Ceritasilat Novel Online

Racun Darah 2

Gento Guyon 23 Racun Darah Bagian 2


menghancurkan seluruhnya. Terkecuali aku sanggup membangkitkan tiga sumber tenaga dalam
yang ada di tubuhku. Dengan tiga sumber tenaga
dalam yang berasal dari titik yang berlainan kurasa baru dapat menguras ilmu yang ada padamu,
namun sejauh ini tak seorangpun tokoh hebat di
dunia persilatan yang memiliki tiga titik pembangkit tenaga dalam seperti yang aku sebutkan. Satusatunya yang mempunyai kemampuan hebat seperti itu hanyalah kakek setengah roh setengah
manusia yang bergelar Manusia Seribu Tahun.
Sayang... tak ada orang yang mengetahui dimana
keberadaan orang yang satu ini." menerangkan si gendut dengan serius.
"Tak bisa kau memusnahkan seluruhnya,
sebagian pun tak jadi apa!"
"Angin Pesut. Tidak dapatkah kau memikirkan hal lain selain memusnahkan ilmu yang kau
miliki?" "Ada... pertama aku berfikir untuk mengembalikan beberapa kitab milik orang lain yang
dulu pernah kucuri. Yang kedua aku merindukan
puteriku yang diculik orang delapan belas tahun
yang lalu." jawab si kakek.
"Kau tahu siapa yang menculiknya?"
"Seandainya aku tahu, tentu sudah sejak
dulu aku melabraknya." jawab orang tua itu.
"Siapa nama puterimu itu?" tanya kakek
Gentong Ketawa.
"Aku belum sempat memberinya nama,
waktu diculik usianya baru beberapa pekan saja.
Kau melarang aku bunuh diri dan kau juga kulihat
tak bersedia memusnahkan ilmuku. Jadi sekarang
kuminta pendapatmu, apa yang seharusnya aku
lakukan"!"
Si gendut terdiam sejenak, setelah berfikir
baru dia berkata. "Untuk mencari anakmu tentu sulit karena aku tak tahu namanya.
Lagipula jika dia hidup tentu sekarang sudah dewasa. Kau pasti
tak mengenalnya?"
"Putriku punya tanda berupa tahi lalat di
bagian punggungnya." menerangkan Angin Pesut.
"Lalu apakah kau harus menyingkap pakaian di punggung setiap gadis yang kau jumpai"
Setiap orang bisa melabrakmu. Jadi menurutku
alangkah baik jika kau kembalikan kitab-kitab
yang kau curi pada pemiliknya."
"Mereka pasti akan membunuhku!"
"Itu adalah salah satu resiko yang harus
kau tanggung!" ujar si gendut.
Angin Pesut tidak segera menanggapi ucapan Gentong Ketawa. Wajahnya jelas membayangkan keraguan. Selagi suasana di dalam ruangan gua dicekam kebisuan, pada waktu bersamaan pula dari
arah mulut gua terdengar satu suara. "Angin Pesut, manusia seribu satu dosa
bergelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Saat datangnya pemba-lasan itu sudah
hampir tiba. Seseorang telah kupercayakan untuk menjemput nyawamu, lalu
menghancurkan tubuhmu hingga menjadi daging
bubur meleleh. Kau akan mendapatkan azab yang
pedih. Ha ha ha!"
Kedua orang yang berada di dalam gua tersentak kaget dan sama memandang ke mulut
gua. Tapi mereka tak melihat apa-apa, karena mulut gua diselimuti kabut putih yang tak jelas dari mana datangnya.
"Siapa kau?" tanya Angin Pesut dengan bergetar, perlahan namun cukup jelas.
"Hik hik hik. Siapa diriku kelak jika rohmu
sudah diseret ke neraka bisa kau tanyakan pada
malaikat penjaga disana, Angin Pesut. Kau dengar... ilmu kepandaianmu boleh tinggi. Namun
kematian tetap datang padamu. Kau hanya tinggal
menunggu...!"
"Aku tak takut mati. Jika kau inginkan
nyawaku datanglah kemari, unjukkan dirimu!" teriak kakek itu.
Mendadak dia bangkit berdiri. Sekali dia
bergerak sosoknya berkelebat lenyap dan kini telah berdiri pula di luar gua.
Kakek Gentong Ketawa
yang datang menyusul berkata dengan suara perlahan. "Kau lihat, kabut di mulut gua lenyap. Aku yakin siapapun dia adanya, dia
tak datang langsung kesini. Dia mengirimkan suaranya dari satu
tempat yang jauh beribu tombak. Suara itu tak
dapat dibedakan sama sekali. Mungkin dia lakilaki, boleh jadi juga seorang perempuan. Angin Pesut, sebaiknya tak-usah kau tanggapi. Jika kau tidak melanggar permintaanku dengan tidak membunuh lagi. Aku berjanji akan membantumu." kata si kakek gendut.
"Aku sudah mengatakan tidak akan ada lagi
pembunuhan yang kulakukan. Terkecuali satu
hal, terhadap ilmu Ratap Langit aku tidak dapat
berbuat apa-apa." sahut Angin Pesut dengan suara perlahan.
"Angin Pesut. Kematian yang akan menjemputmu bisa datang dalam bentuk apa saja. Kau
tunggulah... hik hik hik!"
Gema suara tanpa rupa itu kemudian lenyap. Angin Pesut kepalkan kedua tinjunya sambil
berkata. "Jika itu memang menjadi suatu kenyataan aku merasa sangat berterima
kasih sekali!"
gumam si kakek. Dalam gelap dia memandang ke
arah kakek Gentong Ketawa. Selanjutnya dia berucap. "Orang tua, kepadamu aku menaruh satu
permintaan. Jika aku mati tolong carikan anakku.
Seandainya kau bertemu dengannya tolong sampaikan salamku bahwa aku mencintai dan merindukannya selalu."
"Kau hendak kemana?" tanya si kakek.
"Aku tak pergi kemanapun. Kau pergilah, orang tua. Kumohon..."!"
"Kau yakin tidak akan membunuh diri?"
"Aku akan menjalani hidup sebagaimana
yang kau anjurkan! Segala kenyataan apapun
yang terjadi padaku, sedapatnya aku akan berusaha menerima dengan dada lapang."
"Baiklah. Sekarang aku mohon pamit. Aku
berdoa semoga Gusti Allah selalu memberimu petunjuk jalan yang benar, hingga kau menemukan
suatu kedamaian hidup yang selama ini belum
pernah kau dapatkan!"
"Terima kasih orang tua. Jika kau mau aku
ingin menitipkan Panah Matahari padamu."
"Buat apa?" tanya si gendut kaget.
"Boleh jadi umurku tak akan lama. Aku merasa aman jika senjata itu ada padamu yang kelak
dapat kau serahkan pada Hantu Pembawa Petaka
di tanah Andalas."
"Orang tua yang kau sebutkan sulit ditemui,
bahkan mungkin sekarang telah berpulang!"
"Belum... mungkin dia masih hidup. Setidaknya itu dibuktikan dengan datangnya dua murid Hantu Pembawa Petaka. Iblis Tangan Batu dan
Iblis Lidah Api sebelum hendak membunuhku ada
mengatakan mereka diutus gurunya untuk mengambil Panah Matahari. Tapi mereka tidak hanya
meminta senjata itu saja. Iblis Tangan Batu meminta beberapa kitab sakti lain yang bukan milik
guru mereka. Sangat disayangkan mereka bukan
saja tak sanggup membunuhku, tapi malah terbunuh oleh ilmu Ratap Langitku."
"Konon yang kudengar Hantu Pembawa Petaka bukan manusia berhati serakah. Tubuhnya
tidak sempurna tapi dia memiliki keluhuran jiwa.
Aku sendiri ragu apakah Hantu Pembawa Petaka
mempunyai murid atau tidak. Dan mungkin pula
kedua orang yang termakan ilmumu itu memang
bukan muridnya?"
"Lalu mereka murid siapa?"
"Bisa jadi murid setan. Mengingat musuhmu tidak sedikit, tentu banyak sekali kemungkinan yang terjadi di luar perhitunganmu!" ujar kakek Gentong Ketawa.
"Baiklah, sekarang aku semakin bertambah
yakin hanya kau yang dapat kupercaya untuk menyimpan senjata ini." Lalu Angin Pesut mengeluarkan sebuah bungkusan terbuat
dari kain putih
sepanjang tiga jengkal belum lagi si gendut sempat mengucapkan sesuatu, Angin
Pesut ulurkan tangan yang memegang bungkusan itu.
"Terima dan simpanlah." ujar si kakek alls merah. "Mana aku berani menerimanya?"
"Orang tua, apakah kau lebih suka senjata
berbahaya ini jatuh ke tangan orang jahat" Kau
sudah mendengar bahwa aku tidak akan melawan
siapapun. Semua musuh-musuhku setiap saat bisa saja datang kemari. Jika andainya mereka dapat membunuhku, mereka pasti menjarah apa saja
yang ada di dalam gua ini. Tolong simpan senjata
itu, Gentong Ketawa!" pinta si kakek bersungguh-sungguh.
Melihat Angin Pesut nampak begitu memaksa, semakin tidak enak saja perasaan si gendut untuk menolak. Diapun kemudian ulurkan
tangan menerima kain putih pembungkus Panah
Matahari. Gentong Ketawa masukkan kain putih itu di
balik pakaian hitamnya. Setelah itu dia balikkan
badan siap hendak melangkah pergi. Tapi pada
saat itu Angin Pesut berkata. "Tunggu orang tua?"
"Ada lagi yang hendak kau sampaikan?"
"Aku punya saudara seperguruan. Namanya
Sateaki, dia sama sekali tidak tahu menahu tentang kejahatanku. Jadi kuharap kau jangan memusuhinya."
"Semoga aku dapat memperhatikan permintaanmu itu!" kata si kakek gendut. Selanjutnya tanpa menunggu lebih lama lagi
orang tua itu berkelebat tinggalkan Angin Pesut yang masih berdiri
tegak disamping mulut gua.
8 Kekesalan gadis berpakaian putih ini pada
gadis yang bernama Nyi Sekar Langit bukan kepalang. Seandainya dia tahu Nyi Sekar Langit yang
semula berupa seorang nenek tua berwajah buruk
itu sesungguhnya adalah seorang gadis cantik jelita. Tentu dia tak akan mengizinkan Gento membantu gadis itu. Gara-gara Nyi Sekar Langit, gadis berpakaian putih merasa
dirinya diabaikan. Dalam
pandangannya Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
nampaknya lebih tertarik pada gadis jelita itu.
Entah mengapa dia begitu marah pada Nyi
Sekar ketika melihat gadis itu memandang Gento
dengan mata berbinar. Masih jelas terbayang di
matanya saat mereka berada di gua karang di teluk, Nyi Sekar Langit langsung memeluk Gento begitu dirinya terbebas dari belenggu ketuaan.
"Dia pernah mengatakan suka kepadaku.
Tapi mengapa dia mudah tergoda oleh perempuan
lain." batin si gadis yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi. Sejenak dia
menarik nafas, lalu pandangannya menatap kosong ke arah sungai kecil
yang terdapat di depannya. "Mungkin rasa sukanya kepadaku hanya suatu kedustaan belaka.
Gento... ahk apakah kau tidak tahu bagaimana perasaanku kepadamu?" rintih si gadis. Tanpa sadar sepasang matanya nampak
berkaca-kaca. "Mengapa perasaanku jadi begini. Gara-gara
Nyi Sekar aku terpaksa meninggalkan Gento. Kini
setelah aku tak berada di dekatnya aku jadi khawatir jangan-jangan Nyi Sekar dengan segala kecantikannya berusaha memikat pemuda itu.
Hmm... Nyi Sekar. Jika kau mencoba memperdaya
orang yang aku kasihi, aku bersumpah pasti akan
membunuhmu. Jangan mengira aku takut padamu!" geram Mutiara Pelangi sambil kepal-kepalkan tinjunya.
Sang dara gelengkan kepala. Kini wajahnya
nampak berubah muram. Matanya yang menatap
kosong memandang ke sungai dimana sepasang
ikan nampak berenang mundar-mandir dengan
bebasnya. "Diriku tidak sebebas ikan itu. Guruku yang
misterius bahkan sering mengingatkan aku agar
jangan mudah percaya dengan segala bujuk rayu
mulut laki-laki. Gento... tanpa sadar apa yang pernah kau ucapkan telah
menumbuhkan harapan di
hatiku. Tapi ternyata, tingkah lakumu membuat
aku ragu, apakah benar kau mencintai diriku?" fikir Mutiara Pelangi alias Puteri
Kupu-kupu Putih
gelisah. Kegelisahan serta segala kegalauan hati
kadangkala membuat seseorang berlaku ceroboh
dan tidak cepat tanggap dengan apa yang berada
di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan Pelangi.
Kegelisahan serta fikirannya yang tertuju pada
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon membuatnya tak
menyadari kalau sejak tadi ada sepasang mata
yang terus memperhatikannya.
Pemilik sepasang mata yang hanya kepalanya saja menyembul di permukaan tanah menatap ke arah Pelangi dengan penuh kegusaran.
"Bocah itu apa yang dilakukannya di tempat
ini" Seharusnya dia membantu Iblis Edan dan Setan Sableng membebaskan ayahnya yang dipenjarakan Adipati di Ladang Wadas Cimangu. Eeh...
dia malah menangis" Aku tak pernah mengajarinya ilmu menangis! Dasar setan!" dengus sosok yang sebagian tubuhnya terpendam
di dalam tanah. Kepala yang tersembul di atas permukaan tanah itu mendadak lenyap. Diatas permukaan ta

Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nah terjadi gerakan disertai suara bergemuruh
aneh. Apa yang terjadi berlangsung sangat cepat,
dan mendadak Pelangi menjerit ketika satu kekuatan menariknya ke bawah hingga membuat sosok
Pelangi lenyap ke dalam tanah untuk kemudian
melesat ke udara seperti dilemparkan dari dalam
tanah. Selagi gadis itu berjumpalitan di udara berusaha keras agar tidak jatuh punggung sang dara
kembali dikagetkan dengan terdengarnya suara
bentakan yang seakan berasal dari kedalaman perut bumi. "Murid tolol keblinger. Sedari kecil aku mendidikmu dengan maksud agar
mempunyai pendirian sekokoh karang dan hati sekeras baja.
Tidak kusangka baru dua purnama turun gunung
kau tak sanggup menghadapi tantangan hidup!"
Pelangi yang baru saja jejakkan kakinya
nampak bergetar, wajah berubah pucat dan mata
memandang membeliak ke arah lubang menganga
dimana tadi dia sempat ditarik amblas ke dalamnya. Menyadari siapa yang datang Pelangi jatuhkan diri berlutut sambil menjura penuh hormat ke
arah lubang dimana orang yang bicara tadi belum
juga terlihat sosoknya.
"Guru... maafkan aku. Maafkan segala kesalahanku. Murid mengaku bersalah. Aku mohon petunjuk. Belasan tahun aku menjadi muridmu, selama itu aku tak pernah melihat ujudmu yang sebenarnya. Kini aku berharap guru mau memperlihatkan diri!" kata Pelangi masih dengan sikap menghormat.
"Huh, memperlihatkan diri padamu apa susahnya. Kau pentang dua matamu, lihat baik-baik
kemari!" kata suara dari lubang yang selalu melakukan perjalanan dengan
menggunakan Ilmu 'Menyusup Bumi' Sesuai dengan perintah suara itu, Mutiara
Pelangi memandang ke depan.
Begitu perhatiannya tertuju ke arah suara
yang terdengar. Mendadak sontak terdengar suara
bergemuruh hebat dari dalam bumi. Lalu permukaan tanah tersibak, serpihan tanah berlesatan ke
segenap penjuru arah. Pelangi lindungi wajahnya
dengan kedua telapak tangan. Di lain kejab begitu
suara bergemuruh lenyap terdengar pula suara
tawa panjang menggidikkan.
"Kau lihatlah kemari Pelangi. Sewaktu aku
menggemblengmu selama belasan tahun sekalipun
kau belum melihat diriku. Kini kesempatan itu
terbuka bagimu. Lihat...!"
Perlahan Pelangi tengadahkan wajahnya
memandang lurus ke depan. Gadis ini memekik
kaget, mata melotot, sedangkan tangan kiri cepat
dipergunakan untuk menutup mulutnya. Beberapa saat lamanya Pelangi tak kuasa bicara, sekujur
tubuhnya malah basah bersimbah keringat dingin.
Apa yang dilihatnya bukanlah seperti apa yang dia
bayangkan selama ini. Sosok berpakaian serba hitam itu tidak menyerupai manusia. Ujudnya boleh
dikata setengah manusia setengah binatang.
Betapa tidak" Wajah si nenek rusak hancur
mengerikan, hidung sumplung mata belok, telinga
lenyap entah kemana. Sedangkan lidahnya terjulur
merah meneteskan darah, lalu di kanan kiri lidah
yang terjulur terdapat dua pasang taring yang tajam, panjang dan berlumuran darah. Selain itu
dada si nenek nampak berlubang besar, hangus
menghitam seperti bekas terbakar. Karena dia
hanya memakai celana panjang sebatas lutut,
dengan jelas Pelangi dapat melihat sepasang kaki
si nenek yang kecil bengkok cacat penuh codet.
Bagian betis bersambung dengan besi seperti mata
tombak. Mungkin dengan kedua kaki bertumit
runcing inilah dia melubangi bagian permukaan
tanah, hingga dia dapat menembus tanah mana
saja yang dia suka.
"Kau melihatku seperti melihat setan, Pelangi?" hardik si nenek.
"Wajah guru bahkan lebih angker dari setan!" sahut sang dara.
"Hik hik hik! Sekarang setelah bertemu dan
melihat rupaku. Aku ingin bertanya ketika kau turun gunung mengatakan ingin membebaskan pamanmu. Lalu apakah kau telah berhasil melakukannya" Dan apakah kau telah bertemu dengan
Setan Sableng dan Iblis Edan adik misanmu itu?"
tanya si nenek yang dikenal dengan nama nenek
Palasik itu dengan tatapan menyelidik.
Mendapat pertanyaan seperti itu wajah sang
dara berubah muram. Dengan suara bergetar menahan kesedihan dia menjawab. "Pamanku Karma
Sudira tewas terbunuh. Sedangkan Setan Sableng
dan Iblis Edan kini ikut dengan Dewa Sinting."
menerangkan si gadis. Dia kemudian juga menceritakan bagaimana caranya sampai bisa membunuh Adipati Purbolinggo yang telah membuat
sengsara kerabat pamannya itu. Tak lupa dia juga
menceritakan pertemuannya dengan Gento dan
bantuan yang diberikan oleh pemuda itu. (Untuk
lebih jelas, silahkan baca Episode Setan Sableng).
"Kedua adik misanmu itu semoga bisa menjadi manusia berguna di dalam didikan Dewa Sinting. Lalu mengapa kau tinggalkan Kadipaten bukan malah mendudukinya setelah kau dapat menumpas Adipati Purbolinggo dan orang-orangnya?"
tanya si nenek. Dua bola matanya yang belok menatap penuh selidik ke arah Pelangi.
"Mohon dimaafkan, guru. Aku wanita, aku
merasa tidak pantas menduduki jabatan itu. Untuk sementara biarlah Purbolinggo dibiarkan kosong tanpa pemerintahan."
"Hik hik hik. Aku tahu jalan fikiranmu, kau
sejak dulu lebih suka hidup sebagai manusia biasa
tanpa embel-embel segala macam tahta jabatan!
Lalu, kulihat tadi kau menangis" Apa yang terjadi
padamu?" Sang dara nampak tersipu dan sempat berubah merah air mukanya.
"Tidak! Aku tidak menangisi apapun."
Nenek angker di depannya dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Beberapa saat kemudian
setelah tawa dinginnya lenyap dia berkata. "Aku tahu kau berdusta. Sejak dulu
aku tak pernah mengajarimu berbohong terkecuali bila dalam keadaan terpaksa dan terjepit. Aku tahu, di hatimu
ada satu ganjalan. Matamu bahkan menyimpan
suatu rasa, kerinduan, benci, cemas dan rasa takut kehilangan. Kau sedang memendam berbagai
perasaan. Pasti yang satu ini erat hubungannya
dengan laki-laki, dengan seorang pemuda. Kau jawab, betul atau tidak yang kukatakan ini?"
Terkejutlah sang dara. Sama sekali dia tak
menyangka gurunya mengetahui apa yang terjadi
pada dirinya saat itu. Sekarang dia menjadi ragu
apakah merasa perlu untuk berterus-terang" Pelangi menarik nafas, lalu menghembuskannya
sambil gelengkan kepala. "Tidak benar guru!"
Sepasang mata belok Si nenek mendelik besar. "Bocah kurang ajar. Sekarang kau mulai berani membohongi dirimu dan gurumu
ini" Aku pernah muda muridku. Kalau kau tak mau berterus-terang kupecahkan kepalamu!"
Mendapat ancaman ini tentu saja Pelangi
jadi takut. Sehingga dengan muka merah dan perasaan malu dia akhirnya berterus-terang.
"Guru... aku... aku...!"
"Ah, suaramu bergetar. Jantungmu pasti
berdetak keras. Katakan siapa laki-laki yang telah menggerogoti fikiran dan
hatimu itu?"
"Namanya Gento, guru...!" jawab Pelangi
sambil tundukkan wajahnya.
"Gento siapa dia" Orangnya tua atau masih
muda" Apakah dia masih perjaka tulen?"
"Aku tidak tahu dia perjaka atau bukan.
Tapi dia masih muda."
"Dia seorang pembuat senjata atau pedagang getuk keliling?"
"Dia adalah Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon." menerangkan sang dara. Nenek angker di depannya manggut-manggut, tapi
keningnya berkerut seolah tengah berfikir keras dan menduga
siapa gerangan pendekar itu.
"Hemm, Pendekar Sakti 71. Akhir-akhir ini
namanya memang sering menjadi pembicaraan
orang. Konon dia memiliki ilmu kesaktian tinggi.
Sayang otaknya agak sinting. Jadi pemuda edan
itu yang telah menyakiti perasaanmu?"
"Dia tidak menyakitiku."
"Lalu apakah dia pernah mengatakan cinta
padamu?" "Tidak. Tapi dia pernah mengatakan suka
padaku." jawab Pelangi.
"Suka bukan berarti cinta. Sejak dulu sudah kukatakan, laki-laki itu memang suka merayu. Laki-laki mulutnya beracun. Apa kau lupa
aku telah menyuruhmu untuk menjauhi semua
laki-laki. Kau lihat wajahku, diriku menjadi cacat begini rupa karena ulah lakilaki. Aku tak mau apa yang menimpa diriku terjadi padamu." kata si nenek dingin.
"Ah, jadi cacat di sekujur tubuhmu itu karena ulah laki-laki, guru?" Si nenek anggukkan kepala perlahan. Dengan wajah
murung, namun pandangan mata dingin si nenek membuka mulut
berucap. "Kau tak usah risau, muridku. Jika kau suka pada pemuda geblek edan itu
aku bisa men-carinya. Dia tidak mungkin dapat meloloskan diri
dari tanganku. Namun apakah kau benar-benar
menyukainya?"
"Suka guru." jawab Pelangi malu-malu.
"Kau cinta padanya?" tanya si nenek lagi.
"Cinta guru."
"Cinta lahir batin?"
"Lahir dan batin."
"Ah, kalau begitu aku akan punya menantu.
Aku akan jodohkan kau dengannya!" kata nenek
Palasik. Sosok angker itu memandang muridnya
dengan mata berbinar gembira.
Sebaliknya mendengar ucapan si nenek wajah Pelangi nampak berubah pucat. "Jangan membuat aku malu. Gento belum tentu
cinta kepada- ku. Mungkin hanya aku yang punya perasaan seperti itu kepadanya, sedang dia mungkin saja
hanya menganggapku sebagai sahabatnya. Lagipula...!" "Lagi pula apa heh...?" tanya si nenek gusar.
"Lagi pula ada gadis lain yang lebih cantik dariku.
Gadis itu agaknya suka pada Gento..."
"Nah... nah, apa kataku. Bukankah sudah
kubilang, laki-laki itu suka mempermainkan perempuan. Siapa nama gadis itu?"
"Nyi Sekar Langit."
"Nyi Sekar Langit." mengulang si nenek.
"Apakah dia secantik dirimu?" Dengan suara ter-sendat sang dara menjawab. "Dia
bahkan lebih cantik dariku."
"Kurang ajar. Pendekar edan yang kau sukai kalau begitu memang patut dihajar. Tenang...
kau tak usah gusar. Aku punya cara agar pemuda
itu tak banyak bertingkah. Dia pasti menjadi jodohmu." tegas si nenek.
"Guru... kau hendak berbuat apa" Lebih
baik kau lupakan saja masalah pribadiku."
"Gadis sontoloyo. Bicara plintat pelintut
macam kentut. Apa yang telah kuputuskan jangan
coba-coba kau bantah. Urusanmu itu harus diselesaikan sampai tuntas, tapi nanti setelah dua
urusanku selesai!" tegas si nenek.
Mendengar ketegasan si nenek tentu Pelangi
tak berani membantah. Dia tahu gurunya orang
yang berwatak keras. Segala apa yang dimauinya
tak bisa ditawar-tawar. Baginya lebih baik berdiam diri, walau jauh di lubuk
hatinya dia tak setuju
dengan cara yang hendak ditempuh nenek itu.
"Dua urusan yang hendak kau selesaikan
itu, apakah ada hubungannya dengan masa lalumu guru?" tanya sang dara sengaja mengalihkan pembicaraan. Si nenek tak segera
menjawab. Sebaliknya dia memandang ke satu jurusan. Lalu
tanpa terduga dia balikkan badan, dua tangan dihantamkan ke arah segerumbul semak belukar
sambil berseru keras. "Pengintai tengik sialan. Ikut menguping pembicaraan orang
adalah dosa yang
patut dapat ganjaran!"
Wuss! Wuus! Dua larik sinar hitam berkiblat dari tangan
si nenek disertai suara bergemuruh dahsyat dan
hawa panas luar biasa. Dua pukulan tangan kosong dengan cepat sekali menghantam semak belukar itu hingga membuatnya hancur berkepingkeping. Tapi beberapa saat sebelum pukulan yang
dilancarkan si nenek memporak porandakan semak belukar itu dua sosok bayangan kuning berkelebat keluar ke arah si nenek dan muridnya
sambil berseru memuji. "Nenek muka iblis. Sungguh hebat kesaktian yang kau
miliki. Sayang jika
kami tak membalasnya!" berkata begitu selagi dua sosok yang meluncur deras ke
arah mereka itu
masih mengambang di udara keduanya jentikkan


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jari tangannya secara bersilangan.
Wuus! Wuus! Sinar merah secara bersilangan melabrak
ke arah si nenek dan Pelangi. Si gadis tidak tinggal diam, dia kebutkan ujung
lengan bajunya hingga
menderulah segulung angin dingin yang sangat keras luar biasa.
Sebaliknya nenek angker Palasik gerakkan
bahunya sebelah kiri. Begitu bahu digerakkan dari
bagian dada si nenek yang berlubang membersit
sinar hitam berbau busuk berhawa dingin luar biasa. Gelombang angin membadai yang keluar
dari ujung jubah Pelangi membuat sinar merah
yang keluar dari jari tangan sosok baju kuning
amblas. Bahkan memaksa pemilik serangan jatuh
terbanting. Sebaliknya orang yang mendapat serangan balasan dari si nenek secara tak terduga
terdorong mundur ke arah mana dia tadi datang,
lalu jatuh terhempas disertai pekikan keras.
Nenek Palasik keluarkan suara tawa dingin
menyeramkan. Sebaliknya sang murid segera
mengambil sikap waspada. Murid dan guru kini
sama memandang ke depan. Dua orang yang menyerang mereka kini nampak bangkit berdiri. Begitu melihat wajah dua sosok laki-laki berbadan
tinggi itu terkejutlah sang dara. Betapakan tidak.
Kedua orang itu memiliki wajah bersisik seperti sisik ular, disetiap celah sisik
ditumbuhi bulu kasar.
Dua tangan mereka juga ditumbuhi sisik sampai
ke siku. Yang lebih aneh lagi adalah bagian jari
tangannya. Jari tangan hanya terdiri dari ibu jari dan jari telunjuk. Jari
kelingking, jari manis dan
jari tengah menyatu dengan jari telunjuk. Jauh
berbeda dengan manusia normal umumnya.
Pelangi sama sekali merasa belum pernah
bertemu dengan mereka. Lain halnya dengan nenek Palasik. Orang tua itu nampak begitu tenang
sedangkan mulutnya mengurai senyum sinis.
9 "Nenek jelek." berkata pemuda aneh yang
tadi serangannya dapat dimentahkan oleh Pelangi.
"Kau mengatakan hendak menjodohkan muridmu
dengan Pendekar edan bernama Gento Guyon"
Mengapa bersusah payah mencari pemuda itu.
Muridmu cantik, jika kau berkenan kami berdua
siap menjadi jodohnya. Ha ha ha!"
Lalu yang satunya lagi menimpali. "Dia benar. Kami berdua pasti bisa membahagiakan muridmu. Dengan menjadi istri kami muridmu tidak
akan kesepian apalagi kecewa."
"Dan lagi, jika kau inginkan cucu. Dalam
waktu sekejap kami dapat memberimu cucu berapapun yang kau minta! Ha ha ha."
Mendengar ucapan kedua pemuda berwajah
aneh ini wajah Pelangi nampak berubah merah
padam. Darahnya menggelegak dan dia siap melancarkan serangan ganas ke arah mereka. "Manusia jahanam tak tahu diri. Berani bicara lancang kurobek mulutmu!"
"Kau mau merobek atau minta kami cium"
Ha ha ha." kata pemuda kedua sambil monyongkan mulutnya yang lancip.
Pelangi semakin bertambah gusar saja dibuatnya. Sebaliknya nenek Palasik diam mengawasi. Dalam hati dia berkata. "Dua pemuda bersisik seperti ular beludak ini
pastilah yang dijuluki Dua Budak Setan. Murid Si Pengemis Nyawa. Dua
manusia tak tahu diuntung. Aku tahu guru mereka bersahabat dengan Empu Barada Sukma. Apakah kemunculan mereka ada hubungannya dengan dendam kesumat Empu Barada Sukma dengan gendut gila Gentong Ketawa?"
"Nenek jelek, kami melihat sejak tadi kau
diam saja. Apakah diammu sebagai suatu tanda
bahwa kau setuju dengan permohonan kami?"
tanya salah seorang dari pemuda itu.
Nenek Palasik tiba-tiba tertawa tergelakgelak. Melihat sikap gurunya yang masih belum
mengambil tindakan apa-apa Pelangi jadi tidak sabar. "Guru, izinkan aku menggebuk mereka!" ka-ta sang dara lantang.
Si nenek hentikan tawanya. Dia memandang dengan mata mendelik ke Arah kedua pemuda berwajah dipenuhi sisik. "Bocah-bocah keparat.
Bukankah kalian yang dijuluki Dua Budak Setan,
murid Si Pengemis Nyawa" Beraninya kau muncul
dihadapanku. Atau kedatangan kalian karena diutus oleh Empu Barada Sukma" Hik hik hik!"
Tak terbayangkan betapa kagetnya kedua
pemuda ini mendengar ucapan si nenek. Sama sekali mereka tak menyangka nenek yang lidahnya
selalu terjulur itu mengenal siapa mereka adanya.
Hanya rasa kaget itu cuma berlangsung sekejap,
sebentar kemudian pemuda yang berbadan paling
tinggi dari yang satunya lagi berkata. "Ha ha ha.
Penglihatanmu ternyata cukup tajam. Kami memang Dua Budak Setan. Aku Budak Setan ke satu
biasa dipanggil Setan Satu dan ini adikku Budak
Setan Ke Dua, atau Setan Dua. Kau sudah mengenal siapa kami, guru kami juga Empu Barada
Sukma. Terus terang kami memang sedang mencari Gentong Ketawa. Dimana beradanya orang tua
itu harap kau suka memberitahukannya pada kami!" kata Setan Satu.
"Anak-anak setan sialan. Tadinya kalian
minta dijodohkan dengan muridku. Sekarang bicara yang lain lagi. Apakah kau mengira aku ini gendaknya Gentong Ketawa?" hardik si nenek dengan mata mendelik.
"Orang tua, muridmu kenal dengan Gento
Guyon, malah sudah mengaku jatuh cinta. Gento
konon adalah murid tunggal orang yang kami cari.
Jika dia dekat dengan muridnya masa tak tahu
dimana gurunya"!" kata Setan Dua pula.
Mendengar ucapan pemuda di depannya
tentu saja si nenek tak sanggup menutupi rasa herannya. Dia berpaling pada Pelangi sambil ajukan
pertanyaan. "Benar Pendekar Sakti 71 murid kakek geblek Gentong Ketawa?"
Pelangi anggukkan kepala.
"Gento pernah berkata begitu. Aku sendiri
belum pernah bertemu. Malah Gento sampai saat
ini sedang mencari gurunya." jawab sang dara.
"Nah, kau dan adikmu sudah mendengarnya sendiri. Sekarang enyahlah dari hadapanku
sebelum aku berubah fikiran!" tegas nenek Palasik.
Setan Satu dan Setan Dua saling berpandangan. Setan Dua kemudian anggukkan kepala.
"Nenek tua, kami tidak puas dengan penjelasan muridmu. Dia bisa saja berbohong. Mungkin
ingin melindungi Gentong Ketawa karena muridmu
itu mencintai murid orang yang kami cari." dengus Setan Satu.
Hilanglah sudah kesabaran si nenek. Dengan hati jengkel dan perasaan geram dia membentak. "Anak setan ingusan. Perlu apa aku melindungi tua bangka gendut itu" Aku
punya firasat, kalau kau dan adikmu tetap nekad mencari gendut sinting itu, umur kalian tak bakal lama. Pulanglah, katakan pada Empu Barada Sukma agar
dia menyelesaikan urusannya sendiri."
"Nenek tua, mungkin kau atau muridmu
memang tak tahu dimana beradanya orang yang
kucari. Lalu bagaimana jika kami minta muridmu
untuk menjadi teman seperjalanan. Dengan begitu
bila malam hari kami tidak akan kedinginan!" kata Setan Dua.
Setan Satu tertawa gelak-gelak mendengar
ucapan adiknya. Dia malah secara kurang ajar
menambahkan. "Sudah lama kami tak merasakan
kehangatan pelukan perempuan apalagi gadis secantik muridmu itu!"
"Oh, jadi kalian menginginkannya. Boleh saja, tapi terimalah gebukanku dulu!" Selesai berkata si nenek membarenginya
dengan satu serangan jarak jauh yang langsung menghantam bagian kaki
kedua pemuda itu. Mendapat serangan ganas Dua
Budak Setan melompat ke udara, lalu balas menyerang dengan menghantamkan dua pukulan
yang tak kalah hebatnya. Melihat hal ini Pelangi tidak tinggal diam. Dari arah
samping dia hantamkan dua tangannya menyambuti pukulan yang
mengarah pada gurunya.
Buum! Satu ledakan berdentum mengguncang
tempat itu. Sang dara terjajar dengan wajah pucat
dan dada bergetar hebat. Dua tangan yang dipergunakan untuk menangkis pukulan lawan terasa
panas seperti terbakar. Selagi gadis ini siap melancarkan serangan balasan
gurunya berseru.
"Muridku... jangan kau campuri urusanku.
Dua budak setan ini rupanya memang kurang
mendapat pengajaran dari Si Pengemis Nyawa.
Duduklah yang tenang, cari tempat sebaik mungkin. Biar kubunuh dulu dua bocah setan terkutuk
bermulut keji ini!"
Walau merasa geram dan penasaran. Mutiara Pelangi tentu saja tak berani membantah ucapan gurunya. Sehingga dia pun memilih menyingkir ke tempat yang aman. Sementara itu Setan Satu dan adiknya kini menyerang si nenek dari dua
arah sekaligus. Masing-masing jari tangan mereka
menyambar ganas dan berusaha mencekal tangan
atau leher lawannya. Jari tangan yang menyatu
satu sama lain tersebut merupakan senjata andalan yang sangat hebat dan perlu mendapat perhatian dari si nenek. Sudah belasan nyawa melayang akibat tersambar atau terjepit jari tangan
dempet itu. Tapi kini orang yang dihadapi oleh Dua Budak Setan adalah nenek Palasik, salah satu dedengkot dunia persilatan yang memiliki kesaktian
serta tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari mereka. Bahkan mungkin sama dengan guru mereka
sendiri. Disamping itu gerakan si nenek yang demikian gesit membuat serangan hebat yang dilancarkan Setan Satu dan Setan Dua selalu menemui
tempat kosong. Pada gebrakan selanjutnya nenek
ini dibarengi dengan teriakan menggeledek tibatiba melompat tinggi ke udara. Begitu tubuhnya
mengapung di udara kaki kanannya yang berbentuk aneh seperti ladam kuda namun memiliki ketajaman seperti mata tombak bergerak berputar
menyapu bahu dan kepala lawannya.
Setan satu dengan cepat melompat ke
samping, bergulingan selamatkan diri. Sedangkan
Setan Dua walau sempat berusaha mengelak namun gerakannya kalah cepat dengan gerakan kaki
si nenek. Tak ayal lagi ujung kaki yang setajam
mata tombak berbentuk tiga persegi namun pipih
ini mengoyak bahunya.
Raak! "Akrh...!"
Setan Dua menjerit, tubuhnya limbung, darah mengucur dari luka di bahu. Luka menganga
yang dialami Setan Dua tidak membuat pemuda
itu surut. Kini dengan tangan kiri dia menyerang
nenek itu. Setan Satu juga tidak tinggal diam. Begitu melihat adiknya terluka dia jadi sangat marah
sekali. Kembali dia menyerbu, dua tangan kemudian diputar sebat hingga terciptalah segulung angin berputar yang memulas apa saja yang dilaluinya. Pepohonan besar yang berada di sekitarnya
tercabut. Seakan ada satu kekuatan yang sangat
besar pohon-pohon terangkat naik ke udara lalu
melayang, lenyap dan jatuh berkerosakan di kejauhan disertai suara bergemuruh mengerikan.
Pelangi sendiri jika tidak cepat melompat
dan berlindung di balik batu besar pasti sudah
ikut digulung pusaran angin yang diciptakan oleh
Dua Budak Setan. Berturut-turut mendapat serangan ganas berupa pusaran angin yang diciptakan lawannya ini walau pakaian si nenek mulai
tercabik-cabik akibat menahan serangan itu, namun tidak membuat nenek Palasik menjadi jerih.
Kini disaat Setan Satu dan Setan Dua bergerak mendekat sambil lipat gandakan serangannya. Si nenek merasa tiba-tiba dirinya terbetot ke dua arah. Sekujur tubuhnya
seperti tercabik. Dia
nampak terhuyung, sementara dari lubang hidungnya mengucur cairan darah. Pelangi tentu saja menjadi cemas. Namun dia tak berani turun
membantu karena takut gurunya jadi tersinggung.
Dia hanya mampu memperhatikan segala
yang terjadi dengan penuh kecemasan.
Setan Satu merasa yakin lawan pasti tak
bakal sanggup meloloskan diri dari maut. Sedangkan Setan Dua yang saat itu banyak mengeluarkan darah akibat pengerahan tenaga sakti yang
terus menerus membuat wajahnya pucat dan mulai merasa lemas.
"Dua bocah ingusan sialan! Jadi rusak pakaianku karena kenakalan kalian. Jika tidak kubunuh rasanya menyesal aku membuang tenaga!"
didahului teriakan seperti itu si nenek hantamkan


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaki kirinya ke atas tanah sedang mulut nampak
berkomat-kamit seperti orang merapal sesuatu.
Satu keanehan pun kemudian terjadi. Tubuh si
nenek mendadak amblas lenyap masuk ke dalam.
Lalu kedua lawan merasakan mendadak tanah
yang dipijaknya bergerak-gerak. Dua lawan tercekat, saling berpandangan lalu terdengar suara teriakan Setan Satu.
"Awas... nenek itu menggunakan Ilmu Menyusup Bumi!" Bersamaan dengan peringatan Setan Satu. Tanah di tempat Setan Dua berpijak
mendadak dijebol dari bagian dalam. Kemudian
satu tangan mencekal kedua kaki Setan Dua dan
menariknya ke bawah.
"Kakang...!" jerit Setan Dua. Jeritan pemuda itu lenyap karena tubuhnya langsung
amblas lenyap ke dalam tanah. Dari dalam tanah terdengar
seperti suara tulang berpatahan tidak ubahnya dililit ular piton. Tercengang dan bergetarlah sekujur tubuh Setan Satu melihat
kejadian aneh yang berlangsung singkat itu.
"Nenek jahanam, kau apakan adikku...!" teriak Setan Satu lantang. Teriakan gusar
pemuda itu dijawab dengan tawa dingin si nenek. Lalu terdengar suara sayup-sayup si nenek dari dalam tanah. "Kau inginkan adikmu bocah ingusan.
Adikmu sudah kujadikan ikan pepes. Jika kau suka memakan daging saudaramu sendiri, silahkan
saja kau boleh memakannya. Ini terimalah...!" Suara si nenek lenyap. Kembali
terdengar suara bergemuruh. Lalu tiga langkah di depan Setan Satu
tanah tiba-tiba terbelah rengkah. Satu sosok serba kuning berlumuran darah
terlempar dari dalamnya
dan jatuh persis satu langkah di depan kaki Setan
Satu. Pemuda itu tercengang, dua mata mendelik
besar sedangkan tengkuknya menjadi dingin. Di
depannya sang adik terkapar menjadi mayat. Mulai dari kepala hingga ke bagian kaki hancur mengerikan seperti habis digulung ular besar. Dua mata amblas, biji mata hancur. Tak kuat Setan Satu
menyaksikan semua itu membuatnya keluarkan
suara raungan menggidikkan.
"Nenek jahanam! Kau bunuh adikku dengan
cara begini rupa" Tidak puas hatiku jika belum
mencincang tubuhmu. Keluarlah...!" teriak pemu-da itu kalap.
Kembali terdengar tawa si nenek yang tak
kalah dinginnya dengan tawa Setan Satu. Permukaan tanah terbelah. Dari tanah yang terbelah melesat keluar nenek Palasik.
"Rupanya kematian adikmu tidak juga
membuka mata dan membuatmu berfikir untuk
tinggalkan tempat ini?" hardik si nenek sambil ber-tolak pinggang.
"Jahanam! Kau boleh bangga dengan ilmu
anehmu. Jika aku pergunakan Pedang Tumbal Perawan apakah masih ada kemungkinan bagimu
untuk menyelamatkan diri. Kau yang kubunuh
duluan. Setelah aku berpuas diri dengan muridmu
baru dia akan menyusulmu!"
"Pedang Tumbal Perawan. Kudengar senjata
itu dibuat oleh Ki Ageng Pamanakan. Kertadilaga
yang memesannya untuk keperluan membalas
dendam pada Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan.
Bagaimana senjata itu kini berada di tangan anak
setan ini?" batin si nenek. Diam-diam dia melirik ke arah pedang dengan rangka
aneh yang tergantung di pinggang Setan Satu. Dikata aneh karena
rangka pedang tidak sebagaimana lazimnya terbuat dari kayu atau besi. Rangka pedang itu jelas
berasal dari potongan pangkal lengan manusia,
mungkin juga lengan seorang gadis. Sesuai dengan
nama pedang Tumbal Perawan!
"Pedang itu dibuat oleh Ki Ageng Pamanakan. Kakek sakti ahli pembuat senjata. Aku punya
dugaan pedang ditangan bocah setan itu bukan
senjata sembarangan. Aku merasakan seolah ada
kekuatan iblis yang menyelubungi pedang tersebut
disamping jelas mengandung racun." batin nenek Palasik.
"Nenek keparat, bersiap-siaplah kau untuk
menerima kematian!" habis berkata, Setan Satu segera menghunus pedangnya. Satu
keanehan terjadi dan dirasakan oleh pemuda ini. Begitu pedang
berada dalam genggaman tangannya, pedang terasa bergerak dan sulit dikendalikan.
"Senjata iblis!" dengus si nenek ketika melihat pedang ditangan lawan nampak
menggeletar memancarkan sinar hitam redup menebar bau
amis. "Kau benar. Senjata iblis siap memenggal
kepalamu. Kau harus ingat nenek jahanam. Pedang ini sangat beracun. Tanganku sendiri jika tidak tebal dan memiliki kekebalan pasti bisa hangus melepuh seketika. Hiaa...!" satu teriakan menggelegar mengawali serangan
ganas yang dilancarkan Setan Satu. Yang diarahnya adalah bagian perut dada, leher juga kepala nenek itu. Sedangkan yang dipergunakan Setan Satu adalah jurus Dua Setan Membongkar Kubur.
Tentu saja serangan ini bukan main dahsyatnya di samping sangat ganas luar biasa. Sosok
Setan Satu berkelebat cepat laksana bayangan setan. Sedangkan pedang ditangannya dalam waktu
yang demikian singkat telah mengurung lawannya
hingga membuat nenek Palasik terpaksa mengandalkan seluruh kecepatan gerak disamping ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai puncaknya. Walau begitu ujung pedang Tumbal Perawan masih sempat menyambar ujung lengan baju
si nenek. Breet! Orang tua itu memekik kaget sambil melompat mundur. Ketika dia melirik ke arah ujung
lengan bajunya, pucatlah wajah nenek Palasik.
Ujung lengan bajunya bukan hanya sekedar robek
terkena sambaran pedang tapi juga hangus menjadi bubuk. Untung kulit lengannya tidak sampai
tergores. Di depannya sana lawan menyeringai.
"Sekarang lengan bajumu, sekejap lagi nyawamu yang dibuat amblas oleh ketajaman
pedang ini!"
dengus si pemuda sambil sibuk mengendalikan
pedang ditangan yang terus menggeletar bergerak
liar dengan sendirinya.
"Pedangmu boleh hebat. Tapi kehebatan
senjata tanpa didukung oleh kemampuan pemiliknya cuma bualan kosong. Bocah ingusan... pedang
itu bukan milikmu. Dari siapa kau mencurinya"
Senjata hebat tapi hasil curian. Hik hik hik!"
"Persetan dengan segala ucapanmu!" teriak si pemuda. Kemudian dengan kecepatan
laksana kilat dia kembali menyerbu ke arah si nenek. Pedang di tangan Setan satu menghantam secara
bersilangan. Wuus! Mendadak lawan yang mendapat serangkaian serangan hebat lenyap. Setan Satu sejenak
jadi kebingungan menyangka lawan kembali menerapkan ilmu Menyusup Bumi.
Selagi lawan dibuat bingung dengan mata
liar mencari-cari. Dari atas pohon terdengar suara tawa mengikik.
"Aku disini, bocah ingusan. Kau tak punya
kemampuan mengejarku!" seru si nenek sambil
menyeringai. "Huh...! Ke neraka sekalipun kau akan kukejar!" dengus Setan Satu. Sekali dia berkelebat tubuhnya lenyap. Mendadak
terdengar suara cabang-cabang pohon seperti ditebas, disertai dengan runtuhnya cabang pohon dari bagian bawah
hingga ke pucuknya. Di bawah pohon terdengar
suara bergemuruh dari runtuhnya cabang yang
terbabat pedang. Pohon menjadi gundul. Lawan
kembali lenyap.
"Jahanam. Kau rupanya manusia pengecut!" maki Setan Satu.
"Hik hik hik. Muridku... lebih baik kita tinggalkan bocah edan penebang pohon
itu. Biarkan dia mengamuk seperti orang gila. Badanku terasa
gerah dan urusan pun belum selesai!" kata si nenek yang tahu-tahu sudah berada
di bawah pohon kembali. Di balik batu Pelangi merapal mantramantra ilmu Menyusup Bumi. Hampir bersamaan
dengan gurunya dia jejakkan kaki kirinya ke atas
tanah. Duuk! Serta merta tubuh murid dan guru ini amblas lenyap ke dalam tanah. Setan Satu yang telah
kehilangan adiknya tentu tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Laksana elang menyambar dia berkelebat turun, pedang diayunkan ke
arah kepala si nenek yang hampir tenggelam lenyap ke dalam tanah.
Wuuuut! Serangannya luput. Si nenek dan muridnya
lenyap meninggalkan tawa berkepanjangan. Setan
Satu seperti kesurupan terus mengejar dan berteriak-teriak ke arah lenyapnya sang lawan. Sambil
berlari pedang di tangan dimasukkan lagi ke dalam
sarungnya. Sampai suaranya parau, dan pemuda
ini letih sendiri. Orang yang dikejar tetap tidak
muncul dari bawah tanah sebagaimana yang dia
harapkan. 10 Di bawah kerindangan pohon kakek berpakaian serba putih berambut dan berjanggut putih
panjang hingga sampai sebatas dada itu mengerjakan tugasnya. Beberapa jenis tetumbuhan yang
berhasil dikumpulkan oleh pemuda berbadan raksasa bernama Anggagana itu seluruhnya hampir
selesai diramunya.
Si kakek yang bukan lain adalah Tabib Sesat alias Tabib Setan ini kadang kala nampak tertegun memikirkan Gento yang saat ini entah berada dimana. Seperti telah diceritakan dalam episode Iblis Penebus Dosa. Tabib
Setan ketika sedang
menikmati daging binatang langka bersama Pendekar Sakti Gento Guyon, selagi perutnya mulas
tak tertahankan muncul seorang pemuda yang
memiliki besar badan luar biasa dan tinggi melampaui pucuk pohon cemara. Pemuda raksasa yang
kemudian diketahui bernama Anggana itu lalu
menangkapnya dan membawa sang tabib ke puncak bukit dimana kedua orang tua manusia raksasa itu menderita sakit keras. Takut akan keselamatan jiwanya, Tabib Setan kemudian menyanggupi dapat menyembuhkan penyakit Senggana dan
Senggini, yaitu orang tua pemuda raksasa itu.
Kini setelah selesai membuat ramuan obat
yang dibutuhkan, tabib yang menguasai seribu satu macam ilmu pengobatan tersebut duduk mencangkung dengan punggung bersandar pada pohon di belakangnya.
"Bocah edan itu. Seandainya dia ada disini,
paling tidak aku tidak merasa begitu tegang. Aku
khawatir keluarga raksasa itu ingkar janji. Jika
ternyata nanti setelah kusembuhkan, aku tidak
mereka bebaskan. Tamatlah sudah riwayatku.
Sayang aku tak dapat membuat penawar Racun
Perubah Bentuk yang mendekam dalam tubuh
mereka selama puluhan tahun. Seandainya obat
penawar itu bisa kubuat, tentu tubuh mereka yang
besar itu dapat dikembalikan seperti sediakala."
batin sang tabib.
Kakek itu begitu tenggelam dalam fikirannya sendiri. Sehingga dia tidak menyadari gerak
geriknya sejak tadi tak luput dari perhatian sepasang mata yang terus mengintai dari balik tebing
kiri puncak bukit.
Pemilik sepasang mata itu memandangnya
penuh rasa kagum. Matanya yang berbinar dan
menyimpan kesepian hidup nampak berkedapkedip. Tak lama setelah berusaha menenangkan
debaran jantung dan gemuruh di dadanya sosok
yang ternyata adalah perempuan cantik berusia
empat puluhan bertubuh tinggi seperti raksasa
namun ramping melangkah menghampiri sang tabib. Jarak lamping bukit dengan pohon besar
dimana si kakek berada sebenarnya mencapai belasan tombak. Tapi hanya dengan beberapa kali
langkahkan kaki perempuan raksasa itu telah berdiri tegak di depan Tabib Setan.
Si kakek terkejut melihat kehadiran perempuan itu. Beberapa saat lamanya dia tak mampu
berkata apa-apa. Perempuan itu tersenyum ramah,
lalu julurkan lidah basahi bibirnya yang putih pucat. "Kakek tabib. Apakah obat untukku dan
untuk suamiku telah selesai engkau buat?" tanya perempuan setengah baya namun
tetap cantik itu
ramah. "Ah... sudah. Senggini, kurasa dengan meminum obat buatanku tiga kali
dalam sehari penyakitmu akan sembuh." ujar sang tabib.
Sepasang mata perempuan itu membulat
besar. Secercah senyum menghias di wajahnya.
Dia kemudian bungkukkan tubuhnya yang setinggi pohon. Tabib Setan menatap Senggini. Mata si
kakek yang nakal sempat melihat celah belahan
dada perempuan yang tersembul dari balik pakaiannya. Putih mulus dan tabib iseng ini dalam


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati berkata. "Jika aku sampai terjatuh di sana.
Sepuluh tahun pun aku betah mendekam di tempat itu!" "Kau baik sekali tabib. Seandainya Racun
Perubah bentuk itu dapat kau buatkan obat penawarnya, aku pasti bersedia mengabdi padamu sepanjang hidupku!" kata Senggini. Suaranya demikian pelan. Sang tabib merasakan
hembusan na- fas hangat si raksasa itu menyapu lembut daun telinga, membuat si kakek menggeliat tapi juga kaget. "Apa maksudmu, Senggini?" tanya sang tabib. "Aku ingin kau menjadi
suamiku?" bisik
Senggini. Tabib Setan tidak akan sekaget itu bila tidak mengingat Senggini belum bersuami. Lagipula
dia sudah mempunyai dua anak. "Perempuan ini
sudah gila agaknya. Mentang-mentang aku seorang tabib, dia beranggapan aku ini kerjanya meramu obat kuat. Sekali aku kena dijepitnya bisa
mejret!" batin kakek itu sambil menyengir dan garuk kepalanya sendiri.
"Kau bergurau, kau bermaksud menjebakku. Ketahuilah, walau usiaku tidak terbilang muda
lagi namun aku masih punya kewarasan. Ucapanmu itu jika sampai didengar oleh suamimu,
bukan kau saja yang mendapat kesulitan, tapi aku
juga bisa mendapat celaka." kata si kakek.
Raksasa Senggini gelengkan kepala.
"Kau tahu mengapa aku mengungkapkan
perasaanku padamu?" tanya perempuan itu sambil kedipkan matanya.
"Aku tak mau tahu dan aku tidak ingin
mendengarnya!" tegas si tabib dengan mata jelala-tan memandang kian kemari
seperti maling yang
takut ketahuan.
"Dengar kakek tabib. Aku mengagumimu
begitu melihat kehadiranmu pertama kali. Kurasa
inilah yang dikatakan jatuh cinta pada pandangan
pertama." "Aku tidak perduli apakah kau jatuh cinta
pada pandangan yang ke sepuluh atau yang keseribu kali. Apa yang kau ucapkan jika sampai diketahui suami atau anakmu bisa ikut menyengsarakan diriku." ucap sang tabib makin bertambah
cemas. Senggini gelengkan kepala.
Masih dengan tersenyum dan tubuh membungkuk perempuan itu berkata. "Kau dengar tabib. Suamiku sejak dua puluh tahun
yang lalu ti- dak dapat lagi menjalankan kewajibannya sebagai
mana layaknya. Sebagai istri aku sangat tersiksa
sekali. Sebagai suami dia mengakui kelemahannya, karena itu jika aku menikah dengan laki-laki
lain asal aku bahagia dia pasti merestuinya."
"Walah, bicaramu ngaco Senggini. Suami
mana yang merelakan istrinya kawin dengan lakilaki lain" Bisa jadi kau dibunuhnya!" menyahuti si kakek sambil cibirkan
mulutnya. "Tabib...!"
Belum sempat Senggini melanjutkan ucapannya mendadak terdengar suara langkah kaki
menuju ke arah mereka. Cepat sekali perempuan
ini tegak berdiri. Melihat siapa yang datang dia
berkata dengan suara mengguntur, hingga membuat si kakek kalang kabut dan telinga menjadi
pengang. "Tabib... sejak tadi kerjamu hanya duduk
saja. Mana obat yang kami minta"!"
"Sialan perempuan ini, pandai dia bersilat
lidah!" rutuk si kakek. Cepat orang tua itu palingkan kepala memandang orang
yang datang. Semula Tabib Setan menduga yang datang adalah Anggagana. Dugaannya ternyata meleset. Yang datang
bukan Anggagana putera perempuan itu, melainkan seorang gadis berpakaian kuning, berkulit putih mulus berambut panjang sepinggang. Sama
seperti Senggini gadis ini juga berbadan tinggi semampai seperti raksasa.
"Ibu, apa yang kau lakukan disini" Kakek
cebol ini siapa?" tanya si gadis sambil memandangi Tabib Setan.
"Sialan. Aku dikatai kakek cebol." maki si kakek dalam hati. "Kalau saja Gento
ada disini. Gadis ini pasti cocok buatnya."
"Dia seorang tabib. Kakangmu Senggana
baru menangkapnya. Seharusnya kakek ini dijadikan bubur, tapi karena dia punya kepandaian meramu obat ayahmu memintanya untuk membuatkan obat untuk kami!" menerangkan Senggini.
Dia lalu berkata lagi ditujukan pada Tabib Setan.
"Mana obatnya!"
"Bawalah obat ini. Kau dan suamimu boleh
meminumnya. Setelah itu segala penyakit yang kalian derita pasti sembuh." ujar si kakek sambil angsurkan sepuluh butir obat
sebesar kepalan
tangan namun bagi raksasa itu hanya sebesar jari
kelingking. Senggini menerima obat pemberian sang tabib. Sebelum pergi dia berkata. "Anakku, kau jaga kakek ini. Jangan biarkan dia
pergi kemana pun.
Jika dia meloloskan diri kau bunuh saja!"
"Baik bu," kata si gadis.
"Aku sudah buatkan obat yang kalian minta, mengapa aku tak dibebaskan?" tanya si kakek.
"Kehebatan obatmu harus dibuktikan dulu.
Jika ternyata kami bisa sembuh perlu apa kami
menahanmu?"
"Huh, mulutmu berkata begitu. Tapi aku
tahu hatimu berkata lain, "kata sang tabib nampak bersungut-sungut.
Seperginya perempuan cantik berusia setengah baya itu, gadis yang disuruh ibunya men
jaga sang tabib segera duduk. Sebentar dia pandangi Tabib Setan. Lalu dia tersenyum. "Dengan jari tangannya yang besar
dibelainya kepala si kakek. Tabib Setan tentu saja merasa senang. Lakilaki mana yang tidak senang dibelai apalagi dipeluk oleh gadis cantik. Tapi kegembiraan Tabib Setan kemudian berubah jadi jerit tertahan ketika telapak tangan gadis raksasa itu
menekan ubun- ubun kepalanya. Jika Tabib Setan tidak cepat salurkan tenaga dalam ke sekujur tubuhnya dapat
dipastikan kepala sampai ke punggungnya remuk.
Walau pun si kakek telah salurkan tenaga
dalam tetap saja pantatnya amblas dua jengkal ke
dalam tanah. "Gadis cantik namun edan, mengapa kau
perlakukan aku seperti ini. Apa kau ingin aku mati?" tanya si kakek geram.
Gadis raksasa itu turunkan tangannya yang
menekan kepala si kakek. Lalu dia tertawa tergelak-gelak. "Apa yang bisa kau lakukan padaku, kakek cebol. Kau mau melawanku
dengan ilmu pukulan sakti, senjata pedang, tusukan tombak
atau apa" Kau tak bakal sanggup membunuhku,
tabib cebol. Hi hi hi!" kata gadis itu.
"Tak kusangka ternyata kau gadis berhati
jahat." kata Tabib Setan sinis.
Gadis itu gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku
bukan gadis jahat, kakek cebol. Aku adalah seorang gadis baik. Mau dengar... ada beberapa pertanyaan yang perlu kuajukan. Jika kau bisa menjawabnya dengan jujur, aku pasti bersedia melepaskanmu!" kata si gadis. Dia lalu cengkeramkan tangan kirinya ke pinggang Tabib
Setan. Begitu kena dicekal, sang tabib diangkat, lalu didekatkan ke wajahnya. Diperlakukan
seperti itu si tabib pu-ra-pura meronta, tapi mata nakalnya kembali melirik ke bawah. "Ah, dada itu lebih mulus lebih bagus!" kata si kakek dalam
hati. "Apa pertanyaanmu?" dengus si kakek pura-pura tak senang.
Si gadis raksasa diam sebentar. Setelah
mencoba mengingat sesuatu dia kemudian berkata. "Namaku Senggini. Tadi pagi ketika aku
mandi, ada seorang pemuda gondrong mengintaiku. Bukan hanya dia, tapi ada laki-laki cebol lainnya yang tak perlu kujelaskan
siapa dia adanya.
Pemuda itu berambut gondrong. Badannya setinggi dirimu."
"Gondrong... siapa lagi pemuda gondrong
kalau bukan bocah edan itu?" batin si kakek.
"Lalu apa gunanya kau tanyakan pemuda
itu padaku?" dengus si kakek.
"Mungkin kau mengenalnya, mungkin dia
temanmu." "Hah... bagaimana ciri-ciri pemuda itu?"
tanya si kakek.
"Rambut gondrong sebahu, bertelanjang
dada dan dilehernya ada kalung kecil bercelana biru!" menerangkan Anggagini.
"Aku tidak punya teman tukang mengintip.
Siapa pemuda sialan itu mana aku tahu. Lalu jika
dia telah berbuat kurang ajar mengintip orang
mandi mengapa kau tak menangkapnya?"
"Pemuda gondrong cebol itu cepat sekali
menghilang. Lagipula dia bukan pemuda kurang
ajar, dia hanya pemuda nakal."
"Gadis aneh, sudah jelas si gondrong bersalah dia cuma mengatakan hanya pemuda nakal.
Dasar sial, coba kalau aku ikut mengintip. Paling
dia juga mengatakan kakek cebol tua yang nakal.
Wah, rugi aku. Gadis ini pasti memiliki bentuk badan yang sangat luar biasa bagusnya." batin si kakek lalu menyengir sendiri.
"Kakek cebol apa yang kau tertawakan" Kau
pasti mengenal pemuda gondrong itu. Katakan! Jika tak mau mengaku kuremukkan pinggangmu!"
berkata begitu Anggagini cengkeramkan lima jari
tangannya. Si kakek menjerit kesakitan. Tubuhnya
melintir, lidah terjulur, nafas megap-megap dan
pemandangan berkunang-kunang.
"Mau mengaku tidak?"
"Ba... baiklah... gondrong sialan itu memang
temanku. Tapi mana aku tahu dia mengintipmu."
"Namanya. Coba kau sebutkan namanya?"
ujar Anggagini.
"Namanya Pendekar Sakti 71 Gento Guyon."
sahut Tabib Setan.
"Seorang pendekar tapi nakal. Tabib apa
yang kau dan temanmu cari di tempat ini?" tanya gadis itu lagi mengalihkan
pembicaraan. "Sahabatku itu mencari gurunya. Sedangkan aku sendiri hanya menemani." sahut si kakek.
"Hem, kalau aku melepaskanmu, apakah
kau mau mempertemukan aku dengan sahabatmu
itu?" "Untuk apa?"
"Mungkin menghukumnya. Tapi kesalahannya bisa kumaafkan asalkan dia mau membantuku meminta obat Penawar Racun Perubah Bentuk
pada dedemit Rimba Persilatan bergelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan."
"Kau ingin agar tubuhmu kembali pada
ukuran yang seharusnya?" tanya si kakek.
"Kurasa betul. Aku ingin seperti manusia
biasa." "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Orang itu yang telah mencelakai
kedua orang tuamu dengan pukulan beracun Perubah Bentuk. Hingga kalian sekeluarga berubah menjadi manusia raksasa." "Kau benar."
"Aku tidak berani berjanji. Pendekar Sakti
71 mempunyai watak sulit diduga. Terkadang tidak diminta dia mau saja membantu orang. Tapi
jika menginginkan pertolongannya mencari bocah
edan itu sulit."
"Aku tak tahu. Sekarang kita berangkat."
ujar Anggagini, seraya lalu bangkit berdiri. Masih sambil membawa Tabib Setan
dalam genggaman-nya Anggagini melangkah tinggalkan puncak bukit. Ketika mereka mulai menuruni bukit itu, Tabib Setan ajukan pertanyaan.
"Bagaimana jika kakak dan ibumu marah?"
"Kau berada dalam tanggunganku karena
aku yang membawamu. Aku pula yang akan
menghadapi mereka!" jawab si gadis tegas.
Tabib Setan terdiam. Dia coba memejamkan
matanya. Sedangkan Anggagini terus melangkah
dengan gerakan ringan tanpa suara.
11 Pendekar Sakti 71 Gento Guyon yang berjalan di belakang Sateaki mendadak hentikan langkahnya begitu mereka melewati sebuah lapangan
kecil yang terdapat di tengah-tengah pulau terapung itu. Dia merasa heran, sebenarnya pula di
tengah rawa dimana mereka berada saat itu tidak
begitu luas. Tapi setelah sekian lama mereka mencari tempat kediaman Srimbi di pulau itu tidak juga mereka temukan.
"Aki, mungkin kita telah datang ke tempat
yang salah." kata Gento tiba-tiba.
Sateaki berpaling ke belakang. "Eeh, apa
maksudmu Pendekar 71?" tanya kakek berpakaian putih itu sambil berpaling ke
belakang. "Apakah menurutmu tidak aneh. Pulau ini
tidak begitu besar, rasanya sejak tadi kita berputar disini-sini saja, seolah
ada satu kekuatan yang tidak terlihat sengaja menyesatkan kita." Si kakek
terdiam. Beberapa saat lamanya dia mencoba
mengingat-ingat. Kalau tak salah tempat kediaman
kakak iparnya terletak di tengah pulau tak jauh
dari lapangan kecil. Apa mungkin kakak iparnya
itu sekarang sudah tidak lagi tinggal di pulau itu"
Sateaki gelengkan kepala.


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku ingat sekarang. Kakakku rumahnya
tak jauh dari lapangan ini. Sebaiknya kita melinta-si lapangan. Kurasa di balik
kerapatan pohon di
seberang lapangan itulah dia berdiam. Hayo tunggu apa lagi"!" berkata si kakek. Dia kemudian melanjutkan langkahnya. Dengan
diikuti oleh sang
pendekar keduanya menyeberangi lapangan. Mereka terus berjalan melewati kerapatan pepohonan. Ternyata apa yang dikatakan si kakek memang benar adanya. Di balik pepohonan besar terdapat sebuah gubuk panggung beratap dedaunan.
"Apa kataku, tempat yang kita tuju akhirnya kita temukan juga. Tapi mengapa sunyi...?"
"Mungkin bekas kakak iparmu sudah meninggal, Ki!" sahut Gento dengan suara berbisik.
"Tidak mungkin. Kakakku masih sangat
muda." ujar si kakek.
"Kalau begitu tunggu apa lagi. Sebaiknya kita datangi pondok." usul si pemuda. Sateaki anggukkan kepala. Tapi baru saja dia
hendak melang- kah, gerakan kakinya jadi tertahan karena mendadak terdengar suara ratapan seseorang dari dalam
pondok itu. "Akibat terlalu lama menanggung beban derita, jiwa rapuh tidak berguna. Tangis sedihku
membuat dunia ini menjadi gelap. Buah hati yang
kukasihi lenyap entah kemana. Dua puluh tahun
terpisah dengan sanak kerabat membuat hati ini
menjadi buta dan mati. Jahanam... siapa yang telah menculik anakku?"
Suara itu kemudian lenyap. Suasana kembali tenggelam dalam kesunyian. Gento dan Sateaki yang mendekam di balik pohon saling berpandangan. Sang pendekar menyeringai. "Agaknya kita
datang pada waktu yang tidak tepat, Ki. Mungkin
kakak iparmu itu sekarang telah terganggu ingatannya!" celetuknya.
"Apa maksudmu?" tanya si kakek tak mengerti. "Ah, kau ini berlagak tolol, padahal memang bego. Kau tidak dengar
ucapannya tadi. Dia begitu
sedih kehilangan anaknya."
"Kau benar. Kurasa semua ini salah kakang
Angin Pesut. Jika dulu dia tak begitu cepat mengambil keputusan dengan meninggalkannya. Paling tidak kakak Srimbi tidak merasa terpukul seperti sekarang!" ujar si kakek menyesalkan.
"Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, buburnya sudah basi. Buat apa kau sesali segala
yang telah terjadi. Lebih baik kita datang kepadanya. Kalau perlu kau hibur dia setelah itu baru
kau minta obat penawar Racun Perubah Bentuk."
usul sang pendekar.
Si kakek manggut-manggut. Tapi baru saja
dia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar bentakan
keras menggelegar. "Kepada dua tamu yang datang. Saat ini aku sedang larut dalam duka yang
teramat sangat, apakah kalian datang mengantarkan anakku" Hik hik hik!"
"Celaka, apa kataku. Kakak iparmu itu ternyata sudah terganggu kewarasannya?" desis Gento. Sateaki tercekat. Dia hendak mengatakan
sesuatu, tapi tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. "Dua tamu kurang ajar. Kalian tak mau
menjawab pertanyaanku. Apa kalian ingin aku
memanggil para sahabat buaya?" sekali lagi terdengar bentakan dari dalam pondok
panggung. Belum lagi suara bentakan lenyap satu sosok tubuh berkelebat keluar dari pintu pondok yang terbuka. Dilain kejap di depan Gento dan Sateaki
berdiri tegak satu sosok berpakaian biru lusuh
berbadan kurus luar biasa macam jerangkong.
Rambutnya yang hitam lebat awut-awutan, pipi
cekung dan matanya merah laksana darah.
Kalau Gento sempat terkejut melihat penampilan perempuan ini. Sebaliknya Sateaki malah tercengang. Dia sama sekali tak menyangka,
bekas kakak iparnya yang dulu cantik mempesona
kini telah berubah menyedihkan begitu rupa. Kecantikan sang kakak ipar yang dulu begitu mempesona kini lenyap sama sekali.
"Ah, kasihan sekali dia. Mungkin kedukaan
kehilangan orang yang dia kasihi begitu hebat
mendera batinnya hingga membuat bekas kakak
ipar jadi begini menderita." batin si kakek.
Sementara itu di depan si nenek baju biru
memandang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti. Sang pendekar menyambut kehadiran si nenek dengan senyum ramah. Tapi nenek itu sama
sekali tidak menanggapi.
"Mana anakku" Kalian datang tidak membawa anakku, apakah ini berarti kalian mengantarkan daging segar dan nyawa kemari?"
Gento jadi celingukan. Pada Sateaki dia
berbisik. "Ki apakah kau merasa membawa daging
segar?" "Pendekar Sakti 71. Kau jangan bercanda, yang dimaksudkan daging segar
oleh nenek ini adalah kau juga aku." sahut si kakek lalu telan lu-dah membasahi tenggorokannya
yang mendadak terasa kering. "Celaka, dia mau mengumpankan kita pada
buaya-buaya itu?"
"Kurang lebihnya memang begitu!"
"Apakah kalian tidak mendengar pertanyaanku?" hardik si nenek gusar.
"Kakak... maafkan kami. Mengenai putrimu
kami belum menemukannya. Aku dan sobatku ini
sudah mencari kemana-mana, tapi seperti yang
kau lihat dia raib entah kemana." kata Sateaki berbohong.
"Kau siapa?" tanya si nenek sinis.
"Ki, nenek ini ingatannya ternyata memang
tidak beres. Jangan sampai salah kau bicara." kata Gento mengisiki.
"Kakak ipar. Aku Sateaki, adik Angin Pesut!"
jawab si kakek. Mendengar jawaban si kakek berubahlah air muka nenek itu. Cukup lama si nenek terdiam, sementara sepasang matanya yang
merah membara memandang tajam pada Sateaki.
"Hik hik hik. Jadi kau adik iparku, jadi kau
adik Angin Pesut. Manusia paling terkutuk yang
pernah kukenal. Apakah jahanam itu sekarang
sudah mampus?" tanya si nenek. Si kakek terdiam. "Kau takut menjawab pertanyaanku. Apakah ini berarti Angin Pesut masih hidup?" hardik si nenek.
"Nek, Angin Pesut sudah mampus berkubur." jawab Gento. Dalam hati dia berkata. "Nenek sinting ini jika tak dikadali
dia bisa membuat celaka. Apalagi kulihat dia begini benci pada bekas su-aminya."
Si nenek memutar kepala dan alihkan perhatiannya pada Gento. "Pemuda gondrong. Kau
siapa?" hardik si nenek.
Sebelumnya Gento pernah mendengar dari
Sateaki, bahwa Srimbi mempunyai seorang adik
laki-laki yang hilang raib akibat musibah di Bengawan Solo. Karena itu enak saja dia menjawab.
"Kakak... apakah kau sudah lupa kalau aku ini adikmu. Aku Belalang kecil.
Bukankah begitu dulu
kau memanggiiku!" kata Gento. Dalam hati dia tertawa terkekeh-kekeh.
"Belalang kecil... Belalang Kecil...!" kata si nenek berulang-ulang. Sepasang
mata yang memancarkan kemarahan itu perlahan berangsur redup. "Bocah gendeng itu pandai betul dia bergurau." batin si kakek.
"Bukankah adikku telah tewas tenggelam di
Bengawan Solo?" tanya si nenek bingung.
"Kakak... aku masih hidup. Berkat belas
kasih dan Kuasa Gusti Allah aku diberi keselamatan." "Mengapa kau menghilang begitu lama?"
tanya perempuan itu lagi ragu. Dan sebelum keraguan berubah menjadi rasa curiga, buru-buru
Gento menjawab. "Aku menghilang sekian lama
karena aku merasa malu denganmu. Bukankah
dulu kau pernah mengejekku, aku Belalang Kecil
yang tidak berguna. Apa yang kau katakan itu
membuat aku merasa rendah diri, kemudian aku
berguru pada seseorang menimba ilmu kesaktian,
agar aku tidak malu lagi bila bertemu denganmu!"
"Ah, apakah aku pernah berkata begitu padamu" Rasa-rasanya...!"
"Kakak... kau pasti lupa. Kejadian itu sudah
belasan tahun telah berlalu. Setelah kita berpisah tentu fikiranmu selalu kusut
karena dibebani berbagai beban yang tidak pernah kau duga sebelumnya." potong Gento cepat.
Si nenek terdiam, keningnya berkerut dalam. Tiba-tiba secara tak terduga dia memeluk
Gento. "Ah, maafkan aku Belalang Kecil. Kau benar, belasan tahun ini fikiranku
begitu kacau. Aku sedih kehilangan anakku. Celakanya Angin Pesut
malah menuduhku yang bukan-bukan. Maafkan
aku, adikku... huk huk huk...!" kata si nenek sambil memeluk sang Pendekar.
Gento kedipkan matanya ke arah Sateaki.
"Sialan, entah berapa tahun nenek ini tidak
mandi. Badannya bau amat!" umpatnya dalam hati. 12 Sateaki menyeringai. "Di peluk gadis cantik
mungkin aku bisa ikut ngiler. Dipeluk nenek bau
begitu biar sehari penuh aku tak akan tergoda."
celetuk si kakek perlahan.
Tak lama kemudian si nenek lepaskan pelukannya. Beberapa saat lamanya dia pandangi
Gento dengan mata berkaca-kaca. Melihat air mata
bergulir di pipi si nenek, Gento menyekanya dengan punggung tangan.
"Kakak, tak usah menangis lagi. Bukankah
kini kita sudah dipertemukan Tuhan. Seharusnya
kau merasa gembira, bukan menangis seperti sekarang." "Ah, kau baik sekali Belalang kecil. Menyesal sekali aku dulu selalu menghinamu." kata si nenek. "Yang telah berlalu
biarlah berlalu, kakak."
ujar Gento lembut. Dalam hati dia berkata. "Siapa punya kakak setua dia. Kalau
bukan karena membantu kakek geblek itu, tidak nantinya aku mau
ikutan jadi orang tidak waras!" gerutunya.
"Kau benar, Belalang Kecil. Mungkin kau
mau berbagi cerita denganku. Bagaimana kau bisa
menjadi seperti sekarang ini."
"Nanti saja, kakak. Aku... aku sengaja datang kemari untuk satu keperluan."
"Bukankah untuk melihatku" Tapi...eh, bagaimana kau bisa menemukan tempat ini?" tanya nenek Srimbi heran.
"Aku telah memaksa kakek itu untuk menunjukkan tempat kediamanmu." jawab Gento
berbohong. Seolah diingatkan, tiba-tiba saja si nenek
balikkan badan. Mendadak dia melompat ke hadapan Sateaki. Sekali tangannya berkelebat, tanpa
sempat mengelak krah baju kakek itu kena dicekal
lalu dicengkeram erat.
"Kau adik Angin Pesut. Manusia yang telah
membuatku melahirkan anak tapi kemudian
membuahkan kesengsaraan berkepanjangan bagiku. Tak ada jalan selamat. Kau akan kubunuh lalu
kuumpankan pada para sahabatku penghuni rawa!" geram perempuan itu dengan suara dingin
menusuk. Sateaki jadi ketakutan. Terbata-bata dia berucap. "Kakak ipar...!"
"Aku bukan kakak iparmu lagi." dengus
Srimbi. "Dengar kakak. Yang bersalah adalah kakang seperguruanku. Mengapa kau
hendak meng- hukumku?" "Setiap orang yang ada hubungannya dengan Angin Pesut harus mati di tanganku!" geram si nenek. Lalu dia cengkeramkan
lima kuku jari tangannya yang beracun itu, hingga membuat Sateaki
megap-megap sulit bernafas.
"Kalau aku tak mencegah, kakek konyol itu
bisa dibuat celaka oleh si nenek sinting ini." batin Gento. Dia kemudian
melangkah menghampiri
Srimbi. Dengan lembut dia memegang lengan si
nenek. "Kakak Srimbi. Jangan kau bunuh dulu
dia. Jika aku tak mengenal dia mana mungkin aku
bisa bertemu denganmu. Dia yang menunjukkan
tempat ini padaku."
"Kau membelanya?"
"Sama sekali tidak membela. Mau kau bunuh dia sama sekali aku tak melarang." jawab
Gento. "Pendekar Sakti 71 sialan. Dia bukan mem-belaku, tapi malah mengatakan
tidak melarang!"
maki Sateaki dalam hati.
"Jadi apa maksudmu?" tanya si nenek.
"Beri dia kesempatan untuk menghirup
udara segar. Membunuhnya adalah persoalan kecil. Ketahuilah... aku begitu senang bertemu dengan dirimu. Kebahagiaan bertemu denganmu melebihi apapun di dunia ini."
Mendengar ucapan Gento, si nenek lepaskan cengkeramannya pada krah baju Sateaki.
Kepada kakek itu dia lalu berkata. "Ingat... jika aku melepaskanmu bukan berarti
aku tidak membunuhmu. Aku bukan orang bodoh. Aku tak percaya Angin Pesut sudah mati. Jika benar telah mati aku harus melihat kuburnya!"


Gento Guyon 23 Racun Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah rasakan...!" batin si kakek sambil melirik ke arah Gento.
Yang dilirik mengusap telinganya pulang
balik. Srimbi kemudian menghadap ke arah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Dengan suara lembut
dia berkata. "Aku pun turut merasakan hal yang sama. Cuma sekarang ini masih ada
satu ganjalan di hatiku."
"Apakah itu kakak" Jika aku dapat membantumu, tentu dengan senang hati akan kulakukan." "Belalang Kecil. Aku ingin bertemu dengan anakku yang diculik orang.
Rasanya aku tak bisa
menutup mata dengan tenang sebelum bertemu
dengan putriku itu." ujar si nenek sedih.
"Kakak, anakmu berarti keponakanku juga.
Jika kau merasa kehilangan aku pun merasakan
hal yang sama. Bagaimana jika kita cari anakmu
itu bersama-sama?"
Sepasang mata si nenek yang cekung berbinar-binar. "Sungguhkah itu?"
"Aku tidak berbohong." sahut Gento.
"Padahal sejak tadi kau sudah mengadali
nenek itu mentah-mentah." celetuk si kakek dalam hati. "Tapi... sekarang ini
masih ada satu ganjalan di hatiku."
"Ganjalan... ganjalan apakah Belalang Kecil?" tanya Srimbi.
"Sebenarnya aku ingin menolong seorang
sahabat. Sahabatku itu kini sedang menanggung
penderitaan luar biasa."
"Apa maksudmu?" tanya si nenek dengan
kening berkerut. "Katakan saja. Jika aku mampu membantu pasti kubantu."
Legalah perasaan Sateaki mendengar ucapan Srimbi. "Begini, sahabatku itu terkena Racun Perubah Bentuk. Akibat racun tersebut kini tubuhnya
menjadi besar dan tinggi seperti raksasa. Bukankah kau memiliki obat penawar racun itu. Aku ingin minta obat penawar itu untuk kuberikan pada
sahabatku"
Paras nenek macam jerangkong seketika berubah. Tatapan matanya mendadak menjadi bengis. "Semua ini pasti gara-gara ulah Angin Pesut, kakang seperguruan kakek muka
kambing itu! Kukata tadi apa, lebih baik kubunuh dia sekarang!" dengus si nenek. Dia kemudian angkat tangannya, siap dihantamkan ke arah
si kakek. Orang
tua itu tercekat, tapi siap menghindari serangan
maut si nenek. "Kakak... jangan. Biarkan dia hidup."
"Kau selalu menghalangi aku untuk membunuhnya, mengapa?" kata si nenek kesal.
"Aku berhutang budi padanya. Karena dia
telah mempertemukan aku denganmu. Jika bukan
karena dia seumur hidup kita tak akan pernah
berjumpa!"
Meskipun jengkel, si nenek perlahan turunkan tangannya. Dia menarik nafas pendek. Kemudian mulutnya berucap. "Belalang Kecil. Sekali lagi kuturuti keinginanmu. Aku
juga akan membantu
menyembuhkan sahabatmu dari pengaruh racun
Perubah Bentuk. Tapi ingat yang bisa kutolong
cuma dua orang, tidak lebih. Karena sisa obat penawar racun Perubah Bentuk kini cuma tinggal
dua butir lagi. Aku sudah tidak membuatnya dan
tidak akan pernah membuatnya lagi!"
"Wah, celaka. Padahal menurut kakek itu
orang yang harus disembuhkan ada empat. Dalam
keadaan seperti ini aku tak mungkin membujuknya agar mau membuatkan obat penawar lagi. Salah-salah dia mengetahui bahwa aku telah membohonginya!" pikir Gento.
"Kau tunggu apa lagi. Sekarang ikuti aku.
Kita tinggalkan pulau ini!" ujar si nenek.
"Memang kau hendak kemana kakak?"
tanya Gento. "Belalang pikun. Bukankah aku hendak
mencari anakku, memberikan obat penawar racun
pada sahabatmu, lalu melihat kubur si keparat
Angin Pesut!"
"Ah, maafkan. Aku terlalu gembira hingga
lupa." sahut Gento.
"Kutunggu kau di pinggir pulau sebelah barat!" kata si nenek lalu berkelebat pergi.
"Celaka, Ki. Dia ingin datang langsung menemui manusia-manusia raksasa itu. Dia juga ingin melihat kubur saudaramu. Padahal pada keluarga raksasa aku sama sekali tak mengenalnya.
Lebih celaka lagi, Angin Pesut jelas masih hidup."
kata Gento cemas.
"Salahmu sendiri, mengapa kau membohonginya?" dengus si kakek ikutan bingung.
"Semula aku ingin agar segala sesuatunya
berjalan mudah dan lancar. Sama sekali aku tak
menyangka urusan jadi kapiran begini." ujar si Pendekar Sakti 71 jadi bingung.
"Sudahlah, kita fikirkan saja nanti. Lebih
baik kita ikuti dia agar tidak lebih curiga."
"Memang apa yang hendak dilakukannya?"
tanya sang pendekar.
"Dia tak punya burung seperti kau dan aku.
Mungkin dia sedang mempersiapkan kawanan
buaya untuk menyeberang."
"Kau benar Ki. Dia tidak punya burung.
Cuma kita yang punya. Ha ha ha!" berkata begitu Gento raba bagian bawah
perutnya. "Hei, gila apa yang kau lakukan?"
"Cuma ingin memastikan apakah masih ada
di tempat atau tidak. Ternyata burungnya sedang
mengeram. Ha ha ha."
"Pendekar sialan!" kata si kakek ikut pula tertawa. Sebelum berkelebat
tinggalkan tempat itu
dia raba celananya.
Masih dengan tertawa berkekeh-kekeh si
kakek berkata. "Kau benar. Dia masih tidur. Ha ha ha!" Tawa Gento dan Sateaki
lenyap begitu mereka sampai di pinggir pulau. Mereka sama tercengang dan belalakkan mata begitu melihat puluhan
bahkan ratusan kawanan buaya besar kini berjejer
berbaris dengan posisi mengambang di permukaan
air. Sementara si nenek nampak sibuk memberi
aba-aba pada kawanan buaya itu dengan bahasa
yang sulit dimengerti.
"Kalian tunggu apa lagi. Cepat menyeberang. Anggap saja kepala buaya-buaya itu sebuah
jembatan!" ujarnya.
"Kakak! Bagaimana aku berani melakukannya?" tanya Gento ketakutan.
"Belalang kecil. Kalau kau takut biarkan
aku yang memimpin di depan." Selesai berucap si nenek segera melompat. Lalu
melesat berpindah
dari satu kepala buaya ke kepala buaya yang berada di belakangnya. Gento kemudian mengikutinya. Di susul dengan Sateaki yang gemetaran
dan takut luar biasa.
Setelah melewati ratusan kepala buaya. Akhirnya mereka pun sampai di seberang. Sateaki
merasa tengkuknya menjadi dingin hingga dia tak
mau menoleh ke belakang. Dalam kesempatan itu
Gento sambil memandang kakek itu berucap.
"Selamat Ki. Ternyata segalanya menjadi
mudah atas bantuan kakakku."
"Aku... entahlah, aku begitu takut."
"Ha ha ha. Ternyata celanamu basah, Ki.
Kau ngompol. Kau terkencing-kencing dicelana!
Untung buaya itu tak terkena air kencingmu. Kalau tidak mereka bisa marah dan menelan itunya... kemudian kau tak bisa kencing selamanya!"
kata sang pendekar.
"Sial. Seumur hidup baru sekali ini aku
sampai terkencing-kencing. Tapi tak apa, hitunghitung mandi lagi walau cuma mandi sepotong badan! Ha ha ha!" celetuk si kakek.
Bersama Gento dia berkelebat ke arah lenyapnya si nenek jerangkong.
TAMAT EPISODE BERIKUTNYA:
PERISAI MAUT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Naga Pembunuh 2 Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Kelana Buana 1

Cari Blog Ini