Ceritasilat Novel Online

Rahasia Kunci Wasiat 4

Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung Bagian 4


dulu dari sisi badan Gak Siauw-cha kemudian dengan nyaringnya dia bersuit panjang.
Terdengar beberapa kali suara gonggongan anjing, terlihatlah kedua ekor anjing
berwarna hitam itu sudah berlari mendatang.
Kedua anjing-anjing itu melihat Sang Pat sembari menggoyang-goyangkan ekornya
segera berdiri di samping badannya.
Dengan mengikuti dari belakang badan Sang Pat akhirnya Gak Siauw-cha sekalian
berjalan keluar juga dari lembah tersebut. Setelah memperhatikan sekejap keadaan di
sekeliling tempat itu mereka melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke arah sebelah
barat. "Loo jie, kau lindungilah nona Gak sekalian, aku mau berangkat dulu ke depan untuk
mencari tahu keadaan musuh," ujar si Kiem Siepoa Sang Pat kemudian di tengah jalan.
"Asalkan berhasil menghindarkan diri dari Sin Hong Pangcu serta beberapa orang
siluman tua yang paling sukar dihadapi urusan bakal menjadi beres."
"Sehari anak kunci Cing Kong Ci Yau itu tidak muncul di dalam Bulim maka Gak Siauwcha
tidak bakal berhasil meloloskan diri dari kejaran musuh. Apakah kita benar-benar mau
melindungi dirinya selama hidup?" kata Tu Kiu.
"Tidak mengapa, asalkan kita berhasil meloloskan diri dari kepungan para jago-jago
kelas satu maka urusan dikemudian hari mudah untuk dikerjakan."
Ketika dia mendongak dan melihat Gak Siauw-cha serta Hoo-kun sekalian sudah berada
kurang lebih sepuluh kaki jauhnya dengan cepat dia tepuk-epuk pundak Tu Kiu,
tambahnya, "loo jie, cepat kau kejar mereka."
Sehabis berkata dengan cepat bagaikan kilat dia berkelebat terlebih dahulu melewati
Gak Siauw-cha sekalian. Kedua ekor anjing hitam itupun dengan cepat mengikuti dari belakang Sang Pat.
Gerakan merekapun cepat bagaikan sambaran angin bersalju.
Si Leng Bian Thiat Pit cepat-cepat memperkencang larinya mengejar diri Hoo-kun
sekalian. Gak Siauw-cha yang selama ini memandang gerak-gerik dari Tiong Cho Siang-ku dan
melihat tindak tanduk mereka amat tergesa-gesa seperti lagi menghadapi musuh tangguh
tidak terasa dalam hati merasa keheranan. Dia pingin sekali pada saat dan keadaan seperti
ini sehingga Tiong Cho Siang-ku menderita kerugian besar.
Di bawah bokongan Gak Siauw-cha, Siauw Ling melanjutkan perjalanannya melewati
dua puncak gunung, hawa dingin mulai mencekam seluruh badannya sewaktu dia
menoleh ke belakang tampaklah Tu Kiu dengan topi berbulunya hampir menutupi separuh
bagian wajahnya masih tetap mengikuti terus dari belakang Hoo Koe. Hal ini membuat
diam-diam dia berpikir, "Walaupun orang ini memiliki wajah yang amat jelek tetapi
kepandaian silatnya amat tinggi, dia ada kemungkinan sedang membantu enci Gak
menahan musuh tangguh."
Belum habis dia berpikir terdengarlah suara gonggongan anjing kembali bergema
datang disusul munculnya sesosok bayangan manusia.
Dengan cepat Gak Siauw-cha menarik badan Siauw Ling ke belakang punggungnya,
pedangnya dicabut keluar dan siap-siap menhadapi sesuatu.
"Eeeei nona Gak jangan salah paham" terdengar orang itu mendehem beberapa kali.
"Cayhe adalah Sang Pat?"
Di tengah suara pembicaraannya itu dia sudah muncul kembali dihadapan Gak Siauwcha.
Di bawah sorotan sinar rembulan tampak di atas wajahnya yang bulat gemuk tiada
hentinya menguap asap yang tebal, sekali pandang sudah diketahui kalau dia baru saja
melakukan perjalanan dengan mengerahkan seluruh tenaganya.
Kedua ekor anjing hitamnyapun dengan kencang ikut munculkan dirinya belakang
badan sang majikan. Ujung bibir Gak Siauw-cha sedikit bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Tetapi
belum sampai diucapkan keluar mendadak dia menelan kembali kata-katanya, lalu dengan
pandangan dingin memperhatikan Sang Pat.
Air muka si Kiem Siepoa Sang Pat walaupun niat ini sudah berubah rada tegang tetapi
senyuman tetap menghiasi dibibirnya.
"Waaaduh, celaka, celaka!" ujarnya sambil melirik sekejap ke arah Gak Siauw-cha.
"Agaknya dagangan kita dengan nona Gak ini bakal menderita kerugian."
"Jagoan yang bisa dianggap Tiong Cho Siang-ku sebagai musuh tangguh tentunya
bukan manusia sembarangan?"" ejek Gak Siauw-cha dari samping.
"Perkataan nona sedikitpun tidak salah," jawab Sang Pat tertawa. "Baru saja cayhe
melihat munculnya dua orang jagoan Bulim yang sulit untuk dihadapi, selamanya mereka
paling tidak suka berebut nama jelas kemunculannya kali ini bertujuan untuk ikut merebut
anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut."
"Apa kalian merasa takut?""
"Haaa, haaa takut?" di dalam kolong langit pada saat ini sukar sekali untuk mencari
keluar beberapa jago yang ditakuti cayhe berdua, cayhe bicara demikian kesemuanya
adalah demi kebaikan nona sendiri dari pada menemui satu urusan lebih baik kita
menghindari saja, buat apa sengaja menjadi gebuk, betul tidak?"" kata Si Kiem Siepoa
Sang Pat tertawa. "Lalu apa maksudmu?""
"Maksud cayhe lebih baik jalan berputar saja untuk menghindari pertemuan dengan
kedua orang tua itu."
"Kau sudah berbicara setengah harian tetapi belum menyebutkan juga siapakah
mereka?"" "Mereka berdua sudah mempunyai nama besar yang amat cemerlang di dalam Bulim,
sekalipun nona belum pernah menemuinya ada kemungkinan pernah mendengar juga dari
ibumu!" "Siapa?"" Mendadak Kiem Siepoa Sang Pat berbelok ke arah Utara dan melanjutkan kembali
perjalanannya. "Sembari melakukan perjalanan kita-kita meneruskan pembicaraan kita saja!" serunya.
Ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Gak Siauw-cha masih tetap berdiri di
tempat semula tidak terus alisnya dikerutkan rapat-rapat.
"Nona Gak bilamana kau ingin meloloskan diri dari kepungan para jago tanpa
kekurangan sesuatu apapun lebih baik suka bekerja sama dengan cayhe berdua," katanya.
Sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke arah Siauw Ling ujarnya lagi,
"Sekalipun nona tidak pikirkan keselamatan diri sendiri dan mati hidup kedu orang anak
buahmu tetapi seharusnya memikirkan pula bagi keselamatan adikmu itu, bilamana
sampai terjadi pertempuran sengit sulit baginya untuk menghindarkan diri."
Beberapa perkataannya ini segera menggerakkan hati Gak Siauw-cha tanpa banyak
cakap lagi sembari menggandeng tangan Siauw Ling dia melanjutkan perjalanannya
menuju ke arah utara. "Haaa, haaa, bilamana nona suka bekerja sama dengan cayhe berdua, untuk
meloloskan diri dari kepungan musuh bukanlah satu urusan yang sukar" kata Sang Pat
sambil tertawa. Gak Siauw-cha yang teringat kembali akan perbuatan mereka memaksa dirinya untuk
menulis perjanjian dibuku hutangnya dalam hati seperti juga api yanh kena bensin hawa
amarahnya semakin berkobar.
"Hmmm! kepandaian silat kalian berdua memang sangat lihay tetapi perbuatan kalian
yang rendah bukanlah satu pekerjaan yang cemerlang makanya dengan nama serta
kedudukan Tiong Cho Siang-ku seharusnya setelah mendengar perkataan yang sangat
menghina ini sedikit-sedikitnya akan menjadi marah, tetapi bukannya si Kiem Siepoa Sang
Pat tidak jadi gusar sebaliknya malah tertawa melucu.
"Perkataan dari nona Gak sedikitpun tidak salah," jawabnya menyengir-menyengir.
"Selamanya kami berdua paling tidak suka akan nama kosong asalkan ada keuntungan
itulah kami tuju, hiii"hii" coba kau lihat harta kekayaan yang sudah aku kumpulkan
sebegitu banyaknya sehingga sukar dihitung mau apa kita bisa punya apa bukankah hal ini
menyenangkan sekali?"
"Hmmm! Apa gunanya emas intan dan harta kekayaan itu" Setelah mati tidak bakal
dibawa serta dalam peti mati!"
Kiem Siepoa Sang Pat agak melengak mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian,
"Setiap manusia ada kesenangan yang berbeda, tidak perduli orang lain menganggap
emas intan bagaikan kotoran manusia tetapi cayhe merasa amat senang sekali dengan
barang-barang itu sehingga selamanya tiada bosan-bosannya."
Dia dongakan kepalanya lantas tertawa terbahak-bahak.
"Oooh" hampir saja cayhe lupa memberi tahukan nama dari kedua orang jagoan yang
sukar dilayani itu," katanya kemudian.
Walaupun di dalam hati Gak Siauw-cha tidak ingin berbicara dengan kedua orang yang
dianggapnya manusia-manusia laknat ini, tetapi rasa ingin tahu dihatinya membuat dia
orang tanpa terasa lagi sudah mengajukan pertanyaan.
"Siapakah orang itu?""
"Ada kemungkinan mereka berdua merupakan jago yang paling dikagumi oleh nona,"
jawab Sang Pat sambil tertawa. "Mereka suka berkelana di dalam Bulim dan sering
menolong yan g lemah menindas yang kuat, memandang harta bagaikan kotoran akan
bilamana dibandingkan dengan kami kaum pedagang jauh berbeda sekali."
"Hmmm! bilamana kau niat berbicara katakanlah terus terang, bilamana tidak suka
bicara yaa sudalah buat apa sengaja berputar-putar membuat hati orang merasa kesal!"
tegur Gak Siauw-cha dengan nada yang dingin.
Walaupun kegemaran dari Kiem Siepoa Sang Pat cuma mencari keuntungan saja, tetapi
jadi orang amat sabar sekali walaupun Gak Siauw-cha sudah menyindir atau mengolokolok
dirinya dengan cara apapun tetap tidak berhasil membuat dia lemah.
Tampak dia kembali tertawa, sahutnya, "Apakah nona pernah mendengar akan nama
Ciu Ceng atau si pendeta pemabok serta Fan Kay atau si pengemis kelaparan dua
orang?"" Mendengar disebutnya nama-nama itu dalam hati Gak Siauw-cha merasa rada
berdebar, pikirnya, Jilid 8 Si Toosu kecil yang ada di belakang tubuhnya sama sekali tidak mengucapkan sepatah
katapun. Siauw Ling yang melihat setelah toosu itu duduk bersila sepasang matanyapun
dipejamkan rapat-rapat diam-diam lantas berpikir kembali, "Toosu ini membawa pedang,
aku rasa diapun merupakan seorang jagoan yang memiliki kepandaian silat! Apakah dia
kenal dengan si pendeta pemabok serta si pengemis kelaparan itu" kalau tidak kenal
merekapun ikut berdiam di dalam kuil ini" tetapi jikalau kenal kenapa dia tidak menyapa
mereka berdua?""
Pada saat itulah dari luar kuil kembali berkumandang datang suara tertawa terbahakbahak
yang amat keras sekali. "Haaa, haaa, haaa, kuil ini masih bagus keadaannya. Mari kitapun beristirahat sebentar
didalam!!" Suara itu berkumandang datang dari tempat kejauhan, tetapi baru saja perkataan
tersebut selesai diucapkan tubuh orang tersebut sudah ada di dalam ruangan kuil.
Pada saat ini Siauw Ling sudah tidak memikirkan keselamatan dirinya lagi sehingga
hatinyapun terasa amat tenang.
Ketika sinar matanya menoleh ke depan terlihatlah di dalam ruangan kuil itu sudah
bertambah lagi dengan dua orang yang satu merupakan seorang pemuda berdandan
siucay yang usianya baru kurang lebih dua puluh tahunan dengan wajah yang bersih dan
tampan dibelakangnya berjalanlah mendatang seorang lelaki yang hitam, pendek dan
berwajah hitam bagaikan arang.
Agaknya mereka berdua sama seklai tidak menduga kalau di dalam kuil tersebut sudah
kedatangan begitu banyak orang, sinar matanya dengan cepat menyapu sekeliling
ruangan tersebut setelah itu dengan langkah yang perlahan baru bertindak masuk
kedalam. "Kuil ini penuh dikotori dengan debu dan sarang laba-laba biasanya saja sudah sukar
saat orang masuk untuk duduk ini sekali datang sudah muncul tujuh orang entah adalah
orang Sin yang datang kembali?"?" pikir Siauw Ling.
Tampaklah si siucay berjubah amat longgar itu memandang sekejap ke arah si Toosu
berusia pertengahan itu, mendadak sambil tertawa ujarnya, "Haa, haa, Too heng jarang
sekali turun gunung, tidak disangka kali ini ternyata sudah turun gunung sendiri."
Dengan langkah yang kalem dia melanjutkan kembali perjalanannya.
Si Toosu yang semula sedang memejamkan matanya itu segera membuka matanya
kembali. "Jan heng hidup dengan mewah dan mencampuri urusan Bulim. Tidak disangka ini hari
kitapun bisa berjumpa disini!" sahutnya sambil tertawa.
Si siucay berjubah hitam itu segera tertawa tergelak.
"Cayhe sejak semula sudah menduga asalkan anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut
muncul di Bulim maka di dalam dunia kangouw segera akan terjadi satu pergolakan yang
amat dahsyat" hahaha, ha, tidak kusangka dugaanku ternyata sedikitpun tidak melesat
baru saja berita tentang munculnya kembali anak kunci itu tersiar di dunia persilatan
ternyata sudah ada begitu banyak jagoan yang telah berkumpul disini."
"Pinto menerima perintah untuk melaksanakan tugas ini. Hal ini memaksa pinto mau
tidak mau harus menjalankannya," jawab Toosu itu.
Si siucay berjubah hitam itu segera melirik sekejap ke arah si pengemis kelaparan serta
si pendeta pemabok, lalu sambil tertawa tanyanya lagi, "kedua orang itu datang sebelum
kedatangan Tootian" Ataukah setelah kedatangan Tooyang di dalam kuil ini?"
"Sebelum kedatangan pinto," jawab Toojiu itu perlahan.
Sebelumnya si pengemis kelaparan ingin berpura-pura terus dan tidak menggubris akan
kedatangan beberapa orang itu, tetapi akhirnya dia tidak kuat untuk menahan sabar lagi.
Sambil mengulet dia membuka matanya kembali dan tertawa terbahak-bahak.
"Haa, ha, sungguh ramai, sungguh ramai sekali! haa haa, hweesio, Toosu, siucay
ditambah dengan aku si pengemis tua haa, haa, sungguh merupakan satu pertempuran
yang amat menggembirakan."
Dengan perlahan siucay berjubah hijau itu menyingkap jubahnya yang pangjang dan
mengambil keluar sebuah botol porselen putih yang panjangnya ada lima coen lalu sambil
tertawa, ujarnya, "Haaa haa Shen heng selamat bertemu!"
Dengan perlahan dia membuka penutup botol itu sehingga terciumlah bau arak yang
amat harum sekali, sambungnya, "Cayhe sudah membawakan sebotol arak wangi?"
"Aaah arak bagus, arak bagus!" tiba-tiba terdengar si pendeta pemabok mementangkan
matanya lebar-lebar dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
"Arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini sudah ada seratus tahun usianya," terdengar si
siucay berbaju hijau itu berkata sambil tersenyum. "Walaupun Too heng mempunyai
julukan sebagai si pendeta pemabok dan tidak akan mabok sekalipun minum arak seribu
cawan tetapi untuk arak ini tidak akan bisa minum lebih banyak."
Bau arak yang tersiar di dalam ruangan kuil itu semakin sangat menebal dan semakin
keras, si pendeta pemabok Pan Ciat kali ini benar-benar terpengaruh oleh baunya arak
tersebut, sepasang matanya yang bulat bersinar itu tiada hentinya memandang ke atas
botol porselen putih yang ada di tangan siucay berjubah hijau itu, dari wajahnya kelihatan
dia benar-benar tertarik oleh arak itu.
Tampak si siucay berbaju hijau itu mengambil keluar sebelah cawan porselen dari
dalam sakunya lalu menuangkan arak Bwee Hoa Loknya ke dalam cawan.
Sambil melirik sekejap ke arah si pendeta pemabok dia lantas meneguk habis isinya
dalam satu tegukan. Sambil melirik si pendeta pemabok Pan Ciat selalu saja terjerumus di dalam keadaan
setengah sadar setengah tidak oleh pengaruh arak dan selamnya belum pernah mencoba
harumnya arak seperti kali ini, sewaktu melihat si siucay berbaju hijau itu meneguk arak
Bwee Hoa Lok dengan sedapnya tidak kuasa lagi dengan paksaan diri dia menahan rasa
keinginannya itu mendadak sambil bangkit berdiri dia berjalan mendekati si siucay itu
dengan langkah lebar. "Bagaimana kalau pinceng pun ingin mengikat satu persahabatan dengan Jan hong?"
"Haa, haa, apakah kau menginginkan arak Bwee Hoa Lok yang ada di tangan cayhe
ini?" tanya si siucay berbaju hijau itu sambil tertawa.
"Tidak salah, entah sukakah Jan heng menghadiahkan kepadaku?" seru si Pan Ciat
dengan muka yang merem melek.
Waktu itu ayah si siucay berbaju hijau itu sudah berubah memerah karena pengaruh air
kata-kata tersebut dia segera menoleh sekejap ke arah si Toosu berusia pertengahan itu.
"Kekuatan minum Too heng amat kurang dan tiada bandingannya dikolong langit pada
saat ini," jawabnya. "Sedang arak Bwee Hoa Lok yang ada di tangan cayhe pun cuma
tinggal separuh saja. Bilamana mengharuskan cayhe menghadiahkan yang separuh lagi ini
kepada Too heng bukankah orang yang lain tidak akan berhasil mencicipi rasanya arak
ini?"" Dia menundukkan kepalanya untuk memandang sekejap botolnya itu setelah itu
sambungnya lagi, "Cayhe jarang sekali berkelana di Bulim kali ini sewaktu cayhe berkelana
kembali di dalam Bulim dan bisa bertemu muka dengan saudara-saudara sekalian sebagai
jagoan berkepandaian tinggi yang memiliki nama besar disungai telaga membuat hatiku
merasa amat girang, cuma sayang sewaktu cayhe meninggalkan rumah tidak membawa
arak dalam jumlah yang lebih banyak. Bagaimana kalau sekarang cayhe menghadiahkan
masing-masing orang secawan arak dulu kemudian sisanya baru diberikan semua kepada
Too heng ini?" "Waaah" tidak bisa" tidak bisa" tidak bisa?" seru Pan Ciat Thaysu sambil
memandang sekejap ke arah botol tersebut. "Sisa arak yang masih ada di dalam botol itu
sangat terbatas, bilamana setiap orang yang ada di dalam ruangan ini harus meneguk satu
cawan, aku rasa arak itupun bakal kekurangan!"
"Haaa" haaa" kau janganlah kuatir dulu," jawab si siucay berbaju hijau itu sambil
tertawa. "Bukannya cayhe sengaja berbicara sombong. Orang-orang yang hadir di dalam
ruangan kuil pada saat ini kecuali Too heng seorang, yang lain kiranya tidak bakal ada
yang bisa menandingi kekuatan cayhe. Bilamana orang yang belum pernah minum arak
cukup dikasih baru sebentar saja sudah terlebih dari cukup."
"Pinto adalah orang beribadat. Selamanya pantang minum arak, kebaikan budi dari Jan
heng ini bioarlah pinto terima dihati saja," tiba-tiba terdengar si Toojien berusia
pertengahan itu berkata dengan suara yang perlahan.


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si siucay berbaju hijau itu lantas tersenyum dia berdiri dan menuangkan secawan arak
kemudian dengan perlahan berjalan ke depan Toosu berusia pertengahan itu.
"Bilamana Too heng tidak suka meneguk bagaimana kalau menciumnya sebentar saja?"
ujarnya, "bukannya cayhe sengaja berbicara sombong, di dalam dunia pada saat ini
kiranya tidak akan terdapat arak yang lebih harum dari arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini?"
Agaknya si toosu berusia pertengahan itu merasa tidak enak untuk menolaknya, dia
lantas menerima cawan itu dan diciumnya beberapa saat setelah itu pujinya, "Hem"
benar-benar merupakan arak bagus, walaupun pinto tidak pernah minum tetapi harumnya
arak ini benar-benar menyegarkan badan" sungguh-sungguh merupakan arak yang
berharga." "Bilamana aku si hweesio bisa mencium pula maka segera akan pinceng ketahui
benarkah perkataanmu itu?" timbrung Pan Ciat Thaysu dari samping.
"Haaa" haaa" Too heng jangan gugup dulu!" seru si siucay berbaju hijau itu sambil
tertawa. "Perkataan yang sudah cayhe ucapkan selamanya tidak dapat dipungkiri, sisa
arak ini tentu cayhe hadiahkan kepadamu."
Siauw Ling yang melihat beberapa orang itu dikarenakan sebotol arak sudah saling
dorong saling menolak dalam hati merasa rada heran.
Si pendeta pemabok Pan Ciat bermaksud meminta tetapi si siucay berbaju hijau itu
justru tidak memberi. Sebaliknya si toosu berusia pertengahan yang menolak sebaliknya
dipaksa terus oleh siucay berbaju hijau itu.
Tampak dengan perlahan si Toosu berusia pertengahan itu mengembalikan lagi cawan
arak itu kepada si siucay lalu ujarnya, "Sekalipun ada arak bagus dihadapan mata sayang
pinto tidak berani meneguknya."
Sisisucay berbaju hijau itu segera menerima cawan itu dan diangsurkan kepada si
Toosu cilik berjubah hitam itu.
"Hey Toosu cilik, kaupun cobalah merasakan barang bagus ini!" katanya.
Dengan gugup si Toosu berbaju hitam itu melengos kesamping.
"Tidak, siauwte tidak kuat mencium bau arak?"" tolaknya.
Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaa" haaa" peraturan perguruan dari Bu-tong-pay ternyata benar-benar amat
deras!" pujinya. Setelah itu dengan langkah lebar dia berjalan mendekati si pengemis kelaparan.
Semasa Im Kauw masih hidup sering sekali dia menceritakan keadaan di dalam Bulim
kepada Siauw Ling, di dalam ingatannya Bu-tong-pay adalah kumpulan dari orang-orang
baik, kini melihat keadaan dari toosu amat gagah dan berwibawa tidak terasa dalam hati
merasa amat kagum sekali.
Setelah mendekati tubuh si pengemis kelaparan siucay berbaju hijau itu segera
mengangsurkan arak itu kehadapannya.
"Pada masa mendekat ini cayhe jarang sekali berkelana di dalam Bulim tetapi nama
besar dari Shen heng sudah lama cayhe dengar?" katanya.
"Cuma sayang aku si pengemis tua selamanya suka makan tetapi pantang terhadap
arak maksud baik ini biarlah aku si pengemis tua terima dihati saja," ujar si pengemis
kelaparan sambil melirik sekejap ke arah cawan tersebut.
Air muka si siucay berbaju hijau itu segera berubah sangat hebat.
"Arak Bwee Hoa Lok dari cayhe ini termasuk arak yang paling terkenal dikolong langit
pada saat ini. Bilamana Shen heng melewatkan kesempatan yang baik ini mungkin
selamnya bakal tidak bisa merasakan kembali!" serunya.
"Kalau begitu biarlah bagian dari si pengemis tua diberikan pada Pan Ciat To heng,"
ujar si pengemis kelaparan kemudian setelah itu dia pejamkan matanya kembali.
Mendengar perkataan tersebut si pendeta pemabok dengan langkah yang lebar segera
berjalan mendekat. "Haaa" haaa kalau menjual arak seharusnya menjual pada orang yang membutuhkan"
haaa" haaa" haaa" selamanya si pengemis tua itu berpandangan arak sehidung kerbau
itupun untuk menjaga nama dan kedudukan tidak sua minum, kelihatannya cuma aku si
hweesio tua saja yang suka arak seperti nyawanya sendiri" haaa" haaa asalkan ada arak
bagus sekalipun di dalam arak itu sudah diberi racun pemutus usus aku si hweesio tetap
akan meneguknya sampai habis, sekalipun setelah itu harus mati. Haaa" haaa matipun
dengan mata meram" katanya.
Si siucay berbaju hijau itu lantas termenung sebentar, akhirnya sambil tertawa keras
diapun mengangguk. "Tidak salah!" sahutnya. "Untuk menjual arak seharusnya menjual pada yang
membutuhkan, biarlah arak Bwee Hoa Lok ini sampai cawan dan botolnya cayhe
hadiahkan semua kepadamu."
Si pendeta pemabok segera menerima arak dan diteguknya sampai habis.
"Haaa" haaa" arak bagus, arak bagus" pujanya tiada hentinya.
Si siucay berbaju hijau itu tidak memperdulikan akan pujian dari si pendeta pemabok
itu lagi, lantas duduk bersila dan menghembuskan napas panjang.
"Saudara-saudara sekalian tidak suka merasakan arak Bwee Hoa Lok dari cayhe apakah
kalian takut di dalam arak sudah aku beri racun?"?" katanya dengan kesal.
Beberapa patah kata perkataannya seperti lagi bergumam seorang diri seperti juga
sedang menjelaskan kepada orang lain akan kemangkelan hatinya.
Mendadak tampaklah si toosu berusia pertengahan itu bangkit berdiri sepasang
matanya yang sangat tajam tiada hentinya memperhatikan wajah Siauw Ling.
"Siauw sicu," ujarnya dengan perlahan. "Apakah kau lagi tidak enak badan?"?"
Siauw Ling yang sudah menaruh simpatik terhadap dirinya segera mengangguk.
"Sedikit tidak enak badanku!" sahutnya.
"Pinto paham di dalam ilmu pengobatan bagaimana kalau pinto bantu menyembuhkan
sakit dari Siauw sicu itu!" kata si Toosu berusia pertengahan itu sambil tertawa.
Sehabis berkata dia melirik sekejap ke atas wajah si pengemis kelaparan itu untuk
memeriksa perubahan air mukanya.
Walaupun Siauw Ling amat pintar tetapi dia tidak paham akan kelicikan yang ada di
dalam dunia kangouw, tanpa perduli apakah toosu itu kawan atau lawan dia lantas
menyahut, "Bagus sekali! Aku harus mengucapkan terima kasih dulu kepada Tootiang!"
Tetapi si toosu berusia pertengahan itu masih tetap duduk tidak bergerak, apa yang
sedang dia nantikan?"
Terdengar si pengemis kelaparan itu sembari menghela napas panjang sudah berkata,
"Bocah ini sudah membuang tenaga murni aku si pengemis tua selama satu hari satu
malam lamanya, tetapi sakitnya belum benar-benar sembuh. Bilamana Tootiang suka
turun tangan memberi bantuan, sudah tentu aku si pengemis tua merasa sangat berterima
kasih sekali." "Aaaah" sicu jangan berbicara demikian," ujar si toosu berusia pertengahan itu sambil
tertawa. "Pinto tidak lebih cuma mengerti akan sedikit ilmu pengobatan saja. Menurut apa
yang pinto lihat dari wajah bocah itu pinto rasa sakit yang diderita Siauw sicu ini sudah
dideritanya sejak kecil ditambah lagi luka yang diderita di dalam beberapa hari ini
mengakibatkan dia benar-benar terluka dalam."
"Tidak salah?" sambung si pengemis kelaparan itu dengan cepat. "Jalan darah Thay He
Piat didekat usus dua belas jarinya sudah terkena totok sehingga mengakibatkan uraturatnya
menjadi berubah tempat aliran darahnya membeku. Bilamana tidak ditolong maka
di dalam tujuh hari tentu akan menemui ajalnya atau paling sedikit akan jadi cacat untuk
selamanya" hee" aku si pengemis tua tidak mengerti akan ilmu pengobatan perkataanku
itupun menurut dugaan yang apa aku ketahui saja."
"Perkataanku itupun tidak salah" jawab si Toosu berusia pertengahan itu sembari
tertawa. "Yang membuat pinto kecewa adalah tidak berhasilnya memulihkan dia seperti
sedia kala. Bilamana Shen heng suka menyerahkan dirinya untuk pinto bawa pergi maka
sekarang juga pinto bermaksud membawanya kembali ke Bu-tong-pay."
"Setelah itu memohon agar Ciangbun suheng suka turun tangan menyembuhkan
lukanya ilmu pengobatan dari ciangbun suheng yang melebihi dari pinto sepuluh kali lipat,
pinto rasa lukanya tentu bisa disembuhkan olehnya."
Mendadak si pengemis kelaparan membuka sepasang matanya lebar-lebar sinar
matanya yang amat tajam dengan terpesonanya memperhatikan wajah Toosu tersebut.
"Im Yang Cu!" terdengar dia berkata kembali sepatah demi sepatah. "Aku si pengemis
tua sudah setengah abad melakukan perjalanan di dalam sungai telaga dan mengalami
dahsyatnya, apakah kau suruh aku membalikkan perahu di tengah sungai?""
Im Yang Cu segera tersenyum.
"Sekalipun pinto mempunyai maksud hati yang lain, tetapi kau janganlah kuatir, pinto
pasti berhasil menyembuhkan lukan yang diderita olehnya."
"Kalau begitu baiklah, kau bawalah dia pergi dari sini," ujar si pengemis kelaparan
kemudian sambil pejamkan matanya. Im Yang Cu lantas meloncat bangun sambil
menggandeng tangan si toosu cilik berbaju hitam itu dia meloncat kesamping tubuh Siauw
Ling kemudian menggendongnya dan meloncat keluar dari kuil tersebut.
"Hee, hee, Im Yang Too heng, tunggu dulu!" terdengar si siucay berbaju hijau itu
membentak dengan suara yang amat dingin.
Tangan kirinya segera diulapkan ke depan seorang cebol berbadan hitam yang ada di
belakang badannya mendadak meloncat ke depan menghalangi perjalanan pergi dari si
toosu cilik berbaju hitam itu.
Kembali pundak Im Yang Cu sedikit bergerak dengan gerakan yang amat cepat dia
sudah berada dihadapan si toosu cilik berbaju hitam itu kembali.
"Jan heng, apakah kau hendak menyusahkan diri pinto?"" bentaknya dengan dingin.
"soal ini cayhe rasa aku tidak punya nyali yang begitu besar," ujar si siucay berbau
hijau itu sambil tertawa-tawa. "Haaa. haa di dalam dunia persilatan siapa yang tidak kenal
dengan nama besar dari Im Yang Too heng?"
Siauw Ling yang melihat beberapa orang itu ternyata sudah saling memperebutkan
dirinya dakam hati sekali lagi merasa keheranan bercampur geli.
"Eeei, eei bagaimana sampai aku Siauw Lingpun dipandang begitu pentingnya?""
pikirnya dihati. Tampak Im Yang Cu mengebutkan hut tim yang ada ditangannya kesamping.
"Kalau memang Jan heng tidak bermaksud untuk menyusahkan diri pinto lebih baik
janganlah berlaku demikian kasar" katanya.
Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa dingin.
"Walaupun cayhe tidak bermaksud untuk menyusahkan diri Im Yang Too heng, tetapi
sama sekali tidak merasa ngeri terhadap nama besar dari Bu-tong-pay apalagi pedang di
tangan Im Yang Too heng itu!" katanya seram.
Im Yang Cu segera mengerutkan alisnya, pundaknya sedikit bergerak hendak
melancarkan serangan tetapi akhirnya dia bersabar kembali.
"Lalu Can heng ada petunjuk apa?" tanyanya. "Aku tentu akan mendengarkan semua
perkataanmu itu." Sepasang mata yang amat tajam dari siSin berbaju hijau itu dengan tiada hentinya
putar di tubuh Siauw Ling, lama sekali serunya kembali, "Im Yang Too heng tidak sayang
melakukan perjalanan sejauh ribuan li apakah sungguh-sungguh bermaksud hendak kirim
saudara cilik ini ke gunung Bu-tong-pay untuk disembuhkan sakitnya?"
"Tidak salah." "Ada pepatah mengatakan: menolong orang bagaikan menolong api. Kalau memangnya
saudara cilik ini menderita sakit yang amat parah apakah di bisa mempertahankan dirinya
akan penderitaan selama melakukan perjalanan sejauh ribuan li ini?""
"Soal ini pinto sudah ada rencana yang tersendiri Jan heng tidak perlu
menguatirkannya!" "Apanya yang tidak perlu?""
"Walaupun cayhe tidak pandai dan tidak mengerti ilmu pengobatan tetapi cuma hanya
untuk menyembuhkan sakit dari saudara cilik ini tidaklah perlu melakukan perjalanan
sejauh ribuan li untuk kembali ke gunung Bu-tong." kata si siucay itu dingin.
"Pinto sudah memperoleh persetujuan dari Shen heng, kini Jan heng sengaja
menentangi maksudku, entah kau mempunyai maksud hendak berbuat apa?" seru Im
Yang Cu mendongkol. Si siucay berbaju hijau itu segera tertawa-twa.
"Untuk menolong nyawa orang lain, cayhe tak akan ragu-ragu untuk turun tangan
sendiri," jawabnya. Siauw Ling yang mendengar perkataan tersebut hatinya merasa semakin keheranan
lagi. "Aaah" sungguh lucu sekali!" pikirnya "kiranya mereka beribut sendiri karena hendak
berebutan untuk menyembuhkan sakitku haa kiranya orang yang hendak berbaik hatipun
tidak sedikit jumlahnya!"
Air muka Im Yang Cu segera berubah sangat hebat.
"Pinto merasa ilmu pengobatanku tidak berada di bawah kepandaian dari Jan heng,"
ujarnya dengan dingin. "Aku sendiripun merasa tidak ada kekuatan untuk menyembuhkan
sakit diri Siauw sicu ini apalgi dengan mengandalkan sedikit ilmu pengobatan yang Jan
heng miliki itu" hm!! hmmm! pinto rasa lebih baik kau janganlah terlalu menyombongkan
diri!" "Haaa" haaa cayhe di dalam Bulim disebut sebagai Pek So Cian Ih atau sitabib sakti
bertangan seratus apakah gelar inipun cayhe dapatkan sebagai nama kosong belaka?" ujar
si siucay berbaju hijau itu sambil tertawa.
"Pinto cuma mendengar Jan heng memiliki gelar sebagai Pek So suseng atau
sisastrawan bertangan seratus, tetapi belum pernah mendengar kaupun memeliki gelar
sebagai sitabib sakti bertangan seratus!"
"Hal itu dikarenakan Too heng jarang sekali melakukan perjalanan di dalam dunia
persilatan sehingga pengetahuannya rada cetek" jawab si siucay sambil tertawa terbahakbahak.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, "Kalau memangnya Too heng
tidak percaya terhadap ilmu pengobatan yang cayhe miliki sanggup untuk memberikan
sedikit demontrasi dihadapan diri Too heng bagaimana?"
"Hmm! Selama hidup seorang manusia di dalam dunia ini cuma mengalami sekali
kematian peristiwa yang amat besar ini bagaimana boleh digunakan sebagau percobaan?"
Seru Im Yang Cu sambil tertawa dingin.
Si siucay berbaju hijau itu melirik sekejap ke arah si pendeta pemabok yang sudah
berada di dalam alam mimpi sambil memeluk botol yang berisikan arak Bwee Hoa Lok itu
nyalinyapun saat ini jadi bertambah besar.
"Hmmm"! cayhe mau tanya. Apakah saudara cilik ini adalah anak murid dari Bu-tongpay
tetapi pinto menerima titipan dari orang lain, soal ini bagaimanapun harus pinto
selesaikan sampai mencapai hasil."
"Kau menerima titipan dari siapa?" tanya si siucay itu sambil tertawa.
Agaknya Im Yang Cu tidak ingin bentrok dengan si Pek So suseng sehingga menahan
sabar katanya, "Bukankah Jan heng melihat dengan mata kepala sendiri kalau pinto
menerima titipan dari Shen Thay hiap" Dia minta pinto untuk mengirim Siauw sicu ini
kembali ke gunung Bu-tong-pay lalu menyembuhkan sakitnya!"
"Kalau memangnya begitu maka bilamana Shen heng setuju maka kaupun bisa
meninggalkan satu dara cilik disini."
Im Yang Cu cuma mendengus dengan dinginnya dia mengucapkan sepatah katapun.
Sengaja si siucay berbaju hijau itu mempertinggi suaranya, lantas ujarnya lagi,
"Bilamana Shen heng percaya dengan ilmu pengobatan yang cayhe miliki maka sekarang
juga cayhe akan turun tangan menyembuhkan luka serta sakit yang diderita saudara cilik
ini." Dengan pandangan yang amat teliti Siauw Ling segera memperhatikan si siucay berbaju
hijau itu, walaupun panca indranya sangat sempurna, kulitnya halus bagaikan salju tetapi
dari sepasang matanya memancar keluar cahaya yang amat menyeramkan dari antara
alisnyapun secara samar-samar diliputi oleh selapis hawa hitam yang amat tebal, hatinya
jadi merasa rada bergidik.
Tanpa menanti jawaban dari si pengemis kelaparan lagi dia sudah berteriak dengan
kerasnya. "Empek Shen, aku tidak mau diobati oleh dia orang, aku mau ikut Tootiang saja."
Sepasang mata siucay berbaju hijau segera berkelebat dengan amat seramnya
memandang tajam wajah sang bocah kecil mungil itu.
"Jarak dari sisi gunung Bu-tong-pay amat jauh sekali. Hmmm! Sebelum tiba digunung
Bu-tong-pay mungkin kau sudah mati terlebih dahulu," ujarnya dengan dingin.
"Sekalipun aku mati ada sangkut paut apa dengan dirimu?" tantang Siauw Ling dengan
kesal. Si siucay berbaju hijau itu segera mengerutkan alisnya rapat-rapat, agaknya dia hendak
mengumbar hawa amarahnya.
Tiba-tiba terdengar si pengemis kelaparan sudah berkata dengan suara yang amat
dingin sekali. "Bocah cilik itu adalah aku si pengemis tua yang menitipkannya kepada Im Yang
Tooheng untuk dibawa kembali ke gunung Bu-tong-pay. Bilamana dari tengah ada orang
yang bermaksud menghalangi maka orang itu sama saja bermaksud hendak mencari garagara
dengan kami si pendeta pemabok serta si pengemis kelaparan!"
Air muka si Pek So suseng segera berubah sangat hebat. Hawa hitam yang meliputi di
atas alisnyapun semakin menebal, tetapi hanya di dalam sekejap saja sudah lenyap
kembali. "Haaa" haaaa" haaa"! kalau memangnya Shen heng bermaksud demikian maka
cayhe tidak akan menghalangi lagi," sahutnya sambil tertawa terbahak-bahak. "Heeei"
cuma sayang nyawa saudara cilik ini harus lenyap di tangan Im Yang Too heng yang
bermaksud baik ini."
Im yang Cu yang jadi orang amat tenang segera tertawa tawar.
"Soal ini Jan heng tidak usah mewakili pinto merasa kuatir?" Katanya dia berhenti
sebentar untuk kemudian sambungnya lagi, "Bagaimana kalau Jan heng memberi jalan
buat pinto?" "Heee" heee semoga Too heng bisa selamat bila selama di dalam perjalanan," sindir
Pek So suseng sambil tertawa dingin.
Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan si lelaki cebol itu.
Im Yang Cu segera di depan melindungi si toosu cilik berbaju hitam yang menggendong
Siauw Ling untuk mengundurkan diri dari ruangan kuil tersebut.
Walaupun usia Toosu cilik itu tidak begitu besar tetapi kecepatan geraknya sangat gesit
sekali. Siauw Ling cuma merasakan telinganya tersampok amgin yang menderu hawa dingin


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan amat tajamnya menyampok badan membuat dia sukar untuk bernapas, terpaksa
sambil menyembunyikan wajah ke belakang leher toosu cilik itu dia berdiam diri.
Entah lewat bebrapa saat kemudian mendadak Siauw Ling mersakan Toosu cilik itu
menghentikan gerakan tubuhnya. Sewaktu dia angkat kepalanya memandang terlihatlah
tempat dimana dia berada ada di bawah sebuah puncak gunung yang amat tinggi.
Im Yang Cu sambil mengobat abitkan hut timnya berdiri kurang lebih empat lima depa
dari dirinya. Sambil tersenyum dia lantas berkata kepada Toosu cilik itu dengan suara yang
perlahan, "Turunkan dirinya, mari kita makan dulu kemudian baru melanjutkan kembali
perjalanan." "Suhu!" ujarnya si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil menyeka keringat yang
membasahi wajahnya?"
"Dapatkah Pek So suseng itu mengejar datang?""
"Walaupun mereka punya maksud untuk mengejar kemari, tetapi aku menduga Shen
Cong si pengemis kelaparan itu akan turun tangan menghalang-halangi dirinya."
Dengan perlahan si Toosu cilik itu baru meneurnkan tubuh Siauw Ling yang
dipanggulnya itu ke atas tanah lalu menghembuskan napas panjang-panjang, agaknya
setelah melakukan perjalanan jauh ini badannya terasa amat lelah.
Dari dalam sakunya Im Yang Cu lantas mengeluarkan rangsum keringnya, kepada
Siauw Ling ujarnya sambil tertawa.
"Saudara cilik, kau jangan takut, pinto pasti tidak akan merugikan dirimu."
Siauw Ling menerima pembagian rangsum kering itu dan bersama-sama kedua orang
Toosu itu bersantap, setelah beristirahat sebentar akhirnya mereka kembali melanjutkan
perjalanan. Seperti keadaan semula kembali dia digendong si Toosu cilik berbaju hitam itu untuk
melanjutkan perjalanan. Siauw Ling yang berotak cerdik apa lagi sejak kecil banyak mempelajari buku
pengetahuan. Ditambah pula selama beberapa hari ini mengikuti Gak Siauw-cha merasakan
bahayanya dunia kangouw membuat di dalam hatinya lebih mengerti lagi terhadap
kelicikan dan kekejaman dunia ini.
Di dalam hati dia mengerti kalau si Toosu yang gagah dan berwibawa ini bukanlah
hendak menyembuhkan sakitnya secara kesungguhan hati, di samping hal itu tentu
mempunyai maksud yang tertentu cuma saja Siauw Ling tidak mengetahui apakah maksud
yang sebenarnya dari Toosu ini.
Pertanyaan ini selalu saja berpaut di dalam otaknya membuat dia mulai menggerakkan
akalnya memikirkan cara-cara untuk menyelamatkan diri.
Mereka kembali melakukan perjalanan selama satu harian penuh dan akhirnya deretan
pegunungan yang amat panjang itu berhasil dilalui tanpa rintangan apapun.
Setelah itulah siauw Ling melakukan perjalanan tidak digendong lagi oleh Si Toosu cilik
itu, mereka memasukkan Siauw Ling ke dalam kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Pada saat-saat itulah Siauw Ling merasakan badannya terjadi perubahan. Penyakit yang
semula mengeram di dalam badannya setelah mengalami luka ini mulai kambuh kembali,
seluruh tubuhnya amat panas, anggota badannya terasa amat berat dan sukar diangkat
cuma kesadarannya saja masih tetap penuh.
Kelihatannya Im Yang Cu amat gelisah sekali dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk
menyembuhkan sakit dari Siauw Ling ini, tiada hentinya dia memeriksa urat nadinya
kemuian menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh sang bocah.
Tetapi keadaan sakit dari Siauw Ling sama sekali tidak mengalami perubahan,
kesadarannyapun berangsur-angsur punah.
Bocah cilik itu cuma merasakan secara samar-samar dia harus meminum obat berulang
kali. Hari itu kesadaran Siauw Ling mendadak pulih kembali ketika dia membuka matanya
terlihatlah Im Yang Cu ad disisinya sedang si Toosu cilik berbaju hitam itu sambil
memegang sebuah mangkok obat sedang memandangi dirinya dengan hati gelisah.
Kini melihat dia sadar kembali dengan wajah yanga amat girang segera berseru,
"Apakah kau merasa baikan?"
"Hatiku terasa panas seperti dibakar. Aku rasa nyawaku tidak akan lama lagi hidup di
dunia," sebut Siauw Ling sambil gelengkan kepalanya.
"Tidak mengapa! kita sudah hampir tiba digunung Bu-tong-pay," ujar si Toosu cilik itu.
"Too supekku pandi sekali di dalam ilmu pengobatan, dan punya kepandaian untuk
menghidupkan kembali orang yang sudah mati, asalkan kita bisa tiba digunung Bu-tongpay
maka dengan cepatnya kau bakal sembuh kembali dari sakitmu."
"Heeei" kenapa kalian begitu merasa kuatir terhadap mati hidupku!" tanya Siauw Ling
secara tiba-tiba sambil menghela napas panjang.
Si Toosu cilik itu jadi melengak.
"Karena" karena?"
Dia tidak terbiasa berbicara bohong, maka untuk beberapa saat lamanya dia orang
dibuat gelagapan tidak sanggup untuk mengucapkan sepatah katapun.
"Aku tahu!" terdengar Siauw Ling tertawa sedih. "Kalian bukanlah bersungguh-sungguh
hendak menyembuhkan diriku dari sakit, kalian cuma ingin membawa aku ke gunung Butongpay?" "Heeei" lukamu amat parah, penyakit lama yang tidak pernah diobati ditambah pula
dengan luka dalam yang parah membuat badanmu jadi lemah." sambung Han Yang Cu
secara tiba-tiba. "Kini harus terkena pula angin dingin membuat penyakit itu jadi mulai
bekerja" heee" sekarang bermacam-macam penyakit itu sudah bergabung menjadi satu,
kecuali Too suhengku seorang mungkin pada saat ini ada orang lain yang bisa
menyembuhkan sakitmu itu."
"Soal itu tidak mengapa. Aku tidak takut" Seru Siauw Ling perlahan.
Agaknya Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa mengatakan
perkataan tersebut, tidak kuasa lagi hatinya jadi melengak.
"Walaupun kau menderita luka dan sakit yang parah tetapi wajahmu menunjukkan
bukankah orang yang berusia pendek" hiburnya sambil tertawa. "Ilmu pengobatan dari
Toa Suheng amat lihay sekali, untuk menyembuhkan sakitmu itu pinto rasa bukanlah satu
pekerjaan yang sukar sekali."
Mendadak siauw Ling bangun berdiri agaknya dia bermaksud untuk duduk, siapa tahu
baru saja dia kerahkan sedikit tenaga sepasang matanya jadi menggelap badannya amat
sakit sekali sehingga tidak kuasa lagi dia sadarkan diri.
Entah lewat beberapa saat lamanya Siauw Ling cuma merasakan adanya dua buah
telapak tangan yang amat panas bergerak dan meraba diseluruh tubuhnya setelah itu
badannya terasa agak segar dari pada keadaan semula.
Dengan perlahan dia membuka matanya kembali terlihatlah seorang Toosu yang
rambutnya sudah berwarna putih dengan wajah yang angker sedang mengurut dan
memijit seluruh tubuhnya, dimana jari tangannya menyentuh segera terasalah segulung
aliran yang amat panas meresap masuk ke dalam badannya.
Di belakang Toosu berambut putih itu berdirilah Im Yang Cu dengan wajah yang amat
serius, didekat pembaringan terletak sebuah hiooloo berwarna hitam yang amat cantik.
Dari hiooloo tersebut mengepullah asap putih yang berbau harum.
Terdengar Toosu tua itu menghembuskan napas panjang-panjang lalu dengan perlahan
menarik kembali sepasang telapak tangannya.
Lama sekali dia memandang diri Siauw Ling dengan termangu-mangu. Kemudian pada
wajahnya yang angker terlintaslah satu senyuman yang amat ramah sekali.
"Bocah cilik, kau merasa baikan?" tanyanya halus.
"Benar" aku merasa rada baikan," jawab Siauw Ling sambil mengangguk. "Loo
Tootiang sudah tentu adalah suheng dari Im Yang Tootiang ciangbunjin dari Bu-tong-pay
bukan?" Si Toosu berambut putih itu segera tersenyum.
"Pinto adalah Bu Wie. Keadaan sakit dari siauw sicu amat parah dan kini pun aliran
darah baru saja lancar, lebih baik janganlah banyak membuang tenaga untuk berbicara,
untuk bercakap-cakap waktu dikemudian hari masih panjang, kini lebih baik kau
beristirahat telebih dahulu."
Mendadak Siauw Ling menghela napas panjang.
"Heeei", Enci Gak ku entah pada saat ini ada dimana?" keluhnya.
Setelah itu dengan perlahan dia memejamkan matanya kembali.
Im Yang Cu dengan hormatnya lantas menjura terhadap Bu Wie Tootiang setelah itu
dengan cepat mengundurkan diri dari situ.
Agaknya Bu Wie Tootiang merasa agak payah, begitu Im Yang Cu sudah
mengundurkan diri dari ruangan tersebut diapun segera pejamkan matanya untuk
mengatur pernapasan. Suasana di dalam kamar seketika itu juga berubah menjadi amat sunyi, saking sunyinya
sampai terjatuh jarumpun bisa kedengaran.
Setelah tidur dengan puas semangat dari Siauw Ling pun jauh pulih seperti sedia kala
sewaktu dia membuka matanya kembali terlihatlah si Toosu tua itu masih tetap duduk
bersila dengan amat tenangnya di samping pembaringan. Saat ini waktu sudah
menunjukkan tengah malam, suasana di dalam kamar itu gelap gulita cuma terpecik
sedikit cahaya biru dari dalam Hiooloo kuno tersebut, seluruh benda yang ada di dalam
kamar setelah terkena sinar kebiru-biruan tersebut secara samar-samar segera
memantulkan cahaya hijau yang amat tipis.
Siauw Ling segera sedikit menggoyangkan badannya, lalu dengan perlahan-lahan
bangun duduk. Baru saja dia bermaksud molor dari atas pembaringan mendadak Boa Wie Tootiang
yang ada di sampingnya sudah membuka matanya lebar-lebar.
"Bocah di tengah malam buta kau tidak boleh berjalan-jalan diluar kamar" tegurnya
sambil tertawa. "Tetapi bilamana kau ingin jalan-jalan bolehlah kau berjalan di dalam
kamar pembuat obat ini saja karena dengan demikian terhadap obat yang baru saja kau
telan memberikan bantuan yang amat berharga."
Kedudukan ciang bunjin dari Bu-tong-pay amat dihormati sekali di dalam Bulim kali ini
dia bersikap begitu ramahnya terhadap Siauw Ling hal ini boleh dikata merupakan satu
perisatiwa yang patut dibanggakan.
Tetapi Siauw Ling sama sekali tidak merasa dia dengan langkah yang perlahan segera
berjalan mendekati hiooloo kuno yang memancarkan sinar kebiru-biruan itu.
Dengan perlahan Boa Wie Tootiang menghela napas panjang, dia tidak ambil perduli
dirinya lagi Siauw Ling yang berjalan kesamping hiooloo kuno itu segera merasakan satu
tekanan yang keras memaksa dirinya, kejadian ini segera membuat dalam hati dia merasa
keheran-heranan. "Entah barang apa yang sedang dimasak di dalam hioolo itu, kenapa pengaruhnya
begitu besar?" pikirnya dihati.
Ketika dia menengok kedalam, tampaklah diantara membaranya api berwarna kebirubiruan
itu terletaklah sebuah kotak sebesar kepalan, entah kotak itu terbuat dari bahan
apa saat ini ternyata sudah dibakar sehingga memancarkan warna merah membara.
Secara samar-samar diapun dapat melihat adanya bahan berwarna hijau yang mengalir
keluar dari antara kotak yang merah membara tersebut.
Api yang berwarna kebiru-biruan itu mengepulkeluar dari beberapa lubang sebesar jari
di bawah kotak kecil itu. Tetapi Siauw Ling tidak dapat mengetahui bahan apakah itu yang
sedang terbakar di bawah hiooloo tersebut.
Mendadak di dalam pikiran Siauw Ling teringat kembali akan ayahnya yang pernah
membuat pil, sehingga tidak kuasa lagi dia lantas bertanya, "Loo Tootiang, kau lagi
membuat pil?"" "Benar lagi membuat semacam obat kuat dirimu!" sahut Bu Wie Tootiang sambil
tertawa. "Bikin obat buat diriku?"" tanya Siauw Ling keheranan.
Bu Wie Tootiang tertawa. "Mungkin lewat tiga hari tiga malam kemudian api itu bisa padam sendirinya, waktu
itulah obat tersebut boleh diambil untuk dimakan," katanya.
Dengan sedihnya Siauw Ling menghela napas panjang. lalu dengan langkah perlahan
berjalan kehadapan pembaringan kayu itu.
"Loo Tootiang," ujarnya. "Kita tidak saling mengenal, kenapa kau bersikap sangat baik
terhadapku?"" Sekali lagi Bu Wie Tootiang tersenyum.
"Orang beragama selalu mengutamakan kebajikan, pinto yang sudah tahu kalau
didadamu menderita sakit yang amat parah bagaimana berani tidak mengurus?" katanya.
Dia berhenti sebentar untuk kemudian tambahnya, "Apalagi ketika urat nadimu yang
membeku karena semacam penyakit bukanlah bisa disembuhkan oleh setiap orang."
Dengan perlahan Siauw Ling mendekati pembaringan dan duduk kembali, setelah
termenung beberapa saat lamanya dia berkata kembali, "Aku tidak percaya kalau Loo
Tootiang menolong aku dikarenakan kebajikan!"
Agaknya Bu Wie Tootiang sama sekali tak menyangka kalau secara tiba-tiba dia bisa
mengungkap urusan ini. Bahkan perkataannya diucapkan secara terus terang, tidak kuasa
lagi dia jadi melengok dibuatnya.
Setelah termenung beberapa saat lamanya dengan perlahan dia baru berkata, "Pinto
yang menahan dirimu digunung Bu-tong-pay ini kemungkinan sekali memang ada maksud
tertentu tetapi membantu dirimu untuk menyembuhkan penyakit yang kau derita adalah
merupakan sebab utama yang paling penting?"
Berbicara sampai disini mendadak dia memutuskan kata-katanya.
"Siapa?" bentaknya dengan keren.
Terdengar dari luar kamar berkumandang masuk suara dari seseorang yang rendah dan
berat. "Tecu ada urusan yang hendak dilaporkan."
Sepasang alis yang merah dari Bu Wie Tootiang sedikit dikerutkan, tetapi dia tetap
duduk bersila di tempat semula.
"Masuklah!" perintahnya.
Pintu dengan perlahan dibuka dan masuklah seorang Toosu berusia pertengahan yang
mempunyai perawakan tinggi besar dengan jenggot hitam terurai ke bawah.
Jika ditinjau dari usianya jelas tidak berada di bawah usia Im Yang Cu tetapi gerakgeriknya
terhadap Bu Wie Tootiang jauh lebih menghormat lagi.
Dari tempat kejauhan dia sudah merangkap tangannya memberi hormat setelah itu
berjalan mendekati pembaringan.
"Ada orang yang melakukan perjalanan malam menaiki gunung?" sambungnya dengan
sangat hormat. "Siapakah orang itu?" tanya Bu Wie Tootiang dengan agak berubah.
"Kepandaian silat dari orang itu tidak lemah Im Yang susiok sudah memberi perintah
agar kelima pelindung hukum dari kuil bersama-sama turun tangan menyelidiki urusan ini
sampai jelas, karena takut sampai mengganggu ketenangan dari suhu maka sengaja
memerintah tecu untuk melaporkan hal ini kepada suhu."
Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah jadi amat tenang, tangan kirinya segera
diulapkan mengundurkan Toosu tersebut.
"Ehmmmm" sudah tahu!"
Toosu berusia pertengahan itu segera merangkap tangannya di depan dada memberi
hormat, setelah itu dengan sangat berhati-hati menutup kembali pintu kamar itu.
Selama ini Siauw Ling tidak mengucapkan sepatah katapun setelah termenung sebentar
diapun mendadak meloncat turun dari atas pembaringan lalu dengan langkah lebar
berjalan keluar. "Bocah, kau ingin pergi kemana?" tegur Bu Wie Tootiang sambil mengerutkan alisnya
rapat-rapat. "Akupun ingin pergi keluar, aku mau lihat yang datang apakah enci Gak ku?"
Selesai berkata dengan cepat dia membuka pintu kamar dan dengan langkah lebar
berjalan keluar. Ketika dia dongakkan kepalanya terlihatlah bintang tersebut laksana
semut, malam ini adalah suatu malam yang gelap tak terlihat adanya rembulan, segulung
angin dingin bertiup datang. Tidak kuasa lagi Siauw Ling bersin beberapa kali.
Mendadak dari samping badannya berkumandang datang suara seseorang yang amat
rendah dan berat. "Angin malam sangat dingin sekali, lebih baik siauw sicu kembali saja ke dalam kamar!"
tegurnya. Siauw Ling segera menoleh kesamping entah sejak kapan di samping badannya
sudah berdiri seorang Toosu muda yang menyoren pedang pada punggungnya.
"Tidak. Aku tidak mau kembali," sahutnya setelah memenangkan hatinya.
Toosu muda itu baru berusia delapan, sembilan belas tahunan, wajahnya bersih dan
tampan. Sebilah pedang tersoren di belakang punggungnya dengan jubah yang berkibar
tertiup angin. Dia memandang diri Siauw Ling beberapa saat lamanya, setelah itu dengan amat dingin
ujarnya, "Tempat dan keadaan disini tidak akan memperkenankan kau untuk sembarang
menerjang bilamana siauw sicu tidak suka kembali dengan sendirinya maka terpaksa pinto
akan bantu kau melaksanakan pekerjaan ini!"
Sewaktu berbicara dia sudah mengulur tangannya mencengkeram pergelangan tangan
dari Siauw Ling. Dengan terburu-buru Siauw Ling segera menarik kembali pergelangan tangannya ke
belakang. Toosu muda itu melancarkan serangannya cepat bagaikan kilat, Siauw Ling mana
mungkin menghindarkan dirinya.
Dia cuma merasakan tangan kirinya jadi kaku, urat nadi pada pergelangan tangan
kirinya sudah berada di dalam cekalan Toosu muda tersebut.
Terdengar suara helaan napas yang amat panjang berkumandang keluar disusul suara
yang tua dan serak dari Bu Wie Tootiang bergema datang.
"Jangan paksa dia kembali. Biarkanlah dia berlalu!" perintahnya.
Dengan terburu-buru Toosu muda itu segera melepaskan cekalannya pada pergelangan
kiri Siauw Ling sambil menyahut dengan cepat dia mengundurkan dirinya kembali ke
bawah sebuah pohon siong.
Siauw Ling segera melepaskan dulu pergelangan tangannya yang terasa kaku, setelah
itu dengan langkah lebar dia melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke depan.
Secara samar-samar dia bisa melihat dihadapannya merupakan sebuah bunga yang
amat luas. Di bawah tiupan angin malam yang dingin secara samar-samar tersiarlah bau harum


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang semerbak. Dedaunan pohon siong yang menghijau tumbuh diantara berbagai bunga
yang beraneka warna membuat pemandangan disitu kelihatan amat indah sekali.
Pertama, karena gelapnya keadaan membuat pandangan Siauw Ling kurang begitu
jelas, kedua dia tidak bermaksud untuk menikmati keindahan bunga tersebut, dengan
langkah yang lebar dia langsung berjalan menuju ke arah pintu.
Halaman itu sangat luas sekali. Siauw Ling yang tidak kenal dengan keadaan disana
walaupun sudah berjalan sangat lama tetapi tidak berhasil juga keluar dari kumpulan
tanaman bunga tersebut. Tetapi sifat yang amat kukuh membuat dia pantang mundur, walaupun saking dingin
seluruh tubuhnya sudah gemetar keras dia tetap tidak bermaksud kembali, setelah
menentukan satu arah tanpa jerinya dia berjalan terus ke arah depan.
Beberapa saat kemudian terlihatlah olehnya dua ekor burung bangau putih berdiri
diantara kebun bunga itu, sekalipun Siauw Ling lewat di sampingnya tetapi kedua ekor
burung bangau itu sama sekali tidak melarikan diri.
Keadaan yang amat aneh ini sama sekali tidak memancing rasa keheran-heranan dari
Siauw Ling di dalam hatinya dia cuma ingin cepat-cepat bertemu dengan Gak Siauw-cha
tentu enci Gaknya. Di dalam hati dia percaya Gak Siauw-cha tentu lagi mencari dirinya sehingga tidak
kuasa lagi dia lantas berteriak keras, "Enci Gak, enci Gak, aku disini. Aku Siauw Ling!"
Sekalipun dia sudah berteriak dengan sekuat tenaga tetapi tidak kedengaran juga suara
jawaban yang ada tidak lebih cuma pantulan suara teriakannya sendiri.
Di tengah menderunya angin malam yang kencang dengan tiada hentinya dia berjalan
ke depan. Setelah melewati sebuah kebun bunga yang amat luas, akhirnya sampailah dia di
samping sebuah tembok pekarangan yang terbuat dari batu hijau.
Sebuah pintu yang berbentuk bundar sejak semula sudah terbuka. Siauw Ling yang
badannya masih lemah dengan napas memburu keringat mengucur keluar meneruskan
perjalanannya ke depan. Selewatnya dari pintu dia berhenti sebentar untuk menyeka keringat yang membasahi
tubuhnya. Dia dapat melihat dihadapannya terbentang sebuah jalan kecil yang beralaskan
batu putih, secara samar-samar diapun bisa melihat adanya sebuah bagunan berloteng
berdiri dengan angkernya di tengah kegelapan malam.
Siauw Ling memperhatikan sebentar keadaan disitu setelah itu dengan memilih arah
yang lapang dia melanjutkan kembali langkahnya ke depan.
Waktu ini keadaannya sudah seperti orang gila, sambil berjalan dengan sekuat tenaga
tiada hentinya dia berteriak dan memanggil-manggil enci Gaknya.
Di tengah malam yang amat sunyi, suara teriaknya yang mengandung rasa cinta kasih
ini laksana mengamuknya ombak di tengah samudra menggetarkan seluruh kuil Sam Yan
Koan yang angker itu. Entah berlari lagi beberapa waktu lamanya, saking lelahnya Siauw Ling merasakan
napasnya ngos-ngosan pandangan matanya jadi kabur. Dia merasa enci Gaknya sudah
berubah jadi seorang perempuan cantik yang berdiri dihadapan matanya" dia merasa
hatinya semakin bergolak, dengan sekuat tenaga tiada hentinya dia lari terus ke arah
depan. Dia berlari terus, berlari sampai badannya merasa amat lemah baru berhenti, keringat
mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Saat ini Siauw Ling tidak sanggup untuk maju selangkah lagi, pandangannya jadi
berkunang-kunang darah panas bergolak dengan amat kerasnya di dalam dada, sepasang
kakinya jadi amat lemas sehingga tidak kuasa lagi dia jatuh ke atas tanah tidak sadarkan
diri. Entah lewat beberapa saat lamanya mendadak Siauw Ling jadi sadar kembali karena
tajamnya sinar surva yang menyoroti matanya.
Dengan perlahan dia membuka matanya tampaklah kurang lebih beberapa depa dari
dirinya berada duduklah bersila Im Yang Cu sedang dirinya pada saat ini sedang berbaring
di atas tanah rumput yang lunak dan halus. Sedang di sekelilingnya tumbuhlah pepohonan
siong dengan amat lebatnya.
Kurasa lebih beberapa kaki dari tempat dimana dia berada terdepatlah sebuah tebing
yang dalamnya beratus-ratus kaki air terjun dengan derasnya memancar ke bawah
sehingga menimbulkan suara yang memekikkan telinga.
"Bocah, kau sudah bangun?"" Tanya Im Yang Cu dengan wajah tersenyum ramah.
Sambil mengucak-ucak matanya Siauw Ling bangun duduk.
"Dimanakah tempat ini?" tanyanya.
"Inilah gunung sebelah belakang dari kuil Yan Yan Koan," jawab Im Yang Cu sambil
tertawa. Ketika Siauw Ling dongak kepalanya terlihatlah kurang lebih tiga empat li dari tempat
itu berdirilah sebuah kuil dengan amat angkernya.
Ketika teringat akan pengalamannya semalam, dia mulai merasakan sepasang kakinya
linu dan sakit sekali. Dengan perlahan Im Yang Cu bangkit berdiri dan berjalan ke arah samping badannya.
"Kau merasa bersedih hati?" tanyanya sambil tertawa.
Siauw Ling menghembuskan napas panjang-panjang, dia merasa darahnya mengalir
dengan amat derasnya kecuali tulangnya merasa rada sakit tempat-tempat lain sama
sekali tidak merasa aneh.
"Aku sangat baik" sahutnya kemudian, "Heei! Tootiang! Apakah kau pernah melihat
enci Gak ku?" "Tidak!" jawab Im Yang Cu sambil tertawa. "Bilamana encimu pun rindu padamu aku
rasa tidak lama kemudian dia bakal datang untuk mencari dirimu."
"Lalu yang kemarin datang kemari bukan enci Gak?"
"Bukan!" sahut Im Yang Cu tertawa. "Bocah ciangbun suhengku itu walaupun memiliki
ilmu pengobatan yang amat lihay dan berilmu tinggi tetapi selamanya suka menyepi
sekalipun anak murid dari kuil sendiripun jarang bisa bertemu muka dengan dirinya. Heei"
kau yang bisa disembuhkan olehnya boleh dikata merupakan satu keuntungan yang luar
biasa?" "Hal itu ada apanya yang lucu," sambung Siauw Ling dengan cepat.
"Enci Gak pun bisa bantu aku menyembuhkan penyakit ini."
Mendengar perkataan tersebut Im Yang Cu lantas tertawa.
"Sekalipun dia bisa membantu kau untuk menyembuhkan penyakit ini tetapi jeleknya
pada saat ini tidak terang, bahkan mungkin jauh di ujung langit, untuk beberapa saat
lamanya bagaimana mungkin kita bisa mencari dirinya?""
Dengan perlahan Siauw Ling menundukkan kepalanya tidak beebicara lagi.
"Bilamana kau tidak suka mendengar perkataanku dan sebelum penyakit tersebut benar
sembuh sudah berjalan-jalan, bukan saja susah payah dari Cianbun suheng akan berlalu
bagaikan air bahkan ada kemungkinan penyakitmu itu bakal kambuh kembali, sampai saat
itu sekalipun enci Gak mu datang juga tidak akan dapat berjumpa lagi dengan dirimu."
Beberapa perkataan ini seketika itu juga hati Siauw Ling rada bergerak.
"Aaah benar!" pikirnya. "Bilamana aku mati karena sakit, maka selamanya tidak bakal
bisa bertemu dengan enci Gak."
Berpikir sampai disitu tidak terasa lagi dia lantas berkata, "Bilamana menginginkan aku
suka mendengarkan nasehatmu, hal ini tidaklah terlalu sukar tetapi kaupun harus mau
menerima satu permintaanku."
"Kau bicaralah!" ujar Im Yang Cu dengan perlahan. "Asalkan pinto bisa
melaksanakannya, tentu akan aku lakukan tanpa membantah."
Haruslah diketahui Bu-tong-pay merupakan salah satu partai yang terbesar di dalam
Bulim dan menerima penghormatan dari semua jago.
Bu Wie Tootiang maupun Im Yang Cu pun merupakan jago-jago yang berbakat paling
aneh selama ratusan tahun ini, bukan saja kepandaian silat mereka amat dahsyat melebihi
beberapa orang Too tiang pada angkatan semula bahkan kecerdikannya pun amat
sempurna. Tidak disangka karena ingin menggunakan seorang bocah cilik yang masih
tidak mengerti urusan untuk mencapai sesuatu maksud kini harus berbuat demikian
ramahnya terhadap diri Siauw Ling.
"Aku berdiam diri disini sih boleh," ujarnya Siauw Ling setelah berpikir sebentar. "Tetapi
bilamana enci Gak ku datang maka kalian harus memberitahukan berita ini kepadaku dan
membiarkan aku pergi meninggalkan tempat ini bersama-sama dengan dirinya."
"Baiklah! pinto kabulkan permintaanmu itu," sahut Im Yang Cu setelah berpikir
sebentar. Dengan perlahan Siauw Ling berjalan maju ke depan, sembari berjalan gumamnya
seorang diri, "Aku tahu, enci Gak ku tentu akan datang kemari untuk mencari aku!"
Im Yang Cu yang mendengat perkataan itu diam-diam menghela napas panjang.
Setelah itu sambil mempercepat langkahnya dia menggendong tubuh Siauw Ling.
"Bocah!" ujarnya sambil tertawa.
"Kemarin malam kau sudah berlari satu malaman hingga pingsan, setelah
mengorbankan tenaga murni pinto selama beberapa jam lamanya aku baru berhasil
menolong kau lolos dari lobang kematian. Sekarang kekuatan badanmu belum sembuh,
mari biarlah pinto yang membopong pulang."
Siauw Ling yang baru saja berjalan beberapa langkah segera merasakan sepasang
kakinya jadi lemas segera mengetahui kalau perkataan dari Toosu itu sedikitpun tidak
salah, tanpa membantah lagi dia membiarkan Im Yang Cu menggendong tubuhnya.
Dengan cepatnya Im Yang Cu lantas melakukan perjalanan, kurang lebih seperminum
teh kemudian dia sudah masuk ke dalam kuil.
Siauw Ling yang berada di atas pundak Im Yang Cu dapat melihat banyak sekali Toosu
yang berjalan bolak balik dijalan kecil yang terbuat dari batuan hijau itu, begitu bertemu
dengan Im Yang Cu mereka lantas merangkap tangannya memberi hormat dan menyingkir
kesamping memberi jalan. Dari sikap mereka yang sangat menghormati jelas
membuktikan kalau kedudukan dari Im Yang Cu ini di dalam Bu-tong-pay amat tinggi
sekali. Setelah melewati beberapa buah ruangan yang benar, terlihatlah sebuah tembok
pekarangan yang terbuat dari batu hijau menghalangi perjalannya.
Sambil mengeendong Siauw Ling, Im Yang Cu lantas berja;an masuk melalui pintu yang
berbentuk bulat. Mendadak tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau berkelebat menghalangi
perjalannya. ?"Susiok harap berhenti, ciangbun suhu lagi menerima tamu," ujarnya dengan suara
perlahan. "Tamu siapa" Kenapa sampai aku pun harus menyingkir?" tanya Im Yang Cu sambil
memandang wajah Toosu cilik berbaju hijau itu.
"Tecu tidak kenal" sahut si Toosu cilik berbaju hijau setelah termenung sebentar.
"Tetapi Ciangbun suhu sangat hormat sekali menghadapi dirinya, suhu memerintahkan
aku berjaga disini untuk melarang siapapun berjalan masuk. Bilamana Susiok ada urusan
tunggulah sebentar, biar tecu masuk ke dalam untuk memberikan laporannya."
"Tidak usah, biarlah sebentar lagi aku kembali," jawab Im Yang Cu kemudian.
Sambil menggendong tangan Siauw Ling dia lanats berjalan pergi dari situ.
Haruslah diketahui biasanya Im Yang Cu sangat menaruh rasa hormat terhadap
suhengnya, Bu Wie Tootiang yang suka hidup menyendiri dari gangguan urusan
selamanya selalu saja menyerahkan semua urusan kepada Im Yang Cu. Selama puluhan
tahun ini tidak perduli urusan apapun selalu Im Yang Cu lah yang membereskannya, siapa
tahu ternyata terhadap kedatangan tetamu ini dai suhengnya sudah mengharuskan dia
untuk menyingkir. Im Yang Cu segera mengajak Siauw Ling berjalan masuk ke dalam sebuah halaman kuil
yang kecil dan amat sunyi sekali.
"Bocah!" terdengar Im Yang Cu berkata sambil membawa Siauw Ling masuk ke dalam
ruangan tersebut. "Kau duduklah disini, setiap benda yang ada di dalam ruangan ini boleh
kau lihat tetapi janganlah sekali-kali memegangnya!"
Sinar mata Siauw Ling dengan perlahan menyapu sekejap kesekeliling tempat itu,
terlihatlah di atas dinding tergantunglah sebilah pedang serta sebuah kantungan kain di
atas meja pada dinding sebelah dalam terletak tiga batang anak panah emas yang
panjangnya ada tujuh, delapan coen. Di sampingnya terdapatlah dua buah cawan pualam
putih yang ditutupi dengan jain putih, entah barang apa yang terdapat didalamnya.
Agaknya Im Yang Cu merasa amat lelah tanpa memperdulikan diri Siauw Ling lagi dia
lantas duduk di atas pembaringan untuk semedi.
"Hmmm"! Barang-barang yang ada di dalam ruangan ini apanya yang heran" Aku tidak
akan melihat barang-barang itu dari pada harus dipandang hina oleh orang lain," pikirnya.
Diapun lantas memejamkan matanya dan bersandar dikursi.
Tetapi bagaimanapun sifat kebosanannya masih ada akhirnya diatidak kuasa untuk
menahan rasa ingin tahu yang semakin mencekam hatinya.
Semakin dia tidak ingin melihat maka rasa ingin tahu semakin besar.
Akhirnya tidak kuasa lagi dia segera berdiri dan berjalan mendekati meja tersebut.
Terlihatlah di depan ketiga batang anah panah emas itu masing-masing terukirlah
sebuah lukisan yang amat indah sekali.
Diam-diam lantas berpikir.
"Orang yang menggunakan pedang emas tentunya seorang jagoan yang berkepandaian
tinggi tetapi kenapa pada anak panah itu terukir lukisan yang begitu indahnya?"
Sinar matanya dengan perlahan beralih ke atas cawan yang ditutupi kain putih itu,
disanapun terukir juga sebuah lukisan yang amat indah.
"Entah apakah isi dari cawan itu?" pikirnya lagi.
"Kenapa diatasnya harus ditutupi dengan kain putih?" Biarlah aku sedikit menyingkap
kain putih itu untuk melihat apa isi dari cawan tersebut."
Berpikir sampai disini dia segera mengulu tangan kanannya untuk coba membuka kain
putih yang menutupi cawan tersebut.
"Jangan dipegang!" terdengar suara bentakan yang amat dingin berkumadang datang.
Dengan terkejut Siauw Ling menarik kembali tangan kanannya lalu menoleh ke
belakang. Jilid 9 Terlihatlah seorang Toosu cilik berusia lima, enam belas tahunan yang berdiri di depan
pintu dengan wajah yang angker, sepasang matanya melotot lebar, dan dengan tajamnya
memperhatikan dirinya. Pada saat itu Im Yang Cu pun sudah membuka matanya.
"Bocah!" ujarnya sambil tersenyum. "Di dalam cawan yang tertutup oleh kain putih itu
berisikan racun yang berbahaya, aku larang kau untuk memegangnya adalah bermaksud
baik." Siauw Ling segera merasakan wajahnya jadi panas, dengan perlahan dia
mengundurkan dirinya kembali ke tempat duduknya semula.
Toosu cilik itupun segera merangkap tangannya dari depan ruangan.
"Ciangbunjien ada perintah mengundang suhu untuk bertemu!" lapornya.
"Apakah tetamu itu telah pergi?"
"Tecu cuma mendapat laporan dari Cing Hok Suheng yang mengatakan suhu diundang
oleh Ciangbunjien, tentang apakah tamu itu sudah pergi atau belum Cing Hok Suheng
sama sekali tidak mengungkapnya."
Im Yang Cu segera menoleh dan memandang ke arah Siauw Ling, belum sempat dia
mengucapkan sepatah katapun terdengar si Toosu cilik itu sudah menyambung kembali
kata-katanya. "Ciangbunjien mengundang suhu untuk bertemu dengan membawa serta Siauw sicu
ini." Im Yang Cu segera mengangguk dan membawa serta Siauw Ling keluar. Mereka
berdua dengan cepatnya segera menuju kamar pembuat pil dari Bu Wie Tootiang.
Tampaklah pada saat itu sambil bergendong tangan Bu Wie Tootiang lagi berdiri di
depan biolop tersebut, sepasang matanya dengan terpesona sedang memandang api
berwarna hijau yang mengepul naik keangkasa itu, jelas wajahnya amat murung sekali.
Melihat akan hal itu Im Yang Cu segera merasakan hatinya tergetar.
"Menghujuk hormat buat Ciangbun suheng," ujarnya kemudian sambil merangkap
tangannya memberi hormat.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengangkat kepalanya memandang sekejap ke arah
Im Yang Cu, setelah itu sahutnya, "Sore tidak usah banyak adat, silahkan duduk."
Im Yang Cu tidak berani membantah, dia segera duduk di atas kursi yang sudah
tersedia di dalam kamar itu.
"Ciangbun suheng sengaja mengundang pinto ada urusan apa?" tanyanya.
O X O Dari sepasang mata serta perubahan wajah dari Bu Wie Tootiang ini dia sudah dapat
melihat kalau urusan ini sangat penting dan berbahaya sekali.
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang mengalihkan sinar matanya ke atas tubuh Siauw
Ling. "Bocah!" ujarnya dengan perlahan. "Sembilan partai besar dari seluruh Bulim beserta
para jagi dari sungai telaga tidak seorangpun yang tidak mengharapkan bisa memperoleh
anak kunci Cing Kong Ci Yau tersebut untuk membuka rahasia dari istana terlarang.
Walaupun pinto sendiripun mempunyai keinginan tersebut tetapi pinto tidak ingin
dikarenakan urusan ini mengakibatkan timbulnya satu pembunuhan masal di dalam
Bulim." Dia berhenti sebentar untuk tukar napas sesudah itu sambungnya lagi, "Walaupun anak
kunci untuk pembuka istana terlarang itu merupakan satu benda pusaka yang diinginkan
oleh setiap jago tetapi merupakan juga satu bibit bencana yang bakal mendatangkan
kehancuran buat dirinya sendiri. Tidak perduli siapapun yang menyimpan anak kunci Cing
Kong Ci Yau itu maka semua jago di Bulim akan mengalihkan seluruh perhatian
kepadanya, sekalipun kawan baik sendiri mungkin karena urusan inipun bakal menjadi
musuh! Heeei nama serta kedudukan sungguh mendatangkan bencana saja."
"Apa sangkut pautnya urusan ini denganku?" diam-diam pikir Siauw Ling dalam hati.
Tiba-tiba tampaklah wajah Bu Wie Tootiang sudah berubah jadi amat serius sekali,
gumamnya kembali, "Walaupun pinto tidak bermaksud untuk memperoleh barang pusaka
yang ada diistana terlarang tersebut, tetapi dari Socouw mau tidak mau harus pinto bawa
kembali." "Walaupun pinto tidak ingin mencampuri urusan dunia kangouw lagi tetapi di dalam
peristiwa ini mau tidak mau pinto terpaksa harus ikut campur, aku ingin kau sebagai


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

majikannya mengambil keputusan sendiri karena pinto tidak ingin memaksa orang."
"Suruh aku mengambil keputusan?" tanya Siauw Ling dengan wajah penuh
kebingungan. "Tidak salah, aku suruh kau orang mengambil keputusan!"
"Tapi, suruh mengambil keputusan apa?"
Dengan perlahan Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
"Baru saja pinto menerima beberapa orang jagoan berkepandaian tinggi dari Bulim
beserta dengan orang pendeta beribadat tinggi dari kuil Siauw Lim si."
"Apa tujuan mereka datang kemari?" sela Im Yang Cu dengan wajah berubah hebat.
Dengan perlahan sinar mata Bu Wie Tootiang menyapu sekejap ke arah Siauw Ling.
"Heeei" soal Siauw sicu ini."
"Hmm! Bagus" bagus sekali!" seru Im Yang Cu sambil mendengus dingin.
"Mereka tidak berhasil memperoleh jejak dari Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha kini
sudah mengalihkan perhatiannya terhadap bocah cilik ini!"
"Soal ini tak dapat menyalahkan diri mereka," ujar Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
"Coba bayangkan anak kunci Cing Kong Ci Yau mempunyai sesuatu rahasia yang amat
besar, bukan saja istana terlarang tersebut sudah disimpan barang pusaka dari empat
partai besar, masih ada pula pusaka dari enam orang jagoan sakti beserta berita mati
hidup dari puluhan cianpwee dari dalam Bulim. Barang siapa yang mempunyai hubungan
atau sangkut paut dengan kesepuluh orang jagoan Bulim ini dengan membawa semangat
serta keberanian mereka tentu pergi mencari berita dari anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut." "Tetapi bocah ini sama sekali tiada sangkut pautnya dengan soal anak kunci Cing Kong
Ci Yau itu, bukan saja tidak mengerti ilmu silat bahkan di dalam badannyapun sudah
bersarang satu penyakit yang sudah amat berat, kita tidak boleh berpeluk tangan saja
membiarkan mereka menyiksa bocah ini."
"Heeei, jagoan di dalam Bulim kebanyakan bersifat kejam dan telengas, bilamana bocah
ini sampai terjatuh ketangan mereka, maka dengan menggunakan keselamatan dari Siauw
Ling mereka tentu akan memaksa Gak Im Kauw serta Gak Siauw-cha untuk munculkan
diri. Kau menukarkan nyawa-nyawa bocah ini dengan anak kunci Cing Kong Ci Yau
tersebut, soal ini kita tak boleh mengabulkannya."
Sekali lagi Bu Wie Tootiang menghela napas panjang.
"Karena itu di dalam urusan ini seharusnya Siauw Ling mengambil keputusan sendiri,
bilamana ia tak suka tinggal disini buat apa kita paksa dia untuk tetap berada disini."
Im Yang Cu tahu sifat dari suhengnya ini amat tawar, jujur tegas dan bersifat adil,
karena itu tidak banyak membantah lagi. Sinar matanya dengan perlahan menyapu
sekejap ke arah diri Siauw Ling ujarnya, "Bocah! Asalkan kau sudah mengambil keputusan
dihati bilamana kau ingin meninggalkan tempat ini kami tidak akan memaksa. Jikalau kau
ingin tetap berada disini kami orang-orang dari Bu-tong-pay tentu akan melindungi dirimu
dengan seluruh tenaga, kami tidak akan membiarkan ada orang mengganggu dirimu."
"Cara bekerja dari orang-orang Bu-tong-pay sebagai satu partai sungguh berbeda
dengan cara bekerja dari Tiong Cho Siang-ku," pikir Siauw Ling.
Sinar matanya dengan cepat berputar, terlihatlah olehnya sepasang mata Bu Wie
Tootiang serta Im Yang Cu dipentangkan lebar-lebar dan lagi memperhatikan dirinya
tajam-tajam sedang pada wajah Im Yang Cu sendiri sudah penuh diliputi oleh penuh
harapan besar. Pikiran Siauw Ling dengan cepat berputar terus untuk beberapa saat lamanya dia tidak
dapat mangambil keputusan.
Dia merasa sikap Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu terhadap dirinya sangat baik jauh
lebih baik tetap tinggal disini, tetapi iapun merasa takut setelah dia berada disini
dikemudian hari bilamana Gak Siauw-cha datang mencari dirinya, Im Yang Cu dan Bu Wie
Tootiang tidak menyanggupi untuk melepaskan dirinya pergi.
Walaupun dia mengikuti Gak Siauw-cha hanya sebentar saja tetapi apa yang dilihat di
dalam dunia kangouw sudah amat banyak sekali, sehingga dalam hati kecilnya sudah
timbul kewaspadaan. Walaupun dia bisa mendengar dari nada perkataannya Im Yang Cu serta Bu Wie
Tootiang jauh lebih baik dari Tiong Cho Siang-ku tetapi di dalam hati dua orang tidak
berani percaya dengan begitu saja.
"Bocah, apa kau sudah mengambil keputusan?" Tanya Im Yang Cu dengan halus.
"Aku lagi berpikir" sahut Siauw Ling.
"Bocah!" seru Bu Wie Tootiang pula dengan ramah. "Jangan terlalu dipaksakan, apa
yang sedang kau pikirkan katakan saja."
"Bilamana aku menyanggupi untuk tetap tinggal disini, dikemudian hari bilamana enci
Gak datang mencari aku apakah waktu itu aku boleh ikut dia pergi?"
Agaknya Bu Wie Tootiang serta Im Yang Cu sama sekali tidak menyangka kalau dia bisa
mengajukan pertanyaan tersebut tak kuasa mereka jadi melengak dibuatnya.
Tampat Siauw Ling mengeluskan alisnya rapat-rapat wajahnya diliputi oleh keteguhan
hatinya. "Tootiang berdua adalah orang dari kaum beragama sudah tentu dengan orang-orang
jahat itu tidak ada miripnya, perhatian yang kalian berikan kepadaku selama beberapa hari
ini dalam hati aku merasa sangat berterima kasih sekali, bilamana kalian ingin aku
mengabulkan urusan ini harap Tootiang berdua suka menyanggupi dulu satu urusan!"
"Bocah baik, kau ingin mengajukan syarat?" seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
"Baiklah coba kau katakanlah?"
Sifat yang tawar dan welas kasih membuat dia orang sama sekali tidak tersinggung
oleh perkataan dari Siauw Ling yang amat bernafsu itu.
Sepasang mata Siauw Ling dipentangkan lebar-lebar wajahnya berubah jadi amat serius
sekali. "Bilamana kalian menyanggupi untuk lepaskan aku pergi bilamana dikemudian hari enci
Gak datang mencari aku maka aku suka tetap tinggal disini. Bilamana tidak mau,
biarkanlah aku dibawa pergi oleh orang lain."
"Bocah, tahukah orang lain tidak bakal bersikap ramah seperti kami?" tegur Im Yang Cu
memberi peringatan. "Aku tahu kalau hal itu tidak mungkin, tetapi soal itu tidak penting, asalkan aku bisa
menemukan cara untuk mati maka mereka tak akan bisa mengapa-apakan diriku dan
menggunakan au orang untuk mengancam enci Gak."
"Bocah cilik sungguh keras dihatimu," puji Bu Wie Tootiang sambil tertawa. "Sifatmu
benar-benar mengagumkan sekali, baiklah pinto kabulkan permintaanmu itu."
Siauw Ling benar-benar merasa terharu, titik air mata mulai menetes keluar dari
sepasang matanya, dengan cepat dia jatuhkan diri berlutut dan jalankan penghormatan
besar. "Tootiang berhati welas kasih, sekali pandang saja aku sudah tahu kalau kau adalah
seorang yang teramat baik. Tootiang sama sekali berbeda dengan Tiong Cho Siang-ku
yang amat jahat itu."
Walaupun usianya masih muda tapi pikiranya tajam, beberapa perkataannya itu
diucapkan keluar dari dasar hati kecilnya.
Bu Wie Tootiang tersenyum, dia lantas menoleh ke arah Im Yang Cu dan berkata,
"Kalau memangnya Siauw sicu suka tinggal disini maka di dalam kuil harus mengadakan
persiapan-persiapan, coba kau perintahkan seluruh anak murid yang ada di dalam kuil
untuk mengadakan penjagaan yang ketat, bilamana ada orang ddatang berkunjung
dengan mengikuti aturan laporkan dulu kepadaku."
Di dalam ingatan Im Yang Cu selamanya belum pernah dia melihat suhengnya merasa
begitu tegang tidak perduli menghadapi peristiwa yang bagaimanapun Bu Wie Tootiang
paling banter cuma tertawa tawar saja dan tak terpikirkan di dalam benaknya.
Sekarang secara tiba-tiba melihat dia orang sudah merasa begitu tegang terhadap
beberapa orang pengunjung tersebut dalam hati lantas mengerti kalau musuh-musuhnya
bukanlah orang sembarangan.
Ia tak berani berlaku ayal lagi dengan cepat tubuhnya bangun berdiri dan berlalu
keluar. Setelah dilihatnya Im Yang Cu keluar dari ruangan Bu Wie Tootiang baru mengalihkan
sinar matanya ke atas wajah Siauw Ling.
"Bocah!" ujarnya dengan serius. "Tahukah kau ornag bahwa pada saat ini dirimu sudah
menjadi incaran dari para jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim?"
"Aku ada beberapa hal merasa tidak paham!" seru Siauw Ling kurang tahu.
Air muka Bu Wie Tootiang berubah semakin serius lagi, ujarnya dengan perlahan,
"Selama puluhan tahun ini pinto selalu melarang anak murid Bu-tong-pay untuk mencari
gara-gara dan mengikat permusuhan dengan dunia kangouw, tapi demi siauw sicu bukan
saja kami dari Bu-tong-pay sudah ikut tersangkut di dalam urusan perebutan kunci wasiat
yang terjadi di dalam sungai telaga bahkan sampai pinto sendiripun sudah terseret pula di
dalam kancah pergolakan ini."
Baru saja Siauw Ling bermaksud untuk mangatakan sesuatu terdengarlah genta dipukul
berlalu-lalu. Air muka Bu Wie Tootiang segera berubah sangat hebat.
"Siapa lagi yang sudah datang?" serunya.
Siauw Ling yang melihat kejadian itu tiba-tiba menghela napas panjang, pikirnya,
"Sungguh tak tersangka olehku seorang bocah yang tidak mnegerti ilmu silat seperti
akupun dicari-cari dan dikejar-kejar oleh jago-jago berkepandaian tinggi dari Bulim. Heeei"
Suara gema dengan perlahan berhenti sudah, mendadak terlihatlah sesosok Toosu cilik
berbaju hijau berlari masuk dengan langakh tergesa-gesa, sambil merangkap tangannya
memberi hormat, lapornya, "Kang Lam Su Kongcu datang menyambangi Ciangbun suhu."
Air muka Bu Wie Tootiang kembali berubah hebat, tetapi hanya di dalam sekejap saja
sudah berubah kembali tenang seperti sedia kala.
"Persilahkan tetamu untuk minum teh dipendopo. Sebentar lagi aku datang bertemu!"
perintahnya sambil mengulap tangan.
Toosu cilik itu menyahut dan mengundurkan diri dari sana.
Dengan wajah yang amat serius Bu Wie Tootiang segera menoleh ke arah Siauw Ling.
"Bocah!" ujarnya halus. "Selama hidup pinto tidak pernah ikut campur di dalam urusan
orang lain oleh karena itu dihadapan para enghiong hoohan kau harus menjawab dengan
sejujurnya, kalau kau rela berada dikuil Sam Yuan Koan tanpa paksaan urusan lainnya biar
pinto sendiri yang mengambil tindakan."
"Aku akan ingat-ingat terus!" sahut Siauw Ling mengangguk.
"Baiklah! Mari kita berangkat," ujar Bu Wie Tootiang kemudian sambil bangkit berdiri.
"Kau boleh ikut sekalian untuk menambah pengetahuanmu tentang Su Kongcu yang
namanya sudah menggetarkan seluruh Bulim itu."
Setelah pergaulannya selama beberapa hari dengan Gak Siauw-cha mengalami kejadian
yang mengerikan, nyalinya pada saat ini bertambah besar. Sambil busungkan dada dia
lantas berjalan ke depan dengan langkah lebar.
Bu Wie Tootiang yang melihat sikapnya yang amat gagah itu tidak terasa sudah
menganggukkan kepalanya. "Bocah bagus" katanya "Kang Lam Su Kongcu masing-masing memiliki kepandaian silat
yang tinggi walaupun pinto sendiri belum pernah menemui mereka berempat tetapi
menurut berita yang tersiar kepandaian silat dari mereka berempat sudah mencapai pada
taraf melukai orang dengan bunga, kau orang sama sekali tak berilmu demi
keselamatanmu sendiri maka sewaktu bertemu keempat orang itu janganlah meninggalkan
tubuh pinto sejauh tiga depa, sehingga bilamana waktu kepepet pinto dapat turun tangan
menolong." "Aku tak takut mampus, namun aku dapat mendengarkan perkataan Tootiang."
"Bocah! Nyalimu sungguh amat besar."
Sambil menggandeng tangan Siauw Ling mereka lantas keluar meninggalkan ruangan
tersebut. Siauw ling dengan kencangnya mengikuti terus dari belakang tubuh Bu Wie Tootiang
sewaktu dia berjalan melewati jalan kecil yang berasalkan batu putih terasa olehnya
pemandangan disekitar tempat itu sudah amat berbeda.
Para Toosu yang hilir mudik melalui jalanan kecil itu kini sudah tidak tampak lagi, tetapi
disetiap jalanan maupun tempat-tempat yang strategis pasti ada seorang Toosu yang
menyoren pedang dan memegang hut tim melakukan penjagaan.
Tojin-tojin itu menaruh rasa hormat yang berlebihan terhadap diri Bu Wie Tootiang.
Beberapa kaki, sebelum ciangbunjinnya tiba mereka sudah tiba merangkap tangannya
memberi hormat dan tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Setelah melewati dua buah ruangan, pemandangan kembali berubah. Terlihatlah di
tengah kebun bunga yang amat luas berdirilah sebuah loteng yang berwarna merah. Di
atas sebuah pilar terpancanglah sebuah papan nama yang bertuliskan "Pendopo tenang."
Empat penjuru penuh ditumbuhi pohon Siong, air mengalir dengan amat tenangnya
waktu itulah Siauw Ling baru bisa melihat kalau di sekeliling pendopo tersebut dikelilingi
dengan sebuah sungai yang airnya amat tenang dengan di sampingnya tumbuh pohon
Liauw yang ramping semampai. Sebuah jembatan berwarna merah menghubungkan
tempat tersebut dengan pendopo itu.
Dua orang Toosu cilik berbaju hijau dengan masing-masing berdiri dikedua belah sisi
jembatan melakukan penjagaan.
Sewaktu dilihatnya Bu Wie Tootiang telah tiba disana mereka pada merangkap
tangannya menjura dan menyambut kedatangannya.
Tidak menanti Bu Wie Tootiang mengajukan pertanyaan Toosu cilik yang ada disebelah
kiri sudah berkata terlebih dahulu.
"Tetamu sudah tiba, saat ini lagi menanti dalam ruangan pendopo dengan dikawani
oleh Im Yang susiok."
"Bocah, ingat!" ujar Bu Wie Tootiang lagi kepada Siauw Ling sambil menaiki jembatan
tersebut. "Janganlah sekali-kali kau meninggalkan diriku sejauh tiga depa."
"Baik!" Selesai melewati jembatan yang panjang tiga kaki itu mereka berdua masuk ke dalam
ruangan pendopo. Terlihatlah suasana di dalam ruangan pendopo tersebut amat bersih dan diatur sangat
indah. Waktu itu Im Yang Cu lagi mengawani empat orang pemuda perlente untuk
bercakap-cakap. Melihat munculnya Bu Wie Tootiang disana Im Yang Cu terburu-buru bangun berdiri
dan memberi hormat kepada ciangbunjiennya. "Mengunjuk hormat buat suheng" serunya.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas pada bangun berdiri memberi hormat,
tetapi empat pasang mata dengan tanpa terasa sudah dialihkan ke atas tubuh Siauw Ling.
Bu Wie Tootiangpun dengan cepat merangkap tangannya membalas hormat.
"Maaf pinto dapat menyambut sendiri atas kedatangan dari kalian berempat, silahkan
duduk, silakan duduk," ujarnya sambil tertawa.
Keempat orang pemuda perlente itupun lantas tertawa.
"Kami sekalian sudah lama mengagumi nama besar dari Tootiang. Kunjungan kita kali
ini harap Tootiang suka menerima dengan hati terbuka."
"Pinto sudah lama tidak berkelana di dalam Bulim, terhadap banyak jago-jago anehpun
jarang bertemu ini hari bisa bertemu dengan saudara berempat hal ini benar-benar
merupakan satu peristiwa yang amat menyenangkan sekali."
Sehabis berkata dia lantas duduk disisi Im Yang Cu.
"Tootiang!" terdengar sipemuda perlente yang duduk dipaling ujung sebelah kiri
tertawa. "Kau adalah seorang pendeta beribadat tidak seperti kami manusia-manusia
kasar yang setiap hari cuma bergaul di dunia kangouw saja."
"Aaah, mana" mana!" seru Bu Wie Tootiang tersenyum.
Dia mendehem beberapa kali, kemudian sambungnya lagi, "Walaupun pinto amat
jarang berkelana di dalam dunia kangouw tapi terhadap nama besar dari Kang Lam Su
Kongcu sudah lama mendengarnya cuma aku belum tahu nama-nama dari?"
Sinar matanya segera dialihkan ke arah Im Yang Cu.
"Sute! Cepat kau perkenalkan kepadaku."
"Tidak usah!" potong orang yang di ujung kiri.
"Biarlah kami perkenalkan diri sendiri saja! Cayhe adalah It Cang Hong atau segulung
angin Thio Ping!" "Cayhe adalah Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam" sambung yang lain.
Pemuda perlente yang ketiga lantas tersenyum, sambungnya pula, "Cayhe adalah Lak
Gwat Soat atau enam bulan salju Lie Poo!"
"Dan cayhe adalah Han Kiang Gwat atau rembulan di tengah telaga Cau Kuang" seru
pemuda perlente yang keempat dingin.
"Selamat bertemu" selamat bertemu!" seru Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Dengan perlahan sirembulan di tengah telaga angkat kepalanya memandang ke atas
atap rumah lalu dengan suara yang amat dingin ujarnya, "Kedatangan kita empat
bersaudara ini hari adalah bertujuan ingin menanyakan satu urusan kepada diri Tootiang!"
"Silahkan bicara, pinto akan mendengarkan."
"Keadilan dan keramahan dari Tootiang sudah pujian dari semua orang," ujar
sisegulung angin Thio Ping sambil tertawa. "Sudah tentu terhadap nama besar kami
berempat pernah mendengar bukan?"
"Tentu" tentu?"
"Di dalam dunia kangouw banyak menyiarkan kalau kami bersaudara melakukan
pekerjaan paling kejam dan telengas." sambung sienam salju Lie Poo tanpa menunggu
jawaban dari Bu Wie Tootiang lagi. "Tetapi menurut pandangan kami bersaudara,
kesemuanya ini hanyalah berita jempolan saja."
Wajah Bu Wie Tootiang masih kelihatan amat ramah, dia tersenyum.
"Nama besar dari saudara-saudara sekalian sudah menggetarkan seluruh dunia
kangouw, siapa yang tidak tahu."
Sisegulung angin Thio Ping tertawa nyaring memutuskan pembicaraan dari Bu Wie
Tootiang sambungnya, "Berita yang tersiar di dalam dunia kangouw tak dapat dipercaya,
ini hari kita bersaudara sengaja berkunjung kemari dikarenakan telah lama mengagumi
nama besar dari Tootiang sehingga kami sengaja datang hendak menyambungi kami
dengar sewaktu Im Yang Too heng berkelana kedaerah selatan pulangnya telah membawa
seorang jaminan manusia, entah benarkah urusan ini?"
Perkataan yang diucapkan oleh orang ini amat tajam dab keras membuat Im Yang yang
mendengar tak kuasa lagi sudah mengerutkan alisnya rapat-rapat, wajahnya berkerut
sedang bibirnya sedikit bergerak hendak mengatakan sesuatu.


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi perbuatannya ini berhasil dicegah oleh kedipan mata dari Bu Wie Tootiang.
Sinar mata dari Ngo Tok Hoa atau siracun lima bunga Ong Kiam dengan amat tajamnya
menyapu sekejap diri Siauw Ling.
"Tootiang adalah seorang ciangbunjien dari satu partai besar, apa yang diucapkan
olehmu sudah tentu kami berdua akan mempercayainya."
Beberapa perkataan ini jelas bernadakan menyindir, dia tidak memberi kesempatan
buat Bu Wie Tootiang untuk menyingkir dari jawaban tersebut.
"Perkataan dari saudara-saudara sekalian terlalu berat" jawab Bu Wie Tootiang sambil
tertawa tawar. "Sute dari pinto memang pernah membawa datang seorang bocah yang
berpenyakitan tetapi bukannya barang tanggungan!"
"Lalu tahukah Tootiang apakah orang itu?" tanya sirembulan di tengah telaga Cau
Kuang dengan dingin. "Pinto siap mendengarkan penjelasan dari saudara."
"Hahahahaha" kami empat saudara selamanya mondar mandir tak pernah jual lagak.
Tahukah Tootiang akan Gak Im Kauw?" tanya sienam bulan salju sambil tertawa.
"Ilmu pedang keluarga Gak sudah terkenal diseluruh kolong langit, walaupun pinto
tidak pernah menemui diri Gak Im Kauw tetapi sudah lama mendengar nama besarnya."
"Lhaaa" dialah putra dari Gak Im Kauw itu."
?"?"-http://ecersildejavu.wordpress.com/?"?"?"""Siapa yang bilang" Aku bernama Siauw Ling!" teriak sang bocah busungkan dadanya.
Empat pasang mata dari Kang Lam Su kongcu bersama-sama segera dialihkan ke atas
tubuh Siauw Ling. "Kau bernama Siauw Ling?" tanyanya.
"Sedikitpun tidak salah!"
Lalu Gak Siauw-cha itu apamu?" desak simanusia racun.
"Dia adalah enciku."
"Hmmm! kau she Siauw sedang dia she Gak bagaimana bisa jadi dia adalah encimu?"
Siauw Ling yang usianya masih amat muda dan belum mengerti banyak urusan kini
didesak oleh perkataan tersebut seketika itu juga dibuat kelabakan untuk sesaat lamanya
dia berdiri termangu-mangu disana.
Terdengar sisegulung angin Thio Ping tertawa kembali.
"Tidak perduli kau she Siauw atau bernama Gak Ling, pokoknya yang jelas kau orang
mempunyai sangkut paut serta hubungan yang amaterat dengan Gak Im Kauw, bukankah
begitu?" Angin, bunga, salju, serta rembulan emapt orang kongcu yang sudah lama bergaul satu
sama lainnya saat ini hati masing-masing sudah saling tembus, tak perduli di dalam ilmu
silat, perkataan atau gerakan mereka mempunyai kerja yang amat bagus sekali. Satu
dingin, satu panas yang lain maju dan yang lainnya mundur sehingga membentuk satu
kerja sama yang sukar untuk ditembusi.
"Hahahaha" terdengar simanusia lima racun tertawa terbahak-bahak kembali. "Dari
pihak orang-orang sembilan partai besar selalu saja menganggap kami empat orang
bersaudara melupakan orang-orang dari kalangan Hek to sebaliknya dari kawan-kawan
Hek to menganggap kami sebagai orang-orang dari golongan Pek to, ada kemungkinan
dikarenakan pada kebiasaannya kami berempat kurang bergaul sehingga dimusuhi oleh
kedua belah pihak" waaah" karena itu kami terpaksa harus memperbaiki kedua belah
pihak." Beberapa perkataan ini kedengarannya amat biasa bahkan secara samar-samar
memperdengarkan kesusahan mereka. Padahal yang sesungguhnya secara diam-diam dia
lagi memberi peringatan kepada Bu Wie Tootiang kalau mereka bersaudara bisa lurus bisa
hitam, bisa kawan bisa musuh selamanya melakukan pekerjaan tanpa memandang bulu
sehingga baik itu dari kalangan Hek to maupun dari kalangan Pek to asalkan berbuat salah
kepada mereka maka urusan selanjutnya bakal panjang.
Bu Wie Tootiang yang sudah memiliki latihan mental yang amat kuat walaupun
mendengar perkataan itu tidak lebih dia cuma tersenyum saja, sebaliknya Im Yang Cu
tidak kuasa untuk menahan hawa amarahnya lagi, dia segera tertawa dingin.
"Perkataan dari Ong heng terlalu panjang dan ruwet membuat orang sukar untuk
mengerti, lebih baik kalau bocara sedikit lebih jelas lagi sehngga kami bisa mengerti
maksudnya." "Haaa, haaa, haa, maksud kami bersaudara tujuan kita kali ini berkunjung di atas
gunung adalah dikarenakan persoalan bocah cilik ini saja, tanpa mempunyai sesuatu
maksud hati yang lain," jawab sienam bulan salju Lie Poo sambil tertawa terbahak-bahak.
Orang ini amat licik dan banyak akal, perkataannya jelas bernadakan tajam tetapi tidak
ingin sampai melukai orang.
"Ada apa dengan bocah cilik ini?" tanya Im Yang Cu pura-pura berlagak pilon.
"Kalau tidak ada urusan kami empat bersaudara tidak akan menyambangi kuil Poo
Thian, apalagi nama besar Bu-tong pun sudah amat terkenal di dalam Bulim, bilamana
karena soal ini sehingga mengikat satu bibit bencana bukankah hal ini cuma
mendatangkan kerepotan saja dikemudian hari?" seru sirembulan di tengah telaga Cau
Kuang. "Bilamana Too heng berdua sudi mengabulkan permintaan kami untuk membawa pergi
Siauw Ling, bocah ini maka permusuhan bisa kita punahkan sampai disini saja bahkan
diantara kita bakal mengikat suatu tali persahabatan yang erat."
Baru saja Im Yang Cu hendak mengumbar hawa amarahnya kembali berhasil dicegah
oleh Bu Wie Tootiang. "Maksud baik dari kalian berempat disini pinto ucapkan terima kasih terlebih dahulu.
Cuma?" mendadak terdengar suara langkah manusia yang amat tergesa-gesa bergema
datang dari pintu luar pendopo tersebut, kemudian tampak seorang memberi hormat dan
angsurkan sebuah kartu merah yang besar.
Melihat kartu merah tersebut Bu Wie Tootiang segera mengerutkan alisnya dengan
perlahan diua membuka dan mulai dibacanya.
"Choe Koen San dari daerah Chow Choe mohon bertemu."
Dia lantas mengulapkan tangannya mengundurkan Toosu cilik itu, ujarnya, "Menerima
seorang tetamu terhormat lagi ada baiknya juga, cepat kau undang dia kemari, katakan
saja pinto sedang menanti di dalam pendopo."
Toosu cilik itu menyahut dan dengan tergesa-gesa berlalu dari sana.
Si Kang Lam Su Kongcu, walaupun tidak mengetahui siapakah yang sudah datang,
tetapi mendengar ciangbunjien dari Bu Wie Tootiang ini mempersilahkan dia masuk hal ini
membuktikan kalau kedudukan orang tersebut di dalam Bulim amat tinggi, tidak kuasa lagi
mata mereka mulai melirik kekartu merah itu.
Siapa tahu sejak semula Bu Wie Tootiang sudah menduga kalau Hong, Hoa, Soat serta
Gwat empat orang kongcu itu bisa melakukan perbuatan tersebut, karena sewaktu
meletakkan kartu merah tersebut dia sengaja menaruh terbalik.
Di dalam hati segulung angin Thio Ping tahu keadaan pada saat ini kurang
menguntungkan bagi mereka apalagi kini sudah kedatangan seorang lagi, hatinya jadi
mulai merasa ragu-ragu. "Bu Wie Tootiang di dalam kuil sudah kedatangan jago kepandaian tinggi dari mana
lagi?" tanyanya. "Kalian berempat boleh menunggu, sebentar lagi orang itupun muncul disini, buat apa
kalian merasa cemas." sahut Bu Wie Tootiang sambil tertawa.
Sirembulan di tengah telaga Cau Kuang mendadak mengangkat tangannya menggapai
kartu merah yang terletak di atas meja disisi Bu Wie Tootiang itu secara mendadak saja
melayang ke tengah udara meluncur ketangannya.
"Kami bersaudara selamanya memiliki sifat yang cepat ingin tahu," katanya. "Biarlah
kami lihat dulu kartu merahnya baru melihat orangnya sehingga untuk menyapapun lebih
leluasa," katanya penuh kesombongan.
Bu Wie Tootiang dengan amat tenang dan seriusnya duduk tak bergerak di tempat
semulaterhadap perbuatannya itu dia orang sama sekali tidak mengambil perduli.
Sebaliknya Im Yang Cu diam-diam merasa amat terkejut, pikirnya "Berita yang tersiar di
dalam Bulim mengatakan bahwa kepandaian silat dari Hong, Hoa, Soat, serta Gwat empat
orang Kongcu amat lihay sekali kelihatannya perkataan tersebut sedikitpun tidak salah
cukup gapaiannya tadi untuk menghisap kartu nama jelas menunjukkan tenaga dalamnya
sudah dilatih hingga mencapai pada taraf yang amat sempurna, agaknya suheng tidak
suka mencegah jaga dikarenakan hal ini."
Tiba-tiba manusia lima racun Ong Kiam mengulapkan tangan kanannya pula ke depan,
kartu nama yang lagi melayang sampai di tengah perjalannya sudah kena direbut olehnya.
"Haaah, haaah, aku kira jagoan dari mana, tidak tahunya dia orang adalah Coe Koen
San," ujarnya tertawa setelah melirik sekejap ke atas kartu tersebut.
"Apakah sitangan besi peluru sakti Coe Loen San?" Sambung sienam bulan salju Lie
Poo. "Bukan dia lalu ada siapa lagi?"
"Hm! Sinar kunang-kunang juga ingin berebut dengan sinar sang surya! Sungguh tak
tahu diri!" ejek Cau Kuang dengan dingin.
"Haaah, haah, tapi permainan ketiga puluh enam jurus ilmu Liong Hauw Loen Hoa nya
masih tidak jelek juga," sambung sisegulung angin Thio Ping pula.
"Hm. Aku lihat cuma pelurunya saja yang mengerikan orang. Bilamana membicarakan
soal senjata rahasia maka senjatanya adalah paling lihay."
Bu Wie Tootiang yang mendengar mereka saling mengejek tidak mau ambil perduli, dia
tetap tersenyum-senyum saja.
Sebaliknya Im Yang Cu sendiri walaupun merasa kurang puas terhadap sikap empat
orang tersebut tapi berhubung ada dihadapan suhengnya dia terpaksa menahan sabar.
Beberapa saat kemudian tampaklah seorang Toosu cilik berbaju hijau dengan
memimpin seorang kakek tua berbadan tegap dengan jenggot putih terurai sepanjang
dada dan menyoren sepasang senjata roda Jie Gwat Loen berjalan masuk ke dalam
dengan langkah lebar, orang itu bukan lain adalah Coen Koen San adanya.
Di tangan kanan orang ini membawa dua buah peluru besi. Langkahnya tegap
membuat sikap serta keadaannya amat gagah sekali.
"Coe Tayhiap, angin apa yang sudah meniup dirimu datang ke atas gunung yang sungyi
ini" Silahkan duduk! Silahkan duduk!"
"Haaah, haaah, terima kasih! Kunjungan dari cayhe yang mengganggu ketenangan
Tooheng harap suka dimaafkan."
Sinar matanya dengan cepat berputar dan memperhatikan diri Siauw Ling.
"Eei, kau benar-benar ada disini," tegurnya.
"Empek Coe, apa kau baik-baik saja?" sapa Siauw Ling sambil tertawa.
"Aku baik, aku sangat baik."
"Hey tua bangka she Coe, bagus sekali. Kau sudah lupa dengan kami empat
bersaudara?" teriak sehulung angin Thio Ping dengan suara keras.
Lima jari tangan Coe Koen San dengan cepatnya disentil sehingga membuat kedua butir
peluru itu saling berputar dengan amat kerasnya dan menimbulkan suara berdentingan
yang amat nyaring, sinar matanya dengan perlahan menyapu sekejap ke atas wajahnya
Kang Lam Su Kongcu itu. "Oow, kiranya Hang, Hoa, Soat, serta Gwat empat orang kongcu!" serunya kemudian.
"Tidak salah!" sambung Ong Kiam.
"Tentu kau orang masih ingat dengan kami empat bersaudara bukan?"
"Heee, heee, loohu memang pernah mendengar orang membicarakan kalian
berempat." "Hmm! Tua bangka, kalau bicara lebih baik sedikit hati-hati!" bentak Cau Kuang.
Saking khekinya seluruh tubuh Coe Koen San gemetar amat keras, jenggotnya
berwarna putih berkibar tiada hentinya.
"Kau berani memaki loohu?" bentaknya dengan gusar sambil menuding diri Cau Kuang.
"Agaknya kau hendak memaksa loohu untuk kasih sedikit hajaran padamu."
Sinar mata dari sisegulung angin Thio Ping berputar tiada hentinya, satu pikiran
berkelebat di dalam benaknya.
"Hmm! Coe Koen San inipun merupakan seorang jagoan yang terkenal di dalam dunia
kangouw. Bilamana kami berempat bisa membunuh Coe Koen San hanya di dalam satu
hajaran, pertama bisa menyelesaikan urusan ini kedua bisa kasih sedikit peringatan pula
bagi Toosu-Tooosu hidung kerbau dari Bu-tong-pay demikianlah pikirnya dihati."
Dia lantas tertawa dingin kemudian bangun berdiri.
"Coe Koen San!" serunya dingin. "Selamanya barang siapa saja yang berani berlaku
kurang ajar dihadapan kita berempat maka itu orang akan tak bernyawa lagi, kau sudah
berkali-kali menyebut sebutanmu sendiri dengan loohu. Soal ini boleh dikata merupakan
satu sebab yang kuat kami untuk bunuh dirimu."
Saking khekinya air muka Coe Koen San berubah jadi hujau membesi. sepasang
matanya melotot lebar-lebar, lain dengan langkah lebar berjalan mendekati diri Kang Lam
Su Kongcu, agaknya dia orang siap-siap hendak turun tangan memberi peringatan kepada
mereka berempat. Siapa tahu justru tindakannya inilah merupakan satu kesalahan besar, ia tak
menyangka kalau pihak lawan sudah mengadakan persiapan dan mengharapkan dalam
dua tiga jurus bisa membinasakan dirinya guna diperlihatkan terhadap Toosu-Toosu dari
Bu-tong-pay. Di dalam pendopo yang tenang dan sunyi seketika itu juga diliputi oleh nafsu
membunuh yang amat besar.
Coe Koen San segera mengalihkan peluru besinya ketangan kiri, sedang tangan
kanannya dengan disertai tenaga dalam yang amat dahsyat siap-siap melancarkan
serangan. Tetapi sewaktu dilihatnya di sekeliling dinding pendopo tersebut dipenuhi dengan
lukisan-lukisan serta tulisan-tulisan bakan di atas meja bambu terdapat pula berpuluhpuluh
cawan antik membuat dia orang diam-diam lantas berpikir, "Bilamana aku harus
saling bertukar satu pukulan dengan Kang Lam Su Kongcu dan menimbulkan hawa
pukulan yang keras, bukankah barang-barang antik yang ada di dalam pendopo ini akan
hancur berantakan." Dia jadiorang paling polos dan jujur, berpikir sampai disitu maka dia dengan
membatalkan serangannya dan mengundurkan diri dengan langkah lebar.
Sejak semula sisegulung angin Thio Ping salurkan hawa murninya sebesar dua belas
bagian ke arah tangannya, dia sudah bersiap sedia asalkan Coe Koen San memperlihatkan
sedikit gerak-gerik yang mencurigakan maka dengan sekuat tenaga dia akan balas
melancarkan serangan balasan.
Dia percaya walaupun pukulan berhawa dinginnya ini tidak berhasil memukul luka Coe
Koen San tetapi sedikit-dikitnya bisa memaksa dia untuk rubuh terluka parah.
Kini melihat Coe KOen san secara mendadak mengundurkan dirinya kemabli, hal ini
membuat sisegulung angin Thio Ping merasa urusannya berbeda diluar dugaannya, tak
terasa dia jadi melengak dibuatnya.
"Coe Koen San kenapa kau tidak turun tangan?" ejeknya.
"Pendopo ini adalah ruangan untuk menerima tetamu dari partai Bu-tong. Bagaimana
aku merasa tega untuk merusak barang-barang yang ada disini" bilamana kau sungguhsungguh
bermaksud untuk berkelahi baiknya kita mencari tempat kosong diluar saja."
"Haaaah" haaaah"boleh dihitung kau masih tahu kekuatanmu sendiri," ejek Thio Ping
lebih lanjut. "Loohu bukannya takut kepadamu cuma saja aku orang tidak ingin merusak barang
milik orang lain," jawab Coe Koen San tegas.
Bu Wie Tootiang yang melihat perkataan maupun perbuatannya amat terus terang,
jujur dan polos membuat dalam hatinya lantas timbul rasa simpatik, pikirnya dalam hati,
"Wajar Kang Lam Su Kongcu sudah kelihatan amat aneh, nafsu membunuhnyapun sudah
meliputi wajah. Bilamana dia orang bermaksud turun tangan tentu akan menemui
kerugian. Karenanya dia lantas angkat bicara, "Saudara-saudara sekalian semuanya adalah
tetamu yang datang dari jauh," ujarnya. "Tidak perduli apa maksud kalian bilamana baru
bertemu sudah berkelahi bukankah hal ini hanya merusak pandangan saja."
"Perkataan dari Tooheng sedikitpun tidak salah" sahut Coe Koen San membenarkan.
Walaupun sifatnya polos dan kekanak-kanakan tapi dia paling tidak suka kehilangan
panorama sebagai jagoan, perkataannya ini benar-benar diucapkan dengan amat gagah.
Sisegulung angin Thio Ping yang melihat siasatnya tak termakan, saking jengkelnya ia
tertawa dingin tiada hentinya.
"Bagus" bagus sekali! Kiranya sitangan sakti peluru besi Coe Koen San tidak lebih
adalah manusia yang takut mati."
Coe Koen San yang di dalam hati sudah mengambil keputusan bulat tidak suka
terganggu lagi oleh hal-hal yang tidak dinginkan, walaupun saat ini Thio Ping mengejek
dan menantang dirinya dengan cara bagaimanapun dia orang sampai kena dipancing.
Melihat sikapnya itu sienam bulan salju Lie Poo dengan menggunakan ilmu untuk
menyampaikan suara segera berkata kepada Thio Ping.
"Toako, Coe jie ini adalah seorang jagoan berkeras kepala yang sudah terkenal di
dalam sungai telaga, kalau dia sudah bilang tidak mau turun tangan di dalam pendopo
maka dia tak akan tergerak hatinya walaupun mendengar perkataan apapun, bilamana
kau benar-benar suka iuti saja perkataannya untuk keluar dari pondopo ini?"
Thio Ping tersenyum kemudian dengan perlahan bangun berdiri.
"Hei tua bangka she Coe, apakah kau benar-benar ingin turun tangan dilapangan
kosong diluar pendopo?" tanyanya.
"Bilamana saudara ingin turun tangan tentu loohu akan melayaninya."
"Baiklah kalau begitu aku akan ikut saja permintaanmu itu."
Sehabis berkata demikian lantas meninggalkan tempat duduknya dan berjalan keluar
dari dalam pendopo diikuti simanusia lima racun Ong Kiam, sienambulan salju Lie Poo
serta sirembulan di tengah Cau Kuang.
Pada saat itulah mendadak terasa adanya sesosok bayangan manusia berkelebat
datang, tampak kembali ada seorang Toosu cilik berbaju hijau berlari mendatangi sambil
membawa dua lembar kartu nama merah darah.
Melihat akan hal itu sisegulung angin Thio Ping segera merasakan hatinya rada
tergerak, pikirnya, "Entah manusia dari mana lagi yang sudah datang" lebih baik aku
batalkan dili pertempuran dengan tua bangka she Coe ini?"
Karenanya dia lantas menghentikan langkahnya dan berkata, "Coe Koen San di atas
gunung Bu-tong san kembali datang tetamu terhormat, kita tidak boleh melenyapkan rasa
hormat terhadap majikan yang hendak menerima tetamunya, aku lihat lebih baik kita


Rahasia Kunci Wasiat Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

undurkan sampai nanti saja."
Coe Koen San termenung berpikir sebentar, akhirnya dia mengangguk dan
mengundurkan dirinya kembali ke tempat semula.
Bu Wie Tootiang menerima kartu nama itu dan dilihatnya sebentar, kemudian sambil
dikerutkan alisnya rapat-rapat dia tertawa.
"Bagus" bagus sekali! Tidak disangka ini hari kuil kami sudah kedatangan begitu
banyak jago-jago, silahkan tetamu untuk masuk" serunya keras.
Toosu cilik itu menyahut dan dengan langkah lebar mengundurkan diri dari pendopo.
"Tootiang! tolong tanya kali ini sudah kedatangan jagoan dari mana lagi?" tanya
simanusia lima racun Ong Kiam sambil melirik sekejap ke arah kartu nama tersebut.
"Ooooh kedua orang ini?" seru Bu Wie Tootiang sambil tersenyum manis.
"Nama besar mereka tidak ada di bawah nama Hong, Hoa, Soat serta Gwat empat
kongcu!" Dengan menggunakan kesempatan inilah sirembulan dengan telaga Cau Kuang
mengulapkan tangannya. "Dapatkah kartu nama itu diberikan kepada kami untuk melihatnya sebentar?" katanya.
Segulung tenaga sedotan yang amat keras dengan cepatnya menerjang ke depan.
Air muka Bu Wie Tootiang berubah hebat.
"Hmmm! Bilamana sicu benar-benar ingin melihat tidak usahlah menggunakan cara
yang demikian kasarnya!" serunya sambil tertawa dingin.
Ujung jubahnya segera dikebutkan ke depan, dengan mengerahkan tenaga dalamnya
yang amat keras kedua lembar kartu nama itu satu di depan yang lain di belakang
mendadak mempercepat daya luncurnya bagaikan kilat cepatnya melayang ke arah diri
Cau Kuang. Cau Kuang yang berilmu tinggi dan bernyali besar segera mendengus dengan
menggunakan jari tangan kanannya dia menjepit datangnya kartu nama yang pertama.
Tetapi pada saat jari tangannya bersiap-siap hendak menjepit datangnya kartu nama
itulah mendadak kecepatan daya luncur dari kedua lembar kartu nama tersebut melambat
dari keadaan semula. Pada saat itulah Cau Kuang baru bisa melihat kalau datangnya lembar kartu nama itu
dengan gerakan memutar, hatinya jadi amat terkejut.
Tetapi kini dia sudah mengulurkan tangannya siap menerima, untuk menarik kembali
serangan malu karena dengan paksaan diri dia menyambar juga kartu itu.
Siapa tahu baru jarinya menempel kartu itu mendadak gerakannya dipercepat kembali.
sreeet"! dengan cepatnya lembaran kertas itu meluncur dari sisi jarinya.
Kisah Pedang Di Sungai Es 16 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Pahlawan Harapan 13

Cari Blog Ini