Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat Bagian 3
Sepenggal. Meski tulisan itu samar-samar dan buruk, namun Pendeta Sinting masih dapat
membacanya. Bahkan orang tua ini
membacanya beberapa kaii.
"Hm.... Tak salah jika beberapa tokoh edan itu mengejar-ngejarnya.
Ternyata dia memang membawa petunjuk tentang pedang mustika itu! Pasti tulisan
ini dibuat oleh mendiang Ki Buyut Mangun Raksa tanpa sepengetahuan Bandung
Bandawangsa...," Pendeta Sinting menghela napas panjang. Lalu melirik sekilas
pada Joko Sableng yang kini asyik mengorek-ngorek lumut tebal hijau di
sampingnya. Tiba-tiba kening Pendeta Sinting
mengernyit. Dia teringat sesuatu.
"Astaga! Bukankah hal yang kutemui saat ini hampir sama dengan mimpiku" Aku
bermimpi didatangi seorang laki-laki dan seorang anak kecil. Si anak datang
sambil mengacungkan tangan kirinya ke atas dengan telapak tangan terbuka,
sementara si laki-laki datang dengan membawa sebuah pedang.... Dan masih kuingat
sebuah suara yang tiba-tiba menyeruak bersama kedatangan kedua orang itu.
'Anak ini yang kelak ditentukan untuk memiliki pedang itu. Rawat dan jagalah!'
Hm.... Sepertinya sebuah perintah.
Ah.... Mimpiku benar-benar jadi
kenyataan. Jadi aku harus merawat dan menjaga anak ini. Dan menuntunnya untuk
mendapatkan pedang itu jika sampai saatnya. Hmm...."
Tiba-tiba Malaikat Lembah Hijau
kembali perdengarkan erangan, membuat Pendeta Sinting terjaga dari lamunannya.
Cepat, kakek ini tempelkan kedua tangannya pada punggung Malaikat Lembah Hijau
yang memang berwarna biru akibat pukulan Hantu Makam Setan.
Setelah agak lama Pendeta Sinting kerahkan tenaga dalam dan disalurkan pada
punggung Malaikat Lembah Hijau, perlahan-lahan warna biru akibat pukulan Hantu
Makam Setan sirna, dan bersamaan itu Malaikat Lembah Hijau kembali bergerakgerak. Anehnya, bersamaan dengan sirnanya warna biru, tulisan di punggung
Malaikat Lembah Hijau juga lenyap!
"Aneh.... Kalau bukan seseorang yang memiliki ilmu tinggi, tak mungkin bisa
melakukan hal seperti ini...,"
desis Pendeta Sinting, lalu tarik kedua tangannya.
Malaikat Lembah Hijau
perlahan-lahan bergerak bangkit. Lalu duduk seperti semula. "Terima kasih,
Pendeta.... Ini pasti akibat pukulan Hantu Makam Setan yang kuceritakan padamu
itu, Pendeta!"
Pendeta Sinting tidak menanggapi
ucapan Malaikat Lembah Hijau. Malah dia balik ajukan tanya.
"Bandung Bandawangsa. Kutanya padamu. Tapi ingat, jangan kau berkata dusta
padaku. Kau dengar"l"
Meski dengan wajah heran, Malaikat Lembah Hijau anggukkan kepalanya.
"Tak ada untungnya aku bicara dusta padamu, Pendeta. Katakanlah!"
"Apakah mendiang gurumu memang tak pernah cerita tentang pedang mustika itu"!"
"Seperti yang tadi kukatakan. Guru Ki Buyut Mangun Raksa memang tak pernah
cerita apa-apa tentang pedang itu, Pendeta. Kenapa pendeta menanyakan hal itu
lagi"!"
Pendeta Sinting tidak segera
berkata. Memandang sejenak pada
Malaikat-Lembah Hijau lalu tengadah.
"Dengar. Aku telah menemukan petunjuk tentang pedang mustikan itu pada dirimu!"
Malaikat Lembah Hijau tercengang.
Mungkin takut kalau disangka dia berkata dusta, laki-laki ini segera berkata.
"Tapi, Pendeta. Guru memang
benar-benar tak pernah memberikan petunjuk itu padaku. Dan aku pun tak tahu!
Kalau tak keberatan, boleh aku tahu di mana dan bagaimana petunjuknya"!"
"Sebelum kukatakan, jawab lagi pertanyaanku. Apakah gurumu pernah menulis
sesuatu pada tubuhmu"!"
Malaikat Lembah Hijau terdiam.
Keningnya berkerut seakan mengingat.
Lalu kepalanya menggeleng perlahan.
"Rasa-rasanya tak pernah. Hanya saja...."
"Hanya saja apa"!" tukas Pendeta Sinting.
"Sewaktu latihan, aku pernah cidera di bagian punggung. Waktu itu Guru
mengobati. Namun waktu itu aku merasa aneh, karena cara mengobatinya dengan
menggunakan ijuk keras yang
ditoreh-torehkan di punggungku. Padahal biasanya Guru mengobatiku dengan
salurkan tenaganya lewat teiapak tangan.
Namun aku waktu itu diam saja."
"Hm.... Jika demikian, tulisan itu bisa dipercaya!" gumam Pendeta Sinting,
membuat Malaikat Lembah Hijau makin penasaran.
"Tulisan, Pendeta maksud tulisan mana"!"
"Dengar, Bandung Bandawangsa. Di punggungmu aku melihat tulisan yang memberi
petunjuk tentang beradanya Pedang Tumpul yang kini diperebutkan oleh orang-orang
rimba persilatan. Dan mendengar ceritamu, aku yakin bahwa yang menulis itu
adalah gurumu"
Malaikat Lembah Hijau terperangah.
Dia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Namun sebelum laki-laki ini
hilang rasa terkejutnya, Pendeta Sinting telah ajukan pertanyaan.
"Apakah kau berniat memiliki senjata itu"!" "Pendeta.... Kalau mendiang Guru
tidak pernah mengatakan padaku, dan hanya menuliskan di
punggungku, aku bisa menebak jika pedang itu tidak ditentukan untukku! Jadi
percuma aku memburu atau berniat
memilikinya! Biarlah pedang itu dimiliki oleh orang yang ditentukan untuk
memilikinya!"
"Hmm.... Bagus. Orang sadar diri seperti kau sulit ditemui saat ini.
Kebanyakan orang, mereka tak sadar dan terus memburu sesuatu yang di luar
jangkauannya. Hingga mereka terperosok!
Anehnya, dalam keterperosokannya itu mereka bangga! Gila...."
Pendeta Sinting lantas melirik ke samping. Dilihatnya Joko telah tertidur di
atas lumut hijau! Orang tua ini menggeleng, lalu berpaling pada Malaikat Lembah
Hijau. Setelah batuk-batuk beberapa kali orang tua ini menceritakan mimpinya
pada Malaikat Lembah Hijau.
"Bagaimana menurutmu"!" tanyanya setelah menceritakan mimpinya.
Malaikat Lembah Hijau coba
menguasai diri dari rasa terkejutnya dahulu setelah mendengar cerita mimpi orang
tua di hadapannya. Lalu berkata.
"Menilik mimpimu, aku beranggapan bahwa memang anak ini yang ditentukan untuk
memiliki pedang itu!"
"Hmm.... Dugaanmu sama dengan perkiraanku. Namun seperti suara yang kudengar,
untuk sementara waktu anak ini akan kurawat, hingga tiba saatnya nanti.
Lagi pula sambil jalan aku akan
menyelidik apa makna tulisan di telapak tangan anak ini. Tentunya menyimpan
sesuatu!" Beberapa saat berlalu, kedua orang ini lantas saling diam, seakan berpikir
dengan perasaan masing-masing. Namun tak lama kemudian Malaikat Lembah Hijau
angkat bicara. "Pendeta.... Rasanya aku sudah agak baik. Perkenankan aku pamit."
"Hmm.... Begitu" Baik. Tapi kau harus tetap berhati-hati. Jiwamu masih menjadi
incaran banyak orang. Apalagi jika berita itu telah menyebar
kemana-mana."
"Segala ucapanmu akan kuperhatikan, Pendeta!" ujar Malaikat Lembah Hijau pelan,
lalu menyambung.
"Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak kuinginkan, bisakah Pendeta menolong
menghilangkan tulisan pada punggungku ini"!"
Penghuni jurang Tlatah Perak ini tertawa mengekeh. "Kau ternyata belum kenal
betul dengan gurumu!"
"Maksud Pendeta..."!"
"Bukan Ki Buyut Mangun Raksa jika bertindak bodoh. Tulisan itu telah lenyap
begitu aku salurkan tenaga dalam lewat punggungmu!"
"Ah...," hanya keluhan itu yang terdengar dari mulut Malaikat Lembah Hijau.
Setelah terdiam beberapa saat, laki-laki ini menjura hormat, lalu berkata.
"Jika demikian, aku pamit sekarang, Pendeta...."
Pendeta Sinting anggukkan kepala.
"Jangan lupa, temui pamannya Joko. Dan ceritakan apa adanya!"
"Akan kulakukan, Pendeta.... Aku mohon diri...," Malaikat Lembah Hijau bergerak
bangkit. Merapikan pakaiannya sebentar, lalu tengadah. Tiba-tiba dia seakan baru
sadar jika saat itu dirinya ada di dalam jurang yang dalam.
"Astaga! Tak mungkin bagiku
melewati tebing yang demikian dalam...."
"Bandung Bandawangsa. Turutlah jalan setapak ini. Pada sebuah pohon beringin
kembar kau belok ke kanan. Jalan terus melewati jalan setapak. Hingga kau
menemukan aliran sungai. Dari sana kau bisa mendaki!" berkata Pendeta Sinting
seolah mengerti apa yang ada dalam benak Malaikat Lembah Hijau.
Malaikat Lembah Hijau mengangguk, lalu putar tubuhnya dan melangkah menapaki
jalan yang telah disebutkan penghuni jurang Tlatah Perak itu.
Sejak hari itulah Joko Sableng hidup di dalam jurang Tlatah Perak bersama
Pendeta Sinting.
*** 9 ADALAH suatu hal yang aneh jika
dalam sebuah tempat yang orang tak menyangka bakal dihuni manusia terjadi suatu
pemandangan yang menakjubkan.
Betapa tidak" Seorang pemuda berparas tampan, berambut panjang berurai dan acakacakan sedang berdiri tegak di atas sebuah tonjolan batu pipih yang menonjol
pada lamping jurang. Sejenak pemuda ini memandang liar ke bawah, di mana
terlihat seorang kakek sedang duduk bersila seraya memejamkan mata. Namun
mulutnya tak henti-hentinya komat-kamit, dan tak lama kemudian tertawa ngakak.
Namun tiba-tiba saja kedua
tangannya yang merangkap di depan dada bergerak dan memukul ke atas.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua gelombang angin dahsyat segera melesat dengan diiringi suara
menggemuruh. Di atas sana, sang pemuda
ikut-ikutan tertawa, namun sebentar kemudian telah melesat bersamaan dengan
sampainya pukulan si kakek.
Suara berderak segera menyeruak.
Lamping jurang itu hancur berantakan dan meninggalkan lubang sedalam setengah
depa! Sang kakek melirik ke samping kanan, di mana si pemuda kini berada. Kedua
tangannya lantas diangkat ke atas kepala. Serta-merta kedua tangannya
dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda.
Dua berkas sinar melesat lalu
mengembang dan serta-merta berhamburan membentuk beberapa pijaran. Pijaran itu
lantas melesat dari segala arah menuju ke arah si pemuda!
Sang pemuda tak tinggal diam. Kedua tangannya segera pula mengembang, lalu
disentakkan. Dari kedua tangan si pemuda segera pula melesat dua sinar kuning keperakan.
Bersamaan dengan itu, suasana berubah menjadi semburat warna kuning. Tak lama
kemudian terdengar beberapa kali letupan keras tatkala bersitan sinar kuning
tadi menghantam beberapa pijaran. Setiap kali letupan, tanah di tempat itu
bergetar keras. Hingga di tempat itu laksana dilanda gempa beberapa kali. Tanah
pun berhamburan, semak belukar tercerabut sampai akar-akarnya. Begitu tanah
surut, si pemuda terlihat terhuyuhg-huyung, namun segera dapat kuasai diri.
Sedangkan sang kakek tubuhnya
bergoyang-goyang sebentar. Namun cuma sesaat. Sekejap kemudian tubuhnya telah
diam seperti sediakala. Malah bersamaan dengan itu dari mulutnya terdengar suara
tawa mengekeh panjang. Tiba-tiba si kakek putuskan tawanya. Kaki bergerak ke
depan lalu ditekuk, hingga kakek ini duduk bersimpuh. Sepasang matanya yang
kelabu sedikit memejam. Mulut berkemik.
Tiba-tiba saja kedua tangan orang ini berubah menjadi kuning bercahaya.
Sang pemuda terperangah. Sepasang matanya yang tajam memandang tak
berkedip. "Busyet! Dia hendak lepaskan pukulan 'Lembur Kuning'...," sungut si pemuda
dengan dada berdebar. Dan tanpa menunggu si orang tua menggerakkan kedua
tangannya, pemuda ini cepat pula
mengambil sikap seperti si orang tua.
Kedua tangan merangkap sejajar dada, sepasang mata sedikit terpejam dengan mulut
komat-kamit. Seperti yang terjadi pada si orang tua, kedua tangan pemuda ini
sekejap kemudian telah berubah menjadi kuning bercahaya!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Di depan sana, sekonyong-konyong si orang tua buka rangkapan kedua
tangannya. Dan serta-merta kedua
tangannya dikembangkan dan disentakkan ke arah si pemuda!
Tangan bergetar keras. Dua sinar
kuning keperakan melesat keluar. Pada saat bersamaan, suasana ditempat itu
berubah menjadi semburat warna kuning.
Inilah pukulan sakti yang beberapa puluh tahun silam pernah menggemparkan rimba
persilatan, yakni pukulan 'Lembur Kuning'!
Di seberang sana, mendapati si orang tua telah lepaskan pukulan, sang pemuda tak
tinggal diam. Kedua tangannya pun dikembangkan dan segera dihantamkan memapak
pukulan si orang tua.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dua sinar kuning melesat dari kedua telapak tangan si pemuda lalu mengembang dan
menggebrak memapak pukulan yang datang.
Dua pukulan sakti 'Lembur Kuning'
bentrok di udara. Hingga sekejap itu juga terdengar ledakan dahsyat, membuat
semak belukar di sekitar tempata itu
porak-poranda, tanah di sana-sini membentuk kubangan. Ranting dan
dahan-dahan pohon berpatahan, rimbun dedaunan di atas sana langsung mengering
hangus sebelum akhirnya gugur
berhamburan. Ketika suasana terang kembali, si orang tua terlihat mengurut dada seraya batukbatuk kecil, tubuhnya bergeser hingga beberapa langkah ke belakang.
Dahi dan lehernya tampak dilelehi keringat.
Di seberang, si pemuda terjajar
hingga dua tombak dan terduduk di atas tanah. Wajahnya pucat pasi, kedua
tangannya bergetar dengan sekujur tubuh telah basah kuyup oleh keringat.
"Sontoloyo! Sini kau!" tiba-tiba si kakek memanggil dengan anggukkan
kepalanya pada sang pemuda.
Sang pemuda masukkan jari
kelingkingnya pada lubang telinganya hingga wajahnya meringis. Lalu bangkit dan
melangkah ke arah si kakek.
"Duduk!" perintah si kakek. Sang pemuda menuruti perintah. Dia duduk namun tak
henti-hentinya wajahnya meringis, karena jari kelingkingnya masih masuk ke dalam
lubang telinganya, malah seolah disengaja, jari kelingking dimasukkan semakin
dalam, hingga tubuhnya terangkat dengan cengengesan!
Anehnya, sang kakek tidak marah,
sebaliknya malah ikut-ikutan tertawa!
Setelah puas tertawa, kakek ini
memandang tajam pada sang pemuda. Lalu berkata.
"Joko. Aku ingin bicara denganmu!"
"Aha.... Ingin bicara kenapa berkata dulu, Eyang...?"
"Sontoloyo, Ini soal sungguhan!
Tidak bercandal" tukas si kakek dengan suara agak keras. Namun wajahnya tak
menunjukkan perasaan marah.
"Hmm.... Soal apa Eyang?" tanya sang pemuda begitu melihat kesungguhaan pada
wajah orang tua di hadapannya.
"Joko. Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Ada laki-laki ada
perempuan. Ada siang ada malam. Ada luar ada
dalam. Ada pertemuan ada
perpisahan...," sejenak si kakek menghentikan ucapannya. Sementara sang pemuda
terpekur, seakan masih tak mengerti dengan arah pembicaraan orang tua di
hadapannya. "Hari ini, kita harus menjalani pasangan dari pertemuan!"
"Maksud Eyang...."
"Kurasa apa yang kuberikan padamu selama kau disini, sudah cukup. Pukulan
Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'Lebur Kuning' telah kau kuasai dengan baik, demikian pula jurus-jurus yang
telah kuajarkan padamu! Tapi ingat. Apa yang sekarang telah kau miliki, tidak
ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang dimiliki Tuhan. Ilmu yang kau
miliki, hanya sebagian kecil dari ilmunya Tuhan. Maka dari itu jangan kau
bersifat sombong. Meremehkan orang lain!"
"Saya mengerti, Eyang...."
"Kembali pada ucapanku tadi, hari ini sudah saatnya kita harus berpisah!
Sudah waktunya kau mengamalkan apa yang telah kau miiikl untuk ketenangan dan
kedamaian umat manusia."
"Tapi, Eyang...."
"Tak ada tapi. Harus! Kau dengar"
Harus!" sahut sang kakek tandas.
Sang pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng, memandang lekat-lekat pada
orang tua di hadapannya yang bukan lain adalah Pendeta Sinting. Memang, tanpa
terasa, delapan tahun sudah Joko berdiam diri bersama Pendeta Sinting di dalam
jurang Tlatah Perak. Selama itu pula, siang malam Joko mendapat gembelengan ilmu
silat dari orang tua yang pada beberapa puluh tahun silam pernah menggegerkan
rimba persilatan itu. Tubuh Joko pun kini telah berubah. Sosoknya kini tegap.
Kedua tangannya berotot dengan kaki kokoh.
"Joko. Ada satu hal yang harus kau kerjakan begitu kau menginjak tanah di luar
sana. Ingat. Hal ini harus kau kerjakan! Tanpa berpaling pada masalah lain!"
"Apa hal itu, Eyang..."!" sahut Joko dengan suara agak parau, karena pemuda ini
sebenarnya tidak menyangka jika hari ini adalah hari terakhir baginya berada di
dalam jurang Tlatah Perak. Dia seakan masih tak percaya dengan apa yang baru
saja dikatakan oleh gurunya itu.
"Seperti yang sering kukatakan padamu, saat ini rimba persilatan sedang
diguncang dengan berita tentang Pedang Tumpul yang dari dahulu hingga kini belum
juga terbuka misterinya! Kau kutugaskan untuk melacak pedang mustika itu!"
Joko Sableng manggut-manggut.
Pendeta Sinting tengadahkan kepalanya.
Lalu melanjutkan.
"Kau masih ingat dengan Bandung Bandawangsa" Orang tua yang terjun ke jurang ini
bersamamu dahulu"!"
Joko mengangguk. Sementara Pendeta Sinting terus tengadah.
"Orang itu membawa petunjuk tentang di mana beradanya pedang mustika itu!"
Joko Sableng tersentak kaget.
Matanya membesar. Namun sebentar
kemudian wajahnya berubah. Dia tampak ragu-ragu. Lalu mengutarakan apa yang
diragukannya pada Pendeta Sinting.
"Eyang, apakah petunjuk dari Bandung Bandawangsa bisa dipercaya"!"
Penghuni jurang Tlatah Perak itu
tertawa, lalu luruskan kepalanya.
"Jangan tanyakan hal itu padaku. Aku tak dapat memastikannya. Hanya saja kelak
kau akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu setelah kau menyelidik!"
Joko terdiam. Dia lantas teringat sewaktu menolong Bandung Bandawangsa yang
waktu itu dikejar-kejar oleh Hantu Makam Setan dan Dewi Asmara. Dia juga masih
ingat, Hantu Makam Setan meminta sesuatu tentang petunjuk pedang mustika.
"Kalau tokoh-tokoh hebat mengejar dia, rasa-rasanya tidak mustahil jika dia
memang mempunyai petunjuk itu...,"
memikir sampai di situ keragu-raguan Joko sedikit hilang. Pemuda murid Pendeta
Sinting ini lantas bertanya.
"Katakanlah, Eyang. Di mana
beradanya pedang mustika itu?"
"Kau dengar baik-baik petunjuk yang pernah kubaca Itu. Pedang Tumpul 131.
Pesanggrahan Keramat. Puncak Bukit Sono Keling. Bulan Sepenggal. Nah, kau
jabarkan sendiri petunjuk itu!"
Joko Sableng mengulangi petunjuk
yang diucapkan Pendeta Sinting. Dahinya berkerut seakan mencari arti dari
petunjuk itu. "Pedang Tumpul 131. Hm.... Ini pasti nama pedang mustika itu. Pesanggrahan
Keramat. Hmm.... Pesanggrahan....
Adalah tempat dimakamkannya seseorang yang dianggap sakti. Puncak bukit Sono
Keling. Ini pasti tempat makam orang sakti itu. Bulan Sepenggal.... Apa artinya
ini"!"
Belum sempat Joko menemukan arti
kata-kata pada petunjuk terakhir itu Pendeta Sinting telah buka suara lagi.
"Joko. Kau sudah siap berangkat"!"
Joko anggukkan kepala meski hatinya mesih ada beberapa pertanyaan. Dia
sebenarnya hendak menanyakan hal itu pada gurunya namun dia batalkan. Karena dia
tak mau dianggap manusia yang tak mau berpikir.
Setelah memandang sejenak pada
gurunya, Joko menjura dalam-dalam. Lalu bergerak bangkit.
"Joko.... Hari-hari di depanmu sangat berat dan sudah pasti sarat dengan
berbagai cobaan dan tantangan karena rimba persilatan selalu dan selalu dihiasai
dengan segala macam fitnah, kelicikan, dendam juga hasutan!
Pergunakan otak bersih dan kepala dingin dalam menghadapi segala masalah! Segala
masalah tujukan hanya demi untuk
kedamaian dan ketenteraman umat
manusia!" "Segala ucapan Eyang sedapat mungkin akan murid lakukan! Aku mohon pamit,
Eyang...."
Pendeta Sinting anggukkan
kepalanya, lalu memandang tajam pada Joko Sableng. Joko Sableng menjura sekali
lagi, lalu putar tubuhnya dan melangkah melewati jalan setapak.
Kira-kira dapat lima belas langkah, kepalanya tengadah. Lalu berpaling sebentar
pada Pendeta Sinting, namun ternyata orang tua itu sudah tidak ada lagi di
tempatnya semula!
Joko menggumam tak jelas, lalu
tengadah lagi. Sekejap kemudian tubuhnya melesat ke atas, menjejak tonjolan batu
di lamping jurang lalu mental lagi ke atas, menjejak lagi tonjolan pada lamping
jurang sampai akhirnya
menginjaktanah di bibir jurang. Masa delapan tahun di dalam jurang Tlatah Perak
telah membuat pemuda itu hapal tonjolan-tonjolan tebing yang dapat dipijaknya.
Sehingga Joko mampu mendaki tebing jurang yang dalam itu.
Sejenak sepasang matanya memandang berkeliling. Lalu berpaling ke bawah.
Hanya kegelapan yang terlihat.
"Hm...Delapan tahun Paman
kutinggalkan. Sebelum menjalankan tugas Guru, aku akan menemui Paman terlebih
dahulu. Selain melepas rasa rindu, siapa tahu Paman tahu tempat yang hendak
kutuju...." Setelah menghela napas panjang dan dalam pemuda ini berkelebat
meninggalkan tempat itu.
*** "Hmm.... Kulihat telah banyak perubahan dengan kampung ini. Delapan tahun
ternyata telah mampu membuatku hampir lupa karena begitu banyaknya perubahan....
Kalau saja masa kecilku tidak di daerah sekitar sini, mungkin aku tidak akan
bisa mengenali lagi kampung ini.
Apakah Paman masih ingat dengan diriku?"
Joko berkata sendiri dalam hati serayaa terus melangkah menyusuri Kampung Anyar
dengan sepasang mata tak hentinya memperhatikan tempat-tempat yang
dilewati. Sampai pada sudut kampung, tepatnya di depan sebuah rumah kayu yang letaknya
berbatasan dengan jalan menuju hutan, Joko hentikan langkahnya sejenak.
Sepasang matanya memandang tajam pada rumah kayu terpencil itu.
"Rumah itu, masih tetap seperti delapan tahun yang lalu.... Tak ada perubahan di
sini...," gumam Joko lalu meneruskan langkah menuju rumah kayu yang pintunya
tampak tertutup.
"Paman...!" seru Joko begitu telah berada di depan pintu.
Tak ada sahutan dari dalam rumah, namun sepasang telinga Joko yang telah
terlatih dapat menangkap
langkah-langkah kaki menuju ke pintu.
Dada pemuda ini berdebar. Mungkin tak sabar, kedua tangannya segera bergerak ke
depan mendorong pintu.
Bersamaan dengan itu, dari dalam
rumah, pintu itu ditarik membuka.
Debaran dada Joko makin keras, sepasang matanya tak berkedip dengan mulut komatkamit ketika di balik pintu yang telah terbuka, tampak berdiri seorang laki-laki
berusia ianjut. Rambutnya telah putih dengan mata sayu.
Di balik pintu, si orang tua sejurus memandangi pemuda di hadapannya dengan mata
menyipit dan membesar. Dahinya yang telah mengeriput makin berkerut. Sebelum
orang tua ini keluarkan suara untuk menanyakan siapa adanya sang tamu, Joko
telah melangkah masuk dan serta-merta menubruk orang tua itu.
"Paman.... Aku Joko...," desis Joko dengan suara parau dan tersendat.
Entah karena terkesima atau
terkejut, si orang tua hanya diam saja.
"Paman.... Aku Joko Sableng...,"
ulang Joko tatkala dilihatnya si orang tua hanya diam.
"Joko Sableng...," gumam si orang tua mengulangi ucapan Joko. Serta-merta orang
tua ini merangkul Joko dengan mulut komat-kamit tapi tak jelas apa yang
diucapkan. Namun dari wajahnya jelas jika orang tua ini sangat gembira dan
terharu. Hingga untuk beberapa lamanya, orang tua ini tak mau melepaskan
rangkulan tangannya. Kedua orang ini sama melepaskan kerinduan.
"Paman.... Bagaimana keadaanmu selama ini?" "Aku baik-baik saja dan aku senang
melihat kau segar bugar.... Aku bahkan hampir tak mengenalimu lagi, karena kau
telah berubah...."
Paman Joko melepaskan rangkulannya.
Lalu menarik sedikit tubuhnya ke
belakang. Sepasang matanya yang sayu memandangi Joko dari atas hingga bawah.
"Joko.... Aku tak menduga jika semua ini terjadi...," ucap pamannya masih dengan
mata tak berkedip seolah tak mempercayai penglihatannya.
Joko tersenyum. Lalu menebarkan
pandangannya ke seluruh ruangan.
"Paman. Maaf kan aku. Karena saat itu aku tak pamit padamu...."
Sang paman menarik napas panjang
seraya gelengkan kepala.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku telah mendengar semuanya dari Pendekar
Malaikat Lembah Hijau. Kau sungguh beruntung, Joko. Hanya pesanku....
Kuharap kau tak berubah meski aku yakin, kau sekarang bukan lagi Joko yang
delapan tahun lalu. Jangan kau bersifat jumawa walau kau sekarang telah diangkat
murid oleh seorang tokoh silat yang kesohor!"
"Segala nasihatmu akan terus kuingat, Paman...."
"Bagus.... Aku sangat gembira mendengarnya...."
"Paman. Sebenarnya aku masih punya sesuatu yang harus kuselesaikan...."
Sang paman menarik napas. Wajahnya sedikit murung.
"Joko. Aku tahu. Tapi untuk
menghilangkan rindu ini, kuharap kau malam ini mau menginap di sini. Meski aku
telah mendengar ceritamu dari Pendekar Malaikat Lembah Hijau, aku masih ingin
mendengar dari dirimu sendiri. Sekarang kau mungkin masih lelah. Beristirahatlah
dulu. Nanti malam kita teruskan obrolan kita. Setelah itu kau boleh meneruskan
perjalanan jika memang ada yang harus kau selesaikan."
Karena tak mau mengecewakan orang tua yang telah merawat dan mendidiknya sejak
kecil, murid Pendeta Sinting ini akhirnya anggukkan kepalanya dengan tersenyum.
"Aku akan ke pancuran dulu, Paman.
Aku kangen dengan situasi di situ!"
Sang paman hanya tersenyum dan
memandangi Joko yang telah putar
tubuhnya dan melangkah menuju pancuran di dekat hutan.
"Benar-benar tidak disangka....
Hm.... Semoga anak Ini bisa membawa diri dan menjadi seorang pendekar muda yang
berbudi...," ujar sang paman dengan memandangi langkah-langkah Joko sampai
pemuda ini menghilang di tikungan jalan setapak menuju pancuran.
*** 10 MUNGKIN karena satu-satunya yang
ada, kedai di sudut desa yang tidak terlalu besar dan sedikit kotor itu banyak
didatangi para pengunjung. Beberapa ekor kuda tampak ditambatkan di sebelah
samping kedai, memberi petunjuk jika pengunjung kedai itu bukan hanya datang
dari kampung sekitar daerah itu saja, melainkan juga datang dari kampung lain.
Dari arah barat kedai, seorang
pemuda terlihat melangkah pelan seraya memperhatikan keadaan sekitar yang
dilewatinya. Beberapa kali kepalanya berpaling ke kanan kiri dengan mata sedikit
dilebarkan, sementara mulutnya tak henti-hentinya bergumam tak jelas, seakan
menunjukkan bahwa sang pemuda adalah bukan penduduk asli kampung itu.
Pemuda ini rnengenakan pakaian
putih dengan ikat kepala berwarna putih juga. Rambutnya panjang sedikit
acak-acakan, sepasang matanya tajam dengan alis mata tebal dan hitam. Dagunya
kokoh dengan hidung sedikit mancung.
Sosoknya tegap dengan dada bidang.
Begitu sampai di halaman kedai,
pemuda itu hentikan langkahnya. Sepasang matanya jelalatan ke sana kemari, lalu
memandang lurus ke dalam kedai. Sejurus pemuda ini menghela napas panjang.
Wajahnya jelas menampakkan
keragu-raguan di hatinya, antara meneruskan langkah dan masuk kedai, karena
beberapa kali pemuda ini melangkah mondar-mandir dengan mata memandang ke
sebelah timur lalu berpaling ke arah kedai.
Setelah berpikir agak lama,
akhirnya pemuda ini melangkah ke arah kedai. Di pintu masuk, dia hentikan
langkah. Sepasang matanya menyapu ke ruangan di mana banyak para pengunjung
sedang menikmati hidangannya. Bibir si pemuda mengulas senyum, namun sesaat
kemudian berubah menjadi ringisan. Puas memandang ke seluruh ruangan, dia
meneruskan langkah masuk ke dalam kedai.
Anehnya, dia tak segera mencari tempat duduk yang kosong, melainkan terus
melangkah ke arah dalam, di mana banyak pelayan kedai sedang menyiapkan makanan
pesanan pengunjung.
Merasa ada orang tak dikenal
melangkah hendak masuk ke dalam, pemiiik kedai buru-buru
menyongsong dengan
senyum tipis. Dahinya berkerut dan memperhatikan pada sang pemuda dengan mata
penuh selidik. Karena selain celingak-celinguk seakan mencari
sesuatu, pemuda ini cengengesan sendiri.
Sang pemiiik kedai segera maklum, namun mau tak mau kepalanya menggeleng dengan
mulut komat-kamit memperdengarkan ucapan tak jelas. Ternyata jari
kelingking sang pemuda masuk ke dalam lubang telinganya! Hingga meski
sendirian tak ada yang mengajak bicara, pemuda ini meringis dengan tubuh sedikit
berjingkatl "Mau pesan apa, Den...?" sapa sang pemiiik masih dengan mata tak berkedip
memperhatikan pemuda di hadapannya dari bawah hingga atas.
Sang pemuda menggeiinjang sebentar, lalu tarik jari kelingkingnya dari lubang
telinganya. Setelah memandang sepintas lalu, dia angkat bicara.
"Bapak pemiiik kedai ini"!"
"Hmm.... Pemuda inituli apa kurang waras" Ditanya mau pesan apa jawabnya malah
tanya balik!" batin sang pemilik.
Namun karena ingin segera menyambut beberapa pengunjung, sang pemilik anggukkan
kepalanya. "Melihat banyaknya pengunjung, pasti pemilik ini sudah beberapa puluh tahun
berjualan, dan bukan mustahil dia dilahirkan di sini, yang berarti hapal betul
dengan daerah di sekitar tempat ini!" si pemuda berkata dalam hati, lalu
hadapkan wajahnya pada sang pemiiik kedai dan berkata.
"Bapak tak keberatan menjawab jika aku tanya sesuatu"!"
Mendengar ucapan si pemuda, pemilik kedai kembali kernyitkan kening, namun
wajahnya menunjukkan rasa tak senang.
Tapi entah karena tak ingin membuat keributan atau agar si pemuda segera enyah
dari hadapannya, pemilik kedai ini segera berujar.
"Sebenarnya ini kedai bukan tempat untuk bertanya, tapi untukmu, aku masih dapat
mengerti, karena kulihat kau bukan penduduk daerah sini. Lekas katakan apa yang
ingin kau tanyakan!"
Meski kata-kata sang pemilik kedai sedikit tak enak di telinga, si pemuda tak
menampakkan raut wajah berubah.
Sebaliknya makin tersenyum lebar dan balik menatap pemilik kedai yang saat itu
tak lepas memandanginya.
Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Di mana letak bukit Sono Keling"!"
Mendengar pertanyaan sang pemuda, paras muka sang pemilik kedai berubah
seketika. Kedua matanya membelalak, mulutnya terkancing rapat. Tubuhnya sedikit
berguncang. Rasa takut tak dapat disembunyikan dari wajahnya meski sesaat
kemudian, pemilik kedai itu sunggingkan senyum dan membuka mulut.
"Kau berniat menuju ke sana"!"
Si pemuda tidak segera menjawab. Dia masih menduga-duga dalam hati apa yang
membuat perubahan pada paras orang di hadapannya. Namun tak dapat menemukan
dugaan yang pasti, akhirnya pemuda ini anggukkan kepala, membuat sang pemilik
makin dibuat heran bercampur takut.
Tiba-tiba si pemilik kedai
melangkah maju. Serta-merta tangan kanan si pemuda digaetnya dan diajaknya ke
dalam. Di pojok ruangan dalam, sang pemilik berhenti dan langsung ajukan
pertanyaan. "Anak muda. Apa maksudmu hendak ke bukit Sono Keling"!"
"Hmm.... Aku tak boleh berterus terang pada siapa pun juga tentang apa tujuanku
ke bukit Sono Keling," batin si pemuda lalu berkata.
"Ayahku sedang sakit. Aku disuruh mencari daun-daunan di bukit itu! Di mana
letaknya bukit itu?"
Sejurus pemilik kedai memperhatikan seakan ragu-ragu dengan ucapan pemuda di
hadapannya. "Kau tak berkata bohong"!"
"Heran. Ada apa sebenarnya di bukit itu" Bukan hanya rasa takut yang tampak pada
air muka orang ini, tapi juga banyak pertanyaan yang seharusnya tak
ditanyakan...," si pemuda kembali menyimpulkan apa yang dilihatnya, lalu
menjawab pertanyaan orang dengan
gelengan kepala.
Si pemilik kedai manggut-manggut.
"Anak muda. Kalau mau kuingatkan, sebaiknya urungkan saja niatmu menuju bukit
itu. Lebih baik kau cari di tempat lain saja apa yang kau butuhkan!"
"Wah, hal itu tak dapat dilakukan.
Karena aku telah mencobanya ke tempat lain, namun yang kucari tak kutemukan.
Hanya di bukit Sono Keling adanya daun-daunan yang kubutuhkan itu!"
Si pemuda hentikan ucapannya
sejenak. Ketika ditunggu tak ada
sambutan dari orang di hadapannya, si pemuda menyambung kata katanya.
"Wajah Bapak berubah seolah takut.
Ada apa sebenarnya di bukit itu"!"
Si pemilik kedai terdiam. Setelah menghela napas panjang dia berujar.
"Kau adalah salah satu dari beberapa orang yang menanyakan letak bukti itu
padaku. Namun kau tahu, apa yang terjadi setelah mereka menuju ke bukit itu"!"
Sekarang si pemuda yang balik jadi terdiam. Bukan karena ingin menduga apa yang
terjadi dengan beberapa orang sebelumnya, namun karena khawatir jika ada orang
yang telah mendahului.
Melihat si pemuda tidak menjawab, si pemilik kedai menjawab pertanyaannya
sendiri dengan suara sedikit bergetar.
"Mereka tak ada yang pulang kembali!
Padahal mereka bukan orang sembarangan, karena beberapa di antaranya pernah terlibat bentrok di sini. Mereka semua rata-rata memiliki ilmu silat
hebat!" "Bagaimana kau tahu mereka tidak pernah kembali"!"
"Di sebelah timur itu adalah satu-satunya jalan menuju ke bukit Sono Keling...,"
kata si pemiiik kedai seraya angkat tangannya dan menunjuk ke sebelah timur.
"Kalau mereka pulang kembali, pasti aku mengetahuinya,
setidak-tidaknya salah seorang
pelayanku tahu, karena kedai ini buka sehari semalam. Sementara jalan
satu-satunya adalah jalan itu!"
Mendengar keterangan demikian, mau tak mau merinding juga kuduk si pemuda, malah
mukanya berubah. Namun karena tekadnya telah bulat, keterangan si pemiiik kedai
hanya sebentar saja membuatnya dihantui rasa takut. Sesaat kemudian yang
terlihat adalah
semangatnya yang besar. Apalagi
mendengar beberapa orang yang menuju ke sana belum ada yang pernah kembali, yang
berarti mereka gagal mendapatkan apa yang dicari!
"Bapak tahu, apa yang mereka cari di bukit itu?" Si pemiiik kedai gelengkan
kepalanya. "Mereka tak mau mengatakan. Tapi dari sikap mereka, aku dapat menduga mereka
mempunyai keperluan yang sangat penting sekali. Aku sendiri heran, apa yang
mereka cari di sana" Padahal yang ada di sana hanyalah sebuah makam tua.
Yang oleh orang-orang di sekitar sini dinamakan Pesanggrahan Keramat! Aku tak
tahu, kenapa makam itu dinamakan
demikian. Hanya menurut orang-orang tua, makam itu adalah makam seorang sakti
yang telah meningga! pada beberapa ratus tahun yang silam...."
"Terima kasih atas keteranganmu.
Aku harus segera pergi!" kata si pemuda, lalu putar tubuh dan hendak melangkah
meninggalkan ruangan itu. Namun langkahnya tertahan karena si pemilik kedai
berseru. Tunggu! Apakah kau akan melanjutkan niatmu?"
Si pemuda palingkan wajahnya ke
belakang. Bibirnya mengulas senyum.
Kepalanya bergerak menggeleng.
"Sebenarnya aku ingin sekali ke sana, namun mendengar keteranganmu, aku jadi
berpikir dua kali untuk meneruskan niatku. Apalagi aku hanya seorang yang tidak
memiliki ilmu silat. Aku belum merasakan enaknya hidup, juga belum menikmati
bagaimana rasanya
berdampingan dengan seorang gadis cantik. Terlalu sayang jika harus mati sebelum
menikmati semua itu. Bukankan begitu"'
Kali ini si pemiiik kedai tersenyum lebar, senang karena keterangannya dituruti
orang. Dia lantas melangkah menghampiri si pemuda dan berbisik.
"Apakah kau juga tak ingin menikmati makanan kedaiku"!"
Si pemuda menyeringai. Tangan
kanannya bergerak merogoh bagian dalam pakaiannya seakan hendak mengambil
sesuatu. Namun diam-diam dalam hatinya berkata. "Sialan. Sebenarnya aku juga
sudah lapar, tapi apa yang akan kubuat untuk membayar makananmu?"
Mungkin menduga si pemuda sedang
menghitung uang di balik pakaiannya, si pemiiik kedai segera menyambung
ucapannya. "Ayolah duduk di sana. Kau akan menyesal pergi ke daerah sini jika tidak
mencicipi makanan kedaiku! Harganya juga tidak mahal...."
Tiba-tiba sang pemuda bungkukkan
tubuhnya dengan tangan kiri merangkap di depan perut. Wajahnya meringis
kesakitan. "Apa yang terjadi dengan dirimu"!"
tanya si pemilik kedai dengan terkejut.
"Di mana tempatnya membuang hajat"!
Perutku mulas sekali! Biasa penyakit lamaku kumat lagi! Murus-murus...."
Dengan memaki panjang pendek dalam hati si pemilik kedai angkat tangannya ke
sebelah timur, jalan setapak yang menuju bukit Sono Keling.
"Di situ kau akan menemukan sebuah parit kecil! Tumpahkan semuanya di situ!"
habis berkata demikian, pemilik kedai putar tubuh dan melangkah ke ruangan dalam
seraya mengomel.
"Dasar pemuda geblek! Aku tahu, dia pura-pura. Padahal sebenarnya dia tak punya
uang!" Si pemuda hendak mengucapkan terima kasih, namun begitu berpaling dan dilihatnya
si pemilik kedai telah ngeloyor ke belakang, pemuda ini
meneruskan langkah dengan
terbungkuk-bungkuk dan sebelah tangannya mendekap perutnya dengan wajah
meringis. Beberapa orang pengunjung kedai
memandang ke arah si pemuda dengan pandangan heran bercampur geli. Karena
meringisnya wajah si pemuda bukan karena perutnya yang sakit, namun karena jari
kelingkingnya ditusuk-tusukkan pada lubang telinganya!
*** 11 SI pemuda yang meringis
terbungkuk-bungkuk terus melangkah terseret-seret ke arah timur. Begitu sepasang
matanya melirik dan dilihatnya kedai itu tak kelihatan lagi, pemuda ini luruskan
kembali tubuhnya dengan
menghela napas panjang.
"Sialan benar, punggungku serasa hendak putus saja! Tapi apa hendak dikata.
Daripada harus malu di depan orang banyak. Makan tapi tak punya uang.... He....
He.... He...!" gumam sang pemuda seraya tertawa cengengesan.
Tangannya bergerak merentang ke samping kanan kiri dengan tubuh dipuntir.
Terdengar keretekan tulang beberapa kali.
"Hmm.... Untung pemilik kedai itu menunjuk arah sini, jadi aku tak usah mencari
jalan berputar untuk
mengelabuinya...," desis sang pemuda seraya arahkan pandangannya ke sebelah
timur. Samar-samar di sela kerapatan pohon sepasang matanya dapat menangkap
julangan sebuah bukit.
"Semoga keterangan pemilik kedai itu benar adanya. Belum ada orang yang pulang
kembali dari bukit itu, yang berarti barang yang kucari belum
tersentuh orang lain...," ujar si pemuda yang bukan lain adalah Joko Sableng,
murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah Perak.
"Aku harus segera mencapai puncak bukit itu mumpung hari belum gelap!"
desisnya seraya mulai berlari menuju arah timur di mana tampak menjulang puncak
bukit Sono Keling.
Karena Joko Sableng berlari dengan mengerahkan ilmu peringan tubuh,
bersamaan dengan tenggelamnya sang matahari di ujung langit sebelah barat,
pemuda ini telah menginjakkan sepasang kakinya di puncak bukit Sono keling.
Joko hanya memerlukan melangkah
mengikuti jalan setapak satu kali putaran. Begitu menghentikan langkah, dia
sampai pada sebuah tanah datar yang luasnya kira-kira dua puluh lima tombak
berkeliling tanpa penghalang apa pun sebagai latar depan yang berhadapan dengan
tebing bukit di bawahnya. Sebagai latar belakang, terlihat bentangan langit yang
jauh di ufuk sana.
Sejenak Joko Sableng tertegun
seakan menikmati keindahan alam yang ada di hadapannya. Lalu sepasang matanya
menangkap gundukan tanah memanjang yang di sebelah ujung-ujungnya terpancang
sebuah batu pipih yang tingginya satu depa dengan lebar satu setengah jengkal.
Tiba-tiba sepasang matanya
membelalak dengan langkah surut satu tindak ke belakang. Dari mulutnya hampir
saja terlontar seruan tertahan. Bukan karena melihat makam dengan batu nisan
hitam yang ada di puncak bukit itu, tapi karena matanya melihat beberapa orang
yang tergeletak di sekitar makam itu!
Melihat keadaan serta sikapnya orang mudah ditebak jika beberapa orang itu telah
tewas! Dan Joko Sableng baru saja menyadari ketika saat itu juga hidungnya
mencium bau yang membuat perutnya mual dan ingin muntah. Dengan menggerendeng
panjang pendek, Joko buru-buru tekap hidungnya. Lalu seraya bergidik.
sepasang kakinya bergerak melangkah ke arah
makam yang di sekitarnya
bergeletakan beberapa orang yang telah jadi mayat dan menebarkan bau busuk yang
amat menyengat.
Dibantu pantulan
cahaya sinar matahari yang berwarna kuning kemerahan di langit sebelah barat, Joko dengan
jelas dapat melihat, bahwa beberapa orang yang tewas itu mengalami luka-luka
yang cukup parah. Beberapa senjata pedang dan tombak terlihat berserakan.
Tanahnya pun terbongkar di sana sini.
"Rupanya mereka terlibat dalam bentrok...," duga Joko seraya memperhatikan satu
persatu mayat yang tergeletak itu. Pemuda ini lantas kerahkan tenaga dalamnya
untuk mengatasi hawa busuk yang makin menyengat.
Sepasang matanya nyalang jelalatan mengawasi sekitar puncak bukit.
"Melihat petunjuk yang diberikan Guru, aku berada pada tempat yang tidak salah.
Ini adalah Pesanggrahan Keramat yang terletak di puncak bukit Sono Keling. Tapi
di mana pedang itu berada"
Jangan-jangan seseorang telah
mendahuluiku.... Karena aku yakin, beberapa orang ini tujuannya pasti ingin
mendapatkan senjata itu! Hmm...."
Joko melangkah berkeliling dengan mata nyalang mengawasi setiap sudut.
Karena malam telah menjelang, Joko terpaksa harus membeliakkan matanya. Namun
hingga matanya basah dan pedih, dia tak menemukan apa yang dicari!
Mungkin karena lelah, Joko lantas duduk menggelosoh dengan mengambil tempat agak
jauh daritergeletaknya beberapa mayat.
"Apa petunjuk itu bukan petunjuk yang menyesat-an" Dan orang-orang ini, dari
mana mereka mendapatkan petunjuk"
Apa juga dari Bandung Bandawangsa"
Atau...," Joko tak meneruskan kata hatinya, karena saat itu suasana yang gelap
samar-samar agak terang. Joko segera tengadahkan kepalanya. Di atas langit sana,
sang rembulan tampak melintas dari kurungan awan hitam.
Hingga untuk beberapa saat lamanya keadaan dl buml sedikit terang.
Tiba-tiba Joko teringat akan
petunjuk yang diberikan Pendeta Sinting.
"Pedang Tumpul 131. Pesanggrahan Keramat. Puncak bukit Sono Keling. Bulan
Sepenggail. Hmm.... Bulan Sepenggai. .,"
gum am Joko mengulangi. Kepalanya terus mendongak memperhatikan bulan. Mendadak
kepala pemuda ini bergerak
manggut-manggut.
"Bulan Sepenggal berarti bulan separo! Hmm... Padahal bulan itu masih belum
mencapai separo. Mungkin masih sehari atau dua hari lagi. Terpaksa aku harus
menunggu. Sambil menunggu lebih baik aku tiduran saja. Besok pagi mencari
kelinci untuk mengisi perut. Waktu aku melintas tadi, banyak kelinci di bawah
sana...." Berpikir sampai di situ, Joko lantas bergerak bangkit. Mencari tempat yang agak
rata dan jauh dari mayat, lalu merebahkan diri. Mungkin karena lelah, sebentar
kemudian terdengar dengkurnya seakan memecah kesunyian bukit Sono Keling!
* * * Malam telah mulai menjelang. Dua
hari sudah Joko Sableng berada di puncak bukit Sono Keling. Dia telah menyelidik
di puncak bukh itu tanpa sejengkal pun tanah yang lolos dari matanya. Namun
sejauh ini dia belum menemukan
tanda-tanda akan mendapatkan barang yang dicari. Hingga mungkin khawatir jika
pedang itu telah ditemuikan oleh
beberapa mayat yang berada di situ, dengan menekan perasaan bergidik, Joko
membalik dan meraba-raba beberapa mayat itu, lalu mengumpulkannya di suatu
tempat, hingga tempat di sekitar makam itu telah bersih dari mayat yang
berserakan. "Hm.... Jika malam ini belum juga kutemukan pedang itu, berarti petunjuk itu
tidak benar.... Atau mungkin sudah ada orang lain yang mendahuluiku...,"
gumam Joko seraya. memandang ke bawah.
Yang tampak hanyalah rindangi
pohon-pohon yang saling merapat di lereng bukit dan samar-samar berubah warna
menjadi hijau kehitaman, karena malam telah turun melingkupi bumi.
Sambil menarik napas dalam dan
panjang, Joko balikkan tubuh, lalu melangkah ke arah makam. Tiga langkah dari
gundukan tanah yang ujung-ujungnya terpancang batu nisan hitam itu, pemuda murid
Pendeta Sinting ini hentikan langkah. Memandang lekat-lekat pada nisan makam
yang tak bertuliskan. Lalu tengadahkan kepala. Sepasang matanya tiba-tiba
sedikit membelalak.
Di atas sana, langit tampak cerah.
Awan tak secuil pun mengambang. Hingga bulan sepenggal yang mulai memanjat ke
atas segera dapat memancarkan cahayanya.
Namun bukan hal itu yang membuat mata Joko membelalak dan tubuh berguncang.
Ternyata bulan itu tidak berwarna seperti biasanya, melainkan berwarna merah
darah! Dan ada seberkas cahaya yang keluar dan langsung menyorot ke makam
bernisan batu hitam!
Bersamaan dengan itu angin
berhembus kencang, makin lama makin keras, dan mengejuarkan suara
menderu-deru dahsyat. Joko segera kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi tubuhnya
agar tak terhempas. Dan
perlahan-lahan pula ia duduk di depan makam dengan kedua tangan merangkap di
depan dada. Angin berhernbus makin kencang,
Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa sosok mayat yang dikumpulkan Joko satu persatu terhempas dan melayang
turun ke bawah bukit. Tanah di puncak bukit itu pun mulai berhamburan ke udara!
Joko menambah tenaga dalamnya karena tubuhnya mulai bergoyang-goyang tersapu
hembusan angin.
"Sialan. Angin apa ini?" bisik Joko dalam hati seraya pejamkan sepasang matanya.
Pemuda ini lipat gandakan tenaga dalamnya, karena hembusan angin makin kencang,
namun hembusan angin itu ternyata sukar untuk ditaklukkan meski murid Pendeta
Sinting telah kerahkan segenap tenaga dalamnya, hingga tak lama kemudian
tubuhnya mulai bergeser, sesaat kemudian terseret ke samping makam dan jatuh
bergulingan! "Sialan! Angin keparat!" maki Joko Sableng seraya bergerak bangkit. Namun lagilagi tubuhnya terseret dan kali ini bahkan hampir saja terhempas melayang ke
bawah bukit. Untung murid Pendeta Sinting segera hujamkan kedua tangannya ke
atas tanah hingga tanah Itu terbongkar dan kedua tangannya menancap amblas ke
depan, membuat tubuhnya terhenti.
Dengan kerahkan segenap tenaganya, baru murid Pendeta Sinting dari jurang Tlatah
Perak ini bisa bergerak bangkit.
Dan mungkin takut tubuhnya akan kembali terseret, dia mendekat kembali ke arah
makam dengan jalan menyeret tubuhnya dengan perut sejajar tanah.
Saat itulah tiba-tiba tanah
berhamburan ke udara dengan derasnya.
Joko Sableng cepat-cepat menutup kedua matanya, namun sebelum kedua kelopak
matanya menutup, sepasang matanya masih bisa menang-kap berkelebatnya dua benda
hitam. Joko tak tahu benda apa itu, namun melihat desingannya yang lewat di
sampingnya, murid Pendeta Sinting ini bisa menduga jika benda itu adalah benda
keras. Beberapa saat berlalu. Angin terus berhembus namun makin lama makin
berkurang. Dan begitu angin tak lagi berhernbus, Joko segera buka kelopak
matanya. Tanah yang berhamburan telah surut. Sementara cahaya bulan terus
memancarkan sinar kemerah merahan.
Sepasang mata Joko mendadak
terpentang lebar. Memperhatikan ke arah makam yang lima tombak di hadapannya.
Ternyata gundukan tanah makam itu telah rata. Dua nisan batu hitam telah pula
lenyap! Dan samar-samar murid Pendeta Sinting ini melihat lubang di bawah bekas
gundukan tanah makam!
"Benda hitam tadi pasti batu nisan yang ikut terhempas angin...," duga Joko
seraya bergerak bangkit dan langsung meloncat ke arah makam yang kini telah
terbongkar. Dengan bantuan cahaya rembulan yang memancarkan sinar kemerah-merahan, murid
Pendeta Sinting dengan jelas dapat melihat lubang menganga di hadapannya.
Sepasang mata pemuda ini mendelik besar dengan mulut menganga. Ternyata lubang
bekas gundukan makam itu terbuat dari batu yang membentuk persegi panjang.
Tapi yang membuat sepasang mata Joko terpentang tak berkedip, adalah
memancarnya sinar kuning berkilau dari sisi samping batu persegi panjang itu.
Dan mungkin masih tak percaya dengan pandangan matanya, murid Pendeta Sinting
mengusap-usap kedua matanya, lalu dilebarkan dan memandang sekali lagi ke arah
cahaya kuning berkilau.
"Tidak bermimpikah aku..."!"
gumamnya seakan tak percaya.
Perlahan-lahan dia melangkah maju dan membungkuk.
"Ternyata petunjuk itu benar
adanya. Benda itu ada! Dan kini ada di hadapanku!" desis Joko seraya
memperhatikan lebih seksama.
Di salah satu sisi batu persegi
panjang itu terlihat cahaya kuning berkilau memancar dari sebuah sarung pedang
bergagang warna hijau masuk ke dalam batu.
Dengan tubuh agak gemetar, Joko
segera melangkah satu tindak, dan perlahan-lahan pula masuk ke dalam batu
persegi panjang. Matanya tak berkedip memperhatikan, sementara kedua
tangannya bergetar dan dada berdebar keras.
Untuk beberapa saat lamanya murid Pendeta Sinting ini diam tak bergerak seakan
masih menindih perasaan tak percaya dan terkesima. Setelah dapat menguasai
perasaan yang menggelayut dadanya, pemuda ini gerakkan tangannya hendak
mengambil pedang yang memancarkan sinar kuning berkilau itu.
"Semoga Tuhan memberiku
kekuatan...," bisiknya dalam hati. Kedua tangannya terus bergerak.
Namunmsejengkal lagi kedua tangannya menyentuh pedang, tiba-tiba terdengar
desiran angin dahsyat yang menusuk gendang telinga. Bersamaan dengan itu, batu
persegi di mana Joko berada
berguncang keras. Dan belum sempat murid Pendeta Sinting mengetahui apa yang
terjadi, tubuhnya telah terhumbalang dan jatuh bergedebukan di dalam batu
persegi panjang!
Dengan kuduk merinding dan tubuh terguncang, Joko segera takupkan kedua
tangannya untuk kerahkan tenaga dalam.
Bersamaan dengan itu, guncangan di batu persegi panjang perlahan-lahan mereda.
Murid Pendeta Sinting segera
bergerak bangkit duduk. Kepalanya lantas tengadah. Bulan sepenggai tepat berada
di atasnya. Dan sorotan cahayanya memancar ke lubang batu persegi panjang.
Joko kembali luruskan kepalanya dan memperhatikan pedang yang kini ada di
hadapannya. Dengan tangan masih gemetar dan dada berdebar, Joko segera geser duduknya
perlahan-lahan ke depan, mendekat ke arah pedang. Kedua tangannya kembali
bergerak hendak
mengambil pedang
berwarna kekuningan itu. Mungkin takut akan terjadi sesuatu yang tidak
diduganya, pemuda ini kerahkan segenap tenaganya. Ternyata apa yang diduga tidak
terjadi. Tidak ada desiran angin menggemuruh yang menusuk gendang
telinga, juga tidak ada guncangan!
Hingga meski dengan tubuh dan tangan gemetar, Joko teruskan niatnya untuk
mengambil pedang.
Kedua tangannya telah menyentuh
pedang. Sejenak murid Pendeta Sinting ini menghela napas dalam-dalam. Sepasang
matanya mengerjap, lantas dibuka
kembali. Kedua tangannya pun menarik pedang yang terletak menjorok ke dalam
batu. Namun pemuda ini melengak
terkesiap. Kedua tangannya tak mampu menarik keluar pedang dari tempatnya!
Joko lipat gandakan tenaga dalam dan disalurkan pada kedua tangannya, hingga
tangannya berwarna kuning. Namun kedua tangannya masih juga tidak mampu membuat
pedang itu lepas dari tempatnya!
Murid Pendeta Sinting ini tak putus asa, dia terus berupaya kerahkan tenaga
dalam dan mencoba menarik pedang dari tempatnya. Tubuh pemuda itu telah basah
kuyup oleh keringat, namun usahanya belum juga menampakkan hasil. Malah goyang
pun tidak! Padahal Joko telah kerahkan segala kemampuannya yang telah diwariskan
Pendeta Sinting.
"Hmm.... Kalau pedang ini tak dapat ditarik, terpaksa aku akan menghantam tempat
sekitar pedang ini! Hanya itu satu-satunya jalan!" pikir Joko seraya tarik kedua
tangannya. Kedua tangannya lantas memukul-mukul tempat di sekitar pedang. Kepala
pemuda ini mengangguk-angguk. Kedua tangannya lantas diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Serta-merta kedua tangannya dihantamkan ke batu yang ada di sekitar pedang.
Bukkk! Dukkk! Murid Pendeta Sinting ini berteriak keras. Kedua tangannya yang menghantam batu
mental ke belakang. Pemuda ini segera memeriksa dengan paras meringis kesakitan.
Kedua tangannya berubah merah dan sedikit menggembung!
"Edan!" maki Joko dalam hati seraya memperhatikan batu yang baru saja dihantam.
Jangankan retak, membekas pun tidak! Padahal hantaman Joko tadi biasanya mampu
menghancurkan batu sebesar satu rangkulan tangan manusia.
Merasa masih penasaran, Joko geser duduknya ke belakang. Kedua tangannya
diangkat di depan dada. Lalu
dikembangkan dan perlahan-lahan
didorong ke arah batu di sekitar pedang.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Dari kedua tangan Joko melesat sinar kuning keperakan.
Duuukkk! Duuukkk!
Pukulan 'Lembur Kuning' yang
dllepaskan Joko menghantam batu di sekitar pedang dan keluarkan suara keras dua
kali berturut-turut. Namun murid Pendeta Sinting tersirap darahnya.
Mulutnya keluarkan seruan tertahan.
Karena pukulannya membalik kearahnya!
Hingga dengan menahan rasa tak percaya, pemuda ini segera membuat gerakan
melesatkan tubuhnya ke udara. Namun angin yang membalik lebih cepat
datangnya, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya terjengkang ke belakang dan
menghantam batu di belakangnya! Untuk beberapa lama dia tersandar di batu dengan
mata berkunang-kunang. Tubuhnya bagian belakang serasa remuk. Dadanya pun
berdenyut sakit. Perlahan-lahan dia geser tubuhnya agar bisa sedikit tegak
bersandar. Saat itulah terdengar angin berdesir dari atas.
Joko cepat mendongak. Kuduk pemuda ini makin merinding dan keringat makin
membasahi sekujur tubuhnya, karena di atas sana Joko melihat asap putih
mengurung lubang di mana dia berada!
Dan sepasang mata Joko terpentang besar tatkala samar-samar dari sisi bagian
depan di atas sana, asap putih hu menipis, lalu muncul sesosok tubuh!
Mungkin karena terkejut, Joko serentak geser tubuhnya ke belakang. Namun karena
di belakangnya adalah sisi batu yang persegi panjang, maka membuat pemuda ini
terantuk sisi batu di belakangnya!
Belum hilang rasa terkejut murid
Pendeta Sinting, sosok di atas Joko telah keluarkan suara, membuat Joko
tersentak. "Siapa namamu, Anak Muda?"!" Karena masih kaget, Joko tidak segera menjawab
pertanyaan orang. Sebaliknya sepasang matanya me-natap lurus pada sosok yang
duduk di atas sana. Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Jenggotnya
panjang menjulai sampai dada. Meski paras wajahnya samar-samar, namun Joko masih
bisa menangkap jika wajah itu cerah berseri. Kakek ini mengenakan pakaian jubah
putih dengan kepala memakai sorban juga berwarna putih. Anehnya, meski tampak
duduk bersila, Namun kakinya tidak menyentuh tanah! Kakek ini duduk mengambang
di udara dengan kedua tangan merangkap sejajar dada!
Joko memperhatikan lebih seksama.
Mulutnya bergerak komat-kamit namun tak ada suara yang terdengar. Sementara
sepasang matanya tak berkedip!
Keterkejutannya perlahan-lahan berubah menjadi rasa heran, karena Joko
sepertinya tidak asing lagi dengan wajah orang tua di atasnya itu! Namun Joko
tidak mengetahui di mana dia bertemu.
Joko coba mengingat-ingat. Tiba-tiba matanya beralih pada telapak tangan
kirinya. "Hm.... Wajah orang tua di atas itu mirip dengan lukisan yang ada di telapak
tangan kiriku.... Hampir tak
kupercaya...!" gumam Joko Sableng tak mengerti.
"Anak Muda! Kau belum jawab
pertanyaanku!" orang tua bersorban kembali keluarkan suara.
Dengan mulut bergetar dan suara
tersendat, Joko menjawab.
"Namaku Joko...."
Sebenarnya Joko ingin menanyakan
siapa sebenarnya orang tua yang paras wajahnya mirip dengan lukisan yang ada di
telapak tangan kirinya. Namun sebelum ucapannya terdengar, si orang tua telah
kembali keluarkan suara.
"Joko. Apa yang kau lihat di telapak tangan kirimu"!"
Sejenak Joko tak memberi jawaban.
Dia memandang silih berganti pada telapak tangan kirinya lalu pada orang tua
yang duduk bersila di atas lubang.
"Lukisan di telapak tanganku mirip sekali dengan wajahmu...," gumam Joko pada
akhirnya. Si orang tua tersenyum. Lalu
mengangguk-angguk.
"Dengar baik-baik, Joko!
Beratus-ratus tahun aku menunggu orang yang memiliki tanda seperti yang kau
punyai. Dan dengan kedatanganmu, berarti masa penantianku malam ini akan segera
berakhir. Kaulah manusia yang telah ditentukan untuk memiliki pedang itu!"
orang tua itu hentikan ucapannya
sejenak. Lalu melanjutkan.
"Peganglah gagang pedang itu dengan telapak tangan kirimu. Jangan bernapas
tatkala menyentuhnya!"
Mungkin karena masih tertegun, Joko masih diam meski si orang tua telah memberi
perintah. "Joko. Waktuku tidak banyak. Lekas lakukan apa yang kukatakan!" ujar si orang
tua dengan naga tegas.
Seakan baru tersadar, Joko
buru-buru geser tubuhnya ke dekat pedang. Tangan kirinya bergerak dan langsung
menempel pada gagang pedang, sementara napasnya ditahan.
Joko tersedak. Begitu tangan
kirinya menyentuh gagang pedang, terasa ada hawa dingin yang masuk melalui
telapak tangannya. Anehnya bersamaan dengan itu rasa sakit di sekujur tubuhnya
akibat benturan dengan batu persegi itu seketika lenyap. Pandangannya makin
tajam. Sementara tenaga dalamnya seakan berlipat ganda!
Keterkejutan Joko tidak hanya
sampai di situ. Begitu telapak tangan kirinya menyentuh pedang, pedang itu
bergerak-gerak! Masih dengan menahan napas, Joko segera mencabut pedang dari
tempatnya. Kali ini dengan mudah pedang itu dapat ditarik dari tempatnya!
Dengan tubuh bergetar dan dada
berdebar, Joko tarik tangan kirinya yang telah menggenggam gagang pedang. Begitu
pedang lepas dari tempatnya, seberkas sinar kuning berkilau memancar ke udara,
hingga saat itu juga suasana di tempat itu berubah menjadi merah kekuningan.
Pedang di tangannya dldekatkan.
Perlahan-lahan pedang Itu ditarik dari sarungnya. Sepasang matanya
memperhatikan dengan seksama. Ternyata pedang itu berwarna kuning keemasan.
Panjangnya cuma setengah depa. Lebarnya kira-kira dua pertiga jengkal. Ujung dan
pangkal pedang sama besarnya. Sedangkan gagang pedang berwarna hijau terbuat
dari batu giok. Pada tubuh pedang itu tergurat dengan jelas angka 131!
"Joko. Yang berada di tanganmu itu adalah senjata mustika yang sulit dicari
tandingannya. Sebuah pedang bernama Pedang Tumpul 131. Senjata itu tidak dapat
digunakan oleh sembarang orang, karena untuk mempergunakannya
diperlukan tenaga dalam yang kuat. Tanpa disertai tenaga dalam, senjata itu
hanya akan seperti pedang biasa...," si orang tua hentikan sejenak penuturannya.
Sepasang matanya memandang lekat-lekat pada murid Pendeta Sinting yang
mendengarkan penuturannya dengan
seksama. "Joko. Sebagai salah seorang pewaris yang ditentukan memiliki Pedang Tumpul 131,
kau harus mengerti satu hal.
Yakni pedang itu diciptakan dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan kebenaran
dan menghancurkan kejahatan! Pedang Tumpul 131 harus kau jaga dan kau rawat
baik-baik layaknya kau menjaga dan merawat dirlmu! Dan jangan coba-coba
mempergunakannya dl jalan yang tidak semestinya, karena kau akan menerlma akibat
yang mengenaskan!"
"Eyang...," Joko tidak meneruskan ucapannya, karena saat itu dilihatnya si orang
tua melintangkan telunjuk
tangannya pada mulutnya, memberi Isyarat agar Joko tak meneruskan kata-katanya.
"Joko. Seperti kata-kataku tadi, waktuku tidak banyak. Sebelum aku pergi aku
akan menjeiaskan padamu dahulu apa yang ada di tubuh Pedang Tumpul 131 itu.
Pedang Tumpul 131 dibuat lurus dengan pangkal dan ujung sama besar memberi
isyarat bahwa kebenaran harus kau tegakkan semenjak kau lahir sampai kau menutup
mata tanpa sedikit pun mengendor atau mengecil! Angka 131 menunjukkan bahwa
menegakkan kebenaran itu
sebenarnya tugas yang amat mulia yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Itulah
yang diisyaratkan dengan angka satu yang pertama. Namun ketahuilah, segala
sesuatu pasti ada rintangannya. Apalagi jika sesuatu itu bernama kebenaran.
Ketahuilah olehmu, ada tiga hal yang jika kau tidak berhati-hati hal tersebut
akan mendatangkan bencana besar dalam
hidupmu. Yang pertama adalah harta.
Kedua tahta dan ketiga wanita! Tiga hal tersebut adalah pangkal bencana yang
Joko Sableng 1 Pesanggrahan Keramat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa membenamkan kebenaran jika
dlpergunakan secara salah! Itulah yang diisyaratkan dengan angka tiga.
Sementara angka satu yang terakhir memberi isyarat pada diri manusia.
Maksudnya, manusia akan terpisah dengan Tuhannya jika manusia itu membenamkan
dirinya dalam-dalam pada tiga hal tersebut di atas! Jika kau Ingin angka satu
bersanding dengan angka satu lainnya, yang berarti kau ingin selalu dekat dengan
Tuhan, hindarilah tiga hal itu! Sedangkan inti dari semuanya itu adalah setiap
kebenaran pasti akan mendapat tantangan! Dan tantangan itu bisa diredam jika
manusia itu selalu mendekatkan diri pada Tuhannya! Jadi pedang Ini hanyalah
alat, sementara akar dari semuanya adalah tergantung manusia yang menggunakan
pedang ini! Harapanku, sebagai manusia yang ditentukan memegang alat, kau harus
dapat menggunakannya sebagaimana mestinya!"
Joko mendengarkan penuturan orang tua dengan seksama. Memasukkannya dalam otak
dan mengingatnya baik-baik.
"Joko. Kuharap kau melakukan apa yang telah kukatakan. Sekarang aku harus
pergi...."
"Eyang...," ujar Joko dengan suara bergetar parau.
Namun kata-katanya terputus, karena sosok orang tua itu samar-samar telah lenyap
dari pandangannya! Asap yang melingkupi bagian atas lubang di mana Joko berada
pun perlahan-lahan menipis sebelum akhirnya sirna.
"Eyang.... Segala petunjukmu akan kulaksanakan...," desis Joko seraya menjura
dalam-dalam. Selagi murid Pendeta Sinting ini
menjura, tiba-tiba telinganya mendengar deru angin, disusul kemudian dengan
bergetarnya lubang di mana ia berada.
Deru dan getaran tempat itu makin lama makin keras.
Merasa ada gelagat tidak baik,
pemuda murid dari jurang Tlatah ini cepat masukkan Pedang Tumpul 131 pada
sarungnya lalu disimpan ke dalam balik pakaiannya. Baru saja pedang Itu
tersimpan, Joko terkesiap lalu memandang lekat-lekat pada telapak tangan
kirinya. Di telapak tangan itu kini selain samar-samar terlihat gambar orang tua
bersorban juga menggurat angka 131!
Namun keterkejutan Joko tidak
berlangsung lama, karena pada saat bersamaan, batu persegi panjang di mana dia
berada makin bergetar, dan dari atas tanah bukit berhamburan masuk ke dalam
lubang. Sebelum tubuhnya terbenam dalam
lubang yang perlahan-lahan ditimbuni tanah, Joko Sableng segera lesatkan dirinya
ke atas. Murid Pendeta Sinting ini tersentak. Angin berhembus demikian kencang,
hingga tubuhnya hampir saja terseret jika dia tak segera kerahkan tenaga dalam
untuk mengatasi tubuhnya.
Angin terus berhembus menghamburkan tanah di
puncak bukit. Dan
perlahan-lahan lubang bekas makam tadi tertimbun tanah. Begitu angin berhenti
berhembus, tanah berlubang bekas makam di mana tadi tersimpan Pedang Tumpul 131
telah rata dengan tanah layaknya seperti tidak pernah ada makam!
"Luar biasa...," desis Joko seraya tak berkedip memandang! bekas makam.
Selagi murid Pendeta Sinting
mengaguml apa yang baru saja terjadi, terdengar suara.
"Pendekar Pedang Tumpul 131! Sejak malam Ini, kau mempunyi
tugas. Menegakkan kebenaran dan menghancurkan keangkaramurkaan! Tujuan hidupmu adalah
mendamaikan umat manusia dan menumpas manusia yang membuat malapetaka di bumi!"
Dengan menindih rasa terkejut,
murid dari jurang Tlatah Perak ini arahkan pandangannya berkeliling. Tapi
matanya tak dapat menangkap adanya seseorang!
"Hmm.... Pasti Eyang tadi....
Suaranya masih kuingat betul...," gumam Joko dengan tengadahkan kepala memandang
bulan. "Eyang.... Segala ucapanmu akan kuingat dan kulakukan!" teriak Joko memecah
kesunyian Pesanggrahan Keramat di puncak bukit Sono Keling.
Namun kesunyian tidak lagi
melingkupi, karena bersamaan dengan lenyapnya teriakan Joko, dari arah bawah
terdengar derap langkah kaki-kaki kuda menuju ke atas bukit.
Siapakah penungang kuda yang menuju Puncak Bukit Sono Keling"
Untuk mengetahuinya,
Ikuti petualangan Joko Sableng Yang seru dan menggemparkan
Dalam episode selanjutnya.
"RATU PEMIKAT"
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Di Edit oleh: mybeno mybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Bara Naga 3 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Pukulan Naga Sakti 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama