Ceritasilat Novel Online

Bidadari Kuil Neraka 2

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Bagian 2


rus mengejar. Wintara yang sempat melihat langsung
menarik tangan lengan Umbara Komang ke atas, keduanya beterbangan di udara. Lalu berlari menginjakinjak kepala yang bergerombol menyerang. Keduanya
sama-sama menghentakkan kakinya dan tahu-tahu
saja hinggap di hadapan orang-orang yang mengejar
Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka pun tidak
sempat lagi menghindari serangan kedua orang itu.
Kini halaman itu jadi kacau balau. Semuanya
mengepung Wintara dan Umbara Komang. Dua orang
ini betul-betul alot. Meskipun tanpa menggunakan
senjata, para penyerang itu sulit sekali menyentuh
senjatanya ke arah mereka. Saat itupun jumlah mereka sudah berkurang banyak. Di sana sini telah bergelimpangan sosok-sosok tubuh berlumuran darah.
Nampak pula Umbara Komang dan Wintara semakin
gigih menjatuhkan lawan-lawannya. Meskipun keduanya sudah benar-benar terkepung. Tidak mungkin lagi
dapat ke luar. "Ha ha ha ha...! Siluman-siluman keparat macam kalian tidak pantas mengisi istana ini...! Hayo ma-ju semua! Biar kalian
cepat kukirim ke dasar neraka...!" Umbara Komang menerjang sambil berteriak.
Kedua lengannya bergerak menjatuhkan satu demi satu orang-orang itu. Wintara maju terus menyambut serangan-serangan mereka.
"Sekarang kalian baru tahu rasa! Aku raja siluman yang bakal menghancurkan batok kepala kalian...!" Sambil berkata demikian, Umbara Komang melesat sambil menendangi
gerombolan itu. Tangannya
bergerak menghantam kepala-kepala yang berada di
bawahnya. * * * 9 Ki Rondo Mayit bangkit dari pembaringannya
sewaktu mendengar suara ribut-ribut di halaman luar
kuil. Ia langsung keluar dari kamarnya. Saat itu Kama Lodra juga bermaksud
keluar. Keduanya berlari ke
arah jendela dan melihat peristiwa yang terjadi di bawah. Bukan main terkejutnya
mereka. Mereka melihat
para tawanan berontak melarikan diri.
Kama Lodra melangkah cepat ke arah kamar
Dewi Rakuntili. Ia langsung mengetuk pintu kamar
kuat-kuat. Dewi Rakuntili yang berada di dalam tertidur pulas tersentak bangun.
"Dewi... Cepat bangun! Para tawanan melarikan
diri!" Kama Lodra berteriak lantang. Mendengar itu Dewi Rakuntili cepat bangun.
Tanpa mengganti pakaian tidurnya yang sangat tipis ia melangkah membuka pintu. Ki Rondo Mayit masih mengawasi pertempuran dari atas jendela.
"Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak ada di antara mereka!" katanya setelah Dewi Rakuntili mendekat ke jendela. Dewi Rakuntili
langsung melesat menerobos jendela. Tubuhnya melayang ke bawah. Dia
hinggap di lantai dasar tanpa mengeluarkan suara. Ia terus berlari menuju ke
sebuah ruangan. Dan ia menjadi geram sekali ketika tiba di ruangan itu. Pintu
tahanan yang tadi menyekap Raden Mas Kinanjar Swantaka telah terbuka lebar. Beberapa belas anak buahnya bergelimpangan tak karuan. Di dalam ruangan
itupun sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah
raib. Dengan geram ia keluar lagi dari ruangan itu.
Keduanya menatap nanar ke arah pertempuran. Di situpun ia tidak melihat Raden Mas Kinanjar Swantaka,
kecuali Umbara Komang dan Wintara mengamuk dahsyat menjatuhkan para anak buahnya.
Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit terjun dari
tingkat atas ke lantai dasar. Gerakannya ringan sekali.
Mereka hinggap di lantai bagaikan dua helai daun kering yang tertiup
"Raden Mas Kinanjar Swantaka benar-benar telah kabur! Ayah dan Paman tolong awasi mereka! Biar
aku yang mengejar raden keparat itu! Pasti dia belum jauh dari sini!" Dewi
Rakuntili berlari kencang. Gerak tubuhnya yang gempal nampak jelas menembus dari
pakaiannya yang tipis membayang. Tubuhnya gesit
melompati tiap-tiap kepala anak buahnya. Kepalakepala itu tidak ubahnya bagai batu loncatan. Maka
sebentar saja ia sudah melewati arena pertarungan. Ia tidak lagi memperdulikan
Wintara dan Umbara Komang mengatasi anak buahnya. Karena ia sudah dapat
melihat Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit maju membantu anak buahnya.
Wintara dan Umbara Komang merasa aneh melihat para pengeroyoknya segera minggir semua. Dan
tahu-tahu saja mereka melihat dua sosok berdiri di
hadapan dengan wajah angker. Mereka langsung melancarkan serangan. Gerak-gerak jurus mereka nampak aneh. Sudah pasti mereka bukan orang sembarangan. "Kau bagianku, siluman bule! Kenapa tidak dari tadi kau menampakkan
diri!" kata Umbara Komang
menyambut serangan Ki Rondo Mayit. Kedua hantaman mereka membledar beradu. Begitu juga dengan
Wintara. Kama Lodra mengeluarkan tenaga dalam
yang sangat dahsyat. Setiap pukulannya menimbulkan
suara angin yang bergemuruh. Menerpa seluruh tubuh
Wintara. Mana mau Wintara diperlakukan begitu, iapun segera menghimpun tenaga dalamnya. Lalu dengan suara teriakan yang dahsyat ia melancarkan serangan balasan. "Dueeees!" Hantaman mereka beradu.
Keduanya sama-sama terdorong oleh pukulan-pukulan
tenaga dalam mereka sendiri.
Orang-orang yang tadi menyingkir datang lagi
menyerang. Senjata-senjata mereka berkelebat mencecar! Wintara berlompatan di udara menghindari. Namun kedua matanya tidak lepas mengawasi sosok Kama Lodra yang diam-diam datang melancarkan sebuah
pukulan. Begitu pukulan itu datang, Wintara melompat lagi. Maka hantaman itu hanya mengenai sasaran
lain. Di lain pihak, Umbara Komang masih menghadapi Ki Rondo Mayit. Merekapun tidak luput dari serbuan para perampok. Sambil menangkis serangan Ki
Rondo Mayit, Umbara Komang memutar tangannya ke
belakang... "Deeees!" Beberapa orang pembopong bergulingan dengan darah
menyembur dari mulut mereka. Saat itu pula Ki Rondo Mayit tidak menyia-nyiakan kesempatan. saat Umbara
Komang melancarkan hantaman ke belakang. Tendangan Ki Rondo Mayit masuk
menghantam dadanya. Umbara Komang mundur seloyongan. Sudut bibirnya mengalir darah. Tapi ia tidak membiarkan darah itu
mengalir. Umbara Komang
menghisap kembali ke dalam perutnya.
Dengan gerakan yang deras ia maju membalas
melancarkan dua pukulannya sekaligus. Ki Rondo
Mayit cepat merunduk sambil sebelah kakinya menyapu bagian bawah... "Bug!" Umbara Komang yang kurang hati-hati itu terpaksa
terpelanting jatuh. Melihat itu para penyerang lainnya meluruk menerjang tubuh
Umbara Komang yang masih bergulingan di tanah. Ki
Rondo Mayit membiarkan orang-orang itu. Baginya
Umbara Komang tidaklah begitu penting. Ia yakin Umbara Komang tidak mungkin mampu menghindari serangan-serangan penghuni kuil. Apalagi sekarang Umbara Komang dalam keadaan yang tidak memungkinkan lagi. Ki Rondo Mayit tersenyum sinis melihat Umbara Komang bergelintingan menghindari serbuanserbuan orang-orang yang bersenjata. Setiap kali senjata-senjata mereka hampir
mengena di tubuh Umbara
Komang. Ada juga yang hanya menyerempet pakaiannya hingga robek. Kelihatannya memang sangat sukar
untuknya lolos dari kepungan itu. Terbukti Umbara
Komang tidak sempat bangkit berdiri. Ia hanya bergelintingan menghindar atau membalas serangan.
Wintara sendiri setengah mati menghadapi kepungan-kepungan itu. Apalagi setiap saat yang tak
terduga Kama Lodra melancarkan serangan yang tidak
kepalang tanggung mendera di tubuhnya. Ia sudah beberapa kali terkena hantamannya. Mulutnya-pun sudah berlumuran darah.
Sekali waktu ia mengerahkan seluruh tenaganya dengan di barengi kedua lengan yang berputar
keras. Maka orang-orang yang berada di dekatnya
menghambur berpentalan. Setelah sekelilingnya agak
renggang, Wintara melesat ke atas dan bersalto di uda-ra. Tubuhnya menjurus ke
arah Umbara Komang yang
telah berlumuran darah akibat babatan-babatan senjata yang menyerempet di tubuhnya. Tiba-tiba saja para pengeroyok itu jatuh
bergelimpangan. Wintara langsung melancarkan tendangan maupun pukulan setelah tiba di tempat itu. Umbara Komang cepat bangkit
saat Wintara berada di hadapannya. Para pengeroyok
itu berdatangan lagi menerjang.
Sebelum para penghuni kuil mendekat menyerang, Wintara langsung menarik tubuh Umbara Komang. Ia memapahnya dan membawa lari dari tempat
itu. "Kejar! Jangan sampai mereka lolos!!" bentak Kama Lodra. Para anak buahnya
berlarian mengejar.
Senjata mereka mengacung-acung mengancam. Begitu
juga dengan Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit. Keduanya sama-sama lari mengejar. Kecepatan lari mereka
memang lebih cepat dibanding dengan sisa-sisa anak
buahnya yang kurang lebih kini berjumlah tiga puluh
orang. Sebentar saja kedua orang tua itu sudah bera-da jauh di depan orang-orang
yang masih berlari mengejar. Sebentar-sebentar Kama Lodra menoleh ke belakang. "Ayo cepat kejar...! Kejar...! Lari kalian seperti keong!" Bentaknya
sambil berlari. Mendengar bentakan yang demikian orang-orang itu memacu
kecepatan larinya. Sampai ada yang terbatuk-batuk. Sebenarnya
bisa saja mereka mengejar dengan menunggangi kuda.
Tapi mana sempat lagi mereka mengambil kuda sedangkan keadaannya sudah mendadak begitu. Dengan
terpaksa pula mereka sekarang berlari.
Suasana malam yang gelap menguntungkan
bagi Wintara yang membawa tubuh Umbara Komang.
Ia dapat berlari tanpa kelihatan. Hanya sayang daerah itu merupakan dataran
padang batu yang sangat luas.
Tidak ada tempat satu pun untuk bersembunyi. Mereka memang berada jauh dari kejaran orang-orang
penghuni kuil. Umbara Komang malah cengar-cengir
dalam papahan Wintara. Tawanya malah lebih keras
sewaktu Wintara menggerutu. Dengan kesal Wintara
melepaskan papahannya... "Bruugg!" Tubuh Umbara Komang terbanting.
"Kalau mau cepat berada di akherat tetap diam
di sini! Tapi kalau mau selamat ikuti aku!" bentak Wintara. Umbara Komang
menoleh ke belakang. Samarsamar melihat puluhan orang mengejar. Dengan mata
yang membelalak Umbara Komang bangkit sendiri, lalu
ngacir.... "Hiiiiy... Siluman-siluman jahat itu sangat banyak, aku tidak sanggup menghadapinya. Kita pasti
tewas di rencah oleh mereka, Dewa...!" Katanya sambil berlari terengah-engah
menyusul langkah-langkah cepat Wintara.
"Apakah kau terluka?" kata Wintara setelah Umbara Komang berhasil membayanginya.
"Entahlah! Yang ku rasakan seluruh punggung
terasa perih...! Sebenarnya aku tidak takut terhadap mereka, sayang siluman
berambut kusut ada di situ!"
jawab Umbara Komang. "Kau kenal pada siluman berambut kusut itu?"
"Siapa yang tidak kenal padanya! Dialah Siluman penguasa yang pernah bersarang di Rogojembangan!" jawab Umbara Komang cepat. Wintara menang-gapi serius. Mereka makin cepat
berlari mendahului
para pengejarnya di belakang yang jauh tertinggal.
Sementara itu Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit
tetap berada paling depan dari ketiga puluh orang
anak buahnya. Mereka dapat mengetahui ke mana
arah Wintara dan Umbara Komang melarikan diri. Mereka dapat melihat tapak-tapak kakinya yang menyeplak di dataran berpasir. Dengan begitu mereka sangat mudah mencari tawanan
mereka. * * * 10 "Raden...!" Teriakan Dewi Rakuntili bergema.
Suasana gelap pekat dan dingin.
"Kau tak dapat lolos dari sini, Raden! Aku bakal mendapatkan kau kembali!"
Teriakannya selalu menggema. Tapi tidak pernah ada jawaban. Sukar sekali
menentukan di mana adanya Raden Mas Kinanjar
Swantaka berada. Kedua matanya yang jeli benarbenar seperti buta. Dan dirasakannya debu pasir menerpa kulitnya yang mulus saat angin berhembus kencang. "Raden...! Aku tak segan-segan lagi membu-nuhmu jika kau kutemui!" Kembali
gema-gema suara Dewi Rakuntili memenuhi malam yang gelap. Larinya
nampak cepat sekali. Langkah-langkahnya bersuara
bagai derap kaki kuda.
Sebenarnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa
mendengar teriakan-teriakan Dewi Rakuntili yang
menggema-gema itu. Ia sengaja tidak menjawabnya
agar tidak diketahui di mana ia berada. Padahal jarak mereka tidak begitu jauh
dan Dewi Rakuntili mengejarnya dengan benar. Hanya saja suasana yang gelap
itu membuat ia tidak dapat memastikan buruannya.
Raden Mas Kinanjar Swantaka yang mengetahui Dewi
Rakuntili mengejarnya makin lama makin dekat,
mempercepat larinya. Kain bajunya berderap tertiup
angin dan gesekan gerakannya. Cepat Dewi Rakuntili
menoleh ke arah suara itu. Ia yakin di situlah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Maka
dengan mengerahkan
seluruh tenaganya ia lari mengejar.
"Kau sudah kudapatkan, Raden...! Kau pasti
mati!" teriaknya.
Laki-laki yang berlari di depannya tidak perduli.
Meskipun ia cukup yakin ia masih dalam buruannya.
Sebab itu laki-laki itu tidak pernah berhenti dari langkah-langkahnya yang
bergerak cepat.
Saat itu udara makin dingin dan malam tetap
gelap. Angin pasir menderu-deru menakutkan. Debu

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

debu pasir beterbangan menerpa tubuh mereka. Keringat mereka sudah lengket bercampur dengan debudebu itu. Yang terlihat dari kejauhan hanyalah dua sosok saling lari mengejar.
Keduanya nampak telah lelah.
Lari mereka tidak secepat seperti tadi. Keduanya kadang berlari kadang pula berjalan. Begitu seterusnya.
Tidak terasa pula hari hampir pagi. Langit yang
semula hitam kelam, kini nampak kebiruan mengambang di atas cakrawala. Raden Mas Kinanjar Swantaka
sudah beberapa kali terjatuh. Manakala pasir telah
membenam kedua telapak kakinya.
Dewi Rakuntili berjalan perlahan menatap lakilaki itu jatuh bangun dari permukaan pasir yang luas menghampar. Langkahlangkahnya demikian pasti
meskipun nampak terhuyung menahan lelah. Semangatnya timbul kembali saat dirinya mendekati sosok
tubuh lelaki merangkak menyeret diri. Kedua kaki Dewi Rakuntili yang gemetar mendadak melangkah cepat.
Pasir-pasir yang membenam sampai semata kaki berhamburan saat ia melarikan diri mengejar sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Jejak-jejaknya bagaikan lubang-lubang yang sangat dalam yang kemudian hilang
kembali seperti pasir-pasir yang longsor dari atas bukit pasir. Raden Mas
Kinanjar Swantaka sudah bangkit
dan berusaha berlari lagi. Tapi teriakan Dewi Rakuntili yang menggelegar itu
mengagetkannya. Laki-laki itu
menoleh ke belakang dan ia tidak sempat lagi menghindari terkaman yang datang dari arah belakang. Keduanya jatuh bergulingan. Sebelah tangan Dewi Rakuntili menghantam dada. Tapi untuk hantaman yang
kedua, Raden mas Kinanjar Swantaka berhasil menangkisnyaa. Gerakannya yang sangat lemah membuat mereka nampak seperti berpelukan.
Dalam dekapan yang begitu erat, Dewi Rakuntili tidak dapat melancarkan hantaman-hantamannya.
Gadis itu meronta-ronta sekuat tenaga. Rontaan itu
demikian lemas. Sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka
mendorong kedua lengannya. Tubuh Dewi Rakuntili
terdorong bergulingan. Laki-laki itu cepat bangkit dan melangkah dengan lunglai
meninggalkan Dewi Rakuntili yang berusaha bangkit lagi. Wajahnya sudah tidak
karuan tertutup debu. Bentuk keanggunannya seperti
hilang. Hanya kedua matanya yang nanar memerah
nampak jelas membelalak.
Namun begitu Dewi Rakuntili masih terus berusaha mengejar. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha tidak perduli. Tapi lagi-lagi terjangan Dewi Rakuntili datang menerkam.
Kembali keduanya bergulingan. Raden Mas Kinanjar Swantaka berusaha
menghindari hantaman Dewi Rakuntili. Sebelum hantamannya mengena laki-laki itu memutar tubuhnya.
Membuat posisi Dewi Rakuntili berada di bawah. Sigap sekali Raden Mas Kinanjar
Swantaka membekap dari
atas. Lelaki itu hanya menamparnya kuat-kuat. Dan
Dewi Rakuntili memekik! Tubuhnya terlentang seperti
tak bertenaga. Tapi begitu Raden Mas Kinanjar Swantaka beringsut bangun, kaki Dewi menendang ke
atas... "Bug!"
Lelaki itu terbanting ke belakang. Dadanya terasa ngilu. Kedua-duanya nampak bangkit terduduk
saling berhadapan. Nafas mereka memburu menunjukkan wajah-wajah yang amat menyeramkan.
"Kau akan mampus di sini, Raden.... Kita akan
mengadu jiwa!"
"Aku akan lebih suka kalau kita mati bersama!"
jawab Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Dewi Rakuntili bangkit dengan geram. Langkahnya yang sempoyongan dipaksakan menerjang lakilaki di hadapannya menyamping. Kedua lengannya
bersiap ke atas. Maka hantaman itu beradu. Raden
Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan tendangannya. Tapi sebelum tendangan itu bergerak Dewi Rakuntili menjatuhkan diri. Sebelah lengannya menangkis tendangan....
"Plaak!" Akibat tepisan yang demikian kuat, la-ki-laki itu terbanting. Tubuhnya
berdegum mengeluarkan asap-asap debu. Bersamaan dengan itu pula Dewi Rakuntili menerjang menerjang tubuh Raden Mas
Kinanjar Swantaka yang masih bergulingan. Keduanya
jatuh menggelinding saling hantam. Mereka baru menyadari kalau matahari mulai menampakkan diri di
balik pasir memancarkan sinar keperakan. Namun
demikian udara masih menyebarkan hawa dingin. Di
luar dugaan pasir di atas mereka meluruk menimbun.
Keduanya cepat-cepat bangkit sebelum mereka tertimbun. Dewi Rakuntili yang nampak lemas itu terpeleset jatuh. Melihat itu Raden Mas Kinanjar Swantaka
menendang keras ke arah tubuh ramping Dewi Rakuntili. Semua itu dilakukan semata-mata agar gadis beringas selamat dari timbunan pasir yang datang bak
air bah. Dan tindakan Raden Mas Kinanjar Swantaka
ternyata tidak sia-sia. Dewi Rakuntili selamat dari ba-dai pasir yang tiba-tiba
datang melanda. Laki-laki itu berhasil menyelamatkan orang lain, tapi dirinya
diri tidak dapat menghindari saat pasir menimbun seluruh
tubuhnya. Dengan pandangan yang samar, Dewi Rakuntili
dapat melihat bagaimana saat ia diselamatkan dan bagaimana juga saat Raden Mas Kinanjar Swantaka meronta-ronta di kala pasir-pasir menimbuninya hiduphidup. Ia sendiri tidak dapat bangun akibat tendangan yang sangat keras tadi.
Dia hanya menatap pasir-pasir mulai rata dengan permukaan tanah bersama angin
yang membuat debu-debu beterbangan.
Sambil menahan sakit ia beringsut bangun,
kemudian menyeret tubuhnya ke arah di mana tadi
Raden Mas Kinanjar Swantaka tertimbun. Susah sekali
ia mencapainya, karena padang pasir yang membukit
ini membuatnya harus merosot ke bawah lagi. Dan ia
tidak henti-hentinya mendaki. Namun tetap saja. Tubuhnya yang lemah tak berdaya selalu merosot ke bawah. Dalam keputusasaannya, tiba-tiba saja kedua
matanya membelalak lebar....
Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Di atas sana, dari permukaan bukit pasir menyembul sebelah lengan. Lengan itu nampak bergerakgerak menyingkirkan pasir-pasir yang terkuak semakin membesar. Lalu muncul lagi
sebelah lengan lainnya.
Gadis itu makin tak percaya. Apalagi saat ia melihat sosok Raden Mas Kinanjar
Swantaka menyembul. Bentuknya sudah tidak karuan lagi. Seluruh tubuhnya telah penuh dengan pasir. Sosok itu bergerak-gerak berusaha ke luar dari timbunan. Untuk mengangkat tubuhnya saja laki-laki itu sudah tidak sanggup. Ia
hanya mengandalkan kedua lengannya yang membawanya keluar dari timbunan itu.
Matanya menatap nanar ke arah perempuan
yang juga nampak kepayahan di bawahnya. Perempuan itu balas menatap sambil duduk dengan kedua
lengan yang menahan tubuhnya di atas permukaan
pasir. Dan saat Raden Mas Kinanjar Swantaka benarbenar ke luar dari timbunan pasir, Dewi Rakuntili ambruk pingsan. Begitu juga
dengan laki-laki itu yang
berjalan tersaruk-saruk. Dengan tiba-tiba pandangannya berputar. Ia tidak kuat lagi untuk melangkah.
Maka tubuh itu menggelosoh ambruk! Tubuhnya menggelinding deras... akhirnya ia pun jatuh terlentang tak sadarkan diri
tidak jauh dari sosok Dewi
Rakuntili. Keduanya sama-sama terlentang menantang
matahari yang kian lama semakin tinggi mencorot.
* * * 11 "Itu mereka! Lekas kejar!" teriak Kama Lodra melihat sosok Wintara dan Umbara
Komang berjalan
tenang, maka ketiga puluh anak buahnya berlarian.
Wintara dan Umbara Komang yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke belakang.
"Astaga! Mereka masih saja mengejar!" Wintara kaget. Umbara Komang melotot.
Keparat! Siluman-siluman itu punya tenaga
apa!" Umbara Komang ketakutan menatap kedua
orang yang berlari paling depan.
"Itu siluman rambut kusut kenapa tidak mau
mampus saja!" gerutunya lagi. Wintara segera menarik lengan Umbara Komang
mengajaknya berlari lagi. Mereka memang nampak sudah tak bertenaga, tapi melihat para pengejarnya demikian gigih membuat mereka
memeras tenaganya.
Sementara itu di belakang mereka Kama Lodra
dan Ki Rondo Mayit meninggalkan jauh orang-orang
yang berlari mengikuti. Ketiga puluh orang itu larinya sudah simpang siur.
Banyak juga di antaranya yang
jatuh bangun. Ada juga yang tidak kuat meneruskan
larinya. Yang jelas mereka semua tidak bakal sanggup lagi mengikuti cara lari
kedua orang yang mendahului di depan. Percuma saja Kama Lodra memberinya semangat. Belum-belum mereka ada yang bergelintingan
pingsan. Perjalanan yang mereka tempuh tidaklah
memakan tenaga yang sedikit. Mereka telah menempuh semalaman penuh. Sampai sekarang matahari
mulai tinggi di ufuk Timur.
Bagi Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit sebenarnya sama-sama lelah dan telah kehabisan tenaga.
Hanya mereka berusaha menyembunyikannya. Kalau
saja mereka sanggup berlarian semalam suntuk, adalah wajar! Karena mereka berdua memang memiliki ilmu kecepatan lari yang sangat luar biasa. Kedua buruannya yang berada di depan hampir terkejar.
Wintara dan Umbara Komang sudah tidak dapat menambah kecepatan larinya. Apalagi sekarang
mereka mengarungi lautan padang pasir yang sangat
luas. Setiap kakinya melangkah, padang pasir membenam ke mata kaki. Mereka betul-betul terdesak. Berusaha tetap lari adalah percuma dan bukan jalan satusatunya yang terbaik. Lambat laun tenaga mereka
akan habis, dan para pengejarnya akan mendapatkan
mereka pula. Maka dengan bringas Wintara membalikkan tubuhnya berdiri menantang. Umbara Komang
yang terlanjur berlari terpaksa pula berhenti menatap ke arah Wintara tidak
mengerti. Ia balik lagi melangkah mendekat Wintara.
"Dewa akan bunuh diri! Mereka akan merencah
kita!" kata Umbara Komang. Wintara tersenyum. Ia seolah-olah berdiri menantang
kedua orang yang berlari makin dekat.
"Bukan bunuh diri, Umbara! Tapi kita yang
akan membunuh siluman-siluman itu!"
"Oh, iya iya.... Mereka memang silumansiluman yang mesti di berantas!"
"Awaas!" Wintara mendorong tubuh Umbara
Komang saat Kama Lodra datang melancarkan tendangan terbangnya ke arah mereka. Umbara Komang ke
pinggir sempoyongan. Wintara juga. Tapi ia cepat di
sambut oleh Ki Rondo Mayit dengan sebuah jotosan....
"Des!" Tepat mengenai muka. Sehabis menghantam begitu tampak sekali tubuh Ki
Rondo Mayit terhuyung, maka Wintara membalas dengan tendangannya.
Meskipun agak terhuyung Ki Rondo Mayit masih dapat
menangkis tendangan itu. Malah Wintara yang jatuh
tergelincir. Melihat Wintara terguling ke arah Kama Lodra.
Umbara Komang menahan gerakan Kama Lodra yang
berniat melancarkan serangan ke bawah. Tendangan
Umbara Komang mengenai kedua lengan lelaki tua
yang mengenakan jubah serba hitam. Mendapat kesempatan itu Wintara cepat bangkit dan melancarkan
sabetan lengannya. "Des!" tubuh Kama Lodra terbanting.
Saat itu ketiga puluh orang anak buah Kama
Lodra sudah berdatangan. Mereka tidak perlu diberi
komando lagi. Dengan serempak mereka mencabut
senjata dan menyerang Wintara. Umbara Komang terbelalak melihat senjata-senjata mereka nampak putih
berkilat menyilaukan. Kama Lodra dan Ki Rondo Mayit
segera menyingkir membiarkan anak buahnya mengepung dua orang buruannya. Saat-saat itu mereka berdua berusaha menghimpun tenaga.
Menghadapi kepungan itu Wintara maupun
Umbara Komang tidak mengalami kesulitan. Para penyerang itu melancarkan serangan tanpa tenaga. Babatan-babatan senjata mereka nampak lamban, malah
lebih cepat dibanding dengan gerak hantaman Wintara
atau tendangan Umbara Komang. Sungguh-sungguh
menghajar mereka. Wintara sengaja membuat para penyerangnya jatuh pingsan, Tapi untuk Umbara Komang, ia tidak pernah tanggung-tanggung melancarkan hantamannya. Kalau lawan-lawannya tidak patah
tulang atau batok kepala mereka tidak remuk, Umbara
Komang kurang puas. Untuk itulah ia nampak mulai
kehabisan tenaga. Sementara itupun Kama Lodra dan
Ki Rondo Mayit sudah dapat melihat dan mengukur
kekuatan kedua orang itu. Kama Lodra beringsut melangkah bermaksud ikut menyerang. Tapi Ki Rondo
Mayit segera menahannya. Kama Lodra berhenti melangkah, saat itupun ia sempat melihat Umbara Komang jatuh terkena babatan pedang.
"Putri mu telah mengecewakan aku, Kama Lodra! Ia telah mengingkari janji! Sampai sekarang ia belum kembali. Pastilah ia
sudah tewas di tangan raden keparat itu!"
"Kau bicara apa, Ki Rondo Mayit! Dua orang
buruan kita sudah ada di sini! Kenapa berbicara soal putri ku! Hancurkan saja
mereka dulu, setelah itu kita berdua mencari mereka!"
"Ah tidak perlu! Itu urusanmu! Bagiku kedua
orang itu tidak begitu penting! Yang kuperlukan nyawa raden sial itu! Aku pergi
sekarang mencari mereka!
Urus saja kedua orang itu olehmu!" Setelah berkata begitu Ki Rondo Mayit melesat
meninggalkan tempat
itu. Kama Lodra tidak dapat menghalanginya. Matanya
hanya menatap kepergian Ki Rondo Mayit yang berlalu
menjauh. Kemudian beralih ke arah pertarungan. Di
situ ia melihat Umbara Komang mengamuk menjatuh

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan satu demi satu para anak buahnya. Padahal darah
telah mengucur deras dari luka di pinggangnya. Begitu juga dengan Wintara. Ia
sudah semakin kalap menghantam lawan-lawannya. Babatan-babatan senjata
yang begitu banyak berkelebat sama sekali tidak ada
yang mengena di tubuh Wintara.
Sekalipun Wintara nampak keteter. Kama Lodra berbalik mundur, bukan karena takut menghadapi
kedua orang buruannya itu. Tapi ia merasa khawatir
akan nasib putrinya. Ia takut kalau putrinya betulbetul tewas di tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Sebab sampai sesiang ini belum juga kembali. Menurut sepengetahuannya, ia selalu
berhasil dalam bidang
apapun. Dan dapat kembali lebih awal. Apalagi Ki
Rondo Mayit sekarang pergi menyusul. Bagaimana kalau Dewi Rakuntili berhasil membawa Raden Mas Kinanjar Swantaka" Tentunya Ki Rondo Mayit akan merampasnya dari tangan Dewi Rakuntili. Ia tahu benar
watak anak perempuan tunggalnya. Watak yang keras
dan tidak bakal dengan mudah menyerahkan miliknya
yang sudah didapat. Dia memang pernah berjanji akan
menyerahkan Raden Mas Kinanjar Swantaka pada Ki
Rondo Mayit. Tapi sekarang suasananya lain...! Kama
Lodra berpikir panjang. Lalu dengan tiba-tiba saja ia menghentakkan kedua
kakinya berlari meninggalkan
pertarungan. Membiarkan para anak buahnya matimatian menggempur dua pendekar perkasa.
"Weiiii! Siluman tengik! Mau lari ke mana kau!"
bentak Umbara Komang sambil melancarkan hantamannya ke dada lawan. Darah menyembur bagai air
mancur! Umbara Komang melangkah cepat, tapi beberapa orang menghadangnya. Dua orang lagi melompat
memegangi kedua kakinya.
"Ha ha ha ha cecoro-cecoro busuk! Apa-apaan
kalian! Lepas!" Umbara Komang berteriak-teriak. Wintara jadi geli melihatnya.
Melihat kelucuan itu, tenaga Wintara seperti muncul kembali. Terbukti sekali
hantamannya bergerak menjatuhkan tiga orang sekaligus.
Memang tidak telak, tapi cukup membuat ketiganya
menjerit-jerit!
Dua orang itu masih memegangi kaki Umbara
Komang manakala di hadapannya berdatangan orangorang membabatkan senjatanya. Sebelum senjatasenjata itu berkelebat, Umbara Komang melesat ke
atas. Dua orang yang memegangi kakinya sampai ikut
terbang ke atas. Maka babatan-babatan senjata itu
hanya mengenai kedua orang itu sampai salah satu
dari tubuh mereka ada yang hampir putus. Dan Umbara Komang sendiri yang masih berada di udara
menghantam kepala mereka satu persatu.
Wintara bertambah yakin akan kehebatan Umbara Komang. Tapi sedikitnya ia masih khawatir akan
keadaan tubuhnya yang
banyak mengeluarkan darah. Setelah Wintara
berhasil menjatuhkan dua orang penyerang, ia melompat ke arah Umbara Komang....
"Dewa jangan khawatir! Aku tidak apa-apa! Lihat...." Umbara Komang memutar lengannya. Dan seorang pembokong itu terlentang
ambruk menyemburkan darah. Saat Umbara Komang menghantam, Wintara dapati mimik yang menyeringai menahan sakit.
"Kau memang hebat, Umbara! Tapi bagaimana
pun aku harus membantumu! Kau tidak perlu menghajar mereka sampai tewas! Itu akan membuang tenagamu saja... "Seperti ini saja!" Wintara menendang ke depan... "Der!" Perlahan
tapi pasti. Dan dua orang bergulingan dengan kelojotan untuk kemudian diam tak
berkutik. "Dengan begitu kita sudah mengurangi lawanlawan brengsek itu! Cepat menyingkir! Urusi saja luka di pinggangmu, Umbara...
Mereka tinggal sedikit, aku sanggup menghabisi mereka!" Wintara melancarkan
tendangan memutar ke depan menghantam pergelangan tangan hingga senjata-senjata
mereka mental berbareng. Lalu sebelah kakinya menyambar lagi beruntun membuat orang-orang itu jatuh bergelimpangan.
* * * 12 Matahari bergeser semakin tinggi dengan menyebarkan panas teriknya ke setiap permukaan tanah
berpasir yang menghampar itu. Dua sosok tubuh masih terlentang menantang matahari dengan nafas yang
tersendat-sendat perlahan. Tubuh mereka telah berlapis pasir yang berwarna coklat kehitaman. Rambut keduanya sudah nampak kaku penuh debu.
Sesekali angin berhembus meniup mereka. Dan
Dewi Rakuntili berusaha membuka kedua kelopak matanya yang sayu menatap panas menyilaukan. Bibirnya yang pucat retak bergetar. Lemah sekali ia menoleh ke samping kiri di mana sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka terkapar mulai
sadar. Gadis itu berusaha
bangkit, tapi tubuhnya yang lemah membuat ia tidak
mampu bergerak lagi. Matanya terpejam.
"A-a-air.... Air.... hhhhhh" Gadis itu merintih.
Raden Mas Kinanjar Swantaka mendengar itu. Ia pun
segera menoleh ke samping. Sosok Dewi Rakuntili terlentang lemas dengan nafas yang terputus-putus. Lelaki itu merangkak bangun. Akan tetapi ia terjatuh lagi berguling. Ia pun telah
benar-benar kehabisan tenaganya. Sekali lagi ia merangkak bangun. Lalu berjalan
ke arah Dewi Rakuntili.
Ia menatap gadis itu mengucurkan keringat
dengan wajah yang pucat serta bibir yang kering retak.
Tubuhnya nampak gemetar. Ia tetap terlentang saat
Raden Mas Kinanjar Swantaka di sampingnya. Tangan
lelaki itu gemetar menarik gagang pedang pendek yang terselip di pinggang Dewi
Rakuntili. Gadis itu hanya diam pasrah.
"Kau menang, Raden.... hhhhhhh. Kau boleh
membunuhku!" Suara Dewi Rakuntili lirih. Raden Mas
Kinanjar Swantaka mengangkat pedang pendek tinggitinggi. Mata pedang itu berkilat tertimpa sinar matahari Dewi Rakuntili menatap
mata pedang dengan tak
berkedip. Di luar dugaan, Raden
Mas Kinanjar Swantaka menghantam pedang
itu ke arah lengannya sendiri. Pedang pendek menancap dalam di lengannya. Darahpun menetes ke luar.
Tetesan darah itu sengaja diarahkan ke mulut Dewi
Rakuntili. Lelaki itu mengangkat kepala Dewi Rakuntili
agak berdiri. Kemudian ia melekatkan luka yang masih mengalirkan darah ke mulut.
Membiarkan gadis itu
menghisapnya. Tanpa setetes darahpun yang terbuang
percuma. Bibir mungil itu kini basah lagi dengan cairan merah.
Entah sampai berapa lamanya, tubuh lelaki itu
ambruk lagi ke tanah. Dewi Rakuntili terduduk menatap sosok yang ambruk terlentang. Ia menyeka cairan
merah yang tersisa di sekitar bibirnya. Tubuhnya masih gemetar, dan berusaha meraih pedang pendek yang
masih dalam genggaman Raden Mas Kinanjar Swantaka. Lelaki itu diam tak bergeming. Dewi Rakuntili
mengarahkan mata pedang pendek ke dada lelaki itu.
Nafasnya kian memburu. Pedang pendek berkilat siap
menembus dada. Tapi apa yang akan dilakukan Dewi
Rakuntili tidaklah sekejam itu! Gadis itu melemparkan pedangnya jauh-jauh....
"Bagus, Dewi Rakuntili! Nyawa anjingnya memang bagianku...!" Tiba-tiba saja terdengar suara yang amat berat dari belakang.
Dewi Rakuntili menoleh....
"Ki Rondo Mayit...!" Dewi Rakuntili menatap sosok tubuh berambut putih kusut
menyeringai menyeramkan. Laki-laki setengah tua itu melangkah dekat.
"Tidak, Ki Rondo Mayit! Kau tidak boleh membunuhnya!" Dewi Rakuntili menghalangi dengan kedua
lengannya. Ki Rondo Mayit berhenti melangkah.
"Kau sudah berjanji padaku, Dewi." jawabnya tenang. "Betul! Tentunya kau masih
ingat dengan janji ku itu. Kau boleh membalas dendammu, asalkan Raden Mas
Kinanjar Swantaka telah sembuh betul!"
"Hm... Lalu membiarkan keparat itu melarikan
diri lagi..." Tidak bisa, Dewi! Sekarang saatnya yang tepat, kau tidak bisa
menunda-nunda lagi!" Ki Rondo Mayit melangkah kian dekat.
"Diam di tempat, Ki! Sekali lagi melangkah aku
tidak segan-segan menghadapimu!" Dewi Rakuntili mengancam. Ki Rondo Mayit
tertawa mengekeh....
"He he he he.... Kau pikir aku ini apa dapat di-gertak macam itu" Hah! Di sini
kau bukan seorang
penguasa, Dewi. Kau tidak punya wewenang apapun
terhadapku. Menyingkirlah kalau masih ingin hidup
lama!" Kedua lengan Ki Rondo Mayit siap-siap mengeluarkan jurus.
Melihat itu Dewi Rakuntili berdiri cepat menghadapi laki-laki setengah tua berambut putih kusut.
Kedua matanya menatap liar bagaikan betina yang
haus darah. Ki Rondo Mayit bergidik melihat sosok
ramping berlapis debu. Wajah anggunnya tidak nampak sama sekali.
"Jangan heran kalau sekarang aku menolongnya, Ki.... Dia tidak patut kubunuh atau kuserahkan
padamu! Karena dia telah menyelamatkan nyawaku!"
"Oh pantas sekarang telah menjadi anjing penjilat!" "Tutup mulutmu!" Bersamaan dengan itu, Dewi Rakuntili melancarkan tinjunya ke
arah muka Ki Rondo Mayit. Lelaki setengah tua itu hanya bergeser sedikit, maka
serangan itu meleset ke samping. Dengan
mudahlah bagi Ki Rondo Mayit membalas serangan.
"Des!" Tubuh ramping itu bergulingan. Hantaman keras itu membuat Dewi Rakuntili
menyemburkan darah.
"Bukan salahku, Dewi! Kau sendiri yang memaksa aku bertindak kejam!"
"Bangsat! Jangan sombong tua bangka keparat!" Dewi Rakuntili bangkit lagi. Kali ini hantamannya bergerak cepat. Dan
hantaman itu hampir mengenai
kepala Ki Rondo Mayit, untunglah lelaki itu cepat merunduk. Tapi tiba-tiba saja
Ki Rondo Mayit memekik
hebat dan terhuyung mundur. Ternyata dalam kesempatan itu Raden Mas Kinanjar Swantaka yang baru saja siuman dari pingsannya langsung melancarkan hantaman keras. Kesempatan itu pula Dewi Rakuntili ikut ambil bagian.... Sewaktu Ki
Rondo Mayit mundur terhuyung, gadis itu melancarkan tendangan. Tepat mengenai punggung dan sampai memuntahkan darah.
Dewi Rakuntili cepat berlari melindungi Raden Mas Kinanjar Swantaka yang nampak
bangkit berdiri.
Dengan geram pula Ki Rondo Mayit maju menerjang, kedua lengannya berputar di barengi dengan
tendangan yang sangat keras. Untuk menghadapi pukulan-pukulan itu mereka dapat menangkisnya, tapi
tendangan yang sangat keras itu sama sekali tidak dapat di-bendung. Kedua-duanya
jatuh bergulingan.
Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka belum sempat bangun, Ki Rondo Mayit menerjang
lagi dengan serentetan serangan. "Sudah kepalang tanggung, Dewi! Rupanya kalian
berdua memang harus mampus di tanganku... Hreaaaaaa!"
Angin pukulan ki Rondo Mayit bergulunggulung. Kedua sasarannya belingsatan menghindar.
Mereka yakin hantaman yang bertubi-tubi itu sudah
tentu di sertai tenaga dalam yang dahsyat. Kalau saja sampai terkena, pastilah
mereka akan tamat riwayatnya. Sekalipun Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka telah kehabisan tenaga, mereka masih dapat menghindari serangan-serangan maut itu.
Mereka berdua bergantian saling melindungi. Bahkan
menangkis saling bergantian. Namun sekuatkuatnya mereka, bagi Ki Rondo Mayit tidaklah
berarti. Sekali Ki Rondo Mayit kerahkan tendangannya.... "Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka yang bermaksud menyambut tendangan
itu tidak sempat menangkis lagi. Terasa sekali dadanya rontok. Ia mundur terhuyung dengan darah
menyembur. Dewi Rakuntili
datang membalas. Teriakannya menggelegar berbareng
dengan sambaran lengan kanannya yang menghantam
deras, Ki Rondo Mayit hanya menepak dengan telapak
tangannya lalu kakinya naik ke atas menendang perut.... "Der!"
Dewi Rakuntili terlempar melintir! Begitu tubuhnya jatuh di tanah, debu-debu pasir berdegum
mengepul. Seluruh tulang-tulang sendinya rontok. Ia
berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit.
Ki Rondo Mayit menyeringai. Kedua tangannya
mengepal erat dan siap menghantam lagi. Raden Mas
Kinanjar Swantaka sudah bangkit meskipun dengan
gerakan yang lunglai. Ia bersiap-siap menghalangi bi-lamana laki-laki setengah
tua berambut putih kusut
melancarkan serangan. Dewi Rakuntili menatap ngeri.
Saat Ki Rondo Mayit maju menerjang ke arah Dewi Rakuntili, cepat sekali Raden Mas Kinanjar Swantaka
bergerak menghalangi, tapi lelaki berambut putih kusut tidak kalah sigap. Sebelum ia melancarkan hantaman ke arah Dewi Rakuntili, ia menghantam perut Raden Mas Kinanjar Swantaka terlebih dahulu. Tubuh itu terbanting di samping Dewi
Rakuntili. Dan ki Rondo
Mayit tetap meneruskan niatnya...
Hantamannya berkelebat menyambar batok kepala gadis itu, tapi....
"Plaaaak!" Sosok bayangan lain muncul meng-gagalkan hantaman itu. Ki Rondo Mayit
mundur se- langkah, dirasakan kedua pergelangan tangannya berdenyut. Dan di saat ia menoleh ke arah sosok bayangan tadi, mata Ki Rondo Mayit
terbelalak! Begitu juga dengan Dewi Rakuntili dan Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Sosok Kama Lodra berdiri tenang dengan tatapan penuh amarah ke arah Ki Rondo Mayit. "Sudah kuduga kedatanganmu ini ke sini pasti
akan membawa benca-na, Ki! Untung aku cepat datang ke sini!" kata Kama Lodra
yang mulai melangkah.
"Itu lebih bagus, Ki! Biar kau saksikan kematian putri mu akibat keangkuhan wataknya yang kelewat sombong! Tapi setelah memandang kau, aku masih memberi kesempatan untuk kau membawanya pu

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lang!" Ki Rondo Mayit berkata sinis.
"Kau meremehkan aku, Ki Rondo Mayit!
Aku memilih kita bertarung saja. Aku rasa kau
tidak keberatan, bukan?" jawab Kama Lodra sambil membantu putrinya bangkit.
* * * 13 "Aku setuju! Dan itu berarti akan ada tiga
mayat bergelimpangan tanpa kubur di sini... Mari Kama Lodra, kita yang sama-sama tua ini belum pernah
saling menjajal ilmu!" Ki Rondo Mayit menantang. Ka-ma Lodra tetap tenang. Ia
melihat putrinya membantu
Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit berdiri.
"Jangan khawatir, Kama Lodra. Aku tidak akan
menyentuh putri mu sebelum mengirimmu ke neraka.
Dan juga jangan coba-coba melarikan diri dari sini kalau tidak ingin ku sebut
sebagai pengecut!" Ki Rondo Mayit membetulkan ikat pinggangnya, lalu ia bersiapsiap mengeluarkan jurus-jurus maut. Kama Lodra
membuka jubah hitamnya.
Maka terlihatlah tubuhnya yang setengah telanjang itu nampak kekar dan berisi. Rambut hitamnya
tetap tergulung di atas kepala. Ia pun tidak kalah dahsyat menunjukkan jurusjurusnya. Ki Rondo Mayit tidak membuang-buang waktu.
Teriakannya menggelegar, bersamaan dengan lesatan
tubuhnya menerjang Kama Lodra. Kedua lengannya
berputar menimbulkan suara angin yang bergemuruh
bergulung-gulung. Kama Lodra menyambut dengan
kedua telapak tangannya yang mendorong keras ke
depan. Sampai akhirnya hantaman mereka beradu
dahsyat.... Suara benturan itu membledar nyaring
memecah kesunyian gurun tandus berpasir.
"Tidak kusangka kau sehebat ini, Kama Lodra!"
kata Ki Rondo Mayit sambil melancarkan tendangan
memutar dengan kedua kaki yang menghantam bergantian. "Kau menghina, Ki.... Heaaat!" Kama Lodra melesat ke atas menghindari tendangan
yang beruntun itu. Dan ia sempat terkesiap karena tahu-tahu saja sebelah jotosan Ki Rondo
Mayit nyaris menghantam jantungnya. Untunglah Kama Lodra cepat memutar lengannya ke depan melindungi. Dan cepat menangkap
lengan Ki Rondo Mayit.
Secepat itulah Kama Lodra melancarkan pukulannya menghantam punggung... "Bug!" Ki Rondo Mayit memekik. Kama Lodra
membiarkan lawannya
terhuyung maju. Saat itu Kama Lodra sudah hinggap
di tanah. Lelaki tua berambut putih kusut membalikkan tubuhnya. Ia menatap geram.
"Pukulanmu hebat, Ki.... Tapi jangan senang
dulu, sambut ini....
Haaaaat!" Tubuh ki Rondo Mayit melesat. Kedua kakinya tidak menyentuh tanah seakan-akan dirinya terbang menjurus ke arah Kama Lodra. Gerakan
kedua tangannya sukar untuk dipastikan. Namun begitu Kama Lodra tetap berhati-hati, karena ia yakin serangan yang dilancarkannya
pasti lebih dahsyat dari
yang sudah-sudah. Ketika hantaman-hantaman itu
menjurus ke arahnya, Kama Lodra melesat ke atas lagi. Sambil berjumpalitan di udara Kama Lodra menepis hantaman-hantaman itu
dengan kedua telapak tangannya... "Bledaaaar!"
Serangan itu luput, tapi Kama Lodra tidak menyangka sama sekali akan tendangan yang bergerak
menyerbu. Sebelum Dewi Rakuntili melancarkan serangan, Kama Lodra menahannya. Gadis itu hanya
berdiri di belakang ayahnya dengan nafas yang memburu. Kama Lodra berdiri dengan sikap bersiap-siap
menghadapi......
"Menyingkirlah, Dewi.... Dia bukan tandingan
mu!" Bisiknya. Dewi Rakuntili mundur....
Setelah berkata begitu, Kama Lodra maju ke
depan menyambut hantaman Ki Rondo Mayit yang datang dengan tiba-tiba. Kembali hantaman-hantaman
mereka bergulung-gulung. Tubuh kedua orang tua itu
saling kelit melancarkan serangan. Tendangan maupun hantaman mereka saling bentrok hingga menimbulkan suara-suara yang memekakkan telinga.
Dua sosok tubuh tua itu bertarung bagai dua
ekor harimau lapar. Meraung-raung saat melancarkan
serangan. Kama Lodra tidak tanggung-tanggung lagi
mengerahkan seluruh kemampuannya. Setiap hantamannya selalu berisi tenaga penuh. Hal itu membuat
Ki Rondo Mayit gelagapan dibuatnya. Dan harus pula
menangkis hantaman-hantaman Kama Lodra.
Namun semua denyutan di lengannya itu sama
sekali tidak dirasakannya. Walaupun Kama Lodra masih melancarkan pukulan-pukulan maut beruntun.
Jago tua Ki Rondo Mayit memang sangat sukar untuk
dijatuhkan. Ia masih bisa bertahan dari hantamanhantaman yang mendera di tubuhnya. Apalagi serangan-serangan Kama Lodra tidak pernah berhenti dan
selalu mengincar.
Di luar dugaan tubuh Ki Rondo Mayit melayang
ke atas. Tahu-tahu kedua telapak tangannya mencengkeram lengan-lengan Kama Lodra. Lalu begitu ia
menjatuhkan diri, sebelah kaki Ki Rondo Mayit masih
menggedor dada Kama Lodra. Kama Lodra menyemburkan darah. Dan posisinya masih dalam cengkeraman Ki Rondo Mayit. Setelah menendang, laki-laki berambut putih kusut menghantam kepalanya dengan
sabetan lengannya.... "Des!" Tulang leher Kama Lodra terasa copot! Ia terhuyung
mundur kemudian jatuh
ambruk! "Ayah...!" Pekik Dewi Rakuntili berlari ke arah Kama Lodra.
"Tenang, Dewi. Aku tidak apa-apa. Kau menyingkirlah...!" jawab Kama Lodra sembari berusaha bangkit.
"Heh! Kenapa musti sok pahlawan, Kama Lodra.... Biarkan putri mu itu ikut menyerang. Atau kalau perlu sekalian dengan
Raden keparat itu! Kalian
boleh maju semua!" Ki Rondo Mayit melangkah maju.
Raden Mas Kinanjar Swantaka kepalang maju, ia maju
lebih dulu. Tapi disambut oleh tendangan Ki Rondo
Mayit.... "Weeees!"
Untunglah Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat
menarik kembali tubuhnya ke belakang. Namun untuk
tendangan yang kedua, laki-laki itu tidak dapat menghindarinya lagi... "Des!"
Tubuhnya terlempar deras dan hampir menimpa tubuh Dewi Rakuntili. Gadis itu
tidak menghindar, malah menjaganya sehingga tubuh Raden
Mas Kinanjar Swantaka tidak terbanting. Setelah itu
Dewi Rakuntili lompat menerjang.
Amarahnya telah meluap. Dan juga ia tidak
mengontrol dirinya...
Setelah merebahkan diri menghindari serangan
gadis itu, Ki Rondo Mayit membalas dengan tendangan... "Deeeeer!
Dewi Rakuntili memekik. Tubuhnya terbanting
berdegum di tanah berpasir. Darah mengalir dari mulutnya. Ki Rondo Mayit menatap puas melihat gadis itu tidak dapat bangkit lagi.
Saat itu tubuh Kama Lodra berjumpalitan di
udara. Bersamaan dengan itu pula Raden Mas Kinanjar Swantaka juga melesat dari arah lain, Ki Rondo
Mayit yang mengetahui adanya serangan dari dua arah
langsung merentangkan kedua tangannya.
Kedua lengan itu menyambut tendangan dan
hantaman dari arah yang berlawanan. Dan ternyata
serangan-serangan dari arah yang berlawanan itu
hanya sampai di situ. Kama Lodra dan Raden Mas Kinanjar Swantaka masih terus mencecar Ki Rondo
Mayit. Merasa tidak sanggup mengatasinya, Ki Rondo
Mayit sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan menjauh. Tapi mana mau dua orang itu membiarkan Ki
Rondo Mayit bergeser dari tempatnya. Maka keduanya
datang lagi menerjang.
Raden Mas Kinanjar Swantaka melesat ke atas,
tendangannya cepat menyambar. Begitu juga dengan
Kama Lodra, hantamannya yang berkelebat beruntun
sukar diikuti oleh pandangan mata.... Namun hanya
dengan sekali sentak, Ki Rondo Mayit dapat menepis
tendangan itu yang hampir menghantam kepalanya.
Lalu sambil mundur ia menangkis hantamanhantaman yang mendesak ke dada.
Kurang lebih mereka sudah mengeluarkan dua
puluh jurus. Namun tidak ada tanda-tanda bagi mereka dapat menjatuhkan Ki Rondo Mayit. Laki-laki berambut putih kusut yang sangat luar biasa itu selalu dapat menghindar atau
menangkis hantaman-hantaman mereka. Sekalipun mereka tahu kalau lawan yang dihadapinya itu memiliki ilmu yang sangat
tangguh, Kama Lodra maupun Raden Mas Kinanjar
Swantaka tidak mundur dalam selangkah.
* * * Saat itu Wintara dan Umbara Komang telah
menjatuhkan lawan-lawannya. Kini mereka yang tadi
berjumlah tiga puluh orang, sekarang tinggal empat
orang. Keempat orang itu pun seperti ragu-ragu menyerang. Mereka telah kehilangan kekuatan. Seluruh
permukaan dataran berpasir telah bergelimpangan sosok-sosok penghuni kuil.
Wintara dan Umbara Komang yang sudah berlumuran darah menatap keempat orang itu dengan sorot mata yang menakutkan. Pedang-pedang mereka
memang masih tergenggam, tapi pedang-pedang itu
seperti gemetar menahan takut. Umbara Komang maju
menyeringai. Dan keempat orang itu mundur berbareng. Umbara Komang tertawa mengekeh!
"Sudah tahu takut masih saja berdiri di situ!
Ayo merat...! Kalau masih mau mampus cepat ke mari
maju!" bentak Umbara Komang menunjukkan wajah
yang amat mengerikan. Keempat lawannya saling pandang. Lalu sambil melemparkan pedang-pedang mereka, kemudian berbalik lari pontang panting. Wintara
menatap mereka menggelengkan kepalanya.
"Dasar dungu! Kembali ke kuil pun mereka percuma! Mereka akan memakan waktu yang sangat lama! Dia kira gampang mengarungi padang pasir sedemikian luasnya" Kita berduapun pasti mati kehausan
di sini...." kata Wintara setelah Umbara Komang berjalan mendekatinya.
"Lalu bagaimana dengan Raden Mas Kinanjar
Swantaka" Aku rasa ia pun sudah jadi santapan para
siluman padang pasir!" sahut Umbara Komang yang berjalan lunglai. Keduanya samasama lemas seperti
kehabisan tenaga. Angin-angin makin kencang berhembus. * * * 14 Namun dengan tiba-tiba saja Wintara dan Umbara Komang menoleh ke belakang. Ia mendengar suara teriak-teriak. Tampaklah empat sosok tubuh berlarian mendekat ke arah mereka. Salah seorang dari
keempat orang itu jatuh dan tidak bangkit lagi, lalu yang tiga berlari terus.
Umbara Komang menatap tak
mengerti. "Ada apa gerangan, sehingga mereka berlari balik ke mari...?" Wintara heran. Tapi sebelum mereka berfikir, mereka menemukan
jawabannya. Jauh di belakang orang-orang itu telah mengejar segerombolan
kuda dengan penunggang-penunggangnya. Jumlahnya
hampir belasan.
"Sekarang mati kita! Musuh-musuh berdatangan lagi!" kata Wintara.
"Apakah mereka siluman-siluman jahat juga?"
Umbara Komang mempertajam penglihatannya. Wintara memeluk bahu Umbara Komang sebelah tangan.
"Di neraka ini mana ada yang berpihak kepada
kita. Kecuali muzizat dari Tuhan."
"Tuhan.... Kenapa Dewa mengharapkan keajaiban Tuhan" Bukankah Dewa bisa berbuat apa saja?"
Umbara Komang menatap ketiga orang yang hampir
mendekati mereka. Orang-orang itu lari tunggang
langgang. "Tuhan itu ada di mana-mana, Goblok! Semua
makhluk ciptaan-Nya kebanyakan memohon padaNya...! Kau juga makhluk ciptaan-Nya. Aku juga...."
Wintara menjelaskan dengan kesal.
"Dan juga aku bukan dewa yang patut kau
sembah! Aku juga siluman. Sayang kita berdua di sini bakal mampus!" kata Wintara
lagi. "Heh, suara apa itu...?" Umbara Komang mendengar sesuatu yang lain. Di antara
suara deru derap kaki belasan kuda, mereka mendengar suara gletar-gletar cambuk
yang tidak pernah berhenti. Manakala
gerombolan berkuda itu semakin dekat mendatangi ketiga orang yang lari tunggang langgang itu telah berjatuhan kehabisan nafas. Apa
yang membuat mereka
nampak ketakutan sekali..."
"Mereka.... Mereka...." Tiba-tiba saja Umbara Komang berjingkrak-jingkrak.
Wintara baru tersadar
dengan apa yang dilihatnya. Kedua perempuan yang
menunggangi kudanya paling tengah nampak jelas sekali.... "Astaga.... Mereka Pendekar Kembar Cambuk Seriti!" Seru Wintara. Lalu
keduanya melompat-lompat
sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
"Hooy...! Hooy...!" teriak mereka. Gerombolan kuda itu datang mendekat. Mereka
memang gerombolan perempuan yang dipimpin oleh Pendekar Kembar Cambuk
Seriti. Dan kedua wanita kembar ini tidak percaya pula dengan apa yang mereka
lihat. "Wintara...! Umbara Komang...!" Kedua wanita kembar itu berteriak.
"Aku mengira kalian berdua mayat-mayat hidup. Lihat saja rupa kalian sudah tidak nampak." Gu-rau Seriti Kuni. Wintara
memperhatikan perempuanperempuan itu. Ternyata mereka adalah para tawanan


Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di kuil yang pernah mereka bebaskan.
"Kalian dari sana?" Tanya Wintara, Seriti Wuni turun dari kudanya setelah
mendekati kedua lelaki
yang tetap berdiri.
"Ya, tidak satu orang pun yang hidup di sana!"
Kata Seriti Kuni, ia melemparkan dua pundi air ke
arah Wintara. Lelaki berbaju kulit binatang itu menangkapnya sekaligus, kemudian melemparkan satu
pundi air pada Umbara Komang. Mereka langsung
meminum air itu. Seriti Kuni meneruskan pembicaraannya. "Aku menemukan mereka dalam sebuah ruang
tahanan. Mereka menceritakan bahwa kalian yang melepaskan dari belenggu-belenggu rantai. Di kuil itu pu-la kutemukan empat buah
peti berisi upeti yang kalian bawa tempo hari. Dari situ kami memilih kesimpulan
bahwa kalian mendapat kesulitan.... Mana Raden Mas
Kinanjar Swantaka?" Seriti Kuni membetulkan letak empat buah peti kecil yang
agak miring. Wintara tidak menjawab, ia masih menenggak air minum. Begitu ju-ga
Umbara Komang. Lama sekali mereka menunggu
jawaban Wintara. Belasan perempuan yang di belakangnya diam di atas kuda. Dan setiap kuda membawa perbekalan air dalam pundi.
"Seperti katamu tadi.... Raden Mas Kinanjar
Swantaka mendapat kesulitan dan repotnya aku sendiri tidak tahu di mana dia berada." jawab Wintara sambil menyiram kepalanya
dengan sisa air minum. Umbara Komang mengikuti.
"Bagaimana kalian berdua sampai punya niat
menyusul kami?" Wintara balik bertanya.
"Di Rogojembangan cukup aman. Lagi pula siapa yang betah berdiam diri di sana... Apa kalian kira kedatangan kami ini
bermanfaat?" Jawab Seriti Wuni.
Umbara Komang nyengir. Ia tidak berani menatap gadis itu. "Ooow... Jelas kedatangan kalian ini bagaikan utusan-utusan dari
surga." kata Wintara serius. Ia menyerahkan kembali pundi air yang telah kosong.
"Kalau begitu, kenapa kalian masih berdiam diri di sini. Bukankah lebih baik kita langsung mencari Raden Mas Kinanjar
Swantaka...?" kata Seriti Wuni menyeret kudanya ke hadapan Wintara dan ia
sendiri melangkah ke arah kuda yang ditunggangi Seriti Kuni.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas dirinya." katanya lagi sambil naik duduk di belakang Seriti Kuni. Dengan sigap
pula Wintara langsung melompat ke punggung kuda
yang diserahkan tadi. Tanpa diperintah Umbara Komang langsung naik ke belakang Wintara. Lalu Wintara memacu kudanya memimpin mereka berjalan paling
dulu... "Hreaaaaa...! Hreaaaaaa!" Maka gerombolan penunggang kuda itu bergerak
lagi. Dan asap-asap debu
mengepul-ngepul bertebaran di atas permukaan tanah
berpasir. * * * Teriakan Ki Rondo Mayit menggelegar bersamaan dengan itu hantamannya maju ke depan...
"Des!" Raden Mas Kinanjar Swantaka memekik. Tubuhnya terhuyung mundur. Namun ia
masih bisa bertahan untuk tetap tidak jatuh. Kama Lodra cepat
menghalangi saat Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya lagi. Hantamannya membentur lengan Ki Rondo Mayit dengan keras. Mendapat serangan seperti itu, Ki Rondo Mayit berbalik
menghadapi Kama Lodra. Sebelah lengannya memutar, Kama Lodra cepat menangkis. Maka terlihatlah gaya-gaya jurus mereka seperti dua sosok bayangan hitam
yang melintir saling melancarkan pukulan. Gerak-gerak hantaman mereka tidak
jelas terlihat. Tahu-tahu saja lengan mereka saling beradu dan menimbulkan suara
yang membledar nyaring. Gigih sekali Kama Lodra melancarkan serangan. Hantaman-hantamannya menjurus ke bagian bawah dan atas. Sedikitnya Ki Rondo Mayit merasa kewalahan menghadapinya. Kedua matanya tidak berkedip
sedikit pun. Pandangannya yang jeli terus mengawasi
setiap gerakan Kama Lodra.
Bahkan ketika tendangan Kama Lodra menjurus ke depan, Ki Rondo Mayit hanya bergeser mundur
ke belakang. Kedua telapak tangannya menepis tendangan itu. Di luar dugaan, tubuhnya yang lentur
mendadak berguling berjumpalitan di tanah. Kama Lodra melesat menyusul Ki Rondo Mayit dengan berjumpalitan di udara. Dalam keadaan seperti itu kedua lengan Kama Lodra beruntun
menghantam. Ki Rondo
Mayit yang masih bergulingan di tanah sama sekali tidak dapat disentuh. Malah
ketika ia membalas dengan
tendangan yang mengarah ke atas. Tiba-tiba saja Kama Lodra memekik hebat...! "Deeeer!"
Tendangan itu mengena telak di dada. Tubuh
Kama Lodra langsung berdegum di tanah. Bagai air
mancur, darah menyembur dari mulutnya. Belum
sempat ia bangun, Ki Rondo Mayit datang melompat
dan tahu-tahu saja jotosannya menghantam tenggorokannya. Kama Lodra mengejang hebat. Tubuhnya
menggelepar-gelepar. Saat itu Raden Mas Kinanjar
Swantaka melesat melancarkan serangan. Suara teriakan itu dapat di dengar. Maka dengan cepat Ki Rondo
Mayit mencengkeram tubuh Kama Lodra dan melemparkan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang
mulai mendekat. Langkah lelaki muda itu terhalang.
Saat tubuh mereka saling tabrak, Ki Rondo Mayit melancarkan tendangannya ke arah mereka. "Deeeer!"
Tendangan itu menghantam punggung Kama
Lodra. Dengan demikian ambruklah tubuh Kama Lodra bersama tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Ki Rondo Mayit makin garang menyerang. Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat bergeser dari tindihan tubuh Kama Lodra. Sambil mundur sempoyongan,
lelaki muda itu menghindari hantaman Ki Rondo
Mayit. Sudah tentu Raden Mas Kinanjar Swantaka kewalahan. Melihat itu Kama Lodra cepat bangkit menerjang, meskipun tubuhnya telah terluka parah ia masih mampu mengalihkan seranganserangan Ki Rondo
Mayit. Tapi tindakannya itu hanya berlanjut sebentar, karena dengan telengas Ki
Rondo Mayit menghantam
kepala itu hancur berderak, kemudian menyusul dengan berdegumnya tubuh telanjang dada ke tanah dengan nyawa melayang.
* * * 15 Raden Mas Kinanjar Swantaka menoleh ketika
mendengar suara rintihan Dewi Rakuntili. Dan ia melihat gadis itu mulai bangkit berdiri. Sesaat kemudian ia berpaling lagi ke arah
Ki Rondo Mayit yang tertawa menyeringai. Rambut putih kusutnya bergerak kaku
tertiup angin. Mulutnya yang tanpa gigipun menganga
menyeramkan. Langkahnya kian dekat bergeser.
Dewi Rakuntili melangkah berjalan ke hadapan
Raden Mas Kinanjar Swantaka Wajahnya tetap menatap Ki Rondo Mayit penuh amarah. Ki Rondo Mayit terus menyeringai bagai melihat mangsa yang siap di
mangsa. Ketika Ki Rondo Mayit bergerak maju, Raden
Mas Kinanjar Swantaka yang berada di belakang Dewi
Rakuntili langsung menarik lengan gadis itu. Kemudian kakinya maju ke depan menendang....."Des!" Tepat mengenai perut. Saat itu
pun Dewi Rakuntili tidak tinggal diam. Meski pun berada dalam pelukan Raden
Mas Kinanjar Swantaka, sempat pula melancarkan
tendangan... "Deer!" Ki Rondo Mayit makin terdorong mundur. Namun setelah ia
merentangkan kedua tangannya lalu berputar di atas rasa sakit itu seperti
hilang. Ki Rondo Mayit makin maju menunjukkan wajah
yang garang. Tapi baru saja ia melangkah ke depan,
pendengarannya yang tajam mendengar sesuatu. Ia
cepat menoleh memandang jauh. Dilihatnya belasan
kuda berlari kencang. Terdengar pula gletar-gletar
cambuk dan helaan-helaan para penunggang kuda itu.
Ki Rondo Mayit mempertajam penglihatannya.
Belasan kuda itu berhenti, tapi dua ekor kuda di antaranya bergerak maju terus.
Gletar cambuk makin keras. Ki Rondo Mayit dapat melihat dengan jelas. Tiaptiap kuda ditunggangi oleh dua orang. Salah satu kuda itu ditunggangi oleh dua
wanita kembar memainkan
cambuk-cambuknya. Dan satu lagi, dua orang laki-laki yang ditemuinya di kuil.
Laki-laki berambut putih kusut itu tidak perduli melihat kedatangan mereka. Ia
kembali menghadapi Raden Mas Kinanjar Swantaka
dan Dewi Rakuntili. Langkahnya yang secepat kilat
berbareng dengan hantaman-hantaman yang keras
mendera, Raden Mas Kinanjar Swantaka cepat menangkis. Tapi Dewi Rakuntili tidak sempat lagi mengelak. Lengan kiri Ki Rondo
Mayit cepat berkelebat
menghantam dadanya. Sebelum hantaman kedua menyambar lagi, Raden Mas Kinanjar Swantaka menghalangi dengan tubuhnya. Dengan telak punggungnya
menerima hantaman itu. Keduanya jatuh bergulingan
di tanah berpasir. Ki Rondo Mayit masih mengejar dan siap melancarkan hantamanhantaman. Raden Mas Kinanjar Swantaka maupun Dewi
Rakuntili diam terlentang menatap Ki Rondo Mayit datang dengan lengan siap menghantam. Tiba-tiba saja
terdengar gletar cambuk. Dan mendadak saja lengannya yang siap menghantam itu tertahan oleh lilitan
cambuk. Pendekar Kembar Cambuk Seriti sudah berada di situ. Dengan garam pula Ki Rondo Mayit menarik lengannya. Tanpa diduga
pula, Seriti Kuni yang melancarkan cambuknya tertarik sampai jatuh terguling.
Seriti Wuni yang duduk di belakangnya tidak sempat
menahan, karena lengan itu menarik dengan disertai
tenaga luar biasa. Saat itu pula Wintara dan Umbara
Komang turun dari kudanya langsung meluruk berlarian ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka.
Tapi sebelum mereka mendekati, sebuah tendangan memutar Ki Rondo Mayit menyambut. Cepat
keduanya menarik mundur. Seriti Wuni dan Seriti Kuni berdatangan melancarkan cambuk-cambuknya. Sebentar saja tubuh Ki Rondo Mayit telah terbelit oleh kedua cambuk itu. Namun
laki-laki berambut putih
kusut itu tetap tak menghiraukan lilitan cambuk. Tubuhnya masih saja maju menerjang Wintara dan Umbara Komang. "Siluman kusut! Aku pikir kau telah mampus
jadi kerak pasir!" gerutu Umbara Komang. Tubuhnya melesat ke atas sambil
menghantam. Ki Rondo Mayit
menyambut dengan kedua lengannya. Hantaman itu
beradu. Sekalipun tubuhnya terbelit dua utas cambuk, Ki Rondo Mayit masih bisa
melancarkan tendangannya
ke atas. Maka Umbara Komang yang masih berada di
udara memekik sambil memegangi dadanya yang terasa remuk! "Cecurut sableng! Kau boleh mampus lebih dulu!" Ketika Umbara Komang jatuh ke tanah, Ki Rondo Mayit langsung menginjak
dadanya. Umbara Komang
kelojotan. lalu Ki Rondo Mayit menghentakkan kedua
tangannya menarik kedua cambuk yang melilit di tubuhnya. Maka dua wanita kembali itu tertarik ke atas dan mereka tidak dapat
menghindari, kepala mereka
saling bentur. Seriti Kuni maupun Seriti Wuni jatuh
bergulingan sambil memegangi kepala masing-masing.
Wintara cepat menarik tubuh Umbara Komang yang
masih terlentang menahan sakit. Dan berusaha menangkis serangan-serangan Ki Rondo Mayit yang diarahkan pada Umbara Komang.
Serangan Ki Rondo Mayit kini beralih pada Wintara. Laki-laki setengah tua itu memiliki ilmu dan daya tahan tubuh yang sangat
kuat. Maka sebelum Ki Rondo Mayit melancarkan serangannya, Wintara lebih dulu menyambut dengan sodokan lengannya dengan tubuhnya merunduk ke tanah. Jotosan yang mengarah
tepat ke ulu hati itu membuat Ki Rondo Mayit tersentak kaget. Dan tiba-tiba saja kaki Wintara naik ke atas
menghantam muka. Kontan Ki Rondo Mayit ambruk
celentang. Saat itu pun Wintara berjingkat bangun.
Umbara Komang masih terbaring lemas. Dua pendekar
Kembar Cambuk Seriti berusaha bangun meski dengan
kepala pusing. Mendapat tendangan yang menghantam keras
di bagian muka, Ki Rondo Mayit merasakan pandangannya berputar. Ia melihat sosok Wintara berdiri berderet lebih dari satu.
Keadaan seperti itu ia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mendadak saja tubuh Wintara maju menerjang melancarkan hantaman yang beruntun. Beberapa hantaman Wintara bersarang telak.
Tapi saat Ki Rondo Mayit memutar lengannya ke depan, Wintara gelagapan menyambutnya. Ki Rondo
Mayit sengaja melancarkan serangan membabi buta.
Namun begitu salah satu hantamannya berhasil menjatuhkan Wintara. Anak muda itu sendiri merasakan
kerasnya hantaman itu.
Pandangan Ki Rondo Mayit masih membayang.
Ia sempat menoleh ke samping melihat dua wajah
kembar datang menyerang. Sosok-sosok itu begitu banyak berdatangan. Sukar sekali bagi Ki Rondo Mayit
untuk menentukan yang asli. Maka sebelum wanita
kembar itu mendekat, Ki Rondo Mayit mengerahkan
seluruh tenaganya menghantami setiap bayangan yang
ada dalam pandangan matanya. Sudah tentu dua pendekar kembar sukar mengatasi hantaman-hantaman
yang datang bertubi-tubi. Keduanya bergulingan sambil menyemburkan darah. Mereka ambruk seperti tidak
dapat bangkit lagi.
Wintara melompat cepat menangkis hantaman
Ki Rondo Mayit yang nyaris mengenai kedua wanita
kembar yang berusaha bangkit berdiri. Melihat adanya seseorang yang menghalangi
niatnya, Ki Rondo Mayit
segera membalikkan hantamannya terhadap orang itu.
Wintara gelagapan dan tidak sempat menghindari han

Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

taman yang melanda di dadanya. Pada saat yang sama
pun ketika Wintara mencelat, ia sempat melancarkan
tendangannya. Dan tendangan itu menghantam keras
Ki Rondo Mayit sampai jatuh terduduk.
Wintara yang jatuh terlentang cepat bangun
bersila. Kedua telapak tangannya nampak menyatu di
depan dada. Lalu dalam posisi seperti itu tubuh Winta-ra melesat maju menerjang.
Kedua kakinya yang bersila tidak menyentuh tanah. Ki Rondo Mayit masih terduduk menghimpun tenaga dalamnya. Dan tahu-tahu
saja Wintara sudah berada di depannya mendorong
kedua telapak tangannya..... "Dueeeeer!"
Ki Rondo Mayit terpekik dengan tubuh yang
terlempar ke belakang. Wintara masih mendorong terus dengan telapak tangannya. Sampai keduanya
nampak terpaku diam duduk saling berhadapan.
Raden Mas Kinanjar Swantaka menatap tajam
sambil memeluk tubuh Dewi Rakuntili. Umbara Komang bangkit menyeringai menahan sakit. Begitu juga
Pendekar Kembar Cambuk Seriti yang menatap nanar.
Mereka semua membelalakkan mata ketika melihat sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri terhuyung. Wintara
duduk bersila menunduk. Tiba-tiba saja sosok Ki Rondo Mayit yang berdiri di hadapan Wintara menyemburkan darah. Lalu dengan lunglai tubuh renta itu ambruk untuk selama-lamanya. Wintara tetap duduk bersila. Melihat itu Pendekar Kembar Cambuk Seriti
berlari ke arahnya. Sebelum mereka mendekat, Wintara sudah bangkit terlebih dahulu. Keringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Rupanya ketika tadi
Wintara melancarkan kedua telapak tangannya, ia
mengerahkan semua tenaga inti secara menyeluruh.
Dengan cara itu ia sengaja mengadu nyawa dengan Ki
Rondo Mayit. "Apakah kau terluka?" Seriti Wuni khawatir.
Wintara tersenyum menggeleng.
"Ah, syukurlah! Aku melihat benturan tenaga
dalam tadi begitu dahsyat. Semula aku begitu takut
akan celaka." Seriti Kuni mendekati.
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sekujur tubuhku terasa ngilu." jawab Wintara. Lalu ketiganya menatap Raden Mas Kinanjar
Swantaka memapah tubuh Dewi Rakuntili melangkah mendekati mereka.
Langkah-langkah Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri nampak limbung.
Dewi Rakuntili membuka matanya perlahan, ia
merasa tubuhnya melayang dalam papahan seseorang.
Dan saat kedua matanya membuka lebar, ia melihat
jelas seseorang itu tidak lain Raden Mas Kinanjar
Swantaka. "Ayahmu tewas, Dewi.... Kami tidak bisa menyelamatkannya." kata Raden Mas Kinanjar Swantaka pelan. "Tapi musuhnya itu
telah tewas pula." bisik lelaki itu lagi. Dewi Rakuntili mengawasi sekitar
permukaan hamparan pasir. Sosok Ki Rondo Mayit terkapar
kaku tanpa nyawa masih mengeluarkan darah dari
mulutnya. "Kau pun akan membunuhku, bukan.... Bunuh
saja sekarang...." kata Dewi Rakuntili.
"Kami akan membawa dirimu ke Rogojembangan." "Aku memang bersalah. Dan pantas menerima hukuman apa saja.... Sekalipun
hukuman mati yang
kuterima." Kedua lengan Dewi Rakuntili melingkar erat di leher Raden Mas
Kinanjar Swantaka. Keduanya saling pandang.
"Sebelum aku menerima hukuman mati, aku
minta makamkan ayahku sebagaimana layaknya....
Hanya itu, Raden.... Aku harap kau mau memenuhi
permintaanku."
"Ayahmu memang akan kami kuburkan secara
baik-baik.... Dan lagi di Rogojembangan, kau tidak
akan dihukum. Apalagi sampai dihukum mati...."
"Lalu...?" Dewi Rakuntili heran.
"Kau akan kujadikan selir ku!"
"Hah..."!"
Wintara maupun Pendekar Kembar Cambuk
Seriti tertawa malu mendengar ucapan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka bertiga serempak tertunduk.
Tapi tiba-tiba saja ia tersentak kaget. Begitu juga dengan Raden Mas Kinanjar
Swantaka.... "Ha ha ha ha.... Siluman rambut kusut telah
mampus! Siluman penghuni kuil juga telah modar...!
Sekarang aku bebas...! Bebas...! Hua ha ha ha ha ha....
Aku mau pergi ke mana aku suka! Dan...." Umbara Komang berhenti berteriak. Sorot
matanya memandang
tajam ke arah orang-orang yang berdiri di situ. Wintara hanya tersenyum saja....
"Aku tidak mau lagi mengikuti kalian!" kata Umbara Komang lagi. Lalu dengan
sombong Umbara Komang melompat ke atas kuda.
"Aku tidak mau lagi menempuh bahaya.... Repot kalau sampai berurusan dengan siluman-siluman
lagi...." Setelah berkata begitu Umbara Komang memacu kudanya.
Sementara itu belasan orang yang menunggangi
kuda berdatangan menuju tempat itu. Beberapa orang
turun dari kudanya menyerahkan pundi-pundi air kepada Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dewi Rakuntili
meraih pundi air itu dan langsung menenggaknya.
Kemudian sisa air minum di siramkan ke wajah Raden
Mas Kinanjar Swantaka. Maka berderailah tawa mereka..... TAMAT E-Book by Abu Keisel Keturunan Pendekar 2 Telapak Emas Beracun Jan Jin Que Yu Karya Gu Long Pendekar Super Sakti 14

Cari Blog Ini