Ceritasilat Novel Online

Rahasia Pedang Berdarah 1

Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah Bagian 1


Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
RAHASIA PEDANG BERDARAH
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE Setting Oleh: Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Rahasia Pedang Berdarah
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
SATU Suro memeriksa denyut jantung gadis di depannya. Ternyata sangat lemah sekali. Di perhatikannya wajah Gadis yang pucat, ada darah yang masih
menetes di sela-sela bibirnya yang terbuka. Maling Jenaka jelas terluka dalam cukup parah. Pukulan sayap
Elang Perak pada bagian punggung Gadis memang tidak ringan. Masih beruntung ia memiliki tenaga dalam
yang tinggi. Kalau tidak ia pasti sudah menemui ajalnya. Pemuda baju biru garuk-garuk kepala lagi, tubuh
Maling Jenaka memang sangat dingin sekali.
"Pakaiannya sangat basah. Aku harus menyalurkan tenaga dalamku padanya. Sebaiknya kucopot
saja bajunya, tapi...!" Pendekar Blo'on ragu. "Tidak pantas rasanya aku melihat
auratnya. Jika orang lain
sempat melihat perbuatanku hanya akan menimbulkan fitnah!"
Sebaliknya jika tidak cepat di tolong, tentu Maling Cerdik bisa mati kedinginan. Suro akhirnya menjadi nekad, ia segera berkonsentrasi untuk menghilangkan fikiran yang berbau sahwat dalam dirinya. Setelah
itu kancing baju Gadis itu dibukanya satu-persatu.
Terlihatlah kulit yang halus mulus, dada yang membukit, putih tegak menantang.
Pemuda ini pejamkan matanya, kemudian telapak tangan di tempelkan persis, di pertengahan dada
Gadis yang penuh daya pesona tersebut.
Tidak lama ada hawa hangat mengalir lewat jemari tangan Suro Blondo. Tubuh pemuda itu menggigil, sebaliknya badan Gadis menggeletar, nafasnya tersengal-sengal. Maling Jenaka merintih, tapi matanya
masih terpejam. Suro cepat angkat tangannya. Setelah
itu ia bermaksud mengancingkan pakaian Gadis, celaka! Maling Cerdik sudah terjaga. Melihat sebagian tubuhnya dalam keadaan telanjang dan Suro kelihatannya yang telah menelanjanginya. Maka ditendangnya
pemuda itu tanpa bicara.
Suro yang telah kehilangan banyak tenaga
langsung terguling-guling. Gadis dengan terhuyunghuyung langsung memburunya, rupanya ia dalam
keadaan kalap itu lupa bahwa pakaiannya dalam keadaan terbuka. Wuus! Tendangan Maling Jenaka luput karena Suro
sudah melompat menjauh sambil menunjuk-nunjuk ke
dadanya. "Kau... mengamuk boleh-boleh saja, tapi rapikan dulu pakaianmu!" teriak Suro.
Merah padam wajah si gadis, ia cepat membalikkan tubuhnya, setelah merapikan pakaiannya ia
kembali menyerang Pendekar Blo'on. Suro kalang kabut dan terus main mundur sambil memperingatkan.
"Jangan serang, kau masih terluka. Kau salah
paham!" "Aku harus mencungkil matamu, pemuda mata
keranjang. Kau pergunakan kesempatan selagi aku tidak sadarkan diri!" dengus Gadis.
Maling Jenaka rupanya merasa dipermalukan
oleh pemuda berambut hitam kemerahan ini, sehingga
sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan Suro.
Tidak lama ia jatuh terduduk, dadanya sesak bukan
main. Gadis pegangi dadanya, nafasnya tersendatsendat memburu. Antara marah bercampur sakit. Ia
tetap bertahan agar jangan sampai tidak sadarkan diri,
agar pemuda sinting itu tidak lagi buka bajunya atau
malah menelanjangi dirinya. Begitu sangkanya.
Suro yang merasa tidak tega langsung menghampiri. Gadis mendelik namun tidak berbuat apaapa, karena ia merasa yakin setiap gerakan apapun
yang dilakukannya hanya membuat lukanya semakin
bertambah parah.
"Sudah kukatakan jangan kau bergerak! Kau
terluka, hampir mati malah. Jika aku tidak kerahkan
tenaga dalamku ke tubuhmu, aku tidak bisa bayangkan bagaimana nasibmu!"
"Aku tahu, tapi mengapa harus membuka bajuku" Kau melihat apa yang tidak pantas kau ketahui!"
dengus Gadis masih dalam keadaan marah.
"Bagaimana aku bisa melihatnya, sedangkan
mataku kututup, kok! Kalau kau sendiri mau melihat
dadaku silakan!" kata Suro. Gadis cemberut. "Siapa sudi?" "Kalau begitu ya
sudah." kata Suro. Lalu ia mengambil dua buah obat berupa butiran bulat, satu
berwarna merah darah dan yang satunya lagi berwarna
hitam. "Kau makanlah ini, mudah-mudahan Gusti Allah memberikan kesembuhan padamu!"
Maling Jenaka terpaksa menuruti perintah murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini, walau pun di hatinya ada sedikit rasa curi-ga.
Suro memutar arah, sekarang berada di belakang punggung Gadis. Setelah memberi aba-aba supaya Maling Jenaka tidak melakukan gerakan apapun.
Maka pemuda itu langsung menempelkan telapak tangannya ke bagian tubuh si gadis.
Hawa panas kemudian menjalari sekujur tubuh
Maling Jenaka. Ia muntahkan darah kental. Sekujur
badannya sempat menggigil. Suro mandi keringat, wajahnya sebentar berubah memerah, sebentar tampak
memucat. Tidak lama kemudian Pendekar Mandau Jantan
sudah menarik tangannya kembali.
Ia langsung bersila untuk memulihkan tenaga.
Gadis kini merasa sakit di dadanya sudah jauh berkurang. Diam-diam ia merasa kagum juga setelah melihat
kenyataan bahwa Pendekar bertampang konyol itu ternyata mempunyai tenaga dalam yang sangat sempurna
sekali. Suro buka matanya. "Bagaimana keadaanmu?"
tanya si pemuda sambil garuk-garuk kepala.
"Agak lumayan!" sahut si gadis manja tetap
cemberut. Pendekar Blo'on bangkit berdiri. Setelah itu ia
berkata. "Aku harus menjumpai Pangeran Demak Pati
dan gurumu. Setelah itu aku ingin menjumpai El
Maut. Kurasa Dewa Kubu tidak bisa di anggap mainmain! Sedangkan kau sendiri terserah, mau ikut aku
atau tidak itu urusanmu!"
"Huh, siapa mau ikut kau. Lama-lama aku bisa
gila, kau manusia sinting yang usil. Pemuda kurang
ajar dan lancang lagi!" dengus Gadis. Suro gelenggelengkan kepala,
Tanpa menanggapi ucapan Maling Jenaka pemuda tampan berwajah ketolol-tololan itu melangkah
pergi. Ia berlari kencang menuju ke bukit Sembuang.
Di kejauhan Gadis masih sempat mendengar nyanyian
Suro yang tidak karu-karuan ujung pangkalnya. Hingga suara itu akhirnya lenyap terbawa angin.
"Pemuda sinting! Tapi... akh, mengapa aku jadi
memikirkannya"!" Gadis menggerutu. Tanpa di sadari wajahnya berubah merah
jengah. Maling Jenaka kemudian juga meninggalkan tepian telaga. Di kala itu
matahari sudah semakin condong di ufuk barat.
*** Kakek Rambut Merah dan puteri Saba memasuki gua di puncak bukit Sembuang. Di dalam gua suasana masih tetap tidak berubah, ada beberapa sosok
mayat yang mati dalam keadaan tergantung, mayat itu
semakin mengering seperti terjemur. padahal suasana
di dalam gua itu terasa lembab.
Puteri almarhum raja Jasa Raga ini ketakutan
rupanya, sehingga ia tidak berani jauh-jauh dari si kakek yang memanggul tubuh El Maut. Seperti sama kita
ketahui, El Maut terluka parah setelah bentrok dengan
Dewa Kubu (Dalam Episode Api di bukit Sembuang).
"Aku tahu ada sebuah ruangan rahasia di
ujung gua ini!" berkata kakek rambut merah yang tidak lain adalah Malaikat
Berambut Api. "Untuk sampai ke sana tidak mudah. Banyak jebakan yang telah di
buat oleh El Maut. Kau harus mengikuti setiap langkahku, jangan sampai keliru jika tidak ingin celaka!"
pesan si kakek.
Puteri Saba mengangguk. Ia mengikuti kakek
Dewana, setiap lantai gua yang retak-retak di injak
oleh si kakek, maka di situ pula kaki sang putri menapak. Mereka sampai di ujung gua yang semakin menyempit. Malaikat Berambut Api mencari-cari. Ia segera menemukan alat rahasia yang berada di sebelah kiri. Alat itu di putar-putarnya, lalu terdengar suara ber-gemuruh.
Batu di depan mereka bergeser. Maka terlihatlah sebuah ruangan lain yang serba indah. Ada sebuah
ranjang di ruangan itu, kakek Dewana sempat terpukau melihat ruangan yang dihias seperti kamar pengantin ini. Hatinya gelisah dan merasa tidak enak. El
Maut yang berada di atas bahunya segera diturunkan.
Setelah posisinya dalam keadaan menelungkup, Malaikat Berambut Api segera berdiri. Dua telapak tangan
di arahkannya ke punggung El Maut. Dari jarak dua
tombak ia mengerahkan tenaga sakti untuk memusnahkan racun yang mengeram di tubuh si nenek. Cara
penyembuhan seperti ini memang jarang terjadi di
rimba persilatan. Bahkan tokoh-tokoh yang dapat melakukannya bisa dihitung dengan jari.
Semakin tinggi si kakek mengerahkan tenaga
dalamnya, maka rambut orang tua ini yang berwarna
merah tampak seperti menyala. Puteri Saba satusatunya orang yang menyaksikan kejadian ini tampak
kaget di samping merasa takjub juga.
Tubuh El Maut tampak bergetar, terkadang terangkat dan terbanting di lantai gua. Kemudian terdengar suara erangan si nenek. Namun masih belum
menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Barulah Malaikat Berambut Api menempelkan telapak tangannya di
atas ubun-ubun. Lagi-lagi si kakek mengerahkan tenaga dalam. Hari ini Malaikat Berambut Api benar-benar
harus menguras tenaga untuk memusnahkan racun
yang mengendap di tubuh El Maut. Entah rahasia apa
yang terjadi antara mereka, sehingga Malaikat Berambut Api tampaknya sangat mengkhawatirkan keselamatan nenek berwajah rusak seperti tercakar harimau
ini. Setelah hampir satu jam kakek Dewana berusaha keras menyembuhkan El Maut. Hasilnya segera
terlihat. Dari hidung dan mulut nenek itu keluar darah
berwarna hitam pekat dan menebar bau busuk. Perempuan renta itu membalikkan tubuhnya, matanya
yang merah sayu berkedip-kedip. Ia seperti heran melihat keadaannya sendiri.
Mula-mula yang terlihat olehnya adalah puteri
Saba. Ketika ia memandang ke depan. Kening El Maut
berkerenyit, terlihat ada kemarahan sekaligus kebencian disana. "Kau...!" desisnya.
"Sabarlah Gayatri. Masa yang lalu biarkanlah
berlalu, lembaran hitam itu merupakan bagian hidup
yang harus di kubur. Jangan kau ingat, karena hal itu
hanya menyakitkan hati saja!" Lirih suara kakek Dewana. Wajahnya tertunduk
dalam. Ia jadi teringat peristiwa lima puluh tahun yang silam. Peristiwa itu memang memalukan untuk dikenang, tapi itu bukan cuma kesalahannya saja. Gayatri di masa mudanya adalah seorang gadis cantik, ia masih terhitung adik seperguruan Malaikat Berambut Api. Guru mereka tokoh
misterius yang bergelar Si Bayang-Bayang. Selain mereka berdua masih ada saudara seperguruan paling
tua, dia adalah Angku Muda Pasak Langit berjuluk
Singa Gunung. Di kala itu Dewana yang lebih tampan dari
Angku Muda Pasak Langit memang lebih dekat dengan
Gayatri. Mereka sangat akrab tidak ubahnya seperti
bersaudara kandung. Dewana sendiri memang selalu
berperasaan begitu, namun lain rupanya dengan Gayatri. Gadis ini ternyata menyimpan benih-benih cinta
dan harapan pada Dewana. Ia bahkan menganggap
keakraban Dewana adalah sebuah tanda bahwa sebenarnya kakang seperguruannya itu mencintai dirinya
pula. Bukan cinta antara saudara seperguruan dengan
adik seperguruan. Melainkan cinta seorang pemuda
dengan seorang gadis. Di samping itu pula di luar sepengetahuan mereka berdua, ternyata saudara tua seperguruan mereka yaitu Singa Gunung diam-diam
mencintai Gayatri sejak lama. Namun betapa besar
pun hasrat cintanya pada Gayatri yang cantik, mengingat dirinya berwajah jelek, Angku Muda Pasak Langit tidak berani berterus terang menyatakan cintanya


Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada Gayatri. Untuk di ketahui selain berwajah jelek.
Angku Muda Pasak Langit juga mempunyai watak dan
perangai yang sangat buruk sekali. Ia bahkan pemuda
mata keranjang yang gemar mempermainkan perempuan. Tentu perbuatannya ini tidak diketahui oleh
gurunya, karena Angku Muda Pasak Langit melakukan
semua itu di luar lingkungan perguruan.
Demikianlah benih-benih cinta antara Gayatri
pada Dewana terus tumbuh dengan suburnya. Sebaliknya cinta antara Singa Gunung pada Gayatri demikian pula. Terkadang di luar sepengetahuan Dewana
dan Gayatri, Angku Muda selalu mengintai apa yang
dilakukan oleh Dewana dengan gadis yang di cintai
oleh Singa Gunung. Rasa cemburu semakin besar, ia
ingin memfitnah Dewana agar kedua orang ini dapat
dipisahkan. Namun tindak tanduk Dewana tidak satu
pun yang menyimpang dari kebenaran. Malah sikapnya sangat melindungi, tidak bedanya seperti antara
kakak dengan adik kandungnya sendiri.
Dengan begitu tahulah Angku Muda Pasak
Langit bahwa Dewana adik seperguruannya itu tidak
mencinta Gayatri sebagaimana sepasang kekasih. Suatu saat ia pun nekad menjumpai Dewana. Beginilah
pembicaraan yang terjadi di waktu itu.
"Kakang Angku. Sama sekali aku tidak pernah
jatuh cinta pada adik Gayatri. Rasa sayang, rasa cinta, keakrabanku selama ini
padanya tidak lebih karena
aku telah menganggapnya sebagai seorang adik. Kalau
kakang suka padanya, memperistri seorang adik seperguruan tidaklah salah. Sebaiknya kakang berterus
terang pada orang yang kakang cintai. Tapi ingat jangan terlalu memaksakan kehendak. Jika adik Gayatri
ternyata tidak mau, kakang jangan menyakitinya.
Seandainya dia setuju, aku yang akan membicarakan
hal ini pada guru!" janji Dewana.
"Tapi guru kita sekarang tidak mau diganggu,
ia sedang mencipta sebuah pedang ampuh dahsyat
luar biasa. Pedang itu konon pantang dipergunakan
untuk menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah. Sekali hal itu terjadi, maka pedang itu hanya akan menebarkan bencana!"
jelas Angku Muda Pasak Langit.
"Mengenai apa yang diciptakan guru Bayang
Bayang tidak usah dipersoalkan. Sekarang selesaikan
dulu persoalan kakang, jika semuanya berjalan sesuai
dengan apa yang kakang harapkan. Kita dapat menunggu guru selesai dengan pedang itu."
Gembira bukan main hati Angku Muda Pasak
Langit. Pada suatu kesempatan di dalam bulan purnama Singa Gunung menjumpai Gayatri. Saat itu si
gadis sedang menunggu kehadiran Dewana. Melihat
kehadiran saudara tua seperguruannya, gadis ini terkejut juga. "Sengaja malam ini aku menjumpaimu, sematamata karena ingin berterus terang mengenai perasaanku padamu selama ini. Adik Yatri, sesungguhnya aku
mencintaimu. Aku ingin menjadikan kau sebagai isterimu. Jika cintaku kau terima, aku merasa orang yang
paling bahagia di dunia ini. Lalu aku berjanji akan
memperbaiki sifat-sifatku yang buruk padamu!" jelas Angku Muda berterus terang.
Tidak terkatakan betapa
paras Gayatri berubah. Untuk beberapa saat lamanya
ia tidak mampu berkata-kata. Sifat hidung belang saudara tua seperguruannya ini sudah banyak ia ketahui.
Ia sendiri selama ini tidak pernah menaruh perasaan
apa-apa. Jika ia berterus terang, Gayatri takut saudara
tuanya kecewa dan marah. Jika ia diam, tentu hal ini
juga membuatnya merasa serba salah. Namun membiarkan orang lain berlarut-larut dalam harap bukanlah sifatnya, cukup lama juga ia terdiam.
*** DUA Singa Gunung ternyata tidak sabar juga ketika
melihat Gayatri cuma tertegun. Ia terus mendesak,
hingga gadis itu berterus terang.
"Maaf, kakang. Aku bukan bermaksud mengecewakan perasaanmu. Namun terus terang saja aku tidak mencintaimu. Aku sudah punya seseorang yang
nantinya dapat kuharapkan menjadi pendampingku
kelak!" Kecewa. Tentu saja kecewa, begitulah yang di alami oleh Angku Muda Pasak
Langit. "Kau pasti mencintai Dewana. Sedangkan adik
Dewana sendiri pernah mengatakan padaku dia tidak
mencintaimu! Jadi kau dan aku sama-sama menanam
harap. Namun harap itu tidak kesampaian juga." kata Singa Gunung disertai senyum
kecut. Gayatri berusaha menyembunyikan rasa kagetnya. Ia mana mau percaya begitu saja mendengar penjelasan Singa Gunung. Sehingga di lain waktu gadis ini
menjumpai Dewana. Jawaban pemuda itu memang
sama seperti apa yang dikatakan oleh Singa Gunung.
Betapa kecewanya hati Gayatri tidak terlukiskan. Berbulan-bulan ia mengurung diri di dalam
kamarnya. Sebaliknya lain lagi halnya dengan Angku
Muda Pasak Langit. Sejak ia menerima kenyataan yang
sangat menyakitkan itu tingkahnya semakin menjadijadi. Setiap perempuan yang di jumpainya diperkosa.
Ia gentayangan mencari korban, secara diam-diam di
suatu saat ia membunuh Si Bayang-Bayang dengan
mempergunakan pedang Pemersatu yang baru diciptakan oleh gurunya sendiri.
Pedang itu memang ditinggalkan menancap di
dada Si Bayang-Bayang. Kebetulan Gayatri muncul,
dengan jelas ia tahu siapa yang telah membunuh gurunya. Dalam pada itu Singa Gunung mengajaknya
bertarung. Dalam pertarungan sengit tanpa mempergunakan senjata. Singa Gunung berhasil merobohkan
Gayatri. "Ha ha ha! Rasa cinta menimbulkan kecewa,
aku tidak dapat merebut hatimu, biarkan hari ini kurebut mahkotamu!" teriak Angku Muda Pasak Bumi.
"Kau jahanam! Kau pasti dikutuk oleh Guru!"
geram Gayatri. "Siapapun boleh mengutukku! Aku tidak ambil
perduli!" Singa Gunung tersenyum mengejek. Ia kemudian melucuti pakaian gadis
cantik itu secara paksa.
Sehingga Gayatri dalam keadaan telanjang. Ia tentu tidak dapat berbuat banyak. Karena dirinya dalam keadaan tertotok. Singa Gunung dengan leluasa menciumi bibir si
gadis, dengan bebas pula ia mempermainkan dada si
gadis yang membusung kencang. Lidahnya bahkan
bermain-main di atas dada itu. Gayatri menjerit panik,
hal ini hanya membuat gejolak birahi Singa Gunung
berkobar-kobar.
Laki-laki buruk rupa ini kemudian menindih
gadis yang telah mengecewakannya. Merenggangkan
kedua pahanya yang mulus. Hingga terlaksanalah sebuah kejadian terkutuk.
Setelah puas melampiaskan nafsunya, maka
Singa Gunung melampiaskan nafsu berikutnya. Sampai ia kelelahan sendiri. Sebelum ia meninggalkan
Gayatri yang telah hancur segala-galanya. Ia mencakar
wajah cantik itu sehingga rusak mengerikan.
Sampai senja hari barulah apa yang menimpa
Gayatri dan guru mereka diketahui oleh Dewana yang
baru saja kembali dari suatu perjalanan rahasia. Ia
kaget melihat gurunya tertembus Pedang Pemersatu,
namun lebih terkejut lagi melihat keadaan Gayatri. Setelah totokan dibebaskan, Gayatri menceritakan segala
sesuatu yang terjadi padanya. Mendidih amarah Dewana, keesokan harinya setelah menguburkan si
Bayang-Bayang Dewana melakukan pengejaran. Namun kakang perguruan tertua yang bejad moralnya ini
tidak ditemukannya.
Ia kembali lagi ke Lembah Akherat dengan tangan hampa. Namun sesampainya disana ia menjadi
semakin sedih, karena adik seperguruannya telah pula
meninggalkan lembah itu. Ia hanya menjumpai sebuah
pesan sebagai berikut yang ditulis di atas daun lontar.
Kakang Dewana, Di ujung kehancuran itu ada kehancuran lain
yang membuatku patah tidak berguna lagi. Kekecewaan berakhir dengan kehancuran,
betapa semua ini sangat menyakitkan. Wajahku telah rusak, kehormatan tidak
akan pernah kumiliki lagi. Direnggut dengan paksa oleh orang yang kubenci.
Kakang dapat membayangkan be-ratnya penderitaanku, rusak kehormatan rusak pula
wajahku. Aku ingin mengasingkan diri sampai tiba
waktunya janji Gusti Allah padaku. Yaitu mati!
Pedang Pemersatu yang telah merenggut nyawa
penciptanya. Menurut almarhum guru harus disingkirkan dari manusia. Pedang itu mengandung kutuk. Ia
akan menghancurkan tubuh setiap raga bernyawa. Betapa mengerikan, tapi aku tidak bisa membiarkan pedang itu tidak berguna sebelum membunuh Angku Muda Pasak Langit dengan pedang ini pula.
Jangan kau cari aku!
Gayatri Begitulah mereka terpisahkan sekian lama.
Dewana sendiri kemudian pergi tidak tentu rimbanya.
Hingga kemudian ia menetap di Pulau Seribu Satu Malam. (Dalam Episode Neraka Gunung Bromo), disana ia
memperdalam ilmu kesaktian dan mengembangkan jurus-jurus baru. Gayatri yang kemudian berjuluk El
Maut setelah tidak menemukan Singa Gunung akhirnya menetap di bukit Sembuang. Hingga akhirnya ia
mengambil seorang murid yang kemudian menjadi seorang raja. Dia adalah almarhum raja Jasa Raga.
Kini setelah bertemu, tentu kerinduan di hati El
Maut tetap ada, namun mengingat peristiwa dulu.
Timbul kembali rasa sakit hatinya. Kakek Dewana
alias Malaikat Berambut Api sadar betul akan hal itu.
"Aku menyesal mengapa di hari senjaku kita
harus bertemu. Aku membencimu bahkan ingin membunuhmu! Hidupku jadi sengsara karena penolakanmu. Mengapa kau tolong aku, mengapa tidak kau biarkan saja diriku ini binasa" Aku sudah tidak punya
siapa-siapa lagi di dunia ini. Muridku Jasa Raga pun
telah mati...!" kata EI Maut sedih
Sebaliknya puteri Saba jadi terkejut mendengar
kata-kata yang di ucapkan oleh El Maut. Ia tidak menyangka nenek renta berwajah mengerikan itu adalah
guru almarhum ayahandanya.
"Putus asa hanya fikiran orang yang berhati picik, Gayatri. Setiap manusia yang hidup pasti punya
guna. Kita bukan dihadapkan dengan masa lalu. Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah mencari pedang yang telah dilarikan oleh orang yang tidak dikenal!" Mata yang kemerahan itu membulat lebar. El
Maut kelihatannya tidak percaya dengan apa yang di
dengarnya. "Kau jangan membohongiku!" bentaknya sinis.
"Benar, nenek. Aku yang lihat seseorang mengambil pedang itu dari tanganmu dikala kau tidak sadarkan diri." jelas puteri Saba.
"Eeh, kau siapa pula?" bertanya El Maut dengan perasaan heran.
"Aku puteri Saba, anak almarhum Jasa Raga
muridmu!" jelas si gadis.
Penjelasan gadis itu membuat El Maut teringat
pada pemuda lugu yang mengaku sebagai Pangeran
Demak Pati. Namun saat ini rasanya tidak ada gunanya ia bercerita tentang Pendekar Kucar Kacir. Pedang harus dicari, siapa pun yang mencurinya pasti
punya maksud-maksud yang tidak baik.
"Malaikat Berambut Api, kita sudah sama-sama
tahu bahwa pedang itu dulu sudah pernah menghirup
darah. Darah guru kita sendiri. Walau pun begitu aku
masih punya penangkal senjata itu yaitu Pusaka Pembawa Rahmat. Aku akan mengejar pencuri Pedang Penebar Bencana. Aku tidak memintamu untuk membantuku. Karena aku merasa khawatir senjata itu
akan menghancurkan tubuhmu hingga menjadi debu!"
"Ha ha ha...! Aku sudah tua bangka Gayatri,
aku tidak takut mati! Kita akhiri pertemuan sampai
disini. Selamat tinggal!" kata Malaikat Berambut Api.
Berkata begitu ia menyambar puteri Saba, gadis ini dibawanya berlari meninggalkan gua.
El Maut sama sekali tidak mencegah, pertemuan yang tidak di duga-duga dengan Dewana hanya
membuatnya bersedih hati. Ia kemudian menekan bibir ranjang. Sebuah lubang empat persegi yang terdapat di dinding gua terbuka. Dari dalamnya terlihat ada
cahaya putih memancar, El Maut menjulurkan tangannya. Kemudian terlihatlah sebuah pedang tanpa
sarung. Rupanya cahaya yang memancar tadi bersumber dari pedang itu. Setelah menyelipkan senjata
itu di balik pakaiannya. Sinar putih lenyap. El Maut
berjalan meninggalkan ruangan itu. Sampai di luar gua
tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Dewa Petir alias Dewa Maling alias Dewa Copet
tampak duduk menekur di bawah pohon beringin putih. Tidak jauh disebelahnya tampak Pangeran Demak
Pati masih tidur mendengkur. Waktu itu hari masih
terlalu pagi, matahari pun bahkan belum lagi menampakkan diri. "Bangun! Kita harus melanjutkan perjalanan!"
kata Dewa petir. Pendekar Kucar Kacir menggeliat sebentar, namun tidur kembali.
"Pangeran geblek ini kalau sudah tidur seperti


Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sapi" Dewa Petir menggerutu. "Hei, bangun! Sudah siang!" Si kakek mengguncangkan
tubuh Pangeran Demak. Seketika ia terjaga, tapi kemudian tidur lagi.
Dewa Petir lama-kelamaan jadi kesal, apalagi
bila mengingat ia belum tahu apakah muridnya yang
dilarikan Elang Perak dalam keadaan selamat atau malah sebaliknya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Dewa Petir
segera bangkit berdiri. Di tinggalkannya Pangeran Demak Pati seorang diri. Si kakek berbadan tambun ini
terus menelusuri sungai. Tidak sampai sepemakan sirih ia melangkah tiba-tiba ia melihat seorang kakek
tua berumur sekitar lima belas tahun lebih tua darinya
duduk uncang-uncang kaki di atas batu di tepi jalan
itu. Karena Dewa Petir tidak punya urusan dengan
orang ini dan tidak merasa kenal pula. Maka bermaksud berlalu begitu saja. Namun tiba-tiba saja Dewa Petir merasa ada desiran halus. Sebagai orang yang telah
kenyang makan asam garam dunia persilatan. Ia cepat
menghindar, sinar hitam lewat tidak jauh darinya. Kemudian terjadi ledakan dahsyat dua kali berturutturut. Daun semak-semak belukar disamping jalan
hangus dan mengepulkan asap hitam.
Dewa Petir membalikkan tubuhnya. Sehingga
kini ia dapat melihat wajah si kakek dengan jelas. Dia
seorang laki-laki bermuka hitam dan jelek rupanya.
"Kisanak ini siapa" Mengapa menyerangku" Kalau merasa kurang pekerjaan lebih baik mencangkul di
sawah." geram Dewa Petir.
Si kakek angkat topi bambunya, kemudian ia
memperhatikan Dewa Petir dengan tatapan dingin.
"Aku Singa Gunung, kurasa namaku pun kau
belum pernah mendengarnya. Kau adalah calon pertama dari percobaanku. Aku ingin melihat bagaimana
kedahsyatan pedang Penebar Bencana."
Mendengar kakek bermuka hitam ini menyebut
pedang Penebar Bencana. Maka Dewa Petir tercekat.
Pedang itulah yang tengah dicari-carinya bersama
Pendekar Kucar Kacir, sungguh ia tidak menyangka
sekarang telah jatuh ke tangan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Senjata itu adalah simbol pemersatu, mengapa
kau mencurinya" Sekarang serahkan padaku untuk
kuberikan pada yang berhak!" Permintaan Dewa Petir sama sekali tidak ditanggapi
oleh kakek bertopi bambu. Malah ia tertawa terbahak-bahak.
"Kau tahu apa" Aku tahu pasti asal usul pedang itu. Sebentar lagi aku akan melihat keampuhan
yang dijanjikan!"
Maka tercekatlah kakek tambun ini, mengingat
Pedang Penebar Bencana merupakan senjata ampuh
yang belum ada tandingannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Petir
segera mendahului melakukan penyerangan. Ternyata
kakek yang bergelar Singa Gunung ini bukan manusia
berkepandaian rendah. Hal ini terbukti, serangan Dewa Petir yang cukup terarah itu meleset. Pukulannya
hanya mengenai angin. Dewa Petir sempat tercekat juga. Namun ia tidak putus asa, ia kembali melancarkan
serangan beruntun yang dikenal dengan jurus
'Menyibak Air menangkap Bayangan'. Salah satu kelebihan jurus ini terletak pada gerakan maupun serangan yang tidak dapat ditebak arahnya.
Benar saja, di saat Singa Gunung berkelit
menghindari tinju kiri Dewa Petir, maka tangan kanannya menghantam ke bagian iga Singa Gunung. Kakek bertopi bambu mengeluh, tubuhnya terhuyunghuyung. Sungguh hebat orang ini padahal serangan
Dewa Petir mengandung tenaga dalam tinggi. Singa
gunung mendengus sinis. Tiba-tiba ia menggeser langkahnya ke samping kiri. Setelah itu kedua tangannya
terangkat tinggi-tinggi ke udara.
Tiga kali tangan berkuku runcing itu berputarputar, maka terlihatlah warna hitam pada setiap jarinya. Singa Gunung mengibaskan kedua tangannya
ke depan. Sinar hitam bergulung-gulung melabrak Dewa Petir. Si kakek tambun terpaksa bergerak mundur.
Lalu rangkapkan kedua tangannya di udara pula, sehingga terjadilah dentuman keras laksana suara petir.
Sinar pelangi bergulung-gulung menahan sinar
hitam yang terus meluncur di udara. Hingga akhirnya
terjadi benturan keras bukan alang-alang.
Buuumm! Gusraak! Dewa Petir terhempas ke belakang, tubuhnya
menghantam semak-semak. Singa Gunung yang sempat terhuyung-huyung segera perbaiki posisinya. Lalu
lepaskan pukulan lagi. Dewa Petir berguling-guling
hindari serangan, dari arah samping ia lepaskan pukulan balasan. Lagi-lagi terjadi ledakan keras laksana merobek
empat penjuru angin. Si kakek tambun merasa dadanya sesak luar biasa. Pabila ia menarik nafas, maka
ada darah yang mengalir di sudut bibirnya. Hal ini sulit dipercaya. Kejadian ini sulit dipercaya, mengingat
Dewa Petir termasuk tokoh yang memiliki kepandaian
tinggi. Secepatnya ia mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Sekujur tubuhnya bergetar keras, dari siku hingga ke pergelangan tangannya mencuat sinar pelangi. Pabila Dewa Petir menggoyangkan
tangan-tangan itu maka hanya panas menyengat bergerak cepat menyambar Singa Gunung. Kakek tua
menggeram lirih, kemudian tubuhnya melesat ke udara. Tidak urung kakinya masih tersambar sinar pelangi
yang melesat dari telapak tangan Dewa Petir.
Brees! "Akh...!"
Singa Gunung menjerit tertahan, bila ia terjatuh di atas tanah, maka kakinya tampak melepuh.
Sumpah serapah berhamburan dari mulut si kakek.
"Kau benar-benar ingin mampus secepatnya di
tanganku!" dengusnya dengan tatapan berapi-api.
Tiba-tiba ia mengambil pedang Penebar Bencana berikut warangkanya. Ternyata memang Singa Gunung inilah yang telah mencuri pedang dari tangan El
Maut di saat nenek tua itu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dewa Petir terkesiap melihat gelagat yang tidak
baik itu, ia bermaksud merampas pedang Pemersatu.
Sehingga secepat kilat ia melesat ke depan. Namun lawan ternyata tidak bodoh, ia cepat melompat mundur.
Serta merta pedang di cabut dari warangkanya. Sinar
merah hitam berkiblat begitu pedang tercabut dari sarungnya. Dewa Petir sudah tidak sempat lagi menghindar
karena jarak yang begitu dekat. Ia tutupi wajahnya,
namun apa yang terjadi kemudian begitu mengerikan.
Inilah bencana yang paling hebat yang tidak ada duanya di rimba persilatan manapun. Sinar merah hitam
yang berpedar-pedar itu bukan saja membuat tubuh
Dewa Petir hangus menjadi arang, tapi juga pohonpohon disekitarnya ikut hangus dan meranggas gersang. Kakek tambun itu jatuh tergelimpang, daging
dan tulang belulangnya yang menjadi arang segera berantakan. Terkecuali bagian wajahnya yang sempat
tertutup tangan tadi.
Singa Gunung menggeram pendek, tersenyum
dalam kepuasan. Sebagaimana yang telah sama kita
ketahui, siapapun yang memegang senjata itu tidak
akan terpengaruh kharisma pedang tersebut.
"Guruku Bayang Bayang telah mati di tanganku, ternyata kau menciptakan senjata ini tidaklah percuma, apa yang kau katakan terbukti. Ha ha ha...! Muridku Hantu Liang Lahat pasti sangat gembira mendapat oleh-oleh ini. Tapi aku harus mencari kesenangan
dulu di istana Pasundan! Kudengar disana banyak gadis-gadis cantik yang dapat kujadikan pemuas nafsuku! Ha ha ha...!" Singa Gunung tertawa membahak.
Setelah sarungkan pedang itu ia kemudian meninggalkan mayat Dewa Petir yang telah menjadi arang.
*** TIGA Pendekar Kucar Kacir tentu saja sempat mendengar suara ledakan-ledakan yang terjadi tadi. Namun ketika ia mencari-cari, suara yang didengarnya
lenyap. Kemudian ia memutuskan untuk menelusuri
pinggiran sungai. Ia terkesiap melihat pohon-pohon
yang meranggas jadi arang bahkan masih mengepulkan asap hitam.
Dengan perasaan tidak enak ia mendekati daerah terbakar seluas tujuh batang tombak itu. Keningnya berkerut. "Mustahil ada orang yang membakar hutan.
Mengapa tidak terbakar seluruhnya" Eeh... apa itu?"
kata si pemuda setelah melihat benda hitam teronggok
seperti jasad manusia yang terbakar. "Ini orang yang mati terbakar" Siapa yang
telah melakukannya"!"
Pendekar Kucar Kacir memperhatikannya dengan seksama, ia melihat jemari tangan yang hangus
menutupi bagian wajahnya. Hanya sedikit saja wajah
orang yang hangus itu tersisa. Ketika tangan disingkapkan, Pangeran Demak terhuyung mundur, matanya membelalak, mulutnya terbuka, namun tidak
sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Sekujur tubuhnya merinding. "De... Dewa Petir...!" desisnya dengan suara tercekat. "Mengapa begini jadinya?"
kata Pangeran Demak. Ia kemudian teringat tentang kehebatan pedang
Pemersatu, tanpa sadar ia pun menangis.
Belum juga tangisnya terhenti, tiba-tiba terdengar suara bentakan di belakangnya.
"Pangeran kerajaan Pasundan. Urusanmu masih banyak, mengapa kau jadi secengeng itu" Siapa
yang kau tangisi?" tanya suara tadi.
Ketika Pangeran Demak menoleh ke belakang,
maka terlihat olehnya seorang gadis berpakaian hitam
dan sobek disana sini. Dia tidak lain adalah murid Dewa Petir. "Kau lihatlah sendiri. Aku telah datang terlambat!" Pemuda baju putih mengakui. Merasa penasaran si gadis mendekati. Keadaan
mayat yang hangus sudah sulit dikenali. Namun bila melihat sisa wajahnya
yang sedikit utuh maka meraunglah Maling Jenaka.
"Guru... guruku! Apa yang telah terjadi padanya?" teriak Gadis di tengah isak tangisnya.
"Aku tidak tahu, seseorang telah membunuhnya dengan Pedang Penebar Bencana!" sahut Pendekar Kucar Kacir.
"El Maut yang melakukannya?" tanya Gadis.
Tatapan matanya penuh selidik.
"Aku tidak dapat memastikannya. Mungkin pedang di tangan El Maut telah jatuh ke tangan orang
lain. Bisa jadi ada pada Dewa Kubu. Lalu ia melakukan pembalasan karena kita telah membunuh muridnya Pangeran Suprana!" jelas si pemuda.
"Jahanam! Aku tidak bisa menerima semua ini.
Aku harus menuntut balas merampas senjata celaka
itu!" tegas Maling Jenaka.
"Kita tidak dapat melakukannya seorang diri.
Jika manusia seperti gurumu saja tidak dapat mengatasi kehebatan pedang itu, bagaimana dengan kita?"
Pendekar Kucar Kacir mencoba memberi pengertian.
"Kau takut mati, eh?" kata Maling Jenaka sinis.
"Aku sama sekali tidak takut. Tapi perjuangan
akan sia-sia jika tidak punya perhitungan yang matang. Oh ya, bagaimana kau selamat dari Elang Perak
celaka itu" Bagaimana dengan kawanku Suro?"
"Panjang ceritanya, sedangkan Pendekar edan
itu sekarang sedang pergi ke puncak bukit. Sebaiknya
kita kuburkan sisa-sisa jenazah guruku. Setelah itu kita pergi ke bukit itu?" tegas Gadis. Pangeran Demak mengangguk setuju.
Tidak lama lubang kubur sederhana yang tidak
seberapa dalam telah siap mereka gali. Gadis memberi
penghormatan yang terakhir pada gurunya. Cukup lama juga ia tapakur seperti orang linglung. Hingga kemudian Pangeran Demak membimbingnya untuk diajak mendaki ke bukit Sembuang.
*** Umurnya sekitar kurang lebih tiga puluh lima
tahun. Ia bertelanjang dada. Rambut pendek berdiri
tegak seperti bola berduri. Wajahnya pucat agak kekuning-kuningan. Dilihat sekilas lalu ia tidak ubahnya
seperti hantu yang bergentayangan. Oleh gurunya
Angku Muda Pasak Langit ia di beri gelar Hantu Liang
Lahat. Dulunya Singa Gunung menemukan seorang
pemuda remaja berumur sekitar lima belas tahun di
sebuah lubang pemakaman. Pemuda aneh berwajah
pucat seperti tidak berdarah itu sedang mengorekngorek kubur dan mencari bangkai. Bangkai yang sudah membusuk sekitar tujuh hari itu dimakannya. Tidak jelas asal usul pemuda ini. Ia berkeliaran dari satu kubur ke kubur lainnya
hanya ingin mendapatkan
bangkai yang masih baru. Sesungguhnya pemuda itu
sudah memiliki tanda-tanda kesaktian alamiah namun
sesat. Ia liar seperti singa, itulah sebabnya ketika Ang-ku Muda Pasak Langit
berhasil mengalahkannya secara licik, ia langsung mengangkat pemuda aneh berkesaktian tinggi ini menjadi muridnya.
Dalam didikannya, Hantu Liang Lahat semakin
bertambah sesat dan ganas. Korbannya tetap mayat
manusia yang telah membusuk. Ia sama sekali tidak
memiliki nafsu atau gairah terhadap lawan jenisnya.
Selama bertahun-tahun Hantu Liang Lahat tinggal di
Lembah Berpulang bersama gurunya. Sampai kemu

Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dian Singa Gunung mengajaknya keluar untuk satu
urusan di bukit Sembuang.
Kini ia terpaksa berjalan sendiri setelah ditinggalkan oleh gurunya. Dalam keadaan panas terik. Ia
sibuk mencari kubur-kubur baru. Sayang sampai sejauh itu ia belum mendapatkan bangkai yang menjadi
santapannya. "Sekali ini guru membohongiku lagi. Katanya di
bukit Sembuang banyak bangkai berserakan. Mana
buktinya" Perutku sudah lapar begini aku belum mendapatkan makanan barang secuil pun." Pemuda berkulit seperti mayat mendengus, matanya berputar-putar
liar mencari. Sampai kemudian ia melihat suara berisik tidak jauh di samping semak-semak belukar. Hantu Liang Lahat mendekati. Setelah dekat matanya yang
kuning seperti mata mayat berkedip-kedip.
"Kaaak!"
Ternyata yang dilihatnya adalah seekor burung
Elang raksasa berbulu putih keperak-perakan. Burung
itu mengibas-ngibaskan kepalanya, seakan ada sesuatu yang membuatnya kesakitan. Sebagaimana yang telah kita ketahui Elang Perak telah terkecoh oleh ulah
Pendekar Blo'on (untuk jelasnya dalam Episode Api Di
Puncak Sembuang). Melihat kehadiran Hantu Liang
Lahat, Elang Perak berubah beringas. Agaknya ia menjadi curiga pada siapapun, rasa sakit yang dideritanya
membuat Elang Perak menjadi liar.
"Hmm, burung besar. Belum pernah aku melihat burung sebesar ini. Kalau aku suka dagingnya,
pasti tidak akan habis kumakan. Tapi jika aku mengetahui apa yang dirasakannya, kurasa ia bisa menjadi
tunggangan yang bagus untukku!" pikir Hantu Liang
Lahat. Ia semakin mendekati burung tersebut. Namun
baru beberapa tombak, Elang Perak memperlihatkan
reaksi marah. "Kaaak...!"
Elang Perak mengangkat sayapnya tinggi-tinggi.
Bersamaan dengan itu Hantu Liang Lahat membentak.
"Jangan serang! aku bermaksud menolongmu!
Lihatlah mataku!"
Seakan mengerti apa yang dikatakan oleh pemuda berwajah mayat ini Elang Perak langsung memandang tajam ke mata si pemuda. Terlihat ada sinar
kuning berkiblat. Elang Perak tiba-tiba menggeram lirih, kepala ditundukkan dan sayapnya pun diturunkan. Hantu Liang Lahat tersenyum aneh.
Hanya dengan beberapa kali lompatan Hantu
Liang Lahat telah sampai di samping Elang Perak. Namun binatang ini tingginya bukan main, sehingga ia
memberi isyarat agar binatang itu menurunkan kepalanya yang terus dikibarkan. "Apa yang membuatmu
kesakitan?"
"Hiiii...!" Elang Perak memekik keras sambil
menggerak-gerakkan kepalanya.
Hantu Liang Lahat melihat telinga burung raksasa itu meneteskan darah. Maka ia pun segera memeriksa, ternyata di dalam liang telinga burung tersebut
terdapat seekor jengkerik hitam.
"Ini pastilah perbuatan usil manusia. Aku akan
mengeluarkan jengkerik itu. Jika sudah berhasil bawa
aku mencari orang yang menyakitimu, tapi kau juga
harus membantuku mencari bangkai untuk kumakan
hari ini. Aku sudah sangat lapar, kau dengar?"
"Kaak!"
Hantu Liang Lahat tanpa kesulitan berhasil
mengeluarkan jengkerik tersebut. Binatang kecil itu diremasnya hingga hancur. Lalu dielusnya kepala Elang
Perak. "Bawa aku terbang mencari makananku!" kata Hantu Liang Lahat sambil
melompat ke atas punggung
Elang Perak. Sekejap saja Elang Perak telah mengudara, ia
terbang berputar-putar menuju bukit Sembuang.
Elang itu membawa Hantu Liang Lahat ke daerah dimana mayat-mayat prajurit bergelimpangan di sana.
Dengan rakus dan sambil tertawa-tawa, Hantu Liang
Lahat berpesta pora di atas mayat-mayat prajurit yang
telah membusuk.
*** Setelah melihat bekas terjadi pertempuran di
sebelah utara Bukit Sembuang, Suro merasa yakin ada
sesuatu yang tidak beres telah terjadi dengan El Maut.
Kini ia merasa bingung di saat melihat kenyataan bukit itu dalam keadaan sunyi.
Pendekar Blo'on berlari-lari menuruni bukit, ia
terus berlari hingga jauh meninggalkan bukit yang
sempat menimbulkan kegegeran tersebut. Karena tetap
tidak menjumpai siapapun. Akhirnya si geblek memanjat pohon sampai hampir ke pucuknya. Dari atas ketinggian pohon ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Suro garuk-garuk kepala, kesal, bingung menjadi satu, lalu di aduk-aduk. Hingga membuat Suro
semakin bertambah konyol.
"Orang-orang! Kemana kalian semuanya" Apa
sudah pada tergusur ke liang kubur! Hoi... jawablah
suaraku?" teriak Suro disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, hingga membuat
binatang-binatang hutan
lari menjauh terbirit-birit. Suro seka keringat di keningnya, Lalu garuk-garuk kepala lagi. Suro bergerak
turun lagi, gerakannya cepat seperti tupai. Di pertengahan pohon ia berhenti. Lalu ia duduk di salah satu
cabang sambil uncang-uncang kaki membuang kekesalannya. Ke bukit aku turut,
Ke gunung kau terkentut-kentut
Tidak terhitung nyawa melayang
Hanya karena berebut pedang
Pendekar Kucar Kacir Pangeran linglung
Gurunya mati terbunuh.
Aku lihat roh-roh bergentayangan
Tidak diterima bumi, terusir dari langit.
Hei... orang-orang....
Orang orang kaya, orang berpangkat
Orang susah, orang tertindas, orang tergusur
Orang yang tinggal di kolong jembatan, sampai
laler ijo. Mari kita lihat orang berebut pedang, berebut pangkat, berebut
kerakusan, hingga tubuh mereka ter-sungkur terbungkus kafan
Lalu, Di sini aku bingung
Linglung, ha ha ha...!
Suro tiba-tiba tekap bibirnya. Ia sudah terlanjur bicara sembarangan. Ini karena kebiasaan buruknya yang telat mikir, walau sesungguhnya ia berotak
cerdik. Baru saja si konyol bermaksud turun ke bawah. Tiba-tiba ia melihat dua bayangan berkelebat cepat. Yang berpakaian merah menggandeng tangan gadis berpakaian putih. Melihat cara yang dilakukan
orang berbaju merah Suro jadi geli sendiri. Tingkah si
kakek seperti meminggit anak saja.
Barulah setelah kedua orang ini semakin bertambah dekat, Pendekar Mandau Jantan kedipkedipkan matanya seakan tidak percaya.
"Lho, itu kan kakekku"! Ngapain dia kemari"
Apa puteri Saba pacarnya. Kalau betul, ini keterlaluan
namanya, sudah tua bangka masa' masih juga pacaran. Gandeng-gandengan seperti kereta kuda, aku
sendiri yang muda belum pernah begitu!" kata Suro
dengan mulut terpencong.
Si konyol diam mendekam di atas pohon. Kebetulan Malaikat Berambut Api hentikan larinya. Di atas
pohon Suro terpaksa menahan nafas.
"Sialan, mengapa tiba-tiba saja aku jadi ingin
kentut"!" gerutu Suro.
Puteri Saba dan Malaikat Berambut Api yang
berdiri tidak jauh di bawah pohon tampak terlibat
pembicaraan. Setelah itu terdengar sindiran yang
membuat kuping si konyol berubah memerah.
"Manusia kurang ajar adalah yang tidak tahu
peradatan. Bertingkah seperti monyet kurapan pakai
ngumpet (sembunyi) di atas pohon. Di Gunung Mahameru kulihat banyak monyet siluman ingin jadi manusia. Ini ada anak manusia ingin menjadi monyet. Kalau
tidak waras, tentu dia sudah gila! Turun monyet berwajah tolol, atau aku akan menyeretmu!"
"Wah, guru edan. Aku dikatai monyet, padahal
dia sendiri pelihara berewok. Mungkin mau jadi monyet juga!" gerutu Suro Blondo.
Sambil melorot turun Suro menggerutu dalam
hati. Ia langsung cengengesan setelah berhadapan
dengan guru sekaligus kakeknya sendiri.
"Bocah gendeng! Begitu rupanya Penghulu Siluman Kera Putih mendidikmu! Bertemu denganku
tingkahmu malah seperti orang kurang waras!" bentak kakek Dewana.
Suro langsung sadar bahwa orang tua yang satu ini tidak kena diajak main-main. Jika ia marah Suro
bisa celaka. Suro bersikap serius, sungguh tingkahnya tidak di buat-buat. Ia jatuhkan diri berlutut sambil berkata. "Terima hormatku, kakek, guruku juga. Sudah lama kita tidak bertemu aku
rindu sekali. Sebaiknya
kita salaman dulu, setelah itu baru ngobrol tentang
puteri yang telah menjadi pacarmu! Salaman, guru.
Uhh... aku sudah kangen sekali!" kata Suro. Habis berlutut ia bangkit, lalu
menghampiri si kakek dengan
mata setengah terpejam. Agaknya Malaikat Berambut
Api adalah orang yang paling disegani oleh Suro, sehingga memandangnya pun ia tidak berani.
Ia terus berjalan, tapi arahnya salah sehingga
yang didatanginya malah puteri Saba. Setelah salaman, karena rindunya ia memeluk puteri Saba yang di
anggap gurunya sendiri. Suro tiba-tiba terkesiap dan
cepat melangkah mundur.
"Guru...! Sejak kapan dadamu ada benjolannya!
Baumu harum, padahal dulu kau bau apek sekali
dan...!" "Diam!" Kakek Dewana membentak marah. Ji-dat Suro didorong pakai jari
telunjuk. Bukan dorongan
biasa tentu saja, hingga membuat Suro jatuh terduduk. "Buka matamu anak tolol, sampai kapan kau
akan pelihara ketololanmu?"
Pendekar Blo'on buka matanya. Ternyata orang
yang disalam dan dipeluknya tadi adalah puteri saba.
Herannya gadis cantik pewaris tahta kerajaan Pasundan itu tidak marah, hanya wajahnya saja tampak berubah. EMPAT "Hayo jawab sampai kapan kau pelihara ketololanmu?" bentak Malaikat Berambut Api mengulangi
pertanyaannya. Suro cengar cengir. "Cengengesan lagi,
biar kutampar kau punya mulut!"
Suro langsung dekap mulutnya. "Guru tidak
usah marah-marah." Kata Suro bersikap sungguhsungguh. "Aku tidak pernah memelihara ketololan,
Cuma si tolol saja yang selalu ikut kemana aku pergi.
Guru, kalau boleh aku bertanya, bagaimana guru yang
sudah tua pacaran dengan puteri raja" Aku yakin masa kecil guru tidak bahagia!"
"Diam! Anak setan, kuberi kau kebebasan untuk mencari pengalaman di rimba persilatan. Ternyata
kau bukan dapat pengalaman, tapi malah gilamu semakin menjadi-jadi. Rupanya kau tidak melihat bahwa
urusan semakin bertambah gawat"!" Melihat mata Malaikat Berambut Api yang melotot. Suro tundukkan
kepala. "Lalu apa yang harus kuperbuat, guru. Aku
sendiri hampir mampus dihajar Elang Perak pulang
pergi. Aku maklum, guru sampai menyusulku kemari
dan meninggalkan pulau Seribu Satu Malam, tentu karena menganggap persoalan gawat." Kata Suro.
"Betul, ternyata otakmu encer juga. Persoalan
pedang menjadi runyam karena kau berurusan dengan
tokoh-tokoh yang punya kepandaian setingkat denganku. Kini pedang itu tidak lagi di tangan El Maut!"
jelas kakek Dewana. Beliau kemudian menceritakan
apa yang telah terjadi. Suro mendengar penjelasan gurunya dengan bersungguh-sungguh. Hanya matanya
saja yang berkedap-kedip seperti kelilipan. Setelah
mendengar penjelasan gurunya Suro ajukan pertanyaan. "Jadi apakah mungkin saudara guru tertua
yang mencuri pedang itu?"
"Kemungkinan itu ada. Sekarang cobalah kalian kembali ke kota raja. Jaga puteri Saba baik-baik.
Aku akan menyelidik ke daerah sekitar pesisir pulau
Jawa ini. Jika kau bertemu dengan orang tua yang
bernama Dewa Kubu. Sebaiknya kau berhati-hati, dia
manusia setengah roh yang licik."
"Guru, perintahmu akan kukerjakan. Aku gembira pergi dengan puteri Saba. Terima kasih atas kepercayaan yang kau berikan padaku!" kata Suro kemudian ia menjura hormat.
"Hati-hati Suro, jika sampai puteri raja kau
buat bunting! Aku benar-benar akan membunuhmu!"
pesan Malaikat Berambut Api.
Suro membungkukkan tubuhnya lagi. Sampai
ia merasakan tepukan seseorang di punggungnya. Cepat-cepat ia berdiri. Puteri Saba tersenyum penuh wibawa. "Kakekmu sudah pergi, kau menungging seperti
ayam mau bertelur. Sungguh watakmu seperti bumi
dengan langit bila di bandingkan dengan gurumu!" kata sang puteri.
"Aku takut dengan tua bangka berambut merah
tadi." Jelas Suro tanpa malu-malu. Bicaranya yang
ceplas-ceplos menyebut gurunya dengan 'tua bangka'


Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan suatu tanda, bahwa sikap Suro memang
tidak di buat-buat.
"Sebaiknya cepat kita tinggalkan tempat ini.
Sebentar lagi hari sudah semakin gelap." Ujar puteri
Saba. Suro tidak segera menjawab. Namun kemudian
anggukkan kepala. Kedua muda mudi ini kemudian
melanjutkan perjalanan ke kota raja.
Hari sebentar saja menjadi malam, langit mendung. Angin bertiup kencang. Kegelapan semakin bertambah pekat. Ada beberapa batang pohon yang bertumbangan di sekitar jalan setapak yang mereka lalui.
Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya.
"Kita harus mencari tempat berteduh!" berkata
Pendekar Blo'on di tengah-tengah gemuruh suara hujan. "Di rimba belantara seperti ini. Mana ada pondok, sebaiknya kita berteduh di bawah pohon besar
itu?" usul puteri Saba. Sementara itu pakaiannya sudah mulai basah kuyup.
Suro terdiam untuk beberapa saat lamanya, di
perhatikannya puteri Saba yang sudah mulai menggigil
kedinginan. Agaknya gadis ini tidak pernah mengalami
kesengsaraan selama ini. Hingga Suro merasa kasihan.
Murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api celingukan. Hingga akhirnya ia melihat sebuah pondok buruk yang agaknya telah lama ditinggalkan oleh penghuninya. Suro merasa yakin pondok
itu pastilah milik para pemburu untuk tempat tinggal
sementara semasa waktu berburu.
"Puteri, kulihat tidak jauh dari sini ada sebuah
pondok. Mari kita ke sana, hujan ini cukup lama. Kau
bisa sakit!"
Puteri Saba ragu-ragu. Ia percaya dengan kejujuran Suro, mustahil pemuda itu berbuat macammacam. Ia sendiri tidak dapat memungkiri perasaan
hatinya yang mulai tertarik pada Suro.
Yang ia khawatirkan bagaimana jika pondok
buruk itu adalah jebakan yang di buat oleh seseorang"
"Ayolah, puteri. Hujan semakin menggila, lebih
gila jika kita tetap bertahan disini!" desak Pendekar
Blo'on. Karena pemuda berambut hitam kemerahmerahan itu terus mendesak. Puteri Saba akhirnya
mengalah. Mereka berlari-lari menghampiri pondok.
Pintu pondok yang tertutup didorong oleh Suro. Setelah memeriksa keadaan di dalam pondok yang gelap,
maka Pendekar Mandau Jantan mempersilakan puteri
Saba menaiki tangga
Suro menyalakan pelita kecil yang tergantung
di dinding, minyaknya yang berasal dari kelapa memang tinggal sedikit, tetapi cukuplah untuk sementara
waktu. Setelah itu Suro duduk di pinggir pintu. Ia
tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba terlintas,
bayangan ketika ia berada di reruntuhan kuil. Di saat
itu muncul Dewa Petir, kemudian muncul pula Gadis
alias Maling Jenaka. Gadis yang mencemo'ohnya dengan mencuri senjata milik Suro. Meskipun hanya
mempermainkan, namun Suro sempat kelabakan juga,
(untuk lebih jelasnya dalam Episode Api Di Puncak
Sembuang). Suro tiba-tiba usap wajahnya. Udara dingin terasa sangat menggigit. Kemudian ia sandarkan
tubuhnya, teringat olehnya sosok wajah yang demikian
cantik, gerakannya cepat seperti kilat. Dialah puteri Kilat Bayangan, gadis yang
diam-diam di cintainya tapi
Suro sepertinya sadar bahwa gadis itu seperti tidak
menaruh cinta padanya. Suro memang konyol, namun
sebagai manusia bukan berarti ia tidak pernah sedih.
Sedih bila cintanya ditolak, atau kecewa bila perasaannya tidak bersambut (Dalam Episode Jodoh Di
Gunung Kendeng). Padahal memang banyak juga gadis-gadis yang mencintainya. Seperti Dewi Bulan misalnya, atau Dewi Kerudung Putih yang misterius (dalam Episode Bayang Bayang Kematian). Dan atau Dewi
Arimbi yang juga mengharap cintanya (Episode Memburu Manusia Setan). Terlalu banyak nama 'Dewi'
hingga membuatnya pusing. Wanita adalah sosok yang
misterius dan sulit di duga, mereka punya sembilan
puluh sembilan kenikmatan namun mempunyai rasa
malu yang lebih tinggi dari laki-laki. Walau pun terkadang ada juga yang bikin malu keluarga! Suro garukgaruk kepala. Lalu bengong lagi seperti ayam pikun.
"Suro...!" Sebuah suara yang begitu merdu
memanggilnya. Suro menoleh, serentak lamunannya buyar seketika. Dilihatnya puteri Saba duduk meringkuk di pojok ruangan dengan tubuh menggigil.
"Ada apa, puteri?" tanya Suro, seraya datang
menghampiri. Setelah meraba kening sang puteri, ternyata tubuh gadis cantik itu panas. "Kau sakit?"
"Mungkin, tubuhku dingin sekali." Sang puteri
mengeluh. "Maafkan aku, boleh kupijit tengkukmu, kurasa
ada jalan darah yang tidak lancar"
Gadis itu terdiam, ragu-ragu. Namun kemudian
anggukkan kepala. Suro memijit bagian-bagian pembuluh darah besar. Ia kemudian melepaskan pakaiannya yang sudah mulai mengering tertiup angin.
Ia menyelimuti tubuh puteri Saba. Tidak lama
Suro sudah tidur menelentang di depan pintu. Sesungguhnya ia tidak tidur, karena malam ini ia harus berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Si gadis merasa
terharu atas kebaikan Pendekar Blo'on. Ia membayangkan andai saja ia mendapat pendamping sesabar dan selembut pemuda itu. Betapa hidup ini menjadi lebih indah, lebih menarik dan ia tidak perlu
mengkhawatirkan keselamatan kerajaan dan rakyatnya. Keadaan semakin bertambah sunyi, hujan tidak
lagi turun sederas tadi. Sekarang hanya tinggal rintikrintik saja. Puteri Saba yang takut akan kegelapan segera merebahkan tubuhnya di samping Suro. Namun
ia merasa gelisah. Kini semakin dekat ia dengan Suro
hati puteri Saba kian gelisah. Akhirnya ia bangkit duduk melirik ke arah Suro dengan malu-malu. Andai saja mereka berada di istana, pasti puteri telah menyelimuti Suro pula. Atau jika ia tidak merasa malu pada
diri sendiri, pemuda itu sudah di ciumnya. Namun
mengingat betapa rendahnya bila ia lakukan semua
itu. Puteri Saba jadi urung. Ia kemudian tertidur di
samping Pendekar Blo'on memeluk mimpi dalam kegelisahan yang panjang.
Keesokan paginya kedua muda mudi itu tersentak kaget begitu mendengar suara bentakan di depan
pintu pondok. Begitu nyenyaknya tidur mereka, hingga
Suro sendiri tidak mengetahui ada seseorang berwajah
pucat seperti mayat mendatangi pondok yang mereka
tempati. Suro Blondo julurkan kepala, kemudian melihat keluar. Semakin jelaslah orang yang membentak
mereka tadi. Dia adalah seorang pemuda berambut lurus tegak berdiri. Wajahnya sepucat mayat, mata pemuda itu berwarna kuning seperti mata mayat.
Pendekar Blo'on kerutkan keningnya sambil
berfikir siapa gerangan pemuda berwajah dingin ini.
Suro sekali lompat langsung berada di depan pemuda
muka mayat. Ia berkeliling berjalan mengitari orang
asing ini seperti layaknya seorang juragan sapi yang
sedang menaksir barang yang hendak dibelinya. Sedangkan puteri Saba kelihatan cemas menunggu di dalam pondok. Ia yakin orang yang baru datang itu pastilah bukan orang baik-baik.
"Saudara siapa kira-kira, ya?" tanya Suro berlagak seperti orang pikun.
Hantu Liang Lahat mengguman tidak jelas.
"Baunya busuk begini apa dia belum mandi."
Kata berambut kemerahan sambil menyampirkan baju
yang belum sempat dipakai seenaknya di atas bahu.
"Kau dengarkan baik-baik. Aku Hantu Liang
Lahat, aku suka memakan daging manusia yang sudah busuk. Aku datang kemari ingin bertanya, apakah
Kota Raja masih jauh lagi dari sini" Dan kau siapa?"
suara Hantu Liang Lahat satu-satu, suaranya serak
seperti ada tulang menyumbat tenggorokannya.
"Hantu Liang Lahat.'" Suro manggut-manggut
sambil meneliti kaki si pemuda. Ternyata kaki orang
ini menyentuh tanah. Jadi hanya gelarnya saja Hantu
Liang Lahat, bukan hantu sungguhan. "Hantu, apakah
saudaramu hantu juga" Bagaimana hantu bisa kesasar ke kota" Aku dengar hantu di kota-kota sudah tergusur, bahkan rumahnya sudah dikencingi neneknenek. Mungkin kau keliru!"
"Manusia tidak tahu gelagat! Segera akan kau
rasakan apa yang terjadi padamu!" dengus Hantu
Liang Lahat. Seraya bersuit keras, kemudian terdengar
suara sahutan di angkasa. Angin menderu, yang datang ternyata Elang Perak burung raksasa. "Sahabatku, katakan padaku apakah ini kunyuknya yang telah memasukkan jangkerik ke dalam telingamu?"
tanya Hantu Liang Lahat ditujukan pada Elang Perak.
Burung raksasa itu menyahuti dengan pekikan
panjang menggeledek.
"Hhh, ternyata burung itu mengatakan kau
yang telah menyakiti dirinya. Aku mewakilinya untuk
membunuhmu!" Si pemuda muka mayat menggeram
pendek. Suro sempat tercengang, tidak menyangka
ternyata Elang Perak yang telah ia perdaya masih bertahan hidup. "Jangan terburu nafsu, kau tidak mengenalku.
Lagipula kau tidak mengenal bahasa burung. Apa buktinya aku telah mengganggu binatang itu, Hantu?"
tanya Suro. Hantu Liang Lahat mendengus.
Tiada terduga ia kirimkan satu jotosan keras,
kemudian ia juga hantamkan kakinya ke bagian perut
si pemuda. Suro cepat sekali miringkan tubuhnya lalu
tangannya menangkis serangan beruntun tersebut.
Duuk! Duuk! "Haeh...!" Pendekar Blo'on memekik kaget. Ia
seperti membentur batu es saja, dingin dan atos bukan
main. Sedangkan kaki Hantu Liang Lahat melesat
membeset udara. Suro terpaksa berjingkrak-jingkrak
sambil leletkan lidah terdengar suara siulannya yang
tidak menentu. Lagi-lagi ia berkelit lalu bersalto seperti monyet melompat ke
belakang dengan kaki di atas. Serangan ini juga luput.
Hantu Liang Lahat menggerung, ia menerjang
lalu terlihatlah betapa tubuhnya laksana terbang. Berputar-putar di udara dengan indahnya, saat berat tubuhnya meluncur ke bawah, kakinya menyambar dengan dahsyat ke bagian kepala Suro Si konyol lindungi
kepalanya, lalu melompat dengan tubuh setengah berjongkok, karena serangan itu terus menggebahnya.
Maka pemuda ini terpaksa berguling selamatkan diri.
Secepatnya Pendekar Mandau jantan bangkit
berdiri, mulutnya termonyong-monyong tanda keseriusannya menghadapi lawan.
"Pemuda ini benar-benar hantu, gerakannya
cepat seperti setan. Rasanya kalau aku dapat menghajarnya, baru puas hatiku jika sudah ku konsentrasidannya yang bau itu!" maki Pendekar Blo'on dalam hati. Ternyata Hantu Liang Lahat tidak mengenal
basa basi. Ia segera membangun serangan kembali
dengan kekuatan berlipat-lipat. Sambaran angin serangannya saja sudah membuat kulit Suro seperti ditusuk-tusuk jarum. Tidak ayal, ia lipat gandakan tenaga dalam ke sekujur tubuhnya. Didahului dengan terdengarnya suara teriakan-teriakan seperti suara monyet. Seiring dengan suara teriakannya, Suro mengeluarkan jurus aneh 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'. Nama jurusnya memang terkesan lucu,
sesuai dengan penciptanya yang ugal-ugalan. Namun
ketika Suro berkelebat, maka segera terlihat kedahsyatan yang terkandung dalam setiap gerakan yang dilakukannya. Angin mendesir-desir, pasir berterbangan,
lalu terdengar suara lolongan di sana sini hingga
membuat konsentrasi Hantu Liang Lahat sempat kacau juga. Namun manakala ia mengeluarkan bentakan
keras, tahu-tahu tubuhnya melayang sedangkan tinju
menderu mengancam tenggorokan Suro. Pemuda ini
selamatkan lehernya agar tidak hancur terkena tinju
lawan. Namun kemudian tinju itu membuka, hingga
melesatlah lima larik sinar menebar bau busuk dan
menghantam dada Pendekar Blo'on.
Tes! Tes! Brak!
Suro terpelanting keras, seakan ada tenaga
raksasa yang mendorongnya. Lima sinar menembus
kulitnya hingga mengucurkan darah. Melihat darah,
Hantu Liang Lahat semakin beringas, sementara Elang
Perak terus berputar-putar di atas mereka.
Hantu Liang Lahat kini hantamkan pukulan jarak jauh. Ada sinar biru berkiblat secepat kilat, lalu
hawa dingin menghampar. Puteri Saba yang berada di
dalam pondok saja sempat menggigil tubuhnya terkena
pengaruh pukulan pemuda muka mayat.
Suro sadar betul lawan bermaksud merenggut
lepas nyawanya. Ia tentu tidak mau konyol untuk yang
kedua kalinya. Siap-siap ia lepaskan pukulan 'Ratapan
Pembangkit Sukma'. Sebelum pukulan lawan yang di
kenal dengan nama 'Mengorek Kubur Menjemur Mayat'
meluluhlantahkan tubuh Pendekar Blo'on. Dengan gerakan asal-asalan ia dorong kedua tangannya ke depan. Angin kencang putih laksana hamparan salju
menderu. Lalu keduanya saling bersambut di udara.


Pendekar Bloon 16 Rahasia Pedang Berdarah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengarlah suara dentuman laksana merobek langit
menghancurkan gendang-gendang telinga. Pengaruh
ledakan itu saja membuat pondok runtuh, dari dalamnya terlihat berkelebat sosok tubuh serba putih yang
tidak lain adalah puteri Saba. Melihat ini Elang Perak
bermaksud menyerangnya, namun karena si gadis berlindung di bawah beringin putih yang rindang, gerakan
Elang Perak jadi terhalang.
*** LIMA Suro Blondo tergontai-gontai, wajahnya tampak
pucat. Nafas pemuda itu menyesak seperti ada bagian
jalan darah yang tidak normal. Hantu Liang Lahat
yang kepalanya sempat nyungsep ke tanah segera
bangkit berdiri. Kepala yang pusing di gelenggelengkan, bibirnya meneteskan darah berwarna agak
hitam dan busuknya bukan main. Ia seka darah,
memperhatikannya sebentar, lalu terdengar tawanya
yang rawan mendirikan bulu roma.
"Iblis ini tidak mengenal rasa sakit sedikitpun,
semakin terluka ia malah tertawa seperti orang gila!
Weh, kalau aku tidak menggunakan siasat bukan
mustahil tujuh hari mendatang aku disantapnya!" batin Suro sambil garuk-garuk
kepala. "Anak muda bertampang konyol, kau punya
mainan boleh juga! Ingin kulihat apa yang bisa kau lakukan setelah ini. Apa mau melompat-lompat terus seperti monyet atau kau memang monyet yang baru
menjadi manusia"!" ejek pemuda muka mayat.
Di ejek begitu panas juga hati Suro, namun ia
tidak mudah terpancing kemarahan lawan, karena
memang begitulah wataknya. Sebaliknya sambil bersikap waspada ia menimpali.
"Hantu kesasar bermulut besar, kepandaianmu
baru seujung kuku, gelarmu menakutkan. Wajahmu
jelek seperti pantat nenek-nenek, buktikan kau punya
bicara jangan cuma sesumbar! Atau berlututlah kau
pada tuanmu ini, mudah-mudahan juraganmu mengampuni jiwamu yang busuk!"
Hantu Liang Lahat adalah manusia berangasan
yang pantang dihina atau diremehkan oleh orang lain.
Mendengar kata-kata Suro alisnya bergerak-gerak. Lalu ia mengerahkan jurus dahsyat 'Merobek Bangkai Di
Malam Gulita'. Pemuda ini sekali sentakan tangannya
ke depan, sekali ditarik ke belakang lalu gerakan selanjutnya seperti mengoyak-ngoyak. Terdengar pula jeritan Hantu Liang Lahat yang menyentak penuh tenaga. Kelanjutannya ia berputar membelakangi lawan lalu bersalto dengan gerakan terbalik.
Hanya sepersekian detik saja tangannya telah
merobek perut Suro. Beruntung pemuda ini lindungi
perutnya dengan tenaga dalam, hingga pakaiannya saja yang tercabik. Serangan susulan lebih dahsyat lagi.
Sebelum serangan itu merobek dadanya, ia sudah pergunakan jurus khusus menghindar yang dikenal dengan nama 'Kacau Balau'. Jurus ciptaan Malaikat Berambut Api ini benar-benar ampuh. Meskipun gerakan
dan langkah-langkah kaki Suro terkesan kacau dan
asal-asalan. Namun tidak satupun serangan Hantu
Liang Lahat yang mengenai sasaran.
Rupanya pemuda muka mayat jadi penasaran,
ia kembali berbalik. Di kala itu Suro sudah cabut senjata andalannya. Ketika senjata itu berkiblat di udara, mula-mula terdengar
suara mendengung, Suro memi-ringkan Mandau di tangan, lalu terdengar suara ringkik kuda. Ketika senjata itu diputar dan diputar lagi
dengan gerakan berubah-ubah, maka terdengarlah suara rintihan tangis dan tawa. Suara rintihan dan tawa
terus terdengar tiada henti. Hantu Liang Lahat bersurut langkah, memandang pada Suro dengan perasaan
heran bercampur marah.
Namun ia kemudian menerobos pertahanan lawan dengan cara berguling-guling dan tendangkan kakinya. Suro melompat tinggi, lalu berjumpalitan. Namun sekarang datang pula jotosan lawan yang mengeluarkan deru angin panas berpijar. Serangan itu tidak
dihindari oleh Pendekar Blo'on, ia malah hantamkan
Mandau di tangannya. Kaget Hantu Liang Lahat bukan
alang-alang. Ia menarik balik tangannya, sayang gerakan yang dilakukan Hantu Liang Lahat kalah cepat.
Sehingga mata Mandau yang tajam itu menebas putus
tangan pemuda muka mayat.
"Akhhh...!"
Untuk pertama kalinya Hantu Liang Lahat
menjerit kesakitan. Buntungan tangan menggelepar di
atas tanah, lalu diam. Setelah menotok jalan darah.
Pemuda muka mayat bangkit berdiri. Dalam keadaan
marah seperti itu tampangnya berubah mengerikan.
Suro berteriak dengan mulut terpencong.
"Hantu buntung sebaiknya kau menyerah!"
"Bangsat! Tidak ada kata menyerah dalam hidupku!" maki Hantu Liang Lahat. Tiba-tiba ia pukulkan tangan kirinya ke depan,
Suro sadar betul lawan
bermaksud mengadu jiwa dengannya. Sehingga ia pun
terpaksa melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir'.
Wuut! Wuut! Sinar merah hitam berkiblat, terdengar suara
jeritan di sana sini. Suara itu, seakan datang dari alam para roh penghuni
neraka. Kemudian terjadilah dentuman menggeledek.
Blaamm! "Huaagrrrrk...!"
Hantu Liang Lahat terpelanting roboh, tubuhnya yang hampir gosong berkelojotan, lalu terdiam untuk selama-lamanya. Suro tergontai-gontai. Dari bibirnya terdengar nyanyian sumbang. Di angkasa sana
Elang Perak memekik seakan merasa kehilangan. Tapi
dia juga tidak melakukan serangan. Entah apa yang
terjadi pada burung itu. Sang raksasa berputar-putar
dan membubung tinggi. Selanjutnya meluncur ke arah
kerajaan Pasundan.
Kalau pun ada orang yang sangat kagum melihat pertempuran yang sengit tadi puteri Saba-lah
orangnya. Ia semakin jatuh hati pada pemuda tampan
bertampang ketolol-tololan ini. Dihampirinya Suro, matanya berbinar-binar memandang dengan tatapan penuh arti. "Kau bisa mengalahkan manusia itu. Sungguh
aku tidak menyangka kau memiliki kepandaian tinggi."
puji puteri Saba.
Suro cuma cengengesan. Setelah diam sebentar
kemudian berkata.
"Kerajaan masih jauh lagi dari sini! Kalau aku
menggandeng tanganmu apa tidak marah?" Goda Pendekar Blo'on. Wajah puteri Saba memerah sekejap. Lirikan mata si gadis sudah merupakan satu isyarat bagi
Suro bahwa puteri Saba tidak menolak. Digandengnya
puteri Saba, lalu Pendekar Blo'on membawanya berlari
secepat terbang. Dikejauhan terdengar suara siulan
panjang tidak menentu. Suasana kembali sepi seakan
tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.
*** Pabila kakek bertopi caping bambu masuk ke
dalam warung di pinggir jalan utama kota raja. Maka
para pelanggan warung tampak menunjukkan rasa tidak senangnya. Namun kakek bercaping bambu yang
tidak lain adalah Angku Muda Pasak Langit ini bersikap acuh-acuh saja. Selain para pelanggan biasa, ternyata di dalam warung tersebut terdapat tiga orang
prajurit, yang kelihatannya baru saja selesai membicarakan masa depan kerajaan yang suram.
"Siapa merasa pemilik warung ini, harap melayaniku." dingin suara si kakek. Sikapnya acuh, tidak memandang muka pada orang
lain. Seorang laki-laki
muda datang menghampiri.
"Kisanak mau pesan apa?" tanyanya ragu-ragu.
Melihat penampilan orang tua yang sombong ini rasanya ia memang tidak punya uang.
"Semua pundi-pundi arak bawa kemari. Sepuluh ekor ayam kalau ada seorang gadis untuk menemani agar makanku jadi lahap!" kata Singa Gunung
seenaknya. Pemilik warung tercengang. "Gadis tidak ada,
kisanak. Dua pesanan lainnya segera saya sediakan."
jawab laki-laki muda itu. Seraya cepat-cepat berbalik
ke belakang. Namun baru beberapa langkah terdengar
bentakan salah seorang prajurit yang berbadan tegap
tinggi. "Jangan kau layani permintaannya. Biarkan tikus jembel itu mengais
tulang Belulang ayam di tong
sampah. Turut perintahku atau kau akan mendapat
hukuman berat!" Ancam pengawal.
Singa Gunung angkat topi capingnya, hingga
wajahnya yang angker itu terlihat jelas oleh semua
orang yang berada di dalam ruangan. Sikapnya tetap
acuh. "Pulanglah kau menetek pada ibumu. Kau baru
saja menjadi anjing penjaga, lagakmu sudah seperti
dedengkot iblis!" dengus Angku Muda Pasak Langit.
Diejek begitu rupa di depan orang banyak, tentu pengawal ini merasa pamornya langsung turun beberapa tingkat.
"Mulutmu keterlaluan tua bangka busuk! Rasakanlah tombakku!" teriak si tinggi tegak. Ia langsung menusukkan tombaknya ke
pinggang si kakek. Semua
orang dapat memastikan sekali tusuk matilah kakek
berbaju hitam ini. Tanpa disangka-sangka Singa Gunung berpaling, lalu menghembuskan nafasnya kuatkuat. "Akh...!"
Pengawal ini menjerit kesakitan, ia tidak mampu bergerak karena sekujur tubuhnya ternyata telah
ditotok. Dua orang kawannya tercengang, bagaimana
kakek tua itu dapat melakukan totokan hanya dengan
menghembuskan nafas saja. Suatu kejadian langka
dan jarang ditemui. Mereka langsung ciut nyalinya.
Namun dengan membiarkan kawan mereka dalam
keadaan seperti itu adalah sesuatu yang sangat memalukan. Serentak dua orang lainnya cabut pedang. Angku Muda Pasak Langit menjadi marah melihat kenyataan ini. Ia bangkit berdiri, bukan untuk memberi pelajaran. Namun cabut pedang berikut rangkanya.
"Silakan kalian bersombong-sombong di neraka
sana. Makan kubatalkan dan aku harus secepat
mungkin ke istana!"
"Jangan mimpi!" teriak pengawal tadi sambil
bacokkan pedang di tangan. Hanya sedikit berkelit, luputlah serangan itu. Angku Muda Pasak Langit tibatiba saja cabut pedang Penebar Bencana.
Seer! "Haaaaah...!"
Seluruh orang yang berada di dalam warung
langsung menjerit histeris ketika melihat sinar hitam
memijar dari pedang di tangan Singa Gunung. Mereka
bergelimpangan roboh, warung terbakar. Sosok bayangan berkelebat keluar disertai tawa bekakakan. Mereka
semua tewas dalam keadaan hangus sebelum api yang
membakar warung menjilat tubuh mereka.
Demikian dahsyatnya kharisma Pedang Penebar Bencana, hingga pancaran cahayanya saja membuat rumah dan benda-benda di sekitarnya terbakar,
apalagi manusia yang tubuhnya terdiri atas darah dan
daging. Demikianlah dengan congkaknya Singa Gunung di sepanjang perjalanan menebar maut mengumbar bencana. Sampai di kerajaan Pasundan, prajurit-prajurit penjaga pun mengalami nasib serupa
yang demikian tragis. Hingga tanpa kesulitan apa-apa
ia berhasil masuk ke istana.
Angku Muda Pasak Langit bukan main girangnya melihat gadis-gadis yang sangat banyak di setiap
kamar kaputren.
"Ha ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Begini
Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 35 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Heng Thian Siau To 6

Cari Blog Ini