Ceritasilat Novel Online

Tanah Kutukan 2

Gento Guyon 2 Tanah Kutukan Bagian 2


"Jadi kau tidak punya rasa dendam untuk membalas kepedihan hatimu?"
tanya Pemacul Iblis.
"Walau badanku pendek, tapi
dendamku pada Braga Swara setinggi gunung. Saat ini kurasa kalau pun kita
bersatu tak mungkin dapat mengalahkan laki-laki durjana itu. Namun harus kau
ingat, dengan Tiga Permata Langit ada di tangan kita, kurasa dia tidak akan
luput dari maut!"
"Hah, jadi benda itu sekarang ada padamu?" desis Pemacul Iblis dengan mata
mendelik saking kagetnya.
Si Bocah Tua anggukkan kepala.
Dia kemudian menceritakan bagaimana
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Tiga Permata Langit itu dia dapatkan.
Setelah itu diapun kembali tertawa.
"Kurang ajar." dengus Pemacul Iblis. "Kelebihanmu, walau badan kecil tapi
dikaruniai hidung besar oleh Tuhan. Selain itu penciumanmu sangat tajam. Jika
aku punya penciuman
sepertimu, tentu aku tidak dapat kau tipu. Sekarang coba tunjukkan
bagaimana rupa Tiga Permata Langit itu?" pinta Pemacul Iblis. Nada suaranya
berubah pelan bersahabat.
"Benda itu sekarang ada dalam mulutku."
"Hah apa" Cepat keluarkan, aku mau melihatnya!" desak Pemacul Iblis sambil
melangkah mundur.
"Tiga Permata Langit tidak boleh kau lihat sebelum kita sampai di Tanah
Kutukan." jawab Si Bocah Tua sambil melangkah mundur.
"Aku hanya ingin melihat!"
berkata begitu Pemacul Iblis melompat.
Maksudnya hendak mencengkeram leher Si Bocah Tua.
Tapi Bocah Tua membentak. "Kau mencekikku" Bagaimana jika ketiga Permata Iblis
sampai tertelan" Dia akan mendekam dalam perutku. Untuk mengeluarkannya
membutuhkan waktu satu purnama. Itupun jika aku makan buah, jika aku makan ubi
yang keluar cuma kentut melulu tanpa ampas. Bisa jadi setahun kemudian kita
baru dapat GENTO GUYON TANAH KUTUKAN membalas dendam. Saat itu mungkin kau sudah mati karena digerogoti penyakit
dendam." Mendengar ucapan Si Bocah Tua,
Pemacul Iblis urungkan niatnya. Dia jadi ragu-ragu antara ingin memaksa bocah
itu memperlihatkan Tiga Permata Langit atau urung. Karena tidak ingin terjadi
sesuatu di luar perhitungan maka Pemacul Iblis akhirnya hentikan gerakannya.
"Baiklah. Jika begitu katamu aku tak berani memaksa. Sekarang kita tunggu
apalagi?" "Maksudmu?" Si Bocah tak mengerti.
"Kita harus pergi ke Tanah
Kutukan untuk mengadakan perhitungan dengan Braga Swara, bagaimana
pendapatmu?"
"Hi... hi... hi. Perhitungan memang sudah saatnya dilakukan. Tapi kita tidak
bisa datang menyatroni begitu saja. Kita harus menyelidik lebih dulu. Karena
menurut yang kudengar Tanah Kutukan sangat
berbahaya. Tak sembarang orang bisa me|oloskan diri bila telah sampai di sana!"
kata Si Bocah Tua.
"Kau benar. Saranmu nanti akan kupikirkan di tengah jalan." sahut Pemacul Iblis.
Tanpa bicara lagi kedua orang
kemudian sama tinggalkan tempat itu.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 8 ENTO UYON GG Mendekati tanah luas berpasir, di balik grombol kayu putih Gento Guyon dan
Gentong Ketawa hentikan larinya.
Saat itu panas terik, matahari tepat berada di atas kepala. Panas yang menyengat
terasa membakar batok
kepala, membuat si kakek gendut besar luar biasa mengipas-ngipas wajahnya dengan
jemari tangan. Dari balik kelebatan kayu itu
dengan jelas Gento dapat melihat
kilauan pasir yang memutih memancarkan cahaya warna-warni akibat sengatan
matahari. Tapi ada sesuatu yang
menarik perhatian pemuda ini. Dia melihat di tengah-tengah padang pasir terdapat
sesuatu berwarna hitam yang cukup lebar dan berbentuk seperti altar pemujaan.
"Guru lihat. Mungkin di sinilah tempatnya yang guru lihat dalam
mimpimu itu." berkata si pemuda tanpa mengalihkan perhatian dari lapangan pasir
di depannya. Si kakek gendut hentikan gerakan
tangannya yang mengipas. Dia bangkit lalu berjalan mendekati muridnya.
Sejenak lamanya dia memperhatikan dengan kening berkerut. Senyum kakek Gentong
Ketawa mengembang.
"Tidak salah aku melihat, tempat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN inilah yang kulihat dalam mimpiku.
Mungkin lapangan pasir ini yang
dimaksud nenek botak sebagai Tanah Kutukan." seru si kakek sambil berjingkrak
kegirangan. "Kalau benar ke mana perginya nenek itu" Seharusnya dia sudah sampai lebih awal
di tempat ini dan kita.
kenyataannya kita tidak melihat ada siapapun di sini."
"Aku juga heran. Aku malah
khawatir nenek itu membunuh diri di tempat yang kita lalui tadi?" ujar Gentong
Ketawa. "Ya, di sana memang ada jurang.
Tepat di sisi kiri jalan di balik lamping batu. Kasihan sekali. Sudah botak
sengsara begitu membunuh diri pula." celetuk Gento dengan mimik serius.
"Jika dia mati sesat sungguh sangat kusesalkan. Arwahnya pasti tidak diterima
bumi dan langit,
terkatung sengsara seumur-umur di atas angin!" gumam si kakek.
"Memang kau suka padanya, guru?"
tanya si pemuda setengah menyindir.
"Murid geblek. Apalagi yang ada di balik batok kepalamu itu"!" dengus si kakek
sengit. Si pemuda hendak tertawa, namun gurunya kini malah membekap mulutnya.
Dia menempelkan telunjuk tangan kirinya ke bibir
sendiri. "Ssst... jangan berisik. Kau
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN lihat kakinya tidak menjejak tanah sama sekali. Aku jadi curiga bukan mustahil
lapangan pasir ini tidak punya kekuatan untuk menahan berat badan kita." ujar si
kakek. Si pemuda memandang ke depan
lebih teliti lagi. Dia tidak
memperhatikan bagaimana kaki sosok berpakaian merah itu seakan mengambang di
atas tanah. Perhatiannya justru tertuju pada sesuatu yang berada dalam panggulan
orang itu. "Guru, melihat gerak geriknya yang seperti sudah terbiasa berada di tempat ini
kurasa dialah orangnya yang menjadi musuh nenek botak. Sekarang coba perhatikan!
Bukankah dia seperti memanggul seorang perempuan." ujar Gento.
Gentong Ketawa memperhatikan
sejenak lamanya, kemudian anggukkan kepala. "Kau tidak salah melihat, dia memang
membawa seorang perempuan. Tapi siapa perempuan itu" Tubuhnya kaku seperti kayu,
kurasa dia dalam keadaan tertotok."
"Tanah Kutukan. Firasatku mengatakan perempuan itu akan dijadikan korban
persembahan." kata si pemuda.
Gentong Ketawa diam tidak
menanggapi. Kini dia lebih banyak mencurahkan perhatiannya ke tengah lapangan
pasir di mana sosok berpakaian merah telah sampai di altar.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Dari kejauhan meskipun samar si kakek melihat orang berpakaian dan berjubah
merah meletakkan perempuan yang
dipanggulnya tadi. Sekejab orang itu nampak mengucapkan sesuatu, namun tak
terdengar jelas di telinga Gentong Ketawa karena suara hembusan angin menderuderu melenyapkan suara orang itu.
Tak berselang lama sosok
berpakaian merah kembali meninggalkan altar juga perempuan yang dibawanya.
Dia berlari cepat ke arah mana tadi pertama dia datang. Dari tempat
persembunyiannya, baik si kakek maupun muridnya sama dapat melihat bahwa orang
berjubah dan berpakaian merah itu bukan lain adalah seorang laki-laki berwajah
angker, wajahnya nyaris tak terlihat karena tertutup cambang bawuk lebat.
Sedangkan rambutnya yang panjang awut-awutan berwarna merah diikat sehelai kain
berwarna merah.
"Apa yang hendak dilakukannya?"
tanya Gento berbisik.
"Aku tak tahu. Bisa jadi dia hendak menjemputku!" celetuk si kakek.
Gento Guyon cibirkan mulut. "Kau kira dia suka manusia sejenis. Kau sudah
terlalu tua. Semuanya termasuk perabotan sudah bulukan." sahut si pemuda.
Gentong Ketawa hanya
menyeringai. Sementara laki-laki
berpakaian merah sudah mendekati tepi
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN lapangan agak jauh di sebelah kanan mereka. Kemudian orang ini lenyap di balik
kelebatan semak belukar.
"Bagaimana kalau kita
mengikutinya?" usul Gento Guyon sambil memperhatikan ke arah lenyapnya laki-laki
tadi. "Jangan!" sergah si kakek. "Jika tempat tinggalnya di tengah lapangan pasir ini,
tentu dia akan kembali.
Sekarang sebaiknya kita tolong saja gadis itu." kata si kakek. Walau pun merasa
agak kecewa Gento akhirnya hanya mengikuti apa yang dikatakan Gentong Ketawa.
Mereka kemudian keluar dari grombol kayu putih. Sebelum
sampai di tepi lapangan pasir si
pemuda memungut potongan kayu.
"Bagaimana apakah kita langsung menuju ke tengah lapangan itu.
Segalanya harus dilakukan dengan cepat jika tidak ingin ketahuan orang tadi."
kata si kakek begitu mereka berada di tepi lapangan pasir.
"Memikirkan keselamatan orang memang suatu perbuatan baik. Namun kita juga harus
memikirkan keselamatan diri sendiri." ujar si pemuda sambil tersenyum.
"Eeh, apa maksudmu?" tanya si kakek gendut tak mengerti.
"Tadi kita melihat orang itu berlari seperti mengambang di atas pasir. Berarti
di balik lapangan pasir
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN ini pasti ada apa-apanya." Tanpa bicara lagi Gento Guyon lemparkan kayu yang
dibawanya ke atas pasir. Begitu potongan kayu menyentuh permukaan pasir. Di
tengah lapangan terjadi pergolakan hebat, sedangkan potongan kayu itu sendiri
secara perlahan
lenyap, masuk ke dalam seperti
tersedot oleh satu kekuatan yang tak terlihat. Si kakek delikkan matanya, mulut
ternganga seakan tak percaya.
"Itu yang akan terjadi pada kita, seandainya tadi guru berlaku ceroboh."
kata si pemuda.
"Pasir ini hidup?" desis si kakek.
"Bisa jadi begitu, yang jelas pasir di lapangan ini tak bisa menahan berat badan
kita, atau bisa jadi juga di dalam pasir ini hidup mahluk aneh pemakan bangkai."
Apa yang dikatakan muridnya
membuat si kakek diliputi ketegangan.
Wajah pucat, sedangkan tengkuknya menjadi dingin. Tak terbayangkan
bagaimana seandainya tadi dia langsung menuju ke tengah lapangan itu.
"Hmm, masih bagus kau berlaku cerdik. Jika tidak nasibku entah
bagaimana." kata si kakek sambil memandang muridnya dengan tatapan penuh rasa
terima kasih. "Paling tidak nama depanmu dapat tambahan almarhum guru. Kemudian aku
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hidup seorang diri. Betapa hampa
rasanya." sahut Gento sambil tertawa.
"Kita harus melakukan sesuatu agar bisa sampai ke sana."
"Caranya bagaimana guru?" tanya si pemuda.
"Caranya sedang kupikirkan." kata si kakek.
"Kalau begitu berpikirnya di tempat persembunyian kita tadi, biar tidak dilihat
orang." "Eeh iya, kau betul." menyahuti si kakek sambil mengetuk keningnya berulang
kali. Melihat hal ini sambil melangkah ke tempat semula Gento Guyon berkata
dalam hati. "Dasar orang tua aneh. Mau
berpikir saja kepala diketuk-ketuk segala."
9 ENTO UYON GG Ketika laki-laki berpakaian dan
berjubah merah sampai di tepi lapangan pasir. Dia tidak langsung pergi,
melainkan berdiri tegak di situ
sementara matanya berputar liar
mencari ke setiap sudut. Mulut laki-laki itu membuka. Kata makian
terlontar. "Kurang ajar. Aku tadi meletakannya di sini. Mustahil gadis itu dapat
menyelamatkan diri. Siapa yang berani berbuat iseng di sarang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN iblis?" Ucapan laki-laki ini seakan
berlalu begitu saja. Dia kepalkan tinjunya. Dia ingat betul, selama ini tak ada
yang mengusik bila dia
meletakkan calon korbannya di tepi lapangan. Karena baginya tidak mungkin
membawa dua gadis culikan sekaligus ke altar persembahan mengingat tanah di
lapangan itu mudah goyah. Jika dia membawa beban terlalu berat, tentu tanah jadi
amblas dan dia pasti
terperosok tenggelam ke dalam pasir.
Tapi kini salah satu gadis yang
ditinggalkannya di tepi lapangan
mendadak lenyap. Mana mungkin hal itu bisa terjadi jika tak orang yang
melakukannya. Ingat dirinya dipermainkan orang, maka laki-laki berpakaian merah
yang bukan lain adalah Braga Swara menjadi sangat marah.
"Siapa yang berada di sekitar Tanah Kutukan ini harap tunjukkan diri!" Braga
Swara keluarkan teriakan lantang.
Teriakan laki-laki itu lenyap.
Sunyi sejenak, tapi beberapa saat kemudian terdengar suara gelak tawa yang
disertai dengan berkelebatnya dua bayangan putih ke arah laki-laki itu.
Hanya sekejap saja di hadapan
Braga Swara berdiri tegak dua orang pemuda tampan berpakaian putih
berkepala botak. Kemudian di belakang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kedua pemuda itu datang menghampiri seorang gadis cantik berpakaian putih
berambut panjang. Braga Swara tidak mengenali siapa adanya kedua pemuda


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersenjata golok besar dan toya ini.
Namun dia tentu masih ingat siapa gadis bersenjata roda kembar yang berdiri di
belakang dua pemuda yang tak dikenalnya. Dia bukan lain Ararini alias Taktu,
gadis yang meloloskan diri dari altar persembahan dengan menggunakan ilmunya
yang aneh. "Ha... ha... ha! Beberapa waktu yang lalu kau lolos dari tanganku.
Kini datang lagi bersama dua pemuda ini. Apa sebenarnya yang hendak kau lakukan
di tempat ini?" tanya Braga Swara.
Taktu melangkah maju, melewati
dua saudaranya yang berdiri tegak di hadapannya. "Kami menginginkan kepalamu!"
dengus Taktu dingin.
Sepasang mata Braga Swara
membulat besar. Apa yang dikatakan oleh gadis di depannya membuat dia tak mampu
menahan tawanya. "Kau hendak memenggal kepalaku" Hal yang sama juga diucapkan
oleh orang-orang yang
mendahuluimu. Sayang sebelum mereka sempat melampiaskan dendam kesumat, nyawa
mereka keburu terbang ke
neraka." sahut Braga Swara. "Kau gadis yang cantik, sebenarnya aku merasa
tertarik dengamu. Suaramu lantang,
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kurasa kau sangat hebat dalam hal bercinta. Namun sebelum segalanya berubah
menjadi menyakitkan ada dua pertanyaan yang ingin kuajukan!" kata Braga Swara.
Sepasang matanya
menjelajahi sekujur tubuh si gadis seakan dia hendak menelan gadis itu bulatbulat. Memang harus diakuinya sejak pertama kali dia menculik Taktu alias
Ararini dari penginapan. Braga Swara sudah merasa tertarik pada
kecantikan si gadis. Apalagi Taktu memiliki pinggul bagus serta bentuk dada yang
indah. Ditambah lagi dengan kulitnya yang mulus. Keadaan fisik Taktu sangat
sesuai dengan seleranya.
Sebaliknya melihat pandangan
mesum Braga Swara, Taktu menjadi naik darah. Dengan menahan kegeraman di dada
Taktu membentak. "Apa syaratmu iblis keparat" Cepat katakan!"
"Pertama, apakah kalian orangnya yang telah membebaskan gadis yang kutinggalkan
di sini?" "Betul. Gadis itu bahkan mungkin sudah berkumpul dengan keluarganya."
Yang menjawab adalah Takga. Si botak dengan pitak di belakang kepala yang
dikenal sangat jujur, polos,
bersahaja. "Bagus. Pertanyaanku kedua, melihat ilmu Tapak Awan yang dipergunakan gadis itu
meloloskan diri dari altar persembahan. Aku ingin tahu apa
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hubungan kalian dengan Peri Tanpa Bayangan?"
Taktu, Takwa dan Takga serentak
keluarkan tawa terbahak-bahak.
Sekarang mereka benar-benar merasa yakin telah datang pada orang yang tepat.
Takwa melompat maju. Dengan wajah merah padam mengingat kekejaman yang dilakukan
Braga Swara terhadap gurunya dia berkata.
"Peri Tanpa Bayangan kuingat beberapa tahun yang lalu dikelabui oleh seorang
laki-laki durjana.
Setelah dirinya hamil, kemudian laki-laki bangsat itu bermaksud membunuhnya
secara keji. Mungkin kini dia masih hidup, bisa jadi juga sudah mati jadi arwah
gentayangan yang ingin menuntut balas. Sedangkan kami adalah hantu gundul yang
diutus untuk mencopoti perabotanmu yang sudah banyak memakan korban itu. Ha...
ha... ha!"
Di samping rasa kaget mendengar
penjelasan Takwa, Braga Swara juga menjadi sangat geram mendengar ucapan pemuda
itu. Hingga tanpa banyak bicara lagi sepuluh jari tangannya ke depan kemudian
disibakkan ke kiri dengan gerakan merobek. Angin deras
berkesiuran, sinar merah membersit melabrak kedua pemuda dan gadis itu.
Taktu, Takwa dan Takga yang sudah bersikap waspada langsung berlompatan ke
belakang selamatkan diri. Begitu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sinar maut menghantam tempat kosong disertai ledakan tiga kali berturut-turut.
Maka Taktu memberi aba-aba untuk melepaskan pukulan balasan. Tiga pasang tangan
didorong ke depan. Enam larik sinar melesat, berkelebat dengan kecepatan laksana
kiiat menghantam bagian kepala badan dan kaki Braga Swara. Serangan yang
dilakukan secara bersamaan ini jelas sulit dihindari oleh lawannya. Karena
paling tidak alah satu dari pukulan ini pasti
mengenai sasarannya juga. Kenyataan ini disadari benar oleh lawannya.
Namun Braga Swara adalah seorang tokoh dunia hitam yang sudah kenyang
pengalaman di samping licik pula.
Sehingga tanpa ayal lagi sambil
mendorongkan kedua tangan memapaki enam serangan sekaligus dia melompat ke
udara. Tas! Bruum! Enam ledakan terjadi secara
bersamaan. Ketiga lawan nampak
terdorong mundur. Saat itu Braga Swara yang masih mengambang di udara sambil
berjumpalitan, begitu kakinya
menghadap bawah tanpa menjejak tanah lebih dulu dia terus melesat. Satu tangan
menyambar ganas ke wajah Taktu, sedangkan tangannya yang lain lakukan gerakan
menjebol dada Takga.
"Hem, benar-benar iblis!" gumam
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Takwa sambil gerakkan toyanya menyabet tangan Braga Swara dari atas ke bawah.
"Bagus telah kau tolongi kami dari cengkeraman tangan menjijikkan itu." celetuk
Takga. Sambil huyungkan tubuhnya ke kiri dia cabut golok besarnya yang terbuat dari
kayu batu. Sementara Taktu
kembali melompat mundur. Sedangkan Braga Swara sambil memaki terpaksa batalkan
serangan, tarik kedua
tangannya dari pentungan Toya. Toya menghantam tanah hingga menimbulkan letupan
dan lubang besar. Dengan
tangan kiri bertumpu pada toyanya Takwa jatuhkan diri, kaki kanan
menyambar kaki lawannya.
Dess! Hantaman keras yang mendarat di
bagian kaki belakang Braga Swara
membuat laki-laki itu jatuh
menelungkup. Selagi laki-laki itu berusaha bangkit sambil menggerung.
Kesempatan ini dipergunakan oleh
Takga. Dia melompat, lalu babatkan golok besarnya ke bagian punggung Braga
Swara. Lawan hanya sempat merasakan ada
hawa dingin menyambar punggungnya.
Untuk menghindar tentu akibatnya bisa fatal, karena mata golok kayu batu yang
berat bukan main itu sudah sangat dekat dengan pinggangnya. Karena itu Braga
Swara dengan gerakan kilat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN balikkan badan. Setelah itu dia
hantamkan tangan kanannya ke perut Takga.
"Adik awas!" Taktu berteriak kaget melihat serangan balik lawan yang tidak dapat
diduga ini. Dia
sendiri langsung luncurkan salah satu roda bergerigi membabat tangan Braga
Swara. Sedangkan Takwa dengan ujung toya mendorong dada adik
seperguruannya guna menolong Takga.
Takga alias botak ketiga memang
tak mungkin dapat menghindari pukulan lawannya, mengingat tubuhnya saat itu
meluncur mengikuti gerakan golok.
Dorongan toya yang dilakukan Takwa setidaknya menyelamatkan bagian
perutnya dari pukulan maut lawan. Tapi Braga Swara saat menyadari serangannya
luput tidak membiarkan lawannya lolos begitu saja. Dengan tangan kiri dia
mencengkeram kaki Takga, sedangkan tangan kanan dikibaskan ke arah roda terbang
yang dilayangkan Taktu.
Breet! Ujung kaki celana Takga berderak
robek. Bukan hanya itu saja bagian kakinya terluka. Empat bekas cakaran kuku
menimbulkan luka cukup dalam.
Namun Takga masih sanggup selamatkan diri.
Sementara hantaman tangan kanan
Braga Swara ke arah roda terbang
menimbulkan pusaran angin keras yang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN langsung menghantam senjata milik Taktu. Sesaat di udara roda berhenti berputar,
selanjutnya berbalik ke arah pemiliknya dengan kecepatan berlipat ganda. Gadis
ini keluarkan seruan kaget. Dia tidak punya pilihan,
sedangkan Takwa yang melihat serangan balik ini tak mungkin menolong
mengingat jarak di antara mereka
terpaut jauh. Di sebelah sana Taktu jatuhkan diri sama rata dengan tanah.
Roda terbang bergerigi setajam pedang yang seharusnya membabat pinggang si gadis
kini mendesing di atas kepala Taktu. Pada kesempatan itu si gadis gerakkan roga
terbang yang satunya lagi. Sehingga terdengar suara
berdentringan ketika kedua roga
terbang itu saling berbenturan satu sama lain. Dengan muka pucat bersimbah
keringat Taktu melompat bangkit.
Ketika dia melihat ke arah Takga, dilihatnya Takwa sedang berupaya
menolong adik mereka.
Braga Swara yang berdiri tegak di antara
ketiga saudara kembar itu
keluarkan tawa tergelak-gelak.
"Adikmu tak akan selamat dalam waktu satu malam di muka. Dia sudah terkena racun
Upas Bumi yang terdapat di ujung kukuku! Ha... ha ... ha."
kata Braga Swara.
Taktu menjadi khawatir dan juga
geram mendengar ucapan lawannya. Namun
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dia tak mungkin datang membantu,
mengingat lawannya bisa menghabisi mereka pada saat yang tak terduga.
Sementara itu Takwa sudah menotok nadi besar di kaki Takga untuk
mencegah agar racun Upas Bumi tidak cepat menjalar ke sekujur tubuh
adiknya. Dia juga mengambil obat
sebesar telur puyuh sambil berkata.
"Telan. Racun itu tidak akan berarti apa-apa jika kau menelan pilat (pil bulat)
sebesar ini!"
Sambil menyeringai menahan sakit
Takga buka mulutnya. Tak urung matanya mendelik ketika berusaha menelan pil yang
mengandung hawa panas laksana membakar tenggorokan dan perutnya itu.
Setelah mendelik-delik seperti
ayam yang tertelan karet, Takga
mengurut-urut tenggorokannya. Kemudian dia mendamprat. "Sial betul. Aku seperti
menelan bara api. Apa tidak ada lagi pil yang lebih besar dari yang kau berikan
tadi." sindir Taktu sambil bersungut-sungut.
"Ada. Besarnya kurang lebih
seperti kelapa!" jawab Takwa.
"Kurang ajar. Dalam keadaan
seperti ini masih sempatnya kakak Takwa bercanda."
"Dua botak memuakkan. Aku
inginkan saudara tua seperguruan
kalian. Jika beberapa hari kemarin aku mau menjadikannya sebagai tumbal, maka
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kini pikiranku berubah. Hari ini aku ingin bersenang-senang dengannya. Tapi
sebelum itu terjadi. Aku harus
membunuh kalian berdua. Nantinya mayat kalian akan kuberikan pada sahabat iblis
yang tinggal di dalam lapangan pasir itu!" menukas Braga Swara tiba-tiba
"Iblis tengik. Sebelum kau sentuh kakak Taktu, kupotong kepalamu.
Sebelum kau bunuh kami. Kucincang dulu tubuhmu!" hardik Takga yang kini sudah
berdiri tegak dengan golok
dilintangkan di depan dada.
Selanjutnya dengan cepat dia berkata ditujukan pada dua saudaranya yang lain.
"Saatnya menggunakan jurus Maut Dari Alam Roh!" kata Takga memberi aba-aba.
"Maut Dari Alam Roh!" Takwa menyahuti.
"Telah kurasakan kekuatan itu datang!" seru Taktu. Sekonyong-konyong Taktu putar
tubuhnya. Dengan gerakan yang aneh laksana kilat Taktu melesat ke udara. Di lain
kejap, dia telah berdiri tegak dengan kaki berpijak satu di bahu Takwa dan
satunya lagi di bagian bahu Taktu. Tangan tiga saudara seperguruan itu berputar
sebat, menimbulkan angin bergulung-gulung.
Braga Swara nampak kaget sekali
melihat keanehan yang terjadi. Lebih terkejut lagi ketika melihat masingGENTO GUYON TANAH KUTUKAN masing senjata di tangan ketiga
lawannya melesat menyerang dirinya.
10 ENTO UYON GG Toya yang melayang dengan
sendirinya milik Takwa berputar
mengemplang kepala dan punggung Braga Swara, sedangkan golok hitam menderu
menghantam leher, sedangkan roda-roda terbang milik Taktu menjebol dada
sedangkan satunya lagi mengincar
bagian di bawah perut.
Tiga serangan dahsyat yang
dilakukan melalui pengendalian tenaga sakti ini memang bukan serangan
sembarangan. Seorang tokoh silat
tingkat tinggi sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri dari serangan
ganas mengerikan ini,
Begitu juga yang terjadi dengan
Braga Swara. Dalam kagetnya dia cepat berkelit, melompat mundur sambil
menggoyangkan kepalanya menghindari kemplangan toya dan sabetan golok.
Sementara tangan kanan kiri dipukulkan ke arah dua roda terbang. Dua sinar maut
berwarna biru membersit
menghantam roda terbang milik Taktu.
Melihat hal ini Taktu yang berdiri di atas bahu kedua adik seperguruannya
gerakkan tangan yang dibentang lurus
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN ke arah senjata ke atas. Sehingga roda terbang melesat ke atas. Kedua sinar biru
menghantam tempat kosong,
sedangkan roda-roda terbang Taktu kini menukik ke bawah menghantam bahu dan dada
Braga Swara. "Jahanam keparat!" Laki-laki itu lontarkan makian keras. Dia jatuhkan diri
selamatkan dadanya, tapi dengan cepat sekali roda yang satunya lagi menghantam
bahunya. Bress! Terdengar suara pakaian robek
disertai daging yang tersayat. Braga Swara meraung kesakitan. Darah
menyembur, namun sambil bergulingan laki-laki itu masih sempat menghantam ketiga


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan yang mengendalikan
senjata secara aneh dengan pukulan
'Pasir Merah'. Begitu tangan dikibaskan, maka di udara bertaburan ribuan cahaya merah laksana
kunang-kunang yang ditiup topan. Hawa panas menghampar. Taktu, Takwa dan Takga
yang tengah memusatkan hati dan pikiran dalam upaya mereka mengerakkan senjata
mereka dari jarak yang jauh terkesiap kaget, namun
terlambat untuk menyelamat diri. Tak ayal lagi ketiga saudara seperguruan ini
berpelantingan terkena hantaman pukulan maut itu.
Jerit kesakitan keluar dari mulut mereka. Ketiga saudara seperguruan itu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sama merasakan tubuh mereka laksana ditancapi jarum yang membara. Dari sekujur
tubuh mereka ada darah yang menetes. Tapi ternyata murid-murid Peri Tanpa
Bayangan ini ternyata
mempunyai daya tahan yang hebat.
Terbukti walau dalam keadaan terluka mereka merayap bangkit.
Braga Swara sendiri begitu
senjata lawan berkerontangan jatuh dan setelah melihat lawan-lawannya dalam
keadaan terluka. Meskipun dirinya saat itu juga dalam keadaan terluka
bermaksud menghabisi lawan.
"Kecelakaan besar bagi kalian.
Terimalah ajalmu!" Braga Swara mengakhiri ucapannya sambil mengadu tangannya
satu sama lain. Detik itu juga dari telapak tangan yang saling berbenturan itu
mencuat lidah api yang menjulang tinggi bagaikan ular naga siap memangsa
lawannya. Setelah sampai pada ketinggian tertentu, lidah api itu kemudian
meliuk. Bagian ujungnya melebar seperti selendang. Setelah itu menukik ke bawah
bergerak cepat menggulung ketiga lawannya.
"Celaka! Cari selamat masing-masing!" teriak Takga. Dan murid Peri Tanpa
Bayangan itu pun akhirnya
menghambur, berlarian mencari
perlindungan di balik pohon. Namun lidah api yang telah melebar ini
secara aneh membelah menjadi tiga
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN bagian. Masing-masing bagian mengejar ke arah Taktu, Takwa dan Takga.
"Tobat! Tobat! Matilah aku." seru Takwa, begitu melihat lidah api yang
mengejarnya kini membakar pohon yang dijadikan tempat perlindungan. Tak sampai
di situ saja. Dengan
terbakarnya pohon, secara aneh dari seluruh permukaan tanah bermunculan lidah
api yang lain. Para pemuda itu tentu saja kalang kabut. Bagaimana pun mereka
menjadi panik mendapat serangan yang datang dari atas dan dari tanah yang
dipijaknya ini.
Selagi Braga Swara terbahak-bahak dengan serangan mautnya itu. Selagi Taktu,
Takwa dan Takga yang mulai terbakar pakaiannya ini kalang kabut memadamkan api
yang membakar. Maka pada saat itu pula terdengar satu seruan keras. "Berani
mempermainkan murid-muridku. Maka ajalmu semakin menjadi sulit menyakitkan!"
Seiring dengan bentakan itu pula satu sosok berpakaian putih melayang di udara.
Orang yang datang itu hantamkan
tangannya ke delapan arah. Secara aneh hawa dingin laksana es menderu
memadamkan lidah api dan juga sumber api yang bermunculan dari dalam
permukaan tanah. Melihat lidah api dapat dipadamkan oleh orang yang baru saja
datang menyelamatkan lawan-lawannya, kagetlah Braga Swara
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dibuatnya. Dia lebih terkejut sekali begitu melihat siapa yang munculkan diri di
tempat itu. "Sari Lukita?"" desisnya heran.
Dengan sikap acuh namun menyimpan dendam perempuan berkepala botak
berpakaian serba putih itu memperhatikan ketiga muridnya. Ternyata mereka
menderita luka bakar di bagian
punggung dan juga kaki serta tangan.
Melihat hal ini semakin bertambah marahlan Peri Tanpa Bayangan.
"Dengan ilmu Segoro Geni itu kau hendak
menghabisi mereka" Bangsat
durjana. Kejahatanmu selangit tembus, jangankan manusia setan sekalipun
merinding melihat perbuatanmu!" hardik Sari Lukita alias Peri Tanpa Bayangan
sangat gusar sekali. Terlintas dalam pikirannya akan perbuatan yang
dilakukan Braga Swara di masa lalu.
Bujuk rayunya yang memabukkan. Serta kekejiannya saat hendak membunuh Sari
Lukita di saat perempuan itu
mengatakan dirinya hamil. Semua ini membuat perempuan setengah baya
tersebut jadi sangat marah.
"Kukira ajalmu sudah tidak akan lama lagi. Aku pasti akan membunuhmu.
Akan kucincang tubuhmu sampai lumat!"
teriak Peri Tanpa Bayangan kalap.
Tak jauh di belakang perempuan
itu, murid-muridnya yang menderita luka bakar meskipun dalam keadaan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN terluka nampaknya siap untuk membantu gurunya.
"Sari Lukita. Kau dengar, saat ini aku sedang terluka. Jika kau
merasa punya kepentingan sebaiknya kau datang di lapangan pasir Tanah
Kutukan. Maaf, aku harus pergi
sekarang. Ha-ha... ha!" berkata begitu Braga Swara langsung putar tubuh dan
berlari meninggalkan perempuan itu.
"Iblis durjana hendak lari ke mana kau!" seru Peri Tanpa Bayangan.
Tidak memberi kesempatan lagi dia langsung menghantam dengan tangan kanan. Sinar
putih menderu, hawa
dingin menghampar. Namun Braga Swara tanpa menoleh lagi
sambil terus berlari kibaskan tangannya pula ke belakang.
Glaaar! Dentuman keras menggelegar, Sari
Lukita terjajar. Debu dan pasir
bertaburan memenuhi udara hingga
membuat pemandangan perempuan itu jadi terhalang. Ketika debu yang menutupi
udara sirna, maka Braga Swara sudah tak berada lagi di tempat itu.
"Ke mana manusia durjana itu melarikan diri!" tanya si perempuan mencoba
menindih amarahnya.
"Kami melihat dia menuju ke
lapangan pasir itu guru!" jawab Takwa yang saat itu terduduk lesu sambil memapah
Taktu. Walau hati wanita ini
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sangat penasaran melihat musuh
besarnya melarikan diri, namun
mendengar rintihan murid-muridnya Peri Tanpa Bayangan jadi tidak tega
meninggalkan mereka. Dia pun lalu menghampiri mereka. Kejut di hatinya bukan
olah-olah ketika melihat
kenyataan sesungguhnya. Takwa dan Takga menderita luka bakar yang sangat parah,
walaupun memang bagian wajah mereka tidak cidera sedikitpun.
Peri Tanpa Bayangan berlutut di
depan murid-muridnya. Dia mengeluarkan serbuk obat-obatan dari balik
pakaiannya. "Taburkan serbuk ini ke bagian luka kalian. Dalam waktu yang tidak
lama kukira luka itu pasti sudah mengering." kata Sari Lukita. Takwa dan Takga
masing-masing satu bungkus serbuk. Mereka saling bergantian
menaburkah ke bagian luka satu sama lain. Sementara orang tua itu sendiri
menghampiri Taktu.
"Apa yang terjadi denganmu?"
tanya Sari Lukita. Dia memperhatikan wajah muridnya. Ternyata wajah gadis itu
tampak membiru. "Kau... kau terkena pukulan Tangan Pasir Merah.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
"Kami mengerahkan jurus Maut Dari Alam Roh ketika Braga Swara melepaskan pukulan
Tangan Pasir Merah. Waktu itu kami sebenarnya sudah berhasil
melukainya. Tapi kiranya kami kurang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN beruntung." kata Taktu. Dia juga kemudian menceritakan segala sesuatu yang
hampir terjadi pada dirinya
beberapa hari sebelum itu.
Mendengar penjelasan muridnya
geraham si nenek bergemeletukan,
pelipis bergerak-gerak. Sedangkan
kedua tangan dikepalkan. Akan tetapi kepada muridnya dengan suara lembut dia
berkata. "Aku menyesal telah melibatkan kalian semua. Tapi aku berjanji jika
urusan gila ini telah selesai kalian boleh pergi ke mana saja kalian sukai. Yang
terpenting di manapun kalian berada jangan melakukan sesuatu yang membuat aku
marah!" "Tapi rasanya aku suka tinggal bersama guru di Goa Cadas Angin." kata si gadis.
"Kalau aku lebih suka
mengembara." menimpali Takwa.
"Aku ikut denganmu kakak Takwa."
ujar Takga pula.
"Sudahlah, kau boleh ikut dengan siapa saja. Yang penting sembuhkan lukamu dulu.
Setelah itu kita sama-sama pergi ke tengah lapangan pasir bersama-sama." sergah
Peri Tanpa Bayangan. Selanjutnya si nenek
berpaling pada Taktu. "Kau menghadap ke arah sana, aku akan menyembuhkan luka
dalammu melalui pengerahan tenaga dalam. Mungkin tengah malam nanti kita baru
bisa bergerak ke tengah lapangan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pasir!" ujar perempuan itu. Taktu membalikkan badan. Peri Tanpa Bayangan segera
salurkan tenaga dalamnya ke punggung sang murid. Beberapa saat kemudian dari
sekujur tubuh gadis itu tampak mengeluarkan asap tebal berbau kulit terbakar.
Taktu mengerang,
mengerang lagi sampai akhirnya tak sadarkan diri.
11 ENTO UYON GG Di sebelah utara lapangan pasir
dua sosok tubuh mendekam di balik kerimbunan semak belukar. Saat itu matahari
baru saja tenggelam di upuk barat. Kegelapan menyelimuti alam sekitarnya. Di
balik semak belukar di mana dua sosok itu berada suasana tempat ini terasa lebih
gelap karena terlindung pohon-pohon berdaun lebat.
"Kau yakin di sini bangsatnya Braga Swara bersembunyi?" tanya sosok pendek
setinggi pinggang orang dewasa yang mendekam di sebelah kakek kurus kering yang
bahunya digelantungi pacul besar.
"Hal itu tak kuragukan. Sudah lebih tiga kali aku menyelidik.
Hasilnya tidak perlu dirisaukan. Malam ini Braga Swara harus melunasi semua
hutang berikut bunganya terhadapku!"
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kata si kakek kurus berkepala botak, beralis botak, berkumis dan berjanggut
botak masing-masing di sebelah kiri.
"Menurutmu, tanah pasir ini tidak bisa kita pijak. Aku sendiri tak mau terkubur
hidup-hidup. Lalu bagaimana kita bisa sampai ke tengah lapangan itu?" tanya
sosok pendek bertingkah laku seperti bocah, namun memiliki wajah seperti seorang
kakek renta ragu.
"Aku sudah memikirkannya. Dengan ilmu meringankan tubuh aku akan
mempergunakan pacul ini untuk meluncur melewati lapangan pasir ini. Sedangkan
kau bisa menggunakan papan kayu."
berkata begitu si kakek kurus berwajah angker menarik papan kayu dari balik
semak, membersihkan kotoran yang
terdapat di papan kayu kemudian
menyerahkannya pada sosok pendek
berpakaian hitam yang tiada lain
adalah Si Bocah Tua.
"Bagaimana cara menggunakannya?"
tanya si bocah sambil mengamat-amati kayu papan di tangannya.
Si kakek yang bukan lain adalah
Pemacul Iblis jadi kesal sekali.
"Bocah tua menyebalkan. Kecil tidak mau mampus, sudah besar hanya bikin pusing
orang lain." dengus Pemacul Iblis sinis. "Tentu kau bisa mempergunakan kedua
kakimu. Papan ini kau pijak, ilmu meringankan tubuh kau
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kerahkan sedangkan sebelah kakimu mendayung."
Si pendek berhidung besar
bermulut mungil seperti bocah
tersenyum. "Ternyata otakmu cukup cerdik juga. Sekarang sebaiknya perjalanan menyenangkan
ini mulai kita lakukan."
kata Si Bocah Tua.
"Perjalanan menyenangkan"!
Mungkin kau betul, salah sedikit bukan hanya badanmu, tapi
juga kurasa nyawamu ikut amblas! Ho... ho... ho."
sambil berkata Pemacul Iblis berdiri.
Mereka kemudian berjalan mendekati lapangan pasir. Setelah sampai di pinggir
lapangan pasir Pemacul Iblis turunkan
pacul besarnya. Dia
berpegangan pada gagang pacul, salah satu kaki diletakkan dia tas pacul
sedangkan kakinya yang lain bebas untuk digerakkan. Hal yang sama juga dilakukan
oleh Si Bocah Tua.
"Perjalanan dimulai...!" seru si kakek kurus.
"Aku mengikut di belakang. Eeh...
tapi sebelum kasib aku ingin tahu kita berhentinya di mana?" tanya Si Bocah Tua.
"Di neraka. Tentu saja di atas altar itu tolol"!" dengus Pemacul Iblis.
Bersamaan dengan ucapannya itu si kakek melesat ke tengah lapangan pasir dengan
kecepatan laksana kilat.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Sesekali kaki mereka mendayung,
setiap kaki menyentuh permukaan pasir maka di bawah permukaan tanah pasir itu
terjadi gejolak tidak ubahnya seperti gelombang laut. Gejolak yang terjadi
semakin nyata ketika Pemacul Iblis dan Si Bocah Tua hampir
mendekati altar di mana ada satu sosok tubuh tergeletak diam di sana.
"Kurang ajar. Apakah kau tidak merasakan ada sesuatu bergerak
mengikuti kita, sobat?" tanya Si Bocah Tua yang mulai merasakan papan kayunya
yang dipergunakan untuk berpijak mulai oleng.
"Yang aku tahu kau mengikutiku.
Jika kau merasa ada sesuatu yang
mengikutimu mungkin saja setan." sahut Pemacul Iblis tanpa menoleh ke
belakang. Si Bocah Tua baru saja hendak
membuka mulutnya kembali, ketika
dengan tiba-tiba saja dia merasakan adanya satu gerakan hebat di bawah papan
kayu yang dipergunakan untuk mengarungi lapangan pasir tersebut.
Belum lagi hilang kejut di hati Si Bocah Tua mendadak dia merasakan
papannya seperti dihantam satu kepala dari bawah. Si Bocah Tua terpelanting,
jungkir balik di udara sambil
menjerit. "Pemacul Iblis. Si keparat itu ada di bawah kita!"
Pemacul Iblis melengak kaget. Dia
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN

Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah hampir mencapai sisi altar berpaling dan mendapati Si Bocah Tua alias
Hidung Setan berjumpalitan melewati atas kepalanya selamatkan diri.
Bruk! Si Bocah Tua jatuh
dengan punggung di atas altar. Tanpa
menghiraukan rasa sakit yang mendera punggungnya, si pendek berwajah kakek renta
memandang ke arah di mana tadi papannya dihantam oleh sesuatu dari bawah
permukaan pasir. Dengan bantuan cahaya bulan purnama sekelebatan dia melihat
satu sosok kepala lonjong bermuiut runcing bermata seperti api.
Sekejap saja kepala itu melenyapkan diri. Sementara itu Pemacul Iblis yang baru
saja jejakkan kakinya di atas altar jadi terkesima melihat mata sahabatnya
nampak mendelik besar
seperti melihat setan.
"Mahluk itu. Dia hampir saja menelanku." desis Si Bocah Tua, cuping hidungnya
kembang kempis dan
penciumannya yang tanjam mencium bau amis menyengat dan busuknya bangkai.
"Hei, apa sebenarnya yang kau lihat?" seru Pemacul Iblis heran. Mata si kakek
jelalatan memandang ke setiap sudut altar. Di sudut kiri altar
matanya membentur satu sosok gadis dalam keadaan polos tanpa selembar benangpun.
Tanpa menunggu jawaban Si
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Bocah Tua, Pemacul Iblis segera
memeriksa gadis itu. Gadis berambut panjang ini ditemukan si kakek dengan leher
menganga seperti bekas tusukan pedang. Bila melihat ke arah bagian tubuhnya yang
lain. Pastilah si gadis malang telah dinodai sebelum akhirnya dibunuh secara
keji. Si kakek bergidik ngeri. Dengan
perasaan diselimuti ketegangan orang tua itu sambar pakaian yang teronggok dekat
si mayat. Dengan mempergunakan pakaian seadanya dia tutupi bagian aurat mayat.
"Satu korban telah jatuh. Entah siapa korban berikutnya?" desis Pemacul Iblis
sambil kitarkan pandang ke segenap penjuru lapangan dengan sikap waspada.
"Mungkin kita tak akan selamat apalagi keluar dari tempat ini dalam keadaan
hidup-hidup. Aku telah
melihatnya, aku bahkan mencium
kehadirannya di sekitar kita!" desah Si Bocah Tua tegang.
"Ada apa sebenarnya" Kau seperti orang mengingau. Mahluk apa yang kau lihat"!"
hardik Pemacul Iblis merasa tidak tenang.
"Hantu Singa Lodraya." dalam takutnyaSi Bocah Tua menggumamkan satu nama.
"Maksudmu mahluk ular berkepala singa itu" Apakah mahluk iblis itu
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN benar-benar ada?" tanya Pemacul Iblis heran
"Apa yang kukatakan tidak keliru.
Dulu Braga Swara pernah sesumbar
bersahabat dengan mahluk terkutuk dari neraka itu. Mahluk ganas yang konon tidak
dapat dijinakkan. Nyatanya Braga Swara tidak bohong. Dia tinggal di Tanah
Kutukan ini, berarti Hantu Singa Lodraya telah menjadi sahabatnya."
"Bocah Tua, mengapa sekarang kau berubah jadi sepengecut itu" Apakah kau tidak
ingat lagi bagaimana Sari Lukita istrimu dilarikannya" Jika kau bicara tentang
segala hantu keparat, sebaiknya kau ceburkan dirimu ke dalam pasir itu. Buat apa
kau hidup jika tak punya kehormatan dan harga diri?"
hardik Pemacul Iblis yang merasa
sangat tidak senang mendengar ucapan kawannya yang terlalu menganggap
tinggi kehebatan ilmu lawannya.
"Lalu apa yang akan kita lakukan.
Selain mayat gadis itu, keparat Braga Swara tidak ada di sini. Ke mana kita
harus mencari?" tanya Si Bocah Tua bingung.
"Kau pernah mendengar tentang ilmu Cikalang Tanah?" tanpa
menghiraukan pertanyaan sang teman, Si Bocah Tua ajukan pertanyaan pula.
"Apa maksudmu?"
"Ho... ho... ho. Bukan tubuhmu saja yang pendek, ternyata otakmu juga
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN rupanya setolol kerbau. Kudengar Braga Swara mengamalkan ilmu sesat itu.
Siapapun yang berhasil menguasai ilmu tersebut dia bisa hidup di mana saja.
Dia juga bahkan dapat mendekam di dalam tanah sampai seratus hari."
jelas si kakek.
"Tapi untuk mengamalkannya tidak mudah. Kudengar hampir setiap bulan sabit
muncul di langit dia harus
melakukan korban persembahan dengan meminum darah gadis yang masih
perawan! Jika betul mengapa aku tidak melihat mayat mereka?" tanya Bocah Tua.
Kembali Pemacul Iblis tertawa
tergelak-gelak. Dia menunjuk ke arah lapangan pasir. "Andai kau kulemparkan ke
atas pasir itu apakah kau tidak tenggelam" Kurasa mayat bekas korban persembahan
dibuang ke lapangan pasir ini. Sudahlah... jangan ajukan
pertanyaan tolol lagi padaku. Aku akan menunggu, jika Braga Swara tidak
muncul akan kupacul seluruh lapangan pasir tanpa aku perdulikan seberapa
dalamnya!"
Si Bocah Tua bangkit berdiri.
Walau perasaannya jadi gelisah, namun kini tidak ada lagi rasa takut
menyelimuti hatinya. Apalagi mengingat di dalam mulutnya, di samping geraham
kanan dan sebelah kiri tersimpan Tiga Permata Langit.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN "Braga Swara manusia laknat, laki-laki durjana!" tiba-tiba terdengar teriakan
keras dari mulut si kakek. "Aku Pemacul Iblis dan sahabatku Hidung Setan datang
menyambangi ingin minta pertanggun-jawabmu. Aku tahu kau berada di
sekitar lapangan ini, diam mendekam di satu tempat di bawah tanah. Jika kau
bukan seorang pengecut, cepat datang ke hadapan kami dan akui semua dosa
kejahatanmu, setelah itu baru membunuh diri!"
Sepi! Suara teriakan Pemacul
Iblis lenyap begitu saja. Kemudian angin menderu-deru, permukaan pasir
bergelombang bagaikan alunan air di tengah lautan.
Di tepi lapangan pasir sebelah
timur si gondrong bertelanjang dada yang baru saja keluar dari balik
rumpun kayu putih julurkan kepala dan memandang lurus ke tengah lapangan.
"Orang gila mana lagi yang baru saja berteriak." katanya perlahan.
Rupanya dia sempat mendengar suara teriakan Pemacul Iblis yang sangat keras
bagaikan geluduk karena kakek itu menyertakah tenaga dalam ketika berteriak
tadi. Si gendut besar luar biasa kibaskan lembaran daun waru yang sudah
disatukannya menjadi tiga lapis, Sekejap dia mengangkat daun waru itu, kepala
didongakkan sedangkan matanya
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN mulai memeriksa. Melalui cahaya bulan dia dapat melihat daun waru itu tidak ada
yang berlubang sedikitpun.
Selanjutnya sambil tersenyum dia
melangkah mendekati muridnya.
"Gege... daun waru milikku tidak ada yang berlubang. Sekarang sudah malam,
sebaiknya kita mulai menye-berangi lapangan pasir ini."
"Tidakkah guru mendengar ada orang yang baru saja berteriak tadi.
Dia memanggil Braga Swara." ujar Gento.
"Itu adalah nama iblis jahat.
Nama yang sama juga pernah disebutkan oleh nenek botak. Lalu buat apa kau
pikirkan segala macam suara yang aku dengar" Di tempat seperti ini seribu macam
suara bisa saja terjadi.
Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan. Sekarang sudah saatnya bagi kita
untuk melakukan sesuatu."
"Guru... tidakkah kau merasa telah mencampuri urusan orang lain"
Bagaimana jika kita berada di pihak yang salah?"
"Salah bagaimana. Orang berpakaian merah itu kejahatannya sudah sering kudengar.
Orang persilatan menjulukinya dengan Iblis Pemetik Bunga. Sekarang tidak ada
waktu bagi kita. Aku sendiri tidak mau melewatkan tontonan yang menarik ini."
ujar Gentong Ketawa.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Gentong Ketawa tanpa menunggu
muridnya lagi langsung meletakkan lembaran daun waru di atas pasir.
Begitu sebelah kakinya diletakkan di atas daun waru. Maka kaki kirinya lakukan
gerakan seperti mengayuh di atas permukaan pasir. Sungguh hebat mengagumkan.
Tubuh si kakek melesat kencang di atas permukaan pasir.
Padahal berat badan orang tua ini lebih dari dua ratus kati. Tapi aneh, kaki
yang cuma berpijak pada daun waru ini sama sekali tidak amblas ke dalam tanah.
Di tepi lapangan pasir muridnya
si Gento Guyon masih berdiri tegak di situ sambil memandangi gurunya. Ada
sesuatu yang mengganjal dalam
pikirannya. Dia merasa yakin di dalam tanah pasti ada mahluk yang mendekam di
sana. Entah mahluk apa, yang jelas sangat berbahaya.
Seperti yang dilakukan oleh
gurunya, Gento juga meletakkan daun waru di atas pasir. Setelah itu kaki kiri
diletakkan di atas daun waru.
Dengan kaki kanan digenjotkan di atas permukaan pasir kejap kemudian
tubuhnya juga sudah ikut meluncur sebagaimana yang terjadi pada gurunya.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 12 ENTO UYON GG Pemacul Iblis sebenarnya sudah
tidak sabar lagi menunggu jawaban yang diinginkannya. Sedangkan Si Bocah Tua
nampak berjalan mondar-mandir di atas altar dengan mata hampir tidak pernah
berhenti mengawasi setiap sudut yang dianggapnya sangat mencurigakan.
Baru saja mulut Pemacul Iblis
hendak membuka kembali, pada saat itu terjadi gejolak hebat di bagian
belakang altar.
"Pemacul Iblis, lihat!" Si Bocah Tua keluarkan seruan keras. Dengan cepat sekali
si kakek tua balikkan badan, lalu memandang ke arah yang ditunjuk oleh Si Bocah
Tua. "Inilah jahanamnya yang kutunggu.
Sudah tak sabar rasanya aku memacul remuk batok kepalanya!" gumam si kakek
geram. Gejolak yang terjadi di permukaan pasir terhenti. Di bagian lapangan lainnya
terjadi pula gejolak yang lain. Sementara dari tempat terjadinya gejolak yang
pertama terdengar satu suara yang amat keras menggeledek.
"Kalian menungguku! Ha... ha...
ha! Bekal apa yang kalian bawa ke mari?"
"Aku membekal dendam kesumat juga
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sebuah pacul besar untuk menghancurkan isi kepalamu!" sahut Pemacul Iblis
lantang. "Terima kasih. Kau baik amat.
Kematianmu akan kubuat semudah
mungkin. Lalu kalau boleh aku bertanya apa yang membuatmu sangat menginginkan
diriku?" tanya suara dari balik tanah pasir disertai tawa bergelak.
"Kau ingat gadis yang bernama Minawati" Untuk membuka jalan
pikiranmu perlu kutegaskan. Dia
mempunyai tahi lalat di kening. Kau menculiknya dari tempat tinggal orang tua
gadis itu. Keluarganya kau bunuh semua, sedangkan gadis itu kau
perkosa. Kemudian mayatnya kau gantung di atas kandang kambing."
"Minawati, sorga kenikmatan yang tak kan pernah kulupakan seumur hidup.
Dia membuatku puas. Sayang aku cuma berkenan memperistrinya satu malam saja. Kau
sendiri apanya?" tanya suara itu lagi.
Dengan wajah memerah pipi
menggembung dan rahang bergemeletukan, sambil menahan amarah Pemacul Iblis
menjawab. "Aku kekasihnya, dia calon istriku!"
"Ha... ha... ha. Hanya calon, kau hanya dapat menikmati malam pertama dalam
mimpi, kau tidur berpelukan dengan angin. Minawati jadi arwah pengantin
penasaran sedangkan kau
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sendiri sampai ubanan dan rambut
rontok sebelah tetap dalam kesendirian. Kasihan...!"
Mendengar jawaban yang bernada
sangat meremehkan itu hilanglah sudah kesabaran di hati si kakek. Dia
melompat mendekati bibir altar sambil menghantam ke arah datangnya suara dengan
pukulan Petir Neraka. Sinar merah kehitaman berkiblat, hawa panas disertai angin
ribut menghampar. Sinar merah itu kemudian menghantam tanah pasir di mana sumber
suara suara berasal. Dentuman keras menggelegar, pasir yang merah menyala akibat
terkena pukulan muncrat di udara. Asap hitam mengepul, bergulung-gulung di udara
dan lenyap. "Tobat. Kau hendak menenggelamkan altar ini!" bisik Si Bocah Tua yang sempat
jatuh terduduk akibat guncangan keras yang terjadi.
Sejenak lamanya Pemacul Iblis
menunggu. Tanah pasir bergolak seakan ada sesuatu di bawahnya yang berpindah
tempat. Kemudian terdengar suara tawa.
"Bukan diriku yang kau hantam, bagaimana aku bisa mati!" seru suara itu.
Pemacul Iblis melengak kaget,
begitu juga halnya dengan Si Bocah Tua.
"Tidak usah gusar Pemacul Iblis.
Sekarang aku ingin ajukan pertanyaan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pada Si Bocah Tua."
"Jahanam keparat. Aku muak
mendengar suaramu, mengapa tidak kau perlihatkan diri secepatnya!" hardik Si
Bocah Tua sewot.
"Itu adalah urusan nanti. Kau dengar dulu. Apa tuntutanmu hingga kau datang ke
mari?" "Hem, kau tentu tak akan lupa dengan perempuan bernama Sari Lukita.
Dia istriku. Kau menggodanya. Apakah kau sudah mengingatnya"!" hardik Si Bocah
Tua berang. "Hemm, perempuan itu memang cukup mengesankan. Keinginannya selalu
menggebu, cintanya panas bergelora.
Sayang dia perempuan lemah iman,
hingga mudah masuk dalam perangkap bujuk rayu. Tapi itu salahmu sendiri.
Kau seorang laki-laki, tentu kau tahu apa yang diinginkan wanita sebagai
istrimu. Sayang... kau tak dapat
memenuhinya. Padahal perempuan bukan bantal guling yang cukup kau peluk dan kau
belai-belai. Ha... ha... ha...!"
Merasa ditelanjangi karena
kelemahannya dibuka oleh Braga Swara maka Si Bocah Tua jadi kalang kabut.
Dia juga bermaksud menghajar Braga Swara. Tapi apanya yang hendak
dihajar, sedangkan batang hidung laki-laki durjana itu sendiri tak
kelihatan. Akhirnya dia hanya mampu kepalkan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN tinjunya, sedangkan matanya mencorong marah.
"Jadi, kalian datang karena
wanita. Sungguh memalukan, padahal aku sendiri kalau mau mampu mencari
sepuluh gadis cantik dalam sekedipan mata. Huh... kukira kau dan temanmu kakek
kurus itu membawa kabar penting apa. Namun aku bukanlah orang yang tidak


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghormati tamu. Setiap tamu yang datang pasti akan kusambut dengan segala
keramahan. Lihat ke mari,
junjunganmu berkenan memperlihatkan diri!" Baru saja suara orang itu lenyap.
Tanah pasir di mana suara berasal berputar hebat
membentuk pusaran yang semakin dalam makin
melebar. Dari lubang pusaran pasir yang tersibak melesat satu sosok
tubuh, berputar di udara,
berjumpalitan dengan gerakan yang indah mengagumkan. Selanjutnya melesat ke arah
altar sambil lembaikan tangan kirinya ke arah Pemacul Iblis dan Si Bocah Tua
tidak ubahnya seperti orang yang melambaikan tangan pada sahabat yang sudah lama
bertemu. Serangkum sinar merah menderu.
Pemacul Iblis memaki, dia tekuk kaki kanan ke depan, sedangkan tangannya
dilambaikan pula ke arah si baju
merah. Si Bocah Tua juga tak tinggal diam, sambil melompat ke atas hindari
serangan dia juga menghantam lawan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dengan pukulan Mendung Berputar Di Atas Menara. Selarik sinar hitam
membersit dari telapak tangan Si Bocah Tua, sedangkan dari tangan Pemacul Iblis
yang telah melepaskan pukulan Petir Neraka melesat pula sinar merah kehitaman
disertai mengepulnya asap hitam seperti awan berarak.
Tak terelakkan lagi masing-masing pukulan itu saling berbenturan di udara.
Membuat Braga Swara tersentak ke belakang dengan dada sesak dan perut berdenyut
sakit. Tapi dia masih dapat melakukan gerakan berjumpalitan di udara dan
jejakkan kakinya pula di sudut kiri altar. Pemacul Iblis jatuh terduduk.
Sedangkan Si Bocah Tua
nampak terkapar di lantai altar.
Nafasnya kembang kempis, menguik
seperti penderita sesak nafas,
menggeliat dan melompat bangkit dengan wajah sepucat kapas. Cepat dia atur jalan
darahnya. Masih beruntung Tiga Permata Langit yang tersimpan dalam mulutnya tak
sampai tertelan. Jika tidak, alamat sendiri bakal celaka.
Dengan sigap Pemacul Iblis begitu bangkit langsung melompat mendekati Si Bocah
Tua. Di depan mereka Braga Swara menyeringai.
"Kalian tidak tahu aku berada di rumah sendiri. Walaupun kalian berdua aku
sendiri, belum tentu kalian bisa lolos dari tempat ini dalam keadaan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hidup. Apalagi jika aku menyuruh empat sahabatku menyerang kalian. Jangankan
tulang, kentut kalian pun tak akan tersisa!" dengus Braga Swara sinis.
"Manusia sombong. Apa kau
menyangka bakal lolos dari tangan kami!" hardik Pemacul Iblis. Dia yang sudah
menyalurkan tenaga dalamnya ke bagian tangan, sekonyong-konyong
melompat ke depan. Tangan kiri
menyambar bagian wajah sedangkan
tangan kanan menderu menjotos dada Braga Swara.
"Aku inginkan barangnya!" teriak Si Bocah Tua. Dengan sangat cepat luar biasa,
bocah berwajah kakek tua ini bergulingan di lantai altar. Tubuhnya terus
menggelundung, kaki ditendangkan ke bagian pinggang sedangkan kedua tangan
melesat terjulur dengan gerakan meremas.
Dua serangan tokoh sakti yang
sama-sama dilamun dendam kesumat ini jelas bukan serangan biasa. Setangguh
apapun lawannya paling tidak dia tidak bakal sanggup menghindar dari salah satu
serangan ganas ini. Tapi di
sinilah Braga Swara yang belum sembuh dari luka di bahu kirinya akibat
terkena sambaran roda terbang Taktu membuktikan
kehebatanya. Sambil
melompat ke samping, tangannya dikibaskan dari atas ke bawah menangkis serangan
Pemacul Iblis. Sedangkan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kakinya menyapu kedua tangan Si Bocah Tua yang mencengkeram bagian bawah
perutnya. Plask! Plak! Des! Tiga pasang tangan saling beradu
keras. Dua serangan lawan dibuat
mentah terkecuali tendangan Si Bocah Tua memang tak dapat dia hindari.
Braga Swara terhuyung, langkahnya termiring-miring. Pinggang serasa remuk, namun
dia tak menghiraukannya.
Pemacul Iblis tampak tergetar.
Sedangkan Si Bocah Tua kini sudah bangkit berdiri, menerjang ke depan dengan
satu lompatan tinggi, sedangkan tangannya membabat ke arah leher.
Angin bersiuran menyertai berkelebatnya tangan Si Bocah. Tapi pada saat itu
pula, Braga Swara sambil
menggereng sudah pula melompat. Begitu tubuhnya mengambang di udara, dia
menghantam Si Bocah Tua dengan satu pukulan jarak pendek yang ganas.
Hawa panas menyengat, sinar merah berkiblat. Si Bocah Tua terkejut.
Tangannya yang semula membabat leher, kini terpaksa ditarik dan didorongkan ke
depan. Tapi gerakannya kalah cepat, karena pada saat itu pukulan yang dilepaskan
Braga Swara telah
menghantam dadanya.
Tidak ayal lagi tubuh Si Bocah
Tua mencelat sejauh dua tombak dan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN terhempas di lapangan pasir. Sekejap saja dalam keadaan terluka dalam dan
semburkan darah dari mulutnya sosok Si Bocah Tua nampak mulai tenggelam
tersedot ke dalam pasir itu. Melihat hal ini, Pemacul Iblis yang semula sudah
akan mempergunakan pacul mautnya untuk menggempur lawan terpaksa
batalkan niat. Cepat sekali dia
melompat ke lapangan pasir untuk
menyelamatkan kawannya. Dengan kaki bertumpu pada pacul, tangannya yang lain
menyambar Si Bocah Tua. Laksana kilat dia mencoba melontarkan kawannya ke atas
altar. Tapi tiba-tiba Si Bocah Tua menjerit. Dari bagian bawah pasir kakinya
seperti ada yang menarik.
"Jahanam keparat. Mahluk celaka itu!" seru Pemacul Iblis. Tarik menarik terjadi,
Si Bocah Tua ayunkan kakinya. Pada saat itulah di bagian bawah pasir terjadi
satu gerakan hebat. Kemudian di sekeliling Pemacul Iblis bermunculan tiga kepala aneh
berbentuk kepala singa namun leher dan badan seperti ular berwarna hitam.
"Kalian tidak bakal Solos dari mahluk-mahluk iblis itu! Dari sini aku akan
memendam kalian! Ha... ha... ha."
kata Braga Swara disertai tawa
tergelak-gelak.
Braga Swara angkat
kedua tangannya yang telah berubah merah laksana bara itu. Dalam keadaan begitu
rupa di mana Pemacul Iblis
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN sedang berusaha keras menyelamatkan kawannya di samping juga menghadapi serangan
empat mahluk pemakan bangkai yang dikenal dengan nama Hantu Singa Lodraya tidak
mungkin baginya
menghindari pukulan Braga Swara. Akan tetapi pada saat itu satu sosok tinggi
besar luar biasa nampak berkelebat ke arah altar. Bersamaan dengan
melesatnya sosok besar itu melesat pula sinar putih disertai dengan
terdengarnya suara bergemuruh. Braga Swara yang baru saja hendak
mendorongkan kedua tangannya ke arah Pemacul Iblis dan Bocah Tua terkejut.
Dia cepat berbalik dan menangkis.
Sayang gerakannya kalah cepat.
Di lain kejap tahu-tahu dia
merasakan tubuhnya seperti ditindih batu es, mencelat dan terhempas di bawah
altar. Sekejap saja laki-laki itu lenyap tenggelam ke dalam pasir.
Di atas altar sosok besar gendut
yang baru jejakkan kaki tertawa
terkekeh-kekeh.
Pada saat yang bersamaan di mana
Pemacul iblis sedang menarik Si Bocah Tua dan tengah menghadapi keroyokan empat
mahluk berkepala singa dan
berbadan ular. Berkelebat pula satu bayangan lain yang langsung menghajar ketiga
mahluk aneh itu dari belakang dengan satu pukulan beruntun. Tujuh larik sinar
pelangi menderu, disertai
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dengan menebarnya hawa panas dan
dingin silih berganti. Tiga kepala mahluk aneh seakan terdorong ke depan.
Namun dengan cepat sekali ketiga
kepala itu lenyapkan diri sebelum tujuh larik sinar pelangi menghantam mereka.
Dengan begitu pukulan mengenai tempat kosong melewati kepala Pemacul Iblis.
Terjadi dentuman tiga kali berturut-turut.
"Tobaat biyung. Tobaaat...!" seru Pemacul Iblis. Namun getaran hebat yang
terjadi membuatnya dapat menarik Si Bocah Tua. Dia melontarkan Si Bocah Tua ke
atas altar. Tanpa menghiraukan sengatan panas akibat pukulan
penolongnya, dia gerakkan paculnya yang nyaris tenggelam. Wuuut! Dan Pemacul
Iblis melesat ke atas altar.
Di belakangnya menyusul pula sosok pemuda berambut gondrong berbadan tegak
bertelanjang dada.
"Terima kasih... terima kasih kau telah menyelamatkan kami!" berkata kakek tua
itu. Si gondrong yang bukan lain
adalah Gento Guyon menyengir. Dia nyaris tak mampu menahan tawa. Bukan karena
ucapan Pemacul Iblis, melainkan karena melihat bagian kepala, alis kumis dan
jenggot si kakek yang serba botak di sebelah kiri.
Ketika kakek kurus ini berpaling
ke samping kirinya dia jadi kaget saat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN melihat seorang kakek tua berbadan besar bukan main berdiri tegak tanpa melepas
senyumnya. "Kalian ini siapa sebenarnya?"
tanpa Pemacul Iblis heran.
"Kami orang kesasar yang ingin melihat bocah-bocah nakal bermain di Tanah
Kutukan ini." menyahuti si kakek Gentong Ketawa.
"Arkh... ya Tuhan kakiku...!"
satu suara berseru kesakitan. Serentak mereka menoleh. Maka pucatlah wajah
Pemacul Iblis. Dia melihat kedua kaki Si Bocah Tua telah buntung hingga sebatas
betis. Pemacul Iblis melompat
mendatangi. "Mahluk celaka itu menggigit putus kedua kakimu?" desis si kakek
sambil kepalkan tinjunya.
Tiba-tiba dia berseru. "Tiga Permata Langit lekas kau keluarkan!"
"Aku tahu ajalku tak akan lama.
Gigitan mahluk keparat itu sungguh sangat beracun!! Hoeek...!" Sambil berkata Si
Bocah Tua muntahkan
sesuatu. Tiga buah benda sebesar ibu jari memancarkan sinar biru berkilauan
tersembur dari mulutnya. Tanpa merasa jijik Pemacul Iblis pungut ketiga benda
itu. Dia langsung memasukkan ke dalam mulut, menyimpannya di bawah lidah.
Sejenak dia merasakan hawa sejuk yang luar biasa. Namun si kakek kurang
menghiraukan semua itu. Karena
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pada saat yang sama Si Bocah Tua sudah terkulai dengan sekujur tubuh
menghitam dan mata tertutup rapat.
"Sahabatku... ah... jangan mati dulu.... Sahabatku...!" Pemacul Iblis menggerung
bagaikan orang gila sambil mengguncang tubuh Si Bocah yang diam tak bergerak
lagi. "Mahluk itu sungguh sangat
berbahaya." desis Gentong Ketawa. Mata si kakek tampak jelalatan memandang kian
ke mari. Di atas pasir tidak terlihat gejolak apapun.
"Ke mana bangsat berpakaian merah tadi?" tanya Gento Guyon yang turut merasa
sedih melihat kematian Si Bocah Tua.
"Aku di sini. Bersama empat
kawanku yang siap membunuh kalian!"
satu suara menyahuti. Hanya sekejapan mata sebelum kejut di hati Gento
lenyap. Tiba-tiba di empat tempat tanah tersibak, pasir berhamburan di udara.
Empat kepala berupa kepala singa dan berbadan ular hitam besar munculkan diri.
Begitu muncul mereka mengeluarkan lengkingan aneh. Serentak dengan itu pula
mahluk aneh ini
langsung mengepung altar dari empat sudut.
"Bunuh...!" Satu suara berseru keras. Dari dalam pasir sosok Braga Swara
munculkan diri. Melesat ke
udara, berjumpalitan demikian rupa dan
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN begitu jejakkan diri di atas altar dia langsung menyerang Gento Guyon dan
gurunya. Melihat serangan ganas yang dilakukan lawan Gentong Ketawa tertawa
mengekeh. "Ternyata dia bukan hanya besar nafsu memperkosa gadis, tapi juga besar
kemauannya Gege!" kata si kakek sambil menyambut tendangan aneh yang dilepaskan
Braga Swara. Tubuh besar si kakek meliuk,
tendangan luput. Tapi kini tangan kiri Braga Swara menghantam ke arah Gento
Guyon. Sinar merah biru melesat dari
tangan laki-laki itu. Gento melompat ke udara. Di udara tubuhnya berputar,
kepala mendongak ke langit, sedangkan tangan dijulurkan. Dua larik sinar
membersit dari ujung jari telunjuknya.
Sinar itu mengejar ke arah Braga Swara. Lawan kaget karena serangan lawan mampu
menembus pertahanan bahkan memupus pukulan yang dilepaskannya.
Jdddddt! Sinar biru terus memburu. Braga
Swara jatuhkan diri, berguling-guling di atas altar. Tapi ke manapun dia pergi
sinar itu tetap memburunya.
Gento Guyon tertawa mengekeh. Braga Swara tak punya pilihan lain. Dia kembali
menghantam dengan pukulan Gempa Bumi. Dari tangan kiri yang dikibaskannya dalam
keadaan melentang
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN menderu suara aneh disertai goncangan hebat di bagian altar. Dua kekuatan sakti
saling bertemu.
Bledum! Ledakan berdentum bukan saja
membuat altar seperti diangkat dan dibanting. Tapi juga membuat pasir
bermuncratan di udara, hingga pemandangan di sekeliling altar menjadi gelap. Dua
mayat di atas altar
bergoyang-goyang. Gentong Ketawa jatuh duduk berlutut. Sedangkan Gento rebah
menelentang dengan nafas kembang
kempis. Braga Swara masih dapat
berdiri tegak meskipun sudut bibirnya mengucurkan darah.
"Kau mempergunakan pukulan apa tadi" Perasaan aku tak pernah
menurunkan ilmu seaneh itu!" tanya si kakek dalam kejutnya.
Gento tersenyum. "Itu tadi
pukulan Gajah Menendang Kelinci. Ha...
ha... ha."
Dalam hati si pemuda
berkata. "Guru gendeng, dalam keadaan begini masih juga dia mempersoalkan segala
ilmu." Sementara itu Braga Swara sendiri sesungguhnya terkejut besar, tak


Gento Guyon 2 Tanah Kutukan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyangka lawan yang masih semuda itu tenaga dalam dan pukulan saktinya sungguh
hebat luar biasa.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN 13 ENTO UYON GG Di sudut lain masih di tempat
yang sama Pemacul Iblis nampaknya sedang mengumbar kemarahan. Dia yang merasa
kehilangan sahabat akibat
keganasan Hantu Singa Lodraya. Kini melampiaskan dendam kesumat dan
kemarahannya pada empat mahluk ganas yang menyerang dari bibir altar. Pacul
besar di tangan kanannya menderu, berkelebat menyambar, membabat atau mengepruk
kepala empat mahluk aneh pemakan bangkai ini. Di samping itu dengan tangan kiri
hampir tak pernah berhenti dia melepaskan pukulan Petir Neraka dan Halilintar
Iblis silih berganti. Setiap kedua pukulan itu menyambar kepala maupun leher
mahluk berkepala singa berbadan ular hitam besar. Secara cepat mahluk ini
lenyapkan kepalanya di balik pasir, untuk kemudian muncul kembali dan lakukan
serangan balasan.
"Setan kampret. Mereka sengaja mengecohku!" desis si kakek menjadi geram. Kini
Pemacul Iblis tidak lagi mengumbar dua pukulan ganasnya
melainkan cuma memutar pacul di
tangan. Angin menderu-deru, sinar hitam berkelebatan. Empat
mahluk semakin mendekat dan membuka mulutnya lebar-lebar. Pacul digerakkan ke arah
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN mahluk yang hendak menelannya. Mata pacul menghantam moncong mahluk itu.
Tapi benturan yang keras hanya membuat mahluk itu bergoyang tersentak ke
belakang. Tiga kepala lainnya dengan mulut terbuka berserabutan menyerang
Pemacul Iblis. Tidak punya pilihan lain, kakek itu terpaksa semburkan salah satu
Permata Langit dari
mulutnya. "Puuuh!"
Plopp! Byaaar! Benda biru berkilauan melesat di
udara. Setelah bergesekan dengan udara benda itu menyala terang, membesar dan
menghantam salah satu kepala Hantu Singa Lodraya. Mahluk yang menjadi sasaran
mencoba berkelit. Tapi sebelum kepalanya lenyap, bagian kepala itu meledak
menyemburkan darah berwarna hitam. Tiga kawannya nampak menjadi jerih, namun
hanya sekejap. Karena beberapa saat kemudian mereka telah menyerang kembaii
dengan kecepatan berlipat ganda.
Karena mahluk-mahluk itu menjadi
marah melihat kematian kawannya. Maka kini mereka semakin bertambah ganas dan
beringas sekali. Pemacul Iblis jadi terdesak hebat, tak mampu
membalas serangan lawan terkecuali hanya menghindar dan berkelit. Tapi pada saat
kakek tua ini terdesak
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN hebat. Pada saat itulah di udara
tampak ada empat sosok melayang
bagaikan datang dari langit. Empat sosok yang melesat dengan cepat ke arah altar
itu kemudian sama hantamkan kedua tangannya ke arah mahluk-mahluk yang
mengeroyok Pemacul Iblis.
Sinar putih, merah dan biru
menukik tajam ke bagian kepala ketiga mahluk berkepala singa. Yang menjadi
sasaran keluarkan suara auman dan desis panjang. Serentak mereka buka mulutnya
lebar-lebar. Tiga sinar maut tersedot amblas ke dalam mulut tiga Hantu Singa
Lodraya. Keempat sosok berpakai putih
berseru kaget. Tiga di antaranya
bahkan ikut tersedot dan meluncur ke mulut ketiga mahluk ganas itu. Yang satunya
dengan gerakan cepat segera melakukan langkah penyelamatan dengan mendorong
ketiga muridnya agar jangan masuk ke mulut mahluk itu.
Bresss! Dua pemuda berkepala botak jatuh
terhempas di atas pasir, begitu juga dengan gadis yang satunya lagi.
"Selamatkan diri kalian!" teriak perempuan tua berkepala botak yang bukan lain
adalah Peri Tanpa Bayangan.
Taktu, Takwa dan Takga mencoba berlari ke arah altar yang luas. Tapi tiga mahluk
tadi kini telah menghadangnya.
Cepat sekali masih tetap sambil
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN berlari mereka serentak menghantam.
Pukulan yang sangat keras mengandung angin dahsyat hanya membuat kepala tiga
mahluk yang munculkan diri
setengah badan bergoyang oleng bagai pucuk
cemara yang ditiup angin.
Setelah kembali menyerang disertai gerungan panjang.
Gurunya tidak tinggal diam,
sedangkan Pemacul Iblis kembali
menyambitkan dua Permata Langit ke bagian kepala mahluk-mahluk itu.
Begitu melesat di udara kedua benda itu langsung membesar dan menghantam dua di
antara tiga mahluk ini. Kembali kepala dua Hantu Singa Lodraya
meledak, Dengan kepala hancur tubuh mahluk-mahluk ini amblas lenyap ke dalam
pasir lapangan. Yang satunya lagi kembali menyerang Taktu, Takwa dan Takga.
"Lari ke arah altar!" Kembali Sari Lukita memberi peringatan.
"Biarkan kami yang menghadapinya!" seru Pemacul Iblis. Kedua pemuda dan gadis itu lari berserabutan
mendekati altar, sedangkan dari altar si kakek dan Lukita Sari menghambur ke
arah Hantu Singa Lodraya. Kiranya gerakan ketiga murid perempuan botak itu tidak
semulus yang mereka
bayangkan sebab mahluk ganas berkepala singa itu tidak membiarkan mereka lolos
begitu saja. Dengan mulut
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN terbuka dia menyerang Takga yang
berada paling dengan dengannya.
"Wah gawat!" seru Takga sambil hantamkan tangannya ke arah lawannya.
Hawa panas menghampar ditambah lagi dengan pukulan Takwa dan Taktu yang
bermaksud menolong saudaranya membuat udara semakin bertambah panas
menyengat. Hantu Singa Lodraya tarik lehernya menjauh ke belakang. Justru dari
bagian belakang Pemacul Iblis ayunkan senjatanya dengan disertai pengerahan
tenaga dalam penuh. Di samping Pemacul Iblis, Sari Lukita juga melepaskan
pukulan ganas yang dikenal dengan nama Menyepi Sendiri Dalam Kubur. Hantu Singa
Lodraya tak sempat lagi menghindar ketika hawa dingin menggiriskan serta mata
pacul besar menghantam kepala dan tubuhnya.
Praaak! Glaar! Mahluk itu meraung kesakitan.
Tubuhnya meliuk, kepala yang hancur menukik tajam ke pasir. Sekejap saja singa
berkepala ular lenyap tersedot ke dalam pasir.
Tanpa menghiraukan mahluk itu
lagi, Pemacul Iblis, Sari Lukita dan juga Taktu, Takwa dan Takga kembali ke
altar. Sampai di sana mereka langsung menyepung Braga Swara yang sedang
menghadapi gempuran Gentong Ketawa dan Gento Guyon. Si kakek sendiri setelah
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN pertempuran berlangsung lebih dari seratus lima puluh jurus nampak
terluka di bagian dalam. Sedangkan Gento pipinya lebam membiru kena
dijotos lawan. Braga Swara pakaiannya sudah pula compang-camping terkena pukulan
lawan yang bertubi-tubi.
Dia harus mengakui, menghadapi
dua manusia aneh itu saja dia sudah sangat kewalahan. Walau pun ilmu Braga Swara
sangat tinggi mustahil dia
unggul menghadapi mereka semua.
"Orang tua gendut, aku inginkan kepala Braga Swara!" teriak Sari Lukita. Dia
melompat ke kalangan
perkelahian. Tanpa banyak bicara
perempuan ini langsung kirimkan satu pukulan menggeledek. Segulung angin kencang
menderu melabrak Braga Swara.
Laki-laki itu tertawa mengekeh. Sambil melompat tinggi Braga Swara membentak.
"Perempuan bocah panjang umur pendek pikiran. Suamimu sudah mampus di sudut
altar itu. Aku juga sudah tak berkenan lagi dengan tubuh keriputmu. Sekarang aku
akan mengirimmu ke neraka dengan pukulan Gempa Bumi!" Berkata begitu Braga Swara
yang semakin bertambah hebat kekuatannya bila sudah mengapung di udara segera
hantamkan kedua
tangannya keempat penjuru arah.
"Menghindar!" teriak Gentong Ketawa yang sudah merasakan kehebatan pukulan maut
lawannya. Taktu, Takwa
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN dan Takga begitu merasakan getaran dan guncangan hebat langsung jatuhkan diri
menelungkup sama rata dengan lantai.
Sedangkan Pemacul Iblis kiblatkan paculnya menangkis serangan lawan. Di sudut
kiri si kakek gendut besar
sambil duduk lepaskan pukulan Dewa Menangis Iblis Tertawa. Agak di
sebelah kanannya Gento Guyon dengan kaki ditekuk menghantam dengan pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis. Satu ilmu dahsyat warisan Tabib Sesat Timur.
Sedangkan Lukitas Sari yang telah menciptakan ilmu pamungkas Menggulung Langit
sudah pula kibaskan tangannya ke arah Braga Swara.
Dari telapak tangan laki-laki itu deru angin disertai melesatnya cahaya merah
tampak tiada putus-putusnya.
Dari tiga arah sinar putih, biru dan ungu mengebubu menghantam Braga Swara.
Sehebat apapun kesaktian Braga Swara menghadapi tiga gempuran dahsyat ini dia
tak bisa berbuat banyak.
Ledakan dahsyat bergema membuat
altar amblas terguncang. Pasir
berhaburan dari sekeliling altar.
Braga Swara terkapar dengan tubuh tercabik-cabik bersimbah darah. Kakek Gentong
Ketawa rebah menelentang
dengan mulut meneteskan darah. Gento Guyon jatuh dengan kaki berlutut, wajah
pucat dan dada bergetar.
Sedangkan Sari Lukita sempat
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN terhuyung. Di sudut sebelah kiri
Pemacul Iblis memaki-maki begitu
melihat pacul besarnya bolong sebesar pangkal lidi akibat dipergunakan untuk
menangkis pukulan lawan.
"Kampret setan. Beruntung kau datang Lukita Sari. Tapi suamimu Si Bocah Tua
kakinya buntung dimakan mahluk setan. Hu... hu... hu." Pemacul Iblis menangis
terguguk-guguk seperti anak kecil. Dia hampiri mayat Si Bocah Tua sedangkan
mayat gadis yang dia lihat sejak awal kedatangan tadi tidak terlihat hilang
entah ke mana. Lukita Sari alias Peri Tanpa
Bayangan jadi melengak kaget. Setengah berlari sambil menangis dia hampiri mayat
Si Bocah Tua. Begitu berlutut di samping mayat Si Bocah Tua, hatinya terenyuh,
perasaannya seperti diiris-iris. Entah pedang macam apa yang dipergunakan untuk
mengiris jelas sangat sakit dan sedih sekali. Dia peluki mayat suaminya.
"Maafkan aku, kakang. Kebodohanku membuat aku menyesal juga membuat menderita
seumur hidup. Maafkan aku kakang. Aku tidak berguna. Hu... hu...
hu!" kata si nenek botak sambil memeluki mayat Si Bocah Tua.
"Huk... huk... huk! Semuanya sudah terjadi. Jangan kau tangisi dia.
Hu... hu... hu...." kata Pemacul Iblis.
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN Di belakang mereka hanya diam
dengan wajah tertunduk. Sedangkan Gento Guyon dan gurunya saling
pandang. "Pemacul Iblis itu manusia sedeng agaknya. Dia melarang orang menangis,
tapi dia sendiri tetap
terguguk kucurkan air mata." gumam Gento bersungut-sungut.
"Kau iri" Kalau mau ikutan
menangis membantu nenek botak itu silahkan. Aku sendiri lebih baik pergi
daripada ikut terharu. Salah-salah...!" Gentong Ketawa tidak meneruskan
ucapannya. "Salah-salah kepala kita ikutan jadi botak juga guru." kata si pemuda tak dapat
menahan tawa. "Ha... ha... ha...!" Gentong Ketawa sambil tergelak-gelak berkelebat pergi
dengan menyambar tangan muridnya. Taktu, Takwa dan
Takga melengak kaget.
"Kakek dan pemuda itu, rasanya aku mengenal mereka!" desis Takga.
"Betul. Dia bocah yang dulu
kepalanya dijitaki tabib setan ketika kalah melawanku!" menimpali Taktu alias
Ararini. Di kejauhan sayup-sayup mereka
mendengar Gento Guyon berkata. "Gadis cantik dan dua pemuda botak. Syukur kalian
masih ingat denganku. Aku masih penasaran dengan permainan tempo hari.
Kapan waktu aku pasti akan menjitaki
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN kepala kalian."
Lalu terdengar suara si kakek.
"Perlu apa kau berkelahi dengan mereka. Salah-salah rambutmu rontok semuanya.
Mending kalau cuma yang di atas kalau yang di bawah ikutan rontok bagaimana!
Ha., ha... ha." Lalu terdengar suara bekakakan yang semakin menjauh sampai
akhirnya lenyap sama sekali. Taktu, Takwa dan Takga
gelengkan kepala sambil menahan
senyum. Sementara itu Sari Lukita dan Pemacul Iblis begitu mendengar tawa
tersentak kaget. Mereka hentikan
tangisnya. Ketika mereka sama menoleh ke arah si kakek dan pemuda gondrong tadi
berdiri. Ternyata kakek dan
pemuda aneh itu lenyap.
"Ke mana mereka?" tanya Peri Tanpa Bayangan ditujukan pada
muridnya. "Sudah pergi guru." menjawab Takga.
"Kita belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka!"
menimpali Pemacul Iblis.
"Orang-orang aneh berkepandaian tinggi. Kelak aku pasti membalas jasa baik
mereka." gumam Sari Lukita yang masih dirundung sesal dan kesedihan.
Tapi tanpa bicara lagi perempuan ini mengangkat mayat Si Bocah Tua, dengan
diikuti oleh Pemacul Iblis dan
diiringi ketiga muridnya mereka
GENTO GUYON TANAH KUTUKAN meninggalkan altar persembahan.
Tinggallah mayat Braga Swara yang terkapar membeku didera angin
menjelang pagi.
TAMAT Scan/Ebook: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Kisah Membunuh Naga 22 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Si Dungu 1

Cari Blog Ini