Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Bagian 1
PERTARUNGAN TERAKHIR Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-84S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat atau pun peristiwa
hanyalah kebetulan belaka
1 Bukit yang gundul dan gersang itu kini mulai
diselimuti kabut tebal. Malam merangkak semakin larut. Angin bertiup dari arah Selatan dengan kencangnya. Lolongan panjang srigala terdengar dari kejauhan merubah suasana hening
jadi kian mencekam.
Langit gelap, dan rembulan pun menerangi
mayapada dengan sinarnya yang timbul tenggelam karena tertutup awan hitam. Petir menggelegar dengan
kerasnya. Kilat memberkas menerangi perbukitan.
Di dalam sebuah goa tampaklah samar-samar
beberapa sosok tubuh manusia yang sedang tidur lelap dengan tangan terhimpit di
ketiak, kaki terlipat karena tak kuasa menahan dingin malam yang menusuk
sampai ke tulang sumsum.
Di antara mereka ada seorang pemuda berkulit
coklat, berpakaian seorang pendekar. Pemuda kulit hitam tanpa pakaian dan hanya
memakai semacam selongsong sebagai pembungkus alat keperkasaannya.
Paling kanan ada pula sepasang kulit putih, yang lelaki berpakaian compang
camping, sedangkan yang wanitanya hanya menutupi tubuhnya dengan selembar
kain sarung, Sedikit, demi sedikit rembulan meredup sinarnya. Bintang pun tak lagi berkelap-kelip menghiasai
cakrawala yang luas. Cuaca kian gelap. Hujan turun
rintik-rintik membasahi bumi diiringi bunyi halilintar yang keras. Dengkuran
nafas keempat orang itu bertambah keras. Mereka tak lagi memikirkan bahaya
yang mengancam karena tak dapat lagi menahan rasa
kantuk dan lelah yang teramat sangat.
Di antara mereka ada yang sedang diliputi perasaan gembira bercampur haru karena pertemuan
bapak beranak yang telah beberapa lama terpisah.
Mereka tidur nyenyak sekali dibuai mimpi masing-masing hingga tak mendengar lolongan anjing hutan memecah udara disusul kilat halilintar yang menemani turunnya hujan, membentangkan cahayanya
sehingga mengusik pemuda berkulit sawo matang yang
tidur persis di mulut goa.
Perlahan-lahan pemuda itu membuka kelopak
matanya, kemudian mengangkat badannya dan memandang ke seluruh penjuru goa yang menjadi tempat
mereka berlindung untuk sementara.
Ia melihat si gadis kulit putih yang tersingkap
kain penutup dadanya hingga buah dada yang besar
mengencang tersebut keluar. Kalau saja ada seorang
lelaki hidung belang di antara mereka, tak tahulah apa yang akan terjadi.
Untunglah yang melihat pemandangan erotis di dalam goa itu adalah seorang pemuda
tampan yang memiliki keimanan kuat dan berbudi luhur. Dialah Parmin si Jaka Sembung.
Seorang pemuda kulit hitam yang tidur meringkuk di samping Parmin adalah Awom panglima suku
Kaimana. Ada pun gadis kulit putih tersebut adalah
Yulia yang selama ini dinobatkan sebagai kepala suku Kaimana. Sedangkan lelaki
tua kulit putih yang tidur di sampingnya adalah Yan Van Boerman ayahnya sendiri
Parmin segera beranjak ke tempat Yulia membaringkan tubuh. Dia betulkan kain penutup tubuh
mulus itu dengan hati-hati sekali
Kemudian Parmin berkelebat ke luar menuju
sungai yang berada di kaki bukit. Dia bersihkan tubuh lalu berwudlu. Tak lama
kemudian Parmin menghadap
ke sesuatu tempat yang ia anggap sebagai kiblat, seraya mengangkat kedua tangan untuk bertakbir.
Parmin memejamkan kedua matanya agar bisa
lebih berkonsentrasi dalam komunikasi kepada Sang
Maha Pencipta. Di tengah malam yang dingin itu Jaka
Sembung melakukan shalat tahajudnya dengan tafakur. Selang beberapa lama kemudian, Parmin telah
berada kembali di dalam goa. Dipandanginya tubuhtubuh temannya yang lelap tidur dengan pandangan
kasih sayang, Parmin tersenyum iba seraya berkata
dalam hati; "Kasihan, mereka begitu lelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh dengan bahaya."
Parmin duduk sambil merenung sampai akhirnya matanya telah tertutup rapat-rapat.
Dia pun tertidur lelap menghabiskan sisa malam yang dingin itu.
Malam telah pergi, mentari dari ufuk Timur
mulai mengintip dan suara kicauan burung-burung
bersahut-sahutan. Namun tubuh-tubuh yang lelah
masih tertidur dengan lelapnya, kecuali Jaka Sembung yang terlihat duduk di
mulut goa setelah melakukan
sholat Subuhnya.
Semburat sinar matahari mulai memasuki goa
itu. Berkas sinar yang menyilaukan jatuh ke wajahwajah mereka yang masih tidur.
Satu demi satu dari mereka membuka kelopak
matanya perlahan-lahan.
"Uuuuh, hari sudah siang rupanya," celetuk Awom sambil menggeliatkan tubuhnya
yang tegap berotot itu.
"Ya, saking lelahnya, kalian tidur dengan nyenyak sekali tanpa memperhatikan di mana kalian sedang bermalam," sambut Parmin yang kini sudah tampak bersih dan segar karena
baru saja mandi di sungai itu.
Ketiga orang itu pun segera turun ke sungai
untuk mencuci badan.
Setelah terasa segar, kembali mereka ke dalam
goa, sementara Parmin dan Awom pergi mencari umbiumbian untuk sarapan pagi.
Beberapa saat kemudian, sambil membakar
bahan makanan ala kadarnya itu, mereka berbincangbincang. "Bagaimanakah asal mulanya anda berada di
pedalaman Papua ini?" tanya Parmin kepada Van
Boerman yang masih saja belum mau lepas memeluk
anak gadisnya. "Tatkala kapal kami hancur di serang badai,
aku terpisah dengan Yulia," ujarnya seraya memulai ceritanya.
"Entah berapa lama tubuhku terombangambing gelombang laut yang luas itu. Dengan bergantung pada sebilah papan pecahan dinding kapal, aku
mengadu nasib antara hidup dan mati. Tak hentihentinya aku berdoa memohon pertolongan yang Maha
Kuasa agar menyelamatkan jiwaku. Aku tak tahu di
mana anakku Yulia, juga pendeta Yorgen yang selama
ini menemaniku dalam tugas missionari dan aku juga
tak tahu ke mana teman-temanku yang lain. Aku
hanya berpikir tentang diriku bagaimana caranya agar selamat." ungkapnya sambil
mengerutkan kening.
"Cuaca saat itu dingin sekali dan angin laut
bertiup sangat kencang. Aku tak dapat memandangi
lautan di depanku, karena sebagian laut yang luas itu telah ditutupi kabut tebal
hingga rembulan pun tak
sanggup menembusnya. Hari mulai larut malam. Tubuhku terasa menggigil tak dapat menahan dingin
yang menusuk-nusuk tulang sumsum. Perutku terasa
perih karena lapar, aku tak dapat berbuat sesuatu untuk menangggulanginya. Aku
hanya terus berharap
dan berharap semoga Tuhan berkenan menyelamatkan
jiwaku," ujar Van Boerman sambil matanya menerawang seolah membayangkan kembali
peristiwa yang mengerikan itu.
"Waktu terasa sangat lambat bergeser, suasana
malam gelap gulita telah hilang diganti dengan cuaca pagi yang cerah dengan
munculnya sang mentari. Burung-burung camar berterbangan di atas kepalaku.
Mereka seakan merasa sedih melihat apa yang ku alami di tengah laut lepas seperti itu. Barulah ketika matahari bergeser ke Barat,
tampak sebuah sekoci yang
ditumpangi oleh kelasi kapal yang hancur itu, mendekat kepadaku." ucapnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut pirang.
"Atas persetujuan di antara mereka aku diangkat dan dimasukkan ke dalam perahu itu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan
lamanya kami hanya melihat
air tanpa tepi. Pada suatu hari kami melihat dataran, kami menemukan sebuah
pulau yang sangat asing
yang kemudian kami ketahui bernama Papua," akunya sambil melototkan mata.
"Baru saja kami mendarat di pulau itu, mendadak kami disambut oleh pribumi yang masih primitif
dengan sambutan yang tidak sebagaimana layaknya
seorang tuan rumah. Mereka menyerang kami dengan
tombak-tombak dan senjata tajam lainnya. Kami yang
hanya berempat tak tahan mengimbangi keroyokan
orang-orang primitif itu walau telah berusaha mengadakan perlawanan sedapat mungkin. Akhirnya dengan
lari lintang pukang kami dapat menyelamatkan diri ke dalam hutan belantara." Van
Boerman berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya.
"Berhari-hari kami tersesat di dalam hutan belukar. Perut yang memang beberapa lama tak terisi
mulai terasa perih dan berpilin-pilin. Di dalam ransel yang berhasil kami bawa
terdapat beberapa potong roti
yang sudah hancur terendam air laut sehingga sulit
untuk dimanfaatkan sebagai pengganjal perut.
Setelah secukupnya beristirahat, kami melanjutkan perjalanan melalui hutan belukar yang hanya
ditumbuhi pohon-pohon sebatas bahu. Kami merayap
dengan menyibak semak-semak pohon dengan kedua
tangan, hingga tak terasa pakaian kami robek terkoyak patahan-patahan dahan
pohon. Tepat pada saat matahari tenggelam, akhirnya
kami sampai ke sebuah perbukitan, bukit batu ini!
Kami beristirahat semalaman di bukit tandus ini. Suasananya persis sekarang ini,
ada yang berbaring di sudut dan ada pula yang lelap tidur di dekat mulut goa
ini." kata Van Boerman sambil menunjuk-nunjuk.
"Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan membersihkan diri di sungai yang ternyata ada di kaki bukit berbatu ini. Sepanjang
hari kami menikmati sekeliling bukit ini. Salah seorang dari kelasi kapal itu
ternyata punya keahlian dalam bidang batu-batuan dan
bertambangan. Ia menyatakan bahwa ternyata di bukit
batu ini terdapat bijih emas.
Kemudian kami coba buktikan hasil penyelidikan Simon Ban Derlang itu bersama-sama dengan jalan menggali batu-batuan di lembah bukit tandus dan
gersang ini. Namun ternyata setelah bermingguminggu kami menggali tanpa mengenal panas atau hujan, hasilnya tetap nihil.
Lama-kelamaan kami yang menggali tanah mulai ragu-ragu. Tetapi Simon mulai berubah watak, mulai memaksa dan bersikap tangan besi. Bila ada yang
membangkang, Simon tidak segan-segan menghajar
kami, sampai akhirnya salah seorang dari kami ada
yang nekad melarikan diri dengan membawa barangbarang seadanya, dan celakanya ranselku yang berisi
al-kitab dan rosario itu ikut terbawa," Van Boerman
menghentikan kisahnya sejenak untuk bernafas kemudian melanjutkannya kembali.
"Entah bagaimana nasibnya dan aku heran bagaimana rosario itu sampai berada di tanganmu, Yulia?" Van Boerman bertanya pada anak gadisnya sambil mencium rosario yang kini
ada di tangannya.
"Kami mendapatkannya dari seorang suku kanibal!" jawab Yulia sementara itu Van Boerman tertunduk merenungkan nasib
kawannya yang mungkin sudah menjadi santapan orang-orang suku pemakan
daging manusia itu.
Tak terasa hari semakin tinggi. Sang mentari
sudah mengeluarkan kekuatannya sehingga tak ayal
lagi cuaca sudah berubah sangat panas memanggang
bukit yang gersang dan tandus itu. Segeralah mereka
menuruni puncak bukit menuju ke tempat yang agak
teduh yang ditumbuhi pepohonan.
Dari sini mereka menentukan langkah selanjutnya untuk mencari jejak pendeta Yorgen yang
mungkin terdampar di pulau ini juga.
Sore hari itu Parmin dan Awom mulai bekerja
membuat rakit dari batang-batang pohon yang agak
kecil. Dengan rakit itu mereka menuju ke hulu sungai agar perjalanan mereka
lebih cepat dan aman.
Setelah hampir satu hari mereka menempuh
perjalanan, Parmin melihat suatu dataran yang agak
mudah untuk ditempuh dengan berjalan kaki. "Kita mendarat di sini, Awom!"
Dengan cekatan Awom mendorong rakit tersebut dengan batang kayu panjang sampai ke dasar
sungai hingga sampailah ke tempat yang dimaksudkan
oleh Parmin. "Kau tambatkan tali rakit pada tonggak itu.
Awom! Sewaktu-waktu kita bisa menggunakan rakit ini
kembali!" ujar Jaka Sembung.
Setelah mengamankan rakit tersebut mereka
melanjutkan perjalanan dengan memasuki jalan setapak yang melintasi hutan belantara itu dengan formasi Parmin dan Awom sebagai
pemandu jalan, sedangkan
Yulia dan ayahnya. Van Boerman mengikuti dari belakang. Mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadiran sesosok tubuh yang senantiasa membayangi langkah-langkah mereka.
Pada saat yang tepat sosok tubuh itu menyer
Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gap Yulia dan ayahnya ke dalam semak belukar dengan mulut terbekap. Parmin dan Awom segera mendengar suara gemerisik dedaunan semak dan segera
membalikkan tubuh sehingga mereka melihat bahwa
Yulia dan ayahnya sudah tidak mengikuti mereka lagi.
Baru saja Parmin akan melangkah untuk berbuat sesuatu, mendadak kaki kirinya tersandung akar
pohon yang ternyata merupakan suatu perangkap. Tak
ayal lagi setelah benda itu putus, pohon yang terletak di tanah tiba-tiba
melesat ke udara bersamaan dengan itu kaki Parmin terjerat dan tubuhnya
terlontar ke atas. Melihat hal itu Awom bermaksud melabrak dengan bersenjatakan tombak, tetapi Parmin berteriak.
"Awon! Jangan melawan, menyerah saja!"
Awom mengikuti apa yang diinginkan Jaka
Sembung karena dia yakin bahwa Parmin sedang merencanakan sesuatu yang paling baik.
Selang beberapa lama kemudian tubuh Parmin,
Awom, Yulia dan ayahnya Yan Van Boerman tak berkutik lagi dengan tubuh terikat kuat.
Manusia-manusia hitam dan buas itu lalu
mengusung Parmin dan kawan-kawannya seperti babi
hutan buruan menuju perkampungan mereka.
*** 2 Beberapa jam kemudian setelah melewati jalan
setapak, hutan belukar dan sungai kecil, kelompok
suku Papua itu telah sampai di perkampungan mereka
yang terdiri dari belasan rumah panggung berbentuk
kerucut yang terbuat dari daun-daun kering, ijuk dan ilalang. Letak rumah-rumah
primitif itu berjajar me-lingkari sebuah halaman yang cukup luas.
Di tengah halaman perkampungan itu terdapat
kerangkeng-kerangkeng yang terbuat dari bambu berbentuk teralis yang memang telah dipersiapkan untuk
para tawanan dan mangsa mereka.
Yulia dan ayahnya dijebloskan ke dalam kerangkeng sebelah Selatan dengan pengawalan ketat.
Sedangkan Parmin dan Awom masing-masing di kerangkeng sebelah Timur dan Barat, sehingga dengan
demikian secara kebetulan Parmin dan Awom dapat
mengawasi kedua orang kulit putih itu dari perbuatan-perbuatan orang-orang suku
pemangsa tersebut.
Parmin tersungkur dihempaskan dengan kasar
ke lantai kerangkeng. Ketika ia mengangkat kepalanya, terlihatlah di hadapannya
seorang berjubah putih berjubah hitam sudah lebih dahulu berada di dalam kerangkeng tersebut.
"Uuuh! Siapakah anda?" tanya Parmin.
Dengan penuh wibawa orang berjubah hitam
dan berkalung salib menjawab sambil tersenyum.
"Aku adalah pendeta Yorgen!"
Betapa terkejut bercampur gembira Jaka Sembung mendengar pengakuan orang yang di hadapannya yang ternyata adalah orang yang selama ini dicarinya. "Aku sangat gembira dapat berjumpa dengan
anda!" kata Parmin.
Pendeta Yorgen seorang lelaki Belanda berusia
enam puluhan, berwajah selalu cerah dengan dahi lebar bercahaya, kumisnya tipis dan bertaut dengan
janggutnya yang lebat. Semua itu membuat penampilannya tampak anggun dan arif.
"Kulit anda sawo matang... Kurasa anda bukanlah pribumi pulau ini!" pendeta Yorgen meneruskan perkataannya sambil menduga
dari mana asal suku
tawanan baru ini.
"Betul! Aku berasal dari pulau Jawa, sebuah
pulau yang merupakan bagian kecil dari kepulauan
Nusantara." Parmin menimpalinya sambil terus bertanya. "Sudah berapa lamakah
anda berada di sini?"
"Hampir setahun aku dikurung seperti ayam!
Tapi anehnya mereka tidak membunuhku!" dengan
nada sedikit heran
Suasana hening sejenak. Mereka saling beradu
pandang dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Parmin kemudian melanjutkan ucapannya;
"Aku membawa berita gembira untuk anda,
pendeta...! Tuan Yan Van Boerman dan putrinya Yulia
telah berada di sini juga. Jika tidak terhalang dinding kerangkeng ini, anda
dapat melihat mereka di sebelah Barat kerangkeng kita.
Malam mulai merambat dan dataran pantai
Nabire yang terletak di teluk Sarera itu mulai redup tenggelam dalam buaian
malam. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak membelah tepian pantai.
Angin bertiup sepoi-sepoi dan bintang pun bertaburan menghiasi cakrawala yang sunyi senyap. Perlahan-lahan bintang-bintang penghias cakrawala itu
mulai hilang karena pergeseran waktu menuju dini hari. Pergantian itu mulai terasa setelah terdengar kokok
ayam hutan serta kicauan burung di atas rantingranting pohon. Parmin masih asyik berbincang-bincang panjang lebar dengan pendeta Yorgen karena mereka berdua tak dapat memejamkan mata. Mendadak mereka
dikagetkan oleh beberapa orang anggota suku primitif yang mendorong dengan kasar
pintu kerangkeng. Kemudian menarik tubuh Parmin keluar kerangkeng
dengan todongan tombak-tombak mengancam. Melihat
perlakuan tersebut terhadap Parmin tak hentihentinya pendeta Yorgen berdoa demi keselamatan
Pendekar Gunung Sembung itu. Dengan suara gemetar
dia memberikan semangat kepada Parmin,
"Semoga kau selamat, Nak!"
Parmin dengan pasrah mengikuti makhlukmakhluk buas itu membawanya pergi sambil berkata
dalam hati, "Mau dibawa ke mana lagi aku ini?"
Parmin terus digiring menuju halaman yang telah banyak dipadati orang-orang suku papua pemakan
daging manusia yang menawannya. Ada yang duduk
bersila mengitari api unggun yang berada di tengahtengah mereka, ada yang menari-nari dan ada pula
yang menabuh gendang dengan irama yang menyentak-nyentak sehingga membuat suasana menjadi hiruk
pikuk. Sesaat kemudian suasana bising itu berubah
menjadi hening seakan mereka sedang memanjatkan
doa dalam upacara tradisionil suku. Mereka berdiri
membungkuk kemudian duduk kembali.
Ketika Parmin sampai di arena upacara, laksana ada yang mengkomandoi suasana hening itu serentak berubah seperti semula, pecah dengan sorak sorai.
Parmin terkejut ketika melihat siapa yang duduk di singgasana kepala suku di tengah-tengah kerumunan makhluk-makhluk buas dan ganas itu.
"Astagfirullah, dia lagi!" desisnya dalam hati.
Manusia bertopeng tengkorak yang sudah lama
dikenalnya itu bangkit dari singgasananya sambil
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menyambut
kedatangan seorang tawanan besarnya. Parmin digiring dengan perlakuan yang sangat kasar.
"Makhluk iblis itu sungguh berbahaya kalau
dibiarkan hidup! Aku harus dapat mengenyahkannya
walaupun aku tahu ia mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi dariku!" tekad Jaka
Sembung dalam hati.
Atas perintah manusia bertopeng itu, Parmin
digiring ke dalam sebuah arena yang berbentuk lingkaran tonggak-tonggak kayu
rapat berjajar setinggi bahu.
"Mau diapakan aku ini?" pikir Parmin.
Setelah masuk di pintu masuk arena tersebut,
Parmin dihempaskan mereka sambil mengancamnya
dengan ujung-ujung tombak. Kemudian mereka bergegas meninggalkan Parmin seorang diri. Tak berselang
beberapa lama dari arah hadapan Parmin berdiri dibukalah sebuah pintu kandang. Serta merta penghuni di
dalamnya, yang tak lain seekor babi hutan yang ganas dan buas dengan taring
melengkung runcing di mon-congnya, menghentak-hentakkan kakinya hingga menimbulkan kepulan debu dan kerikil, siap untuk mencabik-cabik tubuh pendekar kita.
Bersamaan dengan itu pula para penonton hiburan maut itu bersorak-sorai dengan suara penuh
nafsu membunuh, seakan hendak meruntuhkan tebing-tebing bukit Serera. Memang, seandainya saja yang menjadi mangsanya itu
manusia tolol yang tak menguasai ilmu silat sudah menjadi santapan babi hutan
yang garang itu. Tapi lain halnya dengan Parmin si
Pendekar Gunung Sembung, sebelum binatang itu
mendekatinya, maka dengan gerakan yang sangat manis dia meloncat bersalto berkali-kali di udara sambil berusaha melepaskan tali
ikatannya. Tatkala tali pen-gikat tangannya putus, para penonton itu kaget bukan
kepalang apalagi ketika tiba-tiba Jaka Sembung melompat sambil merampas tombak
pataka upacara yang
berhias tengkorak kepala manusia dan bulu-bulu burung yang dipegang oleh seorang tokoh agama suku
Papua kanibal. Dengan tombak pataka tersebut Parmin kembali memasuki gelanggang untuk siap-siap. Para penonton yang sedikit terkejut kini gembira sekali dengan sorak sorainya melihat
tawanan mereka meneruskan
pertandingan. Tapi apa yang terjadi selanjutnya mere-ka lebih terkejut lagi,
karena Parmin menggunakan
tombak itu bukan untuk menghantam babi hutan, melainkan untuk loncat melewati kalangan bambu dan
penonton dan langsung melesat menuju singgasana
kepala suku dengan lentikan yang sangat mempesona.
*** 3 Manusia bertopeng menyeramkan yang sedang
asyik menyaksikan pertandingan maut antara Parmin
dan babi hutan, dengan gesit melesat dan menghindar
meninggalkan tempat duduknya selagi Parmin meluncur di udara dengan batu loncatan pada kepala-kepala para pengawalnya. Tapi
Parmin si Jaka Sembung tak
kalah gesit dan cepatnya. Dia menginjakkan kakinya
pada ujung-ujung tombak yang runcing, para pengawal yang berderet itu untuk mengejar buronannya sambil berteriak mengancam lawannya.
"Jangan lari! Aku akan membuka topengmu itu
hari ini!"
Namun orang bertopeng dan berjubah merah
itu terus berlari menuju puncak bukit berbatu.
"Jangan coba-coba menghindar! Aku kini semakin yakin bahwa kaulah orangnya! Ku akui juga
bahwa kau benar-benar luar biasa!" ujar Jaka Sembung mulai mengetahui siapa
lawan gelap yang selalu
membayangi setiap langkahnya di Papua ini.
Namun orang bertopeng itu semakin tak memperdulikan ucapan-ucapan Parmin yang pedas, bahkan dia sebaliknya tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejek.
"Jika kau belum puas karena dendammu belum terbalas, maka di sinilah kita bertempur habishabisan! Buka topengmu!!" Parmin tak henti-hentinya memaki untuk memancing
kemarahan lawan, namun
dengan santai insan bertopeng itu menjawab.
"He... he... he...! Memang sekarang saatnya satu lawan satu! Kau kira aku telah mampus oleh senjata-senjata tahi kucing itu" Buahh! Jangan bertepuk
tangan dulu, monyet! Walau nasibku agak sial dalam
pengejaran mencabut nyawamu, tapi hari ini ajalmu
akan tiba, monyet Sembung! Selain terbalas dendam
keluargaku, namaku akan menggemparkan dunia persilatan karena kematianmu!"
"Jangan takabur! Kekuatanmu sudah mulai
berkurang! Walaupun kau punya andalan pukulan
maut yang bisa membakar itu, namun aku tahu kau
telah kehilangan sebelah tanganmu!" ejek Parmin sambil memasang kuda-kuda dan
mempersiapkan tenaga
dalamnya. Dengan gerakan yang indah dia melesat ke
arah lawannya yang telah siap menyambut serangan
itu dengan mengerahkan seluruh ilmunya.
"Sekarang bukalah topeng iblis
mu, hiyaaaatt...!!"
Tak ayal lagi tenaga dalam dua tokoh silat, itu
kini bertemu. Laksana besi berani kedua tangan mereka saling bertumpu seakan tak bisa lepas sampai menimbulkan suatu reaksi berupa kepulan asap. Matahari yang menyaksikan pertarungan akbar itu kian kemilau mengeluarkan panasnya yang membakar kulit. Sinarnya berbias-bias karena cepatnya gerakan mereka
berdua. Tak terasa mereka sudah bertarung lebih dari seratus jurus. Butir-butir
keringat telah bercucuran dari seluruh pori-pori tubuh mereka, sehingga membuat
seluruh pakaian mereka basah kuyup.
Siang berganti malam, suasana di atas bukit
berbatu itu kini sedikit diterangi oleh sinar rembulan yang hampir menyabit.
Tubuh mereka tak nampak,
hanya bayang-bayang hitam yang berkelebat kian ke
mari bagaikan dua ekor burung malam yang sedang
bertarung habis-habisan. Orang-orang suku Papua
yang buas tercekam menyaksikan kehebatan ilmu mereka berdua memandang tanpa berkedip. Dalam hati
mereka berdoa agar kepala sukunya yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan maut itu.
Dua hari dua malam pertarungan itu berlanjut
sudah. Pada suatu saat, tubuh Parmin tergedor oleh
serangan lawan sehingga kakinya tergelincir dan tak
ampun lagi tubuhnya jatuh terperosok dengan deras
ke lereng bukit itu. Tetapi belum lagi lawan bertopeng itu melontarkan serangan
berikutnya Parmin telah siap siaga dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat
tinggi. Dua tenaga dalam kini saling bertubrukan di udara, menimbulkan getaran
hebat menyebabkan bukit batu
itu terasa bergetar.
Keringat kian deras mengucur seperti biji-biji
jagung. Beberapa saat kemudian mata, Parmin mulai
memerah dan dari sudut-sudutnya mulai meleleh cairan berwarna merah.
Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cairan itu terus mengalir seperti anak sungai.
Beberapa saat sesudah itu darah hitam mulai meleleh, kali ini dari lobang
hidung, telinga dan mulut. Tubuh Jaka Sembung kini mulai condong dan oleng
pertanda kekuatannya mulai habis untuk selanjutnya tentu menuju kematian! Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada
Parmin mencoba bertahan, namun tubuhnya bertambah condong dan akhirnya roboh ke tanah. Sedangkan
lawannya masih tetap tegak tak tergoyahkan.
Laskar suku kanibal yang sejak tadi menyaksikan pertarungan dahsyat itu kini menyerbu dengan
rasa tak sabar ingin mencincang tubuh Parmin yang
sudah tergeletak tak berdaya. Namun di saat yang gawat itu suara teriakan terdengar dari arah belakang
mereka, "Tahaaann!!"
Pasukan itu berbalik dan apa yang dilihatnya
ternyata suara itu datangnya dari kepala suku mereka.
Sambil keheranan mereka saling beradu pandang dan
bertanya-tanya. Tubuh yang sudah tak berdaya dan
sudah semestinya harus mereka cincang, kenapa kini
dicegahnya"
"Biarkan dia hidup!! Aku tak ingin dia mati begitu cepat! Aku akan membuatnya mati perlahanlahan!" ucapnya dengan penuh nafsu untuk menyiksa lawannya, sambil mengarahkan
telunjuknya ke suatu
tempat. "Masukkan kembali dia ke dalam kerangkeng!
Besok kita akan mengiris dagingnya sedikit demi sedikit!" Tubuh Parmin yang
sudah tak berdaya dan ba-bak belur itu kembali diusung, diiringi sorak sorai
kemenangan, kemudian mereka menghempaskannya
dengan kasar ke dalam kerangkeng.
Pendeta Yorgen yang sedang menanti Parmin
dengan cemas, segera bergegas menghampiri tubuh
yang sudah tak berdaya itu.
"Ya, Tuhan! Apa yang mereka telah lakukan"
Siksaan yang kejam! Dia tak sadarkan diri!" keluh pendeta itu sambil membuat
gerakan tangan yang
membentuk salib di dada.
Berjam-jam lamanya Parmin tak sadarkan diri.
Selama itu pula pendeta Yorgen terus mendampinginya
sambil berdoa dengan khusuk.
"Oh, Bapa yang di surga ampunilah hamba-Mu
ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Tapi aku yakin Bapa akan
memberinya pertolongan. Karena
aku yakin dia berada di jalan-Mu, Ya Allah!"
Parmin mulai siuman dari pingsannya sambil
mengucap dua kalimat syahadat, "Lailaha Ilallah Wa-Ashadu Anna Muhammadar
Rosulullah."
Pendeta Yorgen yang melihat Parmin sudah siuman, dia gembira dan terus memandangi wajah pendekar muda yang penuh semangat dalam menentang
segala keangkara-murkaan di muka bumi itu.
"Dia sudah mulai sadar... Kepalanya bergerak
dan mulutnya komat kamit!" ucapnya dalam hati.
Tubuh Parmin tiba-tiba bangun perlahan-lahan
dan duduk tegap bersila sambil mengatur pernafasannya. Kemudian dia menggerakkan tangannya serta matanya perlahan-lahan dipejamkan seraya berucap,
"Bismillahir Rahmanir Rahim...?"
Setelah itu kepulan asap keluar dari segenap
puri-pori tubuhnya. Pendeta Yorgen yang menyaksikan
pemandangan itu terbelalak kagum. "Ya, Tuhan! Apa yang sedang terjadi"
Mukjizat"!"
Belum lagi rasa kagum terlepas dari benaknya,
kini dikagetkan dengan sesuatu yang lebih dahsyat la-gi.
"Oh, kaki balai-balai yang didudukinya itu menembusi lantai kerangkeng!"
Pada puncak semadhi itu Parmin tiba-tiba melihat dengan jelas bayangan almarhum gurunya Ki Sapu Angin yang berambut panjang putih hingga bahu
dan kumis serta jenggot yang lebat warna putih pula
yang berkata dengan penuh wibawa.
"Parmin, muridku! Jurus 'Wahyu Taqwa' adalah
jurus larangan yang sangat dahsyat! Sebagaimana kau
ketahui ilmu silat Gunung Sembung adalah warisan
dari Sunan Gunung Jati, seorang Wali Kutub yang
bersemayam di Gunung Jati Cirebon... Dengan jurus
'Wahyu Taqwa' itu pula beliau berhasil menghalau kebathilan yang datang dari orang-orang kaum syirik dan murtad yang coba-coba
menghalangi penyebaran agama Islam, di tanah Jawa. Jika jurus itu sudah kau
gunakan dan ternyata belum mampu mendobrak pertahanan musuh, harus kau sempurnakan dengan semadi sampai puncaknya. Di saat itu kau berada dalam titik pertemuan antara hidup
dan mati. Di saat itu pasrahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa dan kau
lancarkan pukulan yang terakhir, pukulan pamungkas! Sesudah itu akan terjadi dua kemungkinan.
Tubuh musuhmu atau tubuhmu sendiri yang akan
hancur! Tetapi kau harus berani mengambil jalan terakhir itu, Parmin! Percayalah bahwa Allah Subhanahu Wata'ala pencipta alam
semesta melindungi hamba-Nya yang berjuang dan berada di jalan yang hak!"
Setelah berucap, tubuh orang tua berambut
putih dan memakai busana serba putih itu lenyap dari pandangan Parmin. Sementara
itu pendeta Yorgen
yang sejak tadi memperhatikan peristiwa menakjubkan
itu kian menajamkan matanya seraya berucap,
"Ya, Tuhan! Kaki balai-balai itu kini telah amblas seluruhnya menembus lantai kerangkeng, sungguh hebat!"
Benar, kini balai-balai kayu itu sudah tak tampak berkaki lagi.
"Allahu Akbar...!" ucap Jaka Sembung sambil mengusap wajahnya dan sesaat
kemudian tubuh Parmin rebah kembali.
Pendeta Yorgen terkejut melihat tubuh Parmin
yang tergolek pingsan tak sadarkan diri lagi.
"Ya, Tuhan! Ia pingsan lagi! Agaknya telah terjadi sesuatu terhadap dirinya!"
*** 4 Malam berikutnya telah tiba. Rembulan semakin menyabit dan tertutup awan hitam. Bintang pun
tak menampakkan cahayanya. Mengapakah" Seakan
mereka tahu sesuatu akan terjadi pada kerangkeng
tempat Yulia dan ayahnya meringkuk.
"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Awom dan
Parmin, Ayah!"
"Ya, betul! Inlander yang bernama Parmin Itu.
Sangat berjasa bagi kita! Ia menolong sesamanya tanpa memandang warna kulit atau
agama!" Ayahnya menimpali dengan rasa simpati yang dalam.
"Apakah mungkin pendeta Yorgen masih hidup,
Ayah! Tipis harapan kita untuk bertemu dengannya!"
Belum lagi ayahnya sempat menjawab, mendadak Yulia menyambung perkataannya dengan melihat
orang-orang suku primitif itu menuju ke arahnya. Suku Nabire yang selama ini memenjarakan mereka.
"Lihat, Ayah! Mereka datang! Mungkin giliran
kita untuk dijagal!" kata Yulia kepada ayahnya yang juga melihat kedatangan
anggota suku itu dengan wajah pucat pasi.
"Walau kita memang ditakdirkan Tuhan mati di
sini, tak apalah. Aku masih bisa tersenyum, asalkan
kita tetap berkumpul, Anakku!" jawab Van Boerman sambil memeluk erat anak
gadisnya itu. Namun betapa terkejutnya Yan Van Boerman,
ternyata yang dibawa hanya anak gadisnya, sedangkan
ia tetap ditinggalkan. Sambil berteriak-teriak ia mencoba untuk protes.
"Tidak! Mau dibawa ke mana Anakku, he! Kalau
kalian hendak membunuhnya, bunuhlah aku sekalian!! Jangan pisahkan aku dengan Anakku"! Bunuhlah aku juga!!" teriaknya memelas. Namun orang-orang buas itu tak menghiraukan
ratapan ayah Yulia.
Yulia digiring ke rumah kepala suku, ke suatu
tempat yang tidak jauh dari pondok-pondok laskar suku primitif itu. Tatkala Yulia hendak masuk, seorang berjubah dan bertopeng
tengkorak telah berada di dalamnya, duduk santai dengan tangan bersedakep.
"Masuk...!!" perintahnya kepada laskar suku yang membawa Yulia, selanjutnya
memerintahkan anak buahnya tersebut untuk meninggalkan mereka
berdua. "Lepaskan belenggu tangannya! Kemudian kalian cepat pergi dari ruangan
ini!" katanya dengan sorot mata penuh arti.
Setelah anak buahnya beranjak dari hadapannya, dia berbicara kepada Yulia dengan bahasa melayu. "Sebetulnya aku tak punya sangkut paut dengan kalian orang-orang kulit
putih!" Betapa terkejutnya Yulia mendengar ucapan
orang bertopeng menyeramkan itu dengan bahasa melayu yang sangat fasih.
"Huh! Anda bukan suku Papua rupanya! Kalau
begitu siapakah Anda?" tanya Yulia dengan serius.
"Nona tak perlu tahu siapa aku! Tapi dengan jelas aku hanya punya urusan dengan tuan penolongmu
yang bernama Parmin itu! Aku terpaksa menculik kau
dari Kaimana untuk memancing Parmin agar berhadapan denganku!" Suara si Topeng Tengkorak itu terdengar bergetar menahan gejolak
dendam. "Syukurlah kalau anda tidak bermaksud memusuhi kami! Kami sangat berterima kasih! Tapi apakah anda pernah melihat orang kulit putih selain kami?" tanya Yulia sekali lagi dengan penuh harap.
"He... he... he...he..."! Apakah yang kau maksud adalah Pendeta Katholik itu?"
tanya si Topeng Tengkorak dengan santai sambil tersenyum menyeringai.
"Betul! Apakah anda juga menahan dia di sini".
Ya, Tuhan! Syukurlah kalau dia selamat! Kami sangat
gembira dapat berkumpul kembali dengannya!" pekik Yulia dengan luapan rasa
gembira karena pendeta Yorgen yang selama ini dicarinya ternyata telah berada di
tempat yang sama.
"Oh, tentu! Tentu! Kalian akan menjadi tamutamuku di sini! Kalian akan bebas. Tapi ada syaratnya!
Dalam hal ini keputusannya mutlak terletak di tangan anda, Nona!"
"Apa maksud Anda?" tanya Yulia dengan tak
sabar untuk mengetahui arah pembicaraan orang yang
bertopeng tengkorak itu.
"Kukira syaratnya setimpal dengan harga nyawa kalian bertiga, yaitu kau harus menjadi istriku untuk sementara!" jawabnya
sambil coba mengelus tubuh Yulia. Betapa kagetnya Yulia, ternyata omongan manis
kepala suku itu ada udang di balik batunya. Ia ingin menikmati tubuhnya yang
sintal dengan lekuk tubuh sangat indah. Apalagi di usianya sekarang, sebagai gadis dewasa dengan pesona yang betul-betul
membuat lelaki menjadi mabok kepayang.
"Oh, tidak! Jangan sentuh aku!" teriaknya dengan cemas.
"Kuda macam apapun sudah aku tunggangi!
Kuda coklat, kuda hitam, kuda kuning hanya kuda putih yang belum aku coba!" kata Hi Topeng Tengkorak dengan dengusan nafsu yang
menggebu. "Tidaaaaak! Aku lebih baik mati daripada harus
menyerahkan kehormatanku!" teriak Yulia sambil meronta-ronta untuk melepaskan
dekapan orang itu.
Namun tubuh gadis Belanda itu tak kuasa menggoyahkan, apalagi melepaskan cungkeraman orang
yang sudah kemasukan iblis. Dia bahkan terus menggumuli Yulia, dan tangannya yang culas itu menggerayang liar menelusuri lekuk-lekuk tubuh gadis kulit putih itu.
"He... he... he....! Kau tak bisa berbuat apa-apa di sini, ratu molek dari
Kaimana! Di sini aku yang berkuasa! Sudah lama aku menginginkan engkau! Aku
sudah bosan dengan perempuan pribumi pulau ini!
Merontalah sekuat tenagamu, Nona!" dengus si Topeng Tengkorak sambil meremas
sepasang daging yang
menggumpal kencang di dada Yulia.
"Auuuu!!! Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaaann!!
Bajingan kau!" jerit Yulia yang sudah berada pada saat-saat yang kritis untuk
mempertahankan kesuciannya. Kain sarung satu-satunya, penutup tubuh
pemberian Jaka Sembung itu kini sudah lepas direnggut tangan kasar sang durjana bertopeng tengkorak
itu. "Auu! Bangsat! Jahanam! Iblis!!!"
Sudah berapa banyak makian yang dilontarkan
Yulia, namun si Topeng Tengkorak tak menghiraukannya, bahkan tatapan matanya semakin liar tatkala matanya menatap tubuh tanpa sehelai benang dengan
kulit seputih pualam dan bulu-bulu halus berwarna
pirang. Nafasnya terdengar menggeros-geros dengan
segenap otot tubuh yang kian menegang tak tertahankan lagi. "Oh, jangan!! Helk....!" pekik Yulia tatkala si Topeng Tengkorak mencoba
mendekap tubuhnya.
Dengan kasar dan tak sabar sang durjana itu
menggumuli tubuh Yulia, membuat gadis kulit putih
itu meronta dan berteriak-teriak sekuat tenaga. Namun apalah arti daya upaya
seorang perempuan di bandingkan dengan tenaga seorang lelaki yang memiliki
ilmu silat tingkat tinggi dan dalam kekuasaan nafsu
birahi yang memuncak.
Maka pecahlah tirai kesucian gadis Belanda itu
diiringi jerit tangis yang menggeletar. Sekilas dalam in-gatannya terbayang
wajah Jaka Sembung, seseorang
yang pada detik itu ia harapkan kehadirannya.
"Oh, Parmin! Parmin!!" jeritnya dalam tangis yang menyayat.
Namun jangankan Parmin, seekor cecak pun
tak bisa menyahut atas tragedi yang sedang berlangsung terhadap gadis Belanda yang malang itu.
*** 5 Angin gemuruh bertiup menerpa pantai dan
perbukitan Nabire. Ombak-ombak laut teluk Sarera
bergejolak seakan-akan tak rela ada kesucian yang direnggut oleh tangan yang tak
berhak. Pada saat yang sama di lain pondok nampak
seorang pemuda kulit hitam yang tak lain adalah panglima suku Kaimana, Awom sedang termenung dan
menengadah ke atap kerangkeng sambil mengerutkan
kening seakan ada yang sedang dipikirkannya.
Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh, para dewa bagaimana nasib kepala suku
Kaimana dan ayahnya" Lalu bagaimana nasib Parmin?" Belum lagi Awom sempat membayangkan nasib ketiga kawannya, mendadak di
luar kerangkeng tampaklah seorang wanita kulit hitam, berpakaian hanya
berupa untaian kulit pohon yang menutupi celah pahanya dengan buah dada yang dibiarkan lepas bebas
mendekat kepadanya.
"Sssssst!! Apakah kau mengerti bahasa Nabire?" tanya gadis hitam manis itu,
"Oh, ya bisa sedikit-sedikit" Siapakah anda?"
jawab Awom sambil bertanya. Sementara itu dalam hati dia mengagumi keindahan tubuh wanita muda kulit
hitam itu. Tubuhnya padat berisi dan berada pada usia yang sedang mekar sebagai
seorang gadis. Sepasang
matanya besar dan selalu berbinar-binar.
Sambil memperkenalkan diri wanita itu merapatkan diri ke dinding kerangkeng agar lebih dekat
dengan Awom. "Namaku Da-Fan putri kepala suku yang telah
tewas ketika terjadi perang suku. Ayahku mati dibunuh oleh kepala suku yang sekarang berkuasa di perkampungan ini. Aku bermaksud membebaskanmu dan
mengajakmu lari!! Jangan kawatir. Kawan-kawanku
yang setia telah membereskan para penjaga. Kita bisa lari dengan sampan menuju
pulau Ro-on! Di sana pa-manku bersama laskarnya yang melarikan diri sedang
menunggu aku! Kita bisa kawin di sana!" ujar gadis manis yang bernama Da-Fan itu
sambil mengagumi
otot-otot tubuh Awom sang panglima suku Kaimana.
Namun pemuda Papua yang satu ini tak terburu nafsu
menerima tawaran itu. Dia masih mengkhawatirkan
nasib kawan-kawannya.
"Aku tak bisa mengikutimu, Da-Fan! Kepala
sukuku dan kawan-kawanku ada di sana!"
"Siapakah kawan-kawanmu yang kau maksud?" tanya Da-Fan dengan nada penasaran.
"Dua orang kulit putih dan satu orang berkulit
coklat!, Wanita kulit putih itu adalah kepala suku
Kaimana, dan aku sebagai panglima perang wajib melindunginya!" jawab Awom tegas.
Sementara itu di sudut-sudut pondok yang gelap, kawan-kawan wanita Da-Fan sedang mengelabui
penjaga dengan menyerahkan kehangatan tubuhnya
masing-masing. Mereka bergumul laksana hewan dan
membuat para penjaga itu benar-benar lupa akan tugasnya "Sssst, hati-hati Awom!"
Dengan berjalan berjingkat-jingkat Da-Fan
membawa Awom ke luar dari kerangkengnya. Ketika
melewati sebuah pondok, Awom mengambil salah sebuah tombak yang sedang disandarkan di dinding.
"Aku memerlukan tombak ini! Sekarang kau
tunjukkan aku, di mana letak pondok kepala suku?"
pinta Awom kepada teman barunya yang dengan cepat
telah merebut hatinya itu.
"Jangan!! Jangan Awom! Nanti kau dikutuknya
seperti ayahku! Tubuh ayahku hangus olehnya!" pinta Da-Fan dengan harapan agar
Awom menuruti saran-nya. Namun panglima perang suku Kaimana yang
mempunyai watak kesatria itu tak gentar dengan segala kemungkinan yang menghadang. Kini yang ada di
benaknya hanya bagaimana cara membebaskan kepala
suku beserta yang lainnya.
"Awom tidak takut kepada siapapun!" kata pemuda Kaimana menantang.
"Tapi Da-Fan takut, Awomku sayang!" bujuk
gadis manis itu dengan penuh harap. Awom berpikir
sejenak, kemudian berucap;
"Baiklah! Kau tunjukkan saja padaku di mana
tawanan-tawanan itu berada?"
"Mari!" jawab Da-Fan singkat sambil menarik tangan Awom untuk bergegas menuju ke
suatu tempat. Sementara itu di tempat kediaman si Topeng
Tengkorak kepala suku Nabire sekarang, tampak gadis
berambut pirang bergolek lemas dengan tubuh telanjang bulat bermandi keringat. Dia tak kuasa bangkit
karena tenaganya terkuras habis diamuk sang durjana
yang dengan kejam dan buas telah menggagahi dirinya. Ia masih merasakan seakan seluruh tulang belulangnya remuk dan seluruh persendiannya seperti
lolos tak berfungsi.
Si Topeng Tengkorak tampak sudah mengenakan busananya dengan senyum penuh kepuasan setelah mendapatkan seorang gadis idaman yang ternyata
masih perawan pula. Yulia terus menangis dengan ratapan keputusasaannya. Kini dia merasa tak berguna
lagi. Baginya dunia ini telah kiamat. Siapa sudi menerima kehadiran seorang
gadis yang tidak suci lagi.
"Mulai sekarang kau bisa berbuat apa saja di
Nabire ini! Bebas sesuka hatimu!!" ujar si Tengkorak dengan bangga kemudian
melompat ke luar dan
menghilang di kegelapan malam, dengan suara tawa
yang membahana.
Dalam pada itu Awom dan Da-Fan mengendapendap menuju tempat tinggal kepala suku Nabire.
Pondok besar itu tinggal beberapa langkah lagi di depan mereka.
"Di mana?" tanya Awom kepada Da-Fan dengan tak sabar.
"Tunggu dulu, Awom! Jangan tergesa-gesa!"
pinta Da-Fan. "Ada apa?" tanya Awom sambil menatap bola
mata gadis itu.
"Aku ingin membicarakan sesuatu di tempat
yang sunyi!" pinta Da-Fan sekali lagi.
"Apa yang hendak kau bicarakan" Asal jangan
terlalu lama, Da-Fan!"
Dengan tergopoh-gopoh Da-Fan membimbing
tangan Awom menuju ke pantai yang sunyi yang hanya
terdengar deburan ombak dan tiupan angin pantai
yang sepoi-sepoi.
Setelah terasa agak jauh dari keramaian, DaFan mengajak Awom duduk-duduk di pinggiran pantai
yang bertabur pasir halus.
"Duduklah Awom! Di atas pasir ini kita bebas
dan aman!" ajak Da-Fan sambil merebahkan tubuh
Awom yang seakan tenggelam dalam bisikan suaranya
yang lembut. Kemudian Da-Fan merebahkan diri ke
dada pemuda itu sehingga terasa buah dadanya yang
montok mengencang itu terhimpit ke tubuh Awom
yang berotot keras, seraya berkata;
"Awom, dengarlah... Atas nama dewa-dewa, di
malam yang indah ini akan aku serahkan kesucianku
kepadamu pemuda gagah." Da-Fan dengan jarinya
yang lentik meraba-raba tubuh Awom yang kuat laksana kuda Arab.
"Kau tahu, Awom! Kepala suku yang bertopeng
tengkorak itu pasti akan mengambil diriku sebagai
korban nafsu birahinya. Itu hanya soal waktu, suatu
saat tentu akan tiba. Tetapi aku tak sudi menyerahkan kesucianku kepada orang
yang tak kucintai!" ujarnya dengan nada sedih.
Hari semakin larut. Rembulan mengintip dari
balik awan yang menutupinya. Pohon-pohon raksasa
yang dihempas angin melambai-lambaikan daunnya
dan suara bintang-bintang kecil bersahut-sahutan,
seakan mengucapkan selamat bahagia kepada dua pasangan pemuda kulit hitam itu.
Da-Fan dengan desah nafasnya menelusuri leher Awom memberi kenikmatan yang belum pernah dirasakan pemuda Kaimana tersebut. Seluruh tubuh
Awom terasa merinding seperti digelitiki oleh tangan seribu bidadari. Semakin
pemuda itu memejamkan
matanya, semakin terasa kenikmatannya.
"Biarlah aku dikutuk olehnya" Biarlah tubuhku
hangus terbakar, tapi aku tetap tak mau menyerahkan
kesucianku! Telah banyak gadis-gadis Nabire yang jadi korban. Jika aku akan mati
hari ini, aku sudah puas
karena aku sudah menyerahkan seluruh jiwa ragaku
kepadamu, Kekasihku!"
"Kau tak akan mati, Da-Fan! Percayalah! Tidak
ada dewa berujud manusia! Dia dewa palsu!" jawab Awom dengan pasti untuk
meyakinkan Da-Fan sambil
mendesah karena bibir gadis Nabire itu semakin terasa hangat merayapi dadanya
dan kini mulai ke bawah
mengecupi otot-otot perutnya.
"Awom, kau berani berkata begitu?" tanya Da-Fan sambil melepaskan selongsong
koteka pemuda Kaimana itu. "Yang harus kau sembah adalah Tuhan yang
menciptakan kita dan seluruh alam ini!" jelas Awom mengulang apa yang pernah
dikatakan Jaka Sembung
kepadanya. "Tuhan" Aku baru mendengar nama-Nya" Siapakah Dia?"
"Dia bukan manusia seperti kita! Dia bersemayam di tempat Yang Maha Tinggi, lebih tinggi dan
mulia dari apapun yang pernah kau lihat!" jawab Awom sambil menggelinjang karena
elusan tangan gadis itu menelusuri sesuatu yang sangat sensitif.
"Apa Dia lebih kuat dari dewa?" tanya Da-Fan sambil merebahkan tubuhnya di sisi
Awom. Agaknya ia
mengisyaratkan kepada pemuda pujaannya itu untuk
mencumbunya. Tetapi panglima suku Kaimana ini betul-betul seorang pemuda yang masih lugu, oleh karenanya ia tak berbuat sesuatu apapun kecuali meneruskan penjelasannya tentang kehebatan Tuhan.
"Para dewa sudah barang tentu berada di bawah kekuasaannya! Dewa tengkorak yang kau bilang
itu pasti akan ditumpasnya! Karena dia jahat! Tuhan
sangat benci kepada orang jahat!" tegas Awom dengan nada serius.
Da-Fan sudah tidak sabar lagi dan memagut
tubuh Awom agar mendekapnya. Gadis Nabire itu
menginginkan pemuda pujaannya melakukan apa yang
baru saja ia lakukan terhadapnya.
Ternyata Awom pun cepat menangkap pelajaran pertama itu, dan...
"Awom! Aku terasa terbang, Awom" Kau berada
di mana" Di sisiku, bersamaku bukan" Dan aku di
mana..."! Dimana.... Mengapa aku tak bertemu denganmu sejak dahulu" Kalau aku tahu kau.... Kalau
aku tahu begini indahnya aku akan mencarimu walau
kau berada di ujung dunia sekalipun!" desah gadis itu setengah merintih.
Da-Fan terus menceracau terbawa arus kenikmatan tiada tara pada saat-saat Awom menelusuri leher gadis itu dengan kecupan bibirnya. Tubuh gadis
Nabire itu menggelinjang berkali-kali ketika kecupan Awom menelurusi sepasang
gumpalan daging yang
mengencang di dadanya. Da-Fan mendesis-desis sambil memejamkan matanya.
Pada puncaknya, gadis itu memekik tertahan
dengan tubuh bergetar hebat. Ia menggigit bahu kekasihnya untuk menahan siksa yang nikmat itu.
Angin bertiup merontokkan daun-daun. Udara
seakan bergetar, dahan-dahan pohon meliuk liuk laksana tubuh yang meronta. Untuk sesaat tubuh Da-Fan
mengejang, kemudian dengan lenguhan panjang ia
terkulai dalam pelukan Awom. Nafas pemuda itu sendiri menggeros-geros dengan peluh membasahi kening
dan sekujur tubuhnya. Senyum kebahagiaan menghias
bibir sepasang muda mudi kulit hitam itu.
*** 6 Di lain tempat sosok tubuh berdiri di kejauhan
seperti tonggak dengan angkernya di kaki bukit dan
menghadap ke laut lepas. Entah apa yang sedang dilakukan oleh makhluk berjubah dan bertopeng tengkorak itu. Perlahan lahan tangannya ke depan dan kemudian ditariknya ke dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam kemudian mengerahkan seluruh tenaganya.
Dengan menghentakkan tenaga yang kuat serta teriakan yang keras. Ia melancarkan pukulan jarak jauh ke arah sebongkah batu karang
yang runcing mencuat
dari dasar laut. Tak ayal lagi batu karang itu tumbang dan mengeluarkan asap
akibat tenaga dalam yang
dahsyat dan menimbulkan suara yang menggelegar
laksana suara halilintar.
Suara gaduh yang membisingkan itu agaknya
telah mengejutkan burung-burung hantu dalam semak
belukar, membuat mereka terbang berhamburan.
Melihat burung-burung berterbangan di udara,
orang yang ternyata musuh nomor satu Parmin si Jaka
Sembung, segera melancarkan pukulan jarak jauh ke
arah burung-burung malam itu. Tak ayal lagi, nasib
mereka tak jauh beda dengan batu karang laut itu.
Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hangus terbakar. Rupanya itulah ilmu pukulan yang selama ini
menjadi andalannya.
Suasana hening sejenak seakan tak terjadi apaapa di pinggiran laut itu, namun tiba-tiba terdengar kembali teriakan yang
memekakkan telinga. Kalau saja ada orang yang mendengar suara itu dan dia tak
mempunyai ilmu penangkal yang tinggi, gendang telinganya akan hancur dan mengeluarkan darah. Untung
saja tak ada seorang pun manusia di sana, hingga sua-ra keras itu terpantul pada
dinding bukit. Yang menyebabkan batu-batu bukit itu bergoyang dan runtuh.
"Ha... ha... ha... ha! Walaupun tanganku tinggal sebelah, tapi pukulanku masih
tetap sempurna! Den-damku kepada monyet Sembung itu pasti akan terbalas, Kakang!"
*** 7 Yulia kini telah siuman dari pingsannya, dia
merasakan rasa nyeri di celah kedua pahanya. Dengan
perasaan pilu ia melihat tetesan darah yang membekas di atas tikar gambut tempat
tubuhnya terbaring.
Yulia mencoba untuk mengambil kain sarung
penutup tubuhnya yang tercampak tak jauh di hada
Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pannya. "Oh, Tuhan! Mengapa ini mesti terjadi pada diriku" Aku telah ternoda! Aku lebih baik mati! Lebih
baik mati!" ratap gadis Belanda itu dengan tubuh
menggigil menahan isak tangis yang menyesak dada.
"Hu.. hu... hu.... hu! Parmin, mengapa bukan
kau yang merenggut kesucianku" Kalau saja kau yang
menghendakinya, tanpa kau pinta pun akan kuserahkan segala-galanya demi cintaku padamu!"
"Mengapa pada saat yang paling gawat itu kau
tak muncul" Bukankah kau selalu datang menyelamatkan aku di saat-saat genting" Apakah kau telah
tewas di tangan makhluk iblis bertopeng tengkorak
itu" Kalau begitu aku harus menyusulmu dengan pisau itu!" pekik Yulia yang sudah menganggap hidup-nya sudah tak berarti lagi
sambil tatapan matanya ke arah pisau yang terselip di dinding ruangan itu.
"Aku harus mati! Haruuuuuuuuussss! Ya, Tuhan! Maafkanlah segala dosa-dosaku! Aku tak sanggup
menanggung derita ini! Oh, Parmin jangan tinggalkan
aku!" Baru saja gadis Belanda itu hendak menghabiskan nyawanya dengan sebilah
pisau itu, tiba-tiba
tangannya ditahan oleh seorang kulit hitam.
"Jangan....!"
"Ah....!" teriak Yulia sambil menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang telah
mencegah perbuatannya. "Awom, kau"! Lepaskan aku! Lepaskaaaaann!!
Biarkan aku mati!" teriaknya histeris.
"Tidak! Suku Kaimana sangat mencintai anda!"
bujuk Awom dengan nada penuh harap kepada kepala
sukunya itu. Sementara itu Da-Fan menyaksikan kedua orang berlainan warna kulit dari sudut ruangan.
"Kami sangat membutuhkan anda, yang mulia
kepala suku! Adalah kewajibanku sebagai panglima
untuk melindungi anda!" hibur Awom sekali lagi dengan sepasang mata yang
berkaca-kaca. "Oh, Tuhan!" sebut Yulia seakan baru tersadar
dari tindakannya.
"Sekarang marilah kita ke luar dari neraka ini
dan menyelamatkan ayah anda. Parmin, dan lainnya."
"Parmin" Apakah Parmin masih hidup?" tanya Yulia yang tiba-tiba merasa cerah
setelah mendengar
nama orang yang dikaguminya.
"Aku sendiri diselamatkan oleh Da-Fan! Menurut keterangannya, Parmin dikurung bersama pendeta
Yorgen!" jawab Awom sambil menunjuk ke arah DaFan. Gadis Nabire itu mengangguk sambil tersenyum.
"Oh, benarkah?" tanya Yulia dengan sinar mata yang berbinar-binar.
*** 8 Matahari pagi kembali bersinar lagi, membias di
punggung-punggung bukit pantai Nabire yang indah.
Pondok-pondok perkampungan suku terlihat berderet
di kaki bukit. Di dalam pondoknya tampak si Topeng
Tengkorak memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan para tawanan dari kerangkeng-kerangkeng
mereka masing-masing.
"Keluarkan semua tawanan! Hari ini akan kita
adakan upacara korban dengan ular-ular berbisa itu!"
Orang-orang suku primitif itu tanpa toleh kiri
kanan langsung mengerti apa yang telah diperintahkan oleh orang yang bertindak
sebagai kepala suku mereka.
Pendeta Yorgen yang sejak kemarin menunggui
Parmin yang belum sadar dari pingsannya, terkejut
dan panik melihat beberapa orang suku Nabire itu
membuka pintu kerangkeng.
"Tidak! Jangan bunuh dia! Kalian boleh bunuh
aku" Tapi.... tapi janganlah kau tambahkan siksaan
kepada pemuda ini! Keadaannya sangat menderita!"
pinta pendeta kulit putih itu penuh harap. Namun
anggota suku kanibal tersebut tak menghiraukan katakata pendeta, bahkan menarik tubuh si pendeta dan
mengikatnya dengan tali. Pada saat itu si Topeng
Tengkorak masuk pula ke dalam kerangkeng sambil
berkata; "Semula memang aku tidak bermaksud membunuh kalian orang-orang kulit
putih! Tapi anak gadis tuan Yan Van Boerman itu telah lari dan membunuh
beberapa pengawalku! Oleh karena itu nyawa kalianlah sebagai gantinya!"
Si Topeng Tengkorak melanjutkan bicara sambil mondar mandir, tiba-tiba kakinya diangkat lalu di-gedorkannya ke dada
Parmin. "Mengenai santri monyet ini, aku tidak ingin
tergesa-gesa! Aku telah merencanakan siksaan yang
paling tepat setelah kesadarannya pulih!"
Setelah berkata demikian, si Topeng Tengkorak
dan beberapa pengawalnya pergi meninggalkan Parmin
yang masih pingsan dengan membawa pendeta Yorgen.
Di luar kerangkeng mereka berpapasan muka dengan
Yan Van Boerman yang juga sedang digiring.
"Pendeta Yorgen!" teriak Yan Van Boerman dengan gembira.
"Aku sudah tahu bahwa kau masih hidup,
Anakku!" sambut pendeta Yorgen dengan suara agak tertahan karena haru.
Setelah dekat mereka saling berpandangan
dengan sorot mata berkaca-kaca. Pendeta Yorgen berusaha menghibur Yan Van Boerman.
"Tabahkan hntimu, Anakku! Jika Tuhan belum
menghendaki kita mati, kita tidak akan mati!"
Mereka disambut oleh orang-orang suku Nabire
yang membuat pagar betis dengan sorak sorai gegap
gempita. Ada yang berjingkrak-jingkrak dan ada pula
yang menari-nari menandakan pesta pembunuhan segera akan dimulai. Di tengah keramaian hiruk pikuk
itu Yan Van Boerman semakin merasa cemas.
"Aku sangat mengkhawatirkan nasib Yulia, Bapa!" Dengan tenang dan penuh keyakinan bahwa
Tuhan Yang Maha Kuasa akan menolong mereka dari
segala mara bahaya, pendeta Yorgen menenangkan bathin Yan Van Boerman.
"Tuhan akan melindunginya, Anakku! Tabahkanlah hatimu!"
Tubuh pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman
direntangkan di tengah tanah lapang. Orang-orang suku Nabire bersorak semakin riuh seperti, sudah tidak sabar lagi. Langit mendung
ketika itu seakan berduka atas nasib yang akan menimpa kedua anak manusia
itu. Yan Van Boerman semakin merasa kecut, dia sangat memerlukan dorongan semangat dari pendeta Yorgen. "Bapa Yorgen! Apa yang harus kulakukan?"
Dengan tenang sekali lagi pendeta Yorgen
memberi pandangan.
"Berdoalah, Anakku! Mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan! Jika memang Tuhan
menghendaki kita mati di sini, relakanlah dirimu! Kita harus rela berkorban....
Biarlah kita menjadi juru penebus dosa untuk anakmu Yulia, Parmin dan orangorang lain yang wajib diselamatkan! Sebagaimana halnya pengorbanan Yesus Kritus yang disalibkan di bukit Golgota untuk menebus dosa
umat manusia!"
Si Topeng Tengkorak yang sejak tadi memperhatikan kedua orang kulit putih itu sambil duduk di
kursi kehormatan kepala suku, berkata dengan nada
sinis; "Kuberikan waktu kepadamu untuk berkhotbah, pendeta Yorgen! Sebentar lagi
ular-ular berbisa akan melahap nyawa kalian tanpa ampun! Untuk
menghibur diri, anggaplah kalian sebagai juru penebus dosa! Tapi kalau kalian
tahu, kenyataannya akan berlainan. Aku tetap akan membunuh orang-orang yang
telah kau tebus dosanya itu!" Sesaat kemudian dia berbicara dengan bahasa Nabire
sambil merentangkan
tangan kirinya ke samping
"Keluarkan sekarang keranjang-keranjang ular
itu!" Tak berselang seberapa lama, dari belakang pondok beberapa orang suku
kanibal itu membawa keranjang yang berisikan puluhan ular ganas dan berbisa. "Ya, keluarkan!" teriak si Topeng Tengkorak sekali lagi dengan garang.
Ular-ular itu kini telah dikeluarkan dari dalam
keranjang dan segera merayap, siap mematuk tubuh
kedua orang Belanda yang sudah tak berdaya dengan
kaki tangan terbelenggu di patok-patok kayu yang ter-pancang di atas tanah.
"Bapa! Kita akan digigit ular-ular berbisa itu!"
jerit Yan Van Boerman.
"Tabahkan hatimu, Anakku! Gigitan ular itu tak
akan terasa perih kalau kita telah pasrahkan jiwa raga kita kepada Tuhan!"
Ular-ular itu merayap perlahan-lahan seakan
sengaja membuat tegang urat-urat syaraf calon-calon korbannya. Tapi walaupun
demikian Yan Van Boerman, hatinya semakin kecut dengan keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Keyakinannya yang selama ini kuat terhadap agama seakan telah sirna.
"Oh, Tuhan! Ular-ular itu semakin dekat!"
Namun pada saat yang kritis itu tiba-tiba beberapa orang pengawal suku berpelantingan dari dalam
kerangkeng di mana Parmin dipenjarakan. Ada yang
terpental ke semak belukar dan mati seketika. Ada pu-la yang terbanting jauh ke
tengah jajaran penonton hi-buran biadab itu. Disusul dengan gebrakan yang
membuat kerangkeng yang terbuat dari kayu, bambu
dan ilalang itu bergetar. Namun sebelum kerangkeng
itu ambruk, sesosok tubuh telah meletik ke luar dengan bersalto beberapa kali di udara. Suasana menjadi riuh dengan hiruk pikuk
dibarengi kepulan debu ketika kerangkeng itu roboh berantakan.
Si Topeng Tengkorak yang sedang duduk di
atas singgasananya, kaget melihat Parmin yang tibatiba sudah berdiri tak jauh dari hadapannya. Ia segera memberi perintah;
"Halangi monyet santri itu! Cepaaaaaat!" Seren-tak beberapa suku Nabire yang
mendampingi sang kepala suku bergerak dengan tombak-tombak runcing
dan beracun untuk siap menghadang Parmin si Jaka
Sembung. Namun tatkala mereka menyergap, pendekar Gunung Sembung secepat kilat melompati tubuhtubuh mereka menuju tempat pendeta Yorgen dan
ayah Yulia yang nyaris direnggut nyawanya oleh ularular ganas dan berbisa.
Beberapa kepingan kayu bangunan yang ambruk yang lelah disiapkan di sela-sela jari jemarinya, digunakan Parmin sebagai
senjata untuk menghalau
binatang-binatang melata itu.
"Ciiiiiaaaaaaaaaaaaat...!"
Kepingan yang dilemparkan itu bagaikan anak
panah yang melesat dari busurnya, tak ayal lagi menghantam puluhan ular-ular
ganas dan berbisa itu. Jaka Sembung menghantam sebagian lagi dengan pukulan
jarak jauh yang sangat ampuh. Sekejap ular-ular itu
hangus tak berkutik lagi.
Pada saat itu pendeta Yorgen yang sedang menanti kematiannya terperangah melihat sosok bayangan datang menolong mereka yang ternyata seorang
pendekar muda yang beberapa saat yang lain masih
terbaring dalam keadaan pingsan.
"Parmin!" teriaknya gembira.
Belum lagi Parmin berbuat sesuatu untuk melepaskan kawan-kawannya, puluhan orang suku Nabire dengan mata liar menyerangnya. Secepat kilat dia mengeluarkan sebuah jurus
dahsyat untuk memper-singkat waktu. Tak dapat dicegah lagi, dengan mengibaskan kedua tangannya ke kiri kanan, laskar suku
Nabire kanibal itu terhempas ke udara dan mereka
ambruk ke bumi untuk tak berkutik lagi.
Melihat keadaan itu si Topeng Tengkorak
menggelegak amarahnya, dan segera menyambar sebuah tombak yang lalu dilemparkan deras ke arah
Parmin si Jaka Sembung.
Seketika tombak itu melesat dari tangannya
laksana peluru yang siap menghantam sasaran. Tapi
pendekar kita lebih tangkas dari yang ia duga. Dengan hanya menggunakan dua
jarinya, tombak itu ditang-kapnya dengan manis dan dikembalikan pula ke arah
tuannya dengan cepat.
"Hiyaaaaaaat...!" teriak Parmin membuat lawannya terkejut.
Si Topeng Tengkorak dengan gesit melompat
untuk menghindar sehingga tombak itu menghantam
salah seorang pengawal yang berada tepat di belakangnya. Tak ayal lagi tubuh pengawal malang itu ambruk dengan tubuh tertembus dan menghamburkan
darah segar. Sementara itu di antara hujan tombak di tanah.
Dengan sekali renggut tubuh pendeta Yorgen dan Yan
Van Boerman telah berada dalam pelukannya. Laskar
Amarah Pedang Bunga Iblis 2 Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi Ii Karya Seno Gumira Pendekar Setia 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama