Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari Bagian 1
PEDANG PUSAKA DEWA MATAHARI Oleh Fahri A. Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini Tanpa
Izin Tertulis dari Penerbit Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode 001 :
Pedang Pusaka Dewa Matahari
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Malam itu angin bertiup lembut.
Suasana jalan agak sunyi. Walau dari kejauhan terdengar kentongan walau agak
samar-samar. Hujan pun mulai turun rintik-rintik, membuat penghuni setiap rumah
merasa lebih enak berdiam diri di dalam daripada keluar.
Begitu pula dengan penghuni sebuah rumah yang halamannya ditumbuhi pohon besar.
Kepala rumah tangga itu bernama Kartonggolo. Seorang petani yang bertubuh tegap
karena dilahirkan dari desa. Istrinya bernama Warsih Inten.
Agak mengherankan, karena istrinya seorang perempuan yang mungil dan manis.
Lain dengan suaminya yang bertubuh besar tetapi wajahnya tampan.
Mereka merupakan keluarga yang
bahagia. Apalagi sejak dikaruniai seorang putra yang kini berusia lima tahun,
keluarga itu semakin berbahagia.
Warsih Inten sangat menyayangi anaknya.
Anak yang diharapkan dapat melindungi orang tuanya di hari kelak nanti.
"Madewa...." panggilnya lembut pada anak yang sedang bermain dibalai-balai.
"Ayo tidur. Hari sudah larut malam, Nak."
Bocah itu mengangkat wajahnya.
Tatapannya yang bundar dan indah berputar menatap ayah dan ibunya bergantian.
Bocah itu mengangguk.
"Ibu tidak tidur?" tanyanya.
"Ibu mau tidur."
"Ayah?"
Kartonggolo yang sedang memikirkan akan kemajuan sawahnya mengangguk pula.
"Ayo kamu tidur sana dulu Nanti Ayah menyusul."
Bocah itu langsung merebahkan
tubuhnya di balai-balai itu pula. Warsih Inten menunggui sampai anak itu
terlelap. Betapa sayangnya dia dengan anaknya. Dia ingin anaknya bisa tumbuh
melebihi ayahnya.
Tiba-tiba pintu depan ada yang
mengetuk. Kertonggolo bangkit dengan sigap. Ia menyambar goloknya yang tersampir
di pagar rumah. Istrinya bangkit dengan ketakutan. Gemetar memegangi lengan
suaminya. Jelas saja mereka kuatir. Karena akhir-akhir ini sering kali terjadi perampokan
yang diiringi dengan
perkosaan. Bahkan sering kali terjadi pembunuhan yang sadis.
Kartonggolo menenangkan istrinya.
Lalu membentak keluar, "Siapa di luar"!"
Disangkanya suara yang seram dan galak yang menyahut, tapi suara lembut dan
menggigil yang terdengar, "Saya."
"Saya siapa"!"
"Nama saya Pandan Ningsih. Mohon dibukakan pintu, karena di luar dingin sekali."
Kartonggolo ragu-ragu. Tapi
istrinya mendesak agar dia mau membuka pintu. Warsih Inten tidak tega mendengar
suara yang menggigil itu. Dia
membayangkan, bagaimana dinginnya di luar sana.
Dengan golok siap mengayun,
Kartonggolo membuka pintu. Pelan-pelan dan hati-hati. Tidak ada yang menyerbu
masuk, padahal kalau ada, pasti buntung lehemya ditebas golok itu.
"Oh!" Warsih Inten menjerit. Ia berlari ke luar. Sosok tubuh wanita menggigil
kedinginan. Warsih Inten merangkulnya mengajak masuk. "Silahkan, Dik."
Wanita itu diam. Ia berwajah cantik.
Tubuhnya padat dan indah. Bibirnya agak kebiruan karena menahan dingin.
Kartonggolo menutup pintu
kembali. Memperhatikan istrinya yang sibuk
memberikan kain penghangat pada wanita itu.
Warsih Inten pun memberikan
pakaiannya sendiri untuk dipakai wanita itu. Setelah itu dia bertanya, "Adik
dari mana dan mau ke mana?"
Wanita itu masih menggigil. Dan
mendadak dia terisak.
"Saya... kabur dari rumah...."
"Kenapa?"
"Ibu saya ingin mengawinkan saya dengan laki-laki tua.... Saya tidak mau.
Saya tidak suka dengan bandot tua itu.
Tapi... Ibu memaksa... dia mengancam akan membunuh saya kalau tidak mau
mengikuti kehendaknya.
Saya takut, Kak. Saya takut. Saya lari dari rumah. Dan kemalaman di desa
ini...." Lagi-lagi Warsih Inten membayangkan kalau saja dirinya yang dijodohkan demikian,
tentu dia akan berbuat hal yang sama seperti Pandan Ningsih.
Pandan Ningsih terisak lagi. Dulu dalam angannya, dia menginginkan seorang
perjaka yang perkasa yang mampu
melindunginya, bukan duda yang jelek itu!
Isaknya itu membuat Warsih Inten semakin iba. Tanpa minta persetujuan
suaminya, ia m-nyuruh wanita itu menginap di rumahnya. Sampai beberapa hari
lamanya Pandan Ningsih menginap.
Warsih Inten senang, karena setiap kali suaminya ke sawah ia ada yang menemani
selain putranya yang bernama Madewa Gumilang.
Bahkan Warsih Inten mengambil
Pandan Ningsih sebagai pengasuh anaknya.
Pandan Ningsih menerima usul itu sebagai balas budi kebaikan Warsih Inten.
Mereka lalui hari-hari itu dengan penuh kegembiraan. Kecerian Pandan Ningsih
muncul kembali. Setiap pagi dan sore dia mengajak Madewa Gumilang bermain.
Madewa pun akrab dengan gadis itu.
Ketika Madewa berusia enam tahun, malapetaka itu pun terjadi. Malam itu Warsih
Inten terbangun. Ia heran melihat suaminya tidak berada di sampingnya.
Dengan masih tanda tanya dia bangkit keluar kamar. Sayup-sayup dia mendengar
suara cekikikan dan desah nafas turun naik dari kamar Pandan Ningsih. Dia
cekikikan dengan siapa"
Hal itu membuat Warsih Inten menjadi heran dan penasaran. Apalagi ketika dicari
ke setiap sudut rumah, suaminya tidak ada. Kalau hendak keluar rumah,
suaminya selalu bilang hendak pergi.
Dengan hati-hati Warsih Inten mengintip dari lubang kunci. Dan dia tersentak.
Benar-benar pemandangan yang
mengejutkan. Dia melihat suaminya tengah menggumuli tubuh Pandan Ningsih yang
cekikikan dan bergelinjang keenakan.
Keduanya dalam keadaan telanjang bulat!
Menggigil tubuh Warsih Inten.
Sambil menggigit bibir
marah dia terhuyung ke belakang. Tatapan matanay seakan berkunang-kunang. Kepalanya pusing
bukan kepalang. Ternyata suaminya telah
mengkhianatinya. Juga Pandan
Ningsih yang tega-teganya merebut suaminya. Apa dia telah melupakan, kalau
setahun yang lalu gadis itu ditolongnya"
Entah perbuatan yang keberapa yang mereka lakukan itu.
Tetapi kejadian itu didiamkan saja.
Sikap Warsih Inten tetap seperti biasa.
Walau dia geram sekali setiap kali melihat Pandan Ningsih. Hanya saja kalau
setiap kali suaminya ingin k-butuhannya dilayani, dia menolak. Beberapa kali
Kartonggolo hanya mendiamkan saja, mengira istrinya sedang tidak enak badan.
Namun setelah beberapa kali Warsih Inten tidak mau melayaninya, Kartonggolo
menjadi kesal. Dengan geram
dia menampar pipi istrinya hingga memerah. Warsih Inten menangis terguguk.
Sementara Madewa yang terbangun hanya diam saja. Dia tahu orang tuanya tengah
bertengkar, tapi dia tidak tahu apa masalahnya.
Kartonggolo menggeram jengkel.
"Keterlaluan kau, Warsih! Hampir sepuluh kali aku minta padamu, tapi kau selalu
menolak. Menolak. Sungguh keterlaluan!"
Kartonggolo bersunggut-sunggut. Ia sama sekali tidak tahu apa penyebab
keengganan istrinnya itu. Warsih Inten tidak mau mendapat bagian yang bekas. Dia
hanya ingin memiliki Kartonggolo seorang!
Kartonggolo akan membentak lagi, namun didahului oleh istrinya, "Kau yang
keterlaluan, Karto!" jerit Warsih Inten diiringi isaknya. "Kau hendak menyamakan
aku dengan pelacur, kau samakan aku dengan barang mainanmu. Aku tidak sudi!"
Jelas saja Kartonggolo tidak
mengerti apa yang dikatakan istrinya. Ia tetap mengira istrinya belum mengetahui
belangnya. "Kau bicara apa, Warsih?"
Warsih Inten terguguk. "Kau jahanam, Karto! Kau jalang! Kau telah menodai
kesetianku. Kau anggap aku ini
apa, Karto?" Warsih Inten menangis tersedu-sedu. Dipeluknya Madewa Gumilang yang
hanya diam saja. Tapi merasakan kesedihan ibunya karena ibunya menangis.
Sekarang sadarlah Kartonggolo.
Kalau hubungan gelapnya dengan Pandan Ningsih sudah diketahui istrinya. Dia
mendesah. Diam-diam dia menyesali perbuatan hina itu. Ya, dia telah menodai
tirai perkawinan yang telah lama mereka bina. Dia telah menghancurkan harapan
istrinya yang ingin bersandar padanya selama-lamanya. Tiba-tiba Kartonggolo
berlutut di kaki istrinya. Matanya memancarkan sorot penyesalan dan minta maaf.
Dia menangis di hadapan istrinya.
"Warsih... maaf... maafkan aku. Aku bersalah. Pandan Ningsih yang merayuku,
aku...aku, khilaf, Warsih...."
Warsih Inten masih terguguk.
Perlahan dia menghapus air matanya.
Sebagai wanita yang mencintai suaminya, Warsih Inten memaafkan perbuatan
suaminya. Ia memegang kedua bahu suaminya. Dan mengangguk. Tetapi tiba-tiba
muncul Pandan Ningsih dengan senyum yang mirip iblis betina.
"Hik... hik... rupanya ada
sandiwara yang mengharukan di kamar
ini...." suaranya pun lain seperti biasanya.
Kartonggolo bangkit dan membalik.
"Pandan Ningsih!" geramnya marah.
Gara-gara wanita ini rumah tangganya nyaris berantakan. "Enyah kau dari sini!
Cepat! Sebelum kemarahanku naik " Pandan Ningsih tersenyum. Sedikit pun tidak
takut akan marahnya kartonggolo.
"Hik... hik... dasar laki-laki. Mau enaknya saja. Kau telah merenggut
keperawananku, Karto. Kau telah
enak-enakan menggoyang tubuh di atas tubuhku. Dan sekarang... kau ingin
membuangku begitu saja...."
Kartonggolo semakin marah. Betina ini tidak takut dengannya rupanya.
Dengan gusar ia mengayunkan tangannya.
Wuut! Pukulannya lewat ke samping.
Entah bagaimana Pandan Ningsih sudah berkelit ke samping.
"Hik... hik...."
Kartonggolo kaget serangannya
gagal. Ia akan menyerang lagi. Tapi tiba-tiba tatapan matanya berbenturan dengan
mata Pandan Ningsih. Tatapan itu begitu mesranya. Kartonggolo yang tadinya
marah, tiba-tiba menjadi senang.
Dia malah berbalik memeluk Pandan Ningsih. Rupanya Pandan Ningsih seorang
wanita yang menguasai hipnotis, karena dengan mudahnya Kartonggolo bisa
dipengaruhi. Pandan Ningsih terkikik. "Hik...
hik... inilah ganjaran untuk ayahmu, Warsih Inten. Ayahmu yang menghamili ibuku,
sehingga aku terhina.... Dan mereka meninggalkan kami dalam keadaan
sengsara...."
Betapa geramnya Warsih Inten
melihat adegan itu". Dengan mesra sekali suaminya mengecup bibir Pandan Ningsih
yang dibalas dengan tak kalah mesranya.
Tiba-tiba dia bangkit dengan kemarahan membludak. Menyerang Pandan Ningsih
dengan kalap. Tetapi Pandan Ningsih cukup
mengelak sedikit saja, hingga pukulan itu luput. Malah ia sempat memukul bagian
belakang Warsih Inten hingga
terpelanting ke sudut kamar.
"Aaaaah!"
Pandan Ningsih hanya tertawa.
Sementara Kartonggolo hanya tersenyum.
Sedikit pun dia tidak berniat untuk menolong istrinya. Dia terus menciumi Pandan
Ningsih dengan penuh nafsu.
"Ibu!" jeritan itu terdengar.
Madewa Gumilang berlari memburu ibunya yang berdarah mulutnya. Lalu berbalik ke
arah Pandan Ningsih dengan marah.
"Perempuan jahat! Kenapa kau pukul Ibu"
Kasihan Ibu!"
"Hik... hik... hik... bocah, bocah.
Besar pula nyalimu."
"Kau jahat. Kau pukul Ibu. Aku akan membalas!" seru Madewa kecil sambil
menyerang. Pandan Ningsih hanya
terkikik. Lalu menendang Madewa hingga mengaduh keras. Tapi rupanya bocah itu
belum puas. Dia menyerang lagi.
Ditendang lagi. Menyerang lagi.
Ditendang lagi. Sampai kehabisan tenanga sendiri.
"Kau bocah berani. Aku suka padamu,"
desis Pandan Ningsih sambil mengeliat dari ciuman Kartonggolo yang sudah dibuai
nafsu. Lalu ia mengajak
Kartonggolo untuk rebahan di ranjang. Di hadapan istri dan anaknya, Pandan
Ningsih bermain cinta dengan
Kartonggolo! Dada Warsih Inten seakan mau pecah.
Tangisnya seakan mau meledak. Dia tak kuasa melihat adegan itu. Tiba-tiba dia
menyambar tubuh anaknya lalu berlari jauh-jauh meninggalkan
rumah. Tawa keenakan Pandan Ningsih mengiringi kepergiannya.
Hancur sudah harapan yang dibangun Warsih Inten sejak muda. Harapan yang
diimpikannya untuk hidup bahagia bersama suami dan anak tercinta. Ia terus
berlari menembus kegelapan malam. Didiamkan saja anaknya yang memanggil-manggil
ayah. Dia harus bisa mendidik Madewa agar menjadi orang baik. Tidak sesat seperti
ayahnya, yang disangkanya dewa penolong dalam kehidupannya.
Menjelang pagi, baru Warsih Inten beristir-hat. Madewa sudah tertidur dalam
dekapannya. Letih baru dirasakan sekarang. Langkahnya terasa enggan.
Kakinya terasa kaku. Ia merebahkan Madewa di atas rumput lembut. Lalu ia sendiri
bersandar di batu besar. Angin bertiup dengan semilir. Membuat ia semakin
mengantuk. Tak terasa ia tertidur.
Dalam tidurnya dia bermimpi, kalau dia dan suaminya sedang berada di sebuah
taman yang indah. Dan Madewa kecil berlari di sekitar mereka. Mimpi yang indah.
Tetapi begitu Warsih Inten
terbangun, ia menemukan dirinya berada di luar mimpinya. Jauh berbeda dengan
mimpi indahnya. Perlahan-lahan ia teringat berada di mana. Juga mengapa
berada di tempat itu. Ini semua gara-gara wanita iblis itu. Diliriknya Madewa
yang tengah menggeliat.
Dan terbangun. Ia melihat ibunya tengah menatapnya. Wajah Ibu nampak pilu. Penuh
dengan beban yang sarat.
Entah kenapa tahu-tahu Madewa bangkit dan bertanya, "Ibu lapar?"
Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warsih Inten tersenyum. Ia
menggeleng. "Bohong. Ibu kelihatannya lapar.
Biar Dewa petikan buah ya, Bu" Di hutan ini pasti banyak pohon buah. Ibu tunggu,
ya?" Tanpa mendengarkan jawaban ibunya, Madewa sudah berlari ke dalam hutan. Ia
menemukan sebuah pohon jambu. Dipetiknya yang ranum-ranum. Dan dibawakannya
untuk ibunya. Warsih Inten terharu melihat
anaknya datang dan meletakkan petikannya di hadapannya.
"Ini buat Ibu. Ayolah Bu, dimakan."
Warsih Inten tersenyum. Ia memakan sebuah. Dan dirasakan betapa segar
tenggorokannya sekarang. Ia melihat ke atas. Matahari sudah tinggi sekali.
Karena terhalang oleh tingginya pohon sinarnya tidak bisa menembus ke tanah.
Melihat Ibunya tersenyum, Madewa gembira. Ia menyodorkan sebuah lagi.
"Ayo, bu."
Warsih Inten tertawa pelan. Ia
senang Madewa mengikutinya. Dan dia bangga Madewa kecil tidak cerewet.
Mendadak Warsih Inten tercenung. Di mana mereka akan tidur nanti malam" Juga
malam-malam selanjutnya. Madewa
menyangka ibunya sudah tidak ingin memakan buah itu lagi. Ia membungkus buah
jambu itu dengan bajunya.
Sikap Madewa tetap gembira. Sudah lama dia tidak bermain di luar rumah. Dan
sekarang, Ibu mengajaknya bermain jauh dari rumah. Betapa senangnya. Apalagi
kalau ayah ada bersama mereka.
Menjelang malam, barulah Madewa
agak cerewet. Ia tak tahan kedinginan.
Dipeluknya tubuh ibunya untuk
mendapatkan kehangatan. Warsih Inten balas memeluk erat. Dirasakan sekali tubuh
anaknya menggigil. diciuminya anaknya dengan penuh kasih sayang. Kalau saja
tidak ada wanita yang bernama Pandan Ningsih itu, pasti malam ini dia tidur
dalam pelukan suaminya. Juga Madewa yang tersenyum dalam tidurnya.
Setelah Madewa tertidur, Warsih
Inten bangkit perlahan-lahan. Dia harus
mencari tempat yang agak terlindung dari udara yang menusuk ini. Dengan sekuat
tenaga ia menyongsong udara dingin itu.
Betapa sulitnya berjalan di udara dingin. Tanpa putus asa Warsih Inten terus
merambah kegelapan.
Tak lama kemudian, dia melihat
sebuah gua agak besar. Bayangan tu tampak terlihat karena sinar bulan yang
menjadikan tempat itu agak terang.
Karena pohon-pohon di sekitar sana tidak begitu tinggi.
Tanpa menghiraukan ada binatang
buas, Warsih Inten memasuki gua itu. Agak lumayan, udara dingin tidak begitu
menusuk. Udara di sekitar gua, lembab.
Agak hangat. Banyak pula ditumbuhi rumput-rumput. Diletakkannya Madewa ke rumput
itu. Diselimuti oleh baju luarnya. Dan dia pun tertidur karena letihnya.
* * * Sepuluh tahun telah lewat. Tempat di sekitar sana tidak banyak berubah. Tetap
menyeramkan dan dingin kalau malam.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Ibu!
Ibu! Aku datang!"
Dari dalam gua itu, keluar seorang wanita separuh baya. Wajah wanita itu masih
cantik. Tubuhnya pun masih padat.
Namun masih terdapat sisa-sisa duka yang telah melandanya. Ia menyongsong seruan
tadi, "Kali ini kau dapat apa, Nak?"
Pemuda itu menunjukkan hasil
buruannya pada ibunya. "Lihat, Bu.
Kijang kecil ini enak untuk dimakan."
Wanita itu tersenyum. Ia bangga
dengan anaknya yang telah tumbuh menjadi pemuda gagah. Tidak sia-sia dia
bertahan untuk hidup selama 10 tahun di gua itu.
Dengan daun-daun dan ikan yang bisa dimakan, anaknya tumbuh menjadi orang kuat.
Gemblengan alam yang dahsyat secara tak langsung menambah keperkasaan anaknya.
Yah, wanita cantik itu tak lain
adalah Warsih Inten dan pemuda itu adalah anaknya, Madewa Gumilng. Sepuluh tahun
mereka tinggal di gua itu tanpa
kekurangan suatu apa. Hanya saja Madewa yang sekali-sekali suka mengingat-ingat
ayahnya. Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Malah anak itu percaya kalau ayahnya
sudah mati. Warsih Inten tidak mau anaknya ingat akan ayah iblis itu.
Biarlah suaminya bersenang-senang dengan wanita setan bernama Pandan
Ningsih itu, yang penting, mereka tidak kurang suatu apa.
"Bu!" panggil Madewa. "Ayo kita panggang kijang ini. Pagi ini kita pesta daging
kijang panggang!"
Warsih Inten tersenyum.
"Persiapkanlah sesuatunya."
Madewa segera sibuk. Menyembelih.
Mengeluti. Dan memanggang. Tak lama kemudian, keduanya sudah asyik menikmati
kijang panggang. Benar-benar santapan yang mengasyikan.
Malam harinya Madewa berpamitan, akan berburu kijang yang lebih besar lagi di
pedalaman hutan. Pertaman-tama Warsih Inten menolak, tetapi anaknya terus
memaksa. Hingga mau tak mau dia
mengizinkan, Maka malam itu pula, Madewa
berangkat dengan gembira.
"Aku pergi dulu, Bu! Sebelum pagi tiba, aku sudah berada di sini, Bu!"
Warsih Inten mengangguk. Menatap kepergian anaknya dengan hati was-was, karena
baru kali ini, Madewa punya niat untuk berburu malam.
Setelah Madewa pergi, dia kembali masuk ke dalam gua. Dalam kesendiriannya itu,
Warsih Inten teringat betapa hangat dan tentramnya rumahnya dulu. Alangkah
enaknya kalau sekarang mereka berada bersama-sama. Madewa pasti sudah punya
adik. Dan mereka akan mengarungi hari tuanya bersama suaminya. Entah bagaimana
nasib suaminya sekarang. Warsih Inten sudah tidak tahu.
Tak terasa kantuk mulai
menyerangnya. Ia tertidur. Terlalu ngantuk kalau menunggu anaknya pulang.
Menjelang tengah
malam, dia terbangun. Dari luar terdengar
langkah-langkah berat. Memasuki gua!
Mendadak Warsih Inten berdebar. Siapakah di sana" Anaknyakah yang sudah kembali"
Tidak, tidak mungkin. Langkah itu terdengar ramai. Bertanda tidak satu orang.
Berarti bukan anaknya. Hati-hati Warsih Inten beringsut agak ke dalam.
"Lumayan tempat ini, Kakang,"
terdengar suara itu. Agak berat dan menyeramkan. "Kita terhalang dari dingin."
"Ya... kita bisa membagi hasil rampokan ini di sini. Mana hasilnya, Rengga. Coba
kau nyalakan lilin, Toban?"
Yang dipanggil Toban menyalakan
lilin. Dari ujung sana, Warsih Inten bisa melihat betapa menakutkannya wajah
ketiga orang itu. Kalau didengar percakapannya tadi, jelas mereka
perampok-perampok. Dan akan membagi hasil rampokannya di sini. Dalam hati Warsih
Inten berdoa, semoga saja orang-orang itu tidak menyadari hadirnya dia di sana.
Ketika orang itu sibuk membagi
hasil. Rengga dan Toban tidak banyak cakap, meskipun hasil yang diterimanya
sedikit. Mangkara memang ketua mereka.
Ia tersenyum puas melihat hasil rampokan mereka kali ini.
Tiba-tiba saja Rengga berseru,
"Hei, ada daging panggang di sini."
Serentak mereka menoleh. Rengga
mengambil daging itu. Kelihatannya masih baru. Mendadak dia mencabut goloknya.
Dan berbisik, "Hati-hati, Kakang.
Rupanya tempat ini berpenghuni!"
Yang lain pun mencabut golok mereka.
Hati Warsih Inten semakin berdebar ketakutan. Untuk melarikan diri susah.
Jalan keluar satu-satunya dikuasai oleh orang-orang itu. Dan dadanya semakin
berdebar ketika orang-orang itu mulai melangkah mendekat. Untuk bernafas saja
dia tidak berani.
Doanya tidak dikabulkan Tuhan.
Mendadak ia tersuruk ke depan. Tangannya telah ditarik oleh seorang dari mereka.
Dan kilatan golok tajam itu akan menyambar.
Namun, "Tahan, Rengga!" seru Mangkara. Ia memperhatikan orang itu.
"Hei, seorang wanita! Untung tidak langsung kau bunuh. Ha-ha-ha... lumayan,
untuk penghangat tubuh di udara dingin begini."
"Jangan... jangan, Tuan...." rintih Warsih Inten ketakutan.
Tetapi Mangkara hanya tertawa saja.
Juga Rengga dan Toban. Biar sudah agak tua, tetapi tubuh wanita ini masih padat.
Masih hangat untuk dipakai.
Mangkara mencolek dagu Warsih
Inten. "Jangan takut, Manis. Kami tahu kau kedinginan. Jangan kuatir, sebentar
lagi tubuhmu akan panas
menyentak-neyentak."
"Jangan... jangan... lakukan itu padaku... jangan... oh!"
Breet! Mangkara sudah tidak sabar. Ia
menarik baju Warsih Inten hingga robek bagian dada. Dan langsung menampakkan
buah dada yang masih segar itu.
Ketakutan Warsih Inten menutupi dengan kedua tangannya. "Jangan Tuan...
jangan lakukan itu.... Kasihanilah saya.... Jangan, jangaaaaann!" Tetapi
Mangkar tak perduli. Dengan buasnya ia menubruk tubuh Warsih Inten.
Menggumulinya hingga wanita itu
kehabisan tenaga. Dan terkulai lemah.
Dengan leluasa, Mangkara melucuti pakaiannya. Dan memperkosanya dengan buas. Air
mata meleleh di pipi Warsih Inten. Dia tidak dapat berbuat apa-apa pada orang
yang tengah berada di atas tubuhnya dengan dengus nafas yang memburu.
Penderitaan itu masih datang lagi.
Puas memperkosa, Mangkara
tersenyum. Ganti Rengga yang melakukan itu. Lalu Toban. Mangkara rupanya belum
puas, dia kembali menggumuli tubuh Warsih Inten.
Wanita itu pasrah. Tidak bisa
berbuat apa-apa. Sambil menahan sakit, dia menggigit lidahnya hingga putus.
Kejadian ini lebih menyakitkan. Maka tak ada jalan lain, Warsih Inten memutuskan
untuk bunuh diri. Soal Madewa Gumilang, dia yakin, anaknya bisa menentukan jalan
sendiri. Mangkara mendengus begitu
mengetahui wanita itu sudah menjadi mayat.
"Setan! Dikasih enak tidak mau!"
geramnya sambil meludahi tubuh Warsih Inten yang telanjang bulat.
"Ha... ha... kau sudah dua kali menggumulinya, Kakang," kata Renggaa tertawa.
"Ha... ha... benar, benar. Lumayan tubuh wanita itu. Masih hangat. Untung kau
menemukannya untuk kita."
Ketiga orang biadab itu tertawa.
Menjelang pagi, baru mereka meninggalkan tempat itu. Meninggalkan begitu saja
mayat Warsih Inten yang telanjang bulat.
Hanya berselisih beberapa menit
saja, Madewa Gumilang kembali dari berburu. Di tangannya terdapat empat ekor
kelinci gemuk. Di bahunya sebuah kijang tersampir. Ia memasuki gua dengan
gembira. "Ibu!"
Suaranya menggema. Tidak ada
sahutan Ibu. Madewa heran, biasanya Ibu selalu keluar jika dipanggil. Ah,
mungkin Ibu sedang mandi di sungai.
Madewa meletakkan hasil buruannya. Tetapi mendadak matanya terbentur pada daging
panggang yang kini telah habis.
Tidak mungkin Ibu yang memakan semua ini.
"Ibu!" panggilnya seraya masuk ke dalam.
Dan mendadak dia terbelalak.
Sesosok tubuh telanjang tergeletak di depannya. Mayat Ibu. Sudah dingin,
bertanda Ibu sudah lama meninggal.
"Ibu!" jerit Madewa parau. Ia menangis di atas tubuh Ibunya. Madewa sadar kalau
ibunya telah diperkosa orang dan membunuh diri dengan menggigit lidahnya
sendiri. Dibukanya pakaiannya.
Ditutupinya tubuh itu.
Madewa menyesal telah meninggalkan ibu semalam. Tapi tak guna menyesali kematian
Ibu. Dia harus segera mencari orang-orang biadab itu.
Dengan hati-hati dimakamkannya
tubuh ibunya. Madewa bersujud di depan kuburan itu. Dan bersumpah, "Aku tahu
hidupmu tidak tenang di sana sebelum kubunuh orang yang telah melakukan
perbuatan keji terhadapmu. Izinkanlah anakmu mencari pembunuhmu, Ibu."
Tanpa menghiraukan hasil buruan dan guanya, Madewa berlari meninggalkan semua
itu. Dia harus bisa mencari pembunuh ibunya. Dia harus mencari!
Tak tahu arah, Madewa terus
melangkah. * * * 2 Pagi itu udara cerah. Sang surya baru naik setapak. Suasana di sekitar tempat
itu sunyi. Hening. Hanya desir angin yang terdengar, juga suara burung yang
menjerit-jerit. Kelihatan jelas kalau tempat itu telah lama tidak dikunjungi
orang. Tempat yang jauh di dasar jurang.
Tetapi derap langkah itu bagaikan menyentak alam yang tidur menjadi bangun.
Suasana langsung berubah. Lima orang yang bertubuh tegap dan berwajah seram
datang mendekati tempat itu.
Kelihatan pula kalau mereka orang-orang yang baru menjajagi tempat itu, karena
mereka pun masih agak heran.
"Sreet!" seorang yang berberewok tebal tiba-tiba mencabut goloknya. Ia menatap
keempat temannya yang kelihatan anak buahnya, karena hanya dia yang memakai
angkin merah. "Kita bersiap! Kita sudah memasuki daerah Ki Rengsersari!" Suaranya keras,
mengandung tenaga dalam yang lumayan.
Serentak yang lain bersiap pula, mencabut golok masing-masing. Jelas mereka
adalah orang-orang satu
perguruan, karena golok mereka semua sama.
"Di mana goa tempat kediaman Ki Rengsersari, Kakang Tirawana?" tanya yang
memakai ikat kepala kuning.
"Tak jauh dari sini! Kita bersiaga.
Ki Tua itu punya ilmu pandangan menembus sukma. Matanya bisa menembus jarak yang
jauh sekali. Apalagi kita berada di sekitar sini, pasti bajingan tua itu telah
mengetahui kedatangan kita!"
Tak ada yang bersuara lagi. Mata mereka menjaga waspada. Ketenaran Ki
Rengsersari sebagai jago tua yang berjuluk Pendekar Ular Sakti memang membuat
orang berdebar mendengarnya.
Jurus-jurus ularnya sangat mematikan.
Sayang, jago tua itu beberapa tahun yang lalu menarik diri dari rimba
persilatan, karena tidak berhasil memiliki murid yang akan diwarisi ilmunya.
Namun kemudian orang baru tahu apa penyebab yang sebenarnya. Telah tertiup
kabar, kalau Ki Rengsersari memiliki sebuah pusaka yang hebat. Pedang Pusaka
Dewa Matahari yang menjadi heboh dan
pembicaraan orang, konon memiliki keampuhan lebih hebat dari pedang siluman Mata
Air kepunyaan Nini
Wulandari. Nenek tua yang tak kalah hebatnya dengan Ki Rengsersari.
Pedang itu pun pernah menjadi
rebutan antar jago-jago, yang akhirnya berhasil direbut oleh Kebo Winata. Namun
herannya sang perebut mati dibunuh orang. Dan pedang lenyap serta pembunuh tidak
diketahui siapa orangnya.
Kali ini orang lebih tertarik dengan pedang yang dimiliki Ki Rengsersari.
Banyak pendekar-pendekar yang datang untuk merebut. Sekarang ini yang datang,
Lima Gembong dari Sungai Hitam.
Jago-jago kenamaan yang sepak terjangnya sangat dibenci orang. Karena kerja
mereka hanya merusak, merampok,
memperkosa dan membunuh!
Orang-orang itu semakin mendekati goa yang berada di balik rimbunnya semak.
Mereka tidak bersuara lagi. Keadaan kembali hening. Terasa mencekam. Bahkan
Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
desir angin pun tak terdengar. Mereka seolah tahu, kalau sebentar lagi akan ada
pertempuran yang dahsyat.
Tirawana diam-diam meraba
pinggangnya. Dan tangannya mendadak bergerak ke arah goa. Terdengar desingan
senjata rahasia yang berupa jarum-jarum berbisa. Itu yang dinamakan senjata
rahasia sirip ikan. Yang sekali kena orang bisa langsung mampus kelojotan.
Tirawana yakin, senjatanya kali ini mampu mengalahkan Ki Rengsersari. Tetapi
tidak terdengar jeritan apa-apa dari dalam. Suasana semakin
mencekam. Beberapa menit telah lewat. Tetap tidak ada perubahan apa-apa dari dalam goa.
Tirawana mengangkat tangannya ke atas, memberi aba-aba agar segera masuk.
Bertepatan dengan kakinya
melangkah, terdengar tawa nyaring dari belakang mereka.
Tirawana langsung berbalik dan
melempar-kan senjata rahasianya.
Lagi-lagi tidak ada yang mengaduh. Tidak ada yang kelojotan.
"Hati-hati! Bangsat tua itu berada di sini!" geram Tirawana jengkel.
Berarti, sejak tadi Ki Rengsersari tidak berada di dalam goa.
Tiba-tiba terdengar tawa dari atas batu besar. Entah dari mana datangnya Ki
Rengsersari sudah berdiri di atas batu itu. Kakek tua yang sakti. Jubah putihnya
menambah keangkerannya.
"Apa maksud kalian datang kemari, Orang-orang gagah?" tanyanya bergetar.
Dan terlihat kelima Gembong dari Sungai Hitarn itu secara refleks menutup kuping
mereka. Ternyata suara Ki Rengsersari mengandung tenaga dalam yang hebat.
Tapi bukan Gembong dari Sungai Hitam kalau tidak mampun menahan serangan
tersembunyi itu. Masing-masing segera mengerahkan tenaga dalam mereka, untuk
menghalau suara yang bising.
Tirawana mendengus. Wajahnya
menampak-kan kegeraman yang luar biasa.
"Jangan banyak cakap, Ki Tua!
Serahkan Pedang Pusaka Dewa Matahari kepada kami!"
Ki Rengsersari tertawa ngakak. Ia mengenali orang-orang yang datang itu.
"Kata siapa aku memiliki pusaka yang ampuh itu, hah" Kau telah dikelabui orang,
Tirawana!" Katanya bijaksana.
"Aku tidak senang berbasa-basi. Kau serahkan pedang itu atau tidak?"
"Sudah kukatakan, aku tidak memiliki pedang itu!"
"Bangsat kau, Ki Tua!" geram Tirawana jengkel.
"Kau jangan terlalu dibuai emosimu, Tirawana. Aku sudah tua, untuk apa memiliki
pedang pusaka itu. Tak ada gunanya aku memiliki pusaka itu. Aku sudah tidak
bertenaga lagi. Dengar Tirawaria... aku sama sekali tidak memiliki pedang itu.
Ada orang yang menyebarkan kabar bohong kepadaku. Entah maksud orang itu apa. Tetapi karena
ulahnya, aku selalu ditimpa kesusahan dari setiap yang ingin merebut pedang itu.
Padahal aku tidak memilikinya. Dan juga kalian, yang hari ini akan membuat
kesusahan padaku..."
Kata-kata Ki Rengsersari membuat darah Tirawana mendidih. Dengan dalih apa pun
dia tidak percaya kalau Ki Tua itu tidak memiliki pusaka yang diimpikan setiap
orang. "Tak ada jalan lain, Ki Tua! Kami, Lima Gembong dari Sungai Hitam, akan mengadu
nyawa denganmu. Demi pedang pusaka.... Kau atau kami yang mati!!"
"Tahan!" seru Ki Rengser sebelum Tirawana menyerang. "Tak ada gunanya kita
bertempur...."
Belum habis kata-kata Ki Rengser, Tirawana sudah menyela, "Bangsat! Kau
menghinaku, Ki Tua! Bilang kalau kau menantang kami! Lihat serangan!"
Sehabis berkata begitu, Tirawana langsung menyerang. Goloknya yang besar
langsung berkelebat. Sambaran anginnya begitu deras. Ki Rengser menunduk
sedikit, tanpa menggerakkan tubuhnya.
Golok itu lewat di atas kepalanya. Belum lagi dia berdiri tegak, golok-golok
yang lain sudah menyambar bergantian. Dengan mempergunakan jurus Ular Meloloskan
Diri, Ki Rengser bisa menghindari setiap serangan itu.
Melihat serangan mereka gagal,
Tirawana menggeram marah. Dia menerjang kembali. Goloknya kembali berkelebat.
Bahkan dibarengi dengan lemparan senjata rahasianya. Ki Rengser menahan serangan
itu dengan sapuan jubahnya.
Sreeet! Senjata rahasia itu berbalik kepada tuannya!
"Bangsat!" Tirawana bersalto menghindar.
"Tak ada gunanya kita teruskan pertempuran ini, Orang-orang gagah!"
kata Ki Rengsersari. "Kita hanya menanamkan bibit permusuhan...."
"Ki Tua! Kalau kau serahkan pedang pusaka itu, kami akan meninggalkan tempat ini
dengan damai. Cepat berikan kepada kami!"
Ki Rengsersari menggeleng-geleng.
"Aku tidak memiliki pusaka itu...."
Sampai di situ Ki Rengser bicara, mereka menerjang kembali. Serangan dahsyat
datang dari Tirawana.
Jurus-jurunya begitu hebat. Suatu ketika keduanya behadapan. Dengan mengguna-kan
ilmu peringan tubuhnya, Tirawana menyambar dari sana-sini.
"Des!" benturan kedua tangan menyambar. Tirawana terpelanting ke belakang,
sedangkan Ki Rengsersari hanya terhuyung.
Tetapi Tirawana cepat bangkit. Ia menerjang lebih galak lagi. Kali ini Ki
Rengsersari menyambutnya. Gerakannya sungguh tak terduga. Seakan tanpa tenaga,
tapi mampu merubuhkan Tirawana dengan sekali pukul!
"Pukulan bayangan sukma!" jerit Tirawana dan ambruk ke tanah untuk tidak bangun
lagi. Itulah jurus inti yang dimiliki oleh Ki Rengsersari atau Pendekar Ular
Sakti. Konon ilmu itu didapat
ketika dia mengembara ke
Tiongkok. Dengan ilmu itu pulalah Ki Rengsersari disegani lawan maupun kawan, di
samping ilmu jurus ularnya yang ampuh.
Keempat adik seperguruannya
tersentak. Narawana memburu kakangnya.
Dan kegeramannya semakin menjadi-jadi begitu mengetahui kakangnya sudah menjadi
mayat. Sambil menjerit hebat dia menerjang.
"Dik Nara!" seru Jinawana kaget. Tak menyangka Narawana senekat itu. Dia pun
menerjang untuk membantu.
Terdengar bentakan dan jeritan. Dua tubuh ambruk sekaligus. Dengan tubuh hancur
dan tak bernyawa! Borawana dan Dinawana terkejut. Keduanya
berpandangan. Sama-sama mengangguk.
Mereka harus menuntut kematian tiga orang seperguruan mereka. Nyawa dibalas
nyawa. Dengan serentak mereka menyerang Ki Rengsersari. Tetapi tetap tak ada
gunanya serangan itu.
Lagi-lagi terdengar jeritan dengan debaman keras. Tubuh kedua orang itu pun
terhempas ambruk. Dan nyawa mereka segera menyusul yang lain. Kini rimba
persilatan telah kehilangan Lima Gembong dari Sungai Hitam. Perlahan Ki
Rengsersari menghela nafas.
Memperhatikan mayat-mayat itu.
Hatinya galau. Dia geleng-geleng kepala melihat perbuatannya. Tetapi salah
mereka sendiri, tidak mau mengerti penjelasannya. Walaupun begitu, Ki
Rengsersari sedih. Tanpa sadar air matanya menitik di pipi.
"Hari ini, telah kucabut lima nyawa sekaligus. Entah berapa banyak yang kemarin
dan berapa banyak yang akan datang," desah pendekar tua itu pilu. Dia menengadah
menatap langit. "Tuhan...
kapan ini akan berakhir" Semakin hari
usiaku semakin bertambah. Aku semakin tua. Tetapi semakin hari semakin banyak
nyawa yang kucabut. Aku seolah
melangkahimu, Tuhan. Ah... mereka benar-benar tidak percaya kalau aku tidak
memiliki pusaka yang ampuh itu.
Siapa lagi yang ingin membuat onar, hingga tega-teganya menyebarkan isu itu
padaku...."
Ki Rengsersari menunduk.
Memperhatikan mayat-mayat itu lagi.
Mayat-mayat orang yang serakah. Dan mendadak kepalanya menegak.
Pandangannya yang mampu menembus gunung, melihat seseorang datang padanya.
Pemuda tampan berpakaian biru muda dan membawa bun-talan di pundaknya.
"Hmm, ada apa lagi ini" Oh, Tuhan...
apa aku harus mencabut nyawa pemuda ini juga?" desah Ki Rengsersari sambil
melangkah ke goa persembunyiannya. Dia merasa lebih enak berada di sana.
Menunggu apa yang akan diperbuat. pemuda itu.
Pemuda yang dilihat oleh ilmu
menembus sukma itu, sudah tak jauh dari tempat keributan tadi. Dialah Madewa
Gumilang. Putra Warsih Inten yang mencari pembunuh ibunya. Sudah sekian jauh dia
melangkah, belum terlihat
tanda-tanda pemerkosa dan pembunuh ibunya. Setiap kali Madewa ingat, dia begitu
terpukul. Apalagi ibunya
mengalami nasib itu tanpa dia di sisinya.
Betapa pedih dan sakitnya ibunya diperlakukan demikian oleh orang-orang biadab
itu. Madewa tak sanggup
membayangkannya.
Mendadak dia berhenti melangkah.
Pandangannya terbentur pada mayat-mayat yang bergeletakan. Melihat mayat-mayat
itu, dia teringat akan mayat ibunya.
"Apa yang telah terjadi di sini?"
serunya heran. "Tubuh ini hancur. Betapa kejamnya yang membunuh."
Di dalam goa, Ki Rengser menahan pilu hatinya. Tidak, aku tidak bermaksud
membunuh mereka. Hanya mereka yang memaksaku.
Madewa tak tahan melihat
mayat-mayat itu. Ia mengumpulkan mayat-mayat itu menjadi satu. Lalu mencari batu
karang yang agak cadas dan tajam. Ki Rengser terkejut melihat apa yang hendak
dilakukan pemuda itu.
Madewa menguburkan kelima mayat
itu. Hampir sejam dia melakukannya.
Tubuhnya bersimbah peluh. Ia duduk beristirahat. Merenung, merenungkan apa yang
baru saja dilakukannya. Dan
berpikir, bagaimana caranya menemukan pembunuh ibunya. Sedangkan ciri-ciri
mereka sama sekali tidak diketahuinya.
Mendadak dia menoleh. Dari arah
samping terdengar deheman. Membuyarkan lamunannya. Ki Rengsersari telah berdiri
dengan gagah dan tersenyum bijaksana.
Madewa buru-buru bangkit, dan
menjura dengan hormat, "Maafkan saya, Kakek Tua. Saya tidak tahu tempat ini
berpenghuni."
Ki Rengsersari mengangguk.
Diam-diam keinginan untuk memiliki seorang murid muncul kembali. Pilihannya
langsung jatuh kepada pemuda ini.
"Ini bukan tempatku, aku pun hanya singgah. Apa yang telah kau lakukan tadi,
Anak muda?"
Madewa heran, kakek tua ini tahu apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan sedikit
pun Madewa tidak melihat tanda-tanda adanya orang tua ini. Jelas, jelas, kalau
orang tua ini, orang tua sakti.
Ia menyahut sopan, "Nama saya Madewa Gumilang. Hanya menumpang istirahat,
setelah melakukan perjalanan jauh.
Sampai di sini, aku melihat ada lima buah mayat bergeletakan. Aku tidak tega
melihatnya demikian. Kukuburkan
mayat-mayat itu. Maafkan, kalau aku telah berbuat lancang."
Ki Rengsersari manggut-manggut. Dia mengajak Madewa singgah
di goa kediamannya. Ia menyuguhkan sepotong daging rusa. Madewa memakannya dengan
lahap. Setelah itu Ki Rengsersari bertanya tentang dirinya. Madewa menjelaskan
semuanya. Kalau ia sedang mencari pembunuh ibunya. Dia sudah tidak perduli di
mana ayahnya berada.
"Kasihan Ibumu... Madewa... apa kau telah memiliki bekal yang cukup untuk
mencari pembunuh ibumu?" tahu-tahu Ki Rengser bertanya begitu.
"Dengan kedua tangan dan kedua kakiku, aku akan membalaskan dendam Ibu."
Mendadak Ki Rengsersari tertawa.
"Jangan mimpi kau.... tanpa kepandaian sedikit pun, bagaimana mungkin kau bisa
mengalahkan pembunuh-pembunuh ibumu."
"Aku akan berusaha untuk
mengalahkan mereka!" seru Madewa ngotot.
Lagi Ki Rengsersari tertawa.
"Semangatmu boleh tinggi, tapi ilmumu rendah. Tanpa kepandaian, kau sama saja
mengantarkan nyawamu pada orang-orang itu!"
"Bah!" Madewa bangkit seraya mengambil buntalannya. "Aku tidak suka kau
remehkan! Terima kasih atas daging rusa itu, Kakek Tua!" Madewa langsung
melangkah ke luar.
Ki Rengsersari berkelebat mengejar.
Anak muda ini tidak boleh lepas dari genggamannya. Hanya dia seorang yang bisa
dijadikan pewaris ilmunya.
"Kamu marah?" katanya lucu.
Madewa cemberut. "Aku benci kau rendahkan! Aku mampu mengalahkan mereka!"
"Iya, iya. Kau mampu. Tapi aku bisa menjadikan kau lebih mampu."
"Bagaimana?" Mata Madewa terbuka gembira.
"Syaratnya hanya satu, kau mau menjadi muridku."
"Hhh, pakai syarat segala. Tak usah kau bantu, aku akan tetap mencari pembunuhpembunuh itu!"
"Eit, tunggu dulu! Kau mau kuajari ilmu silat?" kejar Ki Rengsersari penasaran.
"Buat apa, kalau hanya untuk merusak."
"Tidak, sebagai penjagaan untuk dirimu."
"Aku sudah punya busur dan anak panah."
"Itu belum cukup."
"Pasti cukup. Aku bisa membunuh kijang jantan yang besar dengan mudah.
Pasti kubunuh juga orang-orang itu dengan mudah."
"Ampun, kamu tetap tidak mengerti.
Kau hanya mengantarkan nyawa pada mereka."
"Biar, buat apa kau larang. Aku tidak tertarik dengan ilmu silatmu."
Madewa melangkah lagi.
Ki Rengsersari mengejar. "Tawaran terakhir, kau mau kuajarkan ilmu silat?"
Madewa terus melangkah. "Tidak."
Ki Rengsersari mengejar. "Terakhir lagi?"
"Tidak".
"Semakin terakhir."
Madewa berhenti. Menggebrak kakinya jengkel. "Aku tidak suka kau ajarkan ilmu
silat! Tanpa ilmu silat, aku mampu mengalahkan orang-orang biadab itu!"
Ki Rengsersari mengeluh. Anak ini benar-benar teguh pendiriannya. Dan ini
membuatnya semakin penasaran. Dibiarkan saja anak itu meninggalkannya. Dia hanya
menatapnya dari kejauhan. Hatinya benar-benar sudah kepincut. Tetapi
sayang, anak itu pun gagal dimilikinya.
Dalam hati Ki Rengsersari berniat mengajar pemuda itu, tetapi dia kuatir, masih
adanya orang yang gila akan pedang pusaka dewa matahari. Dan memberinya
kesulitan. Diam-diam Ki Rengser sudah berniat, dia ingin meninggal di tempt ini.
Tempat yang didiaminya selama delapan tahun.
Madewa terus melangkah. Hhh,
apa-apaan sih kakek tua itu" Dia tidak suka ilmu silat. Madewa sering mendengar
cerita ibu tentang ilmu silat. Dengan kepandaian silat orang sering menjadi
sombong dan selalu ingin kuasa. Ingin selalu menindas yang lemah. Dan selalu
menjadi perusak. Itu sebabnya Madewa menolak permintaan Ki Rengser.
Tiba-tiba Madewa berhenti
melangkah. Ia mendengar jeritan minta tolong dari semak-semak. Suara seorang
wanita. Dan terdengar pula suara kekehan seorang laki-laki.
Madewa mencari suara itu. Di
depannya seorang laki-laki sedang berusaha memperkosa wanita muda. Wanita itu
menjerit-jerit ketakutan. Selintas bayangan ibunya terbayang di benak Madewa.
Hal itu membuat dia geram.
Dengan marah Madewa menyerang.
Kakinya telah menendang punggung laki-laki itu hingga terpelanting.
Madewa buru-buru menutupi tubuh wanita yang ketakutan itu dengan bajunya.
"Hei, siapa kau"!" bentak laki-laki itu yang sudah berdiri, geram.
"Aku Madewa. Tidak suka melihat perbuatanmu ini!"
Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangsat! Kau belum kenal aku rupanya" Baik!" Sehabis berkata demikian, orang
itu menyerang. Madewa kaget. Serangan orang itu begitu cepat.
Madewa tak sempat mengelak. Wajahnya terhantam pukulan dengan keras.
Orang itu tertawa. Madewa kalap. Dia menyerang dengan serabutan. Pukulannya
kacau. Orang itu hanya tenang-tenang saja. Dia menguasai silat yang lumayan.
Dengan dua kali mengelak dia menghantam keras perut Madewa.
"Heiik!" Madewa terhuyung ke belakang. Mual perutnya.
"Ha... ha...'ha... anak muda.
Terimalah ajalmu hari ini!"
Madewa berusaha bangkit. Tetapi
sakit sekali perutnya, Orang itu tertawa keras. Dan memekik dengan tangan lurus
diarahkan ke wajah Madewa. Madewa
memejamkan matanya. Tak kuasa melihat kehancuran dirinya.
Tetapi bukan dia yang menjerit, malah orang itu.
"Aaaahh!"
Dan disusul dengan tubuh ambruk.
Perlahan Madewa membuka matanya.
Tubuhnya masih segar bugar. Setan mana yang telah menolongnya"
Sosok tubuh tua berpakaian putih berdiri di sampingnya.
"Hhh, tanpa ilmu kepandaian, apa yang akan kau berikan?" ejekan itu menyakitkan
telinganya. "Kau lagi, Kakek Tua! Kau selalu menggangguku!" seru Madewa sambil mengambil
buntelannya. Sedangkan wanita muda yang ditolongnya, sudah lari entah ke mana.
"Pemuda edan! Sudah ditolong tidak mengucapkan terima kasih!"
Madewa terus melangkah.
"Hei, Pemuda tak balas budi!
Teman-teman orang itu akan mencarimu.
Dan kau akan dibunuhnya!"
Madewa berhenti melangkah. Kata
kakek tua itu benar, dia bisa mati konyol kalau teman-teman orang itu
mengeroyoknya. Kalau dia mati, siapa yang membalaskan dendam Ibu" Tidak, dia
tidak boleh mati dulu. Buru-buru dia berbalik pada Ki Rengsersari. Dan
menjatuhkan dirinya di hadapan kakek tua itu.
"Kakek Tua yang baik, aku
menghaturkan terima ksih. Dan sudi menjadi muridmu...."
Sekarang Ki Rengsersari mendengus.
Mengangkat wajahnya tinggi-tinggi.
"Hei, siapa yang mau mengangkatmu menjadi murid!" suaranya tajam.
"Aduh, Kakek Tua. Masa kakek tua lupa. Kakek tua sendiri yang
menginginkan aku menjadi murid."
"Tidak. Kau begitu angkuh dan sombong. Aku tidak sudi mengangkatmu menjadi
murid!" kata Ki Rengser sambil melangkah.
Madewa buru-buru mengikuti.
"Aku mau diangkat menjadi muridmu.
Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin membalas dendam ibu. Ayo dong, terima
aku...." Ki Rengsersari terus melangkah. Tak mengacuhkan. Padahal dalam hatinya dia
gembira sekali. Tetapi gantian dong, sekarang dia yang mempermainkan pemuda itu.
Madewa masih memohon untuk diangkat menjadi murid.
"Aku tidak mau menerimamu!"
"Terimalah aku, Kakek Tua. Aku ingin belajar ilmu silat darimu. Biar aku jadi
perkasa dan bisa membalaskan kematian ibu...."
Ki Rengser duduk di batu besar di samping goa kediamannya. Sikapnya masih acuh
tak acuh. Didiamkan saja Madewa yang berlutut di hadapannya.
"Hei, kenapa kau masih di sini"
Cepat pergi! Aku muak melihat
tampangmu!!"
"Aku ingin menjadi muridmu."
"Buat apa" Kau toh tidak perlu ilmu silat. Bukankah kau sudah mempunyai busur
yang kuat?"
"Sekarang aku memerlukan ilmu silat itu, Kakek Tua."
"Tapi sekarang aku tidak sudi
mengajarkanmu. "Aku akan berlutut sampai kapan pun kalau kau tidak mau mengangkatku menjadi
muridmu." "Berlututlah! Apa urusanku!" Ki Rengsersari bersalto ke belakang. Dan sekali
loncatan lagi dia sampai di dalam goa.
Madewa berlutut lesu. Kakek sakti itu benar-benar tak sudi mengangkatnya menjadi
murid. Biarlah, dia akan tetap berlutut sampai kakek itu mengajarkannya
ilmu silat. Dia harus memiliki ilmu itu, agar dapat membalaskan dendam ibunya.
Di dalam goa, Ki Rengsersari terus memperhatikan. Siang malam Madewa berlutut.
Dia tak memperdulikan hawa dingin yang sangat menusuk. Juga panas yang
menyengat. Sampai tiga hari berturut-turut Ki Rengsersari
mendiamkan pemuda itu, tetapi pemuda itu tetap berlutut tanpa kenal lelah.
Padahal tenaganya sudah benar-benar habis!
Ki Rengsersari manggut-manggut.
Benar-benar cocok pilihannya. Selain kuat, pemuda ini pun tegar. Pantang
menyerah. Ia keluar perlahan-lahan. Dan perlahan-lahan pula memegang bahu pemuda
yang sudah berkunang-kunang matanya.
"Bangunlah, mulai sekarang kau kuangkat menjadi muridku," suara Ki Rengsersari
pelan, tetapi jelas didengar Madewa. Pemuda itu bersorak dan bangkit kegirangan.
Namun langsung terjatuh, karena terlalu letih.
"Oohh!"
Dalam hati Ki Rengsersari tertawa.
Tetapi ia membentak, "Menjadi muridku jangan loyo! Ayo bangkit! Masuk ke dalam
goa! Aku sudah menyiapkan makanan untukmu!"
Madewa mengerahkan segenap
sisa-sisa tenaganya. Dan
terhuyung-huyung memasuki goa. Di pintu goa, ia ambruk lagi. Bangkit lagi,
berusaha untuk masuk.
"Ayo cepat! Atau makanan ini kuhabiskan sendiri?"
Semangat Madewa seakan pulih. Ia serentak berlari. Dan menyambar makan itu
dengan cepat. Dan memakannya dengan lahap.
* * * 3 Alam sekitar itu tetap sunyi. Tak terasa genap sudah umur tempat itu bertambah
dua tahun. Tetapi keadaannya tak banyak berubah, kecuali pohon-pohon yang
semakin besar. Di depan goa itu kelihatan seorang pemuda tengah bersila dengan kedua tangan
bersatu di dada. Pemuda itu tengah berlatih ilmu pernafasan. Sikapnya benarbenar sempurna. Dialah Madewa Gumilang, yang hampir dua tahun mendiami tempat
itu. Kini Madewa telah menjadi pemuda perkasa. Tak sia-sia Ki
Rengsersari menggemblengnya dengan keras.
Pemuda itu sudah selesai berlatih.
Ia duduk dengan konsentrasi penuh. Dan mendadak saja matanya bisa menembus
kejauhan. Menjelajah seluruh hutan itu.
Itulah ilmu terakhir yang diturunkan Ki Rengsersari. Ilmu pandangan menembus
sukma, yang telah sempurna dipelajari Madewa.
Madewa benar-benar merasakan
perubahan yang luar biasa dalam dirinya.
Ia menjadi mantap dan tegar.
Keinginannya untuk mencari pemerkosa dan pembunuh ibunya semakin kuat. Tetapi
dia tidak tega meninggalkan Kakek Tua yang sakti itu.
Dari kejadian selama dua tahun,
Madewa mengetahui apa yang telah membuat gurunya susah. Isu tentang pedang
pusaka dewa matahari, yang selalu membuat gurunya dibayangi pembunuhan. Akhirnya
gurunya itu mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya, setelah selesai
membunuh Raja Setan dari Utara.
Madewa hanya mengangguk dan
mendengarkan. Dan merasa berkewajiban membela gurunya. Itulah sebabnya dia
belajar dengan giat, hingga tamatlah semua pelajaran silat yang didapatnya
dari Ki Rengsersari. Ki Rengsersari bangga dengan pemuda itu. Jurus-jurus ular
sakti yang diajarkannya, telah dikuasai pemuda itu dengan sempurna.
"Madewa."
Madewa menoleh. Gurunya keluar dari goa. Madewa bangkit dan menjura. Sikap guru
lain seperti biasanya. Kayaknya ada sesuatu yang akan dibicarakan.
Benar saja, Ki Rengser berkata,
"Duduk."
Madewa duduk di rumput. Ki Rengser di atas batu.
"Ada yang akan kubicarakan
denganmu. Seperti kau ketahui sendiri, hidupku selama ini selalu dibayangi
pembunuhan, jadi kupikir, suatu saat aku pasti akan kecolongan. Dan aku tidak
mau hal itu terjadi padamu...."
Madewa heran. Ia memotong, "Saya tidak paham maksud, Kakek Tua."
"Hanya satu pintaku, kau harus meninggalkan tempat ini sekarang. Agar kau tidak
mati konyol. Lanjutkan terus perjalananmu mencari pembunuh ibumu.
Gunakan ilmu yang kuajarkan itu untuk kebaikan. Jangan kau salah gunakan. Dan
ingat, kalau keadaan tidak mendesak.
Ilmu pukulan bayangan sukma tidak perlu kau gunakan...."
"Tapi Kakek Tua... saya tidak akan meninggalkan kakek tua sendiri. Saya tidak
menganggap kakek tua tidak mampu menghalau setiap serangan yang datang.
Tapi saya sudah menganggap kakek tua sebagai orang tua saya sendiri. Dan saya
harus menjaga kakek tua."
"Aku pun berat berpisah denganmu.
Selama dua tahun ini, kaulah yang menemani sisa hidupku. Tapi semua ini
kulakukan untuk kebaikanmu. Aku yakin, pasti masih ada orang-orang yang gila
pedang pusaka itu yang akan berdatangan kemari."
"Tidak! Saya akan menemani Kakek Tua di sini!" sahut Madewa mantap.
Ki Rengsersari terdiam. Anak yang teguh pendiriannya. Ia mengusap wajahnya yang
berkeriput, janggutnya yang putih semakin menampakkan ketuaannya.
"Kukatakan sekali lagi, kau harus segera meninggalkan tempat ini. Aku kuatir,
suatu saat aku tidak mampu membela diri. Dan kau mendapat akibat yang berat
sekali dari masalahku ini.
Jika kau mati, siapa yang akan
membalaskan dendam itu" Coba pikir, siapa Madewa" Kau harus ingat, masih ada
tugas lain selain mencari pembunuh
ibumu. Untuk itu, kau harus segera turun gunung."
"Apa tugas itu, Kakek Tua?"
"Carikan untukku, orang yang telah menyebarkan kabar bohong tentang pusaka itu.
Dan kau harus mampu membunuhnya.
Jangan kembali sebelum berhasil. Kau sanggup melakukan itu?"
Kali ini Madewa mengangguk. Itu
perintah yang tak bisa dibantah. Dia akan mencari orang yang tega menyebarkan
kabar bohong itu. Akan dipenggalnya orang itu.
"Saya akan patuhi semua itu," suara Madewa lemah namun mantap.
Ki Rengsersari tersenyum. Wajahnya berseri.
"Bagus! Aku hanya membekalkanmu ilmu yang kuturunkan itu. Dan sebuah seruling.
Ingat Madewa, seruling ini hanya bisa digunakan dalam keadaan tenang. Jiwa yang
bersih. Sedikit saja kau dikuasai emosimu, seruling ini tidak bisa digunakan.
Orang menyebutnya Seruling Naga.
Karena dengan sekali tiup orang yang memiliki tenaga dalam rendah, akan hancur
telinganya. Dan mati seketika.
Maka berhati-hatilah kau
menggunakannya.
Madewa mengangguk. Terus
mendengarkan petuah gurunya. Walau dalam hati kecilnya dia enggan disuruh turun
gunung. Tapi perintah tetap perintah.
Dia harus menunjukkan baktinya pada Ki Rengsersari. Dia akan mencari orang yang
telah menyebarkan isu itu.
Ki Rengsersari mendeham. Tangannya sudah memegang sebuah seruling. Itu yang
disebut Seruling Naga. Bentuknya hampir sama dengan seruling biasa. Hanya saja
seruling itu ada gambar sepasang naga yang sedang bergelut. Dan khasiat seruling
itu lain dengan seruling biasa!
"Terimalah ini untukmu...."
Madewa menadahkan kedua tangannya.
Tetapi mendadak dia jungkir balik. Ki Rengsersari telah meniup seruling itu.
Bunyinya lembut dan halus. Tapi di telinga Madewa begitu berisik sekali.
dan menyengat! Itulah kehebatan Seruling Naga.
Buru-buru dia bersila. Menghimpun tenaga dalam dan hawa murninya, untuk mengusir
suara seruling itu. Tangannya bersatu di dada. Ia menarik nafas.
Mengaturnya dengan baik. Dan
menghembuskannya seraya mengeluarkan hawa murninya.
Tekanan suara seruling itu semakin keras dirasakan Madewa. Tetapi pemuda itu
tetap terdiam. Tak bergeming sedikit pun. Diam-diam Ki Rengser tersenyum.
Kalau orang biasa atau yang punya hawa murni rendah, dia sudah mampus
kelojotan. Ki Rengser menurunkan suara serulingnya dan makin lama berhenti.
Madewa menarik nafas. Ki Rengser tersenyum.
"Bagus! Kau bisa bertahan juga rupanya. Hati-hati kau menggunakannya.
Madewa, sekarang seruling ini milikmu.
Jagalah dia, jangan sampai kau buat untuk kejahatan."
Madewa bangkit dengan berlutut. Ia mengamati seruling itu. Dan
menyelipkannya di amben yang melilit pinggangnya.
Ki Rengser tersenyum puas. Tak
sia-sia dia menggembleng pemuda ini.
"Sekarang juga kau harus berangkat!
Jangan membantah. Cepat kemasi barang yang kau perlukan! Matahari sepenggalah
kau masih berada di sini, murtadlah kau!"
ancam Ki Rengsersari seraya bangkit dan berjalan menuju ke tempat
persemayamannya.
Sebelum dia sampai ke mulut goa, mendadak dia berjumpalitan. Beberapa
buah senjata rahasia berbentuk bintang menancap di dinding goa. Luput dari
sasaran. "Keji!" geramnya yang membuat Madewa bersiaga. Ia melompat berdiri di samping
gurunya dengan sigap.
Terdengar suara tawa dan mengikik di depan mereka. Dua orang muncul dari balik
tebing. Seorang pria berpakaian hitam dan seorang wanita cantik berpakaian sutra
tipis berwarna merah.
"Gundaling si Golok Hitam dan Pratiwi si Selendang Merah!" seru Ki Rengsersari
agak terkejut. Orang-orang rimba persilatan yang kesohor.
Gundaling tertawa melihat Ki
Rengsersari terkejut.
"Heran, kalau aku sampai tahu tempat persembunyianmu, Kunyuk Tua?" Tangannya
meraba-raba golok hitamnya yang besar.
Madewa geram gurunya dihina
demikian. Dia membentak, "Hei, Orang jelek! Apa maumu kemari" Cepat minggat,
sebelum nyawamu kucabut!"
Gundaling berpaling ke suara itu.
Dia memperhatikan. Lalu tertawa.
"Rupanya kau sudah mengangkat murid, Kunyuk Tua! Bagus! Aku akan melihat
kemampuan muridmu nanti!"
Pratiwi, si Selendang Merah,
mengikik melihat ketampanan Madewa.
Pratiwi boleh dikatakan dewi merah yang cabul. Yang kerap kali menghisap
keperjakaan pemuda-pemuda, demi ilmu selendang merahnya. Melihat Madewa, menitik
air liurnya. "Tak kusangka muridmu begitu tampan, Kunyuk Tua. Bagus, aku
menginginkannya, hik... hik...."
Ki Rengsersari menghela nafas
pelan. Ini yang ditakutkannya. Dia tidak ingin Madewa membuang nyawa percuma di
sini. Selendang merah tidak akan melepaskan buruannya. Ki Rengser juga tahu akan
kemampuan rayuan Pratiwi.
Siapa pun takluk. Apalagi dia punya ilmu pengharum tubuh, yang membuat orang
tergila-gila padanya karena mencium wangi yang memabukan yang menguar dari
tubuhnya. Haruskah dia mengorbankan Madewa untuk dewi cabul ini" Tidak, dia harus
mempertahankannya. Diam-diam dia berbisik di telinga Madewa, "Bersiaplah.
Kerahkan ilmu yang kuajarkan."
Madewa langsung bersiap. Menarik nafas. Dan membuka telapak tangannya.
Lalu menggenggam.
Gundaling mengetahui gelagat itu.
Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tertawa. "Ha... ha... percuma kau gunakan ilmu itu, aku sudah punya
tandingannya! Penangkal bayangan sukma!"
Berkata begitu, Gundaling langsung menerjang dengan pukulan lurus, tepat ke arah
Madewa. Madewa akan menyambut dengan bentrokan, tetapi Ki Rengser sudah
mendorongnya untuk menghindar.
Dan Madewa melihat apa yang terjadi kalau pukulan itu dia sambut. Tebing goa
yang terkena pukulan itu hancur
berantakan. Gundaling tertawa ngakak.
"Tubuh tuamu akan hancur dengan pukulan ini, Kunyuk Tua! Ayo sambut aku dengan
pukulan bayangan sukmamu!
Pertiwi, kau hadapi bocah ingusan itu!
Kau isap saja sarinya!"
Pratiwi tertawa ngikik.
Tersipu-sipu seperti perawan ingin ketemu pacarnya. Dengan sikap genit dia
menghampiri Madewa. Ki Rengser ingin berteriak hati-hati, tapi perhatiannya
harus satu, pada Gundaling yang sudah menerjang kembali.
Dia menghindar. Kembali pukulan
Gundaling meleset. Kali ini terkena pohon yang tumbang seketika. Gundaling
menyerang lagi. Dua tokoh yang hebat itu bergantian menyerang, yang langsung
menimbulkan kepulan debu di tempat itu.Sementara itu Pratiwi sudah tepat berada di depan Madewa. Dia tersenyum manis.
Madewa mendengus. Menghindar dari tatapan yang penuh gairah itu. Pratiwi tertawa
dalam hati. Yakin kalau pemuda ini sudah terpikat dengannya.
Pura-pura dia menjatuhkan selendang merahnya, yang membuat orang keder dengan
julukan itu. Karena selendang yang seperti kapas itu mampu
menghancurkan batu karang yang besar.
Madewa melengos. Selendang itu
telah memperlihatkan bagian atas Pratiwi. Pratiwi semakin tertawa. Kali ini dia
menurunkan lagi selendang itu, dan menampakkan bagian atas buah dada-nya yang
mulus dan padat.
Madewa menelan ludahnya. Matanya memerah. Ah, buru-buru dia mengerahkan hawa
murninya, mengusir pengaruh yang indah itu. Tapi bayangan indah itu mengejarnya.
Jelas satu-satunya untuk mengusir pesona itu dia harus menyerang.
Mendadak dia berteriak nyaring, dan menerjang selendang merah dengan gerakan
cepat. Pratiwi terkejut. Tapi cepat dia berkelit. Dan langsung melancarkan pukulan ke
tengkuk Madewa. Madewa berbalik dan menendang. Tepat mengenai paha Pratiwi yang
jatuh terduduk.
Ki Rengser yang sedang menahan
serangan Gundaling, berseru dalam hati.
Bagus, Madewa! Habisi dewi cabul itu!
Pratiwi langsung naik marahnya. Dia tidak berbasa-basi lagi. Langsung
diuraikannya selendang merahnya. Justru ini yang membuat Madewa melengos. Bukan
takut pada selendang merah itu, tapi tubuh Pratiwi yang indah terbuka jelas.
Hanya kainnya yang menutupi sebagian kecil buah dadanya bagian bawah
Lagi-lagi Madewa mengerahkan hawa murninya. Tubuh Pratiwi mengeluarkan wangi
yang memabukkan.
Pratiwi memainkan selendang
merahnya, seraya mengerahkan ilmu pengharum tubuhnya. Madewa semakin mabuk
kepayang. Tapi sejurus kemudian dia tersadar ketika mendengar teriakan gurunya.
"Aaaaah!" Ki Rengser ambruk terkena sabetan golok hitam Gundaling. Lalu disusul
pukulan yang berbahaya itu.
Tubuh Ki Rengser semakin kelojotan.
Madewa tertegun. Tapi sejurus
kemudian dia bergerak. Menyerang dengan pukulan bayangan sukma tingkat tinggi.
Gundaling yang sedang tertawa melihat hasil kerjanya, lengah. Tubuhnya terkena
pukulan bayangan sukma Madewa dengan keras. Dan tubuh itu pun ambruk saat itu
juga. Tapi Gundaling masih sempat
melemparkan senjata rahasianya yang berbentuk bintang sebelum ambruk untuk
selamanya. Madewa pun tak sempat berkelit. Sebuah senjata rahasia itu menancap
di tangannya. "Aduuuuh!" '
Kali ini Pratiwi yang terkejut.
Tidak menyangka bocah itu mampu
mengalahkan Gundaling. Terang saja, Gundaling sedang lengah, kalau tidak hancur
pemuda itu. Dia geram melihat kawannya mati
kelojotan. Selendang merahnya segera beraksi. Tubuh Madewa yang sedang
terhuyung, terbelit selendang itu, Dan dengan sekali sentakan, tubuh itu
dihempaskan ke tebing goa. Tetapi mendadak ayunannya melemah. Sehingga tubuh
Madewa terhempas ke tanah.
Pratiwi berpikir, pemuda ini masih bisa digunakan untuk kesempurnaan ilmu
selendang merahnya. Jangan dibunuh dulu.
Dihisap dulu keperjakaannya.
Madewa yang sudah lemah, merasakan pusing yang amat sakit. Rupanya racun dari
senjata rahasia Gundaling sudah menjalar. Pratiwi memburunya. Sayang kalau
pemuda tampan ini sampai mati, buru-buru dia mengeluarkan pil pemunah racun itu.
Diminumkannya pada Madewa.
Sebelum Madewa sadar, dia menotok urat di bawah dagu Madewa sehingga tidak bisa
bergerak. Dan kesempatan itu harus digunakan sebaik-baiknya. Si Selendang Merah,
langsung membuka seluruh
pakaiannya. Sekejap saja dia sudah telanjang bulat di depan Madewa.
Tubuhnya putih mulus. Tak ada cacat. Buah dadanya segar. Pinggulnya montok.
Pinggangnya ramping. Sepasang pahanya mulus. Ah... membuat yang melihatnya
langsung menelan liur.
Tapi Madewa ngeri melihatnya.
Apalagi tangan Pratiwi sudah merabai tubuhnya. Dan membuka pakaiannya satu per
satu. "Jangan takut, Madewa. Kita akan ke sorga sejenak. Kau pasti akan
ketagihan," rayu dewi cabul itu sambil tersenyum genit. Dia sudah tidak
memperdulikan lagi mayat sahabatnya itu.
Pratiwi mengikik. Suaranya penuh gairah. Ia menjatuhkan tubuh
telanjangnya di atas tubuh Madewa yang tidak bisa bergerak.
Madewa memejamkan mata ketika
Pratiwi sudah mau mulai. Tapi mendadak Pratiwi menyambar pakaiannya. Dan
memakainya dengan
buru-buru. Pendengarannya yang tajam menangkap derap langkah mendekati tempat itu.
Sesosok tubuh besar berdiri di
dekatnya sambil menggeleng-geleng.
Bandartaman. Dan menyeringai pada Pratiwi yang jadi jengkel bukan main.
"Bukan main tubuh selendang merah.
Indah. Ah, kalau saja aku bisa menghisap buah dada itu...."
"Jangan cabul, Bandartaman!" geram Pratiwi sengit.
"Kau yang hendak berbuat cabul, bukan?"
"Itu urusanku, bukan urusanmu!"
"Aku tahu, tapi aku boleh kan menikmati tubuhmu juga" Ah, tubuhmu ranum sekali,
Pratiwi." "Bangsaaat!"
"Sabar, Pratiwi! Izinkan aku sekali lagi melihat tubuhmu. Masih terbayang
indahnya buah dadamu dan sesuatu yang tersembunyi di antara pahamu...."
"Setan kau, Bandartaman!" serentak Pratiwi mengayunkan selendang merahnya.
Bandartaman berkelit. Selendang itu menghantam pohon yang langsung hangus.
Bandartaman berdecak.
"Hebat, hebat! Sudah, sudah!
Sebenarnya aku ke mari bukan ingin bertarung denganmu, Pratiwi! Tapi dengan Ki
Rengsersari, untuk memperebutkan pusaka dewa matahari!"
"Kau terlambat, Ki Rengser sudah mampus terbunuh!"
"Hah" Mana?"
Pratiwi mengayunkan selendang
merahnya. Tepat mampir di tubuh Ki Rengser yang sudah menjadi mayat. Mata
Bandartaman semakin terbelalak. Apalagi ketika melihat tubuh Gundaling yang
hancur. Ia berpaling pada Pratiwi.
"Siapa yang membunuhnya?"
"Keduanya saling membunuh!"
"Aku tidak percaya! Pasti kau yang telah membunuhnya! Dan telah mendapatkan
pedang pusaka dewa matahari itu! Cepat serahkan padaku, Pratiwi! Atau... kau
ingin kubunuh!"
"Enaknya menuduhku yang
bukan-bukan! Pedang itu tidak penting
bagiku, Bandartaman! Aku lebih suka pemuda ini daripada pedang itu!"
Bandartaman tahu akan kecabulan
Pratiwi. Benar, bagi Pratiwi pasti pemuda itu lebih mengasyikan daripada pedang.
Kalau begitu pedang itu masih berada di dalam goa.
Ia melirik Pratiwi lagi.
"Kau tidak menginginkan pedang itu"
"Tidak, aku lebih menginginkan pemuda ini!"
"Baik, aku tidak akan mengganggu keasyikanmu! Tapi kau juga jangan merebut
pedang itu apabila aku
mendapatkannya!"
"Sudah kubilang aku tidak akan mengganggumu!"
"Baik! Selamat bergoyang, Pratiwi!"
Bandartaman terbahak. Dia tidak
perlu repot-repot lagi untuk merebut pusaka itu. Cepat masuk ke dalam goa.
Pratiwi mendengus. Menganggu keasyikan orang saja. Ia berpaling lagi pada Madewa
Gumilang yang masih bertanding kaku.
Tangannya membelai pipi Madewa.
"Hmm, kita lanjutkan lagi perjalan kita ke sorga, bocah!" Pratiwi kembali
membuka seluruh pakaiannya. Kali ini dia langsung menuju sasaran.
Tapi lagi-lagi gagal. Bandartaman keluar sambil mengamuk-ngamuk. Pedang itu
tidak didapatnya. Dia merasa Pratiwi, menipunya. Di dalam goa tidak ada apa-apa.
Hanya batu-batu dan dinding goa yang berlumut.
Dengan geram dia mengambil golok hitam kepunyaan Gundaling. Dan
menghampiri Pratiwi yang tergesa berpakaian kembali.
"Mau apa lagi kau?" geram Pratiwi jengkel.
"Mana pedang itu?" bentak Bandartaman keras.
"Aku tidak tahu!"
"Jangan bohong! Pasti berada padamu!"
"Kau jangan mengada-ngada,
Bandartaman! Aku belum mengambil pedang itu!"
"Jangan coba-coba membohongiku, Pratiwi! Aku bisa marah besar padamu!"
"Kau mau mengelak pula,
Bandartaman! Sudah kubilang, aku tidak minat dengan pedang itu! Jangan
memutarbalikkan fakta!"
"Setan! Kau yang menipuku! Baik Pratiwi, rupanya kita ditakdirkan untuk
bertarung! Bersiaplah! Aku telah
bersumpah, akan merebut pedang itu dari siapa pun juga."
Kembali kedua tokoh itu bertarung.
Madewa kembali menghela nafas lega.
Hampir saja dia terjerumus dosa yang besar. Berzina dilarang. Dan haram
hukumnya. Diperhatikannya saja kedua orang itu bertarung. Keadaan di sana semakin ribut.
Debu semakin banyak berkepul.
Madewa ingin pindah, tapi susah sekali tubuhnya digerakkan.
Tetapi kemudian dia terkejut,
sebuah kerikil terpental dari arena pertarungan itu. Dan jatuh tepat pada
totokannya. Karena kerasnya lemparan batu itu, totokannya terlepas.
Madewa langsung melompat. Dan
menyambar pakaiannya. Tanpa menunggu akan apa ke-anjutan dari pertarungan itu.
Dia buru-buru menghindar.
Meninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan, debu itu masih
nampak. Madewa berdiri di ketinggian tempat. Memandangi tempat itu. Tempat
selama dua tahun dia digembleng oleh Ki Rengsersari.
Dan kini dia benar-benar akan
meninggalkannya. Juga meninggalkan
tubuh Ki Rengsersari yang telah menjadi mayat.
Tugas telah menantinya. Dia akan mencari penyebar kabar bohong itu, yang
menyebabkan gurunya menemui ajal hari ini juga. Sebelum dia sempat
beristirahat di dalam goanya yang nyaman. Juga mencari orang-orang yang
menyebabkan kematian Ibu.
Madewa melompat. Berjalan. Berlari.
Jauh-jauh meninggalkan tempat itu.
Di sana, Pratiwi si Selendang Merah masih bertarung dengan Bandartaman.
* * * 4 Entah sudah berapa kilometer Madewa melangkah. Siang malam dia selalu terbayang
wajah gurunya. Juga ketika golok Gundaling menyambar tubuh renta itu. Madewa
mengeluh dan perasaan bersalah menggunduk di hatinya. Tetapi dia harus mencari
pembunuh ibunya dan penyebar isu tentang pusaka dewa Matahari yang telah
menyebabkan kematian gurunya.
Kalau malam, Madewa selalu teringat akan gurunya. Gurunya yang baik. Gurunya
yang kadang menjengkel. Harus mati secara mengenaskan. Dia harus membalas
kematian gurunya terhadap Pratiwi!
Sekarang biarlah dia akan mencari dulu pembunuh ibunya dan penyebar isu itu.
Pada suatu hari, dia tiba di sebuah desa yang bernama Bojongronggo. Perutnya
terasa lapar sekali. Kebetulan dia masih ada sisa uang sedikit. Madewa pun
mampir ke sebuah warung. Kehadirannya sebagai orang asing membuat pengunjung
warung memperhatikannya. Tetapi Madewa tak mengacuhkannya, dia santai saja
menikmati makannya, hingga orang-orang itu pun mulai tak acuh. Mereka kembali
melanjutkan makan dan bercakap-cakap.
Tiba-tiba Madewa menajamkan
pendengarannya. Dia tertarik pada percakapan dua laki-laki yang duduk di
sebelahnya, karena kedua orang itu ada menyebut-nyebut nama gurunya.
"Kau serius, Genda?" tanya yang kurus pada teman bicaranya. Ia nampak tertarik
sekali. Yang dipanggil Genda itu
mengangguk. "Aku mendengar kabar itu dari desa seberang. Ki Rengsersari mati
terbunuh oleh Gundaling. Juga Gundaling.
Kelihatan kalau keduanya saling
membunuh. Tetapi di sana juga ada mayat Bandartaman, yang tidak diketahui siapa
pembunuhnya. Kalau dilihat letak mayat Ki Rengser dan Gundaling, jelas bukan
mereka yang membunuh Bandartaman, karena mayat Bandartaman jauh dari mereka."
Madewa mendesah dalam hati. Pratiwi yang memenangkan pertarungan itu. Dewi cabul
itu benar-benar hebat.
"Lalu bagaimana dengan pedang itu?"
Didengarnya lagi percakapan kedua orang itu.
"Mereka tidak ada yang tahu. Pusaka itu lenyap entah ke mana. Kemungkinan besar
ada orang keempat yang
mengambilnya."
"Siapa?"
"Orang-orang di sekitar sana hanya tahu, kalau jagoan tua itu punya seorang
murid. Mungkin pedang itu ada padanya.
Dan dia yang membunuh Bandartaman demi mempertahankan pedang pusaka."
"Lalu ke mana larinya muridnya itu?"
"Tidak ada yang tahu. Orang persilatan tengah mencarinya. Yah, salah Ki Tua itu
juga. Punya pedang sakti disembunyikan."
"Memang, pedang itu hanya bisa ditandingi oleh pusaka Siluman Mata Air
milik Niniwulandari yang juga hilang entah ke mana."
"Bagi yang memiliki kedua pedang itu, dia bisa jadi raja di dunia persilatan
ini." "Eh," tiba-tiba Genda bangkit, "Aku permisi dulu. Masih ada pekerjaan yang harus
kulakukan, Buntoro."
Buntoro meneruskan makannya,
"Silahkan, Genda."
Pemuda itu membayar apa yang dia makan, lalu pergi. Madewa melirik orang itu.
Dia berniat akan menyusul. Sebelum dia bangkit, dua orang bertubuh
kerempeng telah bangkit lebih dulu.
Pendekar Bayangan Sukma 1 Pedang Pusaka Dewa Matahari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan berjalan ke arah yang dilalui Genda. Rupanya kedua orang itu tertarik pula
dengan percakapan tadi.
Buru-buru Madewa membayar, lalu
bergegas menyusul. Tempat itu masih asing baginya, sebentar saja dia sudah
kehilangan jejak. Namun tiba-tiba pendengarannya menangkap bentakan tak jauh
dari situ, "Tunggu sebentar, Kawan!"
Medewa cepat mencari sumber suara itu. Lalu menyelinap di balik semak dan
memperhatikan dua orang tadi tengah menghampiri Genda yang merasa tidak mengenal
keduanya. "Ada apa, Kisanak?"
"Kami minta keterangan sedikit darimu," kata yang bergolok tipis, dia bernama
Caraka. "Keterangan apa?" Kening Genda berkerut. Siapa orang-orang ini"
"Tentang Pusaka Dewa Matahari."
"Oh,aku tidak tahu soal itu.
"Jangan dusta! Barusan kami mendengar kau membicarakannya!"
"Aku hanya tahu... pusaka itu dilarikan murid Ki Rengsersari."
Mendadak orang itu tertawa ngakak.
Kawannya yang bernama Tikam ikut pula tertawa.
"Dan kami tahu siapa muridnya Ki Rengsersari itu!"
Madewa yang mengintip menjadi
bersiap. Di sangkanya kedua orang itu tahu dia mencuri dengar. Tapi Caraka malah
maju ke depan Genda. Suaranya merandek. "Pasti kau muridnya, bukan"!
Kami tahu penyamaranmu, Kawan! Cepat serahkan pedang itu pada kami!"
Jelas Genda terkejut dan heran.
Apa-apaan orang ini menuduh di sebagai murid Ki Rengsersari. Wah, jelas keduanya
tidak tahu siapa dia. Dia perumput dan penjaga kuda-kuda
Biparsena, orang terkaya di desa Bolongronggo ini.
"Apa-apaan kalian omong" Aku Genda!
Bukan muridnya Ki Rengsersari! Kalian mengigau apa?"
"Jangan berdusta!" bentak Tikam jengkel. Ia mencabut goloknya. Golok itu
berkilat ditimpa cahaya matahari, yang membuat Genda mundur ketakutan. Wajahnya
memucat. Bibirnya mendadak membiru.
"Bukan, bukan aku! Aku tidak tahu apa-apa!"
"Katakan, di mana pusaka itu?"
bentak Caraka geram. "Atau... kau mau mampus di tangan kami! Cepat katakan!!"
"Jangan, jangan! Aku tidak tahu apa-apa!"
Sikap Genda itu membuat kemarahan mereka naik. Disangkanya mereka tidak tahu
kalau murid Ki Rengsersari ini berpura-pura. Secepat kilat Caraka mengayunkan
goloknya. Tepat ke arah leher Genda. Genda memekik ketakutan.
Bersamaan dengan itu sesuatu menambrak golok Caraka. Caraka menyangka Genda yang
menangkis. Dia tidak tahu, karena takutnya asal saja Genda mengayunkan
tangannya. Tapi tidak mengenai golok itu. Genda sendiri saja heran, kenapa golok
itu tidak mampir di lehernya.
Caraka mundur. Mengatur posisi.
Tikam bersiap pula. Murid Ki Rengser tidak boleh dianggap enteng. Keduanya
serentak menerjang Genda yang menjerit ketakutan. Tapi lagi-lagi keduanya gagal.
Sesuatu menerjang mereka hingga terpelanting.
"Bangsat!" geram Caraka. "Pantas kau berani bertingkah, punya mainan juga
rupanya! Tapi kali ini, terimalah kematianmu. Tikam, satukan permainan golokmu
dengan golokku. Kita habiskan dia!"
Tikam merapat. Caraka merapat.
Goloknya berada di sebelah kanan. Tikam sebelah kiri. Keduanya merapatkan
Badai Laut Selatan 4 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pedang Angin Berbisik 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama