Ceritasilat Novel Online

Rahasia Sumur Tua 1

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua Bagian 1


Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1 HARI telah lewat tengah malam ketika tibatiba air hujan mengguyur hebat.
Berkali-kali kilatan petir menyambar. Ledakan guntur kerap
menimpali, menambah suasana makin menggiriskan. Badai pun datang mendadak!
Tiupan angin mengencang garang. Suara
keretak ranting patah mulai terdengar, dan
semakin kerap terdengar seiring tiupan angin
yang makin menggila. Titik-titik air hujan
menghempas keras, mampu menggelincirkan
sebongkah batu sebesar kerbau. Didahului
gumpalan tanah yang menjadi longsor, batangbatang pohon terlontar dan
berhamburan di angkasa. Badai makin menghebat!
Namun demikian, puri tua yang terletak di
sebuah dataran berumput itu tetap kokoh tegak
menantang. Tak goyah ataupun bergeming.
Hanya dua lentera yang dipasang di kanan-kiri
pintu gerbang yang tampak bergoyang-goyang.
Lewat sinar lentera itulah dapat dibaca sebuah
papan nama yang dipasang di atas daun pintu.
Pondok Matahari!
Gumpalan tanah yang dibawa tiupan angin
menerpa daun pintu tua berlabur warna hijau
daun itu. Namun, bukan karena gumpalan tanah
kalau tiba-tiba daun pintu Pondok Matahari tibatiba terkuak jebol!
Brakk...! Dari dalam bangunan melesat sebat
sesosok tubuh manusia. Sosok tubuh yang tak
lagi bernyawa itu langsung bergulingan di tanah
berumput yang mulai berlubang-lubang.
Pakaiannya yang berwarna putih-putih bukan
saja telah basah oleh air hujan, juga ternoda
cairan darah segar yang menetes-netes. Sosok
tubuh yang malang itu mati dengan kepala pecah
dan dada amblong!
Dua kejap mata kemudian, sesosok tubuh
melesat lagi dari dalam puri. Lesatan tubuh itu
jatuh bergulingan pula di tanah becek berlubanglubang. Dia pun mati dengan cara
yang sama. Batok kepalanya pecah dan dadanya amblong
bolong! Pemandangan yang lebih mengenaskan
terlihat di dalam puri. Lewat sinar lampu yang
dipasang di beberapa tempat, terlihat cairan
darah segar yang membanjir di lantai. Mayatmayat bergelimpangan bagai onggokan
sampah yang tak berguna. Sementara, di ruangan yang
lebih dalam terdengar jerit kematian seakan tiada
pernah terhenti. Tubuh-tubuh terluka berpentalan membentur dinding. Cairan darah
semakin membanjir seiring korban jiwa yang
terus berjatuhan.
Biang pelaku pembunuhan yang mirip jagal
haus darah itu seorang lelaki berambut putih
riap-riapan. Tubuhnya tinggi besar namun
bongkok, membuat sikap berdirinya tak bisa
tegak. Dia hanya mengenakan selembar cawat
merah, sehingga bulu-bulu lebat berwarna hitam
kekuningan di sekujur tubuhnya terlihat jelas
seperti bulu kera.
Kedua bola mata lelaki berleher pendek itu
senantiasa melotot seperti hendak keluar dari
rongganya. Sementara, hidungnya pun amat
pesek, nyaris hanya dua lubang tanpa batang
hidung. Sehingga, wajahnya benar-benar tak
sedap dipandang mata, bahkan terlihat menggidikkan. Lebih menyeramkan lagi, kepala
lelaki berusia lima puluh tahun itu ditumbuhi
tanduk yang bagian ujungnya melengkung ke
depan, tampak runcing berkilat.
Dia Wanara Kadang, yang lebih dikenal
dengan sebutan Iblis Pemburu Dosa!
Ketika itu Wanara Kadang tengah bertempur melawan keroyokan sisa-sisa penghuni
Pondok Matahari yang tinggal sepuluh orang.
Namun tampaknya, kesepuluh orang itu pun
sudah tak mungkin dapat berbuat banyak untuk
menghentikan kekejaman Wanara Kadang. Rasa
putus asa jelas tergambar di sorot mata mereka.
Berkali-kali tusukan ataupun babatan
pedang sepuluh penghuni Pondok Matahari yang
rata-rata berusia tiga puluh tahun itu mengenai
sasaran. Tapi, tubuh Wanara Kadang amat keras
seperti balok baja yang tak mempan senjata
tajam. Jangankan membuat luka, memotong
bulu-bulu tubuh Iblis Pemburu Dosa pun pedang
para pemuda itu tak mampu sama sekali!
"Ha ha ha...!" tawa gelak Wanara Kadang
atau Iblis Pemburu Dosa. "Terus! Terus mainkan
pedang kalian. Semakin ganas kalian menyerang,
semakin senang rasa hatiku. Ha ha ha...!"
Saat sepuluh orang pemuda yang tengah
mengeroyok memperhebat serangan, mereka
semakin terpana dalam keterkejutan. Mereka jadi
tak habis pikir, sosok tubuh yang tengah mereka
serang itu sebenarnya manusia atau bukan.
Kalau manusia, kenapa bentuk tubuh dan raut
wajahnya amat buruk" Bagaimana pula dia bisa
kebal terhadap senjata tajam"
Sementara sepuluh lawannya melompat
mundur karena gentar, Wanara Kadang tertawa
bergelak-gelak lagi. Mulutnya terbuka lebar,
memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil
mirip gigi ikan. Gusi, lidah, dan rongga mulutnya
berwarna merah darah. Hidungnya yang nyaris
hanya berupa dua lubang tampak bergerak naikturun seiring suara tawanya yang
meledak-ledak. Namun demikian, kedua bola mata Wanara
Kadang yang besar menonjol terus menatap
bergantian kesepuluh lawannya penuh nafsu
membunuh! "Jahanam!" geram salah seorang pemuda
yang berpakaian kuning-kuning, timbul lagi
keberaniannya. "Wujudmu begitu buruk. Tapi,
perilakumu lebih buruk lagi. Dasar binatang kau,
Wanara Kadang!"
Mendengus gusar Iblis Pemburu Dosa.
Ditatapnya wajah si pemuda dengan sinar mata
berkilat. Lalu dengan suara serak dan ngorok dia
menyahuti, "Memang! wujud dan perilaku
memang buruk. Oleh karenanya, sah-sah saja
jika aku membunuhmu, Cecurut Bau!"
Di ujung kalimatnya, Wanara Kadang
menghadapkan telapak tangan kanannya ke
tubuh pemuda berpakaian kuning-kuning. Gerakan lelaki berbulu lebat itu tampak tak
bertenaga dan seperti main-main. Tapi, lewat
gerakan itulah Wanara Kadang hendak menjatuhkan tangan maut!
Wusss...! Tahu dirinya menjadi sasaran serangan,
bergegas si pemuda meloncat menghindar.
Namun, gerak tubuhnya kalah cepat. Sebentuk
kekuatan tak kasat mata menahan loncatan
tubuhnya, sehingga si pemuda hanya dapat
berdiri terpukau di udara dengan mata terbelalak.
Dan di lain kejap....
Bummm...! Luar biasa! Pemuda berpakaian kuningkuning tak berdaya sama sekali untuk menahan
gempuran tenaga dalam Iblis Pemburu Dosa. Dia
pun tak sempat menjerit ketika tubuhnya
meledak hancur menjadi debu yang segera
beterbangan menutupi pandangan!
"Astaga...!" kejut sembilan pemuda lainnya
yang menyaksikan kejadian menggiriskan itu.
Sampai beberapa lama, mereka cuma
dapat berdiri heran tanpa berbuat apa-apa.
Nyawa mereka seakan ikut melayang melihat
kehebatan dan kekejaman Wanara Kadang.
Sementara, Wanara Kadang atau Iblis
Pemburu Dosa tertawa bergelak-gelak. Melihat
sikap lelaki bermuka amat buruk itu, tampaknya
dia memang punya tabiat dan perilaku buruk
yang gampang menjatuhkan tangan maut.
"Cepat katakan di mana Hati Selembut
Dewa berada!" bentak Wanara Kadang di akhir
tawa gelaknya. "Kami semua tak tahu! Kenapa kau masih
ngotot saja, Iblis Pemburu Dosa"!" sergap pemuda
berpakaian putih-merah, balas membentak.
"Aku tak percaya kalian tak tahu di mana
orang tua jelek itu berada. Kalian tentu sengaja
menutup-nutupi keberadaannya!"
"Terserah apa katamu, Iblis Laknat!
Enyahlah kau dari tempat ini! Hiahhh...!"
Mendadak, pemuda berpakaian putihmerah yang bertubuh tinggi tegap itu menerjang
nekat. Bilah pedangnya berkelebat cepat dan
menimbulkan suara berdesing keras, hendak
memenggal leher Iblis Pemburu Dosa!
Zing...! "Setan Alas! Kau benar-benar tak tahu
diuntung, Anak Muda!" seru Wanara Kadang.
Walau tahu ada bahaya mengancam
jiwanya, lelaki yang hanya mengenakan cawat itu
tak menggerakkan tubuhnya untuk menghindar.
Dan ketika babatan pemuda berpakaian putihmerah hampir mengenai sasaran, Iblis
Pemburu Dosa menekan kedua pelipisnya dengan ujung
jari tengah dan telunjuk. Lalu....
Swosss...! "Wuahhh...!"
Tak dapat digambarkan lagi betapa
terkejutnya delapan pemuda penghuni Pondok
Matahari. Setengah tak percaya mereka melihat
ujung tanduk Wanara Kadang yang dapat
menyemburkan gumpalan api panas menyalanyala. Tubuh pemuda berpakaian putihmerah yang masih melayang di udara langsung terbakar.
Bilah pedangnya terlontar lepas dari cekalan.
Sementara, tubuhnya yang telah terbungkus
gumpalan api tampak jatuh berdebam di lantai.
Setelah berkelojotan sejenak, tubuh pemuda naas
itu berubah menjadi setumpuk abu yang
menebarkan bau sangit!
Melihat peristiwa menggiriskan berlangsung kembali, delapan pemuda yang
tersisa menjadi mata gelap. Tak dapat mereka
berpikir jernih lagi. Dengan pedang masingmasing yang tajam berkilat, mereka
menyerang bersamaan! Kali ini Iblis Pemburu Dosa juga tak mau
bergerak menghindar. Sambil tertawa bergelakgelak, dia menadahi tusukan dan
babatan delapan bilah pedang yang menghujani tubuhnya!
Seiring ledakan guntur yang menggelegar
di angkasa, bunga api memercik memenuhi salah
satu ruangan di Pondok Matahari itu. Suara
berdentang terdengar memekakkan gendang
telinga. Tusukan dan babatan pedang kedelapan
pemuda penghuni Pondok Matahari tetap tak
dapat melukai tubuh Iblis Pemburu Dosa.


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal, mereka telah mengerahkan kekuatan
sampai ke puncak! Seperti yang sudah-sudah,
jangankan melukai, memotong bulu tubuh lelaki
yang kepalanya ditumbuhi tanduk itu pun tak
mampu! "Kalian hanya cecurut dungu!" cibir Iblis
Pemburu Dosa. Sambil berkata demikian, Iblis Pemburu
Dosa memutar tubuh. Kedua telapak tangannya
berkelebat cepat sekali. Jerit kematian segera
terdengar menyayat hati. Tubuh delapan pemuda
penghuni Pondok Matahari tiba-tiba terpental dan
membentur dinding ruangan dengan keras.
Kontan kepala mereka remuk. Sementara, dada
ataupun perut mereka pun telah jebol akibat
hantaman Iblis Pemburu Dosa!
Suasana di dalam ruangan jadi hening
sunyi. Namun di luar Pondok Matahari, badai
belum berhenti. Seiring dengan jatuhnya air
hujan yang deras mengguyur, tiupan angin terus
memporak-porandakan keadaan alam sekitar.
Makin banyak pepohonan yang tumbang.
Gumpalan tanah turut berhamburan. Gentenggenteng bangunan Pondok Matahari pun
mulai bergeser tempat, sebagian malah terlontar jauh.
Agaknya, ketegaran Pondok Matahari tak luput
pula dari ujian berat.
Perlahan Iblis Pemburu Dosa melangkah
mendekati tubuh seorang pemuda yang tergolek
di sudut ruangan. Pemuda yang baru menerima
hantaman di dadanya itu belum mati. Dia
memang sengaja tak dibunuh. Iblis Pemburu
Dosa hendak mengorek keterangan dari mulutnya. Setelah Iblis Pemburu Dosa mendaratkan
beberapa totokan di tubuhnya, si pemuda
mengeluh pendek dan tersadar dari pingsannya.
Melihat sosok Iblis Pemburu Dosa yang berdiri di
hadapannya, dia tak berbuat apa-apa kecuali
meringis kesakitan sambil mendekap dadanya
yang terasa amat sesak.
"Katakan di mana Hati Selembut Dewa
berada!" bentak Iblis Pemburu Dosa. Lima jari
tangannya yang ditumbuhi kuku hitam panjang
mencengkeram erat kain baju si pemuda.
"Uhhh...! Aku tak tahu!"
"Tolol! Jika kau masih berkeras hati
mengatakan 'tak tahu', kau akan segera
menyusul kematian teman-temanmu!"
"Bu... bunuh saja cepat! Siapa takut
mati"!"
Menggerendeng marah Iblis Pemburu Dosa.
Dengan bola mata berkilat-kilat menahan hawa
amarah, didorongnya tubuh si pemuda.
Bruk! "Ukh...!"
Pemuda berpakaian hijau-hitam itu memekik pendek. Cukup keras punggungnya
membentur dinding. Sesaat ringis kesakitan
menghiasi bibirnya lagi.
"Katakan di mana junjunganmu itu berada,
Tolol!" bentak Iblis Pemburu Dosa, makin tak
sabar. "Bunuh saja aku!" sahut si pemuda dengan
segudang rasa benci.
Mendengus gusar Iblis Pemburu Dosa.
Telapak tangan kanannya berkelebat cepat dan
tepat menerpa pipi kiri pemuda bernama Bantar
Ludira itu. Kembali si pemuda memekik parau karena
kepalanya membentur dinding. Dari lubang
hidung dan mulutnya mengalir darah segar.
Tamparan Wanara Kadang jelas memperparah
luka dalamnya. "Jahanam kau! Cuah...!" Bantar Ludira
menyemburkan ludah bercampur cairan darah ke
muka Wanara Kadang. Cairan kental yang
terdapat empat biji gigi itu menyemprot deras.
Cukup berbahaya karena dialiri tenaga dalam.
Tetapi, mudah saja Wanara Kadang menghindar.
Sementara, tangan kanannya kembali mencengkeram kain baju si pemuda.
"Ku ulangi sekali lagi, katakan di mana
Hati Selembut Dewa berada!"
"Kau punya kesaktian hebat. Kenapa tidak
kau cari sendiri"!"
Mendadak, cengkeraman Iblis Pemburu
Dosa beralih ke daun telinga kiri Bantar Ludira.
Begitu Iblis Pemburu Dosa menarik tangannya,
pekik parau segera memenuhi ruangan. Daun
telinga si pemuda tanggal!
"Ini baru telinga kirimu! Bila kau tak ingin
kehilangan telinga kananmu, cepat katakan di
mana Hati Selembut Dewa berada!"
Tak memberi jawaban Bantar Ludira. Dia
cuma mengaduh-aduh sambil menekap telinga
kirinya yang terus mengucurkan darah dan tentu
saja terasa amat perih.
Cepat sekali tangan kiri Iblis Pemburu
Dosa bergerak. Tahu-tahu ganti daun telinga
kanan si pemuda yang berada dalam cekalannya.
Siap untuk dibetot sampai tanggal!
"Kau belum tuli, bukan" Cepat katakan
apa yang kuminta. Atau, kau akan menjadi
seorang pemuda malang yang tak mempunyai
daun telinga sama sekali!"
Bergidik ngeri Bantar Ludira mendengar
ancaman itu. Bayangan buruk segera muncul di
benaknya. Dia tahu benar kekejaman Iblis
Pemburu Dosa. Namun, haruskah dia khianati
Hati Selembut Dewa yang selama ini telah
menanam banyak budi kepadanya"
"Cepat katakan!"
"Uhhh...!" keluh Bantar Ludira, merasakan
daun telinga kanannya amat sakit karena diremas
kuat-kuat. "Cepat katakan, Tolol!"
"Tidak! Bunuh saja aku!"
Menggeram marah Iblis Pemburu Dosa
melihat kekerasan hati Bantar Ludira. Sambil
menggerendeng penuh rasa kesal, lelaki berbulu
lebat itu menarik tangan kirinya. Maka, saat itu
juga Bantar Ludira menjerit keras sekali.
Daun telinga kanannya turut tanggal!
Tak kuasa menahan sakit, tubuh si
pemuda langsung menggelosoh ke lantai. Pingsan!
Sementara, cairan darah segar menetes deras dari
luka barunya. "Hmmm.... Apa boleh buat. Agaknya, aku
memang harus menyiksa pemuda ini...," pikir
Iblis Pemburu Dosa.
Cekatan sekali jemari tangan lelaki
bermuka amat buruk itu melancarkan beberapa
totokan di tubuh Bantar Ludira. Pada totokan
keenam yang dijatuhkan di jalan darah di dekat
ulu hati, si pemuda siuman. Namun begitu
kesadarannya kembali, dia langsung memakimaki.
"Jahanam kau, Wanara Kadang! Binatang!
Biadab! Bunuh saja aku!"
Menyeringai dingin Iblis Pemburu Dosa,
memperlihatkan jajaran giginya yang kecil-kecil
namun runcing seperti gigi ikan. "Kalau cuma
membunuhmu, aku tak keberatan. Pekerjaan itu
sama mudahnya dengan membalikkan telapak
tangan. Tapi..., aku perlu keterangan darimu. Di
mana Hati Selembut Dewa berada" Katakan!"
"Jahanam! Cari saja sendiri!"
"Hmmm.... Baiklah. Aku paling suka
menyiksa orang. Hendak kulihat sampai berapa
lama kau dapat bertahan....!"
Usai berkata, Iblis Pemburu Dosa menjulurkan tangannya ke muka Bantar Ludira.
Cepat si pemuda memalingkan wajah karena
menyangka Iblis Pemburu Dosa hendak mencongkel biji matanya.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Iblis Pemburu
Dosa, membiarkan tangan kanannya mengambang di udara. "Aku belum berbuat apaapa, kenapa kau jadi amat ketakutan
seperti ini?"
"Jahanam! Siapa takut?"
Tiba-tiba, Bantar Ludira berbuat amat
nekat. Tanpa mempedulikan rasa sakit di kedua
telinganya, dia menghantam dada Iblis Pemburu
Dosa. Namun, Iblis Pemburu Dosa dapat
membaca serangan si pemuda. Ringan sekali
tangan kanannya berkelebat.
Dan.... Tap! Krak...! "Waahhh...!"
Menjerit amat keras Bantar Ludira.
Tubuhnya bergetar karena menahan rasa sakit
yang benar-benar menyiksa. Iblis Pemburu Dosa
telah meremas hancur lima jari tangannya!
"Jahanammm...!"
pekik si pemuda kemudian. Tak mempedulikan keselamatan dirinya,
pemuda berambut panjang tergerai itu meloncat
bangkit. Dilancarkannya tendangan ke kepala
Iblis Pemburu Dosa. Tapi, serangan itu pun dapat
ditebak oleh Iblis Pemburu Dosa.
Sekali lagi, tangan kanan lelaki berbulu
lebat itu bergerak cepat! Akibatnya....
Bret...! "Uhhh...!"
Bantar Ludira memekik pendek. Setelah
berpusing ke kiri, tubuhnya membentur dinding,
lalu jatuh pingsan lagi. Kulit kepalanya tampak
mengelupas, memperlihatkan tulang tempurungnya yang telah berlumuran darah!
Sementara, Iblis Pemburu Dosa tertawa
bergelak-gelak.
Tangan kanannya masih mencekal sebagian rambut si pemuda yang telah
berhasil dijebol berikut kulit kepalanya.
"Sebelum memberitahukan di mana Hati
Selembut Dewa berada, dia tak boleh mati. Aku
harus memaksanya bicara!"
gumam Iblis Pemburu Dosa. Untuk ketiga kalinya, tubuh Bantar Ludira
menjadi sasaran totokan Iblis Pemburu Dosa. Dan
begitu si pemuda siuman, Iblis Pemburu Dosa
langsung membentak garang.
"Jika kau tak ingin merasakan siksaan
yang lebih menyakitkan, katakan di mana Hati
Selembut Dewa berada!"
"Cuhhh...!"
Bantar Ludira malah meludahi muka Iblis
Pemburu Dosa. Dia sudah bertekad bulat untuk
tak mengatakan di mana junjungannya berada.
Pikir si pemuda, kalaupun dia menuruti
permintaan Iblis Pemburu Dosa, dia akan tetap
dibunuh. Dan setelah meludahi muka Iblis Pemburu
Dosa, pemuda yang sudah tak punya harapan
untuk hidup lagi itu bertindak lebih berani.
Kepalan tangan kirinya melayang deras guna
menggedor dada Iblis Pemburu Dosa. Tapi,
kembali dia memekik kesakitan. Jemari tangan
kirinya berhasil diremas hancur pula oleh Iblis
Pemburu Dosa!

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan di mana Hati Selembut Dewa!"
bentak Iblis Pemburu Dosa dengan bola mata
melotot besar. "Baik! Aku akan mengatakannya setelah
yang ini...."
Sambil menahan rasa sakitnya, Bantar
Ludira menjejak lantai ruangan. Saat itu juga
tubuhnya melesat ke atas!
Prakkk...! "Hek...!"
Iblis Pemburu Dosa cuma dapat berdiri
membelalakkan mata ketika melihat kepala
Bantar Ludira pecah berantakan karena membentur dinding ruangan yang amat keras.
Rupanya, si pemuda memilih mati dengan cara
bunuh diri daripada disiksa Iblis Pemburu Dosa
untuk mengatakan di mana Hati Selembut Dewa
berada. Sementara Iblis Pemburu Dosa berdiri
terpaku, hujan di luar bertambah deras. Makin
kerap guntur meledak di angkasa. Badai tak juga
reda.... 2 JIKA ingin berpelesir ke Salyadwipa, tunggu saja kedatanganku di Pelabuhan Lokambang ini. Aku pasti mengantarmu dengan
senang hati," ujar lelaki setengah baya berpakaian
putih-kuning seraya menepuk-nepuk bahu pemuda remaja yang berdiri di hadapannya.
Si pemuda cuma nyengar-nyengir. Tak
dapat dia berkata apa-apa kecuali mengeluarkan
suara desah pendek. Dia pun cuma menganggukanggukkan kepala ketika si lelaki
setengah baya menjabat tangannya erat-erat.
"Aku bisa menebak isi hatimu. Seperti yang
ku rasakan, kau pasti berat untuk mengatakan
kata perpisahan."
Pemuda remaja berpakaian biru-biru
dengan ikat pinggang kain merah tetap tak
berkata sepatah kata pun. Memang berat rasa
hati ketika harus berpisah dengan orang yang
begitu baik. Lidah pun terasa kaku-kelu untuk
mengungkapkan apa yang tengah dirasakannya.
"Sikapmu ini tampak aneh, Seno. Kalau
ada jodoh, bukankah kita tetap akan bisa
berjumpa lagi" Kenapa mesti dijadikan beban
pikiran" Atau mungkin..., kau tengah berpikir
untuk melupakan segala sesuatu yang pernah
kau alami bersama warga suku Asantar?" lanjut
lelaki setengah baya, bernama Suta Sedadang.
"Ah, Paman.... Mana mungkin aku dapat
melupakan warga Suku Asantar yang begitu
ramah dan baik hati kepadaku" Bagaimana aku
dapat melupakan budi baik Paman yang telah
mengantarku ke Pulau Salyadwipa dan kini
mengantarku pula untuk kembali ke tanah
Jawa?" sergap pemuda berpakaian biru-biru yang
tak lain Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh.
"Ha ha ha.... Kau memang pemuda hebat,
Seno. Aku tahu kau tak akan pernah melupakan
budi orang. Tapi kalau aku ingin kau tetap
mengingat keberadaan Suku Asantar, bukanlah
karena urusan balas-membalas budi. Aku hanya
mengungkapkan rasa hatiku. Aku senang
sekaligus bangga sekali dapat berkenalan dan
berbuat sesuatu untuk seorang pendekar muda
macam kau, Seno...."
"Ah, Paman jangan terlalu menyanjung.
Apalah artinya aku ini bila dibanding tokoh-tokoh
rimba persilatan lainnya yang amat banyak dan
termashyur" Aku hanyalah sebutir pasir di gurun
nan luas. Tak pantas aku dipuji ataupun
disanjung. Kalau kepalaku membesar, bisa pecah
nantinya."
"Hmmm.... Yah! Kau memang rendah hati,
Seno. Oleh karena itulah aku amat suka
kepadamu. Tapi, ingat kata-kataku tadi. Kalau
kau ingin berpelesir atau ada suatu urusan di
Salyadwipa, tunggu saja kapalku berlabuh di
Lokambang ini. Dua purnama sekali, aku pasti
datang." "Ya, Paman. Terima kasih. Paman baik
sekali. Mungkin suatu saat nanti Tuhan memang
akan mempertemukan kita...."
Di ujung kalimatnya, Seno membungkuk
hormat. Suta Sadandang, pemilik kapal dagang
besar yang baru saja ditumpangi Seno, bergegas
mengulurkan tangan kanannya untuk menegakkan kembali tubuh Seno.
"Tak perlu bersikap seperti ini."
"Ah, Paman. Aku menghormat, tentu saja
karena merasa suka dan segan kepada Paman."
"Aku tahu. Tapi, aku tak suka peradatan
yang macam-macam. Kau lihat, semua awak
kapal bersikap biasa-biasa saja kepadaku,
bukan?" Seno cuma nyengir kuda.
Merasakan kebenaran ucapan Suta Sedadang, pemuda yang baru berlayar dari Pulau
Salyadwipa itu melangkah untuk turun dari
geladak kapal. Suta Sedadang mengantarkan
sampai kaki si pemuda menginjak pasir pantai.
"Selamat jalan, Seno."
"Selamat tinggal, Paman. Kalau usia sama
panjang, bolehlah nanti kita buat lagi pertemuan.
Semoga Paman dan seluruh awak kapal selalu
dalam lindungan Yang Kuasa...."
"Tuhan juga menyertaimu, Seno."
Sambil melangkah, Seno melambaikan
tangannya. Suta Sedadang turut melambaikan
tangannya dan menatap dengan senyum dipaksakan. Dia merasa ada sesuatu yang hilang
dari lubuk hatinya melihat kepergian Seno.
Namun ketika sosok Seno benar-benar hilang dari
pandangannya, salah seorang warga Suku
Asantar itu segera menyibukkan diri dengan
berjalan mondar-mandir, sesekali
berteriak memberi perintah dan arahan kepada awak kapal
yang tengah bekerja menurunkan barang.
Sementara, Seno terus berjalan meninggalkan Pelabuhan Lokambang. Sesaat,
ingatan si pemuda melayang ke peristiwa yang
baru dialaminya di perkampungan Suku Asantar.
Dalam usahanya mencari Hantu Pemetik
Bunga, Seno sampai menginjakkan kaki di Pulau
Salyadwipa. Kebetulan Suta Sedadang adalah
salah seorang warga Suku Asantar yang hampir
semua warganya terkenal sebagai ahli ilmu sihir.
Dalam perjalanan ke Pulau Salyadwipa,
Suta Sedadang banyak bercerita tentang kehebatan ilmu sihir Suku Asantar. Dan karena
tertarik, Seno menyempatkan diri untuk singgah
di perkampungan suku itu.
Akan tetapi, keterangan perihal Hantu
Pemetik Bunga tidak diperoleh. Seno malah
terseret ke dalam sengketa para ahli sihir. Dia
dijebak dan disekap oleh seorang ahli sihir
bernama Danyangsuli atau Ratu Sihir Tercantik
yang bermaksud mengisap habis inti kekuatan
tubuhnya. Untunglah, nasib baik masih berkenan
mengikuti Seno. Danyangsuli celaka di tangan
Sasak Padempuan. Sementara, untuk membalaskan sakit hati dan dendam kesumatnya, Danyangsuli memasukkan kekuatan
ilmu sihirnya ke tubuh Seno. Berkat kekuatan
ilmu sihir wanita itulah Seno dapat mengatasi
sengketa yang terjadi antara Sasak Padempuan
dengan orang-orang Suku Asantar lainnya.
Sasak Padempuan terbunuh pada saat
orang-orang Suku Asantar mengadakan upacara
pengangkatan kepala suku baru. Sasak Padempuan yang punya tabiat buruk bermaksud
membuat ricuh upacara adat itu. Terpaksa Seno
menjatuhkan tangan maut. Dengan matinya
Sasak Padempuan, ketenangan dan ketenteraman
kembali dalam kehidupan warga Suku Asantar.
Walau Hantu Pemetik Bunga tak dapat
ditemukan, Seno dapat berbesar hati karena
uluran tangannya banyak membantu mengatasi
kemelut yang terjadi di Suku Asantar. Dengan
menumpang lagi kapal dagang milik Suta
Sedadang, Seno memutuskan untuk kembali ke
tanah Jawa. Keputusan dan tindakan Seno amatlah
tepat karena Hantu Pemetik Bunga memang tidak
berada di Pulau Salyadwipa. Maksud Seno
mencari Hantu Pemetik Bunga adalah untuk
membuktikan bahwa ayahnya. Darma Pasulangit
atau Ksatria Seribu Syair alias Ksatria Topeng
Putih, bukan orang jahat seperti dituduhkan Dewi
Pedang Halilintar.
Berkat petunjuk cermin ajaib 'Terawang
Tempat Lewati Masa', Seno jadi yakin bila Hantu
Pemetik Bunga tengah bersembunyi di suatu
tempat. Entah di mana, tapi yang jelas tokoh
jahat itu masih berada di tanah Jawa. (Kisah
Pendekar Bodoh bersama para ahli sihir Suku
Asantar bisa disimak dalam episode: "Sengketa
Ahli Sihir")
"Heran aku...," desis Seno ketika memasuki
kota Suradipa, ratusan tombak jauhnya dari
Pelabuhan Lokambang. "Kenapa kota ini jadi
begini sepi" Aku tak melihat seorang manusia
pun. Hmmm.... Kota ini telah jadi kota mati. Apa
gerangan yang telah terjadi?"
Sepasang kaki remaja berparas tampan itu
terus melangkah menapaki jalan-jalan di kota
Suradipa. Namun, hanya kesunyian yang
menyambutnya. Kota Suradipa memang telah jadi
kota mati. Tak satu pun kegiatan berlangsung.
Tak juga ada manusia yang dapat dijumpai Seno.
Semua kedai, maupun rumah-rumah
penduduk tampak terkunci rapat. Sebagian pintu
rumah penduduk malah dibiarkan terbuka lebar
seperti ditinggalkan oleh pemiliknya dengan
tergesa-gesa sekali.
Semakin jauh kaki Seno melangkah, rasa
heran dan penasaran semakin menyeruak masuk
ke benak si pemuda. Sehingga, kening murid
Dewa Dungu itu berkerut rapat. Hidungnya pun
terlihat kembang kempis karena mencium bau
yang tak mengenakkan hati.
"Aku yakin..., kota ini baru saja menjadi
ajang pertempuran. Atau mungkin, malah


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi ajang pembantaian keji. Aku mencium
bau anyir darah amat menyengat," gumam Seno.
Untuk membuktikan dugaannya, pemuda
yang punya sifat amat dungu itu mengedarkan
pandangan ke berbagai penjuru. Setiap sudut
tempat tak ada yang luput dari perhatiannya.
Sampai kemudian, terhenyaklah langkah si
pemuda di depan sebuah kedai besar yang daun
pintunya telah jebol.
Dari pinggir jalan dapat dilihat cairan
darah yang mengotori lantai dan dinding kedai.
Meskipun cairan darah itu telah mengering, tapi
baunya masih tajam menusuk hidung.
Seno memasuki kedai yang menarik
perhatiannya itu. Terbawa pikiran tak enak, dia
cekal erat Tongkat Dewa Badai yang terselip di
ikat pinggangnya. Dengan kewaspadaan penuh,
sepasang kakinya menapaki lantai kedai. Tapi,
tak satu pun petunjuk yang dapat ditemukannya.
Keadaan kota Suradipa yang sepi-sunyi masih
menjadi teka-teki yang sulit dipecahkan.
Sesaat kemudian, Seno terlihat cengarcengir seraya meneruskan langkah. Beberapa
kali dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ketika
sampai di ujung utara kota, air muka si pemuda
tiba-tiba berubah tegang. Indera pendengarannya
yang tajam menangkap suara senjata tajam
membentur benda keras. Suara orang bertempur"
Atau, suara orang berlatih ilmu pedang"
Guna mendapat jawaban atas pertanyaan
itu, bergegas Seno menuju asal suara. Dikeluarkannya ilmu peringan tubuh 'Tiupan
Angin Meniup Dingin'. Sehingga, tubuh si pemuda
dapat melesat cepat dan seakan telah berubah
menjadi segumpal asap berwarna biru!
Lesatan tubuh Seno baru berhenti ketika
melihat seorang kakek berpakaian serba putih
longgar mirip jubah. Kakek berusia sekitar tujuh
puluh tahun itu tampak sibuk melakukan
sesuatu dengan pedangnya. Tubuh si kakek
berkelebatan ke sana-sini seperti tengah memainkan jurus-jurus silat. Tapi sesungguhnya,
dia tengah menimbun sebuah lubang cukup besar
yang baru dibuatnya.
Setiap bilah pedang si kakek membentur
batu, terdengar suara berdentang. Suara dentang
pedang itulah yang tadi didengar Seno.
"Hmmm.... Aneh sekali sikap orang tua
itu...," gumam Pendekar Bodoh yang menatap
dari jarak sekitar dua puluh tombak. "Sepertinya,
dia tengah memperagakan jurus silat. Tapi, aku
tahu kalau dia tengah menimbun sesuatu dalam
lubang besar itu. Entah apa yang ditimbunnya.
Aku harus bisa mengorek keterangan dari mulut
orang tua itu. Mungkin dia tahu apa yang telah
terjadi di kota Suradipa ini...."
Mengikuti pikiran di benaknya, tak sabar
Seno melompat. Ringan sekali tubuhnya melayang. Sekali jejak, dia telah berada di dekat
kakek berpakaian serba putih.
Namun, kakek yang amat mahir memainkan senjata pedang itu tak mau
menghentikan perbuatannya. Dia terus menusuk,
membabat ataupun memutar pedangnya. Dia
seakan tak tahu kalau ada orang yang tengah
memperhatikan segala gerak-geriknya.
Semakin tak sabar Seno. "Kek! Hentikan
perbuatanmu sejenak! Aku ingin bertanya
kepadamu!" teriaknya, keras menggelegar.
Tapi..., kakek berpakaian serba putih yang
seluruh rambutnya juga berwarna putih tak mau
mengindahkan teriakan Seno. Malah tiba-tiba....
"Hiahh...!"
Zing...! Bukan main kagetnya Seno. Ujung pedang
si kakek yang runcing berkilat tiba-tiba melesat
amat cepat, mengarah tepat ke jantungnya!
"Uts...!"
Dengan menggulingkan tubuhnya ke
tanah, Seno berhasil menghindari serangan maut
itu. Namun, bilah pedang si kakek terus mengejar
ke mana pun tubuhnya bergerak. Tusukan
ataupun babatan mencecar hebat, datang dan
pergi bagai tak pernah berhenti!
"Keparat!" geram Pendekar Bodoh yang
telah mengeluarkan lagi ilmu peringan tubuhnya.
"Melihat sikapmu yang tak bersahabat ini,
agaknya kaulah biang penyebab pertumpahan
darah di kota ini."
Kakek berpakaian serba putih tak menyahuti ucapan Seno. Pedangnya terus
mengirim serangan maut. Setiap bilah pedang si
kakek berkelebat, timbul suara mendengung amat
keras, menyakitkan gendang telinga.
Karena kakek bertubuh tinggi kurus itu
memiliki ilmu pedang hebat dan ilmu peringan
tubuh yang hebat pula, Seno jadi terdesak.
Terpaksa Seno meloloskan Tongkat Dewa Badai
dari ikat pinggangnya.
Wesss...! Kibasan senjata mustika di tangan
Pendekar Bodoh menimbulkan gelombang angin
pukulan dahsyat. Tubuh kakek berpakaian serba
putih yang tengah menyerang gencar tiba-tiba
terpental jauh. Namun dengan bersalto beberapa
kali di udara, dia bisa mendarat sigap di tanah.
Kini tampaklah bagaimana raut wajah
kakek itu dengan jelas. Selain rambutnya telah
memutih semua, alis beserta kumis dan
jenggotnya pun telah memutih. Sinar matanya
redup seperti sudah tak punya semangat hidup
lagi. Melihat sikap berdirinya yang tegak kokoh,
jelas dia tak menderita luka dalam. Itu
menandakan bahwa dia memiliki tenaga dalam
yang bisa diandalkan. Karena, gelombang angin
pukulan yang ditimbulkan kibasan Tongkat Dewa
Badai tadi bila menimpa seorang pesilat biasa,
pastilah dia menderita luka dalam amat berat.
"Siapa kau, Kek" Kenapa menyerangku?"
tanya Pendekar Bodoh, sekaligus menegur.
Namun, terkejut lagi murid Dewa Dungu
itu. Si kakek tidak menjawab pertanyaan yang
ditujukan kepadanya. Dia malah menangis. Air
matanya jatuh berlelehan di pipinya yang sudah
dipenuhi kerut-merut!
"Eh! Kau menangis" Kenapa... kenapa
menangis?"
ujar Seno, menyatakan keheranannya. Melihat si kakek yang tampak tak
lagi berbahaya, diselipkannya kembali batang
Tongkat Dewa Badai ke ikat pinggang.
Kakek berpakaian serba putih tetap berdiri
diam. Lalu air matanya mengalir deras bak
bendungan jebol, tak terdengar suara sedikit pun
dari mulutnya. Setelah berulang kali mengusap lengannya
dengan lengan baju, kakek yang wajahnya
tampak amat memelas itu berkata, "Kau... kau
Seno Prasetyo, bukan?"
"Ya. Kenapa?" sahut Seno seraya melempar
pertanyaan. Heran juga dirinya dapat dikenali.
"Pendekar Bodoh?"
"Ya. Kenapa?"
"Ikuti aku!"
Sambil menyarungkan pedangnya, kakek
berkulit kuning itu menjejak tanah. Cepat sekali
tubuhnya berkelebat meninggalkan kota Suradipa. Pendekar Bodoh terlongong-longong
sejenak. Tapi karena terdesak rasa penasaran,
bergegas dia mengikuti kelebatan tubuh si kakek!
3 CEPAT sekali kelebatan tubuh kakek
berpakaian serba putih itu. Memaksa Seno untuk
mengerahkan seluruh kemampuan ilmu peringan
tubuhnya agar tak kehilangan jejak.
Seno jadi merasa ditantang untuk menunjukkan kemampuannya. Dan mengingat
kemampuan si kakek yang tadi telah menyerangnya mati-matian, hati Seno semakin
panas. Hingga, ia kerahkan ilmu 'Lesatan Angin
Meniup Dingin'-nya sampai ke puncak!
Sementara, mentari yang telah tegak
memayung di atas kepala membuat hawa udara
terasa panas membakar. Langit biru bersih. Tak
ada tanda-tanda bila hari akan turun hujan
walau saat itu tanah Jawa tengah berada di
musim penghujan.
Kesal bukan main Pendekar Bodoh.
Pemuda remaja bertubuh tinggi tegap itu
sempat merutuk dan memaki-maki. Hatinya
terasa telah meradang. Sampai di mana pun dia
mengerahkan ilmu peringan tubuhnya, sosok
bayangan kakek berpakaian serba putih tetap tak
dapat disusul. Seno hanya mampu mengimbangi
kecepatan gerak kakek yang tampaknya menyimpan banyak rahasia itu.
Namun di balik rasa kesalnya, Seno
menyimpan kekaguman. Selama malang melintang di rimba persilatan, belum ada orang
yang dapat menyamai kehebatan ilmu 'Lesatan
Angin Meniup Dingin'-nya kecuali ilmu 'Angin
Pergi Tiada Berbekas' Mahisa Lodra atau Setan
Selaksa Wajah. Dan kini, ilmu peringan tubuh
Seno itu tak berdaya sama sekali untuk
mengungguli kecepatan gerak tubuh kakek
berpakaian serba putih.
Si kakek yang tengah dikuntit Seno
memang bukan orang sembarangan. Selain
memiliki ilmu peringan tubuh yang hebat luar
biasa, dia juga ahli memainkan senjata pedang.
Oleh karena itu, kaum rimba persilatan amat
menyegani dan menghormatinya sebagai seorang
tokoh jajaran atas yang memang patut disegani
dan dihormati. Dia bernama Mahendra Karnaka. Namun,
banyak tokoh rimba persilatan yang lebih senang
menyebut sekaligus memberi julukan Hati
Selembut Dewa. Setelah berlari hampir sepenanakan nasi,
kakek yang sejak sepuluh tahun

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu mengasingkan diri itu menghentikan kelebatan
tubuhnya di sebuah padang rumput. Dia berhenti
tepat di depan pintu gerbang sebuah bangunan
besar berupa puri. Pondok Matahari!
Sementara menunggu kedatangan Pendekar Bodoh, Mahendra Karnaka mengatur
jalan napasnya yang terdengar memburu. Seperti
Pendekar Bodoh, tadi dia pun telah mengerahkan
ilmu peringan tubuhnya sampai ke puncak. Dan
rupanya, kemampuan mereka seimbang.
Tiga kejap mata kemudian, Seno sampai di
hadapan Mahendra Karnaka. Napas si pemuda
juga terdengar memburu. Wajahnya berubah
memerah dengan peluh berlelehan. Kain bajunya
pun telah basah oleh keringat.
"Aneh sekali. Keringat pemuda itu menebarkan aroma harum bunga cendana...,"
kata hati Mahendra Karnaka. "Aku yakin, pakaian
yang dia kenakan bukan pakaian sembarangan.
Pakaian itu bisa menebarkan aroma harum bila
terkena air keringat. Aku yakin pula, pakaian
pemuda itu pasti mempunyai kelebihan lain yang
lebih hebat dari sekadar menebarkan aroma
harum...."
Benar dugaan Hati Selembut Dewa.
Pakaian Seno memang bukan pakaian sembarangan. Pakaian si pemuda yang merupakan pemberian Dewa Dungu itu telah
direndam selama bertahun-tahun di dalam
ramuan obat-obatan. Aroma harum yang
ditebarkannya bisa mengusir serangga berbahaya
dan beberapa jenis binatang berbisa lainnya.
Namun demikian, tak pernah diduga oleh Dewa
Dungu maupun Seno sendiri, aroma harum
pakaian itu juga bisa membangkitkan gairah
wanita yang menghirupnya!
"Ke... kenapa kau berlari ke tempat ini?"
tegur Seno dengan napas masih terengah-engah.
"Kau siapa" Apakah kau pelaku pembantaian di
kota Suradipa?"
Hati Selembut Dewa tak menjawab.
Matanya menatap sosok Seno dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Lalu dengan suara berat, dia
balik bertanya....
"Benar kau Pendekar Bodoh?"
"Itu sudah kujawab!" sahut Seno, masih
menyimpan rasa kesal dan penasaran. "Kau tak
perlu bertanya lagi. Jawablah pertanyaanku
dulu!" "Benar kau Pendekar Bodoh?" ulang Hati
Selembut Dewa. Mendelik mata Seno. Namun setelah
geleng-geleng kepala, dia nyengir kuda beberapa
saat. "Kau ini aneh, Kek. Kalau memang aku
Pendekar Bodoh, apa perlumu" Kau benar-benar
membuatku heran, Kek! Benda apa sebenarnya
yang telah kau timbun di kota Suradipa tadi"
Dan, bisakah kau menjelaskan kenapa kau tibatiba menyerangku lalu mengajakku ke
tempat ini"
Sebelum bertemu denganmu, aku melihat ceceran
darah manusia di sebuah kedai. Bisakah pula
kau menjelaskannya?"
Raut wajah Hati Selembut Dewa berubah
tegang mendadak. Tanpa berkata apa-apa, dia
melompat ke depan untuk melancarkan totokan
maut! Menggeram marah Seno melihat serangan
itu. Cepat dia berkelit ke kiri. Terdesak rasa kesal
di hatinya, si pemuda balas menyerang. Kepalan
tangan kanannya berkelebat cepat untuk
menggedor dada Hati Selembut Dewa!
"Rasakan Ini!"
Wuttt...! Hanya dengan menggerakkan sedikit
tubuhnya, Mahendra Karnaka berhasil berkelit.
Kemudian dengan gerakan yang luar biasa cepat,
amat sulit diikuti pandangan mata, jemari tangan
kanannya yang semula digunakan untuk
menjatuhkan totokan berubah mencengkeram. Isi
perut Seno pasti akan pecah berhamburan bila
terkena cengkeraman yang disertai tenaga dalam
tingkat tinggi itu!
Walau mata Seno tak dapat melihat
gerakan lawan, tapi telinganya dapat mendengar
jelas desir angin yang menuju ke tubuh bagian
bawahnya. Tahu ada bahaya mengancam jiwa,
cepat dia melompat tinggi. Dengan gerakan
'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang', tangan kanan
si pemuda berkelebat tak kalah cepat!
Terperangah Hati Selembut Dewa melihat
kecepatan gerak Seno. Apalagi setelah Seno
membalas cengkeramannya dengan cengkeraman
pula. Tanpa pikir panjang Hati Selembut Dewa
membuang tubuhnya ke kanan. Dia berhasil
menghindari serangan Seno. Tapi, dia pun mesti
merelakan kain bajunya robek di bagian dada.
"Kau... kau Pendekar Bodoh?" kesiap Hati
Selembut Dewa dengan sinar mata menyelidik,
tak meneruskan serangannya.
Pendekar Bodoh yang masih memegang
sobekan baju si kakek masih senyum-senyum.
Dia merasa unggul pada gebrakan tadi. Tapi
karena hatinya masih kesal dan panas, dia
bermaksud memberi pelajaran kepada si kakek
yang dianggapnya tak tahu aturan.
"Terimalah
ini!" seru Seno seraya melemparkan kain putih di tangannya.
Meski lemparan Pendekar Bodoh terlihat
asal-asalan, jangan dikira tidak berbahaya.
Lemparan itu disertai pengerahan tenaga amat
kuat. Ketika melesat di udara, sobekan kain
menegang kaku, seakan telah berubah menjadi
lempengan logam. Bila mengenai tubuh manusia,
pasti akan tembus dan membuat lubang besar!
Namun, Mahendra Karnaka yang berusia
lanjut dapat menunjukkan
pengalamannya sebagai seorang tokoh tua yang sudah lama
malang-melintang di rimba persilatan. Mendengar
suara gemuruh yang menuju ke arahnya, dia
tahu bila lemparan Seno amatlah berbahaya.
Anehnya, dia tidak berusaha berkelit ataupun
menyampok sobekan kain itu. Dia hanya
membuka mulut lebar-lebar seraya meniup!
"Wusss...!"
Luar biasa! Sobekan kain yang dilemparkan Seno tiba-tiba tertahan di udara, lalu
hancur luluh menjadi serbuk halus yang segera
lenyap diterbangkan angin!
"Hebat! Hebat...!" puji Seno, tak dapat
menyembunyikan kekagumannya.
Hati Selembut Dewa malah mendengus
gusar. Setelah menatap wajah Seno lekat-lekat,
dia berkata, "Kalau kau memang Pendekar Bodoh,
aku ingin mengadu kekuatan denganmu!"
Di ujung kalimatnya, kakek yang sifat dan
sikapnya sulit ditebak itu menarik napas panjang
seraya mengalirkan kekuatan tenaga dalam ke
tangan kanan. Wajahnya yang semula kuningpucat mendadak memerah garang.
Ketika si kakek mengambil ancang-ancang,
Seno tahu apa yang harus dilakukannya.
Mengadu kekuatan dengan seorang tokoh tua
macam Hati Selembut Dewa amatlah berbahaya.
Walau telah melihat kehebatan si kakek waktu
menghancurkan sobekan kain baju tadi, Seno
belum bisa mengukur sampai di mana kekuatan
tenaga dalam bakal lawannya itu.
Namun dengan melihat usia Hati Selembut
Dewa yang diperkirakan telah lebih dari tujuh
puluh tahun, sedikit banyak Seno bisa menerkanerka. Paling tidak, Hati Selembut
Dewa telah melatih dan meningkatkan tenaga dalamnya
selama lima puluh tahun. Dalam kurun waktu
selama itu, orang yang melatih tenaga dalamnya
dengan sungguh-sungguh akan mendapatkan
kekuatan luar biasa dahsyat.
"Apa boleh buat, aku harus melayani
tantangan orang tua itu. Tapi, aku tak mau
membunuh siapa-siapa untuk saat ini...," kata
hati Pendekar Bodoh. "Aku tak akan mengeluarkan ilmu pukulan. Tapi, aku akan
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamku
untuk menahan gempuran kakek yang tampaknya menyimpan banyak rahasia itu."
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas
Seno mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke
tangan kanan. Benar-benar sampai ke puncak!
Walau usia Seno masih amat muda untuk
ukuran orang-orang yang telah menceburkan diri
ke kancah rimba persilatan, tapi tenaga dalam
murid Dewa Dungu itu tidak bisa dianggap
enteng. Karena telah menelan 'Capung Kumala'
dan 'Kodok Wasiat Dewa', tenaga dalam Seno jadi
meningkat berlipat-lipat. Dengan menelan salah
satu dari dua benda ajaib itu, sama artinya Seno
telah melatih tenaga dalamnya selama dua puluh
tahun. Apalagi, Seno telah menelan kedua benda
ajaib yang amat langka itu. Lebih-lebih, Seno pun
telah mendapatkan tambahan tenaga dalam
ketika dipukul Setan Bodong dengan Tenaga Inti
Es Biru (Baca serial Pendekar Bodoh episode:
"Tongkat Dewa Abadi" sampai "Pusaka Pedang
Naga" yang terdiri dari delapan episode).
Dan tampaknya, adu kekuatan antara
Pendekar Bodoh dengan Hati Selembut Dewa
benar-benar menjadi kenyataan. Dengan tangan
kanan terjulur lurus, tubuh Hati Selembut Dewa
melesat sebat. Sementara, Pendekar Bodoh cuma
memasang kuda-kuda tanpa menggerakkan
tubuhnya. Namun, tangan kanannya yang
terjulur ke depan menunjukkan bahwa dia
bermaksud menahan gempuran Hati Selembut
Dewa! Ketika dua telapak tangan yang dialiri
tenaga dalam tingkat tinggi bertemu, ledakan
keras menggelegar terdengar memecah kesunyian.
Dua tenaga dalam dari aliran berbeda benarbenar bentrok!
Blarrr...! Bersamaan dengan timbulnya ledakan
yang mengguncangkan permukaan tanah itu,
Pendekar Bodoh merasakan satu kekuatan hebat
yang memaksa tubuhnya terpental. Tapi dengan
menarik kaki kanannya ke belakang, dia dapat
bertahan, walau tak urung kedua pergelangan
kakinya terbenam satu jengkal ke dalam tanah.
Dengan ilmu 'Perisai Dewa Badai', Seno
dapat melindungi isi dadanya. Sehingga, dia tak
sampai menderita luka dalam akibat adu
kekuatan tadi. Di lain pihak, Hati Selembut Dewa pun
merasakan satu kekuatan hebat yang

Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaksanya melangkah mundur sampai lima
tindak. Kekuatan yang timbul akibat bentrokan
dua tenaga dalam itu membuat aliran tenaga
dalam Hati Selembut Dewa berbalik menyerang
dirinya sendiri. Tentu saja dia tak dapat
menghindar. Hingga, si kakek merasakan isi
dadanya bergetar kencang dan terasa amat sesak.
Hati Selembut Dewa merasakan adanya
cairan darah yang bergerak naik melalui
kerongkongan dan hendak menyembur keluar.
Tapi karena tak mau menunjukkan luka
dalamnya, cepat dia katupkan mulutnya rapatrapat. Cairan darah yang hendak
keluar ditelannya lagi.
"Wajahmu pucat sekali, Kek. Aku tahu kau
terluka dalam. Kenapa mesti memaksakan diri?"
ujar Seno tanpa punya maksud mengolok
ataupun mengejek.
Tepat di ujung kalimat pemuda remaja itu,
Hati Selembut Dewa merasakan kepalanya amat
pening. Pandangannya mengabur. Mau tak mau
dia pun harus mengakui bila dirinya telah terluka
dalam cukup parah. Hingga, tak ada cara lain
untuk mengatasi luka dalamnya itu kecuali
dengan duduk bersemadi dan mengatur aliran
darahnya yang kacau.
4 WARNA merah jingga di langit timur
meronta lepas dari dekapan gelap. Tersenyum
malu sang baskara dengan sinar terangnya yang
hangat menggoda.
Fajar menyingsing.
Di putaran waktu yang membawa hari
menjelang pagi, Mahendra Karnaka atau Hati
Selembut Dewa menutup semadinya dengan
tatapan heran. Perlahan dia bangkit seraya
mengedarkan pandangan.
"Tak terasa waktu berlalu amat cepat.
Cukup lama aku bersemadi sampai hari hampir
berganti...," gumam si kakek. "Tenaga dalam
pemuda itu memang luar biasa. Kini aku yakin
bila dia benar-benar Pendekar Bodoh. Tapi..., di
mana dia sekarang?"
Sambil melangkah, kakek berpakaian serba
putih itu terus mengedarkan pandangan. Namun,
sosok Pendekar Bodoh tetap tak ditemukannya.
Dan waktu dia menatap bangunan Pondok
Matahari, perasaan sedih tiba-tiba mengiris dan
terasa menyayat-nyayat hatinya.
Mahendra Karnaka berdiri terpaku beberapa lama. Rasa sedih semakin mengiris
hatinya. Tak terkira air mata menitik dan
berlelehan di kedua pipinya.
Ketika melangkah memasuki halaman
Pondok Matahari, terkesiap hati Hati Selembut
Dewa. Telinganya mendengar suara dengkuran
orang. Ternyata, Pendekar Bodoh tengah terlelap
tidur di salah satu sudut dinding bangunan
Pondok Matahari.
Sikap tidur Pendekar Bodoh meringkuk
memeluk lutut seperti trenggiling melingkar.
Agaknya, dia memang amat terlelap dalam
tidurnya. Namun saat Hati Selembut Dewa
menghampiri, si pemuda langsung bangun.
"Kau... kau telah menyelesaikan semadimu,
Kek?" tanya Seno dengan suara datar dan terlihat
amat lugu. Jari tangan kanannya mengucak-ucak
mata. Setelah lama terdiam, Hati Selembut Dewa
menyahuti, "Melihat sikapmu ini, tampaknya kau
sama sekali tak membenciku.... Tidakkah kau
merasa sakit hati karena sikap kasarku
kepadamu?"
"Membenci" Sakit hati" Untuk apa?"
"Bukankah aku telah menyerangmu tanpa
sebab yang pasti" Kalau kau tak punya ilmu
kepandaian hebat, bukankah kau bisa celaka?"
Nyengir kuda Seno beberapa saat. Lalu
katanya, "Entahlah. Aku tak tahu jalan pikiranku
sendiri. Sepertinya, aku mendengar bisikan yang
mengatakan bahwa aku tak boleh membencimu,
Kek. Apalagi, menyakitimu dengan membalas
semua perlakuanmu kepadaku.... Setelah aku
melihat raut wajahmu yang tampak murung itu,
aku jadi yakin sekarang. Kau bukan orang jahat.
Tapi entahlah... Mungkin aku salah. Tapi... tapi....
Ah! Aku tak boleh membunuh orang tanpa alasan
yang pasti...."
Terdiam hati Hati Selembut Dewa mendengar kalimat Pendekar Bodoh yang
terputus-putus. Dan lama si kakek diam saja,
Pendekar Bodoh tampak cengar-cengir. Sementara, wajah mentari telah terlihat utuh di
langit timur. Pagi telah datang mengantar terang.
Suasana di sekitar Pondok Matahari tak lagi sepi.
Burung-burung mulai berkicau dan beterbangan
di angkasa nan luas.
"Lihatlah itu...," pinta Hati Selembut Dewa
kemudian, duduk bersila di hadapan Pendekar
Bodoh. Tanpa pikiran macam-macam, Seno menoleh ke arah yang ditunjukkan si kakek. Tak
seberapa jauh dari bangunan Pondok Matahari,
Seno melihat gundukan tanah merah berbentuk
bundaran besar. Terdapat dua patok kayu di
pinggiran gundukan tanah itu.
"Ketahuilah, Seno, di dalam gundukan
tanah itu terdapat dua puluh lima mayat
muridku," jelas Hati Selembut Dewa dengan suara
bergetar, menyiratkan kesedihan mendalam.
"Apa?" kesiap Seno, seperti tak percaya
pada ucapan si kakek.
"Mereka semua mati dibunuh Wanara
Kadang atau Iblis Pemburu Dosa," lanjut Hati
Selembut Dewa. "Jadi... jadi apa yang kau lakukan di kota
Suradipa itu adalah juga mengubur mayat
orang?" "Ya. Ketika kau datang, aku baru saja
selesai menimbun mayat murid-muridku juga...."
Terkejut Seno saat melihat bola mata Hati
Selembut Dewa berkaca-kaca. Dan, si kakek yang
tak dapat menahan kesedihan hatinya segera
tampak menangis bersimbah air mata.
"Heran aku. Dua kali aku melihatmu
menangis, Kek. Sebenarnya, kau ini siapa" Dan,
kenapa murid-muridmu dibunuh orang?" tanya
Seno, menceritakan keingintahuannya.
Mendapat pertanyaan itu, air mata
Mahendra Karnaka semakin mengalir deras.
Dengan suara patah-patah, dia berkata, "Namaku
Mahendra Karnaka. Orang-orang memberiku
gelar Hati Selembut Dewa. Sejak sepuluh tahun
lalu, aku telah mengasingkan diri di tempat ini.
Aku mengangkat beberapa orang murid. Bersama
mereka. aku mendirikan puri yang kuberi nama
Pondok Matahari.... "
"Jadi, puri ini milikmu?" potong Seno.
"Ya,"
angguk Mahendra Karnaka. "Mendengar keberadaanku yang mengasingkan
diri di tempat ini, banyak pemuda datang dan
meminta kesediaanku untuk mengangkat mereka
sebagai murid. Aku senang. Mereka semua yang
datang kepadaku memang punya maksud baik.
Mereka ingin jadi seorang pendekar pembela
kebenaran...."
"Lalu?"
"Lebih dari seratus orang muridku telah
meninggalkan Pondok Matahari ini karana telah
menyelesaikan pelajaran. Namun, aku tak suka
bila mereka berkecimpung di rimba persilatan
yang penuh kekerasan dan pertumpahan darah.
Untuk menjadi seorang pendekar pembela
kebenaran, seseorang tidak harus terjun ke rimba
persilatan...."
"Bagaimana bisa membela kebenaran kalau
tidak bertempur dan melawan orang jahat?" tanya
Seno, amat lugu.
"Selain memberikan ilmu bela diri, aku
juga memberikan bekal ilmu lain kepada mereka.
Aku mengajarkan cara-cara berdagang. Sehingga,
hampir semua muridku yang telah keluar dari
Pondok Matahari ini benar-benar mengikuti
keinginanku. Mereka menjadi pedagang di kotakota besar, termasuk kota Suradipa.
Dengan menjadi pedagang pun, mereka tetap bisa
menegakkan dan membela kebenaran. Kota besar
yang tentu berpenduduk padat biasanya terdapat
banyak orang jahat. Di sanalah tenaga mereka
dibutuhkan...."
Seno mengangguk-angguk,
dapat memahami keterangan Hati Selembut Dewa. Tapi
karena masih penasaran, dia bertanya, "Lalu,
kenapa murid-muridmu itu dibunuh orang"
Apakah ada orang jahat yang memang tidak suka
dan menyimpan dendam kepada mereka"
Mahendra Karnaka menghapus butiran air
bening yang masih menitik dari sudut matanya.
"Sebelum aku mendirikan Pondok Matahari, aku
mempunyai musuh bebuyutan. Dia mempunyai
ilmu kepandaian tinggi, tapi sifat dan tindaktanduknya sungguh tak bisa
dijadikan suri teladan.... Namun berkat ilmu pedang yang
kumiliki, berkali-kali dia kalah dalam pertempuran. Sayangnya, dia tak pernah jera,
bahkan semakin kuat rasa bencinya kepadaku.
Dan rupanya, setelah sepuluh tahun berlalu, dia
muncul lagi. Murid-muridku yang masih tinggal
di Pondok Matahari ini dibunuhnya semua.
Murid-muridku yang tinggal di kota Suradipa pun
menerima nasib sama. Mereka mati di tangan
orang jahat itu. Dan..., seluruh warga kota
Suradipa tiba-tiba mengungsi karena takut dan
ngeri melihat kekejaman dan kesaktian orang
yang telah membantai murid-muridku itu...."
"Jahat benar! Jahat benar!" seru Seno tibatiba. "Eh! Siapa orang jahat itu,
kek?" "Tadi sudah kukatakan. Dia bernama
Wanara Kadang dan berjuluk Iblis Pemburu
Dosa." "Ya. Ya, aku ingat." Setelah menggarukgaruk pantatnya yang tiba-tiba terasa amat
gatal, pemuda lugu ini bertanya. "Tapi..., kenapa kau
menyerangku tanpa alasan yang jelas, Kek..." Apa
kau kira aku saudara atau sahabat Iblis Pemburu
Dosa?" "Tidak! Tidak!" sahut Hati Selembut Dewa,
cepat. "Senang sekali aku bertemu denganmu.
Namun, aku pun ingin membuktikan bahwa kau
memang Pendekar Bodoh."
"Untuk apa?"
"Sejak aku keluar dari Pondok Matahari,
aku banyak mendengar cerita tentang seorang
pemuda remaja berparas tampan dan selalu
mengenakan pakaian biru-biru dengan ikat
pinggang merah. Untuk membuktikan bahwa kau
memang Pendekar Bodoh yang memiliki ilmu
kepandaian hebat, tak ada cara lain kecuali
menyerangmu dengan sungguh-sungguh.... "
"Untuk apa?"
Seno bertanya lagi karena keterangan Hati
Selembut Dewa belum memberikan jawaban.
"Selain aku mendengar cerita tentang
dirimu, aku pun mendengar cerita tentang
kehebatan Wanara Kadang yang telah berhasil
menyempurnakan ilmu kepandaiannya. Orang
jahat itu memiliki ilmu 'Lima Pukulan Pencair
Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol Perut'.


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kehebatan ilmu itu sungguh-sungguh akan
membuat orang lari ketakutan. Walau lawan
punya tenaga dalam yang lebih unggul sampai
tiga tingkat, jika terjadi benturan anggota tubuh
dengan Wanara Kadang, seluruh tulang tubuh
orang itu akan mencair. Hingga, tubuhnya akan
berubah menjadi segumpal daging basah tanpa
tulang sedikit pun!"
"Ilmu sesat!" celetuk Seno.
"Sementara
jika Wanara Kadang mengeluarkan ilmu 'Mengadu Tenaga Menjebol
Perut', sampai di mana pun kekuatan tenaga
dalam lawannya, perut orang itu pasti akan jebol!
Dan, tentu saja kematianlah akibatnya! "
"Astaga! Ilmu macam apa itu"!" celetuk
Seno lagi. Ada bayangan ngeri di sinar matanya,
"Oleh karena itulah, Seno, betapa senangnya aku ketika bertemu denganmu. Walau
kau lihat air mukaku amat masam, sesungguhnya kegembiraan tengah merajai
hatiku. Setelah dapat membuktikan bahwa kau
benar-benar Pendekar Bodoh, aku pun harus
mengatakan satu permohonan kepadamu. Aku
yang sudah tua renta ini membutuhkan bantuan
untuk menghentikan kebiadaban Wanara Kadang.
Kalau dia tidak segera dihentikan dia akan
mendatangi murid-muridku lainnya. Mereka akan
ditanya di mana aku berada. Dan akhirnya,
mereka semua akan dibunuh...."
Seno tampak berpikir-pikir. Sudah menjadi
kewajibannya untuk membantu seseorang yang
memang membutuhkan bantuan. Akan tetapi,
dapatkah dia meredam ilmu sesat Wanara
Kadang" "Ketika terjadi pembantaian di Pondok
Matahari ini dan di kota Suradipa, kau berada di
mana, Kek?" tanya Seno sambil menimbang.
"Tiga candra yang lalu, aku mengambil
murid baru. Murid itu amat cerdas dan berbakat.
Hingga, aku melatihnya di suatu tempat
tersembunyi. Aku bermaksud menurunkan
seluruh ilmu kepandaianku kepadanya. Terus
terang, murid-muridku yang terdahulu tidak ada
yang kuwarisi ilmu kepandaianku sampai
tuntas.... Aku membawa murid baruku ke suatu
tepat tersembunyi dengan satu maksud agar
murid-muridku yang berada di Pondok Matahari
ini tidak menjadi iri hati jika melihat aku
menurunkan ilmu simpananku."
"Dan ketika kau datang, semua muridmu
yang berada di sini telah menjadi mayat semua?"
"Begitulah.... Karena sudah lama aku
meninggalkan Pondok Matahari, aku memberikan
pelajaran ilmu pedang kepada murid baruku itu
untuk dilatihnya sendiri. Sementara, aku lalu
kembali ke Pondok Matahari...."
Mendadak, air mata Hati Selembut Dewa
mengalir lagi. Dengan suara terbata-bata, dia
lanjutkan ceritanya.
"Menilik ciri-ciri yang ada pada mayat
murid-muridku, aku yakin bila yang membunuh
mereka adalah Wanara Kadang. Aku pun
bermaksud membalas kebiadabannya itu. Aku
pergi ke kota Suradipa. Di kota itu, sebagian
muridku yang telah kuanggap menyelesaikan
pelajaran bertempat tinggal. Aku bermaksud
memberitahu kekejaman Wanara Kadang agar
mereka berhati-hati, karena bisa saja Wanara
Kadang juga bermaksud membantai mereka.
Tapi..., kedatanganku terlambat...."
Iba hati Seno melihat Mahendra Karnaka
mendekap wajah lalu menangis sesenggukan.
Mahendra Karnaka menangis seperti seorang
wanita yang baru saja ditinggal mati putra
tercintanya. Kakek berpakaian serba putih itu memang
amat gampang menangis bila hatinya merasa
sedih. Mungkin karena itulah orang-orang rimba
persilatan menjulukinya sebagai Hati Selembut
Dewa. Sementara Hati Selembut Dewa terus larut
dalam tangisnya, Seno mulai tampak cengarcengir lagi. Sayang, si pemuda tidak
menanyakan siapa murid baru Hati Selembut Dewa yang
diceritakan tadi. Kalau tahu, Seno pasti melonjak
girang. Karena, murid baru Hati Selembut Dewa
adalah Kemuning atau Dewi Pedang Kuning.
Bukan saja Seno telah mengenal Kemuning, tapi si gadis juga telah menjadi
kembang mimpinya selama ini. Ya! Kemuning
adalah gadis dambaan hati Seno.
5 DUA sosok bayangan itu berkelebat cepat
sekali. Bahkan, lebih cepat dari lesatan anak
panah lepas dari busur. Sehingga, sosok tubuh
mereka nyaris tak dapat diikuti pandangan mata.
Sesekali melenting tinggi, melewati bongkah-bongkah batu besar ataupun meloncati
tonjolan akar pepohonan yang mencuat dari
dalam tanah. Saat mendarat, kedua sosok
bayangan itu langsung berkelebat lagi tanpa
meninggalkan suara sedikit pun.
Sesampai di sebuah gurun berbatu-batu,
yang dinamakan Gurun Selaksa Batu, barulah
dua sosok bayangan itu menghentikan kelebatan
tubuhnya. Ternyata, mereka adalah si Pendekar
Bodoh, Seno Prasetyo dan si Hati Selembut Dewa,
Mahendra Karnaka!
"Di sinikah dia tinggal?" tanya Seno.
Sambil bertanya, murid Dewa Dungu itu
mengedarkan pandangan. Namun, yang terlihat
cuma bongkah batu-batu besar yang menutup
permukaan tanah. Si pemuda jadi paham dan
maklum kenapa dataran luas yang didatanginya
itu dinamakan Gurun Selaksa Batu.
Mahendra Karnaka tak segera menjawab
pertanyaan Pendekar Bodoh. Si kakek juga sibuk
mengedarkan pandangan. Sorot matanya yang
biasanya redup-teduh dan penuh welas asih kini
tampak tajam menusuk. Rupanya, dia tengah
berada dalam kewaspadaan penuh.
"Aku tak melihat siapa-siapa. Benarkah di
sini dia tinggal?" ulang Seno.
"Sebelum aku mengasingkan diri dan
membangun Pondok Matahari, memang di sinilah
Wanara Kadang tinggal," sahut Hati Selembut
Dewa akhirnya. "Kau mengasingkan diri sudah begitu lama,
Kek. Ada banyak kemungkinan bila orang jahat
itu telah berpindah tempat."
"Memang. Tapi, kita harus melakukan
pencarian dari tempat ini dulu. Walau ada
kemungkinan dia tak dapat kita temukan,
barangkali ada suatu petunjuk yang bisa
menuntun kita."
"Misalnya apa?" tanya Seno seraya nyengir
kuda tanpa bermaksud mengejek ataupun
menggoda. Hati Selembut Dewa tak menjawab. Dia
meloncat-loncat dari satu batu ke batu lain.
Anehnya, kedua bola matanya terus menatap ke
bawah. "Apa dia tinggal di bawah batu?" buru
Seno, berteriak keras.
"Hati-hatilah! Wanara Kadang punya
kebiasaan berdiam diri di dalam tanah. Dia bisa
muncul tiba-tiba seraya menyerangmu!" sahut
Hati Selembut Dewa, balas berteriak.
Sambil cengar-cengir, Seno menggaruk
kepalanya yang tak gatal. Sampai beberapa lama,
matanya menatap ke bawah untuk berjaga-jaga.
Tapi, mana ada manusia dapat hidup di dalam
tanah" Seno teringat pada Ratu Perut Bumi yang
tinggal di Istananya yang bernama Liang Hawa
Dingin. Tempat tinggal manusia setengah ular itu
berada jauh di dalam tanah. Dia mampu bertahan
hidup karena dalam dirinya mengalir darah
siluman. Kalau Wanara Kadang" Apakah lelaki
berjuluk Iblis Pemburu Dosa itu juga mempunyai
darah keturunan siluman"
Selagi Seno berpikir-pikir, di bagian lain
terlihat Hati Selembut Dewa meloncat tinggi ke
udara. Di bekas pijakan kaki si kakek tiba-tiba
muncul getaran hebat. Diiringi suara gemuruh
keras, bongkah-bongkah batu berhamburan ke
angkasa! "Awas, Seno! Di tempat ini akan segera
muncul banyak kubangan!" seru Mahendra
Karnaka begitu menginjakkan kakinya di
bongkahan batu lain yang tak turut terlontar.
Namun, peringatan kakek bertubuh kurus
tinggi itu terlambat. Pendekar Bodoh sempat
terpana melihat batu-batu yang berpentalan di
udara. Peristiwa itu membuatnya lengah.
Permukaan tanah di bawah batu yang dipijaknya
terbuka mendadak. Dia tak sempat berbuat apaapa ketika tubuhnya meluncur turun,
dan masuk ke kubangan besar!
"Ya, Tuhan...," desis Hati Selembut Dewa
dengan tatapan menyiratkan kekagetan.
Bergegas kakek berpakaian serba putih itu
meloncat ke pinggir lubang tempat terjerumusnya
tubuh Pendekar Bodoh. Namun, sosok Pendekar
Bodoh tiada terlihat lagi. Hanya jeritan ngeri si
pemuda yang masih terdengar sampai beberapa
lama. Lubang tempat terjerumusnya tubuh
Pendekar Bodoh tampak dalam sekali. Sejauh
Hati Selembut Dewa memandang, yang terlihat
cuma kegelapan semata!
Bergidik ngeri Hati Selembut Dewa. Melihat
lubang bergaris tengah dua depa yang begitu
dalam, tampaknya tak ada kemungkinan bagi
Pendekar Bodoh untuk menyelamatkan diri.
"Ya, Tuhan...," desis Mahendra Karnaka
dengan hati berdebar tak karuan. "Menyesal aku
telah menyeret pemuda itu ke persoalan yang
tengah kuhadapi. Aku telah membuatnya celaka!
Kasihan sekali.... Dia mati dalam usia begitu
muda.... Oh! Maafkan aku, Seno...."
Tanpa terasa, butiran air bening menetes
dari sudut mata si kakek. Cukup lama dia tak
beranjak atau berpindah tempat. Kedua bola
matanya yang terus berkaca-kaca tak henti
menatap ke kedalaman lubang.
"Seno...!" teriaknya di sela-sela isakan
tangis. "Seno...! Kau dengar suaraku?" Tak ada
sahutan. "Seno...!" teriaknya lagi, disertai aliran
tenaga dalam. Sehingga suaranya menggema
panjang di kedalaman lubang.
Namun, tetap tak ada sahutan.
"Ya, Tuhan...," sahut si kakek untuk
kesekian kalinya.
Sedih bukan main rasa hati kakek
bertubuh kurus tinggi itu. Rasa sesal dan berdosa
memburunya pula. Kalau dia tidak meminta
Pendekar Bodoh untuk turut mengatasi masalah
yang sedang dihadapinya, bukankah pemuda
lugu itu tak akan mati begini cepat" Itu berarti
dialah yang menyebabkan kematian Pendekar
Bodoh! Hati Selembut Dewa benar-benar larut
dalam rasa sesal dan sedih. Dan tanpa
disangkanya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh
yang dibarengi guncangan hebat. Hati Selembut
Dewa terkejut bagai disambar petir.
Bergegas dia meloncat jauh karena merasa
jiwanya terancam. Dengan mata terbelalak lebar,
si kakek segera tahu apa yang tengah terjadi.


Pendekar Bodoh 11 Rahasia Sumur Tua di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekitar lima tombak dari sisi lubang
jebakan bongkah-bongkah
batu tampak berpentalan ke udara. Bersamaan dengan
gumpalan tanah yang turun berhamburan,
melesat sesosok bayangan dari dalam lubang
yang baru terbentuk. Sosok bayangan itu lalu
mendarat sigap di atas bongkah batu besar
Napas Mahendra Karnaka seakan telah
terhenti. Memucat wajahnya ketika melihat sosok
manusia yang baru muncul dari dalam tanah.
Sosok manusia itu seorang lelaki berambut
putih riap-riapan. Berwajah amat buruk.
Tubuhnya tinggi besar namun bongkok, dan
ditumbuhi bulu lebat berwarna hitam kekuningan. Persis seekor kera. Lebih menggiriskan lagi, kepalanya ditumbuhi tanduk
yang bagian ujungnya melengkung ke depan!
"Wanara Kadang...," desis Hati Selembut
Dewa. Jantungnya berdegup amat cepat,
membuat dadanya amat sesak.
Benar! Sosok manusia yang baru muncul
itu memang Wanara Kadang atau Iblis Pemburu
Dosa! "Ha ha ha...!" tertawa bergelak Wanara
Kadang melihat raut wajah Hati Selembut Dewa
yang memucat. "Setelah ku bantai muridmuridmu, kiranya kau mau menampakkan diri
juga, Mahendra...."
"Jahanam!" geram hati Hati Selembut
Dewa, menekan debar-debar di hatinya. "Jadi
benar dugaanku. Kiranya memang kau biang
pelaku pembunuhan keji itu!"
"Ha ha ha...!" tertawa lagi Wanara Kadang.
"Murid-muridmu mati karena kebodohan mereka
sendiri. Membunuh cecurut-cecurut busuk itu
sama sekali tak memberikan kepuasan bagiku.
Yang kuinginkan adalah nyawamu, Mahendra!
Oleh karenanya, bersiap-siaplah untuk mati!"
"Hmmm.... Benar pula dugaanku. Rupanya, kau memang manusia jahat yang tak
pernah bisa mengendalikan hawa nafsu. Kau tak
pernah bisa melupakan api permusuhan di antara
kita...." "Tepat! Apa pun yang terjadi, aku memang
punya maksud membinasakan dirimu, Mahendra!
Juga orang-orang sepertimu! Aku ingin membinasakan siapa saja!"
Suara sengau Iblis Pemburu Dosa mendadak terdengar bergetar. Sepertinya, dia
tengah mengeluarkan seluruh beban yang selama
ini membuat sakit hatinya. Beban itu berupa
dendam kemarahan, nafsu membunuh, dan
semua hal buruk lainnya. Tapi, kenapa bisa
demikian" Mustahil orang bisa jadi jahat tanpa
sebab-musabab! Lalu, apa sebab-musabab itu?"
"Aku tak pernah tahu, kenapa aku
dilahirkan sebagai manusia yang buruk rupa
seperti ini...?" sesal lelaki berbulu lebat itu.
"Sementara, aku melihat semua orang di
sekeliling ku memiliki tubuh dan raut wajah
sempurna. Sungguh Tuhan telah berlaku tak adil
terhadapku!"
"Karena itukah kau sejak dulu selalu
mengumbar angkara murka?" selidik Mahendra
Karnaka. "Ya! Karena aku ingin menuntut keadilan!"
"Sayang seribu kali sayang...," desah Hati
Selembut Dewa. "Bentuk tubuh dan raut
wajahmu memang buruk, Wanara Kadang. Tapi,
kau masih memiliki keberuntungan. Andai kau
mau membuka mata lebar-lebar, kau pasti akan
dapat melihat nasib orang-orang yang jauh lebih
buruk darimu...."
"Keparat!" maki Wanara Kadang tiba-tiba.
"Aku tak butuh petuahmu! Aku telah bersumpah
bahwa seumur hidupku aku akan selalu
menuntut keadilan! Dan, keadilan itu hanya akan
kudapatkan bila aku telah membinasakan orangorang di sekitar ku!"
"Hmmm.... Kau boleh menuntut keadilan
yang kau mau itu. Tapi, jangan lumuri tanganmu
dengan darah manusia yang tak bersalah apaapa. Aku percaya bila di hati kecilmu
kau merasa berdosa ketika melakukan...."
"Hentikan!" potong Iblis Pemburu Dosa,
keras menggelegar. "Sekali lagi kukatakan, aku
tak butuh petuah darimu! Kuakui, sejak dulu
hanya kau yang luput dari tangan mautku.
Bahkan, kau pun telah berkali-kali mempecundangi ku. Tapi kini..., setelah aku
dapat menyempurnakan ilmu 'Lima Pukulan
Pencair Tulang' dan 'Mengadu Tenaga Menjebol
Perut', jangan harap kau akan dapat mengalahkan aku lagi!"
Bergetar hati Mahendra Karnaka mendengar kata-kata Iblis Pemburu Dosa. Namun
cepat dia tutupi debar-debar di hatinya dengan
berkata, "Jangan lupa! Sejak dulu kau tak pernah
bisa mengalahkan ilmu pedang 'Memburu Jiwa
Mengejar Roh'-ku! Sekarang pun kurasa kau
tetap tak akan mampu mengalahkan ilmu
pedangku itu!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Iblis Pemburu
Dosa. "Aku memang bisa merasakan kehebatan
ilmu pedangmu itu. Tapi kau harus tahu,
kemunculanku kali ini juga berbekal perhitungan
masak. Tidakkah kau lihat pemuda geblek
bergelar Pendekar Bodoh yang telah menerima
nasib naasnya tadi" Kau tentu telah melihat
sendiri. Lubang tempatnya terjeblos hampir tak
dapat diukur kedalamannya. Andai tubuhnya tak
remuk ketika jatuh di dasar tanah berbatu-batu,
ratusan ular berbisa lah yang akan mencabut
nyawanya! Ha ha ha...!"
"Jahanam! Kau benar-benar manusia
buruk luar-dalam, Wanara Kadang! Wajahmu
amat buruk, tapi hatimu lebih buruk lagi! Kau
licik dan keji! Sekarang tak ada alasan lagi untuk
mengampuni nyawamu!"
Karena dikuasai rasa penasaran
dan hawa amarah yang tiba-tiba muncul dalam hati,
Mahendra Karnaka jadi lupa pada rasa gentarnya.
Dia tak ingat lagi bila Iblis Pemburu Dosa benarbenar telah berhasil
menyempurnakan dua ilmu
sesat yang amat berbahaya.
Yang ada dalam benak Mahendra Karnaka
hanyalah keinginan untuk segera menghentikan
kekejaman Iblis Pemburu Dosa. Apalagi ketika dia
teringat akan nasib naas Pendekar Bodoh yang
telah jatuh ke lubang perangkap. Maka karena
tak dapat menahan gejolak perasaannya, sertamerta Mahendra Karnaka menghunus
bilah pedang yang terselip di punggungnya.
Set...! Namun bersamaan dengan itu, Iblis
Pemburu Dosa menggedrukkan kaki kanannya ke
bongkah batu yang menopang tubuhnya.
Duk...! Wusss...! Mendadak dari sela-sela bongkah batu,
sekitar satu tombak di belakang Hati Selembut
Dewa, melesat gumpalan besi berwarna hitam.
Dan ketika gumpalan besi sebesar kambing itu
masih melayang di udara, terkejut tiada terkira
Hati Selembut Dewa. Dia merasakan ada
kekuatan maha dahsyat yang menarik bilah
pedang yang tercekal di tangan kanannya!
"Hh! Astaga!"
Keterkejutan Hati Selembut Dewa tak bisa
digambarkan lagi. Bilah pedangnya tiba-tiba
terlepas dari cekalan, dan melekat pada gumpalan
besi hitam yang kemudian jatuh di sela-sela batu!
Merasa pedang adalah sarana satu-satunya
untuk dapat menahan dua ilmu sesat iblis
Pemburu Dosa, bergegas Hati Selembut Dewa
meloncat. Langsung dicekalnya lagi hulu
pedangnya untuk dilepas dari gumpalan besi
hitam. Tapi ternyata, gumpalan besi itu
mengandung daya tarik yang amat kuat. Sampai
di mana pun Hati Selembut Dewa mengeluarkan
tenaga, bilah pedangnya tak dapat dilepas. Ketika
ditarik ke atas, gumpalan besi justru turut
terangkat! "Ha ha ha...!" tawa pongah Iblis Pemburu
Dosa. "Sudah kukatakan, kemunculanku kali ini
selain berbekal dua ilmu kesaktian yang telah ku
sempurnakan, juga berbekal perhitungan yang
masak. Salah satu dari perhitunganku itu
bukankah telah kau lihat" Apakah kau mau
bertempur dengan membawa gumpalan besi yang
begitu berat?"
Menggeram marah Hati Selembut Dewa.
"Licik! Licik sekali kau, Wanara Kadang!"
Terdorong luapan rasa kesal, kakek
berpakaian serba putih itu melemparkan bilah
pedangnya ke arah Iblis Pemburu Dosa. Maka,
bilah pedang yang melekat pada gumpalan besi
sebesar kambing itu melesat sebat dan
mengeluarkan suara menderu ganas!
Namun sambil tertawa bergelak-gelak, Iblis
Pemburu Dosa meloncat tinggi ke udara.
Gumpalan besi bersama bilah pedang cuma
membentur bongkah batu besar. Diiringi ledakan
keras menggelegar, bongkah batu yang tertimpa
langsung meledak hancur menjadi butiran kerikil
yang terbang berhamburan. Sementara, bilah
pedang Hati Selembut Dewa dan gumpalan besi
hitam tetap utuh dan tetap pula melekat erat!
"Ha ha ha...! Aku akan segera menebus
kekalahan ku sepuluh tahun yang lalu,
Mahendra! Kematianmu adalah cita-cita hidupku!
Bersiap-siaplah untuk menghadap malaikat
penjaga neraka!"
Sambil berkata demikian, Iblis Pemburu
Dosa menerjang ganas. Kedua telapak tangannya
yang berupa cakar berkuku hitam panjang
berkelebat cepat untuk merobek-robek tubuh Hati
Selembut Dewa! "Hiahhh...!"
6 ANTARA sadar dan tidak Seno merasakan
tubuhnya meluncur amat cepat, seperti ada
kekuatan hebat yang mengisap ke bawah dan tak
dapat dilawan sama sekali. Dia tak tahu sampai
Pendekar Binal 1 Naga Beracun Lanjutan Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Lencana Pembunuh Naga 2

Cari Blog Ini