Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma Bagian 1
1 Matahari tepat berada di atas kepala. Udara
di siang itu memang terasa menggelisahkan. Panas
laksana menggarang batok kepala, ketenangan
lembah dan bukit-bukit membiru di sebelah timur
Lembah seakan tidak terusik. Namun suara cericit
burung yang tengah mencari makan mewarnai kesunyian lembah. Beberapa saat kemudian di tengah lembah terdengar ada suara menggeram disertai makian marah. Hiruk pikuk suara burung lenyap, mahluk-mahluk lucu itu berterbangan meninggalkan lembah mencari selamat. Dan di tengah-tengah suara bentakan yang menggelegar itu
terdengar suara deru angin ribut. Lalu pepohonan
besar yang tumbuh di sekitar kawasan lembah tercerabut berhamburan di udara. Bukan hanya pepohonan saja, bahkan batu-batu sebesar kerbau
juga nampak berpelantingan ke berbagai arah.
Hanya dalam waktu sekejap kawasan lembah
hampir gundul. Sedangkan di tengah lembah berdiri tegak
seorang laki-laki tua setengah baya dan seorang
perempuan bertubuh tinggi dan berbadan besar
seperti raksasa. Kedua orang itu saling berhadapan dengan mata mencorong dan wajah meluapkan kemarahan.
"Kau terlalu berburuk sangka, suamiku. Antara aku dengan Tabib Setan tidak punya hubungan apa-apa. Mengapa kau marah membabi buta?"
tanya si perempuan raksasa heran.
Laki-laki raksasa yang bernama Senggana
yang bukan lain adalah suami dari perempuan itu
mendengus geram sambil palingkan wajahnya ke
jurusan lain. "Siapa percaya dengan mulutmu,
Senggini. Aku melihat dari tatapan matamu bahwa
kau menaruh gairah pada kakek keparat itu!" teriak si raksasa tua yang merasa
kesal karena dibakar api cemburu.
Senggini tersenyum. "Kakang Senggana, biarpun kau pernah mengatakan telah merelakan
aku mencari pengganti dirimu. Tapi aku tidaklah
segila itu. Kuakui sebagai istri aku memang pernah kecewa dan menderita batin hebat akibat kau
tak mampu lagi menjalankan kewajibanmu sebagai suami. Namun aku juga harus mengerti semua
itu bukanlah kesalahanmu. Kau kehilangan keperkasaanmu sebagai laki-laki sejati akibat terkena pengaruh racun Perubah Bentuk. Dalam hal ini
mengapa kita tidak berusaha mencari kesembuhan dengan menemui Srimbi?" ujar Senggini.
Apa yang dikatakan oleh sang istri sebenarnya merupakan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan kemelut batin yang mereka alami selama
ini. Cuma kiranya rasa cemburu telah membakar
jiwa laki-laki raksasa itu hingga dia tidak dapat la-gi menggunakan fikiran
sehatnya. Dengan hati masih dilanda rasa cemburu
dia berkata, "Sejuta alasan bisa saja kau katakan.
Padahal jauh di lubuk hatimu aku tahu kau berharap agar aku cepat mati bukan" Dengan begitu
kau bisa mengawini Tabib Setan laknat itu bukan?" ujar Senggana disertai seringai sinis. Mendengar ucapan suaminya Senggini tundukkan wajah. Dengan polos dia menjawab. "Semula aku
memang berharap begitu, kakang. Tapi kemudian
aku berpikir haruskah karena penyakitmu itu
anak-anak kita kehilangan orang tua. Padahal kalau kita mau berusaha mencari obat dari penyakitmu itu, bukan mustahil kau bisa kembali seperti sediakala!"
"Siapa percaya dengan mulut busukmu, perempuan tengik. Mungkin lebih baik kita mati bersama-sama!" Habis berkata Senggana yang memiliki tenaga besar itu mencabut pohon yang terdapat di sebelah kirinya. Pohon sebesar pelukan
orang dewasa tersebut dibolang-balingkan di udara. Begitu bagian batangnya kena dicekal Senggana, maka laki-laki raksasa itu menghantamkan
pucuk pohon ke bagian pinggang istrinya. Senggini
yang tidak menyangka suaminya masih dilanda
kemarahan keluarkan seruan kaget. Cepat dia melompat ke samping sambil menundukkan tubuhnya yang tinggi seperti pohon kelapa. Dia meraih
batu besar. Dengan menggunakan batu itu dia
menangkis hantaman pohon.
Bress! Praak! Pohon yang dipergunakan untuk memukul
hancur berpatahan, sedangkan batu yang dipergunakan untuk menangkis patah menjadi dua.
Senggini yang semula telah berubah fikiran dan
ingin menyembuhkan suaminya dari pengaruh racun Perubah Bentuk ini kini ikut terpancing kemarahan suaminya.
"Kau tidak mau mendengar segala ucapanku tidak menjadi apa. Rupanya memang sudah
menjadi takdir bahwa diantara kita harus mati
bersama-sama!" teriak Senggini.
"Bagus! Kini ternyata tidak ada lagi kemesraan dan kelembutan. Kau telah berani melawan
dan berani menentang. Sekarang aku tak segansegan lagi untuk membunuhmu!" geram Senggana.
Begitu selesai berucap, Senggana melesat ke arah
istrinya sambil hantamkan tangannya ke dada dan
perut Senggini.
Perempuan raksasa itu tentu saja tahu suaminya bermaksud jatuhkan tangan keji. Karena
itu tanpa bicara lagi dia juga menyambuti pukulan
Senggana. Akibatnya terjadilah benturan yang
amat dahsyat. Kedua suami istri itu sama-sama
terlempar sejauh dua tombak, lalu jatuh bergedebukan seperti suara gunung meletus.
Bentrok pukulan membuat keduanya merasa tangan mereka seperti hancur sedangkan dada
terasa sakit luar biasa. Bahkan dari mulut Senggini meneteskan cairan kental berwarna merah.
Senggini menyeka mulutnya. Begitu melihat
darah perempuan itu menjadi bertambah kalap.
Dengan terhuyung-huyung dia bangkit. "Bertahun-tahun aku menjadi teman hidupmu,
telah banyak kesenangan yang kau dapatkan dari diriku. Tak
pernah kusangka kini kau malah menghendaki
kematianku!"
'Huh, jika seorang istri menjadi tidak berguna malah jadi bumerang dalam hidup, buat apa
aku memeliharanya!" sahut Senggana sambil
bangkit berdiri.
"Aku sudah tahu seberapa hebat ilmumu.
Sekarang marilah kita mengadu nyawa!"
Senggana menyeringai mendengar tantangan istrinya. Dengan cepat dia kerahkan tenaga
dalam lalu menyalurkannya ke bagian tangan. Sekejap saja kedua tangan laki-laki raksasa itu telah berubah menjadi biru
pertanda dia telah mengerahkan suatu ilmu dahsyat yang dikenal dengan
name 'Raksasa Menelan Bintang'. Senggini terkesiap melihat suaminya menggunakan ilmu yang
menjadi andalan keluarga mereka itu. Tapi tanpa
banyak bicara perempuan itu juga tak mau mengalah dan dengan segera melintangkan kedua tangannya siap melepaskan pukulan 'Raksasa Membelah Bulan'. Ilmu pukulan ini juga bukan ilmu
sembarangan. Tingkatannya hampir sama dengan
pukulan Raksasa Menelan Bintang, namun pukulan yang hendak digunakan Senggini mempunyai
keanehan lain yaitu bila pukulan telah slap dilepaskan tak mungkin dibatalkan. Jika hal itu sampai terjadi pasti dapat menewaskan pemiliknya
sendiri. Tapi rupanya Senggini sudah tidak menghiraukan apapun yang bakal terjadi. Dalam waktu
hampir bersamaan dia hantamkan kedua tangannya ke arah Senggana.
Sinar kuning kehitaman berkiblat menderu
dari telapak tangan perempuan itu, sedangkan dari arah depannya menderu segulung angin panas
disertai melesatnya sinar biru. Di saat dua pukulan manusia raksasa itu hampir bertubrukan di
udara, pada waktu hampir bersamaan terdengar
seruan disertai berkelebatnya sosok berpakaian
serba kuning. "Tidak kubiarkan orang tua saling membunuh hanya karena persoalan
sepele!" Sambil berteriak dengan gerakan sedemikian rupa sosok yang besarnya tidak sampai sepersepuluh dari
kedua raksasa tersebut hantamkan kedua tangannya ke dua arah.
Dua larik sinar kuning redup melesat dari
telapak tangannya. Satu memapas sinar kuning
yang melesat dari tangan Senggini sedangkan satunya lagi menghantam Senggana.
"Akh...celaka...!" Kedua suami istri itu hampir bersamaan keluar seruan kaget.
Tapi tak satu- pun dari mereka yang dapat menghentikan pukulan yang terlanjur mereka lepaskan.
Tak dapat dihindari terjadilah bentrokan
yang sangat keras luar biasa. Sosok berpakaian
kuning yang kebetulan berada di antara dua pukulan tak sanggup menyelamatkan diri. Dua pukulan
yang dimaksudkannya untuk membuyarkan pukulan suami istri raksasa itu tak mampu ditahannya.
Buummm! Satu ledakan keras mengguncang kawasan
lembah. Sosok berpakaian kuning yang bukan lain
adalah Anggana putera suami istri itu menjerit kesakitan. Tubuhnya yang baru saja kembali ke ujud
manusia normal terpelanting tinggi di udara. Lalu
meluncur ke bawah dan jatuh bergedebukan.
"Anakku!" pekik Senggini. Dia terkesiap melihat nasib buruk yang menimpa
anaknya. Tanpa fikir panjang lagi dia menubruk Anggagana. Sedangkan Senggana masih tertegak di tempatnya
berdiri. Dua matanya mendelik besar, nampaknya
dia masih belum percaya melihat kenyataan itu.
Dengan penuh penyesalan dia berjalan menghampiri Anggagana. Laki-laki itu dengan mata berkacakaca duduk bersimpuh di depan anaknya. Sang
anak mengerang, pakaiannya hangus, kulit tubuhnya juga hangus, rambut rontok sedangkan
sepuluh jemari tangannya gosong.
Biarpun keadaan Anggana sudah sangat
parah dan tak mungkin dapat diselamatkan lagi
namun si pemuda masih dapat membuka matanya. Malah setelah memperhatikan ayah dan
Ibunya silih berganti dengan suara lirih dia berka-ta. "Ayah...uukh...ibu....
Mungkin inilah akhir dari perjalanan hidupku. Aku sama sekali tidak menyesal
jika harus mengakhiri hidup dengan cara
seperti ini. Ibu yang melahirkan aku ke dunia ini, ibu dan ayah pula yang
membesarkan. Andai sekarang harus mati aku tidak menyalahkan siapasiapa, tapi kuminta padamu ayah dan ibu janganlah kalian bertengkar lagi memperdebatkan sesuatu yang tidak jelas. Jika aku mati jangan pula kalian saling menyalahkan dan berniat saling bunuh.
Kalian berdua sudah sangat tua, jika dulu bisa
saling mencinta mengapa sekarang harus berakhir
dengan cara yang amat tragis. Aku tahu ada yang
menjadi ganjalan di antara kalian berdua. Tapi kurasa itu bisa diselesaikan, penyakit ayah dapat pu-la disembuhkan asal kalian
mau terus berusaha
mencari nenek Srimbi. Hanya dia satu-satunya
yang mampu membuatkan obat penawar racun
agar bentuk badan kalian bisa kembali.
Ka...kalian...tidak bertengkar lagi...!" habis berkata
begitu Anggagana yang menjadi korban pukulan
ganas kedua orang tuanya langsung terkulai. Pemuda itu tewas dengan luka-luka mengerikan di
sekujur tubuhnya.
Menyaksikan kematian anaknya Senggini
dan Senggana meraung keras. Mereka sama memeluki jasad sang anak malang.
"Huk huk huk! Anakku, jika bukan ketololan ayahmu tidak mungkin kau berakhir seperti
ini." desah Senggini di sela-sela tangisnya.
"Istriku jangan lagi kau menyalahkan aku.
Kita berdua sama-sama bersalah!" ujar Senggana dengan sabar. Mungkin kini
setelah melihat hasil
perbuatannya dia harus sadar tidak ada gunanya
lagi mereka berdebat.
"Huh, kau suami tolol. Susah payah aku
melahirkan dan membesarkannya tidak tahunya
kau malah membuatnya seperti ini!" dengus Senggini masih saja memeluki mayat
Anggagana. "Jangan berkata begitu. Dalam hal ini kau
tidak boleh melupakan diriku. Anak-anak kita terlahir berkat kerjasama yang baik di antara kita.
Jika kau tidak turun bakti mana mungkin kau bisa hamil, andai kau tidak hamil mana mungkin
melahirkan!" ujar Senggana dengan wajah serius.
Dalam keadaan biasa ucapan suaminya paling tidak mengundang tawa bagi istrinya. Tapi
alangkah tidak patut ucapan itu dilontarkan oleh
seorang ayah di saat mereka kehilangan orang
yang mereka cintai.
Dengan geram dia mendamprat. "Laki-laki
Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak berguna. Anakmu tewas akibat perbuatan tolol
yang kita lakukan, dalam keadaan berduka masih
juga kau sanggup bicara melantur?"
Senggana terdiam. Rasanya percuma saja
dia meladeni sang istri yang sedang dilanda duka.
Karena itu tanpa bicara lagi laki-laki tersebut segera meninggalkan Senggini
kemudian membuat sebuah kubur tak jauh dari sebuah lapangan kecil
yang terdapat di lembah.
Beberapa saat kemudian setelah acara penguburan jenazah Anggagana selesai, Senggana
berdiri tegak di depan pusara anaknya dengan wajah tertunduk dan berlinangan air mata. Sama sekali dia tidak berani memandang istrinya yang sedang menancapkan sebuah nisan di kepala makam. Senggini sendiri setelah selesai menancapkan batu nisan yang diambil dari batu kali segera membuka mulut. "Anggagana anakku, maafkanlah kesalahan Ibu dan ayahmu ini nak. Mulai
sekarang kami berjanji tidak akan bertengkar lagi."
ujar Senggini sambil melirik ke arah Senggana.
Sang suami dengan mata masih memerah anggukkan kepala. "Benar anakku, ayah minta maaf. Ketololan
yang harus ayah bayar dengan mahal. Oh mengapa harus berakhir begini" Huk huk huk!" Sengga-na menangis tersedu-sedu.
Sebagai istri Senggini tentu saja tidak tega
membiarkan suaminya tenggelam dalam kepedihan. Dia segera berdiri, lalu menghampiri Senggana. Dengan hati masih diliputi kesedihan dia berkata. "Kakang, sudahlah. Kita tidak boleh terlalu
larut dalam kesedihan ini. Kita memang samasama bersalah, tapi kelewat lama tenggelam dalam
penyesalan semua itu tak bakal menyelesaikan
persoalan yang kita hadapi." ujar Senggini sambil mengelus-elus bahu suaminya.
Mendengar ucapan
Senggini dan mendapat belaian sang Istri yang tulus Senggana merasa terharu. Dia membalikkan
badan lalu memeluk perempuan itu. Beberapa saat
lamanya suami istri itu saling berpelukan. Setelah mereka melepaskan rangkulan
masing-masing Senggana membuka mulut dan berkata. "Istriku
saat ini apapun yang kau katakan aku hanya menurut saja. Aku tidak ingin terjadi perpecahan di
antara kita. Kematian Anggagana kuanggap sebagai suatu tindakan tolol oleh orang tua seperti kita.
Saat ini jika kau punya rencana katakan saja!"
Senggini terdiam, dia mencoba berfikir keras. Rasanya saat ini satu-satunya jalan adalah
mencari nenek Srimbi. Mungkin nenek itu bisa dibujuk agar mau membuatkan obat pemunah racun 'Perubah Bentuk', karena bagaimanapun apa
yang menimpa suami atau dirinya adalah akibat
perbuatan Angin Pesut.
Ketika Senggini menceritakan semua ini pada Senggana, orang tua itu bertanya. "Kurasa menemui nenek Srimbi memang jalan
satu-satunya yang terbaik. Tapi untuk kau ketahui nenek Srimbi paling tidak menyimpan dendam selangit karena
merasa dirinya diabaikan Angin Pesut. Jika dia tahu Angin Pesut yang telah membuat tubuh kita
begini rupa. Sudah pasti dia menolak membuat
ramuan obat untuk kita."
Senggini manggut-manggut. Dia terdiam
cukup lama. Senggini sadar apa yang dikatakan
suaminya itu memang benar adanya. Srimbi pasti
tidak mau melakukan apa yang mereka minta karena dia begitu membenci pada Angin Pesut. Kini
rasanya tidak ada lagi jalan untuk mencari kesembuhan bagi mereka terkecuali memaksa Angin Pesut untuk membujuk Srimbi.
"Kakang, jika nenek itu tidak mau menolong
kita kurasa ada baiknya bila kita mencari jalan
lain!" ujar Senggini setelah mempertimbangkannya cukup lama. "Jalan lain apa?"
tanya orang tua itu.
"Karena manusia laknat bernama Angin Pesut itu yang telah membuat dirimu menjadi
begini, bagaimana seandainya kita mencari bangsat yang
menjadi penyebab dari segala kesusahan kita selama ini?"
"Mencari Angin Pesut tidak mudah. Tapi kita pasti menemukannya. Kabar terakhir kudengar
Angin Pesut mendapat serangan besar dari musuh-musuhnya. Bahkan kudengar gua yang menjadi tempat tinggalnya telah diserbu. Menurut
pendapatku Angin Pesut mungkin telah kena ditawan oleh musuh-musuhnya."
"Bagaimana jika ternyata manusia dajal itu
telah terbunuh?" tanya Senggini ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan istrinya sepasang
mata Senggana nampak meredup. Tapi demi menyenangkan hati istrinya dia berkata menghibur.
"Siapapun tahu Angin Pesut memiliki ilmu yang amat tinggi. Selain mempunyai
pukulan beracun
dia juga memiliki ilmu maha dahsyat berupa pukulan 'Ratap Langit'. Ilmunya itu sanggup menghancurkan benda apa saja termasuk juga lawanlawannya. Konon itulah satu-satunya pukulan terhebat yang ada di dunia persilatan saat ini. Jadi
menurutku lawan setangguh apapun tak bakal
mudah merobohkannya!"
Senggini manggut-manggut. Dia menyadari
Angin Pesut memang manusia berkepandaian sangat tinggi. Namun dia yakin setiap ilmu pasti ada
kelemahannya, karena sudah menjadi kodrat manusia tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini kecuali Gusti Allah.
"Suamiku, kalaulah benar apa yang kau katakan berarti kesempatan untuk mendapatkan obat penawar bisa kita peroleh melalui perantaraan
Angin Pesut. Sabarlah kakang, jika kita berusaha
keras tentu kita bisa mendapatkan semua yang kita inginkan!"
"Jika ternyata laki-laki terkutuk itu menolak bagaimana?" tanya Senggana.
Sang istri menyeringai lalu dongakkan kepala. Masih dengan tatapan menerawang ke langit
perempuan itu berkata. "Jika dia menolak maka aku akan menempurnya sampai salah
seorang dari kami binasa!" tegas perempuan itu. Senggana merasa sangat terharu sekali
mendengar ucapan istrinya. Keharuan itu begitu mendalam hingga
membuat kuduknya menjadi dingin.
Kemudian dengan suara serak bergetar lakilaki itu menimpali. "Istriku aku merasa senang mendengar ucapanmu. Kau tidak
sendiri, aku pasti membantumu. Jika kita berdua maju bersama,
masa' kita tidak sanggup membunuhnya!" tegas
Senggana. Senggini tersenyum sambil acungkan kepalan tinjunya. Senggana juga tersenyum lalu
acungkan tinjunya ke udara sebagai pertanda suami istri itu telah sama mencapai kata sepakat. Tetapi sebelum senyum mereka
lenyap, mendadak
sontak dalam keheningan suasana tiba-tiba terdengar suara gelak tawa melengking laksana datang dari langit. Meskipun Senggana dan Senggini
sama terkejut namun mereka tetap bersikap tenang. Seolah mereka menganggap suara tawa yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu bagai ngiangan nyamuk yang bermain di liang telinga.
Tak berselang lama suara tawa lenyap. Suasana kembali berubah sunyi. Pasangan suami istri
saling pandang tapi tetap tidak lupa bersikap waspada. Keheningan tak berlangsung lama karena
kemudian terdengar suara orang berkata lantang.
"Dua mahluk raksasa tolol. Kalian adalah pembual yang malang. Takdir kematian
Angin Pesut sudah
ditentukan ada di tanganku. Jika kalian berani
mengusiknya bahkan membuat selembar rambutnya saja gugur maka jiwa kalian bakal tak kuampuni!" ancam suara itu lantang. Biarpun diejek raksasa tolol kedua suami istri
itu tetap berlaku
tenang tapi diam-diam memasang telinga coba
memastikan dari arah mana suara itu datang. Ketika tahu suara datang dari balik pohon yang terdapat di sebelah kanan mereka, Senggana yang
memiliki tinggi badan sama dengan pucuk pepohonan langsung gerakkan tangannya.
Braak! Pohon sebesar batang kelapa berdaun lebat
itu berderak hancur, lalu jatuh berdebum disertai
suara bergemuruh berat. Hampir bersamaan dengan tumbangnya pepohonan terdengar suara tawa
mengejek disertai berkelebatnya satu bayangan ke
arah Senggana. Manusia raksasa itu hantamkan
tinjunya menyambuti kedatangan orang. Sekali
kena saja bayangan serba hitam dapat dipastikan
tubuhnya hancur berantakan. Tapi sesuatu di luar
dugaan Senggana terjadi, bayangan hitam mendadak berkelit ke samping lalu lakukan gerakan berjumpalitan sedemikian rupa dan jejakkan diri di
antara Senggana dan Senggini.
Tak lama kemudian kedua suami istri itu
melihat di depan mereka berdiri tegak sosok perempuan berambut panjang awut-awutan. Penampilan maupun ujud si nenek tidak dapat dikatakan
sebagai manusia seutuhnya karena setiap saat selalu berubah-ubah antara wajah manusia dan serigala. "Nenek jelek muka anjing sebenarnya eng-kau punya hubungan apa dengan
Angin Pesut?"
Senggana merasa mengenal nenek bermuka serigala ini ajukan pertanyaan. Si nenek mendengus
geram, namun belum lagi dia sempat menjawab
pertanyaan orang, Senggini sudah membuka mulut dan berkata, "Suamiku, apakah kau tidak pernah mendengar sebuah kisah yang
meriwayatkan tentang seorang gadis nekad yang membunuh calon mertuanya?"
Senggana terdiam, keningnya berkerut setelah berfikir sejenak lamanya sambil tersenyum dia
menjawab. "Ahh...sekarang aku baru ingat. Konon kudengar calon mertua tidak
merestui hubungan
gadis itu dengan anaknya karena gadis yang berhasrat menjadi calon menantunya itu ternyata hanyalah gadis keji berjiwa telengas."
Senggini seolah ingin membeberkan riwayat
hidup orang melanjutkan ucapan suaminya. "Kau benar suamiku. Setelah sang
kekasih tahu ayahnya tewas terbunuh di tangan gadis pujaannya,
kemudian pemuda itu menuntut balas, lalu terjadilah perkelahian sengit antara hidup dan mati....!"
Senggana menyambuti. "Benar...benar. Dalam perkelahian itu gadis pembunuh kalah. Kemudian sang pemuda pujaan menjebloskannya ke
suatu tempat bernama 'Liang Pemasung Sukma'."
"Sungguh menyedihkan. Tapi bagaimana
gadis yang dulunya cantik kini mukanya bisa berubah-ubah seperti serigala?" tanya Senggini.
"Oh ya, aku lupa mengatakannya padamu.
Sejak dia dijebloskan ke dalam Liang Pemasung
Sukma dendamnya pada pemuda pujaan setinggi
langit sedalam lautan. Kemarahannya itu membuat dia berhasil membebaskan diri dari pendaman Liang Pemasung Sukma. Konon jika tidak salah aku mendengar dia lalu mempelajari ilmu setan yang bernama Serigala Seribu."
"Wah kalau begitu hebat juga ya?" tanya istrinya disertai senyum mengejek.
Senggana menganggukkan kepala."Kejadian
itu memang hebat, bagaimana tidak. Orang yang
dulunya sama mencinta pada akhirnya saling
bermusuhan seperti musuh bebuyutan. Cinta
memang sesuatu yang unik. Karena cinta membuat orang bahagia, cinta juga bisa membuat
orang menderita. Tapi akibat cinta buta, orang bisa jadi celaka! Ha ha ha."
"Suamiku apakah mahluk tak kenal ujud
yang kini berada di hadapan kita termasuk korban
cinta buta?" tanya Senggini.
"Oh kalau yang satu ini kurasa bukan korban cinta tapi korban dendam kesumat dan letusan gunung!' sahut Senggana. Kedua suami istri
itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
Si nenek yang tahu dirinya disindir terus
menerus sejak tadi sebenarnya sudah tidak dapat
lagi menahan luapan amarahnya. Semua ini tercermin jelas lewat wajahnya yang cepat sekali berubah-rubah antara wajah manusia dan rupa serigala. Sambil mendengus nenek berpakaian hitam
menggeram. "Dua manusia tolol sudah puaskah
kalian membeberkan riwayat hidupku atau mungkin masih ada lagi yang hendak kalian sampaikan?" tanya si nenek ketus.
Senggini terdiam sedangkan Senggana dengan tenang berkata. "Bukankah yang kami katakan ini adalah kenyataan yang sebenarnya, Ni
Pambayon" Suatu kenyataan dari sebuah masa lalu kelabu dari perjalanan hidupmu sendiri."
Si nenek yang memang memiliki nama Ni
Pambayon atau yang lebih dikenal dengan julukan
Bayangan Maut tentu saja kaget tak menyangka
orang mengenali dirinya bahkan tahu bagaimana
Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masa lalunya. Cuma rasa kaget itu berlangsung
sekejap saja karena begitu teringat pada penghinaan yang dilakukan kedua manusia raksasa itu
dia mengumbar kemarahannya. "Dua manusia hina dina. Pandai sekali kalian membicarakan keburukan orang, padahal aku tahu kalian sendiri saat
ini sedang berada di ambang maut. Di dalam tubuhmu juga tubuh istrimu mendekam racun jahat
berupa racun Perubah Bentuk. Racun itu telah
membuat tubuh kalian berkembang tidak wajar
hingga menjadi sosok raksasa. Lalu... jika diri sudah berada diambang maut apa
perlunya mencari
Angin Pesut?" tanya Ni Pambayon alias Bayangan Maut disertai seringai mengejek.
Senggana dan Senggini saling berpandangan. Senggini anggukkan kepala memberi isyarat
untuk menjawab pertanyaan si nenek.
"Ni Pambayon, siapapun gelarmu aku tak
peduli. Yang jelas, Angin Pesut harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya di masa
lalu!" tegas Senggana.
"Hik hik hik! Manusia tolol, jika dulu saja
kalian tidak bisa mengalahkan si jahanam Angin
Pesut, apakah kini kalian mengira bisa membunuhnya?" dengus si nenek.
Senggini melangkah maju satu tindak lalu
menyambuti ucapan si nenek. "Angin Pesut boleh mempunyai ilmu segudang, dia
boleh memiliki il-mu hebat Ratap Langit, tapi kami punya cara untuk menghancurkan ilmunya."
Bayangan maut terdiam. Dia pernah mendengar kedua raksasa itu bukan orang sembarangan. Mereka juga memiliki ilmu hebat yang tak dapat dipandang sebelah mata. Suaminya punya ilmu pukulan Raksasa Membelah Bintang, sedang
istrinya memiliki pukulan Raksasa Membelah Bulan. Dua pukulan hebat itu bila dilepaskan bersamaan bisa membuat tempat di sekitarnya jadi porak poranda. Tapi nampaknya Bayangan Maut tidak perduli. Baginya kedua manusia raksasa itu boleh
mempunyai ilmu pukulan yang sanggup merontokkan gunung sekalipun. Namun jika mereka berani membunuh Angin Pesut sebelum dirinya
sempat melakukan pembalasan, kedua raksasa itu
harus berhadapan dulu dengannya.
"Dua manusia tolol, aku sudah mengatakan
bahwa takdir kematian Angin Pesut ada di tanganku. Karena itu aku hanya bisa memberi saran,
mengingat hidup kalian tidak lama lagi. Mengapa
tidak kembali saja ke puncak Kemukus tempat
tinggal kalian. Anak kalian telah mati korban ketololan sendiri. Sedangkan yang
satunya lagi entah
kemana. Jika kalian berdua ingin berbulan madu
mengenang saat pertama kali dulu. Kurasa sekaranglah waktunya. Aku memberi kesempatan bagi
kalian untuk meneguk sorga dunia yang kedua
kali. Hik hik hik!" kata Bayangan Maut disertai ta-wa mengekeh.
"Kalau kami menolak?" tanya Senggana.
"Maksudmu?" Si nenek pura-pura tak tahu.
"Kami tetap memutuskan mencari Angin
Pesut!" tegas Senggini.
"Angin Pesut tak bakal sanggup membuatkan obat pemunah untuk kalian!" tegas si nenek mulai tak dapat lagi menahan
kesabarannya. "Jika dia tidak mampu berarti dia harus
menebus semua kesalahan dengan nyawanya!"
Habislah sudah kesabaran Bayangan Maut.
Dengan suara lantang menggeledek nenek itu berteriak. "Aku sudah mengatakan, takdir kematian Angin Pesut ada di tanganku. Jika
ada orang berani mendahuluinya maka dia harus berhadapan
dengan Bayangan Maut. Karena kalian tetap berlaku nekad, sekarang terimalah kematianmu!"
Baru saja teriakan si nenek lenyap dia lakukan gerakan berputar setengah lingkaran. Begitu tubuhnya berputar dia berkelebat ke arah
Senggana sambil berkelebat kedua tangannya yang
terpentang melesat ke bagian perut Senggana. Laki-laki itu tidak tinggal diam, dia segera mengangkat kakinya. Dengan
mempergunakan lutut dia
menangkis serangan lawan.
Buuuk! Breeet! Si nenek terdorong mundur. Benturan keras
antara tangan kanan dengan lutut lawannya menimbulkan rasa sakit luar biasa. Tapi jemari tangan kiri Bayangan Maut sempat membuat robek
paha Senggana. Laki-laki itu meringis kesakitan.
Biarpun besar dan tinggi lawan bagi raksasa ini
tak sampai setengah besar dirinya, namun cakaran tangan Bayangan Maut menimbulkan luka
dan mengucurkan darah.
Senggana menggerung, tangannya yang besar dan panjang terjulur. Tangan yang satunya berusaha mencengkeram pinggang Bayangan Maut,
sedangkan yang satunya lagi menghantam kepala
si nenek. Nenek angker yang wajahnya setiap saat berubah antara wajah manusia dan serigala ini tak
mau berlaku ayal. Dia sadar jika dirinya kena dicengkeram atau dipukul lawan. Kalau bukan pinggangnya yang remuk pasti kepalanya jadi hancur.
Karena itu dengan gerakan gesit bagaikan serigala
menghindar dari sergapan harimau, dia berkelit
sambil melompat ke belakang. Baru saja Bayangan
Maut jejakkan kakinya dari arah belakang, Senggini melepaskan satu tendangan menggeledek ke
bagian punggung si nenek.
Gemuruh suara angin tendangan yang tidak
ubahnya seperti pohon roboh membuat Bayangan
Maut bantingkan diri ke sebelah kanan sambil
bergulingan mencari selamat. Namun secepat apapun si nenek menghindar, tendangan Senggini ternyata datangnya lebih cepat dari yang nenek itu
duga. Buuk! Tendangan yang amat keras bertenaga dua
puluh kali lipat manusia biasa itu membuat
Bayangan Maut terpelanting sejauh sepuluh tombak. Jika bukan tokoh sesat berkepandaian tinggi,
yang terkena tendangan perempuan raksasa itu
dapat dipastikan tubuhnya rusak.
"Kau tidak apa-apa suamiku?" Habis melepaskan tendangan Senggini ajukan pertanyaan.
"Kau harus hati-hati, setiap serangannya
mengandung racun jahat. Beruntung aku pernah
terkena pukulan racun Perubah Bentuk hingga
membuat racunnya tidak begitu berbahaya!" ucap Senggana menyahuti.
Sementara itu Bayangan Maut yang dibuat
terpelanting jungkir balik oleh lawannya sambil
memaki menyemburkan sumpah serapah sudah
berdiri tegak. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang
mendera punggungnya diam-diam si nenek salurkan tenaga dalam ke bagian tangan. Dua tangan
lalu disilangkan, mulutnya berkemak-kemik seperti merapal mantra ajian. Setelah itu sambil menggeram dalam hati Bayangan Maut membatin. "Kedua raksasa itu tidak boleh dianggap remeh. Tenaganya sepuluh kali lipat dari tenaga manusia biasa. Aku harus membunuhnya. Dengan ajian
Bayangan Serigala ini kurasa aku bisa berbuat
banyak!" fikir si nenek. Dengan tangan masih bersilangan di depan dada dia
berteriak. "Dua manusia besar keras kepala, baru membuat aku jatuh
bukan berarti kalian telah mengalahkan aku. Lihat
serangan...!"
Belum lagi suara teriakan si nenek lenyap,
tahu-tahu tubuhnya melesat kira-kira setinggi dada Senggana dan Senggini. Kedua raksasa itu
mendengus lalu bersirebut saling mendahului
memukul Bayangan Maut. Tapi karena pukulan
mereka seolah menghantam angin. Karena biarpun
tubuh lawannya terkena pukulan mereka, keduanya merasa seolah memukul bayangan. Malah
kemudian kedua suami istri itu saling mengadu
tinju. Bruuk! Senggana dan Senggini terhuyung dan sama-sama unjukkan wajah kaget. Sementara dari
sebelah kiri Bayangan Maut yang memendam dendam selangit akibat terkena tendangan Senggini
tidak menyia-nylakan kesempatan ini. Tubuhnya
yang berputar mengambang di udara meluncur deras ke arah perempuan raksasa itu lalu kakinya
menghantam. Dukk! Dees! Dess! Tendangan keras membuat Senggini jatuh
berdebum. Si nenek tidak puas dan kini meluncur
deras mengikuti arah jatuhnya Senggini sambil
melancarkan serangkaian tendangan dan hujamkan kuku-kuku jarinya ke arah perut lawan.
Sosok besar Senggini tentu saja tidak dapat
bergerak lincah sebagaimana manusia normal
lainnya. Karena itu dia dorongkan kedua tangannya, menghantam lawan dengan pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan'. Gerakan melepaskan pukulan
termasuk terlambat karena waktu itu Bayangan
Maut tidak ubahnya seperti iblis yang berlari kencang sempat menghantam perut dan hujamkan
kuku-kukunya ke dada Senggini.
Di tengah jeritan Senggini yang menyayat,
tubuh Bayangan Maut tiba-tiba seperti disentakkan ke belakang terhantam sinar kuning yang
memancar dari tangan lawan.
Bayangan Maut meraung begitu merasakan
bagaimana mulai dada ke atas tiba-tiba terasa seperti meleleh. Selagi dia terhuyung-huyung sambil
mendekap wajahnya, dari arah belakang menderu
pula sinar panas luar biasa.
Si nenek terkesiap, dia tidak sempat melihat
ke belakang. Tapi sadar seperti Senggini yang telah menghantam dirinya dengan
pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan', Senggana juga pasti melepaskan
pukulan 'Raksasa Membelah Bintang'. Sadar akan
bahaya yang lebih besar mengancam dirinya.
Bayangan Maut dengan terhuyung-huyung melompat ke samping. Tak urung pukulan Senggana
masih menyambar bagian bahunya.
Si nenek meraung keras. Tubuhnya jatuh
terpelanting, sementara Senggana meraung hebat
melihat luka yang dialami istrinya. Sebaliknya
Bayangan Maut yang cidera akibat hantaman kedua lawan segera bangkit berdiri. Dengan menahan rasa sakit yang mendera wajah dan punggungnya si nenek berkata. "Dengan menggunakan ilmu ajian Serigala Seribu aku
pasti bisa membunuhnya. Tapi ilmu itu sangat membutuhkan konsentrasi penuh. Ah... kurang ajar mana mungkin
aku bisa konsentrasi dalam keadaan sakit begini.
Sebaiknya aku pergi saja. Untuk sementara biarlah dia meratap seperti orang gila. Kelak bila dia nekad mencari Angin Pesut,
disanalah dia kuhabi-si!" membatin si nenek. Selesai berkata begitu tanpa
membuang waktu lagi Bayangan Maut berkelebat meninggalkan Senggana yang tengah meratap
dan memeluki istrinya.
Senggana memang tidak tahu lawannya telah melarikan diri. Dia sendiri ketika itu menangis
terguguk memeluki jasad istrinya. Ternyata akibat
luka menganga di bagian dada tembus sampai ke
bagian jantung serta tendangan beruntun yang dialami istrinya membuatnya tak dapat bertahan hidup. "Istriku mengapa harus berakhir seperti ini?" desis Senggana getir. "Aku
tidak rela hal seperti ini terjadi. Ni Pambayon harus menerima balasanku!" kata Senggana.
Dengan mata bersimbah air mata laki-laki
itu palingkan kepala memandang ke arah jatuhnya
Bayangan Maut namun Senggana jadi melengak
kaget karena lawan yang telah menjadi penyebab
kematian istrinya ternyata sudah raib entah pergi
ke mana. Si orang tua menggeram, dua tangannya dikepal. Sambil menggerung dia berkata. "Kau tidak bakal lolos dari tanganku,
Bayangan Maut!" geram Senggana.
Masih dalam keadaan kalut dan duka,
Senggana menyempatkan diri menguburkan sang
istri tercinta secara layak. Setelah penguburan
sang istri selesai tidak menunggu lama lagi dia segera mengejar Bayangan Maut.
2 Pemuda itu tegak diam sambil silangkan
kedua tangannya di depan dada. Sementara matanya memandang ke arah kali Progo. Tak berselang lama dia layangkan pandangannya ke arah
deretan pepohonan yang tumbuh menjulang di sepanjang pinggiran kali. Mendadak dia palingkan
kepala ke arah bagian hulu Kali Progo. Si pemuda
bertelanjang dada yang adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon gelengkan kepala. Sekejap tadi dia
mendengar suara gemuruh aneh. Suara gemuruh
itu datangnya dari dalam tanah dan sekarang suara itu tiba-tiba lenyap.
Masih dengan sikap tertegun dan sambil
mengusap wajahnya pulang balik sang pendekar
jadi bicara sendiri. "Jelas suara yang kudengar tadi bukan suara gemuruh air
sungai tapi suara sesuatu di dalam tanah, suara apapun yang kudengar
itu jelas bergerak mendekat kemari!" Berkata begitu murid kakek Gentong Ketawa
Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu hentakkan kedua kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
di udara. Selagi tubuhnya mengambang diatas ketinggian dia berkelebat ke arah pepohonan yang
terdapat di pinggir sungai. Setelah itu si gondrong jejakkan kakinya di salah
satu cabang pohon lalu
mendekam di balik kelebatan dedaunan. Pendekar
sakti 71 memasang mata mempertajam pendengaran. Beberapa saat dia menunggu. Suara gemuruh
makin mendekat, tapi dia tidak mendengar tandatanda kehadiran seseorang di tempat itu.
Di satu tempat tak jauh dari pohon dimana
dia berada sang pendekar melihat daun-daun dan
ranting kering yang bertebaran di atas permukaan
tanah tersibak. Dengan hati berdebar Gento menunggu gerangan apa yang bakal muncul dari bawah permukaan tanah. Tak begitu lama apa yang
ditunggu oleh Gento pun terjadilah. Mendadak
daun-daun kering berterbangan. Bersamaan dengan hembusan angin yang tak jelas datang dari
mana terjadi pula suatu ledakan yang amat dahsyat. Tanah bermuncratan di udara sehingga terjadi sebuah lubang besar. Berturut-turut dari dalam lubang yang menganga melesat dua sosok
bayangan. Bayangan pertama yang munculkan diri
dari dalam tanah berpakaian serba hitam, sedangkan yang di belakangnya berpakaian serba putih.
Dalam waktu sekejap tak jauh dari lubang
berdiri tegak seorang nenek berwajah setan sedangkan di sebelahnya tampak pula seorang gadis.
Yang mengejutkan gadis yang bersama si nenek
cukup dikenal oleh Gento, sedangkan nenek yang
bersamanya baru kali ini Gento melihatnya.
"Nenek satu ini mayat hidup atau setan kesasar." Fikir Gento sambil mengusap tengkuknya yang merinding. "Wajahnya rusak
seperti bekas di-cacah, lidah terjulur, gigi-giginya seperti taring serigala
sedangkan bagian hidungnya lenyap hingga
cuma berupa lubang besar mengerikan. Dan satu
lagi yang aneh kulihat dada nenek itu berlubang
besar." Gento memperhatikan gerak-gerik si nenek dan dia menemukan satu
kejanggalan lagi yang
tak mungkin dimiliki oleh manusia lain. Kejangggalan itu ada pada kaki si nenek. Kaki itu tidak seperti kaki manusia
karena nenek itu memiliki kaki seperti kaki kuda dengan bagian telapak
kaki tajam seperti mata tombak.
"Segala keburukan ada padanya. Mungkin
dia bukan manusia benaran bisa jadi dia embahnya siluman. Lalu apa perlunya Mutiara Pelangi
bersama nenek itu, apa dia cucu siluman juga?"
fikir Gento sambil mencoba menahan geli.
Selagi Gento cengar cengir melihat segala
keangkeran serta keanehan yang terdapat pada diri si nenek. Nenek berhidung grumpung alias
sumplung itu tiba-tiba ajukan pertanyaan pada
gadis yang pernah menyelamatkan Gento dari Lubang kubur. "Pelangi apa betul pemuda yang kau cintai itu miring otaknya?"
Sang dara terkejut mendengar pertanyaan
yang tidak disangka-sangka itu. Sementara di
tempatnya mendekam Gento menjadi gelisah.
"Nenek muka hantu itu mudah-mudah bukan aku yang dimaksudkannya!"
"Maksud guru?" tanya Mutiara Pelangi. Si nenek delikkan matanya, dengan kesal
dia berkata. "Rupanya berapa banyak pemuda yang kau cintai?" "Cuma satu guru?"
Di atas pohon Gento mengusap habis wajahnya. Kini dia semakin yakin dirinyalah yang
menjadi pusat pembicaraan. "Celaka, harusnya
aku tinggalkan tempat ini sejak tadi. Sekarang segalanya sudah kasip, jika aku pergi mereka pasti
melihatku!"
"Katakan siapa nama pemuda itu?" kembali terdengar suara si nenek.
"Namanya Gento guru. Terus terang dia tidak sinting. Cuma tingkah lakunya saja yang seperti orang kurang waras." menerangkan sang da-ra dengan muka bersemu merah.
"Hik hik hik. Soal ketidak beresan otaknya
kita bisa membawanya ke pandai besi. Aku kenal
seorang pandai besi yang hebat di Mojogendeng.
Sebelum dia menjadi pendamping hidupmu kita
bisa betulkan dulu otaknya agar kau bisa mempunyai pasangan hidup waras lahir dan batin."
Malu-malu sang dara palingkan wajahnya
ke jurusan lain. Dengan suara lirih dia berkata.
"Semuanya terserah guru, aku hanya mengikut sa-ja!"
Di balik kerimbunan pohon wajah Gento berubah pucat, tubuh menggigil sedangkan pakaian
bersimbah keringat dingin. "Celaka! Mengapa Pelangi jadi tidak bermalu dengan
mengatakan mencintai aku pada gurunya" Padahal aku tidak pernah berbicara begitu kepadanya! Terus terang aku
memang menyukai gadis-gadis cantik. Wah urusan
benar-benar jadi kapiran!" gerutu sang pendekar.
Di bawah sana si nenek mengguman sendiri. "Ternyata tidak mudah mencari bocah edan itu.
Kurasa sebaiknya kita cari dia di keramaian kota,
siapa tahu dia sedang jadi peminta-minta di sana!
Hik hik hik!"
"Nenek sial!" tanpa sadar Gento mengumpat. Biarpun suaranya hanya perlahan saja, tapi
rupanya si nenek mendengar makian Gento. Cepat
orang tua itu palingkan kepala dan memandang ke
arah kelebatan pepohonan. Orang tua itupun kemudian berteriak keras. "Orang yang bersembunyi di pohon harap tunjukkan diri!"
perintah si nenek.
"Ah celaka sudah. Mengapa aku tidak bisa
menjaga mulut. Harusnya aku tidak keterlepasan
bicara tadi!"
Gento menggerutu menyesali diri.
Sementara itu Mutiara Pelangi nampak kebingungan. "Eh...rupanya guru bicara pada siapa?"
Si nenek tidak menanggapi. Kembali dia
berteriak ditujukan pada Gento. "Jika kau tidak mau tunjukkan dirimu, aku akan
membakar mu hidup-hidup di situ!" Dan ancaman ini bukan cu-ma gertakan saja, karena begitu
selesai berkata si nenek Palasik angkat tangan kanannya siap untuk
dihantamkan. Pendekar Sakti 71 sudah melihat adanya
gelagat yang tidak baik menanggapi ucapan orang
dengan tawa tergelak-gelak. Mutiara Pelangi tentu
saja menjadi kaget karena dia memang mengenali
siapa adanya orang yang mengumbar tawa tersebut. Dia jadi gelisah, hatinya tidak tenang dan
yang jelas dia merasa malu atas pengakuannya tadi karena pemuda yang mereka bicarakan ternyata
berada di tempat itu. Pada saat itu begitu puas
mengumbar tawa Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
berkata dengan nada mencemo'oh. "Nenek wajah
remuk, berani kau bicara kurang ajar pada diriku"
Apa kau tidak takut kubetoti lidah dan gigi-gigimu yang jelek itu" Ha ha ha!"
Tercengang si nenek mendengar ucapan
Gento. Seumur hidup malang melintang di dunia
persilatan belum pernah ada orang yang berani
bersikap kurang ajar kepadanya. Hari ini seolaholah dia mendapat mimpi buruk memalukan, apalagi penghinaan ini dilakukan di depan muridnya.
Sambil menggeram dia pun menghardik. "Kadal
sialan! Siapa kau, cepat tunjukkan diri?"
"Rupanya kau setan tuli. Kau dengar...aku
adalah rajanya setan. Cepat berlutut di depanku
atau kau lebih suka menerima gebukanku"! Ha ha
ha!" balas Gento tak kalah lantangnya.
Lenyaplah sudah segala kesabaran nenek
Palasik. Sambil menggeram dia salurkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Setelah itu si nenek berkata tegas. "Rupanya kau mau menjadi raja setan benaran. Untuk mengabulkan
permintaanmu itu
tidak sulit bagiku!" Selesai berkata tangan si nenek pun dihantamkan ke arah
deretan pohon dimana
Gento bersembunyi. Seketika itu juga lima larik
sinar hitam menggidikkan berhawa panas luar biasa berkiblat menghantam pohon besar tempat
persembunyian Gento.
"Wualah kwalat kau!" Sekejap lagi pukulan lima sinar menghantam pohon terdengar
suara sumpah serapah yang disertai melesatnya satu sosok tubuh bertelanjang dada. Di belakang sosok
Gento terdengar suara ledakan berdentum. Pohon
hancur porak poranda dikobari api. Gento yang
kemudian jejakkan kaki tak jauh dari nenek Palasik dan Pelangi jadi leletkan lidah. Jika dia tidak cepat menghindari tadi
mungkin dirinya saat ini
telah menjadi mayat hangus.
Sang dara sendiri begitu melihat Gento tegak di depannya meski sebelumnya sudah menduga tetap terkejut. Dia merasa senang bisa bertemu
dengan sang pendekar, namun jauh di dalam hati
merasa malu bila ingat pembicaraan dirinya dengan sang guru. Dia yakin Pendekar Sakti 71 pasti
mendengar semua yang mereka bicarakan. Dengan
muka merah padam Pelangi palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
Sementara itu nenek Palasik kini memandang ke arah Gento, memperhatikan dengan teliti
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Rambutnya gondrong, lagak cengar cengir seperti orang edan tidak memakai baju,
hemm." Gumam si nenek, lalu ajukan pertanyaan ditujukan pada muridnya. "Apakah pemuda gelo ini yang telah meron-tokkan hati dan jiwamu,
Pelangi?" Malu-malu sambil tundukkan wajahnya
sang dara menganggukkan kepala.
"Dia muridnya kakek aneh Gentong Ketawa!" menerangkan Pelangi juga masih dengan tundukkan wajahnya.
Mendengar muridnya menyebut Gentong
Ketawa si nenek berjingkrak kaget. Seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri si nenek
membuka mulut. "Coba katakan lagi bocah ini
murid siapa?"
"Murid kakek Gentong Ketawa."
Si nenek tiba-tiba dongakkan kepala, lalu
tertawa tergelak-gelak. "Gentong ketawa...hik hik hik! Jadi gondrong kutu kupret
ini muridnya Gentong Ketawa" Sejak dulu aku selalu meragukan
kewarasan kakak pendengkur itu. Keraguanku
ternyata terbukti. Kini dia menularkan penyakit gi-lanya pada sang murid."
dengus nenek Palasik.
Baik Gento maupun Pelangi sama terkejut
tak menyangka nenek itu kenal dengan kakek
Gentong Ketawa.
Dengan sikap acuh si nenek lalu berkata.
"Monyet gondrong kau tentu sudah mendengar
semua pembicaraan kami. Sekarang aku ingin bertanya apakah kau mengenal gadis yang ada di
sampingku ini?" tanya nenek Palasik sambil menatap tajam pada Gento.
Sang pendekar tersenyum, matanya sengaja
dikedap-kedipkan, setelah itu dengan menggunakan jemari tangan Gento membembengkan matanya atas bawah baru kemudian manggutmanggut. "Ohh...aku kenal. Ternyata aku memang
mengenalnya. Cuma dia, sedangkan dirimu biar
mata ini kubembeng sepuluh kali pasti tidak kukenali. Lagipula siapa sudi mengenal nenek tak
kenal ujud sepertimu. Muka rusak, hidung lenyap,
gigi runcing lidah terjulur. Ibarat pemandangan dirimu itu tidak sedap
dipandang! Ha ha ha!"
Mendengar ucapan Gento yang menjengkelkan gusarlah si nenek dibuatnya. Tetapi dia berusaha mengurut dada menabahkan hati. Dia sadar
pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa di samping tentunya kesaktian
yang sangat tinggi. Karena itu nenek Palasik melangkah maju dua tindak. Dengan perlahan dia
berkata. "Aku sudah mengenal gurumu, jadi kau tidak perlu lagi menerangkan siapa
dirimu. Sekarang katakan padaku apakah kau mengenal dan
mencintai muridku?"
"Ah, disinilah letak pangkal persoalan. Kalau kau tanya apakah aku kenal dengan muridmu,
terus terang aku mengenalnya. Tapi masalah cinta
mana bisa kujawab!" tegas Gento.
"Aku hanya menginginkan jawaban antara
iya dan tidak!" tegas si nenek pula.
"Ah nek jangan mendesakku. Terus terang
aku menyukai pemandangan yang bagus-bagus
dan yang indah. Kalau aku suka bukan berarti
aku cinta!"
"Bocah kunyuk sialan. Kau mengira perempuan itu ibarat pemandangan, selagi bagus kau
pandangi terus, kemudian setelah bosan langsung
kau tinggalkan" Kurang ajar! Segala kegilaanmu
ternyata tidak berbeda jauh dengan gurumu. Lekas kau jawab ya atau tidak?" desak si nenek.
Gento jadi salah tingkah. Sebaliknya Mutiara Pelangi merasa semakin tidak enak hati.
Beberapa saat sang pendekar terdiam. Dia
melirik ke arah Pelangi, gadis itu malah palingkan wajahnya ke arah lain. Gento
merasa serba salah,
namun sang pendekar segera membulatkan hati
dengan berkata. "Nek, terus terang aku menyukai muridmu, tapi aku tidak
men....!" Ucapan Gento langsung dipotong oleh nenek Palasik. "Bocah edan, berani mampus kau
menipuku?" damprat si nenek. Cepat dia men
Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gangkat tangannya siap melepaskan pukulan mematikan. Tapi pada saat itu Pelangi melompat
menghalangi niat keji gurunya.
Lalu dengan getir dia berkata. "Guru, kau
hendak membunuh orang yang tidak bersalah" Sejak pertama aku sudah mengatakan, kau tidak boleh ikut campur dalam segala urusanku. Dan kini
akibatnya kau tahu sendiri. Campur tanganmu
sama sekali tidak membawa pada suatu penyelesaian sebaliknya malah menjadi sesuatu yang
amat memalukan bagi diriku." kata sang dara dengan suara parau.
"Kau gadis tolol yang selalu mengalah. Aku
membelamu untuk menemukan titik terang, sebaliknya kau malah menyalahkan diriku!" damprat si nenek kesal.
"Kita hidup pada jaman yang berbeda guru.
Segala sesuatu tidak dapat lagi dipaksakan. Sudahlah, daripada aku menanggung rasa malu lebih
lama, sekarang juga aku mohon pamit." selesai berkata begitu Mutiara Pelangi
balikkan badan siap meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini Gento cepat berkata, "Pelangi kita harus membicarakan kesalah
pahaman yang terjadi antara kita!" Gento kemudian melangkah maju. Tapi Pelangi gelengkan
kepala. "Tidak perlu lagi Gento. Tak ada gunanya kita bicara. Perlu kau ketahui,
semula aku ingin merahasiakan semua isi
hatiku. Bahkan aku tak bermaksud mencarimu.
Tapi nenek itulah yang memaksa!"
Habis berkata begitu sang dara pun dengan
hati terluka berkelebat meninggalkan gurunya dan
sang pendekar. Nenek Palasik mencoba mencegah
sambil berteriak. "Pelangi jangan pergi dulu!"
Sia-sia saja si nenek berteriak karena sang
dara telah berkelebat lenyap meninggalkan dirinya.
Setelah Pelangi berlalu beberapa saat keheningan menyelimuti tempat itu. Gento sendiri merasa serba salah. Ingin dia cepat berlalu, tapi murid kakek gendut Gentong
Ketawa takut si nenek
tersinggung. Selagi sang pendekar berada dalam keraguraguan tiba-tiba saja nenek Palasik membalikkan
badan sambil memandang pada Gento dengan mata melotot, sementara wajahnya yang hancur mengerikan nampak tegang luar biasa.
"Pemuda sinting berani sekali kau mempermainkan muridku?" teriak si nenek sengit.
Mendapat makian begitu rupa meskipun
kesal Gento masih dapat menahan diri. Dengan
suara perlahan dia berkata. "Nek... siapa yang berani mempermainkan muridmu,
apalagi dia pernah menyelamatkan nyawaku. Semua ini hanya
kesalah pahaman saja!"
"Kalau sadar pernah ditolong, kalau kau sadar pernah diselamatkan, mengapa sekarang kau
lukai perasaannya?"
"Nah...nah...kau salah lagi nek. Muridmu
terlalu mengikuti perasaannya sendiri." ujar Gento.
Gusarlah si nenek mendengar ucapan sang
pendekar. Dengan suara lantang perempuan tua
itu berkata. "Apapun pendapatmu kau harus min-ta maaf pada muridku."
"Bukankah aku sudah melakukannya tadi?"
Sepasang alis mata si nenek berkerut tajam.
Nenek Palasik terdiam cukup lama. Dia berfikir tidak ada gunanya berdebat dengan Gento. Karena
itu dengan geram dia berkata. "Rupanya kita harus menyelesaikan segala persoalan
ini dengan jalan
kekerasan!"
Gento tersenyum, otak cerdiknya cepat bekerja. Dengan serius sang pendekar kemudian berucap. "Apa yang kau ucapkan itu apakah berarti perkelahian hidup dan mati di
antara kita?"
"Tepat!" sahut si nenek tegas.
"Tantanganmu itu mengerikan sekali nek.
Aku sendiri takut mati sebab kalau kuhitung antara dosa dan pahalaku tentu masih banyakan dosa." ujar Gento sambil mengusap-usap wajahnya.
"Kamu takut menghadapi tua bangka sepertiku?" tanya nenek Palasik disertai tawa mengejek.
"Nek, mungkin kau mempunyai ilmu hebat.
Tapi terus terang selama hidup aku tidak pernah
takut kepada siapapun terkecuali pada Gusti Allah. Jika kau menghendaki ada kematian di antara
kita, bagiku tidak jadi soal. Asal kau mau memenuhi permintaanku"
"Apa permintaanmu?" potong si nenek cepat. "Syaratku begini. Jika aku kalah aku mau memenuhi permintaanmu."
"Apakah termasuk menjadi pendamping hidup muridku?"
Pertanyaan itu membuat Gento menjadi ragu, namun dia sadar harus mengambil keputusan
yang cepat. Sehingga dia menganggukkan kepala.
Si nenek menarik nafas lega, malah orang
tua itu sempat mengulum senyum. Dalam hati dia
berkata. "Dulu ketika aku bentrok dengan gendut gila guru bocah ini aku sanggup
mengatasi hampir
semua ilmu pukulannya. Masa' sekarang aku bisa
dikalahkan oleh bocah miring bau kencur ini" Kurasa dalam tiga gebrakan aku sudah bisa membuatnya bertekuk lutut!"
Yakin dengan kemampuannya sendiri dengan tegas si nenek berkata. "Jika ternyata aku yang kalah?" tanya si nenek.
Lagi-lagi sang pendekar tertawa. Begitu tawanya lenyap Pendekar Sakti 71 berkata. "Jika kau kalah maka kau harus ikut
denganku. Bukan
cuma itu saja, kau juga harus membantu aku melenyapkan seorang nenek jahat bernama Ni Pambayon alias Bayangan Maut!"
Mendengar ucapan Gento, nenek Palasik
berjingkrak kaget. Ni Pambayon alias Bayangan
Maut kalau dia tidak salah mengingat adalah musuh besar Angin Pesut. Lalu apa hubungannya
pemuda ini dengan Angin Pesut. Bekas tokoh sesat
yang beberapa hari lalu mempecundangi dirinya"
Merasa curiga nenek Palasik bertanya.
"Apakah yang kau minta ini ada hubungannya
dengan Angin Pesut?"
"Betul nek. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Cuah, Angin Pesut adalah bangsat yang telah membunuh suamiku. Buat apa kau membela
manusia durjana itu?" tanya si nenek lagi sambil semburkan ludah.
"Dulu Angin Pesut memang manusia jahat.
Setelah dia kehilangan anak satu-satunya dia menyadari segala kekeliruannya. Dia benar-benar telah bertobat. Jika Tuhan mengampuni dosa hambanya selagi dirinya mau bertobat, sebagai manusia mengapa kita begitu sombong tidak mau memaafkan dosa kesalahan orang?"
"Aku bukan Gusti Allah!" dengus si nenek ketus. "Siapa mengatakan dirimu Tuhan
nek. Cu-ma sebagai manusia bukankah kau punya hati
nurani, punya perasaan dan akal" Aku tidak memaksa, kalau kau tidak mau aku membatalkan
tawaranmu!" ujar Gento. Sang pendekar kemudian memutar tubuh siap meninggalkan
si nenek. Nenek Palasik jadi serba salah. Bagaimana
pun juga perasaannya begitu berat menerima tawaran Gento karena orang yang akan dia bantu
adalah musuh besar pembunuh suaminya. Dia
sendiri seperti yang telah dituturkan pada episode sebelumnya telah berusaha
membalaskan kematian sang suami. Tapi di luar dugaan Angin Pesut
dapat mengalahkannya. Kenyataan itu merupakan
suatu kejadian yang sangat memalukan. Sebagai
orang yang dikalahkan apakah dia masih punya
muka bertemu dengan Angin Pesut"
"Tunggu!" seru nenek Palasik setelah sejenak sempat bergulat dengan fikirannya
sendiri. "Kuterima tantanganmu bocah sinting. Tapi ingat tua bangka yang tegak di
belakangmu ini tidak
pernah memakai peraturan dalam perkelahian ini.
Jika nasibmu masih bagus, mungkin kau bisa lolos dari kematian. Tapi jika takdir matimu memang
ada di tanganku, jangan salahkan aku!"
Bersamaan dengan ucapannya itu dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata tangan si
nenek melesat ke arah Gento. Lima jari tangan
menyambar bahu Gento.
Sang pendekar terkesiap ketika merasakan
ada hawa dingin menghujam ke bagian bahu. Cepat dia miringkan kepala sambil meliukkan tubuhnya, sementara tanpa menoleh dia kibaskan
tangannya ke belakang menangkis serangan si nenek. Plak! Breet! Benturan yang keras membuat nenek Palasik terhuyung, tapi salah satu kukunya masih
sempat menggores lengan Gento.
Murid kakek Gentong Ketawa segera balikkan badan, lengannya terasa perih dan mengucurkan darah. Si nenek diam-diam menjadi kaget tak menyangka lawan ternyata memiliki tingkat tenaga
dalam yang tinggi, lebih terkejut lagi serangannya dapat dihindari Gento.
Nenek Palasik mengerung dahsyat. Laksana
kilat tubuhnya melesat ke arah Gento sambil lancarkan serangkaian serangan yang sangat cepat
luar biasa. Dalam waktu singkat sosok nenek Palasik tidak ubahnya seperti bayangan maut yang
menyambar dari segala penjuru. Setiap serangannya pasti tertuju ke arah bagian-bagian tubuh
yang sangat mematikan. Biarpun Gento saat itu
telah menggunakan serangkaian jurus Belalang
Mabuk warisan kakek Gentong Ketawa, tapi apa
yang dilakukannya tidak sanggup mengatasi serangan si nenek. Tak ayal lagi sang pendekar terdesak hebat. Pada suatu kesempatan lawan julurkan tangannya menghantam wajah Gento. Pemuda
itu menarik kepala ke belakang. Tapi sang pendekar terkecoh. Begitu kepala ditarik mundur, tangan kiri si nenek menghantam ke arah dada. Gento
memang masih sempat melihat gerakan tangan kiri nenek itu, tapi tidak sempat lagi menghindarinya. Buuk! Hantaman yang keras membuat Pendekar
Sakti 71 jatuh terbanting. Dadanya seperti ambrol, nafas megap-megap, sedangkan
dari mulut menyemburkan darah segar.
"Aku sudah mengatakan dalam perkelahian
ini aku tidak memakai aturan. Kau salah besar jika menganggap aku bertindak setengah-setengah
dalam menyerangmu!" dengus si nenek sambil
berdiri tegak siap melancarkan serangan kembali.
Gento menyeringai, biarpun sang pendekar
menderita sakit hebat pada bagian dadanya namun masih sempatnya Gento bergurau. "Orang
tua, jika baru bisa mengeluarkan kecap asin dari
mulutku kau jangan bangga dulu. Bagiku semua
itu masih belum ada artinya! Ha ha ha!" Kagetlah si nenek mendengar ucapan
Gento. "Bocah ini agaknya memang gila beneran.
Dia bersikap seolah tak merasakan apa-apa.
Mungkin dia mengharapkan aku benar-benar
mengirimnya ke neraka!" batin orang tua itu geram. Karena memang menginginkan
satu keme- nangan mutlak terhadap perkelahian yang terjadi.
Tanpa menunggu lama, selagi Gento baru saja
berdiri tegak si nenek kini melakukan serangan
kedua. Kali ini dia mempergunakan kedua kakinya
yang mirip tapak kuda namun berujung runcing
seperti tombak. Gento Guyon terpaksa mengerahkan segenap ilmu kepandaian yang dia miliki.
Dengan mengandalkan Jurus 'Dewa Menari di Atas
Awan' pemuda itu mencoba menangkis serangan
berbahaya nenek itu. Kenyataan yang terjadi ternyata di luar perhitungan Gento. Sehebat apapun
dia mencoba menangkis atau membuat mentah serangan nenek Palasik. Kenyataannya sang pendekar tetap terdesak. Malah serangan balasan yang
dilakukan Gento dengan mudah dapat ditepis lawan. Gento merasa mati kutu, sementara serangan
si nenek makin berbahaya dan tambah ganas.
Gento melompat mundur, merasa tak punya pilihan lain dia melepas pukulan 'Iblis Ketawa Dewa
Menangis' dan pukulan 'Dewa Awan Mengejar Iblis'. Berturut-turut dari telapak tangan sang pendekar menderu angin berhawa panas dan dingin
disertai melesatnya sinar merah dan biru menghantam tubuh si nenek.
Melihat angin kencang menghantam dirinya
si nenek malah merentangkan kedua tangan ke
atas seolah bersikap pasrah dihantam pukulan
sambil mengumbar tawa. "Hanya pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis dan Iblis Tertawa Dewa Menangis, siapa takut ?" Bersamaan dengan ucapan mencemo'oh si nenek saat itu pula
tubuhnya tergi-las habis dihantam sinar dan gelombang angin
yang melesat dari tangan pendekar sakti 71.
Blam! Blam! Dua ledakan berturut-turut mengguncang
tempat itu. Di depan sana satu lubang besar menganga mengepulkan asap tebal berwarna kelabu.
Namun si nenek lenyap. Gento terkejut besar. Kejutan pertama dia tak menyangka lawan mengenali
dua pukulan yang dilepaskannya sedangkan kejutan kedua si nenek yang dihantam pukulannya ti
Gento Guyon 26 Liang Pemasung Sukma di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ba-tiba raib, padahal jelas pukulan tadi melibas dirinya. Selagi Gento dilanda
keheranan dan rasa
tak percaya dengan apa yang terjadi dari lubang
besar yang menganga hitam melesat satu bayangan hitam yang disertai bergemuruhnya suara tawa di udara. Di lain waktu di depan Gento, nenek
Palasik berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
"Jika ilmu gurumu yang kau pergunakan
untuk melawanku. Dalam dua jurus di depan dirimu cuma tinggal nama!" ejek si nenek.
"Ha ha ha! Jika satu jurus di depan kau tak
sanggup berlutut di depan kakiku biar aku berhenti jadi manusia!" sahut Gento pula tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Hik hik hik! Ingin kulihat kau bisa berbuat
apa bocah!" perempuan tua itu mendengus sinis.
Cepat dia memutar kedua tangannya siap melancarkan serangan yang lebih ganas ke arah Gento.
Sadar lawan memiliki kecepatan gerak dan
ilmu yang sangat tinggi, maka Gento pun silangkan kedua tangan di depan dada siap mengerahkan ilmu andalan warisan Manusia Seribu Tahun
berupa ilmu aneh bernama Merintis Bayangan Raga. Begitu sang pendekar merapal mantra aji ilmu
andalannya dari bagian ubun-ubun sang pendekar
mengepul asap tipis berwarna putih, Asap tersabut
kemudian menyelimuti diri Gento.
Melihat keanehan yang terjadi pada Gento si
nenek yang siap melancarkan serangan jadi terkesiap. Dengan mata mendelik dia pandangi lawannya. Nenek Palasik kemudian terkesima ketika melihat di depan sana sosok pemuda gondrong bertelanjang dada itu telah mengembar menjadi lima
orang. "Kadal buntung ini, bagaimana mungkin
tubuhnya bisa berubah banyak seperti itu" Ilmu
gila apa yang dia miliki. Ilmu seaneh itu mustahil warisan dari si gendut gila
Gentong Ketawa?" desis si nenek. Menyangka apa yang dilihatnya cuma ti-puan
saja, Nenek Palasik kedipkan matanya. Setelah berkedip ternyata sosok Gento tetap lima
orang. Si nenek gelengkan kepala. "Sungguh tak bisa kupercaya!" batinnya lagi
dalam hati. Selagi nenek Palasik terkesima melihat kenyataan itu sosok Gento dan kembarannya bergerak cepat mengepung si nenek lalu lima mulut
membuka serentak.
"Hantam...!" Kelima sosok Gento berteriak, bersamaan itu pula lima sosok
bertelanjang dada
melakukan gebrakan menghujani nenek Palasik
dari segala penjuru dengan serangan-serangan ganas. Melihat serangan datang dari seluruh penjuru itu si nenek tidak tinggal diam. Dua tangannya menghantam kian kemari, tadangkan kakinya
melepaskan tendangan berputar. Setiap tendangan
yang dilepaskannya pasti mengenai sasaran. Tetapi anehnya biarpun tendangan mengenai sasaran,
semuanya nampak sia-sia karena tidak satupun
dari pukulan dan tendangan itu yang sanggup
menjatuhkan Gento dan empat kembarannya.
Nenek Palasik jadi kaget besar dia mencoba
menggunakan ilmu 'Menyusup Bumi' untuk
menghadapi gempuran yang dilakukan lawanlawannya. Namun belum lagi sempat merapal
mantra-mantra ilmunya. Pada waktu bersamaan
dari arah belakang salah satu kembaran sang
pendekar menyergap si nenek dari belakang. Si
nenek meronta sambil hantamkan sikunya ke belakang. Tapi biarpun sodokan sikunya tepat mengenai sasaran rasanya seperti menghantam angin.
Kembali si nenek dibuat kaget, sekali lagi
dia meronta. Sayang pada waktu yang sama pula
empat kembaran Gento yang lain secara beramairamai mengangkat dan membanting si nenek di
atas tanah. Wuut! Ngeek! Blegkh! Nenek Palasik merasakan sekujur tubuhnya
remuk, sedangkan perabotan miliknya baik yang di
luar maupun yang di dalam seakan rontok. Selagi
si nenek mengerang kesakitan, satu sosok berputar cepat memperlakukan diri sedemikian rupa
hingga membuat posisinya seperti orang bersujud.
Sementara itu begitu sosok lima kembaran Gento
silangkan tangannya kembali ke depan dada. Serentak lima mulut komat-kamit membaca mantra.
Secara perlahan satu demi satu sosok Gento kembaran berubah menjadi asap. Asap itu melesat ke
bagian ubun-ubun lalu lenyap. Lenyapnya keempat kembaran sang pendekar membuat pemuda
itu kembali seperti sediakala.
Sementara nenek Palasik yang posisinya seperti orang sujud mengerang lirih. Dengan pandangan nanar dia duduk berlutut, ketika dia mengangkat wajahnya pandangan si nenek membentur
sosok Gento yang berdiri tegak selangkah di depannya. "Bocah... ternyata kehebatanmu di luar
perhitunganku. Semula aku duga dengan mudah
dapat menjatuhkan dirimu." kata si nenek sambil menyeka darah yang menetes di
bibirnya. "Apakah sekarang kau mengakui kekalahanmu?" tanya si pemuda.
"Sebenarnya aku belum kalah. Tapi karena
kau memiliki ilmu setan aku terpaksa mengaku
kalah. Aku tidak malu mengakui sebelumnya tak
pernah melihat ilmu seaneh itu. Kalau boleh aku
tahu, siapa yang telah mengajarkan ilmu itu padamu?" "Aku tidak bisa mengatakannya padamu
nek. Yang jelas sekarang kau harus ikut denganku. Kita akan ke Wonosari karena di tempat itulah
kemungkinan bagi kita bisa menemukan Angin Pesut!" Si nenek keluarkan suara menggerendeng.
Biarpun begitu dia tetap bangkit berdiri. "Kau yang memenangkan perkelahian.
Sekarang kau jalan di
depan" Gento Guyon tertawa.
"Nek...menang atau kalah itu bukan sesuatu yang membanggakan bagiku. Jika aku yang
berjalan di depan, siapa berani menjamin kau tak
bakal menghantamku dari belakang!" kata Gento.
"Bocah keparat! Aku boleh mempunyai rupa
yang buruk, namun hatiku tak seburuk wajahku!"
damprat si nenek kesal.
"Kalau kau bicara begitu barulah aku percaya!" Selesai berkata Gento berkelebat tinggalkan tempat itu sedangkan nenek
Palasik mengikutinya
tak jauh di belakang.
3 Matahari belum lagi menampakkan diri di
ufuk sebelah timur. Udara di pinggir sungai itu terasa dingin menusuk sedangkan
suasana masih disaput kegelapan. Dalam keremangan suasana
terdengar suara erangan tak berkeputusan. Dan
ternyata suara erangan itu berasal dari salah satu cabang pohon dimana
Pendekar Super Sakti 13 Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Imam Tanpa Bayangan 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama