Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam Bagian 3
getaran tenaga seseorang
melalui kepekaan indera berilmu tinggi. Apakah Sulastri mempunyai kepekaan indera berilmu tinggi?"
Maka, Yoga pun semakin penasaran dan segera
memancingnya dengan pertanyaan, "Dari mana kau
tahu kalau aku berilmu tinggi?"
"Dari ayah," jawab Sulastri. "Ayah menceritakan kehebatan Tuan pada saat
mengobati luka-lukanya
Roro Intan."
Yoga menggumam lirih, tersenyum tipis, tapi hatinya sedikit menggerutu, "Sial! Rupanya berdasarkan itu dia menilaiku. Kupikir
karena dia mempunyai kepekaan indera. Tapi... tapi siapa tahu dia membelokkan arah kecurigaanku?"
Ki Bantarsuko pun mempunyai sikap dan anggapan seperti anak gadisnya, bahwa ia merasa aman jika
Yoga ada di rumahnya. Bahkan Ki Bantarsuko tidak
mau menerima uang penginapan dari Yoga, ia berkata,
"Setelah saya tahu siapa Tuan Yoga, silakan saja Tuan bermalam di sini sampai
kapan pun, tanpa saya
pungut uang penginapan. Karena Tuan telah membayarnya dengan keamanan yang saya peroleh bersama anak gadis saya itu. Nilai keamanan dan rasa tenteram ini jauh lebih besar daripada nilai uang sewa
kamar untuk satu bulan."
"Tapi kau akan rugi, Ki. Penghasilanmu akan berkurang." "Ah, tidak. Penghasilan saya sudah cukup dengan
menjual makanan dan minuman kedai. Untuk apa
saya punya penghasilan lebih banyak jika ketenteraman hati saya tidak terjamin?"
Percakapan itu dimanfaatkan oleh Yoga untuk
mengorek keterangan dari mulut Ki Bantarsuko dan
memancing kebenaran sikap pemilik kedai itu. Tentu
saja Yoga memancing berbagai pertanyaan dengan hati-hati, supaya tidak terlihat sedang melakukan penye-lidikan tersembunyi.
"Sejak munculnya Tengkorak Hitam, apakah dia
pernah menyambangi kedaimu ini, Ki?"
"Belum pernah, Tuan. Sama sekali belum pernah
dan mudah-mudahan jangan sampai! Saya dan Sulastri masih ingin punya umur panjang," jawab lelaki tua itu dengan apa adanya.
"Menurutmu, apakah Tengkorak Hitam itu betulbetul hantu dari liang kubur atau manusia berkedok
tengkorak?"
"Wah, saya tidak bisa memastikan, Tuan. Karena
saya belum pernah berjumpa dengannya, dan saya juga tidak ingin jumpa walau satu kali pun. Saya masih
ingin hidup, Tuan," sambil Ki Bantarsuko tersenyum-senyum dalam wajah tuanya.
"Kasihan warga desa ini. Tiap malam terancam
maut. Anehnya mengapa desa ini yang dijadikan sasaran oleh Tengkorak Hitam, Ki?"
"Itu yang membuat saya heran, Tuan. Padahal ada
desa lain yang tak jauh dari sini, tapi desa itu amanaman saja."
"Kira-kira dari mana kemunculan Tengkorak Hitam itu?" "Ya, kalau menurut kabar-kabarnya, Tengkorak
Hitam muncul dari Jurang Ajal dan menghilangnya di
sekitar sana juga. Apakah di sana ada rumah atau
tempat persembunyian, kami belum ada yang berani
memeriksanya, Tuan. Sebab takut kalau sewaktuwaktu kami kepergok di sana pada saat memeriksa
tempat itu."
"Lho, apakah dia pernah muncul siang hari?"
"Ada yang pernah melihatnya, Tuan. Tapi dia tidak kemari, melainkan melintas di
perbatasan desa saja.
Dan hanya pada tengah malam dia datang lakukan
pembantaian keji di desa kami ini!"
Walaupun matanya sudah merah karena menahan
kantuk, Sulastri masih bersemangat mendengarkan
cerita Yoga tentang petualangan asmara para tokoh
sakti di rimba persilatan. Sampai larut malam Yoga
masih kuat menceritakan apa yang pernah dilihat dan
didengar dari orang-orang rimba persilatan.
Sulastri merasa mempunyai keindahan tersendiri
dalam mendengarkan obrolan Yoga itu. Tetapi keindahan yang mendebar-debarkan hati itu terpaksa harus
terputuskan karena malam yang sepi itu tiba-tiba dirobek oleh jeritan panjang yang menyayat hati dan merindingkan bulu roma.
"Aaaa...!"
Sulastri tersentak kaget dengan mata ngantuknya
membelalak lebar. Yoga pun terperanjat dan segera
berkata, "Pembunuh lagi"!"
"Iiya... iya, Tuan! Pasti.. pasti Tengkorak Hitam yang melakukan!"
Ki Bantarsuko terbangun dari tidurnya, bergegas
menemui Yoga dan Sulastri. Seperti tempo hari juga, Ki Bantarsuko melarang Yoga
untuk keluar dari rumah
dan memohonnya agar menunggu beberapa saat setelah diperkirakan Tengkorak Hitam sudah pergi meninggalkan desa tersebut.
Tapi kali ini Yoga nekat, ia segera melompat dan
pergi menghambur di tengah gulita malam. Matanya
memandang dengan tajam ke berbagai penjuru. Sampai akhirnya ia temukan Pandu Tawa berlari ke arah
utara. Yoga mengejarnya sampai ke perbatasan desa,
dan ternyata Pandu Tawa berhenti, bermaksud mengejar ke arah selatan, namun ia berpapasan dengan Yoga. "Bagaimana?" tanya Yoga lebih dulu.
"Kulihat kelebatan bayangan hitamnya, tapi cepat sekali ia menghilang. Aku
kehilangan jejak!" jawab Pandu Tawa sedikit tegang, lalu ia bertanya, "Bagaimana
dengan Sulastri?"
"Selalu ada di dekatku saat jeritan itu kudengar!"
"Hmmm...! Berarti memang bukan Sulastri yang
menjadi Tengkorak Hitam. Lalu, apa maksud Roro Intan memfitnah Sulastri" Apakah dia punya maksud
menyingkirkan Sulastri agar tidak memikat hatimu"
Atau karena dia punya dendam pribadi kepada Sulastri?" *** 7 RORO Intan kembali ditemui oleh Pandu Tawa,
sementara Yoga tetap bersama Sulastri di kedai itu.
Roro Intan ngotot dan tetap mengaku melihat wajah
Sulastri di balik kedok tengkorak warna hitam itu.
"Mataku belum buta!" katanya kepada Pandu Ta-wa yang datang ke Bukit Sangga
Buana. "Aku sangat mengenali wajah Sulastri, karena ketika aku singgah di kedai
itu, Sulastri kucurigai sebagai gadis yang selain membantu ayahnya membuka kedai
juga bisa diajak
ke mana-mana oleh setiap pria yang punya uang untuk membayar kehangatannya. Itulah sebabnya aku
tahu persis wajahnya, karena aku punya dugaan buruk terhadapnya. Belakangan aku sadar, bahwa aku
tak boleh punya anggapan seperti itu kepada perempuan yang bekerja di sebuah kedai. Aku memang salah
dalam hal itu, tapi dalam penglihatanku aku merasa
tidak salah lihat!"
"Barangkali kau punya persoalan pribadi dengan
Sulastri?"
"Tidak ada!" jawabnya dengan tegas. "Aku mengenai namanya juga dari percakapanmu
dengan Yoga kemarin." "Atau... atau mungkin kau merasa iri dan takut
kalau Yoga terpikat kepada Sulastri, sehingga kau ingin celakai Sulastri?"
Roro Intan membentak ketus, "Picik sekali otakmu, Pandu Tawa! Kenapa aku lakukan tindakan sebodoh itu kalau aku inginkan Yoga" Aku memang punya
rasa kagum pada ketampanannya, tapi tidak semudah
itu hatiku terpikat olehnya! Tak mungkin dugaanmu
itu ada padaku!"
Gadis itu memandang dengan tajam. Warna hitam
di tepian matanya membuat ia terkesan galak bagi
Pandu Tawa. Galak namun cantik dan menarik, sehingga Pandu Tawa pun berkata,
"Syukurlah kalau kau tidak terpikat oleh ketampanan Yoga! Aku merasa lega."
"Daripada aku terpikat padanya, lebih baik aku
terpikat padamu!"
Pandu Tawa sunggingkan senyum geli. "Apa alasanmu berkata begitu?"
"Karena aku pernah mendengar cerita dari mendiang guruku, bahwa Pendekar Rajawali Merah adalah
kekasih dari Pendekar Rajawali Putih. Jika aku tahu
Yoga sudah punya kekasih, untuk apa aku merasa
terpikat padanya" Cari penyakit saja itu namanya!"
"Tapi kau belum tahu kalau aku sudah punya kekasih atau belum."
"Aku tidak berminat menanyakannya!" kata Roro Intan dengan ketus. Matanya
melirik Pandu Tawa, tepat pada waktu Pandu Tawa memandangnya. Roro Intan menggeragap dan salah tingkah, akhirnya berkata,
"Sudahlah, jangan melantur! Sekarang aku akan
ke sana dan temui Sulastri untuk mendesaknya supaya mengaku!"
"Tidak, Roro Intan. Kau tidak boleh begitu. Sulastri jelas tidak bersalah,
karena waktu terjadi pembunuhan Sulastri ada bersama Yoga. Jadi kau tidak bisa
memaksa orang tak salah disuruh mengaku salah!"
Sesaat lamanya Roro Intan bersungut-sungut, lalu
cemberut dalam renungannya. Ia seolah-olah tidak
percaya dengan laporan Pandu Tawa mengenai hal itu.
Tapi kemudian ia mempunyai gagasan baru yang segera dibicarakan kepada Pandu Tawa.
"Aku akan ikut bermalam di sana, untuk membuktikan dengan mata kepalaku sendiri, apakah Sulastri ada bersamaku jika Tengkorak Hitam berkeliaran
di tengah malam"!"
"Tapi kau janji tidak akan memusuhi Sulastri?"
"Ya. Aku akan bersikap baik padanya. Tapi kalau
terbukti dia yang menjadi Tengkorak Hitam, kalian tak boleh ikut campur, aku
ingin bikin perhitungan sendiri dengannya! Karena ia telah membunuh guruku!"
Yoga dan Pandu Tawa akhirnya saling berhubungan secara bebas, dan rahasia tentang kepura-puraan
mereka yang tidak saling kenal itu dibeberkan di depan Ki Bantarsuko. Roro Intan
sendiri yang bicara kepada
Ki Bantarsuko. "Pada dasarnya saya curiga kepada anakmu itu, Ki Bantarsuko."
"Lho, mengapa Sulastri kau curigai, Nona?"
"Karena sewaktu aku berhasil membuka topeng
Tengkorak Hitam, aku melihat wajah di balik topeng
itu adalah wajah Sulastri, Pak Tua!"
"Seperti... maksudmu wajah itu seperti wajah Sulastri?" "Betul!"
Ki Bantarsuko terbungkam dan merenung dengan
dahi tuanya berkerut tajam. Wajah itu kian lama kian
tampak murung dan sepertinya menyimpan kesedihan.
Namun di depan Roro Intan dan Pandu Tawa, lelaki
tua itu buru-buru membuang perasaan dukanya dan
wajahnya dibuat ceria.
"Dia sepertinya menyimpan sesuatu yang dirahasiakan," kata Roro Intan kepada Pandu Tawa dalam bi-sikan. Pandu Tawa
menganggukkan kepala pertanda ia
sependapat dengan pikiran Roro Intan.
"Tak perlu didesak sekarang. Nanti pun ia akan
ceritakan sendiri jika tak kuat memendam rahasia itu,"
ujar Pandu Tawa.
Kini keadaan terbalik, Pandu Tawa dan Roro Intan
ada di rumah kedai tersebut, sedangkan Pendekar Rajawali Merah berkeliling desa sebagai penjaga malam.
Selama dua malam Yoga berjaga-jaga, namun peristiwa
pembunuhan tidak terjadi dan Tengkorak Hitam tidak
berkeliaran. Hal itu membuat Roro Intan menjadi semakin curiga kepada Sulastri. Ia berkata kepada Pandu Tawa, "Kau lihat sendiri, selama Sulastri setiap malam ada bersama kita, Tengkorak Hitam itu tidak
berkeliaran. Apakah itu bukan berarti bahwa Sulastri terperangkap oleh kita dan tidak bisa menjadi Tengkorak
Hitam" Coba renungkan, Pandu Tawa."
"Ya, memang begitu kenyataannya. Tapi barangkali saja suasana ini terjadi karena secara kebetulan.
Aku lebih percaya dengan pengakuan Yoga. Bukan aku
tak percaya dengan pribadimu, Roro Intan. Tapi dalam
hal ini, kurasa Yoga tak mungkin memberikan pengakuan palsu hanya untuk membela Sulastri. Toh buktinya malam ini Yoga penasaran dan ingin temui Tengkorak Hitam sendiri. Sudah dua malam dia dibuat penasaran dengan keadaan yang kita hadapi ini."
Sebenarnya Roro Intan sedikit tersinggung kepada
Pandu Tawa. Hampir saja ia menghantam Pandu Tawa
dari samping kanan karena ia dianggap orang yang tidak bisa dipercaya. Tetapi Roro Intan dapat kuasai diri dan kendalikan
perasaannya, mengingat Pandu Tawa
tentunya sudah banyak mengetahui kepribadian Yoga
karena lebih lama bergaul dengan Yoga ketimbang
dengan dirinya. Roro Intan dapat memaklumi jalan pikiran Pandu Tawa.
Suatu malam ketika ia masih berada di rumah kedai Ki Bantarsuko, Roro Intan nekat mau korek keterangan dari Ki Bantarsuko mengenai kegelisahan lelaki tua itu sejak Roro Intan
bermalam di situ. Tapi Pandu Tawa selalu melarangnya, terlebih setelah tahu
bahwa setelah Ki Bantarsuko menutup kedainya, ia lebih banyak mengurung diri di kamar dan tak mau keluarkeluar. "Agaknya ia tak bersedia bicara dengan siapa pun pada malam ini. Kita jangan
mendesaknya, nanti ma-salahnya berubah lagi," kata Pandu Tawa kepada Roro Intan.
Sekalipun gadis itu tampaknya keras kepala, ta-pi terhadap saran-saran Pandu
Tawa ia bisa menerimanya. Bahkan malam itu ia tampak terlibat percaka
Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pan diselingi canda kecil bersama Sulastri.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah mengambil tempat di sudut desa, tempat sepi dan gelap yang
menurutnya enak dipakai untuk melakukan pengamatan dari jarak jauh. Tak satu pun orang yang tahu
bahwa Yoga ada di bawah pohon berlapis rumput ilalang itu. Pada saat malam semakin sepi dan embun mulai
datang, Yoga sempat dikejutkan oleh datangnya hawa
panas dari arah belakangnya. Hawa panas itu terasa
mendesak udara dingin di sekitar punggungnya, sehingga Yoga pun berkelebat berbalik badan sambil lepaskan pukulan tenaga dalam dari tangan kanannya.
Wuuuttt...! Drraab...! Terdengar suara benda padat beradu dengan kuat.
"Ada yang ingin membokongku!" pikir Yoga. Ia cepat-cepat memancing orang
tersebut ke tempat lega.
Pada waktu itu, rembulan muncul separo bagian di balik awan putih membiru. Cahaya terang menyinari
bumi secara samar-samar. Dengan memancing di tempat lega tak berpohon. Yoga akan dapat melihat sosok
orang yang menyerangnya itu.
Pancingan itu berhasil membuat si penyerang gelap muncul dari balik persembunyiannya di atas pohon. Sebuah serangan kembali dilancarkan oleh orang
tersebut. Yoga sengaja tidak menangkis dan tidak
mengelak. Tapi lebih dulu ia persiapkan dadanya penuh dengan gelombang tenaga dalam peredam serangan lawan. Buukkk...!
Pukulan tenaga dalam jarak jauh tanpa sinar itu
tepat kenai dada Yoga. Pemuda tampan itu pun segera
roboh ke belakang dalam keadaan telentang. Hal itu
membuat si penyerangnya mendekat dan memeriksa
keadaan Yoga. Pada saat itulah kaki Yoga segera berkelebat naik
dengan punggung berputar cepat. Wuuuttt...!
Plookkk...! Tendangan yang tak disangka-sangka datangnya dan memang sulit ditangkis itu, tepat kenai
wajah si penyerang gelap. Orang itu terpental ke belakang dalam keadaan
terhuyung- huyung hendak jatuh. Yoga sendiri cepat-cepat
sentakkan tangan ke tanah dan, wuusst...! Ia bagaikan belalang melenting ke atas
lalu tahu-tahu kedua kakinya sudah berdiri tegak di tanah. Jleegg...!
"Siapa kau?" sapanya langsung dengan suara tegas. Seorang lelaki beruban dengan rambut dikuncir ke belakang telah berdiri
sigap pula memandang Pendekar Rajawali Merah. Lelaki itu kenakan kain selempang
warna putih, sama dengan warna jenggotnya yang se-panjang lewat batas leher.
Kumis putihnya pun melengkung ke bawah, melebihi batas dagu. Menurut
taksiran Yoga, lelaki tua itu berusia sekitar delapan puluh tahun. Badannya
kurus, tapi tulang dan kulit-nya tampak keras serta alot.
"Perkenalkan, namaku Guntur Salju," kata orang tua itu.
Yoga mendekap telinganya kuat-kuat dan menyeringai kesakitan. Ucapan orang itu pelan, tapi mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi dan dapat memecahkan gendang telinga lawan bicaranya.
"Edan! Hanya dengan bicara sepelan itu ia mampu
melukai gendang telingaku! Sungguh tinggi ilmu orang
ini. Apa maunya menyerangku" Aku harus kerahkan
tenaga perisaiku supaya tidak terlalu sakit mendengar kata-katanya itu!" pikir
Yoga, kemudian menahan napasnya beberapa saat. Ia mengembalikan keadaan dirinya, mengusir rasa sakit yang berdenging-denging
dalam telinganya. Setelah itu. Yoga pun tampak tenang kembali dan perisai tenaga
dalamnya telah dipasang.
"Apa maksudmu menyerangku, "Ki Guntur Salju"!" tanya Yoga.
"Menyangka kau kawanannya si Tengkorak Hitam!" jawabnya, kali ini Yoga tidak rasakan sakit di telinga, walau nada suara
Guntur Salju tetap sama seperti tadi. Hanya saja Yoga rasakan daun telinganya
bergetar saat mendengar ucapan orang kurus itu.
"Kusangka kau mata-matanya Tengkorak Hitam
yang memberi tahu kepadanya tentang kelemahan
keamanan desa ini. Ternyata aku salah duga. Maafkan
aku, Pendekar Rajawali Merah."
Yoga terkejut, "Dari mana kau yakin kalau aku
bukan mata-matanya Tengkorak Hitam" Dari mana
kau tahu gelarku itu?"
"Pedangmu adalah milik saudara angkatku yang
bernama Dewa Geledek. Aku yakin, kau adalah muridnya. Aku tahu kau pun punya jodoh dengan seseorang
yang menjadi istri saudara angkatku itu dan mempunyai nama Dewi Langit Perak. Akulah adik angkat Dewi
Langit Perak."
Yoga langsung berlutut dan menghaturkan hormat
kepada tokoh tua yang baru kali ini dilihatnya itu.
"Maafkan saya, Eyang. Saya tidak bermaksud bersikap tidak sopan jika tadi telah membalas serangan
Eyang Guntur Salju."
"Bangkit, Nak. Lupakan masalah itu. Aku datang
hanya karena tertarik dengan ulah si Tengkorak Hitam
yang di luar batas kemanusiaan. Kusangka di sini tidak ada kau, Nak. Kalau ku tahu kau ada di sini aku
tak akan turun dan mencampuri urusan ini."
Pendekar Rajawali Merah segera berdiri dengan sikap masih sopan menghormat. Lalu, ia berkata kepada
Guntur Salju, "Eyang Guntur Salju, saya bukan bermaksud lancang mencampuri wilayah kekuasaan orang lain, tapi
saya hanya ingin menghentikan kekejaman Tengkorak
Hitam." "Ya, aku setuju. Syukurlah jika kau sudah turun
tangan dalam masalah ini. Sebab aku sering mendengar penduduk desa sini terancam kengerian setiap malam, dan ancaman itu datang dari Tengkorak Hitam.
Dari tempat pertapaanku aku sering mendengar mereka berharap agar ada orang yang mau menolong membebaskan mereka dari ancaman maut Tengkorak Hitam. Sudah beberapa waktu kudengar suara mereka
dari pertapaanku, sampai aku merasa iba dan akhirnya merasa perlu turun tangan sendiri dalam pembebasan nanti."
"Jika begitu, kini segalanya saya serahkan kepada Eyang Guntur Salju," kata Yoga
dengan rendah hati.
"Tidak. Karena ku tahu sudah ada dirimu, maka
kuserahkan persoalan ini padamu, Nak! Kerjakan apa
yang diajarkan oleh gurumu! Hanya saja perlu ku ingatkan, hati-hatilah terhadap orang di belakang Tengkorak Hitam. Dia punya ilmu cukup tinggi."
"Siapakah orang yang ada di belakang Tengkorak
Hitam itu, Eyang?"
"Nanti kau akan tahu kalau saatnya sudah tiba.
Sekarang aku ingin temui keluarga Bantarsuko, karena ada yang ingin kubicarakan dengannya. Tolong antarkan aku ke rumah Bantarsuko!"
"Dengan senang hati, akan saya antar ke sana,
Eyang!" tapi dalam hati Yoga bertanya-tanya,
"Sejak kapan Eyang Guntur Salju mengenai Ki
Bantarsuko" Pembicaraan penting yang bagaimana
yang dimaksud Eyang" Apakah Ki Bantarsuko adalah
murid Eyang Guntur Salju" Ah, aku tak yakin."
Pandu Tawa terkejut ketika Yoga datang bersama
tokoh tua berbadan kurus itu. Pandu Tawa segera berlutut memberikan hormat,
"Menghaturkan hormat, Eyang Guntur Salju,"
ucap Pandu Tawa.
"Hmmm...! Ya, kuterima hormatku, Pandu Tawa.
Aku merasa senang kau ada di sini dan bergabung
dengan murid Dewa Geledek itu. Bagaimana kabar tentang kakekmu; Wejang Keramat?"
"Beliau dalam keadaan baik-baik dan sehat-sehat
saja, Eyang!"
Dalam hati Yoga berkata, "Rupanya Pandu Tawa
juga mengenal Eyang Guntur Salju. Bahkan tampaknya lebih dulu ia mengenai Eyang Guntur Salju sebelum peristiwa malam ini ketimbang diriku."
"Senang sekali hatiku mendengar sahabatku; Wejang Keramat dalam keadaan baik-baik saja," kata Eyang Guntur Salju. "Tapi aku
sungguh sedih melihat nasibmu, Bantarsuko."
Ki Bantarsuko menunduk hikmat. Guntur Salju
berkata lagi, "Mengapa kau tidak ikuti jejak ayahmu, menjadi murid ku"
Seandainya waktu itu kau mau
menjadi muridku, seperti ayahmu, kau tidak akan
menjadi penduduk desa yang polos tanpa ilmu apaapa, Bantarsuko."
"Maaf, Eyang."
"Setidaknya dalam masalah yang kau hadapi sekarang ini, kau bisa melepaskan diri dan mengatasinya
sendiri, Bantarsuko...!"
Tiba-tiba terdengar suara jeritan di kejauhan sana
yang menggema ke mana-mana, "Aaaa...!"
Semua orang terkejut, kecuali Guntur Salju. Mata
mereka menegang, terutama Roro Intan. Gadis itu
memandang Sulastri yang berdiri di belakang bapaknya. Ternyata Sulastri ada di situ saat terjadi pembunuhan di kejauhan sana.
Guntur Salju memandang Yoga dan berkata, "Kita
telah kecolongan. Kejar dia dan selesaikan dengan
baik!" Yoga memberi hormat sebentar, kemudian melesat
pergi penuh semangat. Pandu Tawa dan Roro Intan segera mengikutinya. Mereka berpencar dalam mencari
Tengkorak Hitam. Pandu Tawa sempat tiba di rumah
korban dan jerit tangis memilukan memenuhi rumah
tersebut. Setiap mulut mereka yang datang selalu
mengucap nama Tengkorak Hitam.
Pandu Tawa tinggalkan tempat itu, kembali lakukan pencarian terhadap orang yang berpakaian hitam
dari kepala sampai kaki itu. Gerakan Pandu Tawa lebih lincah lagi. Namun ia kalah gesit dengan Pendekar Rajawali Merah yang malam
itu menemui keberuntun-gan besar yaitu dapat mencegat gerakan lari seseorang
yang hendak melintasi perbatasan desa. Orang berpakaian hitam itu adalah si
Tengkorak Hitam.
"Berhenti!" sentak Yoga tak mau menyerang lebih dulu.
Tapi Tengkorak Hitam tak mau banyak bicara. Ia
langsung kibaskan tongkat El Maut-nya. Wuungng...!
Begitu cepatnya hingga tenaga dalam yang tersalur pada tongkat itu menyebar dan menghentak mengenai
kepala Yoga. Buuhg...! Akibatnya Yoga terlempar ke
samping dan terguling-guling.
Wuuuttt...! Jraabb...!
Tengkorak Hitam ayunkan tongkat sabit panjang
itu. Sasarannya adalah punggung Yoga. Tetapi Yoga
dapat melompat lebih cepat hingga sabit panjang itu
menancap di tanah. Kesempatan itu digunakan oleh
Yoga untuk menghajar pinggang Tengkorak Hitam
dengan tendangan berkekuatan tenaga dalam tinggi.
Buuuhg...! Yoga melihat lawannya berguling-guling. Tapi tibatiba lenyap bagai ditelan bumi. Claapp...! Yoga sempat kebingungan mencarinya.,
Tahu-tahu Tengkorak Hitam sudah berada di belakang Yoga dan mengayunkan
senjatanya dari atas ke bawah. Yoga yang tak bisa dibokong begitu saja, segera kelebatkan badan kembali
dan tangan menyentak kuat. Wuuttt...! Claapp...! Sinar merah keluar dari telapak
tangan Yoga, arahnya Jurus
menghantam sabit bergagang tongkat itu.
Blegaaarrr...! Ledakan teramat keras sempat mengguncangkan
bumi sekitarnya. Genteng rumah penduduk sempat
ada yang melorot beberapa tempat. Ledakan yang
membahana itu membuat Pandu Tawa, Roro Intan,
dan para pemuka masyarakat desa berlarian menuju
ke arah perbatasan.
Tongkat itu patah, sabitnya hancur menjadi beberapa keping karena terkena pukulan sinar merah dari
tangan Yoga. Hal itu membuat Tengkorak Hitam menjadi amat berang. Ia segera melompat menyerang Yoga
dengan tangan siap menghantam. Tapi Yoga segera
menyongsongnya dengan satu lompatan pula yang
membuat kedua tangan mereka sama-sama saling bertemu di udara. Plak, liarrr...!
Nyala hijau kemerah-merahan terpancar dari perpaduan telapak tangan mereka. Sampai mereka samasama mendaratkan kaki ke bumi, tangan mereka masih saling beradu. Mereka mengerahkan tenaga dalam,
sampai pertemuan tangan mereka mengepulkan asap
putih kehitaman.
Pada saat itulah Pandu Tawa, Roro Intan dan yang
lainnya datang ke tempat itu dan menyaksikan pertarungan adu tenaga dalam tersebut. Tapi Roro Intan tidak tahan memendam dendamnya. Terbayang kematian sang Guru yang menyedihkan hati itu. Maka, Roro
Intan segera lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi.
Ia melompat dan hantamkan telapak tangannya ke
punggung Tengkorak Hitam. Blaaarr...!
Craas...! Darah menyembur dari setiap lubang tubuh Tengkorak Hitam, termasuk dari pori-porinya. Tubuh dan wajah Yoga menjadi sasaran semburan darah
tersebut. Kejap berikutnya, tubuh Tengkorak Hitam
tumbang bagaikan sebatang gedebong pisang.
Buuuhg...! Nyawanya masih sempat tersendat-sendat,
lalu lepas tinggalkan raga.
Orang banyak berkerumun saling berdesakan ingin melihat wajah di balik topeng tengkorak itu. Ketika Yoga membukanya, semua
berseru dengan nada gumam, "Widosukmi..."! Ya ampuuun...."!"
"Tidak. Tidak mungkin! Dia sudah mati!" seru Ki Bantarsuko.
Sulastri menangis menyayat hati. Ia geleng-geleng
kepala sambil dekati mayat Tengkorak Hitam yang ternyata bernama Widosukmi. Salah seorang penduduk
ada yang bicara kepada Pandu Tawa,
Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Widosukmi adalah kakak dari Sulastri. Tapi ia
sudah lakukan bunuh diri dan mati di Jurang Ajal.
Kami tidak sangka kalau Widosukmi masih hidup. Padahal dulu ia gadis biasa, artinya tidak punya ilmu silat setinggi itu."
"Pantas dia punya wajah mirip Sulastri..."!" gumam Pandu Tawa masih tertegun
pandangi mayat Widosukmi. Guntur Salju tampil, lalu berkata kepada Ki Bantarsuko, "Bawa pulang dia. Apa pun alasannya, dia masih anakmu dan kau berhak
merawat serta memakamkan jenazahnya. Lekas, angkat dan bawa pulang,
supaya tidak menjadi tontonan bagi masyarakat banyak!" Tetapi hati Pandu Tawa masih diliputi pertanyaan,
"Mengapa Widosukmi membantai penduduk Desa Kekanjengan ini" Dan sejak kapan ia mempunyai ilmu
tinggi, jika menurut pengakuan mereka, Widosukmi
dulu bukan gadis yang punya ilmu silat sedikit pun"!
Siapa guru Widosukmi jika begitu"!"
*** 8 DENGAN sejujurnya. Ki Bantarsuko mengaku tidak menduga bahwa anak sulungnya itu masih hidup.
Ia mulai merasa curiga ketika Roro Intan mengatakan,
wajah di balik kedok tengkorak itu diduga adalah wajah Sulastri. Ki Bantarsuko lalu bertanya dalam hatinya dengan kecemasan dan duka yang disembunyikan, "Apakah Widosukmi bangkit lagi dari kematiannya" Jika benar wajah di balik
kedok itu mirip dengan Sulastri, maka tak ada lagi gadis desa sini yang wajahnya
mirip Sulastri jika bukan kakaknya sendiri. Tapi
mungkinkah Widosukmi berani lakukan kekejian seperti itu?"
Ki Bantarsuko sendiri mengakui, bahwa Widosukmi tidak pernah belajar silat atau berguru kepada
siapa pun. Widosukmi hanyalah gadis desa yang polos,
cantik dan sedikit manja. Kecantikan Widosukmi melebihi kecantikan Sulastri. Kulitnya pun tidak hitam
manis seperti kulit Sulastri.
Banyak penduduk desa yang mengakui, bahwa
Widosukmi merupakan kembang desa yang menantang
selera setiap lelaki. Selain tubuhnya sekal, ia juga
mempunyai senyum yang manis melenakan sukma lelaki. Tetapi sayang Widosukmi terjebak dalam lingkaran kemesraan yang tabu.
Seorang pegawai istana yang berdarah bangsawan
mengenal Widosukmi. Orang tersebut akrab dipanggil
dengan nama Baden Panji. Usianya mencapai sekitar
empat puluh tahun, berperawakan tinggi, tegap dan
masih gagah. Ia orang terkaya di Desa Kekanjengan.
Raden Panji mempunyai istri seorang keturunan ningrat pula yang sering dipanggil dengan nama Raden
Ayu Kumala. Perkenalan Raden Panji dengan Widosukmi diawali dari kedai juga. Rupanya kebahenolan Widosukmi
menantang minat Raden Panji dan membuat pria itu
mabuk kepayang. Tetapi Widosukmi sadar, bahwa Raden Panji adalah suami orang. Widosukmi menolak
hasrat Raden Panji yang ingin mengawininya.
Rasa penasaran Raden Panji membuat pria itu
memutar otak bagaimana caranya agar dapat menangkap buah hatinya yang baru itu. Lalu, Raden Panji
mengutus beberapa orang suruhannya untuk menculik Widosukmi dari sungai tempat Widosukmi mandi.
Widosukmi dibawa oleh mereka ke pesanggrahan,
tempat Raden Panji menikmati masa liburnya dari tugas-tugas di kadipaten.
Di pesanggrahan itulah, Raden Panji berhasil memaksa Widosukmi untuk melayani hasratnya. Widosukmi menolak, Raden Panji memaksa, akhirnya gadis
itu dinodai oleh Raden Panji. Pada saat itu, diluar dugaan Raden Ayu Kumala
datang ke pesanggrahan dan
memergoki perbuatan terkutuk itu. Tentu saja Raden
Ayu Kumala menjadi berang dan mengamuk habishabisan kepada Widosukmi.
"Jangan salahkan dia. Salahkanlah aku, Kumala.
Akulah yang memaksa Widosukmi untuk melayaniku!"
Tetapi Raden Ayu Kumala tak mau mendengar suaminya bertindak tak senonoh. Raden Ayu Kumala takut kalau Widosukmi menyebarkan tindakan suaminya, maka ia pun segera menyebar fitnah,
"Widosukmi merebut suamiku, menggunakan ilmu
pengasihan untuk memelet suamiku! Dia sungguh perempuan terkutuk yang mengganggu kebahagiaan rumah tangan orang lain. Kelak bukan keluargaku saja
yang akan diganggunya, tapi suami-suami orang lain
juga akan diganggunya! Selama Widosukmi masih ada
di desa kita ini, hidup kita tidak akan aman karena
suami kita akan menjadi bahan incarannya terus. Sedikit saja kita lengah, Widosukmi akan menyerobot suami kita dan membuat suami kita lupa anak-istri...!"
Menebarlah berita tersebut, menciptakan keresahan bagi para istri orang-arang di Desa Kekanjengan.
Tak satu pun yang mau dengarkan keterangan dari
Widosukmi. Tak satu pun ada yang mau percaya bahwa Raden Panji telah merenggut kesucian Widosukmi
secara paksa, dan gadis itu diculik dari tempatnya
mandi. Mereka sudah termakan fitnah Raden Ayu Kumala, akhirnya para istri Desa Kekanjengan melabrak
Widosukmi, menuntut penguasa setempat untuk mengadili Widosukmi, bila mana perlu dijatuhi hukuman
gantung. Bukan hanya sakit saja hati Widosukmi, tapi juga
malu dan takut. Sebagai rakyat kecil, Widosukmi tidak mempunyai kekuatan apaapa, pembelaan terhadap
dirinya sia-sia. Ditambah lagi, Ki Bantarsuko yang wajahnya menjadi pucat karena
malu itu melampiaskan
amarahnya kepada Widosukmi.
Gadis itu diusir dari desa. Widosukmi tidak tahu
harus ke mana membawa dirinya yang telah ternoda
itu. Maka, jalan satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah mempercepat kematiannya. Widosukmi patah semangat, lalu melompat terjun ke dalam Jurang
Ajal yang sangat berbahaya itu. Seseorang yang saat
itu sedang mencari kayu bakar mengetahui Widosukmi
melompat ke jurang tersebut, dan menyebarlah kabar
kematian Widosukmi. Tak ada orang yang mau mencari ke dasar jurang yang dalam dan berbatu-batu runcing itu. Widosukmi pun akhirnya dikabarkan mati tanpa bisa ditemukan jasadnya. Peristiwa itu terjadi tiga tahun yang lalu.
Ki Bantarsuko nyaris tidak percaya bahwa Tengkorak Hitam itu adalah anaknya yang mati bunuh diri
tiga tahun yang lalu. Karena sejak peristiwa itu, Widosukmi tak pernah muncul
lagi. Raden Panji kebingungan mencari pengganti Widosukmi. Raden Panji sangat
mencintai Widosukmi, akhirnya setahun kemudian
Raden Panji lakukan bunuh diri pula dengan cara
menggantung diri di hutan dekat Jurang Ajal.
Hal yang membuat para penduduk tidak tahu adalah kemunculan Widosukmi dalam wujud Tengkorak
Hitam. Mengapa ternyata Widosukmi masih bisa selamat dari jurang maut yang tak pernah gagal menelan
korban itu" Siapa guru Widosukmi, sehingga mampu
mempunyai ilmu tinggi dan membantai habis keluarga
Raden Panji, dari istri, anak, keponakan, mertua, paman, bibi, semua keluarga Raden Panji dibantai habis.
Untuk menyingkap tabir rahasia kehidupan Widosukmi setelah dikabarkan mati bunuh diri itu, Guntur
Salju tampil sebagai orang sakti yang mengetahui keadaan tersebut. Dengan ilmu teropong batinnya yang
tinggi, dengan kepekaan indera keenamnya yang kuat,
Guntur Salju menjelaskan kepada Yoga, Pandu Tawa,
dan yang lainnya, termasuk Sulastri serta bapaknya,
"Jurang Ajal selama ini hanya dianggap tempat
alam yang membawa maut. Tak ada orang yang mau
tinggal di Sana. Tetapi dugaan kita selama ini keliru.
Jurang Ajal ada penghuninya; seorang lelaki yang dulu diusir dari perguruannya
dan dikejar-kejar oleh para
murid perguruan itu, ternyata bersembunyi di Jurang
Ajal. Orang tersebut bernama Prawira Yuda. Ketika ia
lari diusir dari perguruannya, ia sempat mencuri sebuah kitab pusaka milik sang guru, yang menjadi sahabatku sendiri. Perwira Yuda tekuni pelajaran dalam
kitab tersebut sampai ia kuasai semua ilmu yang belum dikuasai oleh gurunya sendiri. Akhirnya ia tumbuh sebagai orang sakti dan menamakan dirinya dengan julukan: Iblis Jurang Ajal. Ia datang kembali ke perguruannya dan semua
anggota perguruan itu dibantai habis olehnya."
Guntur Salju menceritakannya dengan jelas dan
tegas, membuat semua orang yang mendengarnya tak
ada yang berani berisik sedikit pun. Guntur Salju melanjutkan ceritanya,
"Ketika Widosukmi terjun ke Jurang Ajal untuk
mengakhiri masa hidupnya, ia disambar oleh Iblis Jurang Ajal. Ia dirawat dan ingin dijadikan istri. Widosukmi menolak, tapi Iblis
Jurang Ajal membuat suatu
kesepakatan, bahwa Widosukmi akan mendapatkan
ilmu Iblis Jurang Ajal apabila melayaninya pada bulan purnama. Maka Widosukmi
setuju. Ia melayani hasrat
Iblis Jurang Ajal hanya pada saat malam bulan purnama. Satu kali ia dilayani, satu ilmu Iblis Jurang Ajal mengalir dalam diri
Widosukmi tanpa harus melalui la-tihan dan bertapa. Jika selama tiga tahun
lamanya Widosukmi melayani Iblis Jurang Ajal ditiap purnama,
bisa dibayangkan berapa banyak ilmu yang dimiliki
Widosukmi dari pelayanannya itu" Tak heran Widosukmi menjadi berilmu tinggi, lalu melampiaskan dendamnya. Widosukmi bukan saja menaruh dendam
dengan keluarga Raden Panji, melainkan juga menaruh dendam kepada semua penduduk desa ini, yang
telah mengusirnya dan tidak mau mempercayai pengakuannya...."
Kini sudah jelas apa dan bagaimana Widosukmi.
Gurunya adalah suaminya sendiri. Ilmunya diperoleh
dari bercengkerama dengan sang suami pada malam
bulan purnama. Apalagi Iblis Jurang Ajal mempunyai
ilmu-ilmu tinggi. Hal itu membuat Widosukmi menjadi
orang sakti dan merasa berhak bertindak semenamena. Pemakaman jenazah Widosukmi dilakukan, dihadiri oleh pihak keluarga dan sahabat-sahabat Sulastri, seperti Yoga, Pandu Tawa,
Roro Intan, dan beberapa
orang desa tersebut. Mereka yang tidak hadir adalah
mereka yang takut kalau-kalau jenazah Widosukmi
bangkit lagi dan mengamuk menyerang mereka.
Kekhawatiran seperti itu ternyata dimiliki pula
oleh Guntur Salju. Maka sebelum jenazah Widosukmi
dimakamkan, Guntur Salju menyuruh penggali kubur
untuk melapisi tanah liang kubur itu dengan daundaun pisang. Menurutnya, dengan cara dan syarat seperti itu, Widosukmi tidak akan bangkit lagi dari kematiannya.
Tetapi tiga hari setelah pemakaman jenazah Widosukmi, di tengah malam penduduk desa kembali dikejutkan oleh datangnya jeritan lengking yang mendirikan bulu kuduk. Malam itu ternyata terjadi pembunuhan lagi di sebuah rumah tak seberapa jauh dari rumah Ki Bantarsuko. Tentu saja Yoga dan kawankawan yang habis menghadiri kenduri tiga hari kematian Widosukmi itu menjadi kaget serta tegang. Roro
Intan berkata kepada Pandu Tawa,
"Bukankah dia sudah dimakamkan?"
"Ya. Bahkan sudah diberi syarat oleh Eyang Guntur Salju memakai daun pisang. Tapi mengapa dia masih bisa bangkit dari kematiannya?"
Semua orang sepakat mengatakan bahwa Widosukmi bangkit dari kematiannya dan melakukan pembunuhan secara keji lagi. Bahkan menurut mereka,
pembunuh itu lebih keji yang sekarang daripada yang
dulu! "Apa ada yang melihatnya saat dibunuh?" tanya Ki Lurah kepada mereka yang
berkerumun di depan korban. "Tidak ada, Ki!" jawab lelaki setengah umur. "Waktu
saya dan istri saya lewat sini, saya sudah temukan
dia bermandi darah dan tak bernyawa lagi, Ki Lurah.
Istri saya kaget dan menjerit, bahkan sekarang masih
pingsan." Karena mereka tak ada yang memergoki gerakan si
Tengkorak Hitam, maka mereka diliputi kesangsian,
benarkah pelakunya masih orang yang sama" Jika melihat keadaan lukanya, mereka tak sangsi lagi bahwa
Tengkorak Hitam-lah yang melakukannya. Badan robek besar, terkapar di depan pintu rumah sendiri, itu merupakan ciri-ciri
pembunuhan yang dilakukan oleh
Tengkorak Hitam.
Sementara mereka sibuk mempercakapkan hal
itu, tiba-tiba di sebelah lain terdengar jeritan yang melengking tinggi dan
mendirikan bulu kuduk kembali.
Pembunuhan terjadi di sebelah barat. Mereka segera
lari ke barat, lalu menemukan seorang perempuan
yang menjadi korban di. depan pintu rumahnya. Lebih
kaget lagi mereka setelah mengetahui, ternyata seisi
rumah tersebut telah dibantai habis oleh orang yang
berjiwa keji itu. Pembunuh tersebut tidak tinggalkan
jejak yang bisa mencurigakan orang, juga tidak ada pihak yang bisa dijadikan
sumber pertanyaan; apakah
Tengkorak Hitam yang melakukan atau orang lain" Jika orang lain, bagaimana ciri-ciri orang tersebut dan ke mana larinya"
Tetapi bagi Yoga, Tengkorak Hitam atau bukan pelakunya, ia tetap berlari ke arah utara, karena firasatnya mengatakan bahwa ia
harus menuju ke utara. Padahal di sebelah utara desa, Pandu Tawa sudah lebih
dulu menjaga di sana. Pendekar Rajawali Merah sempat merasa cemas dengan keberadaan Pandu Tawa di
Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
utara desa. "Kali ini pasti tertangkap lagi! Mudah-mudahan
dia bertemu Pandu dan Pandu bisa lumpuhkan Tengkorak Hitam itu!" pikir Yoga sambil gunakan jurus
'Langkah Bayu'-nya yang mampu bergerak cepat melebihi sebatang anak panah yang melesat dari busurnya.
Wuuttt, zllaapp...!
Namun alangkah terkejutnya Yoga ketika sebelum
terlalu jauh bergerak, ia menemukan Pandu Tawa dalam keadaan terkapar tanpa darah, namun sekujur
tubuhnya menjadi biru Iegam. Napas Pandu Tawa tersengal-sengal, mulutnya keluarkan busa hitam. Kedua
biji matanya menjadi merah. Ia berkelejot-kelejot bagaikan ayam disembelih. Tak ada orang lain di sana,
kecuali Pandu Tawa sendiri.
"Pukulan beracun tinggi"!" pikir Yoga setelah tertegun beberapa saat. "Terlambat
sedikit, habis sudah riwayat hidupnya!"
Roro Intan sangat tegang ketika Yoga membawa
pulang Pandu Tawa ke rumah kedai Ki Bantarsuko. Ia
segera bertanya,
"Apa yang terjadi" Siapa yang melakukannya"
Tengkorak Hitam-kah pelakunya"!"
"Entahlah. Kutemukan dia dalam keadaan sudah
separah ini!"
Bukan hanya Roro Intan yang menjadi cemas dan
tegang melihat nasib Pandu Tawa, melainkan Ki Bantarsuko pun tampak cemas sekali. Ia bahkan berkata
kepada Yoga, "Kalau memang Widosukmi yang melakukan, biar
saya yang akan hadapi dia, Tuan!"
"Apa Ki Bantarsuko merasa mampu menghadapi
ilmunya?" "Saya memang tidak punya ilmu, Tuan. Tapi kalau
memang Widosukmi ingin lebih puas lagi, biarlah dia
melawan bapaknya sendiri dan menjadi pembunuh bagi bapaknya!"
Agaknya Ki Bantarsuko sudah tak bisa menahan
kesabaran lagi. Ia merasa malu dan patut korbankan
diri demi ketenangan masyarakat desa tersebut. Tetapi, Yoga dan yang lainnya tidak sependapat, sehingga Roro Intan membawa Ki
Bantarsuko ke tempat lain
bersama Sulastri, sedangkan Yoga sendirian mengobati
Pandu Tawa. Pukulan beracun tinggi itu memakan waktu tidak
secepat biasanya. Tetapi keberhasilan Yoga menawarkan racun itu dengan jurus 'Tapak Serap' cukup membuat Roro Intan terkagum-kagum dan tak bisa lepaskan pujian lagi. Yoga tidak pedulikan pujian atau
kekaguman, yang ia pentingkan adalah keselamatan
jiwa sahabatnya itu. Dan Yoga sudah merasa cukup
lega karena ia bisa selamatkan nyawa Pandu Tawa dari
pukulan racun tinggi.
"Siapa yang melakukannya" Kau melihat orangnya, Pandu"!" desak Roro Intan ketika mereka bergabung kembali dalam keadaan
Pandu Tawa sudah pulih
keadaannya, bahkan seperti orang tak pernah menderita luka separah itu.
"Apakah benar, Widosukmi yang melakukannya,
Tuan Pandu?" tanya Sulastri dengan wajah duka.
"Bukan," jawab Pandu Tawa. "Bukan Widosukmi dan juga bukan Tengkorak Hitam."
"Kau melihat jelas wujud manusianya?"
"Ya," jawab Pandu Tawa. "Gerakkannya sangat cepat dan mengejutkan, sehingga ia
mencuri kelengahanku dan menghantamnya dengan pukulan yang
menurut takaran seharusnya aku sudah dikubur esok
hari!" "Bagaimana ciri-cirinya?" Roro Intan mencecar karena rasa ingin tahunya begitu
besar. "Rambutnya abu-abu bergelombang, panjang
sampai ke pinggang, dilepas riap tanpa pengikat apa
pun. Kumisnya juga abu-abu, tak begitu lebar. Tubuhnya besar, matanya lebar, tulang pipinya bertonjolan, bola matanya memancarkan cahaya hijau bening,
jubahnya warna hitam, sama dengan warna celananya.
Ia membawa tongkat El Maut tapi berukuran pendek...." "Kau tahu siapa tokoh itu" Maksudku, kau mengenalinya?" tanya Yoga.
Pandu Tawa gelengkan kepala. "Yang ku tahu dia
lari ke arah jurang, dan meninggalkan aku yang terhuyung-huyung tak bisa berteriak, lalu rubuh."
"Dia lari ke arah jurang" Hmm...! Apakah dia yang disebut-sebut Eyang Guntur
Salju sebagai tokoh tua
berjuluk Iblis Jurang Ajal?"
"Kurasa, ya!" jawab Pandu Tawa dengan tegas.
"Karena larinya ke arah Jurang Ajal, maka aku pun berkesimpulan, orang tersebut
adalah Iblis Jurang Ajal yang menuntut balas atas kematian istrinya; Widosukmi
itu!" Esok paginya, berita itu cepat tersebar. Setiap
orang yang mendengar ciri-ciri pengganti Tengkorak
Hitam itu selalu bergidik merinding. Bahkan ada yang
berniat mengungsi hari itu juga, karena mereka takut
malamnya akan didatangi Iblis Jurang Ajal.
Ternyata kemunculan Iblis Jurang Ajal sengaja
disongsong oleh kepenasaran Pendekar Rajawali Merah. Siang itu, Yoga sengaja pergi sendirian tanpa pamit pada siapa pun. Arah
dan tujuannya tak lain adalah Jurang Ajal. Firasatnya mengatakan, ia ditunggu
oleh seseorang di hutan tepi jurang tersebut. Tentu sa-ja kepergian Yoga yang
tanpa pamit itu membuat ricuh
suasana di kedai Ki Bantarsuko yang untuk sementara
tidak berjualan dulu. Pandu Tawa punya dugaan,
bahwa Yoga pasti sedang menyelidik suasana dan keadaan di Jurang Ajal. Pandu Tawa pun segera pergi. Roro Intan mengikutinya dari belakang.
Dugaan Yoga tepat. Ia ditunggu seseorang walau
tidak secara langsung. Iblis Jurang Ajal yang ciricirinya persis seperti apa yang disebutkan Pandu Tawa itu muncul dari
persembunyiannya di sebuah gua, lereng jurang itu, tepat pada waktu Yoga tiba di
sana. "Siapa kau"!" geram Iblis Jurang Ajal yang bersuara besar itu. Matanya memandang
lebar dan ganas.
Kukunya yang panjang-panjang itu bergerak-gerak bagaikan tak sabar menunggu mangsa.
Yoga mulai dapat merasakan bahaya yang ada di
depannya setelah hati kecilnya mengatakan, orang itulah yang bernama Iblis Jurang Ajal. Tapi Yoga masih
bisa bersikap tenang dan menjawab, "Aku Yoga; Pendekar Rajawali Merah. Apakah
kau yang bernama Iblis
Jurang Ajal?"
"Tak salah lagi! Dan ternyata kaulah orang yang
membunuh istriku menurut kabar dari mulut ke mulut
yang sempat kudengar."
"Jika yang kau maksud adalah Widosukmi, si
Tengkorak Hitam, memang benar! Aku yang bertarung
dengan dia!"
"Jahanam! Terimalah pembalasanku, bangsat!
Heaaah...!"
Dengan cepat sekali tubuh Yoga bagai ditelan oleh
cahaya biru yang lebarnya melebihi jala ikan.
Wooohhg...! Cahaya biru itu keluar dari seluruh tubuh orang bermata hijau dan
dengan ganasnya menyerang
Yoga. Tak ada waktu bagi Yoga untuk menghindar. Ia
pun akhirnya terbungkus cahaya biru itu. Namun ia
segera sentakkan tangannya ke atas dan tubuhnya
pun segera memancarkan sinar merah. Blaarr...! Cahaya biru yang membungkusnya itu pecah. Kemudian
lenyap tanpa asap. Hal itu membuat Iblis Jurang Ajal
terperanjat kaget. Ia tak menyangka ada orang yang
mampu menandingi jurus 'Jaring Candera' andalannya
itu. "Heaaah...!" Iblis Jurang Ajal melompat sambil kibaskan tongkat El Maut
bergagang pendek itu.
Wuuukkk,..! Tongkat bersabit panjang itu berhasil dihindari
oleh Yoga, namun dengan cepatnya Yoga segera mencabut pedang pusakanya yang bernama Pedang Lidah
Guntur. Blegaarr...! Petir di angkasa menghentak langit bagai ingin meruntuhkannya. Begitulah ciri-cirinya jika pedang pusaka itu dicabut,
maka kilat akan menyambar di angkasa satu kali. Kekuatan pedang itu sampai
bisa mendatangkan petir yang kemudian membuat pedang tersebut bersinar merah dengan kelokan-kelokan
sinar pijar merah tersendiri yang mengelilingi tepian pedang bolak-balik.
Iblis Jurang Ajal tak peduli. Ia cepat-cepat lakukan serangan dengan satu lompatan cepat. Namun
dengan cepat pula Yoga tebaskan pedangnya ke arah
tubuh lawannya. Wuuuttt...! Craass...! Sinar merah
bara melompat dari ujung pedang sebelum pedang itu
kenai tubuh lawan. Sinar itu berkelebat cepat dan
memenggal kepala Iblis Jurang Ajal. Tokoh sesat yang
sakti itu pun akhirnya tumbang ke tanah.
Namun suatu keanehan telah terjadi dan membuat mata Yoga tercengang. Ternyata begitu mayat Iblis Jurang Ajal jatuh ke tanah, ia bangkit lagi dan telah menjadi dua sosok yang
sama dan serupa. Kini Iblis
Jurang Ajal seperti setan kembar yang dengan ganasnya menyerang Pendekar Rajawali Merah.
Wuuuttt, craasss...!
Yoga kembali berhasil memenggal kepala Iblis Jurang Ajal yang kedua. Tapi justru sosok itu berubah
menjadi dua lagi setelah jatuh ke tanah. Kini wujud Iblis Jurang Ajal ada tiga
sosok kembar. Yoga jadi bingung sendiri dan berkata dalam hati,
"Setiap mati, jatuh ke tanah, bangkit lagi dengan menjadi dua. Alangkah sulitnya
melumpuhkan orang
ini. Ia sepertinya tak bisa dibunuh. Semakin sering dibunuh jumlahnya semakin
banyak"!"
Iblis Jurang Ajal yang pertama tertawa menggelegar, mengguncangkan pepohonan dan menghancurkan
segunduk batu tak jauh darinya. Suaranya pun terdengar menggema,
"Ha ha ha ha...! Kau tak akan bisa melawan ilmu
'Mayat Seribu'! Kau tak akan bisa menandinginya. Yoga! Hah, hah, ha ha ha...!"
Jrab...! Yoga menancapkan pedangnya ke tanah.
Saat itu tanah menjadi guncang, membuat tiga sosok
kembar dalam rupa Iblis Jurang Ajal menjadi limbung
menjaga keseimbangan agar tak terjatuh. Pada saat
itulah Yoga sentakkan tangannya ke atas, dan tiga larik sinar merah keluar dari ujung-ujung ketiga jarinya.
Kejap berikutnya burung besar berbulu merah
pun datang menghampirinya. Iblis Jurang Ajal tak hiraukan. Kini ketiganya maju satu persatu menyerang
Yoga. Namun, pedang Yoga berkelebat lebih cepat dan
menewaskan lawan. Ketika lawan hendak jatuh. Yoga
buru-buru menadahkan kakinya hingga mayat lawan
tak sampai terkena tanah. Mayat itu jatuh di kaki Yoga, lalu kaki itu melemparkannya dan mayat tersebut
jatuh terkulai di punggung sang Rajawali Merah.
"Jika ia kena tanah, ia akan hidup dan bertambah satu lagi!" pikir Yoga. Maka,
begitulah akhirnya Yoga melakukan perlawanan terhadap lawan yang memiliki
ilmu 'Mayat Seribu'.
Kini, tiga mayat Iblis Jurang Ajal tertumpuk di
atas punggung burung Rajawali Merah itu. Satu pun
tak ada yang bangkit lagi. Lalu, Yoga segera serukan
perintah kepada burung tersebut,
"Merah, bawa mayat itu terbang dan lemparkan ke
laut biar tak dapat hidup kembali!"
"Kaaakkk...! Kaakkk...!" maka, burung itu pun segera terbang membawa ketiga
mayat kembar tersebut.
Sampai di atas lautan, burung Rajawali Merah terbang
menukik, dan ketiga mayat Iblis Jurang Ajal itu jatuh tercebur di perairan laut
yang biru dan bergelombang
besar. Laut itu adalah laut ganas, karena daerah itu
merupakan pusat kehidupan ikan-ikan besar yang ganas-ganas. Tak heran jika ketiga mayat itu cepat lenyap begitu jatuh ke perairan laut lepas. Mayat-mayat itu segera disambar ikanikan ganas dan menjadi san-tapan mereka. Dengan begitu, Iblis Jurang Ajal tak
mungkin bisa hidup kembali karena jasadnya tidak
menyentuh tanah lagi.
Tengkorak Hitam dan Iblis Jurang Ajal telah tiada.
Yoga tak punya pilihan lain untuk menyelamatkan sekian banyak orang dari kekejaman kedua tokoh tersebut kecuali dengan cara seperti apa yang dilakukannya terhadap dua tokoh jahat
tersebut. Dan kehadiran Yo-ga yang mampu menenangkan keresahan serta ketakutan penduduk Desa Kekanjengan itu mendapat
penghargaan dari sang Adipati. Tetapi, Yoga tak mau
menerimanya. Hadiah berupa uang dan sekantong
perhiasan itu akhirnya diserahkan kepada penduduk
Desa Kekanjengan, lalu mereka membuat pesta syukuran dengan menanggap ronggeng dari tujuh daerah.
Sisanya digunakan untuk membangun desa tersebut.
"Bagiku, kedamaian lebih berharga daripada kemewahan!" kata Yoga kepada Sulastri ketika gadis itu menanyakan, mengapa Yoga
menolak hadiah tersebut.
Dan Sulastri pun mengantar Yoga pulang sampai di
batas desa. Sulastri yang sebenarnya menghendaki Yoga tinggal di desa itu selamanya namun ditolak halus
oleh Yoga itu, tetap tersenyum manis sambil lambaikan tangan. Sementara itu, Pandu Tawa dan Roro Intan berjalan agak jauh, sambil berkasak-kusuk dan
cekikikan, entah apa yang mereka bicarakan.
SELESAI E-Book by Abu Keisel https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel
Jodoh Rajawali 17 Tengkorak Hitam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seruling Gading 7 Sarang Perjudian Karya Gu Long Petualang Asmara 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama