Ceritasilat Novel Online

Maut Merah 2

Gento Guyon 9 Maut Merah Bagian 2


tidak ada kehidupan di tempat itu. Sejauh mata
memandang yang terlihat hanya tulang belulang
memutih berserakan, sebagai saksi atas kehadiran mereka di tempat paling celaka itu.
"Guru, sebaiknya kita berpisah di sini, aku
akan menyelidik ke sebelah timur kuil. Aku melihat tadi ada satu bayangan biru berkelebat meninggalkan kuil. Siapa tahu peruntunganku baik,
aku dapatkan seorang gadis cantik di sebelah sana." ujar si pemuda disertai senyum.
"Bocah goblok, bagaimana jika sampai terjadi sesuatu denganmu. Aku pasti tidak tahu,"
jawab si kakek gendut.
"Tidak perlu khawatir. Aku ke sana tidak
lama hanya ingin memastikan barangkali ada jalan masuk dari tempat itu. Jika bayangan biru
tadi bisa muncul dari arah kuil. Berarti memang
ada jalan di tempat itu. Jika ternyata dugaanku
meleset aku segera kembali menemuimu," jelas Gento. "Cepatlah, tapi jangan
terlalu lama!" kata kakek Gentong Ketawa. Gento anggukkan kepala.
Setelah itu tanpa membuang waktu lagi dia langsung berkelebat pergi ke sebelah timur kuil di
mana bayangan biru tadi sempat terlihat olehnya.
Sementara itu di balik satu pohon kering
satu sosok berpakaian biru berdiri di sana. Empat kepala sosok aneh yang
mengenakan pakaian bi-ru sama menoleh, empat mata yang terletak di
bagian kening dari empat kepala itu terus memperhatikan ke arah si pemuda. Empat pasang bibir sama tersenyum. Lalu dia berucap. "Sebelum pemuda ini ku ringkus, kurasa ada
baiknya jika aku mempermainkannya" katanya. Empat tangan, dua menghadap ke depan dan dua
menghadap ke belakang sama bergerak ke atas. Empat kepala
sebesar kepalan tangan orang dewasa diusap,
Wuees! Hanya dalam waktu sekedipan mata ke
empat kepala aneh bermata tunggal lenyap. Mahluk berkepala empat berbadan seperti manusia
lenyap menjadi kepulan asap. Di lain saat di balik pohon itu berdiri tegak
seorang gadis cantik berwajah cantik rupawan, menggantikan sosok
menggidikkan berkepala empat tadi. Gadis ini tersenyum, lalu keluar dari tempat persembuyiannya. "Kau mencariku?" kata gadis itu ditujukan pada Gento yang saat itu memang
tengah sibuk mencari sosok bayangan yang dilihatnya tadi.
Pemuda itu tentu saja kaget bukan main, dalam
kagetnya dia cepat menoleh ke belakang. Rasa
kaget pemuda ini semakin menjadi-jadi begitu
melihat satu sosok berambut panjang berwajah
cantik jelita berdiri tegak di belakangnya. Gento memutar badan sehingga kini
dia dan gadis itu
saling berhadapan.
"Jika aku berjalan sendiri peruntunganku
selalu baik. Gadis cantik ini bagaimana tahu-tahu muncul di sini" Apakah dia
salah satu penghuni
Kuil Setan?" membatin Gento dalam hati.
"Pemuda tampan apa yang kau pikirkan"
Melihat pada matamu kurasa kau sedang mencari
seseorang." ujar si gadis sambil kedipkan mata sementara lidah sengaja
dijulurkan membasahi
bibirnya yang merah menawan.
Gento terkesiap, tidak menyangka orang
dapat membaca jalan pikirannya. Di luar semua
itu Gento memang harus mengakui gadis ini memiliki kecantikan luar biasa. Mungkin lebih cantik dari Ambini. Hanya kelebihan Ambini dia memiliki sepasang mata yang indah.
"Kau diam, berarti apa yang kukatakan benar adanya." kata si gadis berpakaian biru tipis itu lagi.
"Ee... aku... aku memang sedang mencari
seseorang." sahut Gento ragu-ragu. Sekejap dia melirik ke arah si gadis. Hatinya
sempat berdebar aneh ketika pandangan mereka secara tak sengaja saling
berbenturan. "Seseorang yang kau cari itu laki-laki atau
seorang gadis?" tanya si gadis lagi. Melihat ke-tampanan si pemuda kali ini dia
memandang pe- nuh kemesraan. "Kecantikannya sungguh memikat. Tapi
aku tidak boleh terpedaya dengan kemolekan tubuh dan kecantikan wajah. Bisa jadi di balik penampilan yang terlihat menggoda, sesungguhnya
dia adalah pembunuh keji." pikir si pemuda.
"Kau diam, mungkin kau takut aku ini gadis jahat."
"Hen, bagaimana dia bisa mengatakan apa
yang sedang ku pikirkan?" Lagi-lagi Gento dibuat tak habis mengerti.
Kemudian dengan sikap acuh gadis itu palingkan wajahnya ke arah lain. Dia lalu berkata.
"Aku memang gadis yang malang, orang seburuk diriku mana ada yang mau percaya.
Hu... hu...hu. Ibu, kalaulah aku tahu begini sengsaranya hidup
di dunia ini, lebih baik aku menyusulmu!" kata si gadis sambil menangis terisakisak. Melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu,
Gento pun akhirnya jadi tidak sampai hati untuk
membiarkannya begitu saja. Dia kemudian melangkah menghampiri. Memperhatikan gadis yang
sedang menangis itu, entah mengapa Gento mendadak saja jadi merasa iba. Tanpa sadar dia
membelai rambut hitam panjang si gadis. Sikapnya tidak ubahnya seorang kakak yang melindungi adiknya. "Maafkan aku, sama sekali aku tak bermaksud membuatmu bersedih. Lagipula aku belum bicara apa-apa." ujar Gento pelan membujuk.
"Mulutmu bicara begitu, tapi hatimu berkata lain!" kata si gadis, sambil berusaha menghen-tikan tangisnya. Dia kemudian
memeluk pemuda itu. Gento jadi terperangah dan merasa serba salah. Apalagi mengingat dada si gadis menempel
ketat di dadanya. Dia pejamkan matanya, mencoba mengosongkan pikiran agar tidak terpengaruh
oleh tindakan sepontan yang dilakukan gadis itu.
"Aduh biung, aku jadi serba salah. Jika
aku menjauhkan diriku pasti dia menduga aku
benci kepadanya. Tapi jika kubiarkan dia memeluk ku begitu rupa, bagaimana jika ketahuan guruku. Nanti dikiranya aku suka berbuat mesum."
Gento Guyon kemudian menepuk bahu si gadis,
menarik kedua tangan gadis itu menjauh dari dirinya sambil berkata. "Tabahkan hatimu, sadarlah...!" Kata-kata perlahan yang
diucapkan oleh si pemuda menyadarkan gadis itu. Dia pun jauhkan
wajahnya, kedua tangan ditarik lepas sedang mukanya berubah merah padam.
"Oh, maafkan aku. Sama sekali aku tidak
bermaksud membuatmu malu. Apa yang terjadi
semua karena aku merasa bingung tak tahu harus mengadu ke mana?" kata gadis itu.
"Siapa namamu?" tanya Gento begitu teringat akan tujuannya.
"Namaku Puspita." jawab si gadis. "Kakang sendiri siapa?"
"Namaku Gento Guyon." sahut si pemuda.
"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini."
Mendapat pertanyaan itu wajah si gadis
kembali berubah murung. "Entahlah sejak orang tuaku meninggal, aku jadi tidak
punya tujuan. Aku pergi ke mana saja mengikuti langkah."
Mendengar jawaban si gadis mendadak
Gento merasakan ada sesuatu yang sangat ganjil.
Dia kemudian berpikir. "Sosok yang kulihat pertama tadi adalah sosok berpakaian serba biru.
Gadis ini juga memakai pakaian biru. Janganjangan dia adalah...!" Murid kakek Gentong Ketawa ini tidak sempat lagi
melanjutkan ucapannya
karena di depan sana si gadis cantik yang mengaku bernama Puspita itu mendadak mengeluh seperti kesakitan sambil memegangi dadanya. "Akh, penyakitku...!" rintih Puspita.
"Apa yang terjadi dengan dirimu?" seru si pemuda. Tanpa merasa curiga lagi dia
melompat ke depan sambil menyambar bahu Puspita yang sudah terhuyung
nyaris terjengkang. Beruntung Gento cepat bertindak. Kalau tidak tentu kepala si gadis cantik
itu menghantam batu yang terdapat di belakangnya. "Dadaku... akh... dadaku seperti mau meledak...!" rintih si gadis. Karena
yang dikeluhkan di bagian dada, tentu saja Gento jadi bingung
sendiri. Mustahil dia menyentuh atau memeriksa
di bagian itu. "Lakukanlah sesuatu, jangan diam begitu"!" kata Puspita dengan nafas tersengal sementara tangan kirinya yang
bersimbah keringat
nampak sibuk meremas-remas dadanya sendiri.
Tidak sampai di situ saja kedua bahu si gadis juga bergetar keras kepala menyentak-nyentak tak
mau diam. Gento yang berusaha mendukung badan Puspita dengan kedua tangannya jadi kerepotan. 9 Dia mencoba membaringkan Puspita di
atas tanah. Tanpa pernah terduga pada saat itu
pula tangan kanan gadis itu menyambar ke bagian bahu juga dada Gento. Gento yang merasakan adanya sambaran angin dingin menghantam
dua bagian tubuhnya langsung melompat menjauh sambil lepaskan pegangannya pada bagian
punggung belakang si gadis. Sinar biru membersit
dari telapak tangan gadis itu. Luput mengenai sasaran yang diharapkan sinar maut menghantam
gundukan batu besar di ujung puncak bukit. Terjadi ledakan keras menggelegar begitu sinar biru
menghantam hancur batu tersebut. Kepulan debu
dan pecahan batu bermentalan di udara. Setiap
kepingan yang terpental mengepulkan asap tebal
dikobari api berwarna biru.
Gento Guyon jelas tak kuasa menutupi rasa kagetnya. Dia sama sekali tidak menyangka
gadis cantik yang terlihat lemah itu ternyata
hampir saja membuatnya celaka. Kini pemuda itu
yang sempat tercengang melihat kedahsyatan serangan yang dilakukan si gadis langsung berpaling memandang ke arah Puspita. Di depannya sana gadis itu tertawa tergelak-gelak sambil dongakkan kepalanya.
"Sungguh kau manusia paling tolol yang
pernah kutemui. Begitu mudahnya kau tertipu
hanya dengan melihat kecantikan tubuh seorang
wanita. Hik,.. hik... hik!" kata Puspita sambil tertawa tergelak-gelak.
"Huh, dari semula aku sudah curiga. Tapi
entah mengapa melihat kau menangis tiba-tiba
aku menjadi iba. Setan kuntilanak siapa engkau
yang sebenarnya" Suaramu jelek dan sepertinya
selain dirimu masih ada orang lain yang ikutan
tertawa!" dengus Gento disertai senyum mengejek.
"Hik... hik... hik. Sebentar lagi kau akan
melihat sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan. Aku adalah pengawal Kuil Setan, aku Maut
Biru!" berkata begitu gadis cantik itu mengusap wajahnya sebanyak tiga kali
usapan. Wuess! Mendadak sontak dari sekujur tubuh si
gadis mengepulkan asap tebal kebiru-biruan. Beberapa saat lamanya asap tebal menyelimuti diri
tubuh Puspita. Ketika asap yang menyelimuti gadis ini lenyap, maka kini di depan murid kakek
Gentong Ketawa tampak satu sosok besar berwarna biru, dengan empat tangan dua di bagian
depan dua di belakang. Selain itu kepala sosok bi-ru tersebut memiliki empat
kepala, empat leher
yang terjulur panjang. Masing-masing kepala sebesar kepalan tangan ini memiliki satu buah mata
di tengah kening, hidung mancung dengan gigigigi yang sangat panjang lagi runcing.
Walau Gento sempat terkesiap melihat perubahan aneh yang terjadi pada gadis itu. Tapi
kini dia berlaku tenang. Sambil tertawa dia berka-ta. "Mahluk salah kaprah,
tidak kusangka di balik
kecantikan yang kau tunjukkan ternyata kau
adalah mahluk paling jelek terkutuk yang pernah
kulihat. Beruntung kau tadi tidak sempat menciumku, kalau tidak malah hari ini aku menderita
satu kerugian yang sangat besar. Ha... ha,., ha!"
"Manusia tolol, selagi dirimu bebas bisa saja kau bicara apa saja. Sekejap lagi kau akan merasakan satu siksaan yang tak pernah terbayangkan olehmu di sepanjang Lorong Kematian."
"Mahluk terkutuk, kini aku tahu kau pasti
budak dari penghuni Kuil Laknat itu?" teriak si pemuda.
Empat mulut dari empat kepala sama keluarkan suara mendengus. Empat tangan serentak berkelebat menyambar ke arah gento. Angin
keras menderu menerjang ke arah Gento. Pemuda
ini tak tinggal diam, dia menghantam ke depan
menyambuti serangan empat tangan yang datang
susul-menyusul disertai sambaran kuku-kukunya
yang hijau panjang mengerikan. Hawa dingin menyengat yang melesat dari dua puluh kuku jari
tangan ke bagian tubuh pemuda ini membuatnya
terpaksa menarik kedua tangannya kembali. Dia
lalu jatuhkan diri, sambil bertumpu pada kedua
tangan begitu terjatuh kakinya melesat menghantam perut mahluk aneh Maut Biru.
Buuk!

Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tendangan yang keras tepat mendarat di
bagian perut Maut Biru. Tapi tendangan itu
hanya membuat mahluk berkepala empat berleher panjang hanya terhuyung. Gento sendiri meringis kesakitan, terguling-guling dia pegangi kakinya yang dipergunakan untuk
menendang. "Trondolo, bagaimana tubuh mahluk sialan
ini bisa keras melebihi batu?" desis si pemuda tercengang. Tanpa menghiraukan
kakinya yang terasa sakit bukan main, Gento Guyon begitu
bangkit sambil terhuyung-huyung segera melepaskan salah satu pukulan yang sangat diandalkannya. Laksana kilat tangan kiri kanan dihantamkannya ke arah Maut Biru. Sinar putih laksana kilauan perak bergulung-gulung menghantam
ke arah Maut Biru. Empat mulut membuka keluarkan suara menggerung. Dua tangan berkelebat
ke depan menyambuti.
Bumm! Buuum! Benturan yang sangat keras menimbulkan
ledakan berdentum mengguncang puncak bukit.
Di depan sana Maut Biru nampak terhuyung. Dadanya yang berwarna biru mengepulkan asap,
bagian dada hangus gosong. Tapi begitu tangan
Maut Biru yang menghadap ke bagian belakang
mengusap dada itu, luka hangus lenyap tidak
meninggalkan bekas. Melihat ini Gento yang sempat jatuh berlutut akibat bentrokan pukulan dengan lawan nampak belalakkan mata sedangkan
mulut ternganga lebar. Seakan tidak percaya dengan penglihatan sendiri dia mengusap matanya
sampai dua kali.
Di depannya sana Maut Biru menggeram,
empat kepala digelengkan. Sambil keluarkan suara teriakan melengking tinggi laksana merobek
langit, Maut Biru melesat ke arah Gento. Empat
tangan berkelebat menyambar ke arah si pemuda
dengan jemari terpentang. Kuku-kuku yang berwarna kebiruan dan berkeluk itu siap mencabikcabik. Di saat itu Gento langsung menggulingkan
diri ke samping, sementara tangannya meraih
Penggada Bumi yang terselip di sebelah kiri pinggangnya. Senjata maut yang sangat kecil dan cuma sepanjang dua jengkal langsung dipukulkan
ke tanah hingga mengeluarkan suara ledakan
berdentum. Begitu senjata menyentuh tanah maka, gada berwarna kuning kemilau itu langsung
berubah panjang dan semakin membesar.
Tanpa menunggu kuku-kuku lawan mencabik tubuhnya gada itu diayunkan kemudian baru digerakkan ke depan ke arah empat tangan
Maut Biru. Terdengar suara bergemuruh hebat,
hawa panas menghampar seakan tempat itu kini
telah berubah menjadi lautan api. Maut Biru keluarkan suara raungan keras, meskipun tubuhnya laksana terpanggang akibat pengaruh senjata
lawannya. Tapi dia teruskan serangannya. Sebelum kedua puluh kuku beracun mencapai sasaran, dua tangannya yang berada begitu dekat
dengan Gento terhantam senjata pemuda itu.
Tung! Tang! Tung!
Terdengar suara berkerontangan. Gento
menjerit keras, gada yang dipergunakan untuk
memukul lawan nyaris terpental lepas dari tangannya. Kejut di hati pemuda ini bukan kepalang,
betapa tidak" Senjata di tangannya seakan menghantam potongan besi baja, walaupun sempat
tersurut mundur, namun Maut Biru tidak mengalami cidera sedikitpun. Malah mahluk mengerikan
itu sunggingkan seringai aneh. Dua kakinya melangkah mendekati Gento.
"Kampret betul. Kuhajar dengan pukulan
dia tidak cidera, kuhantam dengan senjata dia tidak mati. Mahluk terkutuk ini ternyata memiliki
kekebalan yang sangat luar biasa. Apa dayaku kini!" batin Gento dalam hati. Dia kemudian simpan senjata ke tempat semula.
Begitu melihat empat
kepala mahluk mengerikan ini dia punya dugaan
mungkin kelemahan Maut Biru terletak di bagian
kepala. Sehingga dia pun kemudian melompat
tinggi, begitu tubuhnya meluncur dalam posisi
berdiri, dua kaki langsung ditendangkan ke depan
tepat di bagian kepala Maut Biru. Tepat seperti
dugaannya, begitu melihat kaki lawan melesat ke
bagian kepala disertai sambaran angin deras
Maut Biru melompat ke samping sambil lindungi
empat kepalanya.
"Rupanya hanya tangan dan tubuhmu saja
yang atos, sedangkan kepalamu empuk. Akan
kuhancurkan empat kepalamu!" teriak si pemuda sambil terus memutar arah tubuhnya
ke arah di mana lawan berada. Selagi dua tangan sibuk melindungi ke empat kepala itu, maka dua tangan
yang lainnya secara tak terduga menyambuti tendangan kaki lawan. Sepuluh jari dijentikkan. Sepuluh larik sinar biru menderu bergulung melibat
kaki Gento. Dalam keadaan mengambang di udara mendapat serangan ini tentu saja Gento tak
dapat berbuat banyak. Satu-satunya yang dapat
dilakukan pemuda ini adalah menggunakan tenaga luncuran kakinya sendiri dengan mengayunkan kaki yang tadinya menendang berbalik ke
atas. Sangat disayangkan secepat apapun gerakan penyelamatan itu dilakukannya, sepuluh larik sinar biru yang sebenarnya merupakan lempengan tipis bergerigi menyerupai plat baja telah menggulung tubuhnya mulai
ujung kaki hingga
ke bagian bahunya.
Tak ayal pemuda ini pun jatuh bergedebukan. Pemuda ini meraung hebat, bukan karena lilitan lempengan tipis bergerigi itu, melainkan akibat hawa dingin yang menjalar
dari lempengan seperti spiral yang mengikat tubuh Gento menyengat tubuhnya. Pemuda ini tentu tidak mau
mati konyol dengan tubuh membeku, diam-diam
dia kerahkan tenaga luar dalam untuk memutuskan pilinan yang membelit tubuhnya. Tapi lagi-lagi dia0 dibuat tercengang karena lempengan
tali yang mengikat tubuhnya ternyata tidak dapat
diputuskan. "Hik... hik... hik! Sekarang kau bisa berbuat apa" Kau akan kuseret dan kujebloskan ke
dalam ruangan khusus sebelum Yang Agung
menjatuhkan hukuman atasmu!" kata Maut Biru
sambil tersenyum mengejek.
"Maut Biru... sebelum kau membawaku ke
Kuil Setan, aku punya satu pertanyaan untukmu!" kata Gento.
"Sebenarnya aku tidak pernah menjawab
pertanyaan siapapun. Apalagi seorang tawanan
sepertimu." kata Maut Biru. "Tapi untukmu tidak mengapa, apa yang hendak kau
tanyakan lekas katakan"!" ujar Maut Biru tidak sabar.
"Pertanyaanku mudah saja. Di dalam Kuil
Setan apakah kau pernah melihat seorang gadis
berpakaian putih, namanya Ambini, cantik mempesona." ujar Gento menerangkan ciri-ciri gadis itu. "Hik... hik... hik. Begitu
banyak gadis mati penasaran di Kuil Setan. Di antaranya ada yang
dijadikan korban persembahan di malam Sabtu
Kliwon. Korban akan terus diberikan untuk Yang
Agung, mungkin gadis yang kau sebutkan akan
dijadikan korban berikutnya!" kata Maut Biru.
"Jahanam terkutuk. Aku tidak bertanya
padamu tentang segala macam persembahan,
yang kau harus jawab apakah sahabatku Ambini
ada di dalam sana?" teriak Gento sambil meronta-ronta, "Mengenai temanmu itu,
hik... hik... hik.
Aku melihatnya berada di salah satu ruangan penyiksaan. Kulihat dia dibawa oleh seorang lakilaki berpakaian merah bertangan hitam legam."
menerangkan Maut Biru.
Terkejutlah pemuda ini mendengarnya, sekujur tubuh Gento mendadak berubah menegang,
dadanya bergemuruh. Wajah pemuda itu merah
padam menahan marah, sedangkan rahangnya
bergemeletukan. "Berpakaian merah bertangan
hitam! Hemm... siapa lagi orang dengan ciri-ciri
seperti yang disebutkan oleh mahluk terkutuk ini
kalau bukan Si Tangan Sial!" geram si pemuda.
Dia mencoba berpikir, mereka-reka apa kiranya
gerangan yang terjadi pada sahabatnya Si Tangan
Sial sehingga dia begitu tega menculik dan melarikan Ambini ke tempat laknat ini. "Dalam keadaan waras pikiran tak mungkin
paman Tangan Sial melakukan tindakan sekeji itu. Melalui pesan yang ditinggalkan dia bahkan
mengatakan menginginkan diriku. Keparat mana lagi ini yang
punya ulah?" gerutu si pemuda.
"Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang kau harus ikut denganku!" kata Maut Biru.
Selesai berkata tanpa memberi kesempatan pada
Gento untuk bicara dia langsung menyambar tubuh si pemuda. Gento kemudian merasakan tubuhnya laksana dibawa terbang melewati gumpalan kabut yang menyelimuti Kuil Setan.
10 Datuk Labalang dibaringkan di atas sebuah meja batu panjang berwarna hitam. Tubuhnya selain dalam keadaan terikat benang merah
juga dalam keadaan tertotok. Sehingga sedikit
pun Datuk yang memiliki badan tinggi luar biasa
tak dapat digerakkan sama sekali.
Kini dalam keadaan tidak berdaya kakek
setinggi galah hanya dapat memandang dengan
mata mendelik ke arah sosok merah berleher dan
berkepala empat yang terus mengawasinya. "Mahluk jahanam terkutuk. Cepat
lepaskan aku!" seru Datuk Labalang dengan suara keras menggeledek.
Mahluk yang memiliki tubuh serba merah dan dikenal dengan julukan Maut Merah hanya sunggingkan seringai mengejek.
"Aku Maut Merah hanya patuh pada perintah Yang Agung. Perintahmu tidak berlaku bagi
diriku!" sahut sosok berkepala empat bermata tunggal pada masing-masing
wajahnya. Melihat sikap dan jawaban Maut Merah kegeraman si kakek tinggi semakin menjadi-jadi.
Tubuh si kakek kemudian menggeliat mencoba
melepaskan totokan yang bersarang di bagian
punggung dan juga kakinya. Usaha yang dilakukannya ini tidak mendatangkan hasil, malah empat benang merah yang melibat tubuhnya akibat
adanya pergerakan membuat si kakek merasa
semakin sulit bergerak.
"Mahluk terkutuk ini menggunakan benang
apa" Semakin aku menggerakkan tubuhku benang semakin menyusut. Libatan benang ini bisa
memotong daging dan tulangku." Membatin Datuk Labalang. Dia terdiam sejenak, mencoba berpikir mencari jalan keluar. "Mungkin segalanya baru bisa ku atasi jika aku dapat
membebaskan totokan laknat di punggungku. Sambil tetap
memperhatikan gerak-gerik mahluk merah yang
berdiri tak jauh di sampingnya, diam-diam si kakek tinggi kerahkan tenaga dalamnya. Hawa panas mengalir deras dari bagian pusarnya. Di sinilah pusat pengendalian tenaga dalam bersumber.
Tak lama kemudian tenaga dalam yang mulai
mengalir deras ke sekujur tubuhnya langsung diarahkan ke bagian punggung serta kaki yang ditotok lawannya. Bess! Bees! Terdengar suara letupan dua kali berturutturut, totokan berhasil dipunahkan di luar sepengetahuan mahluk merah. Datuk Labalang, salah
satu pentolan tokoh sakti dari tanah Andalas merasa lega. Begitu merasa tubuhnya bebas bergerak dan aliran darah di sekujur tubuhnya menjadi normal kembali, maka Datuk Labalang segera
menghimpun tenaga saktinya untuk memutuskan
empat benang merah yang melibat dan mengikat
ketat tubuhnya. Si kakek menarik nafas. menghitung sampai pada bilangan ketiga. Otaknya berpikir begitu benang dapat diputuskannya, maka
kaki kirinya yang berada dekat dengan Maut Merah segera dihantamkan. Satu hantaman dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi masakan tidak
mampu membuat tubuh Maut Merah hancur. Paling tidak membuat mahluk menjijikkan itu terluka parah. Apalagi di bagian kakinya yang dialiri
tenaga dalam itu sengaja dipersiapkan satu tendangan maut yang mengandung racun ganas
mematikan. Datuk Labalang yang memiliki gelaran Datuk Penguasa Tujuh Telaga menahan nafas, dia
menghitung sampai pada bilangan ketiga. Setelah
itu seluruh kesaktian dan kemampuan dikerahkan, dipusatkan pada empat titik di mana empat
benang merah melibat tangan kaki juga perutnya.
Des! Des! Des! Dees!
Empat sentakan keras menghantam ke
empat benang dari bagian dalam. Asap tebal


Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengepul dari empat bagian benang yang dihantam kekuatan tenaga dalam. Semua ini luput dari
perhatian Maut Merah karena perhatian mahluk
berkepala empat itu sedang tertuju ke salah satu
pintu merah yang terdapat di seberang ruangan.
Akan tetapi kenyataan yang dihadapi Datuk Labalang sungguh membuatnya terkejut besar. Hantaman tanpa gerak tapi mengandalkan
tenaga sakti sama sekali tidak menghasilkan apaapa. Ke empat benang merah itu jangankan putus, bergeserpun tidak.
"Keparat terkutuk! Belum pernah aku melihat benang sekecil ini mengandung kesaktian
hebat. Padahal aku telah mengerahkan seluruh
tenaga sakti yang kumiliki. Dengan tenaga sebesar itu, aku sanggup membongkar gunung. Tapi
benang celaka ini sungguh tak bisa dianggap
mainan." rutuk Datuk Labalang. Kakek berusia sembilan puluh tahun ini tidak
sadar, bahwa akibat libatan benang merah yang mengandung
mantra-mantra gaib itu, dia tidak dapat menggunakan seluruh kesaktian yang dimilikinya. Empat
benang yang melibat tubuhnya melumpuhkan sedikitnya setengah dari seluruh kekuatan yang
ada. "Celaka... ini merupakan kecelakaan besar bagi seorang Datuk sepertiku.
Jika seteruku di
tanah Andalas tahu aku kena dikerjai oleh mahluk pengawal keparat itu, aku bisa mendapat malu besar. Mereka pasti akan mentertawai Datuk
Penguasa Tujuh Telaga! Sial betul rupanya hidup
ini." gerutu si kakek. Dengan mata nyalang Datuk Labalang melirik ke arah Maut
Merah. Dilihatnya
mahluk merah itu keluarkan suara racauan aneh.
Entah apa maksudnya ke empat mulut itu komatkamit seperti orang gila, si kakek tinggi tidak perduli. Di saat dirinya
mengalami jalan buntu seperti itu, mendadak dia ingat seseorang.
Seorang pemuda yang di pinggangnya dipenuhi kantong tempat makanan, berbadan hitam legam dipenuhi bulu, bermuka seperti monyet besar, berperut buncit, berpusar bodong.
Sang Datuk gelengkan kepala keras. "Mengapa
mahluk keparat tukang makan itu yang muncul
dalam pikiranku. Pembantu tolol seperti dia
mampus sekalipun tidak ku pikirkan!" rutuk sang Datuk. Tapi setelah ingat dengan
segala pengab-dian yang diberikan oleh Memedi Santap Segala
alias Mahluk Tangan Rembulan, kemarahan sang
Datuk agak mereda. Kini dia berkata lain. "Kasihan juga dia. Dia terperosok
dalam jebakan celaka itu semua semata-mata karena demi membantu diriku. Dia begitu jujur, polos dan bersikap apa adanya. Aku juga sering
bersikap kasar padanya.
Akh... Memedi Santap Segala, maafkan diri si tua
bangka ini. Mungkin aku telah banyak melakukan kesalahan padamu, sehingga nasibku jadi
seperti ini." kata si kakek setengah meratap. Sepasang matanya yang merah
membara bila berada dalam kegelapan kini berubah kuyu. Walaupun begitu hatinya tetap tegar. Apalagi dia punya prinsip, selalu terbuka
kesempatan dalam keadaan sesempit apapun.
"Kesempatan...! Kesempatan itu memang
sangat kutunggu!" kata sang Datuk.
Segala apa yang dipikirkan kakek setinggi
galah mendadak lenyap begitu terdengar satu suara mengguntur di dalam ruangan itu.
"Maut Merah! Aku berkenan menjumpai
mu, bila aku telah unjukkan diri maka katakan
segala apa yang ingin kau sampaikan!"
"Yang Agung! Yang Agung sudah datang!"
kata empat mulut dari mahluk aneh itu secara
serentak. Datuk Labalang segera menoleh dan
memandang ke arah suara menggeledek tadi Dia
masih belum melihat apa-apa. Tapi pintu merah
di seberang ruangan sana mengeluarkan suara
bergemeletakan seperti benda berat yang bergeser
dan melindas tulang-belulang. Kenyataannya pintu merah memang bergeser membuka, Semakin
lama semakin bertambah lebar. Sehingga di balik
pintu yang terbuka itu terlihatlah satu cahaya
merah menyilaukan memancar dari balik pintu.
Selain cahaya merah itu terlihat pula asap tebal bergulung-gulung keluar
memenuhi bagian depan
pintu batu tersebut.
Di samping Datuk Labalang, mahluk aneh
yang berdiri tegak di situ langsung jatuhkan diri berlutut menghadap ke arah
pintu yang terbuka.
Karena dia membungkukkan badan, maka dua
wajahnya yang lain yang menghadap ke belakang
kini nampak menghadap ke arah si kakek. Orang
tua ini menggeram begitu melihat dua mata dari
dua kepala yang nampak berkedip-kedip. Dengan
cepat dia meludahi wajah Maut Merah.
"Jahanam keparat! Kau meludahi dua wajahku yang lain. Kelak kematianmu akan kubuat
sesulit mungkin!" geram Maut Merah. Dalam keadaan menyembah memberi hormat dia
melompat menjauh dari meja batu di mana Datuk Labalang
tergeletak di situ. Rupanya dia takut si kakek setinggi galah meludahinya lagi.
Datuk Labalang tertawa tergelak-gelak, sementara tatap matanya
tetap tertuju ke arah pintu di seberang ruangan
yang terbuka. "Maut Merah," kembali satu suara berkumandang. "Aku mencium bau mahluk lain, tidak satu tapi ada beberapa orang,"
"Benar Yang Agung. Sekarang aku menunggu keputusanmu!" sahut mahluk merah berkepala empat. Dia kemudian angkat dua kepalanya yang menghadap ke depan. Sementara itu
dari dalam pintu yang terbuka muncul satu sosok
samar di antara siraman cahaya serta kepulan
asap tebal. Semakin lama sosok itu semakin
mendekati mulut pintu. Sampai di depan pintu
dia berdiri tegak. Datuk Labalang kini dapat melihat satu sosok berjubah merah mirip mantel yang
bagian atasnya menutupi kepala sosok itu. Jubah
sosok itu panjang menjela sehingga bagian kakinya tidak kelihatan tertutup jubah. Dua lengan
jubahnya terkembang, bagaikan burung rajawali
yang merentangkan sayapnya. Lengan jubah itu
sangat lebar dan longgar sekali. Sungguh pun begitu Datuk Labalang dapat melihat bagian tangannya. Kedua tangan tidak dapat dikatakan tangan. Karena tangan itu sama sekali tidak terbalut kulit maupun daging. Tangan
itu hanya berupa
tulang memutih dengan tulang-tulang jari seperti
hendak bertanggalan. Bagian badan sosok itu
sama sekali tidak terlihat karena tertutup lapisan pakaian dalam yang juga
berwarna merah. Sedangkan wajah yang ditutupi topi jubah hanya
berupa tengkorak putih dengan dua buah rongga
mata yang menganga lebar dengan bagian hidung
gerumpung tak berdaging. Selain itu bagian giginya juga terlihat jelas, karena baik pelipis maupun bagian bibirnya tidak ada
sama sekali. "Sosok berjubah merah itu, tidak salahkan
penglihatanku" Tubuhnya hanya terdiri dari tulang-belulang, tanpa kulit tanpa daging. Tapi bagaimana dia bisa berjalan dan bisa bicara?" membatin sang Datuk dalam hati.
"Semuanya sungguh sulit untuk dapat kupercaya. Terlalu banyak
kejadian aneh di Kuil Setan ini?"
Untuk beberapa saat lamanya si kakek
tinggi tak berani bergerak apalagi keluarkan suara. Tengkuknya laksana es, sedangkan tubuh
orang tua itu berubah dingin. Perasaan tegang
dan cemas menjalari hati sang Datuk. Seumur
hidup baru kali ini dia merasakan takut yang demikian hebat. Kini dia hanya memandang, menunggu apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Di seberang ruangan sana, sosok berjubah
merah ternyata hentikan langkahnya setelah
sampai di ambang pintu. Dua rongga matanya
yang lebar menghitam memandang tak berkesip
ke arah Datuk Labalang. Seperti rongga yang kosong melompong itu memiliki mata saja sosok itu
berkata. "Apa yang dikehendaki oleh manusia
tinggi ini, Maut Merah sehingga dia begitu berani mempertaruhkan nyawanya dengan
datang ke si-ni?" "Yang Agung. Dia punya satu keinginan yaitu meminta pusaka
Bintang Penebar Petaka!"
sahut Maut Merah tanpa berani menatap pada
sosok tengkorak berjubah yang berdiri di ambang
pintu yang diselimuti asap tebal di seberang
ruangan sana. "Ha... ha... ha! Jika itu keinginannya, senjata laknat itu boleh kau serahkan padanya!" kata Yang Agung. Mendengar ucapan
sosok berjubah merah perasaan Datuk Labalang menjadi lega,
"Tapi Yang Agung...!" Maut Merah nampak berusaha membantah. Suaranya mendadak
lenyap karena yang Agung cepat memotong.
"Aku belum selesai bicara, Maut Merah.
Kau dengar Bintang Penebar Petaka boleh kau serahkan padanya, tapi nanti setelah nyawanya kau
kirim ke neraka. Tua bangka itu tubuhnya sangat
panjang sekali. Jika dijadikan kayu bakar untuk
membuat sebuah senjata tentu sangat baik sekali!
Ha... ha... ha." kata Yang Agung.
Di tempatnya tergeletak di mana sang Datuk merasa dirinya tidak berdaya merutuk. "Mahluk jahanam celaka. Sekarang kau
boleh bicara sesuka hatimu. Tapi begitu aku dapat kesempatan melepaskan diri, Kuil Setan ini akan ku ratakan dengan tanah dan tubuhmu yang terdiri dari
rongsokan tulang akan ku lebur jadi debu!"
"Lalu apa yang akan Yang Agung lakukan?"
tanya Maut Merah yang sama sekali tidak pernah
menoleh ke arah Datuk Labalang.
"Hak... hak... hak! Tahun ini aku akan
membuat satu pesta yang lain dari yang sudahsudah. Aku ingin membuat satu acara persembahan buat diriku sendiri di tempat terbuka di depan kuil. Kau perintahkan pada penjaga lainnya
untuk membuat api unggun besar. Bawa semua
orang tangkapan ke depan kuil. Terkecuali gadis
cantik berbaju putih yang dibawa sahabat muridku. Hukuman baginya belum ku putuskan. Pada
malam sabtu Kliwon ini aku ingin membasuh pusaka Bintang Penebar Petaka dengan darah para
tetamu yang tidak diundang! Tunggu apalagi
Maut Merah. Seret dia keluar!" perintah Yang Agung. "Perintah yang mulia
dilaksanakan!" jawab mahluk merah berkepala empat. Dengan dua tangannya yang
menghadap ke bagian punggung
Maut Merah menyeret Datuk Labalang keluar dari
dalam ruangan. "Mahluk jahanam. Aku diperlakukannya
seperti binatang. Kapan aku dapat meloloskan diri akan kupesiangi tubuhnya!" rutuk Datuk Labalang sengit. Tubuh si orang tua
yang panjang dan
besar terus diseret melewati lorong panjang dan
gelap. Sementara mahluk merah yang menyeretnya terus keluarkan suara racauan yang tidak jelas. Belum lagi sosok merah itu beranjak dari
depan pintu, di dalam ruangan itu muncul seorang pemuda berwajah buruk berpakaian merah
serta seorang gadis berpakaian tipis berwajah
cantik laksana bidadari. Kedua orang ini begitu
memasuki ruangan langsung membungkukkan
badan, rangkapkan dua tangan lalu menjura
hormat. Setelah itu baru keduanya duduk berlutut. "Dalam hidupnya manusia punya tiga kali kesempatan untuk meraih apa yang
diinginkan-nya. Kalian berdua adalah calon penguasa. Penguasa besar di dunia kegelapan. Aku tidak memanggil kalian untuk menghadap. Mengapa kalian datang ke ruangan ini?" tanya Yang Agung.
Si wajah buruk Maut Tanpa Suara dan si
cantik Dwi Kemala Hijau saling berpandangan
untuk beberapa jenak lamanya. Maut Tanpa Suara beringsut lebih ke depan. Sekali lagi dia lakukan sikap seperti orang
menyembah seorang raja.
11 Sekejap kemudian Maut Tanpa Suara sudah mengangkat wajahnya kembali. Mulut pemuda buruk rupa ini berucap. "Yang Agung, junjungan dari segala kehormatan. Terus
terang kami datang menghadap karena memang merasa
punya satu kepentingan yang harus dibicarakan.
Kepentingan itu menyangkut urusan sahabat kami Si Tangan Sial." ujar si pemuda berpakaian serba merah yang di bagian
keningnya terdapat
satu buah lubang menganga hitam dan di dalam
lubang di kening mendekam satu kepala mahluk
berupa ular berwarna hitam.
Sosok berjubah merah menjela yang ujudnya hanya terdiri dari tulang-belulang mengerikan dongakkan kepala, begitu
kepala memandang ke
langit-langit terdengar suara tulang bergemeretakan. "Apa yang diinginkan oleh sahabatmu itu anak manusia calon penguasa" Apakah
dia ingin kawin dengan mahluk alam roh, ataukah dia
menghendaki arwah seorang gadis yang mati penasaran?" tanya sosok berjubah merah Yang
Agung. "Bukan itu yang dia maui, Yang Agung."
kata Dwi Kemala Hijau ikut menimpali. "Sahabat kami itu menghendaki senjata


Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bintang Penebar
Petaka! Hanya engkau yang punya kuasa di tempat ini, aku sama sekali tidak bisa memutuskan!"
"Hak... hak... hak!" Sosok mengerikan itu tertawa tergelak-gelak, rongga matanya
yang bo-long melompong memperhatikan dua muridnya
silih berganti.
"Si Tangan Sial!" berkata Yang Agung. "Sa-tu nama yang sepanjang hidupnya
dirundung kemalangan. Aku tahu dia masih sahabat kalian.
Tapi terus terang senjata yang dimintanya tak dapat kuberikan." kata sosok merah bertopi mantel merah sambil gelengkan kepala.
Mendengar jawaban guru mereka, sekaligus sesepuh yang paling dihormati di Kuil Setan
tentu saja Maut Tanpa Suara jadi terkejut. Dia
yang sangat memperhatikan permintaan Si Tangan Sial tentu menjadi heran mengapa Yang
Agung tak dapat meluluskan permintaannya. Sebaliknya Dwi Kemala Hijau hanya bersikap tenang saja. "Yang Agung, engkau adalah guruku. Junjungan dari para setan gentayangan, panutan dari
para roh sesat. Mengapa tidak dapat meluluskan
permintaan sahabatku itu?" tanya Maut Tanpa
Suara seakan merasa tidak puas dengan jawaban
gurunya. "Apakah yang dimintanya?" tanya Yang
Agung lagi. "Seperti yang sudah kukatakan, dia meminta senjata Bintang Penebar Petaka!" sahut Maut Tanpa Suara.
Sosok berjubah merah yang masih tetap
berdiri di depan pintu yang terus-menerus diselimuti asap tebal bergulung-gulung terdiam sejenak. Dari mulutnya yang cuma berupa gigi-gigi
memutih terdengar suara bergumam. Suara itu
terus terdengar sampai kemudian terhenti sendiri.
Setelah itu Yang Agung kembali ajukan pertanyaan. "Sahabatmu itu kulihat begitu dekat dengan dirimu. Aku ingin tahu senjata
itu diperguna- kan oleh siapa dan untuk tujuan apa?"
Mendapat pertanyaan seperti itu Maut
Tanpa Suara menjawab seperti apa yang dikatakan oleh Si Tangan Sial. "Senjata itu akan dipergunakan oleh Si Tangan Sial
untuk membunuh musuhnya yang bernama Dewa Penyanggah Langit." ujar pemuda buruk rupa ini.
"Mengapa dia hendak membunuh mahluk
yang satu itu?" Yang Agung kembali ajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu. Tapi menurutnya dia
punya persoalan pribadi dengan orang itu. Mungkin sahabatku Si Tangan Sial tak sanggup menghadapi manusia sakti itu hingga dia minta bantuanku!" "Ha... ha... ha! Aku Yang Agung, aku adalah penguasa. Muridku Maut Tanpa
Suara, aku punya firasat sahabatmu itu kali ini telah berani menipu. Semua alasan yang
dikatakannya tidak
benar. Senjata itu bukan untuk dipergunakannya
untuk menghadapi Dewa Penyanggah Langit. Dia
tak punya silang sengketa dengan tokoh dari timur itu. Ya... aku kini melihat, Si Tangan Sial sahabatmu itu sebenarnya sedang
berada di bawah
tekanan seseorang. Seseorang yang menghendaki
senjata pembawa petaka. Si Tangan Sial menjumpai mu itu adalah manusia yang sedang sakit.
Kau harus menangkapnya, kau harus temukan
penyakitnya. Jika penyakit yang mendekam di
tubuhnya tak dapat kau temukan, sebaiknya bawa dia ke altar persembahan!" tegas Yang Agung.
Mendengar ucapan sosok berjubah merah,
bukan hanya Maut Tanpa Suara saja yang menjadi kaget, tapi Dwi Kemala Hijau juga terkesiap.
Dia tahu apa arti ucapan gurunya. Setiap orang
yang dibawa ke altar, berarti kematian orang itu
telah ditentukan. Karena itu si gadis berucap.
"Guru titah mu di atas segala. Tapi tidakkah guru punya pertimbangan lain. Jika
sahabat kami sedang sakit apakah tidak sebaiknya kita sembuhkan saja!" ujar si gadis.
Yang Agung mendengus. "Segala sesuatu
yang ada hubungannya dengan kalian jangan dikaitkan dengan diriku. Di Kuil Setan yang berlaku adalah peraturanku!" tegas
sosok berjubah merah. "Baiklah, lalu bagaimana dengan pemuda yang diringkus oleh
Maut Biru. Menurut penga-kuan Si Tangan Sial dia adalah salah seorang
musuhnya yang harus dibunuh!" tanya Maut
Tanpa Suara. "Ha... ha... ha. Ketika bicara sahabatmu itu sedang sakit, keadaannya antara
sadar dan tiada.
Padahal yang sesungguhnya mereka adalah bersahabat. Hanya temanmu itu telah terpengaruh
oleh satu kekuatan, kekuatan yang mendekam
dalam dirinya sehingga dia tidak dapat mempergunakan kewarasan otaknya untuk berpikir. Pemuda itu sebaiknya kau pendam di dalam ruangan penyiksaan. Kumpulkan dia bersama gadis
itu. Jika Tangan Sial telah kau tangkap, bawa laki-laki itu ke luar kuil ikat di satu tiang, setelah itu baru acara persembahan
terhadap diriku di-mulai." "Pemuda itu bagaimana guru?" tanya Dwi Kemala Hijau.
"Pemuda itu datang mencari sahabatnya
yang dilarikan Si Tangan Sial. Sama seperti yang
lainnya, mereka juga harus dikorbankan. Mereka
harus dibunuh. Jika kelak mereka mati, satukan
jasad mereka dalam satu kubur. Kesetiaan mereka satu sama lain sebagai seorang sahabat patut
menjadi contoh bagi kalian semua yang berada di
dalam kuil ini."
Maut Tanpa Suara terdiam sejenak. Setelah itu dia lalu kembali berkata. "Guru Yang Agung, jika saja aku boleh
meminta?" ujar si pemuda. "Katakan apa permintaanmu" Cepatlah,
waktuku tidak lama aku ingin beristirahat di
tempat keabadian." sergah Yang Agung.
"Begini, aku ingin sahabatku Si Tangan Sial dibebaskan dari kematian?" ujar Maut Tanpa Suara sangat berhati-hati sekali.
"Ha... ha... ha. Anak-anak manusia yang
tolol. Kau tidak tahu apa yang aku ketahui. Sahabatmu itu bisa saja terlepas dari apa yang telah menjadi keputusanku, asalkan
kau mau meng-gantikannya!" tegas Yang Agung.
Terkejutlah Maut Tanpa Suara mendengar
semua ini. Dia akhirnya diam membisu. Sementara Dwi Kemala Hijau sendiri diam-diam di hatinya
timbul keinginan untuk melihat pemuda yang
oleh gurunya disebut-sebut sebagai sahabat seorang gadis bernama Ambini.
"Murid-muridku, apa yang kalian tanyakan
telah pun kalian ketahui jawabannya. Pesanku,
bersihkan bagian dalam maupun di bagian luar
Kuil Setan dari orang-orang yang menginginkan
senjata Bintang Penebar Petaka. Jika mereka semua telah kalian tangkap, kumpulkan di depan
pintu kuil. Nantinya mereka semua harus dibunuh!" tegas Yang Agung.
"Perintah Yang Agung akan kami jalankan!"
jawab Dwi Kemala Hijau dan Maut Tanpa Suara
serentak. Sosok tengkorak yang memakai jubah merah ini tertawa tergelak-gelak. Dia kemudian balikkan badan. Setelah itu sosok Yang Agung melangkah menjauhi pintu. Sosok berjubah merah
ini kemudian lenyap di balik gemerlap sinar merah bertaburan juga gumpalan asap tebal. Pintu
batu serba merah perlahan bergeser menutup
disertai dengan getaran dahsyat menggemuruh.
Maut Tanpa Suara beberapa saat lamanya tenggelam dalam kebisuan. Dwi Kemala Hijau menarik
nafas pendek, dia lalu bangkit berdiri.
"Engkau hendak berada di sini selamanya,
saudaraku?" satu pertanyaan meluncur keluar
dari bibir mungil si gadis.
Perlahan pemuda berwajah buruk itu angkat kepala, sepasang matanya memandang ke
arah si gadis. Penampilan serta pakaian tipis yang dikenakan gadis cantik itu
sejenak lamanya sempat mempengaruhi jalan pikiran dan juga perasaannya hingga membuat tubuh pemuda itu bergetar dilanda luapan gairah.
"Saudara seperguruan apakah kau tidak
mengerti"!" Kali ini suara si gadis cukup keras hingga membuat Maut Tanpa Suara
tersentak kaget. "Aku... aku... mestinya sahabat Tangan Sial tak perlu mati. Aku
tak ingin melihat kematian-nya. Saat ini aku ingin menyendiri di tempat ini!"
kata pemuda itu. Dwi Kemala Hijau gelengkan
kepala. "Tidak! Kau tidak boleh berada di sini. Kau harus mencari dan menangkapi
orang-orang yang
berkeliaran di tempat kita ini! Sekarang juga kau harus pergi. Sementara aku
sendiri nanti akan
membuat persiapan untuk pesta acara persembahan yang nantinya akan dihadiri oleh para mahluk gentayangan untuk menghormati Yang
Agung!" ujar si gadis tegas.
"Baiklah, atur segalanya. Jika jalan pikiranku tak pernah berubah aku pasti ikut membantu!" jawab Maut Tanpa Suara. Dia kemudian memandang ke arah si gadis. Tapi
ternyata gadis itu sudah lenyap dari hadapannya. Maut Tanpa
Suara akhirnya hanya menarik nafas pendek
sambil tinggalkan ruangan itu.
12 Diam menunggu di balik gerumbulan semak belukar si kakek gendut Gentong Ketawa jadi
gelisah sendiri. Untuk yang kesekian kalinya dia
memandang ke arah kuil yang terletak di tengah
pedataran puncak bukit. Kuil Setan tetap tak kelihatan, tertutup dalam saputan kabut tebal yang
terus bergulung-gulung tak mau diam bagaikan
pusaran air. "Bocah keblinger tadi mengapa tak kunjung muncul. Apa yang dilakukannya di sebelah
timur kuil itu" Mungkin benar dia melibat bayangan biru keluar dari kegelapan kabut yang menyelimuti kuil. Lalu dia menemukan sesuatu, boleh
jadi dia bertemu dengan seseorang. Tapi siapa
yang dijumpainya, gadis cantik atau setan gentayangan penunggu kuil itu"!" Si kakek gendut membatin dalam hati. Dia kemudian
memandang ke arah timur puncak bukit, bayangan muridnya
ternyata masih belum terlihat sama sekali. Si kakek gelengkan kepala. "Bocah edan, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin
dia bertemu dengan seorang gadis cantik. Aku tahu pemuda
seusia dia pasti suka iseng, apalagi bila bertemu dengan gadis jelita. Jikapun
benar aku tidak ambil perduli. Yang aku khawatirkan bagaimana jika
terjadi sesuatu dengannya" Di tempat seperti ini
apapun bisa saja terjadi secepat orang membalikkan telapak tangan." kata si gendut seorang diri.
Beberapa saat menunggu, si kakek jadi tidak sabar. Dia kemudian bangkit berdiri.
"Iblis Racun Hijau juga manusia sialan.
Janjinya hendak menyusul ke sini. Tidak tahu
sampai sekarang dia tidak muncul juga! Dia ingkar janji, awas jika nanti dia muncul di sini akan kubuat tubuhnya yang hijau
menjadi hitam!"
Dengan bersungut-sungut si kakek tinggalkan
tempat persembunyiannya. Orang tua ini lalu
berkelebat ke arah sebelah selatan Kuil Setan.
Tak berapa lama kemudian dia di satu tempat di
mana dia melihat satu pemandangan yang sempat
membuatnya jadi terkejut.
"Sepertinya telah terjadi pertempuran sengit di sini. Aneh mengapa aku sampai tidak mendengar, padahal jarak tempat ini dengan tempatku bersembunyi tadi tidak begitu jauh." batin si kakek. Merasa yakin muridnya
telah terlibat sa-tu perkelahian sengit di tempat itu. Lama Gentong Ketawa
berdiri tegak, sedangkan matanya memandang berkeliling, liar mencari-cari. Sosok
sang murid tidak juga terlihat hingga menimbulkan satu kekhawatiran yang sangat luar biasa.
Bagaimana pun si kakek merasa sangat sayang
pada Gento, walaupun rasa sayang itu terkadang
tidak pernah diperlihatkan secara terangterangan. Sejak Gento masih kecil, mereka sudah
akrab karena antara murid dan guru ini banyak
memiliki persamaan dalam hal prilaku. Cemas
dengan kemungkinan buruk yang terjadi dengan
Gento Guyon maka si kakek gendut mulai berteriak memanggil-manggil muridnya.
"Gege... di manakah kau" Gege, kau dengarkah suaraku ini?" seru si kakek sambil memperhatikan setiap penjuru sudut.
Gema suara te- riakan si kakek lenyap begitu saja, suara angin
menderu tiada henti bagaikan suara siulan mahluk-mahluk gentayangan penghuni bukit. Sejenak
si gendut terdiam, sepasang matanya terus mengawasi. Karena dia tak kunjung mendapat jawaban, si gendut Gentong Ketawa dengan perasaan
jengkel kembali berteriak. "Gege, bocah edan. Ku-harap kau tidak mempermainkan
tua bangka ini.
Aku sudah sangat lelah menunggu. Kalau kau
mendengar suaraku, sebaiknya cepat kau ke mari!" Kembali suara teriakan lenyap tidak berbekas. Kini dia mulai merasa yakin ada sesuatu
yang tidak beres telah terjadi pada diri sang murid. Membayangkan segala kemungkinan yang
dapat membahayakan keselamatan muridnya, kini si kakek gendut nampaknya harus masuk ke


Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam kuil menembus kepekatan kabut yang menyelimuti kuil itu. Tapi si kakek mendadak menjadi bimbang. Dia berpikir bagaimana andai di balik kabut itu ada jebakan atau bahaya lain yang
sudah menunggu. Jika dia sampai terjebak, bukan saja dia tidak dapat menyelamatkan Gento,
tapi bisa jadi dirinya juga bisa ikut celaka.
"Setan. begini sulitkah keadaannya?" gerutu si kakek seorang diri. Dia lalu
bicara lagi. "Ke-raguan tidak akan pernah menyelesaikan satu
masalah. Jikapun nantinya aku harus menyabung nyawa di Kuil Setan bagiku tidak menjadi
masalah, asalkan Gento dapat kutolong. Paling tidak aku bisa melihat bocah konyol keblinger itu
sebelum aku menutup mata, lagi pula aku sudah
tua ini. Buat apa aku takutkan segala kematian"!
Ha... ha... ha." Si kakek gendut berkata dan tertawa sendiri.
Selagi orang tua ini terkikik-kikik sambil
memegangi perut gendutnya yang bergoyanggoyang, pada detik itu pula dari balik kabut yang menyelimuti Kuil Setan
terdengar suara teriakan
seseorang. "Monyet gendut tidak berguna, apa yang
kau cari di situ" Mencari muridmu si monyet
gondrong yang tolol itu" Ha... ha... ha. Kini dia tidak ubahnya seperti seorang
pesakitan yang hanya tinggal menunggu diadili." Suara teriakan lenyap. Di balik kabut terdengar
suara deru angin keras. Kabut yang menyelimuti Kuil Setan tersibak, sehingga
sebagian bangunan kuil terlihat jelas. Bersamaan dengan tersibaknya kabut itu dua
sosok bayangan tampak berkelebatan keluar, bergerak cepat ke arah si kakek gendut kemudian jejakkan kakinya sejarak satu tombak di depan
orang tua itu. Sementara itu kabut yang sempat
terbuka tadi kini menutup kembali.
Beralih dari segala keanehan yang terjadi
pada kabut tadi, kini si kakek Gentong Ketawa
melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki berpakaian merah bertangan
hitam macam arang,
sedangkan di sebelah laki-laki itu berdiri satu sosok bertelanjang dada dengan
sekujur tubuh berwarna kuning. Yang aneh juga mengerikan pada
sosok ini, baik tangan maupun kakinya ditumbuhi sisik kasar, selain itu dia juga mempunyai empat leher panjang, pada masing-masing leher terdapat satu kepala sebesar kepalan tangan orang
dewasa. Empat kepala itu hanya memiliki satu
buah mata, terletak di tengah-tengah kening. Bagian hidung nyaris rata dan hanya memiliki satu
lubang. Sedangkan mulutnya sangat kecil sekali,
dengan gigi-gigi yang runcing tajam seperti taring.
Sungguhpun si kakek gendut sempat terkejut melihat kemunculan mahluk serba kuning
ini. Tapi karena kedatangan mahluk aneh ini bersama seseorang yang cukup dikenalnya. Sedikit
banyaknya rasa takut yang mendera dirinya sedikit berkurang. Kini perhatian si kakek gendut tertuju ke
arah laki-laki berpakaian serba merah. Lama dia
pandangi orang tua itu, melihat mata serta wajah
orang ini timbul satu tanda tanya besar di hati si kakek gendut. "Tangan Sial
yang kulihat hari ini mengapa sangat lain dari yang sudah-sudah. Mukanya pucat
seperti orang kurang makan, mata
cekung kelelahan. Tapi mata itu menerawang kosong! Aku menduga mungkin telah terjadi sesuatu yang sangat hebat pada dirinya." kata si gendut dalam hati.
"Tangan Sial" Bagaimana kau tiba-tiba bisa
muncul di sini" Kau rupanya telah berkomplot
dengan sekumpulan setan penghuni kuil?" tanya si kakek gendut sambil menatap si
baju merah Tangan Sial dan sosok serba kuning berkepala
empat silih berganti.
"Ha... ha... ha, seperti yang sudah kukatakan kau monyet gendut tidak berguna. Kau berputar di sekitar sini mencari muridmu, padahal
saat ini si Gento Guyon mungkin tubuhnya telah
menjadi sate dicabik-cabik oleh penguasa Kuil Setan! Ha-ha... ha!" kata Si Tangan Sial.
Melihat sikap serta tutur kata Si Tangan
Sial yang sudah tidak lagi menggunakan tata
krama dan aturan, si kakek gendut sadar kalau
telah terjadi sesuatu yang tidak beres pada sahabatnya itu. Bukannya tersinggung, Gentong Ketawa malah tertawa tergelak-gelak.
"Tangan Sial, kalau kuperturutkan kata
hatiku, ingin rasanya kurobek kau punya mulut.
Jika ku turuti amarah, ingin pula kupecahkan
batok kepalamu. Tapi... ha... ha.., ha... kita adalah sahabat. Seorang sahabat
harus tetap sabar
mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh
sahabatnya. Apalagi si sahabat saat ini sedang
menderita sakit ingatan." kata Gentong Ketawa.
Mulutnya memang tetap tertawa, namun saat itu
otaknya bekerja keras. "Dia mengatakan Gege sudah terperangkap di dalam Kuil
Setan. Tapi aku
harus tahu tentang Ambini, barangkali Si Tangan
Sial yang benar-benar manusia sialan ini mengetahui keberadaan gadis itu. Si gendut usap wajahnya, sambil tersenyum dia lalu ajukan pertanyaan. "Tangan Sial, mengenai muridku kurasa sekarang sudah menjadi dendeng.
Kulihat kau mengenai kuil ini. Jika kau mengetahui selukbeluk Kuil Setan kurasa kau punya hubungan
tertentu dengan pemiliknya. Hem... ada satu hal
yang ingin kutanyakan padamu, apakah kau tahu
di mana Ambini?" tanya si kakek gendut.
Si Tangan Sial sempat berubah parasnya
begitu mendengar pertanyaan Gentong Ketawa,
dia sempat melirik ke arah sosok serba kuning
berkepala empat yang dikenal dengan nama Maut
Kuning. Mahluk mengerikan bertangan empat
dengan ujud yang tidak sempurna ini mengeluarkan suara gerengan dari empat mulutnya, karena gerengan itu terdengar serentak maka suaranya laksana merobek langit menggetarkan puncak bukit. Jika orang lain mungkin langsung lari terbirit-birit melihat dan mendengar erangan mahluk
itu, sebaliknya Gentong Ketawa malah tertawa
terbahak-bahak.
Beberapa saat setelah dia hentikan tawanya si gendut berkata. "Tangan Sial, kau tidak tuli, kau juga tidak gagu.
Jawab pertanyaanku
atau kau ingin mahluk salah kaprah ini yang
memberikan jawaban atas semua yang kutanyakan?" ujar si kakek, walaupun dia masih bisa tertawa, namun yang sebenarnya dia sudah tidak
dapat menahan kejengkelannya.
Di depan sana Si Tangan Sial menyeringai.
Dia melangkah maju. Setelah itu bibirnya membuka berucap. "Melihat pada tampangmu aku lu-pa-lupa ingat. Tapi setelah
mendengar pertanyaanmu, baiknya sebelum kau juga menjadi
tumbal dan mendapat perlakuan keji dari mahluk
sahabatku ini ada baiknya kujawab pertanyaanmu itu." kata Si Tangan Sial telah berada dalam pengaruh kekuatan Jarum
Penggendam Roh milik
Begawan Panji Kwalat. Tak lama kemudian dia
melanjutkan. "Gadis cantik yang bernama Ambini itu saat ini sedang berada di
dalam ruangan penyiksaan. Jika nasibnya baik, dia dan muridmu
akan dikorbankan pada tujuh malam mendatang
tepat bulan sabit sembilan hari. Yang Agung akan
memimpin upacara itu. Aku menjadi saksi atas
kematian seorang anak manusia celaka yang bernama Gento Guyon. Jika kau ingin menjadi saksi
atas kematian muridmu itu akan lebih baik. Namun jika kau menolak." Si Tangan Sial melirik ke arah Maut Kuning. "Sahabatku
Maut Kuning akan meringkusmu. Murid dan guru akan dijadikan korban persembahan untuk memuji kebesaran Yang Agung. Sungguh tragis tapi juga merupakan tontonan yang menarik! Ha... ha... ha...."
Gentong Ketawa menyeringai mendengar
ucapan Si Tangan Sial yang sudah dianggapnya di
luar kesadaran, tapi di bawah pengaruh jahat
orang lain. Walaupun saat ini amarahnya sudah
sampai di ubun-ubun namun dengan sikap tenang dia berkata. "Kematian yang direncanakan oleh penguasa Kuil Setan memang
sungguh menyedihkan bagi kami antara murid dan guru. Jika
itu sudah menjadi suratan nasib, agaknya kami
antara murid dan guru perlu memuaskan diri
dengan tertawa. Ha... ha... ha." Untuk beberapa saat lamanya tawa si kakek
gendut memenuhi
seantero penjuru puncak bukit. Mendadak tawa si
kakek gendut lenyap, dia kemudian menuding ke
arah mulut Si Tangan Sial. Saat itu jarak di anta-ra keduanya terpaut lebih
kurang dua tombak.
Tapi Si Tangan Sial menjadi kaget ketika dia merasakan jemari tangan Gentong Ketawa seolah
menyodok gigi depannya hingga membuat orang
tua ini jadi terhuyung ke belakang. Belum lagi hilang rasa kaget di hati Si
Tangan Sial, kakek gendut di depannya kembali berucap. "Tangan Sial, sahabatku
salah kaprah. Menurutku Ambini tak
pernah mengenal tempat ini. Kalau dia sampai
kesasar ke tempat ini tentu bukan karena otaknya ikutan jadi tidak waras sebagaimana dirimu.
Aku yang sudah pikun ini jadi ingin tahu, apakah
kau yang telah membawanya ke tempat ini?"
tanya si kakek gendut.
Si Tangan Sial tertawa tergelak-gelak mendengar pertanyaan Gentong Ketawa. Dia lalu
menjawab. "Memang aku yang membawanya ke
mari. Aku pula yang bermaksud membunuh muridmu Gento Guyon."
"Bagus. Jika otakmu benar hal itu kukira
tidak pernah terjadi. Kurasa yang membuatmu
hendak melakukan tindakan sekeji itu pasti atas
perintah seseorang. Sebelum aku terlanjur jadi
arwah gentayangan dapatkah kau katakan siapa
adanya orang itu?" pancing Gentong Ketawa.
"Nantinya kau pasti akan tahu setelah
rohmu pindah ke akherat!" sahut Si Tangan Sial.
"Pembicaraan di antara kalian kuanggap
cukup." Satu suara dengan nada tidak senang berucap. Ketika si gendut menoleh
ternyata yang baru saja bicara adalah Maut Kuning. Kepala
mahluk mengerikan itu keempatnya menoleh dan
memandang ke arah Si Tangan Sial. Kepada orang
tua berpakaian serba merah ini dia berkata. "Aku hendak meringkus orang gendut
ini apakah kau punya usul lain wahai tetamu Kuil Setan?" tanya Maut Kuning.
"Untuk menangkap gendut gila ini kurasa
aku sendiri sanggup melakukannya. Terkecuali
bila aku tak sanggup menghadapinya dalam sepuluh jurus, tugas selanjutnya kuserahkan padamu, sobat Maut Kuning." jawab Si Tangan Sial.
Pada kesempatan itu mendadak Si Tangan
Sial merasakan bagian leher dan bahunya kanan
kiri mendadak diserang rasa sakit yang sangat
hebat. Dari bagian yang ditanami jarum maut
Penggendam Roh terasa dingin bukan kepalang.
Seiring dengan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Lapat-lapat seakan datang dari sebuah tempat yang sangat jauh beribu mil dari mendengar
suara orang mengisiki. "Tangan Sial, tugasmu
menjadi semakin ringan. Kau hanya tinggal mencuri senjata Bintang Penebar Petaka. Saat ini muridku Lira Watu Sasangka bergelar Panji Anom
Penggetar Jagad sudah berada di sekitarmu. Jika
kau bertemu dengannya kau pasti dapat mengenali, orangnya masih muda dan memakai pakaian
serba merah." Suara kisikan lenyap. Si kakek gendut Gentong Ketawa yang sempat
terheran-heran tiba-tiba berteriak.
"Tangan Sial, baru saja kau mendapat petunjuk dari junjunganmu bukan" Kau kini menjadi seorang budak. Kasihan sekali nasib dirimu.
Andai saja aku tahu dan dapat mencari tahu di
mana letak benda laknat itu ditanam di bagian
tubuhmu, aku pasti bisa membuat otakmu jadi
terang, aku bisa membuatmu dapat mengingat.
Tapi aku tak mungkin dapat melakukan semua
itu. Muridku kini tak kuketahui bagaimana nasibnya, begitu juga sobat kami Ambini. Daripada
membuang waktu, sebaiknya kau dan mahluk
berbadan kuning tadi itu maju bersama-sama!"
teriak Gentong Ketawa.
"Tangan Sial, dia sudah berkata begitu
mengapa kita tak maju sama-sama sekalian!"
Empat mulut Maut Kuning berteriak. Jika satu
mulut saja yang bicara sudah menimbulkan suara hingar bingar hingga membuat sakit telinga
yang mendengarnya. Apalagi kini ke empat mulut
terbuka serentak. Puncak bukit gersang itu terguncang keras laksana mau meledak. Gentong
Ketawa dan Tangan Sial sendiri terpaksa menutup indera pendengaran melalui pengerahan tenaga dalam. "Maut Kuning, sudah kukatakan aku yang
akan menangkap gendut keparat ini. Jika kau tidak patuh pada perintahku aku terpaksa melaporkanmu pada Yang Agung!"' teriak Si Tangan Sial marah, karena Maut Kuning


Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap membuat pengang kedua telinganya. Mendapat
ancaman begitu rupa mahluk berkepala empat
jadi surut ke belakang dua langkah. Wajahnya
yang tegar langsung berubah mengerut dan menjadi kisut. Mata tunggalnya berkedap-kedip, pertanda dia benar-benar dilanda ketakutan.
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan.
Jangan kau laporkan aku pada Yang Agung!" rintih Maut Kuning dengan suara
memelas. "Bagus kalau kau tahu gelagat!" dengus
Tangan Sial. Dia kemudian membalikkan tubuh
hingga kini berhadapan dengan si kakek gendut
Gentong Ketawa. Dengan sikap angkuh Si Tangan
Sial berucap. "Kuberi kesempatan padamu untuk menyerangku. Jika kau tak sanggup
membuatku cidera apalagi tewas. Jiwamu hanya tinggal menunggu keputusan Yang Agung!"
Gentong Ketawa cibirkan mulutnya, lalu
tertawa hehahehe. Orang tua ini kemudian alirkan tenaga dalam ke bagian tangan. Kedua tangan digerakkan ke atas seperti orang yang sedang
melakukan gerak badan
13 Si Tangan Sial yang biasanya sangat penyabar, namun karena kali ini jiwa dan pikirannya berada dalam pengaruh dan dibawah perintah Begawan Panji Kwalat melihat tingkah konyol
yang diperlihatkan si kakek gendut kini nampak
tak dapat membendung kemarahannya. Dengan
cepat sekali sambil berteriak keras laki-laki berpakaian serba merah ini
langsung melompat ke
depan. Tangan kanannya mencoba lancarkan serangan berupa cekikan ke bagian leher, sedangkan tangan kiri lakukan serangkaian totokan di
beberapa bagian tubuh si kakek gendut. Sungguhpun tubuh orang tua ini memiliki bobot lebih
dari dua ratus kati namun mendapat serangan
gencar seperti itu dia melakukan gerakan menghindar yang sangat cepat luar biasa. Dengan menarik kepala ke belakang cekikan Si Tangan Sial
luput, sebaliknya dengan gerakan kilat tangannya
menepis tangan lawan yang bermaksud menotoknya. Plak! Plak!
Benturan keras terjadi, si kakek menyeringai kesakitan. Tubuh besarnya sempat terhuyung,
sedangkan tangan yang sempat beradu dengan
tangan lawan nampak memar merah. "Tak pernah kusangka, tangan si kampret merah
ini benar sekeras besi." gerutu si gendut sambil menggigit bibir bawahnya.
Di depan sana Si Tangan Sial sunggingkan
seringai mengejek. "Bagian tubuhku yang mana hendak kau pilih gendut?"
"Tanganmu boleh sekeras baja. Tapi apakah kepala dan perabotanmu ikutan jadi seatos
batu" Ha... ha... ha." sahut si gendut Gentong Ketawa. Sambil tertawa terbahakbahak, si orang
tua tekuk kedua sikunya. Jari dari kedua tangannya saling dirapatkan hingga membentuk paruh burung. Setelah itu tubuh besar luar biasa ini menghuyung ke depan, langkah
kakinya tak bera-turan seperti orang mabuk hendak jatuh. Begitu
tubuh oleng tak berketentuan dan terus bergerak
ke depan. Maka masing-masing tangan yang jemarinya merapat satu sama lain meluncur demikian sebatnya mencari sasaran di bagian mata,
kepala, perut dan juga di bagian selangkangan
lawan. Setiap serangan yang dilancarkan si kakek
gendut selalu menimbulkan deru angin berkesiuran. Mendapat serangan gencar luar biasa di
mana arah serangan yang terkesan sembarangan
itu tidak dapat ditebak sama sekali tentu saja
membuat Si Tangan Sial jadi tercengang juga
menjadi repot kalau tidak boleh dikata panik.
Akan tetapi Si Tangan Sial dengan cepat melakukan tindakan dengan memutar kedua tangan saktinya membentuk perisai diri.
"Tangan Sial, manusia keparat penuh kesialan. Dengan jurus Concorang Mabuk ini aku
inginkan biji matamu. Jika kedua biji matamu
dapat kuambil, nantinya baru kupertimbangkan
untuk membetot putus biji-bijian yang lain. Ha...
ha... ha...!" teriak si kakek gendut dengan suara keras menggeledek. Bersamaan
dengan itu pula si
kakek gendut lipat gandakan tenaga dalamnya
yang kemudian langsung disalurkannya ke bagian
tangan. Kini dengan gerakan sempoyongan si
gendut semakin memperhebat serangannya.
Melihat serangan yang semakin membadai.
Si Tangan Sial dengan mengandalkan kecepatan
gerak berulangkali menangkis mencoba mematahkan serangan lawannya. Tak dapat dihindari
lagi perkelahian sengit pun berlangsung seru, cepat dan sangat menegangkan. Debu dan pasir beterbangan menutupi pemandangan, sedangkan
gemuruh angin bersiutan, berputar, menampar
atau saling berbenturan. Ledakan-ledakan keras
menggema di udara diselingi dengan bentakan
dari masing-masing lawannya.
Dua sosok tubuh kini hanya berupa
bayangan merah dan bayangan hitam yang berkelebatan di udara sambil melepaskan tendangan
maupun pukulan silih berganti. Puluhan jurus
tanpa terasa sudah terlewati. Si Tangan Sial
nampaknya mulai terdesak. Beberapa kali kedua
matanya nyaris menjadi sasaran jemari tangan si
kakek. Si Tangan Sial lama-kelamaan menjadi kerepotan. Apalagi di samping serangan tangan, sesekali kaki si gendut lancarkan tendangan beruntun yang mengarah di bagian perut maupun kaki
dan selangkangan laki-laki itu. Sampai pada satu
kesempatan kaki si kakek gendut meluncur deras
membabat dari arah samping ke arah pinggang Si
Tangan Sial. Angin bersiut, dari sambaran angin
yang amat dingin itu saja Si Tangan Sial dapat
mengetahui betapa berbahayanya serangan itu.
Laksana kilat dia menepis dengan tangannya, tapi
secara aneh serangan itu kemudian berbelok
menghantam bagian di bawah perut Si Tangan
Sial. Jross! "Arkh...! Keparat jahanam!", maki orang tua itu sambil mendekap bagian bawah
perutnya yang terkena tendangan. Si Tangan Sial menjeritjerit, mukanya pucat bersimbah keringat. Tubuhnya memelintir tak mau diam. Dia menggerung
sambil bergulingan.
"Ha... ha... ha! Ternyata tidak semua bagian tubuhmu keras seperti batu. Ada yang lembek, dan ini bagian yang paling empuk untuk kujadikan sasaran." kata si kakek. Sekarang tanpa membuang waktu lagi si gendut
Gentong Ketawa langsung melompat ke depan sambil lancarkan
satu totokan di tubuh lawannya. Pada saat itu
terdengar satu suara mengguntur. "Itu salahnya jika punya biji. Tidak seperti
diriku yang polos."
celetuk Maut Kuning.
Dalam keadaan melakukan serangan begitu rupa, Gentong Ketawa terpaksa menelan rasa
gelinya mendengar celetukan Maut Kuning, sosok
angker itu ternyata masih dapat bergurau juga.
Wuuut! Satu totokan yang dilancarkan Gentong Ketawa hanya mengenai bahu Si Tangan Sial. Akibatnya begitu si orang tua bangkit, tubuhnya
yang kaku sebagian membuat langkah dan tubuhnya jadi termiring-miring. Sebaliknya satu
hantaman yang keras mendarat di dada si kakek
gendut. Orang tua ini terpelanting jatuh berdebum. Tanpa menghiraukan sakit yang dideritanya
si kakek tertawa-tawa. "Pukulanmu membuat dadaku serasa amblas berantakan. Tapi
kau lihat dirimu. Jalan termiring-miring seperti orang terkena sakit ayan. Ha... ha... ha."
"Aku tidak ingin membuang waktu percuma. Segala sesuatunya harus diselesaikan secara
cepat. Tangan Sial, maafkan aku karena aku harus ikut campur tangan!" seru Maut Kuning. Dari arah belakang serangkum hawa
panas menderu. Si kakek gendut yang baru saja bangkit berdiri
sempat terkesiap begitu merasakan sambaran angin panas mendera punggungnya. Dia cepat berbalik, lalu menghantam kedua tangan lawan yang
terjulur mencabik bagian punggung si kakek. Tidak kepalang tanggung orang tua ini bertindak.
Sekali tangan bergerak dia melepaskan pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis dan juga pukulan Selaksa Duka. Dua pukulan ganas, satu
memancarkan cahaya putih laksana perak disertai hawa panas luar biasa. Sedangkan dari tangan
kiri si kakek menderu sinar merah berhawa dingin bukan main.
Si Tangan Sial sempat tercekat. Dia yang
kini hanya dapat menggunakan tangan kiri terpaksa tarik balik serangannya dan melompat
mundur. Sebaliknya Maut Kuning sambil keluarkan suara gerungan aneh melengking tinggi meneruskan sambaran kuku-kukunya yang runcing
ke arah wajah lawannya.
Benturan keras menggelegar di udara, Gentong Ketawa bantingkan diri ke belakang selamatkan wajahnya dari cakaran Maut Kuning. Sebaliknya Maut Kepala Empat jatuh terpelanting.
Sosoknya yang serba kuning nampak tercabik di
beberapa bagian. Dua wajah di bagian depan melesak hangus, sedangkan dua kepala yang menghadap ke belakang nampak gepeng. Dalam keadaan tubuh berubah tak karuan rupa seperti disayat-sayat senjata tajam, tertatih-tatih Maut Kuning bangkit berdiri. Melihat
keadaan Maut Kuning
Gentong Ketawa tak mampu menahan tawanya.
Maut Kuning menggerung, dia mengusap seluruh
badan yang terluka sampai pada bagian kepalanya. Seketika itu juga satu perubahan sulit dipercaya terjadi. Tubuh yang dipenuhi goresan luka, wajah yang melesak ke dalam serta dua kepala yang gepeng mendadak pulih sebagaimana semula. Melihat kejadian aneh ini tawa si kakek
gendut lenyap seketika. Matanya mendelik besar,
mulut ternganga dan wajah mendadak berubah
pucat. "Sungguh tak dapat kupercaya, tidak masuk akal. Mahluk keparat ini
sesungguhnya iblis
jejadian atau arwah gentayangan!" desis si kakek kecut. Belum juga rasa kaget si
kakek lenyap dari arah samping menderu hawa dingin menghantam
bahunya. Masih dalam keadaan diliputi rasa tidak
percaya. Si kakek cepat balikkan badan. "Pembo-kong tengik sialan!" damprat si
kakek begitu melihat Si Tangan Sial telah hantamkan tangan kanan kiri ke bagian bahu dan punggungnya. Karena serangan itu berlangsung sangat cepat dan
menggunakan kesempatan di saat si kakek gendut lengan. Tak ayal lagi Gentong Ketawa hanya
dapat menepis pukulan yang mengarah di bagian
bahu, sedangkan totokan di bagian punggung tak
sempat dielakkannya
Tak ayal lagi si gendut begitu kena totokan
langsung tergelimpang. Si Tangan Sial tertawa
terkekeh-kekeh. "Sudah menjadi takdirmu harus mati jadi roh gentayangan." kata
Si Tangan Sial.
Dia kemudian menoleh ke arah Maut Kuning yang
kini ujudnya telah kembali utuh seperti sedia kala. Kepada sosok berkepala empat ini dia berkata.
"Maut Kuning kau seret dia, satukan bersama calon korban yang lain. Sampai tiba
waktunya bagi mereka menghadap malaikat maut!" perintah si orang tua.
Maut Kuning mendengus. "Jika perturutkan kata hati, ingin rasanya kupesiangi tubuh
gendut ini sekarang juga. Tapi aku hanyalah seorang pengawal. Aku tak mungkin menentang
Yang Agung!" desis Maut Kuning nampak berusa-ha mengendalikan amarahnya.
Si Tangan Sial menimpali. "Segala keputusan ada di tangan Yang Agung. Sedangkan aku
tak mungkin menyeret gendut sialan ini karena
sebagian tubuhku tertotok dan jadi miring begini
rupa." ujar Si Tangan Sial yang sejak tadi berusaha membebaskan totokan si
gendut namun tak
pernah berhasil.
Di depan sana Maut Kuning tanpa bicara
apa-apa lagi langsung melangkah mendekati Gentong Ketawa. Orang tua ini tidak tinggal diam. Dia mencoba melepaskan pukulan ke
arah mahluk kuning. Tapi dia jadi terkesiap karena dalam keadaan seperti itu tangannya terasa berat tak dapat digerakkan sama sekali.
Maut Kuning berhenti di depan Gentong
Ketawa yang dalam keadaan rebah menelentang.
Keempat tangannya muka belakang digerakkan.
Keempat tangan itu kemudian menyambar kaki
dan tangan si kakek gendut. Akan tetapi belum
lagi tangan Maut Kuning sempat mencekal kaki
serta tangan Maut Kuning, satu teriakan keras
mengguntur di udara disertai dengan berkelebatnya bayangan yang berkelebat laksana kilat menembus udara. "Berani menyentuhnya satu kematian kujanjikan untuknya!" teriak suara itu. Bersamaan dengan melesatnya sosok serba


Gento Guyon 9 Maut Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putih itu pula terdengar suara angin menggemuruh bagaikan
bendungan yang jebol. Lima larik sinar, merah,
kuning, biru, hitam dan putih laksana mata pedang menyambar ke arah Maut Kuning. Baru terlabrak sambaran anginnya saja sudah membuat
Maut Kuning menjerit. Lima sinar maut menghantam lima bagian tubuh sosok serba kuning
itu. "Akkkh...!"
Jeritan Maut Kuning laksana merobek langit. Lima bagian tubuhnya terbabat putus terkena
hantaman sinar warna-warni itu. Dua kepala di
depan menggelinding, dua kepala yang menghadap belakang nyaris putus. Tangan depan terpotong menjadi dua, perut juga terbabat putus, begitu halnya dengan kedua kakinya. Melihat gelagat yang tidak baik Si Tangan Sial langsung menciut nyalinya. Dia cepat selamatkan diri berlari ke arah kegelapan kabut yang
menyelimuti Kuil Setan. Sementara itu sosok serba putih langsung
menyambar tubuh Gentong Ketawa. Selagi kakek
gendut dibawa pergi dengan kecepatan laksana
terbang oleh sosok kerdil, pendek katai ini. Si kakek gendut Gentong Ketawa
sempat mengenali
siapa yang telah menyelamatkannya. Dia pun
berseru. "Dewa Kincir Samudera"!"
Suara si gendut seakan tercekik, karena
sosok pendek bukan main yang membawanya
langsung menotok tenggorokan kakek ini.
"Jangan bicara, gendut keblinger! Kau sedang menghadapi persoalan besar. Otakmu harus
dibuat waras dulu." dengus sosok berpakaian
serba putih itu. Melihat pada besarnya tubuh
Gentong Ketawa, sesungguhnya sosok kerdil pendek kurus ceking itu mustahil dapat membawa si
gendut apalagi dengan kecepatan begitu rupa.
Tapi bagi sosok kerdil ini nampaknya seperti tidak memiliki bobot sama sekali
bagi orang yang telah
menyelamatkannya. Malah dalam waktu sekejap
Dewa Kincir Samudera lenyap dari tempat itu.
Kembali ke puncak bukit di sebelah timur
Kuil Setan, sosok Maut Kuning yang tercerai-berai potongan bagian tubuhnya
begitu menyentuh tanah nampak bergerak-gerak. Dari setiap potongan
tubuh mengepulkan asap tipis berbau busuk. Setelah itu terdengar suara letupan lima kali berturut-turut.
Des! Des! Des! Seiring dengan letupan itu, maka setiap potongan tubuh, baik tangan, kaki maupun kepala
berlesat di udara, melayang dan kembali ke tempat asalnya masing-masing. Satu keanehan lagi
terjadi, potongan tubuh akibat hantaman sinar
maut kini kembali menyatu. Sosok Maut Kuning
bangkit berdiri. Masing-masing mata yang terdapat di bagian kening memandang liar ke seluruh
penjuru arah. "Jahanam itu berhasil lolos dari tanganku.
Siapa dia, mengapa tubuhku yang atos ini dapat
dibuatnya tercerai-berai!" dengus Maut Kuning geram. Dia lalu kitarkan pandang.
Si Tangan Sial sudah tidak berada lagi di tempatnya. "Kurang ajar, bangsanya manusia memang
selalu bersikap
pengecut!" rutuk Maut Kuning. Dengan perasaan penasaran mahluk berkepala empat
itu kemudian kembali menembus kabut. Angin menderu-deru,
suasana di sekitar Kuil Setan kembali berubah
sunyi mencekam.
-TAMAT- NANTIKAN EPISODE MENDATANG!!!
TANGAN REMBULAN
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bu Kek Kang Sinkang 1 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Tiga Mutiara Mustika 3

Cari Blog Ini