Ceritasilat Novel Online

Ratu Peri Selat Sunda 2

Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Bagian 2


mencengkeram baju Dharma dan berkata. "Pulangin kacamata itu! cepetan!" sontak
Awang. Matanya mendelik.
Dharma sedikit gugup.
"Apa... apa-apaan ini..."!"
"Udah jangan banyak bacot, elu curi kacamata itu, kan" Sekarang serahkan kembali
kacamata itu!" kata Badri.
"Hei, tunggu dulu ..jangan main seret begi-Awang tetap menyeret Dharma agar
keluar dari kamarnya. Anak itu hanya mengenakan celana pendek dan kaos kutang.
Awang tidak peduli. Ia membentak Dharma. "Elu pilih mati apa mulangin kacamata
itu"!"
"Bangsat lu! Jangan gini caranya dong!" Dharma berusaha mengibaskan tangan Awang
yang mencengkeramnya. Namun tiba-tiba mulutnya dihantam oleh Awang dengan keras.
Prokk.! "Aaauuh...! Bangsat lu!" teriak Dharma dengan mulut berdarah, la hendak
mengambil sebatang kayu yang ada di dekatnya, mau dipukulkan ke arah Awang.
Namun, tiba-tiba kaki Awang menendang punggungnya dengan keras. Bukkk...!
"Huggh.!" Dharma seperti tak bisa bernapas sejenak.
Tendangan kaki Awang cukup keras. Berat. Menyesakkan pernapasan. Maklum tubuh
Dharma kurus, tak seimbang dengan kekerasan Awang.
"Ngaku aja lu, daripada gue gebukin di sini...!"
Dharma berusaha berdiri, tapi ia sudah berhasil menggenggam batu. Maka dengan
cepat batu itu dilemparkan ke muka Awang.
Wusss...! Plok...!
"Aduh! Babi benar nih anak...!"
Awang meringis kesakitan sambil memegangi
pelipisnya yang berdarah. Agak pusing sedikit, namun ia
tetap menyerbu Awang. Darah yang mengucur dari pelipis tidak dihiraukan. Kakinya
menjejak ke depan.
Bukkk...! Kena dada Dharma dengan keras. Anak itu mendelik sambil menggeloyor
mundur. Sementara Awang berkelahi melawan Dharma, Badri menggeledah isi kamar Dharma.
Mencari kacamata setan itu. Ia sibuk sendiri.
Anak-anak kost lainnya segera keluar. Mereka melerai perkelahian itu. Tiga orang
memegangi Awang, dua orang memegangi Dharma. Keduanya sama-sama
meronta, sama-sama berani.
"Gue bunuh lu kalau nggak mau nyerahin barang itu, Babi!" ancam Awang dengan
mata makin melotot.
Tangannya berhasil lepas dari pegangan orang yang memisahkan perkelahian itu.
Tangan tersebut segera mencabut pisau. Tapi buru-buru ditahan oleh dua orang
lagi. "Udah, udah...! Udah dong...!" cuma itu yang bisa diucapkan oleh mereka.
"Gue nggak nyuri barang kayak gitu! Elu jangan seenaknya nuduh orang, ya"!"
Dharma makin koar-koar walau mulutnya berdarah.
Badri keluar dari kamar dengan napas ngos-ngosan. Ia mendekati Awang dan
berkata, "Di kamarnya nggak ada...!"
"Elu simpan di mana, Monyet"!" bentak Awang kepada Dharma.
"Cuih...!" Dharma meludah dengan penuh dendam.
Badri mau ikut-ikutan nyerang Dharma, tapi dihalangi oleh dua orang berbadan
gemuk. Para penghuni kost itu akhirnya berhasil meredakan perkelahian, membujuk
mereka untuk saling bicara secara baik-baik.
Pada dasarnya, Dharma tetap ngotot dan membantah semua tuduhan Badri dan Awang,
karena dia merasa tidak mencuri kacamata tersebut. Ia bahkan bisa berbalik kata,
"Apa benar kacamata itu hilang" Apakah Badri nggak bisa ngacak-ngacak kamarnya
sendiri dan pura-pura nuduh kamu yang mencurinya, padahal kacamata itu sudah
diumpetin sama dia di tempat lain" Kau bisa saja dia berlagak kemalingan"!"
Kini jadi Awang yang menatap Badri penuh curiga.
Badri kebingungan mencari bantahan. Ia tampak sedikit gugup.
Usut punya usut, korek punya korek, akhirnya mereka sependapat bahwa di antara
mereka bertiga tidak ada yang menyembunyikan kacamata misterius itu.
Ketiganya, sama-sama meyakinkan diri sampai sumpah apa saja.
"Jika bukan kita yang memiliki kacamata itu, lantas siapa?" kata Badri. "Siapa
yang mencuri kacamata itu"
Siapa yang masuk melalui jendela kamarku" Siapa yang tahu kalau aku menyimpan
kacamata ajaib itu"!"
"Yang tahu sih banyak!" celetuk Dharma.
"Banyak..."!" Awang berkerut dahi.
"Ya," jawab Dharma tegas. "Soalnya aku ceritakan kepada siapa saja yang kutemui
tentang kacamata misterius itu. Termasuk sama teman-teman kost di sini pun aku
ceritakan semuanya!"
"Dasar mulut babi!" gerutu Awang sambil menghempaskan napas.
Siangnya, mereka bertiga sama-sama menyelidiki siapa pencuri kacamata hitam
model kuno. Mereka datang ke kamarnya Badri. Mereka meneliti jendela dan bekas
congkelannya. "Jendela ini memang menghadap ke kebun pisang.
Berarti pencurinya melewati kebun pisang itu sebelum mencongkel jendela
kamarmu," kata Awang. Badri hanya menggumam, membenarkan.
Dharma bertanya kepada Badri, "Tanah milik siapa kebun pisang ini, Dri?"
"Milik Haji Syukur. Dia yang punya kost-kost-an ini."
"Berarti pencurinya masuk lewat samping rumah Haji Syukur. Soalnya nggak ada
jalan lain menuju ke jendela kamarmu kalau nggak lewat samping rumah Haji
Syukur, dan itu berarti dia masuk lewat halaman depan rumah Haji Syukur!" ujar
Awang. "Ya. Pasti pencuri itu lewat pintu pagar rumah tersebut
"Kalau begitu, kita tanyakan dan selidiki keluarga Haji Syukur!"
"Percuma!" jawab Badri. "Sebab rumah itu hanya dihuni Haji Syukur dan istrinya.
Kedua orang itu sudah berusia enam puluh tahun lebih!"
"Kalau gitu, siapa dong pencurinya"!" tanya Awang.
Kesal hatinya. -o0o))((dw))((o0o5 Tombak rindu menikam hati Badri. Sakit dan
menjengkelkan sekali. Hasrat ingin ketemu Anjar seperti racun yang mengganas di
hati maupun di otak Badri. Dua malam ini ia tak bisa tidur. Benar-benar tak bisa
tidur. "Gue potong kedua tangan pencuri itu pakai mandau ini kalau kutangkap...! Bener
deh, gue potong-potong jadi tiga belas potong!" geram Badri sendirian di dalam
kamarnya, la memandang arah kebun pisang melalui jendela yang dibuka lebarlebar. Renungannya melantur terus, sampai akhirnya ia menemukan sebuah gagasan, pergi
ke dukun aja enaknya, ya"
Ya. Pergi ke dukun. Tanya siapa pencurinya dan di mana tinggalnya. Ini suatu
usaha yang punya kemungkinan cukup besar untuk mendapatkan kembali kacamata kuno
itu. Ah, sayang sekali gue nggak tahu dukun mana yang bisa mencari maling. Eh,
tapi... ooo, ya, ya... gue ingat, Ode pernah cerita tentang seorang dukun yang
bisa menunjukkan di mana letak barang yang telah hilang dan siapa pencurinya.
Ya. Ode tahu alamat dukun itu!
Bergegaslah Badri ke kamar sebelah. Ode tinggal di kamar itu bersama Yono. Namun
waktu Badri ke kamar sebelah, ia hanya bertemu dengan Yono.
"Yon, mana Ode...?"
"Lho, kan udah pindah," jawab Yono, berhenti membaca buku.
"Pindah"! Kapan dia pindah sih?"
"Hmmm... yah, udah dua hari yang lalu kalau nggak salah. Soalnya waktu itu gue
masih di Sukabumi sih.
Nggak tahu pindahnya."
"Ooo...," Badri sedikit kecewa. "Ke mana pindahnya, Yon?"
"Nggak tahu! Dia sendiri sebelumnya nggak pernah punya rencana pindah kok.
Maksudnya, nggak pernah ngomong sama aku kalau kepingin pindah di tempat lain."
"Hmmm...," Badri manggut-manggut, makin jelas kekecewaannya.
"Memangnya kenapa sih" Ada perlu apa?"
"Gue mau minta bantuan dia ke rumah dukun yang bisa mencarikan pencuri dengan
kekuatan paranormalnya. Seingatku Ode tahu rumah dukun itu."
"Maksudmu, buat nyariin kacamatamu yang hilang itu"
Uuuh... kacamata hilang aja sampai didukuni! Kayak nggak ada kacamata lain aja"!
Beli lagi dong. Di toko juga banyak kan"!"
Badri hanya tersenyum, rada sebel dengar ucapan Yono itu. la tidak memberi
komentar apa-apa, langsung kembali ke kamarnya. Ia berbaring sambil matanya
berkedap-kedip memandangi enternit kamar. Melamun ia di situ. Terbayang ia wajah
Anjar yang menggemaskan hati dan mencekam jiwa.
-o0o))((dw))((o0oSebenarnya Awang malas datang ke kampus. Malas sekali. Ia tidak punya gairah
untuk berpikir masalah organisasi kemahasiswaan. Benaknya sudah dikuasai oleh
hilangnya kacamat a yang rindu untuk dimiliki kembali. Sayang sekali, hari itu
ada rapat yang harus dihadiri, sehingga Awang pun memaksakan diri untuk datang
ke kampus. Walaupun toh sampai di sana ia lebih banyak bengong daripada bicara
dengan siapa saja atau tentang apa saja. la lebih banyak melamun ketimbang
menjawab pertanyaan beberapa temannya.
Seorang gadis berwajah mungil, hidungnya kecil tapi mancung, bibirnya kecil tapi
indah, mendekati Awang dengan sikap tenang. Gadis itu adalah Resti, mahasiswi
teknik sipil yang punya nilai kecantikan tersembunyi di balik kesederhanaan. Ia
sudah biasa bercanda dengan Awang, karena waktu acara perpeloncoan tahun lalu.
mereka berdualah yang dikenal sebagai sepasang senior killer.
Resti menyentil kuping Awang dari belakang. Plik...!
Awang terlonjak kaget. Lamunannya buyar, emosinya sempat naik. Resti tertawa.
Awang jadi menghempaskan napas, tak jadi marah, namun tetap saja menggerutu
sambil bersungut-sungut.
"Usil aja lu! Entar gue sentil biji mata lu baru tahu rasa!"
"Uuuh... digituin aja sewot! Darah tinggimu lagi naik, ya?"
"Iya. Naik sampai ke tiang listrik!" jawab Awang seenaknya.
Resti tertawa pendek. Matanya yang bundar tapi berukuran kecil, seperti mata
boneka itu, melirik Awang sambil menyunggingkan senyum yang manis.
"Kenapa kamu" Lagi kasmaran sama cewek, ya"
Cewek mana?"
"Cewek Bosnia!" jawab Awang seenaknya lagi. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya
sedang malas diajak bercanda, balikan tak berselera untuk diajak bicara. Tapi
Resti tetap nekat menggoda Awang, bahkan mencoba memaksa Awang agar mau
menanggapi omongannya.
Resti bilang, "Kau kehilangan sesuatu, Wang?"
Pancingan Resti mengenai sasaran. Awang
mengangkat wajahnya, menatap Resti buru-buru. Ini tandanya Awang mulai tertarik
dengan pembicaraan Resti.
Gadis berambut pendek sebatas pundak, namun lurus dan indah itu hanya tersenyum
dengan pandangan mata tak lepas menatap sorot mata Awang. Seolah-olah pandangan
mata itu punya arti, punya bahasa tersendiri, sehingga Awangjadi bertanya, "Dari
mana kau tahu bahwa aku sedang kehilangan sesuatu?"
"Dari wajahmu!" jawab Resti ganti seenaknya saja menjawab.
Sadar kalau bakalan dipermainkan oleh jawaban Resti, Awang pun segera menghela
napas panjang dan mengalihkan pandangan matanya. Saat itu Resti segera berkata,
"Sesuatu yang sangat berharga telah hilang darimu, dan kamu sangat menyesali hal
itu. Kamu kecewa berat. Padahal seharusnya tidak begitu."
Kembali Awang berpaling menatap Resti,
"Tidak begitu bagaimana" Apakah kau tahu persis apa yang telah hilang dariku?"
"Bisa tahu, bisa juga nggak. Tapi menyesali sesuatu yang telah bilang adalah
pekerjaan yang sia-sia. Kau bisa cari penggantinya dengan cara bagaimanapun.
Nggak perlu jadi lesu dan sedih begini. Bodoh itu namanya."
"Aku nggak ngerti maksudmu."
"Misalnya, kamu kehilangan cewek. Kamu nggak perlu lesu dan sedih. Kamu bisa
cari cewek lain dengan cara bagaimanapun juga. Contohnya aku, sejak kuputuskan
hubunganku dengan Donni yang memang berkarakter mata keranjang itu, aku nggak
sedih, nggak lesu, dan tetap bergairah dalam hidup. Soalnya aku yakin, di dunia
ini bukan cuma Donni cowok yang bisa kudekati."
Awang mencoba tersenyum tipis. Ada dua arti senyuman itu. Pertama, ia merasa
lega karena semula menyangka Resti tahu bahwa yang hilang itu adalah kacamata,
dan ternyata Resti menduga yang hilang adalah seorang cewek. Kedua, Awang jadi
geli sendiri karena dengan memberikan contoh tentang dirinya, Resti berarti
mengumumkan bahwa ia telah putus dengan Donni dan punya minat untuk mendekati
cowok lain. Barangkali juga Awang adalah sasarannya.
"Jangan salah arti dulu," kata Resti, seakan mengerti apa isi hati Awang. "Aku
hanya memberikan contoh sederhana yang barangkali bisa kamu jadikan bahan
pertimbangan. Paling tidak kamu akan punva ide tentang apa yang harus kamu
lakukan di hari-hari berikutnya."
Awang ketawa pendek. "Elu kalau ngomong kayak calon mertua gue aja!"
Resti tersenyum hambar. "Bersemangatlah, Awang.
Kuperhatikan sejak kau datang tadi, nggak ada semangat sedikit pun pada dirimu.
Ini bahaya. Kamu bisa dikecam dan dilecehkan teman-teman."
"Nah, kalau gini elu ngomongnya kayak calon istri gue aja!" canda Awang,
meremehkan. Resti beranjak pergi sambil bilang, "Bukan aku calon istrimu. Mungkin Dewi...!"
Tersentak hati Awang mendengar nama Dewi. Ia ingin menahan kepergian Resti, tapi
tak mampu meraih tangannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun tak mampu
lidahnya bergerak. Kurang dari sedetik lamanya ia terpaku bagai patung. Waktu ia
menghempaskan napas, Resti sudah ada di pojok ruangan. Bicara dengan Lukman.
"Dewi..."!" gumam Awang. "Apakah yang dia maksud adalah Dewi Anjar Kusuma" Oh,
dari mana dia tahu nama itu" Dari mana dia tahu kalau aku kasmaran sama Dewi
Anjar Kusuma?"
Farok datang menepuk punggung Awang pakai buku.
Plok...! Sekali lagi Awang terlonjak karena keusilan teman. Karo k tertawa
pendek dan berbisik, "Kemarin ada yang titip salam buat kamu!"
"Siapa?"
"Dewi...!"
Nah, lu! Kaget lagi Awang. Matanya cepat menatap Farok dengan dahi berkerut.
"Dewi siapa?"
"Dewi anak teknik! Sok lupa lu!"
"Astaga...!" Awang menghempaskan napas lega.
Rupanya Dewi anak teknik sipil yang dimaksud Resti tadi.
Rupanya ada sesuatu yang dilakukan Dewi Puspitarani sehingga Resti menyangka ada
hubungan khusus antara Awang dengan Dewi.
Awang muak sama Dewi itu. Cantiknya tidak seberapa tapi mulutnya seperti koran
merah, suka menyebar gosip ke mana-mana.
"Bilang sama Dewi, Awang nggak menerima sumbangan salam dari cewek centil kayak
elu, gitu!"
Farok ketawa melihat kedongkolan Awang. "Kita ke kantin aja yuk," ajak Farok
sambil merangkul Awang.
"Lho, memangnya rapat ini udah selesai?"
"Udah dari tadi, Bego!" Farok menjulekkan kepala Awang. Awang jadi malu-malu
geli sendiri. Mereka nongkrong di kantin. Ada Teddy di sana, teman satu kost dengan Farok.
Teddy melambaikan tangan kepada Farok, "Ikut gabung nggak?" seru Teddy.
"Nggak, ah! Gue bosan sama omongan kalian!" balas Farok dalam canda. Teddy dan
ketiga temannya itu tertawa, ada yang keras ada yang biasa-biasa saja.
"Ngapain mereka?"
"Biasa... ngerumpi!" jawab Farok.
"Apa yang dirumpiin?"
"Eh, elu belum dengar soal isu peri cantik?"
Farok memesan minuman, Awang juga menyebutkan minuman dan makanan yang ia
inginkan kepada pelayan kantin. Setelah itu, Awang kembali bicara kepada Farok
dengan agak serius.
"Isu peri cantik" Gimana tuh...?"
Farok yang keturunan Arab, kulitnya hitam dan banyak bulunya, sempat garuk-garuk
cambangnya sebentar, kamudian ia berkata, "Ada anak kost di tempat gue bikin
sensasi. Dia ngaku habis ketemu peri cantik dan sexy.
Dia girang banget. Saking girangnya sampai kayak anak sinting. Ngakunya sih peri
cantik itu muncul di kamarnya pada malam hari dan ngajak dia bercumbu, cuma dia
masih takut. Takut tapi ngebet!"
Awang tertawa kecil, setengah meremehkan cerita yang dianggap murahan itu.
Pelayan datang

Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawakan pesanan, mereka masih terus bicara. Farok bilang, "Si Teddy itulah
yang menyebarkan isu peri cantik, sampai dosen kita ada yang tertarik untuk
mendengarkan cerita tersebut."
Makin geli Awang mendengarnya. "Sensasi memang mudah membuat masyarakat pasif
menjadi aktif."
"Tapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya cerita itu bukan semata mata sebuah
sensasi atau isu saja kok."
"Dari mana kamu bisa menyimpulkan begitu?"
"Soalnya begini," Farok bersemangat, "Waktu aku masuk ke kamar anak itu, maklum
dia kan anak baru di situ, aku masuk main selonongboy aja. Dia nggak berani
negur aku. Dan... aku mencium bau aroma wangi yang enak. Lembut sekali. Kayaknya
bau wangi itu punya pengaruh magis, dapat membuat kita terlena."
"Bisa aja tuh anak numpahin parfum di kasurnya."
"Lain deh. Bener. Bau wangi itu kayaknya nggak ada pada parfum mana pun juga.
Pokoknya... yah, sulit digambarkan baunya. Dibilang kayak melati ya bukan, kayak
cendana ya mirip-mirip sedikit, kayak bau mawar yaaaah... kayaknya bukan bau
mawar. Sulit deh pokoknya."
Farok nyedot minumannya lewat pipa plastik yang disebut sedotan. Awang ikutikutan. Setelah itu Farok bilang, "Itu anak ngakunya habis semadi di kamarnya,
lalu ia berhasil bertemu dengan peri cantik. Kata dia, peri itu ngaku bernama
Dewi Anjar Kusuma...."
"Hahhhh..."!" Awang terpekik. Cukup keras suaranya, sampai Teddy dan temantemannya berpaling menatap ke arah Farok. Pelayan dan beberapa orang yang ada di
situ pun memperhatikan Awang. Mata Awang mendelik.
Darahnya berdesir dari bawah ke atas, membuat wajahnya jadi merah, lalu pucat
bagai kehilangan darah.
Tentu saja hal itu membuat Farok terheran-heran.
"Elu ngapain sih" Kok kayak beruk jatuh dari pohon kelapa?" kata Farok.
"Ikut aku sebentar!" Awang menarik tangan Farok.
"Hei, apa-apaan ini..."!"
"Pokoknya ikut aku sebentar. Kita bicara di bawah pohon, di belakang kantin itu.
Yuk... cepat...!"
Makin terheran-heran Farok dengan tingkah laku Awang. Timbul rasa penasaran di
hatinya, sehingga ia pun menuruti keinginan Awang. Mereka berdiri di bawah pohon
yang cukup rindang, di belakang kantin. Tapi tidak
persis di belakangnya. Dari bawah pohon itu mereka masih bisa melihat
pemandangan di arena parkir, juga jalanan besar depan kampus.
"Rok, aku minta elu ngomong yang sebenarnya tentang anak itu!"
"Lho, aku kan udah ngomong yang sebenarnya"
Gimana sih kamu ini?"
Napas Awang tadi terengah-engah, sekarang berusaha ditenangkan sedikit. Farok
memandangi Awang dengan dahi berkerut tajam.
"Anak itu benar-benar bilang kalau nama peri itu adalah Dewi Anjar Kusuma?"
"Iya! Dia selalu menyebut-nyebutkan nama itu, sehingga kami, para penghuni kost,
tahu semua dan jadi hafal dengan nama itu!"
"Siapa sih anak itu?"
"Dia anak baru, sudah kubilang tadi kan" Nah, dia punya nama panggilan Ode...."
"Ode..."!" Awang makin berkerut dahi, berpikir sejenak, karena sepertinya dia
pernah mendengar nama itu.
"Gini aja deh," kata Farok. Tapi belum habis ia bicara, Awang sudah menyahut
nya, "Eh, Rok... kamu tahu, anak itu adalah anak yang sedang kucari-cari! Pasti
dia yang mencuri kacamata hitam milik kakekku itu! pasti dia bisa bertemu dengan
peri cantik lewat kacamata itu...."
"Kacamata..."!" gumam Farok semakin heran.
Tanpa perhitungan panjang-lebar, Awang pun
menceritakan kemisteriusan dan keistimewaan kacamata hitam itu. Farok jadi
semakin terbengong-bengong mendengarnya. Sampai akhirnya Awang bilang kepada
Farok, "Kalau semua informasimu itu benar, sekarang tolong antarkan aku ke
tempat kostmu! Temukan aku dengan Ode. Kalau perlu kubunuh anak itu jika dia
nggak mau menyerahkan kacamata itu."
"Bunuh"!" gumam Farok dengan dahi tetap berkerut.
Ia menatap Awang dalam kebimbangan hati, "Kau sampai mau membunuhnya demi
mendapatkan kacamata itu" Apa nggak salah"!"
"Persetan, salah atau nggak, pokoknya kalau dia nggak mau menyerahkan kacamata
itu, aku akan membunuhnya dan merebut kacamatanya! Yuk, antarkan aku ke
sana...!" Farok dapat menilai keseriusan Awang. Farok tahu, Awang tidak main-main dan
benar-benar bernafsu untuk mendapatkan kacamata itu. Jelas emosi kemarahan Awang
akan timbul jika Farok tidak mau menunjukkan di mana kamar kostnya Ode. Jelas ia
akan ribut sama Awang kalau ia berkeras untuk tidak mau diajak meninggalkan
kampus secepatnya.
Daripada ribut, Farok pun menuruti kemau- an Awang.
Mereka meluncur ke tempat kost Farok. Cuma sayang, setelah mereka sampai sana,
ternyata kamar Ode dikunci. Ode pergi.
"Dobrak saja pintu ini...."
"Husy, jangan! Nanti kamu bisa dituntut sama pemilik kost!" jawab Farok.
Dada Awang seakan bergerak-gerak ingin meledak membendung kemarahannya. Karena
ia yakin betul bahwa memang Ode itulah orang yang mencuri
kacamata dari kamar Badri. Awang punya dugaan yang sembilan puluh persen benar.
Ode keluar dari kamarnya lewat jendela kamarnya sendiri, lalu mencongkel jendela
kamar Badri dari kebun pisang milik Haji Syukur. Itu mudah dilakukan Ode, sebab
jendela kamar Ode dan jendela kamar Badri sama-sama menghadap ke kebun pisang.
Lalu, dari mana Ode tahu tentang keistimewaan kacamata itu" Bisa saja dari mulut
Badri sendiri, atau mungkin dari mulut Dharma. Sebab Ode pernah jadi temannya
Dharma. Awang segera menemui Dharma. Ia pergi tanpa Farok.
Ia hanya berpesan kepada Farok agar nanti jika Ode pulang, Farok diminta untuk
menahan Ode agar anak itu tidak pergi ke mana-mana.
"Aku akan datang lagi nanti sore!" kata Awang.
Di tempat Dharma, Awang mendesak agar Dharma mengaku kepada siapa saja ia
menceritakan tentang kacamata itu. Lalu, Dharma pun menceritakan apa adanya.
"Kepada Ode juga kamu ceritakan hal itu?"
"Ya. Dan dia sangat terkagum-kagum," jawab Dharma.
Jelas sudah. Modus operandi pencurian Ode sudah diketahui oleh otak Awang. Cuma
masalahnya, itu anak sekarang ada di mana" Sampai malam hari ditunggui Awang,
ternyata belum pulang-pulang juga.
"Sudah pukul dua belas, Rok... kayaknya dia nggak bakalan pulang," kata Awang.
"Sebaiknya aku pulang aja deh. Besok pagi aku ke sini lagi. Cuma, tolong simpan
baik-baik cerita rahasia kacamata itu, ya" Biar nggak ada yang memburunya!"
"Sip...!" Farok mengacungkan jempolnya.
Awang benar-benar tak sabar menunggu pagi. Ia sampai tak bisa tidur. Hasrat
untuk memiliki kacamata itu telah membuat hatinya gundah gulana dan matanya
sulit terpejam. Ngantuk sedikit pun tidak, dan ini justru menyiksa batinnya.
Begitu terdengar suara adzan subuh, barulah Awang mulai merasakan hawa
kantuknya. Mata berat untuk dibuka, dan ia pun tertidur. Bangun-bangun sudah
siang. Sudah pukul sebelas lewat. Itu pun gara-gara Mira gebrak-gebrak pintu kamarnya
dan memberitahukan bahwa Farok datang. Kalau tidak begitu, mungkin Awang belum
bangun. "Ada apa, Rok" Kok wajahmu pucat"!" tanya Awang dengan heran.
"Wang... si Ode kena musibah," jawab Farok dengan napas berat.
"Kena musibah" Maksudmu?"
"Di... dia dibunuh orang di kamarnya!"
-o0o))((dw))((o0o6 Polisi memperkirakan Ode dibunuh sekitar pukul tiga dini hari. Menurut pengakuan
Teddy, yang tinggal di kamar sebelahnya, ia mendengar Ode pulang pukul satu
malam lewat sedikit. Kemudian sekitar pukul tiga dini hari, Teddy mendengar
suara gaduh di kamar korban.
Teddy menyangka suara gaduh itu timbul karena kemunculan Ratu Peri yang sedang
hangat dibicarakan itu. Teddy tidak berani ikut campur, melainkan justru
ketakutan sendiri.
"Apakah Anda mendengar suara orang lain pada saat itu?" tanya petugas kepolisian
kepada Teddy. "Tidak, Pak. Saya hanya mendengar suara Ode yang terengah engah dan mengerangerang. Saya pikir dia sedang bercinta dengan makhluk halus."
Polisi meminta informasi tentang makhluk halus dan cerita-cerita yang digembargemborkan korban semasa hidupnya. Tapi agaknya polisi tidak tertarik dengan hal
itu, karena menurut hasil pemeriksaan, Ode dicekik dulu dengan seutas tali,
kemudian ditusuk tiga kali pada bagian jantungnya Terbukti ada tiga lubang bekas
tusukan pisau di dada kirinya.
Motif pembunuhan bukan semata-mata balas dendam, melainkan juga ada unsur
perampokan. Hanya saja, entah barang apa yang diambil pembunuh itu, karena meski
keadaan kamar acak-acakan, namun banyak barang berharga yang masih utuh,
misalnya arloji, cincin emas, dompet berisi uang tunai enam puluh tujuh ribu,
mini compo, semuanya masih ada. Utuh. Meski seisi almari diamburadulkan oleh si
pembunuh, tapi agaknya tidak ada pakaian yang dibawa kabur. Terbukti ada dua
celana jeans yang masih baru dan asli dari luar negeri,
tidak dibawa lari oleh pembunuhnya. Jaket kulit yang kalau dijual di tukang loak
masih laku dua puluh ribu ke atas, juga masih utuh.
"Ada sesuatu yang dicari dan diambil oleh pembunuh itu. Hanya saja, apakah benar
sesuatu yang dicari itu sudah ditemukan atau belum?" kata polisi kepada Teddy
dan teman-temannya.
Lalu, bagaimana dengan kacamata hitam"
Awang sudah menduga, pasti pembunuh itu mencari kacamata hitam. Terbukti dari
hasil pendataan barang-barang korban, tidak tercantum kacamata hitam di
dalamnya. Berarti tidak ada kacamata hitam di kamar Ode semenjak Ode mati
terbunuh. "Badri atau Dharma...?" Dua nama itu diucapkan terus dalam hati Awang. Hanya dua
nama itu yang layak dicurigai menurut Awang. Tapi ia tidak mau
membeberkan hal itu kepada pihak kepolisian. Takut kalau kasus itu terbongkar
dan kacamata hitam disita oleh pihak yang berwajib. Awang bertekad turun tangan
sendiri. Merebut kacamatanya kembali.
"Ah, gila lu! Masa' gue sampai senekat itu sih"!" ujar Badri ketika Awang
melancarkan tuduhannya.
"Aku tahu rindumu pada Anjar. Rindu itu bisa memaksa seseorang untuk berbuat
nekat membunuh siapa pun demi mendapatkan kacamata tersebut. Sama halnya dengan
aku, bisa nekat membunuh kamu kalau kamu nggak mau menyerahkan kacamata itu!"
"Sumpah demi apa saja, biar mati disamber gledek sekarang juga, gue nggak
berbuat sekejam itu, Awang!
Gue nggak pegang kacamata itu. Malah gue tahu kalau
Ode pencurinya baru sekarang, dari mulutnya sendiri tadi!"
Ada kebimbangan menyelinap di sela emosi Awang. Ia menatap Badri dengan mata
menyipit, antara dendam dan keraguan.
"Kamu lihat sendiri bagaimana keadaanku?" kata Badri. "Kamu lihat bagaimana
kelesuanku, lemas sekujur tubuhku, pening kepalaku karena menahan rindu ingin
bertemu Anjar tak terlampiaskan. Kalau aku memiliki kacamata itu, aku sudah
nggak kayak gini tentunya. Aku pasti ceria dan bersemangat!"
Pikir punya pikir, benar juga. Awang melihat wajah Badri pucat. Loyo. Warna duka
masih melapisi wajahnya.
Keresahan masih menekan jiwanya. Omongannya pun tidak menyala-nyala kayak dulu.
Lemah, seakan malas untuk diajak bicara. Awang menyimpulkan, memang bukan Batin
pelakunya. Lantas siapa kalau bukan Badri"
O, tentu saja Dharma.
"Bagaimana menurutmu jika kita curigai si Dharma?"
"Bisa jadi!" jawab Badri sambil duduk di kasur, bersandar pada dinding. "Dharma
ada perang dingin sama Ode, bukan karena kasus kacamata. Nah, barangkali Dharma
mendengar tentang kemampuan Ode menemui peri cantik, lalu dia menyimpulkan bahwa
Ode-lah pemilik kacamata itu. Nggak aneh kalau Dharma nekat ingin memiliki
kacamata itu sampai tega menewaskan Ode dengan cara seperti itu!"
"Kalau begitu, bagaimana jika kita cari si Dharma itu?"
"Kau sajalah...! Aku lemas. Aku cuma mau minta kebijaksanaanmu, kalau kacamata
itu sudah ada di
tanganmu, izinkan aku memakainya sebentar saja. Aku cuma kepingin ketemu Anjar,
habis itu... aku ingin mengucapkan selamat berpisah dengannya...."
Kasihan juga si Badri sebenarnya. Awang tak tega, walau ia menaruh kemarahan
atas sikap Badri belakangan ini. Namun, seandainya kacamata itu sudah berhasil
dimiliki kembali, Awang tidak keberatan meminjamkannya kepada Badri, jika
tujuannya hanya sekadar mengucapkan kata perpisahan dengan Anjar.
Maka dicarinya Dharma sampai ke mana-mana.
Akhirnya Awang berhasil menemui Dharma di rumah seorang pelukis senior yang
bernama Pak Husman.
Awang langsung membawa pergi Dharma dari tempat itu. Ia membawanya ke pantai
yang sepi pengunjung.
Dharma sebenarnya tidak seimbang dengan Awang.
Dia bisa bonyok dihajar habis-habisan di situ oleh Awang.
Tapi meski kurus badannya, Dharma punya nyali cukup besar. Dia masih bisa
bersikap tenang ketika mereka turun dari mobil yang dipakai Awang untuk
membawanya ke pantai itu. Sebelum Awang mengatakan sesuatu, Dharma sudah
bertanya lebih dulu dengan suara tegas, "Apa maksudmu membawaku kemari?"
"Aku ingin bicara denganmu!" jawab Awang, juga santai.
"Kau bisa mengajakku bicara di rumah Pak Husman, kan?"
"Nggak bisa. Soalnya habis bicara panjang lebar, aku harus membunuhmu. Jadi,
nggak enak kalau
membunuhmu di depan Pak Husman, nanti dia terlibat.
Aku ingin membunuhmu tanpa ada saksi, seperti halnya saat kamu membunuh Ode."
"Ode..."!" Dharma sedikit terperanjat, matanya menatap Awang dengan tajam,
dahinya berkerut. kuat-kuat
Dharma dianggap bersandiwara. Karena itu Awang menatapnya dengan senyum sinis.
"Cukup kuat juga permainan mimikmu itu!"
"Aku nggak ngerti apa maksud pembicaraanmu, Awang!"
"Seorang pembunuh harus bisa berpura-pura. Mungkin nanti aku juga akan begitu,
setelah aku membunuh kamu dan melemparkan mayatmu ke laut ini."
Sebenarnya deg-degan juga hati Dharma. Hanya saja ia masih bisa mengendalikan
perasaannya. la masih bisa bersikap tenang. Keresahan yang tampak di wajahnya
bukan keresahan karena takut gertakan Awang, melainkan keresahan akibat bingung
memikirkan pembicaraan Awang. Ia diam sampai beberapa saat.
Jaraknya tetap dua langkah dari Awang, la tidak menjauh. Malahan kali ini
mendekati Awang dan berkata,
"Kau menyinggung-nyinggung soal Ode. Apa benar Ode mati terbunuh?"
"Ya. Terbunuh atau dibunuh, entahlah! Yang jelas dia ditemukan mati di
kamarnya."
"Astaga...," gumam Dharma dengan mimik tegang, serius. "Apa motivasi pembunuh
itu, ya?" "Jelas kacamata hitam yang dicari pembunuhnya!"
"Kacamata hitam" Oh, apakah... apakah dia pencuri kacamata tersebut dari rumah
Badri?" Sekarang Awang terdiam. Menatap sih tetap menatap, tapi mulutnya tertutup rapat.
Benaknya mempelajari sikap Dharma yang agaknya benar-benar baru saat itu
mengetahui bahwa Ode pencuri kacamata hitam tersebut.
Tidak. Awang tidak bisa mengambil kesimpulan secepat itu. Ia masih harus
memancing pembicaraan untuk menentukan apakah benar Dharma tidak tahu soal Ode
atau hanya berlagak pura-pura tidak tahu.
Karenanya, Awang pun bertanya, "Semalam kau ada di mana?"
"Di rumah Pak Husman. Aku mempelajari seni lukis menggunakan cat minyak," jawab
Dharma. "Dari pukul berapa?"
"Dari sekitar... pukul sembilan malam sampai... ya sampai subuh. Soalnya, begitu
terdengar suara adzan subuh, Pak Husman menyuruhku tidur, sebab dia sendiri
nggak tahan ngantuk. Kalau nggak percaya kamu bisa tanya sendiri sama Pak Husman
dan istrinya. Pukul tujuh pagi istrinya membangunkan aku, diajak sarapan."
Sial. Ada alibi yang kuat! Pikir Awang. Ketenangan Dharma dalam menuturkan
pengakuannya tadi membuat Awang berubah pikiran. Kayaknya memang bukan dia
pembunuhnya, pikir Awang. Lalu, Awang justru menceritakan apa yang ia ketahui
belakangan ini tentang Ode dan peri cantik yang digembar-gemborkan itu. Ia juga
menuturkan hasil analisisnya mengenai cara kerja Ode waktu mencuri kacamata dari
kamar Badri. Dan,
pemuda kurus itu manggut-manggut sambil terbengong-bengong, seakan tidak
menyangka kalau pencurinya Ode.


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terus terang, kalau saja aku tahu kacamata itu ada di tangan Ode, memang aku
akan berusaha merebutnya.
Tapi bukan dengan cara membunuhnya. Aku masih bisa menipunya. Tipuanku masih
bisa membuat Ode percaya dan mau menyerahkan kacamata itu," kata Dharma.
Awang tidak memberikan reaksi. Hanya diam
bersedekap. Kata Dharma lagi, "Sayang sekali aku mengetahui hal itu pada saat sekarang, di
mana Ode sudah terbunuh dan... o, ya... jika bukan aku, bukan kamu, dan bukan
Badri, lantas siapa yang memegang kacamata itu sekarang ini, ya?"
"Ya, siapa?" hanya itu yang bisa diucapkan Awang sambil matanya memandang ombak,
menerawang jauh menembus buih-buih putih.
-o0o))((dw))((o0oAda senyum yang mekar di bibir Farok. Senyum kelicikan. Senyum kemenangan.
Bahkan bisa juga dikatakan sebagai senyuman iblis. Mengapa begitu"
Ya. Sebab Farok-lah yang sekarang memiliki kacamata hitam itu. Diam-diam Farok
menjadi sangat tertarik untuk memiliki kacamata tersebut. Ia terpikat dengan
cerita dari mulut Ode semasa hidupnya, juga makin terpikat dengan cerita dari
mulut Awang tentang keistimewaan kacamata kuno itu. Pengaruh iblis merasuk dalam
otaknya, menguasai egonya, dan menutup akal sehatnya.
Farok sengaja menunggu Ode pulang pada malam itu.
Begitu dilihatnya Ode telah masuk ke kamar, Farok segera mengambil pisau belati
yang ujungnya runcing, bagian kedua sisinya hanya tajam sampai di pertengahan
saja. Ia mengetuk kamar Ode. Waktu itu Ode tidak curiga melihat kedatangan
Farok. Sikapnya baik-baik saja.
Ode sempat menawarkan segelas kopi kepada Farok dengan suara pelan, sebab Farok
pun bicara dengan suara pelan. Alasannya takut mengganggu mereka yang sudah
tertidur. "Ssst... De, apa benar kamu bisa melihat peri cantik?"
"Iya. Aku tadi habis ke rumah seorang dukun.
Kutunjukkan kacamata ini pada beliau...," Ode memperlihatkan kacamata hitam itu.
"Setelah diteropong oleh ilmunya, dukun itu bilang bahwa kacamata itu memang
kacamata setan. Selain bisa dipakai untuk melihat dunia gaib, dunia orang mati,
juga bisa dipakai untuk melihat Ratu Peri cantik yang sebenarnya adalah pemilik
kacamata ini. Kita bisa kawin dengan peri cantik itu jika kita memenuhi
syaratnya...."
Cerita itu sama dengan cerita yang dituturkan Awang, pikir Farok. Cuma Awang
tidak menceritakan bahwa akan bisa kawin dengan peri cantik itu.
"Apa benar, kacamata itu bisa dipakai untuk melihat keadaan seseorang jika tanpa
busana?" "Iya, bisa!"jawah Ode. "Aku sudah mencobanya, dan hampir seharian tadi dalam
perjalanan menuju rumah dukun itu, aku melihat orang-orang di sekitarku tidak
berpakaian semua...."
Farok manggut-manggut. Ode tidak sadar bahwa maut sedang mengintainya. Pada saat
Ode mengaduk kopi, tiba-tiba Farok mengeluarkan seutas tali rafia berukuran
besar. Panjangnya hanya setengah meter. Farok serta-merta menyergap Ode dari
belakang. Tali itu dikalungkan ke leher Ode dan ditarik kuat-kuat oleh Farok.
Ode meronta-ronta. Mencoba melawan. Kakinya menendang meja dan gelas kopi
tumpah. Ode berusaha berteriak, namun suaranya yang keluar hanya erangan-erangan
memberat. Erangan itulah yang didengar Teddy dan disangka erangan birahi.
Semakin Ode meronta, semakin kuat kedua tangan Farok menarik tali itu, mencekik
leher tanpa ampun lagi.
Sampai akhirnya gerakan Ode melemah. Farok tetap mencekik dengan mata mendelik.
Kemudian, dengan cepat ia mencabut pisaunya dan ditancapkan ke dada kiri Ode.
Jrub, jrub, jrub...! Ode tidak bisa berteriak, karena lehernya masih tercekik
kuat oleh tali tersebut.
Begitulah caranya Farok membunuh Ode. Pakaiannya yang terkena percikan darah
dibuang, dimasukkan ke dalam lubang tinja. Pisau yang dipakai mengakhiri nyawa
Ode juga dimasukkan ke lubang pembuangan tinja, malam itu juga.
Farok tidak segera pergi ke mana-mana. Ia tetap berada di kamarnya. Tetapi ia
cukup bangga karena kacamata hitam itu telah berada di tangannya.
Yang penting, aku harus menyimpan kacamata ini terlebih dulu. Harus disimpan di
tempat lain, supaya kalau ada penggeledahan sewaktu-waktu, aku bisa bebas.
Mereka tidak akan menemukan kacamata ini di
kamarku...! Pikir Farok sambil tersenyum-senyum penuh perasaan bangga.
Pagi-pagi, sekitar pukul enam lewat, Farok pergi ke rumah pamannya. Dulu memang
ia tinggal bersama pamannya. Tapi setelah ia cekcok dengan anak pamannya, ia
memisahkan diri. Kost di tempatnya yang sekarang.
Di rumah pamannya itu, Farok diberi satu kamar.
Bahkan sampai sekarang kamar itu masih menjadi kamarnya. Jika ia bermalam di
rumah pamannya, ia masih tidur di kamarnya yang dulu, dekat gudang. Di kamar itu
juga masih ada barang-barangnya, pakaian, buku, dan lain-lainnya. Tapi buku-buku
yang penting dibawanya ke tempat kost. Di kamar itulah Farok menyimpan kacamata
tersebut, dalam sebuah laci meja yang dikunci dan kuncinya selalu dibawa-bawa ke
mana pun ia pergi.
Setelah merasa aman menaruh benda tersebut, barulah Farok pergi ke rumah Awang.
Ia pergi dengan menggunakan taksi. Kira-kira tiga ratus meter sebelum mencapai
rumah Awang, ia turun dari taksi dan berlari menuju ke rumah Awang. Maka, ketika
ia bertemu dengan Awang, sisa napasnya masih tampak terengah-engah, dan tubuhnya
sedikit berkeringat. Sebab ia adalah orang yang paling mudah mengeluarkan
keringat dengan bergerak atau bekerja sedikit saja.
Luar biasa kelicikan Farok sebenarnya. Tak ada satu pun yang menaruh curiga pada
Farok dalam kasus kematian Ode. Itulah sebabnya ia bisa bebas bergerak ke mana
pun ia suka, ia bebas mengenakan kacamata tersebut. Dan, ia selalu mengingatingat agar tidak
membawa atau menyimpan kacamata hitam itu di tempat kostnya. Jadi jika ia ingin
memakai kacamata itu, ia datang ke rumah pamannya, lalu mengeluarkan kacamata
dari tempat penyimpanannya. Keluarga pamannya sendiri tidak ada yang menaruh
curiga terhadap kacamata hitam tersebut.
Gila! Benar juga kata mereka, kacamata ini kalau dipakai bisa membuat orang yang
kupandang dalam keadaan tanpa busana..."!
Percobaan pertama yang dilakukan Farok adalah melihat Ipah, pelayan di rumah
pamannya. Ipah sedang mencuci piring, dan Farok memandanginya dengan memakai
kacamata hitam itu. Farok tertawa cekikikan sendiri, karena melihat Ipah mencuci
piring dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun.
-o0o))((dw))((o0o7 Tanpa sengaja Awang mendengar percakapan antara mamanya dengan papanya. Sore
itu, kedua orangtua tersebut ngobrol di serambi samping, seperti layaknya orang
bernostalgia. Percakapan itu menyinggung-nyinggung nama Kakek Nayom, yang konon
merupakan salah seorang sahabat dari Kakek Somo.
"Malahan dulu, katanya Kek Nayom itu anak buahnya Kakek Somo," ujar papanya
Awang. "Mereka akrab sekali."
"Anak buah apaan?" tanya mamanya Awang.
"Emangnya dulu Kakek Somo itu guru?"
"Bukan guru. Maksudku, anak buah semasa dinas di PJKA. Waktu Kakek Somo pensiun
kan yang menggantikan tugasnya adalah Kek Nayom. Bapakku sendiri malah kalah akrab dengan
Kak Nayom. Malahan yang sering dikatakan kakak-beradik itu Kek Somo dengan Kak
Nayom. Lucu ya" Adiknya sendiri malah dibilang temannya."
"Apa Kek Nayom itu sekarang masih hidup?"
"Masih! Tinggalnya di Jalan Prabu, depan kantor pos itu lho, yang waktu kita
kehujanan, lantas kita mampir ke sana?"
"Ooo... yang cucunya jadi dokter gigi?"
"Nah, iya!"
"Kok kayaknya masih sehat, masih gagah ya?"
"Mungkin dia dapat petunjuk dari Kek Sryno bagaimana supaya tampak awet
muda...." Percakapan itu ditinggalkan oleh Awang. Ada teman yang datang. Walau agak keki,
tapi Awang bergegas pula ke ruang tamu.
"O, rupanya Kesti yang datang. Mau apa dia" "Wang, aku mau pinjam motormu
sebentar bisa nggak?"
"Mau ke mana sih?"
"Mau jemput adik sepupuku di stasiun."
"Kok nggak pakai mobil aja?"
"Mobilku masuk bengkel."
"Ooo... pakai sajalah! Sebentar gue bilang sama Mira dulu, soalnya dia suka
pakai juga. Tahu hari ini mau dipakai dia atau nggak."
Awang pergi menemui Mira di dapur. Sebentar kemudian ia keluar lagi sambil
membawa kunci kontak.
Kunci itu diserahkan Resti. "Pakailah...!"
"Sorry ya, ngerepotin. Habis kasihan adik sepupuku itu. Dia datang sendirian.
Cuma pingin tengok keadaanku."
"Cowok apa cewek sih?"
"Cewek. Kalau cowok ngapain dijemput segala."
"Cakep nggak?" canda Awang.
"Memangnya kalau cakep elu mau ngapain?"
"Yah... nggak ngapa-ngapain sih," sambil Awang tertawa kecil.
"Nggak usah macam-macam lu, kasihan Dewi!"
"Dewi, Dewi...!" gerutu Awang, bersungut- sungut.
"Cewek sinting kayak gitu aja digosipkan naksir gue.
Uuuh... rugi!"
"Yah, mungkin ada Dewi yang lain. Siapa tahu"!"
Awang tersentak hatinya. Sepertinya kata-kata Resti itu punya maksud tersendiri.
Sayang sekali Awang tidak sempat berkomentar lebih panjang lagi, karena gadis
mungil itu segera pergi sambil membawa motor.
Pamitnya pun hanya sekejap. Tanpa lambaian tangan.
Namun ia meninggalkan senyuman yang aneh, bernada melecehkan hati Awang.
Awang segera melupakan hal itu. Ia pinjam mobil Jeep yang biasa dipakai ke
kantor oleh papanya. Ia meluncur ke Jalan Prabu, depan kantor pos. Ia mencari
rumah Kakek Nayom, dan berhasil bertemu dengan lelaki tua berbadan gemuk.
"Kamu siapa?"
"Saya cucunya Kok Somo," jawab Awang.
"Ooo... cucunya Kang Somo" Apa yang namanya Awang, ya?"
"Betul, Kek. Saya kemari mau menanyakan beberapa hal yaiig berkaitan dengan Kek
Somo." Lelaki gendut yang rambutnya sudah putih merata itu tertawa pendek, sedikit
terkekeh-kekeh. Ia hanya mengenakan sarung dan kemeja koko tanpa leher.
Agaknya ia baru saja selesai mengerjakan sholat, sehingga peci hitamnya belum
sempat dilepas.
"Kakekmu itu memang hebat," ujar Kakek Nayom.
"Falsafah hidupnya cukup tinggi. Dia juga punya semangat kerja yang tiada
tandingnya. Kalau bukan waktunya libur, dia tidak pernah libur sendiri. Walau
sakit, dia tetap masuk kerja, dan tidak pernah menolak tugas dari atasan...."
Awang hanya manggut-manggut saja. Ia menunggu Kakek Nayom bicara tentang
kacamata hitam, tapi dari tadi yang dibicarakan hanya masalah kondite kerja,
menyanjung kepribadiannya, kesabarannya,
kesetiakawanannya, dan sebagainya. Jengkel-jengkel akhirnya Awang nyeplos terus
terang tentang kacamata hitam.
"Apa Kek Nayom tahu tentang kacamata hitam milik kakek saya?"
Wajah Kakek Nayom berubah. Sedikit tegang karena terperanjat mendengar
pertanyaan Awang. Matanya menatap tajam ke arah Awang. Sepertinya ada sesuatu
yang dikhawatirkan, dan takut didengar cucu-cucunya yang lain. Sempat pula mata
Kakek Nayom melirik keadaan sekeliling, yang kebetulan memang sedang sepi.
"Saya tahu, kakek saya menyimpan kacamata keramat...."
"Sssttt...!" Kakek Nayom segera memperingatkan Awang agar jangan bicara dengan
suara keras. Alasannya, "Di sebelah rumahku ini ada anak bayi masih tidur."
Benar atau tidak, tapi Awang sudah mengerti maksud Kakek Nayom. Maka, Awang pun
mengurangi volume suaranya, sehingga percakapan itu nyaris berbisik, hampir
mirip orang berkasak-kusuk.
"Memang, kakekmu punya kacamata setan. Aku baru berani bicara sekarang, sebab
kakekmu sudah tiada.
Sebelumnya, aku tidak pernah bicara kepada siapa pun."
"Kek Nayom percaya kalau kacamata itu memang punya kekuatan mistik?" pancing
Awang. "Ya. Percaya. Soalnya dulu aku pernah mencobanya.
Satu kali aku mencoba, dan setelah itu aku tidak berani lagi," tutur orang tua
itu dengan suara tua yang bergetar, sedikit serak.
Setelah melalui masa bungkam sesaat, setelah masing-masing sibuk menekuni
renungannya, Awang
pun kemudian berkata, "Kacamata itu sekarang hilang, Kek."
"Maksudmu?"
"Ada yang mengambilnya. Entah siapa dan entah di mana sekarang kacamata itu...."
Mau tak mau Awang menceritakan seluruh kejadian yang dialami tentang kacamata
setan itu, sampai pada cerita kematian Ode dan lenyapnya kacamata bersama
pembunuh Ode. Wajah Kakek Nayom kelihatan dicekam oleh kegelisahan dan
kecemasan. Bibir tuanya itu tampak lebih gemetar dari sebelumnya.
"Celaka...! Celaka itu namanya," kata beliau. "Harus segera diselamatkan, supaya
tidak ada timbul korban lagi."
"Korban...?" Awang memancing pengakuan Kakek Nayom.
"Hampir tiga bulan sekali, sebenarnya kakekmu itu selalu mencari korban. Seperti
kamu sebutkan tadi, ada perempuan cantik yang muncul pada saat kamu memakai
kacamata itu. Sebenarnya perempuan itu adalah Ratu Peri dari Selat Sunda. Putri
kesayangan penunggu Krakatau...."
"Astaga...?" gumam Awang dengan hati mulai berdebar-debar.
"Apabila kamu memakai kacamata itu dalam ruangan tertutup, dan tidak ada orang
lain selain dirimu sendiri, maka yang akan tampak olehmu adalah sosok kecantikan
Dewi Anjar Kusuma. Namun apabila kamu memakai kacamata itu dalam keadaan ada
satu orang saja di
dekatmu, maka Anjar Kusuma tidak akan menampakkan diri. Yang akan kelihatan
olehmu adalah keadaan orang lain yang telanjang...."
"Ooo...," Awang manggut-manggut. Antusias sekali dengan penjelasan Kakek Nayom.
Walau hatinya makin berdebar-debar, tapi ia merasa senang
mendengarkannya.
"Siapa yang memakai kacamata itu, dianggap pemilik kacamata tersebut. Dan siapa
yang memiliki kacamata itu, adalah suami dari Dewi Anjar Kusuma. Kalau sudah
begitu, Ratu Peri itu akan pasrah dan gairah birahinya akan melonjak-lonjak.
Biasanya, kakekmu selalu melayani Dewi Anjar Kusuma jika sudah memakai kacamata
dalam kamar tertutup. Mereka bercinta dengan beribu-ribu kebahagiaan. Karena
itulah kakekmu semasa hidupnya tidak mau menikah dengah seorang
perempuan. Ada dua penyebabnya, pertama karena kakekmu sudah tidak bergairah
lagi dengan perempuan lain, kedua karena kakekmu kasihan kepada perempuan yang
berkencan dengannya...."
"Kok kasihan" Memangnya kenapa, Kek?"
Makin berbisik Kakek Nayom menjelaskan, "Sebab, kalau kakekmu berkencan atau
bercumbu dengan perempuan lain, Dewi Anjar akan cemburu. Dan nasib buruk akan
diterima oleh perempuan itu. Dia dibunuh oleh Dewi Anjar!"
"Ooo...," sambil tubuh Awang merinding.
"Dan Ratu Peri itu punya syarat untuk diajak bercinta, yaitu minta disediakan
korban. Nyawa manusia yang dipilihnya. Caranya, kakekmu harus membuat janji
dengan seseorang, bahwa nanti malam akan datang menemui orang itu. Hanya janji
begitu saja. Nanti, pada malam kakekmu bercinta dengan Dewi Anjar, orang
tersebut akan didatangi oleh jin pengawal sang Ratu dan direnggut nyawanya
sebagai korban!"
"Ya ampuuun...," Awang terbengong semakin bergidik merinding.
"Kata kakekmu dulu, kalau tiga kali ia bertemu dengan Dewi Anjar dan tidak mau
diajak bercinta, maka pertemuan yang keempat akan merenggut nyawa kakekmu
sendiri. Maka, kakekmu semakin tua, semakin jarang menemui Dewi Anjar, palingpaling tiga bulan sekali ia bercinta dengan Dewi Anjar. Untuk itu setiap tiga
bulan sekali ia membuat janji dengan seseorang, yang artinya mencari korban
untuk sang Ratu Peri. .."
"Hmmm...," Awang menggumam, manggut-manggut lagi. Ia masih belum mau memberikan
komentar atau bertanya sesuatu. Ia ingin membiarkan Nayom tua itu bicara terus
dengan sendirinya.
"Makanya, belakangan hari kakekmu hanya mengenakan kacamata apabila sedang
jalan-jalan. Itu hanya sekadar buat cari hiburan. Dia sudah jarang bercinta
dengan Dewi Anjar. Dia pernah bilang padaku, bahwa dia sudah bosan hidup sampai
setua itu. Sebab, barang siapa yang bercinta dengan Dewi Anjar, maka usianya
akan bertambah sepuluh tahun dari masa kematiannya."
"Bertambah sepuluh tahun?"


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Seharusnya dia mati dalam usia lima puluh tahun, misalnya kalau dia
bercinta satu kali dengan Dewi Anjar, maka ia akan mati dalam usia enam puluh
tahun." "Ck, ck, ck...," Awang geleng-geleng kepala. Terheran-heran.
"Tapi kalau dia sudah mati, dia akan menjadi anggota masyarakat penghuni alam
gaib di Krakatau. Itulah sebabnya dulu kakekmu menawarkan padaku untuk memiliki
kacamata itu, tapi aku tidak mau. Aku tidak sanggup menanggung risiko seperti
dia." Kakek Nayom menarik napas. Diam termenung,
barangkali mengenang masa-masa bersama Kakek Somo. Sementara itu, Awang juga
termenung, membayangkan kakeknya yang sama sekali tidak pernah diduga oleh keluarga, bahwa
ada kekuatan dan kejahatan halus yang dimiliki oleh Kakek Somo semasa hidupnya.
"Pesanku," kata Kakek Nayom kepada Awang yang mau berpamitan untuk pulang,
"Jangan sekali-kali memiliki kacamata itu. Jangan coba-coba menemui Dewi Anjar.
Sebab perempuan itu punya daya pikat yang luar biasa. Satu kali orang bertemu
dia, orang itu akan langsung jatuh cinta dan ketagihan untuk bisa melihat
kecantikannya lagi. Satu kali orang sempat bercinta dan bercumbu dengan Dewi
Anjar, maka orang itu tidak akan punya gairah lagi dengan perempuan lain, dan
maunya hanya dengan Dewi Anjar. Matinya pun kelak akan menjadi penghuni alam
gaib, masyarakat siluman di kawasan Gunung Krakatau!"
"Saya akan ingat-ingat hal itu, Kek," kata Awang.
"Kalau perlu, buang jauh-jauh kacamata itu, supaya tak ada korban sebagai tumbal
cinta Ratu Peri itu!"
"Saya akan usahakan, Kek."
Dalam hatinya Awang sendiri sangsi, mampukah ia melaksanakan pesan Kakek Nayom
itu, sementara hatinya sudah telanjur rindu setengah mati dengan sang Ratu Peri"
-o0o))((dw))((o0oPada suatu ketika Dharma menemui Awang dan
berkata, "Apakah menurutmu tidak ada kemungkinan bahwa Farok itulah pembunuh
Ode?" "Apa alasannya dia membunuh Ode?"
"Bisa saja, karena dia menghendaki kacamata hitammu itu!"
Kata-kata itu direnungkan Awang sampai ia jadi gelisah sendiri. Tanpa Dharma pun
benak Awang masih berkecamuk, berdebat dan berkesimpulan tentang Farok.
Akhirnya ia peroleh sesuatu yang membuatnya tersentak, bahwa Farok pernah merasa
terkagum-kagum dengan cerita tentang kacamata itu.
"Aku harus menemui dia! Paling tidak dengan berbagai pancingan aku bisa mendapat
kepastian, apakah benar dugaan Dharma itu, atau hanya suatu usaha
mengalihkan kecurigaanku saja" Barangkali malah Dharma itulah orang yang sudah
berhasil mendapatkan kacamata tersebut."
Baru saja Awang ingin menuju ke tempat kostnya Farok, tiba-tiba muncullah Badri
dengan mengendarai
sepeda motor milik temannya. Badri tampak tergesa-gesa dan wajahnya kelihatan
tegang. "Aku melihat Farok jalan-jalan di mall pakai kacamata itu!"
"Yakin kau kalau itu kacamata kakekku?"
"Yakin. Aku melihatnya dengan jelas dari dalam bus kot;i. Ia menggandeng dua
cewek cantik, kayaknya sih anak-anak teknik sipil, teman-temannya Resti!"
"Yuk, kita kejar dia! Sudah lama apa baru saja?"
"Belum ada sepuluh menit. Makanya aku kesini bawa motornya teman!" jawab Badri
berapi-api. Dari pukul lima sore sampai pukul sembilan malam, Awang dan Badri mencari Farok.
Mereka gagal. Tapi suatu kepastian sudah ada. Apa yang dikatakan Dharma itu memang benar.
Awang percaya. Cuma masalahnya sekarang, ke mana si Farok itu" Di tempat kostnya
tidak ada. Sampai-sampai Awang berkata kepada Badri, "Elu jaga aja di sini.
Tunggu sampai dia pulang!
Aku mau cari dia ke beberapa tempat."
Cara itu digunakan. Namun masih gagal juga.
Penasaran Awang dibuatnya. Maka makin nekatlah Awang. Nongkrong dia di jalanan
depan kost-kostannya Farok.
"Gue tongkrongin dia sampai pagi pun jadi!" katanya.
"Wah, kayaknya gue sih nggak kuat kalau harus begadang sampai pagi," kata Badri.
"Ya udah. Elu pulang aja!"
Pukul dua belas malam, Badri pulang. Tapi pukul dua malam itu jugn Badri kembali
lagi menemui Awang di tempat tongkrongannya. Rupanya Badri hanya
mengambil jaket dan beberapa makanan dibelinya.
"Aku nggak tega membiarkan kamu sendirian di sini,"
katanya. Awang hanya tersenyum tipis. Karena dalam benak Awang sudah bisa memahami apa
maksud Badri kembali lagi. Jelas ia masih ingin memiliki kacamata itu.
Setidaknya ia ingin jual jasa, sehingga nanti jika kacamata itu sudah diperoleh
Awang lagi, ia diizinkan menemui Anjar walau hanya sekali.
-o0o))((dw))((o0oKe mana Farok sebenarnya"
O, dia bermalam di sebuah hotel. Dia tidak sendirian tentunya. Mula-mula usul
pergi ke hotel adalah usulnya Erna. Mula-mula memang mereka pergi bersama Yosi
segala. Tapi sesampainya di hotel, Yosi dapat kenalan.
Cukong. Dia dibawa oleh Cukong itu ke hotel yang lain.
Sedangkan Erna tetap bersama Farok. Karena Farok pintar memikat hati gadis itu.
"Buka dong kacamatamu, masa' sudah ada di dalam kamar masih pakai kacamata
segala?" kata Erna.
Pikir punya pikir, benar juga. Toh kacamata itu hanya berfungsi untuk melihat
bentuk tubuh dan lekak-lekuk kesexyan Erna saja. Toh tanpa kacamata itu, gadis
bermata kecil itu sudah tergiur oleh cumbu rayu yang membuat hati berbungabunga" Memang tak ada masalah kalau sudah begitu. Farok melepas kacamatanya, lalu ia
mulai mencumbu Erna.
Dalam tempo beberapa saat, Erna sudah terkulai lemas di samping Farok. Erna
telah mendapatkan sebentuk kenikmatan yang tiada taranya, karena Farok memang
jago dalam melambungkan gairah cinta seorang wanita.
"Aku ke kamar mandi dulu, ya?" bisik Erna.
"He, he...!" Farok menjawab dengan malas- malasan, sebab ia cukup capek. Habis
mengadakan pelayaran cukup jauh.
Sewaktu Erna ada di kamar mandi, Farok mengenakan kacamata itu lagi. Karena
hatinya sangat bangga dan girang dapat memiliki kacamata tersebut. Ia ingin
nampang di depan cermin dengan memakai kacamata itu.
"Farok...!"
Tiba-tiba ada suara perempuan yang asing bagi Farok.
Suara itu ada di belakangnya. Farok segera berpaling.
"Hahhh..."!"
Mendelik mata Farok di balik kacamata hitam itu. Ia melihat kecantikan Dewi
Anjar Kusuma. Ia merasa melihat sosok bidadari yang punya wajah dan kesexyan
tubuh jauh dari yang dimiliki Erna. Ada sekitar lima helaan napas Farok
terbengong melompong dengan jantung berdetak-detak.
Anjar diam, berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Matanya yang indah itu
menatap Farok tanpa berkedip. Tajam.
"Kenapa kau mengkhianati aku, Farok?" kata Anjar.
"Ak... aku... aku...."
"Kau suamiku. Akulah ratu sekaligus istrimu yang wajib kau cumbu seperti halnya
kau mencumbu gadis itu.
Tapi kenapa kau justru memilih dia, Farok. Kesalahanmu membuat aku marah,
Farok." "Hmmmm... anu... ehhh." Tak sadar Farok melepas kacamatanya. Maksudnya mau
bersikap lebih sopan lagi.
Tetapi begitu kacamata dilepas, Dewi Anjar Kusuma hilang dari pandangan matanya.
Farok kebingungan, mencari ke sana-sini. Sementara itu, Erna masih berada di
kamar mandi. Farok menyempatkan diri keluar dari kamar dan mencari di luar kamar. Memandang
lurus koridor menuju pintu keluar. Tapi tak ada bayangan Ajar Kusuma di sana.
Farok jadi kecewa. Termenung ia sambil duduk di tepian ranjang. Hasrat hatinya
ingin bertemu dengan perempuan cantik tadi, tapi ia tak tahu bahwa kacamata yang
dipegangnya itulah yang bisa mengantarkan dirinya bertemu dengan Ratu Peri.
Gemas dan kesal hati Farok. Ia jadi gelisah. Berulang kali kakinya menghentakhentak ke lantai. Tangannya memukul-mukul pahanya sendiri.
"Sial! Kenapa dia cepat menghilang"!"
Bayangan wajah dan kecantikan Dewi Anjar Kusuma melekat di benak Farok. Wajah
Erna sudah tidak terpakai lagi oleh khayalannya. Bahkan sampai ia terbaring
tidur, yang muncul dalam mimpinya adalah wajah Dewi Anjar.
Farok benar-benar tidak menyadari kalau dirinya jadi tertidur.
Ketika ia bangun, jam tangannya menunjukkan pukul lima pagi. Pada saat itulah ia
baru teringat Erna.
Pakaian Erna masih ada di lantai. Tas kecilnya juga masih ada. Kacamata hitam
tetap ada di samping bantal.
Sepatunya Erna juga masih ada di tempat semula. Tapi ke mana Erna" Kenapa ia
tidak ada di ranjang itu"
"Jangan-jangan ia ketiduran di kamar mandi sejak semalam," pikir Farok. Maka, ia
pun membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci itu.
"Hahhhh..."!" Farok terpekik, badannya sampai terlonjak. Matanya mendelik
melihat Erna telah menjadi mayat, tergenang dalam bak mandi dengan mata
mendelik, mulut ternganga lebar. Lehernya menjadi biru.
Badannya melembung. Gemuk dan berwarna pucat kebiru-biruan.
"Gawat! Siapa yang membunuhnya"!" gumam Farok mulai panik. Ia pun segera
bergegas mengenakan pakaian lengkap, lalu keluar dari kamar. Ia cepat-cepat
meninggalkan hotel itu dengan mengendarai taksi, yang agaknya sudah lama ngetem
di depan hotel.
Tiba-tiba, di perjalanan sopir taksi berkata, "Sudah puas kamu, Farok...?"
"Lho... kok kamu tahu namaku. Bang" Siapa sih kamu...?"
-o0o))((dw))((o0o8 Orang banyak berkerumun di pinggir Jalan Arteri.
Taksi biru yang dikerumuni. Ada apa dengan taksi itu" O, ada mayat. Resti yang
mau pergi ke kampusnya terpaksa menyempatkan berhenti sebentar. Melongok.
Astaga..."! Farok..."!
Ya. Farok sudah menjadi mayat. Darah masih
membasah di sekitar jok, tempat mayat tergeletak. Masih hangat. Berarti masih
belum lama pembunuhan itu terjadi.
Leher mayat robek lebar. Terkuak. Sepertinya dibabat pakai clurit. Kain jok
amburadul, robek di sana-sini, menandakan ada perlawanan dari Farok saat sebelum
dibunuh. Paha Farok juga robek, sepertinya bekas sabetan ujung clurit. Arlojinya
masih utuh. Dompet dan uang tiga puluh lima ribu masih utuh di kantongnya.
Sepatu, cincin bermata ungu dari emas, juga masih utuh.
"Ini bukan perampokan," kata seorang lelaki berambut cepak, mungkin dia anggota
ABRI yang memakai pakaian preman.
Resti buru-buru kembali ke mobilnya. Ia
mengemudikan mobil itu dengan sedikit lebih cepat dari semula. Hatinya menggumam
lirih, "Memang bukan perampokan!"
Lalu, berita kematiah Farok pun segera
menggemparkan seluruh kampus. Berbondong- hondong mereka ke tempat kejadian.
Setiap mulut melontarkan pertanyaan yang sama, yaitu, "Siapa pembunuhnya?"
Awang segera diberi tahu. Resti yang mengabarinya.
Sebelum mayat dibawa dengan mobil ambulans milik kepolisian, Awang sempat
menyaksikan keadaan korban.
Badri ikut di belakang Awang, dan ia berbisik, "Pasti ada sesuatu yang diambil
dari padanya! Bukan sekadar dendam atau perkelahian biasa!"
"Ya, pasti!" bisik Awang.
Resti yang sejak tadi diam saja, memandangi taksi tersebut, tiba-tiba ia berkata
kepada Awang dan Badri,
"Sopir taksi itu kenal dengan Farok."
"Ya, mungkin begitu," ujar Badri.
Resti meyakinkan, "Pasti."
Kedua pemuda yang masih ngantuk karena begadang semalaman itu sekarang sama-sama
memandang Resti.
Gadis itu menambahkan kata, "Ini sudah direncanakan.
Sopir taksi itu palsu, bukan sopir yang sebenarnya membawa taksi itu."
"Dari mana kamu tahu hal itu?" tanya Badri.
"Ada sesuatu yang nggak bisa kujelaskan pada kalian,"
jawab Resti, sambil mundur beberapa langkah, memberikan tempat untuk petugas
penggotong mayat yang akan dipindahkan ke dalam mobil ambulans.
Mobil itu pun segera pergi, kerumunan massa mulai bubar. Hanya beberapa orang
yang masih melongok-longok taksi berlumur darah itu. Beberapa orang tersebut
termasuk Badri sendirian. Sedangkan Awang tetap berdiri di samping Resti. Resti
memandangi taksi itu seperti sedang menerawang.
Beberapa saat kemudian, Resti menghela napas.
Mengusap tengkuk kepalanya. Lalu, ia berkata dengan nada datar, "Keji sekali.
Setega itu dia."
"Siapa?" Awang memandang Resti dengan dahi sedikit berkerut.
"Si pembunuh itu," jawab Resti sambil melangkah.
Kejadian teisebut terjadi di wilayah barat. Awang ingat bahwa ia mempunyai
saudara sepupu, kakak sepupu yang menjadi komandan resort di wilayah tersebut.
Segera ia mengqjak Badri dan Resti untuk menemui Kapolres wilayah tersebut untuk
meminta keterangan tentang sopir taksi itu.
Keterangan yang diperoleh dari Polres setempat mengatakan, bahwa taksi itu
dikemudikan oleh sopir yang bernama Wisrun. Konon, Wisrun sudah empat tahun
bekerja di perusahaan taksi itu sebagai sopir.
"Apa kamu kenal siapa itu Wisrun?" tanya Badri kepada Awang.
Awang hanya angkat bahu, lalu menjawab, "Gue bukan sopir, mana punya kenalan
sopir taksi."
Resti bilang pada Awang, "Coba kau tanyakan kepada kakakmu itu, apakah Wisrun
sudah dihubungi?"
Sekali lagi mereka memperoleh keterangan, bahwa Wisrun sudah ditangkap dan sudah
diperiksa. Menurut pengakuan Wisrun, sejak pukul dua belas malam, taksinya
disewa oleh seorang teman. Dan tahu-tahu ia mendapat kabar bahwa taksinya
dijadikan alat pembunuhan. Ia sendiri terkejut. Sangat terkejut, dan ketakutan.
Resti diam saja saat mendengarkan penjelasan itu.
Namun beberapa saat kemudian ia berbisik, suaranya didengar Badri dan Awang,
"Penyewa taksi itu kenal
dengan kalian berdua...," kemudian Resti melangkah ke tempat parkir mobilnya. Ia
duduk di dalam mobil, menunggu Awang dan Badri masuk ke mobilnya juga.
Cukup lama ia menunggu, karena Badri dan Awang masih terlibat pembicaraan dengan
anak buah dari kakak sepupunya Awang itu.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua bergegas masuk ke dalam mobilnya Resti.
Baru saja duduk, Awang langsung nyeletuk, "Gila!"
Resti diam sjya. Sepertinya tidak tertarik untuk menanyakan sesuatu yang telah
diketahui Badri dan Awang.
"Benar kata kamu, Res...," kata Badri. "Penyewa taksi itu kenal dengan kami
berdua." Resti hanya tersenyum tipis.
"Gila. Benar-benar gila...! Gue nggak sangka kalau si Dharma tega berbuat sekeji
itu!" kata Awang sambil geleng-geleng kepala.
Ya. Dharma. Dialah pembunuh Farok. Bukan lantaran Farok membawa pergi Erna ke
sebuah hotel. Bukan karena itu. Tapi karena sebuah barang yang ingin direbut
Dharma dari Farok. Kacamata hitam!
-o0o))((dw))((o0oTanpa setahu Resti, Badri dan Awang sama-sama memburu Dharma. Ternyata, di
tempat kostnya, Dharma tidak ada. Biasa. Menghilang. Dan lagi-lagi Badri serta
Awang kehilangan jejak pembawa kacamata iblis itu.
Ke mana Dharma"
Sembunyi. Ya sembunyi di rumah tantenya. Di sana ia merasa aman. Badri dan Awang
belum pernah datang ke rumah itu. Dan di sana, Dharma bebas menggunakan kacamata
hitamnya. Jalan-jalan di Minggu pagi dengan memakai kacamata hitam, masih merupakan hal
yang wajar. Buat Dharma, saat seperti itu adalah saat yang baik, karena banyak
orang yang pulang dari melakukan olah raga jalan santai.
Tentu saja hal itu merupakan tontonan yang
mengasyikkan. Mereka melangkah tanpa busana, sehingga butir-butir keringat yang
membasahi tubuh mereka pada bagian tersembunyi pun bisa kelihatan oleh mata
Dharma. Girang sekali hati Dharma. Ia dapat melihat lekak-lekuk tubuh sesexy apa pun


Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa terhalang oleh selembar benang. Perasaan girangnya itu membuat ia cengarcengir sendiri, tersenyum-senyum seperti orang gila dengan mata memandang kian
kemari. Jika ada tubuh yang begitu indah dan memancing gairah, ia ikuti dengan
pandangan mata sampai pemilik tubuh indah itu membelok ke sebuah tikungan, atau
menghilang tertutup kendaraan.
Dharma sengaja duduk pada sebuah taman kota karena disitu banvak cewek-cewek
yang biasa melakukan jogging. Ada yang masih tampak muda, masih tampak kencang
dadanya, ada pula yang sudah 'STW' tapi masih tampak cantik dan menantang
dadanya. Semua itu merupakan pemandangan mendebarkan buat Dharma, karena ia
bermaksud memilih satu di antara mereka untuk dikejar.
"Hai...!"
Bukan Dharma yang menegur, melainkan seorang gadis yang menyapanya dari belakang
sambil menepuk punggung Dharma. Spontan Dharma berpaling
memandang gadis itu.
"Oh, kau..."!"
Nada itu walau pelan namun jelas menyentak kaget.
Matanya terbelalak, namun pikirannya kentara jika sedang dalam keraguan. Gadis
itu tersenyum, berdiri menatapnya, seakan membiarkan Dharma
memandanginya dengan sepuas hati.
"Lupa padaku?" tanya gadis itu.
Dharma berdiri dari duduknya. Pelan-pelan. Matanya tidak berkedip sedikit pun.
Mulutnya terbengong melompong, dadanya berdetak-detak karena denyut jantung yang
di atas kenormalan.
"Venna...?" gumam Dharma lirih sekali. Ragu. Tapi gadis itu menganggukkan kepala
sambil masih menyunggingkan senyum yang ceria. Tampak senang bertemu dengan
Dharma. "Ya, aku Venna."
Sekarang justru kepala Dharma menggeleng-geleng pelan sambil mulutnya berkata,
"Tidak... tidak...
mungkin...." Ia mulai melangkah mundur satu kali.
"Aku Venna, Dharma. Lihatlah baik-baik," gadis itu sedikit merentangkan kedua
tangannya, seakan membuka kesempatan agar Dharma bisa menatapnya sampai pada
bagian yang detil.
Segera ingatan Dharma melayang ke masa tiga tahun yang lalu. Ia mengenal gadis
manis bernama Venna pada
saat tinggal di rumah Tante Yan. Belum berprofesi sebagai ilustrator sebuah
majalah. Ia masih mahasiswa hijau, masih baru getol-getolnya ke kampus, dan
Venna pun demikian.
Venna tinggal di seberang rumah Tante Yan. Dia juga keponakan dari pemilik rumah
seberang itu. Pada awalnya Venna adalah gadis pemalu. Namun semenjak ia mengenal
Dharma, sifat malunya bisa hilang. Venna tumbuh menjadi gadis ceria. Ia semakin
dekat dengan Dharma setelah oomnya meninggal dunia.
Hubungan mereka makin lama semakin akrab dan bertambah berani. Dharma dulu yang
menyatakan dirinya jatuh cinta kepada Venna. Lalu, Venna pun tidak bertepuk
sebelah tangan, ia membalas cinta Dharma.
Dan cinta mereka pun mulai bermekaran. Berjalan sampai lima bulan, Venna semakin
bertambah percaya kepada Dharma, bahwa pemuda itu sangat mencintainya.
Akhirnya, pada suatu malam, ketika Tante Yan pergi sekeluarga ke luar kota,
Venna datang ke rumah tersebut. Dan terjadilah sesuatu yang menjadi puncak
kemesraan mereka. Terbuailah Venna ke alam rayuan Dharma yang indah dan menawan
itu, sampai akhirnya gadis itu pasrah. Rela menyerahkan kesuciannya.
"Kau benar-benar berani bertanggung jawab jika sampai aku hamil, Dharma?"
"Kenapa tidak" Sekarang pun kita kawin aku berani,"
jawab Dharma kala itu.
"Jangan sekarang dong. Tunggu kuliah kita selesai dulu...!"
Idealnya memang begitu. Tetapi, keintiman demi keintiman itu mulai mengalami
keretakan. Biasa. Hati seorang pemuda yang sudah memperoleh bunga cinta biasanya
mudah tergoda. Satu-satunya penggoda hubungan kasih mereka adalah dengan
kemunculannya Nenni.
Sejak ada acara pentas musik di kampusnya, Dharma mulai mengenal Nenni, seorang
mahasiswi fakultas sastra yang berasal dari Manado. Memang cantik yang namanya
Nenni itu. Venna kalah cantik juga kalah sexy.
Dharma tidak bisa menghindari kerlingan mata Nenni.
Tidak juga bisa menghindari senyuman Nenni. Akhirnya, Dharma pun jatuh cinta
pada Nenni. Padahal Nenni tahu bahwa Dharma sudah punya pacar yang namanya
Venna. Namun sepertinya Nenni sengaja mau bikin kacau hubungan mereka. Bahkan
Nenni pernah melabrak Venna, datang ke kampusnya Venna dan nyap-nyap di sana.
Menuduh Venna telah merebut kekasihnya. Nenni sempat pula mengancam Venna akan
membunuh jika ia memergoki Venna masih jalan berduaan dengan Dharma.Tentu saja
hal itu membuat hati Venna hancur.
Hancur berkeping-keping. Hubungan yang sudah seperti suami-istri itu menjadi
retak total. Boleh dikata, putus!
Ya. Memang itu jalan terbaik bagi Venna. Karena pada waktu Dharma ditantang
Venna, "Sebenarnya kau berat mana sih" Berat aku atau berat Nenni?"
Dengan tanpa perasaan Dharma menjawab, "Aku berat kalau kehilangan Nenni...."
Itulah saatnya Venna tersambar petir gendang telinganya. Tangisnya tak kunjung
reda. Hatinya sudah menjadi serpihan-serpihan kaca yang tajam dan amat
perih. Goresan hati itu menciptakan luka yang tiada obatnya. Apalagi sejak saat
itu Dharma jarang menyapa Venna. Kadang-kadang Dharma seperti sengaja pamer di
depan Venna bahwa ia bisa lebih mesra bersama Nenni.
Karena itu, sebulan sejak putusnya hubungan cinta Venna dengan Dharma, gadis itu
menghilang. Pergi sampai tiga hari. Oom dan tantenya mencari ke mana-mana tidak
berhasil. Tahu-tahu ada berita yang datang dari pihak kepolisian, bahwa Venna
telah ditemukan dalam keadaan telah menjadi mayat. Ia gantung diri di sebuah
pohon yang ada di tanah pekuburan, jauh dari rumahnya.
Dharma terkejut mendengar kabar itu. Ada perasaan berdosa. Ada warna-warna sesal
di wajahnya. Duka pun ada pada dirinya. Namun selalu saja semua itu bisa dihapus
oleh kemunculan Nenni. Dharma terhibur oleh kemesraan Nenni, sehingga ia tidak
terlalu berlarut-larut dalam menghadapi duka atas kematian Venna.
Tiga bulan kemudian, Dharma putus dengan Nenni.
Entah masalah apa, yang jelas Dharma jadi teringat percintaannya dengan Venna.
Hampir seminggu sekali ia datang menengok kuburan Venna. Namun, ia pun segera
menyadari bahwa penyesalan di belakang hari adalah pekerjaan yang sia-sia. Lalu,
ia bangkitkan sendiri gairah hidupnya sampai sekarang.
"Kau terkenang masa lalu, Ma?" tegur Venna, dan Dharma pun menggeragap. Mulai
sadar bahwa saat itu ia sedang memakai kacamata hitam dan melihat Venna dalam
kondisi tanpa busana.
Gadis itu mendekat. Masih semanis dulu. Ia mencubit pipi Dharma, seperti
kebiasaannya dulu. Dharma masih
Wanita Gagah Perkasa 9 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Pendekar Pengejar Nyawa 1

Cari Blog Ini