Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga Bagian 2
yang pernah jaya pada puluhan tahun silam. Dan, Aji
Pamenak beserta ketiga ketua Partai Naga lainnya adalah keturunan pendekar besar
itu. Sementara, yang membangkitkan kekuatan
gaib Pusaka Pedang Naga tak lain Mahisa Lodra atau
Setan Selaksa Wajah. Si kakek bermaksud menyusun
pasukan untuk menggempur istana Mahespati. Dia
hendak menggulingkan takhta Prabu Wira Parameswara! (Agar lebih jelas, silakan
baca serial Pendekar Bodoh dalam episode : "Pengejaran ke Masa Silam").
Manakala mentari terlihat naik sejengkal dari
garis cakrawala, sekitar enam ratus anggota Partai Naga telah sampai di tempat
tujuan. Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati, dan Aji Rangsang tetap duduk di punggung kuda masingmasing. Tatapan mereka pun tetap tertuju lurus ke depan, diam seribu bahasa
pula. Ratusan pemuda anggota partai yang mereka pimpin tampak berdiri dengan
membentuk empat
kelompok. Mendadak, dari lereng bukit terdengar suara
tawa panjang bergelak. Disusul berkelebatnya sesosok
bayangan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, sosok bayangan itu mendarat
sigap di atas bongkah batu
besar, di hadapan Aji Pamenak dan ketiga saudaranya.
Orang yang baru datang itu berpakaian serba
merah. Berwajah tampan seperti seorang pemuda dua
puluh lima tahun. Namun sebenarnya, umurnya telah
lebih dari enam puluh tahun. Dia memang memiliki
Ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti', sehingga dia dapat mengubah raut wajahnya
sedemikian rupa sesuai
keinginan hati.
Ya, dia memang Mahisa Lodra atau Setan Selaksa Wajah!
Tangan kanan kakek bertubuh tegap itu mencekal sebatang pedang berukuran besar.
Hulu pedang berupa ukiran kepala naga sepanjang dua jengkal.
Dan, bilahnya berlekuk-lekuk seperti keris. Dilihat sekilas, pedang itu mirip
seekor naga yang tengah meliukkan tubuh. Pusaka Pedang Naga!
Melihat kedatangan Setan Selaksa Wajah, ratusan anggota Partai Naga langsung
kasak-kusuk. Sebagian menatap penuh kebencian. Agaknya, mereka telah
tahu siapa sebenarnya Setan Selaksa Wajah, yang
memang seorang tokoh licik yang biasa berbuat kejam.
Lebih terkejut dan heran pada pemuda itu saat
melihat Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati,
dan Aji Rangsang turun dari kuda masing-masing lalu
membungkuk hormat ke arah Setan Selaksa Wajah.
Akibatnya, semakin keras suara kasak-kusuk yang
terdengar. Namun, tak satu pun anggota partai yang
berani beranjak dari tempat berdirinya.
Sekitar dua puluh anggota partai yang datang
dengan menunggang kuda turut meloncat turun. Namun, mereka cuma berdiri di
belakang Aji Pamenak
dan ketiga saudaranya. Mereka tak berbuat apa-apa
kecuali menatap dengan sinar mata keheranan.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah.
"Kalian memang bisa diandalkan. Telah tiba saatnya
aku menunjukkan kekuasaan di depan mata Wira Parameswara! Ha ha ha... Ayo,
tunggu apa lagi"! Segera
perintahkan seluruh anggota partai kalian untuk menuju ke kotapraja!"
Sambil berkata, Setan Selaksa Wajah mengangkat bilah Pusaka Pedang Naga di atas
kepala. Terkena pengaruh kekuatan gaib pedang itu, Aji Pamenak
dan ketiga saudaranya membalikkan badan. Lalu dengan suara berat berwibawa,
mereka berteriak memerintah.
"Sekarang juga, ikuti aku ke kotapraja!"
Seluruh anggota Partai Naga yang rata-rata para pemuda berumur di bawah tiga
puluh tahun, semakin bertambah heran. Mereka tak segera menjalankan
perintah. Tetap berdiri di tempat masing-masing dengan tatapan tak mengerti.
Setan Selaksa Wajah mendengus gusar. Diangkatnya lagi bilah Pusaka Pedang Naga
di atas kepala.
"Ulangi perintah kalian!"
Teriakan keras Setan Selaksa Wajah itu membuat tubuh Aji Pamenak dan ketiga
saudaranya bergetar. Kepala mereka mengangguk-angguk lemah. Hampir bersamaan
mereka berkata, "Sekarang juga, ikuti
aku ke kotapraja!"
Perintah empat ketua Partai Naga itu terdengar
berat berwibawa. Sekitar enam ratus bawahan mereka
langsung menegakkan tubuh. Walau masih digeluti segudang tanda tanya, para
pemuda itu akhirnya bersiap-siap menjalankan perintah.
Aji Pamenak dan ketiga ketua Partai Naga lainnya meloncat lagi ke punggung kuda.
Namun sebelum mereka menghentak kendali kuda untuk meninggalkan
tempat, seorang pemuda berpakaian putih-kuning meloncat dari barisan.
"Tunggu...!" seru anggota Partai Naga Timur itu,
keras menggelegar.
Sementara anggota empat Partai Naga menjadi
kasak-kusuk lagi, pemuda bertubuh tinggi besar itu
menghampiri Aji Pamenak yang tengah duduk di pelana kuda. Setelah membungkuk
hormat, dia berkata,
"Tuan Aji Pamenak..., bukan saya hendak berani terhadap Tuan. Harap Tuan
berpikir dua kali jika hendak
membawa anggota partai ke kotapraja. Melihat kekuatan partai yang cukup besar
ini, orang-orang kerajaan
pasti mengira bila kita hendak memberontak...."
Kata-kata si pemuda disabuti tawa gelak Setan
Selaksa Wajah. "Ha ha ha...! Memang itulah yang menjadi tujuanku! Menggulingkan
takhta Wira Parameswara adalah cita-cita hidupku! Minggir kau!"
Kaget tiada terkira pemuda berpakaian putihkuning. Dengan sinar mata berapi-api,
ditatapnya Setan Selaksa Wajah.
"Tua bangka keparat! Walau kau dapat mengubah wajahmu sekehendak hati, aku tetap
dapat mengenalimu! Jahanam kau durjana licik! Melihat bentuk
pedang di tanganmu, aku menduga itulah Pusaka Pedang Naga. Kini aku tahu bila
empat ketua Partai Naga
berada dalam pengaruh kekuatan gaib pedang itu!"
"Ha ha ha...! Kalau sudah tahu, kau mau apa?"
tantang Setan Selaksa Wajah.
"Jahanam! Lepaskan pengaruh kekuatan gaib
itu! Serahkan pedang di tanganmu!"
"Kalau aku tidak mau?"
"Mati saja kau!"
Tiba-tiba, pemuda berpakaian putih-kuning
menghunus golok yang menggantung di pinggangnya.
Sambil menggembor keras, dia menerjang ganas ke
arah Setan Selaksa Wajah!
"Hiahhhh...!"
Tes...! Pelan saja Setan Selaksa Wajah menggerakkan
pedang pusaka di tangannya. Namun, akibatnya sungguh di luar dugaan pemuda
berpakaian putih-kuning.
Golok si pemuda yang hendak membabat pinggang
mendadak terpotong menjadi dua bagian! Padahal golok itu terbuat dari logam
pilihan yang amat keras!
"Ha ha ha...! Bagaimana, Anak Muda" Masihkah kau hendak melawanku?" ejek Setan
Selaksa Wajah. Pemuda berpakaian putih-kuning tak menjawab. Geram kemarahan keluar dari
mulutnya. Dia alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke tangan kanan. Kemudian, golok yang
tinggal setengah bagian
disambitkan! Zing...! Potongan golok itu meluncur cepat, mengeluarkan suara bergemuruh keras. Namun,
Setan Selaksa Wajah tak beranjak sedikit pun. Sambil tertawa bergelak-gelak, dia gerakkan
Pusaka Pedang Naga beberapa
kali.... Crash! Crash! Luar biasa. Bilah golok yang tinggal setengah
bagian tampak tercacah-cacah menjadi kepingan kecil,
yang segera jatuh menebar di permukaan tanah!
"Ha ha ha...!" tawa pongah Setan Selaksa Wajah. "Segeralah kembali ke barisanmu,
Anak Muda. Dan, ikuti perintah ketuamu!"
"Huh! Kalau aku kembali ke barisanku, sama
halnya dengan aku menuruti keinginan busukmu!" geram pemuda berpakaian putihkuning, menghalau rasa gentar di hatinya. "Untuk menyelamatkan nama
baik empat Partai Naga, aku akan mengadu nyawa
denganmu!"
Nekat sekali pemuda itu menerjang dengan
tangan kosong. Sepuluh jari tangannya yang teraliri
kekuatan tenaga dalam, meluncur deras. Yang kiri
bermaksud merebut Pusaka Pedang Naga, sedang yang
kanan digunakan untuk meremas hancur ulu hati Setan Selaksa Wajah!
Tapi.... Set! Set! Set! Pusaka Pedang Naga di tangan Setan Selaksa
Wajah bergerak membabat tiga kali. Gerakan pemuda
berpakaian putih-kuning tertahan di udara. Si pemuda
tak sempat menjerit manakala tubuhnya jatuh ke tanah dalam keadaan terpotong
menjadi empat bagian!
Tak ayal lagi, cairan darah segar memercik ke manamana!
"Kejam! Kau bunuh saudara kami! Aku menuntut balas!" teriak salah seorang
anggota Partai Naga
Timur yang berdiri di barisan paling depan.
Pemuda yang memegang tombak itu langsung
meloncat untuk menyerang Setan Selaksa Wajah. Beberapa temannya berbuat serupa,
menyerang dengan
senjata masing-masing. Agaknya, mereka hendak sabela pati atas kematian pemuda berpakaian putihkuning tadi.
"Aku berada di pihak kalian!" seru salah seorang anggota Partai Naga Barat.
Anak buah Aji Baguskara itu turut menerjang
Setan Selaksa Wajah bersama beberapa orang temannya. Melihat hal demikian,
anggota Partai Naga Selatan
dan Parta Naga Utara tak mau ketinggalan. Hingga,
sekitar dua puluh pemuda bersenjata tampak menyerang Setan Selaksa Wajah dalam
waktu hampir bersamaan.
Namun sebelum senjata-senjata mereka mengenai sasaran, Setan Selaksa Wajah telah
meloncat tangga ke belakang. Lalu sambil bersalto di udara, murid murtad Dewa Dungu itu
membabatkan Pusaka Pedang Naga dengan disertai aliran tenaga dalam!
Bet...! Wusss...! Seberkas sinar merah menggidikkan tiba-tiba
melesat dari bilah Pusaka Pedang Naga. Tanpa dapat
dibendung, sinar yang menebarkan hawa amat panas
itu menerpa tubuh pemuda-pemuda yang tengah menerjang Setan Selaksa Wajah!
Disertai pekik parau menyayat hati, tubuh mereka terhempas. Ketika jatuh ke
tanah, tubuh para
pemuda naas itu tinggal tulang-belulang yang mengepulkan asap merah berbau
sangit! Ratusan anggota Partai Naga terperangah dengan mata terbelelak lebar. Tanpa
sadar mereka tersurut mundur. Apa yang telah terjadi benar-benar membuat mereka
bergidik ngeri.
Namun, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya
yang masih duduk di pelana kuda cuma menatap tanpa arti. Kematian anak buah
mereka sama sekali tak
membuat terkejut.
"Kita berangkat sekarang!" seru Setan Selaksa
Wajah seraya melompat tinggi, dan hinggap di punggung kuda coklat.
Murid murtad Dewa Dungu itu menghentak
kendali kuda perlahan. Keempat kaki kuda segera melangkah. Aji Pamenak, Aji
Baguskara, Aji Kembarapati,
dan Aji Rangsang segera mengikuti. Empat orang keturunan Pendekar Naga itu
memberi isyarat tangan kepada seluruh anggota partai yang mereka pimpin untuk
segera mengikuti di belakang.
Tak seorang pun mengetahui manakala dari balik jajaran pohon melesat setitik
benda kecil yang nyaris tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda kecil
yang tak lain sebutir kelereng terbuat dari baja putih itu melesat cepat luar
biasa. Dan..., tepat menghantam bilah Pusaka Pedang Naga yang dipegang Setan
Selaksa Wajah! Ting...! "Heh"!"
Alangkah terkejutnya Setan Selaksa Wajah saat
pedang pusaka di tangannya terlepas dari cekalan lalu
terlontar tinggi ke udara. Pedang yang mengandung
tuah itu berputar-putar beberapa lama, lalu jatuh menancap di permukaan batu!
"Haram jadah!" maki Setan Selaksa Wajah seraya meloncat dari punggung kuda.
Tentu saja kakek berwajah pemuda itu bermaksud menyambar kembali Pusaka Pedang
Naga yang merupakan sarana untuk mempengaruhi jalan
pikiran empat ketua Partai Naga. Tapi sebelum maksud si kakek terlaksana, dari
balik jajaran pohon melesat lagi setitik benda kecil mengarah kepalanya!
Kali ini Setan Selaksa Wajah tahu akan adanya
bahaya. Cepat dia hentikan luncuran tubuhnya dengan mengibaskan ujung lengan
baju. Gelombang angin
yang timbul membuat tubuh si kakek tertahan di udara, sehingga senjata rahasia
yang mengincar kepalanya
lewat begitu saja, lalu membentur sebongkah batu.
Hebatnya, batu itu langsung meledak dan hancur berkeping-keping!
"Setan alas!" maki Setan Selaksa Wajah lagi
saat mendarat di tanah,
Sekitar empat tombak dari hadapan kakek itu
ternyata telah berdiri seorang lelaki berpakaian putihputih dengan ikat pinggang
kain biru. Kulitnya halus
seperti kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tubuh. Namun, wajahnya tak dapat
dikenali karena dia
mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih.
Dia Ksatria Topeng Putih! "Terpaksa aku bertindak demikian, Mahisa Lodra...,"
ujar lelaki bertubuh
tinggi tegap itu. "Aku melemparkan senjata rahasia
agar Pusaka Pedang Naga tak berada di tangan orang
jahat! Sekarang tiba saatnya pengaruh kekuatan gaib
pedang itu kulenyapkan!"
"Tidak...! Jangaaaan...!"
Setan Selaksa Wajah berteriak keras sekali. Dia
menerjang dengan mengirim pukulan maut ke arah
dada. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah melentingkan
tubuhnya. Sebelum kaki lelaki bertopeng itu mendarat di
tanah, tangan kanannya disorongkan ke arah Pusaka
Pedang Naga yang berdiri menancap di permukaan batu.
Wusss...! Splash...! "'Sinar Putih Pelenyap Sihir'...!" kesiap Setan
Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selaksa Wajah, melihat bilah Pusaka Pedang Naga tertimpa sinar putih berkilat
yang keluar dari telapak
tangan kanan Ksatria Topeng Putih.
Memuncaklah amarah Setan Selaksa Wajah.
Tanpa sadar murid murtad Dewa Dungu itu
mengeluarkan ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'-nya.
Hingga di lain kejap, wajah si kakek berubah menjadi
wajah aslinya, yaitu wajah kakek-kakek enam puluhan
tahun! Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis.
Ratusan anggota Partai Naga yang sempat melihat apa yang terjadi pada diri Setan
Selaksa Wajah tampak terperangah. Bola mata mereka melotot besar,
menatap tak berkedip sosok Setan Selaksa Wajah yang
telah berganti rupa. Walau mereka telah mendengar
kabar tentang kehebatan ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti' tapi apa yang baru
mereka lihat benar-benar
dapat mengundang keterkejutan.
Sementara, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya
yang masih duduk di pelana kuda, mengeluh pendek.
Tubuh empat keturunan Pendekar Naga itu bergetar.
Sesaat kemudian, mereka menoleh ke kanan dan ke
kiri seperti orang kebingungan.
"Apa yang terjadi?"
"Oh! Di mana aku?"
"Astaga! Untuk apa anak buahku berada di sini
semua?" "Ya, Tuhan. Tiga saudaraku berada di tempat
ini. Untuk apa" Apa yang telah terjadi?"
Begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Aji
Pamenak dan tiga ketua Partai Naga lainnya. Mereka
mengeluh dan mendesah seakan baru tersadar dari
mimpi buruk. Mengetahui empat ketua Partai Naga telah terbebas dari pengaruh kekuatan gaib Pusaka Pedang
Naga, semakin memuncak amarah Setan Selaksa Wajah. Sembari memekik nyaring, dia
hentakkan telapak
tangan kanannya ke depan. Selarik sinar biru berkeredapan tiba-tiba melesat
ganas ke arah Ksatria Topeng
Putih! Wusss...! Ringan saja Ksatria Topeng Putih melentingkan
tubuhnya ke samping kiri. Selarik sinar biru yang melesat dari telapak tangan
Setan Selaksa Wajah terus
meluncur, dan menerpa bilah Pusaka Pedang Naga!
Slash...! Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya
Ksatria Topeng Putih. Selarik sinar biru ciptaan Setan
Selaksa Wajah ternyata mampu menyedot bilah Pusaka Pedang Naga. Pedang pusaka
itu tercabut dari
bongkah batu. Setelah melesat beberapa saat, dengan
mudah Setan Selaksa Wajah menangkapnya!
"Tunggu pembalasanku!" ancam si kakek seraya berkelebat pergi. Bilah Pusaka
Pedang Naga dikembalikan ke sarungnya yang terselip di punggung.
Ksatria Topeng Putih yang telah terkecoh,
menghela napas panjang beberapa kali. "Tuan Aji Pamenak...," sebutnya kemudian.
"Tak ada waktu untuk
menjelaskan. Beri tahu kepada ketiga adik Tuan untuk
segera kembali ke tempat masing-masing. Apabila ada
orang kerajaan yang tahu seluruh anggota Partai Naga
berada di tempat ini, Tuan akan mendapat banyak kesulitan. Bergegaslah untuk
pergi. Jangan sampai Partai Naga dituduh punya niat melakukan pemberontakan."
Usia berkata, lelaki bertopeng itu menjejak tanah seraya berkelebat pergi.
Mengejar Setan Selaksa
Wajah! 6 LEMBAH Kebencian.... Diapit dua tebing cadas
tinggi menjulang, di situlah letak Lembah Kesucian.
Tanahnya tandus terseraki bongkah-bongkah batu besar. Berada ratusan tombak di
sebelah selatan Bukit
Pralambang. Setan Selaksa Wajah duduk bersila dengan mata terpejam rapat. Kain baju dan
anak-anak rambutnya berkibaran tertiup angin. Tak peduli pada sinar
mentari yang tengah terik memanggang. Wajah si kakek telah berubah lagi menjadi
wajah seorang pemuda
tampan. Bilah Pusaka Pedang Naga tampak berdiri tegak
menancap di tengah bongkah batu, di depan murid
murtad Dewa Dungu itu. Agaknya, Setan Selaksa Wajah tengah bersemadi untuk
membangkitkan kembali
kekuatan gaib Pusaka Pedang Naga.
Tanpa membuka kelopak mata, bibir Setan Selaksa Wajah menyungging senyum
manakala bilah Pusaka Pedang Naga memancarkan sinar merah berkilat.
Sinar itu menebarkan getaran aneh yang membuat burung-burung terbang ketakutan.
Dan, satwa-satwa lain
yang kebetulan berada di dekat situ pun terlihat berlarian dengan
memperdengarkan suara hiruk-pikuk. Mereka seakan tengah melihat sesuatu yang
amat menggiriskan.
Tak seberapa lama kemudian, Setan Selaksa
Wajah menyelesaikan semadinya. Sambil tertawa bergelak, hendak dicekalnya hulu
Pusaka Pedang Naga.
Tapi... Set...! Ting...! Mendadak, bilah Pusaka Pedang Naga terpental
jauh ke udara. Sebuah senjata rahasia berupa kelereng
baja putih telah menghantamnya. Kontan mata Setan
Selaksa Wajah menatap tak berkedip saat bilah Pusaka
Pedang Naga berputar-putar di atas bongkahan batu.
"Pedang itu harus jadi milikku!" seru si kakek
seraya bangkit dan berkelebat.
"Mengumbar angkara murka hanya akan membuat dirimu celaka, Mahisa Lodra!" sahut
sesosok bayangan yang tadi telah menyambitkan senjata rahasia.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali, memapaki luncuran tubuh Setan Selaksa
Wajah. Sehingga,
terpaksa Setan Selaksa Wajah mengurungkan niatnya
untuk menyambar bilah Pusaka Pedang Naga yang
masih melayang di udara. Karena, dada si kakek menjadi sasaran tendangan!
Wuttt...! "Haya...!"
Dengan melentingkan tubuh seraya bersalto
dua kali, Setan Selaksa Wajah berhasil mengelak.
Sosok bayangan yang tak lain Ksatria Topeng
Putih mendarat sigap di tanah. Dalam waktu hampir
bersamaan, Setan Selaksa Wajah juga mendaratkan
tubuhnya di tanah. Sementara Pusaka Pedang Naga
tampak menancap di tebing cadas. Sinar merah yang
memancar dari bilah pedang bertuah itu lenyap seketika saat Ksatria Topeng Putih
mengeluarkan ilmu 'Sinar
Putih Pelenyap Sihir'.
"Mahisa Lodra...," sebut Ksatria Topeng Putih
kemudian. "Sungguh aku amat menyesalkan perbuatanmu yang tak terpuji. Kau curi
Pusaka Pedang Naga
yang tersimpan di puncak Gunung Arjuna. Kau bangkitkan kekuatan gaib pedang itu.
Kau pengaruhi jalan
pikiran empat ketua Partai Naga. Kau bermaksud
menggulingkan takhta Mahespati. Kau benar-benar telah melenceng jauh, Mahisa
Lodra...."
"Jahanam!" dengus Setan Selaksa Wajah. "Tak
perlu banyak cakap di hadapanku. Aku bukan anak
kecil yang masih perlu dituntun dan diarahkan. Aku
tahu apa yang lebih baik kukerjakan. Aku tahu apa
yang harus kulakukan untuk mewujudkan cita-cita."
"Hmmm.... Sungguh kau manusia kepala batu,
Mahisa Lodra. Betapa banyak dosa yang telah kau
perbuat. Betapa banyak orang yang telah kau sengsarakan. Kalau cara halus tak
dapat menyadarkanmu,
apa boleh buat. Jika kekerasan yang menjadi keinginanmu, aku pun siap
melayani...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Kau berkata seakan kau telah berubah menjadi dewa perkasa. Kesombonganmu
membuat panas telingaku. Bolehlah kalau kau ingin mencoba kemampuanku!"
Menarik napas panjang Setan Selaksa Wajah.
Dia alirkan kekuatan tenaga dalam ke kedua tangannya sampai ke puncak. Di lain
kejap, pergelangan tangan kakek itu telah berubah warna menjadi biru dan
mengepulkan asap. Hawa panas menebar. Seranggaserangga kecil yang berada di
dekat kaki Setan Selaksa
Wajah langsung terbakar. Mati dengan tubuh berubah
jadi serbuk halus!
Ksatria Topeng Putih tersurut mundur karena
terhantam keterkejutan. "Aneh sekali!" ucapnya dalam
hati. "Aku tahu Mahisa Lodra mengeluarkan ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'. Tapi...,
beberapa waktu lalu
kehebatannya tidak sampai seperti itu. Hmmm.... Kalau begitu benar kata orang.
Jika seseorang menyimpan dendam dan rasa benci mendalam, dia akan mendapat kekuatan ganda bila berada di Lembah Kebencian. Hmmm.... Pantas Mahisa
Lodra memilih berdiam
diri di tempat ini...."
"He! Kenapa kau diam saja!" tegur Setan Selaksa Wajah, keras membentak. "Apa kau
tidak melihat bila aku telah bersiap sedia untuk mencabut nyawamu"! Berilah perlawanan hebat
agar aku bisa berpesta
pora melihat kematianmu! Ha ha ha...!"
"Sombong sekali kau, Mahisa Lodra...," sahut
Ksatria Topeng Putih, kalem. "Biasanya orang sombong
tak pernah dapat melihat batu yang akan menjegal
langkahnya. Kalau sudah jatuh, barulah dia menyadari
sifat buruknya. Dan, timbullah penyesalan. Tapi, apa
guna penyesalan yang hanya dapat datang di akhir
perbuatan" Lebih baik berpikir sebelum bertindak daripada terjerat rasa sesal
berkepanjangan."
"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah.
"Sudah kubilang, aku bukan anak kecil yang masih
perlu dituntun dan diarahkan. Nasihatmu itu hanya
pantas diberikan kepada orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya. Orang
demikian ibarat orang
buta yang tengah berjalan di bibir tebing terjal. Maka,
perlulah kau memberi nasihat dan petunjuk kepadanya. Tapi, sungguh tak perlu kau
mengumbar katakata di hadapanku! Aku tahu apa yang harus kukerjakan. Bersiaplah
untuk mati karena kematianmu adalah bagian dari cita-citaku!"
Usai berkata, murid murtad Dewi Dungu itu
menerjang. Kedua tangannya yang berwarna biru berkelebat cepat. Satu mengarah ke
dada, satunya lagi
mengarah ke kepala!
"Hiahhh...!"
Pukulan Setan Selaksa Wajah kurang dua tombak untuk mengenai sasaran, tapi
Ksatria Topeng Putih merasakan tubuhnya bagai digodok di tungku
pembakaran. Maka, cepat dia kerahkan tenaga dalam
untuk membentengi tubuhnya. Lalu, bergegas dia meloncat jauh ke samping kanan,
sehingga kedua pukulan beruntun Setan Selaksa Wajah hanya mengenai
angin kosong. Namun, mendelik mata Ksatria Topeng Putih
ketika melihat tubuh Setan Selaksa Wajah terus meluncur. Si kakek bermaksud
menyambar bilah Pusaka
Pedang Naga yang masih menancap di tebing cadas!
"Orang buta pun tak akan terperosok di lubang
yang sama!" seru Ksatria Topeng Putih.
Cepat sekali lelaki berpakaian putih-putih itu
menyambitkan dua kelereng baja. Disertai suara bersiut keras, dua senjata
rahasia berwarna putih itu melesat sebat, melebihi luncuran anak panah tepas
dari busur! Zit...! Zit...! Akan tetapi, Setan Selaksa Wajah tak mau
mengurungkan niatnya walau pelipis dan pinggang kirinya menjadi sasaran serangan
maut. Tubuh si kakek
meluncur dengan tangan kanan siap menyambar hulu
Pusaka Pedang Naga!
Ksatria Topeng Putih mendelikkan mata lagi.
Dia seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Kalau Setan Selaksa Wajah benar-benar tak mengelak,
dapat dipastikan bila kematian akan segera menjemputnya. Kenapa begitu mudah
membinasakan durjana
licik itu"
Ternyata, dugaan Ksatria Topeng Putih meleset.
Setan Selaksa Wajah bukan tidak tahu kalau malaikat
kematian tengah mengincar nyawanya. Saat dua senjata rahasia hampir mengenai
sasaran, si kakek mengibaskan telapak tangan kirinya!
Wusss...! Seberkas sinar biru yang melesat dari telapak
tangan Setan Selaksa Wajah mampu menahan luncuran senjata rahasia Ksatria Topeng
Putih. Luar biasa
sekali ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' murid murtad
Dewa Dungu itu. Dua kelereng baja yang telah terkurung sinar biru tiba-tiba
meleleh menjadi cairan kental
yang segera menetes jatuh ke tanah berbatu!
Ketika Ksatria Topeng Putih berdiri terpaku,
tangan kanan Setan Selaksa Wajah berhasil menyambar hulu Pusaka Pedang Naga!
"Ha ha ha...!" tertawa pongah Setan Selaksa
Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga.
"Rupanya, kau masih berjiwa anak-anak, Lelaki Bertopeng! Kau lempar aku dengan
kelereng. Apakah kau
menganggapku sebagai teman sepermainanmu?"
Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih mendengar ejekan Setan Selaksa Wajah. Tahu
kehebatan lawan yang telah membawa sebuah pedang pusaka, lelaki bertubuh tinggi
tegap itu tak mau bertindak gegabah. Ditariknya napas panjang seraya mengalirkan
kekuatan tenaga dalam ke kedua tangannya.
Tak ada perubahan yang terjadi pada kulit tangan Ksatria Topeng Putih. Tapi,
hawa yang amat dingin
tiba-tiba menebar. Perlahan, bongkah-bongkah batu di
sekitar Ksatria Topeng Putih mulai terlapisi gumpalan
salju bening! "Ilmu 'Dewa Kutub'...," desis Setan Selaksa Wajah.
Terperangah kakek berwajah pemuda itu. Ilmu
'Dewa Kutub' yang diperlihatkan Ksatria Topeng Putih
adalah sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh
Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raja Mahespati beserta keturunannya.
Menurut cerita para tetua, raja Mahespati yang
pertama, Prabu Darma Sindukarma pernah bertempur
melawan sekelompok ikan siluman yang bermaksud
menghalangi Darma Sindukarma mendirikan kerajaan.
Karena ikan-ikan siluman itu memiliki kesaktian hebat
luar biasa, terpaksa Darma Sindukarma membekukan
sebuah selat yang terletak di ujung timur Pulau Jawa,
yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan siluman, Darma
Sindukarma membekukan air di selat itu dengan
menggunakan Ilmu pukulan 'Dewa Kutub'.
Kalau cerita itu benar, sungguh tak bisa digambarkan lagi betapa hebatnya ilmu
pukulan itu! "Hmmm ... Kini aku bertambah yakin," ujar Setan Selaksa Wajah, menekan debardebar di hatinya.
"Ilmu pukulan 'Dewa Kutub' hanya dimiliki anak keturunan Prabu Darma Sindukarma.
Karena kau dapat
menguasai ilmu itu, aku jadi semakin yakin bila kau
memang Darma Pasulangit, putra Darma Sagotra, raja
yang telah digulingkan oleh Wira Parameswara!"
Ksatria Topeng Putih diam. Tak membenarkan
maupun menyalahkan keyakinan Setan Selaksa Wajah.
"Aku telah bersiap sedia untuk meladeni gempuranmu, Mahisa Lodra," ujar lelaki
bertopeng itu kemudian. "Kenapa ganti kau yang menjadi banyak cakap?"
Tertawa bergelak lagi Setan Selaksa Wajah. "Ha
ha ha...! Rupanya, kau sangat yakin akan dapat membunuhku, Lelaki Bertopeng!
Kita lihat saja, siapa yang
lebih unggul di antara kita!"
Murid murtad Dewa Dungu itu menerjang ganas. Bilah Pusaka Pedang Naga ditangan
kanannya berkelebat cepat, mengincar jalan kematian di tubuh
Ksatria Topeng Putih. Sementara, tangan kirinya yang
masih berwarna biru turut menyerang tak kalah berbahaya. Hawa panas yang muncul
dari pengerahan ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' berusaha mengurung
dan menghancurkan tubuh Ksatria Topeng Putih.
Tentu saja Ksatria Topeng Putih tak mau tinggal diam. Sambil menghindari tusukan
ataupun babatan bilah Pusaka Pedang Naga, dia memberikan perlawanan hebat. Dan
setiap tangan lelaki bertopeng itu
bergerak, hawa dingin selalu menebar. Hingga perlahan namun pasti, Lembah
Kebencian mulai tertutup
oleh gumpalan salju bening!
*** 7 SANG baskara telah jauh bergeser ke garis cakrawala barat. Cukup lama putaran
waktu berlalu, namun pertempuran antara Ksatria Topeng Putih dan
Setan Selaksa Wajah belum ada tanda-tanda akan segera berakhir.
Kedua tebing cadas yang mengapit Lembah Kebencian nyaris berubah menjadi bukit
es, karena tertutup lapisan salju bening yang keluar dari penerapan
ilmu pukulan 'Dewa Kutub' Ksatria Topeng Putih. Hawa di tempat itu benar-benar
amat dingin luar biasa.
Tak ada binatang yang berani mendekat. Takut tubuhnya akan membeku!
Namun setiap kali Setan Selaksa Wajah melancarkan pukulan jarak jauh, sinar biru
yang melesat dari telapak tangan kiri si kakek mampu menghancurkan gumpalan-gumpalan salju.
Tusukan dan babatan
Pusaka Pedang Naga pun menebarkan hawa panas.
Sehingga, gumpalan salju banyak yang runtuh dari
permukaan tebing cadas.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama.
Kedua tangan Ksatria Topeng Putih yang dilambari ilmu pukulan 'Dewa Kutub' dapat
menciptakan gumpalan salju lebih tebal. Akibatnya, semakin lama Lembah
Kebencian diliputi hawa dingin bagai berada di kutub
bumi! Lembah Kebencian adalah sebuah tempat aneh
yang dapat melipatgandakan kekuatan seseorang apabila orang itu mempunyai dendam
dan rasa benci mendalam. Dari situlah Setan Selaksa Wajah mendapat keuntungan. Andai kekuatan
tenaga dalamnya tidak bertambah, dapat dipastikan bila si kakek tak
akan berdaya menghadapi kedahsyatan ilmu pukulan
'Dewa Kutub' yang memang amat luar biasa.
Agaknya, hal itu disadari benar oleh Ksatria
Topeng Putih. Keuntungan Setan Selaksa Wajah tidak
bertahan lama manakala Ksatria Topeng Putih mengeluarkan ilmu 'Sihir Penutup
Raga'. Dengan ilmu sihir
itu, Ksatria Topeng Putih dapat menipu pandangan Setan Selaksa Wajah. Sehingga,
Setan Selaksa Wajah jadi
kebingungan saat sosok Ksatria Topeng Putih menghilang dari pandangannya!
"Jahanam!" geram si kakek, mengedarkan pandangan. "Aku bukan anak kecil yang
suka diajak main
kucing-kucingan! Segera tampakkan batang hidungmu, Bangsat!"
"Jangan salah mengerti, Mahisa Lodra...," sahut
Ksatria Topeng Putih, tanpa menampakkan wujudnya.
"Aku bukan sedang main kucing-kucingan. Bukankah
kau ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu kesaktianku" Kini tibalah saatnya kau
membuka mata lebarlebar...."
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Telinga
si kakek yang tajam mendengar suara berkesiur menuju ke arahnya. Walau suara itu
tanpa wujud, si kakek
tahu bila ada bahaya yang tengah mengancamnya.
"Keparat!"
Setan Selaksa Wajah menggeram marah seraya
membuang tubuhnya jauh-jauh ke samping kiri. Sebuah tendangan tak kasat mata
berhasil dielakkan.
Tapi.... Duk...! "Uh...!"
Tak dapat lagi Setan Selaksa Wajah berkelit
saat siku kanannya menjadi sasaran pukulan. Mulut si
kakek pun tak kuasa lagi menahan keluhan.
Pukulan yang dilancarkan Ksatria Topeng Putih
yang masih menerapkan ilmu 'Sihir Penutup Raga' itu
cukup keras. Membuat tulang lengan Setan Selaksa
Wajah terasa remuk dan lumpuh. Hingga, Pusaka Pedang Naga terlepas dari cekalan.
Sebelum pedang bertuah itu jatuh ke tanah,
terdengar suara berkesiur lagi. Tiba-tiba, bilah Pusaka
Pedang Naga terangkat di udara.
Dan..., mendengus gusarlah Setan Selaksa Wajah. Sekitar lima tombak dari
hadapannya, ternyata
Ksatria Topeng Putih telah berdiri tegak dengan mencekal erat Pusaka Pedang
Naga. "Pusaka Pedang Naga bukan milikmu, Mahisa
Lodra...," ujar Ksatria Topeng Putih, tenang berwibawa.
"Pedang pusaka ini harus segera dikembalikan ke
asalnya. Tapi, aku masih punya sedikit urusan denganmu. Kau telah banyak
menyusahkan orang. Kau telah banyak berbuat kejahatan. Berdosa aku bila tidak
menjatuhkan hukuman...."
"Setan alas!" sahut Setan Selaksa Wajah sambil
menghalau rasa sakit di lengan kanannya. "Kau pikir
mudah untuk melaksanakan niatmu itu! Hmmm....
Jangan panggil aku Setan Selaksa Wajah kalau aku tidak mampu menanggalkan
kepalamu!"
Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih. Lalu katanya, "Hati dan pikiran orang yang
sudah dikuasai nafsu setan sering kali tak dapat dipulihkan lagi. Kesadaran datang manakala
kematian sudah di pelupuk
mata. Apa boleh buat. Bila kau tak dapat menyadari
kesalahanmu, mungkin hanya kematianlah yang dapat
menghentikan keangkaramurkaanmu, Mahisa Lodra."
"Ha ha ha."!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Walau Pusaka Pedang Naga telah berada di
tanganmu, walau kau memiliki ilmu pukulan yang teramat dahsyat, jangan kira
mudah membunuhku! Seribu setan yang menghuni Lembah Kebencian ini akan
membantuku untuk meremukkan kepalamu! Lihat
baik-baik, Lelaki Bangsat...!"
Dengan menarik napas panjang beberapa kali,
Setan Selaksa Wajah menghimpun seluruh kekuatan
tenaga dalamnya. Tampak kemudian, urat-urat di kedua lengan si kakek menggembung
besar. Kulit lengannya memancarkan sinar biru yang lebih terang.
Agaknya, Setan Selaksa Wajah tengah mempersiapkan
ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'-nya pada tingkatan tertinggi!
Ksatria Topeng Putih mundur selangkah. Setelah menancapkan Pusaka Pedang Naga di
bongkah batu, dia berjongkok seraya menarik kedua pergelangan
tangannya sejajar pinggang. Lelaki bertopeng itu pun
mempersiapkan ilmu pukulannya yang terhebat, ilmu
'Dewa Kutub'! Setan Selaksa Wajah yang sudah tahu kekuatan tenaga dalamnya bertambah. tak
gentar sedikit pun untuk mengadu ilmu pukulan. Ditatapnya sosok
Ksatria Topeng Putih dengan sinar mata berapi-api penuh kebencian.
Dan manakala Setan Selaksa Wajah dan Ksatria Topeng Putih sama-sama
menghentakkan kedua
telapak tangannya, segera terlihat pemandangan yang
amat menggiriskan. Dua larik sinar biru berkilat bentrok dengan dua larik sinar
putih bening. Wusss...! Blammm...! Timbul ledakan keras menggelegar. Dua tebing
cadas yang mengapit Lembah Kebencian langsung runtuh. Tak dapat dicegah lagi,
bongkah-bongkah batu
bercampur gumpalan tanah berhamburan ke angkasa.
Bumi berguncang keras seperti terjadi gempa hebat!
Saat pandangan kembali terang, dapat dilihat
bila di sana-sini permukaan tanah diseraki gumpalan
salju bening. Di sebagian tempat, permukaan tanah dilapisi lidah-lidah api
berwarna biru. Anehnya, walau akibat yang ditimbulkan oleh
bentrokan dua ilmu pukulan itu sedemikian dahsyat,
Pusaka Pedang Naga masih tetap menancap di bongkahan batu. Pedang bertuah itu
tetap berada di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun!
Sementara, keadaan di sekitar Pusaka Pedang
Naga juga tak berubah sama sekali. Bongkah-bongkah
batu tetap berada di tempatnya, tanpa ada yang bergeser ataupun berpindah
tempat! Hal demikian terjadi
karena Pusaka Pedang Naga memang memiliki kekuatan gaib yang hebat luar biasa.
Ketika terjadi ledakan tadi, tubuh Ksatria Topeng Putih dan Setan Selaksa Wajah
sama-sama terpental jauh, lalu jatuh terbanting di atas tanah berbatu-batu.
Mereka pun sama-sama memuntahkan darah
segar. Dengan wajah pucat-pasi, bergegas mereka
bangkit berdiri.
Kedua lelaki yang telah menderita luka dalam
itu tak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Manakala melihat Pusaka Pedang
Naga yang berdiri menancap di bongkahan batu, tanpa pikir panjang mereka
mengempos tenaga. Hingga, terjadilah usaha mengadu
kecepatan untuk saling mendahului menyambar Pusaka Pedang Naga!
Tapi, tampaknya luka dalam yang diderita Setan Selaksa Wajah lebih parah.
Kelebatan tubuh si kakek terlihat lebih lambat. Sehingga, adu kecepatan itu
dimenangkan oleh Ksatria Topeng Putih!
Pusaka Pedang Naga berhasil disambar oleh si
lelaki bertopeng. Membuat darah Setan Selaksa Wajah
menggelegak naik sampai ke ubun-ubun.
"Haram jadah!" geram Setan Selaksa Wajah.
Tanpa menghentikan luncuran tubuhnya, murid murtad Dewa Dungu itu melancarkan
serangan beruntun. Kedua tangan dan kakinya bergerak cepat, berusaha
menyarangkan pukulan maupun tendangan
maut. Dan sewaktu Ksatria Topeng Putih berkelit, dia
keluarkan ilmu mengolah racun dalam perut bernama
'Racun Pembunuh Naga'!
"Mati kau...!"
Sambil berseru demikian, mulut Setan Selaksa
Wajah menyemburkan serangkum angin berwarna hijau gelap!
Jangan dikira 'Racun Pembunuh Naga' tidak
berbahaya. Jika seseorang menghirup udara beracun
yang berasal dari dalam perut Setan Selaksa Wajah, tidak sampai tiga tarikan
napas kemudian, jiwa orang
itu pasti melayang dijemput maut dengan tubuh lebam-lebam dan paru-paru pecah!
Namun, Ksatria Topeng Putih tetap dapat bersikap tenang. Dia tahu kehebatan
'Racun Pembunuh
Naga'. Dia juga tahu kehebatan Pusaka Pedang Naga
yang berada di tangan kanannya. Selain mempunyai
kekuatan gaib hebat, Pusaka Pedang Naga mampu
menawarkan segala macam jenis racun. Oleh karenanya, untuk meredam serangan
Pusaka Pedang Naga,
Ksatria Topeng Putih cukup membabatkan bilah Pusaka Pedang Naga dua kali!
Bet...! Bet...! Babatan bilah Pusaka Pedang Naga yang dialiri
kekuatan tenaga dalam menciptakan serangkum angin
pukulan berwarna merah. Udara beracun yang menyembur dari mulut Setan Selaksa
Wajah langsung lenyap tertelan serangkum angin pukulan itu!
"Mahisa Lodra...," seru Ksatria Topeng Putih.
"Kita telah sama-sama terluka dalam. Tapi, aku tahu
luka dalammu lebih parah. Jika pertempuran ini diteruskan, tidakkah terpikir
olehmu bila kau akan jatuh
terkapar meregang nyawa" Apalagi, Pusaka Pedang
Naga berada di tanganku.... Namun, aku masih mau
memberimu kesempatan. Bukalah akal dan pikiranmu
yang telah tertutup nafsu setan. Kejahatan tak akan
pernah mendatangkan kebahagiaan. Satu tindak kejahatan cenderung mengundang
kejahatan lainnya.
Hanya kesadaran untuk bertobatlah yang dapat mengikisnya."
Setan Selaksa Wajah yang berada dalam keadaan tak menguntungkan, masih bisa
menunjukkan sifat sombong dan congkak. Setelah menarik napas
panjang untuk menghalau rasa sesak di dadanya, si
kakek tertawa bergelak-gelak. Tak peduli pada keadaan dirinya yang benar-benar
sudah tidak menguntungkan lagi. "Ha ha ha...! Sama seperti aku, kau juga punya
dua telinga, Lelaki Keparat! Tapi, kenapa kau tak dapat
mendengar kata-kataku" Sudah dua kali kubilang, aku
bukan anak kecil yang masih perlu dituntun dan diarahkan! Kalau ingin berkotbah,
kau bukan berada di
hadapan orang yang tepat! Aku tahu diriku sendiri.
Aku tahu jalan pikiranku sendiri. Aku pun tahu apa
yang harus kukerjakan!"
Di ujung kalimatnya, mendadak Setan Selaksa
Wajah meloncat sebat. Kedua tangannya yang dilambari ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma' bergerak cepat untuk menjatuhkan pukulan!
"Dasar kepala batu!" seru Ksatria Topeng Putih
Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seraya berkelit.
Pertempuran seru berlangsung kembali.
Namun, kali ini Ksatria Topeng Putih jelas berada di atas angin. Tusukan ataupun
babatan Pusaka Pedang Naga dapat mengurung tubuh Setan Selaksa
Wajah. Ke mana pun si kakek pergi, ketajaman pedang
bertuah itu selalu mengejarnya!
"Jahanam!" geram Setan Selaksa Wajah. "Semoga geledek menghancurkan tubuhmu,
Keparat!" Sambil memaki-maki tiada henti, murid murtad
Dewa Dungu itu berjuang keras untuk dapat menjatuhkan pukulan maupun tendangan.
Namun, lagi-lagi
ketajaman Pusaka Pedang Naga senantiasa dapat
membatasi ruang gerak si kakek.
Hingga tampak kemudian, bilah Pusaka Pedang
Naga meluncur cepat sekali hendak menusuk ulu hati
Setan Selaksa Wajah. Sambil menggembor marah, si
kakek membuang tubuhnya ke samping kanan seraya
memutar tubuh untuk melancarkan tendangan. Tapi....
Des...! "Argh...!"
Ksatria Topeng Putih dapat membaca gerakan
kakek berwajah pemuda itu. Sebelum tendangan si
kakek mengenai dadanya, dia telah meloncat ke atas.
Dan, sebuah tendangan menyilang tepat menerpa
punggung Setan Selaksa Wajah!
Namun, Setan Selaksa Wajah tak mau membiarkan tubuhnya rebah di tanah terlalu
lama. Cepat dia bangkit seraya menyerang lagi. Akan tetapi, tenaganya sudah terkuras.
Serangan si kakek teramat mudah untuk dibaca. Kenekatannya justru membuat
tubuhnya jatuh terbanting-banting. Pukulan Ksatria Topeng Putih berkali-kali
menggedor isi dada si kakek.
"Haram jadah! Setan atas kau, Lelaki Keparat!"
Mulut Setan Selaksa Wajah terus memaki. Dia
bangkit lagi. Menyerang lagi. Namun, tubuhnya malah
menjadi bulan-bulanan Ksatria Topeng Putih.
"Kesabaran manusia ada batasnya. Jika kejahatan tak bisa dibalas dengan
kebaikan, jalan berdarah akan menyelesaikannya!"
Ksatria Topeng Putih merasa amat jengkel dan
kesal bukan main. Saat melihat Setan Selaksa Wajah
menyerang kalap, lelaki bertopeng itu melancarkan
tendangan amat keras, tertuju tepat ke ulu hati!
Desss...! "Wuahhh...!"
Kali ini Setan Selaksa Wajah memekik parau
amat panjang. Tubuhnya jatuh berdebam. Cairan darah segera kembali menyembur
dari mulutnya! "Ja... jahanam kau..,!"
Setan Selaksa Wajah masih mengumpat juga.
Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya malah jatuh berguling-guling....
8 MELIHAT keadaan sekarang ini, kupikir cukuplah aku memberi hukuman. Apa yang
telah terjadi, kuharap dapat kau jadikan pelajaran. Kejahatan hanya
mendatangkan kebahagiaan semu. Kejahatan hanya
akan mendatangkan kesengsaraan...." ujar Ksatria Topeng Putih dengan lembut
namun terkesan berwibawa,
"Karena aku harus segera mengembalikan Pusaka Pedang Naga ke tempat
penyimpanannya, berikan sarung
pedang yang kau sandang di punggungmu itu."
Setan Selaksa Wajah menatap tak berkedip sosok lelaki bertopeng. Perlahan, si
kakek berusaha menegakkan punggung untuk dapat duduk bersila. Wajahnya amat
pucat. Tarikan napasnya pun terdengar
memburu. "Ksatria Topeng Putih...," sebut kakek berpakaian serba merah itu. "Sudah
menjadi keyakinan hidupku, aku tak sudi meminta belas kasihan orang.
Aku pun tak sudi memohon ampunan orang. Ksatria
Topeng Putih..., kalau kau ingin membunuhku, aku
akan bangga dan senang hati menerima kematian di
tangan seorang pendekar budiman sepertimu...."
Menggeleng Ksatria Topeng Putih. "Apa guna
membunuh orang yang sudah tak berdaya" Bila orang
dapat menyadari kesalahannya, kenapa tidak diberi
kesempatan?" katanya. "Hidup ini menyimpan banyak
persoalan. Tapi kukira, persoalan yang paling sulit
adalah usaha mengalahkan hawa nafsu. Namun jika
seseorang punya bekal kesadaran atas kodratnya sebagai manusia lemah, orang itu
akan dapat selalu bersikap dan bertindak hati-hati. Nafsu bisa memperbudak.
Nafsu juga bisa menjadi teman yang baik. Memang, manusia hidup tak bisa melepaskan diri dari
adanya nafsu. Dengan mengingat kebesaran Tuhan
adalah satu jalan terbaik untuk mengendalikan nafsu
itu...." "Terima kasih, Ksatria Topeng Putih...," sahut
Setan Selaksa Wajah. "Nasihatmu sungguh bisa menyinari kegelapan dalam akal
pikiranku. Akan kuingat
baik-baik dan tak akan pernah kulupakan...."
"Syukur bila kau dapat menyadarinya. Walau
penyesalan selalu datang terlambat, tapi itu lebih baik
daripada tidak sama sekali.... aku tidak bisa terlalu
lama berada di tempat ini, Mahisa Lodra. Segera serahkan sarung Pusaka Pedang
Naga...." Begitu selesai Ksatria Topeng Putih berkata, Setan Selaksa Wajah melepas tali
yang mengikat sarung
Pusaka Pedang Naga di punggungnya. Tapi..., siapa
sangka kalau murid murtad Dewa Dungu itu telah merencanakan siasat licik"
Ksatria Topeng Putih menyangka Setan Selaksa
Wajah benar-benar telah menyesali dan menyadari kesalahannya. Dia jadi lengah!
Dia tidak tahu bahaya besar tengah mengancam jiwanya ketika...
"Terimalah sarung pedang ini. Semoga keberuntungan selalu bersamamu...."
Setan Selaksa Wajah menyodorkan sarung Pusaka Pedang Naga. Ksatria Topeng Putih
menerimanya tanpa menaruh curiga sedikit pun. Padahal, sambil
mencekal sarung Pusaka Pedang Naga, jemari tangan
Setan Selaksa Wajah juga menggenggam puluhan jarum beracun!
"Mudah-mudahan kebaikan selalu menerangi
jalan hidupmu selanjutnya, Mahisa Lodra...," sambut
Ksatria Topeng Putih.
Dan..., begitu lelaki bertopeng itu menerima sarung Pusaka Pedang Naga. Setan Selaksa Wajah menggembor keras sekali. Tangan
kanan si kakek tersorong
ke depan dengan jari-jari terbuka!
Srattt...! Terkejut bukan alang-kepalang Ksatria Topeng
Putih melihat puluhan jarum biru menyembur ke
arahnya. Cepat dia kibaskan Pusaka Pedang Naga dan
sarungnya untuk menghalau jarum-jarum yang menyerbu bagai air bah itu!
Bet...! Bet...! Serangkum angin pukulan yang dibuat Ksatria
Topeng Putih memang berhasil merontokkan jarumjarum yang dilontarkan Setan
Selaksa Wajah. Tapi, tidak semuanya! Ada beberapa batang yang lolos!
"Ih...!"
Menjerit kecil Ksatria Topeng Putih. Kedua bahu dan dada lelaki bertubuh tinggi
tegak itu tertancapi
beberapa batang jarum beracun!
"Ya, Tuhan.... Kau... kau...! Sungguh tak kusangka...," desis si lelaki
bertopeng dengan mata terbeliak lebar.
Terpaksa Ksatria Topeng Putih menjatuhkan
Pusaka Pedang Naga dan sarungnya ke tanah. Bergegas dia menggerakkan kedua
telunjuk jari tangannya
bergantian guna menotok bagian-bagian tertentu di
tubuhnya, agar racun tidak menjalar ke jantung.
Dan... pada saat itulah, Setan Selaksa Wajah
menyambar bilah Pusaka Pedang Naga. Lalu, kejadian
yang berlangsung cepat sekali. Tahu-tahu Ksatria Topeng Putih tampak tersurut
mundur beberapa langkah.
Tubuh lelaki bertopeng itu bermandi darah. Pusaka Pedang Naga telah membabat
pinggang kiri dan
menusuk tembus dada kanannya!
"Ya, Tuhan...," sebut Ksatria Topeng Putih lagi.
"Kau... kau sungguh amat licik, Mahisa Lodra...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga
yang telah berlumuran darah. "Untuk mewujudkan cita-cita, apa pun cara harus
dilakukan. Seorang penguasa yang tampak arif bijaksana pun jangan dikira tak
pernah berlaku licik. Apalagi, aku! Ha ha ha...! Seribu
kelicikan, sejuta tipu muslihat pasti kugunakan kalau
memang dengan cara itu aku akan dapat mewujudkan
cita-cita! Ha ha ha...!"
Seperti seorang anak yang baru mendapat mainan idamannya, Setan Selaksa Wajah
tertawa gembira
melihat Ksatria Topeng Putih jatuh terduduk tanpa
daya. Si kakek yang telah hilang sifat kemanusiaannya
mengangkat bilah Pusaka Pedang Naga tinggi-tinggi,
siap memenggal maupun membelah kepala Ksatria Topeng Putih!
"Kematian akan terlihat sangat indah bila kau
mengikhlaskan nyawamu..." ujar si kakek. "Dengan
tubuh terluka parah seperti itu, aku tahu kau terserang rasa sakit hebat. Oleh
karenanya, aku akan
mempercepat kematianmu, agar kau segera terbebas
dari siksaan. Bersiap-siaplah...!"
Terbelalak mata Ksatria Topeng Putih. Walau
dia bukan orang yang takut mati, tapi melihat ketajaman Pusaka Pedang Naga yang
siap mencabut nyawanya, hati Ksatria Topeng Putih berdebar juga.
"Ya, Tuhan...," sekali lagi Ksatria Topeng Putih
menyebut nama Sang Penguasa Tunggal. "Aku telah
berbuat di jalan-Mu. Aku masih ingin berjumpa dengan putra ku. Dapatkah kau
memperpanjang usiaku
beberapa saat lagi...?"
Lelaki bertopeng itu menyampaikan harapan terakhirnya dengan khusuk. Dengan mata
terpejam rapat, bibirnya bergetar mengucap doa. Sementara, Setan Selaksa Wajah
menatap dengan sinar berbinar penuh kemenangan. Lalu..., si kakek menarik napas
panjang seraya membabatkan bilah Pusaka Pedang Naga
di tangannya! Zing...! Namun sebelum nyawa Ksatria Topeng Putih
melayang dijemput malaikat kematian, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari
balik bongkahan batu
besar. Kelebatan bayangan itu amat cepat luar biasa,
melebihi luncuran anak panah lepas dari busur!
Trang...! "Uh...!"
Memekik Setan Selaksa Wajah. Babatan Pusaka Pedang Naga membentur suatu benda
yang amat keras. Bilah pedang bertuah itu langsung bergetar
kencang. Akibatnya, rasa sakit menjalar dari telapak
tangan kanan si kakek yang mencekal hulu pedang.
Untung cekalannya tidak terlepas sehingga Pusaka Pedang Naga tidak terlontar.
"Bangsat...?" geram Setan Selaksa Wajah dengan segudang kemarahan.
Tubuh Ksatria Topeng Putih ternyata telah berpindah tempat karena disambar
seorang pemuda remaja berpakaian biru-biru. Pemuda itu berparas tampan, sinar
matanya menyiratkan sifat yang amat lugu.
Sementara, di tangan kanan si pemuda tercekal sebuah tongkat pendek berwarna
putih. Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! Dengan Tongkat Dewa Badai-nya, Seno telah
menangkis babatan Pusaka Pedang Naga. Karena Tongkat Dewa
Badai adalah sebuah senjata mustika, tongkat sepanjang dua jengkal itu tak sampai rusak ataupun terbabat putus.
"Keparat!" geram Setan Selaksa Wajah lagi. "Untuk apa kau datang ke sini, Bocah
Gemblung"!"
"Hmmm.... Apa kau lupa bila di antara kita masih ada urusan yang belum
terselesaikan?" sahut Seno, mencibir. "Sekali lagi ku ingatkan, kau punya dosa
yang teramat besar. Kau curi dua bagian Kitab Sanggalangit, lalu kau buat lumpuh
sepasang kaki gurumu
sendiri. Hmmm... Aku punya kuasa untuk menjatuhkan hukuman kepadamu, Mahisa
Lodra.... Melihat
keadaanmu yang tidak begitu menguntungkan, kuberi
kau kesempatan untuk menyerangku sampai tiga jurus. Aku tak akan melawan. Tapi
setelah itu, kau harus siap menerima hukuman!"
"Seno.... Seno...," desis Ksatria Topeng Putih
yang terbaring lemah di dekat kaki Pendekar Bodoh.
"Diamlah!" bentak Seno tiba-tiba. "Aku datang
bukan untuk menolongmu! Setelah kuselesaikan urusanku dengan durjana itu, kau
pun harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu di masa lalu!"
"Seno...," desah Ksatria Topeng Putin, berusaha
bangkit. "Aku memang bersalah, tapi...."
"Cukup!" bentak Pendekar Bodoh lagi. "Aku tahu siapa kau! Jangan harap topeng di
wajahmu itu dapat menutupi sifat busukmu!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Tergelitik rasa hatiku mendengar kalian beradu mulut! Teruskan! Teruskan
saja! Kuberi kalian banyak waktu!"
Usai berkata, mendadak murid murtad Dewa
Dungu itu menjejak tanah untuk mengambil langkah
seribu. Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau melepaskan si kakek menyelamatkan
diri. Sambil mendengus gusar, Pendekar Bodoh meloncat sebat. Dan, tubuh si pemuda pun melesat cepat
sekali karena dia
menggunakan ilmu peringan tubuh 'Tiupan Angin Meniup Dingin'.
"Kurang ajar...!" umpat Setan Selaksa Wajah
ketika melihat sosok Pendekar Bodoh telah berada di
hadapannya. "Apa kau tidak mendengar perkataanku, Mahisa Lodra?" ujar Seno. "Aku mau
bermurah hati untuk
memberimu kesempatan menyerang sampai tiga jurus.
Kenapa kau malah hendak melarikan diri?"
"Hmmm.... Ternyata, kau tidak sebodoh yang
kukira, Bocah Gemblung. Kau dapat berkata seperti
itu karena kau tahu bila aku telah menderita luka dalam."
"Jangan salah mengerti! Aku tidak mau mengambil keuntungan dari keadaanmu
sekarang ini. Adil
bukan apa yang kutawarkan kepadamu?"
"Jahanam! Setan Selaksa Wajah tidak biasa dihina orang! Mati kau! Hiahhh...!"
Kakek berwajah pemuda itu menerjang nekat.
Bilah Pusaka Pedang Naga berkelebatan dengan memperdengarkan suara mendengung
seperti suara sekelompok lebah sedang terbang. Tapi, Tongkat Dewa Badai di
tangan Seno selalu dapat mematahkan serangan
senjata pusaka itu. Pusaka Pedang Naga seakan telah
Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lenyap keampuhannya ketika bertemu dengan senjata
andalan Seno. Tiga jurus berlalu dengan cepat. Manakala Setan Selaksa Wajah mengubah jurus
'Memetik Bunga Melempar Batu', mulailah Pendekar Bodoh melancarkan serangan balasan. Keadaan
Setan Selaksa Wajah
yang sudah lemah memudahkan si pemuda untuk menyarangkan pukulan!
Des...! "Wuahhh...!"
Pukulan Pendekar Bodoh membuat tubuh Setan Selaksa Wajah terlontar tinggi. Darah
segar yang menyembur dari mulut si kakek menebar ke manamana. Dan, tubuhnya pun segera
jatuh terbanting di
atas bongkahan batu, lalu menggelosoh ke permukaan
tanah bagai selembar kain tak berharga.
"Bangunlah!" seru Seno. "Untuk membalaskan
kebiadabanmu kepada Kakek Dewa Dungu, aku harus
membuat sepasang kakimu lumpuh pula. Tapi, cepatlah bangun! Aku memberimu
kesempatan guna melakukan perlawanan lagi!"
"Sombong benar kau, Bocah Gemblung!" dengus Setan Selaksa Wajah. "Tak akan ada
orang yang mampu menyakitiku! Tak akan ada orang yang dapat
mengalahkan aku! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Pendekar Bodoh melihat si kakek tertawa bergelak. Agaknya, rasa
putus asa telah
membuat jalan pikiran Setan Selaksa Wajah terganggu.
"Mati kau! Mati kau!"
Sambil berseru lantang, kakek berpakaian serba merah itu menerjang lagi. Namun,
serangkum angin
pukulan yang timbul dari kibasan Tongkat Dewa Badai
di tangan Pendekar Bodoh telah menghadang. Hingga,
tubuh si kakek jatuh terbanting kembali!
"Jahanam! Iblis laknat kau?" maki Setan Selaksa Wajah.
Karena pikirannya sudah tak bisa dibilang waras lagi, si kakek membabatkan bilah
Pusaka Pedang Naga ke bongkah-bongkah batu besar. Kontan bebatuan itu hancur lebur menjadi
potongan-potongan kecil. Suara hiruk-pikuk segera memenuhi setiap tempat
di Lembah Kebencian,
Mendengus gusar Seno saat melihat tangan kiri
Setan Selaksa Wajah berubah warna menjadi biru terang. Si kakek mengeluarkan
ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma'! "Semakin kau nekat, kematianmu semakin dekat, Mahisa Lodra!" seru Pendekar
Bodoh. "Kaulah yang harus mati! Aku tak mau mati!
Aku adalah raja Mahespati! Ha ha ha..,!"
Tertawa bergelak Setan Selaksa Wajah seraya
meloncat cepat. Bergegas Seno menggerakkan Tongkat
Dewa Badai untuk menangkis babatan Pusaka Pedang
Naga. Trang! "Uh...!"
Bunga api berpijar ke segala penjuru. Karena
tenaga Setan Selaksa Wajah telah terkuras, bilah Pusaka Pedang Naga terlepas
dari cekalan. Namun, si kakek jadi lebih nekat. Tangan kirinya berkelebat cepat
untuk menghantam dada Pendekar Bodoh!
Wuttt...! Tanpa pikir panjang, Pendekar Bodoh mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan
kiri. Dengan ilmu 'Pukulan Inti Panas', dipapakinya telapak tangan
Setan Selaksa Wajah!
Blar...! Tak dapat dicegah lagi, dua telapak tangan
yang mempunyai daya penghancur hebat bertemu di
udara. Bersamaan dengan ledakan yang timbul, tubuh
Setan Selaksa Wajah terpental jauh. Saat jatuh ke tanah, tubuh si kakek berubah
jadi tulang-belulang yang
terjilati lidah api putih berkilat. Dan..., tamatlah riwayat Setan Selaksa Wajah
sampai di situ!
"Ya, Tuhan...," sabut Pendekar Bodoh yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Ketika memapaki pukulan Setan Selaksa Wajah
tadi, pemuda lugu itu hanya menggunakan setengah
bagian kekuatan tenaga dalamnya. Dia sama sekali tak
menyangka bila pukulannya akan bisa berakibat sedemikian rupa.
Pendekar Bodoh tidak tahu jika rasa bencinya
yang mendalam terhadap Setan Selaksa Wajah telah
melipat gandakan tenaga dalamnya!
*** 9 SENJA tegak menantang untuk segera menyambut kehadiran sang dewi malam. Hanya
desau angin yang bersedia menemani sepi di Lembah Kebencian. Namun, keheningan di alam
sekitar, berlainan
benar dengan isi hati Pendekar Bodoh yang tengah
bergolak dan bergemuruh....
"Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah kau berikan, walau sebenarnya aku
tak tahu ada maksud apa di balik kebaikanmu itu...," ujar si pemuda dengan suara dalam. "Ada
beberapa pertanyaan
yang harus kau jawab dengan jujur, Paman. Pertama,
benarkah kau ayahku?"
Ksatria Topeng Putih terdiam, tak dapat segera
menjawab pertanyaan itu. Dalam keadaan rebah miring, dia mencoba menatap wajah
Seno. Lalu sambil
menahan rasa sakit yang amat menyiksa, perlahan
tangan kanannya bergerak. Topeng baja putih ditanggalkannya. Sehingga, tampaklah
seraut wajah halus
tampan dengan sinar mata lembut, menatap ke arah
Seno penuh rasa haru....
"Kau... kau...," desis Pendekar Bodoh, tak jelas
apa makna ucapannya.
Pemuda berambut panjang tergerai itu berdiri
terpaku dengan mata membelalak. Garis-garis wajah
Ksatria Topeng Putih amat mirip dengan dirinya! Rasa
benci yang telah lama terpendam dalam hati Seno tibatiba berubah jadi rasa
rindu. Ingin rasanya Seno memeluk seorang ayah yang
telah mengukir jiwa raganya. Ingin rasanya Seno menumpahkan segala isi hatinya
di hadapan sang ayah.
Tapi..., bukankah ayahnya itu orang jahat" Bukankah
dia telah bersumpah akan menuntut balas atas penderitaan ibunya"
"Seno...," sebut Ksatria Topeng Putih, menguatkan diri Untuk duduk bersila. "Aku
tahu apa yang kau rasakan. Walau kebencianmu terhadapku setinggi
gunung dan sedalam lautan, cobalah kau dengar katakataku...."
"Tidak!" seta Seno, menepis rasa hatinya yang
berdebar tak karuan. "Kau tak pantas bicara terlalu
banyak. Jawab saja pertanyaanku! Benarkah kau
ayahku?" Mencoba tersenyum Ksatria Topeng Putih.
"Tanpa kujawab, kau pasti sudah tahu. Dapatkah kau
menipu dirimu sendiri?"
"Keparat! Pandai benar kau bersilat lidah. Ibuku jatuh ke dalam jurang
kesengsaraan pasti karena
bujuk rayumu! Hayo! Benar, bukan"!"
"Seno..., kau keliru. Kenapa aku mesti menyengsarakan orang yang kucintai" Cinta
menyatukan dua hati. Bila aku menyengsarakan ibumu, bukankah
sama artinya dengan aku menyengsarakan diriku sendiri?"
"Darma Pasulangit...," Seno menyebut nama
kecil Ksatria Topeng Putih yang memang Darma Pasulangit, ayah si pemuda.
"Kuakui, aku terlalu bodoh untuk berdebat denganmu. Tapi, jawab lagi
pertanyaanku dengan jujur. Melihat topeng yang kau bawa, tak salah
aku memastikan bila kau Ksatria Topeng Putih. Benar,
bukan?" Ksatria Topeng Putih menggigit bibir kuat-kuat.
Dia tak tahu ke mana arah pertanyaan Pendekar Bodoh.
"Hayo, jawab!" bentak Seno.
"Ya! Aku memang Ksatria Topeng Putih," jawab
Darma Pasulangit kemudian.
"Hmmm.... Kalau begitu, kau memang pantas
untuk mati. Kau memang penjahat culas, licik, kejam!
Penjahat yang suka merenggut kehormatan gadis-gadis
cantik!" Tersentak kaget Darma Pasulangit mendengar
ucapan Pendekar Bodoh yang kasar berapi-api, "Ap...
apa maksudmu, Seno" Aku memang berdosa besar
pada ibumu. Tapi..., aku tidak sejahat yang kau katakan itu...."
"Omong kosong! Hendak bersilat lidah lagi kau
rupanya! Jangan mungkir! Kematianmu sudah dekat,
kenapa tidak kau akui semua dosamu"!"
"Seno...!" sebut Ksatria Topeng Putih, "Sekali
lagi kukatakan, aku memang punya dosa besar terhadap ibumu. Tapi, dosa itu tak
pernah ku sengaja. Keadaanlah yang membuat ibumu sengsara.... Apa pun
yang telah terjadi, aku memang merasa sangat berdosa
terhadap ibumu. Perasaan berdosa itu membuatku tak
berani bertatap muka langsung denganmu. Terpaksa
aku memakai topeng agar kau tak dapat mengenaliku,
Seno. Kau belum dewasa. Aku takut kau akan lepas
kendali. Dan..., sekarang kekhawatiranku terbukti.
Kau belum bisa menerima kenyataan yang memang
amat pahit ini...."
"Boleh kau katakan aku belum dewasa. Boleh
kau katakan aku tak bisa menerima kenyataan. Tapi
kau pun harus tahu, siapa yang bisa menahan diri kalau ayahnya adalah seorang
penjahat besar?"
"Aku bukan penjahat...."
"Hmmm.... Kau mungkir lagi! Sekarang jawab
satu pertanyaanku lagi, siapa itu Hantu Pemetik Bunga?"
Ksatria Topeng Putih menghela napas beberapa
kali. Wajahnya jadi amat sedih. Sementara, luka babatan pedang di tubuhnya masih
mengalirkan darah segar....
"Kau diam karena tak bisa menjawab, bukan"
Kau memang Hantu Pemetik Bunga! Akui itu!"
"Aku Hantu Pemetik Bunga" Siapa bilang?"
"Tak perlu kukatakan! Jawab saja, ya atau tidak."
"Seno...," desis Ksatria Topeng Putih, mengingat-ingat kejadian tempo hari. "Aku
tahu sekarang. Kau menuduhku sebagai Hantu Pemetik Bunga pasti
karena ucapan Dewi Pedang Halilintar...."
"Tepat! Tapi, ucapan nenek itu disertai bukti
yang kuat. Bukankah kau selalu memakai topeng" Topengmu itulah buktinya!"
Ksatria Topeng Putih meringis kesakitan. Mendadak, tubuhnya terguling. Darah
segar merembes ke
permukaan tanah.
"Ajalku akan segera tiba,,.," desis bekas putra
mahkota yang tergulingkan itu. "Arwahku akan penasaran jika kau masih menuduhku
sebagai seorang
penjahat, Seno. Aku bukan Hantu Pemetik Bunga..."
Kepala Darma Pasulangit jatuh terkulai.
Seperti dihampiri bayangan yang amat menakutkan, tiba-tiba Pendekar Bodoh
menjerit keras. Lalu,
si pemuda meloncat seraya memeluk tubuh Darma Pasulangit.
"Ayah...! Ayah...!"
Perlahan, kelopak mata Darma Pasulangit terbuka. "Apakah aku tidak salah dengar"
Kau memanggil 'ayah', Seno?"
"Ya! Ya, kau memang ayahku...," ucap Pendekar
Bodoh, menahan air mata yang hendak jatuh.
"Terima kasih, Seno. Rupanya, kebahagiaan
mau datang ketika aku hampir dijemput ajal. Dan, kebahagiaan itu akan lengkap
jika kau tidak menuduhku
sebagai orang jahat, Seno. Aku memang bukan Hantu
Pemetik Bunga. Apakah kau ingin punya ayah seorang
penjahat macam itu?"
"Tidak! Tidak, Ayah!" pekik Seno. "Aku hanya
mengatakan isi hatiku!"
"Aku tidak bisa membuktikan bahwa aku bukan Hantu Pemetik Bunga. Tapi, suatu
saat kau pasti akan menemukan bukti itu. Yakinlah, Seno. Aku memang bukan Hantu Pemetik Bunga.
Aku adalah Darma
Pasulangit. Aku Wisnu Sidharta. Aku Ksatria Seribu
Syair. Aku Ksatria Topeng Putih. Tapi, aku, bukan
Hantu Pemetik Bunga...."
"Ayah...."
"Aku pernah menjadi putra mahkota kerajaan
Mahespati. Aku rela hidup sengsara karena takhta
Ayahanda Darma Sagotra digulingkan orang. Tapi, aku
tidak rela jika putra ku menuduhku sebagai seorang
penjahat...."
"Ayahhhh...!"
Pendekar Bodoh menjerit keras sekali. Diguncang-guncangkannya tubuh Darma Pasulangit. Lalu,
dia peluk erat tubuh lelaki itu....
"Lepaskan, Seno...," pinta Darma Pasulangit.
"Ada satu hal yang harus kusampaikan kepadamu."
"Ya! Yah, Ayah.... Katakan! Katakan saja! Maafkan aku...," desah Pendekar Bodoh
dengan tatapan nyalang. "Kau lihat pedang di sampingmu itu...."
"Ya, aku melihatnya, Ayah...."
"Itulah Pusaka Pedang Naga. Kau berdarah biru, Seno. Kau keturunan raja. Jika
kau ingin merebut
kembali takhta Mahespati, Pusaka Pedang Naga dapat
membantumu, Empat ketua Partai Naga yang memiliki
pasukan besar akan bersedia membantumu. Katakan
saja bahwa kau putra ku...."
"Ayah...."
"Tapi kalau kau tak mau, kubur pedang itu
bersama jasadku...."
"Tidak! Tidak, Ayah! Kau tak boleh mati! Setelah berpisah dengan Ibu, aku tak
ingin berpisah denganmu. Aku ingin hidup bersamamu...," ujar Pendekar
Bodoh, mengutarakan isi hatinya.
"Seno...," sebut Ksatria Seribu Syair, menahan
haru. "Aku pun ingin hidup bersamamu, Anakku. Tapi..., aku telah terluka parah.
Dan..., aku juga terluka
oleh jarum beracun...."
Begitu mendengar kata 'racun', Seno teringat
akan Tongkat Dewa Badai-nya yang mempunyai khasiat memusnahkan segala jenis
Pendekar Bodoh 8 Pusaka Pedang Naga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
racun. Dengan hati berdebar tak karuan, Pendekar
Bodoh menotok beberapa jalan darah di tubuh Ksatria
Seribu Syair untuk menghentikan pendarahan pada
luka lelaki setengah baya itu. Sesudahnya, Pendekar
Bodoh mencabut jarum-jarum yang masih menancap
di tubuh si lelaki setengah baya seraya menempelkan
batang Tongkat Dewa Badai di bekas luka tusukan jarum-jarum itu.
Di lain kejap, wajah Darma Pasulangit tidak seberapa pucat lagi. Seluruh racun
yang bersarang di
tubuhnya telah terhisap oleh batang Tongkat Dewa
Badai. Ketika Seno hendak membalut luka di dada dan
pinggangnya dengan menyobek kain baju si pemuda
sendiri, cepat bekas putra mahkota itu mencegah....
"Tak perlu, Anakku. Aku tahu bajumu bukanlah baju sembarangan...,"
Sebelum Pendekar Bodoh menyahuti, Darma
Pasulangit telah merobek-robek bajunya sendiri. Lalu,
dia membalut luka di tubuhnya walau dengan tangan
bergetar. Dan ketika melihat sinar mata Seno yang menyiratkan rasa cinta dan kasih sayang
sekaligus menyiratkan rasa khawatir yang mendalam, mendadak
semangat hidup dalam diri Ksatria Topeng Putih kembali berkobar menyala-nyala.
Karena semangat hidup
itulah Ksatria Seribu Syair dapat menghirup udara
dunia lebih lama.
"Terima kasih, Anakku...," ucap Darma Pasulangit kemudian, menatap wajah
Pendekar Bodoh lekat-lekat.
Entah apa yang ada di benak lelaki setengah
baya itu, setelah menepuk bahu Pendekar Bodoh, dia
membalikkan badan seraya melangkah pergi.
"Ayahhh...!" panggil Seno untuk mencegah kepergian ayahnya.
Namun..., Darma Pasulangit terus melangkah,
walau dengan tubuh sempoyongan dan kaki terseret.
Tak lupa lelaki setengah baya itu membawa Pusaka
Pedang Naga dan sarungnya.
keras. "Ayahhh...!" panggil Pendekar Bodoh lagi, lebih
Darma Pasulangit menoleh pelan seraya berkata, "Masing-masing dari kita punya
tugas dan kewajiban. Kalau umur sama panjang, barangkali Tuhan
berkenan mempertemukan kita lagi. Hati-hatilah menjaga diri, Anakku. Berpikirlah
masak-masak sebelum
bertindak...."
Kaki Darma Pasulangit melangkah lagi.
Seno menatap dengan hati pedih....
"Ayah...," desis Pendekar Bodoh. "Biarlah takhta tetap dipegang Prabu Wira
Parameswara, Rakyat
sudah hidup tenang dan damai. Tak perlu aku membuat perang besar yang hanya akan
menyengsarakan rakyat...."
Pendekar Bodoh diam beberapa lama, lalu katanya, "Aku masih ingat kata-katamu,
Ayah. Ketika mengenalkan diri sebagai Ksatria Topeng Putih, kau
berkata bahwa kekuasaan yang besar cenderung
membuat manusia lupa diri. Aku tak mau lupa diri,
Ayah. Biarlah aku tak punya kekuasaan apa-apa asalkan aku bisa hidup di jalan
Tuhan.... Suatu saat, akan
kubuktikan bahwa kau memang bukan Hantu Pemetik
Bunga. Selamat tinggal, Ayah...."
Ketika angin dingin berhembus membawa embun, Pendekar Bodoh melangkah
meninggalkan Lembah Kebencian. Sosok si pemuda segera lenyap tertelan
kegelapan malam. Di bagian lain, Ksatria Topeng Putih
alias Ksatria Seribu Syair juga melangkah menjauhi
Lembah Kebencian yang telah membuka mata hati
sang putra tercinta....
SELESAI Segera terbit!!
SENGKETA AHLI SIHIR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Makam Asmara 2 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Si Pedang Tumpul 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama