Ceritasilat Novel Online

Duel Di Puncak Lawu 3

Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu Bagian 3


kan pertarungan aneh itu. Dengan tubuh melayang
laksana terbang, Pendekar Gila terus meluncur sambil mencecarkan pukulan dan
terkadang menangkis serangan lawan.
"Ck ck ck..!"
Semua mendecak kagum dengan kepala menggeleng-geleng. Jarang sekali mereka melihat kemampuan seorang pemuda seperti Pendekar Gila. Meski
mereka dari golongan tua sekalipun, rasanya sangat sulit bertarung dengan tubuh
melayang seperti itu. Bi-sa-bisa tenaga dalam mereka hilang di tengah jalan.
Pendekar muda itu benar-benar mampu menunjukkan kelasnya. Tubuhnya terus melayang, seakan benar-benar mampu terbang seperti burung. Kakinya terkadang berputar untuk menendang, lalu berputar kembali dengan pukulan-pukulannya.
"Heaaat..!"
Kalau saja yang menjadi lawan bukan Ki Catrik
Ireng yang berilmu tinggi dan banyak pengalaman, sudah tentu dalam beberapa
gebrakan saja akan kewalahan menghadapi serangan-serangan aneh yang dilancarkan Pendekar Gila.
Namun kini yang dihadapi Pendekar Gila adalah tokoh kelas wahid yang pernah menundukkan
pendekar-pendekar tangguh rimba persilatan. Bahkan
pernah pula bertarung melawan Singo Edan, guru
Pendekar Gila. Tentunya Ki Catrik Ireng telah tahu jurus-jurus yang menjadi
andalan Pendekar Gila.
"Rupanya semakin maju saja ilmu Pendekar Gila!" seru Ki Catrik Ireng sambil terus menangkis serangan-serangan Pendekar
Gila, dengan sesekali membalas menyerang. "Yeaaat..!"
Pendekar Gila melempar tubuhnya ke belakang,
kakinya menjejak ke atas batu cadas. Kemudian berdi-ri dengan posisi siap
melakukan serangan. Tangannya bergerak bagaikan kera yang hendak melempar.
Tangan kanan diangkat ke atas setengah menekuk, sedangkan tangan kirinya berada di perut dengan jarijari tangan kejang mencengkeram.
"Jurus 'Kera Gila Melempar Batu'," gumam Ki Catrik Ireng yang telah tahu jurus
itu. "Dulu gurumu boleh bangga dengan jurus itu. Namun sekarang jurus itu tak
ada gunanya bagiku, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Tubuh Ki Catrik Ireng segera berkelebat untuk
menyerang. Tangan kanannya membentuk kepala ular.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping dengan jari-jari membuat cengkeraman. Kemudian tangan
kanan dan kiri bergantian melakukan patukan dan
cengkeraman. Itulah jurus 'Naga Mencakar Langit'. Salah satu jurus andalan Ki
Catrik Ireng. "Yiaaat..!"
"Heaaa...!"
Tubuh keduanya kembali melesat maju, siap
melakukan serangan berikutnya.
*** Cakar dan tamparan Pendekar Gila kini seperti
tangan seekor kera yang tengah melempar batu. Namun gerakannya sangat cepat menghasilkan deru angin keras ketika kedua tangannya bergerak.
Sedangkan Ki Catrik Ireng tak mau tinggal diam. Tangan kanannya laksana kepala ular naga, mematuk dan menampar ke wajah dan dada lawan. Sedangkan tangan kirinya mencakar dan menghantam.
"Yiaaat..!"
"Uts! Heaaa...!"
Keduanya terus berkelebat cepat dengan tangan bergantian melakukan serangan dan tangkisan.
Kaki mereka tak tinggal diam, bergerak cepat kian kemari. Kemudian melakukan
serangan dengan tendangan dan sapuan.
Trak! "Yeaaat..!"
"Hop...!"
Setiap kali tangan dan kaki mereka beradu,
terdengar suara keras memekakkan telinga. Dan tubuh keduanya melompat ke belakang dua tindak, lalu
dengan mata tajam disertai pekikan, keduanya kembali menyerang.
"Yeaaat..!"
"Hiaaat..!"
Tangan Pendekar Gila terus bergerak cepat seperti sedang melempar. Menghasilkan deruan angin
kencang ke arah lawan, laksana gelombang angin topan yang susul-menyusul.
Ki Catrik Ireng tak hanya diam mendapatkan
serangan aneh itu. Mulutnya mendesis, tangan kanannya bergerak laksana kepala naga. Terkadang naik, la-lu membuka untuk menangkis
serangan. Disusul cakaran tangan kirinya ke dada lawan.
"Sss...! Heaaa...!"
Tubuh keduanya berkelebat cepat Kini mereka
semakin menambah daya serang. Dalam sekejap saja,
tubuh keduanya bagaikan menghilang. Yang nampak
hanya gulungan berwarna hitam.
Semua mata yang menyaksikan pertarungan
itu lagi-lagi membelalak. Kini rasanya sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti
gerakan tubuh kedua tokoh
sakti itu. "Gila...! Mereka benar-benar telah mengeluarkan gerakan ilmu silat yang luar biasa!" gumam Dewi Pandagu. "O, mungkinkah
Sena dapat memenangkan pertarungan penentuan ini?"
Dewi Teratai Perak tersenyum. Dia tahu apa
yang tengah dirasakan oleh temannya. Kemudian dengan mata masih memandang ke arah pertarungan,
Dewi Teratai Perak berusaha menenangkan temannya.
"Tenanglah, Dewi. Berdoalah pada Hyang Widhi. Semoga Pendekar Gila menang. Bukan kau saja
yang khawatir. Semua pendekar aliran lurus juga begi-tu."
Dewi Pandagu terdiam, meresapi kata-kata
yang diucapkan temannya. Memang benar apa yang
dikatakan Dewi Teratai Perak. Kekalahan Pendekar Gi-la, berarti kekalahan aliran
lurus. Dan tentunya tokoh aliran sesat akan bertindak sewenang-wenang, tanpa
mempedulikan aturan rimba persilatan.
Di sebelah utara, Wulandari yang berjuluk Bidadari Cadar Merah pun nampak cemas. Wajahnya
nampak gelisah. Hal itu terlintas di matanya, yang
memandang penuh ketegangan.
"Hhh...! Semoga Hyang Widhi selalu melindunginya," gumam Wulandari perlahan.
Nyi Kendil tersenyum, memahami perasaan
muridnya. Mata wanita tua itu menatap tajam ke arah pertarungan dua tokoh sakti
itu. Kalau sampai Pendekar Gila dapat dikalahkan, dia akan menyerang lelaki tua
yang dibencinya itu. Meski dia tahu, bagaimana-pun juga lelaki itu adalah
suaminya sendiri.
"Tenanglah, Wulan. Kalau sampai Pendekar Gila kalah, aku tak akan tinggal diam. Aku akan melabraknya," bisik Nyi Kendil, berusaha menenangkan ha-ti muridnya. "Kurasa,
pendekar muda itu bukan pendekar kemarin sore yang mudah dikalahkan. Kita berdoa saja pada Yang Kuasa."
Pertarungan antara dua orang sakti yang berkepandaian tinggi itu masih berlangsung seru. Bahkan kini mereka telah kembali
mengganti jurus. Jurus-jurus yang kini mereka keluarkan semakin meningkat
ke jurus-jurus tingkat tinggi.
"Yeaaat...!"
Pendekar Gila telah mengeluarkan jurus 'Dewa
Mabuk Melebur Karang'. Tangannya membentuk setengah lingkaran. Kemudian menepuk-nepuk dada.
Menggaruk-garuk kepala sesaat, lalu kembali melakukan gerakan menghantam dan membongkar. Benarbenar seperti dewa mabuk yang hendak melebur batu
karang. Cengkeramannya sangat keras dan kuat dan
pukulannya tak kalah dahsyat
Wusss...! Glarrr! Setiap kali tangan kanan atau kirinya menghentak, maka keluarlah serangkum angin yang dahsyat. Menghancurkan batu cadas yang terkena.
"Hop! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng tak mau diam begitu saja. Setelah mampu mengelakkan serangan lawan, dengan cepat telapak tangan kanannya ditempelkan ke belakang kepala. Sedangkan tangan
kirinya direntang ke samping. Itulah jurus 'Waringin Sungsang' atau jurus
'Lipatan Ular Sanca Membunuh Mangsa'.
Tubuh Ki Catrik Ireng meliuk-liuk, dengan tangan laksana membelit. Kemudian tangan kanannya
yang berada di belakang kepala, kini menghantam ke
arah lawan. "Heaaat..!"
Serangkum angin disertai deruan keras, menyerbu ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila membuang tubuhnya ke
samping. Lalu tubuhnya
segera berguling ke bawah, dengan tangan lurus, menyibak dan menghantam dari bawah.
"Yeaaat..!"
Wuttt, wuttt..!
Sambil berguling di tanah, Pendekar Gila melancarkan serangan. Tangannya bergantian menyibak
dan menghantam. Persis seekor kera gila yang sedang berusaha menyerang lawan.
"Uts! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mengangkat kedua kakinya bergantian, berusaha mengelakkan cakaran dan hantaman tangan lawan. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian turun dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Tangan Ki Catrik Ireng kini bersinar laksana
membara. Membuat suasana di sekeliling kancah pertarungan bagai terbakar. Panas sekali, meski hari saat itu telah malam. Tak
terasa oleh mereka, kalau malam telah tiba sejak tadi. Bahkan bulan purnama
tepat berada di ubun-ubun.
"Oh, jurus apa lagi yang dikeluarkannya?" desis Pendekar Gila sambil menggarukgaruk kepala. Kemudian dengan cepat gerakannya diubah. Dengan berdiri tegak,
tangannya disilangkan ke depan dada. Kemudian kedua telapak tangannya disatukan
di atas kepa-la.
"Yeaaat...!"
Kini Pendekar Gila telah mengeluarkan pukulan saktinya, berusaha menandingi jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah dikeluarkan Ki Catrik Ireng.
'Pukulan Inti Bayu' telah dikeluarkan, untuk menang-gulangi hawa panas yang
keluar dari ajian 'Waringin Sungsang'.
Wrrr! Seketika angin menderu keras, membawa hawa
dingin yang menyelimuti sekeliling tempat itu. Para pendekar yang tadi
kepanasan, kini tersenyum senang.
Keringat yang membanjiri tubuh mereka akibat hawa
panas, tersapu oleh deru angin yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila.
"Rupanya kau masih mengandalkan jurus kuno, Pendekar Gila! Ilmumu tak ada gunanya menghadapi 'Waringin Sungsang'ku! Bersiaplah untuk mampus...! Yeaaah...!"
Dengan pukulan 'Waringin Sungsang', tubuh Ki
Catrik Ireng berkelebat, siap merangsek Pendekar Gila.
"Yeaaat...!"
Melihat lawan menyerang, Pendekar Gila tak
mau tinggal diam. Tangannya yang tadi menyilang di
depan dada, kini dihentakkan ke depan untuk memapaki serangan lawan.
Telapak tangan mereka kini bergerak cepat
memutar-mutar dan kemudian kembali menghentak
ke depan. Kaki mereka tak tinggal diam, menendang
dan menyapu ke arah lawan.
"Yeaaat..!"
"Hiaaa...!"
Keduanya melesat cepat dengan tangan siap
beradu. Tubuh mereka melayang laksana elang di udara, untuk menghantamkan pukulan ke arah lawan.
Darrr! Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuhnya keduanya terlempar beberapa tombak ke belakang.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh, setelah men-ginjakkan kakinya di bibir jurang.
Sementara Ki Catrik Ireng yang juga telah menapakkan kedua kakinya di atas tanah, dengan licik
kembali melancarkan pukulan 'Waringin Sungsang'nya. "Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya
kalau lawan akan menyerang kembali. Sebisanya dikeluarkannya pukulan 'Inti Brahma'. Dari tangannya ter-pancar sinar membara,
membuat sekelilingnya panas.
Glarrr! "Aaakh...!" Pendekar Gila memekik keras, tubuhnya terlempar jauh ke dalam
jurang. Sedangkan Ki Catrik Ireng terdorong dengan keadaan luka dalam.
Dari bibirnya meleleh darah kehitaman.
"Sena...!" pekik Dewi Pandagu, menyaksikan kekasihnya terlempar jauh ke dalam
jurang. Matanya
membelalak penuh amarah.
"Pendekar Gila...!" seru Ki Tunggul Manik.
Semua pendekar yang bersimpati pada Pendekar Gila memekik keras. Mata mereka melotot penuh
amarah ke arah Ki Catrik Ireng. Kemudian bagai diberi aba-aba mereka menyerbu Ki
Catrik Ireng yang terlu-ka.
"Serbu...! Jangan biarkan mereka melukai
ayah...!" Tapi, pada saat para pendekar bergerak menyerbu, tiba-tiba terdengar suara perintah seorang
pemuda dari balik cadas.
Manusia-manusia berjubah hitam yang berdiri
di sekeliling tempat itu seketika berkelebat cepat, menghadang dan menyerang
para pendekar yang hendak melakukan penyerbuan ke arah Ki Catrik Ireng.
"Laskar Setan...!" seru Dewi Pandagu kaget.
"Serang...!" seru Resi Sarameskari, memerintah pada murid-muridnya. Sekaligus
memerintahkan pada
rekan-rekan segolongan untuk menyerang. Namun baru saja mereka hendak bergerak, tiba-tiba Ki Catrik Ireng membentak...
"Hentikan! Kalian telah terkurung! Kalian tak


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mampu lolos dari tempat ini! Kini Pendekar Gila telah binasa, maka
sepantasnyalah aku menjadi pemimpin rimba persilatan!"
"Persetan dengan ucapanmu, Ki!" maki Ki
Tunggul Manik. "Ya! Tak pantas orang licik sepertimu menjadi
pemimpin para pendekar," timpal Resi Sarameskari.
"Lagi pula, belum tentu Pendekar Gila telah binasa! Kau tidak bisa seenaknya mengangkat dirimu
sebagai ketua rimba persilatan!" Nyi Kendil tiba-tiba membentak begitu tubuhnya
berkelebat mendekat,
membuat Ki Catrik tersentak kaget.
"Kau..."!"
"Ya, aku. Rupanya kita dipertemukan kembali,
Catrik Ireng! Kau harus menyerahkan anakku!", dengus Nyi Kendil.
Prabasangka yang mendengar wanita tua itu
mengatakan bahwa dia ibunya, memandang penuh kebingungan. "Ayah, benarkah dia ibuku?" tanya pemuda
berbaju kuning itu.
Ki Catrik Ireng terdiam sesaat Kemudian perlahan kepalanya mengangguk.
"Ya, dia memang ibumu. Dialah yang telah menelantarkan mu semasa kau masih bayi."
"Bohong! Lelaki tak tahu diri! Wulan, serang
dia!" perintah Nyi Kendil.
Pertarungan seru antara para pendekar melawan Laskar Setan pun terjadi dengan seru. Mereka seperti tak peduli dengan Ki
Catrik Ireng. Kekalahan
Pendekar Gila akibat kelicikan lelaki tua berjubah hitam itu, telah mengobarkan
api kemarahan mereka.
Dua kelompok besar saling bentrok. Menjadikan pertarungan sangat seru. Namun karena jumlah
pendekar golongan lurus tidak sebanding dengan jumlah tokoh aliran sesat, dalam sekejap saja mereka dapat didesak
"Hentikan...!" seru Ki Catrik Ireng. "Dengarlah oleh kalian semua! Baiklah, aku
memberi kesempatan
pada kalian untuk berpikir sekaligus membuktikan kalau Pendekar Gila telah
mampus. Kalau selama satu
minggu tak ada kabar tentang Pendekar Gila, kalian
harus datang menyaksikan penobatan ku sebagai pemimpin rimba persilatan!"
Semua pendekar terdiam. Hanya mata mereka
yang memandang penuh kebencian pada Ki Catrik
Ireng yang tertawa tergelak-gelak. Lelaki tua itu kini tidak merasakan lagi rasa
sakit akibat luka dalamnya, karena beberapa jalan darahnya telah ditotok
"Bagaimana, apakah kalian setuju?" tanya Ki Catrik Ireng. "Kalian akan
kubebaskan. Tapi jika membangkang, Laskar Setan tak akan tinggal diam. Di ma-na
pun kalian berada, mereka akan mencari dan
membunuh kalian!"
Semua pendekar golongan putih hanya mampu
menghela napas. Mulut mereka terkunci, diam tak ada yang menjawab. Hanya mata
mereka saja yang menggambarkan ketidaksenangan terhadap cara Ki Catrik
Ireng. "Jangan percaya omongannya! Kita serang sa-ja!"
Tiba-tiba Nyi Kendil berseru. Kemudian tanpa
menunggu rekan-rekannya menyerang, Nyi Kendil melakukan serangan dibantu oleh Bidadari Cadar Merah.
"Percuma saja kau menyerangku, Nyi! Seharusnya kau menyadarinya dan mau kembali bersamaku!" sergah Ki Catrik Ireng.
"Cuih! Tak sudi aku bersamamu! Lebih baik
aku binasa!" bentak Nyi Kendil.
"Baik kalau begitu! Laskar Setan, ringkus kedua wanita itu...!" seru Ki Catrik Ireng yang dengan segera dipatuhi oleh Laskar
Setan. "Ayah, mengapa kau menangkap ibu"!" tanya Prabasangka.
"Diamlah! Biarkan mereka menangkap wanitawanita tak tahu diuntung itu!"
Pertarungan Nyi Kendil dan muridnya melawan
Laskar Setan benaran tak seimbang. Keduanya dapat
segera ditangkap.
"Bawa mereka ke tahanan!" perintah Ki Catrik Ireng. "Tapi, Ayah..." cegah
Prabasangka hendak menentang.
"Diam!" hardik Ki Catrik Ireng berang.
Prabasang langsung menuruti kata-kata ayahnya. Apalagi setelah dilihatnya sepasang mata lelaki tua itu mencorong tajam.
"Sekarang kalian boleh bubar! Kutunggu kalian
tujuh hari lagi!" kata Ki Catrik Ireng pada para pendekar.
Usai berkata begitu, Ki Catrik Ireng segera bersuit nyaring. Tubuhnya berkelebat diikuti oleh Laskar Setan. Semua pendekar
terpaku menyaksikan bagaimana Ki Catrik Ireng, Prabasangka dan Laskar Setan
menghilang. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu dengan hati penuh kejengkelan. Wajah mereka menggambarkan kecemasan akan
nasib Pendekar Gila.
*** 9 Tubuh Sena yang terkena pukulan 'Waringin
Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, melayang deras di
rongga Jurang Lawu yang dalam. Kemudian tubuhnya
berguling-guling di lereng yang berhutan lebat
Nampaknya hutan itu belum pernah dijamah
manusia. Angker, dan tampaknya dihuni binatangbinatang buas yang siap memangsa setiap manusia
yang berani memasuki kawasan hutan itu.
"Akh...!" Sena memekik, tubuhnya menggelinding ke bawah. Kini tubuhnya semakin
bertambah jauh dari Puncak Lawu.
Tubuh Sena yang sedang menggelinding itu
membuat kaget semua penghuni hutan. Burungburung beterbangan. Beberapa ekor rusa berlari sera-butan. Binatang-binatang
lainnya juga berlarian kalang-kabut Setelah membentur pohon yang cukup besar,
tubuh Sena baru berhenti. Akibatnya sungguh luar biasa. Pohon besar itu bagaikan
dihantam oleh kekuatan yang dahsyat, tumbang menimbulkan suara berde-bum. Brak!
Kraaak...! Bummm!
Tubuh Sena tergeletak pingsan. Dari bibirnya
meleleh darah yang tidak sedikit. Sepertinya dia mengalami luka dalam akibat
pukulan 'Waringin Sungsang'
yang dilancarkan Ki Catrik Ireng
Entah berapa lama Sena terkulai pingsan. Ketika itu, tampak seekor ular sanca besar mendesis turun dari atas sebatang pohon.
Sepertinya ular sanca itu mencium bau manusia, yang mengundang hasratnya
untuk menyantap.
"Szzz...!"
Ular sanca sebesar paha manusia dengan panjang sepuluh kaki itu terus mendesis sambil merayap ke arah Sena. Matanya yang
merah, memandang penuh nafsu ke tubuh Sena yang masih tergeletak pingsan. "Szzz...."
Ular sanca besar itu semakin mendekat. Lidahnya yang berwarna merah dan bercabang, menjulurjulur. Matanya semakin bersinar, bagai senang mendapatkan mangsa. Ketika tiba di dekat tubuh Sena,
mulutnya langsung menganga, siap menelan Sena bulat-buat. "Szzz...!"
Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba seekor
monyet besar berkelebat dari atas pohon. Kemudian
dengan teriakan menggelegar, tangan monyet itu menangkap kepala ular serta melemparkannya jauh-jauh.
"Nguk..!"
Kemudian kera besar itu mendekati tubuh Sena. Sepertinya kera itu bermaksud menolong Sena, ta-pi telinganya yang tajam
mendengar desisan keras dari belakangnya.
"Nguk..!"
Kera itu menoleh, dan memandang tajam ke
arah ular sanca yang murka. Ular itu merayap menuju kera dan tubuh Sena yang
mulai tersadar.
"Ngukkk!"
Sambil berteriak keras, kera itu melompat maju. Dengan gayanya yang lucu, binatang itu terus
mendekati ular sanca yang mendesis keras dengan kepala terangkat, dan ekor digerak-gerakkan.
"Zsss!"
"Nguk, nguk...!"
Suasana di sekitar tempat itu seketika menjadi
riuh. Sena yang baru siuman menjadi terkejut. Matanya membelalak kaget, menyaksikan dua ekor binatang itu tengah berhadap-hadapan. Keduanya seakan
siap melakukan serangan.
"O, rupanya kera besar itu telah menolongku
dari serangan ular sanca," duga Sena dengan mata menyipit, memandang kedua
binatang yang masih saling pandang dengan mata penuh kewaspadaan. Keduanya siap melakukan serangan.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Tangan kera itu menggaruk-garuk kepala dan
perutnya. Tingkahnya sangat lucu, melompat-lompat
bagai kegirangan. Sedangkan ular sanca kembali mendesis dengan kesan liar dan buas. Kepalanya terangkat tinggi-tinggi, mulutnya
membuka, menunjukkan li-dahnya yang merah bercabang. Ekornya digerakgerakkan, mengingatkan Sena pada jurus 'Waringin
Sungsang' yang telah membuat tubuhnya terlempar.
"Ha!, bukankah gerakan ular sanca itu seperti
jurus 'Waringin Sungsang'" Aha, benar...! Gerakannya persis dengan jurus yang
digunakan Ki Catrik Ireng,"
gumam Sena dengan mata membesar, memandangi
kedua binatang yang siap bertarung. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Kedua binatang itu kini bergerak, saling menerkam satu sama lain. Serangan ular sanca itu sama persis dengan seranganserangan yang dilancarkan Ki Catrik Ireng. Mulutnya mendesis-desis dan mematuk
dengan ekor turut menyerang.
"Ngukkk...!"
"Zsss...!"
Kera itu bergerak aneh. Kaki- kakinya melangkah dengan teratur. Gerakannya begitu halus dan pelan. Tangannya mengibas, kakinya melangkah satusatu. Seakan ada hitungan-hitungan tersendiri.
"Hai, apa yang dilakukannya?" bisik Sena, terheran-heran melihat tingkah laku
kera itu. Pendekar Gila terus mengamati gerak-gerik kera dalam melakukan serangan. Tanpa sadar, kakinya
turut melangkah. Mulanya kaki kanan ditarik melebar, kemudian melangkah
menyilang di depan kaki kiri.
Kemudian kaki kiri ditekuk ke atas, lalu menapak.
Sementara salah satu tangan kera itu berada di
dada dengan jari merapat Sedangkan tangan kanannya
bergerak mengipas di depan tubuh. Kemudian telapak
tangan kanannya diputar dengan jari-jari lurus ke
atas. Tanpa disadari, Pendekar Gila terus mengikuti gerak-gerik kera itu. Kaki
dan kanannya turut bergerak. Kakinya yang kanan direntang melebar, kemudian
melangkah menyilang. Disusul oleh kaki kirinya yang menekuk ke atas, lalu
dilangkahkan bersamaan dengan hentakan keras telapak tangan.
"Ah, rupanya kera itu menggunakan sebuah jurus yang sakti. Meski gerakannya tampak lemah, namun mengandung tenaga dalam yang cukup dahsyat,"
gumam Sena sambil terus mengikuti cara-cara kera itu dalam melakukan serangan.
Dan tampaknya ular yang
menggunakan jurus mirip 'Waringin Sungsang' memang mengalami kesulitan untuk melancarkan serangan-serangannya.
Setiap kali kepala ular sanca itu hendak menerkam, dengan gerakan aneh dan kaki-kaki melangkah teratur, kera bertubuh besar itu mendahului menyerang. Tangan kirinya yang semula di dada, kini
menampar cepat ke kepala ular itu.
"Szzz!"
Ular sanca itu tampak kaget melihat tamparan
lawannya. Kepala yang sudah diangkat dan siap menyerang, ditarik kembali ke belakang. Kemudian digantikan dengan serangan
kibasan ekornya.
"Ngiiikkk...!"
Kera itu mengeluarkan teriakan ganjil. Kemudian kakinya melompat ke atas dengan kaki kiri ditekuk ke atas, lalu tangan
kirinya dikibaskan dua kali
dan dihantamkan ke kepala ular itu.
Sena terpana dengan mata membelalak menyaksikan pertarungan dua binatang yang mampu
menggunakan jurus-jurus sakti itu. Terlebih pada kera itu. Meski gerakannya
sangat halus, namun mampu
membuat ular sanca tak dapat berbuat apa-apa.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salah lihatkah aku?" tanyanya sambil mengusapusap mata, berusaha meyakinkan penglihatannya. Tetap saja kedua binatang yang bertarung dengan jurus-jurus sakti itu
masih terlihat "Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan ke-ra itu," puji Pendekar Gila.
Tanpa sadar, tubuhnya bergerak-gerak mengikuti gerakan-gerakan kera.
"Szzz...!"
Kepala ular sanca bergerak cepat hendak menerkam kera itu. Tapi, dengan gerakan aneh, kera bertubuh besar itu melompat dan
balas melakukan tamparan.
Kera itu dengan gerakan halus dan lemas kini
mendesak ular sanca yang tampak menggunakan jurus 'Waringin Sungsang'. Hal itu membuat mata Sena
semakin melotot Sambil menggaruk-garuk kepala, diawasinya jalannya pertarungan seru itu.
Kera itu masih menyerang dengan halus. Tangan dan kakinya terus bergerak seperti semula. Kaki kanannya direntang, kemudian
dikibaskan. Disusul
dengan tangan kirinya diangkat, lalu melakukan tamparan. Meski tamparan yang dilakukan tampak pelan,
tapi akibatnya hebat. Serangkum angin pukulan menderu, menyentakkan ular sanca itu.
"Ah, benar-benar hebat jurus yang dilakukan
kera itu," puji Sena. Kemudian tanpa sadar kembali di-ikutinya gerakan-gerakan
kera itu. Sementara matanya tetap memandangi kedua binatang yang tengah
bertarung. "Szzz...!"
Ular sanca itu kelihatan marah sekali, karena
serangan-serangannya selalu mengalami kegagalan.


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Matanya merah laksana mengandung api. Kemudian
dengan desisan keras, ular sanca itu membelit tubuh lawannya.
"Nguk!"
Kera itu bergerak cepat untuk mengelitkan belitan ular sanca. Kemudian tubuhnya kembali melakukan gerakan aneh. Tangan kirinya menampar ke kepala ular. Sedangkan tangan kanannya menghantam
dengan telapak tangan ke tubuh ular itu.
Plak! Des! "Szzz!"
Ular sanca itu mendesis, kepalanya bergerak
liar merasakan sakit akibat tamparan tangan lawannya. Meski terlihat pelan, namun tamparan itu membuat rasa sakit luar biasa.
"Hah"!" mata Sena melotot lagi.
*** Sena benar-benar dibuat kaget, menyaksikan
bagaimana kera itu mampu menampar kepala ular
sanca. Dan yang membuat matanya semakin membelalak, ular sanca itu menggelepar bagai dihajar dengan batu sebesar kepala
manusia. Padahal tamparan kera itu terlihat tidak terlalu
keras. "Jagat Dewa Batara, sungguh hebat hasil tamparan kera itu. Jurus apakah
yang dilakukannya?"
gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Szzz...!"
Ular sanca itu tampaknya marah sekali. Kepalanya terangkat tinggi-tinggi. Kemudian mematuk dengan cepat tiada henti.
Rupanya ular itu tak mau kejadian yang tadi menimpanya, harus dialami lagi.
Kepalanya terus menyerang, mematuk dan menerkam.
Ekornya juga tak mau tinggal diam, bergerak menyabet dan membelit.
"Nguk!"
Dengan tenang kera itu terus menggerakkan
kaki dan tangannya. Gerakannya sangat lemas dalam
melakukan kibasan tangan dan menyentakkannya.
Begitu juga tangan kirinya ketika menampar.
Dua binatang itu terus bertarung dengan serunya. Tak ada yang bermaksud mengalah. Keduanya
sama-sama bernafsu untuk mengalahkan.
"Nguiik...!"
Tiba-tiba kera itu melengking keras. Lengkingan yang mampu memekakkan telinga itu membuat
Sena tersentak kaget Cepat-cepat telinganya ditutup dengan pengerahan tenaga
dalam. Kejadian aneh kembali terjadi. Ketika kera itu
melengking, ular sanca seketika mendesis keras. Sepertinya merasakan sakit yang tiada taranya. Sedangkan mata dan mulut ular sanca
itu mengeluarkan darah. "Oh, sungguh dahsyat lengkingan kera itu," bisik Sena menyaksikan kejadian
tersebut Belum lagi hilang rasa kagetnya, seketika Sena
dikejutkan oleh gerakan yang dilakukan kera. Dilihatnya tangan kanan kera itu
mengibas dua kali. Lalu
menghentakkan telapak tangan ke tubuh ular sanca
yang tengah meraung-raung kesakitan.
Tidak hanya sampai di situ, tangan kiri kera itu
kini menampar kepala ular sanca. Dan mata Sena dapat melihat jelas bagaimana cara kera itu melakukan tamparan. Mata kera itu
terpejam rapat Binatang itu tidak menampar dengan kekuatan kasarnya, melainkan
dengan kekuatan sukma.
"Hah"! Tamparan apa itu" Oh, mungkin Jurus
yang dilakukan kera itu bernama 'Tamparan Sukma',"
gumam Sena. "Nguiiik..!"
Plak! Trak! "Ssszzz...!"
Ular sanca itu mengeluarkan desisan keras.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dengan kepala pecah.
Sekali lagi Sena membelalak kaget. Tak disangkanya
kalau tamparan tangan kiri kera yang terlihat sangat pelan dan lemas, ternyata
mampu menghancurkan kepala ular sanca yang besar.
"Bukan main...!" pekik Sena terkagum-kagum menyaksikan kejadian tadi.
Dengan tersenyum-senyum, Sena menggarukgaruk kepalanya. Matanya masih memandang kera
yang kini bertingkah seperti tingkahnya. Sementara
ular sanca yang tadi tampak mengeluarkan jurus
'Waringin Sungsang', telah tergeletak dengan kepala hancur berantakan.
"Nguk, nguk, nguk..!"
Kera itu melompat-lompat kegirangan. Tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan
kirinya menggaruk-garuk pantat. Kemudian kera itu
membalikkan tubuh, lalu memandang Sena.
"Nguk!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepalanya secara berirama. "Ah ah ah...! Terima kasih sahabat. Kau telah
menolongku dari ancaman ular itu. Ah, aku tertarik
sekali dengan jurus yang kau lakukan," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kera itu masih melompat-lompat kegirangan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala dan pantat.
Mulutnya nyengir dan mengeluarkan suara. Kemudian
kepalanya mengangguk-angguk seakan menyuruh Sena melakukan jurus itu.
"Oh, rupanya kau membolehkan aku mempelajari gerakan-gerakanmu. Terima kasih, Sobat Kau baik hati..," ucap Sena.
"Nguk nguk..!"
Kera itu mengangguk-anggukkan kepala. Seakan mengerti ucapan Pendekar Gila. Mulutnya masih
nyengir. Kemudian tangan kanannya digerakkan, seolah-olah menyuruh Sena untuk segera melakukannya.
"O, kau menyuruhku untuk mengikuti semua
gerakan-gerakanmu" Baik...!"
Sena segera melakukan gerakan-gerakan yang
sempat dilihatnya dan diingatnya ketika kera itu bertarung dengan ular sanca.
Tangan kanannya dikibaskibaskan, kemudian disentakkan dengan keras.
"Nguk, nguk, nguk...!"
Kera itu menggeleng-gelengkan kepala keraskeras. Mulutnya nyengir, seakan-akan menyalahkan
gerakan yang dilakukan Sena. Kemudian dengan melompat-lompat, binatang itu melakukan gerakan yang
tadi digunakan untuk melawan musuhnya.
Pendekar Gila mengikutinya. Semua gerakan
yang dilakukan kera itu begitu lemas. Baik cara melangkah dan mengangkat kaki, mengibas-ngibaskan
tangan kanan, maupun menampar dengan tangan kiri.
Pendekar Gila menamparkan tangan kirinya
dengan gerakan perlahan. Separo dari tenaga dalamnya disalurkan ke tangan itu. Hasilnya sungguh luar biasa! Glarrr!
Kraaak...! Bummm!
Pohon besar di hadapannya seketika meledak
terkena angin tamparan Pendekar Gila. Padahal tamparan itu sangat pelan.
"Ah, benarkah apa yang kulihat..?" tanya Sena terlongong dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan kera itu berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian dengan suara yang
keras, kera itu kembali melakukan gerakan aneh.
Pendekar Gila mengambil Suling Naga Saktinya. Kemudian ditiupnya dengan melengking. Seketi-ka itu pula...
Darrr! Mata Pendekar Gila kembali terbelalak lebar
saat menyaksikan apa yang terjadi. Rupanya jurus
'Tamparan Sukma' lebih sempurna bila diiringi tiupan Suling Naga Sakti.
"Terima kasih, kau telah mengajari ku, Sobat,"
tutur Sena. "Nguk, nguk...!"
Kera itu mengangguk-angguk. Tingkahnya yang
lucu kembali dilakukan. Setelah sesaat matanya memandang Pendekar Gila, kera itu melompat ke atas
pohon. Dalam sekejap saja tubuhnya telah menghilang. Pendekar Gila mengangguk-angguk. Kini dia telah memahami apa yang
seharusnya dilakukan. Ternyata jurus 'Waringin Sungsang' milik Ki Catrik Ireng, hanya dapat dikalahkan
dengan jurus 'Tamparan
Sukma'. "Hyang Jagat Dewa Batara, terima kasih atas
pertolongan-Mu. Kau telah mengutus seekor kera untuk memberi petunjuk padaku," bisik Sena khidmat.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tersenyum-senyum kembali bergumam. "Ya ya, aku harus mempelajari jurus
'Tamparan Sukma' itu
lagi agar benar-benar ku kuasai dengan baik."
Sena kemudian bersila untuk mengheningkan
cipta dengan mengatur pernapasan. Sekaligus memulihkan tenaga dalamnya yang banyak hilang selama
bertarung dengan Ki Catrik Ireng. Dari kepala Pendekar Gila, mengepul kabut
berwarna ungu. Wajahnya
merah membara, bahkan sampai ke tubuh pula.
Setelah merasa tenaga dalamnya telah pulih
kembali, Sena membuka matanya. Perlahan dia bangkit dari silanya. Tubuhnya terasa sangat enteng sekali.
"Aku harus mempelajari jurus-jurus itu dengan
seksama, agar semuanya dapat kulakukan dengan
baik," ucapnya pada diri sendiri.
Pendekar Gila segera membuka tangannya.
Kemudian tangan kiri ditaruhnya di depan dada. Sedang tangan kanannya membentuk siku berada di
samping tubuhnya. Kaki kanan direntang ke samping,
lalu dilangkahkan ke depan menyilang.
Tangan kanannya dikibaskan, kemudian dihentakkan. Setelah itu diangkatnya kaki kiri menekuk. Di-rentangkannya ke samping,
diikuti dengan tamparan
tangan kiri. Segenap tenaga dalamnya dikerahkan. Sedangkan tangan kanannya
mencabut Suling Naga Sakti, yang kemudian ditiupnya.
Glarrr! Darrr! Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Bumi bagai diguncang oleh prahara. Sungguh dahsyat sekali.
Padahal gerakan yang dilakukan Pendekar Gila belum
sesempurna gerakan kera tadi.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggarukgaruk kepala. "Aku harus terus belajar!" tekadnya bersemangat
*** 10 Sudah tujuh hari Pendekar Gila menghilang dari dunia persilatan. Waktu yang diberikan Ki Catrik Ireng kepada para pendekar
habis. Berarti para pendekar harus kembali menemui Ki Catrik Ireng, untuk
menentukan apakah Ki Catrik Ireng akan dinobatkan
sebagai Ketua Rimba Persilatan. Rupanya tak seorang pun dari para pendekar yang
berani membangkang.
Semua hadir kembali di Puncak Lawu.
"Bagaimana, apakah ada yang tidak setuju atas
penobatan diriku menjadi Ketua Rimba Persilatan?"
tanya Ki Catrik Ireng. Matanya memandang tajam ke
seluruh pendekar yang hadir di tempat itu.
Tak seorang pun yang menjawab. Mereka seakan-akan menolak secara tidak langsung kalau orang
tua berjubah hitam itu menjadi pemimpin mereka.
"Kutanya pada kalian sekali lagi. Siapa yang tidak setuju jika aku menjadi
pemimpin rimba persilatan"! Jawab...!" bentak Ki Catrik Ireng penuh amarah.
"Aku...!"
Dalam keadaan tegang, tiba-tiba terdengar jawaban keras dari seseorang. Seluruh pendekar yang
tengah berkumpul di situ, terperanjat dan menoleh ke sesosok tubuh yang
berkelebat. Para pendekar tersenyum lega melihat siapa
yang tengah datang. Hanya Ki Catrik Ireng yang tersentak kaget, setelah
mengetahui siapa yang datang
dan telah lancang menentangnya. Tanpa sadar, Ki Catrik Ireng berseru menyebut julukan pemuda yang baru tiba itu "Pendekar Gila...!"
"Dia tidak mati...!" teriak Resi Sarameskari.
"Ya! Dia telah kembali...!" pekik Dewi Pandagu saat menyaksikan kedatangan orang
yang telah menyentuh hatinya. Kecemasan yang semula menyelimuti
jiwanya, seketika hilang. Berganti dengan keceriaan yang berpadu dengan
keharuan. "Kau...! Kau belum mampus, Pendekar Gila"!"
tanya Ki Catrik Ireng dengan mata membelalak lebar.
"Belum, Ki. Rupanya Hyang Widhi belum mengizinkan aku mati," jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Mungkin belum
waktunya, Ki. Dan mungkin Hyang Widhi menggariskan agar aku hidup
untuk menumpas orang-orang sepertimu."
Mata Ki Catrik Ireng melotot mendengar katakata yang dilontarkan Pendekar Gila. Nafasnya memburu turun-naik.
"Kurang ajar! Kau tidak akan mampu mengalahkanku, Pendekar Gila!" bentak Ki Catrik Ireng gu-sar.
Sena tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dan mulutnya tersenyum-senyum
sambil kakinya berjingkrak-jingkrak.
"Aha, aku tidak berkata begitu, Ki. Aku hanya
ingin mengingatkan kalau perbuatan mu salah."
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Rupanya kau
memang harus kusingkirkan!"
"Aha, mudah sekali kau berkata, Ki! Mungkinkah itu?" tanya Sena penuh sindiran, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau sepertinya semakin takabur saja...."
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Kemarahan Ki Catrik Ireng sudah tidak dapat
terbendung lagi. Usai berkata begitu, lelaki tua berjubah hitam ini melesat
dengan serangan ganas ke arah Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang melihat lawan menyerang,
dengan segera berkelebat. Kakinya direntang ke samping, kemudian segera


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat memapaki serangan
lawan. Tangan kirinya berada di depan dada, sedangkan tangan kanannya tertekuk dengan jari-jari menya-tu ke depan.
"Heaaat...!"
Ki Catrik Ireng rupanya tidak ingin mengulurulur waktu lagi. Langsung dikeluarkannya jurus andalan yang telah mampu
mengalahkan Pendekar Gila tujuh hari lalu. Dia berharap Pendekar Gila akan mengalami hal yang sama.
Tangan kanan Ki Catrik Ireng membentuk kepala ular. Jari-jarinya menyatu hingga meruncing ke depan. Sedangkan tangan
kirinya direntangkan ke
samping. Kakinya membuka dan agak ditekuk. Kemudian tangan kanannya bergerak mematuk. Dilanjutkan
oleh tebasan tangan kiri yang membentuk ekor.
"Yeaaat..!"
"Hm, rupanya jurus 'Waringin Sungsang' yang
kau gunakan, Ki" Aha, jurus yang hebat..," ledek Pendekar Gila sambil menggarukgaruk kepala. Mulutnya
menyeringai dan terus bertingkah laku seperti seekor monyet Ki Catrik Ireng
tersentak kaget. Serangannya yang hendak dilancarkan, seketika terhenti. Matanya
melotot ke arah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Dari mana kau tahu nama jurusku, Pendekar
Gila"!" bentak Ki Catrik Ireng.
Pendekar Gila tertawa bergelak-gelak. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Kau kaget, Ki" Ah, sungguh kebetulan saja
aku tidak salah menebak nama jurus yang kau gunakan. Ah, mukamu pucat sekali, Ki. Kenapa...?"
Ki Catrik Ireng menggeram marah diledek begitu rupa. Nafasnya memburu, dan matanya melotot tajam penuh amarah.
"Tutup mulutmu! Meski kau telah tahu nama
jurusku, belum tentu kau dapat mengalahkanku.
Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng dengan cepat bergerak kembali.
Sepasang tangannya membentang lebar. Kemudian
tangan kanannya ditekuk dengan jari-jari tangan
membentuk kepala ular. Sedangkan tangan kirinya
membentang ke samping. Jari-jarinya membentuk ekor
ular. "Szzz...!" Ki Catrik Ireng mendesis bagai seekor ular. Dengan masih
cengengesan, Pendekar Gila segera menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian ditepakkan menyilang di depan kaki kiri. Gerakannya
sangat pelan dan lemas, seperti bukan gerakan ilmu
silat "Yeaaa...!"
Pendekar Gila meletakkan tangan kiri di dada.
Sedangkan tangan kanannya bergerak ke samping,
membentuk sebuah kipas. Kini tangan kanannya mengibas. Gerakannya lemas sekali, tapi hasilnya sungguh luar biasa! Dari kibasan
tangan itu, keluar serangkum angin yang menyentak kuat
Ki Catrik Ireng terperangah. Namun hatinya
yang sudah diliputi amarah tak mau peduli. Dia terus merangsek. Tangannya
mematuk. Tubuhnya meliuk-liuk laksana seekor ular buas yang siap menerkam
mangsa. Sesekali tangan kirinya menghentak, bagai
ekor ular yang siap menghancurkan tubuh lawan.
"Remuk kepalamu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wuttt! Serangan mematuk menghantam dan menendang yang gencar dari Ki Catrik Ireng, tidak membuat hati Pendekar Gila ciut.
Malah Pendekar Gila bergerak dengan lemas sekali, seperti tidak berniat membela
di-ri. Semua orang yang menyaksikan gerakan Pendekar Gila membelalakkan mata cemas. Bahkan Dewi
Pandagu sempat memekik tegang.
"Oh, mengapa dia"!"
"Hei, sejak kapan Pendekar Gila begitu lemas"!"
gumam Resi Sarameskari.
Semua pendekar dilanda kekhawatiran, menyaksikan gerakan lemas yang dilakukan Pendekar Gila. Mata mereka memandang tegang. Takut kalaukalau pendekar itu akan mengalami kekalahan untuk
kedua kalinya. "Tamatlah riwayatmu, Pendekar Gila! Yeaaat..!"
Semua semakin tercekam, menyaksikan Ki Catrik Ireng telah melesat dengan jurus mautnya. Tangannya bahkan telah membara, bagai diselimuti api.
"Celaka! Pendekar Gila bisa benar-benar mati
kali ini!"
"Tenanglah, Kawan. Kita lihat saja," bisik Resi Sarameskari.
Melihat lawan telah menyerang, Pendekar Gila
hanya tersenyum. Segera kaki kirinya diangkat, kemudian dijejakkan ke depan.
Bersamaan dengan menapaknya kaki kiri, tangan kirinya menampar ke arah
lawan. "Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu. Dikiranya
tamparan yang dilakukan oleh Pendekar Gila tak berarti apa-apa, apalagi dilakukan dengan mata terpejam. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya,
Ki Catrik Ireng mematukkan tangan kanannya yang
membara ke arah lawan.
"Mampuslah kau, Pendekar Gila! Hiaaa...!"
Tangan Ki Catrik Ireng mematuk keras. Sedangkan tangan kiri Pendekar Gila menampar pelan
dengan mata terpejam.
Glarr! "Ukh...!"
Ki Catrik Ireng mengeluh tertahan. Tubuhnya
terlempar ke belakang beberapa tombak dengan mata
membelalak kaget Serangannya ternyata dapat dihancurkan! Bahkan tamparan tangan kiri Sena yang terlihat pelan dan dilakukan
dengan mata terpejam pula,
mampu membuat tubuhnya mental beberapa tombak
ke belakang dan jatuh menimpa batu cadas yang seketika hancur. "Ha ha ha...! Mengapa kau terjatuh, Ki" Makanya, kalau mundur hati-hati...!" celoteh Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala. Mata Ki Catrik Ireng melotot marah mendengar
ejekan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus. Gigigiginya saling beradu, menahan amarah yang meluapluap. "Bedebah! Ilmu siluman! Rupanya kau telah bersekutu dengan siluman!" maki
Ki Catrik Ireng, asal jadi. Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal mendengar
tuduhan yang dilontarkan Ki Catrik Ireng. Kemudian dengan tingkah laku persis
seperti kera yang dilihat di hutan dan telah memberi pelajaran jurus
'Tamparan Sukma', Pendekar Gila berkata....
"Ki Catrik Ireng, sungguh gampang sekali kau
memutarbalikkan kata! Tentulah kau yang telah bersekutu dengan iblis! Kau siksa orang dengan seenaknya. Kau matikan perasaan dan hatinya, membuat mereka bagaikan budak-budak hina mu! Lalu, kau jadikan mereka laskar. Laskar Setan!"
"Bohong...! Mereka tetap sadar!"
Pendekar Gila kembali tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dia bersiul, entah apa
maksud siulannya. Tapi tak lama kemudian, dari sebuah bongkahan batu cadas, keluar Bidadari Cadar
Merah, Nyi Kendil, dan Prabasangka serta seorang
anggota Laskar Setan. Mereka memang telah dibebaskan Pendekar Gila atas bantuan Prabasangka.
"Benar! Orang inilah buktinya...!" seru Nyi Kendil.
Semua memandang ke arah Nyi Kendil yang
menggandeng seorang lelaki.
"Katakan, bagaimana sampai kau bisa diperdayai oleh lelaki busuk itu," perintah Nyi Kendil pada bekas Laskar Setan.
"Jangan kalian tertipu oleh mereka!" seru Ki Catrik Ireng.
"Katakanlah...!" perintah Nyi Kendil mendesak Orang itu pun dengan takut-takut
menceritakan apa
yang telah terjadi pada dirinya. Dia dan kawankawannya disandera dan jalan darah, perasaan, dan
hatinya ditutup. Membuat mereka tidak memiliki perasaan dan rasa sakit. Itu
sebabnya Laskar Setan tak
akan merasa sakit dan tak peduli dengan sikap kejam dan setiap tugas yang mereka
lakukan. "Bangsat! Kurobek mulutmu! Yeaaa...!" Dengan penuh amarah, Ki Catrik Ireng
berkelebat, siap mela-brak Nyi Kendil dan lelaki bekas Laskar Setan. Namun belum
juga tujuannya sampai, Pendekar Gila telah
berkelebat menghadangnya.
"Mau ke mana, Ki" Biarkan mereka membuka
kedokmu yang busuk dan keji!" seru Sena.
"Kurang ajar! Rupanya kau dulu yang harus
kusingkirkan!"
"Kalau kau mampu, silakan...," tantang Sena.
"Kubunuh kau! Heaaa...!"
Ki Catrik Ireng kembali menggempur dengan
jurus 'Waringin Sungsang' ke arah Pendekar Gila. Tangan kanannya mematuk-matuk
ke arah kepala dan
dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya membantu dengan menghantam bagai kibasan ekor ular.
Mulutnya mendesis-desis. Sedangkan kedua kakinya
melangkah membentuk setengah lingkaran.
Tubuh Ki Catrik Ireng bagaikan seekor ular,
meliuk-liuk dengan garang. Kedua tangannya terus
menyerang dengan jurus 'Waringin Sungsang'nya yang
dahsyat "Ku tahu ajian 'Waringin Sungsang' mu memang hebat Ki. Tapi, sehebathebatnya ilmu seseorang tentu ada yang lebih tinggi. Ilmumu adalah sadapan
dari gerak ular sanca yang hidup di Hutan Waringin...," tutur Pendekar Gila, semakin menyentakkan Ki Catrik Ireng.
"Kurang ajar! Jangan banyak bacot! Katakan
sebelum kau kukirim ke akhirat siapa yang telah
memberitahukan kepadamu"!" bentak Ki Catrik Ireng sambil terus bergerak
menyerang. "Tak ada yang memberi tahu, Ki. Hanya atas jasamu memukul ku sampai ke Hutan Waringin, menjadikan aku tahu. Dan kini kau harus bersiap. Jurusmu itu ternyata masih ada yang
mampu menandinginya.
Kau telah melihatnya tadi, bukan?" tanya Pendekar Gi-la sambil tersenyum-senyum
sambil menggaruk-garuk
kepala. "Bedebah...! Katakan, ilmu apa yang akan kau kerahkan untuk menandingi
ku, heh"! Jangan kira ilmumu akan mampu mengalahkanku! Ilmu gilamu tak
ada artinya bagiku!" ejek Ki Catrik Ireng sambil menci-bir.
"Baiklah, Ki. Kesombonganmu memang membuat mata hatimu buta! Maka hanya kematianlah yang
akan mengakhiri kesombonganmu! Ilmu 'Tamparan
Sukma' warisan kera Hutan Waringin-lah yang mampu
menandingi jurusmu! Nah, bersiaplah! Yeaaa...!"
Pendekar Gila segera merentangkan kaki kanannya ke samping. Tubuhnya miring, mengelakkan
serangan patukan dan hantaman Ki Catrik Ireng. Setelah itu, kaki kanan ditarik
lalu melangkah menyilang ke depan. Diikuti oleh tangan kanannya yang mengibas
pelan. Lalu dilanjutkan dengan hantaman telapak tangan pelan ke arah lawan.
Ki Catrik Ireng tersentak. Kakinya melangkah
mundur dua tindak. Kemudian, didahului pekikan
menggelegar, Ki Catrik Ireng kembali menyerang.
"Yeaaah...!"
Jurus yang digunakan Ki Catrik Ireng masih tetap sama. Hanya gerakannya yang semakin dipercepat, berusaha secepatnya
menjatuhkan lawan. Bahkan bila
perlu membunuhnya.
Pendekar Gila mengangkat kaki kirinya. Tangan
kirinya diletakkan di depan dada. Kemudian sambil
kaki kirinya melangkah ke depan, Pendekar Gila kembali melakukan tamparan ke arah lawannya.
Ki Catrik Ireng yang sudah merasakan bagaimana tamparan yang pelan namun ternyata mengandung kedahsyatan itu, berusaha mengelakkannya. Ki
Catrik Ireng hanya bergeser sedikit ke samping, menganggap Pendekar Gila yang matanya terpejam tak melihat. Namun....
Wuttt! Glarrr! "Ukh...! Setan...!" maki Ki Catrik Ireng dengan tubuh terpental ke belakang.
Dadanya terasa sesak
akibat serangan yang aneh itu. Matanya membelalak,
tak percaya pada apa yang dialaminya. Rasanya tidak masuk akal, kalau tamparan
pelan tangan kiri Pendekar Gila yang dilakukan dengan mata terpejam akan
mampu menghajarnya. Malah membuat tubuhnya terlempar demikian jauh.
Ki Catrik Ireng semakin kalap menerima kenyataan itu. Dirinya sudah mata gelap, tak mau peduli lagi dengan apa yang terjadi.
"Kubunuh kau! Yeaaa...!"
Ki Catrik Ireng mencabut senjatanya yang berupa bumerang kembar. Kemudian senjata andalannya
itu dilemparkan ke arah Pendekar Gila.
Melihat lawan telah mengeluarkan senjata andalan, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti. Kemudian senjata pusaka itu dilemparkannya
ke arah bumerang kembar yang menderu ke arahnya.
"Yeaaa...!"
Wuttt! Dua senjata sakti itu melesat cepat, kemudian
bertemu di udara.
Trang! Pijaran bunga api pun terjadi ketika kedua senjata itu bertemu, kemudian sama-sama kembali ke belakang. Pendekar Gila menangkap Suling Naga Saktinya yang masih utuh. Sedangkan mata Ki Catrik
Ireng membelalak menyaksikan senjatanya telah patah menjadi empat bagian dan
berguguran ke tanah.
"Kurang ajar! Aku akan mengadu jiwa denganmu! Yeaaat..!"
Ki Catrik Ireng semakin bernafsu untuk membunuh Pendekar Gila. Tubuhnya melesat ke udara, lalu menukik dengan pengerahan ajian 'Waringin Sungsang'nya. Pendekar Gila dengan Suling Naga Saktinya juga meloncat ke atas. Ditiupnya Suling Naga Sakti sambil bergerak dengan jurus
'Tamparan Sukma'.
"Yeaaa...!"
"Heh!"
Tangan kiri Pendekar Gila melakukan tamparan


Pendekar Gila 4 Duel Di Puncak Lawu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke kepala lawan. Dibarengi lengkingan Suling Naga
Sakti. Tanpa ampun lagi....
Krak! Glarrr! Tanpa sempat menjerit lagi, kepala Ki Catrik
Ireng hancur berantakan. Tubuhnya ambruk ke tanah
dan mati. Sedangkan tubuh Pendekar Gila mendarat
enteng ke tanah. Lalu didekatinya sesosok mayat Ki
Catrik Ireng. "Kau memang hebat, Ki. Sayang ilmumu yang
tinggi, telah menjadikan kau sombong dan takabur,"
gumam Sena. "Sena...!" seru Dewi Pandagu sambil berlari menghampiri pujaan hatinya. Kemudian
keduanya saling berpegangan tangan dan saling pandang.
"Aku harus pergi, Dewi. Tapi aku berjanji, kelak aku pasti menemuimu untuk
bertanggung jawab atas
semua yang telah kulakukan padamu."
"Aku ikut, Sena," pinta Dewi Pandagu. Pendekar Gila menggeleng sambil menggarukgaruk kepa- lanya yang tak gatal.
"Tidak mungkin, Dewi. Kau harus memimpin
perguruan yang diamanatkan gurumu. Nah, Kawankawan. Aku mohon pamit..!"
Usai berkata begitu, tubuh Pendekar Gila berkelebat meninggalkan mereka, menjadikan Dewi Pandagu terpaku. "Sena...! Kutunggu...!" panggil Dewi Pandagu, ketika menyadari dirinya akan
kembali kehilangan
orang yang dicintai.
Pendekar Gila menengok kemudian tersenyum
sambil menganggukkan kepala. Kemudian tangannya
dilambaikan, yang dibalas oleh para pendekar dengan pandangan penuh kekaguman.
Suasana syahdu terjadi di tempat itu, ketika
para pendekar mengetahui kalau Prabasangka telah
sadar dari semua yang pernah dilakukannya. Pemuda
yang selalu mengenakan baju berwarna kuning itu pun telah membantu Pendekar Gila
untuk membebaskan
Nyi Kendil dan Wulandari dari dalam tahanan. Bahkan Laskar Setan pun tiba-tiba
sadar dengan sendirinya.
Mereka bagaikan orang-orang yang baru terbangun dari mimpi. "Wulan, bagaimana kalau kita menikah?" tanya Prabasangka.
"Ya, Wulan. Biarlah para pendekar ini sebagai
saksinya. Dan kuharap, Resi Sarameskari sudi menikahkan anakku dengan muridku ini," pinta Nyi Kendil.
Sementara pagi bergeliat lembut dengan kawalan mentari yang mengintip dari Puncak Lawu. Sinar
kemerahan berpendar dari sudut timur, memoles wajah bumi menjadi demikian ramah.
Pagi yang cerah itu diwarnai oleh kesyahduan.
Wulandari akhirnya menurut, setelah menimbangnimbang bahwa dirinya ibarat pungguk merindukan
bulan jika mengharap Pendekar Gila. Terlebih dilihatnya tadi betapa mesranya
Pendekar Gila dengan Dewi
Pandagu. "Baiklah, kuterima lamaranmu," desis Wulandari malu-malu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 12 Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Tiga Maha Besar 13

Cari Blog Ini