Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek Bagian 2
yang bersifat alami. Untuk mengisi agar hidupnya tak sepi, ia mengajarkan ilmu
silatnya kepada Mahligai. Hampir semua ilmu silatnya telah diturunkan kepada
sang keponakan itu, tapi ilmu
pengobatannya hanya beberapa bagian saja yang baru diturunkan kepada Mahligai.
Namun ketika suatu saat ia diserang
oleh penyerang gelap dengan jarum
beracun, Sendang Suci tak bisa sembuhkan dirinya. la tak bisa melenyapkan racun
yang hampir-hampir merenggut nyawanya
itu. Sampai suatu saat, datang si Mata Neraka dan berjanji akan menyembuhkan
luka racun di tubuh Sendang Suci, jika Sendang Suci mau mengizinkan serta
membujuk Mahligai agar menjadi istri si Mata Neraka.
Sendang Suci menyetujui, karena ia
tak tahu bahwa orang yang menanamkan
racun dalam tubuhnya itu tak lain adalah si Mata Neraka sendiri, dan semua itu
adalah siasat Mata Neraka, agar dalam
upayanya memperistri Mahligai, Sendang Suci tidak ikut campur. Mata Neraka tahu
kekuatan ilmu Sendang Suci, yang bila tak waspada bisa mencelakai dirinya.
Karena itu, Sendang Suci ditundukkan dengan
perjanjian tersebut. Sendang Suci pun tak bisa berbuat banyak ketika si Mata
Neraka mengejar Mahligai yang melarikan diri
dari Lembah Bukit Berhala.
Kini setelah gagal mengejar Mahligai,
si Mata Neraka datang kepada Sendang Suci untuk menagih janjinya. Dengan hati
yang dongkol dan memendam kemarahan besar, si Mata Neraka berkata kepada Sendang
Suci atau si Tabib Perawan itu.
"Aku menyesal telah mengobatimu,
Sendang Suci! Kalau kutahu kau akan
biarkan Mahligai lari, aku tak akan sudi menolong nyawamu!"
"Aku tak menghalangi niatmu, Mata Neraka! Mengapa kau marah kepadaku?"
sanggah Sendang Suci yang berpakaian
longgar putih berlengan panjang dengan rompi ketat yang rapat sepanjang betis
berwarna ungu menyala itu. "Bukankah aku tidak membantu melarikan Mahligai"!"
"Memang, tapi seharusnya kau buat Mahligai untuk tetap di tempat!"
"Kupikir kau cukup mampu mengejar gadis kecil seperti dia! Kau cukup mampu
menundukkan jiwanya dan membuatnya
bertekuk lutut padamu! Jadi kurasa tak perlu lagi aku ikut campur tangan menahan
Mahligai!"
"Hmmm...! Aku tahu semua ini adalah rencana busukmu, Sendang Suci! Kau
beberkan perjanjian kita di depan
Mahligai, kau ceritakan bahayanya menjadi istriku, dan kau ceritakan keburukankeburukan ku sehingga hati Mahligai
memberontak dan berkesimpulan untuk
melarikan diri! Kau memang tidak
menyuruhnya lari, tapi kau buat ia
mengambil keputusan itu dengan
sendirinya!"
Dalam hati, perempuan bertubuh sedang
dengan rambut di sanggul di tengah yang sisanya meriap di sekeliling itu,
berkata membatin,
"Rupanya dia tahu siasatku
menyelamatkan Mahligai! Tapi mengapa ia tidak bisa menangkap Mahligai" Apakah ia
tak berhasil mengejarnya, atau Mahligai membuatnya terdesak" Ah, kurasa tidak
begitu. Ilmu yang dimiliki Mahligai tidak sebanding dengan ilmu si Mata Neraka.
Lelaki ini mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari Mahligai, tak mungkin ia
terdesak mundur oleh serangan Mahligai!"
Terdengar suara Mata Neraka menyentak
keras, "Sekarang kuminta kau serahkan Mahligai padaku dalam waktu satu hari
satu malam! Kalau tidak, kucabut nyawamu tanpa ada perjanjian apa-apa lagi!"
"Aku tidak tahu di mana Mahligai
berada!" balas Sendang Suci bernada ketus dan berani, Tangkaplah dengan ilmumu
sendiri gadis kecil itu, Mata Neraka!
Bukankah ilmumu jauh lebih tinggi
daripada ilmunya"!"
"Ada pihak lain yang ikut campur
dalam pengejaranku, Sendang Suci!"
Terkesiap mata Sendang Suci
memandang! orang berkumis lebat itu.
Kemudian, setelah diam sesaat, Sendang Suci perdengarkan suaranya,
"Siapa yang ikut campur dalam masalah ini?"
"Murid Dewa Geledek!"
Makin terkejut Tabib Perawan itu
mendengarnya. Ia menggumam lirih,
"Murid Dewa Geledek..."! Sejak kapan Dewa Geledek mempunyai murid" Aku tak
pernah dengar kabar nya mendidik seorang murid! Mungkin hal itu sengaja ia
sembunyikan dari telinga para tokoh di dunia persilatan untuk membuat suatu
kejutan baru"."
"Kalau murid Dewa Geledek itu tidak ikut campur, Mahligai sudah mati di
tanganku!"
"O, kalau Mahligai tewas, jelas aku turun tangan dan mencarimu, Mata Neraka!
Sebab perjanjiannya bukan merenggut nyawa muridku itu!" kata Sendang Suci dengan
beraninya. "Kalau Mahligai menolak lamaranku, maka ia harus mau menerima nasibnya,
yaitu kucabut nyawanya dalam sekejap!"
"Dan aku ada di depan Mahligai. jika hal itu kau lakukan, Mata Neraka! Tak
kuizinkan siapa pun mencabut nyawa
muridku sebelum ia berhasil membunuhku!"
Sikap berdiri Sendang Suci sudah
mulai menampakkan keadaan siap bertarung.
Mata Neraka pun memandang dengan menyipit benci, lalu keluarlah kata-kata pedas
dari mulutnya yang berbibir tebal itu,
"Kalau aku harus membunuhmu,
sangatlah disayangkan jika hanya
kulakukan seperti membunuh lawan-lawanku lainnya. Khususnya untuk kamu, Tabib
Perawan, kau harus dibunuh setelah kau merasakan cumbuan hangatku lebih dulu, ha
ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Mata Neraka!" bentak Sendang Suci dengan mulai semakin
terpancing amarahnya
"Kau perawan tua, Sendang Suci! Rugi kalau kau mati belum pernah merasakan
nikmatnya cumbuan lelaki! Jadi kalau kau menghendaki aku membunuhmu sebelum
membunuh muridmu, itu berarti kau
menyuruhku untuk segera mencumbumu, Tabib Perawan!".
Semakin geram hati Sendang Suci
mendengar ucapan lawannya, kemudian ia segera berkata dengan mata terbuka
menantang "Majulah kalau kau ingin kuremukkan kepalamu, Mata Neraka!"
Seet...! Sendang Suci mencabut kipas
dari pinggangnya. Kipas lebar itu mulai dibentangkan membuka di depan dadanya.
Pandangan matanya semakin tajam dan penuh sorot tatapan mata permusuhan.
"Rupanya kau memang memancingku agar memperkosamu, Perawan Tua! Ha ha ha
ha...!" Mata Neraka mulai melangkah dalam gerak ke samping, mengitari Sendang
Suci dengan tangan siap melakukan serangan.
Sendang Suci sendiri pun melangkah
menyamping dengan mata tak berkedip
memandangi tiap gerakan anggota tubuh Mata Neraka. Ha! yang paling selalu
diperhatikan adalah mata dari lawannya, karena ia tahu lawannya mempunyai jurus
maut pada pancaran matanya.
Dugaan Sendang Suci memang benar,
mata lawannya segera berubah menjadi
hijau menyala. Tak lama kemudian mata itu melepaskan sinar hijau dua larik yang
menghantam ke tubuh Sendang Suci. Clap, clap!
Sendang Suci mengibaskan kipasnya
dengan cepat. Wuutt wuuttt! Dua sinar hijau itu bisa ditangkis keduanya,
dibelokkan arahnya hingga menghantam dua buah pohon di kejauhan sana.
Duarrr, duaarrr...! Kedua pohon itu
segera rubuh dalam keadaan hancur pada bagian yang terkena sinar hijau Itu. Dan
setelah merasa kilatan sinar dari matanya mudah ditangkis dengan kipas lebar
itu, si Mata Neraka segera mencabut pedang lebarnya. Wusss...! Ia mulai
memainkan jurus pedang. Pedang itu digenggam dengan kedua tangan dan segera
kakinya menyentak ke tanah, tubuh pun melesat maju dalam keadaan melompat
bagaikan terbang. Pedang besar itu ditebaskan dari samping kanan ke kiri.
Wuusss...! Trangng...! Kipas Sendang Suci
menghadang gerakan pedang lawan. Kipas
itu tidak patah, robek, ataupun
terpotong. Kipas itu menjadi sekeras
baja, dan bisa dipakai menahan tebasan pedang besar. Maka dengan cepat kaki
Sendang Suci bergerak menendang ke arah rusuk kiri lawannya. Wuutt...!
Duuggh...! "Ahg. .!" si Mata Neraka tersentak dalam pekik tertahan. Tulang rusuknya terasa
patah sebagian karena tendangan berat itu.
Pada saat si Mata Neraka terhuyunghuyung ke samping, Sendang Suci segera menutupkan kipas besarnya. Kipas itu
menjadi seperti sebuah senjata dari baja keras, dan dapat dikibaskan ke leher
lawannya. Wuuttt...! Claap..! Seberkas sinar keluar dari ujung kipas, berwarna
ungu seperti bentuk bintang. Trangng...!
Wuusss...! Sinar itu dihadang oleh seberkas
sinar hijau yang melesat dari mata lelaki berkumis tebal itu. Zlaapp...!
Blaarrr...! Benturan dua sinar itu mengakibatkan
ledakan besar yang membuat kedua tubuh terpental saling menjauh. Sendang Suci
sendiri terpental hingga empat tombak
jauhnya, dan si Mata Neraka hanya
terpental antara dua tombak ke belakang.
Tapi keadaan si Mata Neraka masih tetap berdiri, sedangkan Sendang Suci jatuh
tersimpuh di samping sebongkah batu
sebesar tubuhnya sendiri.
Brukkk...! Pada waktu itu, si Mata Neraka segera
menggeram dan bola matanya menjadi hijau.
Lalu, dari bola mata itu melesatlah sinar hijau dua larik yang mengarah ke tubuh
Sendang Suci. Kehadiran sinar hijau itu tak sempat diperhatikan oleh Sendang
Suci, sebab saat itu perempuan tersebut sedang terbatuk-batuk dan memuntahkan
darah segar dari mulutnya akibat
gelombang ledakan tadi.
Duaaar...! Blaarrr...!
Dua larik sinar hijau terpotong
meledak di pertengahan jarak sebelum
mencapai Sendang Suci. Sinar tersebut
tertahan oleh sinar kuning yang membentuk seperti dua cakram berkelebat dari
arah tiga pohon terjajar merapat. Kalau sinar hijau dari mata lelaki berpakaian
serba biru itu tidak terpotong sinar kuning
berbentuk cakram, maka tubuh Sendang Suci akan hancur berkeping-keping dan tak
akan tertolong lagi jiwanya.
Dari tiga batang pohon terjajar itu
muncullah sesosok tubuh berpakaian hijau lengan panjang komprang dengan rompi
putih rapat membungkus dadanya. Orang itu mengenakan tudung hitam yang segera
dikenali oleh si Mata Neraka.
"Jahanam kau, Tudung Hitam! Rupanya kau pun Ingin ikut campur urusanku ini,
hah"!"
Tudung Hitam segera melompat dengan
bersalto satu kali, dan ia tiba di depan Sendang Suci yang telah sanggup berdiri
lagi itu. "Tamtama," kata Sendang Suci,
"Menyingkirlah, biar aku yang menangani masalah ini!"
"Tidak, Bibi! Silakan Bibi mundur dan saya akan menghadapi si Mata Neraka yang
berwatak jahanam itu, Bibi!"
"Tamtama, ilmumu tidak seimbang
dengan ilmunya!
Jangan melawan dia,
Tamtama." "Saya tidak peduli, Bibi! Tadi saya dengar dia ingin memperistri Mahligai atau
membunuhnya! Itu berarti dia harus berhadapan dengan saya, Bibi!"
Kesempatan lengah itu digunakan oleh
si Mata Neraka untuk melepaskan pukulan jarum beracunnya dari telapak tangan
kanan. Wuuttt...! Werrr...!
Puluhan jarum hitam beracun menyembur
keluar dari telapak tangan dan mengarah ke punggung si Tudung Hitam. Sendang
Suci segera terpekik kaget melihat jarum
beracun, "Awas...!"
Sentakan itu membuat gerakan naluriah
dilakukan oleh si Tudung Hitam dengan
melepas tudungnya dan mengibaskan ke
depan. Wuuuttt...!
Jrabbb...! Puluhan jarum beracun itu
menancap di tudung tersebut. Mengepulkan asap putih kebiru-biruan, membuat
tudung tersebut menjadi hangus terbakar dan
kejap berikutnya menjadi arang yang
tergeletak di tanah.
"Terimalah pembalasanku, Jahanam!
Heeeaaah...!"
Tamtama atau si Tudung Hitam yang
sudah tidak mengenakan tudung lagi segera menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Pada saat itu, segeralah melesat sinar berkelok-kelok seperti akar pohon
beringin yang warnanya kuning. Sinar
tersebut segera menyerang tubuh si Mata Neraka dengan gerakan cepat. .
Tetapi Mata Neraka hanya menggunakan
satu tangan menghentakkan telapak tangan kanannya hingga keluarkan sinar
berkelok-kelok semacam akar itu, tetapi berwarna hijau. Kedua sinar itu bagaikan
saling melilit berbelit-belit di pertengahan
jarak. Craattt... traatt... cratt!
Percikan bunga api terjadi bagai
pertarungan dua kekuatan yang sama-sama hebatnya.
Sendang Suci segera melompat ke
kanan, lalu dengan gerakan kaki
merenggang lebar, ia menyentakkan
kipasnya ke depan. Suttt...! Dan dari
kipas itu keluar sinar lebar warna ungu yang segera menghantam ke pertemuan dua
sinar tersebut. Zrruubb...!
Traattt... ttar... taarr...
ttrratttt... trat... tar...!
Tiga sinar beradu dengan sama-sama
kuatnya. Sendang Suci bermaksud membantu Tamtama untuk mengalahkan sinar
hijaunya si Mata Neraka. Tetapi tiba-tiba dari
hiasan mulut singa yang ada di ikat
kepala si Mata Neraka itu keluar pula
sinar biru sebesar ibu jari. Zuuuttt...!
Blaarrr..,! Sinar biru itu mengakhiri perang
kekuatan tenaga dalam berbentuk sinar.
Begitu sinar biru itu menghantam ketiga sinar yang ada di pertengahan jarak,
tiga orang Itu sama-sama terpental akibat
ledakan dahsyat yang sempat
mengguncangkan pepohonan di sekitar
mereka. Tubuh ketiga orang itu sama-sama terpental berbeda arah. Tetapi jarak
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terpentalnya yang paling jauh adalah
Tamtama. la terpental dan bergulingguling bagai disapu badai besar sejauh enam tombak, sedangkan Sendang Suci dan
Mata Neraka hanya terpental dalam jarak sekitar empat tombak.
Sendang Suci kembali mengeluarkan
darah dari mulutnya. Tapi hanya sedikit.
Sedangkan Tamtama banyak mengeluarkan
darah dari lubang hidung, telinga, dan mulutnya. Agaknya sentakan daya ledak
tadi cukup kuat menghantam dadanya,
sehingga dada kiri Tamtama kelihatan
sedikit hangus. Pakaian yang menutupi
dada Itu menjadi hitam dan berasap tipis.
'Tamtama...!" seru Sendang Suci
dengan cemas. Cepat-cepat ia melompat dan bersalto dua kali di tanah, lalu
segera menolong Tamtama yang berwajah pucat.
Sendang Suci menjadi iba hatinya melihat pembelaan pemuda yang selama ini
dikenal sebagai kekasih Mahligai itu. Sudah pasti Tamtama siap mati untuk
membela Mahligai, karena ia sangat mencintai Mahligai,
walaupun selama ini Mahligai tidak pernah memberi tanggapan secara sungguhsungguh terhadap cinta Tamtama.
"Tamtama, bertahanlah...! Bibi akan salurkan hawa murni ke dalam tubuhmu!
Bertahanlah...!"
Dari seberang sana, si Mata Neraka
berteriak, "Sendang Suci! Saatnya telah tiba untuk membunuh kalian
berdua! Heaaah...!" Zlaaap...!
Kembali sinar biru sebesar ibu jari
tangan itu melesat bagaikan tongkat baja yang membahayakan, keluar dari hiasan
kepala singa yang ada di tengah dahinya.
Gerakan sinar itu amat cepatnya, sehingga Sendang Suci tak sempat menghindar
sedikit pun. Hanya saja, gerakan sinar biru yang
cepat itu tiba-tiba terhenti di udara, tepat dalam jarak dua jengkal dari tubuh
Sendang Suci. Sinar biru yang ganas itu tiba-tiba bergerak memendek, bagaikan
didesak untuk kembali masuk dari
sumbernya. Sendang Suci merasa heran,
karena ia tidak melakukan tindakan
seperti itu. Dan semakin heran lagi
setelah di depannya mulai tampak samar-samar sesosok tubuh besar yang memunggunginya. Bayangan itu makin lama semakin jelas dan akhirnya benar-benar nyata
dalam penglihatan siapa saja.
Zluuub...! Sinar biru itu kembali
masuk ke hiasan mulut singa di kening
Mata Neraka. Masuknya sinar tersebut
membuat Mata Neraka tersentak mundur tiga tindak. Kemudian ia memandang gemas
kepada orang yang muncul dari bayangan tadi, yaitu orang bertubuh besar dan
berwajah lebih angker dari si
Mata Neraka. Tinggi tubuh orang Itu sejajar dengan tinggi tubuh Mata Neraka. Tapi
perutnya lebih tampak besar orang
tersebut. Orang itu berpakaian abu-abu dengan
dirangkap jubah berlengan longgar yang panjang warna hitam bertepian merah
mengkilap. Rambutnya botak separo kepala, sisanya panjang ke belakang sebatas
pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah dengan bagian tengah dahi terdapat
hiasan dari logam emas berbentuk simbol
swastika, ia berkumis tebal turun ke
bawah dan menjadi satu dengan jenggotnya yang pendek itu. Matanya lebar dan alis
matanya lebat ke atas bentuknya. Orang itu menyelipkan senjatanya di pinggang
kanan kiri berupa logam gelang berwarna kuning emas, di mana setiap gelang emas
Itu mempunyai tepian yang bergerigi
tajam. Sendang Suci menggumam lirih,
"Malaikat Gelang Emas..."!" Ia kelihatan menggumam dengan wajah cemas, karena ia
tahu bahwa Malaikat Gelang Emas ilmunya jauh lebih tinggi dari adiknya; si Mata
Neraka itu. Tapi agaknya kali ini
Malaikat Gelang Emas punya urusan sendiri dengan sang adik, sehingga ia
menghampiri Mata Neraka dan dengan gerakan cepat
tangannya berkelebat menampar. Plakkk...!
Mata Neraka tak berani membalas. Ia
terlempar dan berguling-guling di tanah, lalu Malaikat Gelang Emas menghampiri
dan menenteng bajunya hingga terangkatlah
tubuh Mata Neraka.
"Kuperintahkan kau menjaga makam
kakek, mengapa kau minggat sampai di
sini, hah! Dasar bocah setan!"
Plook...! Plookkk...! Buugh...! Mata
Neraka dihajar kakaknya.
"Pulang kau ke makam kakek! Jangan ke mana-mana sebelum genap tiga tahun
jenazah kakek terkubur! Pulang ke sana, lekas!"
"Ba...baik! Baik, Kak...!
Mata Neraka segera lari pergi, dan
Malaikat Gelang Emas pun pergi ke arah lain, tanpa menghiraukan Sendang Suci dan
Tamtama lagi. * ** 5 KEPERGIAN Malaikat Gelang Emas masih
memukau Sendang Suci beberapa saat.
Karena Sendang Suci tak menyangka kalau Malaikat Gelang Emas hanya datang untuk
menghajar adiknya sendiri dan menyuruhnya kembali sebagai penjaga makam kakek
mereka. Semula Sendang Suci menyangka
Malaikat Gelang Emas datang untuk
membantu pertarungan adiknya, setidaknya membalaskan beberapa serangan yang
berhasil mengenai adiknya. Ternyata
dugaan itu meleset.
Sendang Suci segera sadar akan
keadaan Tamtama yang semakin memucat
wajahnya. la segera membawanya masuk ke dalam rumahnya. Pemuda tampan berambut
ikal itu sudah tak bisa bicara apa-apa, bahkan bernapas pun tampak susah sekali.
la dibaringkan di atas dipan pembaringan yang ada di ruang tamu rumah tersebut.
"Belum terlambat! Belum terlambat!"
ucap Sendang Suci sendirian. la segera menyiapkan ramuan obat untuk menyembuhkan
luka dalam yang mengandung racun
berbahaya itu. Tak seberapa jauh dari rumah kediaman
Sendang Suci, ada sebuah kedai yang cukup ramai dikunjungi pembeli. Sendang Suci
bergegas lari ke kedai itu untuk membeli arak.
Ia membutuhkan arak sebagai
campuran ramuan obatnya. Kebetulan
persediaan arak di rumah sudah habis,
sehingga Sendang Suci terpaksa lari ke kedai tersebut.
Ternyata di depan kedai orang
berkumpul di antara lelaki berpakaian
hitam-hitam. Orang yang berpakaian hitam itu tak lain adalah Jalak Hutan yang
kepalanya masih terdongak ke atas karena terkena jurus 'Rajawali Paruh Pendek'
itu. Mulanya Jalak Hutan bertemu dengan
seorang kenalannya di depan kedai
tersebut dan berkata dengan nada keras,
"Sambara...! Apakah kau melihat Tabib Perawan di sekitar sini"!"
Sambara yang tidak tahu keadaan Jalak
Hutan itu segera ikut mendongakkan
kepala, memandang ke langit sambil
berkata, "Sepertinya tak kulihat Tabib Perawan di sana! Mana..."!"
"Justru aku mencari dia! Barangkali
saja dia ada di sekitar sini"!" kata Jalak Hutan.
Sambara berseru kepada temannya yang
bernama Kambas, "Hei, Kambas... apakah kau melihat Tabib Perawan?"
Karena Sambara kembali mendongak ke
langit, maka mata Kambas pun ikut
mendongak ke langit, mencari-cari Tabib Perawan di langit sana. Kejap
berikutnya, Kambas pun menjawab,
"Ah, tak kulihat Tabib Perawan di sana"! Mungkin dia masih ada di
rumahnya!"
"Kalau begitu aku harus segera pergi ke rumahnya!" kata Jalak Hutan sambil tetap
mendongak ke atas. Kini bukan hanya Kambas dan Sambara saja yang ikut
mendongak keatas, melainkan dua orang
yang baru saja keluar dari kedai Ikut mendongak ke atas, ikut memandangi
langit, mencari sesuatu yang dianggapnya sedang dipandangi oleh Jalak Hutan dan
kedua orang lainnya Itu.
"Apa yang mereka lihat di atas sana?"
tanya salah seorang yang baru saja keluar dari kedai. Temannya menjawab,
"Entahlah, mungkin bintang jatuh!"
Pada waktu itu, Jalak Hutan berbicara
pelan kepada Sambara, menceritakan
perasaan hatinya dengan tetap mendongak ke atas, demikian pula Sambara yang ikut
mendongak ke atas tanpa tabu persis apa
yang dilihat Jalak Hutan. Mereka berdua tidak tahu bahwa banyak orang yang ikutikutan memandang ke atas. Bahkan ketika Sendang Suci bergegas masuk ke kedai
untuk memesan arak, ia kembali keluar
sebentar dan ikut memandang ke atas.
"Apa yang mereka lihat di sana" Tak ada apa-apa"!" gumam Sendang Suci, kemudian
ia tinggalkan orang-orang yang mendongak ke atas itu dan ia pun segera membeli
arak. Begitu ia hendak pulang, ia kembali
penasaran dan ikut mendongak ke atas
sambil bertanya kepada Jalak Hutan.
"Ada apa di langit sana, Jalak
Hutan"!"
Sambara cepat-cepat berkata, "Nah, ini dia si Tabib Perawan"! Mengapa kau
mencarinya di langit sana?"
"Siapa yang mencarinya di langit?"
bantah Jalak Hutan. , .'
"Buktinya kau mendongak ke atas,
sehingga aku pun ikut mendongak ke atas!"
"Dasar bodoh! Aku mendongak ke atas karena tulang dan uratku terkunci oleh
tendangan si Pendekar Rajawali Merah!"
"Pendekar Rajawali Merah?" Sendang Suci menyahut dengan nada heran.
"Bukankah Dewa Geledek sudah mengasingkan diri dan tidak ikut campur lagi di
dunia persilatan?"
"Bukan Dewa Geledek, melainkan
muridnya! Murid yang kurang ajar itu
telah membuat kepalaku jadi begini terus menerus, Tabib Perawan!"
"Mengapa kau dibuat sampai begitu, Jalak Hutan?" tanya Sendang Suci sambil
memandang antara geli dan heran.
"Ini gara-gara muridmu, Mahligai!"
Terkesiap mata Sendang Suci dan
segera bertanya, "Ada apa dengan Mahligai muridku?"
"Dia diculik oleh Pendekar Rajawali Merah! La dilukai dan dibuatnya lumpuh.
Aku bermaksud menolongnya, tapi ternyata anak muda itu telah lebih dulu menotok
jalan darahku, mengunci urat-urat
tengkukku hingga aku tak bisa gerakkan kepala lagi. Oh, Tabib Perawan... bisakah
kau bantu aku untuk memulihkan urat-uratku agar kepalaku bisa bergerak
lagi"!"
"Akan kuusahakan! Tapi benarkah
Mahligai dilumpuhkan oleh Pendekar
Rajawali Merah"!"
"Benar! Aku melihatnya sendiri! Kalau aku tidak melihatnya, aku tidak akan
bertarung dengannya dan dibuat seperti ini!"
"Keparat murid Dewa Geledek itu!"
geram Sendang Suci. Kemudian tangannya bergerak dalam keadaan menguncup dan
menotok beberapa bagian di punggung Jalak Hutan. Deb deb deb...!
"Aaauh...!" Jalak Hutan mengerang kesakitan. Kepalanya tak bisa kembali
seperti semula. Maka, Sendang Suci
melakukan gerakan menotok lagi di
beberapa tempat, terutama di tubuh bagian belakang dan pada tengkuk Jalak Hutan.
Tetapi kepala Jalak Hutan masih belum
bisa kembali seperti sediakala.
"Urat-uratmu telah menjadi keras
seperti batu di bagian kepala dan leher,"
kata Sendang Suci. "Kau harus meminum, ramuan obat yang kupakai untuk melemaskan
urat dan otot!"
"Kalau begitu, apakah aku harus ke rumahmu sekarang juga"!"
"Besok saja! Aku sedang menyembuhkan seseorang yang terkena racun berbahaya!
Aku tak bisa menolongmu sekarang, Jalak Hutan!"
"Jadi, aku harus mendongak terus
begini sampai esok pagi"!"
Ucapan itu tidak dilayani oleh
Sendang Suci. la segera melesat pergi
tinggalkan tempat. la tak bisa menunda pengobatan lebih lama lagi, karena
keadaan Tamtama benar-benar sangat gawat.
Terlambat sedikit lagi, racun berbahaya itu akan menyerang jantung dan Tamtama
akan mati. Kepedulian Sendang Suci terhadap luka
Tamtama itu hanya semata-mata dia tahu bahwa Tamtama sangat sayang kepada
Mahligai. Tamtama pernah melamar langsung kepada Sendang Suci untuk mengawini
Mahligai, tetapi Mahligai masih jinakjinak merpati dan malu-malu kucing
memberi jawaban yang pasti. Terlepas dari perasaan yang ada pada hati Tamtama,
Sendang Suci melihat sikap baik Tamtama yang tidak semata-mata ingin mengumbar
nafsu saja, namun ingin bertanggung jawab terhadap segala hidup dan matinya
Mahligai dengan wujud lamaran tersebut.
Tapi Sendang Suci belum mengetahui
perkembangan hati Mahligai, terutama
setelah gadis itu bertemu dengan Yoga; si Pendekar Rajawali Merah. Buat
Mahligai, membuka pintu hati untuk Yoga ternyata lebih mudah daripada membuka
pintu hati untuk Tamtama. Apalagi ia sudah berhasil mengelabui Yoga dengan
membelokkan arah tujuan ke rumah bibinya. Seharusnya
perjalanan bisa ditempuh setengah hari, namun Mahligai membuat arah jauh yang
mengakibatkan waktu perjalanan menjadi sehari semalam. Dan dalam waktu selama
itu, Yoga bagai manusia tak mengenal
lelah. Ia tetap menggendong Mahligai yang selalu mengatakan bahwa kakinya belum
bisa dipakai untuk menapak karena luka terkilirnya. Padahal Mahligai sudah bisa
menapak sejak dari semula sebelum
digendong Yoga.
Barulah ketika mereka tiba di depan
rumah Sendang Suci, Mahligai turun dari gendongan Yoga. Itu pun karena Sendang
Suci tampak menjadi marah melihat
keponakannya digendong oleh Yoga, ia
menyangka Mahligai benar-benar lumpuh dan hendak diculik seperti apa kata Jalak
Hutan. Dengan kipasnya, Sendang Suci segera
menyerang Pendekar Rajawali Merah yang masih menggendong tubuh Mahligai. Kipas
itu dalam keadaan tertutup dan disodokan ke wajah Pendekar Rajawali Merah. Namun
dengan gesitnya kepala anak muda yang
tampan dan punya senyum sangat menawan itu berkelit menghindari sodokan kipas
yang mengeluarkan hawa panas tersebut.
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wuuuttt...! Dengan cepat Sendang Suci memutar
tubuh dan melayangkan tendangan kaki
kanannya. Wuuus...! Tendangan Itu
dihindari pula oleh Yoga dengan satu
seruan, "Mengapa kau menyerangku"!"
"Bibi, hentikan serangan itu! Jangan serang dia, Bibi!"
"Mahligai, apakah kau masih ingin membela orang yang telah melumpuhkan
kakimu itu, hah"!" Sendang Suci marah kepada muridnya.
"Siapa bilang kakiku dilumpuhkannya?"
"Jalak Hutan memberikan laporan
begitu padaku!"
"Itu fitnah, Bibi! Aku tidak lumpuh.
Aku masih bisa berdiri dan berjalan
biasa! Lihat..!" lalu Mahligai berkata kepada Yoga,
"Turunkan aku...!"
Mahligai turun dari gendongan Yoga,
ia melompat dan bersalto satu kali di udara. Kemudian ia memperagakan jurus
tendangan beruntun yang diajarkan oleh gurunya. Setelah itu, ia kembali
mengambil sikap berdiri tegak dan sigap.
Sendang Suci tertegun melihat
keponakannya masih sehat, tidak seperti yang dilaporkan Jalak Hutan kepadanya.
Lebih tertegun lagi Pendekar Rajawali Merah, yang mulai merasa dikelabui oleh
Mahligai sejak dari kemarin. Dalam
keadaan terbengong, Yoga berkata kepada gadis cantik yang nakal dan bandel itu.
"Rupanya kau dalam keadaan sehat, Mahligai" Kakimu berguna dengan baik
sekali! Kau telah menipuku, Mahligai!"
Mahligai tersipu malu. Tapi segera ia
tutupi perasaan malunya itu dengan
membuang pandangan ke arah lain sambil berkata,
"Tadi memang terasa sakit. Tapi
begitu aku bertemu dengan Guru, sakit di kakiku ini sembuh seketika!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum
sambil geleng-geleng kepala. la sadar
bahwa dirinya telah dikelabui oleh gadis
cantik itu untuk satu maksud tersembunyi di balik hati sang gadis. Yoga menerima
kalah dan tidak banyak menuntut.
Tetapi senyuman itu membuat Sendang
Suci lupa mengedipkan mata. la merasakan ada desiran halus di hatinya begitu
meresapi senyuman Pendekar Rajawali
Merah. Desiran halus itu menggelisahkan hati dan membuat Sendang Suci lupa
berkedip kalau tidak segera diajak bicara oleh keponakan yang sekaligus muridnya
itu. "Dia menyelamatkan aku dari kejaran si Mata Neraka, Bibi! Lalu, dia punya
kesulitan dan aku ingin menolongnya!"
Percakapan mereka di luar terhenti
oleh kemunculan Tamtama dari dalam rumah.
Rupanya pengobatan yang dilakukan oleh Sendang Suci tak sia-sia. Keadaan Tamtama
memang belum sesehat biasanya, tapi racun di dalam tubuhnya telah berhasil
ditawarkan dan tidak lagi menyerang dan mengancam jiwanya.
Mata Mahligai terkesiap curiga
melihat Tamtama keluar dari dalam rumah.
Sepagi ini sudah berada di rumah bibinya, berarti Tamtama bermalam di rumah itu.
Maka Mahligai pun segera menyapanya,
"0, rupanya kau sudah ada di sini sepagi ini, Tamtama?"
"Ya. Aku terluka racun berbahaya dari serangan si Mata Neraka!'' jawab Tamtama.
"Aku tak sadarkan diri sampai tengah malam. Rupanya Bibi berhasil mengobatiku,
sehingga pagi ini aku sudah segar walau belum pulih seperti sediakala,
Mahligai!"
Sambil berkata begitu, sesekali mata
Tamtama melirik ke arah Yoga dengan sikap pandang tak enak di hati. Yoga merasa
dipandang kurang bersahabat, sehingga ia pun mencoba mempelajari sikap pemuda
yang sebaya dengannya itu. Apalagi saat itu Tamtama berkata,
"Seharusnya kau menghubungiku jika si Mata Neraka mengejar-ngejarmu begitu.
Kurasa itu lebih baik dari pada kau minta tolong kepada orang lain, Mahligai!"
Mahligai menjawab dengan nada ketus
yang tak enak dicerna di hati siapa pun,
"Apa pedulimu dengan diriku, Tamtama"
Aku meminta pertolongan pada orang lain atau tidak sama sekali, kau tak berhak
menganjurkan seperti itu!"
"Aku hanya mengingatkan kamu, agar orang lain tidak merendahkan kamu setelah
habis menolongmu, Mahligai!"
"Justru kaulah yang merendahkan aku karena menganggap aku tak layak minta
pertolongan pada orang lain!"
Sendang Suci hanya menarik napas. la
tahu, Tamtama menaruh rasa cemburu
melihat Mahligai pulang bersama pemuda yang lebih tampan darinya. la juga tahu
bahwa Mahligai mempertahankan sikapnya
dan membela posisi Pendekar Rajawali
Merah atas kecemburuan Tamtama. Dan
agaknya keadaan itu jika dibiarkan
berlarut-larut akan menjadi semakin
panas. Sebab itu, Sendang Suci segera
menengahi perdebatan Tamtama dengan
Mahligai. "Sebaiknya kita bicara di dalam
saja!" Mahligai pun berkata, "Yoga, kita bicara di dalam saja, yuk!"
Melihat sikap lembut Mahligai kepada
Yoga, hati Tamtama menjadi semakin panas.
Maka segera ia berkata kepada Sendang
Suci dengan menyindir kepada Yoga,
"Rasa-rasanya apa yang dikatakan oleh Paman Jalak Hutan itu benar, Bi! Mahligai
dalam ancaman bahaya halus yang tak mudah dikenali oleh siapa pun!"
"Ancaman halus apa"!" sergah Mahligai.
"Jarang sekali Mahligai bisa bersikap lembut, Bi. Jangan-jangan ia terkena
mantera guna-guna oleh seseorang"!" kata Tamtama masih ditujukan kepada Sendang
Suci. Mahligai semakin jengkel karena tahu
arah pembicaraan Tamtama. Maka ia pun
kian membuat Tamtama panas hatinya dengan menggandeng lengan Yoga dan berkata,
"Masuklah! Yang punya rumah adalah Guruku, dan Guruku sudah mempersilakan!
Tak perlu kau hiraukan omongan orang yang bukan anggota keluarga di rumah ini,
Yoga!" Yoga yang tahu gelagat segera
menjawab, "Tak usah. Biarlah aku di luar saja. Aku perlu bicara dengan Bibi
gurumu itu!"
Tamtama yang sudah telanjur panas
hatinya segera menyahut,
"Kurasa itu memang lebih baik
daripada kau duduk di dalam rumah
terhormat ini! Rumah Bibi Sendang Suci hanya untuk menerima tamu-tamu
terhormat!"
"0, jadi kau juga memilih di luar rumah saja"!"
"Aku orang terhormat, Kunyuk!" sentak Tamtama yang hanya mendapat senyuman
ringan dari Yoga.
"Kasar sekali kau, Tamtama!" bentak Mahligai dengan mata melotot.
"Mengapa aku harus berbuat sopan
dengan orang macam dia yang tak banyak bedanya dengan gelandangan jalanan"!"
sambil Tamtama menuding Pendekar Rajawali Merah.
"Jaga mulutmu, Tamtama!" ucap Sendang Suci dengan pelan.
"Saya tak bisa menjaga mulut dan
omongan saya sebelum gelandangan itu
pergi dari sini, Bibi!"
"Perlukah aku yang menjaga mulutmu,
Orang terhormat"." sahut Pendekar Rajawali Merah dengan pandangan mata
tajam ke arah Tamtama.
"Apa maksudmu"!" hardik Tamtama dengan mata terbuka lebar.
"Mungkin kau butuh seseorang untuk membungkam mulutmu biar terjaga dalam
bicaranya?" jawab Yoga masih dengan tenang dan kalem.
"O, kau ingin memancing kemarahanku, hah"! Kau ingin mencoba ilmuku, Orang
Hina"!"
"Tamtama...!
Sendang Suci mengingatkan, tapi tidak digubrisnya.
"Tahan pukulanku kalau kau memang ingin menjajal ilmuku! Hiaaah!"
Wuutt..! Sinar hijau dilepaskan dari
telapak tangan Tamtama dalam jarak hanya tiga tombak. Tapi dengan cekatan tangan
Yoga berkelebat mengibas, dan angin
kibasannya cukup kuat, hingga membuat
sinar hijau itu melesat naik dan
menghantam dahan pohon. Duaarrr...!
Brruuusss...! Dahan pohon itu jatuh
dan hancur sementara mereka yang ada di bawahnya melompat menyebar ke lain arah.
Kini keadaan Tamtama berhadapan persis dengan Yoga. Wajah Tamtama kelihatan
garang dipanggang api kemarahan,
sedangkan Yoga tetap tenang.
Tamtama segera mencabut pedangnya.
Tapi dengan cepat kedua tangan Yoga
menyodok ke depan dengan telapak tangan terbuka dan tengadah ke atas.
Zuuuttt...! Sodokan kedua telapak tangan itu membuat tubuh Tamtama tersentak ke belakang
dengan sangat kerasnya dan masuk di sela-sela dua batang pohon yang tumbuh
bersebelahan, hampir merapat itu.
Brusss...! Terjepitlah tubuh Tamtama di sana dan tak bisa bergerak, tak mampu
berteriak kecuali erangan dengan suara tertahan.
Mahligai dan Sendang Suci bergegas
menghampirinya dan berusaha mengeluarkan tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu.
Tapi mereka tak berhasil, sedangkan wajah Tamtama sudah merah kebiru-biruan
bagai terjepit benda keras pada bagian ulu hati dan perutnya.
"Dia bisa mati kalau tidak segera dilepaskan dari dua pohon itu!" kata Sendang
Suci kepada Yoga setelah ia
bergegas mendekati Yoga.
"Yo, lepaskan dia...!" seru Mahligai.
Kemudian Pendekar Rajawali Merah
berlari dan melompat ke udara, bersalto satu kali ke arah pertengahan atas kedua
pohon tersebut. Lalu dengan dua kakinya yang menjejak ke kanan kiri dengan kuat
pohon-pohon Itu tersentak ke samping dan salah satunya tumbang dengan akar
tersentak keluar dari tanah. Brukkk...!
Kraakkk...! Sedangkan pohon yang satunya
lagi hanya miring ke arah samping. Dengan begitu, tubuh Tamtama yang terjepit
kuat itu kini bebas dari jepitan dua batang pohon besar, dan hal itu membuat
Sendang Suci tertegun kagum memandangi kehebatan daya sentak kaki pemuda tampan
tersebut. * * * 6 SENDANG Suci membalutkan
rempah- rempah adonannya di sekujur tubuh
Tamtama. Pengobatan itu dimaksudkan untuk memperlancar kembali aliran jalan
darah. Karena pada bagian perut sampai ulu hati pemuda itu menjadi biru dan cekung
membentuk benda yang telah menghimpit
tadi. Mahligai ada di dekat pembaringan
itu. Wajahnya masih bersungut-sungut
menahan jengkel. Suaranya terdengar
seperti orang menggerutu,
"Kalau aku tidak mengingatkan Yoga, kau tidak akan dilepaskan dari himpitan dua
pohon itu selamanya, Tamtama!"
"Kenapa kau tidak menyuruhnya
membunuhku saja?" Tamtama pun bersungut-sungut menahan kedongkolan hatinya,
sambil menahan rasa sakit karena perutnya terasa linu jika dipakai bicara.
Mahligai menyahut, "Yoga bukan seorang pembunuh yang keji. Dia seorang pendekar beraliran
putih. Dia hanya akan bertindak demi
kedamaian sesama umat manusia!"
"Hmm...! Kau selalu saja memujinya!"
Mahligai diam saja. Terbayang dalam
benaknya saat ia saksikan sendiri Tamtama bertarung dengan para peserta landing
laga di Bukit Sengkala. Pada waktu itu, pihak perguruan Tamtama mengadakan uji
landing bagi murid-muridnya. Guru Tamtama yang sekarang sudah wafat itu; Ki
Jipang Saga, sengaja memanggil beberapa jago
dari Tanah Hulu. Jago-jago dari Tanah
Hulu itulah yang akan diadu oleh beberapa murid pilihan Ki Jipang Saga, satu di
antaranya adalah Tamtama.
Bagi Tamtama, terpilih sebagai murid
yang akan diadu merupakan suatu
kebanggaan tersendiri. la kabarkan hal itu kepada Mahligai. Dengan berapi-api
saat itu Tamtama berkata,
"Aku terpilih sebagai murid teladan Ki Jipang Saga, Mahligai!"
"Apa maksudnya murid teladan?" tanya Mahligai kala itu.
"Dari sekian banyak murid Ki Jipang Saga, ada beberapa yang memang mampu
memperdalam pelajaran dengan cepat, ada yang lamban. Aku dinilai dapat perdalam
ilmu dengan cepat bersama kesembilan
temanku lainnya. Ketangkasan kami telah diuji sesama teman. Akhirnya dari
kesepuluh murid dipilih lima orang untuk dinyatakan sebagai murid tercepat,
tertangkas dan pandai menggunakan siasat bertarung. Lima murid itu adalah aku.
Untuk menguji kegigihan kami, Guru
memanggil lima jago dari Tanah Hulu. Tiga hari lagi kami akan diadu di Bukit
Sengkala dengan lima jago Tanah Hulu
itu." "Kau juga akan diadu di sana?"
"Tentu. Karena aku satu-satunya murid
yang punya nilai tertinggi dan diandalkan oleh guruku. Kau harus hadir di Bukit
Sengkala untuk melihat kehebatan jurus-jurusku, Mahligai." , ,
"Aku tak bersedia," jawab Mahligai cepat.
"Mengapa?" Tamtama mulai kecewa.
"Aku takut melihatmu terluka atau babak belur."
"Ha-ha ha ha...! Itu tidak mungkin, Mahligai. Tidak mungkin! Tamtama yang
sekarang bukan Tamtama yang kau kenal
beberapa tahun yang lalu. Karenanya,
hadirlah dalam tanding laga di Bukit
Sengkala nanti supaya kau tahu siapa
diriku sebenarnya!"
Desakan itu akhirnya membuat Mahligai
menuruti kehendak Tamtama. Tapi dalam
hati kecil Mahligai sudah timbul rasa
tidak percaya akan ketangkasan Tamtama.
Sebab dalam kesehariannya, jika Mahligai marah dan menyerang Tamtama, pemuda itu
jarang bisa hindari serangan Mahligai.
Bisa saja dikarenakan sikap mengalahnya Tamtama, tapi bisa juga dikarenakan
kurang tangkasnya pemuda itu.
Pada hari yang sudah ditentukan,
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tamtama membawa Mahligai ke Bukit
Sengkala. Kehadirannya bersama Mahligai menjadi bahan kasak-kusuk oleh beberapa
teman seperguruannya. Bahkan salah
seorang teman sempat
berkata kepada Tamtama. "Kau memang layak mendapatkan gadis secantik dia. Tapi alangkah memalukan
gadismu jika dalam pertarungan nanti kau tidak dapat tumbangkan dua lawanmu,
Tamtama!" Dengan rasa bangga dan tinggi hati,
Tamtama menjawab, "Kelima jago dari Tanah Hulu akan kutumbangkan sekaligus! Aku
tak ingin kecewakan Mahligai!"
"Bagus, bagus...!"temannya itu manggut-manggut dengan bangga.
Ki Jipang Saga mulai nadir bersama
lima jago Tanah Hulu. Mereka berperawakan tinggi besar, rata-rata berkumis
tebal. Wajah mereka berkesan angker dan berdarah dingin. Sebenarnya mereka adalah
sahabat Ki Jipang Saga yang selalu ikut membina perkembangan perguruan tersebut,
sehingga sebelum mengawali pertarungan landing
laga, Ki Jipang Saga lebih dulu berkata kepada para muridnya yang berkumpul
mengelilingi arena landing tersebut.
"Murid-muridku, pertarungan ini kita adakan bukan sebagai permusuhan yang
mempunyai dasar kebencian ataupun dendam.
Pertarungan ini merupakan bagian dari
pelajaran yang harus kalian terima,
terutama bagi kelima murid teladan yang kupilih. Jadi kuharap, selesai
pertarungan jangan timbulkan dendam di dalam hati kalian, jangan timbulkan
kesombongan dalam sikap kalian.
Pertarungan ini hanya sebagai penguji
nyali dalam menghadapi orang asing yang tidak kalian kenal sebelumnya. Ingat,
pertarungan ini tidak diperkenankan
menggunakan senjata apa pun. Hanya boleh dilakukan dengan tangan kosong, tanpa
tenaga dalam bersinar. Pertarungan ini bukan untuk saling membunuh, melainkan
untuk saling mencuri kelemahan lawan.
Paham"!"
"Pahaaam...!" jawab kelima
murid teladan yang akan bertanding, termasuk Tamtama. Kala itu, Tamtama berbisik
kepada Mahligai yang berdiri dengan mulut terbungkam di sampingnya,
"Lihat saja permainanku nanti! Kau akan kagum melihat kecepatanku merubuhkan
mereka satu persatu!"
Mereka sepertinya berdarah dingin dan
tak kenal belas kasihan. Sekali kau
gagal, mereka akan mencecarmu terus
sampai kau tak berdaya lagi. Bisa-bisa satu pukulan mereka bisa bikin kau cedera
berat, Tamtama. Kau harus hati-hati betul melakukannya!"
'Tenang saja. Tenang...!" Tamtama menepuk-nepuk pundak Mahligai. "Tak akan
kubiarkan satu pun menyentuh tubuhku
selain tangan dan kakiku! Mereka akan
kubuat tercengang-cengang melihat
kehebatan ku! Ingat, Mahligai.... mereka akan kubuat tercengang oleh
kehebatanku!"
Mahligai hanya manggut-manggut kecil.
Kemudian terdengar suara tepuk tangan
riuh ketika teman Tamtama yang bernama Jayengrana tampil sebagai peserta pertama
melawan orang berbaju kuning berperut
sedikit buncit itu. Keadaan pun menjadi sedikit tegang ketika Jayengrana
terdesak serangan lawannya, hingga akhirnya
Jayengrana jatuh tersungkur tak mampu
bangkit lagi. ia terpaksa digotong keluar dari arena dan mendapatkan pengobatan
seperlunya. Orang yang melakukan
pengobatan itu juga dari pihak Tanah
Hulu. Diam-diam Mahligai berbisik, "Hati-hati betul, Tamtama. Kelihatannya aliran
silat mereka mempunyai gerakan-gerakan pendek namun berkecepatan tinggi. Kau
harus atur jarak dengan mereka."
"Tenang saja, itu sudah kupikirkan
sebelum kau bicara! Jayengrana tidak mau gunakan siasat bertarung, jadi dia
roboh dalam waktu singkat. Masa' hanya lima
jurus saja dia sudah nungging begitu, he he he he...!"
Seorang teman lagi tampil, ia bernama
Pratikta. Orang ini sedikit mampu imbangi permainan jurus jarak pendek lawan. la
sedikit lumayan ulet hingga bisa membuat orang berbaju kuning itu terdesak
mundur dan akhirnya menyerah. Lalu orang
berpakaian serba hitam tampil melawan
Pratikta. Orang berbaju hitam itu
memainkan jurus-jurus jarak jauh.
Pratikta mampu imbangi sampai delapan
jurus, namun akhirnya ia tumbang karena kalah cepat bergerak dengan lawannya.
KI Jipang Saga berseru, "Baik.
Sekarang giliran Tamtama, maju ke arena!"
Dengan gagah dan bangga Tamtama pun
tampil setelah sebelumnya sempat berbisik kepada Mahligai,
"Lihat, perhatikan baik-baik, dan ingat...!"
Mahligai hanya mengangguk dengan
sikap tetap tenang. Tamtama tampil
menghadapi orang berbaju kuning yang tadi menumbangkan Jayengrana dengan lima
jurus. "Heaaat...!" Tamtama membuka jurus
pertama dengan gaya seekor naga ingin
menyerang mangsanya. Orang berbaju kuning itu masih tenang-tenang saja. Tamtama
melompat ke kiri, lalu ke kanan dan ke kiri lagi, melakukan gertakan-gertakan
tipuan bagi lawan. Namun lawan tampak
tetap tenang dengan matanya tak berkedip pandangi Tamtama.
Kejap berikutnya, Tamtama lakukan
lompatan memutar dengan tendangan
kipasnya. Wuutttt...! Tapi ternyata lawan lebih dulu dan lebih cepat bergerak
menggunakan jurus sama. Wuusss...! Plak plak prak! Buuhg...! Pak, pak...!
Braasss..! Tendangan dan pukulan beruntun
dilancarkan oleh orang berbaju kuning.
Tamtama gelagapan tak bisa hindari
serangan tersebut. la pun terpental
ketika lawan lakukan tendangan putar
sekali lagi. Mulutnya semburkan darah dan ia pun jatuh terkapar tak berdaya
lagi. "Huuu...!" teman-temannya mengecam bersama. Tamtama tak dapat bangkit lagi.
Kepalanya terasa mau pecan, dadanya
bagaikan mau jebol. Hanya tiga jurus,
Tamtama dibuat tak berkutik oleh
lawannya. Mahligai diam saja, hanya
tersenyum sinis dan meninggalkan arena dengan hati kecewa. Di perjalanan
Mahligai waktu itu menggerutu,
"Omong besar! Masih mending
Jayengrana, mampu bertahan lima jurus.
Dia baru tiga jurus sudah tak berdaya
begitu! Hmmm...!"
Satu hal yang terjadi di luar dugaan
Mahligai kala itu, bahwa ternyata
sikapnya yang keluar dari kerumunan dan meninggalkan Bukit Sengkala itu
merupakan tindakan yang dianggap menyinggung perasaan dan menghina perguruan. Ki
Jipang Saga melihat kepergian Mahligai, kemudian segera perintahkan kepada
beberapa muridnya untuk menangkap dan membawa
kembali Mahligai. Tentu saja hal itu
sangat mengejutkan Mahligai. la menolak untuk diajak kembali ke Bukit Sengkala.
"Jika kau ingin hadir sebagai
penonton, kau harus menontonnya sampai selesai acara tanding laga itu. Jangan
pergi begitu saja. Seolah-olah kau
meremehkan perguruan kami dan menghina jago-jago dari Tanah Hulu itu. Kami
tersinggung dengan caramu seperti itu!"
kata salah seorang teman Tamtama yang
termasuk mendapat tugas membawa Mahligai kembali ke Bukit Sengkala.
Mahligai berkata, "Aku tidak bermaksud menghina perguruanmu. Aku hanya merasa tidak tertarik melihat pertarungan
seperti itu. Kubayangkan akan terjadi
pertarungan yang hebat, ternyata tidak hebat. Biasa-biasa saja, dan aku merasa
tidak perlu menyaksikan sampai selesainya
acara tersebut!"
"Itu namanya meremehkan perguruan kami dan jago-jago Tanah Hulu!"
Perdebatan di kaki bukit mengundang
perhatian mereka yang di atas. Ki Jipang Saga segera turun untuk hampiri
Mahligai, semua muridnya ikut turun, bahkan jago-Jago Tanah Hulu pun turun pula.
Mereka segera membentuk lingkaran
besar mengelilingi Mahligai yang sedang
berdebat dengan tiga murid Ki Jipang
Saga. Dalam keadaan sempoyongan, Tamtama
pun ikut turun dari atas bukit, maksudnya mau memintakan maaf kepada gurunya
atas sikap Mahligai, tapi ia disingkirkan oleh teman-temannya. Kini Ki Jipang
Saga hanya berdua dengan Mahligai di tengah
lingkaran para muridnya.
"Maafkan saya, Ki Jipang Saga. Saya tidak bermaksud menghina perguruan Ki Jipang
Saga maupun orang-orang Tanah
Hulu. Saya hanya ingin pulang, karena sahabat saya; Tamtama itu, ternyata telah
keok melawan jago-jago Tanah Hulu."
"Maaf tetap kami berikan. Tapi
perasaan terhina kami belum lebur. Kau seolah-olah ingin mengatakan, bahwa
perguruan kami tidak ada apa-apanya
dibandingkan perguruanmu. Sekarang
sebaiknya kau tunjukkan kepada kami,
bagaimana seharusnya menghadapi lawan
seperti orang-orang dari Tanah Hulu itu."
"Ki Jipang Saga memaksaku untuk
bertarung melawan lima jago dari Tanah Hulu itu"!"
"Anggaplah begitu. Setidaknya dengan begitu kau telah tunjukkan bahwa
kepergianmu bukan semata-mata meremehkan perguruanku!"
Mahligai tarik napas panjang-panjang
memendam kedongkolan. Tapi akhirnya ia berkata, "Baiklah! Akan kutebus
kesalahanku ini!"
Maka, Ki Jipang Saga menyingkir dari
arena, la bicara sebentar dengan kelima jago dari Tanah Hulu itu. Kemudian,
orang berbaju kuning yang tadi bikin Tamtama babak belur itu tampil lebih dulu.
ia segera lakukan serangan mendadak kepada Mahligai. Dengan sigap dan lincah
Mahligai sentakkan kakinya dan tubuhnya pun melenting di udara dengan cepat.
Ketika ia mendarat kembali, orang berbaju kuning itu telah lancarkan tendangan
kipasnya. Tapi Mahligai cepat kelebatkan tangan menangkis tendangan itu.
Plaakkk...! Lalu, Mahligai memutar badan dengan cepat dan kakinya masuk ke perut
lawan dengan telak.
Buhhg...! Wuuusss...!
Tendangan itu membuat lawan terpental
sampai menabrak para penonton yang ada di belakangnya. Orang itu menyeringai
dalam keadaan terkapar
di tanah, sukar
bernapas. Hal Itu membuat murid-murid Ki Jipang Saga menjadi tercengang. Salah
seorang bergumam lirih,
"Gila! Hanya satu jurus saja gadis itu bisa bikin orang ini tak berdaya
lagi"! Ternyata dia lebih hebat dari
Tamtama".'"
Mahligai disambar orang berbaju hitam
yang tadi kalahkan Pratikta. Sambaran
kaki orang tersebut
membuat tangan Mahligai berkelebat menghantam mata kaki dengan dua jarinya. Taakk...! Orang Itu
langsung jatuh dan memekik tak tanggung-tanggung lagi.
"Aaaa...!" ia merasakan sakit dari mata kaki sampai ke ubun-ubun.
Dua jago dari Tanah Hulu lainnya
segera maju serempak. Namun dengan hanya satu jurus, Mahligai mampu tumbangkan
mereka secara bersamaan. Bahkan orang
terakhir dari Tanah Hulu yang tampil
menyerang Mahligai, sempat dibuat
terpental jauh, sekitar sepuluh tombak, sebelum ia sempat menyentuh Mahligai
sedikit pun. Orang itu muntah darah di tempatnya jatuh terkapar.
Lima jago dari Tanah Hulu mampu
dikalahkan Mahligai dalam waktu yang amat singkat. Tentu saja hal itu membuat
para murid Ki Jipang Saga terkagum-kagum
hingga tak bisa keluarkan suaranya.
Tamtama yang melihat kejadian itu merasa malu sekali, ia hanya bisa tundukkan
kepalanya, tak berani memandang Mahligai.
Ketika Ki Jipang Saga mendekati
Mahligai, gadis itu bertanya,
"Sudan puaskah orang-orangmu melihat kejadian ini, Ki Jipang Saga?"
Ki Jipang Saga diam sebentar,
kemudian ia bahkan bertanya, "Kau murid perguruan mana, Nona?"
"Aku tidak punya perguruan!" jawab Mahligai sedikit ketus karena masih
merasa dongkol dipaksa harus bertarung di depan para murid Ki Jipang Saga itu.
Mahligai kembali ajukan tanya,
"Boleh aku tinggalkan tempat ini"!"
Dengan jujur dan kesatria, Ki Jipang
Saga mengakui kehebatan Mahligai dan
berkata, "Silakan. Terima kasih atas kesediaanmu memberikan contoh terbaik
pada murid-muridku."
Gadis itu pun segera tinggalkan
tempat tersebut, tanpa peduli suara para murid Ki Jipang Saga menjadi bergemuruh
seperti ratusan lebah bergaung. Mereka saling berkasak-kusuk sambil pandangi
kepergian Mahligai. Tamtama segera
memburunya dengan langkah lambat. la
memanggil-manggil Mahligai, namun
Mahligai tak mau berhenti ataupun
berpaling satu kali pun.
* ** Mahligai tergugah dari lamunan
panjang, karena suara Tamtama yang
menyuruhnya meninggalkan dirinya di
pembaringan sendirian. Mahligai pun
pergi. la mencari-cari bibinya, ternyata sang Bibi sedang bicara dengan Yoga di
bawah sebuah pohon, di belakang rumah.
Mahligai membiarkan bibi gurunya terlibat percakapan penting dengan pemuda
tampan itu, walau sesekali Sendang Suci mencuri pandang dan menyimpan kekaguman
dalam hatinya terhadap ketampanan Yoga.
Sekalipun demikian, Sendang Suci bisa
bersikap wajar-wajar saja dalam
Jodoh Rajawali 01 Wasiat Dewa Geledek di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bicaranya, sehingga tak seorang pun tahu isi hatinya.
"Aku mengenal nama Dewi Langit Perak sebagai perempuan sakti yang sering
menunggangi burung Rajawali Putih," kata Sendang Suci ketika percakapan mereka
mencapai pada masalah yang sedang
dihadapi Yoga. Sendang Suci berkata lagi,
"Seingatku, dialah istri dari Dewa Geledek yang dulunya bernama Empu
Dirgantara."
"Memang benar. Dewi Langit Perak
adalah nyai guruku, istri dari guruku
sendiri! Wasiat dari Guru sebelum
meninggal, aku harus mencari Nyai Guru
Dewi Langit Perak bersama burung rajawali nya. Tapi aku tak tahu dimana beliau
berada dan ke mana arah yang harus
kutempuh pertama kalinya?"
"Apakah kau bermaksud berguru lagi dengan Dewi Langit Perak?"
"Aku belum bisa menjawab, karena aku belum pernah Jumpa dengan beliau! Tidak
semua orang sakti mau menerimaku sebagai muridnya!"
"Memang benar," jawab Sendang Suci.
Tapi seandainya kau tidak berguru lagi kepada Dewi Langit Perak, ilmumu pun
sudah cukup tinggi, Yo! Dari caramu
menghindari serangan Tamtama dan caramu menghajar Tamtama sampai membelah dua
batang pohon itu, aku yakin hanya orang berilmu tinggi yang bisa melakukannya
begitu. Kurasa kau sudah tidak perlu
mencari seorang guru lagi, Yo!"
"Terlepas dari soal berguru ataupun tidak, tapi aku harus melaksanakan amanat
dari guruku, Bibi! Aku harus mencari Nyai Guru!"
"Kalau begitu, kau harus menuju ke arah Gunung Menara Salju. Karena beberapa
orang pernah melihat burung Rajawali
Putih terbang ke arah sana dengan dua
penunggangnya. Tapi sejak itu, karena tak pernah lagi melihat burung Rajawali
Putih terbang mengelilingi angkasa. Barangkali Dewi Langit Perak bersemayam di
Gunung Menara Salju'"
"Dua orang penunggang..."!" gumam Yoga sambil berkerut dahi.
"Kabar yang terakhir kudengar dari seorang pengelana memang begitu. Apakah benar
dua orang penunggang atau hanya
satu tapi kelihatannya seperti dua orang, itu tak tahu dengan pasti!
Tapi menurutku, kau bisa mencari keterangan dengan penduduk yang tinggal di kaki
Gunung Menara Salju! Kabar itu kudengar lima tahun yang lalu, tapi sejak itu tak
pernah lagi ada orang membicarakan
tentang burung Rajawali Putih. Jadi
menurut dugaanku, sudah lima tahun yang lalu Dewi Langit Perak bersemayam di
sana, mungkin juga lebih dari lima
tahun!" "Jika begitu," kata Yoga setelah diam beberapa saat, "Aku harus segera
berangkat ke Gunung Menara Salju, Bibi!"
"Mengapa harus tergesa-gesa" Tidakkah kau ingin beristirahat di pondokku untuk
beberapa saat?"
"Tidak, Bi. Amanat dari mendiang Guru
kalau tidak segera kukerjakan, terasa
mengganjal dalam hidupku, Bi!"
Mata Sendang Suci menatap tak
berkedip, berkesan penuh kelembutan yang sarat dengan makna kejiwaan. Dengan
tutur kata yang lembut pula, Sendang Suci
berkata kepada Yoga.
"Barangkali kau membutuhkan seorang penunjuk Jalan, Yo! Dan rasa-rasanya aku
punya kesanggupan untuk menjadi penunjuk jalanmu!"
Yoga tersenyum dalam keramahan.
Senyum itu membuat hati Sendang Suci
bergetar kuat dan bahkan jantungnya pun terasa cepat detakannya. Yoga segera
berkata dengan lembut pula,
"Terima kasih, Bi! Kesanggupanmu
menjadi penunjuk jalanku bukan kutolak, tapi aku merasa cukup sendirian pergi ke
sana! Kurasa bantuanmu menceritakan
tentang Gunung Menara Salju tadi sudah banyak membantu pencarian ku terhadap
Nyai Guru Dewi Langit Perak.
Aku tak ingin merepotkan Bibi terlalu
banyak lagi!"
Sendang Suci juga sunggingkan senyum
tuanya yang masih manis dan enak di
pandang mata itu, kemudian la berkata,
"Aku tak akan memaksakan kehendak jika memang Itu keputusanmu, Yo. Tetapi
pesanku, jika- kau sudah berjumpa dengan Dewi Langit Perak, sampaikan salamku
kepada beliau. Beliau pasti mengenal aku karena dulu aku pernah ditolongnya dari
serangan orang-orang Mongol. Dan jika kau pulang dari Gunung Menara Salju,
jangan lupa, sempatkan mampir ke pondokku ini, Yo!"
Zraap...! Tiba-tiba ada sekelebat
bayangan yang melintas cepat di
kerimbunan pohon, jauh dari tempat mereka berdua berbicara. Namun, baik Yoga
maupun Sendang Suci sama-sama melihat kelebatan aneh yang ada di kerimbunan
pohon seberang sana. Mereka sama-sama saling pandang dan Yoga segera berkata,
"Ada orang yang mengintai
kita rupanya!" "Kurasakan begitu juga," jawab Sendang Suci. "Diamlah di sini. Aku akan
memeriksa hutan seberang sana!"
Sendang Suet merasa bertanggung jawab
terhadap keamanan dan keselamatan
tamunya. Karena itu, Sendang Suci segera melesat pergi mencari sesosok bayangan
yang tak jelas wujudnya itu di kerimbunan hutan seberang. Sementara itu, Yoga
segera menuju ke rumah setelah beberapa saat ia menunggu Sendang Suci dan
perempuan itu belum juga kembali. Yoga ingin menemui Mahligai untuk membicarakan
apa yang sudah dibicarakan dengan Bibi Sendang Suci.
Pada saat Yoga tiba di sana, Tamtama
sedang berusaha bangkit dari rebahannya dengan menyeringai kesakitan. Mahligai
yang membantu Tamtama untuk bangkit dan duduk itu, menjadi terperanjat dan tak
enak hati, sebab Yoga pasti melihat
tangan Mahligai memegangi punggung
Tamtama. Mahligai takut Yoga cemburu,
tetapi ternyata Yoga justru tersenyum dan berkata kepada Tamtama,
"Maafkan sikapku tadi, Tamtama!
Sebaiknya kucoba memulihkan kekuatanmu dan
menghilangkan rasa sakitmu itu.
Berbaliklah ke belakang, Tamtama!"
Namun mata Yoga dipandangi oleh
Tamtama dengan sikap tidak bersahabat.
Yoga hanya tersenyum dan tetap ramah
kepada Tamtama. Lalu, pelan-pelan Tamtama memutar tubuhnya dan memunggungi Yoga.
Punggung yang tanpa baju itu terbuka
lebar di depan Yoga. Kemudian, dua jari tengah Yoga ditempelkan Ke punggung
tersebut. Kedua jari tengah Yoga itu
menyala biru lembut. Yoga memejamkan
matanya beberapa saat dengan tangan
sedikit gemetar. Kejap berikutnya nyala biru pada kedua jari tengah Yoga Itu
menjadi padam. Yoga pun menarik kembali kedua jarinya dan segera berkata,
"Moga-moga tak berapa
lama lagi keadaanmu pulih, Tamtama! Dan aku mohon pamit kepada kalian berdua!"
"Yo..."! Kau mau ke mana"!" Mahligai mulai bernada cemas.
"Aku harus pergi ke Gunung Menara Salju. Karena menurut keterangan bibimu,
berita terakhir yang diterimanya tentang Dewi Langit Perak dan burung Rajawali
Putihnya, terbang ke arah Gunung Menara Salju! Sekalipun hal itu terjadi lima
tahun yang lalu, tapi bibimu menyarankan agar aku mencarinya ke sana, menanyakan
kepada para penduduk yang tinggal di kaki gunung tersebut."
"Aku ikut!" sahut Mahligai.
"Bibi tidak akan mengizinkan kau ikut dengannya, Mahligai," kata Tamtama dengan
cepat dan dengan perasaan tak suka
terhadap usul Mahligai.
Pendekar Rajawali Merah pun berkata
dalam senyumnya, "Tak perlu ada yang ikut denganku" ini urusan pribadi yang tak bisa melibatkan orang lain
terlalu dalam, Mahligai! Kurasa kau tetaplah tinggal
bersama bibi gurumu di sini!"
'Tidak. Aku harus ikut! Kau belum
tahu betapa sulitnya menembus hutan
Gunung Menara Salju, Yo! Untuk menuju ke sana pun kau harus melewati ngarai yang
curam dan licin!"
"Aku bisa atasi semua itu! Justru kalau kau ikut, aku akan kerepotan
menjaga keselamatanmu!"
Yoga sengaja berkata begitu di depan
Tamtama, supaya Tamtama tahu bahwa Yoga tidak punya maksud merebut kekasih
Tamtama. Dan Tamtama melihat sendiri
wajah Mahligai menjadi cemberut dan
bersungut-sungut
Yoga bergegas keluar dari rumah
ketika melihat langkah Sendang Suci
pulang dari memburu pengintai gelap itu.
Di depan pintu Yoga berdiri dan Sendang Suci berkata pelan bagai berbisik,
"Tak kutemukan siapa pun di sana!"
"Lupakanlah, Bi! Yang penting
waspadalah terhadap hal-hal yang
sekiranya nanti terjadi. Dan, agaknya aku harus pamit sekarang juga, Bi!"
Sejenak Tabib Perawan yang belum
pernah mengagumi seorang lelaki untuk
yang kedua kalinya, kali ini memandang kagum lagi kepada Yoga. Menurutnya, wajah
itu lebih menawan dari wajah bekas
kekasihnya yang dulu mati dibunuh orang tak dikenal. Tabib Perawan bagaikan
memuaskan diri menikmati ketampanan dan pesona indah yang ada pada diri Pendekar
Rajawali Merah itu. Setelah merasa puas memandang, perempuan tersebut pun
berkata dengan pelan,
"Berangkatlah dan hati-hati di jalan!
Aku tak ingin mendengar berita tentang dirimu yang menemui celaka apa pun, Yo!"
"Kuperhatikan pesan Bibi itu!" jawab Yoga sambil tersenyum.
Mahligai segera muncul dari dalam
rumah dan berseru, "Yo, aku ikut
denganmu!"
"Jangan, Mahligai!" cegah bibinya.
"Aku hanya ingin mengantar dia sampai di ngarai saja!"
Tamtama keluar dari kamar, badannya
sedikit lemas tapi rasa sakitnya sudah
lenyap. Rupanya cara penyembuhan yang
dilakukan oleh Yoga tadi mempercepat
hilangnya rasa sakit dan memulihkan
kekuatannya, walau tak sepenuh
sebelumnya. Tamtama langsung berkata, "Mahligai, tak pantas seorang gadis memaksakan diri
mendampingi pemuda yang tidak mau
bersamanya!"
"Kau tidak berhak melarangku!" sergah Mahligai sambil berpaling ke belakang.
"Aku hanya mengingatkan kamu, supaya kamu punya harga diri di depan pemuda itu!"
"Dia lebih bisa menghargai diriku ketimbang kau, Tamtama!" debat Mahligai dengan
keras. Tamtama merasa jengkel dan menggerutu tak jelas.
Pusaka Rimba Hijau 3 Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan Karya Opa Pendekar Sakti 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama