Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur Bagian 1
Episode I : RAHASIA PULAU BIRU
Episode II : MALAIKAT PENGGALI KUBUR
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Molan_150
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Hak cipta dan copy right
pada penerbit dibaw ah lindungan
undang-undang Dilarang mangcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU ATAHARI sudah mengambang di atas permukaan air laut sebelah barat. Senja pun
Mperlahan-lahan melingkari bumi. Tak
berselang lama, air laut berubah warna.
Lintasan bumi pun diselimuti kegelapan
malam. Di sebuah gugusan batu karang yang menghadang
laut, terlihat sesosok tubuh duduk bersila dengan
sepasang tangan merangkap di depan dada. Dia adalah
seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya yang panjang dan telah memutih
dibiarkan jatuh bergerai menutupi
sebagian bahu dan wajahnya yang pucat dan berkulit
tipis. Sepasang kelopak matanya yang masuk ke rongga yang dalam tampak terpejam
rapat. Namun sedari tadi
mulutnya selalu berkemik-kemik hingga kumis dan
jenggotnya yang panjang terlihat bergerak-gerak. Kakek ini mengenakan pakaian
gombrang berwarna putih
kusam. Ada sedikit keanehan pada kakek ini. Meski rambutnya dibiarkan
bergerai, sementara pakaian yang dikenakannya begitu gombrang, namun baik rambut
serta pakaiannya tidak tampak melambai-lambai,
padahal angin laut saat itu bertiup amat kencang. Lalu dari mulutnya yang selalu
berkemik terdengar suara
gumaman. Siapa pun yang berada sejarak lima belas
tombak dari tempat si kakek duduk pasti akan dengan
jelas mendengar gumaman itu. Padahal saat itu
gempuran ombak yang abadi menghantam gugusan
karang terdengar memekakkan telinga dan hampir
menindih lenyap semua suara yang terdengar!
Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba si kakek buka kelopak matanya. Saat Itu malam
tengah merangkak makin jauh.
Dan angkasa raya terbungkus gulungan awan hitam,
hingga tatkala si kakek jerengkan sepasang matanya,
yang tampak hanyalah permukaan air laut yang hitam
dan suasana pekat di sekitarnya.
Sejenak sepasang mata si kakek memandang ke arah
selatan dengan sedikit palingkan kepala. Muiutnya tiba-tiba
dikancingkan rapat-rapat. Sejurus kemudian kepalanya mengangguk perlahan.
Bersamaan dengan itu, dari arah selatan terlihat satu bayangan hitam berlari
kencang laksana dikejar setan.
Seluruh tubuh sosok ini telah basah kuyup, selain karena keringat juga karena
gelombang air laut yang menghajar pantai di mana saat itu si sosok sedang
berlari. Tiba-tiba sosok yang berlari ini hentikan langkah.
Kepalanya bergerak berputar memperhatikan beberapa
gugusan karang. Sepasang matanya dipentangkan liar
mengawasi. Ketika samar-samar sepasang matanya
menangkap sesosok tubuh duduk bersila di salah satu
gugusan batu karang, tanpa menunggu iagi. sosok yang tadi berlari kembali
bergerak berkelebat. Dan tahu-tahu sosok ini telah tegak lima langkah di hadapan
si kakek yang duduk bersila.
Ternyata sosok yang baru datang ini adalah seorang
pemuda bertubuh besar tegap. Rambutnya panjang
lebat, demikian pula kumis dan alis matanya. Sepasang matanya tajam laksana
elang. Dagunya kokoh dengan
hidung sedikit besar. Paras wajahnya keras dengan
ditingkahi bibir yang selalu sunggingkan senyum aneh.
Untuk beberapa saat si pemuda memandang tak
berkesip pada si kakek di hadapannya. Setelah
mengusap leher dan rambutnya yang basah, si pemuda
buka mulut. "Kakek guru! Harap maafkan atas lambatnya kedatanganku!"
Si kakek buka matanya. Memandang sejurus lalu
menggeleng periahan.
"Aku sengaja sampai di tempat ini jauh sebelum waktu yang kita janjikan, karena
aku ingin menikmati keindahan laut dan lantunan suara gelombang ombak...."
Si pemuda yang juga mengenakan jubah warna putih
kusam dan besar palingkan kepalanya sedikit menghadap laut. Diam-diam dalam hati si pemuda
berkata. "Hem.... Air laut terlihat hitam. Suara gelombang ombak menyakitkan gendang
telinga. Aneh. Di mana
keindahannya"!" senyum aneh si pemuda tersungging.
"Pandanglah dengan mata hatimu. Dengarkan dengan batinmu. Di sana akan kau temui
keindahan itu!" Tiba-tiba si kakek berucap seakan tahu apa yang ada di
benak si pemuda, membuat sang pemuda melengak
dengan wajah berubah.
"Itulah yang sering kukatakan padamu, Gumara!
Lihatlah sesuatu dari apa yang terkandung di dalamnya.
Dan lihatlah dengan mata hatimu! Jika itu selalu kau lakukan, maka kau tak akan
punya prasangka buruk
terhadap apa pun yang ada di muka bumi ini! Karena
asal segala sesuatu adalah baik. Manusialah yang punya ulah dengan tak mau
memandang dari segi batin, hingga muncul ah apa yang dinamakan buruk!"
Si pemuda yang dipanggil Gumara terdiam beberapa
saat seolah meresapi apa yang dikatakan si kakek. Di hadapannya, si kakek
alihkan pandangannya ke arah
permukaan air iaut di depan sana. Lalu berucap kembali.
"Gumara.... Tiap langkah manusia pasti dihadang dengan batas. Dan hal itu tak
bisa lepas dari kehidupan manusia. Demikian halnya dengan aku dan dirimu...."
"Maksud, Eyang guru..."!"
"Sejak lima belas tahun terakhir ini kau dan aku hidup bersama terikat hubungan
murid dan guru. Seperti yang kukatakan, langkah manusia pasti dihadang dengan
batas. Demikian pula kebersamaan kita. Dan malam ini batas itu menghadang
kebersamaan kita!"
"Aku masih belum mengerti maksud Eyang guru
sebenarnya...!"
"Gumara.... Sejak malam ini kita harus berpisah!
Sudah saatnya kau melangkah sendiri tentukan masa
depanmu. Semua kepandaian yang ku turunkan padamu
hanyalah bagian kecil dari bongkahan ilmu, dan pasti sangat terbatas sekali.
Maka dari itu janganlah berjalan di atas bumi dengan congkak!"
"Jadi...?"
Si kakek telah memotong ucapan sang murid sebelum
kata-katanya selesai.
"Tiba saatnya bagimu menggunakan semua yang kau miliki, Gumara. Tapi harus kau
ingat. Yang hendak kau masuki di depan sana adalah dunia persilatan. Satu
dunia yang bukan saja dilingkari dengan manusiamanusia berilmu, namun juga diselimuti berbagai corak ragam kehidupan aneh.
Karena terkadang di sanalah
orang dapat berubah secara cepat. Kebaikan bisa
berubah jadi buruk! Di sana akan kau temui dendam
turun temurun. Fitnah yang dibungkus ucapan manis.
Lebih dari itu, kau akan melihat kelicikan yang digunakan orang untuk mencapai
tujuannya!" Sejenak si kakek menghela napas panjang lalu melanjutkan. "Dunia
persilatan adalah batu ujian bagimu. Sekali kau
tergelincir di sana, maka kau akan tenggelam dalam
lumpur kebusukan! Sebaliknya jika kau tegar berdiri, maka namamu akan dikenang
orang! Di depan matamu
terbentang dua pilihan. Tinggal ke mana kakimu hendak kau bawa!"
"Eyang guru.... Demi nama baikmu, pasti aku akan berjalan di atas yang benar!"
Si kakek tertawa perlahan mendengar ucapan
muridnya. "Jawaban itu belum bisa menjamin, Gumara. Tanpa kau ucapkan sekarang, kelak
semuanya akan bisa
dilihat! Hanya yang kuharap, apa yang kau katakan
benar-benar jadi kenyataan!"
"Nada ucapan Eyang guru tampaknya menyangsikan
diriku...," kata Gumara dengan suara perlahan namun agak gemetar pertanda dia
menahan rasa tak enak.
"Sebagai orang tua, terus terang saja aku khawatir, Gumara. Godaan di depan sana
sangat besar. Sedangkan kau masih muda. Tapi.... Sudahlah. Apa pun yang nanti terjadi harus
kita terima. Sekarang dengar baik-baik!" kata si kakek seraya menatap tajam pada
Gumara. "Rimba persilatan saat ini sedang dilanda kemelut tak menentu. Banyak tokoh yang
Iama menyembunyikan diri
muncul kembali...."
Wajah Gumara sedikit berubah dengan dahi mengernyit. Lalu pemuda ini angkat bicara tatkala sang guru tak segera lanjutkan
ucapannya. "Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan kemunculan mereka kembali, Eyang guru...?"
"Sebenarnya ini urusan lama. Namun karena sampai saat ini tak kunjung selesai,
maka urusan ini tetap
hangat, malah bertambah ramai. Apalagi dengan malang melintangnya beberapa tokoh
muda...." "Urusan lama?" gumam Gumara. "Urusan apa, Eyang guru?"
Si kakek arahkan kembali pandangannya ke air iaut di depan sana. Lalu berkata.
"Entah sejak kapan mulainya aku sendiri tak tahu. Yang pasti urusan Ini telah
merebak saat aku masih muda. Seperti saat ini, saat itu rimba persilatan dibuat
geger dengan beredarnya berita
tentang sebuah kitab yang diyakini berisi iimu hebat.
Orang menyebut kitab itu Serat Biru. Demikian gegernya urusan kitab itu hingga
saat itu banyak terjadi
pembunuhan baik karena salah sangka atau karena
fitnah. Namun akhirnya urusan kitab itu mereda sendiri ketika telah banyak
korban yang jatuh dan kitab itu belum juga bisa ditemukan!"
"Apakah kitab itu betul-betul tidak ada?"
"Belum bisa dijawab dengan pasti. Melihat beraninya orang turunkan tangan maut
lalu banyaknya tokoh yang memburu dan berani pertaruhkan nyawa, menandakan
berita itu bukan hanya kabar burung. Namun melihat
hasilnya, orang lantas bimbang!"
"Menurut Eyang guru sendiri, apakah kitab itu benar adanya"!"
Untuk sesaat si kakek tak segera menjawab. Setelah
menghela napas daiam akhirnya dia berkata.
"Aku sendiri berkesimpulan Kitab Serat Biru betul-betul ada!"
Gumara agak tegang mendengar ucapan gurunya.
Pemuda ini buru-buru angkat bicara kembali. "Harap Eyang guru sudi mengatakan di
mana kitab itu berada!"
Si kakek bukannya menjawab, namun tertawa
perlahan seraya geleng-gelengkan kepala, membuat
Gumara pentangkan sedikit matanya.
"Gumara! Kitab Serat Biru bukan barang sembarangan. Tidak semua orang dengan mudah mengetahui
di mana beradanya!"
"Kalau mengetahui di mana beradanya sulit, bagaimana Eyang guru dapat berkesimpulan jika kitab itu betul-betul ada"!"
"Gumara. Kau masih ingat aku pernah cerita padamu tentang kakak kandungku
bernama Jalu Paksi?"
"Yang dikenal orang dengan gelar Dewa Sukma itu"!
Apa hubungannya dengan Kitab Serat Biru"!"
"Dengar, Gumara. Pada suatu hari, tanpa sengaja aku mendengar
pembicaraan antara kakakku dengan seorang tokoh. Mereka menyebut-nyebut sebuah peta
yang ada kaitannya dengan tempat di mana beradanya
Kitab Serat Biru. Karena saat itu aku tidak tertarik dengan
urusan kitab, maka
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tak begitu memperhatikan! Tapi dari pembicaraan ituiah aku yakin jika kitab itu benar-benar
ada!" "Baru sekarang Eyang guru membicarakan. Apakah
sekarang Eyang guru jadi tertarik dengan kitab itu"!"
Si kakek tersenyum sambil gelengkan kepala. "Aku sudah tua, Gumara. Kitab itu
tak akan berguna banyak jika berada di tanganku. Lagi pula aku sudah ingin hidup
tenang damai tanpa bising senjata. Biarlah orang lain saja yang berurusan dengan
kitab itu. Tapi jika kau suka tak ada jeieknya kau coba menyelidik. Kau masih
muda, masih banyak yang bisa kau perbuat jika kitab itu bisa kau miliki!"
"Hem.... Kalau kitab itu benar-benar dapat kumiliki, tentunya aku akan jadi
orang sakti tanpa tanding. Itulah cita-citaku sebenarnya...,' gumam Gumara dalam
hati lalu berujar. "Eyang guru. Kalau kau memberi izin, aku akan segera menyelidik kitab itu!"
"Gumara. Sejak malam ini kau bebas tentukan
langkah. Jika kau berkeinginan menyelidik berangkatlah ke tempat kakakku. Jalu
Paksi. Tapi jika kau tak suka, mulailah melangkah menurut apa yang kau yakini
baik dan berguna bagi orang banyak!"
"Tapi, Eyang. Dengan kitab itu di tanganku, akan lebih banyak nantinya yang bisa
kulakukan! Aku akan
menyelidik kitab Itu!"
"Hem.... Begitu" Bagus! Tapi satu hal harus kau ingat, Gumara. Sebuah kitab
biasanya hanya berjodoh pada
satu orang. Jika nantinya kau ditakdirkan tidak berjodoh untuk
memilikinya, kuharap kau mau menerima
kenyataan! Jangan sekali-kali paksakan diri jika kau tak ingin terjerumus !"
"Ucapanmu akan kuingat, Eyang guru! Sekarang
harap Eyang katakan di mana aku bisa menjumpai kakek Jalu Paksl"!"
"Meski sepuluh tahun terakhir ini aku tak jumpa dengannya tapi aku yakin dia
masih berada di tempatnya semula. Pergilah kau ke lereng bukit Watu Gedek
sebelah selatan dusun Polaman. Di belakang dua
beringin kembar ada satu gua batu. Di sana kau akan
menemui orang yang kau cari!"
Lama Gumara terdiam mendengarkan penuturan
gurunya. Sementara si kakek pandangi muridnya sejurus sebelum akhirnya berkata
kembali. "Aku berharap kaulah yang kelak ditakdirkan berjodoh memiliki kitab itu, Gumara.
Kalaupun tidak, aku berharap kau dapat mempergunakan ilmu yang ada padamu untuk
kebaikan!"
Gumara anggukkan kepala. Lalu menjura dalamdalam seraya berucap.
"Eyang guru. Sebelum aku berangkat, kuucapkan
terima kasih atas segala jerih payahmu mendidikku. Aku akan melangkah sesuai apa
yang kau katakan!"
SI kakek tersenyum. "Sebagai guru sudah menjadi kewajibannya untuk turunkan ilmu
pada murid. Kau tak usah berbasa-basi ucapkan terima kasih. Jika kau dapat
pergunakan dengan baik apa yang kau miliki, itu sudah lebih dari cukup!"
Gumara menatap tajam pada Eyang gurunya dengan
mulut terkancing rapat. Dan tanpa berkata-kata lagi, pemuda ini menjura tiga
kali lalu putar diri dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Hem...." SI kakek menghela napas sambil bergumam.
"Perasaannya mudah tersinggung. Dan tampaknya dia masih perlu waktu untuk
mematahkan pikirannya. Tapi
aku sudah terlalu lama menahannya. Semoga dengan
jalan ini dia dapat lebih cepat matang...."
Si kakek donggakkan kepala memandangi angkasa
yang masih diselimuti awan hitam. "Sebenarnya aku tak hendak utarakan tentang
Kitab Serat Biru padanya,
namun daripada dia salah langkah dan terjerumus,
terpaksa hal itu kukatakan! Hem.... Mudah-mudahan dia nanti dapat menerima
kenyataan...."
Habis bergumam begitu, si kakek gerakkan bahunya.
Kejap lain tubuhnya berkelebat dan sosoknya lenyap dari gugusan batu karang!
-oo0dw0oo- DUA iTA tinggalkan dulu si pemuda bernama Gumara
yang mulai menyelidik Kitab Serat Biru dengan
Kjalan menemui seorang tokoh bergelar Dewa
Sukma. Kita kembali sejenak pada Pendekar 131.
Seperti dituturkan pada episode: "Rahasia Pulau Biru", saat Pendekar 131 terluka
dalam dan terlibat bentrok dengan
Ratu Pemikat, tiba-tiba berkelebat satu
bayangan yang menyambar tubuh murid Pendeta
Sinting. Si bayangan yang ternyata Dewi Siluman
membawa lari Joko Sableng, namun di tengah jalan sang Dewi dihadang oleh seorang
perempuan bercadar dan
berpunuk. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi. Tapi dalam beberapa jurus,
Dewi Siluman dapat merobohkan
si perempuan berpunuk. Karena penasaran ingin
mengetahui siapa adanya perempuan bercadar dan
berpunuk, Dewi Sliuman sengaja tak langsung kirimkan pukulan mematikan namun
hanya membuat perempuan
berpunuk roboh pingsan. Saat Dewi Siluman hendak
menyingkap cadar ai perempuan berpunuk, mendadak
muncul ibiis Ompong. Karena Ibiis Ompong menginginkan Pendekar 131 dan perempuan berpunuk,
sementara Dewi Siluman merasa urusannya dicampuri,
membuat sang Dewi marah besar hingga terjadilah
bentrok. Saat suasana pekat karena hamburan tanah
akibat dari bentroknya pukulan, tanpa sepengetahuan
Dewi Siiuman, iblis Ompong berkelebat menyambar
tubuh Joko dan perempuan berpunuk. Hingga ketika
suasana sirap kembali, Dewi Siluman tak lagi melihat sosok iblis Ompong, Joko
Sableng dan perempuan
berpunuk. Namun Dewi Siluman masih merasa agak
lega, karena Pedang Tumpui 131 miilk Pendekar Pedang Tumpul Joko Sableng
berhasil dibawanya.
Pada satu padang rumput tak begitu luas yang di
sekitarnya dirangasi semak belukar lebat dan tinggitinggi, Iblis Ompong yang di kanan kiri pundaknya terlihat dua sosok tubuh,
hentikan larinya. Sepasang matanya
dipentangkan lebar-lebar sejurus, lalu, Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua bahu kiri kanannya bergerak. Dua sosok yang di
atas pundaknya melenting setengah tombak dari
pundaknya. Bersamaan dengan itu Ibiis Ompong
gerakkan kedua tangannya seraya berkelebat ke udara.
Saat melayang turun, kedua tangan kiri kanan si kakek telah membopong satu
tubuh. Perlahan-lahan ibiis Ompong letakkan satu persatu
tubuh di tangannya ke atas tanah berumput di sebelah kanan kiri tubuhnya.
Sejenak dia pandangi dua sosok itu.
"Hem.... Perempuan ini terluka cukup parah. Harus segera ditolong terlebih
dahulu...."
Iblis Ompong jongkok dengan tubuh menghadap
perempuan berpunuk. Sejurus mulutnya membuka lebarlebar. Lalu dengan cepat kedua tangannya bergerak
menutup pakaian si perempuan yang robek di bagian
dada dan pinggangnya yang sedari tadi perlihatkan kulit putih mulus di baliknya.
Tak menunggu lama, iblis Ompong segera totok
beberapa jalan darah perempuan berpunuk. Lalu
balikkan tubuh si perempuan. Kedua tangannya lalu
ditempelkan pada punggung si perempuan. Tapi tiba-tiba iblis Ompong tarik
kembail kedua tangannya. Mulutnya membuka lebar-lebar.
"Aneh, kenapa punuk orang demikian lembek"
Jangan-jangan.... Tapi itu urusan orang. Aku tak mau tahu apa sebabnya dia
menyamar. Urusanku adalah
menyelamatkan nyawanya...."
Iblis Ompong kembali letakkan
kedua telapak tangannya pada punggung orang. Lalu kerahkan tenaga
dalam salurkan hawa murni.
Beberapa saat berlalu. Perubahan segera terlihat.
Sosok perempuan berpunuk perdengarkan erangan
pelan. Tubuhnya mulai bergerak-gerak. Tak lama
kemudian terdengar si perempuan batuk-batuk beberapa kali. Pada saat yang sama
kedua tangan ibiis Ompong
bergerak menotok beberapa bagian dari tubuh si
perempuan. Tiba-tiba si perempuan angkat kepalanya
sedikit. Mulutnya terlihat mengembung besar. Ketika si perempuan semburkan
mulut, darah merah kehitaman
muncrat keluar dari mulutnya.
Anehnya, bersamaan dengan muncratnya darah dari
mulut, si perempuan berpunuk yang mukanya masih
mengenakan cadar berlobang kecii-kecii merasakan
tubuhnya perlahan-lahan dialiri hawa hangat
Mungkin merasa tubuhnya agak enak, ditambah ingin
tahu siapa adanya orang yang menolong, perempuan
berpunuk cepat balikkan tubuh. Sepasang mata dari balik cadar
berlobang kecii-kecii terpentang sejenak perhatikan orang tua disampingnya. Lalu terdengar suara bergumam perlahan.
"Orang tua. Terima kasih...."
ibiis Ompong buka mulutnya lebar-iebar. Seraya
mendongak dia berujar.
"Tak perlu ucap terima kasih. Semua ini didasarkan
pada rasa kemanusiaan saja."
Perempuan berpunuk rapikan pakaiannya dengan
tubuh sedikit ditarik ke belakang. Dari balik kain cadarnya terlihat perubahan
wajahnya. Namun perubahan itu
makin nyata bahkan tiba-tiba dia gerakkan tangan
kanannya untuk menutupi mulutnya di balik cadar.
Sementara kepalanya lurus dengan sepasang mata di
balik cadar memandang lekat-lekat pada tubuh Joko
Sableng yang masih tergeietak dengan tubuh diam dan
mata terpejam. "Buang rasa khawatir. Tak ada yang perlu dipikirkan.
Dia baik-baik saja!" kata Iblis Ompong seraya kerlingkan sebelah matanya pada
perempuan berpunuk yang jelas
mengkhawatirkan keadaan murid Pendeta Sinting.
"Orang tua. Boleh aku tahu siapa kau sebenarnya?"
tanya perempuan berpunuk.
Iblis Ompong tertawa panjang, tapi meski suara
tawanya tak lama kemudian terhenti, mulutnya tetap
membuka lebar-lebar, membuat perempuan berpunuk
belalakkan sepasang matanya di baiik cadar.
"Orang tua aneh. Tapi kalau dia mampu selamatkan diriku bersama Pendekar 131
dari tangan Dewi Siluman, pasti dia bukan orang sembarangan. Hem.... Sebenarnya
aku ingin berlama-lama di sini. Namun karena ada
sesuatu yang harus segera kuselesaikan, terpaksa aku tinggalkan tempat ini...."
Berpikir sampai di situ, perempuan berpunuk bergerak bangkit. Memandang sejurus
pada Pendekar 131 lalu
pada Ibis Ompong dan berkata.
"Orang tua. Kalau kau berat sebutkan siapa dirimu, tak apa. Tapi siapa pun
adanya dirimu, kau akan tetap
kuingat! Sekarang aku harus tinggalkan tempat ini."
Perempuan berpunuk putar diri. Lalu melangkah
hendak tinggalkan tempat Itu. Tapi gerak kakinya
tertahan saat dari arah belakang terdengar suara.
"Gadis cantik! Tidak titip sesuatu padanya"!"
Perempuan berpunuk berdiri tegang dengan air muka
di balik cadar berubah. Diam-diam daiam hati si
perempuan berkata.
"Jangan-jangan orang tua Itu telah usil membuka penutup cadar ini. Hem. Tapi aku
tak kenal dia, demikian pula sebaliknya!"
Tanpa berpaling pada iblis Ompong, perempuan
berpunuk perdengarkan tawa pendek seraya berujar.
"Orang tua. Aku suka kau menyebutku gadis cantik, mesti aku tahu ucapanmu
hanyalah untuk membuat diri
tua bangka ini gembira. Aku tak punya sesuatu yang
pantas untuk kuberikan pada pemuda Itu. Hanya...."
Perempuan berpunuk putuskan ucapannya.
"Hanya apa..."!" sahut Ibiis Ompong.
Perempuan berpunuk gerakkan kepalanya menggeleng. Tapi ibiis Ompong masih jelas menangkap
gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Dalamnya laut bisa diseiami. Tingginya gunung dapat didaki. Tapi hati perempuan
luas tiada bertepi. Kuucapkan selamat jalan padamu. Kalau takdir masih
menentukan, pasti akan bertemu...," ucap ibiis Ompong lalu balikkan tubuh ke
arah Joko Sabieng.
Perempuan berpunuk di seberang sana sejenak masih
tegak. Jelas sikapnya tampak bimbang. Tapi tak lama
kemudian sosoknya berkelebat tlnggaikan tempat itu.
"Meski belum jelas benar siapa dirinya. Berat dugaan dia adalah seorang gadis.
Kulit dari robekan pakaiannya jelas menunjukkan itu. Melihat sikap khawatirnya,
sepertinya dia menyukai pemuda ini.
"Hem...." Iblis Ompong bergumam sendiri. Lalu
gerakkan kepalanya menggeleng dengan mulut dibuka
lebar-lebar. Sesaat kemudian kedua tangan Iblis
Ompong bergerak bebaskan Joko Sableng dari totokan. Sejurus murid Pendeta Sinting masih
belum membuat gerakan
apa-apa. Sepasang matanya pun masih terpejam rapat.
Tapi tak berselang lama kemudian terdengar dia
mengerang pelan. Saat akhirnya sepasang mata Joko
terbuka, murid Pendeta Sinting Ini jadi tersentak dan pentangkan sepasang
matanya dengan mulut komat-kamit. Memandang tak berkedip pada orang tua di
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampingnya dengan dada dipenuhi berbagai tanya.
"Apa yang terjadi dengan diriku" Dan kenapa aku bisa di tangan orang tua Ini"
Bukankah dia menginginkan
nyawaku..." Celaka!"
Mungkin merasa bahwa si orang tua benar dengan
ucapannya beberapa waktu yang lalu yang mengatakan
inginkan nyawanya, murid Pendeta Sinting bergerak
bangkit untuk duduk. Memandang berkeliling dia makin melengak ketika mendapati
dirinya berada pada satu
tempat sunyi yang di sekitarnya dirangasi semak belukar lebat.
Iblis Ompong menatap dengan mata dijerengkan. Lalu
memandang ke jurusan lain. Dalam hati kakek ini
berkata, "Senjata yang ada padanya jelas menunjukkan bahwa anak manusia inilah
yang kutunggu selama ini.
Hem.... Apakah Ratu Malam sudah menemukannya"
Dan memberikan peta itu padanya?"
Iblis Ompong tidak tahu jika saat itu Pedang Tumpul
131 sudah dibawa o!eh perempuan berjubah dan
bercadar hitam yang membawanya lari dan bukan lain
adalah Dewi Siluman. (Untuk lebih jelasnya baca serial Joko Sableng episode:
"Rahasia Pulau Biru").
"Orang tua.... Siapakah kau" Dan kenapa membawaku ke sini"!" Joko segera ajukan tanya.
"Siapa aku, kau telah tahu. Jangan bicara berpura-pura. Sekarang aku tanya
padamu. Apakah kau pernah
bertemu dengan Ratu Malam"!"
"Ratu Malam"! Hem.... Rasanya baru kali Ini aku mendengarnya. Apakah ia seorang
ratu beneran"!" Joko balik ajukan tanya.
"Jangan banyak tanya! Jawab saja tanyaku pernah atau belum!" sentak Iblis Ompong
lalu buka mulutnya lebar-lebar.
"Kek! Aku tadi sudah bilang. Baru pertama kali ini mendengarnya. Jadi sudah
barang tentu aku belum
pernah bertemu dengannya! Sebenarnya siapakah dia,
Kek" Lalu apa hubungannya diriku dengan ratu itu"!
Apakah tujuanmu membawaku ke sini hanya untuk tanya
soal ratu itu"!"
"Hem.... Bagaimana sekarang" Aku sebenarnya sudah tak betah menyimpan penggalan
peta ini. Lalu apakah
penggalan peta ini akan kuberikan meski belum jelas
apakah Ratu Malam sebagai pemegang penggalan peta
sebelum yang ada padaku telah bertemu dan memberikan padanya?" Diam-diam Iblis Ompong didera berbagai pertanyaan. Hingga
dia tak sempat untuk
menjawab pertanyaan Joko.
"Kek! Kau tak jawab tanyaku. Kau terlihat tercenung bergumam sendiri. Aku bisa
menebak sekarang. Pasti
kau kehilangan orang yang kau sebut sebagai Ratu
Malam itu. Hem.... Apakah dia seorang gadis cantik,
Kek?" "Cantik atau tidak yang pasti kau harus bertemu dengannya! Karena kau telah
ditentukan berjodoh
dengannya! Dan yang perlu kau ketahui, dia adalah
seorang nenek-nenek!"
Joko melengak dengan sepasang mata dibeliakkan.
Dahinya mengernyit lalu berpaling pada jurusan lain
seraya berujar.
"Kek! Meski aku tahu kau berilmu tinggi, namun bukan berarti kau dengan enaknya
bisa menjodohkan orang!"
Iblis Ompong tertawa bergelak. "Silakan kau berontak.
Namun takdir Itu tak bisa kau tolak! Bertahun-tahun ratu itu menunggu dan
mencari. Suratan telah ditulis dan
terpateri. Tak mungkin semuanya diingkari meski kau
coba hendak berlari!"
"Iblis Ompong.... Hem.... Ratu Pemikat menyebut orang ini demikian. Belum bisa
kutentukan apakah dia punya maksud jahat atau baik. Tapi melihat ia tak
berbuat apa-apa padaku sewaktu aku pingsan, jelas dia tak menginginkan nyawaku.
Namun apa maksudnya
menjodohkan diriku dengan orang bernama Ratu
Malam?" Berpikir demikian, murid Pendeta Sinting ini lantas
berkata. "Kek. Aku tak mungkin berada berlama-lama di sini.
Aku harus segera lanjutkan perjalanan untuk menemui
seseorang! Soal perjodohan, nanti bisa kita bicarakan lagi jika kita bertemu
kembali!" "Bagaimana bisa begitu" Aku bukannya mengungkit segala macam budi. Tapi adalah
satu perbuatan tolol jika kau hendak berlari dari perjodohan ini. Lebih dari
itu, kau akan menyesal berkali-kali!"
Murid Pendeta Sinting ganti perdengarkan suara tawa.
"Mana bisa begitu Kek" Kau bilang sang ratu adalah seorang nenek-nenek. Di mana
nikmatnya bersanding
dengan seorang nenek meski dia seorang ratu?"
"Hem.... Begitu" Baiklah. Hari ini kau kubebaskan.
Tapi dengan syarat"!"
"Aneh. Kau sepertinya menanam banyak jasa padaku hingga untuk pergi saja kau
memasang syarat padaku!"
"Anak muda! Sekali lagi kukatakan bukannya aku
meminta kau membalas budi padaku...."
"Kek!" potong Joko sebelum Iblis Ompong teruskan ucapannya. "Dari tadi kau
mengatakan segala macam budi. Katakan padaku, pertolongan dan budi apa saja
yang telah kau tanam padaku"!"
Iblis Ompong tertawa bergelak. "Tidak baik ungkap pertolongan. Namun kalau kau
ingin tahu, kelak bisa kau tanyakan pada seorang perempuan bercadar dan
berpunuk!"
Ucapan Iblis Ompong membuat Pendekar 131
melengak. "Apa hubungan orang tua Ini dengan
perempuan berpunuk yang menolongku itu?"
Sebelum Joko Sableng berpikir jauh untuk mengetahui
ada hubungan apa antara Iblis Ompong dan perempuan
berpunuk, Iblis Ompong telah berucap.
"Katakan padaku. Siapa yang hendak kau temui"!"
Joko Sableng terdiam sejenak. Memandang tajam
pada Iblis Ompong beberapa saat sebelum akhirnya
berkata. "Aku tak bisa mengatakan padamu!"
"Ah!" tiba-tiba Iblis Ompong mengeluh. "Memang tidak seharusnya aku memaksakan
kehendak. Dan aku juga
tak seharusnya tahu ke mana kau berkehendak.
Sudahlah, sebaiknya aku mengikuti langkah kakiku
sekarang. Mudah-mudahan kau tidak menyesal dengan
sikap yang kau ambil...."
Murid Pendeta Sinting berpaling. Astaga! Joko jadi
tersentak. Meski suara Iblis Ompong masih jelas
terdengar di tempat itu, namun tatkala dia berpaling, sosok Iblis Ompong sudah
tak ada di tempat itu!
"Ucapan orang tua itu sulit untuk kumengerti. Sikapnya pun berubah-ubah. Pertama
kali sepertinya sengaja
hendak menahanku. Tapi akhirnya dia pergi mendahuluiku begitu saja.... Hem.... Malam memang
sebentar lagi menjelang. Dengan keadaan gelap,
perjalananku akan sedikit mudah. Meski tenagaku belum pulih benar, tapi dengan
Pedang Tumpul 131, mungkin
akan sedikit menolong...."
Tanpa sadar, tangan murid Pendeta Sinting meraba
pinggangnya di mana tersimpan Pedang Tumpul 131.
Namun mendadak nyawa Pendekar 131 laksana terbang
ketika tangannya tak menemukan lagi senjata di bailk pakaiannya.
"Celaka! Ke mana pedang Itu" Jangan-jangan orang tua itu...." Sepasang mata
murid Pendeta Sinting terpentang besar. Dagunya mengembung dengan pelipis
kiri kanan bergerak-gerak.
Saat itulah mendadak satu bayangan berkelebat. Joko
cepat berpaling.
"Dia...!" desis Joko seraya memandang ke depan.
-oo0dw0oo- TIGA IMA langkah dari tempatnya berdiri, murid
Pendeta Sinting melihat seorang nenek Lmengenakanjubahbesarwarnamerahmenyala.
Paras wajahnya pucat. Kelopak sepasang
matanya amat besar, namun sepasang mata di
dalamnya yang bolak-balik membuka dan memejam
tampak sangat sipit. Rambutnya putih dan hanya sebatas tengkuk. Pada mulutnya
terlihat gumpalan tembakau
berwarna hitam yang selalu bergerak-gerak keluar
masuk! Beberapa saat lamanya si nenek yang bukan lain adalah Ratu Malam
kembang kempiskan cuping
hidungnya. Lalu bergumam dengan kepala digoyanggoyang. "Aku masih jelas mencium bau badannya. Dia pasti tak jauh dari sekitar tempat
ini...." Ratu Malam seakan tak pedulikan pandangan Joko
yang menatap tak berkesip ke arahnya. Dia malah
arahkan sepasang matanya yang dlpentangkan ke arah
rangasan semak belukar.
"Nek!" seru Joko setelah sekian lama dilihatnya si nenek tetap nyalangkan
sepasang matanya mencari-cari.
"Ada sesuatu yang hilang"!"
Ratu Malam tidak memberi jawaban. Bahkan berpaling
pun tidak, membuat murid Pendeta Sinting gelengkan
kepala. "Nek...."
Belum sempat Joko teruskan ucapannya, Ratu Malam
telah menyemprot dengan suara keras.
"Apa panggil-panggil, hah" Kau kira aku tak dengar"!"
Joko jadi terkesiap. Dan belum sampai murid Pendeta
Sinting ini utarakan kata-kata, kembali Ratu Malam telah membentak garang.
"Kenapa kau masih enak-enakan di sini" Apa yang kau tunggu"! Setan Jelek! Lekas
pergi dari hadapanku!"
"Nek! Aku tak akan pergi dari sini. Lebih-lebih urusan penggalan peta itu
terpaksa kutunda dahulu. Ada urusan lain yang lebih penting, dan jika tidak
segera kuselesaikan, bisa-bisa aku celaka!"
Ratu Malam melotot angker. Mulutnya komat-kamit
mainkan gumpalan tembakau hitam.
"Ternyata kau anak manusia yang tak tahu diuntung.
Diberi cuma-cuma barang yang diperebutkan banyak
orang tapi enak saja kau sepelekan! Kalau tidak karena pesan, barangkali
penggalan peta itu tak akan kuberikan padamu! Aku tanya padamu. Urusan apa
hingga kau tunda urusan peta itu, hah"!"
"Senjataku lenyap, Nek...!"
"Apa" Ulangi lagi ucapanmu!" ujar Ratu Malam seraya miringkan kepalanya seakan
ingin hadapkan telinganya ke arah Joko.
"Setan Jelek! Kau dengar ucapanku. Ulangi katakatamu!" bentak Ratu Malam ketika ditunggu agak lama murid Pendeta Sinting tak
segera turuti ucapan Ratu
Malam. "Kau tidak akan marah lagi bila aku ulangi kata-kataku, Nek" Karena aku tahu kau
telah mendengarnya dengan
jelas!" "Setan! Jangan banyak tanya-tanya. Ayo katakan lagi!"
"Senjataku lenyap!" terpaksa Joko ulangi kata-katanya.
Ratu Malam cepat arahkan pandangannya pada. Joko.
Lalu sepasang matanya memperhatikan tubuh Joko dan
atas sampai bawah.
"Kau yakin" Kau telah periksa dengan teliti"!"
"Nek. Meski aku tak tahu siapa namamu, tapi kau telah berjasa padaku. Tidak ada
untungnya mendustaimu!
Senjataku benar-benar hilang lenyap!"
Tiba-tiba Ratu Malam tertawa mengekeh panjang,
membuat Joko Sableng mau tak mau sedikit jengkel.
"Dikasih tahu bukannya ikut mencari jalan keluar, malah tertawa terbahak-bahak!"
"Setan Jelek. Kau boleh bicara berkata tak mendustaiku. Tapi mata hatiku mengatakan lain. Aku melihat senjatamu masih ada.
Hik... hik... hik...!"
Murid Pendeta Sinting belalakkan mata. Mulutnya
komat-kamit tanpa adanya ucapan yang jelas terdengar.
"Setan Jelek! Coba kau periksa sekali lagi!" kata Ratu Malam masih dengan
tertawa mengekeh.
Entah karena ingin buktikan ucapan Ratu Malam atau
ingin menunjukkan bahwa dia tak berdusta, Joko cepat gerakkan tangan kanannya ke
arah balik pakaiannya.
Namun gerakan tangan murid Pendeta Sinting ini
tertahan tatkala bersamaan dengan itu Ratu Malam
kembali berkata.
"Tunggu! Meski aku seorang nenek bau, tapi aku tak mau lihat seorang pemuda
meraba-raba di hadapanku.
Aku akan berbalik dahulu!" Habis berkata begitu Ratu Malam putar diri
membelakangi seraya terus tertawa
terbahak. Meski belum mengerti arah ucapan Ratu Malam,
begitu si nenek putar membelakangi, Joko Sableng
segera selinapkan tangan kanan, mencari-cari pedang di balik pakaiannya. Bahkan
kali ini dia sempat buka
sebagian pakaiannya.
"Bagaimana" Kau masih temukan senjatamu, bukan"i"
kata Ratu Maiam setelah ditunggu agak lama tak juga
terdengar ucapan dari Joko.
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena merasa jengkel, murid Pendeta Sinting tak
buka mulut untuk menjawab. Malah memandang ke arah
punggung si nenek dengan bergumam sendiri.
"Seandainya bukan dia, sudah kudamprat habishabisan!" Saat itulah mendadak Ratu Malam balikkan tubuh.
Sepasang matanya terpejam rapat. Sementara mulutnya
bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau hitam.
"Setan Jelek. Kau masih ada di hadapanku"!"
Lagi-lagi Joko tak menjawab, membuat Ratu Malam
sedikit buka kelopak matanya.
"Nah, apa kubilang. Senjatamu masih utuh bukan"!"
"Busyet! Ternyata yang dimaksud senjata olehnya, bukan pedangku. Tapi senjata
yang lain! Walah. Kenapa aku tadi juga salah ucap...?"
Menyadari bahwa ucapan Ratu Malam lain dengan
yang dimaksud Joko, murid Pendeta Sinting Ini segera berkata.
"Nek, yang lenyap adalah Pedang Tumpul 131! Bukan senjata nenek moyangku!"
Ratu Malam kancingkan mulut. Sepasang matanya
membesar. Kepalanya dlgeleng-gelengkan seakan tak
percaya dengan ucapan si pemuda.
"Nek. Aku harus segera pergi. Orang itu pasti belum jauh
dari sini. Aku curiga orang itulah yang mengambilnya!"
"Hel. Siapa yang dimaksud"!"
"Aku belum kenal betul. Tapi seseorang sempat
memanggilnya Iblis Ompong!"
"Hem.... Dugaanku benar. Tua peot itu berada di sekitar tempat Ini.... Tapi tak
mungkin dia berani
menggerayangi milik orang lain! Bahkan seharusnya dia serahkan miliknya pada
pemuda Ini. Hem...."
"Setan Jelek!" tegur Ratu Malam. "Jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti!"
"Nek. Dialah yang membawaku sampai ke tempat Ini.
Dia juga mengatakan hendak menjodohkan aku dengan
seorang nenek-nenek bergelar Ratu Malam! Mungkin
saat membawaku, dia mengambil pedang dari balik
pakaianku! Karena kulihat tak ada orang lain selain dia!"
"Tua bangka sialan! Sejak kapan dia jadi mak
comblang tukang cari jodoh" Apa dikira aku tak bisa cari sendiri?"
Mendengar desisan suara si nenek, murid Pendeta
Sinting jadi curiga Jika si nenek kenal dengan Iblis Ompong. Pendekar 131 segera
buka mulut. "Ucapanmu menunjukkan kau kenal dengan kakek Itu.
Katakan siapa dia sebenarnya! Dia orang jahat atau
orang baik"!"
"Sebelum kujawab tanyamu. Aku tanya padamu.
Apakah kakek itu memberikan sesuatu padamu"!"
Murid Pendeta Sinting menyeringai. Seraya tertawa
pendek dia berucap.
"Dia bukannya memberikan sesuatu. Sebaliknya aku curiga dialah yang mengambil
barang milikku!"
"Tua bangka bodoh. Apalagi yang dia tunggu" Atau barangkali dia belum tahu siapa
adanya pemuda Ini"
Urusan peta harus segera diselesaikan. Kulihat banyak tangan-tangan usil yang
mulai gentayangan. Terbukti
penggalan peta pertama yang ada di tangan Jalu Paksl telah jatuh pada orang yang
tidak berhak. Aku yakin tua bangka itu masih ada di tempat ini...," gumam Ratu
Malam lantas arahkan sepasang matanya ke semak
belukar di samping kirinya. Tiba-tiba nenek berjubah merah menyala Ini berteriak
lantang. "Lantika! Aku tak perlu banyak bicara lagi. Keluarlah dari tempatmu!"
"Heran. Siapa yang dimaksud dengan nenek Ini"
Adakah orang lain di sekitar tempat Ini?"
Ucapan lantang Ratu Malam tak mendapat jawaban
dengan munculnya seseorang, membuat si nenek
pelototkan sepasang matanya yang sipit. Lalu dengan
mainkan gumpalan tembakau di mulutnya, dia berteriak lagi.
"Lantika! Lekas keluar atau...."
Semak belukar di samping kiri Ratu Malam bergoyanggoyang. Lalu disusul dengan suara orang.
"Aku datang penuhi undangan. Tapi jangan sangkut-pautkan aku dengan senjata yang
raib dan tangan.
Urusan memang harus cepat dikupas agar segalanya
menjadi jelas...."
Suara orang belum selesai, enam langkah di samping
Ratu Malam telah tegak seorang kakek berambut putih
panjang yang mulutnya dibuka lebar-lebar.
Pendekar 131 membelalakkan mata. Laksana terbang,
murid Pendeta Sinting ini berkelebat ke samping, ke arah di mana si kakek yang
bukan lain Iblis Ompong adanya berada.
Namun gerakan Joko Sableng tertahan, tubuhnya
tampak sedikit doyong ke depan dalam posisi seperti
orang hendak berkelebat. Murid Pendeta Sinting ini
rasakan desiran angin pelan. Anehnya, pada saat yang sama satu kekuatan luar
biasa menahan gerakannya,
hingga bukan saja dia gagal berkelebat namun tubuhnya terdorong ke belakang dan
kini tegak kembali seperti semula.
"Tahan hawa marahmu, Bocah jelek! Kita bicara baik-baik!"
Pendekar 131 kertakkan rahang sambil berpaling ke
arah Ratu Malam yang baru saja bicara. Terlihat Ratu Malam kembungkan mulut
seperti orang sedang meniup.
"Edan! Bagaimana mungkin tiupannya mampu menghadang gerakanku" Atau karena tenagaku yang
belum pulih betul"!" kata Joko dalam hati, lalu lipat gandakan tenaga dalamnya.
Sekonyong-konyong murid
Pendeta Sinting melesat ke arah Iblis Ompong. Tapi
setengah jalan melesat, Ratu Malam gerakkan kedua
tangannya mendorong ke depan.
Satu gelombang angin menyambar pelan. Di lain kejap
sosok Pendekar 131 tampak terdorong keras ke
belakang dan terhuyung-huyung hendak roboh. Untung
Joko cepat dapat kuasai diri, jika tidak niscaya tubuhnya akan terjengkang!
"Gila! Aku tak percaya!" desis Joko. Karena masih penasaran, murid Pendeta
Sinting Ini kerahkan segenap tenaga dalamnya. Lalu tanpa berkata-kata lagi dia
berkelebat ke depan.
Ratu Malam terdengar mengomel panjang pendek.
Bersamaan dengan Itu kedua tangannya menyilang di
depan dada lalu didorong sambil meniup.
Wuussss! Wuusss!
Kali ini gerakan Pendekar 131 tampaknya tak bisa
dibendung. Meski Ratu Malam telah mendorong dan
meniup tapi sosok murid Pendeta Sinting ini terus
berkelebat. "Sialan! Anak ini betul-betul geblekl" ujar Ratu Malam dan hendak maju
menghadang. Tapi di sampingnya Iblis Ompong berbisik pelan.
"Sekar Mayang! Biarkan dia!"
"Tapi jangan bertindak yang bukan-bukan padanya!
Lihat. Hari sebentar lagi akan malam. Dan aku harus
tinggalkan tempat Ini dengan segera! Jika terjadi
sesuatu, aku...."
"Sudah! Aku tahu apa maksudmu!" potong Ibils Ompong. Lalu kakek ini balikkan
tubuh dengan kedua
tangan menyentak ke belakang saat mana kelebatan
tubuh Pendekar 131 sudah setengah tombak dari
tempatnya berdiri.
Mendadak sosok murid Pendeta Sinting tertahan di
udara. Mungkin merasa jengkel, Joko dorong kedua
tangannya ke arah Iblis Ompong. Iblis Ompong tidak
tinggal diam, seraya menekuk tubuhnya ke depan
sampai melipat dan kini dalam posisi menungging, kakek Ini melompat ke belakang.
Bukk! Bukkk! Kedua tangan Joko yang mendorong ke depan
menghantam pantat kiri kanan si kakek. Bersamaan
dengan itu dari mulut Joko terdengar seruan tertahan.
Lalu kedua tangannya tampak mental ke belakang.
Disusul kemudian dengan terdorongnya tubuh mencelat
sampai dua tombak. Terhuyung-huyung, murid Pendeta
Sinting mendarat kembali di mana tadi dia berdiri!
Di depan sana, Iblis Ompong tampak tersapu ke
depan dengan tubuh masih melipat menungging. Namun
kejap lain, si kakek buat gerakan melesat ke udara lalu melayang turun dan tegak
dua langkah di samping Ratu Maiam dengan mulut terbuka lebar!
"Sekar Mayang! Lama tak jumpa bertatap muka.
Sepertinya kau tambah cantik hingga hampir aku salah sangka. Bagaimana
keadaanmu"l" bisik Iblis Ompong dengan memanggli nama asli Ratu Malam.
Sekar Mayang alias
Ratu Malam monyongkan
mulutnya ke depan. Tanpa menoleh dia berkata.
"Tak usah berbasa-basi memuji. Aku tahu apa maksud tujuanmu keluarkan kata-kata
pujian. Bukankah kau Ingin mendekatiku lagi" Dasar laki-laki. Tidak bosanbosannya perdengarkan kata-kata puja-puji, meski orang yang
dipuji-puji sebenarnya mual! Hik... hik... hik...l"
Mendengar ucapan Ratu Malam, Iblis Ompong yang
bernama asli Lantlka ganti tertawa.
"Sekar Mayang! Dulu memang kuakui aku ingin
mendekatimu. Tapi sekarang?" Iblis Ompong tergelak gelak lagi sebelum melanjutkan. "Apa yang sedang dipandang dari tubuhmu?"
"Tutup mulutmu, Lantlka!" hardik Ratu Malam, namun meski nada suaranya keras
menghardik, mulut nenek ini tampak sunggingkan senyum.
"Hari sudah hampir berganti. Urusan Ini harus segera selesai!"
"Hem.... Betul. Tapi apakah tugasmu telah kau
sampaikan"!" tanya Iblis Ompong.
"Tanya saja padanya!" jawab Ratu Malam seraya arahkan pandangannya pada Joko
yang sedari tadi diam memperhatikan.
"Berarti dia mendustaiku. Dia bilang belum pernah bertemu denganmu! Kurang ajar
betul!" "Sudah. Tak usah banyak clngcong. Bukankah selama ini
kita menunggu kedatangannya"
Adalah satu keberuntungan jika orang yang bertahun-tahun kita
tunggu akhirnya muncul tak terduga!"
"Orang-orang
ini bicara urusan apa" Mereka sepertinya sudah kenal akrab. Jangan-jangan keduanya bersekongkol lalu...."
Pendekar 131 maju satu tindak.
"Orang tua ompong! Harap serahkan kembali pedangku!"
"Tadi sudah kubilang. Jangan sangkut-pautkan aku dengan senjata yang lenyap
hilang!" "Lantika!" kata Ratu Malam. "Adalah aneh jika tiba-tiba senjata Itu raib begitu
saja. Padahal bukankah kau yang membawanya ke sini"!"
"Membawanya ke sini benar. Tapi mengambil
senjatanya tidak benar!"
"Bagaimana bisa terjadi begitu"!" gumam Ratu Malam seraya geleng-gelengkan
kepalanya. "Barangkali dia...," desis
Iblis Ompong dengan
sepasang mata memandang jauh.
"Dia siapa"!" tanya Joko dengan suara agak keras.
"Dengar. Aku mengambil tubuhmu yang sudah dalam keadaan tertotok dari seorang
perempuan bercadar dan berjubah hitam" Coba kau ingat-ingat! Bukankah
sewaktu terlibat bentrok dengan Ratu Pemikat tiba-tiba muncul berkelebat seorang
yang menyambar tubuhmu"!"
Murid Pendeta Sinting dongakkan kepala dengan dahi
mengeryit. Dia coba mengingat-ingat. "Benar. Waktu aku melayang, aku merasakan
seseorang menyambar
tubuhku. Sayang, aku tak bisa mengenalinyal Hem....
Urusan pedang ini akan makin ruwet...," batin Joko dalam hati.
"Setan jelek! Benar apa yang diucapkan tua bangka bau ini"!" tanya Ratu Malam
setelah beberapa saat saling diam.
"Aku memang merasakan seseorang menyambar
tubuhku. Tapi aku tak mengenali siapa adanya orang itu!"
"Hem.... Jika begitu sekarang jelas persoalannya. Dan itu
bagian dari tugasmu untuk mencari dan mendapatkannya kembali. Sekarang ada persoalan lain
yang harus kita selesaikan!" Ratu Malam berpaling pada Iblis Ompong. "Kau tunggu
apalagi"! Apa barang Itu akan kau simpan terus menerus"!"
"Persoalan apalagi ini"l" desis murid Pendeta Sinting seraya menatap bergantian
pada Ratu Malam dan Iblis
Ompong. "Setan jelek! Kau masih ingat dengan keteranganku tempo harl"l" tanya Ratu
Malam. "Keterangan" Keterangan apa"l"
"Edan! Bukankah aku telah cerita padamu urusan
penggalan peta itu" Hah?"
"Ah. Keterangan itu. Jelas aku masih ingat!"
"Bagusi Nyatanya kau anak manusia yang benarbenar beruntung...."
"Nek. Dengan lenyapnya pedangku, kau masih
mengatakan aku beruntung?"
"Diam! Jangan berkata memotong ucapanku!" sentak Ratu Malam. "Urusan hilangnya
pedangmu bisa dicari, apalagi orangnya meski belum jelas siapa adanya namun
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedikit banyak sudah ada gambaran. Tapi urusan yang
satu Ini, kalau tidak beruntung, sampai menungging
seumur-umur pun tak akan dapat!"
Habis berkata begitu, tangan kanan Ratu Malam
mengangsur ke arah Iblis Ompong membuat gerakan
seperti meminta. Pada saat yang sama, Iblis Ompong
masukkan tangannya ke balik pakaian. Kejap kemudian, di tangan si kakek terlihat
satu gulungan kulit berwarna coklat. Gulungan itu segera diberikan pada Ratu
Malam. "Tak usah kukatakan, kau tentu bisa menerka sendiri!"
ujar Ratu Malam seraya sentakkan tangannya yang
memegang gulungan kulit.
Di depan sana, Pendekar 131 cepat maju dan
menyahut guiungan kulit yang melayang di udara.
"Ikuti terus petunjuk yang tertera!" kata Ratu Malam.
Lalu berpaling pada Iblis Ompong. "Sudah saatnya kita tinggalkan tempat ini!"
Iblis Ompong tidak menyahut. Sebaliknya memandang
tajam ke arah Ratu Malam dengan mulut membuka
lebar-lebar. DI seberang, murid Pendeta Sinting sejenak pandangi gulungan kulit
yang kini ada di tangannya.
Dadanya sedikit berdebar. Lalu memandang ke depan.
Mendadak sepasang mata murid Pendeta Sinting Ini
terpentang besar tak berkesip. Bahkan untuk meyakinkan, kedua tangannya diusap-usapkan ke bola
matanya, lalu dengan dijerengkan makin besar dia
menatap lagi ke depan.
"Gila! Aku yang salah lihat atau dia yang menipu mataku"!"
Sementara di depan sana, Ratu Malam terdengar
bergumam tak karuan. Namun sejenak kemudian dia
rapikan rambutnya. Tenyata rambut nenek ini telah
berubah warna jadi hitam dan bergerai panjang sampai punggung. Bukan hanya Itu
saja. Raut wajahnya yang
tadi dibalut dengan kulit tipis dan pucat, kini berubah menjadi putih dan padat.
Sepasang matanya bulat tajam dengan tangan lentik!
"Ompong!" seru Ratu Malam yang kini telah berubah wujud menjadi seorang gadis
muda cantik jelita.
"Aku tak bisa menunggumu lama-lama. Aku pergi
sekarang!" Habis berkata begitu, Ratu Malam putar tubuh dan berkelebat
tinggalkan tempat Itu.
"Ratu Malam! Tunggu...," teriak Iblis Ompong. Lalu berpaling pada Pendekar 131
dan berkata. "Kali ini keberuntungan tidak padamu. Karena ternyata tua bangka ini yang
dijamu. Ha... ha... ha...! Seandainya kau tidak menolak perjodohan itu.... Tapi
terlambat!"
Sambil terus tertawa, Iblis Ompong berkelebat
menyusul Ratu Malam.
"Busyet! Jadi nenek itu adalah Ratu Malam...," gumam Joko seraya pandangi
keperglan Iblis Ompong. "Dan Iblis Ompong pasti salah satu saudara seperguruan
Ratu Malam yang pernah diceritakan padaku.... Ratu Malam.
Hem.... Siapa kira jika nenek-nenek itu adalah seorang gadis muda cantik...."
Memang, Ratu Malam adalah seorang tokoh yang
tidak asing lagi bagi dunia persilatan. Selain berilmu tinggi, tokoh Ini punya
keanehan. Yakni jika malam telah menjelang, maka wujudnya akan berubah menjadi
seorang gadis muda berparas cantik jelita. Karena itulah kalangan rimba
persilatan menggelarinya Ratu Malam.
-oo0dw0oo- EMPAT EPERTI dituturkan dalam episode: "Rahasia
Pulau Biru", setelah terjadinya bentrok antara
Iblis Ompong dan Dewi Siluman, tiba-tiba di
StempatmanaDewiSilumanberadamunculdua
orang gadis berparas cantik mengenakan jubah warna
kuning dan biru yang bukan lain adalah murid Dewi
Siluman sendiri yakni Wulandari dan Ayu Laksmi. Karena yang muncul cuma dua
muridnya, saat Itu juga Dewi
Siluman memerintahkah pada kedua muridnya untuk
mencari salah seorang lagi yang tidak muncul di tempat itu, yakni Sitoresmi. Dan
untuk mencari Sitoresmi, Dewi Siluman memberi batas sampai malam hari.
Wuiandari dan Ayu Laksmi sudah berputar di tempat
mana tadi mereka bertiga berpisah. Bahkan keduanya
telah saling berpencar untuk mencari jajak Sitoresmi.
Namun hingga keduanya bertemu kembali, mereka
berdua gagal menemukan Sitoresmi.
Dua gadis berparas cantik murid Dewi Siluman ini
sama tegak di tempat masing-masing dengan keringat
membasahi sekujur tubuh. Si jubah kuning Wulandari
tiba-tiba mendongak melihat langit.
"Malam hampir tiba...," gumamnya dengan suara agak bergetar. "Tapi Sitoresmi
belum berhasil kita temukan.
Bagaimana sekarang" Apa kita temui Guru tanpa
Sitoresmi"!"
Si jubah biru Ayu Laksmi berpaling. "Kita hanya cari celaka jika menemui Guru
tanpa Sitoresmi! Sebaiknya
kita tunggu sampai besok pagi. Bukankah kita bertiga telah membuat perjanjian
untuk bertemu besok pagi"!"
"Tapi Guru memberi batas waktu sampai malam ini!"
ujar Wuiandari seraya menghela napas panjang dan
dalam. "Siaian! Ke mana perginya anak itu" Gara-gara dia kita jadi tambah
tugas!" "Peduli setan dengan batas waktu. Kalau kita
memaksakan diri menemui Guru tanpa Sitoresmi malam
ini, kau tahu apa yang akan menimpa kita! Lebih baik kita tunda sampai besok.
Kita nanti bisa memberi alasan,
asalkan Sitoresmi sudah kita temukan!" kata Ayu Laksmi lalu memandang
berkeliling. Saat Itu perlahan-lahan
cuaca sudah mulai gelap.
"Kita cari tempat untuk istirahat!" sambung Ayu Laksmi seraya hendak pergi.
"Tunggu!" tahan Wuiandari. Kepala gadis berjubah kuning Ini berpaling ke arah
timur. "Ada orang menuju kemari!"
Ayu Laksmi ikuti arah pandangan Wulandarl. Dan dari
arah timur samar-samar terlihat sesosok tubuh berlari kencang menuju ke arah
keduanya. Belum sampai kedua gadis ini ada yang buka mulut
kembali, tahu-tahu sepuluh langkah di hadapan mereka berdua tegak seorang kakek
bertubuh besar. Rambutnya putih panjang disanggul tinggi ke atas. Wajahnya pucat
laksana tak berdarah. Sepasang matanya besar dan
hanya tampak putihnya saja, pertanda jika kakek ini buta.
Dia mengenakan pakaian gombrong besar warna hijau
hingga sekujur tubuhnya hampir tertutup. Pada pinggangnya tampak sebuah ikat pinggang besar dari
kulit yang pangkalnya berupa cermin bundar. Anehnya, begitu si kakek berada di
tempat itu, suasana tempat itu jadi terang benderang.
"Aneh...," bisik Wuiandarl setelah menahan rasa kejut.
"Baru saja tubuhnya jauh di sebeiah timur. Tapl kini tahu-tahu sudah berada di
sini...." Wulandari perhatikan sekali lagi lebih seksama pada si kakek. "Cermin
pada pangkal ikat pinggangnya mampu membuat tempat ini terang
benderang, dan walau sepasang matanya buta, tapi
tampaknya dia tahu di hadapannya ada orang.... Hem....
Siapa orang tua ini"!" ujar Wulandari dalam hati, lalu utarakan yang ada dalam
hatinya pada Ayu Laksmi.
"Aku juga sulit mengenali siapa dia adanya! Tapi kalau dia berbuat macam-macam
aku tak segan-segan
membuat matanya buta dua kali!" bisik Ayu Laksmi.
Gadis Ini tampaknya sudah jengkel dengan tidak
ditemukannya Sitoresmi, hingga tatkala ada orang yang tahu-tahu tegak di
hadapannya, semua kejengkelannya
laksana hendak ditumpahkan.
"Hem.... Ternyata ada dua orang di hadapanku Ini.
Sahabat-sahabat cantik. Sudi tunjukkan padaku mana
arah yang menuju mata air"l" SI kakek tiba-tiba keluarkan ucapan.
Wulandari dan Ayu Laksmi saling berpandangan.
Mereka sedikit terkesiap. Karena jarak antara mereka dan si kakek cukup jauh dan
ucapan keduanya juga amat pelan, tapi si kakek tampaknya mengetahui, malah bisa
berkata jika kedua orang di hadapannya adalah dua
gadis berparas cantik.
"Orang tua!" teriak Wulandari. "Aku tak tahu mana arah mata air. Dan ingat. Kami
bukan sahabatmu!"
"Ah...I" si kakek terdengar keluarkan keluhan. "Maaf.
Jika begitu aku harus cari sendiri mata air itu. Padahal, di sana ada seorang
gadis cantik mengenakan jubah warna merah...."
Habis berkata begitu, si kakek usap cermin pada
pangkal ikat pinggangnya yang tepat berada di depan
pusarnya. Bersamaan dengan itu, suasana kembali
gelap seperti sedia kala.
Wulandari dan Ayu Laksmi kali ini tak dapat
menyembunyikan lagi rasa kecut masing-masing.
Setelah diam sejurus, tiba-tiba Wulandari yang merasa bahwa yang disebut-sebut
si kakek adalah Sitoresmi,
segera melompat ke depan.
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya" Kulihat sepasang matamu buta, tapi kau tahu
siapa kami, lebih-lebih
sepertinya kau juga tahu bahwa kami sedang mencari
gadis berjubah merah!"
Si kakek tertawa panjang. Dua gadis di depannya
tampak tersentak, karena masing-masing gadis Ini
merasakan tanah di mana kini mereka berpijak bergetar!
Padahal suara tawa Itu hanya pelan saja!
"Eh, jadi kalian mencari gadis berjubah merah...?"
tanya si kakek setelah tawanya berhenti.
"Betul! Dan katakan di mana dia berada!" Kali ini yang buka mulut adalah Ayu
Laksmi. "Sayang kita bukan sahabat. Lagi pula aku tak tahu di mana temanmu itu
berada.... Jadi harap maafkan orang tua ini tak bisa jawab pertanyaanmu!"
"Aku yakin, orang Ini bukan orang sembarangan.
Bohong jika dia tak tahu di mana beradanya Sitoresmi.
Bukankah apa yang baru diucapkan tadi benar adanya?"
kata Wulandari dalam hati. Gadis berjubah kuning ini lantas angkat bicara.
"Orang tua! Kalau kau tak mau jawab pertanyaan
kami, jangan harap kau bisa teruskan langkah!"
"Eh, bagaimana bisa begini"!"
"Itu urusanmu! Sekarang jawab atau langkahmu
sampai di sini!"
"Jadi kau memaksaku..."!"
"Terserah kau sebut apa. Yang jelas kau harus
menjawab!" sahut Wulandari dengan suara lantang.
"Baiklah...," ucap si kakek pada akhirnya sambil menghela napas. Kepalanya
didongakkan menghadap
langit. Sementara tangan kanannya mengusap-usap
cermin bulat yang ada di depan perutnya.
"Aku tak bisa menunjukkan di mana beradanya
temanmu itu. Hanya...."
"Orang tua! Aku ingin jawaban pasti!" potong Wulandari. "Dan jangan coba-coba
menjual bualan'
"Anak manusia cantik!" kata si kakek seraya hadapkan wajahnya ke arah Wulandari.
"Jawaban pasti hanya milik Tuhan. Aku hanya bisa menduga. Tapi sebaiknya kau
dengar. Selama ini apa yang kuduga biasanya jarang
sekali meleset. Dan satu lagi, jangan kau memotong
kata-kataku sebelum aku selesai bicara!"
"Jahaman! Aku yang buat peraturan. Bukan kau!"
teriak Wulandari.
Si kakek tertawa perlahan. "Di sini tak ada yang berhak bikin aturan. Atau
barangkali kau tak mau dengar ucapanku"!"
Wulandari jadi terdiam mendengar ucapan si kakek.
Sebenarnya gadis ini sudah geram, tapi karena memang ingin tahu keberadaan
Sitoresmi, terpaksa dia harus
menindih rasa geramnya. Sambil berpaling akhirnya dia berkata.
"Baik. Lekas katakan apa yang kau ketahui tentang temanku itu!"
"Seperti kukatakan tadi, aku tak bisa menunjukkan di mana beradanya temanmu itu.
Hanya saja sebentar lagi dia akan sampai di tempat itu. Dan satu hal lagi. Meski
malam ini kalian punya janji dengan seseorang,
sebaiknya kalian urungkan. Karena orang itu tidak akan datang di tempat
perjanjian! Besok pagi adalah waktu yang baik untuk menemuinya...."
Baik Wulandari maupun Ayu Laksmi tampak besarkan
mata masing-masing. Seperti diketahui, kedua gadis ini memang punya janji malam
Ini dengan gurunya Dewi
Siluman. "Hem.... Orang tua ini benar-benar tepat dugaannya...," gumam Wuiandari. "Tak ada salahnya jika aku tanya tentang urusan
yang kini kuemban. Siapa tahu dia bisa membantu...."
Berpikir begitu, gadis berjubah kuning ini segera buka mulut.
"Orang tua. Dugaanmu yang satu memang tepat.
Satunya lagi perlu dibuktikan. Bagaimana kalau aku
ajukan beberapa pertanyaan lagi?"
"Sebenarnya aku keberatan. Tapi untuk kali lnl, baiklah! Apa yang hendak kau
tanyakan"!"
"Saat ini rimba persilatan sedang ramai membicarakan sebuah kitab sakti bernama
Serat Biru. Apakah kitab itu betul-betul ada" Lalu di mana kira-kira beradanya"
Kalau ada, kelak siapakah yang berhasll mendapatkannya"!"
"Wah. Pertanyaanmu banyak betul. Namun karena
aku sudah berjanji akan menjawab, terpaksa semua itu akan kucoba mengatakannya
padamu...." Sejenak si kakek hentikan kata-katanya. Saat bersamaan, Ayu
Laksmi yang berada agak jauh segera berkelebat
menghampiri Wulandari.
Ayu Laksmi sepertinya hendak mengucapkan sesuatu.
Namun Wulandari cepat jarinya di tengah bibir.
Si kakek usap-usap cermin bundarnya sejurus. Lalu
hadapkan wajahnya ke depan seolah melihat dua gadis
cantik yang kini tegak dengan sepasang mata tak
berkedip memperhatikan. Kejap kemudian si kakek
Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
arahkan wajahnya menghadap ke atas, lalu buka mulut.
"Aku menduga Kitab Serat Biru yang saat Ini ramai dibicarakan kalangan orangorang persilatan memang
benar-benar ada! Namun di mana beradanya, terus
terang aku hanya tahu nama tempatnya tanpa tahu di
mana tempat Itu!"
"Apa nama tempat itu"!" sahut Wuiandari.
"Pulau Biru...!"
"Hem.... Jadi apa yang diucapkan Guru betul!" desis Wulandari. Lalu gadis
berjubah kuning ini lanjutkan
pertanyaan. "Siapakah kelak yang berhasil mendapatkannya"!"
"Seperti biasanya, meski kitab Itu sejak dulu hingga kini diperebutkan banyak
orang, namun pada akhirnya
hanya satu orang di kolong langit ini yang mendapatkan dan mewarisinya. Apa
kalian berdua punya niat untuk
memilikinya?"
"Menurut kabar yang tersiar. Kitab Serat Biru adalah kitab sakti, raja di raja
kitab. Adalah bohong jika orang yang menamakan diri sebagai kalangan orang
persilatan tidak punya niat untuk memilikinya!"
"Mau dengar saranku, gadis-gadis cantik!" tanya si kakek sambil hadapkan lagi
wajahnya ke arah dua gadis di hadapannya.
"Katakan. Namun aku tak bisa jamin akan turuti
saranmu!" kata Wulandari.
Si kakek tertawa pendek. Lalu usap-usap dagunya dan
berkata. "Terserah kalian mau turuti apa tidak. Aku hanya memberi saran. Siapa tahu kelak
ucapanku bisa jadi
pertimbangan. Kalian masih muda...."
"Orang tua! Sepertinya kau merasa tahu tentang kami lebih dari kami sendiri!
Jangan bicara ke mana-mana.
Katakan saja apa yang perlu!"
"Urungkan niat kalian memburu kitab itu! Aku melihat dua penghalang di depan
kalian...." Akhirnya si kakek berkata setelah agak lama terdiam.
Wulandari melirik pada Ayu Laksmi. Saat itu Ayu
Laksmi sendiri sedang melirik pada Wulandari.
"Orang ini membual atau sengaja menghalang-halangi langkah kita?" bisik
Wulandari. "Aku tak bisa menebak dengan pasti. Tapi apa
perlunya menuruti omongan orang. Dia baru saja kita
kenal, dan kita belum tahu pasti siapa dia sebenarnya!
Jangan-jangan orang ini sengaja menghalangi niat kita agar orang lain leluasa
mendapatkan kitab Itu!" ujar Ayu Laksmi.
"Hem.... Tapi tak ada jeleknya kita tanya apa halangan itu. Dengan demikian
setidaknya kita nanti bisa
menghindari atau sekaligus menyingkirkannya!" kata Wulandari. Lalu tanpa
menunggu persetujuan dari Ayu
Laksmi gadis berjubah kuning Ini berucap.
"Orang tua! Kalau mulutmu tidak membual, coba
katakan apa halangan itu!"
Si kakek manggut-manggut sebelum akhirnya berkata.
"Pertama. Menurut mata batinku, kelak si pewaris itu adalah seorang laki-laki.
Kedua, justru laki-laki itu yang membuat kalian terpecah...."
Wajah kedua gadis di hadapan si kakek berubah agak
tegang. Tanpa sadar keduanya saling bentrok pandang
saat sama berpaling. Mulut sama terkancing dengan
sikap jelas membayangkan hati yang gelisah. Tapi
Wulandari segera memecah ketegangan dengan buka
mulut. "Orang tua! Kau jangan bicara yang bukan-bukan!
Mana mungkin kami bisa terpecah hanya gara-gara
seorang laki-laki" Persaudaraan bagi kami adalah nomor satu. Itu sudah jadi
ikrar kami bertiga!"
Si kakek perdengarkan tawa panjang. "Cinta datang tanpa diundang. Sekali datang,
tak ada yang bisa
menghadang. Jangankan badai gelombang, hingga
nyawa melayang dia akan tetap menerjang. Cinta datang membawa lupa dan buta.
Petualang Asmara 21 Bara Dendam Menuntut Balas Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Panji Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama