Joko Sableng Neraka Pulau Biru Bagian 2
blsa digerakkan!"
kata Gendeng Panuntun sambil bergerak bangkit
dan kucek-kucek matanya yang buta.
Melihat Gendeng Panuntun telah bangkit,
Ki Buyut buru-buru hendak bangkit pula.
Namun kakek Ini jadi terkesiap. Kedua
tangannya tak bisa digerakkan seperti apa
yang baru saja diucapkan Gendeng Panuntun! Hingga akhirnya Ki Buyut bangkit
dengan kedua tangan kejang kaku. Ternyata
waktu terjadi bentrokan tangan, secara cerdik Gendeng Panuntun lakukan totokan!
Namun Ki Buyut bukanlah orang sembarangan. Dia cepat kerahkan tenaga
dalam pada kedua tangannya hingga kejap
kemudian kedua tangannya telah kembali
bisa digerakkan. Meski demikian, KI Buyut
sempat tersentak tatkala mendapat! kedua
tangannya melepuh bengkak berwarna merah! -Kurang ajar! Dia t!dak bisa dihadapi sendiri! Hem...." Ki Buyut Pagar Alam menggumam lalu melirik ke arah Dewi Siluman yang tegak melotot pada Pendekar
131. Tiba-tiba KI Buyut putar tubuh setengah
lingkaran. Serta-merta tubuhnya melesat ke
arah murid Pendeta Sinting seraya kirimkan
satu pukulan. Seolah mengerti apa maksud Ki
Buyut, Dewi Siluman tak tinggal diam. Begitu
Ki Buyut kirimkan pukulan, Dewi Siluman ikut
berkelebat dan lepaskan pula pukulan 'Kabut
Neraka'! Pendekar 131 melengak kaget. Dia cepat
sentakkah kedua tangannya menangkis pukulan Ki Buyut. Namun karena saat itu
Dewi Siluman juga lepas kan pukulan, maka
pukulan perempuan bercadar dan berjubah
hitam ini tak dapat dibendung lagi menghantam ke arah batok kepala Pendekar
131! Setengah tombak lagi pukulan Dewi Siluman menghantam, tiba-tiba satu bayangan berkelebat dan bersamaan Itu
kabut merah menghampar memangkas pukulan Dewi Siluman. Hingga meski pukulan
Dewi Siluman tidak bisa dibuat ambyar,
namun murid Pendeta Sinting bisa selamat
dari pukulan telak.
"Jahanam keparat! Dua kali ini kau mencampuri urusankul" teriak Dewi Siluman dengan mendelik memandang ke kiri.
Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri, tegak perempuan bercadar lobang-lobang
kecil dan berpunuk. Ki Buyut sesaat tertegun dan diam tak
bergerak dengan sepasang mata ikut menatap pada perem puan berpunuk. "Aku
baru pertama kali ini melihatnya.... Tapi rasa-rasanya pukulan itu aku
mengenalnya!" Ki Buyut Pagar Alam membatin.
Kalau saja cadar perempuan berpunuk
terbuka, Dewi Siluman dan Ki Buyut pasti
akan tahu bahwa sebenarnya wajah di balik
cadar Ini tampak berubah.
"Kalau Dewi Siluman curiga pada perempuan ini, dan aku pun sepertinya
mengenali pukulannya, jangan-jangan.... Apa
benar dia?" Ki Buyut terus menduga-duga.
Mungkin untuk meyaklnan kakek Ini segera
berteriak. "Perempuan berpunuk! Katakan siapa kau!"
Wajah di balik cadar milik perempuan
berpunuk makin berubah. Namun sekejap
kemudian dia mendongak dan berujar.
"Belum saatnya kau tahu siapa aku! Tapi
aku tahu siapa kau dan dia!" Jari telunjuk perempuan berpunuk menunjuk ke arah
Ki Buyut Pagar Alam dan Dewi Siluman. "Bukankah kau Ki Buyut Pagar Alam dan
Dewi Siluman" Dan kau Dewi Siluman!
Bukankah kau yang mengambil Pedang
Tumpul 131 dari pemiliknya"!"
"Walah! Selain tidak punya hidung ternyata dia
juga pencuri!" Tiba-tiba Gendeng Panuntun menyahut.
Berubahlah paras Ki Buyut. Dewi Siluman
tampak bergetar dengan mata makin mendelik angker. Di sebelah, murid Pendeta
Sinting kertakkan rahang. Matanya menyengat tajam menatap pada Dewi Siluman. "Perempuan bercadar hitam!" seru Joko,
"Kuampuni nyawamu dan orang tua itu. Tapi serahkan pedangku dan segera
tinggalkan tempat ini!"
Dewi Siluman tertawa panjang. "Baik. Pedangmu akan kukembalikan!" kata Dewi
Siluman lalu cabut pedang dari balik jubahnya. Sejenak pedang di tangan kirinya
itu ditimang-timang. Lalu angkat kepalanya
dan berujar. "Kau bisa ambil pedang ini, tapi serahkan Kitab Serat Biru padaku!"
"Aku tidak memiliki kitab yang kau katakan!"
teriak Joko dengan memandang tajam pada
pedangnya yang ada di tangan Dewi Siluman.
"Hem...Begitu" Berarti kau tak mengingin
kan pedangmu lagi! Dan aku akan mengambil
kitab itu beserta nyawamu sekalian!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman berpaling ke arah Ki Buyut dan memberi
isyarat dengan anggukan kepala. Lalu terus
berpaling pada Malaikat Penggali Kubur yang
sedari tadi diam memperhatikan seraya berkata. "Anak muda! Nyawamu ada di tangan kami.
Kalau kau ingin selamat, bergabunglah dengan kami! Hantam tua bangka gembrot
itu!" Malaikat Penggali Kubur arahkan pandangannya pada jurusan lain. Dia sebenarnya tidak mau mengikuti tawaran
Dewi Siluman. Namun merasa yakin Kitab
Serat Biru berada di tangan Pendekar 131
dan Gendeng Panuntun pasti tak akan tinggal
diam jika ada orang coba-coba merebutnya,
maka akhirnya dia memutuskan menerima
tawaran Dewi Siluman, namun dia juga tak
mau perjalanannya sia-sia tanpa hasil. Sambit berpaling ke arah Dewi Siluman dia
berkata, "Tawaranmu kuterima, tapi dengan syarat!"
"Keparat! Nyawamu di tangan
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami!" bentak Dewi Siluman.
Malaikat Penggali Kubur
tertawa. "Aku
tahu, saat ini nyawamu pun di ujung tanduk!
Dan aku masih bisa pertahankan nyawaku
dari tanganmu! Silakan terima syaratku atau
aku akan menonton tubuhmu jadi mayat!"
Merasa ucapan Malaikat Penggali Kubur
ada benarnya. Dewi Siluman mendengus
sambil berseru keras.
"Katakan apa syaratmu!"
Malaikat Panggali Kubur tersenyum aneh.
"Jika ketiga orang itu tewas, setidaknya di tanganmu ada dua benda pusaka! Aku...
" "Sialan!" tukas
Dewi Siluman sebelum
Malaikat Penggali Kubur teruskan ucapannya.
"Kalau kau sebut-sebut benda pusaka, syaratmu kutolak! Bahkan nyawamu akan
kucabut sekarang juga!"
Malaikat Penggali Kubur mendongak. "Kau
boleh bicara seenakmu, Tapi jangan lupa,
saat Ini kau butuh bantuan jika ingin tinggalkan pulau ini dengan selamat!" Malaikat Penggali Kubur tertawa pendek, lalu
teruskan ucapannya. "Aku nanti hanya minta salah satu benda pusaka itu! Adil
bukan"!"
Dewi Siluman menggerendeng
panjang pendek. Dia menoleh pada Ki Buyut. Kakek
ini tersenyum sambil anggukkan kepala,
membuat Malaikat Penggal! Kubur tersenyum
aneh. "Baik. Syaratmu kuterima!" Akhirnya Dewi Siluman bergumam.
"Pendekar 131!" ujar Gendeng panuntun.
"Mereka tampaknya hendak berbagi rezeki!
Untuk kita apa yang harus dibagi" Satunya
seorang kakek bangkotan. Satunya lagi anak
muda bau kencur! Dan satunya lagi perempuan cantik, namun sayang tak bisa
bedakan suami dan sapi! Ha ha ha...! Kita
bernasib sial! Tak ada rezeki bagus yang
layak dibagi...!"
"Kau lupa, Kek! Bukankah kau pernah
mengatakan harus memandang sesuatu dari
sudut berbeda" Meski perempuan di depanku
ini tak punya hidung, aku akan memandangnya berhidung mancung meski
untuk Itu aku harus pura-pura buta...!"
Dewi Siluman gerakkan tangannya yang
memegang pedang dan menunjuk tepat ke
arah Pendekar 131. "Kau! Akan jadi korban senjata makan tuan!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman berkelebat ke depan. Namun setengah jalan
tubuhnya berbelok dan kini lurus ke arah
perempuan berpunuk! Mengetahui hal demikian, Ki Buyut segera melesat dan kini
menghadang Pendekar 131. Di sebelahnya,
melihat Dewi Siluman dan Ki Buyut telah
bergerak, Malaikat Penggali Kubur melompat
dan langsung lepaskan pukulan ke arah
Gendeng Panuntun!
Perempuan berpunuk melihat cahaya kekuningan mencorong tatkala Pedang Tumpul 131 ditarik keluar dari sarungnya dan
kini membabat ke arahnya dengan keluarkan
suara menderu keras serta hawa panas!
Perempuan berpunuk cepat melompat ke
samping lalu dari tempatnya dia lepaskan
satu pukulan. Gelombang angin kencang
menggebrak lurus ke arah Dewi Siluman.
Namun perempuan bercadar dan berjubah
hitam Ini secepat kilat menyingkir, tapi mendadak dia putar tubuh dua kali sebelum
akhirnya berkelebat kembali ke arah perempuan berpunuk dengan tangan diputarputar hingga pedang di tangannya berubah
jadi bayangan kuning yang menderu-deru
ganas! Breettt! Breettt!
Perempuan berpunuk berseru tertahan sambil melompat mundur dan kedua tangannya cepat bergerak menutupi auratnya
yang kelihatan karena pakaian yang dikenakan robek di bagian dada dan pinggang! Dewi Siluman tertawa mengekeh sambil
pandangi perempuan berpunuk yang memegangi dadanya yang terbuka. "Dengan
terbukanya dada, dia tak akan bisa lepaskan
pukulan kalau tak ingin dadanya terlihat! Hik hlk hik...l Sekarang saatnya
kuketahui siapa
jahanam itu adanya!"
Dewi Siluman angkat tangan kanannya,
sementara pedang di tangan kiri diluruskan
ke depan. Seolah tahu apa yang hendak dilakukan
Dewi Siluman, perempuan berpunuk tampak
bimbang. Kalau dia tetap diam, maka tak
pelak tubuhnya akan terhantam pukulan yang
hendak dilancarkan Dewi Siluman. Kalau
hendak menangkis dia harus gerakkan tangan, dan berarti dadanya pasti akan
terlihat jelas!
"Apa boleh buat...," gumam perempuan berpunuk lalu turunkan kedua tangannya dari
dada, hingga saat itu juga payudara perempuan berpunuk terpentang jelas!
Dewi Siluman tegak dengan terkesiap dan
mata melotot. "Tidak mungkin.... Bagaimana bisa orang yang berpunuk dan tampak
seperti nenek-nenek Ini punya payudara kencang
padat dan bagus! Jangan-jangan memang
dia!" Entah karena merasa penasaran. Dewi
Siluman cepat merangsek ke depan dengan
melompat dan langsung lepaskan pukulan
'Kabut Neraka'! Di depannya perempuan
berpunuk cepat pula serrtakkam kedua tangannya. Bummm! Terdengar ledakan keras. Sosok Dewi
Siluman tetap dalam keadaan tegak. Di
depan, sosok perem puan berpunuk terjengkang jatuh di atas tanah berpasir. Dewi Siluman
tak memberi kesempatan. Saat
sosok perempuan berpunuk terjengkang, dia
cepat berkelebat ke depan lalu kembali
kirimkan pukulan!
Perempuan berpunuk angkat kedua tangannya. Namun baru hendak bergerak
menangkis, pukulan Dewi Siluman terlebih
dahulu menggebrak! Hingga saat itu juga
sosok perempuan berpunuk mencelat mental
seraya keluarkan pekikan keras. Sosoknya
jatuh telentang setelah menghantam satu
gugusan batu padas. Dari kain cadarnya
tampak merembes darah kehitaman pertanda
bahwa dia terluka dalam cukup parah.
Sementara di sebelah kiri terdengar suara
bentrokan. Lalu tampak sosok Pendekar 131
terpental ke belakang dan jatuh terduduk
dengan tubuh bergetar. Di seberangnya,
tampak sosok Ki Buyut Pagar Alam terhuyung-huyung keras sebelum akhirnya
roboh terjengkang!
Di sebelah kanan, terlihat Gendeng Panuntun telentang dengan tangen usapusap cerminnya. Di bawah tubuhnya yang
besar tampak sosok Malaikat Penggali Kubur!
Karena tubuh Gendeng Panuntun besar,
sementara tindihannya
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan tindihan sembararngan, melainkan dengan pengerahan tenaga dalam, maka tampak
sosok Malaikat Penggali Kubur diam tak bisa
berkutik dengan napas megap-megap!
Dewi Siluman berpaling pada Ki Buyut.
Setelah mendapat isyarat dari kakek ini, dia
berpaling sejenak pada Malaikat Penggali
Kubur yang hampir kehabisan napas ditindih
sosok Gendeng Panuntun.
"Hei! Tolong singkirkan Tua bangka gembrot ini dari alas tubuhku!" teriak Malaikat Penggali Kubur.
Dewi Siluman tak buka mulut atau membuat gerakan turuti permintaan Malaikat
Penggali Kubur.
"Sialan! Kau dengar ucapanku! Kenapa
hanya diam saja"!" Malaikat Penggali Kubur kembali berteriak.
"Aku masih punya urusan! Mintalah tolong pada hantu laut! Hik... hik... hik...!"
Malaikat Penggali Kubur memaki habishabis an, namun suaranya tersendat-sendat.
Sementara Dewi Siluman segera berkelebat
ke arah perempuan berpunuk.
Wajah di balik cadar perempuan berpunuk
makin pias. Dia terdengar bergumam tak jelas
tatkala tangan kanan Dewi Siluman berkelebat menyingkap kain cadarnya.
Breettt! Kain cadar berlobang-lobang kecil milik
perem puan berpunuk tersambar tangan kanan Dewi Siluman. Kini tampak jelas wajah
perempuan ini. Tiga langkah di depan perempuan berpunuk, tubuh Dewi Siluman tampak bergetar keras. Matanya mendelik angker
dengan pelipis kiri kanan bergerak-gerak.
"Murid murtad! Jahanam keparat! inikah
balas an yang kau berikan selama kudidlk,
bah"!"
Pendekar 131 yang berada tidak jauh
segera bergerak bangkit dan berpating pada
perempuan berpunuk yang masih telentang
dan kini coba bergerak duduk.
Untuk beberapa lama murid Pendeta Sinting perhatikan wajah perempuan berpunuk yang kini telah terbuka.
"Astaga! Bukankah dia salah seorang dari tiga
gadis yang pernah menghadangku beberapa hari yang lalu"!"
Perempuan berpunuk yang kini telah duduk
ternyata adalah seorang gadis berparas cantik. Ram butnya lebat hitam dengan sepasang mata bulat. Pada bagian atas
bibirnya tampak sebuah tahi lalat.
"Sitoresmi!" bentak Dewi Siluman. "Kau tahu apa yang akan kau peroleh dengan
perbuatanmu ini, heh"!"
Perempuan berpunuk yang ternyata bukan
lain adalah Sitoresmi, salah seorang murid
Dewi Siluman sendiri kancingkan mulut tak
memberi jawaban.
Malah sebaliknya dia
berpaling pada Pendekar 131!
Dewi Siluman menyeringai dan memandang silih berganti pada Joko Sableng
dan Sitoresml. "Rupanya cinta telah membuatmu murtad dan lupa akan ikrar yang
pernah kau ucapkanl Baik, aku ingin tahu
apakah cinta bisa juga selamatkan tubuhmu!"
"Guru.... Maafkan aku. Aku...."
"Tutup mulutmu!" hardik Dewi Siluman.
"Aku bukan gurumu! Kau harus terima hukuman!" Meski biasanya gadis
ini tidak berani
membantah ucapan gurunya, namun kali Ini
dia sepertinya punya keberanian luar biasa.
Sambil mengusap darah yang terus mengalir
dari sudut bibirnya, Sitoresmi balas memandang pada Dewi Siluman dan berkata.
"Kalau kau bukan guruku, tak layak kau
jatuhkan hukuman padaku!"
Dewi Siluman tertawa, namun diputus seketika. Lalu terdengar dia membentak.
"Bagus! Sekarang kau sudah pintar buka
mulut! Pemuda itulah yang membuatmu demikian" Hik... hlk... hik....' Baik. Aku akan membahagiakan
kalian berdua dengan kukubur satu lobang!"
Habis berkata begitu, Dewi Siluman selinapkan pedang ke dalam sarungnya lalu
disimpan d! balik jubah hitamnya. Dia berpaling pada murid Pendeta Sinting. Namun tiba-tiba kedua tangannya bergerak
lepaskan pukulan 'Kabut Neraka' ke arah
Sitoresmi! Karena Sitoresmi dalam keadaan terluka
dalam, apalagi jaraknya terlaju dekat, hingga yang bisa dilakukan gadis itu
hanya berteriak tertahan.
Pendekar 131 terbelalak. Dia cepat angkat
kedua tangannya. Sementara Gendeng Panuntun yang masih menindih tubuh Malaikat Penggali Kubur membuat gerakan
gulingkan tubuhnya ke samping. Hingga saat
itu Juga tampak cahaya gemerlap menyambar ke arah Dewi Siluman.
Sejengkal lagi pukulan yang dilepas Dewi
Siluman menggebrak ganas ke arah wajah
Sitoresmi, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa mengekeh. Disusul dengan menderunya angin keras berhawa luar biasa
dingin! Meski gelombang angin dingin yang menyeruak sempat membuat kabut hitam
berbelok, tapi karena jaraknya amat dekat
dengan Sitoresml hingga tak urung juga gadis
ini terpental dan wajahnya sempat tersambar
kabut hitam yang dilepas Dewi Siluman.
Dewi Siluman sendiri tampak berteriak
keras tatkala bersamaan dengan itu dari
samping kiri kanan melabrak sinar kuning
hantaman tangan Joko dan gelombang angin
yang disertai cahaya gemerlap dari cermin
Gendeng Panuntun!
Perempuan bercadar dan berjubah hitam
itu segera putar tubuh lalu berkelebat menghindar. Saat yang sama, tempat di
mana tadi Dewi Siluman berdiri tampak
bergetar keras dan pasirnya muncrat ke
udara akibat terkena gelombang angin yang
keluar dari cahaya cermin Gendeng Panunlun
dan pukulan murid Pendeta Sinting.
Begitu Dewi Siluman menginjak tanah dua
langkah di samping Ki Buyut Pagar Alam,
terdengar orang tertawa mengekeh kembali.
Semua orang di tempat Itu serentak berpaling. *** LIMA EJARAK lima
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tombak dari tempat SGendeng Panuntun yang masih
melintang telentang di atas tubuh Malaikat Penggali Kubur terlihat seorang
kakek berjubah putih tegak dengan memandang tak berkesip pada Dewi Siluman.
Dia bukan lain adalah Dewa Sukma. Pemegang penggalan peta pertama yang
seperti diceritakan pada Ratu Malam, penggalan peta itu berhasil direbut oleh
seorang perempuan bercadar dan berjubah
hitam dan bukan lain adalah Dewi Siluman.
Lima langkah di samping Dewa Sukma, di
atas satu gugusan batu padas tampak seorang nenek berwajah pucat mengenakan
jubah warna merah menyala duduk mencangklong dengan mulut perdengarkan
tawa. Nenek Ini berambut putih sebatas
pundak. Sepasang kelopak matanya besar
dengan bola mata di dalamnya amat sipit.
Seraya tertawa, nenek Ini mainkan gumpalan
tembakau hitam di mulutnya! Dia bukan lain
adalah Ratu Malam. Empat langkah di samping Ratu Malam tegak dengan kepala
sedikit tengadah seorang kakek berambut
putih panjang. Kakek Ini berdiri tegak dengan memunggungi dan mulutnya tampak
dibuka lebar! Dia adalah Iblis Ompong. Di sebelah
Iblis Ompong duduk bersila seorang perempuan berjubah putih yang sekujur tubuhnya laksana diguyur hujan namun dia
tidak basah! Perempuan ini tidak lain adalah
Dewi Es adanya.
Dewi Siluman dan Ki Buyut sama-sama
terkesiap dan sejenak saling lempar pandang
tatkala mengetahui siapa adanya keempat
orang yang baru datang. Wajah kedua orang
ini seketika berubah. Sementara murid Pendeta Sinting tampak gelengkan kepala,
apalagi tatkala pandangannya menumbuk
pada sosok Gendeng Panuntun yang hampir
menindih lenyap sosok Malaikat Penggali
Kubur yang terus-terusan coba bergerak
untuk bernapas. Namun murid Pendeta Sinting ini segera teringat pada Sitoresmi
yang pernah menolongnya
dan ternyata adalah murid Dewi Siluman sendiri. Dia buruburu berpaling lalu menghambur ke arah
Sitoresmi yang telentang diam dengan mulut
keluarkan banyak darah serta pakaian yang
dikenakan robek tak karuan.
Gendeng Panuntun
tiba-tiba usap-usap cerminnya sambil berkata.
"Heran. Apa sebenarnya yang terjadi" Baru saja kudengar orang membentak-bentak,
lalu ada orang berkelahi. Terus kudengar orang
terkekeh-kekeh.
Tapi lalu sunyi laksana kuburan! Sayang mataku tidak bisa meiihat.
Jangan-jangan ada kuntilanak, tapi sore begini mana ada kuntilanak gentayangan"!"
Ratu Maiam yang duduk mencangklong di
atas gugusan batu padas palingkan kepala ke
arah Gendeng Panuntun.
'Nasibmu memang sial, Rawadan!" ujar
Ratu Malam dengan menyebut nama asli
Gendeng Panuntun. "Tidak dapat menikmati indahnya dunia!
Hingga ada perempuan laksana bidadari hadir kau kira kuntilanak
gentayangan! Hlk hik hik.... Lalu kalau benar kuntilanak gentayangan yang
datang, kau akan duga siapa"!"
"Eh, kau tahu siapa aku! Jangan-jangan
kau nenek kempot yang mulutnya tak bisa
diam! Sialan betul! Mana kakek tak bergigi
itu" Apa ada bersamamu"!"
"Lama tidak berjumpa. Tapi nyatanya kau
tidak iupa. Hanya kulihat kau sekarang tampil beda.
Apa yang membuatmu jadi lain demikian rupa"!"
Iblis Ompong berucap dengan masih tegak memunggungi Dewi
Siluman dan Ki Buyut.
"Tua tak bergigil" kata Rawadan alias Gendeng Panuntun. "Nada ucapanmu lain.
Apa maksudmu"!"
Ibils Ompong bergelak terlebih dahulu
sebelum akhirnya menyahut.
"Apa enaknya menindih seorang pemuda..." Padahal di depan sana kulihat
ada perempuan cantik
dan muda" Apa
karena kau salah lihat, atau kau pura-pura
tidak melihat" Atau barangkali ini memang
niat yang terpahat?"
"Sialan! Sejak dulu aku memang tidak bisa melihat. Tapi jangan menuduh yang
bukan-bukan! Di depan sana memang tegak perempuan jelita. Tapi..." Gendeng Panuntun tidak teruskan ucapannya. Dia usapusap cerminnya lalu berujar.
"Tampaknya ada tamu lagi di pulau ini!"
Ucapan Gendeng Panuntun baru saja selesai, semua orang di situ mendengar
suara gemeretak roda kereta. Kejap lain dari
pinggiran pulau muncul satu kereta yang
dikusiri dua orang gadla berjubah kuning dan
biru! "Wulandari dan Ayu Laksmi!" desis Dewi Siluman begitu mengenali siapa adanya dua
gadis kusir kereta. Mula-mula perempuan
bercadar dan berjubah hitam ini tampak tidak
suka dengan munculnya kereta yang memang dikusiri oleh Wulandari dan Ayu
Laksmi. Namun setelah berpikir mungkin
kedua muridnya sedikit banyak bisa membantu, Dewi Siluman cepat lambaikan
tangan. Kereta itu segera bergerak mendekat
ke arah Dewi Siluman. Belum sampai dekat,
Wulandari dan Ayu Laksmi telah melompat
turun Ialu tegak lima langkah ke samping
Dewi Siluman sambil menjura dan berkata
"Guru! Maafkan kami yang lancang menyusul kemari tanpa izinmu!" kata Wulandari.
"Hanya kami tidak membawa serta Sitoresmi! Kami
tunggu dia...."
Dewi Siluman tertawa. "Kalian tak usah
cemaskan saudaramu itu. Dia telah mampus!" Wulandari dan Ayu Laksmi tersentak sama
angkat kepalanya memandang ke arah Dewi
Siluman. Belum sempat keduanya buka mulut
lagi, Dewi Siluman telah arahkan telunjuknya
pada sosok Sitores mi yang kini ada di
pangkuan Pendekar 131.
"Itulah akibat murid murtad dan khianat!
Jadi kalian jangan coba-coba mengikuti jejaknya Jika tidak ingin menerima nasib
sama! Kalian dengar"!"
Wulandari dan Ayu Laksmi pandangi sosok
Sitoresmi yang diam tak bergerak-gerak di
pangkuan murid Pendeta Sinting. Kedua
gadis ini lantas saling pandang namun tidak
ada yang berani berucap.
"Sekarang kalian bersiaplah! Kita harus
menyelesaikan pekerjaan berat! Kelima jahanam di depan sana itu adalah manusiamanusia yang harus dimusnahkan! Juga
termasuk pemuda yang digila-gilai Sitoresmi
itu!" ujar Dewi Sliuman laiu melangkah lebih dekat ke arah Ki Buyut Pagar Alam.
Wulandari dan Ayu Laksmi segera edarkan
pandangannya ke depan. Keduanya serentak
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi terlengak, apalagi tatkala mereka melihat Gendeng Panuntun.
Seperti diketahui, Wulandari dan Ayu Laksmi sempat bertemu dengan Gendeng
Panuntun dalam perjalanannya. Malah mereka sempat bercakap-cakap banyak. Dan
diam-diam kedua gadis ini sama membatin.
"Ucapan orang tua besar bermata buta itu akhirnya terbukti semua! Sitoresmi
harus berpisah! Hem...."
"Aku mencium bau harum! Lantika! Adakah
tamu kita yang baru datang adalah bidadari
cantik"!"
Gendeng Panuntun berteriak dengan panggil nama asli Iblis Ompong.
'Aku tak bisa menjawabl Tanyakan pada
Jalu Paksi yang tegak menghadap!" kata Iblis Ompong. Yang dimaksud Jalu Paksi
bukan lain adalah Dewa Sukma.
"Aku juga tidak mau jawab! Biar Sekar
Mayang yang bicara!" kata Jalu Pakai alias Dewa Sukma. Yang dimaksud Sekar
Mayang adalah Ratu Malam.
"Pasang telingamu, Rawadan!" Sekar Mayang alias Ratu Malam telah menyahut.
"Penciumanmu
tidak salah! Namun dugaanmu yang keliru. Hik... hik... hik.... Yang datang memang bidadari, tapi
sudah nenek-nenek! Gundul lagi, dan pakaiannya minim
seolah ingin menunjukkan pahanya yang
hitam kerem peng!"
"Walah, sialnya diri bermata buta ini! Tidak dapat melihat bidadari nenek-nenek
yang berpaha hitam! Paati aneh dan lucu...!"
"Kau salah lagi, Rawadan!" ujar Dewa Sukma.
"Bukan aneh dan lucu, justru menjijikkan!"
"Jangan bercanda! Bagaimana kau bisa
bilang begitu"!"
"Dari mulutnya terus menerus menetes air liur! Sedangkan dari hidungnya ingusnya
molor panjang!"
Tempat Itu sejenak dibuncah dengan suara
tawa bersahutan panjang. Sementara murid
Pendeta Sinting yang kini membopong tubuh
Sitoresmi ke tempat yang agak jauh terdengar menggumam. "Orang-orang aneh.
Dalam keadaan begini masih bisa-bisanya
bergurau!"
Namun yang paling bernasib sial adalah
Malaikat Penggaii Kubur. Karena begitu Gendeng Panuntun yang ada di atas tubuhnya tertawa, dirinya laksana dibebani
beban yang sangat berat dan seperti diguncang-guncang! Hingga napasnya makin
sesak dan tubuhnya laksana lumat.
Entah karena tidak mengenal, atau karena
terburu berbincang dengan Gendeng Panuntun, IbLis Ompong, Ratu Malam, Dewa
Sukma dan Dewi Siluman yang hanya melihat
sepintas pada orang tua berjubah putih yang
berdiri tegak agak jauh.
Sementara kakek berjubah yang sedari tadi
hanya diam dan tidak lain adalah Ki Ageng
MangIr Jayalaya menggumam sendiri.
"Hem.... Tampaknya keempat orang yang
baru datang Itu sudah akrab betul dengan
orang tua yang bernama Gendeng Panuntun.
KaLau Gendeng Panuntun berada di pihak
Joko SabLeng, keempatnya mungkin tidak
jauh berbeda. Kurasa mereka bisa mengatasi
keadaan...."
Habis bergumam begitu, Ki Ageng Mangir
Jayalaya yang sebenarnya tadi mengkhawatirkan Joko bernapas lega. Kakek
ini sejurus memandang pada rombongan
yang baru datang. Kejap lain dia putar diri lalu berkelebat masuk ke dalam
lobang dari mana
dia tadi keluar.
Sementara itu mendengar ucapan-ucapan
orang, tampang Wulandari dan Ayu Laksmi
terlihat berubah merah padam. Namun mungkin sadar siapa adanya orang, kedua
gadis murid Dewi Siluman ini belum ada yang
berani bergerak. Hanya sepasang mata mereka menyengat tajam
pandangi satu persatu kelima orang di depan sana.
"Ada orang datang lagi!" Tiba-tiba Dewi Es yang sedari tadi duduk bersila dengan
mulut terkancing bersuara dengan buka kelopak
matanya yang semenjak tadi terpejam.
Masing-masing orang putuskan tawanya.
Dan bersamaan dengan itu dua bayangan
tampak berkelebat dan langsung tegak di
samping kiri kanan satu gugusan batu padas.
Dua orang yang baru datang ini sejenak
tampak terkesiap kaget dengan mata masingmasing memandang ke arah Dewi Es, Dewa
Sukma, Ibiis Ompong, Ratu Malam, dan
Gendeng Panuntun. Lalu sama berpaling dan
saling berpandangan.
"Tidak kusangka jika telah muncul manusia-manusia itu di sinii" bisik orang
sebelah kanan yang ternyata adalah seorang perempuan mengenakan pakaian tipis warna
biru ketat yang di bagian dadanya dibuat
rendah hingga sembulan payudaranya yang
putih kencang tampak
jelas. Rambutnya
panjang bergerai dengan bulu mata lentik dan
hidung sedikit mancung. Bibirnya merah
membentuk bagus. Meski usia perempuan ini
tidak muda lagi, tapi tampak tetap cantik
jelita! Sedangkan orang di sebelah perempuan cantik yang bukan lain adalah
Ratu Pemikat, tegak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tinggi besar. Kepalanya gundul plontos. Sepasang matanya besar dengan alis menjulai panjang
ke bawah hampir menghalangi bola matanya.
Hidungnya besar dengan kumis melintang
lebat. Laki-laki Ini mengenakan jubah toga
warna putih hitam yang di bagian dadanya
tampak tiga bulu burung merak. Laki-laki ini
tidak lain adalah Merak Kawung, teman
seperjalanan serta kekasih Ratu Pemikat.
Dewi Siluman sejurus menatap tajam pada
Ratu Pemikat dan Merak Kawung. Lalu
berbisik. "Yang perempuan jelas aku sudah tahu. Tapi yang laki-laki aku belum
kenal! Siapa dia, Ki Buyut"!"
"Dialah orang yang bernama Merak Kawung Hem.... Dari mana dua manusia itu
tahu tempat ini"!" jawab Ki Buyut Pagar Alam seraya balik bertanya. Dewi Siluman
tidak menjawab, karena sebenarnya dia sendiri
merasa heran sampai Ratu Pemikat dan
Merak Kawung muncul di Pulau Biru.
Mereka tidak tahu, bahwa dengan buku dari
Ki Jala Sutera yang berhasil direbut Ratu
Pemikat, mereka berdua akhirnya sampai di
Pulau Biru. (Tentang pertemuannya dengan
Ki Jala Sutera baca episode: "Kitab Serat Biru").
"Kalau mereka mau diajak bergabung dengan kita, mungkin pekerjaan kita akan
makin ringan, Ki Buyutl" bisik Dewi Siluman.
"Benar! Aku akan coba bicara dengan
mereka!" ujar Ki Buyut.
Sementara Ratu Pemikat dan Merak Kawung terus edarkan pandangannya ke
seantero dataran pulau. Baru saja kedua
orang ini berpaling, tiba-tiba satu bayangan
berkelebat dan di kejap lain sudah tegak di
hadapan mereka berdua. Merak Kawung
segera angkat tangan kanannya. Namun
demi melihat siapa adanya orang yang tegak,
Ratu Pemikat mem beri isyarat agar Merak
Kawung turunkan tangannya.
"Kalau tidak salah lihat, bukankah orang yang tegak di hadapanku kini adalah
seorang dedengkot rimba persilatan bernama Ki Buyut
Pagar Alam"l" Ratu Pemikat berucap sambil sunggingkan
senyum dan busungkan dadanya. Namun diam-diam perem puan cantik bertubuh bahenol ini alirkan tenaga
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam pada kedua tangannya.
"Ratu Pemikat.... Bersyukur
kau masih mengenali tua bangka ini, hingga kita lebih
enak bicara!"
"Hem...."
Ratu Pemikat mengerling. "Ucapanmu sepertinya mengandung pesan.
Ada yang hendak kau katakan pada kami"!"
"Selain berparas cantik, ternyata kau juga pandai menebak tujuan orang. Aku
memang ingin mengatakan sesuatu pada kalian, ini
demi kepentingan kita bersama!"
"Tunggu!" sahut Ratu Pemikat. "Kau tiba-tiba menyebut kepentingan bersama.
Katakan apa kepentinganmu sebenarnya!"
"Tidak usah panjang lebar. Semua orang
yang ada di sini pasti menginginkan Kitab
Serat Biru...."
"Hemm.... Lantas"!"
"Kau lihat sendiri! Lima orang di depan
sana kukira kalian telah tahu siapa mereka!
Sialnya mereka adalah perintang jika kita
menginginkan kitab Itu!"
"Maksudmu, kau ingin kita bersama-sama
menggempur mereka"!" tanya Ratu Pemikat.
"Benar! Dan kukira dengan jalan ini, kita akan lebih mudah mendapatkan apa yang
kita buru!"
Ratu Pemikat tersenyum seraya menggeleng. "Kukira sulit! Bagaimana mungkin nantinya membagi kitab yang hanya
satu?" Ki Buyut ganti tersenyum, "itu bukan urusan sukar, Ratu Pemikat! Sebagai orang
satu golongan, apa sulitnya membagi kitab" Kita
bisa mempelajarinya bergantian! Atau kalau
suka, kau boleh memiliki Pedang Tumpul 131
yang kini ada di tangan Dewi Siluman....
Mudah bukan"!"
"Jadi...?"
Belum selesai ucapan Ratu Pemikat, Ki
Buyut telah lanjutkan kata-katanya. "Urusan pembagian
adalah urusan sepele. Aku sekarang menanti jawabanmu! Waktu kita
sangat terbatas!"
Ratu Pemikat berpaling pada Merak Kawung. Kedua orang ini tampak ragu-ragu
untuk memutuskan. Namun setelah berpikir
bahwa tidak mudah memang menghadapi
kelima orang di depan sana, akhirnya Ratu
Pemikat menyetujui tawaran Ki Buyut Pagar
Alam. "Tapi jika kau nanti berbelok dari ucapanmu, kau akan merasa kecewa! Bukan
saja tidak mendapatkan kitab itu, tapi juga
pulang nama dan tubuh tertinggal di pulau
Ini!" ancam Ratu Pemikat.
Meski sangat marah mendengar ancaman
Ratu Pemikat, namun Ki Buyut Pagar Alam
masih menindih dengan coba tersenyum dan
berujar. "Aku memang bukan orang baik-baik.
Tapi aku orang yang teguh pegang janji!
Silakan kalian pilih lawan sendiri!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut berkelebat
kembali ke arah Dewi Siluman. Namun baru
saja sepasang kakinya menjejak tanah, tibatiba satu bayangan hitam berkelebat. Di lain
kejap tahu-tahu telah tegak mengambil tempat sepuluh langkah di samping Ratu
Pemikat. Dan baru saja bayangan hitam ini
tegak, dari arah pinggir pulau tampak dua
orang berlari kencang, lalu tegak berdiri di
samping kereta.
*** ENAM EMUA kepala berpaling. Dari tempat
tegaknya masing-masing, mereka Smelihatseoranglaki-lakiberusialanjut
mengenakan pakaian gombrong panjang sebatas mata kaki berwarna hitam. Sepasang
matanya besar melotot. Rambutnya kelimis
panjang diuraikan ke depan, hingga raut
wajahnya yang berwarna hitam angker terlihat samar-samar.
"Dewi...," bisik Ki Buyut. "Tampaknya nasib kita mujur. Orang-orang yang datang
masih sahabat-sahabat kita!"
Dewi Siluman menatap pada orang berpakaian hitam panjang yang baru datang
dengan mata tak berkesip. "Datuk Hitam...,"
desisnya. Lalu alihkan tatapan matanya pada
sosok yang tegak di dekat kereta.
Sebelah kanan adalah seorang kakek berparas bulat besar. Selain dilapis kulit tipis, paras kakek ini amat pucat.
Rambutnya putih
dikucir ke belakang. Jambang, kumis, dan
jenggotnya lebat hampir menutupi sebagian
wajahnya. Dia mengenakan rompi panjang
berwarna kuning. Mata sebelah kiri ditutup
dengan sepotong kulit bundar yang diikatkan
ke belakang membuat sosok kakek Ini semakin tampak angker. Di sebelah kakek
berompi kuning yang tidak lain adalah dedengkot dunia persilatan bergelar Maut
Mata Satu ini tegak seorang gadis mengenakan pakaian warna merah. Wajahnya jelita dengan rambut dikucir ekor
kuda. Gadis ini adalah murid tunggal Maut
Mata Satu dan bukan lain adalah Dewi Seribu
Bunga. Seperti diketahui, setelah Dewi Seribu
Bunga diselamatkan Pendekar 131 dari pukulan Wulandari dan Ayu Laksmi, gadis
berbaju merah ini ditinggal sendirian di lereng bukit
oleh murid Pendeta Sinting yang berkelebat ke puncak bukit setelah mendengar orang lantunkan bait-bait syair.
Namun begitu Pendekar 131 pergi, muncullah
Maut Mata Satu. Dengan caranya sendiri,
akhirnya Dewi Seribu Bunga berhasil membohongi Maut Mata Satu hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan menuju arah selatan.
Tanpa sengaja, keduanya sampai pesisir Laut
Selatan. Dan begitu mereka tiba di pesisir
mereka berdua dikejutkan dengan suara
berderaknya roda kereta. Sambil menyelinap
ke balik rimbun pohon bakau, mereka dapat
melihat sebuah kereta yang dikusiri dua
orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi
Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua
orang gadis berjubah kuning dan biru. Dewi
Seribu Bunga yang tahu siapa adanya dua
gadis itu sudah bergerak hendak meloncat
keluar. Tapi Maut Mata Satu mencegahnya.
Lalu secara diam-diam mereka berdua mengikuti gerak-gerik kedua gadis di atas
kereta. Dan begitu mereka mengetahui dua
orang gadis di atas kereta hendak menuju
pulau di seberang laut, Dewi Seribu Bunga
dan Maut Mata Satu merasa curiga. Dan
tanpa sepengetahuan Dewi Seribu Bunga
dan Maut Mata Satu, diam-diam sepasang
mata dari balik sela pohon bakau dari tadi
memperhatikan murid dan guru ini. Begitu
Dewi Seribu Bunga dan Maut Mata Satu ikut
menyusul menyeberang menuju pulau, dari
balik pohon bakau muncullah sesosok tubuh
mengenakan pakaian gombrang hitam dan
bukan lain adalah Datuk Hitam. Meski tidak
tahu ada apa sebenarnya mereka menyeberang pulau, hati Datuk Hitam bergerak untuk ikut-ikutan menyeberang menuju pulau. Ki Buyut Pagar Alam yang tahu siapa
adanya Maut Mata Satu tidak sia-siakan
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan. Dia segera berseru.
"Sobatku, Maut Mata Satu.... Aku sangat
gembira kita dapat berjumpa di sini...."
Maut Mata Satu berpaling. Memandang
angker pada Ki Buyut laiu pada Dewi Siluman. Namun cuma sekejap. DI lain saat,
matanya yang hanya sebelah beralih ke arah
lima orang yang ada di depan sana. Maut
Mata Satu sejurus terkesiap. Lalu menoleh
pada Dewi Seribu Bunga dan bergumam.
"Dewi.... Kau jangan bertindak! Lima orang di depan sana adalah manusia-manusia
yang punya kepandaian tinggi! Kau tetaplah di
tempatmu meski apa nanti yang akan terjadi!
Dan jika keadaan tidak memungkinkan, kau
segeralah angkat kaki dari pulau ini!"
Yang diajak bicara kancingkan mulut tidak
menyahut. Bahkan gadis berbaju merah ini
tidak memandang pada lima orang yang baru
saja disebutkan gurunya. Sebaliknya pandangan mata gadis
ini tertuju pada jurusan lain agak ke belakang dari lima orang yang disebut Maut Mata Satu. Di
sana terlihat seorang pemuda yang bukan lain adalah
Pendekar 131 sedang mendudukkan Sitoresmi bersandar pada satu batu padas.
Gadis murid Maut Mata Satu ini dadanya
bergemuruh dilanda rasa cemburu.
"Dewi!"
kata Maut Mata Satu karena muridnya tegak tak menyahut. "Kau dengar ucapanku"!"
Meski tidak begitu perhatikan apa yang
baru saja diucapkan Maut Mata Satu, Dewi
Seribu Bunga berpaling sambil anggukkan
kepala. Di iain pihak, mendapati ucapannya tidak
mendapat tanggapan, Ki Buyut merasa geram. Namun sadar situasi, dia cepat tersenyum dan berseru lagi.
"Sobatku, Maut Mata Satu! Bergabunglah
dengan kami orang-orang satu golongan.
Urusan Kitab Serat Biru nanti bisa kita
rundingkan jika urusan ini selesai!"
"Aku tidak sudi jika manusia mata satu Itu ikut
bergabung!"
Tiba-tiba satu teriakan terdengar. Yang berteriak ternyata adalah
Ratu Pemikat. Seperti diketahui, antara Ratu
Pemikat dan Maut Mata Satu pernah terjadi
bentrok saat memperebutkan Pedang Tumpul
131. (Untuk jelasnya silakan baca episode:
"Ratu Pemikat").
Teriakan Ratu Pemikat membuat Ki Buyut
dapat menangkap jika antara Ratu Pemikat
dengan Maut Mata Satu ada satu urusan.
Namun kakek yang kedua tangannya selalu
dimasukkan ke dalam saku jubah hitamnya ini
berlaku cerdik. Seraya melangkah ke arah
Maut Mata Satu dia berujar.
"Urusan sesama golongan harap bisa ditunda. Kau mesti tahu, tidak ada yang lebih menggegerkan
dibanding dengan tumbangnya orang-orang
golongan putih. Hari ini lupakan dulu silang sengketa. Kita
bersama-sama menghadapi manusia- manusia yang selalu menjadi penghalang
setiap langkah kita! Dan kau juga harap
sadar, jika kita tidak bergabung, kau tentu
tahu apa yang akan menimpa kita!"
"Hem Ucapan orang ini ada juga benarnya! Tapi aku tidak mudah begitu saja
turuti ucapan orang. Aku akan bergabung tapi
hanya untuk menghemat tenaga. Setelah
itu.... Ha ha ha.... Mereka juga akan merasakan!"
Maut Mata Satu membatin daiam hati. Lalu berkata pada Ki Buyut.
"Meski aku sanggup menghadapi mereka,
tapi mengingat kita masih satu golongan,
tidak ada salahnya aku turuti permintaanmu.
Tapi setelah urus an ini selesai, jangan ikut campur masalahku dengan perempuan
laknat sundal itu!"
"Aku tidak bicarakan urusan Ratu Pemikat denganmu! itu bisa kau selesaikan
sendiri nanti! Aku akan cuci tangan...," ujar Ki Buyut lalu berkelebat ke arah di mana
Datuk Hitam tegak. "Sobatku, Datuk Hitam! Kau juga kuharap
mau bergabung dahulu. Urusan lain nanti kita
bicarakan lagi. Bagaimana"!"
Karena menyadari siapa lawan yang dihadapi, tanpa pikir panjang Datuk Hitam
langsung setuju dengan tawaran Ki Buyut. Ki
Buyut Pagar Alam lantas berkata pada Ratu
Pemikat. "Ratu Pemikat! Harap lupakan dulu urusan dengan Maut Mata Satu!"
"Tidakl Kalau dia ikut bergabung, aku keluar tidak ikut-ikutan!" teriak Ratu
Pemikat sambil memandang tajam pada Maut Mata Satu.
"Hem.... Kalau begitu baiklah! Silakan hadapi mereka sendlrian! Aku mau lihat!"
Ucapan KI Buyut Pagar Alam membuat
Ratu Pemikat keluarkan gumaman tak jelas.
Dia tampaknya tahu, bahwa tidak mungkin
baginya berhadapan sendiri jika tidak Ingin
mati konyol. Seakan dapat menangkap apa yang ada
dalam benak Ratu Pemikat, Ki Buyut tertawa
pelan sambil berujar.
"Ratu Pemikat! Urusanmu dengan Maut
Mata Satu bisa kau selesaikan setelah urusan
ini beres!"
Habis berkata begitu, Ki Buyut melangkah
ke arah Dewi Siluman. Bersamaan dengan itu
mata masing-masing orang kini menatap
lurus ke arah ilma orang di depan sana!
Pendekar 131 seakan tidak peduli dengan
munculnya beberapa orang di pulau itu. Dia
sangat mengkhawatirkan keadaan Sitoresmi
yang kini disandarkan pada satu batu padas.
Murid Pendeta Sinting ini lalu memeriksa
tubuh gadis salah satu murid Dewi Siluman
itu. Namun tangannya yang hendak salurkan
tenaga dalam tiba-tiba terhenti tatkala matanya menumbuk menampakkan payudaranya yang putih dan bagus. Darah
Pendekar 131 sesaat sirap. Namun buru-buru
dia alihkan pandangannya. Dia teringat waktu
mengangkat tubuh gadis itu, bagian punggungnya yang tampak berupa punuk
besar tampak mengempis. Dia cepat meraba
punggung gadis yang matanya masih terpejam dan wajahnya tampak berubah
kehitaman karena tersambar pukulan Dewi
Siluman. Dari punggung Sitoresmi, Pendekar 131
menemukan satu jubah berwarna merah yang
dibungkus demikian rupa hingga membentuk
bundar mirip punuk. Dengan cepat murid
Pendeta Sinting kenakan jubah merah pada
Sitoresmi hingga dadanya sedikit tertutup.
"Tubuh gadis ini panas bukan main. Hem....
Akan kucoba salurkan tenaga 'inti Sukma
Es'." Perlahan-lahan Pendekar 131 putar
tubuh Sitoresmi berbalik. Lalu dia kerahkan
tenaga dalamnya pada kedua lengan. Kedua
tangannya ditempelkan pada punggung Sitoresmi. Bersamaan itu hawa dingin menyeruak dan perlahan-lahan masuk ke
dalam tubuh Sitoresmi yang panas akibat
pukulan 'Kabut Neraka' yang dilepas gurunya
sendiri. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba terdengar
erangan halus dari mulut Sitoresmi. Murid
Pendeta Sinting tarik pulang kedua tangannya. Lalu perlahan-lahan pula tubuh
Sitoresmi diputar dan disandarkan kembali
pada batu padas.
Setelah mulutnya bergetar
komat-kamit, akhirnya Sitoresmi membuka kelopak matanya. Sejurus sepasang mata gadis Ini
menyipit pandangi sosok pemuda
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di depannya. Mulutnya terbuka, namun belum
ada suara yang terdengar.
"Jangan bicara dahulu. Aturlah napasmu...,"
bisik Joko sambil memandang tajam pada
gadis yang kini wajahnya berubah kehitaman.
"Terima kasih.... Terima kasih kau telah menolongku!"
Joko letakkan telunjuk jarinya pada bibir
Sitoresmi memberi isyarat agar gadis itu tidak teruskan bicara. Lalu jari-jari
Joko menyeka darah yang masih tampak di sekitar mulut
Sitoresmi. Gadis Ini serasa melayang dan
rasa sakit di sekujur tubuhnya laksana hilang.
Seolah mendapat keberanian dan kekuatan
baru, tangan Sitoresmi bergerak pelan memegang tangan Joko dan meremasnya,
sementara tangan satunya diangkat dan
memegang tangan Joko yang masih menyeka darah di mulutnya. Perlahan-lahan
kelopak mata Sitoresmi meredup.
"Meski aku tahu gadis berbaju merah itu
memikat hatimu, tapi aku sangat bahagia
sekali bisa mendapatkan hal seperti Ini.
Hanya kenapa saat bahagia Ini kurasakan
ketika keadaanku demikian" Yang
Maha Kuasa, tolong berikan aku waktu untuk dapat
mengecap rasa bahagia ini lebih lama.... Aku
berjanji, akan menyimpan kenangan ini di
lubuk hatiku, akan kuingat selalu...," Sitoresmi berbisik dalam hati seraya
terus meremas tangan Joko. Tanpa sadar, Joko balas meremas. Namun
diam-diam dia berkata daiam
hati. "Dia
mungkin akan merasa kecewa setelah melihat perubahan pada wajahnya. Hem....
Gadis malang. Tapi aku tidak akan melupakannya. Dia telah berkorban untukku!"
Jari-jari tangan Joko kini mengelus wajah
Sitoresmi. Gadis ini gigit bibirnya. Dan perlahan-iahan air mata tampak menetes dari
kelopak matanya. Bahunya penahan berguncang. "Kenapa kau lakukan semua ini"l" bisik Joko sambil terus mengusap wajah
Sitoresmi. Air mata makin bertambah mengalir. Sitoresmi gelengkan
kepalanya perlahan. Dan tangannya yang meremas tangan Joko
diangkat lalu diletakkan di depan dadanya. Di seberang sana, Wulandari dan Ayu
Laksmi tampak perdengarkan dengusan keras melihat apa yang dilakukan Joko pada Sitoresmi. Sementara Dewi Seribu Bunga
tampak cemberut lalu palingkan kepala ke
jurusan lain dengan raut merah.
Saat itulah tiba-tiba satu bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu telah tegak tujuh
langkah di samping Pendekar 131.
"Dewi Siluman!" desia Joko mengetahui siapa adanya orang yang tegak. Sitoresmi
buka kelopak matanya dan memandang ke
arah Dewi Siluman.
"Pendekar 131! Biarlah dia kuhadapi...,"
bisik Sitoresmi. Entah apa yang membuat
Sitoresmi berkata begitu, yang jelas gadis ini merasa
punya kekuatan baru serta keberanian luar biasa. Malah dalam hati dia
telah bertekad berani mati demi Pendekar
131! "Kau masih terluka. Biarlah dia kuhadapi.
Lagi pula aku punya urusan sendiri dengannya!"
jawab Joko lalu lepaskan tangannya dari tangan Sitoresmi. Lalu berdiri tegak dengan mata tak berkesip
memandang angker pada Dewi Siluman.
"Kali ini tidak cukup jika pedangku saja yang
kau kembalikan! Kau juga harus merasakan seperti yang dialami gadis itu!"
kata murid Pendeta Sinting.
Dewi Siluman tertawa panjang. "Jangan
banyak pentang mulut, Pendekar gombal!
Hidup dan matimu serta gadis cantikmu itu
ada di tanganku! Tapi aku masih punya
pertimbangan. Serahkan Kitab Serat Biru
padaku, niscaya kau kubebaskan membawa
bekas muridku itu ke mana kau suka!"
Pendekar 131 balik tertawa. "Tanpa pertimbanganmu, aku bebas membawanya
ke mana kusuka. Atau barangkali kau mau
ikut serta"! Namun harap buka dahulu penutup wajahmu, aku takut, jangan-jangan
ucapan orang tua tadi betul! Kau perempuan
yang...." "Jahanam!" maki Dewi Siluman
keras. Sosoknya segera berkelebat ke depan dengan kedua tangan bergerak lepaskan
pukuian 'Kabut Neraka'.
Joko yang sudah waspada tak menunggu
lagi. Begitu dari kedua tangan Dewi Siluman
melesat kabut hitam, dia kirimkan pukulan
'Lembur Kuning'!
Pukuian 'Lembur Kuning' belum menggebrak, satu kekuatan aneh telah melesat mendahului.
Bummm! Ledakan dahsyat menggelegar membuncah
tempat itu. Sosok Dewi Siluman terpental
satu tom bak ke belakang.
Akibat pukulan 'Kabut
Neraka' bentrok dengan kekuatan yang melesat mendahului
pukulan sakti 'Lembur Kuning'. Sepasang
mata Dewi Siluman terbeliak, karena baru
saja kakinya menjejak tanah, gelombang
angin panas pukulan 'Lembur Kuning' menggebrak! Dewi Siluman tidak menunggu, kedua kakinya segera dihentakkan ke atas tanah.
Dari sepasang matanya melesat sinar hitam
yang langsung diarahkan pada pukulan yang
kini mengarah padanya!
Byaaarrr! Gelombang panas ambyar bertabur sinar
hitam. Sosok Dewi Siluman
terjengkang roboh. Di depannya murid Pendeta Sinting
terhuyung lalu jatuh terduduk. Namun karena
khawatir lawan hendak lepas kan pukulan lagi
dengan menahan rasa nyeri di dada masingmasing, Dewi Siluman dan Pendekar 131
segera sama-sama bergerak bangkit.
Tiba-tiba Dewi Siluman cabut Pedang Tumpul 131 dari balik jubahnya. Tangan
kanannya menarik pedang dari sarungnya
yang dipegang tangan kiri. Lalu tangan kirinya mencampakkan sarung pedang itu ke
tanah. Sembari menyeringai ganas, Dewi Siluman
segera melompat ke depan. Pedang Tumpul
131 dibabatkan ke arah kepala murid Pendeta Sinting!
Sinar kekuningan yang
dikeluarkan hawa luar biasa panas segera
menghampar bersamaan dengan membabatnya pedang.
Maklum akan kehebatan pedang miliknya
sendiri, murid Pendeta Sinting segera mundur
satu langkah. Lalu sambil melompat dari arah
samping kedua tangannya bergerak menggebrak ke arah tangan Dewi Sliuman
yang membabatkan pedang.
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dewi Siluman hentikan babatan pedangnya. Dan secepat kilat dia tarik pulang kedua tangannya, sementara
tubuhnya ditarik
sedikit, hingga gebrakan tangan Joko menghantam tempat kosong. Saat kedua
tangan Joko lewat, Dewi Siiuman sentakkan
tangan kanannya yang memegang pedang.
Breettt! Pakaian murid Pendeta Sinting robek besar
pada bagian samping lambung. Untung Pendekar 131 cepat berkelit. Terlambat sedikit, bukan tidak mungkin perutnya akan
ambrol terbabat Pedang Tumpul 131.
Dewi Siluman tertawa pendek. "Masih ada
waktu untuk berpikir! Lekas serahkan Kitab
Serat Biru atau kepala dan perutmu akan
kubuat jebol'"
Sitoresmi tampak cemas melihat kejadian
itu. Diam-diam dia bergumam.
"Perempuan ini penghalang kebahagiaan
ku! Kalau Pendekar 131 tak bisa bertahan,
rasanya aku tak bisa hidup sendirian! Lebih
baik mati bersama daripada hidup merasa
sendirian!"
serentak Sitoresmi bergerak bangkit. Meski masih terhuyung-huyung
namun gadis ini kuatkan diri.
"Bagus! Kuturuti kehendak kalian yang ingin mampus
bersama!" teriak Dewi Siiuman
geram. Saat Itulah satu bayangan merah berkelebat disusul dengan menderunya angin
keras. Dewi Siluman cepat berpaling. Dewi
Seribu Bunga kini tam pak tegak lima jangkah
di depannya! "Kau!" desis Dewi Siluman. "Katakan apa maksudmu!"
Dewi Seribu Bunga tidak menjawab. Mata
gadis murid Maut Mata Satu Ini memandang
pada Sitoresmi lalu pada Pendekar 131.
Sitoresmi balas memandang. Hingga sejurus
kedua gadis Ini sama bentrok pandangan.
"Dewi Seribu Bunga!" kata Joko. "Harap kau tidak ikut campur!"
"Dan harap jangan mengambil keuntungan
dari keadaan!" sahut Dewi Siiuman karena masih menduga jika Dewi Seribu Bunga
menginginkan Pedang Tumpul 131 seperti
yang pernah didengarnya saat Dewi Seribu
Bunga bercakap-cakap dengan gurunya Maut
Mata Satu beberapa waktu lalu di lereng
bukit. Mendengar ucapan orang, Dewi Seribu
Bunga yang telah dilanda rasa cemburu
membuang muka sambil berkata keras.
"Jangan sembarangan berucap menuduh
orang! Dan kau gadis berjubah merah! Sekali
lagi kudengar ucapanmu yang bukan-bukan,
aku tak segan menambah tamparan pada
mulutmu!" Habis berkata begitu, Dewi Seribu Bunga
mundur agak menjauh. Tapi sepasang matanya tak hendak beranjak dari tubuh
Sitoresmi. Sebaliknya Sitoresmi tak juga
palingkan wajahnya dari menatap ke arah
Dewi Seribu Bunga!
"Hem.... Tampaknya gadis-gadis ini iebih mementingkan urusan cinta! Dasar gadis
bodoh! Mereka kira cinta dapat membahagiakan hidup! Hik... hik... hik....
Mereka tidak tahu, justru cinta adalah pangkal malapetaka
dan sengsara!"
kata Dewi Siluman dalam hati. Lalu memanfaatkan
keadaan, perempuan bercadar dan berjubah
hitam ini cepat meloncat ke arah Pendekar
131. Tangan kanannya kembali babatkan
pedang, sementara tangan kirinya melepaskan pukulan mengarah pada kepala!
Pendekar 131 yang diam-diam telah kerahkan tenaga dalam pada kedua lengan
dan kedua tangannya segera menyambuti
dengan angkat kedua tangannya.
Bukkk! Buukkk! Dewi Siluman memekik keras. Tangan
kirinya yang beradu dengan tangan kanan
Pendekar 131 mental balik ke belakang.
Sementara tangan kanannya yang memegang pedang dan baru saja bentrok
dengan tangan kiri Joko tampak bergetar
keras serta kejang kaku dan dingin tidak bisa digerakkan! Hingga tatkala Dewi
Siluman mundur, Pedang Tumpul 131 terlepas dari
tangannya. Murid Pendeta Sinting yang baru saja
lepaskan tenaga Inti 'Sukma Ea' segera
merangsek ke depan.
Namun Dewi Siluman segera berkelebat
menghadang dengan kaki menginjak Pedang
Tumpul 131. Karena sudah telanjur merangsek, kedua
tangan Joko segera pula berkelebat lepaskan
pukulan. Dewi Siluman tak berani berlaku
ayal. Kedua kakinya cepat menghentak tanah. Saat itu juga dari sepasang matanya
melesat dua sinar hitam!
"Sinar Setan!" seru Sitoresmi. "Menyingkir!"
Tak ada kesempatan !agi bagi murid Pendata Sinting untuk menghindar selamatkan diri. Hingga pada saat genting itu dia cepat alirkan tenaga dalamnya
di telapak tangannya. Lalu seraya terus merangsek dia
menghadang dengan lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'.
Dess! Desss! Baik Dewi Siiuman maupun Pendekar 131
tak dapat hindarkan diri dari pukulan lawan.
Hingga saat terjadi bentrok pukuLan, sosok
masing-masing sama-sama terpelanting. Joko jatuh terkapar dengan pakaian hangus
dan sebagian robek. Wajahnya pucat pasi
dengan dada berdebar sakit. Meski pukulan
'Sinar Setan' yang dilepas Dewi Siluman
menghantam tubuhnya, namun karena Joko
telah melindungi diri dengan tenaga inti
'Sukma Es', maka tubuhnya tidak melepuh
hangus, walau tak urung darah segar nampak
keluar dari mulutnya pertanda dia terluka
bagian dalam. Sebaliknya Dewi Siluman sendiri telentang
di atas tanah berpasir dengan tubuh bergeletar dan mata memejam rapat. Dari
bagian bawah cadar penutup wajahnya tampak darah menetes, pertanda dia juga
terluka bagian daiam. Bahkan untuk beberapa lama perempuan bercadar dan
berjubah hitam ini diam tidak bergerak-gerak.
Saat itulah tiba-tiba bayangan merah berkelebat dan menyambar Pedang Tumpul
131 beserta sarungnya yang tergeletak di
atas pasir. *** TUJUH ITA kembali sejenak ke tempat agak
jauh di sebelah kanan. Begitu Ratu
KPemikat melihat Dewi Siluman
berkelebat ke arah Pendekar 131 yang coba
salurkan hawa murni selamatkan Sitoresmi,
perempuan cantik bertubuh bahenol ini yang
urusannya pernah dihalangi oleh iblis Ompong beberapa waktu yang lalu segera
berkelebat ke arah kakek tak punya leher dan
tak punya gigi ini yang tetap berdiri tegak
memunggungi. Melihat hal ini, Datuk Hitam
yang punya ganjalan dengan Ratu Malam
segera pula melompat ke arah si nenek yang
duduk mencangklong di atas gugusan batu
padas. Maut Mata Satu tak tinggal diam. Dia
cepat melesat ke depan dan tegak tiga
langkah di hadapan Dewi Es. Ki Buyut Pagar
Alam memandang sejenak pada Dewa Sukma dan Gendeng Panuntun. Dia seolah
menimbang. Lalu sekejap kemudian dia telah
berkelebat ke arah Dewa Sukma. Merak
Kawung sejurus merasa kebingungan.
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena tinggal Gendeng Panuntun yang
masih tampak belum ada yang menghadapi,
akhirnya laki-laki setengah baya berkepala
gundu! ini merangsek ke arah Gendeng
Panuntun yang masih telentang menindih
tubuh Malaikat Penggali Kubur.
Karena jarak yang paling dekat adalah
antara Merak Kawung dan Gendeng Panuntun, maka laki-laki setengah baya ini
sekejap saja sudah tepat berada di hadapan
Gendeng Panuntun, Dan tanpa menunggu
lama dia segera lepaskan satu tendangan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Gelombang angin terdengar menderu keras
mendahului tendangan yang dilepas Merak
Kawung. Gendeng Panuntun kucek-kucek matanya
yang putih, lalu berguling ke samping kanan.
Tendangan maut Merak Kawung sejengkal
lewat di samping tubuhnya, membuat Merak
Kawung menggeram. Dia putar tubuhnya
sekali. Lalu maju selangkah dan serta-merta
tangan kanannya berkelebat menghantam ke
arah sosok Gendeng Panuntun yang telah
kembali menindih sosok Malaikat Penggali
Kubur. "Mampusl"
teriak Merak Kawung saat melihat Gendeng Panuntun tidak membuat
gerakan meski si laki-laki berkepala gundul itu telah lepaskan satu pukulan ke
arahnya. Namun sejengkal lagi tangan kanan Merak
Kawung menghantam batok kepala Gendeng
Panuntun, kakek bertubuh besar bermata
buta ini gerakkan kaki kanannya sambil
berguling. Settt! Merak Kawung terkesiap. Kaki kanannya
terdorong deras ke belakang hingga tubuhnya
melipat ke depan. Namun Merak Kawung tak
hendak urungkan tangan kanannya yang
menghantam. Buukkk! Terdengar seruan tertahan keras. Bukan
dari mulut Gendeng Panuntun melainkan dari
mulut Malaikat Penggali Kubur yang terkena
hantaman tangan Merak Kawung. Bukan
hanya sampai di situ, saat tubuh Merak
Kawung melipat ke depan, Gendeng Panuntun angkat kaki kanannya dan ditusukkan pada pantat Merak Kawung. Merak Kawung terjerembab menelungkup di
atas tubuh Malaikat Penggali Kubur dengan
deras, membuat Malaikat Penggali Kubur
kembali berseru seraya memaki tak karuan.
"Jahanam! Kau memukul dan menindihku!"
teriak Maiaikat Penggali Kubur lalu gerakkan
kedua tangannya memukul ke atas, di mana
saat itu sosok Merak Kawung berada di
atasnya. Bukk! Bukkk! Mendapati dirinya dihantam dari bawah,
Merak Kawung tak tinggal diam, kedua
tangannya yang tertindih tubuhnya segera
ditarik keluar lalu dihantamkan ke arah punggung Malaikat Penggali Kubur.
Bukkk! Bukkk! Malaikat Penggali Kubur menggembor marah. Dia kembali hendak menghantam ke
atas, sementara Merak Kawung yang tahu
hendak dihantam kembali hantamkan kedua
tangannya. Ketika kedua pasang tangan itu
sama-sama hendak menggebuk, tiba-tiba
Gendeng Panuntun jejakkan tangan dan
kakinya ke tanah berpasir. Tubuhnya membai
ke udara lalu bergerak ke samping ke arah
Merak Kawung dan Malaikat Penggali Kubur.
Plukkk! Terdengar dua seruan keras berbarengan.
Sosok besar Gendeng Panuntun kini telentang menindih tubuh Merak Kawung dan
Malaikat Penggali Kubur. Merak Kawung dan
Malaikat Penggali Kubur sama-sama tercekat. Karena tindihan Gendeng Panuntun
dengan pengerahan tenaga dalam, maka
kedua orang di bawah tubuh Gendeng Panuntun hanya bisa gerak-gerakkan tangan
tanpa bisa gerakkan tubuh.
"Ha... ha... ha...! Rasanya enak juga berkasur anak manusia!" kata Gendeng Panuntun sambil tertawa bergelak-gelak hingga tubuhnya berguncang-guncang,
membuat dua orang di bawahnya menyumpah tak karuan.
"Setan alas!" teriak Merak Kawung lalu hantamkan sikunya ke arah tubuh Gendeng
Panuntun. Dukkk! Sosok Gendeng Panuntun bergoyang- goyang. Namun sekejap kemudian Gendeng
Panuntun bergerak bangkit.
Usap-usapan cerminnya sejurus lalu kaki kanannya menjulur ke belakang dan bergerak menendang kaki Merak Kawung.
Desss! Karena tendangan Itu bukan tendangan
biasa, maka saat itu juga sosok Merak
Kawung tampak berputar-putar di atas tubuh
Maiaikat Penggali Kubur
laksana balingbaling. Saat itulah Malaikat Penggali Kubur sentakkan kedua tangannya ke atas tanah.
Tubuhnya melonjak ke atas, membuat tubuh
Merak Kawung ikut membumbung ke udara!
Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Malaikat Penggali Kubur. Dia segera balikkan
tubuh. Ketika sosok Merak Kawung yang
tetap berputar melayang turun, Malaikat Penggali Kubur yang sudah merasa geram
cepat rentangkan kedua tangannya, sementara kakinya ditekuk sedikit ke atas.
Saat setengah depa lagi tubuh Merak Kawung menghempas tubuhnya, Malaikat
Penggali Kubur angkat kedua tangan dan
kakinya. Prakkk! Desss! Merak Kawung menjerit keras. Tubuhnya
kembali membumbung ke udara, lalu melayang jatuh dengan kepala rengkah dan
nyawa putus! Malaikat Penggali Kubur menyeringai lalu
cepat bergerak bangkit. Menatap sejurus
pada mayat Merak Kawung lalu berpaling
pada Gendeng Panuntun. Untuk beberapa
saat murid Bayu Bajra ini tampak ragu-ragu.
Dari beberapa kali bentrok, tampaknya Malaikat Penggali Kubur sadar, bahwa ilmu
kepandaiannya masih berada di bawah Gendeng Panuntun. Namun hawa amarah
tampaknya lebih menguasai dirinya. Hingga
didahului bentakan keras, pemuda ini melesat
ke depan seraya lepaskan pukuian 'Telaga
Surya'! Namun baru saja dari kedua tangannya
yang mengepal keluarkan cahaya terang,
beberapa pantulan cahaya telah melesat
hingga kedua tangan Malaikat Penggali
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kubur terpental ke belakang. Malaikat Penggali Kubur cepat melompat mundur, lalu
secepat Itu pula kedua tangannya diangkat.
Namun belum sampai kedua tangannya
bergerak lepaskan pukulan, kembali beberapa pantulan cahaya menggebrak, malah kali ini disertai menderunya angin
keras! Karena saat itu Malaikat Penggali Kubur
sedang siapkan pukulan 'Telaga Surya', hingga dia tidak kuasa membendung gebrakan angin yang mengarah padanya.
Desss! Deesss! Sosok Malaikat Penggali Kubur mencelat
dan terjengkang di
atas tanah berpasir dengan mulut keluarkan darah. Entah karena
merasa khawatir Gendeng Panuntun hendak
menyerang kembali, Malaikat Penggaii Kubur
cepat bergerak bangkit meski sekujur tubuhnya merasa luluh lantak.
"Kau!" ujar Maiaikat Penggaii Kubur dengan memandang tajam pada Gendeng Panuntun
yang tegak sepuluh langkah di hadapannya.
"Adalah manusia pertama yang kelak akan
kucari!" Habis berkata begitu, Malaikat Penggali
Kubur terhuyung-huyung balikkan tubuh lalu
berkelebat ke arah pinggir pulau.
Gendeng Panuntun tertawa mengekeh, lalu
melangkah ke arah satu gugusan batu padas
dan duduk bersandar dengan mata memejam! Di sebeiah samping, tiba-tiba terdengar
letupan. Lalu tampak kepingan batu padas
bertabur ke udara. Disusul bentakan keras
yang ternyata keluar dari mulut Datuk Hitam
karena sosok Ratu
Malam yang duduk mencangklong di atas batu padas tiba-tiba
berkelebat lenyap hingga hantaman tangan
Datuk Hitam melabrak batu padas yang tadi
diduduki Ratu Malam.
Datuk Hitam kertakkan rahang. Lalu berpaling ke samping kanan. Tangan kanannya menyibak ram butnya yang terurai
ke wajahnya. Sepasang matanya mendelik
angker menatap pada Ratu Malam yang kini
tegak dengan kacak pinggang dan mulut
bergerak-gerak mainkan gumpalan tembakau
hitam. "Terimalah
kematianmu!"
teriak Datuk Hitam. Lalu laksana terbang kakek berwajah
hitam legam ini melesat ke arah Ratu Maiam.
Kedua tangannya mengembang lalu menghentak ke depan lepaskan pukulan
'Puspa Jagat'. Wuuttt! Wuuutttt!
Sesaat suasana berubah hitam. Lalu terdengar deru keras disertai menggebraknya
hamparan angin deras berhawa panas.
Ratu Maiam dongakkan kepala. Gumpalan
tembakau hitam di mulutnya tampak keluar
mencuat, namun kejap kemudian tertarik dan
masuk lagi ke mulutnya. Bersamaan itu
kedua tangannya mendorong ke depan lalu
disentakkan ke bawah.
Gebrakan gelombang angin yang keluar
dari kedua tangan Datuk Hitam tertahan di
udara, lalu bersamaan dengan menyentaknya
tangan Ratu Maiam ke bawah, gebrakan
angin itu menukik deras menghantam tanah
berpasir! Bummm! Tanah berpasir berwarna biru berhambur
ke udara. Lalu tampak lobang besar menganga karena akibat pukulan Datuk
Hitam yang berbelok menukik. Meski tidak
langsung bentrok pukulan, namun sosok
Datuk Hitam tampak tersurut lima langkah
dengan wajah makin mengetam. Dadanya
berdenyut nyeri sementara kedua tangannya
bergetar. Sebenarnya nyali Datuk Hitam sudah pupus
tatkala mengetahui pukulan andalannya begitu mudah dipangkas oleh Ratu Malam.
Namun berpikir Ratu Malam tidak akan membiarkannya pergi, membuat Datuk Hitam
nekad. Sepasang kaki Datuk Hitam segera menjejak tanah. Tubuhnya membumbung ke
udara, di atas kakek berwajah hitam ini
membuat gerakan telentang dan berputarputar. Lalu melesat ke depan sambil kirimkan
pukulan 'Puspa Jagat' untuk kedua kalinya!
Ratu Maiam komat-kamltkan mulut. Tibatiba nenek ini putar tubuh dan kejap lain
tubuhnya membai tinggi ke udara satu tombak di atas tubuh Datuk Hitam, membuat
pukulan Datuk Hitam menghantam tempat
kosong. Dan begitu melihat sosok Ratu Malam
melayang di atas tubuhnya, Datuk Hitam
tersentak kaget. Takut Ratu Maiam lepaskan
pukulan, Datuk Hitam segera bergerak mendahului lepaskan pukulan dengan sentakkah kedua tangannya ke atas.
Namun bersamaan dengan itu, kedua tangan Ratu Malam menyentak ke bawah.
Hingga gelom bang angin yang melesat dari
kedua tangan Datuk Hitam tertahan malah
kini berbalik menggebrak ke arah si kakek!
Tidak ada waktu lagi bagi Datuk Hitam
untuk menangkis atau menghindar dari pukulannya sendiri yang membalik, hingga
saat itu juga Datuk Hitam memekik keras
terhantam pukulannya sendiri. Sosoknya lebih keras berputar lalu melayang Jatuh
bergedebukan di atas tanah berpasir dengan
mulut dan hidung keluarkan darah. Untuk
sesaat kakek berwajah hitam ini mengerang,
namun kejap lain suara erangannya terputus
laksana direnggut setan. Tubuhnya melejang
sejenak sebelum akhirnya diam tak berkutik
lagi! Ratu Malam meiayang turun sambi! usapusap jubah merahnya di bagian bahu yang
tampak hangus. Memandang sejenak pada
sosok Datuk Hitam yang sudah tidak bernyawa, lalu melangkah ke arah batu
padas di mana Gendeng Panuntun duduk
bersandar. Kejap lain nenek berambut putih
sebatas tengkuk ini telah duduk mencangklong di atas batu sandaran Gendeng Panuntun!
*** Saat Datuk Hitam berkelebat menggebrak
ke arah Ratu Malam, di sebelah samping,
Ratu Pemikat telah pula melesat dan langsung lepaskan jotosan tangan kiri kanan
ke arah belakang kepala Iblis Ompong.
Kakek tidak punya leher dan tidak bergigi
ini tengadah sedikit, mulutnya dibuka lebar
Joko Sableng Neraka Pulau Biru di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebar. Karena dia tegak memunggungi, begitu
sejengkal lagi kedua jotosan Ratu Pemikat
menggebrak kepalanya, Iblis Ompong lipat
Bangau Sakti 33 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Pendekar Penyebar Maut 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama