Ceritasilat Novel Online

Sang Petaka 1

Gento Guyon 21 Sang Petaka Bagian 1


1 Di atas gubuk yang sudah tidak terpakai,
pemuda gondrong bertelanjang dada itu sandarkan punggungnya pada salah satu dari empat
tiang penyangga gubuk. Dari atas ketinggian gubuk si gondrong yang bukan lain adalah Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon ini seharusnya dapat melihat keindahan matahari yang hampir tenggelam
di balik bukit. Tapi segala keindahan alam yang
terdapat di sekitar tanah persawahan ini nampaknya tidak menarik perhatian sang pendekar
karena saat itu justru dia memejamkan matanya,
mengatur jalan nafas dan aliran darah di sekujur tubuhnya yang sempat menjadi
kacau akibat pukulan yang dilepaskan seorang nenek angker bernama Nyi Ronggeng, setelah sebelumnya nenek
itu mendorong dirinya ke dalam lubang kubur.
Kini kesehatan Gento mulai pulih sebagaimana sediakala. Walau Gento harus mengakui
kepalanya terkadang masih terasa sakit akibat
terlalu banyak menghirup uap racun yang ditaburkan nenek di liang kubur. Lebih kurang sepenanakan nasi lamanya Gento memulihkan tenaga
dalam dan juga mengembalikan keseimbangan
tubuhnya, beberapa saat kemudian murid kakek
aneh dan gunung Merbabu itu pun membuka matanya. Mula-mula sang pendekar mencium
adanya bau harum ikan bakar. Bau begitu menusuk membuat perutnya menjadi lapar. Gento julurkan kepala ke arah pintu gubuk yang terbuka.
Di bawah tangga gubuk dilihatnya gadis cantik
berkulit putih yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi alias Puteri Kupu Kupu
Putih nampak sibuk
membolak-balik ikan yang hampir matang di atas
panggangan. "Matahari belum lagi tenggelam, tapi setelah mencium bau ikan bakar itu mendadak perutku seperti digelitik. Pelangi, berapa lama lagikah aku harus menunggu?" tanya
pemuda itu. Membuat wajah si gadis bersemu merah namun
jauh dilubuk hatinya senang karena Gento yang
berhasil ditolongnya dari liang kubur ternyata sekarang sepertinya sudah pulih
sebagaimana sediakala. Cepat sang darah menoleh, dengan tatapan
mata berseri-seri penuh sejuta makna gadis ini
berkata. "Aih, Gento rupanya kau sudah sangat lapar. Tapi harap kau mau
bersabar. Sebentar la-gi ikan ini baru matang." ujar gadis itu dengan nada penuh
kemanjaan. "Yang matang tidak ada, setengah matang
pun bolehlah. Atau mungkin aku merasa perlu
untuk membantumu?"
"Jangan, sebaiknya kau duduk di situ saja.
Kau membutuhkan istirahat yang cukup untuk
menyembuhkan luka dalammu." ujar sang darah penuh perhatian.
Mendengar ucapan Mutiara Pelangi Gento
tersenyum. Dia lalu bangkit berdiri, kemudian
berjalan menuruni anak tangga setelah itu berjongkok pula di belakang si gadis. Sejenak lamanya Gento menatap Mutiara Pelangi. Yang dipandang tersipu malu, pura-pura menyibukkan
diri sambil tangan kirinya membolak-balik ikan
panggang yang dibakar diatas bara api.
Ketika jemari tangan si gondrong menyentuh lengannya, sang dara diam-diam merasakan
debaran jantungnya berdetak lebih keras. Hati
Mutiara Pelangi terasa berbunga-bunga. Sentuhan yang sekilas itu menimbulkan sejuta keindahan sekaligus kesan yang sangat sukar dilukiskan dengan kata-kata.
"Pelangi, kau telah menolongku. Budi kebaikanmu tak dapat kulupakan. Jika bukan karena pertolonganmu mungkin aku sudah mati di
dalam liang kubur itu!" kata Gento penuh rasa terima kasih dan haru.
Untuk pertama kali Pelangi memberanikan
diri memandang Gento. Namun ketika mata mereka saling bersitatap, sang dara kembali palingkan wajahnya ke arah lain.
Pelangi merasa betapa polos dan jujurnya Gento ketika mengucapkan
kata-kata itu. Sepolos tatap mata di balik wajahnya yang tampan.
"Kau tak usah bicara seperti itu, Gento.
Apa yang aku lakukan tidak seberapa bila dibanding dengan pertolongan yang pernah kau berikan
pada keluarga pamanku Karma Sudira." ujar sang dara. Sambil berkata pula Pelangi
sodorkan ikan bakar besar yang sudah masak pada Gento. "Ma-kanlah...!" katanya lagi penuh
ketulusan. "Ha ha ha. Kau amat baik, Pelangi. Aku belum pernah punya sahabat sebaik dirimu. Tapi
rasanya tidak adil jika aku yang tidak berbuat
apa-apa menikmati hasil jerih payahmu. Padahal
kau sendiri belum mencicipi ikan yang lezat ini
sama sekali!"
"Gento, mengapa sungkan. Untuk kesembuhanmu aku bersedia melakukan apa saja. Terus-terang aku sangat mengkhawatirkan keselamatanmu!" "Hmm, aku tidak menampik kebaikan setiap orang. Apalagi gadis secantik dirimu!" kata Si pemuda sambil melahap ikan
yang diberikan kepadanya.
Melihat ini Pelangi merasa senang. Pertama
senang karena melihat Gento telah pulih dari luka-luka yang dia derita sedangkan yang ke dua
senang karena hubungan diantara mereka kini
terjalin semakin akrab. Sejenak kemudian keheningan menyelimuti suasana di sekeliling pondok.
Gadis dan pemuda itu melahap ikan yang masih
mengepulkan uap panas.
Tak lupa sambil mengunyah ikannya Pelangi ajukan pertanyaan. "Gento apakah kau masih berkeinginan melakukan
pengejaran terhadap
nenek cantik yang bernama Nyi Ronggeng itu?"
"Nyi Ronggeng bukan nenek, umurnya paling juga baru empat puluh tahun. Aku seperti
yang kau lihat kena ditipunya malah nyaris terbunuh akibat ketololanku sendiri. Menurutmu
apakah tidak aneh ada seorang perempuan memendam kebencian yang begitu mendalam pada
seorang laki-laki?"
Mendengar ucapan Gento sang dara terdiam. Tapi kemudian dia berkata. "Agaknya dia
punya masa lalu yang sangat menyakitkan. Bagaimana dan apa yang telah terjadi dengannya itu yang tidak kita tahu!"
"Kau benar. Dia punya pengalaman pahit
dengan laki-laki. Namun jika semua laki-laki
hendak dibunuhnya apa yang akan terjadi dengan
gadis yang belum punya suami. Sampai tua mereka tidak akan pernah kawin, sampai mati mereka tetap gigit jari karena tidak pernah merasakan betapa indahnya sorga dunia!
Ha ha ha!" kata sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
Mendengar ucapan Gento, wajah Pelangi
berubah memerah. Tapi sama sekali dia tidak merasa marah. Malah enak saja dia menimpali. "Perempuan itu agaknya mempunyai
gangguan inga- tan. Mungkin saja dia disakiti atau dikecewakan
oleh laki-laki yang disebutnya. Tapi jika karena kesalahan seorang laki-laki
harus ditanggung oleh mereka yang tak tahu apa-apa, itu tindakan gila
namanya." "Apa yang kau katakan memang benar.
Menurut pendapatku alangkah baiknya jika kita
melakukan penyelidikan. Nyi Ronggeng perempuan berbahaya, apalagi dia baru saja berhasil
mendapatkan ilmu Sesat Jiwa. Siapapun yang
menjadi sasarannya jika tidak memiliki ilmu serta tenaga dalam yang tinggi
tubuhnya jadi hangus,
hancur menjadi debu!"
"Dan kau masih beruntung karena pukulan Nyi Ronggeng tidak sampai membuatmu menjadi kepingan arang!" ujar Pelangi disertai kerlin-gan penuh arti.
"Ha ha ha. Aku mendapat untung dua kali.
Keuntungan pertama aku selamat dari pukulan
dahsyat Nyi Ronggeng. Sedangkan keuntungan
kedua yang menolong diriku adalah gadis secantik dirimu."
Kembali gadis itu tersipu. Ucapan Gento
yang polos paling tidak menimbulkan kesan yang
begitu dalam di hati sang dara. Dan untuk yang
kesekian kalinya pula Pelangi mencuri pandang
ke arah si pemuda gagah. Gento kedipkan matanya. Ah, sungguh kedipan mata itu membuat
hati Pelangi diliputi kegelisahan.
Dan kedamaian serta keindahan yang terjadi di tempat itu nampaknya tidak berlangsung
lama karena sekejap kemudian mereka dikejutkan dengan terdengarnya suara gelak tawa seseorang. Gento Guyon melengak kaget, dia bangkit
berdiri dengan masih menggigit ikan panggang di
mulutnya. Sebaliknya sang dara bertindak lebih
cepat. Menyadari Gento baru saja sembuh dari
luka dalam yang dia derita gadis inipun bersikap melindungi dengan berdiri di
hadapan pemuda itu. Baik si gadis maupun Gento sama memandang ke arah terdengarnya suara tawa, tapi betapa kagetnya mereka karena orang yang tertawa
sama sekali tak terlihat. Malah kini mereka mendengar suara tawa itu seakan datang dari segenap penjuru arah.
"Orang itu agaknya memiliki ilmu memindahkan suara, Gento. Di rimba persilatan orang
yang memiliki ilmu seperti itu dapat dihitung
dengan jari. Agaknya kita perlu bersikap waspada!" kata sang dara dengan suara perlahan.
Gento Guyon tersenyum. Dia memutar tubuh, lalu memperhatikan suasana disekelilingnya. Setelah itu Gento tertawa membahak. Di
tengah-tengah suara tawanya pula dia berkata.
"Segala ilmu memindah suara kau pamerkan di hadapanku. Wahai orang yang tertawa
menjelang malam buta. Jika sedang berbahagia mengapa tidak mau berbagi suka denganku. Datanglah ke
mari. Kita bisa tertawa bersama, sementara sambil tertawa kau bisa menikmati sisa tulang ikan
bakar ini. Ha ha ha!"
Suara tawa mendadak lenyap. Sesaat suasana di sekeliling pondok di tengah persawahan
yang terletak di kaki bukit itu berubah sunyi.
Kemudian terdengar ada satu suara berkata.
"Memang asyik bercinta di keremangan malam
sambil menikmati ikan panggang. Namun sungguh kusesalkan kasih yang terpadu agaknya harus diteruskan di alam roh."
Gento dan Pelangi saling berpandangan.
Sementara itu di atas langit suasana dalam keadaan terang benderang karena pada saat itu bulan sudah munculkan diri memancarkan cahayanya yang kuning kemilau.
"Gento, perasaanku mengapa jadi tidak
enak begini?" bisik sang dara gelisah.
"Tenang saja. Yang datang cuma hantu kesasar yang tidak berani menampakkan diri. Mengapa harus takut?" sahut si pemuda dengan suara perlahan pula.
"Bukannya aku takut. Aku hanya
mengkhawatirkan dirimu!" ucap Pelangi sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ah, mengapa dia begitu risau akan keselamatanku" Apakah mungkin dia..."!" Gento
membatin lalu mengusap wajahnya. Setelah itu
dengan sikap tenang pula dia berteriak. "Orang yang bicara, dirimu hantu atau
malaikat" Jika
kau malaikat harap dapat mengirim roh kami ke
surga. Terus-terang jika aku dan kekasihku ini tetap berada di sini aku takut
banyak orang yang
merasa iri melihat kebahagiaan kami. Salah satu
diantaranya adalah dirimu itu."
Apa yang dikatakan Gento sempat membuat perasaan Pelangi jadi terbuai. 'Kekasih',
hanya sepatah kata yang diucapkan Gento secara
bercanda. Namun Pelangi menanggapinya lain.
Benarkah pemuda segagah Gento suka padanya"
Pertanyaan itu sempat membuat hati sang dara
jadi gelisah. Akan tetapi sang dara tidak lama
tenggelam dalam perasaannya sendiri karena pada saat itu terdengar jawaban disertai berkelebatnya satu sosok bayangan ke arah
mereka. "Siapa aku bukan suatu yang harus dipersoalkan. Yang harus kalian ingat kematian akan
mencerai beraikan impian dan segala harapan! Ha
ha ha!" Begitu suara keras menggelegar itu lenyap, tak jauh di depan mereka
berdiri tegak satu sosok berpakaian hitam bertelanjang kaki. Yang membuat Gento
maupun si gadis jadi terkejut, sosok
yang berdiri tak jauh di depan mereka bukannya
sosok angker mengerikan sebagaimana yang mereka bayangkan, melainkan hanya seorang pemuda berusia sekitar lima belas tahun berwajah polos dengan tatapan mata hampa seperti orang
yang terbuai dalam lamunan.
2 Pemuda itu terkesan begitu bersahaja, tidak jauh berbeda dengan pemuda sebagaimana
umumnya. Tapi ada sesuatu yang terasa lain, di
bawah kedua alisnya yang hitam lebat, sepasang


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata pemuda itu seakan menyimpan pijaran cahaya yang setiap saat siap menghanguskan apa
saja. "Pelangi kau lihat, ada yang aneh dalam di-ri pemuda ini. Dia hadir di
depan kita, tapi kurasa fikirannya menerawang entah kemana"!" ujar
Gento. "Ya, aku melihatnya." sahut Pelangi. Gadis itu kemudian melangkah maju.
Setelah jarak diantara mereka hanya tinggal dua tombak Pelangi
hentikan langkah sambil ajukan pertanyaan. "Bocah ingusan, kami tidak
mengundangmu datang
kemari. Lalu, kau hadir begitu saja dan mengatakan hendak mencabut nyawa kami. Tindakan itu
tak mungkin kau lakukan jika kau tidak mempunyai urusan tertentu dengan kami!"
"Hei, mana bisa begitu. Aku sama sekali tidak kenal dengan bocah mata binyawak ini, bagaimana di antara kita bisa tersangkut segala
urusan konyol?" kata sang pendekar memprotes.
Pemuda belasan tahun itu delikkan matanya, mulut menyeringai. Kemudian dari mulutnya terdengar suara tawa.
"Kau benar gondrong. Diantara kita memang belum pernah bertemu sebelumnya. Kau
juga benar, tidak ada silang sengketa diantara ki-ta. Karena itu kalian dengar
baik-baik. Aku hanya bisa mengampuni kalian bila kau dan gadis kekasihmu itu mau
melakukan sesuatu untukku!"
Gento melongo. "Kau bocah ingusan siapakah dirimu" Bicara seenaknya sendiri seperti seorang pangeran cilik yang memberi
perintah pada pengawalnya. Kau mengatakan kami sepasang
kekasih. Apakah kau lihat kami sedang berkasihkasihan" Padahal yang kami lakukan sejak tadi
cuma makan ikan sambil cari kutu. Ha ha ha!"
"Gento, bicara jangan ngaco." hardik Pelangi sambil menoleh ke belakang dan
delikkan ma- tanya. Dalam kesempatan itu si pemuda menjawab. "Aku Kerabat Melamun, putera Sesepuh Tua dan Kerabat Perempuan. Beberapa
waktu yang la-lu seorang kakek tua telah membunuh ayahku
Sesepuh Tua juga kakakku Kerabat Menangis.
Aku tidak perduli apakah kalian sepasang kekasih atau cuma sepasang setan kesasar. Yang jelas kau dan gadis itu harus bisa
membantuku mencari pembunuh orang tua dan saudaraku!"
Mendengar penjelasan pemuda berpakaian
hitam itu, Pelangi kerutkan keningnya, sedangkan Gento Tertawa membahak. "Oh,
rupanya kau tu-runan para kerabat. Satu julukan yang aneh. Kalau boleh aku mengenalkan diri. Aku kerabat bapak ibuku, gadis ini kerabatnya si pulan. Jadi ki-ta masih sama-sama memiliki
hubungan kerabat.
Sesama kerabat tidak boleh memerintah seenak
sendiri. Terkecuali minta tolong, tapi rasanya aku dan gadis ini tidak mau
menolongmu. Terkecuali
kau mengatakan siapa orang yang kau cari itu?"
ujar Gento kemudian.
Pemuda belasan tahun itu tidak langsung
menjawab. Dia diam sesaat dada di balik pakaian
hitamnya bergetar, nafas memburu tersengal pertanda Kerabat Melamun sedang berusaha menekan gejolak batin yang mendera perasaannya.
Tak lama setelah dapat meredakan perasaannya Kerabat Melamun dongakkan wajahnya.
Sepasang matanya yang menerawang kosong
memandang ke langit, menatap ke arah bulan
bundar dengan cahayanya yang indah. Setelah itu
dia berkata. "Aku inginkan orang yang bergelar Tabib Setan!"
Ketika mendengar julukan yang dikatakan
Kerabat Melamun, Pelangi tidak menunjukkan
ekpresi apa-apa, karena dia memang tidak mengenal nama atau julukan itu. Lain lagi halnya
dengan sang pendekar. Mendengar Tabib Setan
disebut Kerabat Melamun dia berjingkrak kaget.
Wajah pemuda itu sempat berubah, mata terbelalak mulut ternganga. Tapi tentu saja semua ini tidak sempat terlihat oleh
Pelangi karena gadis itu
memunggunginya.
"Celaka! Tabib Setan, bagaimana bisa sampai kelayapan di tempat ini. Terakhir bertemu
denganku dia mengatakan hendak mencari saudaranya, Sesat Timur, Sesat Barat dan Sesat Utara. Hmm, mengapa urusan jadi runyam begitu.
Tabib Setan kuakui adalah seorang tabib sesat.
Tapi setelah bertemu denganku untuk yang kesekian kalinya, segala tindak tanduk dan semua
perbuatannya telah berubah. Bahkan dia menurunkan beberapa ilmu serta pukulan hebat juga
memberiku senjata sakti Penggada Bumi. Tabib
Setan kuyakini tidak mungkin menjatuhkan tangan jahat tanpa alasan yang kuat untuk melakukan semua itu." batin Gento.
"Gondrong, kulihat wajahmu berubah, mukamu pucat, matamu mendelik. Apakah ini berarti kau memang mengenal orang yang kucari?"
hardik Kerabat Melamun.
Belum lagi sang pendekar sempat memberi
jawaban, Pelangi sudah menoleh ke arahnya
sambil bertanya. "Kau mengenal kakek itu Gen-to?" Pertanyaan itu bukan hanya
sekedar pertanyaan biasa. Tapi suatu rasa ingin tahu yang
mengandung kecemasan di hati Pelangi.
Sebaliknya dengan suara lantang dan sambil tertawa Gento menjawab. "Jika Tabib Setan orang yang kau maksudkan. Aku
bukan hanya sekedar mengenalnya, aku bahkan pernah hidup
dalam suka dan derita dalam asuhannya. Nah,
kau sudah tahu. Sekarang terserah dirimu, apakah kau tetap menyuruhku untuk menangkapnya
atau bagaimana?"
"Gento, mengapa kau bicara terus terang
begitu?" tanya Pelangi dengan suara perlahan sekali. "Tenanglah, sesekali dia
memang perlu di-ajar adat agar tahu tata krama dan bagaimana
seharusnya bersikap terhadap orang yang lebih
tuaan." sahut Gento tenang.
Mendengar penjelasan Pendekar Sakti 71
Gento Guyon wajah polos pemuda itu sontak berubah. Bahkan tatap mukanya yang menerawang
kosong kini nampak bengis, mencorong tajam
memancarkan cahaya dendam kesumat dalam
kebencian membara.
"Tak kusangka aku telah datang pada
orang yang salah. Orang yang seharusnya kusingkirkan malah kumintai pertolongannya, itu
adalah suatu kekeliruan. Kubatalkan niatku semula, sekarang bagimu tidak ada jalan selamat
terkecuali mati!" dengus Kerabat Melamun.
"Oalah, sengsara amat hidup ini. Yang
membunuh kerabatmu adalah Tabib Setan, bukan aku atau gadis ini. Mengapa sekarang kami
yang harus menanggung akibatnya?" Dia bertanya begitu, tapi mulutnya tersenyum mengejek.
"Setiap orang yang punya hubungan dengan Tabib Setan, memang telah ditakdirkan mati
untuk menebus dosa orang tua itu.'"
"Kerabat Melamun. Pemuda ingusan sepertimu bicara sesuka hati, apa kau mengira akan
mudah melakukan semua apa yang kau inginkan
itu" Jika kau berani mengganggu Gento apalagi
membuat gugur rambutnya barang selembar, selamanya aku akan mencarimu. Kau tidak bakal
hidup tenteram karena aku akan tetap memburumu!" kata Pelangi.
Kerabat Melamun tersenyum sinis. "Kau
terlalu meremehkan aku, karena kau tidak kenal
siapa aku yang sebenarnya!" sahut Kerabat Melamun. Habis berkata begitu Kerabat
Melamun melompat ke depan, dua tangannya menyambar
ganas ke arah wajah dan bagian perut Pelangi.
Serangan yang tidak terduga datang begitu cepat.
Namun dengan mudah si gadis dapat menghindarinya setelah melompat mundur ke belakang. Malah kini dia melakukan serangan balik dengan
melepaskan tendangan beruntun ke beberapa bagian tubuh pemuda itu.
Tendangan yang demikian cepat masih dapat dihindari oleh Kerabat Melamun, namun Pelangi memutar tubuhnya, lakukan satu lompatan
setinggi setengah tombak lalu lancarkan tendangan kilat ke wajah Kerabat Melamun. Nampaknya
pemuda ini sudah tak mampu menghindar atau
berkelit dari serangan Pelangi.
Duuuuuk! Tendangan keras membuat pemuda belasan tahun ini jatuh terjajar, dagunya terasa sakit luar biasa sedangkan tulang
lehernya seperti patah. Hebatnya lagi dengan cepat dia bangkit, seakan tidak
menghiraukan rasa sakit dikepalanya
yang serasa mau meledak. Tiba-tiba saja Kerabat
Melamun berteriak keras. Pada saat itu Pelangi
telah menyerbu ke arahnya dengan kecepatan
luar biasa sambil melepaskan serangkaian serangan beruntun ke arah Kerabat Melamun. Mendapat serangan gencar begitu rupa dan datang bagai curahan anak panah, pemuda itu
nampak terdesak hebat. Dia hanya dapat menangkis, menghindar atau mementahkan serangan lawan, namun
tak mampu melakukan serangan balasan. Satu
kesempatan begitu Kerabat Melamun berkelit ke
samping, dari arah sebelah kiri tangan Pelangi
menghantam tulang rusuknya.
Buuuuk! Hantaman yang cukup telak membuat pemuda itu terjajar. Gento yang terus melihat jalannya perkelahian langsung
menyeletuk. "Ternyata kau hanya pemuda besar mulut sama kentut. Bagaimana kau
dapat bertarung dengan benar, usia
baru seumur jagung, buang ingus masih belum
becus dan kencing pun masih belum lempang!
Masih bagus kau duduk di bawah pohon duduk
melamun sambil memandang bulan. Coba kau
renungkan bulan bundar bagus begitu yang
menggantungkannya ke langit siapa?"
Kerabat Melamun sama sekali tak menjawab, bibirnya terkatup. Tapi diluar dugaan sesua-tu yang mengerikan terjadi.
Ketika Pelangi menyerang dengan menggunakan pedang kembar pendeknya. Pada saat itu pula Pelangi menjerit.
Dua pedang ditangan terpental lepas, meleleh bagaikan perak yang mendidih, sedangkan
tangannya melepuh. Dalam kagetnya Pelangi melompat mundur, lalu memandang ke depan dimana lawan berdiri tegak disitu. Rasa kaget dihati
Pelangi makin bertambah besar ketika dia melihat bagaimana sepasang mata Kerabat
Melamun kini telah berubah putih total secara keseluruhan.
Dan mata yang memutih itu memancarkan cahaya putih berkilauan menyilaukan mata.
Gento sendiri walaupun sempat kaget melihat perubahan mata lawan yang sungguh aneh
menggidikkan itu, namun rasa kejut itu hanya
berlangsung sesaat saja. Kejab kemudian Gento
tertawa. "Pelangi, lihatlah! Nampaknya dia hendak
meminjamkan suluh pada kita. Dalam malam begini, bagaimana kalau kita copot matanya. Dengan menggunakan mata itu kita bisa melanjutkan
perjalanan! Ha ha ha!"
"Gento, pemuda itu sangat berbahaya. Kau
lihat kekuatan matanya membuat kedua pedangku jadi leleh. Hendaknya kau memikirkan semua
itu!" Pelangi berteriak memberi ingat.
"Kalau begitu kau mundurlah!" sahut Gen-to. Dia melangkah lebih mendekati
Pelangi. Tapi nampaknya Kerabat Melamun sudah tidak memberikan kesempatan lagi bagi lawannya. Terbukti
dia cepat gelengkan kepala. Begitu kepala digelengkan, Pelangi melihat ada suatu pancaran
yang memukau perhatiannya keluar dari mata
Kerabat Melamun. Sang dara tertegun, justru pada waktu bersamaan dari sepasang mata si pemuda melesat dua larik sinar maut. Kedua sinar
maut itu satu mengarah ke bagian dada tepat
searah dengan jantung, sedangkan satunya lagi
menghantam batok kepala tepat di bagian kening.
"Pelangi awas!" teriak Gento ketika melihat dua cahaya seterang matahari siap
menghajar tubuh Pelangi.
Teriakan itu membuat sang Pendekar tersentak. Mukanya menjadi pucat ketika melihat
dua sinar maut sudah berada sejengkal di depannya. Sekejap lagi dada dan kening si gadis berlubang hangus mengerikan diterjang
serangan la- wan. Pada saat itu pula Gento dari arah samping
mendorongnya dengan keras hingga membuat Pelangi terjungkal namun selamat dari hantaman
sinar. Dua sinar maut menghantam kaki pondok
yang terdapat dibelakang mereka membuat pondok berderak, rebah miring dan terbakar dikobari api. Walaupun si gadis
merasakan bahu kirinya
sakit bukan main akibat dorongan Gento yang keras, namun dia merasa bersyukur karena selamat
dari hantaman kedua sinar tadi.
Pelangi cepat duduk bersila, mengatur nafas dan mencoba melancarkan jalan darahnya
yang kacau. 3 Sementara itu tak jauh di depannya sana
di samping kiri Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
melihat segala apa yang terjadi leletkan lidah sedangkan mata terbelalak
memandang ke arah Kerabat Melamun penuh rasa tak percaya.


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gondrong aku inginkan nyawamu sekarang juga!" seru pemuda itu. Lalu serentak kepala
digelengkan ke kiri. Begitu kepala bergoyang, sepasang mata yang telah berwarna
putih dan me- mancarkan cahaya itu membersitkan cahaya terang menghanguskan dan melabrak Gento secara
susul menyusul. Mendapat serangan seperti itu
murid Gentong Tertawa itu dengan mengandalkan
kelincahan gerak serta ilmu mengentengi tubuhnya melesat ke udara. Selagi tubuhnya berjumpalitan di udara dia menghantam serangan sinar
yang membersit dari mata lawan dengan pukulan
Dewa Awan Mengejar Iblis. Begitu kedua tangan
didorong ke arah sinar putih yang meluncur deras ke arahnya, terjadilah satu
benturan yang sangat hebat hingga menimbulkan suara ledakan ber-dentum. Tanah
persawahan menjadi bergetar laksana dilanda gempa. Batu dan debu berpentalan
diudara, Kerabat Melamun nampak terhuyung.
Tapi dia sama sekali tidak terluka akibat bentrok pukulan dengan lawannya.
Pelangi, gadis yang selalu mengkhawatirkan keselamatan Gento, masih tegak di tempatnya dengan wajah pucat dan mata mencari-cari.
Gento ternyata lenyap dari pandangan. Selagi Kerabat Melamun sibuk mencari lawannya,
dia merasakan ada orang menepuk bagian tubuhnya dari belakang disertai suara orang berkata. "Aku belum menjadi arwah sebagaimana yang kau kehendaki. Kekuatan matamu
boleh juga, ta-pi seranganmu masih ngawur."
Laksana kilat dalam kagetnya pemuda remaja itu balikkan badan. Tapi baru setengah badan dia memutar tubuh satu pukulan menghantam bagian ubun-ubunnya.
Duuugh! Pukulan keras itu membuat kepala Kerabat
Melamun laksana mau meledak. Kedua kaki amblas ke dalam tanah sampai ke bagian mata kaki.
Pemuda itu menjerit kesakitan. Dia merasa mendadak tanah yang dipijaknya berputar lebih cepat.
Ternyata apa yang sedang terjadi pada dirinya
bukan membuat Kerabat Melamun jatuh kehilangan keseimbangan. Sebaliknya secara tak terduga
tubuh pemuda itu berputar. Seiring dengan berputarnya sosok Kerabat Melamun, dari kedua matanya melesat sinar putih yang menghantam ke
segenap penjuru arah.
"Gila, apa yang salah" Kupukul kepalanya
agar perlawanannya terhenti karena aku tidak tega mencidrainya. Tapi mengapa hasilnya jadi begini"!" batin Gento bingung. Lebih bingung lagi ketika melihat kini sinar mata
Kerabat Melamun
menghantam dan menghanguskan apa saja yang
terdapat di sekelilingnya. Melihat kenyataan ini melalui ilmu menyusupkan suara
Gento mengisi-ki Pelangi.
"Bocah ini terlalu sia-sia jika harus mati
muda. Aku tidak tega mencelakainya. Bagaimana
jika kau tinggalkan tempat ini secepatnya. Tak
jauh dari bukit itu di sebelah utara ada sebuah
kuil. Kau tunggulah aku disana. Aku akan melumpuhkannya dengan menotoknya. Cepat lakukan perintahku sebelum sinar mata Kerabat Melamun menghanguskan tubuhmu!"
"Gento, mana aku tega meninggalkanmu.
Aku khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap dirimu. Biarlah susah dan senang
kita tanggung bersama!" jawab Pelangi.
"Jangan bodoh. Dalam keadaan seperti ini
aku tak mungkin bertahan selamanya. Terkecuali
jika aku menghabisinya, persoalan menjadi lain.
Cepat pergi kataku! Jangan membantah, jangan
pula keras kepala!"
Wuuut! Set! Set! Kembali sinar putih menyilaukan menghantam Gento. Pemuda itu jatuhkan diri lalu bergulingan menghindari terjangan dua sinar panas
yang menghantamnya secara bersilangan.
Buum! Buuum! Dua sinar maut menghantam bagian rusuk
Gento. Tapi pemuda itu sudah melompat, bangkit
kemudian berkelebat mengitari lawannya. Sesaat
Kerabat Melamun jadi kebingungan. "Aku inginkan nyawamu, Gondrong!" lagi-lagi
Kerabat Melamun berteriak.
"Jika kau sanggup silahkan ambil sendiri,
jangan berteriak melulu!" sahut sang pendekar.
Sambil berkata begitu si pemuda bergerak mendekati lawan, sambil bergerak dia lancarkan serangan berupa hantaman ke bahu dan tenggorokan Kerabat Melamun. Serangan ini sebenarnya
hanya tipuan saja karena begitu lawan menghindar, kini tangan kirinya terjulur menghantam bagian punggung. Tes! Tes! Dua totokan yang bersarang di punggungnya membuat Kerabat Melamun tak mampu bergerak lagi. Dia juga tak kuasa menggerakkan kepalanya. Hingga secara praktis tak mampu lakukan serangan berbahaya pada Gento maupun Pelangi. "Manusia pengecut jahanam. Kau mengira aku menyerah begitu saja setelah
kau perlakukan seperti ini!" Kerabat Melamun keluarkan suara menggerung.
"Bocah ingusan, sudah dalam keadaan seperti itu masih juga kau bermulut besar!" dengus Gento sambil mengusapi wajah
lawannya yang basah bercucuran keringat.
"Ah Gento. Mengapa berlaku nekad seperti
orang gila. Bagaimana bila Kerabat Melamun
mampu membebaskan totokannya" Pemuda itu
nampaknya mempunyai ilmu di atas kewajaran!
Hemm, sekarang aku ingat. Tadi aku sempat terpengaruh oleh kekuatan sinar matanya. Mata itu
seperti menyimpan sirap yang cukup berbahaya.
Agaknya dia memiliki ilmu Sirap Pancaran Inti
Matahari. Jika benar berarti totokan Gento tidak memiliki arti apa-apa." batin
Pelangi. Ingat akan semua itu dengan wajah pucat sang dara berteriak memberi
ingat. "Gento Awas!"
"Hah, totokannya" Bagaimana dia bisa
membebaskan diri dari totokanku secepat itu!" teriak si pemuda yang mendadak
tubuhnya terlempar seperti dicampakkan. Pemuda itu jatuh terguling-guling. Kejut di hati Gento bukan alang kepalang.
Ketika dia merayap bangkit dan memandang ke
depan dilihatnya sosok Kerabat Melamun kini telah berubah sama sekali. Sekujur tubuhnya berubah memutih sebagaimana yang terjadi pada
matanya. Selain itu bagian tubuh si pemuda juga
memancarkan hawa panas menghanguskan,
hingga Gento yang berjarak tiga tombak dari lawan merasakan tubuhnya laksana dipanggang.
"Pelangi, apa yang terjadi pada anak binyawak ini?" tanya Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon. "Berhati-hatilah, Aku berani memastikan, pemuda itu memiliki ilmu Sirep
Pancaran Inti Matahari!" kata Pelangi mengingatkan. Walaupun begitu dia sendiri
sebenarnya merasa cemas memikirkan apa yang bakal terjadi. Tapi tak lama
kemudian terlintas sesuatu dalam benaknya, matanya pun mencari-cari.
Sementara itu Gento yang sudah bangkit
berdiri kini mendapat serangan bertubi-tubi dari Kerabat Melamun. Setiap
serangan yang dilancarkan oleh Kerabat Melamun tentu saja sangat berbahaya karena kini sekujur tubuh pemuda itu
seolah telah berubah menjadi api sehingga apapun yang menjadi sasarannya jadi terbakar. Mendapat serangan seperti ini Gento tak mau mengambil resiko dengan menyerang lawan dari jarak
dekat. Kini ketika dilihatnya lawan melesat ke
arahnya sambil kembangkan dua tangan dengan
gerakan merengkuh, pemuda ini melompat mundur. Dua tangan yang siap dengan pukulan Iblis
Ketawa Dewa Menangis dihantamkannya ke depan. Dua larik sinar pelangi menderu, hawa dingin laksana es menghampar memenuhi udara disekitarnya hingga membuat Pelangi yang saat itu
sedang mengisi kendi yang ditemukannya di sudut pondok terbakar menggigil kedinginan. Di depannya sana gerakan Kerabat Menangis nampak
tertahan. Tubuhnya bergetar, cahaya putih membakar yang memancar dari sekujur tubuh dan
matanya sempat surut.
"Jahanam, kau tak mungkin sanggup menahan dan menghentikan amarahku! Heaaah...!"
Sambil berteriak, pemuda itu lipat gandakan tenaga dalamnya. Tak lama kemudian tangan digerakkan kembali ke depan.
"Edan bagaimana dia mampu menembus
pertahananku!" rutuk sang pendekar di dalam ha-ti.
Lalu Gento dorongkan kembali kedua tangannya ke depan. Satu letupan hebat terjadi. Tubuh si gondrong tergetar, nafasnya terasa sesak sementara lawan tanpa dapat
dicegah lagi terus
bergerak mendekat ke arahnya sedang kedua tangan siap menyambar leher dan menghanguskan
dada Gento. "Aih, habislah sudah!" seru Gento tercekat.
Diapun rundukkan tubuhnya hindari serangan
lawan. Dalam keadaan seperti itu secara tak terduga kaki Kerabat Melamun bergerak ke atas
menghantam perut Gento. Jika sampai Gento terkena tendangan kaki lawan, perutnya bisa menjadi hangus gosong. Tapi dalam keadaan seperti
itu Pelangi yang berhasil mengisi kendi di tepian sawah telah melompat ke arah
Kerabat Melamun.
Semakin lama tubuhnya melambung di udara, ketika gadis itu tepat berada di atas Kerabat Melamun, kendi langsung
dipecahkannya. Air di dalam
kendi bermuncratan kemana-mana, sebagian besar membasahi sekujur tubuh Kerabat Melamun.
Ketika cairan itu mengenai tubuhnya terdengar
suara seperti besi membara yang dicelupkan ke
dalam air. Apa yang terjadi akibat air yang diguyurkan oleh Pelangi sungguh mengerikan. Kerabat
Melamun menjerit kesakitan. Tubuhnya mengepulkan asap tebal sedangkan bagian yang terkena
siraman air nampak melepuh di sana sini. Kerabat Melamun jatuh berkelojotan, sekujur tubuh
mengelupas sehingga terlihat dagingnya yang kemerahan. Kerabat Melamun terus meraung, namun
makin lama suara raungannya semakin bertambah perlahan. Seiring dengan itu pula gerakan
tubuhnya juga tampak melemah sampai akhirnya
pemuda belasan tahun itu diam tidak bergerakgerak lagi. Gento yang merasa tidak tega untuk menjatuhkan tangan keji pada pemuda belasan tahun
itu bangkit berdiri. Dia memandang ke arah Pelangi dan Kerabat Melamun silih berganti. Lalu
sang pendekar menarik nafas sambil gelengkan
kepalanya. "Apakah dia mati?" tanya Gento,
Sang dara menggeleng.
"Dia tidak sadarkan diri dalam waktu yang
lama." "Mengapa kau lakukan ini padanya" Bagaimana pula kau bisa tahu air tadi merupakan
kelemahannya?"
Pelangi tersenyum. Dia menatap ke arah
Gento sesaat, selanjutnya alihkan pandangannya
ke jurusan lain sambil berkata. "Guruku manusia misterius. Sampai sekarang aku
tidak tahu wajah
dan namanya. Dia banyak mengajarkan padaku
berbagai macam kelemahan ilmu orang, tapi sangat sedikit menurunkan ilmu saktinya padaku.
Aku terpaksa menyiramnya karena aku menyadari Kerabat Melamun sulit dihentikan jika sudah
berada dalam penerapan ilmu Sirep Pancaran Inti
Matahari. Dalam keadaan seperti itu seorang tokoh sakti sekalipun tak bakal sanggup menghadapinya. Terkecuali kita memiliki ilmu yang tahan terhadap kobaran cahaya
panas." menerangkan Pelangi.
"Hebat. Kau mengetahui berbagai kelemahan ilmu lawan, kau sebenarnya lebih beruntung
karena setiap berhadapan dengan musuh kau tak
perlu bersusah payah. Hanya dengan melumpuhkan ilmu lawan, mereka tidak dapat berkutik!" celetuk Gento.
"Ah, aku bukanlah apa-apa dibandingkan
dirimu. Kau seorang pendekar yang memiliki berbagai ilmu kesaktian. Kau punya pengalaman
luas. Sedangkan aku tidak memiliki kepandaian
apapun yang patut dibanggakan!" ujar Pelangi lu-gu.
"Ha ha ha. Kau pandai menyenangkan perasaan orang. Padahal jika kau mau, pasti kau
dapat menggembosi atau mencabut segala kesaktian yang kumiliki." kata Gento.
"Untuk seorang sahabat sebaik dirimu,
mana aku tega melakukannya. Sudahlah jangan
lagi kau persoalkan segala kepandaian picisan
yang aku miliki. Sebaiknya kita lanjutkan saja
perjalanan!"


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku setuju." sahut Gento.
Kemudian tanpa bicara apa-apa lagi kedua
muda mudi itu lanjutkan perjalanannya. Sementara tanpa mereka sadari sesosok bayangan yang
baru muncul di tempat itu diam-diam membayangi dari jarak yang tidak begitu jauh.
4 Kakek berpakaian putih berambut dan berjanggut putih panjang itu duduk sambil berkipaskipas di bawah rumpunan pohon bambu. Kedua
kaki di jelujurkan, sedangkan tak jauh disampingnya di ujung bambu pancing yang selalu dibawa kemana pun dia pergi tergantung binatang
langka yang daging dan darahnya dia yakini mengandung khasiat meningkatkan tenaga dalam serta penawar racun yang hebat. Binatang aneh yang
punggungnya dipenuhi sisik besar berwarna putih, berbulu putih, berbuntut panjang dan berkepala seperti kepala musang itu tidak hentinya me-ronta. Sesekali terdengar pula
suaranya yang aneh. Tapi si kakek yang bukan lain adalah Tabib Setan alias Tabib Sesat ini
bersikap acuh tak
acuh. "Bocah edan! Entah berada dimana dia sekarang. Sudah beberapa hari aku
mencarinya tapi
tidak ketemu," kata si kakek seorang diri. Dia terdiam beberapa saat lamanya,
kening berkerut
otak berfikir. Kemudian sang tabib menyeringai.
"Bocah itu kalau kupikirkan terus lama-lama aku bisa jadi gendeng. Dicari sudah,
terkadang tidak dicari datang sendiri! Ha ha ha!" kata si kakek disertai tawa.
Tawa Tabib Setan mendadak lenyap begitu
dia melihat satu sosok besar luar biasa berpakaian serba hitam berkelebat tidak jauh di depannya. "Eh, orang gendut besar tadi bukankah..."!" Sang tabib tidak teruskan ucapannya.
Wajah Tabib Setan sempat berubah, mulut ternganga sedangkan matanya berkedap-kedip. Ada
rasa jerih membayang di wajah orang tua ini.
"Mungkinkah dia" Jika benar dia adanya,
urusanku dengan Gento bisa jadi tidak aman"
Heran... walaupun kini aku telah berubah bahkan
telah menganggap Gento sebagai anak sendiri,
masih saja dia tak percaya padaku. Mungkin dia
selalu teringat tentang perlakuanku pada Gento
ketika bocah itu kecil dulu." gumam si kakek. Sekali lagi dia mengelus
jenggotnya yang panjang
sampai ke dada. "Mudah-mudahan dia tidak tahu aku berada di sini." kata si kakek
penuh harap. Tetapi segala apa yang diharapkan itu
agaknya menjadi sia-sia karena pada saat itu terlihat satu bayangan berkelebat
ke arahnya. Di lain saat hanya dalam waktu sekedipan mata saja
berdiri tegak seorang kakek berbadan besar bukan main, berkening lebar berpipi tembem. Melihat kehadiran kakek dengan bobot lebih dari dua
ratus kati berpakaian hitam ini untuk beberapa
saat lamanya Tabib Setan jadi tergagap, keringat mengucur sedangkan perasaan
jadi gelisah. Sebaliknya si kakek gendut besar yang bukan lain adalah Gentong Ketawa guru Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon pandangi Tabib Setan dengan mata mendelik.
"Tabib butut apa yang kau kerjakan disini?" tanya Gentong Ketawa.
Dikatakan tabib butut sebenarnya perasaan tabib itu jadi mendongkol juga. Tapi dia ta-hu diri hingga memilih
mengambil sikap mengalah. Dengan tenang dia menjawab. "Aku sedang istirahat dan tidak sedang
mengerjakan apapun!"
Kakek gendut melirik ke arah bambu pancing di mana pada bagian ujung bambu tergantung
seekor binatang aneh yang ke empat kakinya dalam keadaan terikat.
"Jadi kau tidak melakukan apapun" Bagaimana jika kuminta binatang itu untuk kujadikan penangsal perutku?"
Air muka Tabib Setan sempat berubah
memucat. "Jangan... binatang itu satu-satunya milikku. Lagipula dia sangat
beracun?" kata Tabib Setan berbohong.
"Ha ha ha. Aku suka memakan segala sesuatu yang mengandung racun. Itulah sebabnya
tubuhku jadi gembul begini." celetuk si kakek
yang tahu dirinya telah dibohongi.
"Tapi... tapi yang ini lain. Racun yang ter-kandung di tubuhnya sangat jahat
sekali. Jika kau makan sepotong dagingnya kau bisa mati seketika!" jawab Tabib Setan gugup.
"Tabib Setan, aku cuma bergurau. Tapi kau
sudah berani membohongiku" Aku tahu binatang
langka itu tidak beracun, hendak kau berikan kepada siapakah?" tanya Gentong Ketawa disertai seringai mengejek.
Mendapat pertanyaan yang tak pernah diduganya itu Tabib Setan jadi melengak kaget. Masih dengan berhati-hati dia menjawab. "Binatang ini sulit dicarinya. Aku
membuang waktu mem-pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Siklututjang tidak akan kuberikan pada siapapun.
Dia akan kujadikan teman dalam seperjalanan."
Mendengar nama binatang yang dianggapnya aneh itu Gentong Ketawa bertanya. "Apa itu Siklututjang" Rasanya baru sekali
ini aku mendengarnya!"
"Siklututjang itu nama yang kubuat sendiri. Artinya binatang bersisik, mempunyai bulu ju-ga berbuntut panjang."
menerangkan Tabib Setan. "Tabib sial, kukira apa!" gerutu si kakek gendut, namun
dalam hati orang tua ini tak
mampu menahan tawa.
Dimaki begitu rupa Tabib Setan hanya diam saja. Dalam hati dia berharap si gendut segera berlalu dari hadapannya.
Keadaan dan perubahan
sikap Tabib Setan yang lebih banyak mengalah
memang merupakan suatu tanda bahwa si kakek
benar-benar telah bertobat sebagaimana yang
pernah dikatakannya pada Gento.
Jika beberapa tahun yang lalu Gentong Ketawa bicara seperti itu pada Tabib Setan, mungkin guru Gento ini sudah dilabraknya.
"Gentong Ketawa sobatku, kalau boleh aku
tahu engkau hendak kemanakah" Kulihat kau
begitu tergesa-gesa, matamu menyimpan kegelisahan. Adakah sesuatu yang sedang kau cari?"
tanya Tabib Setan.
"Sobat" Siapa bilang aku ini sobatmu" Aku
tak pernah bersahabat dengan tabib butut sepertimu. Lagipula kemanapun aku pergi perduli apa"
Aku tidak gelisah, aku juga tidak sedang mencari apapun?" jawab si kakek sinis.
Tabib Setan tersenyum, masih dengan sabar dan suara lembut sang tabib berkata. "Gentong Ketawa, jika di masa lalu
masih ada ganjalan dalam hatimu, maka selamanya kau tetap bersikap memusuhi aku.
Setiap manusia manapun
pernah melakukan kesalahan. Karena sejak manusia dilahirkan memang membawa sifat-sifat seperti itu. Aku tahu mungkin kau sedang mencari
muridmu Gento Guyon?"
"Ah kau terlalu sok tahu!" potong si gendut cepat. Tabib Setan gelengkan kepala.
"Aku tidak mengada-ada, apa yang kukatakan ini adalah yang sebenarnya!" sergah sang tabib. "Kalau benar kau mau apa?"
tanya kakek gendut yang merasa terpojok. Dengan tenang Tabib Setan mengelus jenggotnya.
"Aku hanya sekedar bertanya. Siapa tahu
bisa membantu menemukan muridmu. Lagipula
bagaimana kau bisa terpisah dari muridmu?"
"Ha ha ha. Setelah kuajak bicara makin
bertambah besar rasa ingin tahumu, tapi aku tidak akan pernah mengatakannya padamu!" kata Gentong Ketawa lalu cepat palingkan
wajahnya ke arah lain. "Baiklah, kalau kau tak mau berterusterang tidak mengapa." Tabib Setan kemudian bangkit berdiri. Setelah itu sambil
mengangkat dan meletakkan bambu pancing di bahu kirinya
dia melanjutkan ucapannya. "Aku pun sekarang hendak pergi."
"Kau mau kemana" Apakah hendak mencari muridku" Awas, kalau sampai kau mengusiknya akan kupelitir lehermu sampai patah!" ancam Gentong Ketawa.
"Buat apa aku mencari bocah edan itu.
Masih bagus lagi aku mencari monyet untuk kujadikan teman!"
Mendengar ucapan Tabib Setan, Gentong
Ketawa tertawa tergelak-gelak.
"Aku tidak menyalahkan bila kau berkata
begitu karena tingkah lakumu memang sangat
mirip dengan monyet. Tapi ingat bila suatu saat
kau berani menemui muridku aku pasti tak akan
memaafkanmu."
Tabib Setan tidak menjawab, setelah berkata begitu Gentong Ketawa berkelebat pergi tinggalkan orang tua berjanggut panjang itu seorang
diri. Seperginya Gentong Ketawa, Tabib Setan
menyeringai. "Dia bisa saja bicara begitu. Nanti jika sudah tiba masanya, mana
dia tahu aku menemui muridnya atau tidak." kata si kakek. Orang tua ini
gelengkan kepala, kemudian sambil mera-cau tak karuan dia tinggalkan tempat itu.
*** Di dalam bangunan yang sepenuhnya terbuat dari batu dan berbentuk kerucut yang diberi nama Singgasana Abadi itu lakilaki tua bernama
Dipati Durga duduk di depan seorang perempuan
cantik berkulit putih bersih berusia sekitar empat puluhan. Perempuan itu
tersenyum sambil me-lingkarkan tangannya di leher laki-laki berjubah hitam yang
bagian dadanya dipenuhi bulu-bulu
lebat. "Dipati Durga," terdengar suara si perempuan memecah keheningan suasana.
"Suamiku Sesepuh Tua telah tiada. Sejak dulu semasa suamiku masih hidup kita sering melakukan hubungan terlalu jauh. Kini setelah suamiku meninggal apakah tidak ada keinginan di
hatimu untuk menjadikan aku sebagai seorang istri?"
Orang yang dipanggil Dipati Durga kerutkan alisnya yang tebal menyatu. Mendengar
ucapan perempuan cantik itu dia langsung menjauhkan diri, sedangkan mulutnya menyeringai.
"Memang kita seringkali bersenang-senang,
sudah tidak terhitung berapa kali kita bercinta.
Tapi bagiku, rasanya lebih suka menjadikanmu
sebagai kekasih. Istri yang kuharap adalah Nyi
Sekar Langit! Walaupun dia dalam keadaan begitu rupa, aku yakin dapat menyembuhkan penyakitnya akibat salah penerapan ilmu." jawab Dipati Durga sambil benahi bagian
depan jubahnya yang
tidak terkancing.
Walaupun perempuan itu nampak kecewa
mendengar jawaban laki-laki yang selama ini dicintainya, namun dia tetap tersenyum. Lalu dengan tersenyum pula dia berkata. "Konon kudengar Nyi Sekar Langit berubah menjadi
nenek begitu karena ulah bekas kekasihmu yang bernama Nyi
Ronggeng. Agaknya sebagaimana diriku, Nyi
Ronggeng juga tidak rela melihat dirimu menjadi
milik orang lain. Hik hik hik!"
"Kerabat Perempuan, hati-hati kau bicara.
Ingat anak dan suamimu belum lagi tujuh hari
meninggal. Aku tidak mau menyakitimu, tapi jika
tidak ada pilihan lain mungkin aku terpaksa melakukannya!" tegas Dipati Durga sengit.
"Aih, mengapa sekarang kau gampang sekali naik darah Dipati" Apakah kau tidak ingat
dengan manisnya madu cinta yang telah kita
nikmati tadi?" tanya wanita yang bergelar Kerabat Perempuan itu disertai senyum
genit. Mendengar
ucapan Kerabat Perempuan ketegangan di wajah
Dipati Durga berubah surut. Dia menarik nafas
pendek, lalu tangannya diulurkan hingga menyentuh bahu Kerabat Perempuan. Sambil tersenyum pula dia berkata. "Segala budi baik serta kesenangan yang telah kau berikan
padaku tidak akan pernah aku lupakan. Terus-terang walaupun nantinya aku berhasil menjadikan Nyi Sekar
Langit menjadi istriku kau tetap menjadi kekasih simpananku. Terus-terang aku
memang memen-dam amarah dan rasa benci pada Nyi Ronggeng
bekas kekasihku itu, karena ulahnya Nyi Sekar
Langit jadi sangat menderita. Akibat apa yang di-alaminya, semakin sulit bagiku
untuk mendekati
Nyi Sekar."
"Lalu sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya Kerabat Perempuan.
"Sekali lagi aku ingin minta kepastian dari Nyi Sekar Langit sekaligus meminta
pada Nyi Ronggeng agar dia mau memulihkan keadaan Nyi
Sekar sebagaimana semula."
"Hik hik hik. Aku berani menjamin Nyi
Ronggeng pasti tidak mau melakukannya!" kata Kerabat Perempuan.
Dipati Durga kepalkan kedua tangannya.
"Jika dia tidak mau memulihkan Nyi Sekar, aku bersumpah akan membunuhnya!" tegas
Dipati Durga. "Baiklah," kata Kerabat Perempuan mengalah. "Apapun keputusanmu aku pasti
berada di pihakmu!"
Mendengar ucapan perempuan itu legalah
hati laki-laki berjubah hitam itu. Dia kemudian
bangkit dan berjalan di depan Kerabat Perempuan. Dengan tidak sabar dia berucap. "Sekarang tunggu apa lagi" Bersiapsiaplah. Kita harus be-rangkat ke Teluk Rembang. Kuharapkan Nyi Sekar Langit masih berada di sana."


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan bodoh, menurutku sebaiknya kita
ke Pati saja. Aku yakin gurunya Ambeng saat ini
berada di sana."
"Aku tak membutuhkan gurunya" Ambeng
Tatap Banyu orang ketiga, yang penting bagiku
adalah Nyi Sekar bukan perempuan renta itu!"
sergah Dipati Durga.
"Jangan bodoh, walaupun putraku Kerabat
Melamun memiliki kesaktian tinggi, aku ragu dia
mampu menuntut balas pada Ambeng Tatap
Banyu yang hampir membuat kami menjadi patung batu. Sebaliknya aku merasa yakin saat ini
Nyi Sekar pasti minta perlindungan pada gurunya
karena dia tak ingin kau mengusiknya terus. Lalu apa salahnya dalam sekali
perjalanan dua tujuh
pulau dapat kita capai sekaligus?"
"Kau benar. Bagaimanapun Ambeng Tatap
Banyu jika masih hidup bisa menjadi ganjalan
bagiku. Ilmu kesaktian nenek itu tak bisa dipandang sebelah mata. Baiklah, sekarang ini sebaiknya kita pergi. Untuk mempersingkat waktu aku
akan memanggil Makhluk Kutukan Neraka."
Mendengar Dipati Durga menyebut nama
makhluk hitam yang menjadi tunggangannya wajah Kerabat Perempuan berubah pucat.
"Mengapa kita tidak berkuda saja. Aku takut dengan ketinggian!" kata perempuan itu ter-bata. "Ha ha ha. Tak usah takut,
aku akan duduk menjagamu di belakang!" kata Dipati Durga.
Setelah berkata begitu dia bersuit tiga kali. Suara Dipati Durga melengking
tinggi ke angkasa.
Tidak berselang lama setelah suara suitannya lenyap, sayup-sayup dikejauhan terdengar
suara pekikan aneh yang disertai dengan terdengarnya suara bergemuruh hebat. Suara gemuruh
makin lama makin bertambah jelas, Kerabat Perempuan dongakkan kepalanya ke langit. Perempuan itu tercekat begitu melihat makhluk besar
berbulu hitam, berkepala seperti burung rajawali bersayap lebar bagaikan
kelelawar. Binatang hitam bermata merah itu berputar-putar diangkasa.
Setiap kepakan sayapnya menimbulkan gelombang angin yang nyaris membuat Kerabat Perempuan jatuh terpental.
Dipati Durga dengan tersenyum lambaikan
tangannya memberi isyarat pada Makhluk Kutukan Neraka. Binatang itu memekik, lalu bagaikan
anak panah melesat turun hingga sampai pada
ketinggian tidak kurang dari setengah tombak.
Melihat binatang itu sudah berada dalam jangkauannya, maka tanpa bicara lagi, Dipati Durga
langsung menyambar lengan Kerabat Perempuan.
Hanya dalam waktu yang amat singkat Kerabat
Perempuan dan Dipati Durga telah berada diatas
punggung binatang raksasa yang sosoknya dalam
ujud kelelawar dan berkepala seperti burung rajawali itu. "Sahabatku hitam, bawa kami ke Pati. Kami ingin bertemu dengan Ambeng Tatap Banyu di
Watu Cadas Hitam!" seru Dipati Durga.
"Kiiiiik...!"
Makhluk Kutukan Neraka meringkik keras.
Dalam waktu singkat sosoknya melesat ke atas.
Semakin lama membubung tinggi ke udara, sampai kemudian bergerak ke arah selatan dengan
kecepatan luar biasa sekali.
5 Menjelang tengah hari setelah Gento dan
Pelangi melewati kota Rembang, kedua orang ini
mulai memasuki kawasan Kaliori dan hutan kecil
yang terdapat di daerah itu. Beberapa saat setelah mereka tiba di satu dataran
rendah Gento yang
merasa selama dalam perjalanan selalu dibayangi
oleh seseorang segera memberi isyarat pada Pelangi. Sang dara tak perlu banyak bertanya, kare-na dia sendiri memang sudah
tahu ada orang yang membuntuti perjalanan mereka sejak lama.
Anehnya orang yang menguntit seperti sengaja
menjaga jarak. Setiap kedua orang ini berhenti,
maka penguntit itu pun ikut berhenti. Seolah dirinya memang tidak mau dikenali.
Terdorong oleh rasa ingin tahu siapa yang
telah menguntit mereka, sang pendekar dan Pelangi akhirnya menyelinap di balik gerumbulan
semak belukar. "Aku ingin tahu setan mana lagi yang mengikuti kita. Akan kutangkap dia. Setelah itu baru kutanya apa yang diinginkannya
dari orang-orang
seperti kita!" kata pemuda itu setelah berada di tempat persembunyian.
"Kurasa dia tidak bermaksud jahat. Jika
dia membekal maksud buruk tentu sudah sejak
tadi dilakukannya." sahut Pelangi dengan suara
perlahan. "Hem, mungkin kau benar. Bisa jadi dia
hanya orang yang merasa iri melihat kita berdua
selalu. Atau mungkin dia kekasihmu, hingga begitu melihat aku bersamamu dia menjadi cemburu
lalu membayangi kita terus!"
Mata Pelangi membulat besar. "Jangan
sembarangan kau bicara. Aku sama sekali belum
pernah bercinta, apalagi memiliki seorang kekasih." sahut Pelangi agak gusar.
"He he he. Rupanya kali ini aku bernasib
baik. Kau belum punya kekasih dan aku juga begitu. Mungkin inilah yang dinamakan jodoh." kata Gento bergurau.
Walau Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
hanya sekedar bicara iseng, namun ucapan Gento
bagi Pelangi menimbulkan kebahagiaan dan harapan tersendiri. Disertai lirikan penuh arti gadis ini menyahut. "Semua lakilaki memang pandai merayu. Aku yakin kekasihmu ada dimana-mana." Gento
menyeringai lebar, lalu usap wajahnya pulang balik. Belum lagi pemuda itu sempat
berucap, di jalan setapak yang mereka lalui tadi muncul sesosok tubuh berpakaian
serba hijau, bertubuh jangkung ramping. Melihat kehadiran
sosok yang ternyata seorang gadis jelita ini baik Gento maupun Pelangi sama
melengak kaget.
"Yang mengikuti kita ternyata bukan setan,
tapi gadis secantik bidadari!" desah Pelangi seperti ada kegelisahan dalam
ucapannya. Gento bersikap pura-pura tak mendengar.
Enak saja dia bicara. "Dasar rejeki besar.
Kukira yang mengikuti kita seorang nenek tua, tidak tahunya...!"
"Tidak tahunya gadis cantik luar biasa."
dengan sewot Pelangi menyahuti.
Sementara itu gadis jelita berpakaian hijau
begitu merasa kehilangan jejak orang yang diikutinya kini nampak kebingungan. Setelah meneliti
suasana di sekitarnya dan tidak mendapatkan
orang yang dikuntitnya sang dara berucap setengah mengeluh. "Aku merasa yakin dialah orangnya yang dimaksudkan Nyi Sekar
Langit. Lalu gadis yang bersamanya itu siapakah" Heran, bagaimana tiba-tiba mereka bisa menghilang seperti itu?" Kembali si gadis kitarkan
pandangan matanya. Di saat itu mendadak sontak si baju hijau dikejutkan oleh
berkelebatnya satu bayangan serba putih berkelebat ke arahnya. Belum lagi hilang
rasa kaget di hati si baju hijau segulung angin
menderu melabrak tubuhnya. Walaupun kaget,
namun gadis jelita ini masih sempat gerakkan
tangannya ke atas menangkis serangan lawan.
Angin sedingin es bergulung-gulung keluar
dari jubah si baju hijau. Lalu terdengar suara letupan keras menggelegar. Sosok
berpakaian serba
putih jejakkan kakinya dengan tubuh terhuyung.
Sedangkan gadis berpakaian serba hijau tetap tegak di tempatnya. Mata indahnya berkedip dan
menatap orang yang menyerangnya dengan pandangan tidak mengerti.
Sementara itu Gento yang tidak menyangka Pelangi melakukan tindakan nekad dan melakukan penyerangan secara membabi buta, diamdiam dibuat kaget. "Ah, mengapa dia mendadak seperti orang yang kehilangan
kendali. Melam-piaskan amarah pada orang yang belum tentu
bersalah?" fikir Gento tak habis mengerti.
Pelangi sendiri kini memandang dengan
mata mendelik pada dara berpakaian hijau. Dia
yang biasanya bersikap lemah lembut kini nampak berubah bengis. Dengan suara keras pula dia
membentak. "Gadis penguntit siapa kau yang sebenarnya, mengapa berani mengikuti
perjalanan orang?" Si baju hijau tersenyum, sebagai orang
yang berpengalaman dia dapat merasakan ada
kecemburuan dalam nada ucapan gadis berpakaian putih. Dia sendiri tidak dapat menduga ada hubungan apa antara pemuda
gondrong tadi dengan gadis itu. Tetapi dengan penuh santun si baju hijau
menjawab. "Adik, aku mengikuti kalian bukan membawa maksud jahat. Oh ya...
kemana sahabatmu pemuda rambut gondrong tadi?" tanya si baju hijau. Mendengar pertanyaan gadis itu
semakin bertambah sengitlah Pelangi dibuatnya.
Hanya sikapnya agak berubah begitu melihat
Gento munculkan diri dari tempat mereka bersembunyi tadi. "Aku tadi bersembunyi disana. Sekarang
kau sudah tertangkap basah. Apa sebenarnya
yang kau inginkan hingga terus membuntuti perjalanan kami?"
Dengan nada lembut si jelita menjawab.
"Namaku Nyi Besinga. Ketuaku memberi perintah padaku untuk mencari seseorang."
menerangkan si jelita bernama Nyi Besinga seadanya.
"Apakah orang yang kau cari sudah kau
temukan?" tanya Gento.
Nyi Besinga tersenyum, lalu gelengkan kepala. Walau senyum gadis itu terkesan wajar dan
menunjukkan keramahan, namun membuat Pelangi jadi mendongkol.
"Gadis ini entah apa yang diinginkannya.
Tapi... jika sampai dia berani menggoda Gento,
dia akan tahu rasa nanti." batin Pelangi dalam hati. "Jadi kau belum menemukan
orang yang oleh ketuamu diperintahkan untuk mencari?"
"Lalu mengapa kau mengikuti kami"!" hardik Pelangi tidak sabar.
"Ketuaku, Nyi Sekar Langit sekarang sedang menderita suatu penyakit akibat salah dalam menerapkan ilmu baru. Jelasnya, seseorang
yang menyaru sebagai gurunya telah menipu Nyi
Sekar. Penipuan yang dilakukan oleh orang itu
membuat ketua menderita. Sudah banyak tabib
yang didatangkan namun tak satupun yang dapat
mengembalikan ketua dalam keadaan sebagaimana sediakala. Kemudian dia melakukan semedi
selama berbulan-bulan. Dalam semedi dia mendapat petunjuk, bahwa untuk mengembalikan
keadaan Nyi Sekar sebagaimana sediakala hanya
dapat dilakukan dengan cara yang sama yaitu
menormalkan aliran darah serta tenaga dalam
yang sempat berbalik arah dan mengacaukan keseimbangan otak kecil. Tidak ada manusia di
rimba persilatan ini yang dapat membantunya
melakukan itu terkecuali orang yang di dalam tubuhnya telah mampu mengendalikan sekaligus
menggerakkan tujuh pusat tenaga dalam yang
konon kabarnya dikenal dengan nama Tujuh Cakra inti Manusia."
Mendengar uraian Nyi Besinga diam-diam
Gento jadi terkejut. Tujuh pusat tenaga dalam,
atau Tujuh Inti Cakra Manusia dia sendiri memang telah menguasainya. Dan tujuh sumber tenaga dalam yang dapat dikeluarkannya secara silih berganti itu didapatnya dari Manusia Seribu
Tahun. Untuk lebih jelas (Ikuti Episode Ki Anjeng Laknat). Tapi selama ini sejak
Gento berpisah dengan kakek yang umurnya hampir mencapai
seribu tahun itu dia belum pernah menggunakannya. Karena selain sangat berbahaya, Manusia Seribu Tahun juga pernah berpesan, Gento
hanya dapat menggunakan tujuh tenaga dalam
yang bersumber dari tujuh titik di tubuhnya seka-li dalam tiga bulan.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, Pendekar
Sakti 71 Gento Guyon akhirnya ajukan pertanyaan. "Apakah kau telah menemukan orang
yang diharapkan oleh ketuamu dapat menyembuhkan penyakitnya itu?"
Sekali lagi Nyi Besinga menggeleng.
"Belum. Tapi melihat ciri-cirinya, mungkin kaulah orangnya." ujar gadis itu
dengan suara perlahan.
"Ha ha ha. Manusia geblek macamku tidak
becus apa-apa, apalagi menyembuhkan orang
yang telah kesalahan dalam menerapkan ilmu?"
sahut sang pendekar disertai tawa tergelak-gelak.
"Dugaanku mungkin saja keliru. Tapi sebelum pergi, mungkin aku boleh mengetahui siapa
dirimu adanya?"
Ditanya seperti itu Gento langsung melirik
ke arah Pelangi seakan minta pendapat. Si gadis
yang dibakar api cemburu dengan tegas gelengkan kepala. Belum lagi Gento sempat menjawab, Nyi
Besinga mendesah dalam. "Kau tak mau menyebutkan nama tidak mengapa. Sayang jika ketua
harus kecewa karena kepulanganku tidak membawa hasil. Tapi yang lebih kecewa lagi kurasa
kakek gendut yang bernama Gentong Ketawa itu.
Aku jadi ragu, jangan-jangan diapun tidak dapat


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan muridnya!" Selesai berkata Nyi Besinga memutar tubuh siap hendak
melangkah pergi. Tapi pada saat itu Gento yang sempat kaget mendengar nama gurunya disebut
orang cepat berkata. "Nyi Besinga jangan pergi dulu!"
Gerakan langkah kaki sang dara jadi tertahan, dia kembali balikkan badan dan menghadap
langsung ke arah Gento. Masih dengan suara
lembut si gadis bertanya. "Masih ada lagikah yang hendak kau katakan padaku?"
"Betul sekali. Jika yang kau cari adalah
orang yang bernama Gento, akulah orangnya. Tapi apakah betul kau bertemu dengan guruku"!"
tanya pemuda itu ragu-ragu.
"Gento, jangan mudah terkecoh mulut manisnya. Ingat, walaupun gadis ini bersuara lembut, tapi suaranya seperti suara nenek tua lanjut usia. Aku curiga bukan
mustahil dia hendak
mengelabuhimu!" Pelangi memberi kisikan. Gento terdiam, apa yang dikatakan
Pelangi memang tidak berlebihan. Gadis itu suaranya memang lembut, namun nada suaranya seperti suara orang
tua. "Orang tua yang datang kepada kami berbadan tinggi, pakaian hitam. Pipi
tembem, hi- dungnya nyaris tenggelam bobotnya mungkin lebih dua ratus kati!" menerangkan Nyi Besinga.
"Apakah orang itu berkumis dan berjenggot?" tanya Gento ingin memastikan.
"Jenggotnya cuma beberapa helai. Kumisnya juga, tidak ubahnya seperti ikan lele!"
"Ha ha ha. Memang seperti itulah guruku.
kumis dan jenggotnya seperti ikan lele." sahut Gento. Dia lalu berpaling pada
Pelangi "Ternyata dia tidak berdusta, Pelangi. Apa yang dikatakannya tentang
guruku memang benar! Semua ini
merupakan sesuatu yang tidak terduga. Sudah
lama aku mencari guruku, tidak kusangka akhirnya aku mendapatkan petunjuk!"
"Kalau begitu tunggu apalagi. Sebaiknya kita ikuti saja dia!" usul Mutiara Pelangi. "Tapi awas, jika kau menipu kami. Kau
akan mendapat ganjaran yang setimpal!" ancam si gadis.
"Aku tidak pernah bicara dusta. Mari ikuti
aku!" kata Nyi Besinga. Gento dan Pelangi sama mengangguk setuju.
6 Bukit Cadas Hitam letaknya tidak jauh dari
Pati. Di sebelah timur bukit beberapa pohon besar menjulang tinggi. Sedangkan
pada bagian Si Bukit lainnya yang terlihat hanya kegersangan yang diwarnai
dengan batu-batu bertonjolan. Di atas
bukit di depan sebuah pondok buruk beratap ilalang. Nenek berpakaian kuning duduk termenung
sedangkan tatap matanya menerawang ke depan.
Cukup lama si nenek dalam keadaan seperti itu sampai akhirnya dia menarik nafas dalam-dalam. "Terlalu lama aku pergi meninggalkan muridku. Selama itu apapun yang tidak terduga bisa saja terjadi. Lalu sekarang
kemana perginya Nyi
Sekar Langit" Aku punya firasat telah terjadi sesuatu dengannya. Aku harus pergi
aku harus mencari Nyi Sekar. Barangkali dia begitu ketakutan, Dipati Durga manusia kurang ajar. Sudah
tahu muridku tidak menyukainya namun dia masih saja mengejarnya." kata nenek itu seorang di-ri.
Terik matahari terasa semakin membakar
puncak bukit. Si nenek bangkit berdiri. Dia kemudian melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Tidak berapa lama kemudian si nenek yang
bukan lain adalah Ambeng Tatap Banyu telah ke
luar dari pondoknya. Orang tua ini agaknya siap
melakukan perjalanan lagi terbukti di punggungnya kini tergantung kantong perbekalan. Sedangkan di pinggang sebelah kiri tergantung satu senjata aneh mirip bumerang yang
tajam pada salah
satu sisinya, dan bengkok pada bagian tengahnya. "Satu-satunya tempat yang harus kutuju adalah Teluk Rembang. Aku yakin
muridku pasti berada disana. Tapi... apakah mungkin tiga pengasuh Nyi Sekar juga berada di sana?" fikir si nenek. Sejenak dia dibuai
kebimbangan, sesaat dia
diliputi keraguan. Namun akhirnya si nenek
membulatkan tekad untuk menyusul sang murid.
Pada saat itu pula dia mendengar suara gemuruh
hebat di angkasa sana. Suara gemuruh semakin
bertambah jelas disertai suara pekikan menggelegar seperti suara burung besar.
Sontak Ambeng Tatap Banyu dongakkan
kepala memandang ke atas. Si nenek tercekat,
wajahnya berubah. Dia melihat saat itu di angkasa sana satu sosok berwarna hitam bersayap lebar bagaikan sayap kelelawar dan berkepala seperti burung rajawali terbang berputar-putar diatas ketinggian puncak bukit. Di punggung makhluk aneh yang sudah cukup dikenalnya itu duduk dua sosok berpakaian hitam.
"Makhluk Kutukan Neraka. Pasti dia datang bersama Dipati Durga, tapi yang satunya lagi siapakah?" gumam si nenek
heran. Belum lagi lenyap keheranan di hati Ambeng Tatap Banyu, dari atas sana terdengar satu
bentakan keras menggelegar. "Ambeng Tatap
Banyu, lima purnama kau menghilang. Sekarang
kulihat kau berada di tempat kediamanmu. Kebetulan sekali. Ha ha ha...!"
"Dipati Durga. Kau datang pada waktu
yang kurang tepat. Aku tidak dapat menerimamu
sebagaimana layaknya. Aku hendak pergi, harap
kau suka kembali dilain waktu!" sahut si nenek.
Di atas sana kembali terdengar suara tawa
bergelak. Lalu di tengah suara gemuruh kepakan
sayap makhluk tunggangan Dipati Durga terdengar teriakan laki-laki itu.
"Kau tidak akan pernah pergi kemanapun,
nenek tua. Terkecuali kau mau membujuk Nyi
Sekar Langit agar bersedia menjadi istriku. Jika kau menolak, nasib celaka akan
terjadi padamu!"
"Hik hik hik. Agaknya kau ini wakil malaikat yang dikirim dari neraka" Apa kau mengira
aku mudah digertak?" dengus si nenek.
"Tua bangka busuk. Sebelum sahabatku
ini mencabut nyawamu, kau juga harus menyerahkan dua tangan dan kedua matamu!" kata sa-tu suara lain menimpali.
Ambeng Tatap Banyu berjingrak kaget
mendengar suara itu. Rasanya suara yang baru
dia dengar tidak begitu asing. Sesaat si nenek tertegun, otaknya dipacu untuk
mengingat-ingat.
"Kau lupa padaku Tatap Banyu. Aku adalah Kerabat Perempuan!" Di angkasa kembali terdengar suara melengking. Mendengar
orang me- nyebutkan gelarnya, nenek tua itupun tak mampu lagi menahan tawanya.
"Kau rupanya" Setelah suamimu tewas di
tangan Tabib Setan, sekarang kau pasti bebas
bergendak dengan Dipati Durga. Perempuan busuk penyeleweng, jika bukan karena bantuan Tabib Setan yang dapat kalian kelabuhi, sekarang
ini kau dan kerabatmu yang lain pasti sudah
membeku jadi patung batu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat, apapun yang kulakukan
bersama Dipati Durga bukan urusanmu, yang jelas sekarang kau harus menerima balasan dari
apa yang pernah kau lakukan padaku, pada Empat Kerabat Siluman!"
"Hebat. Rupanya hari ini aku merasa perlu
merubah dirimu menjadi siluman sungguhan. Hik
hik hik!" "Kerabat Perempuan kuberi kesempatan
padamu untuk membalas rasa sakit hati dendam
kesumat pada nenek itu. Sekarang bersiaplah
kau!" berkata begitu Dipati Durga mengelus leher binatang tunggangannya tiga
kali disertai seruan.
"Makhluk Kutukan Neraka, turunkan kami!"
"Kraaak...!"
Makhluk besar yang menyerupai burung
dan kelelawar memekik keras, laksana kilat tubuhnya menukik tajam ke bawah. Melihat hal ini
si nenek tidak mau tinggal diam. Begitu binatang itu bergerak dan dua
penunggangnya siap melompat turun, Ambeng Tatap Banyu siapkan pukulan di kedua tangannya. Apa yang dilakukannya tidak kepalang tanggung. Begitu Kerabat Perempuan melesat meninggalkan punggung Makhluk Kutukan Neraka yang kemudian disusul
oleh Dipati Durga, nenek itu segera menyambutnya dengan pukulan Waton Atos Loro. Seperti telah diceritakan pada episode sebelumnya Kerabat
Perempuan dan tiga kerabat lainnya pernah dibuat tidak berkutik ketika tubuh mereka terkena
pukulan ini. Malah begitu terkena pukulan tubuh
mereka kemudian membeku dan berangsurangsur menjadi gumpalan batu.
Kini Kerabat Perempuan yang tidak menyangka disambut dengan pukulan yang sama.
Dia menjadi terkejut luar biasa. Dalam keadaan
tubuh mengambang meluncur turun sedemikian
rupa tentu sulit baginya untuk berbuat banyak.
Tak ada pilihan lain, Kerabat Perempuan pun selagi tubuhnya meluncur segera hantamkan kedua
tangannya menyambuti pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh lawannya. Selarik sinar merah
mendera, melesat ke depan hingga terjadilah benturan hebat. Tapi sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu ketika Kerabat Perempuan berhasil dipecundangi oleh si nenek, kali ini pun pukulan yang dilepaskan Kerabat
Perempuan amblas
begitu saja. Jika waktu itu dia bersama tiga kerabat siluman yang lainnya saja
kalang kabut menghadapi nenek ini, apalagi kini.
Malah pukulan yang dilepaskannya tersedot oleh pukulan Ambeng Tatap Banyu, kini dia
terbetot ke bawah, sementara hawa dingin yang
sangat hebat terus mendera dirinya.
"Dipati Durga..." seru Kerabat Perempuan.
Dipati Durga tertawa mengekeh. Dia memang sudah melihat pukulan lawan tak terbendung oleh Kerabat Perempuan. Malah kalau dibiarkan kekasih gelapnya itu bisa menjadi korban keganasan pukulan Waton Atos
Loro. Karena itu
dia Dipati Durga yang berada dalam posisi sama
seperti Kerabat Perempuan gerakkan tangannya
ke bawah. Wuut! Wuuut! Dua kali tangannya menghantam, dari telapak tangan laki-laki itu melesat sinar biru. Sinar biru berhawa panas luar
biasa itu kemudian
melebar begitu bersentuhan dengan udara, bergerak cepat ke arah si nenek hingga untuk beberapa saat lamanya terjadi satu
keanehan. Tubuh Dipati Durga seolah tertahan oleh satu tembok yang tidak
terlihat. Sedangkan dibawah sana si nenek
nampak berusaha menahan tekanan keras yang
menghimpit dari bagian atas.
Sementara itu dengan ikut campur tangannya Dipati Durga, Kerabat Perempuan tentu
saja terhindar dari maut, karena kini perhatian si nenek tercurah pada Dipati
Durga, maka setelah
berhasil membebaskan diri dari pengaruh sedotan
pukulan lawan Kerabat Perempuan meskipun
sempat terhuyung namun mampu jejakkan kakinya di atas tanah. Melihat salah satu lawan telah berdiri tegak di depannya
bahkan siap menghantamnya dengan salah satu pukulan, maka
dengan segenap tenaga yang dimilikinya Ambeng
Tatap Banyu menghantam ke atas.
Buum! Satu ledakan keras menggelegar laksana
mengguncang puncak bukit. Dipati Durga yang
menyerang dengan posisi mengambang tampak
terpental dan jatuh dengan punggung menyentuh
tanah. Si nenek terguncang hebat, dadanya terasa
nyeri. Sementara itu melihat si nenek dalam keadaan terhuyung-huyung, Kerabat Perempuan
yang memang sangat mendendam pada orang tua
ini tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dari balik
pakaian hitamnya dia mencabut sebilah pedang
tipis yang di bagian ujungnya berbentuk mata
tombak. Dengan tombak terhunus Kerabat Perempuan menyerang lawannya. Di tangan perempuan cantik itu pedang tipis yang bagian ujungnya bermata seperti tombak seakan berubah
menjadi puluhan, menusuk dan membabat beberapa bagian tubuh lawan yang paling mematikan.
Mendapat serangan hebat begitu rupa, beberapa
saat lamanya Ambeng Tatap Banyu tampak terdesak. Beberapa kali dia coba menghindari serangan lawan yang ganas itu. Namun hebatnya kemanapun dia menghindar pedang lawan selalu
mengejar, hingga ruang gerak orang tua ini menjadi sempit. Tidak ada pilihan lain, sambil mendengus
nenek itu melompat ke samping. Tapi pada saat
yang sama belum lagi dia sempat melepaskan pukulan yang menjadi andalan, pedang ditangan Kerabat Perempuan bergerak lakukan babatan dari
kiri ke kanan. Ujung pedang menyambar dada. Si


Gento Guyon 21 Sang Petaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek memekik kaget, namun dia masih sempat
mundur satu langkah.
Breet! Tak urung bahu kanannya robek besar terkena sambaran pedang lawan. Kulit dan daging di
bagian bahu berserabutan, darah mengucur. Melihat ini Kerabat Perempuan semakin bersemangat. Kini dia melompat ke depan sambil tusukkan
pedang ke bagian perut. Serangannya yang terlalu berapi-api membuatnya lengah
dari kemungkinan
serangan balik yang dilakukan lawannya.
Di luar dugaan si nenek yang sudah terluka ini melompat ke atas. Lalu dengan tangan kirinya dia menghantam Kerabat Perempuan dengan satu pukulan berhawa panas luar biasa.
Kerabat Perempuan tercekat ketika merasa
ada hawa panas luar biasa menyambar tubuhnya.
Dalam kagetnya laksana kilat perempuan itu
memutar pedang ditangan membentuk perisai diri. Tapi pukulan si nenek seakan tidak terbendung dan terus menerobos pertahanan perempuan itu. Kerabat Perempuan menjerit histeris ketika
tubuhnya diterjang pukulan si nenek. Tubuhnya
roboh, pakaian hangus kulit gosong, sedangkan
pedang ditangan Kerabat Perempuan terpental lepas. Dia tidak berkutik lagi begitu sosoknya ambruk ke tanah. Melihat kejadian yang tidak pernah disangka ini, Dipati Durga keluarkan suara menggerung. Apa yang terjadi dirasakannya berlangsung
singkat. Dengan dada dipenuhi kemarahan, Dipati Durga bangkit berdiri. Dia lalu bersuit keras ditujukan pada Makhluk Kutukan
Neraka yang sampai saat itu masih terus berputar-putar di
atas bukit. "Sahabatku, mari kita bunuh nenek keparat ini bersama-sama!" teriak Dipati Durga. Dia
sendiri lalu menerjang ke arah si nenek sambil
melepaskan pukulan dan tendangan bertubi-tubi.
Di angkasa terdengar pekikan keras, makhluk bersayap kelelawar berkepala seperti rajawa-li mendadak lakukan gerakan
menukik. Menyambar dengan kepakan sayapnya yang setajam pedang dan mematuk dengan paruhnya yang seruncing tombak.
Si nenek yang sudah terluka yang tengah
menghadapi serangan gencar Dipati Durga bertahan mati-matian. Sambil menghindari setiap serangan yang datang dia meraih senjata bengkoknya tanpa gagang yang tergantung di pinggang kiri. Senjata itu kemudian disambitkannya ke atas
searah kepala Makhluk Kutukan Neraka. Binatang ini sama sekali tidak menghindar ketika melihat cahaya putih berputar menghantam lehernya. "Binatang tolol itu segera mampus dengan kepala buntung dihantam
senjataku!" kata Ambeng Tatap Banyu. Sambil berkata begitu dia
menghantam ke depan dengan tangan kiri menyambuti pukulan lawannya.
Plak! Duuk! Benturan keras terjadi, si nenek yang sudah tak dapat menggerakkan tangan kanannya
akibat adanya luka di bagian bahu jatuh bergulingan. Sementara itu di atas sana senjata si nenek begitu mengenai leher
binatang berkepala burung rajawali ternyata tidak membawa akibat sebagaimana yang diinginkannya. Malah kini dengan penuh kemarahan Makhluk Kutukan Neraka
meluncur deras ke arahnya. Melihat semua ini
Dipati Durga yang jatuh terduduk berteriak keras.
"Bunuh tua bangka itu sekarang!"
Teriakan laki-laki itu sangat berpengaruh
bagi binatang tunggangannya. Sayap sebelah kiri
binatang tersebut menyambar ke bagian kepala si
nenek. Angin menderu akibat kepakan sayap
makhluk itu. Si nenek merasakan tubuhnya terangkat ke udara lalu dihempaskan dengan keras.
Tapi dia masih sempat melepaskan pukulan Waton Atos Loro. Pukulan si nenek seolah tak berarti bagi
makhluk yang memiliki kekebalan ini. Karena begitu Makhluk Kutukan Neraka kepakan sayap
kanan kirinya, pukulan Ambeng Tatap Banyu
buyar seketika. Begitu berhasil menghancurkan
serangan si nenek, tak terduga sang makhluk
menukik tajam, paruhnya yang terbuka melesat
ke bagian perut.
Dalam keadaan menderita cidera di bagian
dalam akibat bentrok pukulan dengan Dipati
Durga tadi ditambah luka akibat sabetan pedang
Kerabat Perempuan tentu si nenek sulit menghindar. Sehingga tanpa ampun lagi paruh tajam
Makhluk Kutukan Neraka menghunjam ke perutnya tembus sampai ke bagian punggung. Si nenek
menjerit setinggi langit. Ketika makhluk itu menyentakkan paruhnya, isi perut Ambeng Tatap
Banyupun tanpa ampun berbusaan keluar. Darah
menyembur, mata si nenek mendelik. Sang makhluk melesat kembali ke udara. Sedangkan Dipati
Durga kini telah berada di atas punggung binatang tersebut. "Kau telah menyingkirkan batu penghalang
yang merintangi segala rencanaku selama ini, sobat." kata Dipati Durga.
"Kraak!" seakan mengerti Makhluk Kutukan Neraka keluarkan pekikan pendek.
"Bagus. Kita sekarang harus pergi secepatnya ke Teluk Rembang. Biarkan jenazah Kerabat
Perempuan menemani mayat nenek sinting itu.
Aku tidak butuh orang yang sudah mati, walau
dia kekasihku sekalipun!" kata Dipati Durga.
Seakan mengiyakan binatang itu kembali memekik, lalu membumbung tinggi dan melesat ke arah
teluk. 7 Sejak Dipati Durga datang ke tempat tinggal Nyi Sekar Langit yang berada di penanjung Teluk Rembang, nenek renta ini
memutuskan untuk
menempati gua karang yang terletak di celah dua
tebing curam. Tempat ini cukup tersembunyi dan
merupakan tempat yang aman untuk menghindari kejaran Dipati Durga. Sore itu air sedang pasang, deburan ombak yang sesekali bergemuruh
diseling dengan suara burung camar.
Dalam suasana seperti itu dua sosok berpakaian serba hijau nampak berkelebat di antara
batu-batu yang bertonjolan, lalu memasuki celah
sempit menuju gua tersembunyi.
Ketika mereka masuk ke dalam gua, keduanya segera jatuhkan diri berlutut di depan sosok nenek yang duduk di tengah
ruangan gua itu. Sesaat dua sosok berpakaian serba hijau yang ternyata adalah gadis muda belia berparas cantik
luar biasa nampak saling berpandangan. Kemudian salah seorang yang berbadan agak pendek
anggukkan kepala.
"Nyi Sekar kurasa tidak mau diganggu!"
"Nyi Arianti, sampaikan saja padanya bahwa sampai saat ini Nyi Besinga belum juga kembali." "Aku tidak berani, Nyi Artawanti!" sahut Si Pendek.
Sosok nenek yang duduk dalam keadaan
bersemedi di lantai ruangan gua dan cuma diterangi cahaya pelita merah temaram buka matanya. Perlahan sepasang matanya yang bening
indah memandang ke arah kedua gadis itu yang
bukan lain adalah pengasuhnya sendiri. Melihat
kemunculan kedua pengasuhnya ini, tahulah dia
pengasuh pertama belum juga kembali.
"Kalian datang tanpa Nyi Besinga. Berarti
dia belum menemukan orang yang kuinginkan.
Sayang sekali, aku sendiri tidak bisa menunggu
lebih lama. Jika sampai malam nanti Nyi Besinga
tidak muncul bersama Gento berarti kita harus ke Bukit Cadas Hitam untuk
menjumpai guruku!"
berkata si nenek. Anehnya walaupun nenek itu
sudah sangat tua sekali, namun nada suaranya
tidak berbeda dengan suara gadis berusia dua puluhan, bahkan sepasang matanya juga berbeda
dengan mata nenek tua pada umumnya. Mendengar keputusan si nenek kagetlah kedua gadis itu.
Salah seorang diantaranya yang bernama Nyi
Arianti setelah menjura hormat cepat berkata.
"Nyi Sekar, bukan saya bermaksud lancang, menurut saya tempat itu sekarang sudah
tidak aman lagi. Selain itu belum tentu guru Ambeng Tatap Banyu telah kembali dari perjalanannya." "Nyi Sekar, kami selalu menyayangimu.
Saya rasa apa yang dikatakan Nyi Arianti tidaklah keliru dan bukan sesuatu yang
berlebihan. Bukit
Cadas Hitam bukan hanya Dipati Durga saja yang
mengetahui tempat itu, tapi Nyi Ronggeng paham
betul tentang seluk beluk tempat tinggal guru ki-ta. Yang saya khawatirkan
bagaimana kalau tibatiba mereka muncul disana?" ujar Nyi Artawanti.
Mendengar pengasuhnya menyebut nama
Nyi Ronggeng bergetarlah tubuh si nenek. Pelipis nenek tua itu bergerak-gerak,
hidung kembang kempis napas memburu sedangkan matanya berkilat tajam memancarkan amarah.
"Siapa takut pada perempuan itu" Kalau
dia tidak menyaru sebagai guru, andai Ia tidak
menipuku mana mungkin aku jadi begini" Sayang
waktu itu dia berhasil meloloskan diri. Jika tidak tentu aku telah berhasil
membunuhnya!" geram si nenek. "Apa yang Nyi Sekar katakan memang benar. Tak
satupun diantara kita yang takutkan dia.
Kami berdua juga merasa tertipu olehnya. Walaupun wajah kami begini rupa, semuanya tidak
memberikan keuntungan apa-apa bagi saya pribadi. Malah saya merasa malu dengan kenyataan
yang sebenarnya!" kata Nyi Arianti.
"Baiklah, lalu apakah kita harus mendekam di tempat ini selamanya bagaikan seorang
pengecut" Tidak, bagaimana pun kita harus mencari jalan agar dapat keluar dari kemelut yang ki-ta hadapi!" tegas Si nenek.
"Nyi Sekar benar, tapi hendaknya kita menunggu sampai Nyi Besinga kembali." Usul Nyi Artawanti.
Si nenek tidak menanggapi, sebaliknya dia
miringkan kepala, kedua telinganya nampak ber Anak Pendekar 17 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Tusuk Kondai Pusaka 18

Cari Blog Ini