Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa Bagian 2
sempurna, hingga menimbulkan angin pukulan menderu keras. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Kebo Wulung memajukan tangan kanannya, menyeruduk dengan pukulan keras. Namun, dengan cepat Galapati berkelit ke samping. Tubuhnya agak merunduk. Kemudian dengan cepat pula, pemuda tampan itu balas menyerang dengan hentakan punggung
tangan kanan ke dada lawan.
Wrt! "Heits! Hih...!"
"Heaaa...!" Dengan gerakan memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki kanannya
mengarah ke kaki Galapati.
"Haits! Hap!" Galapati segera melompat ke atas menghindari sapuan kaki lawannya.
Kebo Wulung cepat menarik tangan kanannya.
Lalu segera memiringkan tubuh ke samping, membentuk setengah lingkaran. Tangan kirinya dihentakkan,
membentuk siku dari bawah ke atas, menangkis hentakan tangan kanan lawan. Kemudian dengan gerak
memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki kanannya mengarah ke kaki Galapati.
"Heaaa...!"
"Haits! Hap!"
Bergantian keduanya saling menyerang dengan
pukulan dan tendangan yang disertai tenaga dalam.
Gerakan tubuh mereka begitu cepat. Sehingga tubuh
keduanya tampak tak jelas. Kini yang tampak hanya
bayangan warna pakaian mereka. Bayangan ungu dan
biru tua berkelebat saling serang. Kedua bayangan itu berusaha mendesak lawan
dengan serangan-serangan
dahsyat dan mematikan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Wut! Semua mata yang menonton, melotot tak berkedip menyaksikan pertarungan seru itu. Pelataran kadipaten yang semula rapi dan bersih, kini berantakan.
Rerumputan berserakan terinjak-injak kaki mereka.
Suasana yang tenang pun terpecah oleh pekikanpekikan dari keduanya yang bertarung, maupun dari
para prajurit yang menyaksikan
*** 6 Pertarungan masih berlangsung seru, meski suasana alam mulai gelap. Mentari telah tenggelam di balik bumi sebelah barat.
Meski begitu, tak menghambat keduanya untuk tetap bertarung.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....'"
Galapati kini bergerak dengan jurus 'Tari Tipak
Tilu'. Sebuah gerak gabungan antara tangan dan kaki.
Tangan Galapati menyilang membentuk gunting. Kakinya pun melakukan hal yang sama, saling menyilang. Kemudian dengan tangan dibuka mengembang
ke samping, kaki kiri pun ditarik ke samping membentuk siku. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Melihat lawan membuka serangan dengan jurus
baru, Kebo Wulung pun segera mengeluarkan jurus
yang tak kalah hebatnya. Jurus 'Kerbau Menanduk
Gunung' yang merupakan jurus pamungkas mulai digerakkan! Kedua tangannya menggenggam, kemudian digerakkan dari bawah ke atas laksana menanduk. Disusul dengan pukulan keras kedua tangan lurus ke depan. Kedua kakinya pun bergerak, merentang lebar,
lalu ditarik dan diletakkan ke depan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Keduanya kembali bergerak, berusaha saling
mengalahkan. Dengan jurus-jurus andalan, tangan
mereka bergerak cepat melakukan serangan. Galapati
menepiskan tangan kanan dengan tepukan pertama.
Disusul dengan gerakan tangan kiri menepuk, begitu
seterusnya secara beruntun.
Kebo Wulung pun tak kalah diam. Tangan kanannya dihentakkan dari arah bawah, membentuk siku mengarah ke wajah lawan. Lalu disusul dengan
tangan kirinya, memukul lurus ke dada lawan.
Plak! "Hih!"
"Ahhh...!"
Secara bergantian menyerang dan menangkis
keduanya terus bergerak menyerang. Hal itu membuat
para prajurit yang menyaksikan semakin tercengang.
Adipati Sepa Woroagung berdecak kagum. Tak menyangka kalau Galapati yang masih muda dan kelihatannya belum berpengalaman ternyata mampu mengimbangi setiap serangan yang dilancarkan Kebo Wulung. Apalagi selama ini mereka mengenal Kebo Wulung sebagai kepala prajurit yang ganas dan tak pernah terkalahkan.
"Ck ck ck...! Sungguh pertarungan yang hebat.
Pantas Galapati berani sesumbar. Ternyata pemuda
itu patut diperhitungkan," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil menganggukanggukkan kepala.
Sementara Getri Anitia yang hatinya telah terpaut pada ketampanan Galapati, kini berharap pemuda itu dapat mengalahkan Kebo Wulung. Entah mengapa, hatinya bersorak girang melihat Galapati mampu mengimbangi serangan-serangan yang dilancarkan
Kebo Wulung. Rasa cemas akan kekalahan pemuda
itu, seketika lenyap, berganti dengan rasa kagum. Bibirnya mengurai senyum.
Senyum yang penuh arti.
Sementara, Kebo Wulung terbelalak kaget ketika
mengetahui tenaga dalam lawan ternyata mampu
mengimbangi tenaga dalamnya. Seluruh tenaga dalamnya dikerahkan, untuk menarik tangannya yang
dalam cengkeraman tangan Galapati.
"Hih...!"
Bret! Akibat tarikan disertai tenaga dalam yang kuat,
seketika itu juga daging tangan Kebo Wulung terkelupas. Darah mengucur keluar dari luka besetan itu.
Semua mata terbelalak, tak percaya menyaksikan kejadian di hadapan mereka. Baru kali ini mereka menyaksikan kulit terbeset
oleh cengkeraman tangan.
Tentunya cengkeraman tangan itu dikerahkan dengan
tenaga dalam yang lebih kuat, sehingga mampu membeset kulit tangan lawan.
"Akh...!"
Kebo Wulung memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Matanya yang tajam terbelalak,
menatap tegang tangannya yang mengucurkan darah.
"Bagaimana, Kebo Wulung" Apakah kau belum
mengakui kekalahanmu?" tanya Galapati bertambah congkak. Bibirnya tersenyum
sinis, mengejek Kebo
Wulung. "Kurang ajar! Cuih! Jangan harap Kebo Wulung
menyerah begitu saja! Mari kita teruskan!" tantang Kebo Wulung. Kemudian
tangannya bergerak cepat,
menyambar senjata yang tersandar di tembok. Sebuah
senjata berbentuk kapak dengan gagang panjang. Kapak besar bermata dua itu telah banyak merenggut
korban. Tak ada lawan yang dapat selamat dari kapak
itu. Menyaksikan lawan telah mengeluarkan senjata,
dengan bibir masih mengurai senyum Galapati pun
mulai menarik senjata dari balik bajunya.
Srt! Sebuah kipas besar berwarna ungu kini telah
terbuka lebar di tangan Galapati. Dengan senyum sinis, pemuda tampan itu mengipas-ngipaskan senjatanya ke tubuh. Hal itu menjadikan Kebo Wulung bertambah marah, merasa diejek dan diremehkan.
"Cuih! Kau kira kipas butut macam itu akan
mampu menghadapi Kapak Mata Malaikat ku," dengus Kebo Wulung.
"Hm, kita buktikan, Kebo Wulung!"
"Cuh! Kubelah kepalamu, Bocah Sombong!
Yeaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan kapak besar bermata dua Kebo Wulung
kini melesat. Kapaknya diangkat ke atas, kemudian
dengan cepat diayunkan ke tubuh Galapati. Namun
belum juga kapak besar itu menurun, Galapati telah
lebih dahulu menggerakkan kipas mautnya.
Wrt! Swing, swing...!
Kebo Wulung tersentak mendapat serangan cepat dan begitu tiba-tiba. Dengan cepat lelaki bertubuh besar itu menarik
serangannya. Diputarnya kapak
bermata dua membentuk baling-baling untuk melindungi tubuhnya dari ancaman pisau-pisau kecil yang
melesat ke tubuhnya.
Trak, trak! Wrt! Trak! "Heaaa...!"
Setelah pisau-pisau kecil itu berguguran tersapu
kapaknya, Kebo Wulung yang semakin bernafsu, dengan cepat mengayunkan kapaknya.
Wrt! "Haits!"
Galapati membuang tubuh ke samping dengan
melompat. Kemudian dengan tubuh masih agak miring Galapati balas menyerang dengan kibasan kipasnya. Wrt! Asap ungu bergulung-gulung keluar dari kipas
maut. Asap itu bergerak mengejar tubuh Kebo Wulung, membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan berwajah garang itu berubah pucat. Matanya terbelalak,
setelah tahu asap apa yang keluar dari kipas maut itu.
"Racun Kelabang Ungu...!"
Ketika lawan dalam keadaan terkejut menyaksikan racun yang berbentuk asap ungu yang keluar dari
kipas mautnya, dengan cepat Galapati melesat. Kemudian dengan cepat pula kipasnya dikebutkan ke leher
lawan. Bret! Cras! "Wuaaa...!" lolongan kesakitan seketika terdengar dari mulut Kebo Wulung. Sesaat
tubuh lelaki bertubuh besar itu bergetar hebat. Lalu ambruk dengan tubuh membiru. Lehernya terkoyak hampir putus!
Tepuk sorak terdengar dari para penonton. Namun, ada di antara mereka yang terdiam, tak senang
menyaksikan kejadian itu. Seperti halnya Adipati Sepa Woroagung yang terbungkam
dengan mengulum bibir.
Dia mengira Kebo Wulung akan mampu mengalahkan
Galapati, ternyata justru keadaannya terbalik. Kebo
Wulung harus menerima kematian.
Saat itu juga, pengangkatan pimpinan prajurit
dilangsungkan. Senyum mengembang di bibir Galapati, begitu pula dengan Getri Anitia. Keduanya dengan mencuri pandang, berusaha
saling mengisyaratkan sesuatu yang ada dalam hati mereka.
*** Sementara itu, kelima lelaki tua berjubah yang
tengah mencari Galapati tiba di Desa Kembar Pacung.
Kelima lelaki tua sakti yang juga guru Galapati, pagi
itu tengah melintasi persawahan di sebelah utara Desa Kembar Pacung, ketika
terdengar suara isak tangis
seorang wanita.
"Hei, kudengar ada seorang wanita menangis,"
seru Ki Gendala.
"Hm, benar. Pagi-pagi begini ada suara tangis,"
ujar Ki Wilatika.
"Bagaimana kalau kita cari?" ajak Ki Gondra.
Kelima lelaki tua itu pun segera menuju asal suara tangis itu. Tak lama kemudian, mereka menemukan seorang gadis berpakaian hijau sedang menangis
sesenggukan seorang din di tepi sungai, di sebuah
dangau yang ada di persawahan itu.
"Kenapa kau menangis seorang diri di sini, Nak?"
tanya Ki Gendala sambil mendekati gadis cantik berpakaian hijau yang ternyata Arum Sari.
Arum Sari menyeka air matanya. Kemudian, dipandanginya kelima orang tua di hadapannya.
"Aku..., aku.... Oh, aku sudah tak ada artinya, Ki!" keluh Arum Sari.
"Heh, apa maksudmu?" tanya Ki Wilakupa dengan kening berkerut
"Aku..., aku benci pada pemuda itu. Dialah yang telah menghancurkan masa
depanku. Aku ingin mencari seorang guru, agar dapat membalas sakit hatiku,"
ujar Arum Sari sambil terus terisak-isak
"Siapa pemuda yang kau maksud, Nak?" tanya Ki Sandika.
"Galapati, Ki. Dia telah menghancurkan masa
depanku. Hu hu hu...!"
"Hhh...! Bocah keparat itu lagi! Ng.... Siapa namamu" Dan dari mana asalmu,
Nak?" tanya Ki Karadena. "Namaku Arum Sari, Ki. Aku berasal dari Desa
Swargadana."
Terbeliak mata kelima lelaki tua berjubah itu
mendengar ucapan Arum Sari. Seketika mereka teringat akan ucapan Pendekar Gila, yang menceritakan
kalau putri Kepala Desa Swargadana pun telah menjadi korban Galapati.
"Heh, apa kau putri Kepala Desa Swargadana?"
tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki. Dari mana kau tahu?" Arum Sari balik bertanya.
"Kami tahu dari Pendekar Gila, bahwa putri Kepala Desa Swargadana telah menjadi korban bocah
keparat itu," jawab Ki Wilakupa.
"Ki, tolonglah aku! Tunjukkan padaku, di mana
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku dapat menemukan guru yang sakti. Aku ingin
membalas dendam pada pemuda biadab itu," pinta
Arum Sari. "Benarkah kau mau berguru?" tanya Ki Gendala.
"Benar, Ki."
"Hm..,," Ki Gendala menggumam tak jelas. Matanya menoleh dan menatap keempat
rekannya, sepertinya Ki Gendala bermaksud minta pendapat temantemannya. Mereka mengangguk, menyetujui apa yang
direncanakan Ki Gendala.
"Baiklah, Nak. Kami akan mengangkatmu sebagai murid. Kami akan mengajarkan semua ilmu yang
kami miliki padamu. Kelak setelah selesai mempelajari semua, kami mengharap kau
mau mencari Galapati.
Bocah laknat itu harus ditangkap," ujar Ki Wilakupa.
"Ah..., benarkah?" Arum Sari tersentak gembira mendengar ucapan Ki Wilakupa.
"Ya. Kami terima kau sebagai murid," tegas Ki Gondra.
"Oh, terimalah hormatku, Guru! Akan kulaksanakan perintah Guru."
Arum Sari segera bersujud di hadapan kelima lelaki tua berjubah di depannya.
"Bagaimana kalau kita langsung menggembleng
bocah ini?" usul Ki Wilakupa.
"Setuju...!" sahut yang lainnya.
"Nah, apakah kau sanggup berlatih sekarang?"
tanya Ki Wilakupa.
"Sanggup, Guru," jawab Arum Sari penuh semangat "Baiklah. Kita berlatih sekarang. Nah, ikut aku!"
ajak Ki Wilakupa.
Ki Wilakupa mengajak Arum Sari ke tanah lapang yang ada di tempat itu. Sementara yang lain
membuat rumah dari kayu dan jerami. Mereka ingin
membuat tempat itu sebagai pesanggrahan sementara,
selama mencari Galapati sekaligus mendidik Arum Sari. Karena untuk kembali ke perguruan mereka, terlalu jauh bagi Arum Sari.
Mulai saat itu Arum Sari berlatih. Ki Wilakupa
memperagakan jurus-jurus ilmu silatnya, sedangkan
Arum Sari mengikutinya. Didorong semangat dan dendam dalam jiwanya, Arum Sari dapat mengikuti gerakan ilmu silat yang diperagakan Ki Wilakupa.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Tubuh keduanya bergerak cepat, dalam jurusjurus ilmu silat. Bahkan ketika Ki Wilakupa berhenti, Arum Sari masih terus
melakukan gerakan, mempelajari jurus-jurus yang tadi diberikan Ki Wilakupa.
Secara bergantian kelima lelaki tua itu memberikan jurus-jurus ilmu silatnya. Tak jemu-jemunya
Arum Sari menerimanya. Semakin lama bahkan gadis
itu tampak semakin memperlihatkan semangatnya.
Terus-menerus berusaha keras mempelajari jurusjurus silat dari kelima lelaki tua berpakaian jubah
yang telah mengangkat Arum Sari sebagai murid.
*** Keesokan paginya, di Bukit Semut Abang tampak
seorang pemuda berpakaian rompi kuning keemasan
tengah melangkah tenang di bawah sinar matahari pagi yang hangat. Di punggung pemuda berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu tersandang sebilah pedang.
Dilihat dari pedang dan pakaian yang dikenakan, pemuda itu tentunya orang persilatan.
Pemuda itu bernama Sunatra, murid Ki Kayaputaka yang hendak menuju Kadipaten Blambangkara.
Dia pergi ke sana atas perintah gurunya, yang kemarin lusa datang ke Kadipaten
Blambangkara. Sunatra tengah melangkah melintasi Bukit Semut Abang, ketika tiba-tiba dari arah samping kanan
berdesing puluhan anak panah.
Swing, swing...!
"Hop! Heaaa...!"
Sunatra cepat melompat dan bersalto, mengelakkan serangan tak terduga yang meluncur ke arahnya.
Tubuhnya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebelum kemudian mendarat dengan mulus di tanah. Tangannya dengan cekatan berhasil menangkap beberapa
anak panah. Matanya yang tajam, mengawasi sekelilingnya, berusaha mencari asal serangan itu.
"Pengecut! Keluarlah kalian!" bentak Sunatra sengit Swing, swing...!
Jawaban dari seruan Sunatra, berupa puluhan
anak panah melesat memburu tubuhnya. Melihat serangan itu, Sunatra kembali melompat dan berjumpalitan untuk mengelak.
"Hop! Kurang ajar! Hih...!"
Dengan tubuh masih berjumpalitan di udara,
tangannya dengan cepat melolos pedang yang tersandang di punggung.
Srt! "Heaaa...!"
Wrt! Trak, trak...! Dalam sekali kebut, puluhan anak panah terbabat pedang dan berpentalan di tanah.
"Pengecut! Keluarlah kalian!" seru Sunatra sambil mengedarkan pandangannya ke
sekitar tempat itu!
Seketika, dari balik semak-semak tak jauh dari Sunatra berada, bermunculan puluhan prajurit Kadipaten
Blambangkara yang dipimpin seorang pemuda berwajah tampan mengenakan pakaian ungu.
"Apa maksud kalian menyerangku"!" tanya Sunatra. "Kau harus dibunuh!" dengus
pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati.
"Hm.... Antara kita tak pernah terjadi sengketa.
Guru malah menyuruhku untuk menemui Kanjeng
Adipati," ujar Sunatra merasa heran dan tak mengerti.
"Untuk apa" Dan siapa gurumu?" tanya Galapati.
"Guruku Ki Kayaputaka."
"Bohong! Rupanya kau hendak menipu kami!
Prajurit bunuh dia! Dialah si hidung belang itu...!" se-ru Galapati.
Sunatra tersentak kaget mendengar perintah dan
tuduhan padanya sebagai si durjana. Sunatra hendak
membantah, tapi puluhan prajurit telah menyerang,
hingga dia tak sempat berkata lagi. Hanya ada satu jalan, menghadapi mereka.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Sunatra segera menggerakkan pedangnya dengan jurus 'Badai Mendera Buana'. Pedangnya bergerak
laksana badai yang kencang, memapaki serangan golok dan tombak yang dilancarkan para prajurit Kadipaten Blambangkara.
Wrt! Trang! Prak! "Ihhh...!"
Dalam sekali sabetan, beberapa senjata di tangan para prajurit itu patah menjadi dua. Kenyataan itu membuat para prajurit
terbelalak dan melompat mundur. "Kurang ajar! Akulah lawanmu! Yeaaa...!"
Galapati yang melihat anak buahnya tak mampu
mengalahkan Sunatra, segera melesat menyerang pemuda murid Ki Kayaputaka itu. Serangannya tak
tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya jurus andalannya yang bernama jurus 'Tari Ronggeng
Menjerat'. Tangannya bergerak menari, dengan kipas
maut berwarna ungunya.
Wrt! Dari gerakan kipas itu, keluar gulungan asap
ungu yang melesat mengejar Sunatra. Sunatra tersentak kaget, ketika tahu asap yang keluar dari kipas
maut itu. "Racun Kelabang Ungu..."!" pekiknya sambil melompat mundur, kemudian dengan
cepat pedangnya
diputar dengan jurus 'Kincir Menyapu Kabut'. Pedang
di tangan kanan Sunatra bergerak cepat, berputar laksana kincir.
Wrt! Asap ungu beracun seketika tersapu. Cahaya
gemerlap terbias ketika pedang Sunatra berputar begi-tu cepat dan keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa....!"
Galapati melesat memburu lawan. Kipas mautnya dikibaskan dengan tenaga dalam penuh. Kemudian dengan secepat kilat dihentakkan.
Wrt! Swing, swing...!
Puluhan pisau-pisau kecil terlontar dan melesat.
Sunatra tersentak kaget. Belum sempat dirinya terbebas dari serangan Racun Kelabang Ungu, mendadak
harus menghadapi serangan pisau-pisau kecil yang
keluar dari kipas besar di tangan lawan.
"Hais! Hih...!"
Tubuh Sunatra melompat dengan berjumpalitan
di udara, mengelakkan serangan pisau-pisau kecil itu!
Pedangnya terus berkelebat cepat, berputar laksana
kincir untuk menangkis serangan pisau-pisau kecil,
sekaligus menepiskan asap beracun yang juga terus
memburu dirinya.
Wut! Wut! "Heaaa...!"
Sunatra terus mengelakkan pedangnya sambil
berjumpalitan mengelakkan serangan lawan. Dia kini
benar-benar kewalahan menghadapi gempuran lawan
yang tak henti-hentinya. Serangan lawan begitu terpa-du, antara racun dan asap,
pisau-pisau, dan kibasankibasan kipasnya yang begitu cepat dan keras.
"Heaaa...!"
Wrt! Wrt! Galapati terus memburu lawan dengan kipas
mautnya yang mengeluarkan asap beracun ganas.
Keadaan ini semakin membuat Sunatra bertambah kelabakan. Sampai pada suatu ketika....
Wrt! Swing! Jlep! "Akh...!"
Tubuh Sunatra terhuyung-huyung, ketika pahanya tertancap pisau maut Wajahnya memucat dengan mata terbelalak tegang. Tubuh pemuda itu terus
limbung ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa tergetar hebat akibat hunjaman pisau beracun itu.
"Ha ha ha...! Mampuslah kau....' Hiaaa....!"
Galapati melesat hendak menghabisi nyawa Sunatra. Tubuhnya berkelebat cepat memburu Sunatra.
Kipas maut di tangannya bergerak cepat dan melebar,
membentuk mata kapak besar yang siap memenggal
leher lawan. "Hiaaa...!"
"Oh, matilah aku!" keluh Sunatra dengan wajah semakin bertambah pucat
Kipas maut itu semakin mendekat ke tubuh Sunatra yang sudah dalam keadaan terdesak hebat. Sesaat lagi, tentunya nyawa Sunatra akan melayang. Tapi.... "Hi hi hi....! Orang jahat! Heaaa....!" Ketika nyawa Sunatra dalam
keadaan terancam, tiba-tiba tampak
sesosok bayangan pemuda berambut panjang dengan
pakaian rompi kulit ular berkelebat dan menghantamkan suling berkepala naga ke kipas maut Galapati.
Wut! Bret! "Akh!"
Galapati tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa tindak ke belakang. Matanya membelalak, karena
pinggir kipasnya rusak akibat berbenturan dengan
Suling Naga Sakti di tangan pemuda bertingkah laku
seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Tikus busuk! Rupanya tindakanmu
benar-benar busuk! Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Kau"!" mata Galapati terbelalak setelah tahu siapa yang telah merusakkan kipas
mautnya. "Hi hi hi.... Mau lari ke mana kau, Tikus Busuk"!" dengus Sena dengan gerak-gerik yang masih seperti orang gila.
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Pendekar Gila!
Serang dia!" perintah Galapati pada prajurit-prajurit kadipaten, yang seketika
itu bergerak menyerang Pendekar Gila.
"Ukh...!" Sunatra mengeluh, merasakan dadanya sakit. Hal itu membuat Pendekar
Gila yang hendak
memapaki serangan lawan segera mengurungkan
niatnya. Dengan bertingkah laku seperti kera, Pendekar Gila melesat ke arah tubuh Sunatra, lalu dibopongnya tubuh murid Ki Kayaputaka itu.
"Hi hi hi...! Kurasa belum saatnya kau ku jitak, Tikus Busuk! Aku harus menolong
dia dulu," Sena pun dengan cepat melesat meninggalkan tempat itu
sambil memondong tubuh Sunatra.
"Bedebah! Jangan lari...!" bentak Galapati sambil memburu Sena. Namun, Pendekar
Gila yang menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' dalam sekejap telah lenyap dari pandangan. Kini tinggal Galapati yang mencaci-maki seorang diri. "Kita pulang...!"
Prajurit-prajurit Kadipaten Blambangkara menurut, kembali ke kadipaten meninggalkan Bukit Semut
Abang. 7 Pendekar Gila terus membopong tubuh Sunatra
meninggalkan Bukit Semut Abang. Kini dia terus menuju barat. Pendekar Gila berusaha mencari tempat
aman untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu dari
racun ganas yang menjalar di tubuhnya.
"Hi hi hi...! Tahanlah sedikit, Sobat! Kerahkan tenaga murnimu agar kau bisa
bertahan sampai di
tempat yang aman," pinta Sena sambil terus mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu',
yang membuat tubuhnya bagaikan angin melesat kencang.
"Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?"
tanya Sunatra sambil berusaha menahan jalan darahnya. Tangannya bergerak menotok urat di pahanya
yang terkena pisau beracun.
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hua ha ha...! Terlalu tinggi sebutan itu untuk-ku, Sobat. Ah, hanya orang-orang
saja yang menyebutku begitu," sahut Sena masih terus berlari.
"Oh, beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu, Pendekar Gila. Selama ini, aku membayangkan kalau kau sudah tua dengan rambut putih panjang dan jenggot putih."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Sunatra yang membayangkan kalau dirinya telah tua. Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
"Tak kusangka, kalau pendekar yang namanya
tersohor di tanah Jawa Dwipa ini masih begitu muda.
Seusia denganku," lanjut Sunatra.
Pendekar Gila kembali tertawa sambil terus melesat membawa tubuh Sunatra semakin jauh dari kaki
Bukit Semut Abang.
Tak begitu lama kemudian, Pendekar Gila yang
masih membopong tubuh Sunatra tiba di sebuah pegunungan. Mereka kini berada di dekat sebuah sungai
membentang lebar yang membagi dua wilayah. Itulah
Sungai Cipakuyu. Di sebelah timur, tempat kini Pendekar Gila berada merupakan Desa Cipatukan. Sedangkan di sebelah barat, di seberang sungai adalah
batas Desa Cibalawa. Sungai itu sangat lebar, tapi tak ada satu pun rakit.
Hm.... Tak ada jalan lain, kecuali dengan ilmu lari di atas air! Gumam Sena dalam hati. "Hop!
Heaaa...!"
Enak sekali Pendekar Gila menerjunkan tubuh
ke sungai. Mata Sunatra terbelalak, ketika melihat ka-ki Pendekar Gila menapak
di atas permukaan air, tak
terendam apalagi tenggelam bersama tubuhnya. Itulah
kelebihan Pendekar Gila dengan ilmunya yang bernama 'Peringan Raga'. Ilmu yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas itu diperoleh dari gurunya, Singo Edan, ketika Sena
digembleng di Goa Setan.
Ck ck ck..! Benar-benar pendekar sejati. Segala
jenis ilmu dimilikinya. Gumam Sunatra berdecak kagum dalam hati, menyaksikan betapa ringannya tubuh
Pendekar Gila melangkah di atas air sungai. Padahal
pundaknya memanggul tubuh Sunatra, yang berbadan
kekar, sama seperti badan Pendekar Gila. Namun bagaikan tanpa beban barang sedikit pun.
Pendekar Gila melangkah sambil tertawa-tawa.
Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Sesekali kakinya melompat-lompat, kemudian melejit bagaikan
terbang dan hinggap di tepian sungai sebelah barat
"Hop!"
"Wuah, baru kali ini mataku terbuka, Pendekar
Gila. Sungguh selama ini aku tak tahu tingginya gunung dan dalamnya laut. Rupanya kau benar-benar
pendekar sejati," gumam Sunatra memuji.
"Aha, jangan terlalu memujiku, Sobat! Tingginya gunung, tentu masih ada yang
lebih tinggi, Dalamnya
laut, tentu masih ada yang lebih dalam. Begitu juga dengan ilmu yang dimiliki
manusia. Setinggi-tingginya ilmu manusia, tentu ada lagi yang lebih tinggi.
Hanya Hyang Widhi yang berada di atas segalanya," tutur Pendekar Gila, semakin
membuat Sunatra bertambah
kagum mendengarnya. Tak pernah dia sangka, Pendekar Gila yang ilmunya bagaikan setinggi langit masih tetap merendah. Padahal
kalau pendekar lainnya, tentu akan merasa sombong.
"Sungguh baru kali ini kutemui seorang pendekar yang berhati mulia sepertimu, Pendekar Gila."
"Aha, panggil saja aku Sena, Sobat," ujar Sena.
"Ya. Baru kali ini kutemui orang sepertimu, Sena. Meskipun ilmumu bagaikan setinggi langit, tapi
kau tetap berbudi luhur."
"Hi hi hi..! Ilmu tinggi bisa menyesatkan, Sobat."
"Namaku Sunatra."
"Ya, ilmu tinggi dapat menyesatkan pemiliknya,
Sunatra. Sedangkan budi pekerti yang tinggi, akan senantiasa mengingatkan kita
pada Hyang Widhi, yang
telah mencipta alam semesta ini. Sehingga kita akan
selalu merasa kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya."
Sunatra semakin bertambah kagum mendengar
tutur kata Pendekar Gila.
"Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini
aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika keduanya sampai di Hutan
Waru Kerap. Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra di sebatang pohon dan beralaskan rerumputan. Kemudian
tubuhnya melesat ke dalam hutan untuk mencari
daun waru ungu, yang bisa menyembuhkan Racun
Kelabang Ungu. "Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini aman untuk mengobati lukamu,
Sunatra," ujar Sena ketika keduanya sampai di Hutan Waru Kerap
Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra dengan
sangat hati-hati di bawah sebatang pohon yang beralaskan rerumputan.
Tak lama kemudian, Pendekar Gila telah kembali
membawa beberapa helai daun waru ungu. Daun waru
berwarna ungu itu digilasnya dengan telapak tangan
sampai hancur dan berair. Segera Sena meneteskan
air dari remasan daun waru ungu di paha Sunatra
yang masih tertancap pisau beracun.
"Akh...!"
Sunatra terpekik. Pahanya yang terkena tetesan
air daun waru ungu dirasakan bagai terbakar. Tubuhnya menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tiada tara. Sena cengengesan. Kemudian disobeknya celana
Sunatra di sekitar bagian paha sebelah kiri.
Bret! "Hm...," gumam Sena. Tangannya dengan cepat mencabut pisau kecil beracun. Dan
setelah pisau ter-cabut, daun waru yang sudah hancur kembali diusapkan ke sekeliling bekas pisau beracun itu menancap. "Akh...!"
Sunatra kembali memekik keras, merasakan rasa
sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu diam pingsan.
"He he he...!" Sena tertawa, kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Setelah
itu segera pergi menjauh dari tempat itu. Duduk di bawah sebatang pohon
waru yang rindang sambil meniup Suling Naga Sakti
dengan merdu. Suara itu mendendangkan lagu penghayatan pada alam yang diteruskan dengan lagu kerinduan akan pertemuan.
Aku ibarat sebuah perahu
Yang tengah mengarungi samudera luas
Terombang-ambing ombak dan gelombang
Tapi perahu kecil Hu terus berlabuh....
Saat itu Sunatra tampak menggeliat, sadar dari
pingsannya. Murid Ki Kayaputaka itu tersenyum ceria.
Nampaknya luka beracun yang tadi dirasakan, kini telah hilang. Bahkan bekas biru racun telah lenyap sama sekali. Sunatra bangun dengan tertatih-tatih, melangkah mendekati Pendekar Gila yang masih hanyut dengan tiupan Suling Naga Saktinya.
"Merdu sekali suara yang kau dendangkan, Sena." "Aha, rupanya kau telah pulih, Sunatra. Syukurlah kalau begitu!"
"Apakah kita akan meneruskan perjalanan, Sena?" tanya Sunatra.
"Hm, kurasa tidak. Kau harus memulihkan tenaga dahulu," jawab Sena dengan tangan menggarukgaruk kepala. Matanya menatap ke timur, tampak
mentari merangkak naik. "Mungkin lusa kita baru berangkat"
"Tapi, aku telah pulih, Sena."
"Ah, sabarlah! Kita dalam kedudukan yang sulit.
Bisa saja tikus busuk itu akan mengerahkan seluruh
prajurit untuk memusuhi kita. Aha, sejak tadi kita tak tahu dari mana asal
kita," tukas Sena mengalihkan pembicaraan.
Sunatra tersenyum, senang hatinya melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kemudian setelah duduk di
sampingnya, Sunatra pun menceritakan siapa dirinya
dan asalnya. Juga diceritakan tempat yang hendak dituju hingga bertemu dengan Galapati.
"Guru mengutus ku pergi ke Kadipaten Blambangkara, karena guru ingin aku bisa menjaga putrinya Getri Anitia yang menjadi istri Kanjeng Adipati Blambangkara. Namun
rupanya guru tak tahu, kalau
ada seorang lelaki durjana yang telah mengaku sebagai muridnya, hingga Kanjeng Adipati menerimanya."
"Kau yakin Galapati mengaku sebagai murid Ki
Kayaputaka?" tanya Sena.
"Ya, karena guru mengatakan bahwa hanya muridnyalah yang akan diterima di Kadipaten Blambangkara." "Hm, kurasa ada maksud lain, mengapa tikus busuk itu mengaku murid
gurumu," gumam Sena
dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Mungkinkah...."
"Tepat!" sentak Sena seraya bangun dari duduknya. "Tentu tikus itu mengincar
istri Kanjeng Adipati.
Keparat! Ini tak boleh dibiarkan!"
"Ya. Maka itu, kita lanjutkan saja perjalanan ki-ta!" ajak Sunatra.
"Hm, baiklah. Ayo!" ajak Sena.
Keduanya pun segera melangkah, meninggalkan
Hutan Waru Kerap untuk menuju Kadipaten Blambangkara. "Apakah Kanjeng Adipati akan percaya?" tiba-tiba Sena menghentikan langkah.
"Kurasa jika hanya kita, Kanjeng Adipati tak akan percaya. Bisa-bisa malah kita
yang dituduh hendak membuat keonaran."
Sunatra tercenung dengan kepala menganggukangguk. Apa yang dikatakan Pendekar Gila memang
ada benarnya. Adipati Sepa Woroagung belum mengenalnya. Begitu juga Getri Anitia, tentunya tak yakin bahwa dirinya murid Ki
Kayaputaka, ayahnya.
"Kau benar, Sena. Tentu kalau kita yang ke sana, sulit sekali untuk dipercaya,"
kata Sunatra. "Lalu bagaimana?"
"Bagaimana kalau kita menemui guruku?"
"Aha, usul yang bagus!" sahut Sena. "Ayo, jangan buang-buang waktu!"
Keduanya yang tadi berhenti melangkah, kini
meneruskan langkah kakinya. Tapi mereka kini tak
bermaksud ke Kadipaten Blambangkara, melainkan
hendak menemui guru Sunatra, Ki Kayaputaka.
*** Sementara di lain tempat di Desa Kembar Pacung, nampak seorang gadis berpakaian pendekar
berwarna hijau, tengah berlatih ilmu silat. Semangat yang didorong dendam
terhadap Galapati, membuat
gadis cantik bernama Arum Sari itu bagaikan tak
mengenal lelah sedikit pun. Dia terus saja berlatih, tiada hentinya.
"Heaaa...!"
Tubuh gadis itu melompat ke sana kemari,
menggerakkan jurus-jurus ilmu silat yang diajarkan
kelima lelaki tua yang mengangkatnya sebagai murid.
Bahkan kelima lelaki tua berjubah itu kini mengawasi Arum Sari dalam berlatih.
Kelimanya mengangguk-anggukkan kepala, melihat perkembangan ilmu silat
yang dipelajari sang Murid.
"Hm, tak kusangka dia akan begitu cepat menyerap ilmu-ilmu silat kita " gumam Ki Karadena yang pedangnya tengah digunakan
untuk latihan Arum Sari.
Pedang berlekuk tiga yang bernama Ki Weling Giling
itu semakin bertambah hebat dalam genggaman tangan Arum Sari. "Ya. Tak kita sangka kalau gadis itu begitu bersemangat. Ilmu silat yang
seharusnya dipelajari dalam satu purnama, dia mampu menguasai dalam beberapa
hari saja...," tambah Ki Wilakupa.
"Mungkin karena dendamnya pada Galapati,
yang membuatnya begitu bersemangat dalam mempelajari ilmu-ilmu silat yang kita berikan. Bagaikan tak mengenal lelah," gumam Ki
Gendala. Gadis itu berkelebat cepat, menggerakkan jurusjurus yang dipelajari dari kelima lelaki tua berilmu tinggi. Arum Sari bagaikan
tak mengenal lelah sedikit pun. Dia terus berlatih tiada henti. Hal itu menambah
senang dan kagum kelima gurunya.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga'
Arum Sari kembali bergerak. Kedua tangannya menari-nari dengan lincah, seperti seorang ronggeng yang sedang menari. Pedang
berkeluk tiga bergerak menusuk dan membabat ke depan, seperti sedang menyerang ke arah lawan.
"Hup! Heaaa....!"
Wrt! Arum Sari terus menekuni jurus-jurus 'Tarian
Ronggeng Melempar Bunga'. Tangannya terus bergerak
menari-nari, diikuti liukan tubuhnya yang lemah gemulai. Tapi dari gerakan-gerakan kedua tangan dan
tubuhnya, mengeluarkan angin kencang yang menderu dan menerpa keras. Sampai-sampai rerumputan
yang ada di sekelilingnya bergoyang keras.
"Yeaaa....!"
Wut! Wut...! Tubuh Arum Sari terus meliuk-liuk dengan indah, menari-nari disertai sabetan-sabetan pedangnya yang menderu. Dalam sekejap
saja, tubuhnya telah
menghilang, terbungkus gerakan tarian yang gemulai
dan cepat "Hm, tinggal memperdalam tenaga dalamnya.
Bocah itu benar-benar akan menjadi seorang pendekar
yang tak dapat diremehkan," gumam Ki Wilakupa
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya merasa kagum menyaksikan kelincahan gerakan silat yang
sedang diperagakan muridnya.
"Ya. Jika dia benar-benar telah memperdalam tenaga dalamnya, kurasa akan menjadi gadis berilmu
tinggi. Ah, rupanya jurus-jurus yang kita ciptakan,
memang cocok untuk seorang wanita, bukan seorang
lelaki," sambung Ki Gondra.
"Ya ya. Jurus-jurus itu memang cocok untuk
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang wanita. Dan rupanya kita telah menemukannya," gumam Ki Sandika.
Begitulah, setiap hari Arum Sari berlatih dengan
tekun tanpa mengenal lelah. Bahkan hari ini, dia bagaikan tak merasakan lelah sedikit pun. Gadis itu terus memperdalam semua ilmu
yang diajarkan kelima
gurunya, dengan harapan secepat mungkin akan dapat mengalahkan Galapati, membalas sakit hatinya
atas tindakan Galapati yang telah menghancurkan
masa depannya. Mentari pagi telah mulai tinggi pertanda hari telah siang. Tapi Arum Sari bagaikan tak mau berhenti.
Dia terus berlatih dan berlatih. Keringat telah bercu-curan membasahi tubuh dan
tenaganya pun telah terkuras. Namun, tampaknya gadis itu tak menghiraukannya. Kelima gurunya semakin mengerutkan kening,
menyaksikan latihan murid mereka yang tak hendak
berhenti. Meski mentari terik memanggang tubuh,
Arum Sari tetap saja berlatih.
Baru ketika hari menjelang sore, Arum Sari
nampak menghentikan latihannya. Tubuhnya terlihat
sangat letih, membuat kelima gurunya merasa iba.
"Arum, jangan kau paksa tenagamu, Nak! Berlatihlah yang wajar saja!" tutur Ki Gendala.
"Benar, Nak. Tanpa memaksa tenagamu, asalkan
giat berlatih, dalam waktu singkat kau akan mampu
menguasai semua ilmu yang kami ajarkan," sambung Ki Wilakupa.
"Tapi, Guru. Saya ingin segera mencari pemuda
laknat itu. Rasanya hati saya tak tenteram jika belum
membuat perhitungan dengannya," sahut Arum Sari.
Kelima gurunya menggeleng-gelengkan kepala. Di
bibir mereka tersungging senyuman. Mereka bangga
bercampur tak suka jika ilmu yang mereka turunkan
hanya untuk melampiaskan dendam.
"Arum, ilmu bukanlah untuk balas dendam. Jika
kau ingin menjadi pendekar seperti Pendekar Gila, il-mu hanyalah untuk menolong
yang lemah," kembali Ki Gendala bertutur. "Tak ada artinya ilmu manusia jika
dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi, Nak"
Arum Sari menundukkan kepala mendengar penuturan Ki Gendala. Hatinya diliputi dendam yang dalam. Dendam terhadap pemuda laknat yang telah merenggut keperawanannya dengan seenaknya. Dia telah
menyerahkan hatinya, juga segenap jiwa raga, bahkan
kehormatannya, tapi pemuda itu malah mencampakkan begitu saja, seperti sampah tak berguna.
"Apakah tak boleh membalas dendam, Guru?"
tanya Arum Sari.
"Boleh, tapi harus ada batasnya, Nak," sahut Ki Wilakupa.
"Baiklah, Guru. Saya akan selalu mengingat hal
itu." "Kita istirahat Ayo!" ajak Ki Gendala.
Mereka berlalu meninggalkan tempat itu, ketika
matahari tampak telah tergelincir di balik bumi sebelah barat.
8 Hubungan cinta gelap antara Galapati dengan
Getri Anitia terus berlanjut. Meski hubungan itu masih berkisar antara pandangan mata dan berbincangbincang secara sembunyi-sembunyi, tapi cukup membuat hati Getri Anitia senantiasa bergetar hebat. Tatapan mata pemuda tampan itu
laksana panah asmara,
menusuk lubuk hatinya.
Pagi bertemu, malam mereka selalu dilanda kerinduan yang hebat. Selama itu, Getri Anitia selalu
menolak setiap kali Galapati mengajaknya berhubungan sebadan. Hal itu karena Getri Anitia takut kalau suaminya mengetahui
perbuatan mereka.
Keduanya tak tahu, kalau sebenarnya hubungan
mereka telah diketahui secara diam-diam oleh Adipati Sepa Woroagung. Tapi sejauh
itu, Adipati Sepa Woroagung berusaha menyembunyikannya. Hal itu dikarenakan belum ada tanda-tanda kalau keduanya menjurus pada perbuatan yang jauh.
Suatu hari, Adipati Sepa Woroagung yang ingin
menjebak keduanya, memanggil Galapati dan para
prajurit Kadipaten Blambangkara. Mereka dikumpulkan di bangsal kadipaten.
"Para prajurit sekalian, Baginda Raja Arwa Muda memanggilku untuk membicarakan
sesuatu hal. Untuk itu, aku diharapkan datang ke istana kerajaan.
Jadi selama aku di kerajaan, tampuk pimpinan kadipaten kuserahkan pada Panglima Galapati," kata Adipati Sepa Woroagung.
"Bagaimana, Galapati?"
"Sendika mengemban tugas, Kanjeng," sahut Galapati.
"Yang kedua, aku diundang hanya seorang diri,
karena mungkin masalah ini sangat rahasia sekali.
Jadi istriku tak boleh ikut bersamaku. Kembali aku
berikan tanggung jawab sepenuhnya pada Galapati.
Bagaimana, Galapati" Kau sanggup...?" tanya Adipati Sepa Woroagung dengan mata
menatap tajam Galapati
yang menundukkan kepala.
"Sanggup, Kanjeng."
"Bagus. Dengan kekuasaan di tanganmu, kupercaya kau akan menjalankan semua tugas dengan baik.
Nah, Diajeng. Aku mohon pamit. Mungkin dua atau tiga hari aku berada di kerajaan," ujar Adipati Sepa Woroagung pada istrinya.
"Baik, Kangmas."
"Galapati, kupercayakan semuanya padamu. Jaga kadipaten dan isinya dengan sebaik mungkin."
"Sendika, Kanjeng."
Dengan diantar lima orang prajurit pilihan yang
memang tak suka pada Galapati, Adipati Sepa Woroagung pun meninggalkan kadipaten. Sebenarnya dia
bukan mau ke kerajaan, melainkan ingin menyelidiki
desas-desus mengenai hubungan pimpinan prajuritnya dengan sang Istri.
Selama ditinggal Adipati Sepa Woroagung, untuk
sementara tampuk pimpinan di Kadipaten Blambangkara berada di tangan Galapati.
Saat itu, ketika hari menjelang sore, Galapati
yang menjadi pimpinan di Kadipaten Blambangkara
menggantikan Adipati Sepa Woroagung memanggil para prajuritnya yang berjumlah dua puluh orang. Mereka berkumpul di bangsal, di tempat Adipati Sepa Woroagung tadi mengundang mereka berkumpul.
"Prajurit, kuperintahkan pada kalian untuk
mengadakan penyerangan ke Desa Swargadana. Cari
orang yang bernama Ki Baya Kitri. Sebagian lagi, cari Pendekar Gila. Bunuh dia
kalau melawan," katanya memerintahkan pada kedua puluh prajuritnya.
Para prajurit kadipaten tersentak kaget mendengar perintah itu. Mereka tahu, Ki Baya Kitri adalah
Kepala Desa Swargadana. Hanya mereka tak mau berurusan dengan Pendekar Gila, yang sudah sering didengar kehebatannya. Tapi untuk membantah, mereka
juga tak berani.
"Panglima, kalau boleh hamba tahu, untuk apa
kita menangkap Ki Baya Kitri?" tanya salah seorang prajurit
"Jangan banyak tanya!" bentak Galapati marah.
"Di sini akulah yang menjadi pimpinan kalian. Maka itu, kuharap kalian jangan
membantah!"
"Ampun, Panglima. Bukannya hamba bermaksud
membantah, tapi apa yang Panglima katakan dan perintahkan, tak pernah kami dengar dari Kanjeng Adipati, " prajurit bertubuh tegap dengan kumis tebal kembali berbicara. Sepertinya
dia tak takut sedikit
pun pada panglimanya.
"Cuih! Berani benar kau, Wangga! Sekali lagi kau berani menentangku, tak akan
kuampuni! Cepat ker-jakan perintahku, jangan sampai aku marah!" dengus Galapati
mengancam. Para prajurit yang memang sudah tahu bagaimana kehebatan ilmu Galapati ketika menghadapi Kebo Wungu, akhirnya mereka takut juga. Mereka tak
ingin nyawanya menjadi seperti Kebo Wungu.
Dengan menggerutu dalam hati, kedua puluh
prajurit itu pun menurut Mereka segera meninggalkan
kadipaten untuk menjalankan perintah yang dikatakan Galapati, selaku pemegang tampuk pimpinan Kadipaten Blambangkara.
Sepeninggal kedua puluh prajuritnya, Galapati
segera mengunci pintu gerbang kadipaten. Di bibirnya tersungging senyuman,
karena sudah terbayang bagaimana di akan puas bergelut dengan Getri Anitia
yang cantik itu. Berulang kali dia telah mencoba, tapi selama ini Getri Anitia
berusaha menolaknya. Dan selama ini Galapati hanya mampu mengkhayal, membayangkan kemesraan bersama wanita cantik itu.
"Akhirnya kudapatkan juga tubuhmu, Getri. Ah,
telah lama aku mengkhayalkan saat-saat seperti ini.
Akhirnya tercapai juga cita-citaku," gumam Galapati
sambil melangkah masuk ke kadipaten yang kini sepi.
Tak ada siapa-siapa di kadipaten, kecuali dirinya dan Getri Anitia beserta
dayang-dayang yang berjumlah
empat orang. Urusan para dayang itu gampang. Mereka dibentak saja pasti takut. Atau diberi sedikit imbalan mereka akan menurut tutup
mulut. Apalagi, nampaknya
para dayang juga memberi angin pada Galapati yang
tampan. Asal mereka diberi bagian, sudah barang tentu mereka akan senang.
Galapati kini melangkah menuju kamar Getri
Anitia. Sejak kepergian suaminya, Getri Anitia belum muncul juga. Sepertinya
wanita cantik itu, berusaha
menunjukkan pengabdian dan kesetiaan pada sang
Suami. Tanpa permisi lebih dahulu, Galapati yang sudah
bernafsu sekali ingin bisa secepatnya merenggut kepuasan dari istri adipati itu mendorong pintu kamar.
Hal itu menjadikan keempat dayang yang sedang
membantu Getri Anitia berdandan tersentak kaget
"Kau, Galapati. Ada apa...?" tanya Getri Anitia dengan mata membelalak. Dia tak
menduga kalau Galapati akan berani masuk ke kamarnya. Mulutnya
ternganga, dengan kepala menggeleng-geleng.
"Hm...," Galapati menggumam tak jelas. Di bibirnya mengurai senyum, yang semakin
menambah ke- tampanan wajahnya. Kakinya melangkah masuk,
mendekati Getri Anitia yang semakin terperanjat menyaksikan perbuatan Galapati.
"Galapati, jangan sembrono! Ini kamar Kanjeng
Adipati," ujar Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati dari segala
tindakannya yang telah lancang, masuk ke kamar Adipati Sepa Woroagung.
Galapati bagaikan tak mendengar peringatan Getri Anitia. Ditutupnya pintu kamar itu, lalu dikuncinya. Kemudian dibuangnya anak kunci itu keluar
lewat kisi-kisi jendela. Hal itu semakin membuat Getri Anitia mengerutkan
kening, tak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki Galapati. Sedangkan keempat
dayang kini hanya mampu terdiam, menyudutkan tubuh ke sudut kamar itu.
"Galapati, apa-apaan kau"!" bentak Getri Anitia, berusaha menyadarkan pemuda
itu. Dia memang me-naruh hati pada pemuda itu, namun untuk melakukan perbuatan yang melanggar susila, Getri Anitia
masih berpikir. Namun kini, Galapati mendatangi kamarnya, dengan tatapan mata penuh birahi. Menjadikan Getri Anitia kaget, tak menyangka kalau semua
akan berjalan begitu rupa. Dia tak menyangka kalau
tanggapan Galapati lebih dari sekadar main mata, tersenyum, berbincang-bincang.
Galapati tak berkata. Kakinya semakin mendekat
ke tubuh Getri Anitia. Sorot matanya tajam, mengandung nafsu yang membara. Kemudian tangannya bergerak, menotok keempat dayang.
Tuk, tuk, tuk...!
"Ukh!"
"Akh...!"
Keempat dayang itu mengeluh lirih, seketika tubuh mereka mematung dengan mulut tak mampu digerakkan. Hanya mata mereka saja yang masih membuka, memandang tegang ke arah Galapati yang menyeringai dan semakin dekat dengan Getri Anitia.
"He he he...! Kalian menontonlah dulu. Hm, Getri. Ku tahu selama ini kau menginginkan saat-saat seperti ini, bukan" Mengapa
kau sepertinya tak butuh" Ku tahu, suamimu tak mampu memberimu kepuasan...," kata Galapati sambil membuka bajunya.
"Tidak, Gala. Jangan kau lakukan ini!" keluh Getri Anitia berusaha mundur.
Namun, ruangan kamar
itu terasa sempit, membuat gerakan tubuh Getri Anitia terbentur di tempat tidur.
Galapati tersenyum menyeringai. Kakinya semakin melangkah maju, mendekati Getri Anitia yang
membelalakkan mata. Wanita itu memang mencintai
Galapati, tapi tak mengharapkan hal seperti ini. Hatinya masih sadar, bahwa dia bersuami. Tak pantas
seorang wanita bersuami melakukan hubungan badan, bukan dengan suaminya sendiri.
"Jangan, Gala! Ku mohon, jangan lakukan itu!
Aku memang mencintaimu, tapi janganlah kau melakukannya," ratap Getri Anitia sambil naik ke tempat tidur. "He he he...! Mengapa
ada kesempatan hendak kita sia-siakan, Getri" Kau dan aku saling mencintai,
bukan" Ayolah, Manis! Kita nikmati kesempatan ini"
Galapati segera menerkam tubuh Getri Anitia.
Wanita itu menjerit, berguling ke samping untuk mengelitkan terkaman itu.
"Auw, tidak...! Gala, ku mohon jangan lakukan
itu! Aku takut, Kanjeng Adipati datang," ratap Getri Anitia berusaha menyadarkan
Galapati yang sudah
bernafsu dan kerasukan setan.
"Tak peduli. Aku tak takut dengan lelaki tua itu.
Aku harus mendapatkanmu, Getri," gumam Galapati sambil mengulurkan tangannya
menangkap tangan
Getri Anitia. Ditariknya tangan lembut itu, kemudian direnggutnya tubuh wanita istri Adipati Sepa Woroagung ke
atas tempat tidur.
"Gala, jangan! Nanti Kanjeng Adipati datang," keluh Getri Anitia berusaha
menyadarkan Galapati. Namun pemuda itu tetap tak peduli. Dia telah diburu
nafsu birahi yang menggebu-gebu. Bahkan dengan beringas dan kelihatan tak sabar, ditariknya pakaian Ge
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tri Anitia. Bret! "Awu! Nakal kau, Gala!"
"Aku tak sabar, Manis."
Bret! "Uh, jangan kasar begitu, Gala!"
Melihat Getri Anitia kini nampak menurut, Galapati semakin bertambah nafsu. Matanya menatap tajam ke mata Getri Anitia yang redup, membalas tatapan mata pemuda itu. Bahkan kini Getri Anitia mulai
mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu. Getri
Anitia seakan-akan pasrah. Apalagi dalam hatinya juga tersimpan kerinduan akan kejantanan seperti yang
kini ditunjukkan Galapati.
*** "Rupanya kau harus kukerasi, Getri," bisik Galapati sambil menciumi wajah wanita
cantik istri Adipati Sepa Woroagung yang kini telah pasrah dan membiarkan
pakaiannya dilucuti.
"Kau nekat, Gala...," desis Getri Anitia.
"Hm, karena dirimu, Sayang. Kaulah yang membuatku nekat. Sejak pertama kali bertemu, setiap malam aku tak dapat tidur, Getri," tutur Galapati merayu. Tangannya membelai-belai
rambut Getri Anitia
yang panjang terurai bergelombang. Matanya yang tajam menatap penuh nafsu ke mata Getri Anitia yang
redup. "Aku pun begitu, Gala. Oh, kalau saja kita bertemu dulu, sebelum aku dilamar Kanjeng Adipati, tentunya kita tak main kucing-kucingan seperti ini, Gala."
Galapati tersenyum sambil tangannya bergerak
liar, membelai-belai dan meremas dua buah bukit
montok di dada Galapati, yang menjadikan wanita
cantik istri Adipati Sepa Woroagung mendesis kenikmatan. "Kini pun, kita akan menikmatinya, Sayang,"
rayu Galapati dengan tangan masih terus bergerak
liar, merambah ke sekujur tubuh wanita cantik itu.
Mulutnya pun dengan lincah terus mencium dan menjilati tubuh mulus Getri Anitia.
"Tapi, bagaimana dengan keempat dayang itu,
Gala" Aku takut, mereka akan menuturkan pada Kanjeng Adipati," desak Getri Anitia merasa was-was, karena di kamar itu ada empat
saksi mata. Meskipun dalam keadaan tertotok, jelas mereka melihat apa yang
dilakukannya bersama Galapati.
"Mereka masalah gampang, Getri," gumam Galapati. Kemudian wajahnya didekatkan.
Keduanya saling
kulum. Lalu dilanjutkan dengan gelutan-gelutan yang
mengundang birahi.
"Jangan, Gala...!" desis Getri Anitia, ketika Gala-pari hendak melangkah lebih
jauh. Sementara itu, di luar kamar Pendekar Gila dan
Sunatra serta gurunya yang bernama Ki Kayaputaka
melesat ke kadipaten. Ketiganya datang dari arah barat. Dari arah utara, muncul Arum Sari dan kelima
lelaki tua gurunya. Sedangkan dari arah timur muncul Adipati Sepa Woroagung
bersama para prajuritnya.
Rupanya mereka tidak pergi ke Desa Swargadana, melainkan menyusul sang Adipati yang bersembunyi di
Desa Karajenar.
"Kanjeng Adipati...!" seru para pendekar melihat Adipati Sepa Woroagung berada
di luar. "Ssst...! Jangan ribut," desis Adipati Sepa Woroagung mengingatkan mereka.
"Tentunya durjana itu tengah berbuat tidak senonoh. Aku harus segera masuk."
"Baiklah, Kanjeng. Kami akan berjaga-jaga di
luar kadipaten."
Adipati Sepa Woroagung pun segera melesat masuk, diikuti para prajuritnya. Seketika nafasnya memburu dengan jantung
berdebar, tak mampu menahan
amarah mendengar desah dan rintihan dari kamarnya.
Kedua manusia yang diburu nafsu iblis itu terus
menggebu-gebu. Sampai akhirnya, keduanya mengeluh panjang dengan tubuh meregang. Sesaat kemudian, keduanya terkulai dengan keringat membanjir.
Tiba-tiba.... "Bedebah! Rupanya kau benar-benar iblis! Tangkap durjana itu...!"
Dari luar terdengar suara teriakan Adipati Sepa
Woroagung memerintahkan para prajuritnya.
Galapati dan Getri Anitia tersentak mendengar
seruan itu. Wajah Getri Anitia pucat pasi ketakutan.
Namun Galapati bagaikan tak menghiraukannya. Malah dengan tenang pakaiannya dikenakan, lalu tanpa
mempedulikan Getri Anitia, Galapati segera pergi lewat jendela kamar.
"Selamat tinggal, Getri! Ha ha ha...! Akhirnya aku puas. Terima kasih atas
pelayananmu!"
"Bajingan! Hu hu hu...! Durjana!" maki Getri Anitia sambil menangisi semua yang
telah terjadi. Dia
hendak memburu Galapati, tapi tiba-tiba....
Swing, swing...!
Jlep! "Aaakh...!"
Getri Anitia terpekik keras, ketika dua pisau kecil
yang keluar dari kipas maut Galapati menghunjam tubuhnya yang masih telanjang. Sesaat tubuh Getri Anitia mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa.
Adipati Sepa Woroagung yang mendengar jeritan
istrinya langsung mendobrak pintu kamar. Matanya
terbelalak ketika menyaksikan istrinya tewas dengan
tubuh tertancap dua bilah pisau beracun.
"Kurang ajar! Prajurit..!"
"Daulat Kanjeng!"
"Cari bajingan itu dan bunuh!" perintah Adipati Sepa Woroagung.
"Daulat, Kanjeng!"
Prajurit-prajurit itu pun segera berlompatan keluar mengejar Galapati. Mereka segera menyebar ke
segenap arah di sekitar kadipaten. Namun mereka tak
menemukan adanya Galapati di sekitar kadipaten. Sepertinya pemuda itu telah pergi jauh, meninggalkan
Kadipaten Blambangkara.
"Kejar keluar...!" perintah salah seorang prajurit pada teman-temannya. Mereka
segera memburu keluar lingkungan kadipaten.
"Itu dia! Tangkap durjana itu...!" teriak para prajurit ketika melihat Galapati
melompat keluar melalui pagar tembok yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Heaaa...!"
Para prajurit yang sudah marah terhadap Galapati dan terlebih dengan kejadian itu, langsung memburu Galapati. Tapi belum juga sampai, Galapati dengan cepat mengibaskan kipasnya ke arah mereka.
"Heaaa...!"
Wrt! Swing, swing...!
Jlep, jlep...! "Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Pekikan-pekikan kematian seketika terdengar ketika puluhan pisau maut menghujani tubuh para prajurit Galapati hendak melesat pergi, ketika tiba-tiba....
"Mau lari ke mana kau, Iblis"!"
9 Seorang gadis cantik berpakaian hijau dan berambut dikepang ekor kuda telah menghadang langkah Galapati dengan pedang lekuk tiga di tangan. Di
belakang gadis itu, berdiri lima lelaki tua yang sangat mengejutkan Galapati.
Sedangkan di samping kanan
sebelah gadis berbaju hijau itu, berdiri seorang pemu-da bertingkah laku seperti
orang gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di samping Pendekar Gila, berdiri dengan sorot
mata tajam lelaki muda berusia sebaya dengan Galapati. Lelaki berpakaian rompi kuning keemasan itu tak lain Sunatra, murid Ki
Kayaputaka. Berdiri di samping kiri Arum Sari, seorang lelaki
tua berjubah kuning keemasan. Lelaki tua itu ternyata Ki Kayaputaka, ayah Getri
Anitia, istri Adipati Sepa Woroagung.
"Hm..., bagus! Rupanya kalian telah kumpul
menjadi satu. Itu memang yang kuinginkan. Dengan
begitu, aku tak susah-susah membinasakan kalian!"
dengus Galapati, sepertinya tidak merasa takut sedikit pun terhadap mereka, yang
terdiri dari para pendekar rimba persilatan dan berilmu tinggi.
"Hi hi hi.... Hebat! Hebat sekali keberanianmu, Kisanak. Padahal kau seperti
tikus yang sedang dike-pung kucing. Ah ah ah.... Ternyata tikus itu sangat
berani. Hi hi hi...!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya memandang tajam ke
arah Galapati yang balas memandang ke arahnya.
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut campur
dengan urusanku!" bentak Galapati.
"Aha, kurasa jika kau mau menyerah dan menerima hukuman apa yang kau jalani, aku tak akan turut campur, Tikus Busuk! Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil
berjingkrakan seperti seekor
monyet "Kurang ajar! Kau yang pertama harus kubunuh,
Pendekar Gila! Heaaa...!"
Amarah Galapati yang terdesak oleh keadaan
meledak seketika. Dengan kipas maut, segera diserangnya Pendekar Gila.
Wrt! "Hi hi hi...! Kurasa malam ini tidak panas, Tikus Busuk. Untuk apa kau main-main
dengan kipas bututmu?" ejek Sena sambil berkelit ke samping, mengelakkan
serangan yang dilancarkan Galapati. Tubuhnya
meliuk cepat, melompat ke sana kemari bagaikan menari. Melihat Pendekar Gila membiarkan Galapati menyerang, Arum Sari yang dendamnya pada pemuda itu
tak tertahankan lagi kini melompat maju. Pedang berkeluk tiga yang ada di tangannya bergerak menyerang
Galapati. "Pendekar Gila, biar iblis ini bagianku!" dengus Arum Sari sambil membabatkan
pedangnya menyerang Galapati.
Wrt! Trang! "Hih!"
"Aits...!"
Galapati terdorong dua langkah ke belakang. Begitu juga dengan Arum Sari. Matanya terbelalak, merasakan hawa panas ketika berbenturan dengan kipas
maut di tangan Galapati. Namun dendamnya yang
membara, tak membuatnya takut. Bahkan semakin
bertambah nafsu, Arum Sari berusaha membunuh lawan secepat mungkin.
"Keparat! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Tarian Sinden Maut' Arum Sari
langsung menggebrak Galapati. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, diikuti gerakan kedua tangannya
yang lembut dan lemah gemulai. Kemudian pedang di
tangannya mulai berkelebat menusuk dan membabat
ke tubuh lawan.
"Hih!"
"Yeaaa...!"
Melihat Arum Sari mengeluarkan jurus-jurus
yang telah dikenalnya, seketika Galapati tersenyum
mengejek. Dia menganggap jurus-jurus itu tiada artinya sama sekali dibandingkan dengan jurus-jurus
miliknya. Meskipun sama-sama dari didikan kelima
orang tua sakti. Apalagi dengan kipas beracun di tangannya, tak perlu dia takut
Kipas itu telah terbukti kehebatannya.
"Percuma kau mengeluarkan jurus bututmu,
Arum! Ha ha ha...!" ejek Galapati sambil balas menyerang. Kipas di tangannya
dikebutkan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Bersamaan dengan itu, dari
kebutan kipas itu melesat asap ungu bergulung dan
memburu Arum Sari.
"Awas, Arum! Racun itu sangat berbahaya!" seru Ki Gendala mengingatkan muridnya.
"Ha ha ha...! Orang tua tolol! Kenapa tak sekalian maju, biar aku lebih cepat
mengirim kalian ke akherat!" teriak Galapati sombong. Kipas maut di tangannya
dikebutkan semakin cepat, membuat asap ungu
semakin banyak keluar dari kebutan kipas itu.
"Keparat! Kubunuh kau...!"
Adipati Sepa Woroagung yang begitu marah akibat nasib yang diterima istrinya, segera melesat menyerang Galapati. Di tangan kanannya tergenggam sebuah senjata berupa gada berduri yang langsung dihantamkan ke arah Galapati dari belakang.
Wrt! "Remuk kepalamu, Keparat! Hih...!"
"Haits!" Galapati segera memiringkan tubuh ke samping. Gada itu meleset di sisi
kanannya. Kemudian dengan cepat, kipas mautnya dikebutkan ke tubuh
Adipati Sepa Woroagung.
Wrt! Swing! Tiga pisau kecil beracun melesat ke arah lawan.
Adipati Sepa Woroagung yang tersentak kaget berusaha mengelakkan serangan, tapi tubuhnya yang terlalu
gemuk membuat gerakannya agak lamban.
"Celaka!" pekik Adipati Sepa Woroagung dengan mata terbelalak tegang,
menyaksikan dua bilah pisau
melesat ke tubuhnya. Namun, ketika nyawa Adipati
Sepa Woroagung terancam, Pendekar Gila yang sigap
segera melentingkan tubuh ke atas. Bersalto beberapa kali di udara, lalu dengan
cepat tubuhnya menukik ke bawah sambil memukulkan Suling Naga Sakti.
Wut! Trang! Pluk, pluk! Dua bilah pisau beracun itu terpental, karena
tersambar Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.
"Oh, terima kasih, Tuan Pendekar. Pemuda durjana itu harus segera kubunuh! Dia telah membunuh
istriku, setelah merayu dan menyetubuhinya!" seru Adipati Sepa Woroagung hendak
kembali menyerang.
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Pendekar Gila segera mencegahnya.
"Kanjeng Adipati tak usah turun tangan. Biarkan kami yang mencoba mengatasi,"
ujar Sena. "Tapi dia telah menghancurkan semuanya, Tuan
Pendekar."
"Hi hi hi...! Ah ah ah.... Aku pun tahu itu, Kanjeng. Tenanglah! Hanya ketenangan yang akan menyelesaikan masalah ini tanpa harus merenggut banyak
korban," tutur Sena. Kemudian tubuhnya kembali melesat ke arah para pendekar
yang tengah menyaksikan
pertarungan antara kakak beradik seperguruan karena dendam. Mendengar putrinya tewas di tangan Galapati, Ki
Kayaputaka mendengus marah. Tanpa menghiraukan
kalau Galapati kini tengah bertarung melawan Arum
Sari, Ki Kayaputaka langsung melesat menyerang dengan senjatanya yang berupa tombak bermata dua.
"Kubunuh kau, Iblis Laknat! Heaaa...!"
Kini pertarungan semakin bertambah seru, dengan masuknya Ki Kayaputaka ke arena. Arum Sari
yang tadi terdesak gempuran-gempuran Galapati, kini
agak terbebas karena serangan Galapati tertuju pada
Ki Kayaputaka. "Hm, kau pun harus mampus, Orang Tua!
Hih...!" Wrt! Galapati mengibaskan kipas mautnya. Dan saat
itu juga, gumpalan asap ungu mengandung racun semakin bertambah banyak. Asap ungu itu terus meluruk ke tubuh Ki Kayaputaka. Orang tua berjubah kuning keemasan itu tersentak kaget. Nafasnya terasa
agak sesak, akibat racun yang keluar dari kipas maut di tangan lawan.
Ki Kayaputaka berusaha menyerang dengan menyodokkan mata tombak ke tubuh lawan. Tapi dengan
cepat Galapati membabatkan kipasnya memapak tombak lawan. Wrt! Trak! "Akh...!" Ki Kayaputaka tersentak kaget dengan mata terbelalak, menyaksikan
senjata andalannya terbabat kipas besar berwarna ungu di tangan lawan.
Belum juga Ki Kayaputaka hilang kagetnya, Galapati telah kembali mengebutkan kipas besarnya ke
tubuh orang tua berjubah kuning keemasan itu.
Wrt! "Celaka!" pekik Ki Kayaputaka dengan mata terbelalak, ketika ujung kipas yang
tajam berkelebat ke lehernya. Orang tua itu telah pasrah ketika tiba-tiba Arum
Sari membabatkan pedang lekuk tiganya memapaki kipas yang mengancam nyawa Ki
Kayaputaka. "Heaaa...!"
Wrt! Trang! "Akh...!"
Arum Sari terpekik, tubuhnya terhuyung-huyung
ke belakang dengan dada terasa sakit. Matanya membelalak tegang, menatap tajam pada Galapati yang
hanya tergontai dua langkah. Tampak di mulut gadis
itu meleleh darah merah, yang menandakan kalau gadis itu terluka dalam.
Melihat muridnya terluka, kelima orang tua sakti
berjubah itu segera memburu Arum Sari. Kelimanya
segera membawa gadis itu agar menjauh dari pertempuran. "Pendekar Gila, tak ada waktu lagi. Hanya kaulah yang kami harapkan bisa meringkus bocah keparat itu!" seru Ki Gendala sambil membawa tubuh muridnya menjauh.
"Hi hi hi...! Apakah tidak sebaiknya kalian?"
tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol. "Bukankah kalian guru-gurunya?"
"Kami tak ada waktu lagi! Kupasrahkan keparat
itu padamu," sahut Ki Wilakupa.
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian ini! Aha, tapi baiklah. Bagaimanapun juga, aku
berkewajiban mengamankan tikus busuk ini," ujar Sena, yang membuat Galapati mendengus marah.
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Mari kita
buktikan! Yeaaa...!"
Galapati langsung menggebrak dengan jurus andalannya 'Tari Tipak Tilu'. Tangannya bergerak cepat, menepak bergantian dengan
tenaga dalam penuh ke
arah Pendekar Gila.
*** Mendapat serangan lawan yang bersenjatakan
kipas maut beracun, tak membuat Pendekar Gila gentar. Meski dia tahu kipas besar itu bukan senjata
sembarangan, Pendekar Gila dengan tenang bergerak
mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari,
mengimbangi gerakan lawan. Hanya saja kalau lawan
bergerak cepat dan garang, Pendekar Gila bergerak
lamban dan halus. Sesekali tangannya menepuk ke
dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Salah satu jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang sangat aneh dan dahsyat
"Hi hi hi...! Mau nubruk kodok, Tikus Busuk" Hi hi hi...!"
Dengan masih tertawa cekikikan, Pendekar Gila
terus berkelit dengan tubuh meliuk-liuk seperti mena-ri. Tubuhnya agak
dibungkukkan ke bawah, kemudian
ketika melihat kesempatan, tangannya ditepukkan ke
dada lawan. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Kini semuanya tak ada yang berani ikut campur.
Semua hanya bisa menyaksikan bagaimana Pendekar
Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar
yang dilancarkan Galapati.
Sekeliling Kadipaten Blambangkara yang semula
hening dan sepi, seketika berubah menjadi riuh. Banyak pepohonan yang gugur daunnya akibat kibasankibasan maut di tangan Galapati.
Serangan Galapati semakin bertambah keras dan
garang, setelah beberapa kali serangannya tak mampu
bersarang di tubuh lawan. Serangannya yang ganas,
bagaikan tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila, hal itu membuat Galapati
kian penasaran, apalagi melihat gerakan ilmu silat Pendekar Gila yang aneh.
Gerakan ilmu silat Pendekar Gila sepertinya lemah, tapi ketika menyerang
sentakannya terasa sangat kuat.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wrt! Galapati terus mengibaskan kipas mautnya dengan cepat. Kebutannya mengeluarkan angin panas,
menderu keras ke tubuh Pendekar Gila. Tapi dengan
cepat Pendekar Gila berkelit, meliukkan tubuhnya ke
bawah. Kemudian disusul dengan tepukan yang menyentakkan lawan.
"Kurang ajar! Aku akan bertaruh nyawa denganmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Wrt! "Uts! Hi hi hi...! Apa maumu, kuterima, Tikus
Busuk. Hi hi hi...!"
Dengan masih bertingkah laku seperti orang gila,
Sena terus berkelit mengelakkan kibasan kipas maut
lawan yang dia tahu cukup berbahaya. Kemudian setelah terbebas dari kipas lawan, dengan cepat Pendekar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'. Tangan Pendekar Gila bergerak bagaikan melempar dengan cepat dan susul-menyusul. Galapati tersentak kaget. Dari gerakan tangan lawan, angin menderu susul-menyusul, menghujani tubuhnya.
Mendapatkan serangan aneh itu, Galapati tak
tinggal diam. Kipasnya semakin dibuka lebar-lebar.
Lalu dengan mengerahkan tenaga, kipasnya dikibaskan dengan jurus 'Ekor Merak Merintang Angin'.
"Yeaaa...!"
Wrt! Glarrr...! Dua kekuatan bertemu, menimbulkan suara
menggelegar. Tanah di atas pertemuan dua kekuatan
itu hancur bagai terkena ledakan. Baik Pendekar Gila maupun Galapati melompat
lima langkah ke belakang.
Sesaat keduanya saling bertatapan dengan pandangan
mata tajam. "Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Tingkahnya semakin
membuat Galapati bertambah marah. Tubuhnya berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Heaaa...!"
Tubuh Galapati melesat memburu Pendekar Gila.
Kipas mautnya kini siap untuk dikibaskan. Dengan
jurus 'Braga Wreda' yang mengandalkan kipas mautnya, Galapati menerjang Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Ada juga tikus bisa loncat," ejek Pendekar Gila. Lalu dengan cepat
tubuhnya digerakkan
memutar ke kiri dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
"Yeaaa...!"
Wrrrs...! "Yeaaa...!"
Wrt! Kipas maut dikibaskan cepat dan menghentak ke
tubuh Pendekar Gila yang berputar dengan cepat. Melihat lawan mengibaskan kipasnya, Pendekar Gila
yang tak mau mati percuma, segera mencabut Suling
Naga Sakti. Kemudian dengan cepat kipas lawan dipapakinya. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Wrt! Prak! "Akh...!"
Galapati tersentak. Tubuhnya terlontar ke belakang. Bersalto beberapa kali di udara, kemudian dengan agak terhuyung mendarat di tanah. Matanya terbelalak, menyaksikan ujung kipasnya hancur akibat
berbenturan dengan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. "He he he...! Kenapa kau masih memegangi kipas
bututmu, Tikus?" ejek Sena sambil cengengesan.
"Cuh! Jangan kira aku dapat kau kalahkan, Pendekar Gila! Mari kita tentukan, siapa yang melayang
ke akherat!" dengus Galapati marah.
"Hi hi hi...! Rupanya kau tak betah hidup di dunia ini, Tikus Busuk?" sahut
Sena, yang membuat Galapati kian bertambah marah. Napas Galapati mendengus keras. Gigi-giginya beradu, menimbulkan suara gemerutuk keras. Wajahnya memerah, terbakar api
amarahnya. "Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Yeaaa...!"
Wrt! Swing, swing...!
Puluhan pisau kecil beracun, seketika melesat
dari kipas maut beracun yang ujungnya telah hancur.
Pisau-pisau kecil itu meluncur dan memburu Pendekar Gila. "Edan! Permainanmu rupanya masih ada, Tikus
Busuk! Hi hi hi...!"
Sambil melompat ke atas mengelakkan seranganserangan pisau-pisau maut itu, Pendekar Gila mengirimkan pukulan saktinya ke arah lawan.
'"Inti Api'. Heaaa...!"
Wsss...! Segulungan api membara melesat ke tubuh Galapati. Pemuda berpakaian ungu itu tersentak, lalu
dengan cepat menggerakkan kipasnya ke atas untuk
menangkis serangan itu.
Wrt! Protsss! 'Inti Api' yang dilancarkan Pendekar Gila tak
bermanfaat sama sekali. Pukulan sakti itu musnah,
tersapu kibasan kipas Galapati. Bahkan kini deru kipas itu kembali memburu Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Wrt, wrt...! Galapati melesat cepat dengan kipas maut di
tangannya, membabat Pendekar Gila yang masih melayang di udara. Kipas yang mengeluarkan angin pukulan panas, terus memburu leher Pendekar Gila.
Melihat Galapati menyerang dengan cepat dan
ganas Sena segera memapaki serangan lawan. Suling
Naga Sakti yang sejak tadi telah tergenggam di tangannya, segera ditempelkan di bibir. Kepala Naga Sakti diarahkan ke tubuh lawan.
Kemudian ditiupnya dengan suara melengking tinggi.
Slarts...! Dua larik sinar merah kecil keluar dari kedua
mata kepala Naga Sakti. Kedua sinar merah itu terus
melesat memburu Galapati.
Melihat dua larik sinar merah memburu dirinya,
dengan cepat Galapati merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula kipasnya dikibaskan, berusaha menghalau kedua sinar merah itu.
"Yeaaa...!"
Slarts! Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika
sepasang sinar merah menghantam kipas maut di
tangan Galapati. Tubuh Galapati terlempar ke belakang tiga tombak. Matanya terbelalak, menyaksikan
kipas mautnya hancur berantakan, bahkan hangus
terbakar sinar merah yang keluar dari kepala Naga
Sakti. Bukan hanya Galapati yang membelalakkan ma
Pendekar Gila 15 Durjana Berparas Dewa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ta, tapi semua orang yang menyaksikan kehebatan
Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila, turut tak-jub dan kagum dengan mulut
melongo. Merasakan kipas mautnya tak ada manfaatnya
lagi, seketika ciutlah nyali Galapati. Pemuda itu berusaha lari meninggalkan
arena pertarungan, namun
Arum Sari yang sudah pulih dari luka dalamnya segera mengejar. "Mau lari ke mana, Bajingan"!"
Kejar-mengejar antara Arum Sari dengan Galapati pun terjadi. Diikuti para pendekar yang sejak tadi menyaksikan pertarungan
itu. Bahkan Adipati Sepa
Woroagung turut berlari mengikuti mereka.
*** Galapati yang sudah tak memiliki kehebatan setelah senjata andalannya hancur berantakan, terus
berlari. Dia tak hendak mati konyol.
"Jangan lari, Pengecut!" seru Arum Sari sambil terus mengejar Galapati yang
terus berlari. Pendekar Gila terus mengikuti mereka yang
memburu Galapati. Sebenarnya Galapati bisa saja dikejarnya, namun Pendekar Gila menyadari kalau kini
yang berurusan dengan Galapati tak lain Arum Sari
dan kelima gurunya serta Adipati Sepa Woroagung,
dan juga Ki Kayaputaka. Sehingga Pendekar Gila
hanya mengikuti gerakan mereka mengejar Galapati.
Arum Sari yang sudah marah terus mempercepat
larinya, disusul kelima gurunya dan Adipati Sepa Woroagung serta Ki Kayaputaka. Sedangkan Pendekar Gila dan Sunatra nampak berada di belakang mereka.
Galapati yang ketakutan terus berlari, sampai
akhirnya dia kini tiba di tepi laut Kecemasan semakin membayang di wajahnya,
karena kini tak ada lagi ba-ginya untuk kabur. Di hadapannya terbentang lautan
luas. "Tak ada tempat bagimu, Biadab!" bentak Arum Sari dengan sengit.
Merasa tak ada lagi jalan untuk meloloskan diri,
Galapati dengan nekat menyerang Arum Sari.
"Kalian harus mampus! Heaaa....!"
"Yeaaa....!"
Wrt! Arum Sari yang sudah kalap, dengan cepat memapaki serangan Galapati dengan babatan pedangnya.
Hingga Galapati yang menyerang disertai rasa cemas,
tak mampu mengelak dari tebasan pedang Arum Sari.
Cras! "Aaakh...!"
Galapati terpekik, ketika tangan kanannya terbabat pedang berlekuk tiga di tangan Arum Sari. Tidak hanya sampai di situ,
dengan geram Arum Sari kembali membabatkan pedangnya ke leher Galapati.
"Kubunuh kau, Bajingan! Heaaa...!"
Wrt! Crak! "Aaa...!"
Lolongan kematian terdengar dari mulut Galapati, ketika pedang berlekuk tiga menebas lehernya. Seketika kepala Galapati
menggelinding. Tubuhnya yang
berlumur darah sesaat meregang, kemudian ambruk
tanpa nyawa. "Ha ha ha...! Kini aku puas! Puas...!" teriak Arum Sari bagaikan orang gila
sambil mencengkeram kepala
Galapati. Lalu dibawanya kepala pemuda itu berlari
meninggalkan para pendekar yang terlongong bengong. Semua menghela napas, merasa iba menyaksikan beban batin yang diderita Arum Sari. Bahkan
Pendekar Gila nampak sedih menyaksikan penderitaan Arum Sari. Gadis cantik itu akhirnya harus mengalami guncangan jiwa yang berat.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Kau memberi
ketabahan padanya," gumam Sena masih terpaku di tempat itu bersama Adipati Sepa
Woroagung, Ki Kayaputaka dan muridnya serta para prajurit Kadipaten
Blambangkara. Sementara, kelima orang tua sakti kini mengejar Arum Sari.
Gelombang laut terdengar pilu, ketika dari ufuk
timur lamat-lamat terlihat sinar kuning kemerahan
muncul di atas permukaan laut.
Pendekar Gila, Adipati Sepa Woroagung, dan Ki
Kayaputaka serta Sunatra melangkah perlahan meninggalkan pesisir laut pasir putih.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pertemuan Di Kotaraja 5 Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama