Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Terakhir 2

Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir Bagian 2


suku Nabire terus menyerang Parmin dan kawankawannya dengan mata liar dan membabi buta dengan
nafsu membunuh. Tapi Parmin dengan nekad menerobos mereka dengan tendangan kaki untuk membuka
jalan sambil melindungi keselamatan dua orang kawannya itu. Dengan gesit dia meloncati barisan penge-pungnya bersama beban yang
dibawanya. Namun sebelum sampai kakinya menginjak tanah, dari arah depan beberapa orang menyerang dengan ganasnya.
"Wah, celaka!!" keluh Parmin sambil tetap mendekap tubuh kedua kawannya yang
berkeringat dingin
karena cemas. *** 9 Di saat kritis itu tiba-tiba terdengar jeritan
laskar Nabire dengan punggung-punggung tertembus
anak panah yang tak tahu dari mana arah datangnya.
Disusul pula dengan menghujaninya berpuluh-puluh
anak panah yang segera menelan korban lebih banyak
lagi. Orang-orang suku Nabire itu menjadi kalang kabut. Mereka berteriak histeris, berusaha melarikan diri untuk menyelamatkan
nyawa, tapi anak-anak panah
itu lebih cepat dari mereka. Tak ayal lagi semakin banyak korban berjatuhan dan
membuat suasana semakin bertambah panik. Sementara itu kawan-kawannya
masih bertanya-tanya dalam hati, siapakah pembokong-pembokong yang telah menyelamatkan nyawa
mereka" "Astaga! Itu laskar suku Kaimana! Tentara dari
putrimu, Tuan Yan! Kita dapat pertolongan!" teriak
Parmin gembira dengan apa yang dilihatnya.
Betul saja! Dari atas bukit bermunculan beberapa sosok tubuh dengan busur-busur panah di tangan. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tapi cukup mengancam nyawa suku kanibal Nabire itu.
Di tengah hiruk pikuknya suasana, Parmin
yang telah terbebas dari ancaman maut, menoleh kiri
kanan mencari kepala suku yang bertopeng tengkorak
itu sambil melepaskan kawan-kawannya dari dekapannya. Ternyata si Topeng Tengkorak telah lari menyelamatkan diri ke atas bukit Nabire.
"Tuan pendeta dan tuan Yan selamatkan diri
kalian! Aku hendak mencari manusia bertopeng itu!"
ucap Jaka Sembung kepada kawan-kawan Belandanya. "Jangan kuatir! Kami bisa menjaga diri, Saudara Parmin!" jawab salah
seorang dari mereka dengan tegas. Parmin si Jaka Sembung bergegas melacak ke
mana larinya musuh besarnya itu dengan mengerahkan segenap kepekaan panca indranya
"Ke mana larinya iblis penasaran itu...?"
Seluruh perkampungan suku primitif itu telah
dijelajahinya, namun dia belum juga menemukan si
Topeng Tengkorak.
Matahari sudah mulai meninggi, angin bertiup
kencang seakan marah menyaksikan tubuh-tubuh
manusia bergelimpangan dari kedua belah pihak tanpa
nyawa. Lembah itu seakan baru saja diamuk oleh prahara yang mengharu biru.
Mayat-mayat orang suku Nabire bertumpang
tindih dengan mayat-mayat orang suku Kaimana yang
telah menyerangnya. Anyir darah menyebar ke manamana. Burung-burung bangkai berterbangan di atas
perkampungan agaknya sudah tak sabar untuk menyantap tubuh-tubuh manusia yang sudah menjadi
bangkai. *** 10 Sementara itu di pantai teluk Sarera yang tak
seberapa besar ombaknya, telah mendarat beberapa
sampan beserta awaknya yang bersenjata lengkap,
tombak, panah dan parang. Mereka bergegas meninggalkan sampan tanpa ditambatkan terlebih dahulu.
Salah seorang dari mereka yang agaknya adalah sang
pemimpin, dengan rasa tak sabar memberi komando
dengan bahasa suku Nabire...
"Cepaaaaaaat! Nyawa mereka sedang terancam
bahaya! Seraaaang!"
Dengan gagah berani sekawanan orang yang
memang telah menanti saat-saat seperti itu menyerbu
ke tengah pertempuran antara suku Nabire dan suku
Kaimana yang masih sedang berkecamuk dengan sengitnya. Agaknya Da-Fan, Awom dan Yulia telah meminta bantuan paman Da-Fan yang bermukim di pulau
Ro-on. Mereka adalah sisa-sisa laskar suku Nabire di masa lalu sebelum negerinya
direbut oleh suku pedalaman yang masih buas. Awom gembira ketika melihat
kehadiran orang-orang suku Kaimana.
"Seraaaaaang!" teriak Awom dengan penuh semangat.
Maka dalam sekejap saja terjadilah perang antar suku dengan sengitnya. Perang antara suku Kanibal melawan dua kelompok suku yang sudah agak beradab. Paman Da-Fan pemimpin sisa laskar itu dengan
gagah berani bertempur menelan nyawa demi nyawa.
Tak ketinggalan Da-Fan sendiri ternyata seorang putri Nabire yang gagah perkasa
yang berkali-kali menghun-jamkan tombaknya ke dada lawan.
Di tempat lain. Yulia dan Awom pun tak mau
tinggal diam. Pengalamannya bertahun-tahun di tengah-tengah suku Papua primitif, membuat Yulia mahir
menggunakan tombak dan parang. Sekejap saja belasan suku Nabire pimpinan si Topeng Tengkorak itu
berjatuhan bersimbah darah jatuh ke bumi.
Terlihat di sini bahwa suku-suku yang sudah
mengenal peradaban lebih banyak menggunakan taktik dalam bertarung bila dibandingkan dengan suku
kanibal yang hanya mengandalkan tenaga dan kegarangannya. Dalam tempo singkat terlihatlah bahwa kedudukan suku kanibal sudah mulai goyah dan berada di
ambang kepunahan.
*** 11 Sementara langit mulai kemerah-merahan,
mentari pun bergeser sedikit demi sedikit ke ufuk Barat pertanda sore sudah
menjelang. Perkampungan
suku Nabire menjadi remang-remang, suasana sunyi
senyap karena tak ada lagi penghuninya yang masih
hidup dan berkeliaran.
Tampak di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan berkelebat sesosok bayangan menyusup melewati pondok-pondok perkampungan berbentuk kerucut. Sekilas wajahnya terbayang diterpa biasan matahari dari sela-sela rimbunnya pohon raksasa yang
memagari perkampungan suku tersebut. Perlahanlahan wajah itu semakin nampak jelas. Dialah Parmin, pendekar Gunung Sembung
yang tak berhasil mencari
jejak-jejak kepala suku Nabire yang bertopeng tengkorak itu. Terpancar
kekecewaan dari raut wajahnya
yang basah oleh keringat.
"Kurasa dia sedang memancingku!" gumamnya
dalam hati dengan menarik nafas panjang.
Parmin segera meloncat ke atap-atap pondok
itu dengan maksud agar dapat melihat pemandangan
di sekitar perkampungan itu dengan baik. Tatkala ia
hendak menginjak atap pondok yang paling besar,
mendadak pondok itu hancur berantakan. Untunglah
pada saat bersamaan Parmin membuang tubuhnya
yang masih melayang di udara dengan bersalto berkali-kali kemudian menginjakkan
telapak kakinya dengan
mantap sehingga luput dari serangan mendadak yang
tak lain dari lawannya yang bertopeng tengkorak itu.
Dengan sikap bersiap-siap Parmin memasang
kuda-kuda untuk menangkis serangan lawan selanjutnya. Di saat itu terdengar suara ledakan tawa manusia yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat,
serta merta Parmin berkonsentrasi dan mengalirkan
tenaga dalamnya ke telinga untuk menghalau suara
itu. "Ha.... ha.... ha... ha! Tidak percuma kau digelari Jaka Sembung, anjing!"
"Huh"!" Parmin berdesis dan menatapnya dengan tajam.
"Kau kira aku lari menghindarimu, hah"! Aku
di sini! Dan aku senang sekali melihatmu bisa berdiri kembali di atas telapak
kakimu! Sebentar lagi akan
kupatahkan kedua kaki dan tanganmu! Akan kubikin
mampus secara perlahan-lahan sampai kau merasakan bagaimana enaknya mati pelan-pelan!" geram si Topeng Tengkorak dengan suara
bergetar menahan
emosi yang menggelegar
"Kali ini kaki dan tanganmu yang akan kupatahkan, Iblis Perusak!" hardik Parmin dengan penasaran ingin cepat-cepat membuka
Topeng Tengkorak lawannya itu. Dengan gesit dan cekatan Parmin melompat
menerjang orang yang ada di hadapannya dengan terkaman yang sulit untuk dielakkan.
"Jangan banyak bacot! Buka topengmu! Aku
ingin melihat tampangmu yang asli!"
Orang bertopeng tengkorak itu terkejut dan tiba-tiba kedoknya sudah disambar oleh pendekar Gunung Sembung. "Kurang ajar!!!!!"
Maka kini tampaklah seraut wajah yang tak asing lagi bagi Parmin benar-benar asli. Ternyata dia
adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berwajah bulat dengan
sesuai tubuhnya yang gempal
itu. "Aku sudah menduga bahwa kau adalah Ki
Subekti saudara kembar Ki Subeni!" ujar Jaka Sembung kepada orang tua itu.
"Hmmm! Memang! Hidupku tak pernah puas jika belum memeras darahmu sampai kering!" geramnya dengan berapi-api.
"Aku belum puas sebelum dendam arwah kakakku Subeni terbalas! Bertahun-tahun aku menguntitmu sampai ke Papua ini! Si Tiga Melati keparat itu sudah modar jadi makanan
segar ikan-ikan hiu di laut Arafuru! Kini giliran nyawamu kucopot, Bangsat!" umpatnya dengan sengit.
Dengan tenang Parmin menjawab sambil bersiap-siap dengan mengalirkan tenaga dalam tingkat
tinggi ke seluruh tubuh.
"Sangat kuhargai pembelaanmu terhadap saudaramu! Itu hakmu! Tapi aku pun lebih punya hak untuk menyingkirkan kalian, Iblis berwujud manusia!"
Bukan main berangnya Ki Subekti setelah
mendengar ucapan Parmin yang menyakitkan hati itu,
serta merta ia melontarkan pukulan jarak jauh yang
sangat ampuh dan mematikan. Bersamaan dengan itu
pula Parmin meletik ke udara untuk menghindar. Pukulan maut itu tak mengenai sasaran dan hanya menimpa tempat kosong. Seketika itu terlihat bentuk telapak tangan hitam dengan
kepulan asap membekas di
tanah. Melihat pukulannya dapat dihindari dengan
baik, Ki Subekti mengambil langkah seribu dengan melompati perairan pantai di antara batu-batu cadas
yang berlumut "Hai! mau lari ke mana kau" Apakah kau sudah
mulai gentar, Jahanam!" teriak pendekar Gunung
Sembung sambil melesat mengejarnya. Namun Ki Subekti terus berlari dengan melontarkan ejekan-ejekan
kepada Jaka Sembung.
"Ha ha ha ha! Aku sudah memilih tempat kuburanmu yang paling baik, monyet Sembung!"
Sekejap saja mereka telah berada di atas batu
karang yang muncul di permukaan laut. Pada saat itu
mereka mempersiapkan ilmu andalannya masingmasing. "Aku yakin kau tak mampu membunuhku, Aki-aki Jelek! Kekuatanmu sudah
jauh berkurang! Tanganmu tinggal satu!" ejek Parmin.
"Bangsat! Justru di sini aku memilih tempat
untuk kuburan bangkaimu!" ucapnya dengan kesal
sambil melepaskan jubah yang selama ini dipakainya.
"Gerrrrr! Tangan palsuku ini lebih ampuh untuk mendobrak perutmu!" dengusnya dengan suara
parau. Namun demikian pendekar muda dari Gunung
Sembung itu terus menerus mengejeknya hingga orang
tua itu kian kalap dan meradang.
"Ha ha ha ha...! Lontarkanlah semua gertak
sambalmu itu bandot tua! Seharusnya sudah lama kau
menanggalkan titel kiaimu! Hidupmu sudah penuh
dengan kemurtadan! Kau sama murtadnya dengan almarhum saudara kembarmu itu!"
Sesaat kemudian tubuh mereka berdua melesat
ke udara dengan mengadu ilmu kanuragan tingkat
tinggi hingga terjadilah bentrokan tenaga dalam yang menimbulkan suara keras dan
mengeluarkan kepulan
asap. Akibatnya tak ayal lagi tubuh masing-masing
terpental jauh lebih dari lima puluh langkah dan ter-cebur di laut. Selanjutnya
mereka melanjutkan pertarungan di air dengan mengerahkan tenaga dalam yang
dahsyat hingga membuat mereka masing-masing mengalami luka dalam yang parah dengan semburan darah
segar dari mulutnya.
Pada suatu saat tubuh mereka melesat kembali
ke udara dan bertemu di atas batu karang di tengah
laut. Kemudian tangan-tangan mereka saling bertumpuan untuk kembali mengadu kekuatan tenaga dalam
masing-masing. Hawa panas keluar dari tubuh mereka
hingga menimbulkan kepulan asap. Pada saat itulah
Parmin berucap dalam hati,
"Saatnya kini tiba...! Kuserahkan kepada-Mu ya
Allah seluruh jiwa ragaku! Aku tunduk dengan apa
yang Kau kehendaki! Bismillah!!!" Suara hening tegang itu tiba-tiba dipecahkan
oleh pekikan mengguntur!


Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bersama terbelahnya batu karang pantai, dua sosok
tubuh itu melesat berbarengan. Pada kesempatan itu
Parmin menyerang sedetik lebih cepat dengan pukulan
tenaga dalam tingkat tinggi ke arah lawannya. Tak ayal lagi tubuh Ki Subekti
ambruk berguling guling dan batuk-batuk dengan mengeluarkan darah hitam kental
terkena hantaman pukulan Parmin yang bernama jurus 'Wahyu Taqwa'.
Tubuh orang tua itu menggigil hebat, wajahnya
berubah menjadi biru menyeramkan. Dan dari bekas
pukulan Parmin pada tubuhnya, kini mengepul asap.
Asap itu semakin banyak dan segera berubah
menjadi api yang menjilat-jilat tubuh Ki Subekti yang nampak mengerang-erang
sambil berkelojotan. Sungguh mengerikan. Api itu semakin besar dan sekejap sa-ja
melalap tubuh orang tua itu tanpa ampun! Itulah
kedahsyatan puncak dari jurus 'Wahyu Taqwa'.
Ombak laut menyembur tubuh berapi itu dan
menyeretnya ke tengah lautan lepas. Parmin memandangi terus dari kejauhan dan sesaat bertafakur mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia sama sekali tak menduga bahwa dengan mengerahkan ilmu silat tinggi yang bernama jurus 'Wahyu Taqwa' akan terjadi akibat sedahsyat itu bagi lawannya.
"Innalillahi Wainna Ilaihi Roji'un.... Segala sesuatu yang berasal dari-Mu
kembali pula kepada-Mu
ya Allah!"
Api itu semakin mengecil dan akhirnya lenyap
di tengah laut teluk Sarera. Parmin merenung sambil menerawang jauh ke ujung
lautan. Ia tak menoleh sedikit pun tatkala terdengar suara orang memanggilnya.
Suara itu semakin keras, menandakan orang yang
memanggil semakin dekat dan akhirnya pendekar kita
terperangah melihat kehadiran seorang wanita kulit
putih yang tak lain adalah Yulia, sang Kepala suku
Kaimana beserta ayahnya dan pendeta Yorgen.
"Syukurlah kau selamat, Parmin! Aku sangat
mengkhawatirkan nasibmu!" ucapnya dengan suara
tersendat menahan haru sambil menjatuhkan tubuhnya kepelukan Parmin.
"Aku hampir saja tewas, Yulia! Untunglah Allah
senantiasa melindungiku!" ujar Jaka Sembung.
Sejenak mereka terbenam dalam keharuan,
tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Namun kedua orang yang tak lain pendeta Yorgen dan
ayahnya sendiri memaklumi perasaan mereka yang baru saja terlepas dari peristiwa hidup dan mati. Parmin terkejut oleh sikap Yulia
yang tiba-tiba melepaskan dekapannya dan serta merta menjauh dari Parmin.
"Oh.... Aku.... Aku pun sudah mati! Aku merasa
sudah tak ada gunanya lagi.... Di hadapanmu....
Buatmu, Parmin!" ucap Yulia sambil mengenang peristiwa yang telah merenggut
kesuciannya itu. Parmin berusaha mendekati Yulia dengan memberikan kata-kata
lembut dan sikap yang sangat hati-hati.
Pendeta Yorgen dan Yan Van Boerman dengan
berharap-harap cemas, tak lepas-lepas memperhatikan
tingkah laku kedua muda mudi itu terutama Yulia.
Yan Van Boerman sangat prihatin dan takut kalaukalau anaknya putus asa dan tak dapat menerima kenyataan sehingga menyebabkan goncangan jiwa yang
cukup patal. "Kau lihat, Yan! Tuhan telah mengulurkan tangan-Nya dengan perantaraan Parmin, karena kita berada di jalan yang benar!" ujar pendeta Yorgen.
"Ya, Bapa! Tapi kasihan anakku! Dia telah ternoda oleh makhluk iblis itu." ucapnya dengan nada sedih. Dengan tenang dan penuh
wibawa pendeta Yorgen berkata kepada Yan Ban Boerman seperti sikap
seorang ayah yang menasehati anaknya yang sedang
dirundung kemalangan.
"Aku tahu perasaanmu, Nak! Tabahkan hatimu
karena ini sudah menjadi takdir Tuhan! Kalau seandainya di saat itu Parmin telah siuman dari pingsannya, pastilah putrimu dapat diselamatkan! Aku tahu
saat itu Parmin sedang dalam keadaan sangat kritis,
antara hidup dan mati!"
Sementara itu Parmin sudah dapat menyalakan
api semangat hidup Yulia yang hampir punah, karena
senantiasa, dihantui perasaan yang tak menentu tentang dirinya yang sudah ternoda. Akhirnya mereka saling merangkul. Pendeta
Yorgen dan ayahnya merasa
sangat gembira karena kecerahan anak gadisnya sudah pulih seperti sediakala. Itu terlihat dari tatapan matanya yang tampak
berbinar-binar.
"Mari kita pulang, Yulia! Kawan-kawan yang
lain tentu sudah menunggu kita! Jangan kau cemaskan tentang kesucianmu! Hatimu tetap suci karena tidak menghendaki semua ini terjadi!" ucap Parmin sambil merangkul tubuh
gadis Belanda itu menuju ke
tempat di mana ayahnya dan pendeta Yorgen berada,
dan mengajak mereka sama-sama untuk meninggalkan tempat itu menuju ke perkampungan suku Nabire.
*** 12 Sementara itu perang pun telah usai. Korban
bergeletakan di sana sini dengan ditebari anyirnya darah. Di antara tumpukan
mayat itu, berdirilah Awom si panglima suku Kaimana dengan gagahnya dengan
tombak yang berlumur darah masih dalam genggamannya. Da-Fan yang melihat kekasihnya masih berdiri
tegap, cepat-cepat berlari menuju padanya, kemudian
serta merta tubuh tegap berotot itu didekapnya eraterat. "Awom....!" teriak gadis Nabire itu dengan air mata gembira.
"Da-Fan....!" sambut pemuda Kaimana itu.
"Akhirnya kita bebas, Awom! Kita bisa merayakan perkawinan kita dengan segera!" kata Da-Fan dengan suka cita.
"Kita adakan pesta meriah! Pamanku Kya-Fa
akan diangkat sebagai kepala suku Nabire yang baru.
Sekarang kepala suku bertopeng tengkorak itu telah
tewas di tangan pendekar Gunung Sembung, Parmin!"
Mereka, suku Nabire sangat gembira menyambut kemenangan yang mereka peroleh dalam membasmi keangkaramurkaan. Ada yang menari berpasang-pasangan, ada pula yang berjingkrak-jingkrak
sambil mengacung-acungkan tombak yang masih berlumuran darah diiringi suara gendang yang bertalutalu. "Lihatlah, Awom! Mereka bergembira merayakan kemenangan! Tidakkah kau
merasa bahagia,
Awom?" tanya Da-Fan yang masih tak mau melepaskan dekapannya pada Awom.
Suasana di teluk Nabire itu kini sangat ramai
dengan sorak sorai, suara nyanyian, teriak-teriakan
serta yel-yel kemenangan, membaur bercampur aduk
menjadi suasana hiruk pikuk. Namun mereka tak perduli, yang penting mereka kini bahagia tanpa ada yang mengganggu ketentraman
suku dan perkampungan
mereka. Dari kerumunan orang-orang serta bisingnya
suara tetabuhan, seseorang yang tak lain adalah paman Da-Fan yang bernama Kya-Fa, menghimbau mereka agar turut serta.
"Hai, Da-Fan! Awom! Mari sini kita rayakan
kemenangan kita, ha ha ha! Belum waktunya kalian
bermesra-mesraan! Tunggu sampai malam turun! Ha
ha ha ha...! Mari kita adakan pesta semeriahmeriahnya!"
Namun tanpa disadari, nyawa kepala suku
yang baru dilantik itu terancam oleh seorang anggota suku lawannya yang ternyata
masih hidup. Da-Fan
dan Awom seketika terkejut melihat ia akan membokong pamannya dari belakang dengan sebilah tombak.
Dengan cekatan Da-Fan memperingati pamannya dibarengi sebuah dorongan tangan yang membuat
pamannya terhempas dan luput dari sasaran. Tapi
sayangnya tubuh Da-Fan sendirilah yang menjadi sasaran tombak sebagai penggantinya.
Awom yang melihat itu menjadi terkejut. Dengan cepat Awom bertindak dengan sebilah tombak
yang masih ada di tangannya. Baru saja prajurit itu
hendak melarikan diri, tombak Awom lebih cepat bersarang di punggungnya. Tak ayal lagi tubuh itu ambruk tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.
Kemudian Awom berlari mendapatkan Da-Fan
yang sedang meregang nyawa,
"Da-Fan...!" Ia menubruk tubuh kekasihnya
dengan nada tangis yang lirih.
"Da-Fan kuatkan dirimu!"
"Awom... A... worn.... Aku sangat cinta padamu.... uuuuk! Ja... ngan kau bersedih... kita akan selalu berkumpul di alam yang
lain, kekasihku...."
"Tidak, Da-Fan! Kita akan merayakan perkawinan kita sekarang!"
"Tidak, Awom....! Wajah ayahku telah terbayang-bayang di depanku! Ia mengulurkan tangan
mengajakku ke suatu tempat yang indah! Aku akan
senantiasa setia menunggumu di sana! Awom.... Tubuhmu dingin peluklah aku! Dekaplah.... akh!"
"Da-Fan...!" Awom berteriak histeris mengiringi detik-detik terakhir kekasihnya
dengan tubuh berlumuran darah tertembus sebilah tombak. Dia gugur karena menyelamatkan jiwa pamannya, seorang kepala
suku Nabire yang baru yang akan membawa suku Nabire kelak menuju kejayaan dan kemajuan pada masa
yang akan datang.
Sedangkan Da-Fan, namanya akan selalu dikenang dan menjadi tonggak sejarah bagi suku Nabire,
Da-Fan seorang gadis Nabire yang gagah dan pemberani, dia turun ke medan laga tanpa mengenal takut
dan apa itu mati. Yang ada di benaknya hanyalah bagaimana mengembalikan tanah tumpah darahnya
kembali tentram dan damai di bawah pemerintahan
sendiri. Awom merasa sangat sedih, kenapa orang sebaik Da-Fan begitu cepat menuju kematian. Da-Fan
adalah seorang gadis yang sangat berarti dalam kehidupannya. Dialah yang menyelamatkan dirinya, dialah
yang telah memberi suatu kegairahan baru. Dia rela
mengorbankan jiwa agar terlaksana apa yang dicitacitakan ayahandanya untuk merebut kembali perkampungan suku Nabire dari kekuasaan suku pedalaman
yang masih liar dan buas.
Kya-Fa yang kini menjadi kepala suku, merasa
sedih melihat keponakannya mati lantaran berkorban
untuk keselamatan jiwanya.
"Da-Fan!! Kau gugur untuk menyelamatkan jiwaku! Kau pahlawan suku Nabire yang gagah berani!"
Hari begitu cepat berganti, malam yang sangat
mencekam telah berganti pagi. Matahari mulai menyinari alam, membentuk panorama yang indah di bukit
Sarera. Terlihat dari kejauhan beberapa kelompok manusia yang tak lain adalah orang-orang suku Nabire
yang baru saja membebaskan negerinya, mulai bekerja. Ada yang sedang memperbaiki rumah-rumah mereka yang roboh, ada yang menyapu halaman membersihkan puing-puing dari bangunan dan pohon-pohon
yang tumbang. Sebagian dari mereka menggali tanah
untuk mengubur mayat-mayat yang bergelimpangan di
segala penjuru perkampungan.
Kegiatan mereka dibantu pula oleh orang-orang
suku Kaimana yang pada saat pertarungan suku kanibal itu datang membantunya. Dua kelompok suku
Papua yang sudah mengenal sedikit peradaban itu
tampak bekerja rukun saling bahu membahu guna
membersihkan serta membangun kembali perkampungan yang telah porak poranda. Di tengah mereka tampak Kya-Fa berseru;
"Hai, Rakyatku! Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagi negeri kita. Beberapa orang sauda-ra kita seperti kalian
lihat dengan mata kepala sendiri, mereka gugur guna mempertahankan kewibawaan
su-ku Nabire dari gangguan orang-orang yang bermaksud
menjajah kita, dia berjuang tanpa mengenal takut, dia berani mengorbankan
nyawanya demi untukku" Dengan demikian kita doakan semoga arwah mereka diterima para dewa yang bersemayam di tempat yang
jauh!" Setelah berkata sang kepala suku memerintahkan salah seorang tokoh agama
suku Nabire untuk
memimpin upacara.
Sebelum upacara dimulai, sebagian mereka
menyiapkan kayu-kayu kering dan menumpukkannya
di tengah-tengah halaman. Sebentar kemudian kayukayu itu dirambati api. Semakin lama api itu semakin membesar. Seluruh anggota
suku mengitari api unggun itu dengan langkah-langkah yang mencerminkan
suasana sakral sebagai tanda sedang berkabung.
Suasana hening sejenak ketika terlihat serombongan orang suku Nabire mengusung sesuatu seperti
keranda yang berhias tengkorak binatang dan taringtaring babi hutan. Berdiri paling depan pada rombongan tadi adalah tokoh agama suku yang berjubah dengan tutup kepala terbuat dari bulu-bulu Cendrawasih
dan hiasan-hiasan lain yang menyerupai tanduk.
Di dalam keranda itu terbaring jenazah Da-Fan,
pahlawan suku Nabire.
Menurut adat mereka, jenazah golongan bangsawan suku harus diawetkan dengan rempah-rempah
pengawet sehingga tubuh orang yang mati tetap utuh
untuk selamanya.
Baik Jaka Sembung maupun pendeta Yorgen
tak dapat berbuat apa-apa dengan adat istiadat mereka, walaupun kedua orang itu sependapat bahwa sebaiknya semua jenazah tanpa memandang tingkat sosial masing-masing, harus dikebumikan ke dalam tanah. *** 13 Malam telah turun, bintang gemintang muncul


Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di awang-awang menambah keindahan panorama pantai teluk Sarera. Namun keindahan itu tak berarti apa-apa buat seorang pemuda
yang dirundung musibah ditinggal sang kekasih untuk selama-lamanya. Dialah
Awom, sang panglima perang suku Kaimana yang sedang duduk termenung di atas bukit di bawah pohon
yang sangat rindang.
Ia seorang diri tanpa menghiraukan keadaan
sekelilingnya. Tangannya mengambil beberapa batu
kerikil yang ada di sekeliling tempat itu lalu berulang kali dilemparkan ke laut
sebagai suatu cara untuk
menghibur diri.
Dari kejauhan sosok tubuh melintas melalui jalan setapak hutan Nabire menuju pantai Sarera, dengan melangkah cepat dan
tangan yang bergerak
menepis pepohonan kecil yang menghalanginya.
Sesaat kemudian sosok tubuh itu sudah berada
tak jauh dari Awom yang sedang menyendiri. Sinar
gemintang yang membias di sela-sela dedaunan menerangi sekilas wajah tampan dan berwibawa dengan bulu-bulu tumbuh kian menebal di atas bibir dan dagunya. Dia tak lebih adalah, Jaka Sembung. Perlahanlahan dia melangkah mendekati pemuda Kaimana
sang panglima suku yang sedang termenung itu!
"Awom...!"
Awom tak bergerak dengan panggilan Parmin.
Tetapi Jaka Sembung meneruskan bicara tanpa meminta jawaban dari Awom, kawan baiknya itu.
"Awom, dengarlah!" ucap Parmin sambil segera duduk di samping kiri Awom dan
menepuk nepuk pundaknya, Parmin melanjutkan pembicaraannya.
"Relakanlah kepergian Da-Fan karena segala
sesuatu yang hidup pasti akan mengalami mati. Hidup
di dunia ini memang demikian..... Bertemu.... Berpisah.... Tiada sesuatu yang kekal! Kalau kita sudah yakin tentang itu, maka kita
setiap saat harus sudah
bersiap-siap untuk menghadapi setiap perpisahan agar kita tidak terlalu hanyut
oleh perasaan dan ikhlas me-nerimanya!"
Awom mendengarkan kata-kata Parmin sambil
menatap kejauhan seakan sedang merenungkan makna kalimat itu. Parmin pun selanjutnya memberi wejangan pada Awom agar mengerti apa arti hidup ini se-sungguhnya.
"Kau bisa melupakan sedikit demi sedikit....
Kau harus yakin bahwa ada kehidupan yang jauh lebih
kekal sesudah nyawa meninggalkan badan dan kalian
akan berkumpul di sana!" lanjut Jaka Sembung.
Awom bangkit dari duduknya dan terus mondar
mandir sambil kadangkala menundukkan kepala atau
melepaskan pandangan matanya ke langit seakan
mencari jawab. Kemudian dengan suara yang agak berat karena menahan rasa sedih ia berucap.
"Ya, aku mengerti, Parmin! Sejak berjumpa
dengan anda, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang arti hidup ini!"
Parmin pun bangkit dan menghampiri Awom.
Mereka berdiri berhadap-hadapan. Parmin memandangi kawannya itu sambil tersenyum karena bangga
terhadap kecerdasan Awom dalam menangkap segala
sesuatu yang telah ia ucapkan.
Laut teluk Sarera mulai memperlihatkan ombaknya yang bergulung-gulung, daun-daun gemerisik
terhempas bersama dahannya karena tertiup angin
yang kian mengencang. Bukit Nabire sudah gelap karena kabut tebal yang telah menyelimuti lembah itu.
Sinar bintang gemintang tak mampu lagi menerangi
cuaca yang telah pekat itu.
Hari sudah larut malam, suasana saat itu menjadi sunyi senyap yang terdengar hanya suara deburan ombak pantai teluk Sarera.
Dua orang berlainan suku namun satu bangsa
yang sedang berbincang-bincang itu menyadari kalau
hari semakin larut malam. Maka salah seorang dari
mereka mengajak untuk kembali ke perkampungan.
Dalam perjalanan pulang mereka melanjutkan
perbincangan. Tanpa mereka sadari, mereka telah jauh meninggalkan pinggiran
pantai teluk Sarera.
Sesaat kemudian mereka sampai di pintu masuk perkampungan suku Nabire. Beberapa langkah ke
dalam terlihat beberapa orang suku Nabire sedang sibuk membereskan sesuatu, ada yang membuat hiasan
khusus, meletakkan obor-obor di setiap tonggak kayu
di sekeliling perkampungan, kemudian menyalakannya
sehingga perkampungan itu nampak seperti siang hari.
Parmin dan Awom terus melangkah menuju
kediaman kepala suku. Di sana sudah menunggu Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen. Mereka menyambutnya dengan senyum keramahan.
Agaknya malam itu adalah malam istimewa karena ternyata jatuh pada tanggal dua puluh lima Desember tahun Masehi.
Malam itu untuk pertama kalinya di pulau Papua diperingati malam Natal, malam kudus di mana
dua puluh abad yang lalu telah lahir Yesus Kristus di Betlehem.
Pendeta Yorgen memimpin upacara kecilkecilan namun mengandung makna yang amat dalam.
Suasana hening meliputi mereka yang hadir
pada saat itu. Kya-Fa, kepala suku Nabire, Parmin dan Awom dan seluruh anggota
kedua suku Papua, Nabire
dan Kaimana. Pendeta Yorgen mengajak Yulia dan Van Boerman untuk membaca doa di depan sebuah altar yang
terbuat dari kayu bertutup kulit binatang. Di belakang mereka berdiri para
anggota suku yang ikut ambil bagian dalam perayaan Natal itu.
Pendeta Yorgen berkotbah lantang mengenai
kerukunan hidup beragama, apa arti hidup yang sebenarnya dan yang terakhir menjelaskan siapa dan bagaimana Yesus Kristus itu.
Orang-orang yang hadir pada perayaan itu
mendengarkan khotbah itu dengan khidmat. Dalam
suasana hening syahdu itu kita lihat seseorang yang
tampak sedang berpikir keras. Ia adalah Awom. Apa
yang sedang dipikirkan, kuta belum tahu.
Malam begitu cepat berlalu, orang-orang yang
hadir kini telah meninggalkan acara malam Natal satu-persatu, sampai akhirnya
tinggal Yulia, pendeta Yorgen, ayah Yulia Van Boerman serta Parmin dan Awom.
Mereka masih berbincang-bincang dengan ditemani
oleh Kya-fa sang kepala suku Nabire.
"Parmin, setelah ini ke mana kau akan pergi?"
tanya pendeta Yorgen.
"Entahlah, Pak Pendeta! Mungkin aku akan
kembali ke tanah kelahiranku pulau Jawa! Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan!" jawab Parmin.
Pendeta Yorgen, Van Boerman dan Yulia mengucapkan selamat kepada Kya-Fa yang menjadi kepala
suku Nabire yang baru seraya berkata;
"Selamat buat anda, Tuan Kya-Fa! Aku selalu
berdoa semoga negeri yang anda pimpin mendapatkan
kemajuan dan menjadi suku yang lebih maju dan memeluk agama Ketuhanan, aman dan makmur tak ada
lagi gangguan yang datang dari suku lain." ucap pendeta Yorgen dengan nada
mempengaruhi. "Terimakasih! Begitu juga aku mengucapkan
banyak terimakasih atas segala bantuan anda dalam
menumpas keangkaramurkaan yang telah diperbuat
oleh orang bertopeng tengkorak, dengan memperalat
suku pedalaman yang masih buas. Para wanitanya dirusak, kepala suku kami dibunuh!" ucap Kya-Fa dengan mata berkaca-kaca karena
merasakan sedih.
Sejenak semua orang yang hadir di pondok itu
tertunduk diam.
Mereka turut merasakan derita bathin kepala
suku yang baru itu.
Beberapa saat kemudian suasana hening itu
dipecahkan oleh suara kokok ayam hutan. Bintangbintang yang bertaburan kini telah lenyap dari peredarannya dan dari arah Timur
matahari mulai menampakkan sinarnya.
Pemandangan alam bukit Nabire asri dipandang mata. Dahan pohon meliuk-liuk terhempas angin
pagi yang bertiup sepoi-sepoi. Burung-burung beterbangan hilir mudik mencari makan. Dari kejauhan
terdengar deburan ombak pantai teluk Sarera menghempas batu-batu karang.
Dari puncak bukit terlihat perkampungan suku
Nabire terpampang tersusun rapi. Kalau kita perhatikan, tak seorang pun penghuni pondok-pondok perkampungan itu berkeliaran, mungkin mereka lelah setelah berbulan bulan lamanya hidup dalam kekacauan
hingga tak sempat merasakan tidur dengan nyenyak.
Pada kesempatan ini mereka gunakan untuk
beristirahat tidur dengan sepuas-puasnya. Hal itu ter-bukti dari suara dengkuran
nafas mereka yang terbawa angin. Namun tak semua penghuninya terlelap tidur. Di bangunan yang paling besar, tempat kediaman kepala suku Nabire, nampak masih terdengar suara yang sedang bercakap-cakap.
"Yulia! Aku tak melihat Awom sejak tadi, ke
mana dia?" tanya Parmin yang belum sempat merapatkan mata untuk beristirahat tidur, kepada Yulia,
sang kepala suku Kaimana.
"Pemuda Kaimana itu masih menganggapku
sebagai kepala sukunya dan tetap mematuhi aturan.
Tadi malam setelah usai upacara Natal, ia meminta
izin kepadaku pergi ke puncak Kahyangan!" jawab Yulia.
"Puncak Kahyangan" Di mana letaknya tempat
itu"!" Parmin terperangah sambil mengerutkan dahinya karena baru kali ini
mendengar nama tempat
seperti itu. Gadis Belanda itu pun angkat bahu.
"Aku sendiri tidak tahu! Tapi dia bilang hendak melakukan semadi di sana! Dia
ingin menghadap para
dewa dan roh-roh nenek moyangnya" Mungkin ia sedang mengalami kegoncangan jiwa karena kematian
kekasihnya yang sangat ia cintai, Da-Fan!" jelas Yulia, kepada Jaka Sembung.
"Yulia! Baiklah kau tunggu disini bersama pendeta Yorgen dan ayahmu. Aku hendak menyusul Awom
ke sana! Aku tak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!"
"Hati-hatilah Parmin! Aku pun tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadapmu!"
Parmin pamit kepada Yulia dan ayahnya, Van
Boerman serta kepala suku Nabire serta pendeta Yorgen. Kemudian bergegas meninggalkan perkampungan
suku Nabire untuk mencari Awom.
*** 14 Pagi itu Parmin bergegas mengadakan pelacakan dan matahari yang cerah menemani perjalanannya. Pendekar kita ini menelusuri pinggiran hutan
yang ditumbuhi pohon-pohon kecil. Tangannya dengan
lincah membabat dahan-dahan pohon, untuk terus
merayap hingga tak terasa dia telah berada di suatu
tempat yang cukup jauh dari Nabire.
Tanpa mengenal lelah Parmin terus melangkah
sambil memasang telinga dan matanya untuk menangkap setiap gerak maupun gejala yang mungkin saja terjadi di setiap jengkal langkah kakinya. Apalagi kawasan yang ditempuhnya
saat ini mulai ditumbuhi
semak lebat dan pohon yang tinggi-tinggi.
Semakin ke dalam cuaca semakin gelap, karena
sinar matahari tak dapat menembusnya.
Selang beberapa waktu kemudian Parmin telah
berhasil melewati hutan belantara. Kini di depannya
terbentang hulu sungai yang dipenuhi batu-batu besar. Sesaat Parmin memandang ke seluruh perbukitan
yang berada di kawasan hulu sungai itu. Demikian indah panorama yang terlihat. Lagi-lagi pendekar Gunung Sembung itu memuji kebesaran Tuhan Sang
Pencipta. Dia merasakan dirinya demikian kecil jika
dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan yang memiliki
seluruh alam beserta isinya.
Setelah memandangi keindahan panorama
alam yang dimiliki pulau Papua ini, Parmin bergegas
meneruskan niatnya dengan menyeberangi hulu sungai. Namun sebelum itu, dia bersihkan seluruh badannya terlebih dahulu, agar terasa segar dengan air sungai yang sejuk dan jernih
itu. Setelah seharian Parmin menempuh perjalanan, menjelang sore hari mulailah ia mendaki perbukitan. Tak jauh dari bukit itu
ia berhenti sejenak untuk mengamati sebuah dahan pohon yang patah, seperti
tanda atau sandi.
"Hem, dahan patah! Mungkin Awom melewati
jalan ini!" katanya dalam hati.
Beberapa langkah kemudian Parmin telah memasuki jalan setapak yang berpasir. Di sana tampak
dengan jelas bekas jejak kaki manusia. Jaka Sembung
terus mengikuti bekas kaki yang membawa butir-butir
pasir sampai ke sebuah kaki tebing.
"Mungkin dari sinilah ia mulai mendaki!" ucapnya sekali lagi dalam hati. Sambil
terus melanjutkan langkah kakinya menaiki tebing tersebut. Untuk melewati
tebing-tebing semacam itu, Parmin sudah memiliki pengalaman tatkala mendaki puncak Gunung Ciremai, yang cukup terjal dan sangat tinggi membentuk
dinding lurus ke atas.
"Aku jadi ingat guru dan ayahku di Gunung Ciremai. Sudah lama aku tak mengunjunginya! Bagaimana keadaan mereka sekarang" Mudah-mudahan beliau semua, selalu dalam keadaan sehat wal-afiat!"
Guru Parmin bukan hanya Ki Sapu Angin, tetapi juga Begawan Sokalima yang kini masih hidup
dan bersemayam di puncak Gunung Ciremai.
Setelah berhasil melewati ketinggian tebing
yang terjal, Parmin mengayunkan langkahnya kembali.


Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun baru beberapa langkah, dia dikejutkan oleh sesuatu benda yang ia kenal baik.
Perlahan-lahan ia mendekati benda berbentuk
kalung yang terbuat dari serentetan taring babi hutan bercampur manik-manik
beraneka warna. Dia me-mungut benda yang tersangkut di sebatang ranting
kayu itu. "Ini kalung Awom! Aku lebih yakin ia melalui jalan ini!" gumamnya.
Malam mulai turun, langit cerah dan tampaklah gugusan bintang bertaburan di cakrawala yang
luas, bagaikan hamparan lazuardi hitam yang berkilauan oleh bintik-bintik cahaya menerangi jagad raya.
Walaupun tanpa obor untuk menerangi jalannya, Parmin masih mampu menerobos suasana malam
itu. Tanpa mengenal lelah, pendekar kita terus berjalan merayapi lereng
pegunungan. Pada suatu tempat
dia berhenti, menahan langkahnya dan menengadahkan kepalanya ke atas sebatang pohon raksasa, di sana ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Tombak Awom tertancap di pohon itu!" serunya dalam hati. Membuat ia semakin yakin bahwa
jalan yang dilaluinya adalah napak tilas perjalanan
yang dilakukan oleh Awom.
Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga
malam, sampailah ia di sebuah lereng berbatu. Dia terus naik perlahan-lahan, dengan merayap sambil berpegang pada batu-batu besar itu agar bisa cepat mele-watinya.
Keringat bercucuran di sekujur badannya, walaupun hawa di tempat itu sangat dingin. Wajahnya
pucat karena menahan lelah. Tanpa disadarinya, hari
begitu cepat berganti pagi. Namun Parmin terus mendaki pegunungan itu dengan penuh semangat.
Pada hari kelima, Parmin mulai mendaki puncak pegunungan itu. Di hari ketujuh sampailah ia pada daerah bersalju di ketinggian yang selama ini belum pernah ia bayangkan.
Sejauh mata memandang yang tampak hanya
warna putih seputih kapas dengan suhu yang sangat
dingin, membuat tubuh Parmin yang tanpa baju terasa
menggigil, tulang-tulangnya seperti gemeletuk dan darahnya seperti membeku.
Sebagai seorang pendekar ulung, Parmin dapat
menguasai keadaan itu dengan mengatur pernafasan
dan menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.
Semakin malam semakin dingin pula suhu di
puncak bersalju itu. Sementara itu nun jauh di bawah sana, lembah telah ditutupi
kabut sangat tebal.
Parmin terus merayap perlahan-lahan dan sangat hati-hati karena bukan tak mungkin suatu saat
salju itu bisa longsor secara tiba-tiba.
"Tumpukan salju ini sangat berbahaya bagiku
jika terjadi longsor!" gumamnya dalam hati.
Baru saja Parmin akan melewati sebuah batu
yang sangat besar, tiba-tiba ia mendengar suara raungan yang sangat keras.
Parmin terperanjat dan seketi-ka menghentikan langkahnya. Lalu mengendap-endap
untuk mencari sumber suara tersebut.
"Astaga! Mahkluk apa itu?"
Parmin lebih terkejut lagi setelah tahu apa yang
dilihatnya, sesosok makhluk tinggi besar seperti gorila yang seluruh tubuhnya
ditumbuhi bulu-bulu tebal
berwarna hitam serta memiliki kuku-kuku yang sangat
panjang dan runcing. Binatang seperti itu pada abad
ke dua puluh sekarang, menurut berita ditemui orang
di puncak 'Mount Everest' pegunungan Himalaya yang
oleh orang-orang setempat dijuluki dengan nama 'Yeti'.
Dengan waspada Parmin mengikuti langkah
makhluk raksasa tersebut. Suatu ketika matanya tertuju pada sosok manusia yang ternyata sedang diincar oleh si Yeti.
Pada saat itu Parmin kaget, ternyata sosok manusia yang dilihatnya adalah Awom, sang panglima
suku Kaimana yang sedang dicarinya.
"Astaga! Itu Awom!" Jaka Sembung memekik
tertahan dalam hati.
Jaka Sembung seperti tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Awom tampak duduk tenang dengan
tubuh hampir terendam oleh salju putih yang kemilauan itu. Makhluk raksasa yang berbulu tebal itu terus
melangkah menghampiri tubuh Awom. Tiba-tiba tangannya yang berbulu dan berkuku runcing itu terangkat hendak mencengkeram batang leher Awom.
Ketika melihat itu Parmin tcrsentak dan berteriak tanpa sadar.
"Awom!! Awaaaasss di belakangmu!" Tapi Awom seperti tak mendengar teriakan
Parmin, bahkan keliha-tannya dia memasrahkan diri.
Makhluk itu dengan garang meraup tubuh
Awom, sehingga ia terangkat ke atas seperti sebuah
boneka. Parmin yang melihat leher sahabatnya seperti hendak diremas putus,
menjadi kalap. Secepat kilat ia mengerahkan seluruh kekuatannya, kemudian
langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya ke dada
binatang raksasa yang menyeramkan itu.
Tak ayal lagi dengan mengeluarkan raungan
keras makhluk raksasa itu oleng dan melepaskan
cengkeramannya. Pada saat itu tubuh Awom terlepas
dari tangannya.
Makhluk seram itu mengamuk, sambil menggeram mengeluarkan suara yang sangat memekakkan telinga. Bukit salju seketika bergetar dan tumpukantumpukan es itu longsor berhamburan.
Namun, belum sempat makhluk Yeti itu berbuat sesuatu, Parmin, si Jaka Sembung dengan cepat
menghentakkan kakinya, berkelebat di udara dan
mendarat persis di hadapannya.
Dengan cepat pula Parmin langsung menghantamkan pukulan yang kedua tepat di ulu hatinya. Tubuh raksasa itu berguling-guling melorot ke bawah
dengan darah menyembur dari mulutnya.
Akibat tubuh besar yang ambruk itu, tumpukan salju yang berada di atas tebing longsor dengan
dahsyatnya, menimbulkan suara yang sangat bergemuruh dan menguburnya dalam-dalam.
Awom yang baru sadar dari semadinya menjadi
terperanjat kaget. Ia mendapatkan dirinya terpental
jauh dari tempat semula. Belum lagi terjawab permasalahannya, tiba-tiba tubuhnya terperosok ke bawah
bersamaan dengan longsoran es tadi.
Parmin yang melihat gejala kritis yang dialami
sahabatnya itu dengan cepat menyergapnya. Tindakannya justru mengakibatkan mereka berdua yang
terpelanting dan melorot ke bawah karena licinnya
longsoran es itu.
"Pegang erat-erat tubuhku, Awom!"
Longsoran salju dengan sangat cepatnya melorot, mengakibatkan pohon pinus di sekitar kaki bukit banyak yang tumbang
tersapu. Dengan mendekap tubuh Awom, Parmin bersalto untuk mencapai sebatang pohon yang tergeletak
dan segera ia manfaatkan sebagai alat peluncur.
Longsoran salju semakin menggila. Parmin mati-matian mempertahankan keseimbangan tubuhnya di
atas batang pohon yang meluncur dengan kecepatan
penuh sambil menggendong tubuh Awom. Suatu saat
batang pohon itu membentur sebuah tonjolan batu cadas, membuat tubuh mereka berdua terhempas dan
melayang di udara. Dan lalu jatuh tak jauh dari kaki bukit yang dipenuhi
rerumputan yang cukup tebal.
Parmin terperosok di sebelah Selatan, sedangkan
Awom lebih jauh terpental ke sebelah Utara.
Dengan tubuh masih berselimut salju, Parmin
menghampiri tubuh sahabatnya yang menggeliat-geliat
menahan rasa sakit, seraya berkata dengan suara terengah-engah. "Mengapa kau senekat ini, Awom"! Kau mau
bunuh diri"!"
Sambil masih menggerak-gerakkan anggota tubuhnya, Awom berkata sambil tersenyum kepada sahabatnya pendekar Gunung Sembung itu.
"Anda salah sangka, Parmin! Aku tak bermaksud bunuh diri, tetapi sedang meminta izin para dewa, dan tempatnya adalah di
sini, tempat yang paling tinggi di seluruh jagad ini!" katanya dengan wawasan
pen-getahuan seorang putra pribumi saat itu.
"Izin untuk apa?" potong Parmin dengan tak sabar. "Aku akan masuk dan memeluk
agama anda! Dan ikut ke mana saja anda pergi!" jelas Awom dengan sinar mata berbinar.
Parmin tertegun sejenak, sambil memandangi
sahabatnya, dengan tatapan mata penuh pertanyaan
dengan apa yang diucapkan pemuda kulit hitam itu.
"Alhamdulillah! Tapi mengapa kau memilih
agama Islam?"
"Bukankah anda pernah katakan bahwa semua
agama itu baik, tapi tidak semua yang baik itu benar?"
jawab Awom sambil mengingatkan Parmin pada apaapa yang pernah dikatakannya di waktu yang lalu.
Diam-diam, pendekar pulau Jawa itu memuji
kecerdasan Awom yang selama ini merenungi katakatanya. Dengan tersenyum bangga Parmin menjawab
"Betul, Awom! Tetapi untuk memasuki dan
memeluk agama Islam, harus berdasarkan ketulusan
hati atau keikhlasan tanpa paksaan. Kau sangat beruntung! Allah telah membuka mata hatimu yang selama ini berada dalam kegelapan, untuk memeluk
agama yang diridhoinya. Dalam kitab suci Al Qur'an
Allah berfirman; Inna Diena Indallohil Islam... Sesungguhnya agama yang paling
diridhoi dan yang paling di-terima di sisi Allah hanyalah Islam! Pada ayat lain
dikatakan juga yang kurang lebih maksud dan tujuannya begini; Barang siapa memeluk agama selain agama
Islam, dia di akhirat kelak termasuk orang-orang yang merugi!"
Mendengar itu, Awom seperti sudah tak sabar
lagi, ia mendesak Parmin agar dirinya bisa lebih cepat untuk menjadi seorang
muslim. "Bagaimana syaratnya?"
"Sangat mudah, Awom.... Tapi sangat berat! Karena yang paling penting adalah pengakuan di dalam
hati sanubari, bukan kata-kata yang keluar dari mulut!" Awom tak menyahut, dia hanya menganggukanggukkan kepalanya. Kemudian Parmin meneruskan
percakapannya, meminta Awom untuk mengikutinya
sambil mengucap;
"Sekarang ikutilah aku! Kau harus membaca
dua kalimat syahadat.... Assyhadu Allaa Illaha illallah.... Wa-Asyhadu Anna
Muhammadar Rasulullah!"
ucap Jaka Sembung dengan perlahan-lahan tetapi
sangat jelas. Awom mengikuti ucapan Parmin. Namun lidahnya belum bisa mengikutinya.
Berulang kali Parmin menuntun Awom mengucap kalimat-kalimat syahadat itu secara perlahanlahan. Akhirnya tepat tengah malam, Awom baru dapat
mengucapkan dengan benar, ucapan yang menjadi
syarat pertama bagi orang yang ingin memeluk agama
Islam. "Assyhadu Alla Illaha Illallah.... Wa-Asyhadu Anna Muhammadar
Rasulullah!" ucap Awom dengan
fasihnya. Dengan disaksikan gugusan bintang yang menerangi mayapada, pohon-pohon pinus raksasa yang
dahannya meliuk-liuk karena ditiup angin pegunungan, resmilah Awom menjadi seorang muslim yang siap
menjalankan perintah Sang Maha Pencipta dan menjauhi segala apa yang dilarangnya.
Di suasana malam yang hening sunyi senyap
itu, Parmin mengajak Awom untuk merenungkan eksistensi seorang muslim.
Agaknya eksistensi seperti itulah yang selama
ini membuat Awom berpikir keras, terutama ketika ia
hadir mengikuti upacara malam Natal di perkampungan suku Nabire itu.
"Kau tahu arti dan tujuan dari dua kalimat
syahadat yang baru kita ucapkan tadi, Awom?"
Lagi-lagi Awom diam, kali ini dia menggelenggelengkan kepalanya tanda tak mengerti, arti dan tujuan dari dua kalimat syahadat itu, "Arti dari dua kalimat syahadat itu adalah;
Aku bersaksi bahwa tidak
ada Tuhan yang kusembah selain Allah... Dan aku
bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Allah!"
"Lalu maksudnya apa?" potong Awom dengan
rasa ingin tahu.
"Kalimat pertama bermaksud yang kita wajib
sembah hanyalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, kita
tak boleh menyembah yang lain dari-Nya. Kalau seandainya kita menyembah dari yang lain seperti menyembah matahari, api, laut dan lain sebagainya yang termasuk ciptaan-Nya, itu
namanya 'syirik'. Kalau sudah syirik atau menyekutukan Tuhan dengan yang
lain, termasuk dosa besar yang tak dapat diampuni!"
"Sedangkan kalimat kedua; Aku bersaksi dengan sebenar-benarnya bahwa Nabi Muhammad adalah
utusan Allah. Artinya bahwa dalam menjalani kehidupan ini, seorang muslim haruslah mencontoh segala
sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad!"
Awom manggut-manggut dan kembali bertanya.
"Mengapa kita harus percaya adanya Tuhan?"
"Apabila manusia itu melihat alam yang sangat
luas dan besar ini, akan timbullah suatu pertanyaan
dalam kalbunya, tentulah ada juga sebab maka ada
alam ini, atau tentu ada pembuat yang telah membangun alam ini!" jawab Parmin dengan sederhana, agar dapat dengan mudah dicerna
oleh sahabatnya itu.
Sejenak mereka saling beradu pandang. Awom
mengembangkan sebuah senyum kepuasan atas penjelasan Parmin mengenai ajaran Islam. Tetapi kemudian
dia mengerutkan dahinya, seakan ada sesuatu hal
yang ingin ia tanyakan. Tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan adat
istiadat sukunya.


Jaka Sembung 13 Pertarungan Terakhir di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum sempat Awom mengeluarkan pertanyaan, mendadak Parmin membuka suaranya terlebih
dahulu; "Awom! Mulai saat ini kau telah menjadi seorang muslim! Jadi kau harus berpakaian secara benar!
Harus menutup aurat! Aurat seorang muslim laki-laki adalah dari pusar sampai
lutut!" jelas Parmin, sambil menunjuk bagian tubuh yang ia sebutkan.
Hari kini telah berganti pagi, mentari sedikit
demi sedikit mulai nampak dari belakang puncak pegunungan yang masih berselimut kabut tebal. Sang
mentari mulai menyinarkan sinarnya ke seluruh permukaan dataran yang hijau dengan hamparan pohonpohon yang dahannya meliuk-liuk, terhempas angin
pegunungan. Kedua sosok manusia yang tak lain adalah
Awom dan Parmin itu, berjalan dengan langkah ringan
menelusuri lembah menuju perkampungan suku Nabire. Sejenak keduanya menghentikan langkahnya,
tatkala sampai di hulu sungai yang terbentang mengelilingi perkampungan itu untuk membersihkan muka
dengan air sungai yang jernih itu.
Setelah merasakan seluruh tubuhnya segar
kembali, keduanya melanjutkan perjalanan dengan
langsung mencari jalan pintas. Tak lama kemudian,
mereka telah sampai di pinggiran perkampungan Nabire. Parmin dan panglima suku Kaimana beristirahat sejenak sambil melahap beberapa buah-buahan
yang dapat dimakan untuk mengganjal perut selama
beberapa hari tak sempat diisi.
Mereka duduk-duduk di bawah pohon yang
tinggi dan rindang sambil berbincang-bincang.
"Awom, ini buah apa namanya?" tanya Parmin.
"Oh, itu! Suku kami menamakannya buah
Opu!" jawab Awom sambil mengupas kulitnya dan
dengan lahap Parmin memakan buah yang baru dikenalnya itu. Rasanya seperti rasa kacang tanah, cukup untuk memulihkan tenaga
dalam tubuh yang selama
ini banyak terkuras.
"Oooooh, tak terasa hari sudah begitu siang!"
ucap Parmin yang mulai merasakan kantuk yang datang. "Betul! Mungkin kita sangat lelah menempuh perjalanan siang dan malam
tanpa mengenal istirahat!"
Awom menimpali ucapan Parmin.
Keduanya kini bangkit dan melangkah menuju
gerbang perkampungan yang sudah terlihat di depan
mata. "Ayolah, Awom! Hari sudah siang, mungkin mereka telah cemas menanti
kedatangan kita!"
Sementara itu di perkampungan suku Nabire
nampak Yulia, ayahnya dan pendeta Yorgen serta para
prajurit suku Kaimana sedang sibuk membereskan
berbagai perbekalan untuk persiapan perjalanan pulang yang cukup jauh dari perkampungan suku Nabire
ke perkampungan suku Kaimana.
Kedatangan Parmin dan Awom, disambut dengan sorak sorai dan tepukan tangan sambil mengeluelukan nama mereka.
"Hai!! Kawan-kawan, pahlawan kita telah datang! Telah datang di tengah-tengah kita!" teriak salah seorang dari mereka
hingga terdengar ke tempat di
mana Yulia, pendeta Yorgen dan Van Boerman berada.
Yulia dengan cepat ke luar rumah dan berlari
menyongsong sambil memeluk Jaka Sembung, kemudian ia menoleh kepada Awom seraya bertanya.
"Awom! Apa yang kau lakukan di puncak Kahyangan itu! Kami semua sangat mengkhawatirkan dirimu!" Awom tersenyum kalem mendengar pertanyaan kepala sukunya yang cantik itu.
Kepala suku Nabire yang sejak selesai upacara
perayaan Natal, terus menerus khusuk melakukan
upacara ritual memanjatkan doa menurut agama sukunya. Bagi keselamatan Awom dan Parmin, kini telah
mengakhirinya setelah mendengar Awom dan Parmin
kembali ke tengah-tengah mereka, dengan tak kurang
suatu apa. Kemudian Kya-Fa kepala suku Nabire yang ramah itu duduk membaur bersama-sama yang lain untuk mendengarkan cerita Awom.
Awom mengisahkan perjalanannya mendaki
puncak Kahyangan. Di mana dirinya hampir tewas di
tangan makhluk raksasa bertubuh laksana gorila yang
memiliki bulu-bulu tebal dan sampai akhirnya ia resmi menjadi seorang muslim.
Semua orang yang mendengar ceritanya, baik
Yulia, pendeta Yorgen, Van Boerman dan Kya-Fa kepala suku Nabire, bergembira karena Awon telah pulang
dengan selamat dan turut gembira dengan agama baru
yang menjadi pilihan pemuda gagah itu.
Hari semakin larut, di luar pondok udara dirasakan sangat dingin dan suasana sunyi mencekam,
hanya sekilas terdengar suara bisikan binatangbinatang kecil yang bersembunyi di kegelapan malam.
Waktu demi waktu cuaca semakin gelap karena
bintang gemintang di cakrawala sudah menghilang di
balik awan hitam. Kilat sekali-sekali menerangi kegelapan malam, disusul
kemudian dengan suara halilintar
yang menggelegar. Sesaat kemudian terdengar air gemericik di atap-atap rumah.
Hujan mulai turun dengan derasnya, sehingga
tak seorang pun penghuni perkampungan yang berkeliaran. Obor-obor yang menyala di sekitar perkampungan suku Nabire semua padam tertimpa air hujan.
Di malam yang semakin gelap dan basah kuyup
itu, tak ada lagi terdengar orang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah suara
dengkuran nafas yang mengiringi tidur lelap para penghuninya.
Pagi itu seluruh halaman rumah dan pepohonan basah tersimbah air hujan, yang baru berhenti ketika menjelang pagi.
Beberapa orang satu persatu mulai keluar dari tempat tinggal mereka. Begitu juga dari tempat kediaman kepala
suku Nabire, beberapa orang
yang tak lain dari Yulia, dan ayahnya, Yan Van Boerman, pendeta Yorgen, kepala suku Nabire Kya-Fa,
Awom si panglima suku Kaimana dan Parmin si Jaka
Sembung, bergegas menuju halaman terbuka untuk
menghirup udara pagi yang masih segar.
Sesaat kemudian, kepala suku Nabire Kya-Fa
berdiri di hadapan rakyatnya seraya berbicara dengan berapi-api.
"Hai, rakyatku suku Nabire dan kalian juga rakyat suku Kaimana! Aku di sini atas nama kalian mengucapkan banyak terimakasih, bahwa saudarasaudara kita yang berasal dari dunia yang lebih maju telah mengajari kalian
bagaimana caranya menenun
dan yang lain-lain!"
Selesai Kya-Fa berbicara, mereka menyambutnya dengan sorak sorai yang gegap gempita.
Parmin, Yulia, pendeta Yorgen dan Yan Van
Boerman telah mengajari mereka tentang baca tulis
dan beberapa hal tentang dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sedikit demi sedikit, orang-orang suku Nabire dan suku Kaimana sudah mulai
bisa mengenal huruf
dan mengenal suatu peradaban yang sebelumnya masih asing bagi mereka.
Ingin sekali Parmin lebih lama tinggal di tengah
suku-suku Papua, untuk menyumbangkan apa saja
yang ia dapat sumbangkan kepada mereka, tapi karena masih banyak tugas menanti, maka Parmin tak dapat tinggal di Papua.
Ia bermaksud kembali ke pulau Jawa membawa
serta Awom yang tak mau lagi berpisah dengan Parmin. Maka tibalah hari yang dinantikan itu. Mereka
bersiap-siap untuk mengantar Parmin dan Awom ke
pantai menuju ke atas perahu, yang sudah dipersiapkan orang-orang suku Nabire sebelumnya. Perahu
itu cukup besar untuk dua orang, diperlengkapi dengan layar, dayung, serta perbekalan makan minum
yang cukup, selama perjalanan yang diperkirakan
memakan waktu cukup lama menuju pulau Jawa.
Di antara kerumunan orang-orang itu, nampak
yang paling sedih adalah Yulia, dia sepertinya tidak mau ditinggalkan oleh
seorang yang paling ia kagumi.
Dengan isak tangis, ia menjatuhkan tubuhnya
di dada Parmin yang berusaha menghibur hatinya.
"Sudahlah Yulia! Kalau panjang umur, kita bisa
bertemu lagi! Aku percaya di bawah kepemimpinanmu
dan di bawah bimbingan pendeta Yorgen, suku Kaimana dan suku Nabire akan menjadi suku yang beradab
dan hidup lebih maju."
Di tengah suasana yang sangat mengharukan
itu, pendeta Yorgen berkata sambil mengucapkan selamat jalan. Disusul oleh ucapan ayah, Yulia dengan
suara berat karena tak tahan melihat perpisahan anta-ra mereka, kedua matanya
berkaca-kaca tergenang air
mata dan rakyat kedua suku itu hanya terdiam membisu. "Dan kami pun berdoa semoga bangsa anda segera terlepas dari belenggu
penjajahan! Kami berbicara atas ikatan hati nurani sesama manusia! Tuhan selalu
beserta kita, Jaka Sembung!"
"Terima kasih!" ucap Parmin sambil mengajak Awom untuk menaiki perahu berbentuk
rakit tersebut.
Sementara itu Yulia masih memandang tak berkedip
dalam melepas kepergian Jaka Sembung. Terlalu banyak suka duka bersamanya yang harus dilupakan
begitu saja. Terlalu pahit dan terlalu pagi baginya
menghadapi perpisahan ini.
Semangat hidup yang baru saja tumbuh dalam
diri gadis Belanda ini, berkat dorongan kasih sayang pendekar muda dari tanah
Jawa itu, kini tiba-tiba ter-goyang dengan kepergiannya.
Dunia seisinya tiba-tiba terasa begitu sunyi baginya. Kepada siapa lagi ia akan berbagi canda ria dan bercengkrama seperti yang
dilakukannya selama ini.
Perahu rakit itu berlayar kian jauh dari tepi
pantai Sarera, semakin lama semakin mengecil dari
pandangan mata sampai akhirnya lenyap di balik kaki
langit sebelah Barat.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Bara Diatas Singgasana 23 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Membunuh Naga 37

Cari Blog Ini