Ceritasilat Novel Online

Warisan Laknat 3

Joko Sableng 12 Warisan Laknat Bagian 3


mengetahui urusan besar ini!"
* * * Kita tinggalkan dahulu Pendekar 131.
Kita menuju ke satu tempat di kawasan Gunung Semeru. Saat itu malam telah
merambat jauh. Namun karena bulan sedang purnama, lintasan bumiterlihatterang benderang.
Satu sosok bayangan sulit ditangkap pandangan mata biasa terlihat berkelebat
cepat menuju arah kawasan Gunung Semeru.
Bayangan itu menerabas jajaran pohon dan semak belukar tinggi yang banyak tumbuh di sekitar kawasan yang menuju gunung. Jajaran pohon serta semak belukar itu
sangat rimbun malah hampir tidak ada jalan setapak yang bisa dilalui. Namun
sosok yang berkelebat laksana tidak terhalang sama sekali. Sosoknya menerabas
seolah berlari di jalanan biasa.
Jelas siapa pun adanya sosok ini menunjukkan dia memiliki kepandaian tinggi.
Ketika memasuki lamping gunung yang hanya di-hiasi bongkahan-bongkahan batu
besar, bayangan tadi hentikan kelebatannya.
Dia tegak seraya rangkapkan kedua tangan di atas salah satu bongkahan batu. Dia
adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih, raut wajahnya pucat.
Mengenakan pakaian putih panjang.
Sepasang mata orang tua ini sejurus memandang berkeliling tanpa memutar kepala.
Saat lain sepasang matanya tak berkesip menatap pada satu bongkahan batu di mana
di atasnya terlihat satu sosok tubuh sedang duduk bersila. Meski tidak berkatakata, raut wajah orang tua ini sesaat tampak menunjukkan kegembiraan. Mulutnya
yang terkancing
sunggingkan senyum dengan kepala sedikit mengangguk.
"Hem.... Nyatanya dia pantang putus asa.
Hampir lima purnama dia lalui dengan tabah.
Sebenarnya bukan sekarang saatnya aku berada di sini. Tapi mimpiku selama tiga
hari berturut-turut kurasa bukan kembang tidur dan impian biasa...." Orang tua
yang rangkapkan kedua tangan di atas dada berucap dalam hati dengan mata masih
tak berkesip pandangi sosok yang duduk di atas bongkahan batu. Namun tiba-tiba
paras wajah si orang tua berubah.
"Kalau mimpiku hanya impian biasa, maka apa yang telah dia lakukan selama lima
purnama ini akan sia-sia. Tapi apa boleh buat. Aku harus memutus semadinya. Aku
yakin mimpiku ada artinya...."
Setelah menarik napas panjang, si orang tua buka mulut.
"Gumara.... Kita harus bicara. Ada
sesuatu yang harus kau ketahui. Kuharap kau putuskan semadimu...."
Orang yang duduk bersila di atas
bongkahan batu yang ternyata adalah seorang pemuda berparas tampan, berdagu
kokoh bertubuh kekar tidak bergeming. Sepasang matanya memejam rapat. Meski
demikian suara si orang tua yang berdiri tegak sedikit banyak mengganggu
kekhusukan semadinya. Malah daun telinga sang pemuda di atas batu yang dipanggil
Gumara terlihat bergerak terangkat.
Mulutnya menggerimit bergetar. Sepasang matanya yang terpejam bergerak-gerak
meski tetap tidak membuka. Saat lain gerakan-gerakan halus pada anggota sang
pemuda kembali terhenti, pertanda dia telah dapat atasi gangguan yang sejenak
tadi sempat mengganggu.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena orang tua yang tegak di atas batu
sejarak tujuh tombak dari tempat si pemuda bersila kembali angkat bicara.
"Gumara.... Harap kau hentikan dahulu semadimu! Ada sesuatu yang harus kita
bicarakan!"
Gumara tidak bergeming sedikit pun.
Sepasang matanya tetap memejam rapat. Jelas kalau pemuda ini tenggelam dalam
semadinya meski hal itu baru dapat dilakukan setelah menutup jalan
pendengarannya.
Orang tua di atas batu kerahkan tenaga dalam pada tenggorokan. Dia seakan tahu
kalau Gumara menutup jalan pendengarannya. Sesaat kemudian dia buka mulut lagi.
Kali ini suara si orang tua terdengar lain. Tinggi melengking jelas jika suara
itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam untuk.
membongkar jalan pendengaran orang.
"Gumara! Aku datang membawa kabar baik bagimu! Kita harus bicarakan hal ini!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara si orang tua, tubuh Gumara kelihatan
bergetar. Dagunya mengembung dengan pelipis bergerak-gerak pertanda apa yang dilakukan si
orang tua berhasil membongkar jalan pendengaran Gumara. Malah pemuda ini
merasakan kedua telinganya laksana ditusuk dan mengiang keras!
Namun Gumara tidak begitu saja segera putuskan semadinya. Si pemuda mengira apa
yang didengarnya adalah gangguan yang biasa menggoda. Namun bagaimanapun dia
mencoba menutup pendengaran dan pusatkan jalan pikiran, dia tidak kuasa
mengatasi. Gumara sadar bahwa kali ini dia jelas tidak mungkin bisa teruskan
semadinya. Seraya menggereng marah, Gumara buka kelopak matanya. Kedua tangannya ditarik ke
belakang. Bersamaan dengan berputarnya tubuh menghadap suara yang didengarnya,
kedua tangannya menghantam lepaskan pukulan!
Wuutt! Wuuutt! Dua gelombang angin deras melesat ke arah si orang tua yang tegak di atas
bongkahan batu. Namun orang tua yang diserang sudah tidak kelihatan lagi di
tempatnya semula hingga
dua gelombang angin itu
menghantam bongkahan batu di mana tadi si orang tua berdiri tegak.
Byaaaarr! Bongkahan batu itu langsung hancur
berantakan semburatkan kepingan kecil-kecil.
Melihat pukulannya hanya menghantam
bongkahan batu, lebih-lebih tidak ada seorang pun yang terlihat, Gumara naik
pitam. Sekali lagi dia kerahkan tenaga dalamnya. Kedua telinganya dipertajam.
Meski dia tidak melihat orang namun dia sadar kalau di tempat itu dia tidak
berada sendirian.
Tiba-tiba bibir
Gumara sunggingkan
senyum seringai, lalu membuka.
"Kau berani mengusikku. Kau akan tahu akibatnya!"
Belum habis suara Gumara, tubuhnya yang tetap dalam sikap duduk bersila berputar
laksana baling-baling. Kejap lain sosoknya berhenti. Kedua tangannya yang telah
dialiri tenaga dalam diangkat, siap menghantam ke satu arah.
"Gumara. Tahan pukulanmu!"
Gumara pentangkan sepasang matanya.
Mulutnya yang terbuka hendak ucapkan kata-kata serta merta mengancing. Kedua
tangannya terangkat diluruhkan.
Di lain saat pemuda ini berdiri lalu melesat dan tahu-tahu telah tegak di atas
bongkahan batu berseberangan sejarak tiga langkah di hadapan orang tua
berpakaian putih. Pemuda ini bungkukkan sedikit tubuhnya.
"Harap Guru katakan mengapa datang sebelum waktu yang Guru tentukan!"
Meski dari nada bicaranya jelas kalau orang tua di hadapan Gumara adalah
gurunya, namun nada ucapan itu seolah menegur.
Si orang tua tersenyum dan seolah
mengerti kenapa muridnya berucap begitu.
"Gumara.... Hal ini kulakukan karena ada satu hal yang harus kita bicarakan! Aku
bermimpi..."
Belum selesai si orang tua lanjutkan ucapannya, Gumara telah memotong. "Guru.
Adakah kerjaku selama lima purnama harus sia-sia hanya karena sebuah mimpi?"
Lagi-lagi si orang tua tersenyum.
"Muridku.... Kurasa apa yang kau lakukan tidak sia-sia. Kulihat pukulanmu
bertambah cepat. Daya pendengaranmu makin tajam..."
"Guru!" lagi-lagi Gumara memotong ucapan gurunya. "Dengan buyarnya semadiku
sebelum waktu yang ditentukan berarti aku gagal memiliki ilmu 'Pelebur Urat"
yang kau katakan itu! Itu juga berarti ilmuku tidak bertambah dan aku tetap akan
jadi pecundang dalam dunia persilatan! Sementara pemuda bergelar Pendekar Pedang
Tumpul 131 telah mendapatkan Kitab Serat Biru!"
Si orang tua gelengkan kepala. "Rupanya kau masih terpacak memikirkan pemuda
berjuluk Pedang Tumpul 131 yang mengalahkanmu di Pulau Biru! Kau mungkin lupa,
Gumara. Sebelum keberangkatanmu dahulu aku sudah berpesan.
Kau harus dapat menerima kenyataan karena sebuah kitab diciptakan kelak hanya
diperuntukkan untuk satu orang! Kau harus belajar menerima takdir bahwa bukan
kau yang ditentukan untuk memiliki Kitab Serat Biru.... Dan kuharap apa yang kau
pelajari juga tidak untuk merebut kitab itu! Kitab Serat Biru tidak
diperuntukkan bagimu, namun mungkin kau masih berjodoh dengan kitab satunya...."
Ketegangan wajah Gumara yang sedari tadi terlihat mendadak berubah. Seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya dia berkata.
"Jadi itukah hal penting yang hendak kau bicarakan sampai harus membuyarkan
semadiku?"
Si orang tua menjawab dengan anggukkan kepalanya. Seakan tidak sabaran, Gumara
lanjutkan ucapannya. "Harap Guru terangkan kitab apa itu dan di mana beradanya!"
"Tentang kitab apa, aku sendiri tidak jelas mengetahuinya!"
Paras wajah Gumara kembali menegang.
"Adalah aneh kalau Guru mengatakan tahu tentang sebuah kitab tapi tidak tahu
kitab apa! Jangan-jangan Guru hanya mendengar kabar yang belum tentu
kebenarannya!"
Si orang tua untuk kesekian kali nya gelengkan kepala. "Gumara. Persoalan kitab
itu aku tidak mendengar dari mulut orang!
Itulah sebabnya aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu!"
"Lalu apakah dari mimpi yang kau katakan tadi?" tanya Gumara menebak. Lalu
lanjutkan ucapannya dengan tertawa pendek. "Barang pusaka yang didengar dari
seorang tokoh dunia persilatan saja masih disangsikan
kebenarannya, bagaimana mungkin hanya dari sebuah mimpi hal itu bisa dibuktikan
kebenarannya?"
"Gumara. Menurutku, keterangan dari orang, siapa pun dia adanya memang
kadangkala masih disangsikan kebenarannya. Tapi keterangan dalam mimpi adalah
sesuatu yang gaib. Dan sering kali keterangan dalam mimpi lebih dipercaya dari
keterangan orang!
Apalagi mimpi itu tidak hanya sekali melainkan berkali-kali! Kukira itu sebuah
isyarat kebenaran! Jika tidak, tidak sampai aku datang ke sini sebelum waktu
yang kutentukan!"
Seolah masih tidak percaya dengan yang dikatakan gurunya, Gumara angkat bicara
lagi. Namun kali ini dia seolah bicara pada dirinya sendiri.
"Mimpi.... Yang kualami, aku hanya memimpikan sesuatu yang selalu kupikirkan
sebelum tidur...."
"Kau jangan menganggap segala sesuatu sama dengan apa yang kau alami, Gumara....
Dan juga perlu kau ketahui, pada terakhir kalinya, aku dalam keadaan terjaga!
Hal ini terjadi mungkin karena aku semula beranggapan sepertimu. Tapi.... Kalau
kau tidak tertarik sebaiknya aku tidak menceritakan padamu.
Hanya...."
"Guru. Semadiku
telah sia-sia hanya
karena persoalan mimpi ini. Bagaimanapun mimpimu, harap kau katakan padaku!"
sahut Gumara. Untuk beberapa saat si orang tua
terdiam. Pandangan matanya menerawang jauh.
Sesaat kemudian dia berkata.
"Aku merasa didatangi seseorang yang tidak jelas raut wajahnya. Yang kulihat dia
mengenakan jubah panjang hitam sebatas mata kaki. Dia tidak berkata apa-apa. Dia
hanya menggerakkan kedua tangannya menyibakkan jubah panjangnya. Saat itulah aku
melihat sebuah kitab berwarna hitam di dadanya. Setelah itu dia balikkan tubuh
dan seolah-olah mencebur ke dalam sebuah tempat yang curam.
Tiga hari berturut-turut dia datang dengan sikap yang sama. Pada yang terakhir
kali aku dalam keadaan terjaga. Orang itu menampakkan diri lagi. Pada saat itu
sebelum dia balikkan
tubuh aku beranikan diri bertanya di mana dia berada. Dia tidak menjawab. Hanya
setelah sosoknya tidak kelihatan, aku mendengar dia sebut-sebut namamu dan
menyebut Bukit Selamangleng...."
Gumara dengarkan penuturan gurunya
dengan saksama. Sementara si orang tua palingkan kepala memandang pada sang
murid lalu berkata.
"Aku tidak memaksamu menyelidik. Tapi adalah tindakan bodoh kalau kau menyianyiakan hal ini!"
"Guru. Aku akan tetap berangkat menyelidik. Bukan untuk mencari kitab itu, namun
semata-mata ingin buktikan bahwa mimpi adalah bunga tidur!"
Mendengar ucapan muridnya, sang guru bukannya marah melainkan sunggingkan senyum
dan berkata pelan.
"Hati seseorang tidak mudah diduga, Gumara. Tapi aku berharap kau nanti akan
menemui kenyataan! Aku harus pergi sekarang!"
"Tunggu! Apa kau tahu di mana letak Bukit Selamangleng?"
Gerakan sang guru tertahan. Masih dengan tersenyum dia menjawab.
"Pergilah ke Dusun Sumbersuko. Tidak jauh dari dusun itu kau akan melihat sebuah
bukit. Itulah Bukit Selamangleng.... Gumara!
Aku berpesan padamu kalau kau nanti menemukan kenyataan, harap kau gunakan kitab
itu untuk kebaikan. Lupakan peristiwa di Pulau Biru...!"
Habis berkata begitu, si orang tua
baiikkan tubuh lalu sosoknya berkelebat, Gumara tengadahkan kepala. Mulutnya
menyeringai. "Peristiwa Pulau Biru selamanya tidak akan kulupakan. Pendekar
Pedang Tumpul 131 serta kawan-kawannya harus mampus ditanganku! Aku hampir
yakin, apa yang dialami oleh Bayu Bajra adalah sebuah isyarat benar!"
Gumara tertawa panjang. "Pendekar Pedang Tumpul 131 Joko Sableng! Saat
kematianmu hanya tinggal tunggu waktu! Malaikat Penggali Kubur akan datang
menjemputmu!"
Gumara melesat tinggalkan kawasan
lamping Gunung Semeru masih dengan suara bergelak keras. Pemuda ini bukan lain
adalah pemuda yang tidak berhasil mendapatkan Kitab Serat Biru malah sempat
dikalahkan Pendekar 131 di Pulau Biru, yakni pemuda yang bergelar Malaikat
Penggali Kubur murid seorang tokoh bernama Bayu Bajra. (Lebih jelasnya tentang
Gumara alias Malaikat Penggali Kubur serta gurunya silakan baca serial Joko
Sableng dalam episode: "Malaikat Penggali Kubur").
* * * 8 Pendekar 131 Joko Sableng melangkah
dengan benak dibuncah berbagai persoalan. Di satu sisi dia mendapat keterangan
dari Raja Tua Segala Dewa harus mencari orang yang berjuluk Cucu Dewa dan Iblis
Rangkap Jiwa yang tidak jelas di mana beradanya. Padahal dari orang itulah Kitab
Hitam dapat ditemukan. Di lain pihak menurut keterangan Orang Tua yang sebutkan
diri sebagai penjaga
Kitab Serat Biru dan Sundrik Cakra, rahasia di mana beradanya Kitab Hitam berada
di mahkota bersusun tiga yang kini diketahui berada di tangan Dewa Orok. Padahal
mencari Dewa Orok mungkin sama halnya dengan mencari satu jenis ikan tertentu di
laut bebas. Kalaupun dapat bertemu Dewa Orok belum tentu pemuda bertangan buntung berwajah
tampan itu mau memberikan mahkota yang dikatakan sebagai milik nenek moyangnya.
Belum lagi dia telah telanjur mengatakan urusannya pada gadis berwajah cantik
berjubah merah menyala yang sebutkan diri sebagai Putri Sableng.
Pada satu tempat murid Pendeta Sinting hentikan langkah. Mungkin karena telah,
enak saja dia selonjorkan kaki seraya bersandar punggung pada sebuah gundukan
tanah agak tinggi. Tangan kirinya terangkat lalu jari kelingkingnya dimasukkan
ke tobang telinga.
Kejap lain dia telah meringis sendiri seakan-akan melupakan urusan rumit yang
dihadapi. Namun ringisan geli murid
Pendeta Sinting mendadak terputus. Sepasang matanya membeliak besar tak berkesip.
Dadanya berdegup keras. Jakunnya bergerak tak teratur turun naik.
Sejarak sepuluh langkah dari tempatnya duduk menggelosoh tegak seorang perempuan
berwajah cantik meski usianya tidak muda.
Sosoknya bahenol dengan kulit putih. Sepasang matanya bersinar. Hidungnya
mencuat mancung dengan bibir merah ranum. Dia mengenakan pakaian tipis berwarna
biru membuat cuatan kedua payudaranya yang membusung besar terlihat jelas.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pinggulnya padat ditingkah paha yang terpampang karena pakaian bawahnya
sengaja disibakkan.
"Kapan munculnya perempuan itu" Ataukah karena aku terlalu tenggelam dengan
urusanku hingga tidak mengetahui kedatangannya" Tapi sepertinya aku pernah
bertemu dengan perempuan ini. Tapi di mana...?"
"Sepertinya kau sedang galau...." Si perempuan. berpakaian biru menyapa seraya
sunggingkan bibirnya yang merah. Dia melangkah mendekat. Pinggulnya kelihatan
bergoyang-goyang membuat mata Joko makin terbelalak.
"Sepertinya aku mengenalmu...," gumam Joko lalu bergerak bangkit.
Si perempuan terus
melangkah. Tiga
langkah di hadapan murid Pendeta Sinting, dia hentikan langkah. Sepasang matanya
memandang pada Joko dari rambut hingga kaki. Mulutnya membuka perdengarkan
suara. "Benar, Pendekar 131. Kita sudah saling kenal. Kau ingat peristiwa di Pulau Biru
beberapa waktu yang silam?"
Murid Pendeta Sinting serentak surutkan langkah. Namun sosoknya tertahan
gundukan tanah di mana dia tadi bersandar.
"Kau.!.. Ratu Pemikat!" seru Joko. Paras wajah Pendekar 131 berubah seketika.
Dadanya bergemuruh. Teringat lagi bagaimana pada beberapa tahun yang lalu
perempuan di hadapannya yang tidak lain adalah seorang perempuan berparas cantik
yang dikenal dengan Ratu Pemikat mengejar dirinya hingga masuk ke dalam Jurang
Tlatah Perak. Namun gejolak marah di dada murid Pendeta Sinting perlahan-lahan
sirna ketika Ratu Pemikat tunjukkan wajah murung sembari berkata.
"Pendekar 131. Aku memang telah berbuat kesalahan padamu. Untuk itulah aku
sengaja mencarimu. Aku ingin menebus dosa yang pernah kulakukanl Hari ini aku
bisa jumpa. Sekarang aku pasrah. Lakukanlah apa yang kau mau...."
Ratu Pemikat tundukkan kepala. Kedua tangannya saling meremas. Joko menarik
napas panjang. Mulutnya terkancing tidak ucapkan sepatah kata.
"Aku telah berjanji. Kalau kau tidak bersedia melakukan hukuman padaku, aku akan
melakukannya sendiri di hadapanmu!"
Bersamaan dengan itu kedua tangan Ratu Pemikat terangkat ke atas. Kejap lain
kedua tangan itu menghantam kearah kepalanya sendiri! Karena hantaman itu bukan
hantaman biasa, pasti sekali hantam kepala itu akan retak. Apalagi Ratu Pemikat
diketahui adalah seorang yang punya kepandaian.
Sejengkal lagi kepala Ratu Pemikat
terhantam sendiri oleh kedua tangannya, dua tangan lain tampak berkelebat
membuat gerakan kedua tangan Ratu Pemikat tertahan.
"Sudahlah.... Aku telah melupakan peristiwa itu!"
Ratu Pemikat angkat kepalanya. Sepasang matanya memandang tajam ke dalam bola
mata murid Pendeta Sinting yang baru saja menahan gerakan kedua tangannya.
"Benar ucapanmu" Jangan hanya di mulut tapi di hati masih menyimpan dendam
padaku...," kata Ratu Pemikat dengan suara lirih.
Pendekar 131 tersenyum seraya gelengkan kepala. "Kau memang berbuat kesalahan,
tapi tanpa hal itu mungkin aku tidak jadi begini!"
"Terima kasih kalau kau mau memaafkan diriku. Kini hatiku tenteram...."
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat
pandang sekali lagi pada murid Pendeta Sinting. Tanpa berkata apa-apa lagi
perempuan bertubuh bahenol ini putar diri. "Aku harus segera pergi...."
Sesaat Pendekar 131 terdiam. Sepasang matanya mendelik memandang pada pinggul
Ratu Pemikat yang kencang menantang.
"Hendak ke mana kau?" akhirnya Joko bertanya setelah Ratu Pemikat melangkah lima
tindak. Namun matanya tidak juga beranjak dari pinggul si perempuan.
"Berbulan-bulan aku mencarimu. Tujuanku kau
telah tahu. Sekarang semuanya sudah selesai. Aku ingin mencari tempat untuk
tenangkan diri."
Ratu Pemikat baiikkan tubuh lalu
lanjutkan ucapannya. "Kau sendiri mau ke mana" Kulihat wajahmu seperti cemas dan
bingung!" Mungkin karena tidak mau bertindak
ceroboh seperti saat bertemu dengan gadis berjubah merah, murid Pendeta Sinting
gelengkan kepala seraya tertawa.
"Aku bingung memikirkan bagaimana kita mendadak bisa berjumpa lagi! Padahal
sebelumnya tidak terlintas hal ini akan terjadi...."
Ratu Pemikat tersenyum. Dia lalu
melangkah kembali mendekat ke arah Joko. Kali ini tampak Ratu Pemikat busungkan
dadanya yang besar, hingga sesaat membuat murid Pendeta Sinting membeliak.
"Sebentar lagi matahari akan terbenam.
Apa kau masih akan tetap berada di sini?"
sambil berkata, kepala Ratu Pemikat mendongak. Saat itu hamparan langit memang
mulai menguning pertanda sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Melihat Joko tidak menjawab
pertanyaannya, Ratu Pemikat arahkan kepala pada murid Pendeta Sinting. "Sebagai
tanda persahabatan kita kembali, bagaimana kalau kita jalan bersama mencari
tempat yang lebih baik?"
Bersamaan dengan selesainya ucapan Ratu Pemikat, Joko merasakan dadanya sesak.
Sekilas pandangannya berubah menghitam laksana ada kabut tipis yang menghalangi
pandangan matanya. Tapi cuma sekejap. Kejap lain kembali seperti sediakala.
Pendekar 131 kerutkan kening. Belum selesai berpikir apa yang baru saja terjadi,
Ratu Pemikat telah pegang lengannya. "Kau tampak sangat letih. Kalau kau tidak
mau berjalan bersama, bagaimana kalau
kau kutemani di sini" Kau tak keberatan bukan?"
Bibir Ratu Pemikat sunggingkan senyum.
Matanya mengerling. Entah sengaja atau tidak perempuan ini lalu tempelkan
dadanya pada lengan Joko membuat murid Pendeta Sinting merasakan hangatnya dada
sang Ratu. Entah karena apa meski dalam hatinya telah bermaksud menolak apa yang dikatakan
Ratu Pemikat tapi kepalanya sebaliknya mengangguk. Malah kedua tangannya segera
bergerak merengkuh tubuh bahenol di sampingnya dan kepalanya serentak menyorong
ke depan. Kejap lain diciuminya wajah Ratu Pemikat.
Ratu Pemikat sejenak mengeluh perlahan.
Kedua tangannya merangkul tubuh Pendekar 131
yang terus menciumi wajah dan lehernya. Tapi tiba-tiba Ratu Pemikat tarik
kepalanya menjauh. Bersamaan dengan itu dia berbisik.
"Ke mana sebenarnya tujuanmu, Pendekar?"
Walau hatinya tidak mau menjawab,
anehnya laksana ada satu kekuatan hebat yang membuatnya buka mulut meski
kepalanya terus menyusup ke leher Ratu Pemikat. "Aku harus menemui orang
berjuluk Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa."
"Kalau kau terlihat cemas dan tegang tentu kau punya urusan sangat pehting
dengan manusia bergelar Cucu Dewa. dan Iblis Rangkap Jiwa...," ujar Ratu Pemikat
lalu dekatkan wajahnya ke depan. Tangannya perlahan-lahan meraba bagian perut
murid Pendeta Sinting.
"Lebih dari penting!" kata Joko seolah tidak sadar. Malah dia seakan tidak
merasa bagaimana kedua tangan Ratu Pemikat meraba-raba bagian perutnya. Yang
dirasakan saat itu adalah getaran-getaran halus kedua tangan Ratu Pemikat yang
membuat dadanya makin berdebar dan gejolaknya makin menggelegak.
"Hem.... Urusan apakah sebenarnya?"
tanya Ratu Pemikat. Wajah perempuan ini tampak berubah. Bukan karena Joko terus
menciuminya melainkan karena dia tidak menemukan apa-apa di balik pakaian murid
Pendeta Sinting.
"Heran. Di mana dia menyimpan kitab itu"
Apa mungkin kitab sakti disimpan di satu tempat" Yang terasa cuma senjata
pedangnya...."
Masih laksana didorong kekuatan luar
biasa, Joko jawab pertanyaan Ratu Pemikat.
"Menurut seseorang ada sebuah Kitab Hitam yang berisi ilmu luar biasa. Aku harus
menemukan dan memusnahkan kitab itu. Sementara orang yang tahu beradanya Kitab
Hitam itu adalah orang yang bergelar Iblis Rangkap Jiwa...."
Ratu Pemikat lingkarkan kembali kedua tangannya ke pinggang murid Pendeta
Sinting. Lalu membelai punggungnya seraya berbisik.
"Lalu apa hubungannya dengan orang yang kau sebut Cucu Dewa?"
"Iblis Rangkap Jiwa adalah seorang manusia sakti. Dia tidak mungkin begitu saja
mengatakan di mana beradanya Kitab Hitam.
Malah tidak mustahil dia akan membunuh siapa saja yang menanyakan kitab itu.
Hanya ada satu orang yang mengetahui kelemahannya.
Dia adalah Cucu Dewa...."
Sepasang mata Ratu Pemikat membelalak.
Bibirnya tersenyum. "Kalau dia ditugaskan mencari sekaligus
memusnahkan kitab itu, pasti kitab itu lebih hebat dari Kitab Serat Biru. Hem.... Tak dapat Kitab Serat
Biru tidak apa-apa.... Tentu yang ini lebih dahsyat.... Aku harus terus
mengorek. Ilmu 'Penyalur Suara' dan rangsangan itu masih cukup sebelum dia sadar...."
"Kau tahu di mana orang yang berjuluk Cucu Dewa serta Iblis Rangkap Jiwa itu?"
tanya Ratu Pemikat Seraya angkat kedua tangannya lalu sibakkan pakaian bagian
atasnya hingga sepasang payudaranya terlihat jelas tanpa penutup. Sepasang mata
murid Pendeta Sinting mendelik seperti silau melihat payudara putih besar dan
padat. Kepala Joko turun ke bawah. Namun begitu sampai di belahan dada Ratu Pemikat,
perempuan ini tarik tubuhnya seraya berbisik pelan. "Katakan dahulu di mana
tempat Cucu Dewa dan Iblis Rangkap Jiwa...!"
Seakan tidak sabaran, murid Pendeta Sinting tarik kedua tangannya yang merangkul
pinggang Ratu Pemikat, hingga tak ampun lagi tubuh Ratu Pemikat terdorong ke
depan. Dadanya tepat ke wajah murid Pendeta Sinting!
"Aku tidak tahu di mana adanya dua orang itu! Justru itulah yang selama ini
menjadi pikiranku...," ujar Joko tekapkan wajahnya ke dada Ratu Pemikat.
"Kau tidak berdusta?" tanya Ratu Pemikat meski dia yakin Joko tidak bisa berkata
dusta sebab dia telah terbius ilmu 'Penyalur Suara'.
"Aku bicara apa adanyal" jawab Joko lalu kembali benamkan wajahnya.
"Hem.... Sebenarnya aku bisa saja membunuhnya saat ini. Tapi aku tidak akan
melakukan hal itu. Aku akan membunuhnya setelah dia berhasil mendapatkan Kitab
Hitam itu karena siapa tahu aku gagal menemukan Cucu Dewa dan Iblis Rangkap
Jiwa...," kata Ratu Pemikat dalam hati. Perempuan ini angkat tangan kirinya.
Kejap lain tangan itu bergerak mengelus tengkuk murid Pendeta Sinting.
Bersamaan dengan itu Pendekar 131
rasakan kedua lututnya goyah. Kepalanya laksana diputar-putar. Saat lain
pemandangannya menghitam. Ketika Ratu Pemikat tarik pulang tangan kirinya, sosok
Joko melorot jatuh.
Ratu Pemikat tertawa panjang. Dengan cepat dia bergerak jongkok. Lantas
memeriksa jalan pernapasan Joko. Setelah merasa pasti bahwa Joko dalam keadaan
tidak sadar maka kedua tangannya membuka pakaian yang dikenakan murid Pendeta
Sinting. Perempuan berwajah cantik bertubuh
bahenol itu menarik napas panjang. "Kitab itu memang tidak dibawa. Tentu
disimpan di satu tempat. Hem.... Tapi aku tidak begitu kecewa.
Kitab Hitam pasti lebih hebat dari Kitab Serat Biru...," kata Ratu Pemikat
berujar pada diri sendiri. Sepasang matanya memandangi sekujurtubuh murid
Pendeta Sinting. Matanya lalu menumbuk pada Pedang Tumpul 131. Tangannya
bergerak menjulur, tapi tiba-tiba diurungkan. "Sementara ini aku harus
menunjukkan sikap baik padanya. Lagi pula dia tidak akan ingat apa yang
dilakukan dan diucapkan...."
Sekali lagi Ratu Pemikat menghela napas.
Lalu kedua tangannya kembali menjulur ke arah sosok murid Pendeta Sinting. Bukan
untuk mengambil Pedang Tumpul 131 melainkan membuka pakaiannya!
"Sebenarnya sayang menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Dia seorang pemuda
tampan dan berotot. Tapi ilmu 'Penyalur Suara' dan bius rangsangsn itu akan
buyar kalau aku ikut terangsang.... Sial betul nasibku. Aku bisa membuat orang
terangsang dan mengucapkan apa yang kutanya tanpa sadar tapi pantangannya aku
harus tidak boleh hanyut dalam rangsangan itu! Gila betul!
Padahal aku sudah hampir
gila menahan keinginan itu! Tapi ah.... Semuanya akan
segera selesai kalau aku telah mendapatkan apa yang kuinginkan...."
Habis berkata begitu, Ratu Pemikat
dekatkan wajahnya ke wajah murid Pendeta Sinting. Bibir Joko diciumnya namun
tubuh perempuan cantik ini terlihat bergetar keras coba menahan agar dirinya
tidak terangsang!
Ratu Pemikat bergerak bangkit seraya rapikan pakaiannya. Memandang sejurus pada
sosok murid Pendeta Sinting, lalu sembari menarik napas panjang dia meninggalkan
tempat itu. * * * 9 Ketika malam hampir berujung dan udara dini hari dingin menusuk tulang, sosok
murid Pendeta Sinting yang tampak basah tersiram embun dini hari terlihat
bergerak menggeliat Dari mulutnya terdengar keluhan pendek.
Perlahan-lahan sepasang kelopak matanya membuka. Sejenak dia mengerjap. Setelah
terbiasa dengan suasana dia edarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada orang
lain di situ. "Apa yang terjadi dengan diriku?" desis Joko dengan kening berkerut seolah
hendak mengingat apa yang dialaminya. "Aku jumpa dengan Ratu Pemikat lalu
sepertinya aku menciumi wajahnya. Setelah itu.... Aku tidak ingat lagi!"
Murid Pendeta Sinting sekali lagi
arahkan pandangannya berkeliling. "Kemana
dia" Jangan-jangan dia sembunyi...." Joko bergerak bangkit. Namun mendadak dia
tercekat dan buru-buru urungkan niat untuk bangkit berdiri. Wajahnya kontan
berubah merah padam.
Dadanya berdebar. "Apa yang kulakukan" Aku...
aku telanjang!"
Dengan dada masih dipenuhi berbagai tanya dia cepat mengenakan pakaiannya. Kejap
lain dia berkelebat berkeliling di sekitar tempat itu. Namun dia tidak menemukan
Ratu Pemikat. "Astaga! Kenapa aku sampai berbuat...."
Joko tidak lanjutkan ucapannya. Dia duduk terpekur seraya mengingat-ingat. Namun
bagaimanapun dia coba pusatkan pikiran untuk mengingat, dia gagal.
"Ah.... Apa yang harus kukatakan jika suatu saat kelak jumpa dengannya" Namun
tampaknya dia benar-benar telah berubah.
Seandainya mau dia mudah saja mengambil pedangku bahkan membunuhku! Tapi anehnya
mengapa aku tidak ingat apa-apa lagi" Apakah karena...."
Sekonyong-konyong di tempat itu
terdengar suara orang tertawa bergelak. Joko putuskan membatinnya. Laksana
disentak setan kepalanya berpaling ke arah datangnya suara tawa. "Jangan-jangan
perbuatanku tadi diintip orang! Wah, bisa celaka! Di mana mukaku mau kutaruh"
Sialan betul!' Sejarak tiga tombak dari tempatnya
duduk, tampak satu sosok besar duduk memunggungi. Kepalanya tidak kelihatan
karena orang ini sengaja sembunyikan kepalanya dengan merunduk.
Murid Pendeta Sinting beranjak bangkit
lalu melangkah dengan sikap waspada. Karena keadaan masih agak gelap, Joko tidak
bisa melihat warna pakaian orang. Yang jelas terlihat orang itu bertubuh besar
hingga kalau tidak perdengarkan suara tawa, orang pasti akan menduga sosok itu
adalah bongkahan batu.
Mungkin karena khawatir, Joko hentikan langkah agak jauh lalu berkata.
"Dini hari begini, apa yang kau lakukan di situ?" Pertanyaan murid Pendeta
Sinting jelas ingin menyelidik keberadaan orang. Dia agaknya masih merasa waswas
kalau orang itu mengetahui apa yang diperbuatnya dengan Ratu Pemikat.
Orang yang ditanya tidak segera
menjawab, sebaliknya tertawa panjang membuat Joko tidak enak. Paras wajahnya
sudah berubah merah padam dan tegang.
"Kau manusia atau sebangsa hantu?" tanya Joko karena sudah merasa kebingungan
tak tahu apa yang harus ditanyakan.
Kembali orang yang ditanya hanya
menjawab dengan kekehan tawa. Tapi sesaat kemudian terdengar suaranya. Meski
begitu kepalanya masih dibenamkan.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana ada hantu
yang bisa tertawa
cekakakan" Dan biasanya hantu yang
menampakkan diri pada seorang pemuda adalah hantu wanita cantik bertubuh sintal.
Aku memang sintal, tapi jauh dari cantik!" Habis berkata, kembali orang ini
tertawa bergelak.
Kaki murid Pendeta Sinting tersurut.
Sepasang matanya memandang tak berkesip.
Wajahnya makin me-negang. "Jangan-jangan dia tahu apa yang baru saja kulakukan!
Benar- benar sial!" ujarnya dalam hati lalu berkata.
"Kalau kau sebangsa manusia mengapa takut tampakkan wajah?"
"Aku bukannya takut, tapi terus terang aku merasa malu! Apa kau sudah selesai
dengan pekerjaanmu?"
Pertanyaan orang membuat Joko makin penasaran. Cepat dia balik bertanya.
"Kau tahu aku melakukan pekerjaan apa"!"
"Aku malu mengatakannya! Jawab saja selesai apa belum"!"
Mungkin untuk mempercepat urusan, Joko buka mulut menjawab.
"Aku sudah selesai! Apa sekarang kau masih merasa malu menunjukkan muka?"
Joko tidak tahu kapan orang itu baiikkan tubuh. Yang jelas orang itu telah
menghadap ke arahnya dengan kepala sedikit didongakkan.
Ternyata dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Rambutnya putih di-sanggul
ke atas. Sepasang matanya hanya kelihatan putih, pertanda jika orang tua ini buta. Pada
pinggangnya yang besar tampak melilit sebuah ikat pinggang besar yang di
tengahnya terlihat sebuah benda berkilat berbentuk bundar.
"Gendeng Panuntun!' seru Joko dengan suara bergetar. Kakinya serentak tersurut
satu tindak. Raut mukanya makin tegang.
Mulutnya seketika mengancing rapat. Sepasang matanya mendelik besar.
Orang bertubuh besar berikat pinggang besar yang di bawah perutnya tampak sebuah
benda bundar berkilat yang tidak lain adalah sebuah cermin gerakkan kedua
tangannya mengusap cerminnya lalu berkata.
"Syukur kau masih mengenaliku, Anak Muda! Aku khawatir kau tidak ingat lagi..."
Setelah agak lama terdiam dan dapat kuasai diri, murid Pendeta Sinting melangkah
maju. Meski dia coba sembunyikan ketegangan raut wajahnya namun jelas wajahnya
masih menunjukkan rasa khawatir. Apalagi selama ini dia mengetahui kehebatan
orang di hadapannya yang bukan lain memang Gendeng Panuntun seorang tokoh rimba
persilatan yang memiliki ilmu aneh. Dia seakan bisa melihat dan menebak orang
meski matanya buta.
"Kek! Aku membutuhkan keteranganmu" kata Joko sengaja alihkan pembicaraan.
Gendeng Panuntun usap cerminnya.
Sepasang matanya yang putih mengerjap. Lalu berkata.
"Urusanmu adalah urusan besar, Joko.
Terus terang dalam hal ini aku tidak bisa memberi keterangan apa-apa! Kalaupun
bisa, keteranganku pasti sama dengan apa yang pernah kau dengar!"
Pendekar 131 sedikit merasa lega karena Gendeng Panuntun segera menyambuti
pertanyaannya. Dia terus mendekat lalu berkata lagi.
"Tapi mungkin kau bisa menambah sedikit keterangan yang kuperoleh!"
Gendeng Panuntun gelengkan kepalanya.
"Barang hitam layaknya kau tanyakan pada orang hitam. Padahal aku bukan orang
hitam meski tidak putih mulus!"
"Tapi setidaknya kau tahu di mana orang yang kini sedang kucari!"
"Hem.... Orang perempuan apa laki-laki?"
"Tidak jelas bagiku. Yang kutahu dia
bernama Cucu Dewa Menurut keterangan yang kuperoleh, meski dia dari golongan
hitam namun kadangkala berpihak pada orang putih.
Jadi pasti kau dapat mengetahuinya!"
Gendeng Panuntun usap cerminnya sebelum akhirnya berkata.
"Aku melihat kuil
di arah matahari
muncul. Di hadapannya terbentang hamparan air bergelombang besar...." Gendeng
Panuntun hentikan ucapannya lalu hadapkan kepalanya lurus ke arah Pendekar 131.
"Arah matahari muncul... berarti arah timur. Bentangan air bergelombang
besar.... Jangan-jangan aku harus menuju pantai sebelah timur! Hem...." Joko berpikir apa
yang baru saja diucapkan Gendeng Panuntun.
"Hanya itu mungkin yang bisa kukatakan padamu, Anak Muda! Soal apa maknanya
tentu kau sendiri yang mengartikannya!"
Habis berkata begitu, Gendeng Panuntun bangkit. "Kalau kau sudah bisa menebak,
lebih cepat bergerak kukira lebih baik. Karena kurasa saat ini bukan hanya kau
saja yang sedang menyelidik. Gadis cantik berjubah merah serta perempuan
bertubuh sintal juga sedang mencari keterangan untuk ke sana. Lalu ada seorang
lagi...." Wajah Joko kembali merah padam.
"Bagaimana mungkin Ratu Pemikat tahu urusan ini" Padahal aku tidak mengatakan
apa-apa padanya!" kata Joko dalam hati seraya pandangi lekat-lekat paras Gendeng
Panuntun. Gendeng Panuntun tersenyum. "Kau harus waspada pada setiap orang! Di sebelah
barat sana kurasa ada sebuah sungai. Cepatlah kau ke sana! Basuh mukamu berulang
kali...." "Kek! Aku tidak mengerti maksudmu...."
"Mendekatlah kemari...."
Meski dengan benak masih bertanya-tanya, Joko lakukan apa yang dikatakan Gendeng
Panuntun. "Bungkukkan sedikit tubuhmu dan hadapkan wajahmu di cermin ini!" kata Gendeng
Panuntun begitu murid Pendeta Sinting telah tegak di hadapannya.
Meski masih tidak mengerti dengan maksud si orang tua, Joko bungkukkan tubuh dan
hadapkan wajahnya berkaca pada cermin yang berada di perut Gendeng Panuntun.
Meski saat itu matahari belum muncul, anehnya Joko dengan jelas dapat berkaca.
Begitu kaca bundar itu pantulkan
wajahnya, serentak Joko tercekat. Tampangnya berubah. Laksana kilat kedua
tangannya bergerak mengusap beberapa warna merah yang belepotan di wajahnya.
"Sial! Ini pasti pewarna di bibir Ratu Pemikat!" gumam Joko seraya menarik
wajahnya dari hadapan cermin Gendeng Panuntun.
Gendeng Panuntun tertawa panjang.
"Kurasa masih belum cukup, Anak Muda. Tubuhmu masih bau perempuan!"
Selesai berucap begitu kembali Gendeng Panuntun tertawa panjang. Murid Pendeta
Sinting tarik bagian bawah pakaian atasnya lalu diusap-usapkan pada wajahnya.
Mendadak suara tawa Gendeng Panuntun terputus laksana direnggut setan. Pendekar
Pedang Tumpul 131 palingkan kepala. Ternyata sosok Gendeng Panuntun tak ada lagi
di tempat itu. Joko arahkan kepalanya jauh ke sebelah kanan. Samar-samar
terlihat sosok Gendeng
Panuntun melangkah perlahan jauh di sebelah depan sana.
Murid Pendeta Sinting mendongak. Di ufuk sebelah timur cahaya kekuningan telah
menyemaraki hamparan langit.
"Daripada ditertawai orang, memang lebih baik aku mencari sungai dan mandi!
Syukur-syukur kalau di sana kutemui lagi gadis sedang mandi!"
* * * 10 Hanya memerlukan perjalanan dua hari dua malam Gumara alias Malaikat Penggali
Kubur sampai di Dusun Sumbersuko. Pemuda murid Bayu Bajra ini segera teruskan
perjalanan ke arah timur, di mana dari Dusun Sumbersuko julangan bukit yang
diyakininya adalah Bukit Selamangleng telah terlihat.
Namun begitu, Malaikat Penggali Kubur tidak segera langsung menuju ke arah
bukit. Dia sadar, dalam urusan besar ini dia harus bertindak waspada. Setiap langkah
telah diperhitungkan dengan matang. Dia sengaja menempuh jalan berputar. Begitu
berada di sebelah utara bukit dan setelah menyiasati keadaan, pemuda ini segera
bergerak cepat mendaki bukit.
Saat mendaki pun Malaikat Penggali Kubur tetap waspada. Sesekali dia menyelinap
ke balik pohon dan ranggasan semak belukar.
Sepasang matanya liar memandang berkeliling dan ke bawah. Setelah merasa aman
baru dia teruskan perjalanan mendaki.
Ketika sepasang kakinya menginjak puncak bukit, dia cepat edarkan pandangannya
berkeliling. Kedua tangannya digerak-gerakkan siap lakukan pukulan. Namun kedua
tangannya segera diluruhkan saat menyadari di puncak bukit tidak ada orang lain.
Malaikat Penggali Kubur tidak begitu langsung percaya dengan perasaannya. Dia
berkelebat mengitari puncak bukit. Sesekali kepalanya mendongak menembusi
rindang daun pohon yang ada di situ.
Setelah agak lama dia memang tidak
menemukan orang, pemuda ini mondar-mandir di puncak bukit dengan wajah membesi.
Rahangnya menggembung. Urat-urat lehernya bersembulan keluar pertanda dadanya
dirasuki hawa amarah.
"Keparat betul! Jangan-jangan ucapan guru omong kosong belaka! Jangankan orang,
bekasnya pun tidak ada di tempat ini! Padahal aku yakin ini Bukit Selamangleng!
Dasar tua bangka yang percaya pada mimpi!"
Meski dia menyumpah-nyumpah begitu, namun sepasang matanya terus mengawasi
keadaan sekeliling. Malah tak jarang sepasang kakinya menghentak-hentak di atas
tanah dengan harapan siapa tahu orang yang dicari memiliki tindak tanduk aneh
dengan bertempat di dalam tanah.
Namun sejauh ini apa yang dilakukan tidak membawa hasil, membuat wajahnya makin
membesi. "Jahanam! Gara-gara menuruti mimpi gila, semadiku selama lima purnama
sia-sia! Atau jangan-jangan Guru hanya mengarang cerita padahal sebenarnya dia tidak
ingin aku menguasai ilmu 'Pelebur Urat'! Sialan benar!
Aku telah ditipu! Akan ku...."
Laksana dicabut setan, Malaikat Penggali Kubur putuskan gumamannya. Sepasang
matanya mendelik angker. Mulutnya menganga.
Sejarak tujuh langkah dari tempatnya berdiri, sebuah batu agak besar terlihat
bergerak-gerak keluarkan suara berkeretakan.
Saat lain batu itu terangkat. Lalu tampaklah sebuah tangan hitam. Namun bukan
tangan itu yang membuat Maiaikat Penggali Kubur makin terbeliak. Ternyata
terangkatnya batu besar itu hanya dengan telunjuk!
Belum lenyap rasa kejutnya, telunjuk yang menopang batu bergerak.
Blaarrr! Batu itu serta merta hancur berantakan.
Sosok Malaikat Penggali Kubur tersurut satu tindak. Tubuhnya bergetar. Belum
sempat dia kuasai diri, tanah pijakan-nya bergetar keras.
Byaarrr! Tanah di bawah mana tadi batu berada muncrat ke udara. Puncak Bukit Selamangleng
laksana dilanda gempa dahsyat. Sosok Malaikat Penggali Kubur ter-jengkang. Namun
pemuda ini tetap waspada. Dia tidak berani pejamkan mata. Malah cepat salurkan
tenaga dalam pada kedua tangannya lalu bergerak bangkit.
Bersamaan dengan muncratnya tanah, satu sosok tubuh melesat dari dalam tanah.
Kejap lain di hadapan Malaikat Penggali Kubur telah tegak satu sosok tubuh
seraya perdengarkan tawa bergelak keras.
Tahu isyarat bahaya, Malaikat Penggali Kubur cepat tutup pendengarannya dengan
salurkan hawa murni. Anehnya suara tawa orang yang kini tegak di hadapannya
tetap terngiang
keras menusuk gendang telinga! Pertanda siapa pun adanya orang itu pasti
memiliki tenaga dalam luar biasa.
Mungkin tak dapat kuasai rasa sakit pada pendengarannya, Malaikat Penggali Kubur
angkat kedua tangannya untuk menutup kedua telinganya. Dan dengan beranikan
diri, dia menatap lekat-lekat pada orang yang tertawa.
Dia adalah seorang laki-laki berwajah amat cekung. Malah raut wajahnya hanya
terdiri dari tulang-tulang tanpa daging.
Sepasang matanya besar menjorok keluar.
Mulutnya lebar dengan kepala tanpa ditumbuhi rambut. Pakaiannya compang-camping
dan dilumuri bercak-bercak tanah.
"Apakah.... Siapakah kau"!" tanya Malaikat Penggali Kubur dengan suara laksana
tercekat di tenggorokan.
Orang di hadapan Malaikat Penggali Kubur putuskan tawanya. Sepasang matanya yang
besar berputar liar. Mulutnya membuka. Suara keras.
"Tak ada jawaban yang bakal kau peroleh kecuali kematian!"
Habis berkata begitu, laki-laki yang keluar dari dalam tanah bantingkan kaki
kanannya. Malaikat Penggali Kubur tersentak.
Sosoknya langsung mencelat ke udara! Lalu jatuh bergedebukan di atas tanah
puncak bukit dengart perdengarkan erangan pelan.
"Mimpi Bayu Bajra benar-benar terbukti!
Tapi kalau begini kenyataan yang kudapat lebih baik aku tidak kemari! Ancaman
manusia ini tampaknya tidak main-main! Daripada mati konyol, padahal dendamku
pada Pendekar 131
belum lunas. Lebih baik...." Sepasang mata
Malaikat Penggali Kubur memandang
berkeliling. Diam-diam dia kerahkan segenap ilmu peringan
tubuhnnya. Kejap lain dia
bergerak bangkit lalu berkelebat menuruni bukit.
"Kau kira dapat lolos dari kematian, hah"!" kata laki-laki dari dalam tanah.
Tangan kanannya bergerak ke belakang.
Di depan sana sosok Malaikat Penggali Kubur yang berkelebat hendak menuruni
bukit laksana ditarik kekuatan dahsyat. Sosoknya kini berkelebat lebih cepat.
Bukan turun ke bawah melainkan ke tempat mana laki-laki dari dalam tanah tegak
berdiri. Bukkkk! Tubuh Malaikat Penggali Kubur terkapar tepat di kaki laki-laki dari dalam tanah.
Tangan kiri laki-laki terangkat ke atas.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Kalau bantingan kakinya mampu
membuat tubuhnya mencelat, Malaikat Penggali Kubur bisa membayangkan bagaimana
kalau tangan laki-laki ini menghantam.
Berpikir sampai di situ akhirnya
Malaikat Penggali Kubur hanya bisa berteriak seraya silangkan kedua tangannya di
atas kepala meski dia tidak percaya apa yang dilakukan dapat menyelamatkan
nyawanya. "Aku kecewa menuruti mimpi gila itu!"
kata Malaikat Penggali Kubur dengan beliakkan sepasang matanya menunggu
kematian. Mendadak laki-laki di atasnya tarik pulang tangan kirinya yang tadi siap
lancarkan pukulan.
Dari balik kedua tangannya yang
menyilang, Malaikat Penggali Kubur kernyitkan
kening. Kalau tadi dia sudah merasa darahnya laksana sirap dan nyawanya sudah
pulang, kini wajah si pemuda tampak berubah meski ketegangan masih tergurat.
"Mengapa dia urungkan niat membunuhku"
Apa karena ucapanku tadi" Atau jangan-jangan dia hanya menunda kematianku..."
"Katakan padaku, bagaimana mimpimu!"
Tiba-tiba laki-laki dari daiam tanah ajukan tanya. Sepasang matanya yang besar
tak berkesip menatap.
Sesaat Malaikat Penggali Kubur tertegun.
Seakan tidak percaya akan apa yang didengar, untuk beberapa lama dia terdiam
tidak segera menjawab.
"Kau tidak tuli. Lekas jawab
pertanyaanku!" hardik si laki-laki.
"Aku.... Bukan aku yang bermimpi. Tapi guruku!"
"Aku tanya bagaimana mimpi itu! Tidak peduli setan atau manusia yang bermimpi!"
Malaikat Penggali Kubur perlahan-lahan bergerak
duduk. Lalu berkata. Suaranya
bergetar. Malah dia tidak berani membalas pandangan orang.
"Dia bermimpi didatangi seorang berjubah panjang sebatas mata kaki. Orang itu
sebut-sebut namaku dan sebut Bukit Selamangleng.
Setelah itu dia laksana mencebur ke satu tempat yang dalam...."
"Hem.... Siapa namamu"!"
"Malaikat Penggali Kubur!"
Tulang laki-laki dari dalam tanah di seluruh wajahnya bergerak-gerak. Sepasang
matanya makin melotot. "Kau jangan berkata dusta!"
Seakan tahu apa yang dimaksud orang, buru-buru Malaikat Penggali Kubur menyahut.
"Namaku sebenarnya Gumara...."
"Berdiri! Cepat!" sentak si laki-laki.
Gumara alias Malaikat Penggali Kubur beringsut bangkit dengan tubuh masih
bergetar. Dadanya dibuncah dengan berbagai tanya akan keanehan si laki-laki.


Joko Sableng 12 Warisan Laknat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dengar, Gumara! Kau manusia beruntung.
Kaulah manusia yang dinantikan! Turunlah ke bawah. Di sebelah utara bukit ini
ada sebuah jurang. Lakukan seperti yang terlihat dalam mimpi!"
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur terbelalak. Hampir tak percaya dengan apa
yang didengar dia bergumam. "Aku..."!"
"Kalau kau bertanya lagi, jawabanmu adalah kematian! Kau mengerti"!"
Malaikat Penggali Kubur anggukkan
kepala. Sebenarnya dia hendak bertanya siapa adanya laki-laki di hadapannya.
Namun ingat akan ancaman orang pada akhirnya dia hanya bisa pandangi laki-laki
di depannya dengan mulut terkancing.
"Kau tunggu apa lagi"!"
"Boleh aku tahu siapa kau..."!" akhirnya Malaikat Penggali Kubur beranikan diri
ajukan tanya setelah ta-bahkan hati. Dia sengaja ajukan tanya karena sebenarnya
dia masih sangsi dengan ucapan orang. Dia khawatir kalau laki-laki itu hanya
hendak menjerumuskan dirinya. Karena ucapannya mengisyaratkan bahwa dirinya harus
terjun masuk ke dalam jurang.
Sesaat sepasang mata laki-laki dari dalam tanah mendelik. Namun saat lain
mulutnya membuka.
"Rimba persilatan menggelariku iblis Rangkap Jiwa. Akulah gerbang yang harus
dilalui bagi orang yang ditentukan untuk mewarisi Kitab Hitam itu! Mimpi dan
namamu telah menunjukkan bahwa kaulah orang yang ditunggu!"
Mendengar ucapan laki-laki yang sebutkan diri sebagai Iblis Rangkap Jiwa,
Malaikat Penggali Kubur bungkukkan tubuh. Bibirnya sunggingkan senyum. Sepasang
matanya berbinar.
"Aku akan menuju tempat
yang kau tunjuk...," ucap Malaikat Penggaii Kubur lalu pemuda murid Bayu Bajra ini
melangkah menuruni bukit.
Iblis Rangkap Jiwa pandangi sosok
Malaikat Penggali Kubur dengan senyum seringai. Kepalanya mengangguk. Saat lain
sosoknya melesat dan hinggap di sebuah cabang pohon dengan mata tak berkesip
mengikuti sosok Malaikat Penggali Kubur.
11 Malaikat Penggali Kubur tidak kesulitan ke tempat yang ditunjuk Iblis Rangkap
Jiwa. Dia menemukan sebuah jurang di sebelah utara Bukit Selamangleng.
"Hem.... Kalau benar apa yang dikatakan Iblis Rangkap Jiwa dan aku benar-benar
berhasil mendapatkan Kitab Hitam yang dikatakannya, tak ada salahnya kelak dia
kujadikan sebagai pembantuku. Dia memiliki kesaktian luar biasa. Kalau dia
memiliki kesaktian begitu dahsyat, pasti Kitab Hitam
itu lebih luar biasa lagi. Aku akan jadi raja dunia persilatan!" gumam Malaikat
Penggali Kubur seraya hentikan langkah di bibir jurang. Kepalanya memandang
berkeliling. Lalu melongok ke bawah.
Mendadak dia bergidik seraya tarik
pulang kepalanya. "Gila! Jurang ini bukan hanya dalam namun juga banyak pohon
merambat di samping kanan kirinya. Apa mungkin aku bisa selamat sampai di bawah"
Atau apakah mungkin Kitab Hitam itu tersimpan di bawah sana...?"
Sesaat Malaikat Penggali Kubur dilanda kebimbangan. Namun mengingat mimpi
gurunya serta ucapan Iblis Rangkap Jiwa, kembali keberaniannya muncul. Namun
ketika kepalanya melongok lagi ke bawah, kembali kebimbangan menyelimuti
dadanya. "Bagaimana sekarang" Ah.... Mimpi Guru sedikit banyak telah jadi kenyataan. Jadi
tidak mungkin aku salah jalan.... Hanya inilah satu-satunya jalan aku dapat
menggapai cita-citaku. Lebih dari itu hanya dengan ini aku dapat melampiaskan
dendam pada Pendekar Pedang Tumpul 131!"
Ingat begitu tanpa berpikir panjang lagi Gumara pejamkan sepasang matanya. Dia
kerahkan segenap tenaga dalamnya. Sekali sentakkan kedua kakinya, sosoknya
melayang deras masuk ke dalam jurang!
Malaikat Penggali Kubur merasakan
tubuhnya menerabas ranting-ranting pohon yang banyak tumbuh di lamping jurang.
Tiba-tiba tubuhnya menghantam benda keras dan bersamaan itu luncuran tubuhnya
terhenti. Pertanda bahwa sebenarnya jurang itu tidak terialu dalam. Hanya karena tertutup ranggasan ranting serta pohon di lamping jurang
membuat jurang itu gelap laksana sangat curam.
Sambil mengeluh pendek, Malaikat
Penggali Kubur beranjak bangkit. Kalau dari bagian atas jurang itu tampak gelap,
tidak demikian halnya dari bawah. Matahari masih mampu menerabas rimbun dedaunan
di lamping jurang meski keadaan di bawah hanya samar-samar namun ke mana mata
memandang masih terlihat jelas.
Di bagian bawah jurang itu ternyata hamparan tanah lembab dan di sana-sini
banyak gundukan batu.
Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur segera mencari-cari. Baru saja kepalanya
berpaling. Langkahnya tersurut mundur. Di atas salah satu batu terlihat satu
sosok tubuh. Sepasang mata Malaikat Penggali Kubur makin membeliak. Karena
ternyata orang yang duduk itu mengenakan jubah hitam! Sebagian jubah itu menutup
batu yang diduduki, pertanda jelas seandainya orang itu berdiri, maka jubah itu
akan sampai betis atau mata kakinya.
"Ah.... Impianku benar-benar akan jadi kenyataan!" desis Malaikat Penggali
Kubur. Lalu perhatikan orang berjubah hitam di atas batu dengan lebih saksama. Orang
ini adalah seorang laki-laki berusia lanjut. Sepasang matanya terpejam rapat.
Malaikat Penggali Kubur melangkah
mendekat dengan dada berdebar dan mata tak berkesip. Sejarak lima langkah dia
hentikan tindakannya. Dia menunggu beberapa saat berharap orang berjubah hitam
di atas batu mengetahui kedatangannya dan membuka kelopak matanya.
Namun harapan Malaikat Penggali Kubur tidak jadi kenyataan. Orang di atas batu
tak bergeming. Sepasang matanya tetap terpejam rapat.
Malaikat Penggali Kubur berdehem. Namun tetap saja orang di atas batu tak
bergeming atau buka kelopak matanya yang terpejam.
Malaikat Penggali Kubur kembali mendehem.
Kali ini sengaja dikeraskan dan berulang kali. Namun jangankan bergeming, buka
kelopak matanya pun tidak!
Mungkin tidak sabar, Malaikat Penggali Kubur buka mulut.
"Kek...!"
Tak ada jawaban.
Sekali lagi murid Bayu Bajra ini buka mulut memanggil. Tapi tetap tidak ada
sambutan berupa gerakan atau jawaban.
"Heran. Dia tuli atau bagaimana...?"
Malaikat Penggali Kubur melangkah
mendekat. Lalu dengan suara sedikit dikeraskan dia memanggil Lagi-lagi orang
berjubah hitam di atas batu tidak membuat gerakan apa-apa apalagi buka mulut
menjawab. Malaikat Penggali Kubur melangkah makin dekat.
Ketika berada satu tindak di hadapan orang, tangan kanannya menjulur memegang
kaki orang yang bersila. Serentak Malaikat Penggali Kubur tarik pulang tangannya. Ada hawa dingin menjalar ke tangannya saat tangannya bersentuhan dengan
kaki orang. Malaikat Penggaii Kubur menunggu sesaat.
Namun orang di atas bahu tetap tak bergeming
sedikit pun. Dengan tengkuk muiai merinding, kembaii tangan Malaikat Penggali
Kubur menjulur ke kaki orang. Lalu menggoyang-goyang.
Karena tetap tidak ada sambutan,
Malaikat Penggali Kubur keraskan goyangan tangannya di kaki orang. Sesaat sosok
tubuh orang di atas batu bergoyang-goyang. Namun tiba-tiba Malaikat Penggali
Kubur berseru tegang. Sosok orang itu doyong ke kanan.
Kejap lain sosoknya jatuh ke bawah.
SELESAI PENDEKAR PEDANG TUMPUL 131
JOKO SABLENG Segera ikuti kelanjutannya!!!
dalam episode :
TITAH DARI LIANG LAHAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
Senyuman Dewa Pedang 2 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Memburu Iblis 20

Cari Blog Ini