Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Bagian 2
pengawal barang itu. Biar ini kulakukan untuk menebus kesalahanku. Pranata berbalik kepada ayahnya.
"Aku sudah siap, Ayah!"
"Bagus! Kau hadapi mereka dengan sungguhsungguh. Perlihatkan kepandaianmu kepada Ayah.
Dan kalian, jangan sungkan-sungkan untuk melukai
Pranata Kumala. Anggap hari ini dia bukan putra ku,
tetapi musuh yang, harus kalian basmi! Ingat, kulihat gerakan kalian lamban dan
kaku karena sungkan, aku
yang akan menghajar kalian!"
Rupanya Madewa Gumilang bersungguhsungguh. Selain jengkel karena putranya tidak menolong orang-orang yang dalam kesulitan, dia juga ingin melihat kepandaian
putranya. Tadi dia memang sudah
merasakan, namun itu antara tenaga kasar. Dia ingin
Pranata bergerak secara halus namun mampu melumpuhkan lawan-lawannya.
Pranata maju ke depan. Langkahnya tenang kesepuluh orang murid perguruan Topeng Hitam mencabut sepasang pedang mereka dan mengenakan topeng.
Dengan serentak mereka mengurung rapat. Pranata
berdiri tenang dengan mata waspada.
Maafkan kami, Raden," kata salah seorang. Dan
dia sudah menerjang maju dengan sabetan atas bawah
pedangnya. Pranata melompat ke belakang tetapi langsung bersalto karena sepasang pedang di belakangnya
sudah menyambar.
Dan seterusnya, dua puluh pedang itu menyambar dengan cepat dan ganas. Pranata Kumala
pertama agak kerepotan, Karena tidak sedikit pun dia dikasih menyerang. Malah
orang-orang itu seakan benar-benar ingin membunuhnya. Pranata mengerahkan
segenap kepandaian dan kelincahannya untuk berkelit
dan menghindar. Dan dia bergerak demikian cepatnya,
hingga hanya merupakan bayang-bayang.
Tiba-tiba dia melenting ke atas dan bersalto ke
belakang, menghindari dua buah pedang yang akan
menusuknya. Bergerak dengan sangat mengagumkan,
karena masih bersalto dia menotok dua orang lawannya hingga kaku. Madewa berseru kagum dalam hati.
Perhitungan untuk menghindar dan menotok itu benar-benar ditampilkan putranya dengan hebat.
Begitu Pranata hinggap di tanah, yang lain
kembali menyerang. Mendadak Madewa berguling, serentak lawan-lawannya menusukkan pedangnya ke
bawah, tetapi lagi-lagi Pranata membuat gerakan yang mengagumkan. Tubuhnya tibatiba melenting ke atas
dan kembali menotok dua orang dengan cepatnya bahkan menendang punggung salah seorang hingga jatuh
bergulingan. "Bagus!" seruan Madewa terdengar. "Tetapi ingat Pranata, masih ada lima orang
lagi! Gunakan, jurus Penutup Barisan, cepat!"
Serentak lima orang itu berjalan ke belakang
merapat. Tetapi pedang-pedang mereka tidak sama
mereka pegang. Ada yang dua-duanya ke depan. Ada
yang ke samping dengan mengembangkan tangan. Ada
yang ke bawah. Ada yang satu ke bawah dan yang satu
ke atas. Dan penutup barisan, yang terakhir, mengepit kedua pedangnya di ketiak.
Pranata bingung bagaimana cara menyerangnya. Tetapi lawan-lawannya sudah maju menyerang.
Serentak dan gerakan mereka teratur. Yang berdiri di depan, mengibaskan
pedangnya. Pranata berkelit ke
samping tetapi yang pedangnya mengarah ke samping
cepat melompat menusuk, Pranata bergulingan. Kembali yang pedangnya berada di bawah, menusuk dengan cepat. Dan serangan-serangan itu menjadi membingungkannya. Dia terus berkelit ke sana-kemari tan-pa tahu bagaimana harus
merobohkan lawanlawannya. Jurus Penutup Barisan sangat tangguh. Satu yang menyerang, yang empat diam. Bergantian dengan rapat dan cepat.
Tiba-tiba Pranata berbalik, menyerang yang
paling belakang, tetapi yang belakang pun segera berbalik dan memasang jurus
seperti yang di depan tadi.
Dan yang lain merubah jurusnya. Bukan main, suatu
jurus yang amat hebat diperlihatkan!
Pranata menarik diri ke belakang. Dia berpikir
bagaimana caranya menembus pertahanan mereka.
Mendadak dia mengibaskan tangannya, dan melesat
selarik sinar merah ke arah barisan itu, yang mendadak menjadi bubar untuk menyelamatkan diri. Dan secepat kilat. Pranata bergerak. Menotok mereka satu
per satu hingga tak ada yang sanggup untuk bergerak
lagi. Terdengar Madewa bertepuk tangan.
"Bukan main! Kecepatan mu boleh juga, Pranata. Baik, jika ada pengiriman barang itu, kau akan turut serta mengawal!"
Pranata menjura gembira.
"Terima kasih, Ayah."
"Pranata... kau mengenal orang yang mengenakan kedok putih?"
"Kedok putih?" Kening Pranata berkerut. "Tidak ayah, aku belum pernah
melihatnya. Si Kedok Putih
itukah yang telah menolong Kakang Jayalaksa?"
"Iya, pendekar budiman itu menyembunyikan
wajahnya di balik kedok putihnya. Suatu saat, aku
bermaksud akan mencarinya."
"Untuk apa, Ayah?"
"Aku ingin mengenalnya, Pranata. Orang itu tidak segan-segan membela kebenaran. Aku ingin kau
seperti dia, Pranata."
Pranata hanya mengangguk. Yah, dia akan berbuat seperti si Kedok Putih. Dia ingin seperti ayahnya, pendekar pembela
kebenaran. *** 6 Sebenarnya, masih ada yang belum diceritakan
Ambarwati kepada ayahnya, peristiwa yang hampir saja dirinya diperkosa oleh salah seorang anggota perkumpulan Pengemis Sakti, sebuah perkumpulan yang
sudah terdengar namanya sebagai orang-orang yang
kerjanya hanya membuat onar dan malapetaka saja.
Kalau dia ceritakan kepada ayahnya. Ambarwati kuatir ayahnya akan marah dan segera menyerbu ke
pantai pengemis itu. Dia tidak ingin antara ayahnya
dengan partai pengemis itu menjadi bermusuhan. Itu
sebabnya Ambarwati tidak menceritakan peristiwa
yang hampir saja merenggut kehormatannya.
Ambarwati ingat kepada laki-laki berkedok putih. Siapa dia sebenarnya. Diam-diam Ambarwati ingin berkenalan dia juga belum
mengucapkan terima kasih
kepadanya. Ah, siapa sebenarnya wajah di balik kedok putih itu. Mungkinkah wajah
itu tampan seperti wajah pemuda yang bertempur dengannya di kedai waktu
itu" Ataukah wajahnya sangat buruk sekali sehingga
dia menyembunyikannya dengan kedok putih itu" Tetapi biar baik dan buruk wajahnya, Ambarwati bertekad untuk menjumpainya dan mengucapkan terima
kasih. Dia sudah selesai mandi dan berdandan. Dia
akan pamit kepada ayah untuk pergi lagi selama dua
hari. Mencari si Kedok Putih dan pemuda tampan yang
bertempur dengannya. Ih. kenapa selalu terbayang wajah pemuda tampan itu. Apa-apaan sih! Wajah Ambarwati menjadi memerah sendiri. Semakin membuatnya cantik dan manis.
Jedangmoro sudah kembali dengan hasil rampokannya yang berisikan emas permata yang banyak
sekali. Dia segera menyelinap masuk dan berganti pakaian, sedangkan anak buahnya kembali menjadi pelayan-pelayan yang sopan dan baik-baik.
Begitu Ambarwati keluar dari kamarnya, Jedangmoro sudah duduk sambil menghisap cerutunya.
"He... he... sudah bangun, Ambar?"
Ambarwati tersipu. "Maafkan Ambar Bapa, Ambar bangun kesiangan."
"Tidak apa-apa, Nak. Kau semalam tidur larut
sekali," kata Jedangmoro sambil menghembuskan asap rokoknya, padahal dalam
hatinya dia gembira. Bagus,
putrinya baru bangun, jadi tidak mengetahui ke mana
dia pergi semalam.
Tahu-tahu, Ambar terdiam. Dia menunduk dan
kakinya menggores-gores lantai. Jedangmoro heran
melihatnya. Kenapa dengan putrinya itu" Janganjangan, dia melihat mereka baru datang tadi.
"Kau kenapa, Ambar" Sikapmu seperti gelisah
sekali?" tanya Jedangmoro.
Ambarwati mengangkat wajahnya, menatap
ayahnya. "
"Bapa...."
"Ya, Sayang?"
"Ambar... Ambar ingin pergi lagi. Bapak mengizinkan, bukan?"
Jedangmoro menghela nafas panjang.
"Ke mana lagi, Ambar akan pergi. Padahal Ambar baru semalam pulang. Ayah masih kangen denganmu, Nak."
"Ambar pergi hanya dua hari, Bapa."
"Tapi kau baru kembali semalam, Nak. Bapak
belum habis melepas rindu."
"Ih, Bapa. Ambar kayak mau pergi ke mana saja. Ambar ingin mencari.si Kedok Putih, Ambar ingin
mengucapkan terima kasih kepadanya."
"Ah, itu bisa dilakukan nanti Ambar. Kali ini
Bapa tidak mengizinkan. Lusa mungkin Bapa izinkan."
Ambarwati cemberut, sambil bersungut-sungut
dia masuk kembali ke kamarnya. Jedangmoro menggeleng-gelengkan kepala. Putrinya yang satu itu memang manja. Ah, sebentar lagi
dia juga sudah tidak ngambek. Memang Ambarwati tidak ngambek, dia mengunci pintu kamarnya. Dan pelan-pelan dia membuka
jendela kamarnya dan melompat keluar. Dengan hatihati dia melangkah ke kandang kuda. Mengambil seekor yang putih. Seorang pelayannya memergokinya.
Ambar cepat meletakkan telunjuknya di bibir,
"Sttt...! Sini, sini, jangan banyak tanya, ya" Aku
sedang mengadakan permainan dengan Bapa. Kalau
aku bisa. membawa kuda ini tanpa menimbulkan suara, Bapa akan memberi ku hadiah. Kamu mau membantu, kan?"
Yang minta bantuan putri majikannya, sudah
tentu pelayan tadi mengangguk. Bahkan dia memasangkan pelana dan menyuruh Ambar menjalan kudanya sangat pelan. Ambar pun akan berbuat demikian. Dan ia menjalankannya dengan hati-hati. Setelah agak jauh, baru dia
menggeprak kudanya. Pelayan tadi menggeleng-geleng kepala, kagum dengan
ketangkasan putri majikannya dalam hal menunggang kuda.
Ambarwati melarikan kudanya kencangkencang, menuju ke desa di mana dia bertempur dengan Pranata Kumala beberapa waktu yang lalu. Entah
kenapa dia menjadi sangat merindukan pemuda itu.
Pemuda yang tidak sombong, tidak membuatnya malu,
bahkan dia mau mengalah. Ah, kalau Ambar ingat bagaimana luka di lengan pemuda itu, dia menjadi kasihan. Juga agak menyesal karena pemuda itu sengaja
menyongsong pedangnya tanpa mengelak, semata agar
dia menghentikan serangannya dan pemuda itu mengaku kalah. Kalau ingat ini, dia menjadi malu, karena ternyata pemuda tampan itu lebih lihai darinya. Tiba-tiba di hadapannya muncul tiga
orang pengemis dengan
tongkat di tangan, yang berdiri menghadangnya. Ambarwati memperhatikan sambil memperlambat laju
kudanya. Yang berdiri di tengah, Ambarwati seperti
pernah mengenalnya. Dia adalah Ayasumo yang setelah di perintah Sengkawung untuk mencari dan menangkap Ambarwati segera pergi menjalankan perintah. Dia sendiri masih penasaran karena gadis itu tidak berhasil di gagahinya.
Ambarwati menghentikan kudanya dari jarak
jauh. Dia tidak ingin mendapat kesulitan, dengan cepat dia berbalik dan memacu kudanya. Ketiga orang
pengemis itu serentak mengejar dengan menggunakan
ilmu larinya, tetapi Ambarwati sudah melesat jauh. Ketiga pengemis itu
tertinggal jauh.
Ayasumo mendengus kesal. Dia menyuruh berbalik, mencegat dari arah yang berlawanan. Ambarwati terus melarikan kudanya,
dia me lewati padang rum-put yang luas dan mendadak telinganya mendengar
alunan seruling yang merdu. Ambarwati menghentikan
kudanya dan celingukan mencari siapa yang meniup
seruling itu. Betapa merdu nada yang keluar dari tiupan seruling itu. Dia menjalankan kudanya perlahan-lahan
dan tiba-tiba terdengar suara itu jelas di atas kepalanya. Dilihatnya seorang
pemuda sedang asyik duduk
santai di salah satu dahan dan meniup seruling itu.
Tahu-tahu dia menunduk, pemuda itu adalah
pemuda tampan yang dipikirkannya semalam. Pemuda
yang bertempur dengannya di waning waktu itu. Ah,
dia tadi sempat melihat lengan kanan pemuda itu dibalut. Tentu akibat goresan pedangnya kemarin.
Dia harus minta maaf. Perlahan dia mendongak
dan memanggil, "Hei!"
Pemuda itu menghentikan tiupan serulingnya
dan menoleh ke bawah. Dia melihat seraut wajah cantik yang memanggilnya. Pemuda itu ingat, dia adalah
gadis yang mengajaknya bertempur waktu itu.
"Oh... engkau rupanya, Nona. Maafkan aku,
aku tidak ingin bertempur. Kamu hebat, Nona. Ilmu
pedangmu amat tangguh. Lagipula, aku sudah mengaku salah, bukan" Aku tidak mau bertempur lagi dengan kau, Nona. Aku kuatir lengan kiriku akan tergores
pula." Wajah Ambarwati memerah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan... bukan itu maksudku.... Aku.. aku...."
Dia agak susah bicara.
"Aku tahu, Nona. Kau masih penasaran karena
aku belum kau bunuh. Sudahlah Nona, aku segan bertempur denganmu!"
Tiba-tiba pemuda itu meloncat turun, sekilas
menatap Ambarwati dan melesat cepat.
"Hei, tunggu! Aku ingin bicara denganmu!" seru Ambarwati sambil melarikan
kudanya, menyusul pemuda itu.
Pemuda itu adalah Pranata, dia masih terus
berlari. "Maafkan aku, Nona. Sungguh mati, aku tidak ingin bertempur denganmu!"
"Bukan... bukan itu! Aku ingin minta maaf!" se-ru Ambarwati pada akhirnya.
Mendengar perkataan itu, Pranata memperlambat larinya dan berhenti. Ambarwati mendekatinya
perlahan. Pranata menatap wajahnya.
"Kau sungguh-sungguh, Nona" Tidak akan menyerangku?" tanyanya sangsi. Pranata masih ingat, waktu itu saja Nona ini marahmarah hanya karena
dia memandanginya. Tentu sekarang dia akan membalas kekalahannya itu, karena tak berhasil membunuhnya. Pemudi remaja itu turun dari kudanya dan
mengangguk sungguh-sungguh.
"Yah... maafkan aku waktu itu...." "Namaku Pranata Kumala."
"Aku bersalah kepadamu, Pranata. Maaf...
maafkan aku...."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona...."
"Namaku Ambarwati."
"Nona Ambarwati. Aku memang salah, aku telah berlaku ceriwis dengan menatap mu lama-lama...."
Pemudi itu menunduk dengan wajah bersemu
merah. "Kau... kau...." Lagi-lagi dia kagok untuk bicara.
Pemuda di hadapannya betapa tampannya.
"Ya, aku ceriwis. Habis kau sangat cantik, Nona. Aku kagum melihat kecantikanmu. Ketahuilah, selama sembilan tahun aku tidak pernah melihat keramaian. Jadi melihat gadis secantik kau tentu saja aku tidak melewatkan
kesempatan itu."
Wajah Ambarwati semakin memerah. Pemuda
ini memujinya, betapa senangnya dia dipuji oleh pemuda yang telah menjerat hatinya. Perlahan diangkat
wajahnya dan ditatapnya pemuda itu. Dadanya bergemuruh. "Aku... aku minta maaf. Aku tidak menyangka kau lebih lihai dariku...."
"Hei, kata siapa! Buktinya kau berhasil melukai lengan kananku! Lihat!"
Pemuda itu memperlihatkan lengan kanannya
yang dibalut sapu tangan. Melihat itu hati Ambarwati semakin teriris. Ini
kesalahannya, yang menganggap
pemuda itu mata keranjang. Dia jadi kesal, apalagi
pemuda itu tidak mau lepas dari wajahnya. Dia kan
menjadi risih dan kesal. Enak saja memandang orang
hingga membuat orang itu menjadi malu!
Dan sekarang dia menyesali karena tidak berpikir panjang lagi. Langsung menantang dan menyerang pemuda itu hingga lengan pemuda itu tergores
oleh pedangnya.
"Maafkan aku...." katanya lirih.
"Sudahlah, tidak ada yang perlu dimaafkan. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, bukan?"
Ambarwati mengangguk.
"Kalau begitu, aku permisi, Nona...."
"Namaku Ambar."
"Oh iya, Ambar. Maaf... aku permisi dulu."
Ambarwati hanya mengangguk, tidak berkata
lagi sepatah kata pun. Entah kenapa dia menjadi kagok di hadapan pemuda itu. Ih, benar-benar hatinya
sudah kepincut. Sayang pertemuan tadi hanya sebentar. Bayangan pemuda itu sudah tidak nampak lagi.
Demikian cepat pemuda itu berlari.
Pranata sendiri pun sebenarnya enggan untuk
meninggalkan gadis cantik itu. Hatinya bergetar melihat kecantikan wajah itu.
Dia menjadi takut, kalau la-ma-lama berhadapan dengan gadis itu, dia menjadi
gemetar pula. Dia makanya buru-buru berpamitan. Selain itu,
dia juga hendak segera ke perguruan Topeng Hitam.
Hatinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan ayah
bundanya. Ambarwati membalikkan kudanya dan mendadak dia tertegun. Tiga orang pengemis sudah mengurungnya dan salah satunya Ayasumo.
"Ha.,, ha.., kita ketemu lagi, Nona. Hari ini kau tidak bisa melawan. Lebih baik
menyerah saja dan ikut dengan kami. Daripada kau kubunuh!"
Ambarwati mendengus. Dia tidak takut mendengar ancaman itu. Tadi pun ketika berjumpa dia tidak takut, dia hanya tidak ingin berkelahi dan terlibat kesulitan, tetapi mau
tidak mau dia harus berkelahi
sekarang dan mungkin mendapat kesulitan.
"Ikut denganmu, ciih! Lebih baik aku mati daripada ikut dengan engkau!" seru Ambarwati galak dan diam-diam menyesali, karena
Pranata Kumala sudah
pergi. Kalau tidak, dia pasti akan membantunya
menghadapi tiga orang dari partai pengemis ini. Ayasumo tertawa. Melihat bibir itu bergerak dan lidah
yang mungil serta memerah, dia semakin bernafsu untuk mendapatkan gadis ini.
"Ha... ha..., kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, Nona! Cepat kau
menyerah atau kau ku
paksa untuk melayaniku dan dua orang temanku!"
Kedua teman Ayasumo terbahak. Melihat kecantikan gadis itu mereka juga naik nafsu birahinya.
Wajah Ambarwati menjadi pias. Lagi-lagi dia menyadari, kalau dirinya ini bukan apa-apa jika dibandingkan mereka. Mendadak dia
mengeprak kudanya dan maju
menerjang dengan kencang.
Ketiga orang itu menghindar ke samping dan
tongkat Ayasumo sudah bergerak, menotok kuda itu
hingga berhenti mendadak. Tubuh Ambarwati terjengkang ke depan, untung dia segera bersalto jadi tidak jatuh terdorong. Melainkan
hinggap dengan ringan.
Ketiga orang pengemis itu segera mengurungnya sambil terkekeh-kekeh. Ambarwati akan bertahan
mati-matian, daripada dirinya ternoda. Dia tidak bisa membayangkan hal itu.
Ngeri hatinya jika dia sampai
ternoda oleh ketiga pengemis itu.
Dengan segera dia mencabut pedangnya dan
siapa menyambut serangan ketiga pengemis jembel.
Ayasumo terbahak, meremehkan.
"Kau masih mau melawan juga rupanya, Nona.
Kuperingatkan, tak ada gunanya kau melawan kami
bertiga! Kau akan terluka, Nona."
"Itu lebih baik bagiku!" seru Ambarwati gusar.
"Daripada jatuh ke tangan kalian, aku lebih suka mati hari ini!"
Ayasumo terbahak, disahuti oleh kedua orang
temannya. "Baik, Nona! Tetapi jangan menyesal, kalau kau
mati, kami juga kan memperkosa mu!"
"Lakukanlah!" seru Ambarwati antar nekat dan takut. Orang-orang itu memang iblis
biadab! Ayasumo tertawa dan segera memutar-mutar
tongkatnya. Begitu pula dengan kedua temannya. Putaran tongkat itu menimbulkan desingan angin yang
agak keras. Dan bunyi yang agak lumayan.
Ambarwati menjadi agak ciut juga. Tetapi dia
sudah membuka jurusnya. Pedangnya diletakkan di
dada. Tangan kirinya memancang ke depan. Kaki kiri
di tekuk ke depan dan kaki kanan lurus berdiri.
Siap menghadapi mereka.
Ayasumo tertawa dan tiba-tiba mengayunkan
tongkatnya dengan sangat cepat. Arahnya ke dada
Ambarwati. Ayasumo memang seorang pengemis cabul.
Ambarwati menjerit kaget. Sambil membentak dia menangkis, "Bangsat cabul!"
"Trak...!"
Ayasumo tertawa-tawa dan mencecar dada Ambarwati, yang menjadi kesulitan untuk menangkis. Dia juga mencecar pangkal paha
Ambarwati yang semakin
kerepotan. Selain malu dan jijik dia juga kebingungan, karena dua tongkat yang
lain sudah menyambar pula.
Dalam waktu yang singkat saja, Ambarwati sudah terdesak hebat. Tongkat-tongkat itu sudah beberapa kali mampir di tubuhnya.
Dan tiba-tiba Ayasumo memekik dan mengayunkan tongkat ke kepala Ambarwati. Ambarwati
mengayunkan pedangnya ke atas untuk menangkis.
Tongkat berhasil ditangkis. Namun dengan sangat cepat, Ayasumo masuk dan tangan kirinya menotok Ambarwati hingga kaku.
Ambarwati membentak, "Lepaskan, lepaskan
totokan kalian! Kalian semua pengecut, ayo kita bertanding sampai mati!"
"Ha... ha... mana mungkin aku akan membunuh gadis secantik kau! Tubuh mu padat dan empuk.
Aku menyukaimu, Nona."
Tangan Ayasumo secara cabul menggerayangi
dada Ambarwati. Ambarwati menjerit-jerit marah.
"Lepaskan aku, kita bertanding lagi!"
"Ha... ha..." Tangan Ayasumo sudah memegang dan meremas dada Ambarwati. Terasa
empuk dan lembut. Benar-benar masih mengkal namun kenyal.
Ambarwati menjerit dan memejamkan matanya
menahan malu, kesal, marah dan jijik terhadap Ayasumo yang semakin keenakan meremas. Tiba-tiba Ayasumo melepaskan totokannya dan mendorong tubuh
Ambarwati hingga jatuh. Dan sebelum Ambarwati bergerak, dia sudah menotok kembali.
"Ha... ha... sebelum ku persembahkan kepada
ketua, lebih baik ku nikmati saja dulu tubuhmu, Nona.
Kalian berdua tunggu giliran. Sekarang tontonlah aku untuk menaklukkan gadis
ini." "Breeet...!" Ayasumo sudah merobek dada Ambarwati. Dada yang kenyal dan empuk,
dengan buas dia menciumi dada itu.
Tetapi tiba-tiba tubuhnya mengejang dan ambruk tanpa nyawa lagi.
Kedua temannya tersentak kaget. Mereka segera memeriksa tubuh Ayasumo. Sebuah jarum berbisa
menancap cepat di jantungnya.
Kedua pengemis itu segera bersiap, mencari
siapa yang .telah melakukan perbuatan tadi. Tetapi tidak nampak seorang pun di
sana. Ambarwati sendiri pun heran, namun gembira
dan lega. Karena dirinya terlepas dari ancaman yang
amat mengerikan bagi setiap wanita. Dan mendadak
dia merasakan dirinya telah terbebas dari totokan. Sebuah kerikil kecil telah
melepaskan totokan itu. Dengan hati-hati dia menutupi dadanya dan mengambil
tongkat Ayasumo. Lalu diayunkannya tongkat itu ke
leher kedua pengemis yang sedang celingukan itu.
"Des..! Des...!"
"Aaaah...!"
Kedua tubuh itu ambruk dan terkulai pingsan.
Ambarwati membenahi pakaiannya yang masih
agak terbuka. Sudah agak, sobek. Masih menampakkan keputihan tubuh di bagian dadanya.
Ia mengambil tali di kudanya dan mengikat pakaian yang terbuka itu hingga merapat kembali. Dia
segera naik ke kudanya. Tetapi mendadak dia berhenti.
Dia belum tahu siapa yang telah menolongnya.
Tiba-tiba pohon di sampingnya bergerak. Ambarwati menoleh ke atas. Si Kedok Putih sedang melambaikan tangannya dan bersalto lalu menghilang.
Ambarwati menghela nafas panjang. Lagi-lagi
dia yang telah menolongnya. Siapa dia sebenarnya dan mengapa selalu muncul
memberinya pertolongan"
Mendadak sebuah pikiran yang mengejutkannya sendiri melintas.
Si Kedok Putih mencintainya.
Entah siapa dia sebenarnya, Ambarwati bahagia jika benar-benar si Kedok Putih mencintainya. Tetapi dia harus menolak,
karena dia sudah mencintai
Pranata Kumala.
Ah, mengapa sekarang dia menjadi memikirkan
itu. Dia senang dan kagum dengan si Kedok Putih, tetapi tidak mencintainya. Ambarwati yakin, kalau si Kedok Putih mencintainya,
buktinya dia selalu muncul
menolongnya jika dia mendapat kesulitan.
Tetapi jelas-jelas dia harus menolak cintanya si
Kedok Putih. Hatinya sudah terjerat oleh Pranata Kumala. Sayang, pemuda itu pergi dengan cepat. Padahal dia ingin sekali lama
bercakap-cakap dengan pemuda
itu! Pemuda yang baru beberapa hari saja sudah menjerat hatinya. Tetapi, apakah Pranata Kumala juga mencintainya" Ah, betapa sedihnya dia jika ternyata Pranata Kumala tidak mencintainya.
Ambarwati segera memacu kudanya. Hari ini ia
menjumpai dua orang pemuda yang sama-sama membuatnya kagum. Tetapi pada si Kedok Putih dia hanya
kagum, sedangkan kepada Pranata Kumala dia mencintainya. Dan Ambarwati akan mencari di mana adanya
Pranata Kumala dia ingin selalu dekat dengan pemuda
itu. *** 7 Ketua Partai Pengemis yang bernama Sengkawung itu, marah besar mengetahui Ayasumo meninggal di tangan si Kedok Putih. Dia menggeram marah
sambil menggebrak meja di hadapannya. Begitu keras,
hingga patah berantakan.
Dua orang anak buahnya yang datang melapor
tadi, menggigil ketakutan.
Sengkawung membentak marah, "Baik, Kedok
Putih! Hari ini, partai Pengemis Sakti akan bermusuhan denganmu! Baik, hari ini juga kita akan berangkat
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencari si Kedok Putih!"
Sengkawung bangkit dan mengambil tongkat
kebanggaannya. Bersama lima orang anak buah, mereka segera berangkat mencari si Kedok Putih. Sengkawung geram sekali, dia akan menghancurkan si Kedok Putih itu! Sore hati mereka tiba di sebuah desa yang tidak
ramai. Tidak ada seorang pun yang mengenal si Kedok
Putih ketika mereka bertanya. Dengan geram Sengkawung memukul orang yang ditanya. Dia menarik baju
orang itu yang menggigil ketakutan.
"Kalau kau bertemu dengan orang yang memakai kedok putih, cepat laporkan kepadaku!"
"Baik... baik, Raden.... Saya... saya akan melaksanakan perintah Raden...."
"Huh!" Sengkawung mendorong tubuh orang itu hingga jatuh tersungkur. Setelah itu
orang itu buru-buru lari dengan wajah pias. Dia menyesal mau menjawab pertanyaan pengemis jembel itu!
Sengkawung nampaknya benar-benar marah
besar. Wajahnya semakin geram ketika sampai malam
dia tidak mendengar kabar tentang si Kedok Putih.
Akhirnya dia membuat suatu rencana, untuk
membuat onar, mungkin dengan itu si Kedok Putih
akan muncul. Keesokan harinya, dia segera merampok sebuah rumah. Dan membunuh semua penghuninya kecuali anak gadis keluarga itu. Dengan buas, Sengkawung memperkosanya. Lalu membunuh gadis itu dengan keji. Tetapi si Kedok Putih tidak muncul juga. Kembali akhirnya dia memutuskan untuk merampok sebuah kereta kuda yang membawa pengiriman parang.
Kereta kuda itu dikawal oleh Pranata Kumala
dan beberapa murid perguruan Topeng Hitam.
Kali ini Pranata hanya membuat sebuah jebakan. Dalam kereta kuda itu tidak ada barang berharga.
dia hanya ingin memancing gerombolan Golok Iblis untuk muncul. Tetapi di tengah jalan, malah enam orang berpakaian pengemis yang menghalangi jalannya. Sikap
mereka sungguh-sungguh menantang.
Pranata menghentikan rombongannya dan
menghampiri mereka.
"Maafkan kami, Saudara. Kami hendak melalui
jalan ini, jangan menghalang di tengah jalan."
Sengkawung membentak marah.
"Serahkan barang yang engkau bawa itu, baru
kami akan minggir memberimu jalan."
"Itu barang pesanan, Kisanak. Kami tidak bisa
memberikan kepada kalian."
"Berarti hanya ada satu jawaban, tak ada jalan
dan kalian akan menerima kematian hari ini."
"Saudara, kami tidak mencari permusuhan
dengan siapa pun. Tak terkecuali kalian. Minggirlah, biarkan kami melanjutkan
perjalanan."
"Hhh! Kau sudah ingin mampus rupanya!" bentak Sengkawung jengkel dan mengayunkan
tongkat- nya. Tetapi dengan cepat Pranata melompat menghindar, namun kudanya tidak bisa menghindar. Kepala
kuda itu hancur terkena ayunan tongkat Sengkawung
dan roboh bermandikan darah.
Sungguh luar biasa tenaga pimpinan partai
pengemis itu. Besar dan kuat. Pranata menjadi siaga.
Dia mengibaskan tangannya memberi tanda agar yang
mengawal kereta kuda itu segera turun semua dan
membiarkan kereta kuda tidak ada yang menjaga.
Sengkawung pun segera berseru untuk bersiap.
Lima orang muridnya bergerak ke depan, berhadapan
dengan lima orang murid perguruan Topeng Hitam
yang sudah mencabut sepasang pedang mereka.
Dengan siaga yang tinggi mereka mempersiapkan jurus masing-masing.
Sedangkan Pranata Kumala sudah berhadapan
dengan Sengkawung. Pranata sudah mencabut senjatanya, sebuah seruling.
"Kalau kalian mampu melangkahi mayat kami,
kupersilahkan ambil barang yang kami bawa itu!"
Sengkawung terbahak.
"Baik, baik. Kami akan buktikan semua itu! Lihat serangan!" setelah membentuk dengan lengkingan yang tinggi, Sengkawung
menerjang dengan ayunan
tongkat yang kuat. Serentak pula kelima muridnya
menyerang. Pranata mengelakkan ayunan tongkat itu dengan menghindar dan masuk ke depan dengan seruling
siap menotok Sengkawung. Sengkawung memiringkan
tubuhnya dan tongkatnya menggetok kepala Pranata
yang dengan sangat cepat Pranata sudah bergulingan
menghindar. Sebenarnya Sengkawung tidak bermaksud bertempur. Dia hanya ingin memancing keluarnya si Kedok Putih, tetapi karena pemuda itu menantangnya,
timbul rasa marahnya terhadap pemuda itu. Dia menyerang dengan sangat sungguh-sungguh. Sengkawung adalah orang yang tidak mau mengalah dan panasan. Sebentar saja sudah ramai suasana di tempat
itu. Suara benturan senjata mereka amat cepat dan
ramai. Nyaring dan keras.
Tiba-tiba Sengkawung memutar tongkatnya
yang berubah menjadi seperti baling-baling. Desingan
angin yang ditimbulkan oleh putaran tongkat itu amat keras dan agak dingin.
Dengan masih memutar tongkatnya dia maju menyerang. Pranata sejenak kebingungan, karena dia tidak tahu bagaimana cara membalas serangan itu. Mendadak dia menghindar ke belakang, karena putaran tongkat itu sudah menyerangnya. Tetapi tongkat itu pun mendadak menjadi menyodok. Suatu ilmu tongkat yang mengagumkan. Pranata
menangkis dengan serulingnya.
"Traak...!"
Dan tubuhnya sudah melenting bersalto, tetapi
kembali tongkat itu mengejarnya. Dengan hebat tongkat itu menegak dan menotok tubuh Pranata yang masih bersalto. Lagi Pranata memperlihatkan kecepatan
ilmu serulingnya dia menangkis.
"Traak...!"
Tetapi karena posisi tubuhnya masih di udara,
itu tidak menguntungkan baginya. Dia terhuyung begitu hinggap di tanah. Tenaga ayunan tongkat itu sangat besar dan kuat.
Keadaan lima murid perguruan Topeng Hitam
berada di atas angin. Mereka sudah memperlihatkan
kehebatan ilmu pedang perguruan Topeng Hitam yang
amat cepat dan tangguh.
Tetapi para pengemis itu pun memperlihatkan
kelihaian mereka memainkan tongkat. Dengan tongkat
itu mereka mengimbangi permainan pedang murid
perguruan Topeng Hitam.
Namun tidak bertahan lama, karena mereka
agaknya terdesak. Salah seorang pengemis itu mengaduh dan tubuhnya ambruk dengan lengan yang putus.
"Aaah...!"
Melihat kawan mereka terluka, yang lain sudah
menyerang membabi buta. Tidak tentu arah serangannya. Terus memukul dan menotok. Dan kali ini murid
perguruan Topeng Hitam yang agak terdesak, soalnya
gerakan tongkat itu mengayun dengan cepat dan asal
saja, namun satu tujuan. Tubuh sang lawan!
"Des...!" sebuah pukulan tongkat mampir di salah seorang dari murid perguruan
Topeng Hitam. Orang itu terhuyung dan pengemis yang memukulnya
terus mencecar, sebisanya murid itu menangkis, namun kembali sebuah hantaman keras mampir di pahanya. "Aaah...." Dia mengaduh keras dan roboh dengan tulang paha yang patah.
Kesempatan itu digunakan oleh pengemis itu
untuk menghabisinya. Tetapi mendadak dia mengaduh, keras pula.
"Aaah...."
Sebuah sinar merah menghantam pergelangan
tangannya hingga hangus. Rupanya Pranata sudah
mengeluarkan pukulan sinar merahnya yang sangat
hebat. Tetapi dia pun harus membayar semua itu dengan hantaman tongkat Sengkawung di dadanya.
"Des...!"
Karena menolong temannya itu, dia menjadi
lengah. Tidak waspada kepada Sengkawung yang masih siap dengan tongkatnya.
Tubuh Pranata terhuyung beberapa langkah.
Sengkawung mengejar dengan lengkikan keras. Tetapi
Pranata sudah mengibaskan tangannya.
Kembali selarik sinar merah mengurungkan
niat Sengkawung. Dia berkelit dengan jalan berguling dan tangannya sudah
mengibas pula. Beberapa paku beracun berterbangan ke arah
Pranata yang kembali melancarkan sinar merahnya!
Paku-paku itu hangus terhantam sinar merah.
Melihat serangannya gagal, Sengkawung melempar tongkatnya dengan tenaga yang keras. Kali ini Pranata berguling untuk
menghindari tongkat itu.
Tongkat itu menancap sampai setengahnya ke tanah.
Bisa dibayangkan kalau sampai mengenai sasarannya.
Pranata buru-buru berdiri. Dia sudah membuka jurusnya, Tangan Bayangan warisan gurunya.
Sengkawung pun membuka jurusnya. Sebuah jurus
kungfu yang dipelajari di tanah leluhurnya, Tiongkok sana. Jurus yang cepat dan
tangguh. Kedua-duanya memutar dengan perlahan, saling tatap dengan waspada dan mencari kelemahan lawan. Tiba-tiba Sengkawung bergerak melancarkan pukulannya. Pukulan itu betapa cepatnya dan penuh tenaga. Pranata pun segera menyambut dengan sebuah
tangkisan yang penuh tenaga pula.
"Des...!"
Disusul dengan sebuah sodokan pada ulu hati
Sengkawung. Sengkawung cepat menarik tangannya
dan memukul tangan Pranata dengan sikunya. Dan
sangat tiba-tiba dia memutar dan kakinya menendang
lurus ke wajah Pranata.
Pranata menunduk dan berguling karena kaki
Sengkawung sudah bergerak lagi. Benar-benar jurus
kungfu yang bagus. Kali ini Pranata mengambil inisia-tif menyerang. Begitu
bangkit dia langsung menyerbu
dengan jurus tangan Bayangannya. Tangan itu bergerak demikian cepatnya dan sangat hebat, hingga membuat Sengkawung agak kewalahan. Namun dia bisa
mengimbanginya.
Keduanya kembali memperlihatkan kehebatan
dan kelincahan dalam menggunakan jurus tangan kosong. Jurus-jurus yang ampuh dan mematikan.
Sementara itu, di tempat yang sama. Muridmurid perguruan Topeng Hitam sudah berhasil merobohkan dua orang pengemis itu. Kini mereka tinggal
dua dan berhadapan dengan empat orang yang memegang pedang dengan hebat.
Mereka sudah menggunakan jurus pedang
Memanah Matahari. Sebuah jurus yang amat hebat.
Dimainkan secara bersamaan dengan gerakan yang
sama. Mereka berjajaran ke samping dan menyerang
dengan tusukan kepala kedua lawannya.
Tentu saja mereka kaget, karena gerakan pedang lawan-lawannya dimainkan secara seren-tak dan
kuat. Keduanya menangkis dengan susah payah.
Namun salah sebuah pedang itu berhasil menggores
pengemis yang berada di sebelah kiri, pahanya terluka dan darah mengalir keluar.
Sengkawung melihat hal itu. Dia bermaksud
hendak menghentikan pertempuran, karena sebenarnya dia tidak ingin bertempur dengan mereka,. Keinginannya hanya satu, menunggu
si Kedok Putih muncul.
Tetapi yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Lagipula, menghadapi orang-orang itu dia agak kewalahan
juga. Pemuda itu sangat tangguh, belum lagi kalau dia melancarkan pukulan sinar
merahnya. Membuatnya
terkejut dan menjadi kalang kabut.
Mendadak dia bersuit dan berkelebat menghilang. Seorang muridnya itu segera berbuat yang sama
berkelebat menyusul ketuanya.
Murid-murid perguruan Topeng Hitam bermaksud mengejar, tetapi Pranata melarang.
"Biarkan orang-orang itu. Lagipula, kita tidak
kehilangan apa-apa. Cepat kalian obati kakang Kusni
dan masukkan ke kereta kuda."
Mereka segera menjalankan perintah itu. Biar
bagaimana pun mudanya Pranata, dia menjadi pemimpin mereka saat ini. Dengan segera Kusni diobati
dan dinaikkan ke kereta kuda. Setelah itu mereka
kembali lagi, seolah menanti apa perintah selanjutnya.
Pranata mengangguk.
"Kita lanjutkan perjalanan ini. Daerah menuju
ke desa Pacitan belum kita lalui. Kali ini kalian harus bersiap. Mungkin
gerombolan orang merampok itu berjumlah sangat banyak."
Setelah tidak bertemu dengan orang yang dicarinya, Ambarwati bermaksud pulang. Dia agak kesal
karena si Kedok Putih maupun Pranata tidak muncul
kembali. Sudah dicarinya ke sana kemari, tetapi tidak kelihatan.
Di barat sana, matahari sudah hendak kembali
ke peraduan. Cahaya merahnya membiasi langit dengan indah. Sejenak Ambarwati memperhatikan keindahan alam itu. Betapa besarnya Tuhan menciptakan
semua itu. Sangat indah dan sedap dipandang.
Tanpa terasa makin lama matahari itu makin
menghilang dan malam mulai datang. Ambarwati segera menjalankan kudanya untuk kembali ke rumah.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Entah kenapa dia sangat kesal karena tidak
bertemu dengan salah seorang dari kedua pemuda
yang di kaguminya. Kedok Putih dan Pranata Kumala.
Ah, ingatannya kembali kepada Pranata Kumala. dia yakin, dirinya jatuh cinta pada pemuda tampan itu. Kalau ingat akan luka
di lengan kanan pemuda itu akibat goresan pedangnya, dia menjadi menyesal
sendiri. Tidak seharusnya tangan pemuda itu terluka. Dua hari yang lalu pun,
ketika bertemu dengannya, Ambarwati melihat luka itu masuk menggores di tangan
Pranata, walau ditutupi saputangan putih.
"Maafkan aku, Pranata...." desisnya kepada angin, karena hanya angin saja yang
berada di sekitar
sana. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi kalau ingatannya kembali kepada si Kedok Putih, dia menjadi agak iba. Ambarwati yakin, si Kedok Putih mencintainya.
Buktinya dia selalu muncul kalau dirinya dalam kesulitan.
Pemuda yang selalu membantu seorang gadis,
pasti ada apa-apanya. Kalau tidak suka, ya, cinta! Cinta, sebenarnya apa sih
cinta" Ambarwati sendiri menjadi bingung. Lalu apa nama perasaan sukanya kepada
Pranata Kumala" Apa itu cinta.
Dan mendadak Ambarwati menjadi berdebar
sendiri. Apa dia sudah pantas untuk mengenal cinta"
Ih, cinta! Apa sih maksudnya" Pokoknya bagi Ambarwati, dia selalu ingin bertemu dengan Pranata Kumala, pemuda tampan yang tidak
sombong itu. Ambarwati pasti yakin, itu yang namanya cinta.
Cinta juga perlu pengorbanan. Buktinya" Si Kedok Putih itu. Dia selalu menolongnya dalam kesulitan, berarti dia berkorban tenaga
bahkan nyawa kalau suatu
saat dia terbunuh ketika menolongnya.
Tetapi si Kedok Putih kelihatan tangkas dan
hebat. Ilmunya tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Pranata Kumala" Ah, pemuda itu
pun hebat Ambarwati tidak
mau kalau-kalau pemuda pujaannya di kalahan orang.
Pasti Pranata Kumala mampu mengimbangi kesaktian
Si Kedok Putih.
Karena berjalan sambil melamun, tanpa terasa,
kudanya sudah tiba di daerah yang tak jauh dari rumahnya. Barulah Ambarwati sadar, kalau dia sejak tadi melamun. Dengan bergegas dia memacu kudanya,
karena hari sudah malam.
Tetapi baru beberapa ratus meter dia melarikan
kudanya, dia melihat serombongan orang berkuda keluar dari balik bukit. Orang itu sangat banyak. Berjumlah lebih dari dua puluh orang. Dan yang membuat
Ambarwati terkejut, dia mengenali semua orang itu.
Pelayan-pelayannya di rumah.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat seorang
penunggang kuda yang memakai jubah di belakangnya. Ayahnya! Penunggang kuda itu pasti ayahnya.
Ambarwati yakin, itu Bapa!
Mau apa Bapa malam-malam begini keluar
dengan sebanyak itu para pengawalnya. Hei, baru kali ini dia melihat ayahnya
keluar malam. Apa yang hendak dilakukan ayahnya malam-malam begini"
Dengan perasaan penuh tanda tanya dan ingin
tahu, Ambarwati mengikuti rombongan itu dari belakang, agak mengatur jarak karena kuatir ketahuan
oleh mereka. Memang, saat ini Jedangmoro hendak beraksi
lagi, karena menurut mata-matanya, ada sebuah kereta barang yang dikawal oleh enam orang hendak berangkat menuju desa Pacitan.
Sebenarnya Jedangmoro tidak ingin pergi menjegal sekarang. Biarlah rombongan itu lewat dengan selamat. Dia kuatir, putrinya
akan datang malam ini. Tetapi ketika ingat, kalau putrinya suka ngelayap lewat
dari izin perginya, Jedangmoro segera memerintahkan
anak buahnya untuk bersiap. Malam ini mereka harus
membuat persiapan jebakan dan paginya mereka akan
garap orang-orang itu.
Jedangmoro tidak tahu, kalau kali ini putrinya
patuh, kembali sesuai dengan izinnya sebanyak tiga
hari. Dan putrinya kini berada di belakang rombongan mereka, yang terheran-heran
hendak berbuat apa
ayahnya dengan pasukan sebanyak itu.
Ambarwati juga melihat, kalau pelayan-pelayan
yang biasa di rumah sopan dan baik, kini kelihatan
mereka sangat beringas dan di pinggang mereka masing-masing, tercantel sebuah golok besar.
Hendak ke manakah mereka itu"
Ambarwati terus membuntuti dengan hati-hati,
masih tetap mengatur jarak. Tak berapa lama kemudian, dia melihat pasukan itu berhenti dan ayahnya
memberi perintah untuk membuat rintangan yang berupa susunan bambu di tengah jalan.
Dan anak buahnya serentak melaksanakan tugas itu. Lagi-lagi dalam hati Ambarwati bertanya-tanya kebingungan. Bapa sedang
melakukan apa" Apakah
Bapa akan menyerang musuhnya dengan mencegat
perjalanan mereka. Atau... ah, Ambarwati tidak menemukan jawabannya lagi.
Dia bersembunyi di atas pohon, sedangkan kudanya diikat jauh dari tempatnya mengintai.
Malam semakin larut. Ambarwati melihat
orang-orang yang ditugaskan ayahnya sudah selesai
menjalankan tugas. Kini lima buah batang pohon dijajarkan di jalanan. Memang bisa menghambat perjalanan, karena batang pohon itu besar dan harus dising-kirkan lebih dulu.
Setelah itu mereka semua bersembunyi di balik
batu-batu besar. Lho, kenapa mereka bersembunyi.
Ada apa sebenarnya. Mungkin dugaannya benar,
ayahnya mempunyai musuh dan kali ini akan melakukan penyerangan. Wah, tentu asyik sekali melihat pertempuran itu. Dia akan
melihat kegagahan ayahnya
dalam bertempur nanti.
Ayah pasti jago dan hebat memainkan golok.
Siapa sih yang menjadi musuh ayahnya" Selama ini
ayah tidak mau menceritakan tentang musuhnya.
Bahkan Ambarwati sendiri tidak pernah mendengar
kalau ayahnya punya musuh. Jadi siapa musuhnya
itu" Malam terus merambat dan pagi pun datang.
Matahari perlahan-lahan keluar dari peraduannya. Dia tidak pernah telat sedetik pun. Selalu siap siaga menjalankan tugasnya.
Tugas yang rutin dan dia tidak pernah mengeluh dengan tugasnya.
Diam-diam Ambarwati ingin seperti matahari,
yang selalu tepat pada apa yang dikerjakannya.
Semalaman dia tidak tidur. Ambarwati melihat
ada beberapa anak buah ayahnya yang tidur dan ada
yang tidak. Seolah mereka menjaga jangan sampai jejak musuh sudah terlewat.
Kira-kira matahari sepenggal, dari kejauhan
terlihat debu mengepul. Dan sebuah kereta kuda dengan lima orang pengawalnya melaju ke arah rintangan
kayu itu. Memang hanya itu jalan satu-satunya menuju desa Pacitan. Pasti mereka akan menuju desa Pacitan. Tetapi, apakah orang-orang itu yang ditunggu
ayahnya" Kalau hanya lima orang, mengapa ayahnya
membawa pasukan sebanyak itu.
Ah, pasti bukan mereka.
Tetapi dugaan Ambarwati salah. Salah besar.
*** 8 Secara tiba-tiba saja dia mendengar suara
ayahnya berseru, "Serbuuuu!"
Serentak orang-orang yang bersembunyi itu keluar berhamburan dengan suara kuda yang meringkik
dan derap langkahnya yang cepat.
Kereta kuda itu berhenti secara mendadak.
Seorang pemuda yang tampan dan agaknya pemimpin
rombongan kecil itu menghentikan kudanya, bersiap
dengan mencabut serulingnya. Yang lain pun segera
mencabut sepasang pedang mereka masing-masing.
Rupanya mereka adalah Pranata Kumala dan
sisa empat orang murid perguruan Topeng Hitam. Mereka baru melanjutkan perjalanan setelah menginap
semalam di sebuah penginapan.
Orang-orang itu segera mengurung dan Jedangmoro seperti biasa membentak, " Cepat serahkan barang yang kalian bawa itu
kepada kami! Kalau tidak...." "Kalian yang akan kami bunuh!" Pranata Kumala
sudah memotong, membuat wajah Jedangmoro
agak memerah. Ia menjadi gusar. Pemuda ini terlalu berani.
Dan yang sangat terkejut adalah Ambarwati, pemuda
yang dibentak ayahnya itu adalah pemuda tampan
yang dicintainya.
Hei, ayah rupanya ingin mengambil barang
yang dibawa oleh pemuda dan rombongannya itu.
Mengambil" Hah, lalu apa kerja ayah sebenarnya"
Ambarwati menunggu kejadian selanjutnya, tetapi dia sudah memekik, karena ayahnya tengah mengayunkan goloknya ke arah Pranata yang cepat menangkis dengan serulingnya dan membelokkan kudanya ke samping kiri.
"Traakkk...!"
Serentak yang lain segera menyerang dengan
pekikan keras. Empat orang murid perguruan Topeng
Hitam bertahan mati-matian menghadapi serangan
yang beruntun dari jumlah penyerang yang sangat banyak. Suara bunyi senjata beradu sangat ramai dan
nyaring. Ditimpali oleh jeritan yang terluka sangat keras, bahkan mengalahkan
kerasnya bunyi benturan
senjata. Criing..! Aaah...!"
Suara-suara itu bersatu dengan galau. Karena
didesak oleh puluhan orang, keempat murid perguruan
Topeng Hitam itu tidak mampu bertahan, hanya sebentar saja mereka semua roboh bermandikan darah.
Dan orang-orang itu menyerbu ke arah kereta kuda.
Tetapi betapa marah dan terkejutnya mereka, karena
di kereta kuda itu tidak terdapat apa yang mereka cari.
Mereka hanya menemukan seorang murid perguruan Topeng Hitam yang mengerang karena terluka.
Dengan marah mereka menyeret orang itu keluar dan
mengganyangnya ramai-ramai.
Sementara itu Pranata Kumala sudah mendesak Jedangmoro, namun dia segera bersalto karena tiga orang dari anak buahnya Jedangmoro sudah bergerak membantu. Tidak hanya tiga, hampir seluruhnya, karena
mereka kesal dan marah tidak mendapatkan apa-apa.
Jelas-jelas Pranata mengerahkan seluruh kehebatannya. Jurus tangan Bayangan dan pukulan sinar merahnya berkelebat ke sana-kemari, membuat para pengeroyoknya menjadi kocar kacir.
Tetapi karena betapa banyaknya pengeroyok
itu, akhirnya dia terluka juga di tangan sebelah kiri.
"Aaah...." Pranata terhuyung dan sebisanya menangkis golok-golok itu dengan
serulingnya. Di tempat persembunyiannya, Ambarwati terkejut. Benar, ayahnya ingin merampok. Kalau begitu selama ini yang dikerjakan ayahnya hanya merampok
dan membunuh. Pantas kalau pulang ayah selalu membawa harta yang banyak. Ambarwati sendiri sebenarnya ingin
bertanya dari mana harta sebanyak itu, tetapi dia diam saja karena ayahnya pasti
ingin menyenangkannya
dengan harta itu.
Tetapi kali ini, dia melihat dengan mata kepala
sendiri, kalau ayahnya merampok kereta kuda itu!
Dengan menahan marah dan tangis, Ambarwati
melompat turun dan berlari ke kudanya. Dengan digeprak keras, kudanya meloncat ke depan dan berlari
dengan kencang. Membawa Ambarwati yang menangis
pilu, ke arah pertempuran.
Saat ini, nyawa Pranata benar-benar terancam.
Dia masih berusaha bertahan dengan pukulan sinar
merahnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewalahan. Kembali golok-golok itu menyambar tubuhnya.
Pranata bersalto ke belakang dan mengeluarkan seruling pemberian ayahnya. Seruling Naga,
hanya ini satu-satunya yang bisa menghancurkan pasukan perampok itu,
Tetapi sebelum dia meniup seruling itu terdengar jeritan, "Bapaaa!!"
Semua menoleh ke arah itu. Seorang gadis remaja tengah memacu kudanya dengan cepat dan berhenti di dekat Jedangmoro. Ia turun dengan bergegas
dan berkata-kata dengan sangat cepat, "Bapa, apa ar-tinya semua ini Bapa" Kenapa
Bapa melakukan perbuatan hina itu. Ambar sedih, Bapa. Ambar juga jijik!
Jadi selama ini Bapa memberi makan Ambar dengan
harta yang tidak halal. Bapa, katakan, kenapa Bapa
melakukan semua itu?"
Jedangmoro tergagap. Tidak bisa berkata apaapa. Dia terdiam lesu, tidak menyangka putrinya akan muncul dan memergokinya.
"Bapa, katakan, Bapa. Kenapa, kenapa" Ambar
sedih, Bapa. Bapa yang selama ini Ambar banggakan
ternyata hanya seorang perampok. Bapa... Ambar anak
perampok! Ambar anak perampok...!"
Gadis itu berlari dan menangis tersedu-sedu.
Jedangmoro tertegun hendak mengejar. Tetapi terdengar bentakan Pranata Kumala.
"Tak kusangka, orang macam kau mempunyai
gadis se suci itu! Hatinya masih murni dan mulia, tetapi kau telah meracuninya
dengan perbuatanmu yang
busuk itu, yang sangat membuatnya terpukul!"
Jedangmoro menggeram marah. Dia harus melampiaskan kemarahannya itu kepada pemuda ini.
Dengan marah dia berseru, "Bunuh pemuda itu...!"
Tetapi Pranata Kumala sudah bersiap. Gadis
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manis itu sudah menjauh, tidak mungkin terkena alunan seruling naga. Begitu mereka menyerang, Pranata
cepat bersila dan mulai meniup Seruling Naga itu.
Terdengar suara yang lembut dan sahdu, tetapi
terdengar amat menyentak di telinga para penyerangnya, dan terasa sangat menyakitkan. Penyerang itu serentak terguling sambil
menutupi telinga mereka, berusaha menahan rasa sakit yang dialirkan oleh nada
suara seruling itu.
Kuda-kuda mereka pun bergeletakan dengan
ringkikan hebat. Sementara Jedangmoro sendiri duduk
bersila dengan kedua telapak tangan bersatu di dada.
Mengerahkan tenaga dalam dan hawa murninya. Tetapi serangan suara seruling itu membuat tubuhnya gemetar dan
mengeluarkan darah. anak buahnya yang lain sudah sekarat semua dan akhirnya tewas bergeletakan dengan mengeluarkan darah dari bibir dan telinganya.
Tubuh Jedangmoro bergetar hebat dan akhirnya ambruk dengan bibir dan telinga mengeluarkan
darah. Sampai di situ Pranata Kumala menghentikan
tiupan serulingnya dan beranjak menghampiri Jedangmoro yang nafasnya tengah putus-putus.
Mata Jedangmoro terbuka, perlahan-lahan,
agak meredup dan seperti menahan rasa yang amat
sakit. "Kau... kau... sungguh hebat, Anak muda.... Ah, tolong... tolong cari
putri ku... katakan... a... aku...
minta maaf dan... aaguhhh!"
Tubuh itu terkulai dan nyawanya terbang melayang. Pranata menghela nafas panjang. Keangkaramurkaan akan berakhir juga. Dia sedih melihat mayatmayat yang bergeletakan itu, tetapi tak ada jalan lain, mereka semua harus
dibasmi kalau tidak ingin membuat keonaran lagi. Betapa banyak perbuatan dosa
yang telah mereka lakukan dan semua itu harus dihentikan. Tiba-tiba dia teringat kepada Ambarwati, dengan cepat dia berkelebat berlari mencari gadis itu. Pranata menemukan gadis itu
berada sedang duduk termenung dan sekali-sekali terisak di tepi sungai yang alirannya bersih dan
bening, suara gemerciknya enak
didengar. Gadis itu tidak menyangka akan perbuatan
ayahnya selama ini dan bagaimana perasaannya ketika
tahu siapa yang diserang ayahnya.
Pranata Kumala, pemuda yang dicintainya. Oh,
pasti pemuda itu tidak akan menyambut rasa cintanya. Pasti dia malu mempunyai kekasih seorang
anak perampok. Ambarwati menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya. Terdengar
suara lembut di belakangnya, "Ambar...."
Ambarwati cepat menoleh dan mengusap air
matanya. Sejenak dia melengak. Yang memanggilnya
pemuda yang dicintainya.
Ah, pasti dia akan memandang rendah kepadanya. Ambarwati menunduk, tak kuasa menatap wajah tampan itu. Tetapi tadi ketika dia menatap mata
itu, tidak ada kesan mengejek dan memandang rendah
kepadanya. Ah, itu hanya ilusinya saja agar hatinya
tenang. Pemuda itu beranjak mendekat. Berlutut dan
tiba-tiba memegang dagunya, menaikkan agar dia menatap matanya. Tubuh Ambarwati menggigil. Tak kuasa dia balas menatap. "Kau menangis, Ambar...." suara pemuda itu lembut. Ambarwati menunduk lagi
tetapi Pranata mengangkat kembali wajah itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Ambar.
Kenapa?" "Aku... aku... ah, aku takut dan malu padamu...." suara Ambarwati tersendat.
"Malu kenapa, Ambar?"
"Kau... kau pasti malu dan mengejek ku... ternyata, aku hanya anak seorang perampok, yang tidak
patut berteman denganmu...."
"Siapa bilang?" Pranata tersenyum dan memegang dagu Ambar lalu membelai pipinya.
"Aku sedih kau menuduhku demikian, Ambar. Sampai kapan pun
aku akan tetap berteman denganmu. ayahmu tetap
ayahmu, dan kau tetap kau. Kau bukan ayahmu dan
ayahmu bukan engkau. Ambar...."
Ambar menatap mata yang redup itu. Dari sana
nampak pancaran sinar mesra. Benarkah, benarkah"
Pancaran mesra itu ditujukan kepadanya"
"Ya...." suara Ambar pelan dan tersendat.
"Aku... aku...." Pranata ragu-ragu.
"Aku rela ayah mati di tanganmu, Pranata," ka-ta Ambar memotong. Ayah sudah
sepatutnya untuk
meninggalkan dunia ini, sebelum dosanya semakin
menumpuk...."
"Bu... bukan itu, Ambar...."
"Bukan itu?" Kening Ambarwati berkerut.
"Ya, bukan itu. Aku... ah, Ambar... aku ingin
bicara sesuatu, kau tidak marah mendengarnya?"
"Aku belum mendengarnya... jadi tidak tahu
apa aku harus marah atau tidak...." Suara Ambarwati sudah agak tenang.
"Aku... ah, aku pembunuh ayahmu Ambar," ka-ta Pranata setelah menghela nafas
panjang. "Pa... pa-tutkah kalau aku... aku mencintaimu... ah...." Wajah Pranata
bersemu merah sendiri.
Tetapi wajah Ambar pun bersemu merah pula.
Dia menunduk dan mendadak dia terisak. Pranata
menjadi kebingungan sendiri, selama hidupnya, baru
kali ini dia mencintai seseorang dan mengatakan cintanya. Melihat gadis itu menangis, tentu saja dia gu-gup. Dia menjadi serba
salah sendiri. "Ma... maafkan aku, Ambar. Aku... memang tidak pantas untuk mencintaimu... apa... apalagi aku
yang... membunuh ayahmu sendiri.... Maafkan aku,
Ambar." Gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya memerah. "Pranata...."
"Ya," suara Pranata lesu. "Ka... kalau kau menolak, tidak usah kau katakan
Ambar. Kau diam sajalah, agar aku tahu kalau kau menolak. Aku... aku takut sakit hati kau... tolak... lebih baik, jangan kau ucapkan, Ambar... dan
maafkan aku...."
"Pranata...." sekali lagi Ambar memanggil dan di bibirnya yang mungil
tersungging sebuah senyuman
yang amat manis.
Pranata menunggu apa yang hendak diucapkan
oleh gadis itu, tetapi mendadak gadis itu menunduk
tersipu, wajahnya kembali semburat merah.
Pranata menghela nafas panjang. Dia yang bodoh, gadis ini mencintainya. Dia memang belum pengalaman dalam hal ini. Untuk menyakitkan itu, perlahan-lahan dia memberanikan diri untuk memegang
lengan gadis itu. Gadis itu diam saja, masih menunduk dan dadanya berdetak lebih
keras. Pranata perlahan memberanikan diri untuk
berbuat lebih jauh. Dengan hati-hati dia merangkul
gadis itu. Betapa enaknya merangkul seorang gadis.
Tubuh yang padat dan dada yang kenyal menekan di
dadanya. Ambarwati merebahkan diri di dadanya.
Ternyata dia tidak bertepuk sebelah tangan.
Pemuda itu pun mencintainya, tetapi dia tidak tahu
bagaimana cara mengucapkannya.
Pranata merasakan sesuatu yang hangat keluar
dari tubuh gadis itu dan tubuhnya, bersatu dan menimbulkan rangsangan yang mulai naik.
Perlahan dia mengangkat dagu Ambarwati. Mata Ambarwati terpejam. Oh, betapa merekahnya bibir
itu. Rupanya itu yang membuat rangsangan.
Dengan hati-hati Pranata mencium bibir yang
kenyal itu. Dan mengulumnya perlahan. Ambarwati
mengeluh dalam kecupannya dan perlahan-lahan
membalas pula. Dia merasakan suatu aliran aneh
mengalir dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.
Betapa menggetarkan. Betapa sahdunya.
Ah, sayang Pranata sudah melepaskan bibirnya. Dia masih ingin lama-lama dikecup dan dikulum
begitu. Pranata tersenyum. Mengecup pucuk hidung
Ambarwati. Ambarwati membuka kelopak matanya dan tersipu. Buru-buru dia meletakkan kepalanya di dada
pemuda itu. Pranata membelai rambut hitam Ambarwati
dan mencium bau yang harum sekali.
"Sekarang kau hendak tinggal di mana, Ambar?" tanya Pranata perlahan.
Ambarwati menggeleng perlahan. Seolah tidak
tahu, padahal di Laut Selatan di masih mempunyai sebuah rumah peninggalan ayahnya yang lengkap dengan segala isinya.
"Kau tidak tahu, Ambar?"
"Ya."
"Bagai... bagaimana kalau kau tinggal di tempatku?" Mendadak Ambarwati melepaskan rangkulannya. Ia menatap Pranata tajam.
"Aku tidak mau. Hidup serumah tanpa nikah,
aku tidak mau. Kau harus menikahi ku dulu, baru aku
mau tinggal di sana."
Pranata merangkul kembali kekasihnya. Menenangkan. "Untuk sementara kau tinggal di sana. Ada
ayah dan bundaku. Sebulan kemudian, kau akan ku
nikahi. Kau mau menikah denganku, Ambar?"
Kembali Ambar tersipu. Disangkanya Prananta
mengajaknya untuk tinggal serumah tanpa menikah.
Dinikahi oleh pemuda yang dicintainya, sudah tentu
dia amat setuju. Hatinya bahagia dan berbunga.
Ternyata Yang Kuasa masih memberinya kebahagiaan setelah kecewa melihat dan mengetahui perbuatan ayahnya. Bahkan Ambarwati tidak menyesali
kematian ayahnya. Ayah lebih baik mati daripada hidup hanya akan menambah dosa.
Pranata mengajak gadis itu ke perguruan Topeng Hitam. Dia memperkenalkan gadis itu kepada
ayah bundanya dan menceritakan asal usulnya. Ratih
Ningrum hanya mengangguk setuju dengan pilihan putranya. Dia merangkul Ambarwati yang merasa aman
dan bahagia dalam rangkulannya.
*** 9 Selama tiga minggu tidak ada kejadian apa-apa
yang menggemparkan. Kini daerah kekuasaan Gerombolan Golok Iblis sudah tidak ada gangguan lagi. Gerombolan itu sudah tumbang ke akar-akarnya. Dan gerombolan yang berada di bawah mereka segera pergi
dari daerah ini, karena tidak ingin mengalami nasib
seperti Golok Iblis.
Rombongan-rombongan pengiriman barang tidak takut untuk melalui daerah itu menuju ke daerah
Pacitan. Seminggu kemudian, secara resmi Pranata menikahi Ambarwati. Seisi perguruan Topeng Hitam berbahagia, karena mereka senang Pranata mendapat istri seorang gadis yang cantik
dan lembut. Mereka lalu minta izin berbulan madu. Tempat
yang dipilih oleh Ambarwati adalah rumah nya yang
hampir sebulan dia tinggali.
Rumah itu tak banyak berubah. Seperti dulu.
Hanya sekarang agak kotor dan sepi sekali. Dengan
semangat dan gembira Ambarwati membersihkan rumah itu dibantu dengan suaminya yang selalu setia,
walau sekali-sekali teringat akan ayahnya.
Mereka menghabiskan waktu bulan madu itu
selama seminggu di sana. Saat-saat yang paling berbahagia buat mereka. Seakan tak habis-habisnya mereka bergelut dan tak bosan-bosannya mereka tertawa
dan bercanda. Tetapi suatu hari, mereka dikejutkan oleh sebuah tongkat yang dilempar dari luar dan menabrak
kaca hingga kaca itu berantakan.
"Praang...!"
Pranata dan Ambarwati yang sedang bercanda
menjadi terkejut. Mereka segera bersiaga. Keduanya
cepat mengambil senjata mereka masing-masing.
Pranata menyelinap ke depan. Mengintai apa
yang sebenarnya terjadi.
Di sana, dia melihat puluhan orang pengemis
telah mengepung rumah itu. Dan di tengah mereka
berdiri pengemis yang bermata sipit, Sengkawung,
pengemis yang dikalahkannya beberapa bulan yang lalu. Dan mau apa sekarang mereka kemari"
"Hei, kalian berdua! Cepat keluar, kalau tidak
ku bakar rumah ini!" terdengar bentakan keras Sengkawung.
Pranata kembali ke tempat istrinya yang juga
mendengar seruan itu.
"Siapa mereka, Kakang?"
"Para pengemis yang akan balas dendam kepada kita, Rayi...."
"Para pengemis?" Kening Ambarwati berkerut, tetapi kemudian ingat, pasti temantemannya Ayasumo
yang berhasil dibunuh oleh si Kedok Putih.
"Iya, Rayi. Orang yang berseru tadi, pernah
bentrok denganku beberapa bulan yang lalu. Agaknya
mereka ingin balas dendam kepadaku. Kita bersiap,
Rayi." "Iya, Kakang."
Terdengar bentakan lagi, "Cepat kalian keluar!
Aku sudah tahu siapa kalian adanya! Kalian adalah
orang-orang yang harus kami bunuh!"
"Kita keluar, Rayi?" tanya Pranata.
"Baik, Kakang," sahut Ambarwati mantap.
Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sikap gagah keduanya keluar dan berhadapan dengan puluhan pengemis itu. Sengkawung
terbahak melihat keduanya.
"Ha... ha... kalian rupanya sudah menjadi suami istri sekarang.... Bagus, bagus, karena hari ini aku akan mencabut nyawa
kalian!" Pranata mendengus mengejek.
"Kau" Hhh, kau tidak sadar rupanya, berapa
banyak anggotamu yang kau bawa! Jangan mimpi
hanya kau yang bermaksud menaklukkan kami!"
Wajah Sengkawung memerah. Tetapi kemudian
dia tertawa. "Baik, baik, bukan aku, tapi kami yang akan
membunuhmu! Bersiaplah kalian berdua, kami sudah
muak dengan orang-orang macam kau!"
"Sengkawung... kau tidak sadar rupanya, beberapa bulan yang lalu pernah kubuat tunggang langgang. Dan sekarang kau ingin merasakan kembali rupanya. Baik, kami pun sudah siap menyambut kalian!"
Wajah Sengkawung kembali memerah. Dia
menggeram marah dan berseru memberi aba-aba, "Se-raaang mereka! Bunuh!"
Dan serentak puluhan orang pengemis maju
dengan tongkat mereka. Pranata dan Ambarwati pun
bersiap. Pranata mengkhawatirkan keselamatan istrinya. Kepandaian pedang istrinya masih rendah sekali, menghadapi satu lawan satu dia juga belum tentu menang, apalagi dikeroyok
demikian. Pranata bergerak mendekati istrinya, sekaligus
melindunginya. Punggung keduanya saling menempel
dan menghalau setiap serangan.
Tetapi serangan-serangan itu betapa ganas dan
banyaknya. Membuat keduanya agak kewalahan juga.
Apalagi keadaan Ambarwati sudah agar terdesak. Tubuhnya sudah banyak luka.
Pranata pun demikian. Jalan satu-satunya dia
harus menggunakan kembali seruling naga. Tetapi bagaimana dengan istrinya, istrinya bisa mati juga jika mendengar suara seruling
itu. Sambil melepaskan pukulan sinar merahnya
secara beruntun, Pranata menyambar tubuh istrinya
dan membawanya lari. Orang-orang itu mengejar, namun terhalang oleh pukulan sinar merah Pranata.
Ini kesempatan yang bagus, dia menurunkan
istrinya dan dengan sekuat tenaga dia melancarkan
pukulan sinar merahnya kepada orang-orang yang
mengejar itu. Tetapi Sengkawung tidak kehilangan akal, tidak
bisa mendekati Pranata Kumala, dia memerintahkan
anak buahnya untuk melempar tongkat-tongkat itu.
Dan secara beruntun tongkat itu melesat menuju mereka. Dengan susah payah mereka menghindari serangan tongkat itu dan kesempatan yang baik digunakan oleh para penyerangnya untuk maju bergerak.
Kembali keduanya sudah dikurung rapat. Kali
ini para pengemis itu tidak memegang senjata, agak
menguntungkan bagi Pranata dan Ambarwati.
Keduanya sudah menggerakkan senjata mereka
dengan hebat. Pedang Ambarwati berkelebat ke sanakemari dan telah merobohkan lima orang pengeroyoknya. Begitu pula dengan Pranata Kumala. Dengan serulingnya dia pun telah menotok empat orang pengeroyoknya. Tetapi orang-orang itu demikian banyaknya,
akhirnya keduanya kewalahan dan secara terpaksa
mereka memisahkan diri, tidak saling merapatkan
punggung. Pranata mengamuk hebat dengan serulingnya,
tetapi keadaan istrinya terdesak hebat. Dengan tibatiba saja, Sengkawung bergerak dan menendang pergelangan tangan Ambarwati hingga terlepas pedangnya
dan menotoknya hingga kaku.
Ambarwati tidak bisa bergerak. Dia memakimaki marah. Tetapi Sengkawung hanya terbahak saja.
Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok
Pranata Kumala. Sedangkan dia sendiri membopong
tubuh Ambarwati yang kaku sambil terbahak-bahak.
Pranata hendak membebaskan istrinya, tetapi
pengeroyok itu telah mengepungnya dengan rapat. Tidak memberinya kelonggaran sedikit pun.
Terdengar suara Ambarwati menjerit-jerit diiringi tawa Sengkawung. Dia membawa tubuh Ambarwati ke balik semak dan merebahkannya hendak
memperkosa. Pranata Kumala marah mendengar jeritan istrinya. Dia menerobos kepungan itu, tetapi kepungan itu sangat rapat sekali..
Dia ingin menggunakan seruling Naga, tetapi
kuatir istrinya akan terkena pula serangan seruling
itu. Tubuhnya sudah menjadi bulan-bulanan para
pengeroyoknya. Dia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya. Walaupun tangannya sudah dialiri pukulan sinar merah, tetap dia tidak bisa menghindar
dan menangkis serangan dari belakang atau samping.
Jeritan istrinya terdengar panjang. Dan terdengar baju sobek. Sengkawung tertawa terbahak-bahak.
Tetapi tiba-tiba dia terguling, karena sebuah
pukulan menerjang wajahnya.
"Des...." Sengkawung buru-buru bangkit dan melihat siapa yang telah memukulnya.
Si Kedok Putih, orang yang selama ini dia cari. Tengah berdiri dengan gagah.
Sungguh kebetulan sekali. Dia tidak perlu la-ma-lama mencari si Kedok Putih. Si
Kedok Putih membebaskan totokan di tubuh Ambarwati dan menghadapi Sengkawung. "Rupanya kau pemimpin Partai Pengemis Sakti
itu." Suara si Kedok Putih angker.
Sengkawung tidak takut dengan suara itu. Dia
membentak, "Kau rupanya si Kedok Putih! Bagus, kau datang sendiri kepadaku! Hari
ini. aku menagih nyawamu sebagai pembayaran atas nyawa anak buahmu
yang kaubunuh!"
"Sengkawung, kau adalah orang Tiongkok yang
datang ke tanah persada ini dan kau berani-beraninya membuat kekacauan di negeri
kami!" "Persetan dengan semua itu, sekarang kau bersiaplah hutang nyawa dibayar nyawa!"
"Sejak tadi aku sudah bersiap, Sengkawung!"
Setelah mendengar ucapan itu, Sengkawung
segera bergerak. Sungguh cepat dan bertenaga penuh.
Namun si Kedok Putih sudah sejak tadi siap, maka
dengan ringannya dia menghindar ke samping. Serangan itu luput. Dan kaki si Kedok Putih sudah menyambar kaki Sengkawung hingga tubuh itu jatuh.
Sengkawung bangkit dengan mata berbinar merah. Tetapi belum dia menyerang, sudah terdengar
alunan seruling yang amat merdu. Tetapi dirasakan
oleh Sengkawung dan Si Kedok Putih amat menyakitkan telinga.
Rupanya Pranata sudah kewalahan sekali. Dia
akhirnya meniup juga seruling naga itu. Pikirannya
hanya satu, biarlah istrinya mati terkena seruling itu daripada ternoda oleh
Sengkawung, nanti setelah itu
dia sendiri akan membunuh diri.
Suara seruling itu membuyarkan para pengepungnya hingga jatuh berantakan.
Tubuh Sengkawung pun bergetar dan dia duduk bersila menghimpun tenaga dalam untuk menahan serangan seruling itu.
Si Kedok Putih pun berbuat yang sama, tetapi
sedetik kemudian dia teringat akan gadis manis itu.
Ambarwati. Dengan gerakan yang sangat cepat, Si Kedok Putih memukul leher Ambarwati hingga pingsan.
Dan dia sendiri ambruk ke tanah karena suara
seruling itu. Buru-buru dia mengerahkan hawa murninya untuk menahan. Betapa hebat alunan suara seruling itu. Suara yang begitu kuat dan dahsyat.
Para pengeroyok Pranata Kumala sudah mampus kelojotan, begitu pula dengan Sengkawung yang
akhirnya ambruk dengan tubuh kejang-kejang.
Hanya si Kedok Putih agaknya yang masih
mampu bertahan. Sekuat tenaga dia kerahkan untuk
menahan serangan suara seruling.
Tiba-tiba seruling itu berhenti. Si Kedok Putih
menahan nafas lega dan menghembuskannya perlahan. Sesosok tubuh berkelebat.
Pranata Kumala yang memanggil-manggil istrinya, "Ambar, Ambar!"
Dia menemukan tubuh Sengkawung yang telah
menjadi mayat dan tubuh istrinya yang pingsan. Ia
merangkul dan menangisi istrinya. Disangkanya istrinya mati akibat suara seruling itu.
"Ambar... maafkan aku, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan semua ini, Sayang.... Oh, Tuhan...
betapa besar dosaku karena membunuh istriku sendiri...." Pranata menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba dia merasakan bahunya dipegang seseorang. Dia menoleh, orang itu si Kedok Putih.
"Dia hanya pingsan, Nak. Sebentar lagi juga siuman." "Kau... kau yang telah membuatnya pingsan?"
tanya Pranata terbata.
"Ya... suara seruling mu begitu keras sekali."
"Te... terima kasih, Kakang. Kau telah menyelamatkan istriku...."
Si Kedok Putih hanya mengangguk. Lima menit
kemudian, Ambarwati siuman. Dia mula-mula bingung
berada di mana, tetapi begitu melihat suaminya, dia
langsung merangkulnya. Pranata membalas rangkulan
itu dengan terharu. Istrinya masih hidup. Istrinya masih hidup.
Ambarwati menoleh kepada laki-laki yang berdiri di samping mereka. Si Kedok Putih, lagi-lagi orang itu yang telah
menolongnya. Ah, pasti si Kedok Putih kecewa karena dia telah bersuami. Sudah
seharusnya dia mengucapkan terima kasih sekarang.
"Kedok Putih....lagi-lagi kau yang telah menolongku.... Kuucapkan terima kasih kepada mu...."
"Tak perlu mengucapkan terima kasih, Nimas.
Sudah kewajiban kita untuk tolong menolong...."
Pranata membimbing istrinya bangkit dan merangkulnya dengan mesra.
"Kedok Putih... kalau boleh, kami ingin sekali
melihat wajahmu... biar kami tidak melewatkan kesempatan jika bertemu denganmu...."
"Wajahku sangat buruk sekali, aku takut, kalian tidak mengenalku lagi," kata si Kedok Putih sedih sambil berbalik
membelakangi mereka.
"Oh, maafkan kami, Kedok Putih," kata Prana-ta. "Seburuk-buruknya rupa mu, tapi
hatimu baik. Biarpun bagaimana buruknya rupa mu, kami akan tetap
menjadi sahabatmu. Kami tak akan pernah melupakan
pertolonganmu...."
"Kalian akan menyesal."
"Tidak," kali ini Ambarwati yang bicara. "Kami tak akan pernah menyesal
bersahabat denganmu."
"Kalau kalian ingin melihat wajahku, baiklah.
Tetapi jangan terkejut jika mengetahui siapa aku sebenarnya."
"Kami tak akan pernah menyesal," sahut keduanya berbarengan.
Si Kedok Putih perlahan mengangkat tangannya, siap membuka kedoknya. Ambarwati memegang
kuat-kuat tangan suaminya. Sedikitnya dia ngeri jika melihat wajah buruk si
Kedok Putih. Dan kedok putih telah membuka wajahnya.
Berbalik menghadap mereka. Keduanya terkejut dengan mata terbelalak.
"Ayah!" seru Pranata Kumala.
"Ayah!" seru Ambarwati.
Si Kedok Putih tertawa, suaranya tidak lagi
angker. Kini biasa suara yang sering didengar mereka.
Suara Madewa Gumilang. Rupanya si Kedok Putih itu
adalah Madewa Gumilang yang menyamar.
Dia tertawa. "Kalian telah berjanji, tak akan terkejut melihat wajahku!" katanya masih
tertawa. "Bagaimana kami tidak terkejut, kalau ternyata
wajahmu, Ayah. Oh, terima kasih Ayah... kau selalu
membantu kami!" kata Pranata sambil menjura yang diikuti istrinya.
Madewa merangkul keduanya dan mengajak
mereka kembali ke perguruan Topeng Hitam.
Perguruan yang berdiri dengan tegar sampai
menembus ke langit ketenarannya.
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan istrinya, perguruan itu semakin memuncak.
*** SELESAI E-Book by Abu Keisel Pedang Kiri 5 Kuda Putih Karya Okt Rahasia Kunci Wasiat 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama