Ceritasilat Novel Online

Gerhana Di Malam Jahanam 1

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam Bagian 1


GERHANA DI MALAM
JAHANAM Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Gerhana Di Malam Jahanam
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Di sinikah tempatnya?" si penanya adalah
seorang penunggang kuda berbadan tinggi tegap,
berkumis jambang serta bawuk. Muka berminyak
dan berpakaian serba hitam gombrang.
"Bukan. Bukan di sini!" jawab penunggang kuda yang berada di sebelahnya dengan
suara gemetar dan muka berubah pucat.
"Menjauhlah kau...!" perintah laki-laki berpakaian hitam gombrang itu pada
pemuda berpa- kaian kuning yang di bagian punggungnya membekal sebuah topi besi bergerigi mirip gergaji. Kalangan persilatan mengenal
pemuda berpakaian
serba kuning ini sebagai si Topi Terbang. Katakata yang sangat pendek itu sudah cukup bagi si
Topi Terbang sebagai awal dari keganasan laki-laki berpakaian serba hitam ini.
Kuda tunggangan me-ringkik keras saat laki-laki berwajah angker mulai
mengerahkan kesaktian yang dimilikinya.
"Whuuuu...!"
Lidah api menyembur dari mulut laki-laki
itu, tak dapat dicegah lagi langsung menyambar
rumah gubuk berbentuk bulat yang jumlahnya
mencapai puluhan buah. Terdengar pekik dan jerit
kematian disertai dengan berhamburannya beberapa sosok tubuh berkepala botak berpakaian serba putih. Mereka yang keluar dari dalam gubuk
beratap ilalang begitu mengetahui penyebab dari
kejadian yang ada. Langsung saja mengepung dua
orang penunggang kuda sambil keluarkan katakata yang tidak dimengerti oleh laki-laki berpakaian serba hitam dan si Topi Terbang. Walaupun
keduanya tidak dapat menangkap arti pembicaraan mereka. Namun si laki-laki berpakaian gombrang itu menyadari puluhan pemuda berpakaian
putih serta berkepala botak itu sedang di landa
kemarahan. Sambil tertawa tergelak-gelak, lakilaki bertampang sadis itu memberi perintah pada
si Topi Terbang
"Topi mautmu mungkin masih cukup berarti untuk mencopoti kepala demit putih yang tiada
berambut itu!"
"Maha Diraja Setan Bumi hendak ke mana?" tanya si Topi Terbang dengan sesungging senyum kecut.
"Rumah-rumah tiada guna itu hanya bikin
rusak pemandangan saja. Lebih baik kalau kubakar semuanya." berkata sambil tertawa-tawa seperti itu. Laki-laki berpakaian
serba hitam itu
langsung menggebrak kudanya. Beberapa orang
pemuda berkepala serba gundul yang coba-coba
menghalanginya langsung di terjang dengan semburan-semburan lidah api yang keluar lewat mulutnya. Mereka langsung terbakar, beberapa orang
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Lakilaki berpakaian serba hitam yang memiliki julukan Maha Diraja Setan Bumi terus
menggebrak kudanya melaju ke arah rumah-rumah yang masih
tersisa. Begitu sampai di gang-gang Raja Diraja Setan Bumi kembali semburkan api
dari mulutnya. Dalam waktu singkat, gubuk-gubuk darurat itu telah berobah menjadi lautan api.
Sementara itu di bagian lain, si Topi Terbang dengan tawa bergelak-gelak mulai melemparkan senjatanya yang berupa topi bergerigi tajam ke arah belasan pemuda berkepala gundul
yang melakukan pengeroyokan atas dirinya.
Jeritan-jeritan kematianpun mulai terdengar di mana-mana. Anehnya topi yang terbuat dari
baja pilihan itu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya. Lebih jelasnya lagi setelah, membabat
putus bagian tubuh lawan-lawannya, topi itu dapat ditarik kembali ke arah pemiliknya. Padahal
pada topi tersebut tidak terdapat adanya tali pen-gikat atau sejenis itu. Sebuah
kejadian langka
yang menandakan pemiliknya pastilah memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Dalam kesibukannya membasmi para lawan-lawannya, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Hentikan...!"
Si Topi Terbang langsung hentikan sepak
terjangnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Maha Diraja Setan Bumi. Dengan keangkuhannya
dan semburan-semburan api yang keluar lewat
mulutnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu terus melakukan pembakaran hingga
rumah-rumah yang dibangun secara darurat itu tiada bersisa la-gi. Setelah merasa puas dengan
pekerjaannya, laki-laki itu kembali menggebrak kudanya. Hanya
dalam waktu sesaat ia telah kembali bergabung
dengan si Topi Terbang.
"Siapa kunyuk yang menghentikanmu, Topi
Terbang...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan
suara berwibawa.
Si Topi Terbang menunjuk ke satu tempat
yang tidak begitu jauh di belakangnya. Laki-laki
berpakaian hitam gombrang ini mengekor dengan
sudut matanya. Lalu nampak olehnya seorang laki-laki tua berpakaian serba putih berkepala gundul. Sedangkan di tangannya memegang sebuah
tasbih dan sebuah tongkat yang sewaktu-waktu
dapat dipergunakannya sebagai senjata yang ampuh. "Botak. Kaukah yang telah melarang pengikutku mencopoti kepala mereka?"
bentak Maha Diraja Setan Bumi dengan mata melotot wajah, kelam membesi. Melihat penampilannya pastilah laki-laki berbadan kekar berpakaian serba putih dan berkepala gundul ini merupakan
pimpinan dari semua mereka yang terbunuh.
"Amitaba. Baru di daratan Jawa Dipa ini
semua pengikutku mendapat perlakuan sekeji ini.
Batara yang agung pasti akan mengutuk kalian
berdua." cetus laki-laki bertasbih ini tanpa ekpresi.
"Kurang ajar. Kau orang asing di sini, tak
perlu berkotbah padaku. Cepat jawab pertanyaanku...?" bentak Maha Diraja Setan Bumi semakin bertambah marah.
Laki-laki bertasbih ini rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Dari sorot matanya yang
penuh welas asih. Jelaslah kalau ia merupakan
seorang pemuka agama yang memiliki kesabaran
luar biasa. "Aku melarang tindakan kawanmu itu. Karena orang-orang yang dibunuh oleh pemuda berbaju kuning merupakan para pengikutku yang tidak pernah kuajarkan ilmu silat sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang kudidik ke jalan lurus, yang kelak di kemudian hari akan membawa
satu umat pada kehidupan yang tenteram dan
damai." "Kurang ajar. Kedatanganmu ke tanah leluhur kami, dan memasuki daerah kekuasaanku.
Kiranya hanya ingin mempengaruhi mereka dengan sesuatu yang tidak kami mengerti. Tahukah
kau bahwa mereka semua tunduk dan patuh di
bawah perintahku. Kuperingatkan padamu untuk
segera meninggalkan tempat ini." perintah Maha Diraja Setan Bumi.
Namun laki-laki berkepala gundul ini gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Amitaba. Aku hanya seorang Biksu, tak seorangpun yang dapat menghalangi semua rencana baikku. Sungguhpun dia seorang Maha Diraja Setan Bumi sekalipun." kata laki-laki berkepala gundul yang memiliki nama
pribumi Asoka itu tegas. Semakin bertambah gusarlah Maha Diraja Setan Bumi demi mendengar ke-tegasan laki-laki itu.
"Ha... ha... ha...! kalau kau telah mengetahui gelar namaku. Mengapa tidak cepat-cepat
menjatuhkan diri menyembah?"
"Anda bukan seorang Dewa yang patut di
sembah. Kalaupun aku menyebut nama itu, semuanya hanyalah secara kebetulan belaka. Nah
kukira sudah cukup bagi kalian untuk tidak
menghalangi semua langkah yang telah kuputuskan!" "Keparat. Kedatanganmu ke tanah leluhur
kami hanya mengantar nyawa secara sia-sia." kata Maha Diraja Setan Bumi.
"Dari pada kelak di kemudian hari menjadi
bibit penyakit. Lebih baik sekarang saja kita bina-sakan manusia gundul yang
satu ini." si Topi Terbang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
dalam pembicaraan itu. Kini mulai ikut bicara.
"Menurutmu apakah dia pantas menjadi lawanku?" tanya Maha Diraja Setan Bumi pada si Topi Terbang.
Dengan cepat sekali laki-laki berpakaian
serba kuning menyahut:
"Tikus gundul bukan lawan yang pantas
bagi yang mulia. Dia lebih pantas berhadapan
dengan diriku."
"Kalau begitu hajar dia. Sementara aku
sendiri akan berangkat ke Utara menemui Kanjeng
Guru." "Jangan khawatir. Saya pasti segera melaksanakan tugas dengan baik..."
kata laki-laki berpakaian serba kuning menyanggupi.
Tanpa menoleh lagi Maha Diraja Setan Bumi menggebrak kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda dan penunggangnya sudah tidak terlihat lagi
dari pandangan si Topi Terbang dan Biksu Asoka.
Kini setelah kepergian Maha Diraja Setan
Bumi kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Kau selalu merasa yakin dengan kekuatan
yang kau miliki?" tanya Asoka seolah meragukan kemampuan yang dimiliki oleh
lawannya. "Hia... ha... ha...! Si Topi Terbang tak pernah merasa ragu menghadapi lawan yang bagaimanapun hebatnya." cetus laki-laki muda berpakaian serba kuning itu jumawa.
"Sayang. Sebagai penyebar kebaikan aku
tak perlu melayanimu!" ujar Asoka secara tiba-tiba memberi keputusan.
"Huh, membunuh seorang asing sepertimu
tak perlu kau harus melayani atau tidak. Bagiku
yang paling penting kau harus mati." teriak si Topi Terbang.
Ziiing...! Serta merta senjata maut di tangannya melesat ke udara. Asoka si pendeta Asing itu menyadari betapa hebat senjata yang dimiliki oleh lawannya. Ia tak ingin bertindak gegabah. Itu makanya begitu merasakan adanya sambaran angin
kencang berhawa panas ke arah dirinya. Tak ayal
lagi Asoka lemparkan tubuhnya ke samping kiri.
Tiada buang-buang waktu ia terus bergulingan
menghindari terjangan Topi Baja yang bergerigi tajam di bagian sisi-sisinya.
"Weees...!"
Senjata itu kembali menyambar ke arah laki-laki berkepala gundul ini. Padahal waktu itu posisinya masih dalam keadaan
menelentang di atas
tanah. Ia sudah dapat memperhitungkan andai ia
terus bertahan dalam keadaan seperti itu sudah
pasti tubuhnya akan menjadi makanan empuk
senjata yang dilemparkan oleh si Topi Terbang.
Berpikir sampai ke situ, Biksu Asoka pergunakan toyanya untuk memapak datangnya senjata yang terus memperdengarkan bunyi mendengung itu. Craang! Terdengar suara benturan yang amat keras
manakala dua senjata yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu saling bertemu. Anehnya meskipun
begitu, senjata topi baja milik pemuda berpakaian kuning itu terus melesat dan
kembali kepada pemiliknya.
Creep! Masing-masing lawan sama-sama tertegun.
Mereka menyadari dalam benturan senjata tadi
ternyata tenaga dalam yang mereka miliki tidak
terpaut jauh. "Kuperingatkan sekali lagi padamu janganlah terlalu memaksakan diri!" kata Asoka. Si Topi Terbang meludah ke tanah
beberapa kali. "Jangan coba-coba menggertak si Topi Terbang, Biksu gundul! Sekali saja aku mengatakan
kesanggupanku untuk membunuhmu, dengan cara apapun kau harus mampus." maki pemuda
berpakaian serba kuning ini, lalu memutar-mutar
topi mautnya. Dengan nada merendahkan diri, Asoka berucap: "Amitaba. Kiranya anda bukanlah pendekar bijak. Ketahuilah tuan, bukan
aku bermaksud menakut-nakuti dirimu." sekejap laki-laki berkepala gundul ini
hentikan ucapannya. Sekejab diperhatikannya si Topi Terbang dengan tatapan penuh
welas asih. "Namun andaipun anda berhasil mem-bunuhku, orang-orang sealiran
denganku yang memiliki kepandaian sangat tinggi pasti akan menuntutmu. Menurut hematku, alangkah lebih baik
lagi andai saudara mengurungkan niat yang san

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gat keji itu." sambungnya kemudian.
"Jahanam." si Topi Terbang bentakan kakinya di atas tanah. Karena pada saat melakukan
gerakan seperti itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Maka seketika itu
juga daerah di sekitarnya terasa bagai dilanda selaksa gempa. Biksu Asoka hanya
tersenyum saja melihat si Topi Terbang unjuk gigi di depannya.
"Pendeta gadungan. Bersiap-siaplah untuk
menghadapi ketajaman topiku yang telah membuat putus ratusan kepala ini."
"Amitaba, bicaramu benar-benar terlalu
sembrono saudara." ujar Biksu Asoka dengan kedua mata terbelalak. Saat itu
senjata di tangan
pemuda berpakaian serba kuning telah melesat
sedemikian cepatnya. Hingga tahu-tahu jaraknya
hanya tinggal satu tombak saja dari Asoka. Lakilaki berusia lima puluh enam tahun melentingkan
tubuhnya ke udara. Senjata itu terus meluncur deras dan menghantam sasaran kosong di belakangnya. Sebagaimana pertama tadi, kali inipun setelah menghantam sebuah batu cadas di belakang
Asoka tadi. Kali ini kembali meluncur kembali ke
pemiliknya. Ketika senjata itu sampai di tangan
pemiliknya, pada saat yang sama Asoka juga menjejakkan kakinya di atas tanah.
"Hebat. Kau benar-benar memiliki kepandaian yang mengagumkan. Sayangnya kau bukanlah pendekar berhati lurus. Sungguhpun aku tidak
mempunyai persoalan apapun denganmu. Tetapi
karena kau terlalu memaksaku, kurasa tidak ada
salahnya kalau aku membela diri" kata Asoka.
"Hua... ha... ha...! Perlawanan darimu, itulah yang kuharapkan sejak dari tadi manusia berkepala gundul!" bentak si Topi Terbang di antara gelak tawanya.
Dalam saat-saat selanjutnya Asoka mulai
membuka jurus-jurus silatnya yang memiliki variasi begitu banyak. Dengan mempergunakan toya
sebagai senjata andalan. Di dukung oleh permainan tasbih yang mengagumkan. Sementara itu
dengan tujuan ingin mengetahui kehebatan yang
dimiliki oleh lawannya, si Topi Terbang mencabut
sebilah pedang pendek yang juga bergerigi di bagian sisi-sisinya. Dengan senjata ini ia membuka
serangan-serangan gencar yang tak kalah berbahayanya dengan senjata andalannya 'Topi Terbang'
"Heaaat. Caiiit!"
"Huaaa ambrol perutmu." teriak si Topi Terbang menusukkan pedangnya mengarah
pada ba- gian perut. Dengan mudah Asoka masih mampu
mengelit serangan yang datangnya begitu cepat.
Begitu serangan luput, pemuda berpakaian kuning
ini lakukan satu babatan ke bagian kaki. Asoka
memang tak menduga dengan datangnya serangan
beruntun ini. Ia menjadi gugup namun dengan sepenuh tenaganya ia putar toyanya untuk melindungi bagian kaki.
Traang...! Terdengar suara pekikan tertahan di sertai
dengan berkelebatnya senjata bergerigi yang terbuat dari baja pilihan milik si pemuda.
Nguuuung Terdengar suara mengaung keras saat topi
itu melayang cepat ke arah sasarannya. Asoka kali ini benar-benar mati kutu.
Dalam pertarungan jarak dekat seperti itu sama sekali ia tiada menduga kalau
lawannya melepaskan topi maut yang telah
merenggut banyak korban itu. Sambil berjumpalitan Asoka hantamkan tasbihnya.
"Craak. Plaaar..."
Tasbih ditangannya hancur berkepingkeping. Sebelum ia sempat mendaratkan kakinya
di atas tanah, pada saat itu si Topi Terbang kembali melemparkan senjata mautnya.
Nguuung. Craaas...!
Tangan Asoka terkutung sebatas siku. Toya
di tangannya mental ke udara bersama-sama kutungan tangannya yang menghamburkan begitu
banyak darah. "Amitaba...!" jerit Asoka. Tubuhnya tergetar, lebih dari itu darah cepat sekali
merembas dari ku-tungan tangannya. Lebih cepat dia menotok jalan
darahnya untuk mencegah agar darah tidak banyak yang keluar. Pada saat itu pemuda berpakaian serba kuning tertawa-tawa. Kesempatan
yang hanya beberapa saat itu dipergunakan Asoka
untuk melarikan diri.
"Hei! Kurang ajar." maki si Topi Terbang begitu melihat lawannya tiba-tiba saja
telah lenyap dari hadapannya. "Ha... ha... ha...! Senjata mautku mengandung
racun yang sangat ganas. Kau tak
mungkin terlepas dari belenggu maut." kata si Topi Terbang. Baginya tiada
keinginan melakukan pengejaran. Terkecuali meneruskan perjalanan untuk
memberi laporan pada Maha Diraja Setan Bumi.
2 Kegelapan baru saja menyelimuti kaki langit. Matahari hanya tinggal semburat merah yang
kian samar. Suasana kehidupan mulai berganti
rupa, dan binatang-binatang malam satu demi satu keluar dari persembunyiannya. Kelelawar, burung hantu mulai berkeliaran mencari makan. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan sana. Dalam kegelapan itu
mendadak sesosok
bayangan berkelebat. Gerakannya saat melewati
semak-semak yang tumbuh meranggas ringan sekali. Bahkan tak lama setelah kemunculannya tubuh telanjang dada yang mengkilat-kilat berminyak itu terus melewati hutan rotan yang sangat
lebat dan tumbuh rapat di sekitar hutan tersebut.
Anehnya tubuh orang itu bagai tidak merasakan
sakit akibat tergores duri-duri rotan yang meranggas tajam.
Beberapa saat setelah melewati hutan rotan
yang luas, sosok berkulit hitam legam ini sudah
mulai nampak berjalan melenggang. Langkahnya
begitu mantap menuju ke sebuah tempat yang terus-menerus menyemburkan sinar merah membubung tinggi ke angkasa. Sesekali dipandanginya
arah yang hendak di tujunya itu. Matanya langsung berbinar begitu melihat semburan lidah api
di kejauhan sana nampak menjulur ke arahnya.
"Kehidupan walau bagaimanapun ujudnya
selalu berakhir dengan kematian. Begitu banyak
orang yang melupakan kematian. Sangat banyak
orang yang selalu mendewa-dewakan kehidupan
dan seisi dunia. Seolah andai suatu saat mati apa yang dimiliki dan
dibanggakannya akan dibawa
serta. Tapi aku lebih menyukai orang yang terakhir ini. Mereka pasti tidak
mengetahui siapa adanya
aku, asal-usulku bahkan semua pekerjaan yang
kulakukan di kolong langit ini." sosok bertubuh hitam legam ini menutup katakatanya dengan sebuah tawa yang sangat panjang.
"Wuuees...!"
Tiba-tiba saja tubuh orang itu berkelebat
lenyap bersamaan dengan berhembusnya angin
kencang yang begitu hebat.
Sementara itu di sebuah tempat yang bernama bukit Api Abadi yang terus menyemburkan
lidah api menjulang ke angkasa nampak beberapa
orang yang terdiri laki-laki dan perempuan sedang duduk dengan khusuknya
menghadap ke arah
bukit itu. Seperti yang mereka yakini selama ini, bukit itu selalu mendatangkan
berkah bagi orang-orang tertentu yang percaya karena kekeramatannya. Namun kekhusukan itu tidak berlangsung
lama, sesaat setelahnya bertiup angin kencang
yang disertai berterbangannya pasir dan batu keri-kil dari atas bukit sebelah
kiri. Kemudian disusul pula oleh gelak tawa yang terasa bagai hendak meruntuhkan
bukit dan memadamkan kobaran api
abadi yang terdapat di bukit itu. Semua orang
yang berada di bawah bukit, yang jumlahnya tak
kurang dari sepuluh orang, masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri
dari pengaruh lengkingan suara tawa yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam
cukup tinggi. "Menghormatlah kalian semua pada Kanjeng Guru!" salah seorang laki-laki bertelanjang dada, berbadan tinggi tegap
dengan sikap membungkuk memberi perintah pada kawankawannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi sembilan
orang lainnya langsung menjatuhkan diri, berlutut dengan posisi bagian kening
menyentuh ke tanah.
"Kami semua siap mengabdi pada Kanjeng
Guru. Dan kami senantiasa patuh pada semua perintah yang mulia." secara serentak mengumandang suara mereka dalam kegelapan
yang hanya diterangi cahaya Api Bukit Abadi. Seiring dengan
terdengarnya suara puji-pujian yang mengagungkan nama orang yang di sebut Kanjeng Guru itu.
Maka suara gelak tawa yang membuat sakit gendang-gendang telinga terhenti seketika. Gemuruh
angin topan kembali menyapu daerah sekitar bukit
api abadi itu. Sapuan angin yang begitu tiba-tiba membuat tubuh mereka laksana
terbang. Bahkan
beberapa orang perempuan yang terdiri dari gadisgadis berpakaian setengah telanjang langsung terjengkang. Namun mereka segera bangkit dan
membentuk sikap seperti semula dengan posisi
menyembah. Sama seperti yang terjadi pada saat
pertama tadi, kali ini hembusan angin topan terhenti secara tiba-tiba pula.
Jleeek...! Tidak begitu jauh dari sumber api abadi melayang sesosok tubuh, kemudian menjejakkan kakinya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang
membuat tercengang semua mata yang memandangnya karena si pendatang bertelanjang dada
yang seluruh permukaan kulitnya berminyak dan
berwarna hitam legam itu berada tidak begitu jauh dari sumber api abadi. Padahal
dalam jarak seratus tombak saja mereka yang berada di bawah bukit itu merasakan tubuhnya panas bagai terbakar.
Dalam beberapa hal seperti itulah mereka merasa
begitu yakin bahwa orang yang mereka sebut sebagai Kanjeng Guru itu sesungguhnya bukan manusia biasa. Paling tidak titisan Dewa. Maka tak
salah bila mereka rela melakukan apa saja demi
mendapat restu dengan diangkat menjadi murid,
"Gending Sora...! Sebagai pengikutku apakah kau telah melaksanakan perintahku dengan
baik?" suara laki-laki yang disebut sebagai Kanjeng Guru terdengar memecah
keheningan. Sementara perhatiannya sekarang tertuju pada seorang laki-laki berbadan tegap berpakaian serba hitam yang tadi memberi aba-aba
pada laki-laki dan
perempuan yang kini masih berlutut menghadap
ke arah bukit. "Saya telah melakukan segala perintah yang
telah kanjeng berikan pada saya." jawab laki-laki yang bernama Gending Sora
dengan suara parau.
"Sembilan orang inikah orangnya?"
"Benar. Mereka semua terdiri dari perjaka
dan perawan tulen." kata Gending Sora dengan wajah memerah.
"Ha... ha... ha...!" kembali terdengar suara
tawa Kanjeng Guru tergelak-gelak. Kini seluruh
perhatiannya tertuju pada empat pemuda bertelanjang dada dan lima orang gadis yang juga berpakaian sangat minim sekali. Mengherankan sekali
kesembilan orang itu sedikitpun tiada merasa malu diperhatikan oleh Kanjeng Guru seperti itu. Malah kini mereka mulai
memberanikan diri balas
memandang dengan sikap menantang. "Apakah
diantara kalian yang datang ke sini tidak akan
menyesal bergabung dengan kami?" sambung Kanjeng Guru setelah merasa puas dengan
hasil kerja Gending Sora. "Kami dengan sukarela siap mengabdi pada
Kanjeng Guru. Lebih dari sekedar itu kami juga telah siap melakukan apa saja
demi mendapat simpati yang mulia." jawab mereka secara serentak.
Berbinar sepasang mata laki-laki berkulit
penuh minyak yang menebarkan bau wangi musang pandan itu.
"Keputusan kalian benar-benar membuat
hatiku lega. He... he... he... dalam waktu yang
singkat kalian akan kuberi pelajaran ilmu yang
sangat sakti. Kalian akan menjadi pengikut dan
merupakan manusia-manusia yang tak terkalahkan. Namun hal itu tak mungkin terjadi andai kalian tidak bersedia menyerahkan milik kalian seca-ra sukarela." ujar Kanjeng
Guru penuh maksud cabul. "Apakah itu yang mulia?" tanya mereka secara serentak.
"Sebagai seorang gadis dan perjaka tentu
kalian menjaga sesuatu yang tersembunyi selama
ini. Agar diri kalian tetap suci."
Kesembilan orang yang terdiri dari pemuda
dan gadis nampak saling pandang sesamanya. Wajah mereka berubah pucat, namun mereka juga
tak mungkin membantah. Sejak meninggalkan
daerahnya masing-masing dan bertemu di suatu
tempat yang kemudian mendapat bimbingan dari
Gending Sora, mereka telah memutuskan untuk
menjadi pengikut Kanjeng Guru yang akhir-akhir
ini namanya menggemparkan dunia persilatan.
Kalaulah memang apa yang dikatakan oleh Kanjeng Guru barusan merupakan satu-satunya sya

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rat agar dapat diangkat menjadi seorang murid.
Maka mereka beranggapan tidak ada salahnya andai mereka mematuhinya.
"Kami menyanggupi syarat yang Kanjeng
ajukan itu." ujar mereka dengan nada dengan tanpa beban.
"Hemm. Bagus sekali. Kalian benar-benar
orang yang berbakti." sekejap Kanjeng Guru hentikan ucapannya, laki-laki berusia
lima puluhan ini menoleh pada Gending Sora. "Bawa mereka ke
tempat biasa." perintahnya.
Gending Sora bagai seorang penjilat terus
berjalan membungkuk-bungkuk, kemudian mengajak orang-orang itu menuju ke suatu tempat
yang merupakan sebuah gua sangat luas namun
memiliki banyak kamar. Ke sanalah sembilan
orang yang terdiri dari gadis dan perjaka itu di gir-ing dan menempati setiap
ruangan. Sementara itu laki-laki yang disebut Kanjeng Guru masih tetap berdiri di tempatnya. Sorot
matanya memandang jauh ke depan sana. Menembus kegelapan di mana seorang laki-laki lain
menunggang seekor kuda sedang bergerak cepat
menuju ke arahnya. Suara ringkikan kuda terdengar keras ketika orang itu sudah hampir mendekati bukit Abadi. Sesaat setelah sampai persis di depan bukit Api Abadi laki-laki
penunggang kuda
serta merta melompat dari punggung kudanya. Ia
menghaturkan sembah dengan hanya membungkukkan badannya. "Kanjeng Guru, muridmu datang menghaturkan sembah serta membawa beberapa laporan penting."
Orang yang berada di atas bukit Api Abadi
itu hanya menggumam pelan.
"Bagaimana Maha Diraja Setan Bumi" Apakah laporan tentang adanya pendatang dari tanah
seberang memang punya kebenaran?"
"Kenyataannya memang begitulah, Kanjeng!
Mereka terdiri dari orang-orang berpakaian putih
berkepala gundul yang menamakan dirinya sebagai Biksu. Saya telah mengobrak-abrik rumahrumah darurat yang mereka bangun. Sementara
ketika saya meneruskan perjalanan kemari seorang tangan kananku si Topi Terbang sedang bertarung melawan salah seorang diantara wakil Biksu itu." "Hemm." Kanjeng Guru menggumam tak jelas. "Kau merasa begitu yakin
orang kepercayaan-mu itu mampu mengatasi segalanya?"
"Saya selalu yakin dengan kemampuannya!"
jawab Maha Diraja Setan Bumi tegas.
"Sebenarnya apa tujuan mereka datang ke
tanah leluhur kita ini?" tanya Kanjeng Guru lebih jauh. "Mereka ingin
mempengaruhi penduduk
dengan menyebarkan suatu keyakinan yang tak
begitu jelas."
Kanjeng Guru kerutkan alisnya, sungguh ia
kurang mengerti akan maksud kata-kata murid
sulungnya yang memiliki kepandaian beraneka ragam ini. Walaupun tidak tertutup kemungkinan
baginya bahwa dengan hadirnya orang-orang asing
itu merupakan suatu ancaman buat sebuah Kerajaan megah yang sedang di bangun oleh muridnya.
"Setan Bumi. Yang kuinginkan agar kau
mencari orang-orang itu dan mengusirnya dari tanah leluhur ini. Kalau perlu dengan jalan kekerasan!" "Perintah Kanjeng Guru akan saya laksanakan dengan baik." kata Maha Diraja
Setan Bumi. "Nah sekarang pergilah muridku. Kalau kau
ingin Kerajaan yang kau bangun sekarang ini tidak runtuh begitu saja. Kau
hancurkan para pendatang itu."
"Tapi bagaimana dengan para pekerja seperti yang telah guru janjikan?" tanya Maha Diraja Setan Bumi setelah beranjak
berdiri. "Akhir purnama mereka akan segera kukirim ke sana. Asal kau tau untuk membuat mereka
memiliki tenaga seperti siluman, aku perlu waktu
untuk meniduri mereka satu persatu. Setelah itu...
ha... ha... ha...! Mereka akan menjadi seorang pekerja yang sangat menurut dan
memiliki tenaga
luar biasa."
"Selamanya bantuan Kanjeng Guru sangat
saya harapkan."
"Aku selalu menyanggupinya, muridku. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu. Jangan lupa
taburkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa' setiap
menjelang bulan purnama. Jika kau terus melakukannya niscaya kau akan mendapat tenaga kerja sukarela sepanjang yang kau inginkan." ujar Kanjeng Guru yang disertai
anggukan setuju oleh
Maha Diraja Setan Bumi.
Bueees...! Sekali berkelebat laki-laki yang disebut sebagai Kanjeng Guru itupun lenyap dari hadapan
Maha Diraja Setan Bumi. Sementara laki-laki itupun tanpa membuang-buang waktu lagi segera
melompat ke punggung kudanya kemudian bergerak cepat menembus kegelapan malam.
Kemudian adalah sunyi dan nyala bukit api
abadi yang sepanjang sejarahnya sangat dikeramatkan oleh banyak orang.
3 Dengan langkah terhuyung-huyung laki-laki
berkepala gundul itu terus berlari. Pakaiannya
yang berwarna putih kini telah berubah merah
bersimbah darah. Bagian tangannya yang terus
mengalirkan darah sekarang telah berubah warna
kebiru-biruan. Sementara bagian siku yang terkutung itu menimbulkan rasa nyeri yang tiada tertahankan. Dalam keadaan berlari-lari itu beberapa
kali tubuhnya hampir terbanting. Pandangan matanya berkunang-kunang karena telah begitu banyak kehilangan darah. Yang lebih celaka lagi
sampai sejauh itu setiap totokkannya pada urat
tertentu untuk menghentikan darah tidak pernah
mendatangkan hasil.
"Celaka seandainya aku tak bisa sampai ke
markas besar. Koko Beng Lie dan Koko Beng Ju
pasti tidak pernah mengetahui apa yang terjadi
pada diriku." menggumam laki-laki berkepala gundul itu sambil terus berlari.
Pada hakekatnya akhirnya laki-laki yang bernama Asoka itu harus
mengakui adanya keterbatasan. Ia kehilangan tenaga karena begitu banyaknya darah yang keluar
di samping akibat pengaruh racun ganas yang mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Ucapan si Topi
Terbang ternyata bukan bualan belaka. Hal itu
akhirnya ia akui setelah empat tombak kemudian
tubuhnya tersungkur ke tanah. Lemah tiada berdaya. Hanya erangan-erangan lirih yang keluar dari mulutnya. Sementara pada jalan yang sama dari kejauhan sana nampak sesosok tubuh berpakaian
kumal warna merah sedang berjalan melenggang
menelusuri jalan setapak yang dilalui oleh Biksu
Asoka. Sesekali ia menyomot dendeng ikan lumbalumba dari dalam periuk berjelaga yang menggelantung di bagian pinggangnya. Sambil menguyah
ikan dendeng yang lezat itu, sesekali terdengar pu-la celotehnya.
"Wei, nasib orang kecil itu nggak ubahnya
seperti seekor semut. Tinggal di dalam lubang yang
sangat kecil saja masih dikorek-korek trenggiling.
Hidup nggak bebas selalu tercekam perasaan takut. Sebodoh. Mendingan menjadi gajah, karena
besar ia ditakuti dan berkuasa. Bertindak semaumaunya karena kekuatan dan kekuasaannya. Sebodoh. Semut yatim tak ubahnya seperti diriku ini.
He... he... he...! Manusia hina seperti ujudku ini.
Sebodoh. Ha... ha... ha... sebodoh...!" kata si pemuda berulang-ulang disertai
dengan tawanya berkepanjangan.
Pemuda yang sudah tak asing lagi bagi kita
ini terus mengayunkan langkahnya menelusuri jalan itu. Namun mendadak ia hentikan gerakan kakinya manakala di depan sana ia melihat seseorang dalam keadaan menelungkup di tengah jalan
yang akan dilaluinya. "Siapakah dia, nampaknya ia membutuhkan pertolongan."
gumam Buang Sengketa kemudian bergegas menghampirinya. Setelah sampai di depan orang itu, tahulah ia bahwa laki-laki berkepala gundul itu
sedang mendapat
luka dan dalam keadaan yang sangat payah.
Buang Sengketa membalik orang itu, wajah lakilaki berkepala gundul itu nampak sangat pucat
dan berwarna biru. "Racun yang sangat keji." desis pemuda itu. Melihat
keadaannya diapun sadar
sangat tipis kemungkinan bagi laki-laki itu untuk dapat di tolong. Sungguhpun
begitu Buang Sengketa berusaha mencegah keluarnya darah dari bekas luka itu. "Celaka. Baru kali ini aku melihat sebuah luka yang tidak dapat
dihentikan. Pantasan
saja orang asing ini tidak dapat berbuat banyak.
"Eergk...!" terdengar tangan yang sangat lemah. "Apa yang terjadi denganmu, kisanak...?"
tanya Pendekar Hina Kelana sambil mendekatkan
telinganya pada bibir laki-laki berpakaian serba
putih itu. "Se... seseorang telah menyerangku. Amitaba... me... mereka telah membunuhi sekian banyak orang-orang yang hendak menuju ke jalan
Sang Hyang Widi. Ami... ta... ba.!" dan kepala laki-laki berkepala gundul itupun
terkulai lemah. Mati.
"Melihat pakaian dan kepalanya yang di botak, pastilah orang asing ini merupakan penganut
agama yang taat. Aku tak tahu bagaimana rupanya manusia yang telah menyebabkan dirinya
mengalami luka sampai sedemikian ini." batin pemuda itu. Ia kemudian bangkit
berdiri. Namun belum lagi siap pada posisi yang diharapkannya, satu tendangan yang sangat telak membuat tubuhnya terpelanting roboh. Karena serangan bokongan
yang datangnya secara tiba-tiba itu dilakukan
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. Tak pelak lagi darah langsung menyembur dari mulutnya. Buang Sengketa merasakan punggungnya bagai remuk, pernafasan terasa sesak dan tersendat.
Namun rasanya ia tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi berlarut-larut. Naluri kependekarannya
mengisyaratkan adanya bahaya yang sedang mengancam. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan
menghimpun hawa murni pemuda itu cepat-cepat
bangkit. Nanar pandangan matanya memperhatikan ke arah bagian belakang. Lalu nampak olehnya dua orang laki-laki berpakaian biksu telah
berdiri tidak begitu jauh dari pemuda itu.
"Amitaba." begitu berucap dua orang laki-laki berpakaian serba putih itupun
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Anda telah
membunuh adik seperguruan kami. Sungguh telenggas sekali tindakanmu, saudara?" kata salah seorang diantaranya dengan
tatapan berwibawa.
Buang menyadari dua orang Biksu itu pastilah salah pengertian. Bagaimanapun keadaan
akan semakin runyam andai ia membiarkan hal
itu terus berlarut-larut. Tanpa merasa sungkan
pendekar dari Negeri Bunian itu berucap:
"Tuan-tuan. Anda semua telah salah alamat. Ketika saya lewat kemari adik seperguruan
anda ini memang sudah terluka parah. Saya hanya
ingin menolongnya, tidak lebih dari itu."
"Kami melihat dengan kepala sendiri apa
yang kau lakukan pada adik kami. Masih jugakah
kau memungkirinya?" tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh tinggi dengan
muka merah. "Mengapa harus berbasa basi, Koko Beng
Lie" Jauh-jauh dari daratan Tiongkok sana kedatangan kita dengan membawa maksud yang baik.
Tapi karena mereka, terutama orang ini. Dia harus menerima pembalasan setimpal
dari kita."
"Sabar Beng Ju...! Kita harus menanyai lebih dulu orang ini." ucapnya dengan nada berwibawa. Meskipun Beng Ju sudah
merasa tak sabar
lagi menghadapi kenyataan yang terjadi di hadapannya. Namun nampaknya ia merasa sungkan
kepada laki-laki setengah tua yang bernama Beng
Lie itu. Sesaat suasana berubah hening, dua pasang mata sekarang tertuju pada Buang Sengketa
sepenuhnya. Pemuda itu merasakan adanya kekuatan yang sangat besar terpancar lewat tatapan
mata itu. "Kau mengatakan dirimu tidak membunuh
adik kami Asoka" Padahal tadi kami sempat melihat kau mendekatinya...?" ujar Beng Lie, dingin.
Buang Sengketa tersenyum. "Aku mendekatinya karena kulihat ia memang benar-benar memerlukam bantuan. Tetapi karena luka-luka yang
dideritanya terlalu parah, aku merasa tak sanggup menolongnya."
"Hemm. Bicaramu begitu serius bocah. Tetapi dapatkah kami mempercayainya?" tanya Beng Lie seolah pada dirinya sendiri.
"Mulutnya tidak bisa dipercaya Koko. Siapa
mau percaya kata-kata manusia berpakaian gembel seperti dia?" kata Beng Ju semakin hilang ke-sabarannya.
Ucapan laki-laki tinggi besar tentu saja
membuat Buang menjadi tersinggung. Tetapi ia juga tidak ingin bertindak gegabah. Apalagi ia me

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyadari dua orang Biksu yang berdiri empat tombak di depannya itu merupakan tokoh tingkat
tinggi yang belum dikenalnya sama sekali.
"Saudara. Sebagai orang yang mengagungkan nama yang Maha Pencipta, adalah sangat tidak terpuji sekali bila anda menuduhku telah
membunuh adik seperguruan anda." selak Buang Sengketa dengan nada melunak.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah melakukannya?" tanya Beng Ju dengan nada ber-apiapi. "Dia hanya menyebutkan kata 'Mereka' sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir."
jelas si pemuda lebih lanjut. Dalam kenyataannya
mungkin hanya Beng Lie saja yang memiliki pandangan luas dapat menerima kenyataan itu, namun tidak demikian halnya dengan Beng Ju. Pelan
namun cukup pasti tubuh jangkung itu melangkah mendekati Buang Sengketa. Pemuda ini menyadari adanya gelagat yang kurang baik secara
diam-diam mulai bersikap waspada.
"Kokoku bisa saja percaya dengan segala
bualanmu. Namun jangan harap aku mau mendengarkannya." dengan mata merah dan pandangan jelalatan. Beng Lie kebutkan jubahnya yang
menjela panjang. Serangkum gelombang angin
yang menimbulkan hawa panas menerpa wajah
dan sekujur tubuh Buang Sengketa. Sungguhpun
pemuda ini telah membentengi tubuhnya dengan
jalan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Namun tetap saja tubuhnya terdorong beberapa tindak.
Pendekar keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib ini lipat gandakan tenaga
dalamnya. Kemudian kedua
belah tangannya didorongkan ke arah depan.
Bledeeer...! Terjadi ledakan yang amat keras saat mana
dua tenaga dalam saling bertemu. Baik Buang
Sengketa maupun Beng Ju dan Beng Lie samasama terkejut. Dua orang Biksu itu sama sekali
tiada menyangka kalau pemuda berpakaian lecek
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Melihat gerakan tubuh adik seperguruannya yang
tergetar tubuhnya sadarlah ia bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan seorang tokoh
muda yang memiliki kepandaian luar biasa.
"Bocah. Siapakah engkau ini, melihat tenaga dalammu yang tinggi rasanya cukup alasan bagiku untuk menuduhmu sebagai orang yang telah
membunuh adik kami Asoka yang hanya memiliki
kepandaian tidak seberapa." sengat Beng Ju tiba-tiba. "Aku hanya seorang
pengelana biasa. Aku bersumpah sungguhpun bumi sampai terbelah tujuh aku tak
pernah membunuh adik seperguruan
kalian." kata Buang Sengketa, tegas.
Melihat kesungguhan Pendekar Hina Kelana, nampaknya Beng Ju mulai menyadari tentang
keseriusan pemuda itu. Beng Ju sebentar menoleh
pada kakak seperguruannya. Beng Lie hanya menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Untuk mencurigai seseorang selamanya memerlukan pembuktian yang kuat. Tapi
awas jika suatu saat nanti tuduhan kami terbukti, maka kami akan mencarimu
sampai ke ujung dunia sekalipun." kata Beng Lie.
"Selalu kutunggu basil penyelidikanmu itu,
Sobat...!" jawab si pemuda dengan sikap tenang.
Dua orang Biksu itu tidak menimpali katakata si pemuda. Setelah menghampiri mayat adik
seperguruannya, merekapun berkelebat pergi. Hal
yang samapun dilakukan oleh Buang Sengketa.
4 Padepokan gunung Ungkur merupakan sebuah padepokan yang sangat besar terletak di lereng gunung yang sangat sulit dicapai oleh kalangan manapun terkecuali memiliki kepandaian
tinggi dan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat sempurna. Murid-murid padepokan yang
jumlahnya hanya belasan orang itu rata-rata merupakan murid-murid yang terlatih dan menguasai
berbagai jurus-jurus silat yang sangat langka.
Hampir setiap ada pertandingan silat persahabatan, Eyang Basudewa yaitu pemimpin dan pemilik
padepokan itu mengirimkan utusannya. Kemenangan demi kemenangan diraih oleh murid-murid
padepokan gunung Ungkur itu. Hal inilah rupanya
yang membuat perguruan silat gunung Ungkur
sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Lebih dari itu Eyang Basudewa sebenarnya
tokoh angkatan tua yang sangat misterius dan sulit untuk ditemui. Bahkan murid-murid padepokan
sendiri hanya dapat bertemu dengan Ketua padepokan ini paling hanya setahun sekali. Itupun
hanya sebatas mendengar suaranya saja. Ujud
Eyang Basudewa yang sesungguhnya tak seorangpun yang mengetahuinya. Tokh murid-murid padepokan gunung Ungkur dapat belajar silat dengan baik. Hal ini semata-mata karena Eyang Basudewa senantiasa memberi petunjuk dan pesanpesan yang selalu ditinggalkannya pada dindingdinding batu gunung yang terdapat di kanan kiri
padepokan itu. Melalui tulisan-tulisan yang ditinggalkannya itulah muridmuridnya dapat belajar
dan melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan.
Pagi itu sebagaimana biasanya gunung Ungkur berselimut kabut. Udara dingin terasa menusuk sampai kesungsum tulang. Murid-murid
padepokan kelihatan sibuk dengan tugasnya masing-masing. Diantaranya ada yang menggarap kebun, membersihkan halaman. Dua orang murid
perempuan sedang mempersiapkan sarapan di bagian belakang rumah. Sementara itu lima orang
lainnya sedang berlatih silat nun jauh di lerenglereng berbatu tajam. Suara teriakan-teriakan sesekali terasa memecah kesunyian pagi. Begitulah
setidak-tidaknya anggapan beberapa orang murid
lainnya yang berada di sekitar padepokan. Tetapi
apakah sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri mereka ini" Apabila dilihat
lebih dekat lagi sesungguhnya tidak begitu jauh dari padepokan itu sedang terjadi pertarungan antara lima orang murid
padepokan gunung Ungkur melawan seorang pemuda berpakaian serba kuning. Melihat kenyataan
yang terjadi nampaknya pertarungan yang telah
berlangsung belasan jurus itu murid-murid padepokan memang sedang berada di atas angin. Dalam berbagai serangan bahkan merekapun memiliki persamaan, baik dalam bentuk serangan maupun variasi jurus-jurus silatnya.
"Hentikan!" lagi-lagi pemuda berpakaian serba kuning itu mengeluarkan bentakan
nyaring. "Kami tidak akan pernah menghentikan serangan kami jika kakang Sakapala tidak mau menerangkan maksud kedatangan kakang di padepokan ini." kata salah seorang dari para pengeroyok itu sambil melakukan serangan
gencar. Sementara
empat orang lainnya sekarang hanya bersiaga
menjaga setiap kemungkinan.
"Aku hanya merasa rindu pada padepokan.
Salahkah aku jika sesekali datang kemari...?"
tanya pemuda berpakaian serba kuning yang tak
lain si Topi Terbang adanya.
"Menyambangi perguruan bukan merupakan pantangan bagi siapapun. Tetapi salah jika
kedatanganmu membawa maksud-maksud tertentu." "Pramesta!' hardik si Topi Terbang dalam kegusarannya "Sebagai adik
seperguruan semes-tinya engkau menghormat kepadaku. Tetapi malah
sebaliknya yang terjadi pada dirimu, begitu aku
datang kau langsung menyerangku."
Pemuda tinggi jangkung yang bernama
Pramesta itu hanya mendengus. Kemudian di silangkannya kedua tangan di depan dada
"Kau pergi begitu saja, kakang Sakapala.
Kau tak pernah memberikan alasan yang kuat karena kepergianmu. Setiap kali hal itu kutanyakan
padamu, kau selalu beralasan ingin mencari pengalaman di luaran sana. Semua adik seperguruanmu yang berada di padepokan ini mungkin
saja mempercayai bualanmu. Namun tidak demikian halnya dengan aku. Suatu malam aku memutuskan untuk membuntutimu dan ternyata kau telah bersekutu dengan iblis yang menamakan dirinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Bersamanya kau menebarkan serbuk 'Pemberontakan
Jiwa', dengannya kau mengumpulkan banyak pemuda dan gadis-gadis untuk membangun sebuah
istana iblis secara sukarela. Kejahatanmu sudah
melampaui batas, kakang Sakapala. Guru pasti tidak akan membiarkan semua tindakanmu itu.
Maaf demi tegaknya sebuah kebenaran aku terpaksa dengan lancang harus meringkusmu." kata Pramesta.
Begitu Pramesta selesai bicara, Sakapala
langsung tergelak-gelak. Dipandanginya Pramesta
dan empat orang lainnya secara silih berganti. Setelah mengeluarkan gumaman tak
begitu jelas, kemudian iapun berucap: "Pramesta. Aku adalah saudara seperguruanmu yang paling
tua. Walau bagaimanapun engkau tak bakal ungkulan menghadapi aku. Lebih baik kau urungkan niatmu...!"
Sakapala mencoba mengingatkan.
Namun pemuda yang bernama Pramesta itu
hanya tersenyum saja.
"Sakapala. Guru memang telah memberikan
segala sesuatu yang baik untukmu. Asal kau tahu
saja, aku selalu ingin menjawab setiap kelebihan
dan kekurangan yang kau miliki dengan sesuatu
yang tak pernah diperoleh oleh siapapun di padepokan ini." kata Pramesta dengan sikap waspada.
Sementara itu empat orang lainnya telah pula melakukan pengepungan secara ketat.
Pada hakekatnya si Topi Terbang datang ke
bekas perguruannya memang membawa maksud
kurang baik. Yaitu ingin membujuk adik-adik seperguruannya ikut bergabung dengannya dalam
satu tujuan yaitu menyumbangkan tenaga secara
sukarela dalam mendirikan istana Maha Diraja Setan Bumi. Kalaupun tidak dapat dibujuk dengan
cara halus maka iapun telah pula memutuskan
akan melakukannya dengan cara kekerasan. Satu
hal yang tidak pernah disangka dan di luar perhitungan Sakapala. Bahwa sebenarnya Pramesta
merupakan adik seperguruan yang berpikiran cerdas. Selama belasan tahun menjadi murid padepokan gunung Ungkur ia telah melakukan penyelidikan terhadap semua tingkah pola saudarasaudara seperguruan, maupun keberadaan Eyang
Gurunya yang sangat misterius. Bahkan secara diam-diam ia telah pula berhasil menciptakan jurusjurus handal yang sangat aneh. Semua itu berhasil dikuasainya dalam beberapa
tahun terakhir, juga
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia menyadari betapa hebat kepandaian yang dimiliki oleh Sakapala.
Bahkan gerak-gerik Sakapala yang mencurigakan
telah lama tercium olehnya. Tidak salah kalau sekaranglah merupakan saat yang tepat untuk menjajal ilmu hasil ciptaannya itu dalam usahanya
menangkap Sakapala.
"Kakang Sakapala. Bersiap-siaplah...!" Pramesta akhirnya memberi peringatan
setelah me- nunggu sekian lama, namun Sakapala hanya diam
saja. "Hiaat...!"
Sakapala membuka serangannya dengan
sebuah jurus Sinar Pelangi yang diketahui oleh
Pramesta sebagai jurus silat yang sangat berbahaya. Tak ayal lagi Pramesta mengimbanginya
dengan jurus yang sama. Pertarungan dua bersaudara perguruan itu berlangsung sengit dan
menegangkan. Apalagi nampaknya di pihak si Topi
Terbang punya niat untuk mengakhiri pertempuran secepat mungkin. Maka jurus-jurus silat andalanpun segera ia gelar. Bahkan pertempuran itu
mencapai lima belas jurus. Sakapala sudah pula
mempergunakan senjata mautnya yang berupa sebuah topi yang terbuat dari baja dan bergerigi di sisi kanan kirinya.
"Kakang Pramesta. Berhati-hatilah, senjatanya bisa mencelakakanmu!" teriak saudara seperguruan lainnya.
Sebenarnya Pramesta juga memiliki senjata
yang sama yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk mengimbangi senjata Sakapala. Namun dalam hal ini sengaja ia mempergunakan sebuah kayu panjang yang sangat mirip dengan toya.
Dengan mempergunakan toya itu ia berusaha
menghindari serangan senjata maut yang disambitkan oleh Sakapala.
"Nguuung...!"
Seeeeng...! Sedemikian cepat topi maut itu
melesat. Dengan sikap tenang Pramesta menyambut datangnya senjata Sakapala dengan cara memutar toya di tangannya secepat mungkin.
"Praak... traal... traal...!"
"Haiiiit...!"
Pramesta lentingkan tubuhnya ke udara,
ternyata senjatanya yang telah dialiri tenaga dalam itu masih juga hancur
berantakan di landa topi
bergerigi milik si Topi Terbang
"Kau tak mungkin ungkulan menghadapi

Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ku, Pramesta! Alangkah lebih baik kalau kau
memberi izin padaku untuk membawa adik-adik
seperguruan kita membangun istana iblis." bentak Sakapala dengan disertai suara
tawa tergelak-gelak Namun Pramesta menyambutnya dengan
suara dingin. "Kau baru boleh melakukannya apabila kamu mampu melangkahi mayatku!"
"Sombong! Dalam dua jurus di depan jika
aku tak berhasil mencopot kepalamu, jangan sebut
aku si Topi Terbang." sentak Sakapala dengan kemarahan meluap-luap.
Pramesta diam tiada menyahut. Sebaliknya
ia mulai mengerahkan ilmu silat hasil ciptaannya
sendiri. Perubahan jurus-jurus silat yang dimainkan oleh Pramesta sudah barang tentu membuat
mereka yang hadir di tempat itu menjadi terbelalak matanya. Jurus silat yang
dimainkan benar-benar
aneh bahkan tak satupun dari jurus itu memiliki
persamaan dengan yang mereka pelajari dari
Eyang Guru. Sampai kemudian pada:
"Heaaaah... bet... zeb... zeb...!"
Bersamaan dengan suara teriakan Pramesta
yang tinggi melengking. Maka tubuhnya melesat
mendekati sebatang pohon pisang. Begitu tersentuh langsung dicabutnya. Lalu dengan mempergunakan batang pisang itu iapun melakukan serangan ganas ke arah Sakapala. Si Topi Terbang tidak mengetahui untuk apa
sebenarnya Pramesta
mempergunakan batang pisang itu untuk menyerang dirinya. Yang jelas dengan disertai tawa berkepanjangan Sakapala juga
langsung memapaki
serangan Pramesta dengan jurus-jurus silat yang
sudah di ketahui kelemahannya oleh laki-laki bertubuh jangkung ini.
"Shaaa...!" dengan mempergunakan kaki
kanannya Sakapala bermaksud melancarkan satu
tendangan yang disertai dengan tenaga dalam penuh mengarah pada bagian perut Pramesta. Namun Pramesta malah hantamkan batang pisang di
tangannya ke bagian kaki Sakapala yang sudah terulur. "Uuut... weeees...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras
menerpa bagian kaki si Topi Terbang. Saat itu juga ia merasakan bagian kakinya
terasa ngilu. "Gila, ia memiliki kekuatan dahsyat yang tiada disangka-sangka.
Bagaimana dia bisa memperoleh kepandaian yang sangat langka itu" Atau mungkinkah
Eyang Guru telah menurunkan ilmu baru yang tidak pernah diturunkannya padaku?" menggumam
Sakapala dengan perasaan kecewa.
Bleees...! Dalam keadaan menegangkan itu rupanya
Sakapala menarik balik serangannya. Di luar dugaan begitu merasa gagal memukul lawan dengan
batang pisang Pramesta malah hantamkan kakinya mengarah pada bagian selangkangan Sakapala. Jrooot...!
"Wuaaagkh... keparaat...! Berani sekali kau
memukul anuku..."
"Anumu memang pantas diberi pelajaran.
Aku yakin kau tak pernah becus mengajar anumu
terkecuali memanjakannya...!"
"Sial dangkalan. Kubunuh kau...!"
Belum habis ucapan Sakapala, tiba-tiba
pemuda berpakaian serba kuning itu menyambitkan senjatanya yang berupa topi bergerigi itu ke
arah Pramesta. Siiiiing...! Cepat sekali senjata itu meluncur.
Dengan mempergunakan batang pisang itu juga ia
tidak mau kalah.
Berwrrrrrt...! Jrooos...! Pramesta langsung menyambutnya dengan
sebuah tawa panjang begitu melihat senjata andalan milik lawannya sekarang telah menancap di
bagian batang pisang itu.
"Kalau kukembalikan topi terkutuk ini kepadamu, aku merasa yakin kau tak bakal mampu
menerimanya. Dari pada kau mati percuma, lebih
baik kakang menyerah saja untuk mendapat hukuman dari Eyang Guru...!" kata Pramesta sambil melepaskan senjata maut itu dari
batang pisang yang tadinya ia pergunakan bagai perisai.
"Jangan mimpi...!' cibir Sakapala, kemudian meludah beberapa kali
"Kakang Pramesta mengapa banyak basabasi lebih baik kita ringkus saja dia!" kata yang lain-lainnya merasa sudah
tidak sabar lagi. Bahkan dua diantaranya mulai melepas senjata yang
sama untuk menghadapi Sakapala
"Jangan bertindak! Biarkan aku sendiri
yang akan meringkusnya...!"
Setelah bicara begitu, entah bagaimana rupanya Pramesta memanfaatkan kelengahan Sakapala yang hanya beberapa saat itu. Sedetik tubuhnya berkelebat, ketika Sakapala menyadari apa sesungguhnya yang akan dilakukan oleh Pramesta,
semuanya terasa sudah terlambat.
"Tuuk... tuuuk...!"
Tak dapat dicegah lagi tubuh Sakapala
langsung terjerembat jatuh. Urat geraknya tertotok kaku hingga membuatnya tak
mampu berbuat banyak. "Keparat kau Pramesta. Kiranya kau benar-benar seorang
pengecut...!" maki Sakapala sambil meronta-ronta.
Pramesta meskipun merasa tidak sampai
hati, namun demi keamanan mereka semua, termasuk juga adik seperguruannya, akhirnya memberi perintah. "Periksa seluruh pakaiannya, dan ikat
dia...!" perintahnya pada empat orang lainnya.
"Tapi kakang bukankah dia juga masih merupakan anggota...!"
"Kerjakan perintahku. Kalian tidak tahu kelicikan manusia yang satu ini...!" bentak Pramesta ketika salah seorang diantara
mereka ada yang co-ba-coba membantah.
"Kakang kami menemukan buntalan ini...!"
seru salah seorang dari mereka memberi laporan.
Pramesta menerimanya, kemudian setelah beberapa saat iapun berucap.
"Apa kubilang" Coba kalau kita tidak teliti,
cepat atau lambat kita pasti akan menjadi budaknya." Pramesta lalu menyimpan bungkusan yang berupa serbuk Pemberontakan Jiwa
itu ke dalam saku bajunya. Tak lama kemudian merekapun segera menggotong tubuh Sakapala menuju padepokan gunung Ungkur yang terletak hanya ratusan
meter saja jaraknya dari tempat mereka.
5 Hemm. Daerah ini begini sunyi, padahal
rumah-rumah penduduk sedemikian rapatnya.
Aku merasakan udara begini lain bila dibandingkan dengan ketika aku berada jauh dari sini, siang tadi. Dalam situasi begini
rasanya aku pantas curiga. Mungkin ada sesuatu yang tak beres sedang
berlangsung. Heh... di depan sana ada sebuah warung" Lebih baik aku ke sana sekalian mengisi perutku yang sudah keroncongan sejak tadi siang...!"
berkata begitu pemuda berkuncir ini segera bergegas mendapatkan warung yang letaknya tidak begitu jauh lagi di depannya. Sesampainya di depan
pintu warung, langkah pemuda itu jadi tertegun.
Beberapa orang bertampang kasar yang berada di
dalam warung itu memperhatikan dirinya dengan
tatapan kosong namun curiga.
Namun akhirnya Buang Sengketa memutuskan untuk memasuki warung itu. Langkahnya
tenang menghampiri sebuah meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan. Hanya sekejap saja ia mengitarkan pandangan matanya ke segenap
penjuru warung. Kemudian ia memanggil pemilik
warung itu yang sudah sangat tua sekali. Mungkin
umurnya sekitar enam puluh dua tahun. Dengan
sikap enggan pemilik yang merangkap sebagai pelayan warung itu datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa...!" tanyanya dengan nada tidak bersahabat. Tercekat juga si
pemuda begitu mendengar ucapan pemilik warung yang terasa kaku bahkan nada bicaranya berkesan sangat
dipaksakan. "Nasi putih, sayur berikut air Nira yang masih baru...!" kata si pemuda dengan suara lirih sekali. Pelayan itu kemudian
meninggalkan Buang
Sengketa setelah menganggukkan kepalanya pelan. Si pemuda hanya memperhatikan kepergian
laki-laki tua itu dengan pandangan tiada mengerti.
Tidak begitu lama Buang menunggu pelayan itu telah kembali lagi dengan membawakan makanan
yang dipesannya. Namun kali ini si pemuda sempat melihat tangan dan kaki pelayan itu nampak
gemetar. Melihat kenyataan ini membuat pendekar
dari Negeri Bunian ini semakin bertambah curiga.
Dan pabila Buang mengendus bau makanan yang
telah terhidang di atas meja, maka aroma makanan itu tidak sebagaimana bau aroma makanan
sebagaimana lazimnya.
"Kisanak. Kulihat orang-orang di sini semuanya serba mencurigakan. Apakah yang telah terjadi?" tanyanya setengah berbisik. Menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini
pelayan itu berubah pucat wajahnya.
"Ee... tid... tidak...! Di sini tidak pernah terjadi apa-apa...!" jawab pemilik
warung sekaligus merangkap pelayan itu dengan suara terbata-bata.
"Kalau begitu coba kisanak cicipi makanan
yang telah kisanak sediakan ini!" perintah Buang Sengketa, tegas.
"Mana mungkin. Makanan itu khusus disediakan untuk tuan...!"
"Hemm. Masih juga kau mau membohongiku, kisanak...!" ujar Buang. Kemudian sekali saja tangannya bergerak, maka
bagian kemeja laki-laki
berusia enam puluhan itupun telah dicengkeramnya sedemikian erat.
"Ee... apa-apaan ini. Mengapa tuan memperlakukan diriku sedemikian rupa...!" kata laki-laki tua itu dengan tubuh
menggigil dan suara gemetaran. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara teguran yang begitu halus dari bagian belakang warung; "Kalau dia datang ke sini dengan tujuan mau makan. Yang jelas dia tidak
akan bertingkah seperti itu, namun jika dia mau merampok. Maka
seperti yang kalian lihat itulah kejadiannya."
Buang merasa terperanjat, ia merasa ucapan itu ditujukan kepadanya. Tak ayal lagi pemuda inipun langsung melepaskan cekalannya.
"Kepada orang yang bicara tadi, coba nampakkan diri...!" perintah si pemuda begitu lugas.
"Boleh. Tetapi tidak di sini karena kehadiranku hanya membuat orang-orang di dalam warung ini bisa memusuhimu...!"
"Kurang ajar. Kau jangan coba-coba mengecohku...!" bentak si pemuda. Tetapi tiada terdengar jawaban. Buang Sengketa
mengitarkan pandangan
matanya ke segenap isi warung.
"Astaga. Ada belasan orang di dalam warung
itu, namun sorot matanya kosong tanpa ekspresi.
Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mereka?" batin si pemuda dalam hati. Agaknya ia sudah tidak dapat memikirkan keadaan
orang-orang itu lebih lama lagi. Perasaan penasaran telah menyeret langkahnya menuju bagian belakang warung. Syeet dah. Di bagian belakang warung itupun ia tidak melihat siapapun di sana. Namun ketika telinganya mendengar suara lamat-lamat yang
sudah agak menjauh dari warung itu, maka tanpa
membuang-buang waktu lebih lama lagi, pemuda
itupun melakukan pengejaran.
"Hi... hi... hii...! Kami memang membutuhkan manusia perkasa sepertimu, bocah berpakaian butut. Kemarilah...!"
"Sialan, dia sengaja memancingku dan menyeretku menjauhi desa ini. Tapi tidak mengapa.
Akan kukejar dia, siapa tahu orang ini mempunyai
hubungan yang erat dengan keanehan-keanehan
yang terjadi di sini."
"Hei mengapa harus berdiri bengong di situ,
kesinilah...!"
"Kurang ajar. Kau benar-benar kuntilanak
bangsanya memedi yang patut di curigai."
Seusai dengan ucapannya itu Buang Sengketa kembali melakukan pengejaran. Namun langkahnya jadi tertahan ketika ia melihat berkelebatnya selarik sinar ungu menuju ke arahnya. Sebelum pukulan yang tiada disangka-sangka itu
menghantam tubuhnya, maka lebih cepat lagi tubuhnya melompat ke udara.
Dweeer...! "Sialan, hampir saja...!"
Luput dari serangan bokongan itu, Buang
kembali melakukan pengejaran. Namun orang
yang berlari di depannya itu ternyata memiliki il-mu meringankan tubuh serta
ilmu lari secepat kijang. Dalam keadaan berlari biasa si pemuda selalu ketinggalan jauh di belakang. Sampai kemudian
terdengar suara yang bernada mengejek:
"Sampai esok pagi sekalipun kau tak bakal
mampu mengejarku, pemuda gembel."


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara sayup-sayup di sana.
Buang Sengketa pada akhirnya merasa kesal juga
dengan tingkah perempuan yang berlari cepat di
depannya. Tak ayal lagi hanya dalam beberapa detik setelah itu, pemuda inipun segera mengerahkan ilmu lari cepatnya. Ajian Sapu Angin. Begitu ia mengerahkan ilmu yang sangat
diandalkannya itu,
detik kemudian tubuhnya telah melesat laksana
terbang. "Hua... haha... ha... ha...! Kau hendak ke
mana perempuan kuntilanak." begitu tertawa
Buang Sengketa sekarang telah berada di depan
perempuan itu. Kenyataan yang tiada diduga-duga
itu memang benar-benar membuat perempuan
yang tidak dikenalnya menjadi terkejut sekali. Karena merasa pemuda itu telah
berhasil menghadang dirinya, maka begitu berhadapan. Perempuan itu telah hantamkan telapak tangannya ke
arah si pemuda.
"Weeert...!"
Buang Sengketa ternyata telah bersiaga sejak dari tadi dalam menghadapi perempuan yang
dicurigainya itu, maka begitu perempuan yang di
sekujur tubuhnya diselimuti kerudung itu menyerangnya. Buang Sengketa dengan mempergunakan
setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya langsung pula hantamkan tangannya memapaki serangan itu. "Deees...!"
Terdengar benturan keras manakala dua
tenaga sakti bertemu. Perempuan berkerudung itu
memekik kaget. "Hh. Rupanya kau mempunyai kebisaan juga gembel berperiuk...!" maki perempuan itu. Padahal hatinya berdetak keras
begitu melihat ketampanan pemuda yang berada tiga tombak di depannya itu. Buang Sengketa mendengus. Dalam kegelapan itu sorot matanya berkilat-kilat menatap tajam pada perempuan berkerudung
yang saat itu telah
bersiap-siap melepaskan pukulan andalannya.
"Kaukah yang telah membuat mereka menjadi manusia pikun...?" tanya si pemuda tanpa menghiraukan ucapan si perempuan.
Bahkan si-kapnyapun terlihat begitu tenang.
"Justru aku malah bercuriga kepadamu.
Atau bahkan engkaulah yang telah membuat mereka menjadi manusia sinting tanpa kemauan apaapa...!" tuduh si perempuan berkerudung.
Memerah wajah Buang Sengketa seketika
itu juga mendengar tuduhan yang tidak beralasan
"Kau jangan sembarangan bicara. Sama sekali aku tidak tahu menahu dalam masalah ini..."
cetus si pemuda dengan nada tertekan.
"Siapa yang mau percaya dengan ocehanmu. Hiaat...!" perempuan berkerudung ini menutup ucapannya dengan satu terjangan
ganas men- garah pada bagian kepala Buang Sengketa. Pemuda ini dengan cepat-cepat menghindar dengan jalan bersalto ke belakang beberapa kali. Namun perempuan itu nampaknya tidak mau berhenti sampai di situ saya. Ia kembali melakukan serangan
ganas, kali ini pukulan-pukulan gencar yang disertai pengerahan tenaga dalam
yang kuat dilakukannya. Namun Buang Sengketa bukanlah tokoh
muda sembarangan, selama bertahun-tahun ia
melakukan pengembaraan telah begitu banyak
pengalaman yang diperolehnya. Ketika ia mengetahui adanya serangan yang bertubi-tubi itu, maka dengan mempergunakan jurus
tangan kosong Membendung Gelombang Menimba Samudra, dengan gesit ia mengelak dari serangan yang dilakukan oleh perempuan itu. Semakin panas hati perempuan itu melihat setiap pukulannya selalu dapat dielakan oleh lawannya. Hingga pada akhirnya
tiada tertahankan lagi iapun mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang yang terselip di bagian punggungnya.
Sraaak...! Wuuut...! Beet... beeet...!
Dengan pedang ditangannya perempuan
berkerudung itu memburu lawannya. Pedang terus
berkelebat menyambar mengarah pada bagian pertahanan si pemuda yang rawan. Sedikit demi sedikit Buang Sengketa merasakan adanya tekanan
yang diakibatkan oleh gempuran senjata di tangan
perempuan itu. Buang juga tidak mau mengambil
resiko yang dapat membahayakan keselamatan
pribadinya. Dengan cepat ia mempergunakan jurus si Gila Mengamuk untuk mengatasi serangan
gencar lawannya. Dengan mempergunakan jurus
ini tubuh si pemuda terhuyung-huyung bagai seorang pemabukan. Permainannya berubah secara
total, perubahan yang sangat tiba-tiba ini membuat lawannya selalu merasa tertipu dalam setiap
melakukan serangan. Beberapa kali serangan perempuan berkerudung mencapai sasaran kosong.
Kenyataan ini membuat perempuan berkerudung
itu semakin bertambah nekad. Menghadapi kenyataan dan gerak silat perempuan berkerudung ini
sebenarnya Buang Sengketa sudah dapat menangkap bahwa sebenarnya perempuan itu mungkin
saja merupakan kaum persilatan golongan lurus.
Sekarang ia telah sampai pada kesimpulan untuk
menjatuhkan perempuan itu tanpa melukainya.
"Heiiikgh...!"
Buang kembali berkelit menghindari ketajaman pedang di tangan si perempuan berkerudung. Begitu ia mampu menghindari serangan
yang sangat membahayakan itu, satu gerakan
yang tiada terduga-dugapun ia lakukan.
"Tuuk... tuuuk...!
"Akh, kau curang. Lepaskan... lepaskan...!"
"Huaaa... ha... ha...! Sekarang kau bisa apa"
Bukankah kalau aku bermaksud tidak baik, aku
dapat berbuat sesukaku...?" kata Buang dengan nada mengejek.
Pucat wajah perempuan berkerudung itu
begitu melihat Buang Sengketa melangkah mendekatinya. "Siapakah kau ini, saudara?" tanyanya dengan nada berubah ramah.
"Mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan hal
itu. Wajahmu yang tertutup kerudung itu membuat aku menjadi curiga padamu. Tidak salah kalau aku akan menangkapmu."
Maka menggigillah tubuh perempuan berkerudung itu demi mendengar ancaman pemuda ini.
"Ja... jangan...! Jangan kau gagalkan rencanaku, kumohon lepaskan aku...!" rintih si perempuan bertopeng dengan nada
memelas. "Baik. Walau begitu aku tetap akan menahanmu." "Oh jangan, kedua orang tuaku pasti akan
mencari." Buang tersenyum kecut. Ia menduga mungkin saja perempuan berkerudung itu merupakan
seorang gadis. "Siapakah orang tuamu...?"
"Mereka adalah kepala desa yang tinggal tidak begitu jauh dari sini. Kalau situ tidak memba-wa maksud-maksud tertentu.
Maka sebagai pribadi saya mengundangmu untuk datang ke rumah...!" kata perempuan berkerudung itu polos.
Anehnya Buang Sengketa tidak memiliki kecurigaan apapun. Ia menganggukkan kepalanya.
Kemudian setelah memandang sekian lamanya
pemuda inipun berucap.
"Aku akan mengikutimu, tapi ingat jika ternyata nantinya kau berbohong. Kepalamu akan
kujadikan sebagai taruhannya...!"
"Kau tak perlu khawatir, saudara. Tapi lepaskan dulu totokanku...!"
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda inipun
melepaskan totokannya. Selanjutnya mereka beriringan menelusuri jalan setapak.
6 Dengan tidak kembalinya si Topi Terbang ke
Istana Kerajaan Iblis yang sedang dibangun oleh
Maha Diraja Setan Bumi. Laki-laki berpakaian
serba hitam ini merasa pusing dibuatnya. Bagaimana tidak, si Topi Terbang adalah satu-satunya
tangan kanan Maha Diraja Setan Bumi yang sangat dipercaya. Bahkan dalam mendirikan istana iblis, si Topi Terbang memiliki andil yang tidak sedikit. Baik dalam penyumbangan
tenaga, pengumpulan tenaga kerja maupun hal-hal lain yang tak
kalah pentingnya dalam mewujudkan sebuah
singgasana yang sangat besar itu. Hanya satu yang membuat Maha Diraja Setan Bumi
merasa heran adalah mengenai kebiasaan si Topi Terbang dalam
berpergian selalu tidak pernah memberitahukan ke
mana arah tujuannya. Hal inilah yang membuat
Maha Diraja Setan Bumi merasa kesulitan untuk
melacaknya. Mungkinkah si Topi Terbang telah
bentrok dengan seorang lawan yang tangguh"
Ataukah pemuda itu telah mengalami sesuatu
yang tidak diingininya" Tetapi ke mana Maha Diraja Setan Bumi hendak melacak" Seandainya arah
tujuan kepergian si Topi Terbang tidak diketahuinya sama sekali.
Siang itu di dalam singgasananya di lingkungan istana iblis yang belum jadi. Maha Diraja
Setan Bumi kelihatan duduk termenung. Makanan
yang disediakan oleh para pelayan sukarela yang
selama ini menjadi para abdi yang paling setia sedikitpun tidak disentuhnya.
"Hmm. Topi Terbang.
Andai ada seseorang yang telah membuatmu celaka. Orang itu pasti tidak akan kubiarkan hidup.
Bagaimanapun si Topi Terbang merupakan segalagalanya bagiku." gumam Maha Diraja Setan Bumi dengan tangan terkepal menahan
kegeraman hati.
"Pelayan...!" bentak Maha Diraja Setan Bu-mi memanggil salah seorang pelayannya
yang be- rusia masih begitu muda. Pelayan berwajah manis
itu datang menghampiri dengan sikap tergopohgopoh. "Hamba yang mulia, Diraja...!" kata pelayan itu sambil menghaturkan
sembah. "Coba kau panggil Gending Sora...!" perintah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara
tegas. "Baik. Perintah Maha Diraja Setan Bumi segera hamba laksanakan." kata pelayan itu. Kemudian tanpa berkata-kata lagi,
setelah menghaturkan sembah pelayan itu segera menuju bangunan
istana di bagian belakang. Sebagaimana tugas
yang diberikan oleh Maha Diraja Setan Bumi. Selama ini Gending Sora bertugas sebagai Kepala
Mandor bangunan istana itu. Tidak terlalu sulit
menjumpai laki-laki bertelanjang dada ini bagi pelayan itu. Karena Gending Sora
merupakan orang
yang sangat dikenal oleh semua orang yang berada
di dalam lingkungan istana iblis.
"Paman Gending Sora...!" seru pelayan itu setelah merasa dekat dengan Mandor
Kepala bangunan istana itu. Yang dipanggil menoleh dan
hampir saja berang jika pelayan itu tidak cepatcepat menyampaikan maksud kedatangannya.
"Yang mulia Maha Diraja Setan Bumi memerintahkan agar paman menghadap segera."
ucapnya sambil menganggukkan kepala.
"Hem. Pekerjaan ini memerlukan pengawasan yang ketat, namun Maha Diraja Setan Bumi
memanggilku. Lebih baik kupenuhi saja permintaannya...!" berkata begitu, tanpa menghiraukan itu, Gending Sora pun melangkah pergi.
Sebagaimana kebiasaan yang terjadi, sekarang setelah
Gending Sora pergi maka pelayan itu menggantikan kedudukannya sebagai mandor bangunan istana. Sementara itu di depan singgasana Maha
Diraja Setan Bumi, Gending Sora nampak duduk
bersimpuh. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju
pada sang pimpinan yang memiliki kesaktian
Mandraguna. "Paman Gending Sora...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi memecah kebisuan yang
menyergap. "Hamba yang mulia...!" sahut Gending Sora dengan sikap penuh hormat.
"Aku bermaksud mengutus paman untuk
mengetahui keberadaan si Topi Terbang yang belum juga kembali sampai saat ini. Aku takut telah terjadi sesuatu dengannya.
Karena sudah hampir
dua pekan pemuda itu tidak juga kembali. Semestinya ia telah pulang dengan membawa tenaga kerja sukarela yang sangat kita butuhkan." kata laki-laki itu dengan perasaan waswas. "Tetapi kemanakah akan hamba cari si Topi
Terbang, jika hamba maupun yang mulia sendiri
tidak pernah mengetahui kemana tujuan si Topi
Terbang dalam mencari para tenaga kerja itu?"
"Itulah yang paling sulit buat kita. Sejak du-lu si Topi Terbang tidak pernah
mengatakan ke mana tujuannya dalam melakukan tugas apapun
yang kuberikan. Hal ini membuat kita merasa kesulitan untuk melacaknya..." keluh Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tergetar.
"Apakah tidak lebih baik bila kita menanyakannya pada Kanjeng Guru?" tanya Gending Sora mengajukan pendapat. Tetapi Maha


Pendekar Hina Kelana 31 Gerhana Di Malam Jahanam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diraja Setan Bumi gelengkan kepalanya keras-keras.
"Kita sudah terlalu sering membuat repot
Kanjeng Guru. Aku tak ingin persoalan ini disampaikan kepadanya."
"Lalu bagaimana yang mulia?" tanya Gending Sora penuh minat.
"Si Topi Terbang bagiku secara pribadi merupakan manusia misterius. Tetapi aku menyukai
cara kerjanya yang sangat baik. Yang pasti aku ingin agar paman melakukan penyelidikan ke berbagai tempat, atau tanyalah pada setiap orang yang
paman temui barangkali mereka melihat kemana
perginya si Topi Terbang."
"Menurut yang mulia, mungkinkah mereka
mau mengatakannya pada hamba, sedangkan mereka juga mengenal siapa hamba dan juga si Topi
Terbang...?"
"Hua... ha... ha...! Kalau mereka tidak mau
mengatakan atau memberi keterangan pada paman. Apa susahnya kalau paman bunuh saja mereka...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi seolah di dunia ini dialah yang paling
berkuasa dalam segala-galanya.
"Hemm. Sebuah gagasan yang paling sangat
hamba senangi. Semoga hamba dapat menjalankannya dengan baik...!" kata Gending Sora menyanggupi.
Maha Diraja Setan Bumi menganggukanggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku merasa bangga sekali andai paman
benar-benar dapat menjalankan semua yang saya
perintahkan dengan baik...!"
"Oh ya kapan saya harus berangkat, yang
mulia?" "Lebih cepat justru malah lebih baik...!" kata Maha Diraja Setan Bumi berwibawa.
"Kalau begitu hamba mohon diri, yang mulia...!" Gending Sora kemudian membungkukkan tubuhnya dalam-dalam, setelah itu
laki-laki bertelanjang dada inipun sudah melangkah pergi meninggalkan ruangan singgasana raja yang sangat
mewah itu. * * * Kematian Asoka kiranya menimbulkan dendam kesumat bagi Beng Ju. Diam-diam di luar sepengetahuan Beng Lie yaitu kakak seperguruannya ia mulai menghubungi beberapa orang tokoh
silat beraliran hitam. Biksu berangasan yang dulunya ketika berada di negeri leluhurnya merupakan bekas tokoh sesat yang kemudian bersumpah
melakukan tobat ini secara diam-diam hendak melakukan balas dendam dengan cara menyewa jagojago bayaran yang memiliki kepandaian tinggi.
Malam itu ketika kakak seperguruannya sedang terlelap dalam tidurnya. Di sebuah tenda lain yang terletak tidak begitu
jauh dari tenda yang di-tempati Beng Lie. Beberapa orang berpakaian serba hitam nampak bermunculan dari kegelapan.
Mereka terdiri dari empat laki-laki yang kesemuanya bersenjata lengkap. Tidak begitu lama setelah kemunculannya dari bawah
lereng bukit itu, maka
keempatnya pun segera pula menyusup ke dalam
Pendekar Bayangan Malaikat 11 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Hamukti Palapa 10

Cari Blog Ini