Ceritasilat Novel Online

Cumbuan Menjelang Ajal 2

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal Bagian 2


"Dewi siapa"! Katakan yang jelas!" bentak Biang Tawa.
"Ssakit, sakit... haaah, hahh, hahh, haah... sakit...!" sambil ia memegangi
perutnya. "Tolong, ooh, tolong... huaah, haha, haha, haha, haha!"
"Diaaammm...!" Biang Tawa jengkel sendiri. Raka mengulum senyum geli melihat
Biang Tawa jengkel
sendiri ditertawakan korban jurus 'Monyet Gembira'nya. Tiba-tiba sekeping logam putih mengkilat melesat
ke arah Batara Jabrik.
Ziing...! Jeeb...!
"Haahh..., haaa, haaakh...!"
Batara Jabrik langsung diam dengan mulut ternganga. Matanya mendelik tak berkedip. Lehernya terkena senjata rahasia dari logam tipis mengkilat berbentuk segi tiga sama sisi. Dilihat dari darah yang keluar berwarna merah
kehitaman, Raka Pura segera yakin bahwa senjata rahasia itu beracun tinggi.
Pendekar Kembar sulung dan Biang Tawa yang
terperangah melihat keadaan Batara Jabrik segera
ambil tindakan.
"Paman, kejar orang di balik rimbunan pohon
bambu itu! Dia ada di sana!"
Raka Pura keluarkan perintah sambil dirinya
bergegas hampiri Batara Jabrik. Nyawa orang itu harus segera diselamatkan, karena dialah pemegang
kunci tentang seseorang yang memerintahkan membunuh Raka. Rasa penasaran Pendekar Kembar sulung membuat ia merasa harus berhasil selamatkan
nyawa Batara Jabrik. Sementara itu, Biang Tawa segera melesat ke arah kerimbunan pohon bambu yang berada agak jauh dari sebelah kanannya. Sebab senjata
rahasia itu datangnya dari arah kerimbunan pohon
bambu itu. Senjata rahasia berbentuk segi tiga yang setiap
sisinya sepanjang satu kelingking.
Cuuur...! Darah mancur dari leher Batara Jabrik berwarna
merah kehitaman. Raka Pura segera meletakkan telapak tangannya di dada Batara Jabrik. Telapak tangan
itu harus menyentuh kulit tubuh korban dan tidak boleh terhalang selembar benang pun.
Tak berapa lama telapak tangan itu memancarkan cahaya ungu bening. Cahaya itu meresap ke dalam tubuh Batara Jabrik, sehingga tubuh tersebut pun menyala ungu bening. Jurus
pengobatan 'Sambung
Nyawa' juga dimiliki oleh Raka Pura, si Pendekar Kembar sulung. Jurus itulah
yang akhirnya selamatkan
nyawa Batara Jabrik dari keganasan racun pada senjata rahasia berbentuk segi tiga itu. Sekaligus melepaskan totokan dari jurus 'Monyet Gembira'-nya Biang Tawa. Dengan demikian,
Batara Jabrik tidak tertawa
lagi dan lehernya tetap utuh tanpa luka sedikit pun.
Tetapi sebelum keadaan Batara Jabrik sembuh,
tiba-tiba Raka Pura dikejutkan oleh kemunculan seraut wajah yang melompat dan langsung memeluknya
dari samping. "Sokaaa...!"
Brrus,..! Cup, cup, cup...!
Raka Pura kebingungan dan nyaris pingsan karena dicium oleh seorang gadis secara bertubi-tubi. Ciuman itu bagaikan membabi
buta dan merupakan ungkapan suatu kerinduan yang tak tertahankan.
"Bbab... buub... bbeeb... aabb... buub...."
"Aku rindu padamu, Soka! Aku rindu sekali padamu! Huumm, aaah...!"
Gadis cantik itu mengakhiri ciumannya setelah
ciuman panjang yang terakhir membuat pipi Raka Pura menjadi merah, di Samping itu wajah Raka pun
memang sudah menjadi merah akibat gelagapan mendapat ciuman bertubi-tubi.
Gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan warna
biru dengan penutup dada dan lain penutup pinggulnya berwarna merah. Ia mempunyai rambut panjang
yang diikat ke belakang seperti ekor kuda. Kulitnya
kuning langsat, hidungnya bangir, matanya setengah
jalang, montok dan sekal.
Begitu Raka mengenali gadis yang menciuminya,
ia segera mendorong tubuh gadis itu sambil menggeram penuh kemarahan.
"Dewi Binal! Hahh...!"
Si gadis didorong hingga terpelanting nyaris jatuh. Raka Pura segera mundur jauhi gadis itu dengan
wajah masih merah, antara malu dan berang. Jika tak
ingat Dewi Binal adalah sahabat baiknya, cucu dari
Tabib Kubur yang tinggal di Bukit Camping, gadis itu pasti sudah ditampar Raka
beberapa kali. "Soka, mengapa sikapmu sekasar itu padaku"!"
ujar Dewi Binal dengan wajah penuh kecewa.
"Aku bukan Soka, Dewi! Aku kakaknya!"
"Bohong kau pasti..."
"Lihat letak pedangku!" sentak Raka dengan jengkel walau akhirnya ia memaklumi
kekeliruan itu.
"Pedangku ada di kiri sedangkan Soka menyelipkan pedang selalu di kanan, karena
ia kidal!"
"Ooh..."!" Dewi Binal terperanjat kaget dan mem-benarkan kata-kata pemuda itu.
la segera yakin bahwa pemuda itu adalah Raka Pura, karena letak pedangnya
ada di pinggang kiri.
Kontan saja gadis itu buang muka dan menahan
rasa malu. Seakan ia tak berani memandang Raka lagi.
Wajah si gadis pun menjadi merah akibat menahan
malu. Jantungnya bergemuruh cepat, lidahnya menjadi kelu. "Aduh, mati aku kalau begini! liih... malunya bukan main! Lebih baik aku
terlempar kotoran kerbau
daripada mengalami hal yang seperti ini. Ternyata dia adalah kakaknya, bukan
adiknya!" keluh hati Dewi Binal.
Tetapi pada saat itu Raka Pura mempunyai ungkapan batin yang berbeda. Hatinya tidak bicara tentang kesalahpahaman itu, melainkan bicara tentang
kecurigaannya. "Batara Jabrik mengatakan, ia disuruh seseorang yang bernama Dewi untuk
membunuhku! Apakah De-wi Binal yang dimaksud" Mengapa sebelum Batara Jabrik sebutkan nama lengkap orang tersebut, tiba-tiba seseorang telah melemparnya
dengan senjata rahasia
beracun gas itu" Jelas orang tersebut tak inginkan Batara Jabrik menyebutkan
nama yang menjadi rahasia
tak boleh terbongkar. Benarkah Dewi Binal ini si pemilik senjata rahasia segi
tiga itu?"
Kecurigaan Raka Pura semakin mendebarkan hati sendiri setelah ia menyadari, bahwa Dewi Binal
muncul setelah Batara Jabrik terkena senjata rahasia beracun ganas itu. Mungkin
Saja Dewi Binal menduga
Batara Jabrik sudah tewas oleh racun senjata rahasianya, sehingga ia tak khawatir akan terbongkar rahasianya dan untuk itu ia berani menampakkan diri di
depan Raka Pura"
"Tapi jika benar dia orangnya, lalu apa alasannya sehingga ia mengupah seseorang
untuk membunuhku" Aku merasa tak punya dosa dan kesalahan apa
pun kepadanya"!" ujar hati Pendekar Kembar sulung yang masih diam mematung
pandangi Dewi Binal.
Sang gadis tetap memunggungi Raka dan berniat tak
ingin berpaling sebelum dipanggil. la sedang sibuk menahan rasa malu yang tidak
tertolong lagi itu.
Biang Tawa pun akhirnya muncul dengan wajah
murung. la tidak berhasil mencari si pelempar senjata rahasia itu. Kegagalan
Biang Tawa menemukan si pelempar senjata rahasia membuat Raka Pura semakin
curiga lagi kepada Dewi Binal.
"Tentu saja Paman Biang Tawa tak berhasil temukan orang tersebut, karena orang itu sudah ada di
sini bersamaku. Itu jika benar gadis inilah pelakunya.
Tapi jika bukan dia, lalu siapa"!" ujar hati si Pendekar Kembar sulung.
* * * 5 DEWI BINAL tak sadar sedang diuji oleh Raka
Pura setelah Raka membisikkan kecurigaannya kepada
Biang Tawa. Pemuda tampan berbaju tanpa lengan
hingga kelihatan ototnya yang kekar itu mengajukan
tanya kepada Dewi Binal pada saat Batara Jabrik belum siuman. "Kau kenal dengan lelaki itu, Dewi!"
"Ooh..."!" Dewi Binal terkesip saat pandangi Batara Jabrik. Sejak tadi ia tak
begitu hiraukan kebera-daan lelaki berambut tegak itu, karena sibuk menyembunyikan rasa malunya. Kini ia baru sadar bahwa di
situ ada Batara Jabrik yang belum siuman.
"Ya, aku kenal dia. Dia Batara Jabrik dari Kedai Iblis. Ada urusan dengan
kalian"!" ujar Dewi Binal dengan polosnya.
Raka Pura dan Biang Tawa saling pandang sebentar, kemudian Biang Tawa yang jelaskan perkara
sebenarnya. "Dia diupah seseorang untuk membunuh Raka
Pura. Ketika kami desak, ia menyebutkan nama Dewi
sebagai orang yang menyuruhnya. Tapi sebelum ia sebutkan nama lengkap orang itu, ia sudah diserang oleh seseorang dengan senjata
rahasia. Agaknya orang itu
tak ingin Batara Jabrik sebutkan nama si penyuruhnya." "Nama depan orang itu adalah Dewi... entah Dewi siapa," ujar Raka Pura bernada
curiga. Nada bicara dan pandangan mata dingin itu membuat Dewi Binal
menjadi tersinggung.
"Kau pikir akulah orang yang menyerangnya"!"
"Aku tidak berkata begitu," ujar Raka dengan tenang. Namun Biang Tawa segera
menimpali. "Pelempar senjata rahasia itu tak kutemukan.
Tapi tahu-tahu kau muncul di sini, Dewi Binal."
"Apakah itu berarti aku yang melemparkan senjata rahasia tersebut"!" suara Dewi Binal mulai mening-gi.
Raka Pura segera mengambil senjata rahasia
berbentuk segi tiga yang tadi dilemparkan di rerumputan. Senjata itu ditunjukkan
kepada Dewi Binal. Gadis itu memeriksanya sebentar, kemudian berkata dengan
wajah cemberut.
"Aku tak punya senjata rahasia! Ini bukan senja-taku!"
Raka Pura dan Biang Tawa saling tatap kembali
Dewi Binal buang muka.
"Terlalu hina kalian menuduhku begitu."
"Kami tidak menuduh mu," sahut Raka Pura.
"Tapi dari sorot matamu ku tahu kau mencurigaiku!" "Aku hanya menanyakan barangkali kau kenal
dengan orang ini."
"Memang aku kenal. Dan aku juga tahu siapa
pemilik senjata rahasia seperti itu!"
"Siapa pemiliknya!" sergah Biang Tawa.
Dewi Binal berpaling memandang Raka dan Biang Tawa bergantian. Sebelum ia menjawab pertanyaan itu, Batara Jabrik mulai siuman dan ia segera bangkit berdiri tanpa
kelesuan sedikit pun. Badannya terasa segar dan sepertinya tak pernah menderita
luka berbahaya apa pun.
Batara Jabrik segera menegur Dewi Binal, "Oh,
kau juga ada di sini, Dewi Binal" "
"Ya. Aku sahabat mereka!" jawab Dewi Binal.
"Kau harus berhadapan denganku jika ingin membunuh Raka Pura ini!"
Batara Jabrik berkerut dahi, pandangi Raka Pura
dengan air muka menampakkan keheranannya. Ia bicara lirih seperti orang menggumam.
"Raka Pura..."!"
Pendekar Kembar sulung dan Biang Tawa saling
tatap kembali. Dewi Binal maju lebih dekat lagi dengan wajah garangnya.
"Siapa yang menyuruhmu membunuh Raka Pura"!"
"Raka Pura..."!" ucap Batara Jabrik lagi dengan keheranan semakin bertambah.
"Ak... aku disuruh membunuh seorang pemuda tampan yang bernama
Wisnu Galang, bukan Raka Pura!"
Kini mereka bertiga saling pandang sesaat dengan bingung. Batara Jabrik sendiri tampak kebingungan dan segera ajukan tanya kepada Dewi Binal sambil menuding Raka.
"Bukankah dia yang bernama Wisnu Galang"!"
"Manusia bodoh! Otak kodok!" geram Dewi Binal.
"Dia bernama Raka Pura, bukan Wisnu Galang!"
Setelah diam beberapa saat, Batara Jabrik berkata, "Dewi Ambari menyuruhku membunuh seorang
pemuda tampan, gagah, tinggi, badannya kekar, rambutnya panjang dan namanya Wisnu Galang. Maka ketika kulihat seorang pemuda bertubuh tinggi, gagah,
kekar, berambut panjang dan berwajah tampan, aku
yakin dia adalah Wisnu Galang, muridnya Hantu Muka
Tembok. Aku tak mau membuang-buang waktu, maka
kuserang dia dengan pisau terbang ku!"
Biang Tawa tarik napas, lalu hembuskan panjang-panjang sambil geleng-geleng kepala. Raka Pura sendiri hanya sunggingkan
senyum tipis seraya berkata dengan tenang dan kalem.
"Aku memang bernama Raka Pura. Tapi aku kenal dengan Wisnu Galang. Apakah orang yang menyuruhmu tidak sebutkan ciri-ciri pakaian Wisnu Galang"!"
"Memang ada beberapa ciri yang disebutkan,
termasuk pedang dan pakaiannya, tapi aku lupa. Karena aku sedang diburu oleh Congor Setan!"
"Maksudmu, Congor Setan yang menjadi orang
kepercayaan Pangeran Laknat itu"!" tanya Biang Tawa.
"Benar! Aku punya persoalan sendiri dengan
Congor Setan! Kedua adiknya kubunuh, dan ia ingin
balas dendam padaku., Aku merasa kalah ilmu dengan
Congor Setan, Jadi aku selalu kucing-kucingan dengannya?" "Lalu senjata rahasia yang tadi menancap di le-hermu ini milik siapa"!" tanya
Raka sambil menunjukkan segi tiga beracun yang masih ada di tangannya
itu."

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewi Binal menyahut lebih dulu untuk membuktikan bahwa ia memang mengetahui pemilik senjata
rahasia tersebut.
"Itu senjata rahasianya para pengikut Pangeran Laknat!"
"Benar!" timpal Batara Jabrik. "Semua orang Tebing Bencana mempunyai senjata
rahasia beracun ganas itu. Dan... aku yakin itu milik si Congor Setan
yang sejak kemarin mengejarku,"
"Hmmm...." Raka Pura manggut-manggut, Batara Jabrik sempat heran saat menyadari
ucapan Raka ta-di.
"Benarkah senjata itu tadi menancap di leherku?"
Biang Tawa menjelaskan seluruh persoalannya
dari totokan anehnya yang mengenai Batara Jabrik
sampai pada senjata rahasia yang kenai leher lelaki
itu. "Saat kau ingin sebutkan nama lengkap orang
yang mengupah mu untuk membunuh Wisnu Galang,
tiba-tiba kau diserang oleh seseorang dengan senjata itu. Aku mengejar
penyerangnya, karena kupikir orang itu bermaksud menutup mulutmu agar tak
sebutkan siapa nama orang yang mengupah mu. Tapi aku tak
berhasil temukan apa-apa di sekitar sini. Jejaknya pun tak ada."
"Tentu saja. Sebab Congor Setan mempunyai jurus 'Sampar Geledek' yang mampu bergerak cepat seperti kilat tanpa tinggalkan bekas," kata Batara Jabrik,
"Dan... kebetulan saja dia menyerangku tepat ketika aku ingin sebutkan nama Dewi
Ambari. Tapi sejujur-nya kukatakan, bahwa Congor Setan tak punya hubungan dengan Dewi Ambari. Bahkan tak saling kenal." Batara Jabrik membeberkan semuanya karena ia
segera sadar bahwa ilmunya masih di bawah pemuda
tampan yang diduga Wisnu Galang itu. Ia juga menyadari bahwa nyawanya telah ditolong oleh pemuda itu.
Jika tidak ada Raka Pura, ia yakin nyawanya saat itu telah melayang menuju
neraka. Diam-diam si rambut
jabrik juga menyimpan kekaguman yang luar biasa
kepada Raka Pura. Sebab menurutnya selama ini tak
pernah ada orang yang mampu hindari racun dalam
senjata rahasia segi tiga itu, tapi ternyata sekarang racun itu bisa ditawarkan oleh ilmu pengobatan Raka
Pura, seperti cerita Biang Tawa tadi.
"Kuakui, biar masih muda ilmunya sungguh menakjubkan. Tak ada salahnya jika aku berguru padanya secara diam-diam. Sebaiknya aku menjadi sahabatnya agar ia mau turunkan ilmu pengobatan yang
mampu kalahkan kekuatan racun segi tiga itu,"' pikir Batara Jabrik saat Raka,
Biang Tawa dan Dewi Binal
bicara pelan bagai memperundingkan sesuatu.
Rupanya mereka membicarakan tentang siapa
Dewi Ambari itu. Tapi dari ketiganya tak ada yang
mengenal nama itu, sehingga Dewi Binal ajukan tanya
dengan sikap ketus kepada Batara Jabrik.
"Siapa yang bernama Dewi Ambari itu?"
"Putri seorang lurah di Desa Kecubung! Dia sakit hati kepada Wisnu Galang,
karena Wisnu Galang meninggalkan cintanya setelah merenggut kesucian gadis itu.
Ia merasa tak akan unggul jika melawan Wisnu
Galang, maka ia mengupah ku untuk membunuh pemuda itu yang menurut kabarnya adalah murid dari
Hantu Muka Tembok!" tutur Batara Jabrik dengan se-jelas-jelasnya.
"Wisnu Galang adalah sahabatku," ujar Raka Pu-ra. "Aku ada di pihaknya. Jika kau
ingin membunuh Wisnu Galang, berarti kau berhadapan denganku juga,
Batara Jabrik!"
Batara Jabrik menghempaskan napas. "Seharusnya kau tidak perlu terlibat dalam urusan pribadi Wis-nu Galang dengan Dewi
Ambari." "Kau pun seharusnya tak perlu terlibat!" balas Raka.
"Aku terlibat karena upah. Menjadi pembunuh
bayaran memang sudah menjadi pekerjaanku!"
"Aku terlibat karena ia sahabatku! Melindungi
seorang sahabat adalah tugasku!"
Batara Jabrik merasa tak akan menang berdebat
dengan pemuda yang memancarkan kecerdasan otaknya dari sorot pandangan matanya itu. Batara Jabrik
akhirnya hanya bisa hembuskan napas lepas-lepas,
seakan ia tak kuasa untuk melanjutkan tugasnya karena terbentur kesaktian Pendekar Kembar sulung itu.
"Sebaiknya...," kata Biang Tawa. Namun kata-kata itu tak dilanjutkan karena
tiba-tiba mereka mendengar suara seseorang berseru di kejauhan. Orang itu sedang
berlari menuju ke arah mereka.
"Dewi Binal...! Dewi...!"
Pandangan mata mereka beralih ke arah pemuda
yang berlari-lari dengan melambaikan tangan itu. Pemuda tersebut berambut pendek
dan mengenakan baju kuning celana merah. Dalam sepintas saja Dewi Binal sudah bisa kenali siapa pemuda tersebut..
"Manggara!.."!" gumam Dewi Binal tak jelas ditu-jukan kepada siapa. Namun Raka
Pura dan Biang Tawa segera tahu juga bahwa anak muda yang berusia
sekitar tujuh belas tahun itu memang Manggara. Pemuda itu adalah murid Tabib Kubur, kakeknya Dewi
Binal. "Siapa yang menyuruhmu keluyuran sampai sejauh ini, Manggara"!" hardik Dewi Binal.
"Guru mengutus ku mencarimu!" jawab Mangga-ra sambil terengah-engah.
"Ada apa sampai kakek mengutus mu mencariku"!" Dewi Binal mulai tegang. Padahal wajah Manggara sudah tegang sejak tadi
dan wajah itu pun tampak
pucat, Bahkan bicaranya pun sedikit gemetar.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan oleh Guru
kepadamu, Dewi Binal! Lekaslah pulang supaya Guru
tak terlalu lama menunggumu!"
"Tapi mengapa wajahmu tegang dan pucat sekali
begitu"!" desak Dewi Binal.
"Manggara tersenyum kikuk. seperti menyembunyikan rasa malu. Sesuatu yang ingin diucapkannya
membuatnya ragu-ragu, dan hal itu membuat hati Dewi Binal serta yang lainnya menjadi penasaran.
"Katakan saja, Manggara... ada apa sebenarnya"
Mengapa wajahmu menjadi pucat begitu?"
"Oh, hmm... tidak ada hubungannya dengan
panggilan Guru kepadamu, Dewi Binal. Hmmm... aku
tadi sempat... sempat mengintip dua orang sedang
ber... bercinta di balik bukit itu!"
"Oooo.... Sial!" gerutu Biang Tawa, Semuanya pun
mengendurkan ketegangannya sambil menahan kedongkolan. "Siapa yang bercinta" Raka Pura"!" Dewi Binal mulai menampakkan kecurigaan
hatinya. Raka melirik
sambil tersenyum geli.
"Bukan. Bukan Raka Pura tapi... Wisnu Galang,"
jawab Manggara.
"Siapa"!' sergah Batara Jabrik mulai bersemangat. "Wisnu Galang, muridnya Hantu Muka Tembok!"
Semangat si rambut lurus itu menjadi kendur ketika ia melirik Raka dan Raka pun sedang meliriknya
dengan sikap ingin menentangnya. Batara Jabrik menjadi gelisah, akhirnya menghembuskan napas lagi.
"Sayang bocah itu sudah siap membela Wisnu
Galang, aku jadi tak enak hati jika tetap menjalankan tugasku membunuh Wisnu
Galang. Sebaiknya kulu-pakan saja tugas itu, Aku lebih tertarik dengan beberapa
jurus si bocah tampan itu, terutama jurus pengo-batannya. Aku harus bersahabat
dengannya!" pikir Batara Jabrik.
"Sudah kuperingatkan berkali-kali agar matamu
jangan nakal dan jalang, tapi masih saja kau suka
mengintip orang begituan!" omel Dewi Binal kepada Manggara.
"Aku tidak sengaja, Dewi Binal! Aku sedang melintasi tempat itu, lalu kudengar suara orang merintih.
Kupikir seorang perempuan sedang kesakitan dan
membutuhkan bantuan. Setelah ku dekati, ternyata
seorang perempuan sedang... sedang begituan bersama
Wisnu Galang. Aku jadi malu sendiri!"
"Tapi kau tidak segera pergi, bukan?" sergah De-wi Binal.
Manggara cengar-cengir, menunduk malu sebentar sambil biarkan Dewi Binal melanjutkan omelannya. Setelah omelan itu berhenti, Manggara segera tegakkan wajah dan
pandangan matanya tertuju pada
Raka Pura. Sepertinya ada sesuatu yang baru diingatnya dan harus dikatakan saat itu pula.
la segera menatap Dewi Binal. "Tapi aku sempat
mendengar percakapan mereka yang... yang barangkali
sangat berguna bagi Raka Pura."
Raka Pura segera menyahut," "Pembicaraan tentang apa"!"
"Hmmm... hmmm...," Manggara sedikit gugup ketika ingin menjawabnya. Raka Pura
mendekat dan memandang lebih tenang lagi supaya kegugupan
Manggara berkurang.
"Katakan, pembicaraan apa yang kau dengar antara Wisnu Galang dengan lawan bercumbunya itu"!"
"Hmmm... perempuan itu seakan selalu mengingatkan Wisnu Galang agar jangan lupa, setelah adegan mesra itu Wisnu harus
berhasil menemukan kedua
Pendekar Kembar dan memancingnya!"
"Memancing bagaimana"!" sergah Dewi Binal mulai cemas.
"Me... mem... memancing agar bisa bertemu dengan perempuan itu. Sebab... sebab perempuan itu ingin membunuh Pendekar Kembar!"
"Hahh..."!" Dewi Binal terperanjat kaget, demikian pula Raka Pura dan Biang
Tawa. Sedangkan si
rambut jabrik hanya memperhatikan Manggara dengan
sikap menyimak baik-baik ucapan anak muda itu.
"Siapa perempuan itu"! Apakah kau tahu namanya"!"
"Aak... aku tak kenal dia. Tapi... tapi aku sempat mendengar Wisnu Galang
memanggil namanya: Dewi
Perang!" "Dewi Perang"!" Biang Tawa bersuara menyentak membuat semua mata memperhatikan
ke arahnya. "Siapa orang yang bernama Dewi Perang itu, Paman?" tanya Raka.
"Dia orangnya Ratu Cumbu Laras," jawab Biang Tawa. "Tapi apakah mungkin dia
masih berani berhadapan denganmu, sementara semua orang tahu bahwa
Ratu Cumbu Laras sendiri tewas di tanganmu dan di
tangan adikku, Soka"!"
"Mungkin dia masih penasaran!" ucap Dewi Binal.
"Hanya orang berotak korengan yang merasa penasaran ingin tumbangkan Pendekar Kembar!" ujar
Biang Tawa semakin membuat hati Batara Jabrik keder. "Keparat betul si Dewi Perang itu! Sebelum dia
mau membunuh Soka, dia harus melangkahi bangkai
ku dulu!" geram Dewi Binal, perempuan itu pun segera menarik tangan Manggara.
"Tunjukkan di mana mereka bercumbu! Akan ku
bantai keduanya jika memang Wisnu Galang bersekutu dengan Dewi Perang!"
"Tidak usah, Dewi! Sebaiknya kita pulang saja.
Guru sangat menanti-nanti kedatanganmu!"
"Persetan! Kuhajar kau kalau tak mau membawaku ke tempat mereka bercumbu!" ancam Dewi Binal dengan berang. Manggara takut,
akhirnya mereka berdua melesat menuju ke arah balik bukit yang tadi ditunjuk Manggara itu.
Biang Tawa berkata kepada Raka, "Jangan biarkan Dewi Binal mengumbar kemarahannya kepada
Dewi Perang. Ilmunya tak sebanding! Dewi Binal akan
hancur di tangan Dewi Perang!"
Raka Pura memandang kepergian Dewi Binal dan
Manggara, akhirnya ia berseru, "Dewi Binal, tung-guuu...!"
Wees...! Raka Pura pergi. Biang Tawa segera menyusul. Batara Jabrik masih diam di tempat, karena
hatinya sedang berkecamuk sendirian.
"Seperti apa kehebatan ilmu lainnya dari Raka
Pura itu" Sebaiknya aku ikut mereka tanpa lakukan
penyerangan terhadap Wisnu Galang. Aku ingin melihat kehebatan jurus-jurusnya Raka Pura! Setahuku,
Dewi Perang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, walau tidak lebih tinggi Ratu Cumbu Laras!"
Blaaass..! Batara Jabrik menyusul mereka. Hati orang berambut keriting duren itu masih berkecamuk juga dalam perjalanannya.
"Aneh. Raka Pura merasa menjadi sahabat Wisnu
Galang. Tapi agaknya Wisnu Galang ingin mengkhianati persahabatan itu. Mungkin ia tergiur oleh kecantikan dan kehangatan Dewi
Perang. Aku pernah bertemu dengan perempuan itu. Memang cantik dan
menggairahkan sekali. Tak heran jika kesetiaan seorang sahabat dapat luntur karena kecantikan dan kemolekan tubuh Dewi Perang!"
Sementara itu, Biang Tawa yang berlari berdampingan dengan Raka Pura segera mendengar pertanyaan pemuda tampan yang tak merasa gugup atau
panik sedikit pun.
"Menurut Paman, apakah Wisnu Galang berpihak
pada Dewi Perang"!"
"Bisa jadi begitu. Sebab bocah itu sepertinya calon buaya darat, tukang
mengobral cinta di sana-sini dan jiwanya lekas rapuh oleh kecantikan ataupun
rayuan seorang perempuan."
"Jika ia sampai berpihak kepada Dewi Perang,
apa yang harus kulakukan, Paman" Sebab, biar bagaimanapun hubungan Hantu Muka Tembok dengan
kita sudah cukup baik!"
"Kurasa kau dan Soka tak perlu menuntut Wisnu
Galang. Katakan Saja kepada Hantu Muka Tembok
tingkah laku muridnya itu. Biar Hantu Muka Tembok
yang menangani muridnya itu!"
Sementara itu, Dewi Binal sudah tak sabar ingin
segera berhadapan dengan Dewi Perang.
* * * 6

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

PADA MULANYA, Wisnu Galang tidak menyangka
akan bertemu dengan perempuan bertubuh sekal dan
montok yang mengenakan gaun tanpa lengan warna
coklat gelap. Agaknya kain gaun itu bercampur seratserat besi yang tak mudah koyak oleh senjata tajam.
Gaun itu mempunyai tali berselempang di punggung. Pundak dan sebagian dadanya tampak putih
mulus. Gaun itu berkerut-kerut di bagian dada tampaknya putih mulus. Gaun itu berkerut-kerut di bagian dada sampai pinggang, membentuk tubuh eloknya yang menggiurkan setiap lelaki. Sampai di bagian
lutut, gaun itu mempunyai empat belahan, sehingga
dapat dipakai untuk bergerak dengan bebas.
Rambut perempuan berhidung mancung itu bergelombang sepanjang bahunya. Bentuk rambutnya
yang meriap itu sangat sesuai dengan bentuk kecantikan wajahnya yang sedikit oval dan mempunyai bibir
agak lebar, tebal, namun sangat indah. Bibir itu membuat seorang lelaki
berhasrat ingin mengecupnya. Perempuan yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun
itu mengenakan sabuk hitam dari logam lentur sejenis besi. la juga mengenakan
alas kaki dari kulit busa setinggi lewat mata kaki. Dua bilah pisau terselip
pada alas kakinya itu, tepat di kedua betisnya.
Wisnu Galang sempat tercengang dan tak, berkedip beberapa saat ketika langkahnya yang menuju Bukit Bolong untuk temui Selir Pamujan itu terhadang
oleh kemunculan perempuan cantik bertubuh tinggi
tegap itu. Ingatan Wisnu Galang segera melayang pada beberapa waktu yang lalu,
ketika ia dan gurunya; Hantu Muka Tembok, melihat pertarungan duel antara Ratu Cumbu Laras dengan Penguasa Ladang Garong.
Saat itu, Wisnu Galang memperhatikan orang yang selalu mendampingi Ratu Cumbu Laras. Orang itu adalah Dewi Perang, yang siap ditugaskan ke mana-mana
untuk menyerang lawan.
Ingatan itu yang membuat Wisnu Galang segera
menyapa dengan nada bergumam, "Dewi Perang..."!"
"Rupanya kau telah mengenalku, Wisnu Galang!"
"Kau pun ternyata telah mengenalku, Dewi Perang" "Karena aku pernah mendengar gurumu memanggilmu dengan nama Wisnu Galang ketika menghindari pemakamannya Ketua Perguruan Tapak Angker." Wisnu Galang segera sunggingkan senyum dan
manggut-manggut. "Ya, ya... aku ingat, kala itu kau hadir mendampingi Ratu Cumbu
Laras! Kau sempat
memperhatikan diriku beberapa saat lamanya."
"Kau pun sempat menatap ku tak berkedip beberapa helaan napas," ujar Dewi Perang. "Tapi agaknya hari ini adalah hari
keberuntungan bagi kita, karena baru sekarang kita bisa saling bertemu dan
bertegur sapa!" "Ya, memang baru sekarang," kata Wisnu Galang dengan kalem, tapi sorot pandangan
matanya tetap nakal. Tertuju ke arah dada montok Dewi Perang yang
tampak sesak di balik gaun coklat gelapnya itu.
"Tapi kalau boleh ku tahu, apa yang membuatmu
menghadang langkahku ini, Dewi Perang"!"
"Aku tidak sengaja menghadang langkahmu. Kebetulan saja aku melewati bukit cadas itu dalam perja-lananku. Kulihat kau
melintasi lembah ini dan ku
sempatkan untuk bertegur sapa padaku, Wisnu Galang!" Perempuan itu bicara dengan tegas. Suaranya
terdengar bening dan agak besar untuk ukuran suara
seorang perempuan. Matanya yang bening dengan tepian mata berwarna hitam dan alis mata yang lebat itu mempunyai pandangan yang
berkesan menggoda. Senyum tipisnya itu bagai memperkuat tatapan mata
yang menggoda, sehingga Wisnu Galang sering menelan ludah sendiri dan menahan debar-debar indah dalam hatinya. "Kalau boleh ku tahu, hendak ke mana kau, Wisnu Galang"!"
"Mencari sebuah pusaka yang dicuri orang; Kipas Kedung Gairah!"
Tampak jelas kedua mata jalang Dewi Perang terkesiap menandakan ia terkejut mendengar jawaban
itu. Untuk sesaat mereka justru beradu pandang. Dewi Perang tak berkedip menatap
Wisnu Galang. Pemuda
yang ditatapnya menjadi salah tingkah.
"Sepertinya ia tertarik padaku," pikir Wisnu Galang. "Kurasa sebentar lagi dia
akan pasrah dalam pelukanku. Hmmm...! Ternyata sulit sekali menghindari godaan
perempuan. Aku sangat bergairah sekali padanya."
Setelah saling bungkam sekitar lima helaan napas, Dewi Perang pun mulai perdengarkan suaranya
yang bernada tegas itu.
"Apakah kipas pusaka itu milikmu atau milik gurumu"!"
"Bukan. Tapi guruku mengutus ku membantu
Selir Pamujan untuk temukan Kipas Kedung Gairah
yang semula adalah milik mendiang gurunya, yaitu
Nyai Demit Selingkuh. Sang Nyai dibunuh oleh seseorang dan kipas pusakanya dicuri. Orang yang berhak
memegang kipas pusaka itu adalah Selir Pamujan, karena Selir Pamujan adalah murid tunggal Nyai Demit
Selingkuh, dan sang Nyai tidak mempunyai keturunan
satu pun."
"Hmmm...," Dewi Perang manggut-manggut.
Suasana hening yang terjadi selama dua helaan
napas itu tiba-tiba dipecahkan oleh munculnya seberkas sinar putih perak yang melesat dari atas perbukitan. Sinar perak itu
berbentuk seperti bola berduri sebesar genggaman bayi. Melayang dengan cepatnya
tanpa ekor menuju ke arah Dewi Perang.
Wuuuttt...! Wisnu Galang melihat gerakan sinar perak begitu
cepat, sehingga ia segera melompat ke samping Sambil lepaskan jurus pukulan
jarak jauh yang bersinar kuning.
Claapp...! "Awaass...!" serunya saat melompat dan melepaskan sinar kuning. Dewi Perang
segera melompat ke
samping sambil memutar tubuh.
Jleeg...! Perempuan itu hinggap di atas sebongkah batu
setinggi satu perut sambil memandang ke arah datangnya sinar perak tadi. Ternyata saat itu sinar perak tersebut segera
bertabrakan dengan sinar kuningnya
Wisnu. Galang. Blaaarrr...! Hancur sudah sinar perak itu, membias menjadi
sekilas cahaya putih terang menyilaukan bersama suara ledakan besar. Sinar putih lebar menyilaukan itu
hanya sekejap. Kemudian padam dengan tinggalkan
kepulan asap putih samar-samar.
Di perbukitan itu tampak seorang perempuan tua
berambut putih dikonde tengah kepala, sisa rambutnya merawis tipis sepanjang pundak. Nenek berjubah
hijau yang semula berada di tempat yang jauh itu, ti-ba-tiba lenyap dan muncul
lagi di dekat Dewi Perang.
Bluub...! Kini Wisnu Galang melihat jelas wajah bermata
cekung dan berkulit keriput itu. Ia memperkirakan si nenek berusia sekitar
delapan puluh tahun. Tubuhnya
yang kurus itu masih bisa berdiri dengan tegak tanpa bungkuk, walaupun sang
nenek memegang tongkat hitam yang ujung atasnya berkepala tengkorak monyet.
Wisnu Galang sempat menyipitkan mata untuk mengenali sang nenek, namun sampai beberapa kejap ia
merasa belum pernah bertemu dengan nenek bermata
cekung itu. Tetapi tokoh tua itu ternyata bukan orang asing
lagi bagi Dewi Perang. Dengan angkuh dan sinis, Dewi Perang menyapa sang nenek
yang menatap dengan
dingin. "Mau apa kau kemari, Nyai Keramat Malam"!"
Wisnu Galang berkata di hatinya, "Ooo... dia yang bernama Nyai Keramat Malam"!
Baru sekarang kulihat
wajah sang tokoh aliran hitam yang pernah diceritakan oleh Guru beberapa waktu
yang lalu. Seingatku dia
penghuni Pulau Sambang yang paling ditakuti masyarakat pulau tersebut!"
Nyai Keramat Malam tak memiliki senyum sedikit
pun. Mata cekungnya sangat menyeramkan dalam
menatap Dewi Perang tanpa kedip.
"Ada kabar yang kuterima dari Sampurgina!"
"O, kau mengenal Sampurgina, sahabatku itu"!"
"Dia adalah mata-mata Pulau Sambang yang ku
tanam di tanah Jawa ini!" ujar Nyai Keramat Malam dengan suara datar berkesan
dingin. "Kabar manis kudengar darinya, bahwa kau telah
berhasil membunuh Demit Selingkuh dan mencuri Kipas Kedung Gairah!"
Dewi Perang hanya sunggingkan senyum sinis,
tapi Wisnu Galang terperanjat kaget hingga matanya
terbelalak dan mulutnya ternganga. Sepasang mata
yang terbelalak itu menatap Dewi Perang bersama hati yang ikut tersentak juga.
"Gila! Apa benar kipas itu ada padanya"! Kalau begitu Dewi Perang adalah musuhku
karena aku harus
merebut kipas itu sesuai perintah guru. Tapi, ooh...
alangkah sayangnya jika aku harus bertarung dengan
perempuan secantik dia. Baru saja kami sama-sama
ingin mengawali pendekatan pribadi, mengapa harus
saling bermusuhan" Oh, sebaiknya aku harus mempertimbangkan langkahku dulu. Lebih baik aku memihaknya secara diam-diam jika Nyai Keramat Malam
membahayakan jiwanya!"
Wisnu Galang mundur menjauh ketika Dewi Perang berkata datar juga, "Keparat si Sampurgina itu!
Akan kubelah raganya setelah pekerjaanku nanti selesai!" "Dewi Perang!" ujar Nyai Keramat Malam. "Serahkan kipas itu padaku sebelum
tongkatku menghancurkan kepalamu!"
"Gertakanmu seperti suara orang sekarat, Nyai!"
Dewi Perang lebarkan senyum berkesan sinis pertanda
ia menyepelekan ancaman Nyai Keramat Malam.
"Urungkan niatmu demi perpanjang umurmu,
Nyai. Pulanglah ke Pulau Sambang dan hiduplah dengan damai di sana!"
"Rupanya kau ingin aku bertindak kasar padamu, Dewi Perang!" geram Nyai Keramat Malam, kemudian tubuhnya melayang secara
tiba-tiba dan tongkatnya dihantamkan ke kepala Dewi Perang.
Weeesss...! Dewi perang menghindar dengan menggeser tubuhnya ke samping, kemudian tangannya menyodok
ke depan dan sodokan itu tepat kenai pinggang Nyai
Keramat Malam. Deess...! Sang Nyai oleng sedikit, namun mampu daratkan
kakinya dengan sigap. Tiba-tiba kaki itu menendang ke samping dengan cepat.
Tendangan nenek tua itu cukup tinggi, membuat wajah Dewi perang nyaris menjadi sasaran empuk.
Beet! Plaakk...!
Tangan Dewi Perang menangkisnya.
Tapi di luar dugaan tongkat berkepala tengkorak
monyet itu menyodok ulu hati Dewi Perang.
Beehk...! "Aahk...!" Dewi Perang tersentak mundur, tubuhnya melayang sejauh empat langkah.
Tapi ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuh, sehingga mampu
berdiri dengan sikap dan sedikit bungkuk. Hanya saja, bekas tempat yang terkena
sodokan tongkat itu mengepulkan asap putih samar-samar. Untung saja Dewi
Perang mengenakan gaun anti senjata tajam, sehingga
sodokan itu tak sampai melukai kulit tubuhnya. Namun rasa mual dan panas pada ulu hatinya membuat
Dewi Perang menjadi geram.
Tangan Dewi Perang berkelebat ke belakang. Rupanya ia mencabut senjata yang terselip di pinggang
belakang. Senjata itu tak lain adalah sebuah kipas
berwarna coklat kemerahan dari serat baja.
Craak...! Kipas itu segera dibentangkan di depan dada Dewi Perang, karena pada saat itu tongkat Nyai Keramat Malam dihantamkan ke arah
kepala. Kipas itu pun segera bergerak naik menangkis hantaman tongkat yang
sudah kepulkan asap tipis itu.
Beet! Duaar...!
Benturan tongkat dengan kipas menimbulkan ledakan tak seberapa keras, namun cukup mengguncangkan tanah di sekitar tempat itu.
Pada saat tongkat tertahan kipas, kaki Dewi Perang berkelebat ke depan dan dagu Nyai Keramat Malam terkena tendangan kaki tersebut.
Plook...! "Uhk...!" sang Nyai terhuyung-huyung ke belakang, tulang dagunya terasa remuk
akibat tendangan
bertenaga dalam. Ia pun semakin tampak murka.
"Kuhabisi riwayat hidupmu sekarang juga, Perempuan busuk!" geram Nyai Keramat Malam sambil memutar-mutar tongkatnya.
Namun pada saat itu Dewi Perang segera berplikplak ke belakang. Tiga gerakan jungkir balik ke belakang membuat jarak mereka
semakin renggang. Nyai
Keramat Malam mengejar dengan satu lompatan.
Tapi tiba-tiba kipas itu disabetkan dari kiri ke
kanan. Wees...! Dan keluarlah sinar merah bagaikan selarik petir
yang menyambar tubuh Nyai Keramat Malam. Cralaapp...! "Hiaaah...!" pekik Nyai Keramat Malam sambil sentakkan tongkatnya ke tanah dan
tubuhnya melayang ke samping, berguling-guling di udara.
Wuk, wuk, wuk...!
Blegaarr...!

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sinai merah itu kenai sebatang pohon. Pohon tersebut langsung meledak dan menjadi serpihan kecil
yang menyebar ke mana-mana. Bahkan akar pohon
pun hancur menjadi serpihan yang bercampur dengan
tanah. "Edan! Dahsyat sekali kipas itu"!" gumam Wisnu Galang terheran-heran dengan mata
lebar dan mulut
melompong. Rupanya kilatan cahaya merah tadi tidak. membuat nyali sang Nyai menjadi ciut. Ia justru mengejar dewi Perang dengan sabetan
tongkatnya beberapa kali.
Setiap sabetan tongkat keluarkan asap putih yang
agaknya mengandung racun jika dihirup orang lain.
Namun kibasan kipas itu membuat asap tersebut
selalu buyar. Sampai akhirnya sentakan kuat dilakukan oleh Dewi Perang. Kipasnya memancarkan cahaya
merah lagi yang sepertinya ingin memotong tubuh Nyai Keramat Malam.
Weess...! Cralaaapp...!
Bleegarr...! "Aaahk...!" Nyai Keramat Malam terpekik, tubuhnya terlempar ke samping cukup
jauh. Kilatan cahaya
merah tadi mengenai tongkatnya saat sang Nyai ingin
menghindari sinar tersebut. Tongkat itu hancur seketi-ka, sementara tubuh sang
Nyai pun mulai kepulkan
asap. Ia jatuh terbanting dan asap yang mengepul bagaikan kian menyembur dari tubuhnya.
Brruuss...! Dewi Perang menghampirinya dengan kipas terkatup. Ia menuding Nyai Keramat Malam dengan kipas
itu. Sang Nyai menyeringai kesakitan. Tubuhnya tampak biru legam bagai habis digencet dengan sebatang
pohon besar. "Nyawamu sudah ada di tanganku, Nyai! Sekarang juga aku bisa mencabut nyawamu dengan mudah!" ujar Dewi Perang.
"Tapi kuberi kesempatan padamu untuk menikmati sisa hidupmu! Pergi dari sini dan jangan sekali-kali mencoba merebut kipas
ini dari tanganku!"
"Baik. Sekarang kau boleh bangga karena dapat
mengungguli ilmu dengan kipas itu! Tapi pada suatu
saat aku akan datang untuk bikin perhitungan denganmu. Kekalahan ku ini akan ku tebus, Dewi Perang!"
"Kau tak akan bisa menebusnya kecuali dengan
nyawamu, Nyai!" ujar Dewi Perang dengan dingin.
Rupanya sang Nyai merasa tak mungkin dapat
unggul melawan Dewi Perang tanpa tongkat dan dalam
keadaan babak belur begitu. Kipas Kedung Gairah tak
bisa dilawan tanpa senjata lebih ampuh lagi. Maka ia berniat untuk mencari
senjata yang lebih dahsyat dari Kipas Kedung Gairah. Jika saat ini ia tetap
melawan Dewi Perang, baginya sama saja menyerahkan nyawa
secara cuma-cuma.
Nyai Keramat Malam pun pergi dalam keadaan
terluka sekujur tubuhnya. Bagaimanapun juga ia masih merasa, beruntung karena hanya tongkatnya yang
tersambar kilatan cahaya merah berbahaya tadi. Seandainya yang tersambar cahaya merah dalam tubuhnya,
maka ia tak akan punya kesempatan mencari peluang
emas untuk membalas kekalahannya.
Wisnu Galang sejak tadi tak sempat berkedip.
Matanya selalu pandangi gerakan-gerakan Dewi Perang
yang lincah dan gesit itu. Ia bukan saja kagum dengan kegesitan dan kelincahan
Dewi Perang, tapi juga terpe-sona oleh pemandangan yang mendebarkan hatinya.
Karena jika Dewi Perang lakukan lompatan, tendangan
atau gerakan lainnya, gaun penutup pahanya menyingkap ke sana-sini. Mata pemuda itu berhasil meneropong di kedalaman gaun, yang ternyata tidak berlapis benang sehelai pun.
Hal itulah yang membuat Wisnu Galang terpaku
di tempatnya dan tak punya gagasan untuk lari mencari Pendekar Kembar atau yang lainnya untuk mengabarkan tentang kipas pusaka di tangan Dewi Perang.
Pemuda yang gairahnya mudah terbakar oleh kemulusan paha itu justru berandai andai dalam khayalannya sambil menikmati tontonan
gratis tanpa pelapis.
Dewi Perang kembali dekati Wisnu Galang yang
berdiri di bawah pohon berdaun rindang berakar seperti sekat-sekat dinding itu. Langkah perempuan tersebut cukup mantap, layak
jika menjadi sang pembantai dalam setiap pertempuran. Dulu ia bersenjata pedang, tapi sejak Kipas Kedung Gairah di tangannya,
pedang itu tak pernah dibawanya lagi. Pedang itu dis-impan di sarangnya yang
baru, yaitu di dalam Gua
Bangsal. Sambil masih menggenggam kipas coklat kemerahan yang terkatup itu, Dewi Perang seakan tak segan-segan lagi mengaku siapa dirinya di depan Wisnu
Galang. "Agaknya kita akan menentukan sikap, siapa
yang mati dalam memperebutkan kipas itu, Wisnu!"
"Hmmm... eehh...," Wisnu Galang cengar-cengir.
"Aku... aku tak tahu kalau Kipas Kedung Gairah ada di tanganmu, Dewi Perang."
"Dan sekarang kau telah mengetahuinya. Laksanakan perintah gurumu untuk merebut kipas ini dari
tanganku!"
Wisnu Galang semakin cengar-cengir dan salah
tingkah. "Harus pakai siasat!" ujarnya dalam hati. Tapi dari mulutnya terlontar
ucapan yang bernada cukup
bersahabat. "Setelah kupikir-pikir, untuk apa aku pertaruhkan nyawa dalam merebut kipas itu" Toh nantinya kipas itu tidak akan menjadi milikku, tapi harus kukembalikan kepada murid Nyai
Demit Selingkuh, si Selir Pamujan. Jadi, kurasa aku tak perlu peduli lagi dengan
kipas di tanganmu itu, Dewi Perang."
"Nyalimu menjadi ciut, Wisnu"!" sambil Dewi Perang kian mendekat, dan Wisnu
Galang masih bersikap santai, berdirinya bersandar pada pohon tersebut di antara dua akar yang
menyerupai dinding penyekat
kamar itu. "Kurasa bukan karena nyali ku mulai ciut, tapi aku merasa membina persahabatan
denganmu lebih penting daripada bertarung nyawa untuk merebut
haknya Selir Pamujan."
"Bukankah kau akan mendapat hadiah dari Selir
Pamujan jika berhasil merebut kipas ini?"
"Hmmm...! Hadiah apa?" Wisnu Galang mencibir meremehkan harapan itu.
"Barangkali kau akan mendapat hadiah sebentuk
kemesraan dari tubuh si Selir Pamujan yang hangat
itu?" "Ah...!" Wisnu Galang berlagak menepiskan tangan sambil tertawa pelan, seakan
tak tertarik dengan bayangan kemolekan tubuh Selir Pamujan.
la menyambung kata, "Aku tak tertarik dengan
kecantikan seperti yang dimiliki Selir Pamujan. Aku justru lebih bergairah
dengan perempuan pemberani dan
berbibir menggairahkan."
Mata perempuan itu memandang tajam namun
penuh ajakan bercumbu. Ia kian mendekat lagi, hingga kini jaraknya hanya satu
langkah dari Wisnu Galang.
"Maksudmu, kau lebih bergairah dengan perempuan sepertiku?"
"Hmmm... hmmm... yah, kalau aku boleh berkata
begitu, memang begitulah maksud hatiku," jawab Wisnu Galang sambil tersenyum
penuh debaran indah dalam hatinya. Ia pun menatap seraut wajah cantik yang menaburkan daya pikat cukup
tinggi itu. Senyum tipis Dewi Perang membuat dadanya bergemuruh bagai menahan
sesuatu yang bergolak sejak tadi.
"Aku juga bergairah padamu," ucap Dewi Perang dengan suara seperti orang
berbisik. Pandangan matanya kian lekat ke wajah Wisnu Galang. Mata itu makin lama semakin sayu. Wisnu Galang bertambah gemetar karena darah kejantanannya mendidih bagai lahar gunung yang ingin meletus.
Wisnu Galang didesak oleh Dewi Perang yang tak
pernah tahu malu untuk urusan bercumbu. Dalam
keadaan kepala rapat dengan batang pohon, akhirnya
Wisnu Galang memejamkan mata ketika wajah Dewi
Perang makin mendekatinya.
Kejap berikutnya Wisnu Galang rasakan sesuatu
yang hangat menempel di bibirnya. Sesuatu yang hangat itu tak lain adalah bibir Dewi Perang yang segera mengecupnya pelan-pelan,
lidahnya dipermainkan di
permukaan bibir Wisnu Galang dengan lembut. Namun
ketika Wisnu Galang membalas kecupan itu, Dewi Perang melumat bibir si pemuda dengan mulai mengganas. Kipas Kedung Gairah diselipkan di pinggang belakang. Tangan Dewi Perang
mulai meremas-remas rambut kepala Wisnu Galang. Bahkan sekarang kecupan
bibirnya merayap ke pipi dan ke leher Wisnu Galang.
Perempuan itu menyerang lebih brutal, ia tak merasa malu, karena memang dia bukan perempuan
baik-baik. Dia perempuan yang mempunyai asmara
liar dan ganas terhadap lawan jenis yang sesuai dengan seleranya. Namun tiba-tiba Dewi Perang hentikan pagutan
bibirnya dan merenggangkan jarak walau masih tetap
merabakan tangannya ke dada Wisnu Galang. Nafasnya terhembus lepas, membuat wajah Wisnu Galang
terasa tersembur dengan kehangatan yang makin
membakar gairahnya.
Mereka tak tahu ada sepasang mata yang kebetulan lewat dan memergoki percumbuan tadi. Sepasang
mata itu menjadi ketagihan dan tak mau pergi. Justru mengambil posisi yang
strategis untuk menikmati pemandangan yang membuat darahnya mengalir dengan
deras. Sepasang mata itu adalah milik seorang pemuda yang bernama Manggara. Ia
mendapat tempat mengintip cukup dekat namun rapi dan aman, sehingga ia
dapat mendengar percakapan kedua insan yang saling
raba tanpa sungkan-sungkan itu.
"Permainan lidahmu sangat mendebarkan, Wisnu
Galang. Aku menyukai lelaki yang pandai memainkan
lidahnya."
"Lidah ku belum bermain," ujar Wisnu Galang dengan nada sombong. "Mungkin kau
akan lebih suka lagi Jika lidah ku telah bermain di... di sekitar paha mu."
"Oh, yaah... aku suka sekali jika kau mau begitu Wisnu. Akan kubalas permainanmu
di tempat yang sama. Akan ku telan habis kau jika kau menyukainya,
Wisnu," sambil tangan Dewi Perang menyusup ke bawah tubuh Wisnu Galang.
"Aku menyukainya, Dewi. Mengapa tidak sekarang saja kau menelannya?"
"Hmmm...," Wisnu Galang tersenyum dengan ta-wa mesum.
"Kau akan ku taburi sejuta kenikmatan jika kau
bersedia membantuku."
"Membantu dalam hal apa?"
"Aku ingin membunuh Pendekar Kembar...."
"Ooh..."!" Wisnu Galang terkejut, tapi buru-buru menutup diri agar tak
mencurigakan. Ia menciumi leher Dewi Perang sambil sesekali memagut kulit leher
itu. Perempuan itu mendesah sambil matanya terbeliak. "Mengapa kau ingin membunuh Pendekar Kembar?" "Aku tahu mereka adalah keturunan dari Panji
Pura alias si Setan Cabul. Seharusnya aku menuntut
balas kepada si Setan Cabul, karena dia telah membuntungi tangan adikku; Cindawarti, hingga sekarang
Cindawarti menjadi cacat seumur hidup. Tapi karena
Setan Cabul telah tewas di tangan bekas ratu ku, maka keturunan Setan Cabul itulah yang harus menerima pembalasanku! Cacat yang diderita adikku harus
ditebus dengan kedua nyawa Pendekar Kembar itu!"
Wisnu Galang seakan tak merasa cemas mendengar ucapan itu. Ia masih tekun merayapkan ciumannya di sekitar leher, pundak, dan akhirnya turun ke dada. Sambil menyapu
lidahnya di sekitar tempat
itu, Wisnu Galang masih sempat perdengarkan suaranya yang mulai bergetar.
"Lalu, bantuan apa yang kau harap dariku, Dewi...?" "Aku sulit menemukan Pendekar Kembar. Aku
ingin berhadapan langsung dengan keduanya. Pernah
kutemukan salah satu dari mereka, tapi aku sengaja
belum ingin melampiaskan dendam ku sebelum keduanya berhadapan denganku. Aaahhh...! Nikmat sekali,
Wisnu. Hmmmmh...!"
Dewi Perang mendesah sebentar karena pagutan
Wisnu Galang mengenai tepat di ujung dadanya yang
telah tersembul keluar dari balik gaun. Sambil mere-sapi kemesraan itu, benak
Dewi Perang masih dibungkus dendam kepada Pendekar Kembar. Saat itu, Wisnu
Galang juga berpendapat dalam hatinya.
"Tak mungkin aku bisa merebut kipas itu sendiri.
Sekalipun berhasil ku serobot, ilmuku kalah tinggi
dengan perempuan ini! Sebaiknya kuberitahukan kepada Pendekar Kembar atau Selir Pamujan, biar mereka yang tangani masalah ini!"
"Oouuh... Wisnu," Dewi Perang mengerang nikmat. Tapi bayangan dendam membuatnya
berkata lagi, "Carilah Pendekar Kembar dan pancinglah mereka agar menemuiku di Bukit Liar yang
ada di sebelah kiri kita itu! Aku akan menunggu mereka di sana dan membunuh
keduanya di sana pula. Sanggupkah kau, Wisnu..." Oouh, nikmat sekali kenakalan tanganmu,
aaahhh...!"
"Akan kulakukan lebih nikmat lagi, Dewi. Akan
ku pancing mereka secepatnya dan... dan...."
"Seluruh tubuhku akan menjadi milikmu jika
kau berhasil memancing kedua anak kembar itu, Wisnu! Kau akan memperoleh surga yang terbentang di
tubuhku ini dan... oouh... lakukan yang lebih dahsyat lagi, sayang...."
Sambil berkata begitu, tangan Dewi Perang menekan pundak Wisnu Galang sampai pemuda itu akhirnya berlutut. Kepala Wisnu Galang ditekan oleh
tangan Dewi Perang agar lebih merapat lagi. Dan perempuan itu pun memekik
panjang bernada erang ka

Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rena lidah Wisnu Galang mengganas nakal di celahcelah kenikmatan.
Saat itulah, Manggara tak tahan dan segera melarikan diri secara diam-diam. Ia berhasil bertemu
dengan Dewi Binal dan memberitahukan hal itu, sehingga Dewi Binal, Raka Pura, Biang Tawa, Batara Jabrik serta Manggara sendiri segera menuju ke tempat
percumbuan nikmat itu.
Tanpa setahu Manggara, ternyata setelah ia pergi,
ada sepasang mata yang datang dan memergoki percintaan di bawah pohon rindang itu. Sepasang mata
tersebut memperhatikan dari balik kerimbunan semak
yang agak jauh, sehingga tak bisa mendengar ucapan
kedua insan yang sedang sating bercumbu memburu
kenikmatan itu, Sepasang mata itu hanya bisa mendengarkan suara pekikan Dewi Perang yang sedang ditikam oleh kehangatan Wisnu Galang.
Sepasang mata itu tak lain adalah milik seorang
gadis berpakaian ungu. Dia adalah Selir Pamujan,
yang sedang sewot kepada Raka Pura dan meninggalkan pemuda itu di tempat Soma Gaok tertidur. Selir
Pamujan terpaku di tempat. Kakinya terasa berat kala ingin meninggalkan
pemandangan itu, karena gairahnya mulai terpancing setelah sesaat mendengarkan
je- ritan dan erangan Dewi Perang yang kini terbaring di rerumputan.
* * * 7 CUKUP LAMA Selir Pamujan menikmati pemandangan yang membakar gairahnya sendiri itu. Sampai
akhirnya pundaknya dipegang oleh tangan hangat
yang sempat mengejutkan dirinya. Untung tak sampai
berteriak, sehingga tak membuat percumbuan itu terganggu. Selir Pamujan segera berpaling memandang si
pemilik tangan yang meremas pundaknya dengan lembut. Ternyata Raka Pura sudah ada di belakangnya sejak tadi. Raka Pura juga mengaku sudah agak lama
menyaksikan percumbuan itu.
Namun karena Selir Pamujan masih kesal dengan
pemuda itu, maka kehadiran pemuda itu tidak dihiraukan. Ia kembali memandang pergumulan itu di bawah pohon yang makin lama tampak semakin ganas
dan liar. Dewi Perang menikmati kejayaan cintanya
dengan memutar balik hingga tubuh Wisnu Galang
berbaring di rerumputan. Saat itu, getaran dalam dada Soka Pura semakin
bergemuruh, gairahnya terasa kian
terbakar dan menuntut. Akhirnya tangan Soka tak bisa diam. Tangan itu mengusap-usap punggung Selir
Pamujan. Usapan itu dirasakan indah sekali, sehingga Selir Pamujan tak
melarangnya. "Siapa perempuan yang menjadi lawan cumbu
Wisnu Galang itu?" tanya Soka dalam berbisik sambil mencium telinga Selir
Pamujan. "Dia bekas orangnya Ratu Cumbu Laras yang
bernama Dewi Perang, alias Cindawuri, kakaknya Cindawarti! Dia memang perempuan yang ganas terhadap
kehangatan seorang lelaki, terutama yang bertubuh
tinggi, tegap, kekar dan tampan... sepertimu juga!"
"Aah... aku lebih tertarik dengan dirimu ketimbang, uuhmmm...!"
Soka Pura tak sempat teruskan ucapannya karena bibirnya tiba-tiba dikecup oleh Selir Pamujan. Bibir itu dilumat, karena si
gadis tak mampu menahan hasratnya ketika Dewi Perang memekik panjang dengan
tubuh mengejang pertanda mencapai puncak keindahannya yang kesekian kalinya.
"Soka...," bisik Selir Pamujan dalam desah. "Jangan di sini! Di sebelah sana
saja, agak jauh dari mereka...." Soka Pura tak keberatan dengan usul tersebut.
Namun ketika mereka bergegas ingin mencari tempat
yang lebih aman dan lebih romantis, tiba-tiba mereka tertarik dengan keributan
di bawah pohon rindang itu.
Rupanya Wisnu Galang yang berlagak kalem itu bikin
ulah sendiri setelah mereka selesaikan percumbuan
indah itu. Wisnu Galang telah kenakan pakaiannya, sementara Dewi Perang mengeringkan peluh yang membanjir
di tubuhnya. Wisnu Galang juga membantu mengeringkan peluh Dewi Perang dengan usapan tangannya
yang masih mendebarkan hati Dewi Perang. Tapi tibatiba Kipas Kedung Gairah yang diselipkan di pinggang belakang perempuan itu
segera disambar oleh Wisnu
Galang dan tanpa banyak bicara lagi segera dibawanya lari.
Wuut, wees...! "Heeii..."!" teriak Dewi Perang dengan sangat terkejut. Teriakan itulah yang
memancing perhatian Soka dan Selir Pamujan.
Wisnu Galang tak pedulikan teriakan itu. Ia tetap
berlari sambil membawa Kipas Kedung Gairah. Dewi
Perang segera bangkit dan berteriak murka.
"Kembalikan kipas itu, Jahanam!!"
Selir Pamujan terbelalak memandangi kipas yang
digenggam Wisnu Galang.
"Itu...! Oh... itu Kipas Kedung Gairah!"
"Hahh..."!" Soka Pura pun terbelalak kaget. Selir Pamujan ingin bergerak
menyongsong Wisnu Galang,
tetapi tiba-tiba Wisnu Galang jatuh tersungkur dan
mulutnya menyemburkan darah. Dewi Perang berhasil
mengejarnya dan segera melesat cepat sehingga tendangan kakinya mendarat telak di punggung Wisnu
Galang. Wess...! Behkk...!
"Aaahk...!"
Brrukk...! Wisnu Galang tersungkur menyedihkan sekali.
Kipas di tangannya terlepas. Tendangan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang merusakkan bagian
dalam tubuh Wisnu Galang. Dewi Perang segera berguling menyambar kipas tersebut.
Wuuut, jlegg...!
Dalam sekejap ia sudah berdiri tegak sambil
menggenggam Kipas Kedung Gairah.
Selir Pamujan naik pitam. "Keparat! Rupanya dialah yang mencuri pusaka guruku!"
"Mungkin dia juga yang namanya disebutkan
Soma Gaok sebelum tertidur!"
"Siapa lagi kalau bukan dia! Biadab betul dia!
Dulu dia memang pernah menjadi murid Nyai Guru,
tapi belum-belum sudah tergiur bujukan Ratu Cumbu
Laras, sehingga ia bergabung dengan ratu sesat itu.
Tapi rupanya ia sudah telanjur mengetahui rahasia kipas tersebut dan rupanya ia
pula sudah lama mengincar kipas itu, sehingga...!"
Selir Pamujan tak teruskan kata karena saat itu
Dewi Perang berseru dengan berang kepada Wisnu Galang yang sedang sekarat.
"Rupanya kau berjiwa pengkhianat, Wisnu! Kau
ingin serahkan kipas ini kepada si Selir Pamujan sesuai perintah gurumu! Tapi sekarang kau harus menanggung akibatnya, kukirim kau ke neraka melalui
jalur bebas hambatan! Hiaaah...!"
Wuurrr...! Jurus 'Jalur Badai' dipergunakan Soka Pura. Kecepatan geraknya membuat Dewi Perang tak sempat
lepaskan pukulan penghancur raga Wisnu Galang, ia
baru bentangkan kipas itu sudah diterjang oleh Soka
Pura hingga terpental jauh dan terguling-guling.
Breesss...! "Sokaa...!" teriak Selir Pamujan yang segera berlari ingin membantu Soka Pura.
Tapi pemuda itu berseru sambil mengangkat tangannya.
"Diam di situ! Biar ku tangani dia!"
"Hati-hati...! Kipas itu berbahaya! Hindari setiap sinarnya!" seru Selir
Pamujan. Dalam keadaan duduk bersimpuh dan belum
sempat bangkit, tangan kiri Dewi Perang berkelebat.
Ziing...! Sekeping logam putih melesat. Senjata rahasia
berbentuk bunga cempaka mengarah ke dada Pendekar Kembar bungsu. Pemuda itu segera melenting di
udara dan senjata rahasia itu menancap di pohon
samping Selir Pamujan.
Jrrubb...! "Ooh... ternyata dialah pembunuh guruku!" sentak Selir Pamujan begitu mengetahui
bentuk senjata rahasia tersebut.
Dewi Perang cepat bangkit ketika Soka hindari
senjata rahasia tadi.
"Biadab kau, keturunan Setan Cabul!" teriak De-wi Perang. "Mana kakakmu"! Suruh
keluar dia! Akan kubuat gila seperti Arya Semirang dengan kipas pusaka ini!
Kalian tak akan kubuat tidur seperti Soma
Gaok yang pernah menelanjangiku di depan umum!"
"Kembalikan kipas itu kepada yang berhak, Dewi
Perang!" "Langkahi dulu kerangkaku, Laknat! Hiaaah...!"
Dewi Perang segera kibaskan kipas itu dari kiri
ke kanan dengan tubuh meliuk indah bagai menari.
Kipas itu keluarkan sinar biru yang menyerang Soka
Pura. Claaap...! Soka Pura ingat kata-kata Selir Pamujan, bahwa
sinar yang keluar dari kipas itu selain cepat juga tak dapat ditangkis dengan
apa pun. Karenanya, Soka Pura segera pergunakan jurus 'Jalur Badai'-nya lagi untuk berpindah tempat sebelum
dihantam sinar biru
yang dapat membuat Soka gila cumbu seperti Arya
Semirang. Wuuuzz...! Tiba-tiba ia sudah berada di belakang Dewi Perang. Kaki Soka Pura segera melepas-kan tendangan
keras dalam posisi menyamping. Wuuutt...!
Dewi Perang tahu ada bahaya di belakangnya, ia
berputar tubuh sambil tangannya berkelebat cepat.
Wuutt...! Deees...!
Tangan itu berhasil menahan tendangan Soka
Pura. Namun kerasnya tendangan dan besarnya tenaga dalam yang disalurkan ke kaki membuat Dewi Perang terpelanting jatuh sendiri.
Brruukkk...! Dewi Perang cepat berguling, ia seperti tak merasakan sakit sedikit pun. Dalam sekejap ia sudah bangkit berlutut satu kaki, lalu
melepaskan pukulan bersinar kuning ke dada Soka Pura.
Claap...! Kali ini Soka berani mengadu kekuatan tenaga
dalamnya untuk menghadapi sinar kuning dari tangan
kiri Dewi Perang. Soka sentakkan tangan kirinya yang membentuk cakar itu ke
depan dan seberkas sinar putih seperti pisau runcing melesat dari tangan
tersebut. Claap...! Blegaaarr...! Jurus 'Cakar Matahari' berhasil hancurkan sinar
kuning Dewi Perang. Tetapi gelombang ledaknya menyentak dengan dahsyat dan membuat dada Soka bagai dihantam dengan batu sebesar kerbau.
Buuhk...! "Heehk...!" Pendekar Kembar bungsu terpental dan jatuh terkapar dengan napas
sesak serta dada terasa remuk.
Dewi Perang tak mau sia-siakan kesempatan itu.
Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Kipas Kedung Gairah segera dibentangkan
kembali setelah tadi menguncup saat ia terguling. Namun sebelum kipas itu dikibaskan, tubuh Soka berguling cepat mendekatinya
sambil menahan sakit di dada. Tiba-tiba kaki Soka
menendang cepat ke atas hingga kenal siku tangan
kanan Dewi Perang.
Beet, kraakk...!
"Aaow...!" Dewi Perang menjerit karena tulang si-kunya bagaikan patah akibat
tendangan keras bertenaga dalam itu. Kipas di tangannya terpental ke udara, melayang-layang dalamkeadaan membentang.
"Bangsat kau, heeeah...!" Dewi Perang menghen-takkan kakinya ke leher Soka Pura.
Ia bermaksud mencekik leher lawannya sambil menunggu turunnya
kipas dari udara.
Namun ketika kipas hendak bergerak turun, tibatiba sekelebat benda meluncur cepat dan menghantam
kipas tersebut. Benda itu tak lain adalah pedang kristal yang memancarkan sinar
ungu pendar-pendar.
Zlaaap...! Blegaaarrr...! "Oooh, tidaak...!" teriak Dewi Perang begitu melihat kipas itu hancur menjadi
serbuk lembut setelah
dihantam ujung pedang kristal. Ternyata pedang itu
berasal dari Raka Pura yang baru saja tiba bersama
rombongannya. Begitu diberi tahu oleh Biang Tawa
bahwa kipas yang melayang di udara itu adalah Kipas
Kedung Gairah, dan ia melihat adiknya menahan tekanan kaki lawan, maka tanpa banyak pikir lagi Raka
Pura mencabut Pedang Tangan Malaikat dan melemparkan ke arah kipas tersebut.
Pedang itu akhirnya jatuh menancap di tanah
dekat Soka Pura. Jruuub...!
Kaki Soka segera berkelebat menendang pinggang
Dewi Perang. Bet, buuhk...!
"Aauh...!" Dewi Perang tersentak ke samping dengan limbung. Soka Pura bebas dari
kaki yang tadi menghimpit lehernya itu. Ia segera bangkit dalam satu sentakan tubuh ringan.
Wut, jleeg...! Dewi Perang segera menerjangnya. Tapi Soka Pura segera menyambar gagang pedang milik kakaknya


Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menancap di tanah.
Wuuutt...! Pedangpun disabetkan dari bawah ke atas.
Weeess, craaas...!
"Aaaa...!"
Perempuan itu memekik panjang dan keras. Dadanya nyaris terbelah menjadi dua bagian dengan luka mengepulkan asap ungu.
Beberapa saat kemudian, je-ritan itu lenyap dan tubuh Dewi Perang pun tumbang
tak bernyawa lagi.
Brrrukk...! Soka Pura menghembuskan napas panjang sebagai tanda hatinya merasa lega. Ia masih pandangi
mayat Dewi Perang yang mulai tak berasap lagi itu.
Sementara itu, rombongan Raka Pura segera bergerak
mendekatinya. Sang kakak berseru kepada adiknya.
"Hoi...! Mengapa kau pakai pedangku"! Bukankah kau punya pedang sendiri"!"
Soka Pura pandangi pedang di tangannya. Ia baru sadar bahwa ia telah menggunakan pedang milik
kakaknya. Akhirnya ia nyengir dan berkata kepada
sang kakak. "Lain kali kuizinkan kau menyewa pedangku!"
"Menyewa...!" gerutu Raka sambil merampas pedangnya dari tangan si adik yang
hanya cengar-cengir itu.
"Sokaaa...!" seru Dewi Binal, lalu menghamburkan pelukan dan ciumi wajah Soka
Pura. "Aku rindu... aku rindu padamu, Soka...!"
"Hei, hei... apa-apaan ini, Dewi..."!" Soka berusaha menghindari ciuman itu
karena Selir Pamujan tepat berdiri di depannya, memandang dengan mata terbelalak
berang "Soka Pura, rupanya benar juga dugaanku! Kau
punya hubungan pribadi dengan gadis itu!" geram Selir Pamujan.
"Apa maksudmu berkata begitu"!" sentak Dewi Binal kepada Selir Pamujan.
"Dia kekasihku!"
"Tidak bisa! Dia kekasihku!" balas Dewi Binal sambil sama-sama maju.
"Tunggu, tunggu...!" Soka Pura segera menenga-hi. "Kalian semua adalah sahabatku
dan...." "Sahabat..."!" seru kedua gadis itu secara berba-rengan.
"Dasar buaya!" geram Selir Pamujan, lalu melangkah mundur dengan napas menjadi
sesak. "Terima kasih atas bantuanmu. Kipas itu memang lebih
Baik hancur daripada jatuh di tangan perempuan seperti Dewi Perang. Kurasa hatiku pun lebih baik hancur seperti kipas itu!"
"Selir Pamujan! Tunggu...!" Soka mengejar tiga langkah, Selir Pamujan segera
pergi setelah berkata,
"Selamat tinggal, Soka!"
"Hei, tunggu...!"
Dewi Binal pun berseru, "Soka..."! Jadi kau
punya hubungan pribadi dengan gadis itu"! Oooh...
dasar mata keranjang!"
"Dewi Binal, dengar dulu pendapatku..."
"Tidak! Jangan temui aku lagi, Soka! Aku tak su-ka dimadu!"
"Hei, apa-apaan ini, hah"!"
Dewi Binal pergi setelah memanggil Manggara.
Soka Pura kebingungan melihat kedua gadis itu saling meninggalkannya. Raka
tertawa tanpa suara sambil
pandangi Biang Tawa yang berdiri di samping Batara
Jabrik. "Paman, aku akan melihat keadaan Wisnu Galang, agaknya ia masih bisa tertolong!" kata Raka Pura mengalihkan suasana,
namun Soka merasa dicemooh
hingga membentak dengan geram.
"Brengsek semua!" sambil melangkah dan pandangannya tertuju pada Batara Jabrik.
"Siapa lagi ini! Sudah rambutnya jabrik, ikut senyum-senyum segala!" bentaknya salah tingkah sendiri. Batara Jabrik tertawa tertahan sambil mengikuti
langkah Raka Pura yang ingin mengobati Wisnu Galang. Biang Tawa menepuk-nepuk pundak Soka sambil
berkata, "Masih banyak ikan di lautan!"
"Kau pikir aku mau jadi nelayan"!" gerutu Soka
dengan jengkel, walau sebenarnya ia tahu maksud Biang Tawa; masih banyak perempuan lain yang bisa di
gaetnya. S E L E S A I Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Kucing Listrik - Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
Split-pdf by Saiful Bahri - Situbondo Bidadari Pendekar Naga Sakti
- Pendekar Kembar di http://cerita-silat.mwapblog.com
- Pendekar Kembar
Serial Pendekar Kembar I
01. Pendekar Kembar 1 Dendam Asmara Liar
02. Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut
03. Pendekar Kembar 3 Goa Mulut Naga
04. Pendekar Kembar 4 Setan Cabul
05. Pendekar Kembar 5 Gairah Sang Pembantai
06. Pendekar Kembar 6 Cumbuan Menjelang Ajal
07. Pendekar Kembar 7 Gadis Penyebar Cinta
08. Pendekar Kembar Iblis Pemburu Wanita
09. Pendekar Kembar 9 Perawan Bukit Jalang
10. Pendekar Kembar 10 Korban Kitab Leluhur
11. Pendekar Kembar 11 Pedang Bulan Madu
12. Pendekar Kembar 12 Pemburu Mahkota Dara
13. Pendekar Kembar 13 Tumbal Asmara Buta
14. Pendekar Kembar 14 Rahasia Dedengkot Iblis
15. Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra
16. Pendekar Kembar 16 Geger Pantai Rangsang
17. Pendekar Kembar 17 Penghianat Budiman
Istana Pulau Es 11 Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Kelana Buana 1

Cari Blog Ini