Ceritasilat Novel Online

Wasiat Darah Di Bukit Toyongga 2

Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga Bagian 2


wajahnya tidak kelihatan karena tepat di depan wajahnya menggandul sebuah batu putih yang diikatkan pada sebuah tambang dan tambang itu berpangkal pada
punggung orang.
Begitu tegak, laki-laki yang wajahnya tertutup batu
putih dan bukan lain adalah Dewa Cadas Pangeran,
gerakkan tangan kanannya menelikung ke belakang.
Saat bersamaan, semua orang melihat satu bumbung
bambu agak besar melorot perlahan-lahan dari bagian
punggungnya dan berhenti tepat di bawah selangkangannya. Tanpa buka mulut, Dewa Cadas Pangeran tarik pulang tangan kanannya ke depan. Lalu enak saja dia
duduk di atas bumbung bambu. Kaki kanan diangkat
lalu disilangkan di atas kaki kirinya.
"Dewa Cadas Pangeran!" bisik Ratu Selendang Asmara dengan paras sedikit tegang.
Dia coba melirik pa-da Bayangan Tanpa Wajah. Yang dilirik tidak peduli
karena tengah memperhatikan ke depan.
Di seberang samping, Hantu Bulan Emas juga tak
kalah kagetnya mendapati siapa adanya orang yang
muncul. Namun yang paling tampak terkesiap kaget
adalah Baginda Ku Nang.
"Hem.... Sebenarnya dia tidak masuk dalam hitunganku di antara orang-orang yang
akan hadir di tempat
ini! Tapi nyatanya perhitunganku meleset!"
Habis membatin begitu, sang Baginda memberi
isyarat pada Hantu Bulan Emas, Bayangan Tanpa Wajah, dan Ratu Selendang Asmara agar tidak ada yang
buka suara. la berpaling sesaat pada Panglima Muda
Lie yang juga tampak tercengang dengan kemunculan
Dewa Cadas Pangeran. Panglima Muda Lie memang belum mengenal Dewa Cadas Pangeran, namun membaca dari perubahan wajah beberapa orang di tempat
itu, sudah cukup baginya memaklumi jika orang yang
baru muncul patut diperhitungkan. Hingga begitu sang
Baginda berpaling, dia melangkah mendekati dan berbisik. "Yang Mulia.... Kurasa yang baru muncul tidak bisa disamakan dengan beberapa
orang yang sudah hadir!"
"Hem.... Aku tahu, Panglima! Dan kuharap kau sigap untuk melakukan yang terbaik!"
Tanpa menunggu sambutan Panglima Muda Lie,
Baginda Ku Nang arahkan pandang matanya ke arah
Dewa Cadas Pangeran dan berkata.
"Rasanya sudah lama sekali kita tidak saling bertemu, sahabat Dewa Cadas
Pangeran. Dan aku sangat
senang malam ini bisa bertemu denganmu!"
Dewa Cadas Pangeran dongakkan kepalanya sedikit. Batu putih yang menggantung di depan wajahnya ikut bergerak ke atas hingga wajahnya tetap tertutup. Saat berikutnya
terdengar suara.
"Yang Mulia.... Seperti halnya dirimu, aku juga begitu gembira dapat bertemu
lagi denganmu meski kita
sekarang sudah berada di pihak yang berlainan! Cuma, aku begitu kaget mendapati Yang Mulia berada di
tempat ini. Karena kurasa tempat ini bukan lagi tempat yang layak untuk seorang Baginda...."
"Aku tahu maksudmu, sahabat Dewa Cadas Pangeran. Namun kuharap kau tidak kaget. Sekarang ini kita memang sudah berada di pihak yang berlainan. Aku
sebagai pihak kerajaan dan kau tetap seperti dulu, sebagai salah seorang tokoh
rimba persilatan. Tapi harap kau tahu. Kehadiranku di sini bukanlah sebagai
seorang kerajaan. Dengan begitu, tempat ini masih layak
bagi diriku!"
"Yang Mulia.... Boleh aku lancang hendak mengatakan sesuatu"!" '
"Sahabatku.... Di tempat ini, aku bukan sebagai ra-ja. Lagi pula sebelum ini
kita sudah saling kenal. Harap kau tidak usah berbasa-basi kalau hanya ingin
mengatakan sesuatu!"
Dewa Cadas Pangeran putar sedikit sosoknya menghadap lurus pada sang Baginda. Namun sebelum suaranya terdengar, di seberang sana mendadak berkelebat satu sosok tubuh.
Selain kepala Dewa Cadas Pangeran, semua kepala
di tempat Itu sama berpaling. Baginda Ku Nang tampak tersenyum. Hantu Bulan Emas menyeringai buruk. Bayangan Tanpa Wajah dan Ratu Selendang Asmara saling pandang.
Orang yang baru muncul adalah seorang laki-laki
bertubuh kekar berkepala gundul. Paras wajahnya agak tirus. Kumisnya tipis. Jenggotnya jarang tapi panjang. Sepasang matanya agak
besar. Dia mengenakan
pakaian selempang warna kuning panjang tanpa leher.
Pada bagian pundaknya tampak kain warna merah
yang terus dililitkan pada pinggangnya. Kedua tangannya diangkat dan ditakupkan di depan dada.
"Amitaba... Selamat jumpa lagi. Guru Besar..." Yang buka suara ternyata Dewa
Cadas Pangeran.
Orang berkepala gundul yang baru muncul arahkan pandang matanya pada Dewa Cadas Pangeran.
"Hem... Dugaanku dulu tidak meleset. Dia tempo hari bisa menebak dengan tepat
apa yang tengah kujalan-kan karena dia memang dekat dengan Baginda. Ini juga satu bukti jika Baginda Ku Nang membocorkan rahasia!" Membatin orang berkepala gundul yang bukan lain adalah Guru Besar Liang
San. Seperti diketahui. Guru Besar Liang San sempat
bertemu dengan Dewa Cadas Pangeran. Saat itu Dewa
Cadas Pangeran bisa menebak apa yang tengah dilakukan bahkan rencana Guru Besar Liang San. Guru
Besar Liang San curiga jika yang memberi tahu Dewa
Cadas Pangeran adalah Baginda Ku Nang. Karena yang
tahu rencananya hanyalah Baginda Ku Nang. Saat itu
Guru Besar Liang San coba mengorek keterangan Dewa Cadas Pangeran dari mana dia tahu rencananya.
Karena saat itu Dewa Cadas Pangeran tidak mau mengatakan, akhirnya terjadi bentrok. (Lebih jelasnya ba-ca serial Joko Sableng
dalam episode: "Dewa Cadas Pangeran").
Guru Besar Liang San coba menindih hawa kemarahan yang mulai melanda dadanya mendapati Dewa
Cadas Pangeran sudah berada di situ bersama Baginda
Ku Nang. Dia anggukkan kepala lalu tanpa buka mulut, dia berpaling pada sang Baginda.
Meski sudah curiga dan merasa dikhianati, namun
Guru Besar Liang San tidak mau bertindak ayal. Apalagi dia sudah tahu bagaimana ketinggian ilmu Dewa
Cadas Pangeran. Dia anggukkan kepala pada sang Baginda lalu berkata.
"Amitaba.... Aku tidak menduga kalau Yang Mulia berada di sini!"
"Guru Besar Liang San...," kata sang Baginda. "Aku turut berduka atas peristiwa
yang menimpa Perguruan
Shaolin tempo hari. Dan aku sudah tahu kalau kau
akan hadir di sini, karena urusannya ada kaitannya
dengan Perguruan Shaolin!"
"Hem.... Dia masih menutupi siapa dirinya! Aku harus hati-hati. Dan sejauh ia
tidak membuka apa yang
pernah terjadi, aku akan tetap merahasiakannya meski
aku tahu dia telah membuka rahasia ini pada orang
lain!" Guru Besar Liang San membatin seraya sunggingkan senyum dan anggukkan
kepala. "Hanya saja, dari sikapnya yang tidak berubah padaku, jelas jika
dia belum tahu kalau peta wasiat itu telah kuambil
dan berada di tanganku! Yang masih menjadi tanya,
siapa gerangan yang menyebar undangan urusan peta
wasiat itu"!"
Seperti diketahui, secara diam-diam Guru Besar Liang San ternyata sudah bertindak jauh dengan mengambil peta wasiat yang berada di kotak kulit yang dulu diperolehnya dari ruang
penyimpanan bangunan shaolin dengan bantuan Baginda Ku Nang, meski sebelumnya sudah ada kesepakatan antara dia dengan Baginda Ku Nang jika di antara mereka berdua tidak boleh mengambil peta wasiat dari kotak kulit tanpa hadirnya salah satu dari mereka berdua.
"Yang Mulia...,"' kata Guru Besar Liang San setelah agak lama berdiam diri.
"Harap mau jelaskan hingga sampai hadir di tempat ini!"
"Kalau saja urusan peta wasiat itu tidak melibatkan seorang pemuda asing, tentu
aku tidak akan ada di
tempat ini! Sekarang harap kau memberi penjelasan
padaku. Apakah benar pemuda asing itu yang membawa peta wasiat"! Dan kau sudah menemukan pemuda itu"!"
"Amitaba.... Dari perjalanan yang kulewati, aku hampir yakin memang pemuda itu
membawa peta wasiat. Hanya saja, sampai sejauh ini aku belum berhasil
mendapatkan kembali peta wasiat dari tangan pemuda
asing itu!"
"Hem.... Tampaknya dia mengalami kegagalan!" ka-ta Baginda Ku Nang dalam hati.
Lalu berkata. "Guru Besar Liang San.... Aku harap malam ini pemuda itu akan muncul! Dan
urusannya bisa kita tuntaskan malam ini juga!"
"Tapi bukan berarti peta wasiat itu harus diserahkan padanya!?" Tiba-tiba satu
suara menyahut. Ternyata yang buka mulut adalah Hantu Bulan Emas.
Kepala Guru Besar Liang San menyentak ke arah
Hantu Bulan Emas. Namun sebelum dia sempat buka
suara, Hantu Bulan Emas sudah angkat suara lagi.
"Aku tahu. Pemuda asing itu hanya kambing hitam!
Dan sebenarnya peta wasiat itu sekarang sudah berada di tangan orang lain! Pemuda asing itu sudah ti-dak membawa apa-apa lagi!"
Baginda Ku Nang sempat terkejut mendengar ucapan Hantu Bulan Emas. Dia melirik pada Guru Besar
Liang San sesaat lalu berkata.
"'Sahabat Hantu Bulan Emas. Aku tidak paham dengan ucapanmu! Harap kau menjelaskannya!"
Hantu Bulan Emas tersenyum dingin. Tangan kanannya diangkat lalu telunjuknya diluruskan tepat ke
arah Guru Besar Liang San. * * *
TUJUH "DIA bersekongkol dengan Bu Beng La Ma dan pemuda asing itu!" Hantu Bulan Emas berkata dengan suara keras.
Baginda Ku Nang terkejut. Dia kini alihkan pandangannya pada Guru Besar Liang San. Guru Besar Liang
San tegak dengan tubuh bergetar. Kemarahannya sudah memuncak. Dia sudah membuat gerakan hendak
berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas. Namun Baginda Ku Nang mendahului dengan berkata.
"Guru Besar.... Apa benar"!"
Guru Besar Liang San urungkan niat. Dia hadapkan
wajah pada sang Baginda.
"Amitaba... Harap Baginda tidak termakan dengan
fitnahnya!' Mendengar ucapan Guru Besar Liang San, Hantu
Bulan Emas tertawa dan kembali buka suara.
"Kau lupa bertemu denganku di Kuil Atap Langit"!"
"Aku memang berada di sana. Tapi..." Sebelum
Guru Besar Liang San selesaikan ucapannya, Hantu
Bulan Emas sudah memotong.
"Jangan berdalih. Guru Besar! Siapa pun saat itu tahu jika pemuda asing itu
berada di Kuil Atap Langit!
Adalah hal aneh kalau keberadaanmu di sana hanya
sebuah kebetulan belaka! Apalagi selama ini kau diketahui jarang bergaul, lebih-lebih dengan Bu Beng La
Ma!" "Kau jangan mengarang cerita! Aku benar-benar tak tahu kalau saat itu pemuda
dari seberang itu ada di
sana! Dan tujuanku ke sana pun semata-mata ingin
memberitahukan tentang peristiwa yang baru saja terjadi!" Lagi-lagi Hantu Bulan Emas tertawa mendengar ucapan Guru Besar Liang San. Saat lain dia kembali
angkat suara seraya mendongak.
"Alasanmu tidak masuk akal. Guru Besar! Tanpa
kau beri tahu pun, kelak semua orang akan tahu dan
mendengar! Dan kalaupun benar kau ingin memberi
tahu, berarti ada yang tak beres dengan peristiwa di
perguruanmu itu! Kau sengaja memberi tahu orang
agar orang tidak merasa curiga jika kau ikut mendalangi peristiwa itu!"
"Tutup mulutmu!" bentak Guru Besar Liang San sambil melirik sesaat pada sang
Baginda. Dia diam-diam merasa khawatir kalau sang Baginda percaya dengan ucapan Hantu Bulan Emas. Di lain pihak, Baginda Ku Nang sebenarnya merasa curiga begitu mendengar keterangan Hantu Bulan Emas.
"Hem.... Dia mendatangi Kuil Atap Langit. Sementa-ra pemuda asing itu berada di
sana! Jangan-jangan dia selama ini bermuka dua! Menjalin hubungan denganku untuk
memperoleh separo peta wasiat yang berada
di Perguruan Shaolin, lalu secara diam-diam menjalin
hubungan pula dengan Bu Beng La Ma untuk mendapatkan separo peta wasiat yang disebut-sebut berada
di tangan pemuda asing itu! Kalau benar begitu, berarti separo peta wasiat itu sudah berada di tangannya!"
Membatin sampai di situ, akhirnya sang Baginda
berujar. "Guru Besar.... Agar tidak terjadi pertumpahan darah yang tidak berguna, harap
kau mau berterus terang pada kami yang berada di sini!"
Dada Guru Besar Liang San berdebar tidak enak.
"Berterus terang bagaimana, Yang Mulia"!" katanya dengan suara bergetar.
"Kau telah mendapatkan peta wasiat yang selama
Ini dikabarkan berada di tangan pemuda asing itu! Dengan begitu, berarti urusan peta wasiat itu sudah selesai!"
"Amitaba.... Baginda percaya dengan ucapannya"!"
kata Guru Besar Liang San seraya ganti arahkan telunjuk Jarinya pada Hantu Bulan Emas.
"Masalahnya bukan percaya atau tidak! Tapi kalau kau mau berterus terang, kita
bisa cegah pertumpahan
darah yang tiada gunanya! Karena kau sendiri pasti ta-hu, siapa pun orangnya
yang akan hadir di tempat ini, past! tidak bukan ingin memiliki peta wasiat
itu!" "Yang Mulia! Peta wasiat itu tidak berada di tanganku! Dan kalaupun benar peta
wasiat itu sudah ada di
tanganku, tak mungkin aku datang ke tempat ini!"


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginda Ku Nang tertawa pendek dengan gelengkan kepala. "Guru Besar... Bukannya aku tidak percaya padamu. Tapi aku sependapat dengan sahabat
Hantu Bulan Emas. Adalah aneh kalau kau datang ke
Kuil Atap Langit, sementara pemuda asing itu berada
di sana! Dan kau berdalih kedatanganmu hanya perlu
memberitahukan akan peristiwa yang terjadi! Seandainya kau tadi berkata kedatanganmu ke Kuil Atap
Langit semata-mata mengejar pemuda asing itu, mungkin aku tidak merasa aneh!"
"Yang Mulia.... Harap tidak curiga, karena...."
"Guru Besar!" potong sang Baginda. "Kalau kau masih juga berdalih, itu membuatku
makin curiga! Bahkan aku bisa menduga, kedatanganmu ke tempat ini
hanya semata-mata agar kau tidak dituduh sudah
mendapatkan peta wasiat itu! Sekarang berterus teranglah!" "Yang Mulia boleh percaya atau tidak! Yang jelas, aku belum mendapatkan peta
wasiat itu!"
Baru saja Guru Besar Liang San berkata begitu, satu sosok tubuh berkelebat dan tegak di sebelah ujung
puncak bukit sana. Dia adalah seorang perempuan
mengenakan pakaian warna hitam panjang. Paras wajahnya tidak bisa dikenali karena dia sengaja menutupi wajahnya dengan cadar
hitam dan hanya menyisakan
dua lobang tepat pada kedua pasang matanya.
Untuk beberapa saat, semua kepala di tempat itu
berpaling. Hanya Dewa Cadas Pangeran yang tidak
membuat gerakan menoleh. Sebaliknya orang tua ini
melangkah ke arah sebatang pohon, lalu enak saja dia
duduk bersandar setelah menarik bumbung bambu
yang tadi dibuat duduk.
Di lain pihak, begitu semua kepala berpaling ke arahnya, si perempuan bercadar sapukan pandang matanya ke semua orang.
"Hem... Nyatanya dia belum muncul! Apakah dia tidak tahu urusan di tempat ini"! Sebaiknya aku menunggu... Aku tidak akan ikut campur urusan orangorang itu. Karena kedatanganku bukan untuk peta
wasiat itu!"
Habis bergumam begitu, perempuan bercadar hitam melangkah mendekati sebatang pohon tidak jauh
dari Dewa Cadas Pangeran. Dia tegak bersandar di sana tanpa buka mulut bahkan alihkan pandangannya
ke samping bukit seolah menunggu seseorang!
Kemunculan perempuan bercadar hitam membuat
semua orang di tempat itu sempat bertanya-tanya, karena mereka memang belum pernah mengenali ada seorang tokoh yang berciri demikian. Namun karena saat
itu semua tengah tenggelam oleh ketegangan antara
Guru Besar Liang San dan Hantu Bulan Emas serta
Baginda Ku Nang, mereka tidak pedulikan lagi tentang
siapa adanya perempuan bercadar hitam. Malah begitu
si perempuan melangkah mendekati pohon, Baginda
Ku Nang sudah angkat bicara.
"Guru Besar.... Kurasa tidak ada gunanya kau terus berdusta! Lagi pula
sebenarnya peta wasiat itu milik
perguruanmu!"
"Itu cerita lama, Yang Mulia!" Hantu Bulan Emas menyahut. "Saat ini, siapa pun
juga punya hak untuk memiliki peta wasiat itu!"
"Benar! Peta wasiat itu dibuat bukan semata-mata diperuntukkan bagi Perguruan
Shaolin! Tapi bagi semua kalangan rimba persilatan!" Ratu Selendang Asmara yang
sejak tadi diam, menimpali ucapan Hantu
Bulan Emas. Guru Besar Liang San menggeram marah. Dan karena pangkal dari semua tuduhan yang kini diarahkan
padanya berasal dari ucapan Hantu Bulan Emas, Guru
Besar Liang San tumpahkan kemarahannya pada Hantu Bulan Emas. Hingga tanpa buka mulut sambuti
ucapan sang Baginda, Hantu Bulan Emas, serta Ratu
Selendang Asmara, dia berkelebat ke arah Hantu Bulan Emas! Tampaknya Hantu Bulan Emas bisa membaca gelagat. Begitu Guru Besar Liang San membuat gerakan,
dia ikut berkelebat menyongsong. Namun belum sampai jauh bergerak, satu sosok bayangan berkelebat dan langsung memotong gerakan
Guru Besar Liang San!
Guru Besar Liang San cepat hentikan kelebatan dan
tegak di atas tanah dengan tampang angker. Saat lain
dia berpaling sedikit untuk mengetahui siapa sosok
yang menghadang gerakannya.
Saat bersamaan, Hantu Bulan Emas juga hentikan
kelebatannya yang hendak menyongsong Guru Besar
Liang San. Dia menoleh ke kanan. Dia terkesiap sejenak. Kejap lain dia melesat dan tegak di samping sosok yang baru saja menghadang
gerakan Guru Besar Liang
San. "Ouw Kui Lan!" bisik Hantu Bulan Emas seraya perhatikan orang di sampingnya yang
ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik mengenakan pakaian warna putih tipis hingga lekukan sekujur tubuhnya
terlihat jelas. Rambutnya yang hitam lebat disanggul
sedikit ke atas dan sebagian digeraikan di pipi kanan kirinya. Pada kepalanya
mengenakan sebuah mahkota
berwarna kekuningan bergambar bulan sabit. Dia bukan lain adalah Ouw Kui Lan atau yang lebih dikenal
orang dengan Bidadari Bulan Emas, murid tunggal
Hantu Bulan Emas.
"Kedatanganmu ke tempat ini satu bukti jika kau
gagal dengan pekerjaanmu!"
Bidadari Bulan Emas sapukan pandangannya dahulu pada semua orang yang berada di tempat itu, Lalu berpaling pada Hantu Bulan Emas dan berkata dengan sedikit bungkukkan tubuh.
"Maaf, Guru! Aku telah berusaha...., Bahkan semua petunjukmu telah kulakukan.
Dan hampir saja aku
dapat menyelesaikan pekerjaan itu! Sayang.... Seseorang telah menggagalkan pekerjaanku!'
Bidadari Bulan Emas alihkan pandang matanya ke
arah Guru Besar Liang San yang tegak tidak jauh di
hadapannya. Saat bersamaan tangannya terangkat
menunjuk pada Guru Besar Liang San dan berseru
lantang. "Dialah orangnya!"
Hantu Bulan Emas sengatkan sepasang matanya ke
batok kepala Guru Besar Liang San. Tanpa buka mulut lagi dia melesat. Namun Baginda Ku Nang telah
mendahului berkelebat bergerak dan tegak di hadapan
Guru Besar Liang San seraya berkata.
"Aku tidak ingin terjadi silang sengketa! Dan jalan satu-satunya adalah, kuharap
Guru Besar Liang San
mau serahkan peta wasiat itu padaku! Tapi semua harap tidak punya rasa prasangka padaku!" Baginda Ku Nang sapukan pandangannya
pada semua orang yang
ada di tempat itu. lalu lanjutkan ucapan.
"Aku tahu, semua orang menginginkan peta wasiat
itu! Dan hal ini pasti akan menimbulkan pertikaian
yang berakhir dengan pertumpahan darah! Aku...."
"Apakah dengan peta wasiat di tangan penguasa,
berarti keadaan akan bisa lebih aman"! Apakah kalau
peta wasiat berada di tangan Yang Mulia, berarti pertumpahan darah bisa dihindari"! Apakah jika peta wasiat di tangan pihak kerajaan, berarti perebutan ini bi-sa diakhiri"!" Guru
Besar Liang San sudah menyahut dengan suara keras sebelum Baginda Ku Nang
selesai dengan ucapannya.
Baginda Ku Nang terlihat marah. Namun dia masih
coba menindih perasaan. Seraya pentangkan mata dia
berkata. "Aku minta peta wasiat itu bukan untuk disimpan, lebih-lebih untuk kumiliki!
Karena hal itu tidak menyelesaikan urusan! Karena hal itu tidak akan membuat
keadaan bisa lebih aman! Karena hal itu tidak bisa
hindarkan dari pertumpahan darah! Karena hal itu tidak bisa mengakhiri perebutan!" Suara sang Baginda terdengar bergetar dan keras
membahana seolah menyentak kesunyian puncak Bukit Toyongga.
"Lalu untuk apa"!" Tiba-tiba satu suara menyahut.
Suara ini juga tak kalah bergetar dan kerasnya.
Hanya saja semua orang di tempat itu tahu, jika suara yang baru saja terdengar
disuarakan oleh seorang perempuan! Anehnya, meski semua orang di tempat itu
sama putar kepala selain kepala Dewa Cadas Pangeran, mereka tidak menemukan si orang yang baru saja
buka suara! Keadaan mendadak sunyi laksana kuburan. Hanya
beberapa mata yang terlihat saling lontar pandang dengan penuh curiga. Dan belum sampai ada yang angkat suara lagi, tiba-tiba puncak Bukit Toyongga kembali dipecah dengan terdengarnya satu suara.
"Aku bertanya! Mengapa tidak ada yang memberi jawaban"! Untuk apa, hah"! Untuk
apa peta wasiat itu"!"
Semua orang sempat terkejut. Kalau suara yang
pertama tadi jelas diperdengarkan oleh perempuan,
kali ini suara itu jelas diperdengarkan oleh laki-laki!
Bidadari Bulan Emas dan Guru Besar Liang San kerutkan kening masing-masing. Dan hampir bersamaran, mereka bergumam.
"Pemuda berkebaya itu!"
Mereka jelas tahu, karena mereka berdua sudah
pernah mendapati hal yang sama beberapa hari yang
lalu. Mereka berdua kembali gerakkan kepala mencari.
Namun sejauh ini mereka belum juga bisa menemukan
sosok orang yang dicari.
Di lain pihak, Baginda Ku Nang sempat hendak berkelebat. Namun entah karena apa, tiba-tiba dia batalkan niat. Sebaliknya dia kerahkan sedikit tenaga dalamnya lalu berteriak.
"Kau bertanya! Aku yang akan jawab! Peta wasiat
itu kuminta untuk kumusnahkan! Dengan begitu, tidak akan ada lagi perebutan apalagi pertumpahan darah!" Terdengar suara orang tertawa panjang. Lalu terdengar lagi ucapan yang tak kalah lantangnya dengan jawaban Baginda Ku Nang.
"Peta wasiat itu dibuat bukan untuk dimusnahkan!
Tapi diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu untuk memegangnya! Dan kalaupun hal itu akan membawa pertumpahan darah, itu akibat bodohnya orang
yang merebut! Lagi pula tidak akan ada rimba persilatan tanpa tetesan darah yang mengalir!"
"Kalian berani berkata lantang! Tapi mengapa tidak berani unjuk muka"!" kata
Baginda Ku Nang. Sang Baginda menduga yang perdengarkan suara adalah dua
orang. Sementara itu begitu yakin siapa orang yang perdengarkan suara, diam-diam Guru Besar Liang San
membatin. "Pemuda asing bergelar Pendekar 131 Joko Sableng itu mengatakan peta wasiat
telah diambil pemuda berkebaya yang suaranya baru saja terdengar. Hem... Aku
belum percaya benar, tapi dari sikapnya, jelas aku bisa membaca jika ucapannya
tidak berdusta! Ini saatnya
aku merebut dari tangan pemuda berkebaya itu!" Guru
Besar Liang San takupkan kedua tangan di depan dada. Sepasang matanya dipejamkan. Kejap lain dia buka
kelopak matanya dan perlahan-lahan dia bergerak memutar ke satu arah. Saat berikutnya dia membuat gerakan. Sosoknya berkelebat.
Semua orang di tempat itu sama terkejut. Lebihlebih Baginda Ku Nang dan si Panglima. Mereka berdua khawatir jika Guru Besar Liang San berkelebat
melarikan diri. Hingga begitu Guru Besar Liang San
berkelebat, sang Baginda dan sang Panglima segera
pula mengejar. Namun bersamaan dengan itu, tepat ke arah mana
Guru Besar Liang San berkelebat, satu sosok tubuh
melesat menyongsong sosok Guru Besar Liang San!
* * * DELAPAN MESKI tengah berkelebat dan sosok yang menyongsongnya juga berkelebat, namun hebatnya, dengan sekali pandang saja Guru Besar Liang San sudah dapat
memastikan siapa adanya sosok yang menyongsongnya. Dan dengan cepat dia angkat tangan kanan kirinya. Lalu disentakkan ke arah sosok yang menyongsong ke arahnya!
Wuutt! Wuutt! Dua gelombang dahsyat berkiblat. Terdengar suara
menderu keras. Tanah yang terlewati gelombang, muncrat semburat. Sosok yang menyongsong tidak tinggal diam. Begitu mendapati tangan Guru Besar Liang San bergerak
lepaskan pukulan, dia gerakkan tangan kanannya
yang ternyata memegang sebuah kipas.
Wuuutttt! Satu gelombang menderu menghadang gelombang
yang melesat dari kedua tangan Guru Besar Liang San.
Saat lain terdengar ledakan keras. Sosok Guru Besar
Liang San terhenti. Kejap lain sosoknya tersapu ke belakang. Terhuyung sesaat
namun segera bisa kuasai
diri. Di lain pihak, sosok yang tadi menyongsong juga tampak tersapu. Sosoknya
mencelat balik. Tapi sosok
ini cepat membuat gerakan berputar dua kali di udara.
Kejap lain tegak di atas puncak bukit dengan tangan
bergerak pulang balik mainkan kipas di depan dadanya! Baginda Ku Nang dan Panglima Muda Lie yang tahu adanya bentrok, segera melesat menghindar. Dan
begitu tegak kembali di atas tanah, mereka segera
arahkan pandangannya pada sosok yang berkipaskipas. Dia adalah seorang pemuda berparas tampan. Namun bibirnya diberi warna polesan merah. Pipi kanan


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kirinya juga disaput dengan pewarna merah muda.
Rambutnya digeraikan ke samping pundak kanan kirinya. Tangan kanannya memegang sebuah kipas. Pemuda ini mengenakan kain kebaya!
"Hantu Pesolek!" gumam sang Baginda mengenali siapa adanya pemuda berkebaya.
Sebagai bekas orang
dunia persilatan dan pemimpin sebuah perguruan silat, tidak mengherankan kalau Baginda Ku Nang mengenali beberapa tokoh rimba persilatan. Hanya saja
kali ini dia sempat tidak percaya dengan pandangan
matanya. Dia pentang matanya besar-besar memperhatikan sekali pada sosok pemuda berkebaya yang bukan lain memang seorang tokoh rimba persilatan yang
pada beberapa puluh tahun silam pernah dikenal
orang dengan gelaran Hantu Pesolek.
"Mungkinkah dia Hantu Pesolek"! Ataukah ada
orang yang mengenakan ciri seperti Hantu Pesolek"!
Saat bertemu pada beberapa tahun silam, dia masih
muda. Namun mungkinkah berlalunya waktu tidak
membuat wajahnya berubah"! Lagi pula selama ini kudengar Hantu Pesolek telah tewas!"
"Yang Mulia! Selamat bertemu lagi!" Hantu Pesolek angkat suara dengan masih
mainkan kipasnya. Bibirnya yang merah tersenyum.
"Hem.... Suaranya bisa berubah-ubah! Berarti ini satu bukti kalau dia adalah
Hantu Pesolek!" Kata Baginda Ku Nang dalam hati.
Namun mungkin karena masih terkesima, sang Baginda tidak segera sambuti ucapan Hantu Pesolek.
Hantu Pesolek melangkah maju, lalu angkat suara lagi.
"Lama tidak berjumpa kadangkala membuat mata
jadi ragu-ragu, Yang Mulia!"
"Hem.... Sungguh aku tidak menduga kalau kau juga hadir di tempat ini, sahabat Hantu Pesolek! Namun
sayang, tampaknya kita tidak sependapat!"
Mendengar sang Baginda menyebut nama orang, selain Dewa Cadas Pangeran dan Bidadari Bulan Emas
serta Hantu Bulan Emas, tampak melengak kaget! Paras mereka berubah tegang.
"Hem.... Jadi benar keterangan orang tua yang wajahnya tertutup batu putih itu!"
gumam Bidadari Bulan Emas. Hantu Bulan Emas yang berada di samping
Bidadari Bulan Emas berpaling. "Kau telah mengenalnya"!"
"Dewa Cadas Pangeran yang memberi ku keterangan!" Lalu dengan berbisik, Bidadari Bulan Emas men-ceritakan pertemuannya
dengan Pendekar 131, Guru
Besar Liang San, Hantu Pesolek, dan Dewa Cadas Pangeran. "Hem.... Jadi kau yakin, pemuda itu masih memegang peta wasiat"!"
"Aku memang tidak melihatnya. Namun dari gelagatnya, aku hampir merasa yakin jika pemuda itu masih memegangnya!" (Tentang pertemuan Bidadari Bulan Emas, Guru Besar Liang San,
Pendekar 131 Joko
Sableng, serta Hantu Pesolek, dan Dewa Cadas Pangeran, silakan baca serial Joko Sableng dalam episode:
"Dewa Cadas Pangeran").
Di seberang sana, begitu mendengar ucapan sang
Baginda, Hantu Pesolek tampak sunggingkan senyum.
"Aku memang tidak setuju dengan pendapatmu, Yang Mulia! Bertahun-tahun aku
sengaja tidak turun ke ge-langgang dunia persilatan hanya karena menunggu
malam ini! Jadi kalau kau akan memusnahkan peta
wasiat itu, akan jadi sia-sia penantianku selama ini!
Lagi pula, aku tidak percaya kalau peta wasiat itu akan dimusnahkan! Kalaupun dimusnahkan, pasti hanya duplikatnya! Sementara yang asli akan tetap abadi disimpan!"
Tampang sang Baginda berubah merah mengelam.
Pelipisnya bergerak-gerak. Namun orang ini masih coba menahan diri.
"Hantu Pesolek! Peta wasiat itu akan kumusnahkan di hadapanmu! Malam ini juga!
Agar tidak ada kera-guan lagi!" seru sang Baginda.
"Hem.... Begitu"! Lalu siapa gerangan yang sekarang membawa peta wasiat itu"!"
Baginda Ku Nang berpaling pada Guru Besar Liang
San. Guru Besar Liang San balas menatap. Lalu berkata ' sebelum sang Baginda buka mulut.
"Aku tidak membawa peta wasiat itu!"
"Aku tidak percaya!" Hantu Bulan Emas menyahut.
"Aku tidak menyuruhmu percaya!" Guru Besar Liang San menghardik. "Tapi yang
jelas Hantu Pesolek telah merebutnya dari pemuda asing itu!"
Kini semua mata mengarah pada Hantu Pesolek.
Namun pemuda berkebaya ini tampak tenang-tenang
saja. Dia tetap mainkan tangan kanannya pulang balik
di depan dada berkipas-kipas. Saat berikutnya dia buka mulut. "Aku memang sempat bertemu dengan pemuda asing itu! Tapi menurut dia, peta itu sudah diserahkan pada Guru Besar Liang
San!" "Hantu Pesolek! Kau jangan mengada-ada berkata
dusta!" bentak Guru Besar Liang San.
'Apa pun ucapanmu, yang pasti itulah keterangan
yang kuperoleh dari pemuda asing itu!" ujar Hantu Pesolek masih dengan
sunggingkan senyum.
"Guru Besar Liang San.... Dua sahabat di sini sudah kau dengar ucapannya!
Mengapa kau masih juga tidak
mau berterus terang dan menyerahkan peta itu padaku"!" Berkata Baginda Ku Nang seraya melangkah
mendekati Guru Besar Liang San.
"Harap tidak teruskan langkah!?" teriak Guru Besar Liang San, membuat sang
Baginda hentikan tindakan.
Namun bersamaan itu tangan kanannya bergerak menguntir ke depan membuat gerakan orang meminta seraya berkata. "Aku telah turuti kemauanmu, Guru Besar! Sekarang harap kau turuti apa yang kuinginkan! Serahkan
peta wasiat itu padaku!"
"Aku tidak membawanya!"
"Hem.... Lalu kau simpan di mana"!"
"Aku tidak menyimpannya! Karena aku tidak mempunyai peta wasiat itu! Ucapan dan keterangan jahanam-jahanam itu dusta!" teriak Guru Besar Liang San tak dapat lagi kuasai
gemuruh kemarahan. Tangan kirinya diangkat diluruskan silih berganti pada Hantu
Bulan Emas dan Hantu Pesolek.
"'Guru Besar! Aku telah bersikap sebaik mungkin
padamu! Tapi kalau kau masih juga tak mau mengerti,
aku bisa bersikap tak baik!"
Mungkin karena tak bisa lagi kuasai diri, akhirnya
Guru Besar Liang San dongakkan kepala seraya berkata lantang. "Yang Mulia! Harap tidak memaksa dan mengancam! Atau aku akan membuka apa yang terjadi sebenarnya!?" Selain Dewa Cadas Pangeran, semua orang di tempat itu sama terkejut. Kini beberapa pasang mata beralih menatap ke arah Baginda Ku Nang.
Anehnya, sang Baginda tampak tenang-tenang saja, bahkan sunggingkan senyum kala dia berkata.
"Aku berdiri di sini bukan sebagai penguasa kerajaan! Jadi jangan sungkansungkan untuk mengatakan sesuatu. Guru Besar Liang San!"
Mendengar ucapan sang Baginda yang terdengar
tanpa beban, membuat Guru Besar Liang San bertanya-tanya dalam hati. Dan justru ucapan sah Baginda membuat Guru Besar Liang San jadi serba salah.
Kalau dia berterus terang mengatakan jika selama ini pihak kerajaan sudah banyak
terlibat dalam urusan
rimba persilatan, dia khawatir sang Baginda akan
membalik lidah dan bahkan akan membongkar pesekongkolannya hingga membuat tewasnya Guru Besar
Pu Yi dan Maha Guru Besar Su Beng Siok.
Kebimbangan Guru Besar Liang San tak disia-siakan begitu saja oleh sang Baginda. Dia sapukan pandangannya sesaat sebelum akhirnya berkata.
'"Guru Besar! Kau masih merasa sungkan untuk
mengatakan"! Atau aku yang harus mengatakannya"!"'
Dada Guru Besar Liang San berdebar. Tampangnya
tegang. Sesaat itulah tiba-tiba terdengar suara orang.
"Jangan sekarang! Kita tunggu saja nanti! Bukankah kedatanganmu ke sini hanya ingin tahu"!?" Suara ini merdu dan jelas
diperdengarkan seorang gadis.
?"Tapi aku harus bicara dengan mereka!"' satu suara menyahut.
"Hai! Apakah kau lupa! Kau ke sini bukan untuk bicara dengan mereka, tapi untuk
menghadap dan bicara dengan guruku!"
Semua kepala di tempat itu sesaat berpaling ke arah
suara yang baru saja terdengar. Suara itu jelas bersumber dari samping bukit sebelah kanan. Namun
yang paling tampak terkesiap adalah Ratu Selendang
Asmara. Diam-diam nenek ini membatin.
"Telingaku sepertinya pernah mendengar suara perempuan itu"! Ah, tapi tidak mungkin. Apalagi dia bersama seorang laki-laki!"
"Aku memang ingin menghadap gurumu. Tapi aku
juga perlu dengan mereka!" terdengar lagi suara. "Kau tunggulah di sini!"
"Hai! Tunggu!" terdengar suara perempuan menahan. Namun nyatanya seruan itu tidak dipedulikan
orang, karena mendadak dari lamping bukit sebelah
kanan, satu sosok tubuh melesat dan tegak di puncak
bukit tidak jauh dari tempat tegaknya Hantu Pesolek!
Baru saja si sosok itu tegak, satu sosok bayangan
berkelebat. Kedua tangannya langsung bergerak menyeret sosok yang baru muncul. Namun orang yang diseret segera tepiskan kedua tangan yang memegang
lengannya. Orang yang diseret adalah seorang pemuda
berparas tampan berpakaian warna putih-putih. Rambutnya panjang sedikit acak-acakan. Sementara orang
yang menyeret adalah seorang gadis muda berwajah
cantik jelita berambut panjang yang digeraikan hingga punggung. Sepasang matanya
bulat. Kulitnya putih.
Dia mengenakan pakaian kuning. Pada bagian dadanya dibuat agak rendah dan diberi renda-renda seakan
ingin menunjukkan lembahan yang kencang dan mulus. Pinggulnya besar ditingkah pakaian bawah yang
sengaja diberi belahan pada kedua sisinya. Hingga saat gadis itu tegak, terlihat
jelas pahanya yang kencang
dan padat. Pada pinggangnya terlihat sebuah ikat
pinggang dari kain berwarna kuning. Dan tepat di sisi kirinya menyelinap sebuah
pedang pendek bergagang
batu berwarna kuning pula.
Semua orang di tempat itu, selain Dewa Cadas Pangeran, tampak terkesiap. Namun yang paling tampak
terkejut adalah Ratu Selendang Asmara. Sepasang mata nenek ini langsung mendelik angker. Bahkan mungkin karena sudah tak sabar, si nenek melompat dan tegak tidak jauh dari si gadis berpakaian kuning. Bukan hanya sampai di situ,
begitu tegak, dia langsung berteriak setengah menjerit.
"Bang Sun Giok! Apa yang telah kau lakukan,
hah"!"
Si gadis lepaskan cekalan kedua tangannya pada lengan si pemuda. Lalu berpaling pada si nenek. Dengan tundukkan kepala, dia berkata.
"Guru...."
"Perbuatan gila apa yang telah kau lakukan, hah"!
Kau tahu siapa pemuda itu"!"
Si gadis berbaju kuning yang dipanggil dengan Bang
Sun Giok, atau yang lebih dikenal dengan Dewi Bunga
Asmara tidak segera menjawab. Dia memandang sesaat pada Ratu Selendang Asmara yang bukan lain adalah gurunya. Lalu melirik pada si pemuda di sampingnya yang tidak lain adalah murid Pendeta Sinting, Pendekar 131 Joko Sableng.
Sementara di seberang sana, begitu muncul Pendekar 131 dan Dewi Bunga Asmara, perempuan bercadar
hitam yang tegak tidak jauh dari Dewa Cadas Pangeran
perdengarkan gumaman tak jelas. Namun sepasang
matanya tampak membelalak.
"Hem.... Sikapmu berubah! Ada apa, Gadis Cantik"!
Dari tadi, meski terlihat ketegangan di depan sana,
kau tampak tenang-tenang saja. Namun sekarang kau
kelihatan terkejut. Padahal tidak ada ketegangan...."
Perempuan bercadar hitam melengak. Dia berpaling
pada Dewa Cadas Pangeran yang duduk bersandar pada batangan pohon tidak jauh dari tempatnya.
"Aneh.... Apakah dia bicara denganku"! Ataukah dia bicara sendiri"! Tapi mengapa
dia menyebut-nyebut
gadis cantik"!" Perempuan bercadar hitam coba mene-nangkan diri. Lalu arahkan
pandangannya ke depan
lagi. Namun baru saja kepalanya bergerak, Dewa Cadas Pangeran sudah bersuara lagi.
"Kau mengenal pemuda tampan itu"!"
Si perempuan bercadar hitam berpaling lagi. "Kau bicara denganku"!"
"Ah.... Apakah ada yang lebih terkejut di tempat ini dengan munculnya pemuda dan
gadis itu selain nenek
angker itu dan dirimu?"'
"Aku tidak mengenalnya!" kata perempuan bercadar dengan suara agak ketus. Saat
berikutnya dia berpaling memandang ke arah murid Pendeta Sinting di
depan sana. Dan entah karena apa, si perempuan bercadar hanya sesaat arahkan pandang matanya ke depan. Dia melirik pada Dewa Cadas Pangeran, lalu mendongak dengan perdengarkan gumaman. Saat berikutnya dia beranjak melangkah menjauhi Dewa Cadas Pangeran. Sementara itu di depan sana, karena Dewi Bunga
Asmara tidak segera menjawab, kemarahan si nenek
tidak dapat dibendung lagi. Dia segera melompat lalu
tangan kanannya bergerak menyeret sosok Dewi Bunga Asmara menjauh dari sisi Pendekar 131.
Pendekar 131 sendiri tampak tidak peduli dengan
perbuatan Ratu Selendang Asmara. Dia tegak dengan
mata tertuju pada Hantu Pesolek.
Di lain pihak, melihat siapa adanya yang muncul,
Panglima Muda Lie yang sudah mengenali sosok murid
Pendeta Sinting segera maju mendekati sang Baginda
dan berbisik. "Yang Mulia.... Itulah pemuda asing yang selama ini kita buru!"


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hem.... Aku sudah menduganya!" gumam sang Baginda lalu arahkan matanya pada
sosok murid Pendeta Sinting. "Tapi ada yang aneh. Mengapa dia bersama murid Ratu Selendang
Asmara"! Mungkinkah selama ini nenek itu sengaja menyembunyikan sesuatu..."
Ataukah ini semua hanya satu kebetulan belaka"!"
Sang Baginda menduga-duga dalam hati.
Baginda Ku Nang berdehem beberapa kali. Lalu buka mulut. Namun sebelum suaranya terdengar, satu
sosok tubuh berkelebat dan tegak di puncak Bukit Toyongga. SEMBILAN KALI ini yang paling tersentak adalah Panglima Muda Lie. Malah laki-laki ini tampak ketakutan ketika
Baginda Ku Nang berpaling padanya. Apalagi sang Baginda tidak coba angkat bicara. Namun jelas pancaran
bola matanya membayangkan rasa curiga.
Rupanya Panglima Muda Lie dapat membaca suasana. Dia cepat mendekati sang Baginda dan berkata.
"Yang Mulia.... Harap tidak menduga terlalu jauh.
Aku baru tahu sekarang kalau dia ikut campur dalam
urusan ini!"
?"Hem.... Jika begitu, kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang!"
Baru saja sang Baginda selesai berucap, Panglima
Muda Lie sudah berkelebat ke arah sosok yang baru
muncul. Dia adalah seorang gadis berparas jelita mengenakan pakaian warna merah muda. Rambutnya
panjang digerai dan diberi hiasan pita.
"Mei Hua! Mengapa kau berlaku bodoh ikut muncul
di tempat ini, hah"!" Panglima Muda Lie langsung perdengarkan bentakan pada
gadis berpakaian merah
muda yang ternyata bukan lain adalah Mei Hua, anaknya sendiri. "'Ayah.... Aku datang ke tempat ini untuk membantumu!" ujar Mei Hua dengan
arahkan pandang matanya silih berganti pada murid Pendeta Sinting dan Dewi Bunga Asmara meski Dewi Bunga Asmara kini tegak
di samping gurunya, Ratu Selendang Asmara.
"Jangan berlaku bodoh! Aku tak perlu bantuanmu!
Cepatlah pergi dari sini!"
Mei Hua geleng kepala. "Aku tahu siapa yang membawa peta wasiat itu!"
Mendengar ucapan Mei Hua, Baginda Ku Nang sedikit terkejut namun senang. Saat lain dia ikut berkelebat mendekati Panglima
Muda Lie dan berkata pelan.
"Tampaknya putrimu ingin ikut berjasa dalam urus-an ini! Biarkan dia berada di
sini. Mungkin keterangannya bisa membantu!"
Habis berkata begitu, Baginda Ku Nang sapukan
pandang matanya pada semua orang yang ada di puncak bukit. Lalu terdengarlah suaranya.
"Sahabat sekalian! Aku ulangi perkataanku. Untuk mencegah agar tidak terjadi
pertumpahan darah, aku
harap siapa pun yang memegang peta wasiat itu menyerahkannya padaku! Bukan untuk kumiliki, tapi untuk kumusnahkan! Dengan begitu urusan peta wasiat
akan selesai! Dengan begitu pula, tidak ada lagi permusuhan antara tokoh seperti yang selama ini terjadi!"
Suasana hening seketika. Tidak ada yang buka mulut sambuti ucapan sang Baginda atau membuat gerakan. Namun diam-diam Pendekar 131 arahkan pandang matanya pada Hantu Pesolek. Sementara di lain
pihak, terjadi perang pandang antara Dewi Bunga Asmara dengan Mei Hua. Dan secara diam-diam pula, perempuan bercadar hitam terus arahkan pandangannya silih berganti pada Pendekar 131, Mei Hua, dan
Dewi Bunga Asmara.
Mungkin karena tidak ada yang buka suara atau
membuat gerakan, Baginda Ku Nang berpaling pada
Guru Besar Liang San. Sang Baginda masih punya dugaan jika Guru Besar Liang San sudah mendapatkan
peta wasiat yang separonya lagi.
Namun sebelum sang Baginda sempat buka mulut
lagi, Guru Besar Liang San sudah mendahului.
"Yang Mulia! Aku tidak memegang peta wasiat itu!
Dia yang mendapatkannya!" Tangan kanan Guru Besar Liang San menunjuk pada Hantu
Pesolek. "Hem... Jadi Mei Hua itu adalah anaknya Panglima itu! Ah... Tidak kuduga sama
sekali! Dan yang tegak di sampingnya adalah Baginda penguasa negeri ini!
Hem..." Pendekar 131 membatin setelah sesaat tadi sempat terkejut mendapati
siapa adanya Mei Hua.
"Dan Guru Besar Liang San rupanya sudah tahu siapa adanya orang yang memegang
separo peta wasiat itu..."
Sementara itu, mendengar kata-kata Guru Besar
Liang San, Hantu Pesolek tersenyum. Dia sudah hendak angkat suara. Namun tiba-tiba seseorang mendahului. "Bukan dia! Tapi gadis itu yang memegang peta wasiat!" Yang berteriak ternyata
adalah Mei Hua. Tangan kanannya ditunjukkan lurus ke arah Dewi Bunga Asmara!
Dewi Bunga Asmara tertegun. Dia seolah masih tidak percaya dengan ucapan dan tudingan Mei Hua.
Hingga untuk beberapa saat, murid Rata Selendang
Asmara ini terdiam gagu.
"Bang Sun Giok! Apakah benar ucapan gadis itu"!"
Ratu Selendang Asmara menegur tanpa berpaling pada
Dewi Bunga Asmara.
"Aku tidak memegang peta wasiat itu. Guru!"
"Tapi mengapa gadis itu berkata begitu, hah"! Kau jangan berkata dusta padaku!
Dan kau nanti juga harus jelaskan padaku. Bagaimana kau sampai berduadua dengan pemuda sinting itu!"
Dewi Bunga Asmara sudah hendak menjawab. Namun Ratu Selendang Asmara sudah buka mulut lagi.
"Keberadaanmu bersama pemuda itu, membuat aku
hampir percaya dengan ucapan Anak Panglima itu! Bukankah separo dari peta wasiat memang berada di tangan pemuda asing itu"! Bang Sun Giok! Bicaralah terus terang!"
"Guru.... Kabar yang tersiar selama ini dusta adanya. Pemuda itu tidak memegang
peta wasiat! Dan kedatangannya bersamaku ke tempat ini semata-mata
hendak menemuimu! Tidak ada sangkut pautnya dengan urusan peta wasiat!"
Ratu Selendang Asmara berpaling dengan mata
mendelik angker. "Kalian datang ke tempat ini hanya untuk menemuiku"! Gila!
Untuk apa kau menemuiku"! Bukankah aku sudah berpesan padamu untuk
menungguku sampai aku pulang"!"
"Pada mulanya aku memang berniat menunggumu.
Tapi aku khawatir akan dirimu!"
"Aku tanya apa maksudmu hendak menemuiku bersama pemuda itu!" hardik si nenek dengan suara ditekan.
Dewi Bunga Asmara tidak segera menjawab. Sebaliknya melirik pada murid Pendeta Sinting dengan
dada berdebar. Ratu Selendang Asmara tak sabar melihat muridnya tidak segera menjawab. Dia angkat suara lagi dengan mata makin melotot.
"Kau bercinta dengannya" Kau jatuh cinta padanya"! Dan kau hendak memperkenalkan kekasihmu
itu padaku"!'
Jika saja pertanyaan si nenek diucapkan dengan
nada biasa, tentu Dewi Bunga Asmara akan menjawab
dengan bibir tersenyum dan berterus terang. Namun
pertanyaan Ratu Selendang Asmara kali ini bernada
ketus. Dan tampaknya Dewi Bunga Asmara sudah dapat menangkap gelagat tidak baik. Hingga untuk kedua kalinya gadis cantik ini tidak berani buka mulut
menjawab. "Bang Sun Giok! Pada mulanya, aku senang melihatmu muncul di tempat ini dengan pemuda itu! Kukira kau telah berhasil mendapatkan separo peta wasiat
itu! Tapi nyatanya kau hanya mementingkan dirimu
sendiri! Gilanya lagi, kau bercinta dengannya!"
"Guru.... Harap Guru ketahui, sebenarnya pemuda
itu tidak memegang peta wasiat! Selain untuk menemuimu, kedatangannya ke sini untuk melihat bagaimana duduk persoalan peta wasiat itu!"
"Setan! Kau telah ditipu pemuda itu! Kau tak sadar jika kau diperalat!" bentak
Ratu Selendang Asmara.
"Guru.... Kau nanti bisa membuktikan kebenaran
ucapanku!"
"Jahanam! Matamu telah tertutup rasa cinta hingga kau tak bisa melihat dan
membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Mulutmu telah disumpal rasa cinta. Hingga apa pun ucapan orang, kau akan tetap membelanya!'
Mungkin karena tak bisa lagi menahan perasaan, si
nenek berkata dengan suara keras melengking, hingga
semua orang di tempat itu mendengarnya.
Dan demi mendengar ucapan Ratu Selendang Asmara, Mei Hua yang sudah dirasuki rasa cemburu setelah melihat Dewi Bunga Asmara dan Pendekar 131
bermesraan, segera angkat suara menyambuti.
"Nek! Kau juga harus memberi peringatan sama
muridmu! Bercinta memang tidak dilarang...." Mei Hua sengaja hentikan ucapannya
sesaat agar si nenek berpaling padanya. Dan begitu Ratu Selendang Asmara
benar-benar menoleh, Mei Hua lanjutkan ucapannya.
"Bercinta memang tidak dilarang. Tapi setidaknya harus tahu tempat dan keadaan!"
"Apa maksudmu"!" tanya si nenek dengan bentakan keras karena masih dongkol
dengan apa yang terjadi. "Aku tak akan memberi penjelasan! Tapi pasti kau akan bisa mengartikan
sendiri pertanyaanku. Apakah
pantas seorang gadis dan pemuda bermesraan peluk
cium di tempat terbuka"! Malah mereka seolah tidak
pedulikan jika saat itu ada seorang sahabatnya yang
melihat!" Ratu Selendang Asmara tegak dengan tubuh bergetar. Dan laksana disentak tangan setan, kepalanya
berpaling ke arah Dewi Bunga Asmara. Tangan kanannya terangkat. "Sebelum tanganku benar-benar menggebukmu, katakan padaku jika ucapan gadis itu tidak benar!"
"Busyet! Mengapa urusannya jadi berubah begini
rupa"!" Diam-diam Joko membatin dengan melirik pa-da tangan kanan Ratu Selendang
Asmara. Sementara Dewi Bunga Asmara tampak merah padam. Sepasang matanya melotot. Bukan pada gurunya, melainkan pada Mei Hua. Kalau saja dia tak sadar tengah berada di mana,
pasti dia sudah melesat dan
membuat perhitungan dengan Mei Hua.
"Bang Sun Giok! Kau dengar ucapanku! Katakan
bahwa apa yang dikatakan gadis itu tidak benar!" Si nenek kembali berteriak
lantang. Tangan kanannya sudah mulai bergerak ke depan.
"Nek...! Harap tidak jatuhkan tangan dahulu! Sebagai orang tua, seharusnya kita
maklum apa yang telah
terjadi! Sebagai orang muda yang tengah jatuh cinta,
kadang-kadang mereka lupa akan segalanya! Dan seharusnya kau bersyukur kalau mereka bermesraan di
tempat terbuka! Dengan begitu, mereka pasti tak akan
berbuat lebih jauh! Lain bila mereka bermesraan di
tempat sepi dan tertutup, kemungkinan melakukan
hal yang lebih jauh akan lebih besar!"
Ucapan orang belum selesai, satu sosok tubuh berkelebat. Lalu semua orang di tempat itu melihat seorang laki-laki berusia lanjut tegak tidak jauh dari tempat Dewa Cadas Pangeran
yang dari tadi tetap duduk
dengan bersandar pada batangan pohon. Orang tua ini
berparas lonjong. Rambutnya putih, jarang serta jabrik. Sepasang matanya jereng besar, Pada mulutnya
yang mungil terlihat dua pipa yang terus kepulkan
asap. Orang ini mengenakan celana pendek warna putih kusam. Pakaian atasnya berupa rompi tanpa lengan. Di pundaknya menyelempang ikat pinggang besar yang dihias beberapa pipa. Hebatnya, kala si kakek isap pipa di mulutnya dan
kepulkan asap, beberapa
pipa yang menghiasi ikat pinggang di pundaknya ikut
kepulkan asap pula! Hingga orang hanya bisa samarsamar melihat paras wajah si kakek.
"Ah, sahabatku Dewa Asap Kayangan.... Mengapa
kau ikut-ikutan acara anak muda"!" Dewa Cadas Pangeran buka suara dengan
dongakkan kepala. Batu
putih di ujung tambang yang selalu menutupi wajahnya bergerak terangkat hingga semua orang di tempat
itu bisa jelas melihat tampang Dewa Cadas Pangeran.
"Hem.... Begitu"! Sebenarnya aku tak hendak ikut acara itu. Tapi mereka perlu
tahu satu hal. Bahwa
meski saat itu aku berada di tempat mana mereka berdua bermesraan, namun sungguh aku tidak melihat
mereka! Sebagai orang tua yang pernah mengalami
masa muda, aku bisa memaklumi.... Dan ini kuharap
jika bahan pertimbangan nenek itu sebelum jatuhkan
tangan...."
"Dewa Asap Kayangan! Tampaknya dia berteman
dengan pemuda itu!" gumam Ratu Selendang Asmara.
Dan entah karena apa, perlahan-lahan nenek ini turunkan tangan kanannya.
"Guru.... Maafkan aku...," bisik Dewi Bunga Asmara. "Tak perlu kata-kata itu kau
ucapkan! Kalau kau sudah berani bermesraan di tempat terbuka, berarti
kau sudah sering bermesraan di tempat sepi! Setelah
urusan di tempat ini selesai, aku ingin keterangan dari mulutmu tentang tindakan
gila apa yang telah kau lakukan dengan pemuda itu!"
"Guru.... Aku tidak pernah...."
"Diam! Aku tidak ingin bertanya jawab di sini! Yang harus kau jawab sekarang,
apakah memang kau tidak
memegang peta wasiat itu"!"
Dewi Bunga Asmara geleng kepala. "Aku tidak memegangnya, Guru...."
"Hem.... Pemuda asing itu"!" tanya Ratu Selendang Asmara.
Dewi Bunga Asmara melirik dulu pada Pendekar
131 sebelum berbisik pelan.
"Menurut keterangannya, dia juga tidak memegang peta wasiat itu!"


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia yang memegangnya!" Mendadak satu teriakan terdengar. Yang berteriak bukan
lain ternyata murid
Pendeta Sinting seraya menunjuk pada Hantu Pesolek.
Dan hampir bersamaan, laksana terbang, Pendekar
131 melesat ke arah Hantu Pesolek. Tangan kanannya
membuat gerakan meminta dan berkata. "Serahkan
kembali peta wasiat itu!" Hantu Pesolek tersenyum dan tetap berkipas-kipas. Saat
lain dia tengadah dan berkata.
"Harap kalian semua dengar! Aku sengaja muncul
di sini dengan satu niat!"
"Jangan mimpi kalau ingin mendapatkan seluruh
peta wasiat itu!" Bayangan Tanpa Wajah yang sejak ta-di diam, angkat suara.
"Aku belum selesai berkata! Jangan ada yang memotong!" ujar Hantu Pesolek dengan melirik dingin pa-da Bayangan Tanpa Wajah.
Kejap lain dia teruskan
ucapan. "Aku tahu, peta wasiat itu tidak ada gunanya jika hanya separo. Dan terus terang
saja. Separo dari peta wasiat sekarang ada di tanganku!"
"Hantu Pesolek! Jangan bicara bertele-tele! Katakan apa maksudmu sebenarnya! Dan
tunjukkan kalau kau
memang benar-benar memegang separo peta wasiat
itu!' Ratu Selendang Asmara yang buka mulut.
"Aku bukan orang rakus yang ingin memiliki peta
wasiat! Aku hanya ingin menyerahkan separo peta wasiat yang ada di tanganku pada orang yang memiliki
separonya! Dengan begitu, urusan peta wasiat akan selesai! Dan bagi siapa yang tidak memiliki dan berarti tidak akan memperoleh peta
wasiat itu, kuharap maklum dan sadar! Itu satu tanda jika tidak ada jodoh
dengan peta wasiat itu!"
"Aku ingin bukti dahulu jika kau benar-benar memegang separo peta wasiat itu!' Yang buka suara adalah Panglima Muda Lie.
Hantu Pesolek lepas pandangan pada semua orang
yang ada di tempat itu. Lalu tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Semua orang, terutama Joko, pandangi gerakan tangan kiri Hantu Pesolek dengan mata tak berkesip. Dada mereka berdebar.
Sementara Dewi Bunga Asmara hanya memandang
sesaat pada gerakan tangan kiri Hantu Pesolek. Saat
lain dia melirik pada Ratu Selendang Asmara. Begitu
dilihatnya si Guru tengah seksama memperhatikan
pada Hantu Pesolek, Dewi Bunga Asmara segera arahkan pandang matanya pada Mei Hua!
Di lain pihak, seperti halnya Dewi Bunga Asmara,
ternyata Mei Hua tidak begitu tertarik dengan gerakan Hantu Pesolek meski
dugaannya selama ini keliru. Karena dia menduga separo peta wasiat itu berada di
ta- ngan Dewi Bunga Asmara.
Mei Hua berpaling sesaat pada ayahnya, Panglima
Muda Lie, lalu pada Pendekar 131. Saat berikutnya dia arahkan pandang matanya
pada Dewi Bunga Asmara!
Hingga ketika semua orang arahkan pandangan pada
Hantu Pesolek, Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara sama
saling lempar pandang dengan tampang beringas!
Dan ternyata, perang pandang antara Mei Hua dan
Dewi Bunga Asmara tak luput dari pandangan perempuan bercadar hitam. Perempuan ini, seperti halnya
Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara, hanya memandang
sekilas pada Hantu Pesolek seolah tidak tertarik. Selebihnya dia terus memandang ke arah Pendekar 131.
Lalu beralih pada Mei Hua dan Dewi Bunga Asmara!
* * * SEPULUH "TUDUHAN Mei Hua mungkin hanya karena dia
cemburu! Tapi bagaimana mungkin secepat itu Dewi
Bunga Asmara dapat terlibat hubungan asmara dengan pemuda asing itu"! Hem.... Jangan-jangan pemuda itu hanya suka mempermainkan perempuan! Jika begini, apakah tidak lebih baik aku pergi saja dari tempat ini"! Bukankah
sudah tidak ada lagi hara-panku"! Tapi bagaimana bila terjadi sesuatu dengan
ayah"! Yang ada di tempat ini bukan tokoh sembarangan meski aku hanya mendengar ceritanya!"
Mata perempuan bercadar hitam terus bergerak.
Kini beralih menatap Bidadari Bulan Emas yang tegak
tidak jauh dari gurunya, si Hantu Bulan Emas.
"Hem... Aku tahu sekarang siapa sebenarnya yang
dicari perempuan cantik ternyata adalah Bidadari Bulan Emas itu! Dari sikap dan caranya, pasti yang dicarinya juga adalah pemuda asing itu! Ah.... Aku tak
mengerti mengapa banyak perempuan yang tertarik
pada pemuda itu!"
Seperti diketahui, perempuan bercadar hitam sempat bertemu dengan Bidadari Bulan Emas. Mereka
sempat bertanya jawab. Namun Bidadari Bulan Emas
tidak mau berterus terang. Dia hanya mengatakan
hendak ke Bukit Toyongga untuk mencari seseorang.
"Sahabat Dewa Asap Kayangan! Kurasa sahabat
cantik kita yang wajahnya tertutup cadar hitam itu tengah melamun! Aku heran. Di
tempat yang penuh ketegangan begini rupa, masih sempat-sempatnya dia luangkan waktu untuk melamun...!" Dewa Cadas Pangeran angkat suara perlahan, namun masih jelas terdengar oleh telinga perempuan bercadar hitam. Namun
entah karena ingin tahu sambutan orang yang diajak
bicara, perempuan bercadar hitam tidak berpaling dan
pura-pura tidak mendengar.
"Ah... Sahabat Dewa Cadas Pangeran. Itulah satu
bukti kalau kedatangannya di tempat ini bukan tertarik dengan peta wasiat! Tapi ada sesuatu yang lebih
menarik buatnya! Dan kalau kau katakan dia sahabat
cantik, aku sudah bisa menduga apa yang menarik
perhatiannya!" Dewa Asap Kayangan menyahut.
Dada perempuan bercadar hitam berdebar. Ingin rasanya dia berpaling. Namun dia coba untuk bertahan.
Dia tetap tegak tanpa membuat gerakan, sementara
matanya terus tertuju silih berganti pada Dewi Bunga
Asmara dan Mei Hua yang terus perang pandang. Na
mun diam-diam perempuan ini membatin. "Bagaimana mereka bisa tahu apa yang
kulakukan"! Ah... Dari-pada aku nanti mendapat malu, lebih baik aku pergi
dahulu!" Meski berpikir begitu, nyatanya si perempuan bercadar tidak juga membuat gerakan untuk berkelebat
pergi. Dia pasang telinga baik-baik ingin mendengarkan pembicaraan kedua orang yang tidak jauh dari
tempat tegaknya itu.
"Aku ingin tahu, apa dugaanmu sama dengan dugaanku! Coba katakan, apa yang menarik perhatian
sahabat cantik kita itu"!" Dewa Cadas Pangeran kembali buka suara.
Dada perempuan bercadar hitam makin berdebar.
Namun dia lebih tajamkan pendengaran. Dan lebih
menahan diri karena dia seolah tak sabar ingin berpaling dan buka mulut menegur.
Apalagi ternyata Dewa
Asap Kayangan tidak segera menjawab pertanyaan
Dewa Cadas Pangeran.
Hampir saja perempuan bercadar hitam berpaling
karena tak sabar menunggu jawaban Dewa Asap Kayangan. Namun sebelum kepala perempuan benar-benar bergerak, terdengar suara jawaban dari Dewa Asap
Kayangan. "Sahabatku.... Kau tadi menyebut sahabat kita seorang sahabat cantik. Aku memang
belum melihat kebenarannya. Tapi kalau memang betul, aku menduga
satu hal.... Di sini memang banyak makhluk laki-laki.
Tapi meski aku juga laki-laki, tapi aku bisa menilai ji-ka yang paling menarik
hanyalah satu orang! Sebenarnya memang ada satu lagi yang menarik. Tapi kurasa dia terlalu berlebihan! Dia seolah tidak sadar kalau dirinya makhluk lakilaki, hingga berdandan slebor mirip seorang gadis imut-imut! Dia juga tidak mau
maklum, karena siapa pun pasti tahu, meski dia tampak muda belia, tapi umurnya hampir sejajar dengan
kita...." Dewa Asap Kayangan hentikan ucapannya sejenak.
"Hem... Yang dimaksud pasti pemuda berkebaya
yang bergelar Hantu Pesolek itu! Dan..." Perempuan
bercadar hitam tidak teruskan membatin, karena Dewa
Asap Kayangan sudah terdengar bersuara lagi.
"Kalau sahabat di samping kita itu cantik dan seakan tidak tertarik dengan apa
yang ada di sana, apalagi urusan yang tengah dilamunkannya kalau bukan
urusan laki-laki yang paling menarik itu"!"
"Ah... Ternyata dugaan kita sama!" ujar Dewa Cadas Pangeran menyahut. "Tapi aku
merasakan ada sa-tu ganjalan!"
"Aku sendiri merasakan ganjalan itu! Tapi bagaima-na lagi"! Sebagai orang baru
di negeri ini, pasti dia banyak peminatnya! Sialnya, laki-laki itu seakan tidak
peduli. Dia mau menerima siapa saja! Aku hampir yakin, semua gadis di depan itu pernah disinggahi hatinya! Jadi wajar saja kalau beberapa gadis sempat merasa cemburu!"
"Hem... Apa menurutmu sahabat cantik itu juga tengah dilanda perasaan cemburu"!"
tanya Dewa Cadas Pangeran.
"Aku tak bisa menebak dengan pasti! Hanya saja,
sebagai orang yang sudah banyak makan dunia, aku
menduga dia juga...."
Belum sampai Dewa Asap Kayangan lanjutkan ucapan, perempuan bercadar hitam telah berpaling dan
berkata dengan nada ketus.
"Hai, Orang-orang Tua! Jangan bicara ngelantur!
Siapa cemburu dengan pemuda itu"!"
Dewa Asap Kayangan berpaling pada Dewa Cadas
Pangeran. Namun belum ada yang sempat buka suara,
di depan sana terdengar suara bentakan keras membahana, membuat perempuan bercadar hitam alihkan
pandangannya karena dia merasa kesal betul dengan
suara yang membentak.
"Hantu Pesolek! Harap tidak membuang-buang waktu percuma! Buktikan kalau separo peta wasiat itu berada di tanganmu!"
Yang perdengarkan bentakan ternyata adalah Baginda Ku Nang, karena hingga ditunggu agak lama, tangan kiri Hantu Pesolek yang bergerak menyelinap ke
balik pakaiannya tidak juga segera ditarik pulang. Padahal beberapa mata sudah
memandang tak berkesip
dan seolah tidak sabar.
"Sabar, Yang Mulia...," ujar Hantu Pesolek. Tangan kirinya yang menyelinap ke
balik pakaiannya perlahan-lahan ditarik keluar.
Saat itu juga semua orang di tempat itu melihat sebuah kantong berwarna putih.
"Hem.... Benar! Itulah kantong tempat separo peta wasiat disimpan!" kata Guru
Besar Liang San dalam hati.
Di lain pihak, mata murid Pendeta Sinting makin
mendelik saat tangan kiri Hantu Pesolek keluar dan
menggenggam kantong putih yang telah dikenalnya.
Dia sepertinya hendak terbang melompat dan merebut
kembali kantong putih di tangan Hantu Pesolek. Namun saat itu juga Hantu Pesolek gerakkan tangan kirinya lagi menyelinap ke balik pakaiannya. Saat tangannya ditarik keluar, tangannya telah kosong.
"Kembalikan benda milikku itu!" Pendekar 131 berteriak.
Hantu Pesolek tertawa panjang. Masih terus berkipas-kipas dia berkata.
"Kau adalah orang asing di negeri ini! Sementara kantong tadi adalah barang
peninggalan tokoh negeri
ini! Adalah aneh kalau kau mengatakan kantong itu
adalah milikmu!"
"Tapi orang yang punya sudah memberikannya padaku!" "Kau dengar peraturan negeri ini, Orang Asing! Di sini tidak peduli siapa
pemiliknya! Yang jelas, barang siapa bisa mendapatkan, dialah yang berhak
memiliki! Tapi aku bukanlah orang yang serakah. Aku akan
memberikan kantong tadi yang berisi separo peta wasiat pada orang yang memiliki separonya lagi!"
Baginda Ku Nang berbisik pada sang Panglima.
"Panglima! Kau yakin kantong putih tadi berisi separo peta wasiat yang selama
ini kita kejar"!"
"Aku tak bisa memastikan! Tapi melihat sikap pemuda asing itu, jelas jika kantong putih tadi adalah
berisi separo peta wasiat!"
Hantu Pesolek arahkan pandang matanya pada murid Pendeta Sinting. "Orang asing! Kau memiliki separonya lagi"! Jika kau memiliki, aku akan menyerahkan yang ada padaku pada dirimu!"
"Peduli setan aku memiliki atau tidak separonya la-gi! Yang jelas kau harus
mengembalikan kantong itu
padaku!" Habis berkata begitu, Pendekar 131 berkelebat. Dan
tegak lima langkah di hadapan Hantu Pesolek.
"Hantu Pesolek! Aku minta baik-baik padamu!"
"Aku telah memberi peraturan! Kalau kau memiliki yang separonya lagi, tanpa
ancaman pun, aku akan
suka rela memberikan apa yang kau minta!'"
Habis berkata begitu, Hantu Pesolek membuat gerakan satu kali. Sosoknya berkelebat mundur menjauhi murid Pendeta Sinting. Lalu berkata.
"Aku berkata sekali lagi. Kalau masih tidak ada
yang mengaku memiliki separonya lagi, mungkin sampai di sini perjumpaan kita!"
Baginda Ku Nang dan Guru Besar Liang San tampak gelisah. Beberapa saat kedua orang ini saling pandang.
"Bagaimana sekarang"! Apa sebaiknya aku berterus terang"! Dari gelagatnya, dia belum tahu jika isi kotak itu sudah kuambil!
Tapi bagaimana nantinya kalau dia tahu"!" Diam-diam Guru Besar Liang San mem
batin. Di lain pihak, Baginda Ku Nang berkata dalam hati.
"Apakah aku harus mengaku"! Tapi mungkinkah ucapan Hantu Pesolek bisa dipercaya"! Ah, sebaiknya
aku menunggu apa yang akan dilakukan Guru Besar
Liang San! Kalaupun dia tidak berbuat sesuatu, aku
akan mencari jalan bagaimana mendapatkan peta wasiat yang ada di tangan Hantu Pesolek, karena seka

Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rang aku sudah tahu siapa orang yang memegangnya!"
Seperti diketahui, secara diam-diam Guru Besar Liang San telah mengambil isi kotak kulit yang disimpannya bersama Baginda Ku Nang. Namun secara diam-diam pula, Baginda Ku Nang sebenarnya sudah
mengganti isi kotak kulit yang disimpannya bersama
Guru Besar Liang San.
Karena tidak ada yang buka mulut menyambuti tawaran Hantu Pesolek, Hantu Pesolek balikkan tubuh.
Namun diam-diam orang berkebaya ini juga didera perasaan gelisah dan heran.
"Aneh.... Apakah di antara mereka tidak ada yang memegang separonya lagi"! Guru
Besar Liang San terlihat ragu-ragu, demikian pula Baginda Ku Nang. Ada
apa ini" Ataukah waktu terjadi kerusuhan di Perguruan Shaolin, separo peta wasiat itu lenyap diambil
orang luar"! Mungkinkah Guru Besar Wu Wen She"!
Bukan-kah dia tidak ikut tewas dan sampai sekarang
tidak ada kabar beritanya"! Hem.... Kalau memang di
antara mereka tidak ada yang memegang separonya,
berarti aku harus mencari Guru Besar Wu Wen She,
sebab dia satu-satunya orang yang patut dicurigai
membawa se-paro peta wasiat itu!"
Membatin begitu, setelah melirik kanan kiri, terutama pada Pendekar 131, Hantu Pesolek berkelebat
hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu!" Terdengar dua suara menahan hampir bersamaan.
Hantu Pesolek urungkan niat berkelebat, lalu putar
diri! * * * SEBELAS SEMUA orang di tempat itu sama berpaling dengan
dahi berkerut. Karena yang baru saja berteriak menahan kelebatan Hantu Pesolek adalah Guru Besar Liang
San dan Baginda Ku Nang.
"Hem.... Sekarang jelas, jika peristiwa di shaolin melibatkan pihak kerajaan!
Jika tidak, bagaimana mungkin mereka berdua bisa menahan berbarengan"!" Murid Pendeta Sinting mulai dapat
membaca keadaan.
Apalagi selama ini yang memburunya bukan hanya beberapa tokoh dari rimba persilatan, namun sejak awal, dia telah diburu oleh
pihak kerajaan.
Di lain pihak. Guru Besar Liang San dan Baginda
Ku Nang tampak gugup. Mereka berdua tidak menduga kalau teriakannya akan bersamaan. Namun sang
Baginda lebih cerdik. Begitu Hantu Pesolek putar diri menghadap padanya, dia
segera berkata.
"Aku hanya ingin tanya. Apakah ucapan dan janjimu bisa dipercaya"!"
Tanpa buka suara lagi, Hantu Pesolek keluarkan
kantong putih dari balik pakaiannya. Lalu diacungkan
ke depan seraya berkata.
"Aku tak akan bicara banyak! Lagi pula waktuku
terbatas! Siapa yang merasa memiliki, perlu menunjukkan saja. Setelah itu dia boleh mengambil kantong
ini!" "Aku perlu bukti dahulu akan isi kantong itu!" ujar Baginda Ku Nang.
"Hem.... Jadi Yang Mulia yang memiliki separonya lagi"!"
"Kau baru saja bilang waktumu terbatas! Jadi jangan banyak tanya. Buka saja
kantong itu!"
"Heem.... Bagaimana ini"! Mengapa Baginda dan
Guru Besar Liang San yang menahanku"! Mungkinkah separonya itu ada di tangan keduanya"! Tapi itu
tak mungkin! Lalu?"
Belum sampai Hantu Pesolek mendapat jawaban
dari pertanyaannya sendiri, Baginda Ku Nang sudah
angkat suara lagi.
"Setiap orang bisa memiliki kantong seperti yang ada di tanganmu, Hantu Pesolek!
Tapi tidak semua
orang bisa memiliki apa isi kantong itu, bila kantong itu benar-benar berisi
peta wasiat!" Ucapan dan sikap sang Baginda diam-diam membuat Guru Besar Liang
San jadi bingung. Tapi sebelum dia tahu bagaimana
sebenarnya maksud sang Baginda. Hantu Pesolek telah kibaskan tangan kanannya yang memegang kipas.
Wuuttt! Kipas di tangan kanan Hantu Pesolek menutup.
Saat lain tangan kanannya bergerak membuka kantong. Dan dengan agak bergetar dan mata melirik pada
Baginda Ku Nang dan Guru Besar Liang San, tangan
kanan Hantu Pesolek bergerak masuk ke dalam kantong. Semua mata kembali tertuju pada gerakan tangan
kanan Hantu Pesolek. Tidak ada yang buka suara atau
membuat gerakan.
Hantu Pesolek tersenyum. Lalu tarik pulang tangan
kanannya dari dalam kantong. Semua mata di tempat
itu melihat selembar kain putih agak kusam. Kain itu
lalu agak dipentangkan oleh tangan kanan kiri Hantu
Pesolek. Anehnya, semua orang di tempat itu tidak melihat peta atau tulisan. Kain putih agak kusam itu kosong!
"Sebagai orang-orang yang memperebutkan kain
putih ini, tentunya kalian semua tahu mengapa kain
ini kosong! Aku tak perlu menjelaskan!"
Habis berkata begitu, Hantu Pesolek lipat kembali
kain putih kusam dan dimasukkan ke dalam kantong
putih. "Hem... Sepertinya asli!" kata Baginda Ku Nang dalam hati. Lalu melirik pada
Guru Besar Liang San. "Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu! Hem... Aku
akan melihat dan menunggu!"
Hantu Pesolek menatap tajam pada sang Baginda.
Namun kini sang Baginda malah alihkan pandang matanya ke jurusan lain! Dada Hantu Pesolek laksana dibakar. Namun dia tak mau bertindak bodoh. "Aku tak mau bertindak macam-macam
sebelum kuketahui siapa sebenarnya yang memegang separo peta wasiat itu!"
kata Hantu Pesolek dalam hati. Hingga meski dadanya
mulai panas dengan sikap Baginda Ku Nang, namun
dia tetap tersenyum ketika berkata.
"Tampaknya hari sudah larut. Aku harus segera
pergi!" Hantu Pesolek kembali balikkan tubuh karena tidak
ada yang mau mengaku memiliki apa yang ditawarkannya. Guru Besar Liang San melirik pada Baginda Ku
Nang lalu melihat gerakan Hantu Pesolek yang mulai
melangkah. Dan ketika tahu Hantu Pesolek hendak berkelebat
dan diliriknya sang Baginda tidak buka mulut. Akhirnya Guru Besar Liang San mengambil keputusan. Dia
berteriak. "Tahan!"
Karena khawatir kejadian seperti tadi terulang, tanpa balikkan tubuh, meski tahu siapa yang menahan,
Hantu Pesolek angkat suara.
"Guru Besar Liang San! Kau memiliki yang separonya itu"!"
"Benar! Aku memilikinya!"
Semua orang di tempat itu tidak terkejut dengan jawaban Guru Besar Liang San. Karena mereka semua
tahu, sebagai guru besar di Perguruan Shaolin, sudah
pasti separo peta wasiat di tangannya, meski selama
ini tersiar kabar jika peta wasiat yang ada di Perguruan Shaolin ikut lenyap ketika terjadi peristiwa ber-darah.
Justru yang terlihat agak terkejut bukan lain adalah
Baginda Ku Nang. Namun dia belum bisa berbuat sesuatu karena Guru Besar Liang San belum membuktikan ucapannya. Hantu Pesolek tersenyum lebar mendengar keterangan Guru Besar Liang San. Kantong putih yang sesaat tadi hendak disimpan ke balik pakaiannya kembali ditarik keluar, lalu dia balikkan tubuh menghadap
Guru Besar Liang San.
"Kau mendapat rejeki besar. Guru Besar Liang San.
Dan ternyata peta wasiat ini tidak akan keluar dari
Perguruan Shaolin...."
Guru Besar Liang San memandang sekilas pada Baginda Ku Nang, lalu melangkah ke arah Hantu Pesolek. Namun baru saja mendapat dua tindak, Hantu Pesolek telah buka mulut.
"Yang Mulia Baginda Ku Nang tadi memintaku untuk membuktikan jika separo peta wasiat itu benar-benar ada di tanganku! Sebelum peta di tanganku kuserahkan padamu, harap kau mau tunjukkan dahulu
kebenaran ucapanmu!"
Tampaknya Baginda Ku Nang tahu gelagat. Dia segera alihkan pandang matanya jauh ke depan sebelum Guru Besar Liang San memandang ke arahnya.
"Apa boleh buat!" gumam Guru Besar Liang San lalu selinapkan tangan kanannya ke
balik jubah kuningnya. Saat tangannya ditarik keluar, semua orang di
tempat itu melihat sebuah gelang agak besar dari baja berwarna putih.
"Yang Mulia... Dia benar-benar memilikinya!" Panglima Muda Lie berbisik pada
Baginda Ku Nang. Baginda Ku Nang berpaling ke arah Guru Besar Liang
San. Sepasang matanya mendelik memperhatikan gelang baja di tangan Guru Besar Liang San.
"Hem... Ternyata dia secara diam-diam telah mengambil gelang itu! Dia
mengguntingku dari belakang!
Hem... Dia tidak tahu jika aku tidak mudah dibodohi!"
Baginda Ku Nang membatin lalu tertawa dalam hati.
Sementara semua orang di tempat itu laksana terkesima, hingga tidak ada yang buka suara atau membuat gerakan, Hingga keheningan itu akhirnya dipecah
oleh suara Hantu Pesolek.
"Guru Besar Liang San. Gelang itu seperti halnya kantong putih ini! Semua orang
bisa membuat dan memilikinya! Kurasa kau tahu maksudku, bukan"!"
Guru Besar Liang San melirik sekali lagi pada sang
Baginda. Lalu dengan tegarkan hati, dia pegang gelang pada kedua sisi samping
kanan kiri. Saat lain kedua
tangannya bergerak membetot.
Terdengar suara Takkk! Gelang dari baja itu laksana putus di antara kedua tangan Guru Besar Liang
San. Lalu terlihat gulungan kain putih agak kusam.
Perlahan-lahan Guru Besar Liang San menarik gulungan kain yang ada di dalam gelang.
Semua mata lagi-lagi terkesima dan terus memperhatikan ketika bagaimana Guru Besar Liang San menarik gulungan dari dalam gelang. Lalu angkat gulungan kain sedikit ke atas. Saat kemudian perlahanlahan Guru Besar Liang San membuka gulungan kain.
Seperti halnya kain yang tadi ada dalam kantong
putih di tangan Hantu Pesolek, kain yang berada di tangan Guru Besar Liang San
juga tampak kosong!
"Hantu Pesolek! Kau telah membuktikan sendiri!"
kata Guru Besar Liang San seraya menggulung kembali kain di tangannya lalu perlahan-lahan pula dimasukkan kembali ke dalam
gelang. "Sekarang kuharap kau memenuhi janjimu!" Guru Besar Liang San lanjutkan
ucapannya seraya menyimpan gelang ke balik jubah kuningnya.
"Baiklah, Guru Besar Liang San! Ambillah kantong ini!" kata Hantu Pesolek.
Guru Besar Liang San menatap sesaat pada Hantu
Pesolek. Paras wajahnya jelas membayangkan kebimbangan. Namun begitu dilihatnya Hantu Pesolek tersenyum dan anggukkan kepala. Guru Besar Liang San
bergerak melangkah.
Namun belum sampai kakinya melangkah, tiba-tiba
murid Pendeta Sinting mendahului maju dan berkata.
"Kantong itu milikku! Kau tak berhak menyerahkannya pada orang lain! Karena kau mengambilnya
dariku!" "Kau tidak memiliki syarat yang kuminta, Orang Asing! Kau harus sadar dan maklum!" kata Hantu Pesolek. Mungkin karena tidak sabar, apalagi ingat kantong
itu adalah barang wasiat yang telah diberikan padanya, Pendekar 131 segera melompat. Tangan kanannya
bergerak menyambar kantong putih yang ada di tangan Hantu Pesolek.
Mendapati hal demikian. Guru Besar Liang San tidak tinggal diam. Hampir bersamaan dengan Joko, dia
juga berkelebat menghadang gerakan Joko. Tangan kanannya bergerak lepas pukulan ke arah murid Pendeta
Sinting. Joko urungkan niat menyambar. Sebaliknya dia segera kelebatkan tangan kanan menghadang pukulan
Guru Besar Liang San.
Bukkk! Terdengar benturan keras. Sosok Joko dan Guru
Besar Liang San sama terjajar satu langkah ke belakang. Paras keduanya sama berubah.
Tapi tampaknya Guru Besar Liang San tak buang
waktu. Begitu tegak kembali, ia cepat kerahkan tenaga dalam. Saat lain dia
berkelebat ke arah Hantu Pesolek.
Namun bersamaan itu satu sosok tubuh melesat
dan menghadang gerakan Guru Besar Liang San.
Tanpa melihat siapa adanya sosok yang berkelebat
menghadang. Guru Besar Liang San segera angkat kedua tangannya lalu dihantamkan pada sosok yang
menghadang. Sosok yang menghadang tidak berdiam diri. Dia
angkat pula kedua tangannya lalu dikelebatkan menghadang kedua tangan Guru Besar Liang San.
Bukkk! Bukkk! Untuk kedua kalinya terdengar benturan keras. Sosok Guru Besar Liang San tersentak mundur di udara.
Lalu melayang turun empat langkah. Paras wajahnya
makin berubah. Namun dia segera pentang mata memandang ke depan. Dia sempat terkesiap begitu mendapati ketika adanya sosok yang baru saja menghadang. "Yang mulia! harap tidak ikut campur urusan ini!"
teriak Guru Besar Liang San dengan suara bergetar.
Sosok yang baru menghadang Guru Besar Liang


Joko Sableng 35 Wasiat Darah Di Bukit Toyongga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

San dan ternyata adalah Baginda Ku Nang, tersenyum
dingin. "Aku tidak akan ikut campur kalau memang kau
memiliki separo peta wasiat itu!"
"Kau telah melihatnya sendiri!"
Baginda Ku Nang geleng kepala. Lalu tangan kanannya bergerak menyelinap ke balik pakaiannya. Saat ditarik terlihat satu gelang dari baja yang bentuk maupun besarnya sama dengan gelang yang tadi dikeluarkan Guru Besar Liang San.
"Peta wasiat yang ada di tanganmu palsu. Guru Besar! Yang asli ada di tanganku!"
Guru Besar Liang San tegak dengan mata mendelik
dan mulut terkancing. Sementara semua orang di tempat itu juga diam tak ada yang buka mulut atau membuat gerakan! SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Edited by Adnan Sutekad
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Pendekar Satu Jurus 3 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Pedang Berkarat Pena Beraksara 7

Cari Blog Ini