lalu merangkak mendekati Jubah Tanpa Jasad dengan hati menyumpahnyumpah. "Bagus! Hidup matimu kini berada di tanganku!
Dan kau harus lakukan semua perintahku!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras berkelebat dan tegak di antara Ratu Pewaris Iblis dan Setan Liang Makam, Pitaloka, serta Kiai
Lidah Wetan. "Buka telinga kalian lebar-lebar! Kalian kutugaskan untuk menjemput Putri
Kayangan, Dayang Sepuh, Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, dan Pendekar 131!
Bawa mereka hidup-hidup atau penggalan kepalanya!
Kutunggu kedatangan kalian di Bukit Kalingga! Berhasil atau tidak, kalian harus
ke Bukit Kalingga setengah purnama mendatang! Ingat, aku adalah Penguasa
Kampung Setan. Aku tahu setiap gerak-gerik kalian!
Sekali kalian melakukan kesalahan, kalian membuka
jalan menuju neraka!"
Habis berkata begitu, Kiai Laras putar diri lalu berkelebat tinggalkan tempat
itu. Ratu Pewaris Iblis memperhatikan gerakan Jubah
Tanpa Jasad. Lalu melompat ke arah Sapu Tangan Iblis yang terhampar di tanah. Setelah memandang satu persatu pada Setan Liang
Makam, Pitaloka, dan Kiai
Lidah Wetan, tanpa berkata apa-apa si nenek berkelebat pergi.
Setan Liang Makam, Pitaloka, dan Kiai Lidah Wetan
beranjak bangkit. Tanpa berpaling pada yang lainnya dan tanpa ada yang buka
suara, ketiga orang ini sama melangkah tinggalkan tempat itu dengan mengambil
arah berlawanan.
*** DELAPAN SEBELUM terdengar gelegar ledakan akibat bentroknya beberapa pukulan yang dilepas Datuk Wahing, Gendeng Panuntun, Dayang
Sepuh, Putri Kayangan,
dan Pendekar 131 dengan lesatan sinar tiga warna dari Kembang Darah Setan di
tangan Kiai Laras, Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun berkelebat ke arah
Dayang Sepuh lalu memberi isyarat untuk tinggalkan
tempat itu. Dayang Sepuh, Datuk Wahing, serta Gendeng Panuntun cepat melompat dan berlari. Di samping
Dayang Sepuh, murid Pendeta Sinting sesaat perhatikan isyarat Datuk Wahing. Dia pun segera hendak melompat mengikuti gerakan Dayang Sepuh. Namun
niatnya diurungkan demi melihat Putri Kayangan yang saat itu tidak melihat
isyarat karena sepasang matanya terpejam.
"Putri.... Lekas lari!" teriak Joko.
Entah karena saat keadaan sangat bising dengan
menderunya beberapa gelombang pukulan atau Putri
Kayangan sendiri sedang tenggelam kerahkan tenaga
dalam, gadis cantik ini seolah tidak mendengar teriakan Pendekar 131. Dia tetap
tegak dengan mata terpejam dan kedua tangan saling menakup di depan dada.
"Celaka.... Dia tadi telah terluka. Jika masih bertahan di sini, akibatnya akan
lebih berbahaya!"
Berpikir begitu, seolah tidak sabar, Joko segera
berkelebat ke arah Putri Kayangan. Tanpa berkata apa-apa dia menarik lengan si
gadis. Putri Kayangan terkejut dan segera menoleh seraya pentangkan mata karena suasana sangat menyilaukan.
Begitu tahu siapa adanya orang yang menarik lengannya, Putri Kayangan tampak gugup. Belum sampai
gadis ini buka mulut, Pendekar 131 sudah mendahului. "Kita tinggalkan tempat ini!" Tangan murid Pendeta Sinting yang masih
mencekal lengan Putri Kayangan
segera bergerak.
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Putri Kayangan tidak berusaha lepaskan cekalan
tangan Joko pada lengannya. Dan tanpa berkata apaapa dia mengikuti gerakan Joko. Namun baru saja kedua orang ini melompat, gelegar keras telah terdengar.
Sosok Pendekar 131 mental. Namun dia tak mau
lepaskan cekalannya pada lengan sang Putri. Hingga
sosok keduanya mental bersamaan. Karena Putri
Kayangan telah terluka, dia tak mampu kuasai mentalan tubuhnya. Sosoknya oleng di atas udara. Murid
Pendeta Sinting terkesiap. Dia tidak lagi berusaha kuasai dirinya sendiri,
melainkan berusaha menahan
olengan tubuh Putri Kayangan. Hal ini membuat sosok Joko ikut oleng. Saat lain
keduanya jatuh terbanting di
atas tanah! Putri Kayangan berseru kesakitan. Seruan si gadis
membuat murid Pendeta Sinting lagi-lagi tak hiraukan dirinya. Dengan sekujur
tubuh masih merasakan nyeri dan dada sesak, Joko segera bangkit lalu melompat ke
arah Putri Kayangan yang lepas dari cekalan tangannya saat terbanting.
"Kucuran darah dari mulutnya makin banyak...,"
gumam Joko memperhatikan Putri Kayangan. Dengan
cepat dia ulurkan kedua tangannya ke bawah. Sosok
Putri Kayangan segera diangkat lalu diletakkan di atas pundaknya.
Putri Kayangan yang saat itu tengah kerahkan tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit pada sekujur tubuhnya terkejut mendapati
dirinya tahu-tahu telah berada di pundak orang. Tanpa melihat siapa adanya
orang yang memanggulnya, gadis ini rupanya sudah
bisa menebak. Hingga begitu sosoknya berada di pundak orang, dia segera berucap pelan.
"Harap suka turunkan. Aku tidak apa-apa...."
Murid Pendeta Sinting tidak hiraukan ucapan Putri
Kayangan. Sebaliknya cepat berkelebat tinggalkan
tempat itu karena di depan sana Dayang Sepuh, datuk Wahing, serta Gendeng
Panuntun hampir-hampir tidak
kelihatan lagi batang hidungnya.
"Pendekar 131.... Harap turunkan...." Putri Kayangan kembali meminta.
Murid Pendeta Sinting seolah tak acuh. Malah dia
percepat kelebatannya. Dia baru memperlambat larinya tatkala sepasang matanya tidak lagi menangkap sosok Dayang Sepuh, Datuk
Wahing, serta Gendeng
Panuntun. "Heran.... Ke mana mereka?" Joko edarkan pandang
matanya. Saat itu dia berada di satu tempat yang banyak ditumbuhi semak belukar
dan jalan berkelokkelok. "Pendekar 131...." Putri Kayangan kembali bersuara. Namun sebelum dia lanjutkan ucapan, murid Pendeta Sinting telah menyahut.
"Kau yakin tak apa-apa"!"
"Aku memang terluka. Tapi masih mampu kalau
hanya berlari...."
Pendekar 131 segera turunkan Putri Kayangan dari
pundaknya. Lalu memandangnya dari atas sampai bawah, hingga yang dipandang jadi salah tingkah dan
cepat berpaling seraya mengusap darah pada mulutnya. "Terima kasih...," ujar Putri Kayangan tanpa memandang. "Gila! Benar-benar cantik!" kata murid Pendeta
Sinting dalam hati. Dia sebenarnya ingin bicara banyak, tapi ingat akan Dayang Sepuh dan kedua kakek
yang telah berkelebat mendahului dan kini batang hidungnya tidak kelihatan lagi,
Joko buru-buru alihkan pandang matanya. "Tentu mereka belum jauh dari si-ni!"
ujarnya dalam hati.
"Bibi Cantik, Kakek! Di mana kalian"! Aku tahu kalian bersembunyi! Jangan membuatku bingung! Ini
bukan waktunya main sembunyi-sembunyian!" Pendekar 131 berteriak.
Tidak ada sahutan atau isyarat. Putri Kayangan
ikut edarkan pandangannya meski dadanya masih terasa sesak dan nyeri. Dia seolah hendak menutupi apa yang kini dirasakan.
"Hai! Kalian ada di mana"!" Kembali Joko berteriak.
"Setan!" tiba-tiba terdengar makian dari serumpun
semak belukar di dekat kelokan jalan di samping sana.
Murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan segera
berpaling ke samping kanan, di mana sumber makian
terdengar. Baik Joko maupun Putri Kayangan tahu
siapa adanya orang yang baru saja perdengarkan makian. Hingga tanpa pikir panjang lagi keduanya segera melompat.
Baru saja kedua orang ini injakkan kaki masingmasing, kembali terdengar makian. Murid Pendeta
Sinting dan Putri Kayangan saling pandang dengan
raut muka sama-sama kaget. Makian itu bukannya
terdengar dari arah di mana mereka kini berada, melainkan dari arah di depan sana!
"Setan!" Joko ikut-ikutan memaki dengan suara pelan. "Tega-teganya dia permainkan orang!"
Putri Kayangan hanya tersenyum lalu arahkan pandang matanya ke arah dari mana suara makian kedua
terdengar. Joko ikut pula gerakkan kepala. Namun
mungkin karena khawatir dipermainkan orang lagi,
keduanya belum juga melompat. Malah keduanya saling pandang. Namun cuma sekejap karena Putri
Kayangan buru-buru alihkan pandangannya dengan
muka bersemu merah. Gadis ini rasakan dadanya berdebar dan tak kuasa beradu pandang dengan murid
Pendeta Sinting.
"Setan! Kalian kira ini tempatnya berpandangpandangan hah"!" Terdengar suara lagi.
Dengan raut sama berubah malah Putri Kayangan
tampak tegang, kepala keduanya bergerak lagi. Sejarak dua belas langkah dari
tempat mereka, rumpunan semak belukar tampak bergerak menyibak. Lalu tampak
kepala berambut putih yang bagian depan diponi. Lalu seraut wajah hitam milik
seorang nenek muncul menyeringai.
Pendekar 131 dan Putri Kayangan segera berkelebat
lalu menyelinap di semak belukar di mana tadi muncul wajah nenek yang bukan lain
adalah Dayang Sepuh.
"Kau!" bentak Dayang Sepuh dengan tangan menunjuk pada Putri Kayangan. "Mendekatlah ke sini!"
Putri Kayangan laksana sirap darahnya mendengar
bentakan si nenek. Dia tidak bisa menduga apa kemauan si nenek. Sementara murid Pendeta Sinting melirik ke samping kiri kanan. Berjarak lima langkah, terlihat Datuk Wahing dan
Gendeng Panuntun sama duduk di atas tanah.
"Setan! Kau dengar tidak ucapanku"!" Kembali
Dayang Sepuh perdengarkan bentakan tatkala mendapati Putri Kayangan tidak juga beranjak dari tempatnya.
Putri Kayangan melirik sesaat pada Pendekar 131.
Kuduknya dingin dan kedua kakinya goyah. Bukan
hanya karena belum tahu apa maksud ucapan Dayang
Sepuh, melainkan dia mulai merasakan dadanya sangat nyeri dan pandangannya berkunang-kunang. Namun sang Putri tabahkan diri.
"Jangan khawatirkan cucu setan itu! Kau harus pikirkan diri sendiri dahulu!" Dayang Sepuh sudah perdengarkan suara lagi. Putri
Kayangan mulai dapat menangkap maksud si nenek. Hingga tanpa pikir panjang dia
melangkah ke arah Dayang Sepuh.
Dayang Sepuh selinapkan tangan kanannya ke balik pakaiannya yang cingkrang. Saat Putri Kayangan
tepat di hadapannya, tangan kanan si nenek ditarik keluar. Digenggamannya
terlihat dua butiran sebesar ujung jari kelingking berwarna merah dan kuning.
"Telan ini!" perintah Dayang Sepuh seraya ulurkan
tangannya. Tanpa ragu-ragu Putri Kayangan mengambil dua
butiran di tangan si nenek lalu ditelannya. Mula-mula dia merasakan hawa panas
menyengat sekujur tubuhnya begitu dua butiran tadi lewat tenggorokan. Dan
mendadak dadanya laksana meledak. Kepalanya seperti diputar-putar. Pandangannya berubah menghitam.
Saat lain kedua kakinya menekuk lalu sosoknya jatuh
menggelosoh di atas tanah.
"Bibi...."
"Tutup mulutmu, Cucu Setan! Dari tadi kau berteriak-teriak melulu!" Dayang Sepuh menukas ucapan
Joko seraya melirik pada sosok Putri Kayangan. "Aku tahu kau sangat
mengkhawatirkan dia! Tapi adalah
tindakan tolol kalau hanya khawatir tanpa berbuat sesuatu! Dia terluka dalam!
Apa kau ingin melihat dia mampus, hah..."!"
Pendekar 131 hanya bisa kancingkan mulut dan
angkat bahu sambil melirik ke arah Putri Kayangan.
Dayang Sepuh tertawa pendek lalu berujar.
"Kau suka padanya, bukan"!"
Tampang murid Pendeta Sinting berubah. Dia kembali melirik pada Datuk Wahing dan Gendeng Panuntun. "Brusss! Persoalan jatuh cinta, tidak mengherankan
jika perempuan yang tahu terlebih dahulu, Anak Muda! Karena perempuan membaca dengan perasaan...."
Tiba-tiba Datuk Wahing berucap.
"Dan kadangkala perasaan cinta tidak disangkasangka datangnya! Ada yang puluhan tahun menunggu, ada pula yang begitu ketemu langsung saja ketiban cinta!" Gendeng Panuntun
menyahuti ucapan Datuk
Wahing. Lalu tertawa.
Paras murid Pendeta Sinting makin berubah. Terlebih ketika dia melirik, dilihatnya Putri Kayangan telah bergerak-gerak dan
sepasang matanya sudah terbuka.
Saat lain gadis ini telah bangkit dan menjura pada
Dayang Sepuh seraya berkata.
"Nek...."
"Sudah! Jangan memakai peradatan!" Dayang Sepuh ternyata sudah memotong ucapan Putri Kayangan. "Sekarang kita mulai pembicaraan!" Kepala si nenek berpaling pada Datuk
Wahing dan Gendeng Panuntun. "Harap maafkan.... Aku tidak bisa mengikuti pembicaraan ini. Aku harus menemui seseorang...." Putri
Kayangan angkat suara.
"Setan! Siapa yang akan kau temui"!" tanya Dayang
Sepuh dengan pasang tampang galak. Sepasang matanya melotot besar-besar.
"Bagaimanapun juga aku harus membawa saudaraku menghadap Eyang Guru! Harap kalian mengerti....
Dan sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolongannya...." Putri Kayangan anggukkan kepala pada Dayang Sepuh dan Pendekar
131. "Kau benar-benar setan keras kepala!" sentak
Dayang Sepuh. "Kau bukannya akan membawa saudaramu tapi menyerahkan nyawamu! Kau tahu, saudaramu bersama siapa saat ini!"
Putri Kayangan anggukkan kepala. "Tapi aku harus
lakukan tugas Eyang Guru, Nek! Kalau aku harus menunggu lebih lama, aku khawatir tak dapat menyelamatkan saudaraku...."
"Kau kira bekal yang kau miliki mampu menyelamatkan dan membawa saudaramu, hah"! Kau kira
enak melakukan apa yang baru kau katakan, hah"!"
"Bekal ku memang tidak banyak. Apa yang kukatakan memang berat melakukannya. Tapi ini adalah perintah yang harus kulaksanakan, Nek!"
"Hem.... Begitu"! Daripada kau mampus di tangan
setan berjubah hitam itu, lebih baik kau ke neraka me-lalui tanganku!" Dayang
Sepuh angkat tangannya.
"Bibi! Tahan!" teriak murid Pendeta Sinting. Lalu
melompat ke hadapan Putri Kayangan dan tegak
menghalangi si gadis dan Dayang Sepuh. "Putri.... Untuk sementara ini, tunda
dulu keinginanmu! Perintah memang harus dilakukan. Tapi tidak berarti harus
tanpa perhitungan! Kau tahu, aku menduga mereka
akan membicarakan bagaimana menghadapi manusia
tanpa sosok itu!" Joko berbisik.
"Apa yang kalian bicarakan"!" Dayang Sepuh membentak. "Kau juga hendak ikut-ikutan pergi bersama
gadis setan itu"!"
Pendekar 131 putar diri menghadap si nenek. Belum sampai Joko buka mulut, Dayang Sepuh sudah
mendahului. "Kau juga akan mampus di tanganku kalau berani
ikut-ikutan pergi!"
"Brusss! Sudahlah.... Jangan bertindak yang macam-macam dan mengherankan! Kita semua tahu siapa orang yang kita hadapi saat ini!" Datuk Wahing me-nengahi.
"Jadi kau sudah tahu, Kek"!" tanya murid Pendeta
Sinting. "Siapa dia, Kek"!"
"Brusss! Sungguh mengherankan kalau aku tahu
orangnya, Anak Muda! Yang ku maksud, kita tahu
sampai di mana kedahsyatan dua benda di tangan
orang itu!"
Baru saja Datuk Wahing berucap begitu, tiba-tiba
Gendeng Panuntun gerakkan kepala tengadah. Tangan
kanannya mengusap cermin bulatnya lalu berujar pelan. "Ada dua orang hendak lewat di sekitar tempat kita!" Tanpa sadar, semua kepala bergerak merunduk. La-lu mata masing-masing orang
sama terpentang tak
berkesip perhatikan ke arah jalanan di depan sana.
Sebagian memperhatikan dari jurusan barat, sebagian lagi dari jurusan timur.
Mereka tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan.
"Setan! Mana orang itu"!" desis Dayang Sepuh kala
matanya tidak juga melihat adanya orang. "Janganjangan dia bercanda!"
Tidak ada yang menyahuti ucapan Dayang Sepuh.
Mereka masih terpaku dengan mata nyalang. Sementara Gendeng Panuntun mengerjap beberapa kali.
"Setan buta sialan! Kau hanya bikin hati deg-degan
saja!" Kembali Sayang Sepuh memaki setelah agak lama tidak juga melihat siapa-siapa. Dia orang pertama yang angkat kepalanya.
Disusul dengan murid Pendeta Sinting dan Putri Kayangan.
"Di sini bukan tempatnya bergurau, se...." Makian
Dayang Sepuh terputus. Sekonyong-konyong dia sentakkan kepala merunduk. Demikian pula Joko dan Pu
Joko Sableng 25 Kutuk Sang Angkara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tri Kayangan. Mata mereka menangkap kelebatan
bayangan yang berlari cepat dari jurusan timur.
"Ucapannya benar! Tapi perhitungannya meleset!"
gumam Dayang Sepuh kala pentangan matanya bukan
melihat dua orang melainkan satu orang. Namun begitu ketegangan pada wajah si nenek mereda tatkala dia bisa mengenali kalau si
bayangan bukanlah Jubah
Tanpa Jasad. Karena sosok orang yang berkelebat terlihat nyata.
"Setan! Gerakannya laksana orang kesetanan! Tak
bisa ku kenali sosoknya!" desis si nenek ketika matanya tidak bisa mengenali
sosok bayangan yang berla-ri kencang. Dan lewat begitu saja tidak jauh dari
tempat di mana Dayang Sepuh dan teman-temannya berada. "Kau bisa melihat orangnya"!" tanya Dayang Sepuh berpaling pada Pendekar 131
dan Putri Kayangan.
Yang ditanya sama gelengkan kepala. Saat bersamaan
ketiga orang ini sama angkat kepalanya.
Baru saja kepala mereka terangkat, tiba-tiba dari
arah barat satu sosok bayangan berkelebat dan tegak lurus dari tempat Dayang
Sepuh berada. Karena terburu tegak, terlambat bagi si nenek dan murid Pendeta
Sinting serta Putri Kayangan untuk rundukkan kepala.
Apalagi sosok bayangan di depan sana sudah menghadap ke arah mereka dan seolah sudah tahu!
*** SEMBILAN KARENA tak mungkin lagi sembunyikan kepala,
Dayang Sepuh, Pendekar 131, serta Putri Kayangan
terpaksa urungkan niat untuk tarik kepala masingmasing merunduk. Dan karena telanjur, Dayang Se Kisah Sepasang Bayangan Dewa 2 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Lencana Pembunuh Naga 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama