Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Bagian 1
RACUN KELABANG PUTIH oleh Fahri A. Cetakan Pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Fahri A. Serial Pendekar Bayangan Sukma
Dalam Episode: Racun Kelabang Putih
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Di sepanjang pesisir Laut Selatan, tepatnya
di sebelah Selatan Pulau Jawa terdapat pegunungan yang disebut Gunung Kidul. Pegunungan itu
memanjang dari Barat ke Timur, sangat banyak
sekali. Boleh dikatakan tak terhitung.
Di salah satu pegunungan itu, hiduplah seorang wanita setengah baya dengan seorang anak
gadisnya yang cantik jelita. Seperti kebanyakan
gadis-gadis gunung, gadis yang bernama Sekar
Juwita, tak pernah mengenal kehidupan lain selain kehidupan yang telah dijalaninya selama tujuh belas tahun di Gunung Kidul.
Alam telah menempanya sedemikian rupa.
Kesejukan hawa gunung membuat kulitnya kuning langsat. Sepasang matanya jernih. Hidungnya
bangir dan mulutnya yang indah dan sepasang bibir yang bagus.
Nyai Diah amat menyayangi putri semata
wayangnya itu. Dia adalah seorang janda yang
masih cantik dengan tubuh yang masih padat dan
montok. Suaminya meninggal saat Sekar Juwita
berusia dua tahun. Dalam kehidupannya sendiri,
Nyai Diah membesarkan anaknya penuh kasih
sayang yang tulus.
Pada masa itu, kerajaan Majapahit sedang
berada dalam ketenaran. Dipimpin oleh Hayam
Wuruk yang bergelar Prabu Rajasanegara dan patih Gajah Mada, Majapahit menjadi kerajaan yang
amat berjaya (1350-1386).
Nyai Diah amat mengagumi raja Majapahit
yang gagah perkasa itu. Lalu dia mengasuhi anaknya sedemikian rupa, dengan aturan mirip seorang putri raja. Diam-diam Nyai Diah bermaksud
untuk menjodohkan anaknya dengan Adipati di
Tritis. Baginya, anaknya tidak perlu menjadi seorang permaisuri tetapi menjadi istri adipati itu sudah cukup. Sementara Adipati Wisnuwisesa sendiri sebenarnya telah mempunyai seorang istri dan beberapa orang selir. Tetapi Nyai Diah tidak perduli Dia tetap berkeinginan anaknya
menjadi istri Adipati
Wisnuwisesa. Nanti bila saatnya tiba, dia akan mengajak
putrinya ke Tritis. Dan diam-diam dia akan memakai cara apa pun agar rencananya berhasil.
Pagi itu matahari bersinar dengan cerah.
Semalam baru saja turun hujan. Kini sisa-sisanya
bersatu dengan embun pagi.
Sekar Juwita baru saja selesai mandi. Dan
seperti biasanya ketika dia hendak bersalin, sudah
terdapat baju salinannya di ranjangnya yang dihiasi oleh ibunya bak peraduan putri.
Sekar Juwita kadang tidak mengerti, mengapa ibunya begitu memanjakannya dan menganggapnya sebagai seorang putri raja. Tetapi dia tak
pernah bertanya.
Dan dari didikan ibunya, sikap, tutur kata
dan tingkah laku Sekar Juwita memang bagai seorang putri raja belaka.
Selesai bersalin, seperti biasa ibunya datang
dengan membawa sepiring buah-buahan.
Dan dia menjura di depan putrinya yang telah menyisir. "Selamat pagi, Putri...."
"Oh, Ibu... Silahkan, Bu...."
Nyai Diah menghidangkan buah-buahan itu
di sebuah meja yang dihias sangat indah.
"Kalau Putri berkenan... silahkan Putri mencicipi buah-buahan ini".
"Baik, Bu... nanti saya akan melakukannya..." kata Sekar Juwita dan merapikan sisirannya.
Para penduduk yang tinggal di sekitar sana,
tidak ada yang tahu kalau di pondok yang jelek itu
ada sebuah kamar yang mirip dengan kamar putri
raja. Nyai Diah telah mengaturnya sedemikian rupa. Baginya, keinginannya itu harus tercapai.
Dan bagi Sekar Juwita, sebenarnya dia ingin
sekali bisa berlama-lama keluar rumah. Tetapi
belum lagi dia satu jam berada di luar rumah,
ibunya sudah memanggilnya dan menyuruhnya
masuk ke rumah.
Kadang kehidupan seperti itu membuatnya
jenuh dan ingin memberontak dari ibunya. Tetapi
Sekar Juwita yang sudah dididik bagaikan seorang
putri, tak berani berucap keras atau banyak membantah. Hingga dia menjadi mengikuti apa saja kemauan ibunya. Namun pada suatu malam, ada satu kejadian yang membuatnya bingung dan heran.
Ketika malam telah larut, namun sepasang
matanya yang jernih belum juga mau terpejam,
samar-samar dia mendengar suara derap kaki kuda mendekati kediaman mereka.
Hatinya bertanya-tanya.
Siapakah penunggang kuda itu" Tak pernah
ada penunggang kuda yang datang pada malam
hari. Kalau ada itu pun pada siang hari.
Keheranan Sekar Juwita semakin menjadijadi ketika dia mendengar ibunya membuka pintu
depan dan bercakap-cakap dengan penunggang
kuda itu. Ada hubungan apa ibu dengan orang itu"
Tetapi kemudian Sekar Juwita tidak lagi
mendengar suara orang bercakap-cakap. Dan terdengar perlahan pintu depan ditutup kembali.
"Siapakah orang itu?" tanya dalam hati sambil merebahkan tubuhnya kembali.
Lalu dia merenung di tempat tidurnya.
Pikirnya, pintu ditutup itu Ibunya sudah
masuk ke dalam rumah. Namun dugaannya salah,
justru ibunya keluar dari rumah dan naik ke kuda
di belakang penunggang kuda itu.
Lalu kuda itu bergerak cepat meninggalkan
pondok. Mengarah ke Timur.
Setengah jam kemudian, kuda itu berhenti
di sebuah hutan yang banyak terdapat di sana.
Lalu kuda itu ditambatkan.
Dan penunggang kuda yang bernama Broto
langsung memeluk Nyai Diah dan menciuminya
dengan buas. Nyai Diah mencoba meronta, "Broto... nanti
dulu... kau belum memberikan laporanmu tentang
adipati Wisnuwisesa...."
"Nanti saja, Nyai... Nanti saja... aku sudah
tidak tahan...." terdengar desisan Broto sambil tetap menciumi sekujur wajah
Nyai Diah. "Broto...."
"Nanti, Nyai... Nanti... penuhi dulu permintaanku.... Sudah seminggu aku tidak mendapatkan jatah, Nyai...." gumam Broto meracau.
Dia sebenarnya mata-mata dari Nyai Diah
untuk memata-matai keadaan Adipati Wisnuwisesa. Dan agaknya malam ini dia telah menunaikan
satu tugas yang diberikan Nyai Diah padanya.
Bagi Broto yang cabul dan mata keranjang
itu, sudah tentu dia mau melakukannya dengan
imbalan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Bahkan dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, karena selain dapat menikmati kehangatan tubuh Nyai Diah, dia pun dijanjikan
hendak diberikan jabatan sebagai Kepala pengawal
adipati. Nyai Diah tidak bisa bertahan lama untuk
menahan nafsu Broto yang sudah amat sangat.
Dia pun mandah saja ketika Broto merebahkannya
di atas rerumputan.
Lalu terdengarlah desahan mesum yang cepat dan turun naik.
Setelah itu terdengar desahan yang menyatu
dari keduanya yang mencapai puncak kenikmatan. Lalu rebah di tanah dengan nafas kembang
kempis. Sementara bagi Broto dia seakan terlepas
dari satu kekangan dan sekarang habis melakukan perjalan yang sangat jauh sekali.
"Broto... mana laporanmu?" Broto membuka
matanya yang terpejam. "Beres, Nyai.,.."
"Semua sudah kau lakukan?" "Beres,
Nyai...." "Bagaimana hasilnya?"
"Berhasil. Saat ini istri adipati dan beberapa
selirnya sedang menderita sakit yang mengerikan.
Sekujur tubuhnya bengkak-bengkak dan mengeluarkan nanah. Kalau pun bisa disembuhkan mereka akan cacat seumur hidup"
Nyai Diah tersenyum.
"Kau memang patut diandalkan, Broto...."
"Semua untukmu, Nyai. Aku sangat puas
dengan imbalan yang kudapatkan.... Juga dengan
jabatan yang kau janjikan, bila anakmu menjadi
istri adipati...."
"Aku tak pernah memungkiri janji sendiri,
Broto...."
"Itulah aku setuju saja diajak bekerja sama
denganmu, Nyai...."
"Lalu bagaimana keadaan di sana sekarang
ini, Broto?"
"Adipati telah memanggil beberapa orang tabib, namun semuanya angkat tangan. Tak ada
seorang pun yang dapat menyembuhkan penyakit
aneh yang diderita istri dan para selirnya...."
"Memang tak ada seorang pun yang bisa. Kecuali aku... hahahah."
"Racun Kelabang Putihmu memang ampuh
sekali, Nyai Diah...."
"Jelas, karena hanya akulah yang bisa membuatnya dan menyembuhkannya" Nyai Diah tersenyum puas. Lalu dia bangkit merapikan pakaian
dan rambutnya. Dan berkata pada Broto yang masih merebahkan diri. "Sebaiknya kita kembali saja sekarang. Aku kuatir anakku
akan terbangun dan
mencari-cari aku...."
"Hahaha... baik, Nyai...."
Broto pun bangkit merapikan pakaiannya.
Baginya ini adalah jalan yang termudah untuk
mendapatkan kehangatan tubuh Nyai Diah.
Dulu saat Nyai Diah masih perawan, sebenarnya Broto sudah jatuh hati padanya. Namun
sayang dia kalah cepat dengan Ajiseta, yang kemudian menjadi suami Nyai Diah.
Siang dan malam Broto selalu memikir-kan
Nyai Diah. Dan dia selalu membayangkan mencumbu Nyai Diah meskipun dalam angan.
Dan ketika terdengar kabar Ajiseta mati saat
berburu di hutan, Broto menjadi girang bukan
main. Masih Nyai Diah dalam keadaan berkabung,
dia pun mendatangi Nyai Diah dan merayurayunya. Namun Nyai Diah tidak bergeming. Sampai
saat Sekar Juwita berusia sebelas tahun, barulah
terpikir olehnya untuk menjadikan anaknya istri
dari seorang Adipati. Dan pilihannya jatuh pada
adipati di Tritis.
Dan dia pun mulai bekerja sama dengan
Broto untuk menyelidiki keadaan adipati. Broto
pulalah yang menyediakan segala sesuatunya untuk keperluan Sekar Juwita. Dari mulai perhiasan
sampai buah-buahan.
Lalu kedua orang yang mempunyai niat jahat itu pun kembali ke rumah Nyai Diah. Saat
hendak pergi meninggalkan rumah itu, Broto
memberikan buah-buahan yang dia bawa.
Lalu dia pun menggebrak kudanya. Dan perlahan-lahan Nyai Diah membuka pintu depan dan
masuk ke kamarnya.
*** 2 Tritis adalah sebuah wilayah yang subur dan
makmur, yang berada dalam kekuasaan Majapahit. Wilayah itu dibangun dengan segala sesuatunya yang adil. Adipati Wisnuwisesa yang berkuasa di sana, adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Yang selalu memikirkan nasib para pendu
Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duknya. Rakyat pun sangat menyukai dan menyayanginya. Dan begitu terdengar kabar kalau istrinya
dan beberapa orang selirnya terkena penyakit
aneh, rakyat pun berbondong-bondong datang untuk menengok. Kemudian keesokan harinya, tersiar kabar
kalau tiga orang selirnya mati karena membunuh
diri. Mereka pun sudah tahu kalau penyakit yang
mereka derita itu tidak akan bisa disembuhkan.
Dan bila hidup, mereka akan menjadi cacat.
Akan menanggung malu seumur hidup. Akhirnya
mereka pun mengambil jalan singkat dengan
membunuh diri. Sudah tentu sang adipati menjadi sangat
bersedih dan bermuram durja. Kerjanya hanya
melamun saja sepanjang hari. Dia pun tak kuasa
untuk menengok istrinya. Sedikitnya dia merasa
jijik dan ngeri melihat sekujur tubuh istrinya
bengkak-bengkak dan mengeluarkan darah.
Tabib yang terhebat yang ada di wilayahnya,
tak satu pun yang bisa menyembuhkannya. Bahkan dia pun mengundang dan memohon tabib dari
kerajaan Majapahit untuk menolong istrinya. Tetapi tabib itu pun angkat tangan, menyerah tak
bisa menyembuhkan penyakit istrinya.
Dua hari kemudian, istrinya pun meninggal
dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Selama
dua hari dua malam, seluruh rakyat berkabung.
Semua memberikan salam belasungkawa kepada
adipati yang adil dan bijaksana itu.
"Adipati... sabarlah, tawakallah kepada Yang
Maha Kuasa," kata penasehatnya yang bernama Ki
Ageng Tapa. Dia adalah seorang laki-laki yang berusia 60 tahun. Amat bijaksana dan selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik buat sang adipati. Konon Ki Ageng Tapa juga seorang yang sakti mandraguna. Dan dia bergelar si Tasbih Perak.
Karena dia selalu menghitung biji tasbih yang selalu dipegangnya. Tasbih itu pun berwarna keperakan. Adipati Wisnuwisesa mendesah panjang.
Masih nampak di wajah kesedihan dan kepedihan.
"Ki Ageng... bagaimana aku tidak sedih, semua wanita yang teramat dekat dengan hatiku harus meninggalkan ku dengan cara yang mengerikan" suara sang
Adipati terdengar penuh kepiluan yang makin mendalam. Saat ini, mereka berada di ruang pertemuan.
Di sana juga hadir, Kertapati, kepala pengawal.
Roro Kenanga, kepala emban yang juga pandai ilmu silat. Dan Broto... yang menjabat sebagai kepala rumah tangga.
Saat itu Broto hanya terdiam. Padahal dalam
hatinya dia tertawa-tawa penuh kemenangan.
Lalu mereka mendengar lagi Adipati Wisnuwisesa berkata lagi, "Aku sungguh tidak mengerti... bagaimana mulanya para selir dan istriku
menderita penyakit yang mengenaskan itu.... Yang
membuatku heran, andaikata itu merupakan suatu wabah penyakit, mengapa hanya mereka saja
yang terkena... mengapa yang lain tidak" Oh, Gusti Batara Agung... kesalahan apa yang telah kuperbuat dan kiranya kau menjatuhkan tanganmu
padaku...."
Ki Ageng Tapa berkata pelan. "Adipati...Sebaiknya beristirahatlah...Jangan sampai kau
berlarut-larut dalam kesedihan ini"
Adipati hanya terdiam. Dia teringat kalau
minggu depan ada acara di kerajaan Majapahit.
Dan yang hadir diharuskan membawa pasangannya atau istrinya. Namun baginya kini, tak ada lagi istri dan para selirnya. Siapa yang akan menemaninya serta"
Hal itu jelas diketahui Broto. Ini merupakan
kesempatan baginya untuk mengemukakan hal
yang telah lama ditunggu-tunggu.
"Maafkan hamba, Sang Adipati yang mulia.
Bukankah ada undangan yang datang dari kerajaan Majapahit?" katanya. "Adipati... setelah istri dan para selir Yang Mulia
meninggal... bukankah
sebaiknya Adipati memikirkan lagi untuk mengambil seorang istri?"
Adipati mendesah.
"Benar, Broto.... itu pun memang menjadi
pikiranku sekarang...."
Terdengar suara Ki Ageng Tapa lagi, "Adipati... kupikir, sebaiknya tenangkanlah dulu diri dan
pikiran adipati, sebelum melanjutkan ke suatu
pemikiran yang lain... Kau harus punya ketenangan dulu sebelum memikirkan masalah undangan
raja dan mencari seorang istri...."
"Tetapi aku memang sudah harus memikirkannya, Ki Ageng."
"Aku mengerti. Tapi aku rasa... Raja juga
mau mengerti bila Adipati tidak datang membawa
pasangan. Bukankah Raja Hayam Wuruk pun sudah mengetahui kalau Adipati sedang mengalami
musibah?" Adipati Wisnuwisesa terdiam. Kelihatan sekali di samping sedang sedih juga dibebani oleh
suatu pemikiran yang amat berat.
Broto yang tidak mau usahanya gagal, segera berkata, "Tetapi sebaiknya... segeralah diumumkan dulu, kalau Adipati ingin mencari seorang istri.... Ingat, mencari istri yang baik tidak
mudah. Apalagi dalam waktu yang hanya beberapa hari saja."
Kertapati yang sejak tadi terdiam terdengar
menghela nafas lega. Dia adalah seorang laki-laki
gagah perkasa. Ilmu kesaktian yang dimilikinya
setingkat dengan yang dimiliki Ki Ageng Tapa.
Kertapati berpakaian sangat sederhana,
meskipun dia seorang panglima. Dia hanya mengenakan baju hitam dengan lengan baju panjang,
tak berleher. Juga mengenakan celana panjang
yang berwarna sama. Di pinggangnya terselip senjatanya yang berupa sebilah keris.
Terdengar dia berkata, "Agaknya... benar kata-kata yang dituturkan oleh Ki Ageng Tapa. Sebaiknya Adipati beristirahat saja. Jangan dulu dibebani oleh pikiran yang mungkin malah membuat Adipati bingung...."
Broto mendengus dalam hati. Dia sudah lama membenci dan menaruh dendam pada Kertapati. Karena saat diadu kesaktian untuk menentukan siapa yang patut dan berhak menjadi kepala
pengawal, Broto kalah oleh Kertapati. Maka Kertapatilah yang diangkat menjadi kepala pengawal.
Hal itu sudah tentu membuat Broto menjadi
sangat mendendam. Tetapi dia sangat pandai
membawa diri, hingga tak seorang pun tahu kalau
dia membenci Kertapati.
Dan bencinya itu makin memuncak mendengar kata-kata Kertapati tadi.
Lalu dia pun berkata, "Memang benar
adanya. Tetapi menurut perasaanku, Raja tetap
akan murka bila Adipati tidak datang memenuhi
undangannya dengan membawa seorang istri....
Jadi, sebaiknya tetaplah Adipati mencari istri dulu. Masalah lain, bisa dipikirkan kembali saat sudah mendapatkan seorang istri...."
Broto melirik Kertapati yang tampak santai
saja mendengar kata-katanya. Broto memaki dalam hati, sebentar lagi kau, Kertapati! Nanti akulah yang menjadi kepala pengawal di wilayah Tritis
ini! Terdengar suara yang keluar dari mulut Roro
Kenanga. Dia adalah seorang wanita setengah
baya. Wajahnya masih cantik dan dua buah tusuk
konde di kepalanya. Tusuk konde itu terbuat dari
emas murni. Dan merupakan senjata andalannya.
Bila tusuk konde dilempar olehnya ke suatu tempat, maka tusuk konde itu bisa berbalik lagi ketangannya. Mirip bumerang.
Roro Kenanga pun berkata, "Saya pikir...
usul dari Adi Broto benar adanya. Karena ini merupakan suatu kehormatan bagi Adipati sendiri.
Bila tidak datang bersama istri, sudah tentu akan
banyak yang meliriknya dengan tatapan mengejek.
Dan mencari seorang istri yang baik itu memang
tidak mudah. Tentunya kita tidak mau bukan, bila
melihat sang Adipati dipandang rendah oleh Adipati-adipati lain karena datang tidak membawa istri" Bukankah seorang Adipati membutuhkan
seorang pendamping merupakan suatu kebanggaan dan kekhususan sendiri?"
Orang-orang yang berada di sana mengangguk-angguk. Kata-kata Roro Kenanga memang benar adanya. Bagi seorang adipati, bila tidak mempunyai seorang istri dan beberapa selir merupakan
suatu kejelekan. Karena berarti, adipati tadi tidak
memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk menaklukkan cinta seorang wanita.
Adipati Wisnuwisesa pun tak mau hal itu
menimpa dirinya. Ini memang merupakan suatu
dilema baginya. Dia ditentukan oleh pemilihan
yang sangat membingungkan.
Belum lagi hilang dalam ingatan istri dan para selirnya meninggal akibat penyakit yang sangat
mengerikan, diharuskan untuk segera mencari
seorang istri karena undangan Raja.
Tetapi akhirnya dengan suara berat dan enggan, dia berkata sambil meninggalkan ruangan,
"Besok... umumkan kepada rakyat... aku akan
mencari seorang istri. Dengan syarat... dia memiliki lima buah tahi lalat di paha kirinya!"
Sehabis berkata begitu, Adipati Wisnuwisesa
pun melangkah ke peraduannya.
Ki Ageng Tapa mendesah.
Kertapati terdiam
Roro Kenanga tersenyum.
Dan Broto pun berbinar-binar matanya. Berseri-seri. Dia pun tidak takut dengan syarat yang
diajukan oleh sang adipati. Bukankah Sekar Juwita pun memiliki lima buah tahi lalat di kaki kirinya" Setelah pertemuan itu selesai, Broto kembali
ke tempatnya di belakang tumenggungan. Tetapi
begitu tak ada yang melihatnya, dia keluar melalui
pintu belakang. Lalu melompati sebuah pagar
tinggi. Dan berlari ke arah Barat.
Dipacunya kudanya menuju ke Gunung Kidul. Ini adalah suatu laporan yang sangat berharga untuk Nyai Diah. Tidak boleh membuangbuang waktu lagi. Hanya lima hari waktu yang ditentukan sebelum sang Adipati memenuhi undangan raja Hayam Wuruk.
Sudah tentu Nyai Diah girang bukan main.
Dia pun melayani permintaan Broto saat Broto
menagih. Lalu keduanya pun pulang ke pondok
Nyai Diah. "Nyai... semuanya seperti yang telah Nyai
atur. Dan ingat, jangan sampai meleset....."
"Itu beres, Broto!"
"Setelah Sekar Juwita menjadi istri adipati,
kaulah yang harus menyetir segala sepak terjang
Adipati Wisnuwisesa. Ingat, kau harus berhati-hati
dengan Ki Ageng Tapa...."
"Beres soal itu."
"Dan singkirkan Kertapati..."
Nyai Diah tersenyum.
Broto pun me rasa senang. Lalu naikinya
kudanya dan digebraknya hingga melaju kencang.
*** 3 Keesokan paginya, penduduk Tritis dikejutkan oleh suara gong yang dipukulkan oleh pengawal adipati di alun-alun. Berbondong-bondong
mereka datang ke sana. Ada apa gerangan.
Di tengah alun-alun, nampaklah dua pengawal adipati Wisnuwisesa yang berdiri gagah
dengan menunggang kuda hitam.
Yang seorang memegang gong dan memukulmukulkannya. Yang seorang lagi menunggu dengan gagah sampai rakyat semua berkumpul. Setelah itu, dia membuka gulungan selembar kain dan
membentangkannya.
"Pengumuman!" serunya lantang.
"Adipati Tritis, Wisnuwisesa. hendak mencari seorang istri! Dengan syarat,
perempuan yang akan menjadi istrinya, mempunyai tahi lalat lima buah di pahanya!
Pengumuman selesai!"
Namun sampai tiga hari kemudian, tak seorang perempuan pun yang datang ke Kadipaten.
Agaknya syarat yang diajukan adipati Wisnuwise
Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sa terlalu susah. Walaupun saat itu banyak yang
bisa membuat tahi lalat palsu dengan tato, tetapi
rakyat amat mencintai adipati yang adil di samping menjunjung tinggi Prabu Hayam Wuruk. Hingga mereka tak punya sedikit niat pun untuk membohongi sang adipati.
Tetapi hal ini malah membingungkan adipati
Wisnuwisesa, mengingat undangan Prabu Hayam
Wuruk tinggal sebentar lagi,
Namun keesokan paginya, datang ke kadipaten, seorang wanita berusia tiga puluhan dengan
paras yang masih cantik, dengan seorang gadis
yang cantik jelita. Melihat caranya berdandan dan
sikapnya yang anggun, menandakan gadis itu seorang yang terpelajar. Namun tingkah lakunya bak
seorang putri belaka.
Orang itu adalah Nyai Diah dan putrinya,
Sekar Juwita. Sesuai dengan rencana yang diatur
Broto, mereka pun datang kadipaten.
Tentu saja kedatangan mereka disambut
dengan gembira oleh sang adipati. Keduanya langsung disambut dengan senang hati dan suka cita.
Adipati Wisnuwisesa lebih gembira lagi setelah mendengar pemberitahuan dari Roro Kenanga
yang memeriksa tahi lalat di paha Sekar Juwita.
Sesuai dengan syarat yang diajukan sang adipati.
Malam hari itu pula di adakan pesta yang
cukup meriah menyambut kedatangan istri baru
Wisnuwisesa. Saat undangan Prabu Hayam Wuruk pun,
Wisnuwisesa hadir dengan sikap gagah. Banyak
adipati lain atau para tumenggung yang tersenyum dan memberi salam kebahagiaan padanya.
Seakan mereka melupakan kematian istri dan para selir adipati.
Namun ada seorang yang masih merasakan
aneh dengan kematian istri dan para selir adipati.
Dia adalah Kertapati kepala para pengawal adipati. Apalagi ketika diumumkan, kalau kedudukannya akan tergeser bila dia tidak bisa mengalahkan Broto dalam tanding ulang memperebutkan kedudukan sebagai kepala pengawal.
Kertapati tidak banyak membantah, karena
perintah itu datangnya dari adipati sendiri. Dia tidak tahu, kalau adipati didesak oleh istrinya untuk mengadakan tanding ulang itu.
Sedangkan istrinya diperintah oleh ibunya
sendiri, Nyai Diah yang merasa sudah waktunya
untuk segera menyingkirkan Kertapati. Sudah satu bulan mereka hidup di kadipaten yang serba
kecukupan. Semula Wisnuwisesa sendiri pun menolak,
karena menurutnya Kertapatilah yang patut menjadi kepala para pengawalnya. Namun setelah didesak, dibujuk, direngek oleh istrinya, akhirnya
dia pun meluluskan permintaan itu.
Kejadian itu pun mengundang rasa heran
dari Ki Ageng Tapa. Dia bertanya tanya dalam hati,
mengapa adipati bertindak dan memerintahkan
seperti itu"
Dia pun memanggil Kertapati yang agak uring-uringan untuk menerima perintah adipati.
"Aku pun heran, Ki Ageng," kata Kertapati.
"Mengapa adipati seperti mencabut kata-katanya
kembali?" "Apakah Broto yang mendesaknya?"
"Tidak mungkin," kata Kertapati. "Biar bagaimana pun dia adanya, Broto adalah
seorang la- ki-laki yang kesatria. Kau lihat saja tingkah lakunya setelah dulu kalah dariku dalam perang
tanding. Dia tetap menerimanya dan menerima
pula kedudukan sebagai kepala rumah tangga."
Ki Ageng Tapa tahu akan si fat Kertapati
yang polos dan jujur. Dia pun berkata,
"Kertapati... tingginya langit dan dalamnya
samudra mudah ditebak. Jumlah bintang yang
ada di langit pun diketahui jumlahnya. Namun hati orang siapa yang tahu. Meskipun jaraknya dekat, tapi terasa jauh sekali".
"Aku menjunjung tinggi sifat kesatria Broto,
Ki Ageng."
"Lalu bagaimana" Kau akan menerima perintah ini?" tanya Ki Ageng Tapa.
"Ya."
"Kertapati... apakah kau tidak tahu, bila kau
dalam keadaan terdesak Broto akan membunuhmu?" "Ah, bukankah dulu aku tidak membunuhnya" Karena ini hanya saling uji kesaktian. Itu
pun tak luput dari perhatian adipati, bukan?"
Ki Ageng Tapa mendesah. Kertapati memang
orang yang jujur dan polos. Dia sangat menghargai
sekali sebuah kejujuran.
Namun Ki Ageng Tapa seakan mencium ada
sesuatu yang tidak beres dalam perintah adipati
ini. Dia bertekad akan melihat sampai sejauh mana pertandingan uji kesaktian itu.
Dua hari kemudian, terlihatlah di depan kadipaten sebuah panggung besar dan cukup tinggi.
Di setiap sudutnya ada umbul-umbul yang indah.
Dan di tengah-tengahnya ada lukisan pedang dan
golok saling bertempelan yang menandakan akan
diadakannya pertandingan uji kesaktian itu.
Ketika hari yang ditentukan tiba, rakyat pun
berbondong-bondong memenuhi kadipaten. Bagi
mereka, ini adalah tontonan yang sangat menarik
sekali. Adipati Wisnuwisesa sendiri hadir di tengahtengah mereka didampingi oleh istrinya yang seperti putri raja. Rakyat pun mengagumi kecantikannya. Dan di samping istrinya duduk ibu mertuanya, Nyai Diah.
Sementara di belakang mereka, Ki Ageng Tapa dan Roro Kenanga duduk dengan sikap yang
gagah. Adipati Wisnuwisesa pun berdiri.
Rakyat yang tadi ribut bergemuruh, terdiam.
Menunggu apa yang hendak diucapkan oleh sang
Adipati. "Di pagi yang cerah dan suasana yang gembira ini" kita semua berkumpul di kadipaten. Bukan lain untuk menyaksikan tanding ulang antara
Kertapati dengan Broto! Ini kulakukan, untuk melihat siapakah sesungguhnya yang digjaya!
Juga... untuk menghibur hati kita semua!!"
Hadirin bertepuk tangan dengan sorak-sorai
yang gegap gempita.
Adipati Wisnuwisesa menenangkan para hadirin. "Semua tenang! Nah, sebagai penantang,
Broto dipersilahkan maju ke panggung!"
Dari tempat duduknya, Broto bersalto. Memamerkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. Tiga kali dia bersalto dan hinggap di alas
panggung dengan ringannya.
Begitu dia hinggap, kembali terdengar tepukan dan sorak-sorai yang ramai. Broto menundukkan tubuhnya ke arah Adipati Wisnuwisesa.
Lalu membunguk ke pada para hadirin yang kembali disambut dengan bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian ringkas berwarna
hitam-hitam. Di keningnya ada ikat kepala berwarna putih. Dan di punggungnya tersampir sebilah pedang. Terdengar kembali suara Adipati Wisnuwisesa. "Kepada Kertapati, dipersilahkan naik ke
panggung!!"
Kalau Broto tadi memamerkan tenaga dalam
dan ilmu peringan tubuhnya dengan bersalto dari
tempat duduknya, Kertapati hanya melangkah
dengan ringan. Tidak menunjukkan seorang yang
digjaya. Dia pun sampai di panggung.
Ketika dia membungkukkan tubuhnya pada
adipati Wisnuwisesa, kembali terdengar tepukan
dan sorakan yang bergemuruh.
Dia mengenakan pakaian yang ringkas pula.
Hanya berwarna putih. Kerisnya terselip di pinggangnya. "Nah, ini dia jago yang hendak bertanding
sudah berada di atas panggung! Pertandingan dimulai!" seru Adipati yang kembali disahuti dengan tepukan bergemuruh.
Terdengar bunyi gong tiga kali, tanda pertandingan itu dimulai.
Lalu kedua jago itu pun bersiap.
Dari sorot matanya dan sikapnya, jelas sekali kalau Broto begitu meremehkan Kertapati. Dia
segera membuka jurusnya dan mulai menggebrak
dengan satu pukulan lurus ke depan yang hendak
dilanjutkan dengan sapuan kaki kanannya.
Kertapati pun segera menyambutnya dengan
menarik ke belakang kepalanya dan melompat.
Saat dia melompat, dia mengirimkan satu jotosan
ke arah muka. Cepat Broto memiringkan kepalanya. Dan
membalas. Terjadilah serang menyerang yang cepat dan hebat. Tangguh dan berisi.
Pada jurus-jurus dan gebrakan pertama,
nampak keduanya masih saling memapaki. Namun beralih pada jurus kesepuluh, seranganserangan mereka pun tambah cepat.
Broto begitu beringas sekali.
"Hari ini kau harus kalah di tanganku, Kertapati!" pekiknya sambil menendang.
"Berbuatlah semampu mu, Broto!" sahut
Kertapati sambil menghindar melompat.
"Kau tak pantas menjadi kepala pengawal!"
"Mungkin. Tetapi bukankah kau sendiri sudah melihat caraku memimpin" Dan aku pun dapat mengalahkan kau, Broto!"
Kata-kata Kertapati itu semakin membuat
Broto menjadi panas. Dia semakin buas. Dan jurus-jurusnya sangat kejam.
Namun sampai sejauh itu, belum satu pun
serangannya yang mengenai sasaran. Hal ini
membuat Broto semakin ganas.
Apalagi ketika pukulan Kertapati menggedor
dadanya, disusul dengan satu tendangan yang
mengenai leher Broto. Hingga laki-laki itu terhuyung ke belakang.
"Bangsat geram Broto sambil menyeka darah
yang keluar di mulutnya.
Kertapati hanya tersenyum dengan sikap
bersahabat. Sementara sorakan ramai terdengar kembali.
"Kau harus mampus, Kertapati!" geram Broto sambil bangkit menyerang kembali.
"Hati-hati, Broto! Kadang pukulan dan tendangan bisa mematikan?" sahut Kertapati tetap
dengan suara bersahabat.
"Anjing buduk! Aku memang berniat hendak
membunuhmu!" bentak Broto sengit. Seranganserangannya semakin berbahaya.
Terdengar sorakan yang ramai.
Ada sorak kegembiraan.
Ada sorak ketakutan.
Di antara penonton itu nampak seorang lakilaki berusia setengah baya dengan serius memperhatikan pertandingan itu. Wajah laki-laki itu
begitu arif dan bijaksana. Dia mengenakan jubah
berwarna putih.
"Kejam!" desisnya ketika Broton men-gamuk dengan cakaran-cakaran yang mematikan.
Sasarannya wajah, jantung dan kemaluan.
Sementara Kertapati harus dengan susah
payah menghindar dan membalas.
"Sebenarnya laki-laki yang berpakaian putihputih itu bisa menang," desis orang yang mengenakan jubah putih itu lagi. "Hanya sayang... dia terlalu welas asih dan
menganggap ini memang
sebuah pertandingan biasa. Tapi... ah, yang mengenakan pakaian hitam-hitam itu begitu kejam.
Bahkan wajahnya berkesan ingin membunuh!
Hmmm... ini tidak adil!"
Laki-laki berjubah putih itu menggelenggelengkan kepala.
Di atas panggung, Kertapati memang menganggap ini sebuah pertandingan biasa. Bukan
untuk saling membunuh. Gerakannya pun tak sebuas gerakan Broto. Malah dia seakan selalu
memberi angin untuk Broto menyerang.
Tetapi sampai sejauh itu, serangan-serangan
kejam Broto tak satu pun yang mengenai sasaran.
"Kau memang hebat, Kertapati!" desisnya
sambil bersalto ke belakang. Dan ketika hinggap,
tangan kanannya sudah memegang sebilah pedang. "Haruskah kita bermain dengan senjata,
Broto?" tanya Kertapati dengan sikap sebagai sahabat.
"Hhh! Kau takut rupanya!"
Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini hanya pertandingan biasa, Broto. Kau
ingat?" "Perduli setan!"
"Broto...."
"Bila kau takut, menggelindinglah dari arena
ini, Kertapati!"
Wajah Kertapati memerah. Tetapi nampak
dia masih berusaha bersabar.
"Kita tak perlu bermain-main dengan senjata! Antara kau dan aku bukan lawan! Kita sahabat, Broto.... Kau ingat?"
"Pengecut busuk! Turunlah dari arena ini bila kau takut! Dan larilah seperti anak perempuan!"
"Broto...."
"Cabut kerismu, Kertapati...."
"Ingatlah, Broto... sangat berbahaya sekali
bila bermain-main dengan senjata!"
"Baik, kalau begitu. Aku terima. Tapi dengan
syarat, kau harus menyerah...."
Di samping memiliki sifat yang polos dan jujur, Kertapati juga memiliki sifat seorang kesatria
sejati. Dia pantang mengalah bila diejek seperti
itu. Sebenarnya Kertapati ingin mundur saja dan
menyerahkan jabatan sebagai kepala pengawal
kepada Broto. Tetapi dia tidak suka melihat sikap Broto
yang pongah dan congkak. Lalu dengan berat hati,
dia pun mencabut kerisnya.
"Kalau itu maumu... baiklah...." kata Kertapati tetap berusaha menahan marahnya.
Sementara para penonton menjadi tegang
ketika keduanya mencabut senjata. Begitu pula
dengan Ki Ageng Tapa.
"Oh, mengapa harus mencabut senjata?"
gumamnya. "Bukankah senjata yang mereka bawa
itu hanya untuk menambah kegagahan mereka
saja di atas arena?"
Laki-laki yang berjubah putih pun menyayangkan hal itu. Dia memuji Kertapati dan
memaki kesombongan Broto.
"Hmm... yang berpakaian putih begitu bijaksana. Dia masih menganggap lawannya itu sebagai
seorang sahabat. Tetapi yang berbaju hitam, dia
begitu congkak. Tapi mudah ditebak mengapa dia
mencabut senjatanya. Karena dia kalah bila berhadapan dengan tangan kosong. Itu adalah jiwa
yang pengecut!"
Sementara di atas arena, keduanya sudah
mencari posisi. Dan bergerak bagaikan ayam
aduan Tiba-tiba Broto memekik. Dan menerjang
dengan pedang mengarah pada tenggorokan. Kertapati pun tak mau dirinya dijadikan sasaran pedang itu dengan mudah. Dia menggerakkan tangannya dan menangkis pedang itu dengan kerisnya. "Traaangg"
Benturan kedua senjata itu menimbulkan
cahaya yang cukup terang. Para penonton menahan nafas dengan tegang.
Serangan-serangan yang di lancarkan Broto
demikian ganas. Pedangnya berkelebat ke sana ke
mari dengan cepat. Penuh tenaga dan nafsu ingin
membunuh. Namun Kertapati memang tangguh dalam
memainkan kerisnya. Dia dapat menghindar dan
menangkis setiap serangan Broto. Membuat Broto
semakin panas. "Jangan hanya seperti tikus dikejar kucing,
Kertapati! Bisa mu hanya menghindar saja!" serunya sambil terus menggebrak.
Lama kelamaan karena diejek dan didesak
terus menerus, Kertapati pun menjadi panas. Lalu
dia pun mulai membalas.
Kertapati bersalto dua kali ke belakang. Dan
begitu kakinya hinggap, dia langsung melenting ke
atas. Kerisnya siap menyambar kepala Broto.
"Anjing kurap!!" bentak Broto seraya menggelinding. Namun begitu dia berdiri tegak, keris
Kertapati sudah menyerang nya lagi.
Sebisanya Broto menangkis.
"Traaannggg!!"
Karena posisi berdirinya belum begitu kuat
dan tenaga sambaran Kertapati yang cukup kuat,
membuat pedang di tangan Broto terlepas.
Para penonton bertepuk tangan.
Broto menggeram dengan marah.
Kertapati menghentikan serangannya.
Dia tersenyum. "Bangunlah, Kawan...."
"Bangsat! Aku belum kalah!" geram Broto
marah dan panas. Wajahnya memerah karena malu. "Lalu bagaimana maumu, Broto...."
"Aku akan membunuhmu, Kertapati!" geram
Broto murka. Ki Ageng Tapa yang melihat Broto sudah jatuh, yakin sekali kalau Adipati Wisnuwisesa akan
menghentikan pertandingan itu dan menyatakan
Kertapati sebagai pemenang.
Namun dia melihat Adipati Wisnuwisesa
hanya terdiam saja. Wajahnya tidak menampakkan ingin menghentikan pertandingan itu. Malah
dia seperti robot belaka.
Para penonton yang menyaksikan hal itu
pun menjadi heran. Mengapa Adipati Wisnuwisesa
tidak menghentikan pertandingan itu. Jelas-jelas
kalau Broto sudah kalah.
Merasa adipati tidak menghentikan pertandingan itu, Broto berguling kembali sembari menyambar pedangnya dan langsung menyerang.
Masih dengan keheranan mengapa sikap
adipati hanya diam saja, Kertapati menyambut serangan Broto. Sementara laki-laki berjubah putih menggumamkan sesuatu,
"Hmm... ada yang tidak beres di sini"
Di atas panggung, Broto lebih gencar menyerang. Kejam. Dan mematikan. Kertapati sendiri
kali ini dengan susah payah menghindar, melompat dan membalas.
Broto seakan mendapat tenaga baru. Serangan-serangannya makin cepat dan hebat Penuh
tenaga dalam dan teknik-teknik yang mematikan.
"Tahan seranganku, Kertapati!!"
"Kau sudah kalah, Broto...."
"Aku belum kalah!"
"Kau sudah terjatuh! Dan pedangmu sudah
terlepas dari tanganmu!"
"Bodoh! Mengapa kau tidak segera membunuhku!!" "Karena ini hanya pertandingan biasa, Broto!
Bukan pertarungan!"
"Goblok! Ini pertarungan, Kertapati! Pertarungan antara hidup dan mati! Tahan seranganku!
Aku siap untuk mencabut nyawamu!"
Sadarlah Kertapati kalau Broto kini telah
menjadi lawannya. Dia pun membalas dengan gigih. Serangan Broto hebat dan cepat.
Sampai suatu ketika, terdengar jeritan Broto.
Laki-laki itu bersalto. Dan kakinya menyambar
dada Kertapati hingga jatuh.
Lalu menyusul pedang Broto siap menikam
jantungnya! Orang-orang menahan nafas tegang.
*** 4 Kertapati sendiri merasa tak ada lagi jalan
baginya untuk meloloskan diri. Dia hanya pasrah
saja ketika melihat jalannya pedang yang siap
mencabut nyawanya.
Tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras.
"Traaangg"
Pedang Broto melenceng dari sasarannya.
Kertapati membuka matanya.
Nampak di hadapannya Ki Ageng Tapa berdiri dengan memegang tasbih peraknya. Dia yang
melihat nasib Kertapati sangat mengerikan dan
aja! siap menjemputnya, langsung bersalto dan
menyambarkan tasbih peraknya ke pedang Broto.
"Kau"!" geram Broto begitu melihat siapa
yang menghalanginya.
Ki Ageng Tapa tersenyum dingin.
"Kau kenapa Broto...."
"Jangan ikat campur urusan ini, Ki Ageng!"
seru Broto keras. Tidak sedikit pun dia menghormati Ki Ageng Tapa. Di luar kebiasaannya yang selalu menghormati Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri terkejut melihat perubahan sikap Broto yang tidak menghormat padanya. "Kau bukan seorang kesatria, Broto...." katanya dengan suara dingin.
"Persetan dengan ucapanmu! Minggir kau, Ki
Ageng! Aku harus membunuh Kertapati!"
"Broto!" seru Ki Ageng Tapa keras. Kemarahannya mulai naik.
"Jangan ikut campur urusanku! Kau tak
berhak melarangku, Ki Ageng! Yang berhak hanyalah Adipati Wisnuwisesa! Kau lihat sendiri bukan,
Adipati saja tidak menghentikan pertarungan
ini...." "Pertandingan, Broto...." potong Ki Ageng Ta-pa.
"Apalah katamu, Ki Ageng! Tapi aku menamakan ini pertarungan antara hidup dan mati!
Dan kau tak berhak menghentikan semua ini tanpa perintah dari Adipati Wisnuwisesa"
"Tapi kau kulihat ingin membunuh Kertapati!" "Niatku memang begitu."
"Kau keji, Broto!"
"Persetan dengan kau, Ki Ageng! Minggirlah
kau dari sini!"
"Broto... tadi kau sudah terjatuh dan kalah.
Tetapi sebagai seorang yang kesatria, Kertapati tidak menyudahi mu. Padahal dia bisa membuatmu
mampus saat itu juga!"
"Itu salahnya sendiri! Minggir kau, Ki Ageng!"
"Kau sudah kalah, Broto!"
"Persetan! Minggir kataku, kalau tidak, terpaksa aku harus menyingkirkan mu dari sini, Ki
Ageng Tapa!" seru Broto.
Ki Ageng Tapa tetap tersenyum dingin. Sebenarnya dia semakin keheranan pada sikap Adipati
Wisnuwisesa. Mengapa Adipati tidak menghentikan pertandingan ini" Ah, dia bagaikan robot belaka di tempat duduknya.
Ki Ageng makin merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada diri Adipati Wisnuwisesa.
"Apa boleh buat... aku terpaksa melayani,
Broto.... Bila tidak, kekejamanmu akan terus berlanjut. Bila pun kau menang, kau tak patut menjadi kepala pengawal kadipaten...."
"Bangsat tua! Baik, bersiaplah!" geram Broto seraya menghunuskan pedangnya.
Diiringi dengan
pekikan yang cukup keras, dia menerjang ke arah
Ki Ageng Tapa. Para penonton terpekik terkejut melihat Broto menyerang Ki Ageng Tapa.
Laki-laki yang mengenakan jubah putih itu
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak tahu berterima kasih kalau nyawanya
sudah diselamatkan tadi. Tapi biarlah, aku ingin
melihat sampai di mana kehebatan laki-laki berpedang itu...."
Di panggung, kini Ki Ageng Tapa harus
menghadapi serangan-serangan kejam dan ganas
dari Broto. Berkali-kali dia hanya menghindar
atau menangkis dengan tasbih peraknya.
Namun lama kelamaan dia bermaksud hendak memberi pelajaran pada Broto. Maka dia pun
mulai melancarkan serangan balasannya.
Tasbih peraknya berkelebat dengan hebat.
Setiap kali dihentakkan atau digerakkan, menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga.
Broto kelihatan cukup terdesak.
"Menyerahlah, Broto! Sebelum kuturunkan
tangan telengas!" geram Ki Ageng Tapa.
"Jangan bermimpi kau, Ki Ageng!" sambut
Broto dengan garang.
Keduanya saling menyerang dengan cepat
dan hebat. Ganas dan kejam.
Para penonton menahan nafas.
Di bibir Nyai Diah tersinggung sebuah senyuman. Sekar Juwita berkali-kali bertepuk tangan.
Adipati Wisnuwisesa hanya terdiam memperhatikan bagai sebuah robot.
Laki-laki yang berdiri di antara penonton
yang mengenakan jubah putih bergumam,
"Hmm... agaknya yang menggunakan tasbih berwarna perak itu sudah di atas angin.... Tapi... hei, apa yang dilakukan lakilaki berpedang itu" Dia
Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiam diri dengan kedua tangan bersatu. Pedangnya pun dilepaskan! Dan... ah, kedua telapak
tangannya berwarna putih...."
Memang benar apa yang dikatakan laki-laki
berjubah putih itu. Broto sambil bersalto membuang pedangnya dan menyatukan telapak tangannya. Lalu dibukanya kembali. Dan saat terbuka telapak tangannya berwarna putih.
"Mampuslah kau saat ini juga, Ki Ageng Tapa!" geram Broto seraya menyerang. Kedua telapak tangannya seakan berusaha ingin
menyentuh bagian tubuh dari Ki Ageng Tapa.
Ki Ageng Tapa sendiri merasakan hawa panas yang keluar dari kedua telapak tangan itu. Dia
yakin kedua telapak tangan itu mengandung racun. Namun dia tidak tahu jenis racun apa. Lagipula yang membuatnya heran, mengapa Broto
mendadak mempunyai ilmu pukulan beracun"
"Hahaha... jangan lari seperti anak perempuan, Ki Ageng!" bentak Broto sambil terus menekan dan mendesak Ki Ageng Tapa.
"Pukulan beracun apa yang kau gunakan
itu, Broto"!" seru Ki Ageng Tapa sambil menghindar.
"Kau akan tahu setelah kau merasakannya!"
"Ilmu hitam yang keji!"
"Dan kau akan merasakan kekejian ini, Ki
Ageng Tapa!"
"Broto... di mana rasa hormatmu padaku,
hah"!"
"Sekarang aku tak perlu menghormatimu, Ki
Ageng Tapa! Meskipun kau seorang penasehat
Adipati! Tapi kau tak patut dihormati!"
"Budak setan!"
"Memakilah sepuasmu, Ki Ageng! Karena tak
lama lagi kau tak akan bisa memaki!"
"Hhh! Kau begitu yakin dengan ucapanmu,
Broto!" "Karena kau lari seperti anak perempuan!
Kau tak berani menyerangku, hah" Kau tak ubahnya seperti kucing yang dikejar anjing!"
"Baik, kini aku tak sungkan-sungkan lagi!
Sambutlah seranganku!"
"Sejak tadi aku yang menyerangmu! Baik,
aku akan sambut!"
Ki Ageng pun mulai membalas. Namun sampai sejauh itu tak satu pun serangannya yang
mengenai sasaran. Dia pun berusaha agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan kedua telapak tangan Broto. "Ayo, Ki Ageng! Ayo cepat'" ejek Broto sambil terus menyerang. Dia tidak
menghindar. Namun
setiap kali Ki Ageng menyerang, dia pun menggerakkan tangannya untuk menyentuh tangan atau
bagian lain dari Ki Ageng Tapa.
Ini malah membuat Ki Ageng bingung, bahkan setiap kali dia menyambarkan tasbih peraknya, dengan licin dan lincahnya Broto segera menyerang bagian yang kosong. Ini membuat Ki
Ageng Tapa menjadi sulit untuk menyerang secara
pasti. Sampai suatu ketika, kaki kanan Broto menyambar dadanya.
"Dess"
Laki-laki setengah umur itu pun terhuyung
ke belakang dengan dada yang sakit. Sedangkan
Broto tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang
ada. Dia langsung memekik menerjang. Kedua telapak tangannya yang kini berwarna putih mengarah ke bagian dada Ki Ageng Tapa.
Sulit bagi Ki Ageng Tapa untuk menghindar.
Para penonton menahan nafas tegang. Tibatiba Kertapati yang dalam keadaan terluka, bangkit memekik dan memapaki serangan ganas dari
Broto. "Des!"
"Des!"
Kedua pukulan itu beradu. Tubuh Kertapati
terpental ke belakang beberapa tindak lalu ambruk dengan tubuh yang amat kesakitan.
Di dadanya tertanda dua buah telapak tangan Broto. Sedangkan Broto hanya terhuyung dua tindak lalu berdiri dengan tegap.
"Kertapatiiiiii!!" seru Ki Ageng Tapa yang tidak menyangka Kertapati akan
berbuat nekad untuk menyelamatkannya.
Dia pun bangkit memburu untuk melihat
keadaan Kertapati. Dua buah telapak tangan Broto
yang bercap didada Kertapati mendadak berubah
menjadi hitam. Lalu menjalar warna hitam itu ke
seluruh tubuh Kertapati.
Satu keanehan terjadi. Tiba-tiba dari mulut
Kertapati mengeluarkan darah berwarna kehitaman pula. Dan sekujur tubuh nya mendadak
membengkak besar. Lalu bengkakan itu pun meletus. Mengeluarkan nanah berwarna putih. Mengerikan. Menandakan pukulan yang dilepaskan Broto
mengandung racun yang sangat kejam.
Terdengar jeritan Kertapati menahan rasa
sakit. "Aaaakkkhhh!!"
Lalu kepalanya terkulai. Ambruk. Matilah
Kertapati dengan keadaan tubuh yang memilukan,
sekaligus sangat mengerikan.
Para penonton memekik ngeri.
Ki Ageng Tapa menoleh pada Broto yang sedang tersenyum sinis. Tatapan Ki Ageng Tapa
membara membahayakan. Menandakan dia sangat
marah sekali. "Kau harus membalas nyawa Kertapati, Broto!" ujarnya sambil berdiri dengan tegap. Siap menyerang Broto yang kini
tertawa-tawa. Namun belum lagi Ki Ageng Tapa bergerak
menyerang, terdengar bentakan keras.
"Hentikan semuanya! Broto dinyatakan keluar sebagai pemenang!!"
*** 5 Semua kepala yang ada menoleh ke arah suara itu. Mereka melihat Adipati Wisnuwisesa berdiri gagah dengan mengangkat tangan kanannya.
"Pertandingan ini ku nyatakan selesai!" terdengar suaranya lagi.
"Dan mulai sekarang Broto kuangkat sebagai
kepala pengawal di Kadipaten!"
Ki Ageng Tapa menjadi keheranan melihat
sikap dan kata-kata Adipati. Adipati Wisnuwisesa
yang selama ini disanjung dan dipujanya, ternyata
hanya luarnya saja yang bijaksana.
Kalau dia adil dan bijaksana, dia pun sudah
dapat melihat kalau Kertapati keluar sebagai pemenang. Tetapi tadi pun sang Adipati tidak menyatakan pertandingan selesai.
Malah dia membiarkan saja Broto bangkit
kembali menyerang. Bahkan ketika Ki Ageng Tapa
melesat ke panggung untuk menyelamatkan Kertapati, Adipati Wisnuwisesa tetap diam saja tak
banyak mulut. Tetapi kala Kertapati sudah terbunuh oleh
tangan telengas Broto, dan Ki Ageng Tapa siap
membalas kematian Kertapati yang telah menyelamatkannya, barulah terdengar suara Adipati
Wisnuwisesa menghentikan pertandingan.
Diam-diam dari rasa keheranan melihat sikap aneh Adipati Wisuwisesa dalam diri Ki Ageng
Tapa telah berubah menjadi kebencian. Dia muak
melihat sikap Adipati sekarang.
Bahkan boleh dikatakan, rasa hormatnya telah lenyap sama sekali.
Namun Ki Ageng Tapa seorang laki-laki yang
kesatria dan amat menghormati tuannya. Meskipun dia kini benci dan muak, namun dia masih tetap menghargai perintah Adipati, yang menyerukan pertandingan telah selesai.
Ki Ageng Tapa melirik pada Broto yang tersenyum kemenangan. Lalu dia kembali memperlihatkan mayat Kertapati yang sangat mengerikan.
Benar-benar kejam pukulan dari Broto itu.
Sementara laki-laki yang mengenakan jubah
putih sangat terkejut melihat pukulan yang dilepaskan Broto tadi.
Bersamaan kedua pukulan antara Broto dan
Kertapati beradu, laki-laki berjubah putih itu menahan nafas cukup tegang. Dan dia melihat Kertapati terpental jauh beberapa tombak. di dadanya
tercap kedua telapak tangan dari Broto.
Saat itulah dia berseru, "Racun Kelabang Putih!" Suaranya bergetar. Menandakan keterkejutan yang cukup beralasan. Laki-laki berjubah putih itu tahu betapa keji dan ganasnya racun itu.
Di atas panggung, Ki Ageng Tapa tak kuasa
menahan air matanya. Jago tua itu pun menangis
terharu melihat mayat Kertapati yang mengerikan.
Juga mengingat Kertapati menjadi begini karena
Si Kangkung Pendekar Lugu 5 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pendekar Seribu Diri 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama