Ceritasilat Novel Online

Kelelawar Iblis Merah 1

Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah Bagian 1


1 Pagi masih buta. Embun masih melekat di daun-daun pepohonan. Mentari belum juga
menampakkan dirinya untuk mengedari bumi. Seorang lelaki dengan keadaan tubuh terluka parah,
berlari-lari ke dalam hutan. Wajahnya yang kelihatan pucat dan tegang sesekali
menengok ke belakang. Seperti berusaha meyakinkan dirinya kalau orang yang telah
melukainya benar-benar sudah tidak mengejar.
Lelaki itu berpakaian merah dengan lengan
panjang yang menyerupai jubah. Wajahnya garang dengan alis mata tebal, hidung
pesek serta berbibir tebal. Ditilik dari raut wajahnya, usia lelaki itu sekitar
dua puluh lima tahun. Dia bernama Warak Kendra.
"Uhhh...!" keluhnya, berusaha menahan sakit yang mendera dada. Warak Kendra
menghentikan langkahnya sejenak, lalu memandang ke belakang.
Kemudian kakinya digerakkan kembali untuk
meneruskan pelarian, dengan harapan orang yang telah melukainya tak dapat
mengejar. "Kidang Antikan, tunggulah pembalasanku!" desisnya, mengancam seseorang.
Tak lama kemudian dari mulutnya memuntahkan darah. Wajahnya semakin pucat. Darah
yang baru saja keluar dari mulutnya kelihatan agak menghitam.
Pertanda pukulan Kidang Antikan mengandung tenaga dalam yang dahsyat
Napas Warak Kendra terengah-engah. Seharian dia berlari dengan menahan luka
dalam yang cukup menyakitkan. Untung saja dia kuat dan memiliki ilmu
tenaga dalam. Kalau tidak, tentunya sudah dari kemarin dia binasa.
Sebenarnya antara Warak Kendra dan Kidang
Antikan masih ada hubungan saudara perguruan. Dia adalah kakak seperguruan
Kidang Antikan, orang yang telah melukainya.
Keduanya adalah murid-murid Perguruan Belibis Putih, sebuah perguruan yang
berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Warak Kendra kembali menerobos hutan
belantara. Tubuhnya yang sedang berlari, semakin lama semakin melemah. Tenaganya
telah terkuras habis setelah seharian berlari. Ditambah lagi dengan luka dalam
yang cukup berat, membuatnya tak tahan lagi.
"Hhh...!" Warak Kendra masih berusaha berdiri tegak. Tapi pandangan matanya
seketika berkunang-kunang. Kemudian semakin lama pandangannya semakin gelap.
Tubuh Warak Kendra akhirnya terkulai jatuh.
Sementara itu, seorang laki-laki tua dengan kelelawar berwarna merah di atas
tubuhnya menghampiri tubuh Warak Kendra yang tergolek. Lelaki yang mengenakan
baju warna merah darah seperti warna kelelawarnya, memandangi tubuh Warak Kendra
dengan tajam. Sepertinya ada sesuatu yang tengah diamatinya.
"Hm, kasihan dia...," gumamnya. "Rupanya dia terluka dalam."
Dengan menggunakan kakinya, lelaki tua berwajah garang dan berjenggot putih itu
membalikkan tubuh Warak Kendra. Hingga tubuh yang semula tengkurap itu menjadi
telentang. Lelaki tua yang matanya tajam berkilat, kembali
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dengan tangan membelai-belai janggutnya
dia berkata, "Mangkara, bagaimana menurut pendapatmu?"
tanyanya pada kelelawar merah yang menyertainya.
"Ciiit..!"
Kelelawar merah yang besarnya seperti seekor burung rajawali itu mencuit,
sekaligus menunjukkan taringnya yang runcing. Matanya yang merah bagai
mengandung bara api, memandang tajam ke tubuh Warak Kendra.
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala
setelah mendengar suara kelelawar raksasanya.
"Jadi kau setuju kalau manusia ini kutolong?"
"Ciiit..!" sahut kelelawar itu sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan
mengerti maksud tuannya.
Sayapnya direntangkan lebar-lebar. Sayap yang panjangnya hampir dua depa itu,
bagai payung yang menutupi tubuh tuannya.
"Baiklah kalau memang begitu," kata lelaki tua pemilik kelelawar merah raksasa.
"Angkatlah dia.
Bawalah dia ke pondok. Aku akan mengamati daerah sekitar sini. Kalau-kalau ada
orang lain."
"Cuit..!"
Kelelawar merah raksasa itu mencuit, kemudian terbang dari pundak tuannya.
Sayapnya bergeletar gagah, membawa tubuhnya ke udara. Beberapa saat kelelawar
itu melayang-layang memutari tubuh Warak Kendra. Kemudian kelelawar itu menukik,
menyambar tubuh Warak Kendra dengan kedua
kakinya. "Cuit..!"
"Pulanglah dulu!" seru lelaki tua itu sambil meng-gebahkan tangan kanannya ke
atas. "Cuit..!"
Kelelawar merah raksasa bermata merah itu
kembali mencuit keras. Tubuhnya melayang-layang memutari tempat itu dengan kaki
mencengkeram Warak Kendra, kemudian melesat membawa tubuh lelaki muda itu masuk
ke dalam hutan yang lebat Tubuh lelaki tua berjubah merah berkelebat dari tempat
itu, lalu menerobos hutan untuk memeriksa sekelilingnya. Langkahnya begitu
ringan. Sampai-sampai kakinya bagai tak pernah menginjak tanah.
Tubuhnya melesat cepat laksana anak panah yang lepas dari busurnya, hingga yang
terlihat hanyalah bayangan merah belaka.
Setelah sampai di perbatasan hutan, lelaki tua itu menghentikan larinya. Matanya
memandang ke atas, kemudian dengan sekali hentak tubuhnya melesat dan hinggap di
cabang pohon. Mata lelaki tua yang tajam itu memandang ke sekeliling hutan. Sepertinya tengah
melihat apakah ada orang lain yang mengikuti Warak Kendra.
Dari kejauhan, beberapa orang berjubah biru tua dengan pakaian dalam berwarna
kuning nampak berlari-lari menuju ke arah hutan itu. Tangan orang-orang yang
kelihatannya dari rimba persilatan itu menggenggam pedang dan senjata tajam
lainnya. "Dia lari ke hutan ini...!" seru salah seorang dari mereka.
"Apakah kau yakin?" tanya orang di sebelahnya
"Ya!"
"Mari kita kejar...!" ajak seorang lelaki dengan simbol burung belibis putih di
dada kirinya. Tangannya melambai, memerintah teman-temannya untuk terus berlari.
Orang yang melambaikan tangan itu, tiada lain Kidang Antikan. Dialah yang
melukai Warak Kendra.
Puluhan orang persilatan itu terus berlari ke arah hutan. Mereka tidak menyadari
kalau gerak-gerik mereka diawasi lelaki bermata tajam semerah bara yang
bertengger di cabang sebatang pohon.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Mereka akan tahu per-sembunyianku! Harus dibereskan!"
gumam lelaki tua berjubah merah dengan mata tajam itu. Kemudian dengan ringan,
tubuhnya melesat untuk menghadang orang-orang yang hendak masuk ke dalam hutan.
Puluhan orang persilatan itu tersentak kaget, melihat kehadiran lelaki tua yang
tiba-tiba. Namun mereka segera menjura hormat. Salah seorang dari mereka maju
dengan sikap hormat.
"Kiranya Ki Wangas Pati. Mohon dimaafkan kalau kedatangan kami mengejutkanmu,
Ki." "Hm...," gumam orang tua yang disebut sebagai Ki Wangas Pati. Matanya yang merah
dan tajam, memandang lekat pada mereka. "Ada apa kalian kemari?"
Kidang Antikan melangkah maju. Sekali lagi lelaki itu menjura hormat. Kemudian
dengan sopan ber-tanya.
"Maafkan kami, Ki. Kalau kedatangan kami dianggap telah mengganggumu. Kalau
boleh kami tahu, apakah kau melihat seorang lelaki terluka yang berpakaian
merah?" Ki Wangas Pati mengerutkan kening. Dengan
tatapan bengis, memandang tajam pada Kidang Antikan yang berdiri di hadapannya.
"Untuk apa kalian mencari orang itu?" tanyanya dengan suara yang masih
menunjukkan keangkuhan.
"Dia sangat berbahaya, Ki. Licik dan keji. Bahkan hampir saja membunuh guru
kami," jawab Kidang Antikan menjelaskan. "Kalau memang mengetahuinya, kami berharap agar Ki Wangas Pati mau menunjukkan pada kami."
"Bagaimana kalau aku tak mau menunjukkan pada kalian?" tanya Wangas Pati dengan
sikap menantang.
Mata Kidang Antikan dan teman-temannya saling bertatapan. Tapi Kidang Antikan
yang sudah kenal siapa lelaki tua di hadapannya berusaha ramah.
"Maaf, Ki.... Sesungguhnya dia sangat berbahaya.
Perlu Ki Wangas Pati ketahui, percuma melindungi-nya. Dia tidak ubahnya anak
macan. Saat terluka minta dirawat, tapi kalau lukanya sembuh bisa mem-bahayakan
orang yang merawatnya."
"Diam! Jangan mengguruiku!" bentak Ki Wangas Pati dengan mata memandang bengis
ke arah Kidang Antikan dan teman-temannya. "Apakah kalian kira Wangas Pati dapat
diperdayai" Huh...! Pergilah dari sini, sebelum kesabaranku hilang!"
Kidang Antikan dan teman-temannya saling
pandang. "Jadi, Ki Wangas Pati tahu di mana dia?" tanya Kidang Antikan, masih tetap
sopan. "Ya!" jawab Ki Wangas Pati tegas.
"Maaf, Ki. Tunjukkanlah di mana dia," pinta Kidang Antikan.
"Tak akan kutunjukkan! Pergilah! Atau terpaksa aku harus mengusir kalian dengan
kekerasan!"
ancam Ki Wangas Pati. Matanya semakin tajam menghunjam, memandang Kidang Antikan
yang terlihat masih tenang.
"Maaf, Ki. Sebenarnya kami yang muda sudah menghormatimu. Namun, bukan berarti
kami harus tunduk pada perintahmu. Kami ditugaskan untuk menangkap Warak Kendra.
Maka itu, apa pun
rintangannya akan kami hadapi...," tutur Kidang
Antikan. "Bocah nekat! Apakah kau benar-benar sudah punya nyawa cadangan, hingga berani
menentangku, heh"!" sentak Ki Wangas Pati dengan gusar. Matanya semakin merah
membara. "Masalah nyawa, semua orang tak mau
kehilangan, Ki. Tapi demi kebenaran dan keadilan, kami siap mati," sahut Kidang
Antikan dengan gagah berani, membuat Ki Wangas Pati semakin geram.
"Kurang ajar...!"
"Kami memang masih muda, tapi kami tak kurang pelajaran seperti kau, Ki...,"
sahut Kidang Antikan dengan nada menyindir. Hal itu membuat Ki Wangas Pati
semakin bertambah marah.
"Bocah mencari mampus! Jangan salahkan kalau mulutmu yang lancang kurobek!
Heaaa...!"
*** Melihat orang tua itu telah menyerang, Kidang Antikan tidak tinggal diam. Pemuda
tampan dengan rambut digelung dengan ikat pita putih serta tali kepala merah itu
segera bergerak mengelakkan serangan Ki Wangas Pati
"Heaaat..!"
Pedang di tangan Kidang Antikan bergerak cepat, membabat setiap serangan yang
dilancarkan Ki Wangas Pati. Tubuh keduanya bergerak bagai kilat, sehingga kini
tak nampak lagi tubuh mereka. Yang terlihat hanyalah dua gulungan warna yang
berbaur tak menentu.
"Hiyaaa...!"
Ki Wangas Pati merentangkan kedua tangannya, membentuk sebuah sayap lebar.
Kemudian dengan
cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan.
Disusul oleh sambaran tangan kiri ke arah kepala lawan. Sedangkan sepasang
kakinya bergerak cepat secara bergantian, mencecar kaki lawan.
Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Kidang Antikan tak mau kalah. Pedang
di tangannya diputar sedemikian rupa, membentuk baling-baling di depan tubuhnya.
Sesekali pedang itu membabat ke arah bawah dan atas, membuat serangan-serangan
yang dilancarkan Ki Wangas Pati tak mengenai sasaran.
"Heaaat..!"
"Yeaaa..!"
Ki Wangas Pati yang merasa serangan awalnya gagal, dengan cepat mengembangkan
serangannya lagi. Tangannya terangkat lurus ke atas, kemudian ditekuk membentuk
siku. Lalu dengan jari-jari tangan mengembang, tangan kanannya menyambar dada
lawan. "Jebol dadamu, Bocah!"
"Uts...!"
Cepat Kidang Antikan melompat mundur. Kembali pedangnya diputar di depan tubuh.
Menjadikan putaran pedang itu laksana baling-baling. Cepat dan ganas. Begitu
cepatnya putaran itu hingga yang nampak hanyalah kilatan warna putih yang
membungkus tubuh Kidang Antikan.
Karena mengira Kidang Antikan akan sulit menghadapi orang tua itu, tanpa
diperintah lima belas temannya langsung bergerak maju. Dengan pedang di tangan,
mereka mengepung kedua orang yang masih bertarung itu.
Dua orang itu terus bertarung dengan seru.
Masing-masing menunjukkan ilmu silat yang mereka miliki. Tak percuma Kidang
Antikan mendapat
kepercayaan dari gurunya untuk menangkap Warak Kendra. Terbukti telah lebih dari
sepuluh jurus dia masih mampu menghadapi orang tua yang terkenal aneh itu. Malah
nampaknya pemuda itu bisa mengimbangi setiap serangan lawan.
Ki Wangas Pati yang serangannya selalu dapat digagalkan pemuda itu, semakin
penasaran. Tangannya kembali merentang, kemudian terangkat lurus ke atas.
Disambung dengan menekuknya di samping dada.
Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan tangan kanannya bergerak menyapu.
Kedua kakinya pun tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah pinggang lawan,
disusul kaki kiri yang menyapu kaki lawan. Itulah jurus 'Kelelawar Membelah
Kabut', sebuah jurus yang terkenal ganas dan mematikan.
"Hiaaat..!"
Kidang Antikan tersentak melihat jurus yang dilancarkan orang tua itu. Gerakan
orang tua itu sangat cepat, rasanya sangat sulit baginya untuk mengelak. Tapi
Kidang Antikan bukanlah pemuda kemarin sore yang masih mentah dalam ilmu bela
diri. Percuma dia diberi tugas yang cukup berat untuk menangkap dan membawa
kakak seperguruannya agar dapat diadili.
Kidang Antikan menggeser kakinya dua langkah ke samping, kemudian tangan
kanannya memukul
dengan telapak. Tangan kirinya yang memegang pedang, membabat ke arah samping.
Gerakan pedang dan pukulan tangan Kidang Antikan
serempak. Sedangkan kakinya mengelak dengan cara bergeser ke samping atau
mundur. Jurus yang digunakan Kidang Antikan, tiada lain jurus 'Belibis Melalang Mencari
Mangsa', salah satu
jurus andalan dari Perguruan Belibis Putih.
Gabungan dan kembangan jurus itu sangat indah.
Tubuh orang yang memperagakannya bagai gerakan seekor belibis. Kakinya bergerak
ringan. Sementara tangannya bergerak cepat, memukul dan membabatkan pedang.
Jika saja yang menjadi lawan bukan Ki Wangas Pati, sudah dari tadi dapat
dikalahkan. Tapi lawannya kini adalah salah seorang tokoh persilatan yang
namanya cukup kondang di kalangan rimba
persilatan. Serangan yang cepat dan gencar dari Kidang Antikan mendapat perlawanan yang juga
cepat dan gencar. Jurus-jurus yang dilancarkan Kidang Antikan hanyalah jurusjurus pelumpuh. Maka jika mengenai sasaran, tidak akan mematikan lawan.
Sebaliknya jurus-jurus yang dilancarkan Ki Wangas Pati adalah jurus-jurus
mematikan. Kalau sampai lawan terkena hantaman atau tebasan tangannya, dapat
dipastikan lawan akan mengalami kematian.
Ki Wangas Pati yang semakin penasaran karena sudah hampir dua puluh jurus belum
juga mampu menjatuhkan lawannya, semakin bernafsu. Tangannya membentuk cakar,
dengan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Tangan kanannya mencakar ke muka
lawan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan telapak tangan ke dada lawan.
"Heaaa...! Sobek mukamu, Bocah!" bentak Ki Wangas Pati dengan penuh kegusaran.
Kini gerakan tangan yang menyerang semakin bertambah cepat dan ganas. Kukukukunya yang panjang, akan mampu merobek kulit tubuh.
"Hup...! Hiaaa...!"
Kidang Antikan mendongakkan kepala dengan
cepat, ketika cakaran tangan kanan orang tua itu mengarah ke wajahnya. Kemudian
dengan cepat pula, tubuhnya digeser dua langkah ke samping kanan.
Serangan Ki Wangas Pati lolos. Tangan orang tua itu meluncur deras ke arah


Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

samping, membuat orang tua itu semakin bernafsu untuk membunuh pemuda yang
menjadi musuhnya. Tangannya yang mencakar semakin cepat, sampai-sampai tak
nampak lagi. "Celaka...!" pekik Kidang Antikan dengan mata melotot kaget, melihat gerakan
tangan orang tua itu.
"Uts...! Hampir saja."
Kidang Antikan segera membuang tubuh ke
samping kiri, mengelakkan cakaran lawan.
Crab! Kuku-kuku Ki Wangas Pati menghunjam pohon
yang berada di belakang Kidang Antikan. Begitu keras dan kuatnya hunjaman kukukuku itu, sampai-sampai, kulit pohon yang keras bisa ditembus. Dan ketika Ki
Wangas Pati menarik jari-jari tangannya, seketika pemandangan mengerikan
terjadi. Dedaunan pohon itu langsung berguguran. Malah pohon itu nampak hangus.
Mata Kidang Antikan dan orang-orangnya membelalak kaget saat menyaksikan
kejadian itu. Pohon saja sampai mengalami hal yang sangat mengerikan.
Apalagi manusia"
Meski begitu, sebagai seorang pendekar, pantang bagi Kidang Antikan mundur
karena ngeri menyaksikan cakaran lawan. Dia terus berusaha mengimbangi jurusjurus lawan yang semakin lama kian buas.
Saat pertarungan berjalan seru, tiba-tiba terdengar suara cuitan nyaring di
udara yang menyentakkan semua rekan Kidang Antikan. Dan ketika mereka
menengadahkan wajah ke atas, mata mereka membelalak kaget menyaksikan seekor
kelelawar merah raksasa.
"Cuiiit...!"
*** 2 Berbeda dengan rekan-rekan Kidang Antikan yang terperanjat kaget dengan
kedatangan makhluk berupa kelelawar raksasa berwarna merah, Ki Wangas Pati malah
tersenyum senang. Dengan berteriak nyaring sambil mengangkat tangan, Ki Wangas
Pati memanggil binatang piaraannya.
"Bagus! Rupanya kau datang tepat pada waktunya, Mangkara! Turunlah! Singkirkan
mereka, cepat...!"
kata Ki Wangas Pati sambil terus menyerang kembali Kidang Antikan.
Bagaikan mengerti perintah tuannya, binatang menyeramkan itu mencuit keras.
Kemudian tubuhnya menukik ke bawah sambil mengepakkan sayap, siap menyambar
kelima belas orang yang mengurung tuannya.
"Cuit..!"
"Awas, binatang iblis itu menyerang...!" seru salah seorang dari mereka untuk
mengingatkan teman-temannya.
Kelelawar merah dengan mata laksana mengandung api itu menukik cepat, kemudian
sayapnya menyambar deras ke arah orang-orang yang
mengurung tuannya.
Wuuut! Cras! "Aaa...!"
Salah seorang terkena sambaran sayap kelelawar itu. Wajahnya bagai terbabat oleh
pedang. Luka yang mengeluarkan darah, menyilang di muka orang itu.
Sesaat tubuh orang malang itu meregang, sebelum ambruk ke tanah dengan nyawa
melayang. "Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah membubung ke angkasa.
Lalu dengan suara keras yang memekakkan telinga, kembali tubuhnya menukik ke
bawah. "Cepat menyingkir...!"
Mereka berusaha menyingkir dari tempat itu.
Namun salah seorang dari mereka rupanya nekat Dengan pedang di tangan, lelaki
itu berusaha menghadapi serangan kelelawar yang siap menyerang ke arahnya.
"Kelelawar iblis! Hadapi aku! Yoga Prana tak akan takut padamu! Yeaaat..!"
Lelaki yang bernama Yoga Prana ini segera
menebaskan pedang ke tubuh kelelawar raksasa itu.
Tapi bagaikan tahu ada bahaya, kelelawar itu kembali ke angkasa. Membuat
serangan Yoga Prana
mengenai tempat kosong.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, kemudian dengan cepat kembali menukik.
Sayapnya yang lebar dan tajam bagai pedang, dengan cepat mengepak ke wajah
lelaki itu. Wettt! Yoga Prana berusaha membabatkan pedangnya ke arah kelelawar, berusaha mendahului
babatan sayap binatang itu. Ternyata babatan pedangnya kalah cepat. Sayap
binatang raksasa itu telah menghantam kepalanya lebih dahuhi.
Prak! "Aaa...!" Yoga Prana memekik keras. Kepalanya pecah, sampai-sampai otaknya
terburai ke luar.
Darah meleleh dari pecahan kepalanya. Mata lelaki
malang itu melotot, lalu ambruk dengan nyawa melayang.
Menyaksikan dua orang temannya mati. Bukannya menjadikan yang lainnya takut.
Malah mereka kelihatannya menjadi nekat. Didahului oleh pekikan menggelegar,
ketiga belas orang rekan Kidang Antikan menyerbu.
"Bunuh kelelawar ibhs itu...!"
"Serang...!"
"Pakai tombak...!"
Dengan menggunakan tombak, mereka siap meng-ganyang kelelawar raksasa itu.
Serentak mereka melemparkan tombak saat kelelawar merah raksasa itu menukik ke
bawah. Namun bagai tahu ilmu silat, kelelawar itu bergerak mengelit. Sayapnya
mengepak-ngepak, menangkis! Tombak-tombak yang mengarah ke tubuhnya. Kebutan
sayap binatang itu
menimbulkan angin yang besar.
Tombak-tombak yang dilemparkan ketiga belas orang itu tak ada satu pun yang
mengena. Malah beberapa tombak kini melesat kembali ke arah pemiliknya. Kemudian
dengan tepat dan deras, menghunjam di dada lima lelaki itu, hingga tembus ke
punggung. Crab! Pekikan kematian susul-menyusul, keluar dari mulut kelima orang yang dadanya
tertembus tombak.
Darah mengalir dari lubang di dada mereka yang kini bergelimpangan tanpa nyawa.
Semakin marah saja teman-teman korban
menyaksikan kejadian itu. Mereka dengan nekat segera menghunus pedang, lalu
menantang Kelelawar Iblis Merah yang masih berputar-putar di angkasa.
"Cuit...!"
"Kelelawar iblis, turunlah! Hadapi kami...!" tantang Walas Pitu. Tangan kanannya
yang memegang pedang mengacung ke atas.
"Cuit...!"
Kelelawar Iblis Merah menukik, kemudian dengan cepat menyambar ke arah mereka.
Kedelapan orang itu merunduk, berusaha mengelakkan sambaran sayap binatang buas
itu. Lalu dengan cepat membalas dengan tusukan dan babatan pedang.
"Hancur tubuhmu, Kelelawar Iblis...!"
Berbarengan mereka membabatkan pedang ke
tubuh Kelelawar Iblis Merah yang sudah merendah.
Namun tanpa diduga, tiba-tiba binatang itu kembali mengepakkan sayap sambil
melesat ke atas.
Cras! "Aaa...!"
Dua orang lagi menjadi korban. Wajah mereka terkena babatan sayap binatang itu.
Luka menyilang dengan darah mengucur, terlihat di wajah kedua orang yang
kemudian meregang nyawa dan ambruk ke tanah. Sedangkan yang lainnya, terbelalak
kaget ketika pedang mereka beradu tanpa mengenai sasaran.
Trang! "Kurang ajar! Rupanya binatang iblis itu benar-benar mempermainkan kita!" dengus
Walas Pitu sengit
Ketika Kelelawar Iblis Merah kembali menukik ke bawah, Walas Pitu dengan cepat
merunduk. Pedangnya langsung dibabatkan ke tubuh kelelawar itu.
Sementara Kelelawar Iblis Merah yang tengah mengepakkan sayap untuk menyerang
lima orang lainnya, tak dapat mengelakkan babatan pedang Walas Pitu.
Bret! "Cuit..!"
Binatang itu langsung mencuit keras, ketika merasakan sakit pada bagian tubuhnya
yang terluka. Darah hitam mengucur dari tubuhnya. Tapi binatang itu tidak menjadi takut. Malah
dengan keadaannya yang terluka, dia kian ganas.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya mengepak dengan cepat. Sayapnya
yang melebihi tajamnya pedang, bergerak liar membabi buta.
Membuat keenam orang itu kewalahan. Mereka berusaha membalas serangan binatang
yang sangat ganas itu. Namun kepakan sayap binatang itu ternyata lebih cepat
Cras! Bret! Dua orang lagi memekik. Yang seorang kepalanya hancur, sedangkan yang lain
terpenggal. Kemudian binatang itu kembali membubung ke angkasa, berputar-putar
sesaat, lalu kembali menukik untuk melakukan serangan.
"Cuit...!"
Kedua sayap Kelelawar Iblis Merah mengembang lebar. Setelah dekat, dengan cepat
menyambar dan memukul ke arah lawan-lawannya.
"Binatang celaka! Kau harus mampus...!"
Walas Pitu yang merasa telah dapat melukai binatang itu, dengan nekat merangsek
ke depan. Hal itu berakibat fatal baginya. Sebelum dia sempat menusukkan
pedangnya, kuku-kuku Kelelawar Iblis Merah yang panjang telah lebih dahulu
mencengkeram lehernya. Bersamaan dengan kepakan
sayap binatang itu untuk menyerang lawan yang lain.
Prak! Cras! Dua orang lagi memekik keras. Pekikan kematian yang mengiringi hancurnya kepala
dan muka mereka.
Sedangkan Walas Pitu yang dalam cengkeraman kaki-kaki binatang itu, kini dibawa
ke atas. "Oh, tolooong...!" Walas Pitu berusaha meminta tolong pada temannya yang masih
hidup. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa. Binatang iblis itu terus
membubung tinggi. Setelah mencapai ke-tinggian yang cukup, dilepaskannya tubuh
Walas Pitu. Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dengan deras ke bawah. Tidak lama kemudian,
terdengar suara pecahnya batok kepala, mengakhiri jeritan menyayat Walas Pitu.
Prak! "Aaa...!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik, siap menyerang dua lawan yang masih
hidup. Nyali mereka seketika menciut. Tanpa pikir panjang lagi, kedua orang itu
segera lari tunggang-langgang.
Rupanya binatang iblis itu tak mau melepaskan mereka begitu saja. Dengan mencuit
keras, binatang itu memburu keduanya. Dalam sekejap saja, mereka dapat disusul.
Sayap kelelawar itu mengembang, kemudian membabat punggung keduanya dengan
deras. Prak, prak! "Aaa...!"
Kedua orang itu memekik keras. Punggung mereka langsung hancur dengan darah
menyembur ke mana-mana. Sesaat tubuh keduanya meregang kemudian ambruk dengan
nyawa melayang.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa. Mengetahui semua lawan yang
dihadapinya telah bergelimpangan tanpa nyawa, binatang itu hendak membantu
tuannya yang tengah bertarung.
Sambil mengepakkan sayapnya yang lebar, kelelawar raksasa itu melayang menuju
arena pertarungan antara Ki Wangas Pati dan Kidang Antikan.
"Kau tak usah membantuku! Dia sebentar lagi juga mampus!" cegah Ki Wangas Pati
pada binatang piaraannya.
Bersamaan dengan ucapannya, Ki Wangas Pati mengirimkan satu pukulan maut Pukulan
'Pemegat Nyawa' yang dahsyat itu melaju deras ke arah Kidang Antikan.
Kidang Antikan tersentak kaget. Sama sekali tidak diduganya kalau lawan akan
mengeluarkan pukulan maut. Dengan berusaha sebisanya, pemuda gagah itu segera
memapaki dengan pukulan sakti 'Serat Kandala'.
"Hiaaat.."
"Yeaaa...!"
Seberkas sinar berwarna merah dan putih keluar dari tangan keduanya, diikuti
oleh gemuruh angin laksana amukan topan. Kemudian kedua pukulan sakti itu
bertemu di udara, mencintakan ledakan menggelegar yang dahsyat
Glarrr! "Ugkh...!"
Tubuh Ki Wangas Pati terhuyung dua langkah ke belakang. Matanya membelalak, tak
percaya kalau pukulan lawan begitu kuat. Sedangkan tubuh Kidang Antikan
terlempar beberapa tombak ke belakang.
Dadanya remuk dengan luka lebar mengerikan.
Tanpa ampun lagi, maut menjemput nyawa pemuda itu.
Ki Wangas Pati menarik napas dalam-dalam.
Setelah melambaikan tangan pada Kelelawar Iblis Merah, orang tua yang berwatak
angin-anginan itu berlalu dari tempat pembantaian yang menyisakan belasan mayat
bersimbah darah.
Dalam sebuah gubuk di tengah Hutan Wandar, Ki Wangas Pati duduk bersila sambil
mengatur per-napasannya, guna memulihkan tenaga yang terkuras habis dalam
pertarungannya beberapa saat lalu.
Terlebih ketika bentrokan tenaga dalam dengan Kidang Antikan.
Sementara di biar gubuk, seekor kelelawar raksasa berwarna merah tengah
menggelantung di sebuah cabang pohon besar. Matanya yang merah, tidak lagi tajam
seperti semula. Kini matanya redup, merasakan sakit akibat luka di tubuhnya.
Lukanya terlihat masih meneteskan darah hitam yang membasahi rumput di
bawahnya.. Tampaknya binatang raksasa itu tengah melakukan semadi seperti
tuannya. Tak berapa lama kemudian, Ki Wangas Pati keluar.
Matanya langsung memandangi kelelawar raksasa berwarna merah itu.
"Kau terluka, Mangkara?" tanya Ki Wangas Pati.
"Cuit..!" sahut kelelawar itu seraya mengangguk-anggukkan kepala. Sayapnya
membentang, seperti hendak menunjukkan luka-luka yang diderita pada tuannya.
Memang, di dada binatang itu terdapat luka yang menganga.
"Turunlah, biar aku melihatnya...!"
"Cuit...!"
Tubuh kelelawar merah raksasa itu pun turun,
kemudian hinggap di sebuah batu di depan Ki Wangas Pati. Sayapnya direntang
lebar-lebar, sehingga Ki Wangas Pati dapat melihat lukanya.
Sejenak Ki Wangas Pati mengamati luka di rubuh kelelawar itu. Tangannya mengusap
darah yang mengalir di dada binatang peliharaannya dengan jari telunjuk, lalu
didekatkannya jari itu ke hidungnya.
"Hm, untung pedang itu tidak beracun...." gumam Kl Wangas Pati. "Sebentar,
Mangkara. Akan kuambil-kan obat untuk mengobati lukamu."
"Cuit..!"
Ki Wangas Pati beranjak masuk ke dalam gubuknya untuk mencari obat. Tak lama
kemudian, orang tua berjubah merah itu keluar kembali. Di tangannya tergenggam
sebuah mangkuk terbuat dari tanah liat.
Di dalam mangkuk itu, terdapat ramuan obat untuk menyembuhkan luka.
"Hm.... Kau harus menahan sakit, Mangkara." Ki Wangas Pati segera mengoleskan
ramuan obat itu ke luka di tubuh Mangkara. Bagai sedang mengalami siksaan, mulut
binatang itu memekik-mekik keras.
Kepalanya bergerak-gerak liar, seolah-olah menahan rasa sakit yang tiada tara.
"Cuit, cuit..!"
"Memang perih, Mangkara. Tapi hanya sebentar.
Selebihnya lukamu akan cepat kering dan sembuh,"
kata Ki Wangas Pati sambil membelai-belai kepala binatang itu.
"Cuit..!"
"Baiklah, Mangkara. Aku harus menolong pemuda itu. Kau bersemadilah dulu, untuk


Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memulihkan tenaga yang terkuras, sekaligus mempercepat kesembuhan luka di
tubuhmu," kata Ki Wangas Pati sambil berlalu meninggalkan Mangkara, kembali
masuk ke dalam gubuknya.
Kaki Ki Wangas Pati melangkah ke sebuah
ruangan dalam gubuk itu, di mana Warak Kendra tergeletak bertelanjang dada. Di
dada kirinya nampak bekas pukulan yang menghitam kebiru-biruan.
"Hm...," Ki Wangas Pati mengangguk-anggukkan kepala menyaksikan luka tersebut
"Pantas saja dia mengalami hal seperti itu. Aku sendiri telah merasakan betapa
besar tenaga dalam pemuda itu."
Ki Wangas Pati kemudian melangkah ke tempat penyimpanan obat-obatan. Dicarinya
obat yang berada di tempat berbentuk tabung dari bambu.
Diambilnya salah sebuah tabung bambu. Lalu dibawanya menuju tempat Warak Kendra
tergolek. Ki Wangas Pati mengaduk serbuk obat Lulur Raga Sakti yang baru diambil dari
tabung bambu itu.
Kemudian dioleskannya ke luka di dada kiri dan kanan Warak Kendra.
"Akh...!"
Warak Kendra menjerit, ketika luka di dadanya diolesi ramuan obat yang diberikan
Ki Wangas Pati.
Dari luka itu mengepul asap, bagaikan terbakar.
"Tahan sedikit, Anak Muda," kata Ki Wangas Pati masih terus melumuri dada pemuda
itu dengan ramuan obatnya. Orang tua berjubah merah itu seperti tak menghiraukan
jerit kesakitan Warak Kendra.
Setelah menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tak terkirakan, tubuh Warak
Kendra terdiam.
Nampaknya pemuda itu kembali jatuh pingsan.
Dadanya masih mengepulkan asap. Namun perlahan-lahan nampak warna hitam kebirubiruan bekas pukulan telapak tangan itu menghilang. Tubuhnya yang semula
membiru, kini berangsur normal seperti
sediakala. Ki Wangas Pati naik ke atas tempat tidur di mana Warak Kendra terbaring.
Tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam. Kemudian telapak tangannya
yang menyatu, perlahan bergerak
membuka. Lalu telapak tangan kanannya ditempelkan di dada pemuda itu. Sedangkan
telapak kirinya ditempelkan di perut dengan sedikit mendorong.
"Hhh...!"
Ki Wangas Pati menghempaskan napas untuk
menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangannya.
Tubuhnya menggigil dahsyat dan mengucurkan keringat. Matanya terpejam rapat.
Tubuh Warak Kendra turut menggigil. Dibarengi dengan keluarnya keringat sebesar
biji jagung. Asap mengepul keluar dari telapak tangan Ki Wangas Pati.
Begitu juga dari tubuh pemuda itu.
"Uhhh...!"
Terdengar keluhan lirih dari mulut Warak Kendra.
Tubuhnya dirasakan membara laksana dibakar dalam tungku. Kemudian mendadak
menjadi dingin mem-bekukan, bagai bongkahan es.
Proses penyembuhan luka di tubuh Warak Kendra berjalan cukup lama. Sampai-sampai
Ki Wangas Pati kelelahan. Tenaganya bagaikan dikuras habis oleh proses
penyembuhan itu.
"Oh...!" Ki Wangas Pati mengeluh. Tubuhnya tergetar hebat. Dan menjelang puncak
penyembuhan itu, tubuhnya terkulai lemas lalu jatuh tertidur.
Lain halnya dengan Warak Kendra. Dia malah menggeliat bangun setelah merasa
tubuhnya segar kembali. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka, lalu memandang
ke sekelilingnya.
"Cuit..!"
Di luar terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, membuat kening Warak Kendra
berkerut dalam.
Perlahan-lahan dia bangkit. Dan dengan agak sempoyongan, kakinya melangkah
keluar untuk melihat sesuatu yang didengarnya.
"Kelelawar Iblis Merah..!" gumamnya dengan mata membelalak tatkala melihat
seekor binatang raksasa tengah bergelantungan di sebuah cabang pohon besar.
"Kalau begitu, di sinilah tempat Mustika Pengubah Raga..."
Sekilas bibir Warak Kendra menyunggingkan
senyum. Di hatinya kini tersimpan sebuah rencana jahat. Rencana untuk
mendapatkan mustika itu.
Merebutnya dari tangan Ki Wangas Pati!
*** 3 Matahari pagi naik sepenggalan. Angin pagi berhembus pelan, membelai dedaunan.
Kicau burung terasa sangat merdu. Ditambah dengan langit yang demikian bening,
membangun keindahan alam di dalam Hutan Wandar.
Seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit kuning bersih, duduk di atas
sebatang pohon tumbang di Hutan Wandar. Rambutnya panjang dengan ikat kepala dan
baju rompi yang terbuat dari kulit ular sanca. Di tangan pemuda itu, tergenggam
sebuah suling berkepala naga. Itulah Suling Naga Sakti. Dan tentunya pemuda itu
tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Mata pemuda itu memandang langit yang berhias bentangan warna biru bersih.
Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangan tangan kirinya memukul-mukulkan
suling ke paha.
"Ah, betapa damainya suasana di tempat ini,"
gumam Sena sambil cengengesan.
Pemuda bertampang gila itu menghela napas.
Wajahnya masih nampak cengengesan. Tangan
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Lalu sulingnya diletakkan di bibir.
Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan pelan.
Nampaknya Sena hendak bersenandung, mengisi suasana yang sepi dan damai.
Kemudian terdengar suara suling mengalun dengan merdunya, menebar-kan irama lagu
yang penuh penghayatan.
Betapa damainya alam ini
Seakan penuh kenikmatan
Gunung menjulang tinggi membiru
Pohon tumbuh menghijau asri....
Pemuda tampan dengan pakaian rompi kulit ular itu terus berdendang dan diselingi
tiupan sulingnya.
Iramanya mendayu sendu, penuh penghayatan.
Sepertinya mengajak para pendengarnya untuk menghayati alam sekitarnya. Alam
yang subur dan damai.
Sayang sekali....
Mengapa keindahan ini harus rusak
Oleh tumpahnya darah
Oleh kekejian manusia....
Saat Sena berdendang sambil menikmati indahnya alam di pagi itu, tiba-tiba
telinganya mendengar suara memekik keras di angkasa. Suara pekikan itu
mengejutkannya, hingga kepalanya seketika mendongak ke langit.
"Cuit! Cuit...!"
Di kejauhan sana, dilihatnya sebuah sosok
bayangan merah raksasa tengah melayang. Semakin pemuda tampan bertampang gila
itu menajamkan pandangannya, semakin jelas bentuk benda yang melayang itu.
Sena mengerutkan kening. Kembali tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Hyang Jagat Dewa Batara, binatang apakah itu,"
gumamnya tanpa sadar.
Sena bangun dari duduknya. Berdiri dengan tegap seraya memandang binatang
raksasa yang masih
melayang-layang di angkasa. Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Mulutnya nyengir.
"Ah ah ah.... Pertanda apakah binatang aneh itu keluar" Bukankah binatang itu
sudah lama menghilang" Mengapa kini keluar lagi...?" gumam Sena dengan wajah
tetap menengadah.
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu mencuit keras, kemudian menukik deras ke bawah. Hal itu menjadikan
Sena membelalakkan mata. Mulutnya nampak menganga.
"Heh, sepertinya binatang iblis itu tengah bertarung dengan sesuatu!"
Benar juga, kelelawar itu sebentar-sebentar menukik, lalu melesat naik ke atas
lagi. "Cuit! Cuit..!"
"Ah ah ah.... Binatang itu benar-benar tengah bertarung dengan sesuatu. Tapi
bertarung dengan apa...?" tanya Sena, keheranan. Matanya sama sekali tak
menangkap lawan tarung binatang raksasa itu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti.
Diselipkannya Suling Naga Sakti di pinggang.
Kemudian masih dengan menggaruk-garuk kepala, dipandanginya tingkah laku
binatang itu. "Cuit! Cuit...!"
Binatang raksasa berwarna merah itu melayang di udara. Berputar-putar dengan
mengepakkan sayap.
Mulutnya memperdengamya suara yang memekakkan telinga. Kemudian dengan deras
menukik ke bawah dengan sayap mengepak keras, seakan
hendak menghantam sesuatu.
"Ha ha ha... Lucu sekali binatang itu. Seperti manusia saja tingkah lakunya...."
Sena tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Sedangkan
tangan kirinya kini menepuk-nepuk pantat, tingkah laku kelelawar merah raksasa itu di
matanya terlihat lucu.
Tak henti-hentinya Sena memandangi gerak-gerik binatang raksasa yang melayanglayang di angkasa sambil tertawa-tawa kegelian. Tangannya tak berhenti menggaruk
dan menepuk pantat. Kakinya berjingkat-jingkat seperti monyet.
"Hi hi hi...! Lucu sekali.... Lucu sekali binatang raksasa itu bertarung."
Tiba-tiba Sena menghentikan tawanya, juga
gerakan tangan dan kakinya. Keningnya berkerut, seakan ada yang tengah
dipikirkan. Sena kembali memandang kelelawar raksasa
merah yang masih melayang-layang. Tiba-tiba tangannya menepuk dahi sambil
berseru, "Ah, bukankah kelelawar itu yang dinamakan Kelelawar Iblis Merah" Hm, berarti
cerita tentang binatang itu memang benar! Aku harus segera ke sana untuk melihat
apa yang dilakukannya."
Tubuh Sena segera melesat meninggalkan tempat itu. Dengan lari kencang laksana
terbang, dia menuju ke tempat kelelewar itu bertarung yang masih berada di
wilayah Hutan Wandar. Tawanya menggelegar, membuat burung-burung beterbangan.
Di cakrawala sebelah selatan, kelelawar itu masih terlihat. Sebentar-sebentar
naik ke atas, kemudian menukik kembali ke bawah.
*** "Cuit! Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah membubung tinggi ke
angkasa. Tubuhnya berputar-putar sesaat, lalu melesat meninggalkan Hutan Wandar.
Kini tinggal lima
tubuh lelaki yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Wajah kelima lelaki dari dunia persilatan itu berlumuran darah yang mengalir
dari luka menganga akibat sabetan ganas sayap kelelawar raksasa yang tajamnya
melebihi mata pedang.
Sena terbengong-bengong setelah sampai di
tempat itu. Matanya membelalak, menyaksikan lima tubuh tergeletak mati.
"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apa lagi yang kini menimpa rimba persilatan?"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekeliling tempat
itu, berusaha mencari pelaku keji yang telah membantai kelima orang itu. Tapi
jejak kaki orang yang mungkin menjadi algojo keji bagi lima orang naas di
hadapannya tidak ditemukan.
Pendengarannya dipadang tajam-tajam, dengan harapan dapat mendengar langkah kaki
sekecil apa pun. Hasilnya sama saja. Tak juga didengarnya suara langkah kaki.
Berarti di tempat itu tidak ada orang lain selain dirinya.
Sena mengerutkan kening, tangannya masih
menggaruk-garuk kepala. Tiba-tiba mulutnya tertawa, ketika ingat kalau tadi
dilihatnya kelelawar raksasa berwarna merah darah.
"Ha ha ha...! Tolol! Tolol sekali aku. Bagaimana mungkin ada orang" Bukankah
yang bertarung dengan kelima pendekar ini seekor kelelawar?"
Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya masih tersenyum-senyum, mencemooh
ketololannya. Tangan kanannya menepuk-nepuk kening. Kemudian dengan hati-hati, didekatinya
tubuh kelima lelaki malang itu.
"Mengerikan!" desis Sena.
Sena tak henti-hentinya menggelengkan kepala
ketika memeriksa satu persatu kelima mayat itu. Dari kelima mayat itu, tidak
seorang pun dikenalinya.
"Keji! Keji sekali binatang itu!" maki Sena. "Aneh, bagaimana mungkin mereka
yang membawa senjata tajam bisa dikalahkan orang seekor kelelawar?"
Sena berpikir sesaat. Namun masih saja tidak di-pahaminya kejadian itu. Mengapa
kelima pendekar yang kelihatannya gagah itu menemui ajal hanya ber-hadapan
dengan seekor kelelawar raksasa.
Belum juga Sena mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menyesaki benaknya,
dari kejauhan tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh.
"Itu dia...!"
"Tangkap manusia keji itu...!"
"Cincang tubuhnya...!"
Sena tersentak kaget mendengar seruan-seruan itu. Matanya membelalak ke arah
puluhan orang yang berlari serabutan ke arahnya dengan senjata terhunus. Rupanya
mereka adalah kawan-kawan dari para korban kekejian kelelawar tadi.
"Celaka...!" pekik Sena kaget. "Bisa runyam kalau begini."
Pendekar Gila belum bisa menentukan apa yang harus dilakukannya, ketika dengan
cepat puluhan orang itu telah menyerang dengan melepaskan anak panah.
Swing, swing...!
"Edan! Benar-benar edan...!" maki Sena sambil berjumpalitan untuk mengelakkan
serbuan anak panah yang menderu ke arahnya. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian
tangannya bergerak cepat, menangkap puluhan anak panah yang memangsanya.
Sedangkan kakinya kini hinggap di dua anak panah lainnya.
Mata puluhan penyerang itu tampak membelalak menyaksikan bagaimana mudah dan
entengnya pemuda itu menangkapi puluhan anak panah.
Sedangkan kakinya menjejak di atas dua anak panah yang kini melesat balik ke
arah mereka. Sena tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang masih memijak anak panah itu, melesat
dengan deras ke arah para penyerang. Dua anak panah yang menjadi pijakannya
seakan dapat dikendalikan, sehingga menuruti gerakan pemuda itu.
"Lihat gerakan silatnya yang seperti orang gila!
Pasti dia yang telah membunuh kelima teman kita!"
seru lelaki bertelanjang dada dengan tubuh agak gemuk.
Tanpa diperintah, puluhan orang itu segera mem-persiapkan anak panah kembali.
Kemudian dengan cepat membidikkannya ke arah Pendekar Gila yang masih tertawatawa di atas dua anak panah.
Swing, swing...!
Puluhan anak panah kembali menderu ke arah Pendekar Gila.
"Edan! Benar-benar edan! Rupanya tidak main-main!" maki Sena. Kemudian dengan
cepat tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Lalu, tangannya mengibaskan
beberapa anak panah.
Gerakan tangan pemuda tampan yang seperti
orang gila itu sangat cepat, mampu membuat beberapa anak panah yang terkena
sambaran tangannya berbalik ke arah lawan.
"Hi hi hi...! Nih, kukembalikan milik kalian!"
Wettt! Wusss! Puluhan anak panah melesat kembali pada tuannya. Meskipun terlihat hanya
menyambar, namun laju puluhan anak panah itu tak kalah cepat dengan laju
anak panah yang dilepas dari busur. Membuat para penyerangnya membelalakkan mata
lebar-lebar. Mereka berusaha mengelakkan puluhan anak
panah pengembalian Pendekar Gila. Namun rupanya laju anak panah itu sangat cepat
Beberapa orang dari mereka tak mampu lagi mengelakkannya. Tanpa ampun lagi....
Jlep! Jlep...! Beberapa anak panah tepat menembus sasaran.
Menghunjam di tenggorokan setiap korbannya yang tak sempat berteriak. Hanya mata
mereka saja yang melotot dengan mulut menganga. Kemudian tubuh mereka ambruk
dengan nyawa melayang.


Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyaksikan beberapa rekannya mengalami
kematian, semakin marah saja pemimpin orang-orang itu yang berbadan gemuk dengan
kepala botak. Lelaki berhidung besar, alis mata tebal serta bercambang bauk
lebat itu bersungut-sungut
"Kurang ajar...! Rupanya pemuda itu benar-benar pelakunya! Serang dia...!"
perintah lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra dengan melambaikan tangan.
Seketika itu juga, puluhan anak buahnya meluruk seperti air bah ke arah Sena.
Dengan golok di tangan, tampaknya mereka hendak mencincang tubuh
Pendekar Gila. "Ambrol perutmu, bocah!"
Puluhan golok menderu ke arah Pendekar Gila.
Serangan mereka benar-benar ganas. Nampaknya mereka tidak mau membuang-buang
waktu lagi. Mereka ingin segera menghabisi pemuda yang mereka anggap pelaku pembunuhan
kelima rekan mereka.
"Uts...! Wadauw...! Kenapa kalian keji sekali"
Sampai-sampai tega hendak merencah tubuhku?"
keluh Sena sambil melentingkan tubuh, melepaskan diri dari rencahan golok
mereka. Kaki dan tangannya tak mau diam. Kakinya
menendang ke wajah lawan. Sedangkan tangannya menepak kepala lawan yang
terdekat. Gerakannya sangat cepat dan sulit untuk dielakkan. Membuat orang-orang
yang dijadikan sasaran tak mampu untuk mengelak. Akibatnya....
Degkh! Plak! "Aduh...!"
Empat orang menjerit seketika. Tubuh mereka berputar laksana baling-baling.
Kepala mereka terasa pening sekali. Kemudian keempat orang itu terhuyung kian
kemari seperti orang mabuk. Mata mereka be-kedip-kedip sayu, karena kepala
mereka terasa sangat berat sekari. Kemudian tubuh keempat orang itu ambruk ke
tanah. Pingsan!
Menyaksikan keempat lawannya itu, Sena tak dapat menahan tawanya. Pemuda tampan
berompi kulit ular itu tergelak-gelak dengan satu tangan menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan tangan lainnya menepuk-nepuk pantat
Semakin bertambah marah saja lelaki gemuk
dengan kepala botak yang menjadi pimpinan orang-orang itu, menyaksikan keempat
rekannya dapat dijatuhkan dalam sekali gebrak. Malah pemuda itu kini tertawa
tergelak-gelak laksana orang gila.
"Bocah gila...!" makinya sengit "Jangan harap kau bisa lolos dari tangan kami!
Serang dia...!"
"Heaaa...!"
Puluhan golok kembali mengancam Pendekar Gia.
Siap merencah tubuh pemuda itu. Mata puluhan orang itu kelihatan semakin
beringas, penuh
kemarahan pada Pendekar Gila.
"Remuk tubuhmu, Bocah!"
Melihat serangan, dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan jurus gilanya.
Kemudian dengan jurus
'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila bergerak mengelak. Tubuhnya
meliuk-liuk ke sana kemari, mengelitkan serangan yang menderu ke arahnya.
Meski tubuh pendekar muda itu kelihatannya sangat lamban dalam mengelak, tetapi
lawannya mengalami kesulitan dalam menyerangnya.
"Hiaaat..!"
Salah seorang yang merasa penasaran, membacokkan golok ke arah Pendekar Gila. Dengan gerak yang kelihatannya lamban,
tubuh Pendekar Gila mengelit ke samping. Kemudian tangannya menepuk ke arah dada
lawan. "Hi hi hi... Ada apa di dadamu, Sobat?"
Orang yang diserang demikian langsung kaget. Dia berusaha mengelitkan tepukan
tangan pemuda itu.
Namun gerakan yang kelihatan lemah dan pelan itu nyatanya cepat sekali. Sehingga
orang itu mati langkah. Dan....
Debbb! "Aaa...!"
Orang itu memekik. Tubuhnya terlontar deras ke belakang, meluncur ke arah temantemannya yang tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak, namun tak urung ada
beberapa orang yang tersapu oleh laju tubuh orang itu. Tubuh mereka sama-sama
terseret deras, dan baru berhenti ketika menabrak pohon.
Jeritan kematian terdengar ketika kepala mereka membentur batang pohon. Perlahan
tubuh mereka menggelosor tanpa nyawa.
Mata lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra membelalak kaget. Nyalinya seketika
menciut, menyaksikan anak buahnya banyak yang menjadi korban.
"Pemuda gila! Sinting...! Kali ini Kerto Mandra mengakui kehebatanmu. Tapi kelak
jika ada kesempatan, aku akan menuntut kekalahan ini!"
Kemudian dengan menggerakkan tangan, lelaki gemuk berkepala botak itu lari
meninggalkan tempat ini diikuti oleh rekan-rekannya.
Sena menggeleng-geleng sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
tersenyum cengengesan tempat itu ditinggalkannya.
"Ada-ada saja.... Mengapa aku yang dijadikan sasaran?" gumam Sena.
Pendekar Gila kembari tergelak-gelak, lalu tubuhnya melesat meninggalkan tempat
itu. *** 4 Matahari agak condong ke arah barat, pertanda hari menjelang sore. Angin sore
berhembus semilir, ditemani suara riuh burung yang hendak pulang ke sarangnya.
Seorang lelaki tua nampak duduk bersila dengan mata memandang ke angkasa, di
mana seekor binatang raksasa berwarna merah dengan mata menyorot tajam melayang berputarputar. Di hadapannya, duduk seorang lelaki muda dengan pakaian yang sama
dengannya, berjubah merah darah. Pemuda itu tidak lain Warak Kendra.
Sedangkan lelaki tua yang duduk di hadapannya, tiada lain Ki Wangas Pati.
"Kau lihat, binatang itu begitu nurut padaku, bukan?" tanya Ki Wangas Pati
dengan tersenyum bangga, menunjukkan pada Warak Kendra bagaimana dia mampu
menundukkan binatang itu.
"Rupanya Mangkara telah selesai menjalankan tugasnya...."
"Benar, Guru. Lihatlah, di sayapnya terdapat lelehan darah," sahut Warak Kendra
dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Sepertinya ada sesuatu yang tersimpan
di hatinya. "Mangkara...! Turunlah!" seru Ki Wangas Pati.
"Cutt..!"
Binatang raksasa itu mencuit keras. Sementara tubuhnya berputar-putar di
angkasa, seperti tengah mengamati sekelilingnya. Kemudian setelah merasa tak ada
yang perlu dikhawatirkan, tubuh binatang
raksasa itu menukik ke bawah.
"Dia kelihatannya pintar, Guru," puji Warak Kendra.
"Ya! Sebelum turun, rupanya dia mengawasi sekelilingnya," jawab Ki Wangas Pati.
Kepalanya mengangguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-belai jenggotnya yang
panjang dan berwarna putih.
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu terus menukik dan hinggap di
samping kiri Ki Wangas Pati. Kepalanya dielus-eluskan ke badan tuannya, seakan
hendak mengatakan sesuatu. Sayapnya direntang lebar-lebar, menunjukkan lelehan darah di
tepi-tepinya. "Ya, ya. Aku paham. Kau telah melakukan tugas dengan baik untuk menjaga wilayah
ini dari orang-orang persilatan," gumam Ki Wangas Pati. "Kau memang abdiku yang
paling setia, Mangkara."
"Cuit! Cuit..!"
Binatang itu mengangguk-anggukkan kepala.
Sayapnya yang direntang, dikibas-kibaskan. Nampaknya binatang itu sangat senang
mendengar sanjungan tuannya.
"Kini kau boleh beristirahat. Kalau lapar, kau boleh mencarinya," kata Ki Wangas
Pati. "Cuit, cuit..!"
Binatang itu kembali menjerit nyaring, kepalanya mengangguk-angguk. Kemudian
setelah mengelus-eluskan kepala di badan tuannya, binatang itu melesat terbang.
"Cuit, cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah mengepak-ngepakkan
sayap. Kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, ya.... Pergilah! Carilah mangsamu sesuka hati!
Tapi jika ada apa-apa, cepatlah kembali...!" seru Ki
Wangas Pati sambil tersenyum serta melambaikan tangan.
Binatang raksasa itu berputaran dua kali di udara, pertanda dia mengerti.
Kemudian dengan cepat terbang meninggalkan tempat itu, membubung tinggi ke
angkasa. Ki Wangas Pati tampaknya bangga sekali dengan binatang itu. Untuk
mendapatkannya, dia harus bersabung nyawa dengan kakak seperguruannya.
Ingatannya kembali melayang ke masa silam, saat kakak seperguruannya masih
hidup. Ketika itu, gurunya diketemukan telah mati dibunuh oleh sekelompok orang
persilatan yang menjadi lawannya. Berhubung gurunya telah mati, Ki Wangas Pati
dan kakak seperguruannya Ki Wangsa Landra akhirnya sepakat untuk membagi
peninggalan guru mereka.
Ki Wangas Pati mendapatkan senjata-senjata sakti, sedangkan Ki Wangas Landra
mendapatkan batu mustika Pengubah Raga. Ki Wangas Pati yang merasa dicurangi,
diam-diam menaruh dendam.
Ketika sedang tidur, kakak seperguruannya dibunuh.
Kemudian Ki Wangas Pati lari dari Tanah Toraja menuju ke Jawa Dwipa.
Di Jawa Dwipa, Ki Wangas Pati mencoba mustika yang didapat dari hasil mencuri
milik kakak seperguruannya. Ketika ditemukannya kelelawar merah, ditangkapnya
kelelawar itu. Dengan cara menggenggam batu mustika Pengubah Raga dan memusatkan
pikiran membayangkan apa yang
terjadi, maka terwujudlah apa yang ada dalam pikirannya. Kelelawar merah yang
semula berukuran kecil, seketika menjadi besar. Kelelawar yang semula makan
buah, kini makannya darah dan daging.
"Cuit..!" kelelawar itu mencuit kembali.
Ki Wangas Pati terkekeh menyaksikan kepergian binatang peliharaannya yang
pintar. Kemudian dengan tangan masih membelai-belai Jenggotnya yang panjang,
pandangannya dialihkan ke Warak Kendra.
"Warak, tentunya kau telah tahu semua hal yanq ada di sini. Untuk itulah, aku
berharap janganlah kau membocorkan semua rahasia di sini."
"Semua perintahmu akan kupatuhi, Guru!" sahut Warak Kendra dengan menundukkan
kepala. Namun sesungguhnya di dalam hati pemuda itu tersimpan pertanyaan.
Rahasia! Rahasia apa..."
"Hhh...!"
Ki Wangas Pati menghela napas. Tangannya masih membelai-belai jenggotnya yang
panjang dan putih.
Wajahnya ditengadahkan ke angkasa.
"Bukannya aku mengaturmu, Warak. Tapi ketahuilah, sesungguhnya itulah hal
terbaik bagi kita. Biarlah orang hanya tahu tentang Mangkara saja. Kita tak
perlu terlibat langsung. Dan ketahuilah, sesungguhnya Mangkara itu berbuat hanya
untuk melindungi tuannya."
Mungkinkah orang tua ini menyimpan sebuah
rahasia" Tanya Warak Kendra dalam hati. Memang dia pernah mendengar cerita
tentang Kelelawar Iblis Merah itu. Sesungguhnya Mangkara itu akan patuh pada
siapa pun yang memiliki batu mustika Pengubah Raga. Tapi di manakah batu mustika
itu" Sampai saat ini Warak Kendra belum tahu di mana batu sakti itu.
"Warak, hari ini kelihatannya sangat cerah. Apakah kau tidak berlatih?" tanya Ki
Wangas Pati seraya memandang wajah muridnya lekat-lekat "Berlatihlah dengan
sungguh-sungguh. Bukankah kau hendak
membalas semua dendammu?"
"Baik, Guru..."
Warak Kendra segera bangkit dari duduknya. Dia menjura hormat pada gurunya.
Diikuti oleh Ki Wangas Pati, kaki pemuda itu melangkah ke tempat latihan.
"Kemarin lusa kau telah mempelajari 'Rentangan Sayap Kelelawar', kini tinggal
menambahkan kembangannya dengan jurus selanjutnya 'Kepakan Sayap Menghantam
Gunung'. Setelah itu, kau tinggal mempelajari jurus terakhirnya 'Sapuan Sayap
Melebur Buana'...," tutur Ki Wangas Pati.
"Baik, Guru."
"Ingat baik-baik. Jurus-jurus yang kau pelajari itu sangat berbahaya. Baik untuk
lawan, maupun untuk dirimu sendiri. Jangan kau sembarangan mengguna-kannya.
Sebab kalau kau bertindak gegabah, bisa-bisa kaulah yang akan celaka."
Warak Kendra tersentak mendengar penuturan Ki Wangas Pati.
"Mengapa begitu, Guru" Bukankah jurus-jurus Itu merupakan jurus dahsyat" Sulit
untuk dicari tandingannya?" tanya Warak Kendra dengan kening berkerut Bibir Ki
Wangas Pati tersenyum, sedang kepalanya mengangguk-angguk. Tangannya masih
membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Kau memang benar. Jurus-jurus itu adalah jurus-jurus yang dahsyat dan sulit
dicari tandingannya. Tapi bagaimanapun juga, semua ilmu silat itu ada kelemahankelemahannya, yang seringkali tidak diketahui oleh pemiliknya. Orang yang jeli
dan pintar, akan dapat melihat kelemahannya. Kau mengerti maksudku, Warak?"
tanya Ki Wangas Pati setelah menjelaskan tentang jurus-jurusnya.
"Mengerti, Guru."
"Bagus!" Ki Wangas Pati kembali mengangguk-anggukan kepala. Tangannya masih
membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih itu. "Seperti halnya dengan
Mangkara, dia pun memiliki
kelemahan-kelemahan. Siapa yang memiliki batu mustika...."
Sampai di sini Ki Wangas Pati menghentikan ucapannya. Sepertinya dia baru saja
menyadari ucapannya.
"Mustika apakah, Guru?" tanya Warak Kendra pura-pura tak tahu.
"Ah, tidak... tidak ada apa-apa. Sudahlah, kini kau latihan."
Usai berkata begitu, Ki Wangas Pati segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Sekaligus meninggalkan rasa penasaran dalam diri Warak Kendra.
Sementara, Warak Kendra memulai latihannya.
Sebenarnya gerakan kaki dan tangan pemuda itu ketika berlatih hanya untuk
menutupi niat sebenarnya. Maka setelah gurunya masuk ke dalam gubuk tempat
mereka menetap, diam-diam Warak Kendra menguntit Ki Wangas Pati. Dia merasa
yakin kalau gurunya akan melihat mustika itu.
Dengan mengendap-endap, Warak Kendra pun
mengintip dari luar. Dia ingin tahu apa yang sedang dikerjakan gurunya.
Benar Juga, ternyata Ki Wangas Pati saat itu tengah mengambil sebuah kotak dari
dalam tiang penyangga gubuk. Rupanya dalam tiang itu mustika Pengubah Raga
disimpan, yang tentunya sengaja dibuat oleh Ki Wangas Pati agar kerahasiaan
benda itu tidak diketahui orang lain
Kotak kedi itu dipandangi sesaat. Kemudian
dibukanya perlahan. Seberkas sinar terang me-mancar dari dalam kotak itu. Sinar
merah menyala terang itu, rupanya keluar dari batu mustika di dalam kotak.
Hm, rupanya di tempat itu si tua bangka
menyimpannya. Pantas saja aku tak tahu. Tapi kini, aku akan mendapatkannya. Aku
akan bisa menguasai kelelewar iblis merah itu. Bahkan aku akan menjadi orang
yang sakti! Aku akan bisa mengubah diriku menjadi makhluk apa pun juga, seperti
apa yang aku kehendaki! Warak Kendra bersorak girang dalam hati, melihat batu
mustika yang diincarnya telah diketahui.
Dengan tersenyum puas, pemuda itu kembali menuju ke tempat latihannya semula.
Kemudian terdengar suaranya berteriak-teriak sambil memperagakan jurus-jurus
kelelawarnya. "Hiaaa...!"
Tangannya merentang lurus, kemudian ditarik ke atas. Dilanjutkan dengan kebatan
keras ke depan dan belakang, lalu disusul dengan sentakan dan tebasan ke
samping. Kedua kakinya menendang, menjadikan tubuhnya melayang laksana terbang.
"Yeaaa...!"
Tubuh pemuda Itu melayang, tangannya bergerak cepat mencengkeram ke arah pohon.
Sedangkan kakinya menendang ke arah pohon di samping kanan dan kirinya.
Crab! Jleg, jleg...! Akibat dari cengkeraman dan tendangannya
sungguh dahsyat. Pohon-pohon yang menjadi
sasarannya seketika berguguran daun-daunnya.


Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian batang pohon itu mengering bagai
terbakar. "Hebat! Hebat..! Tak percuma aku mengangkatmu sebagai murid," puji Ki Wangas
Pati sambil bertepuk tangan. Kemudian kakinya melangkah mendekati muridnya.
Warak Kendra segera menekuk lututnya untuk menyembah.
"Sudahlah, bangunlah... Tak perlu peradatan seperti itu. Aku bangga memiliki
murid sepertimu, Warak. Dalam waktu cepat, kau telah dapat
menguasai semua ilmu silatku. Hm, apakah masih kurang cukup ilmu silat yang kau
dapat untuk membalas dendam?"
"Ampun, Guru.... Kalau Guru berkenan, biarlah saya untuk sehari dua hari di
sini. Saya hendak berpikir dulu, ke arah mana saya melangkah," pinta Warak
Kendra mengharap. Padahal sebenarnya ada niat lain di hatinya. Niat yang sangat
keji. Ki Wangas Pati terdiam sambil menganggukanggukkan kepala. Tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Hm, baiklah," katanya dengan suara perlahan.
"Oh, terima kasih, Guru," Warak Kendra kembali bersujud.
"Sudahlah, bangunlah...," ajak Ki Wangas Pati sambil membantu muridnya bangun.
"Kita istirahat dulu. Kau belum makan, bukan?"
Warak Kendra tersenyum, lalu bersama sang Guru keduanya melangkah meninggalkan
tempat itu. *** "Cuit, cuit..!"
Di angkasa Hutan Wandar terdengar suara
binatang keras mencuit, memekakkan telinga.
Membuat seorang pemuda tersentak dan mendongakkan kepala. Bibirnya nyengir ketika melihat binatang raksasa itu memandang
ke arahnya. "Kelelawar edan itu lagi...," gumam pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti
orang gila dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian pemuda yang tiada lain
Sena Manggala atau
Pendekar Gila dari Goa Setan itu kembali meng-gumam, "Mau apa lagi binatang
itu?" "Cuit, cuiiit..!"
Di cakrawala, kelelawar merah raksasa itu
berputar-putar sambil mengeluarkan suaranya yang memekakkan telinga. Kemudian
tanpa diduga oleh Pendekar Gila, binatang itu tiba-tiba menukik ke arahnya.
"Cuiiit..!"
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut nyengir, menyaksikan
binatang raksasa yang ganas itu menukik ke arahnya.
"Edan! Binatang edan itu rupanya hendak memangsaku!" maki Sena. Dengan cepat
tubuhnya berkelit ke samping, mengelakkan serangan binatang ganas yang
mengepakkan sayap ke arah kepala dan tubuhnya.
"Cuit..!"
Merasa serangannya gagal, binatang raksasa itu melesat kembali ke atas. Sayapnya
yang lebar dikepakkan. Beberapa saat berputar-putar di atas, kemudian kembali
menukik ke bawah.
"Edan! Binatang ini benar-benar hendak melabrak-ku!" Sena memekik sengit Dengan
cepat tubuhnya kembali berkelit. "Uts...! Setan! Iblis...!"
Sena memaki-maki kesal. Hampir saja tubuhnya menjadi sasaran labrakan kedua
sayap binatang itu,
kalau saja dia tidak segera mengelakkannya.
Brak! Kraaak...! Bummm! Pohon di samping Pendekar Gila menjadi sasaran dan seketika tumbang. Benar-benar
kuat dan dahsyat kepakan dan hempasan sayap binatang raksasa itu.
Sampai-sampai pohon yang cukup besar bisa
tumbang. "Edan...!" makinya sambil berguling ke samping, mengelakkan tumbangan pohon.
"Hampir saja tubuhku ringsek! Setan...!"
Tangan Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih nyengir
dengan kepala menggeleng-geleng.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa setelah serangan susulannya
gagal. Mata binatang itu kian tajam memandang Pendekar Gila yang masih merutuk
sengit "Kurang ajar benar binatang laknat itu!" makinya sambil menggaruk-garuk kepala.
"Baik! Kalau memang itu maumu, Binatang Iblis! Aku akan melayanimu! Nah,
turunlah...!"
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah bagaikan mengerti
tantangan Pendekar Gila. Pekikannya semakin menggelegar. Matanya yang tajam
laksana mengandung bara api dari neraka, menghunjam garang. Mulutnya
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing.
"Cuiiit..!"
Binatang raksasa itu berputar-putar di udara.
Sayapnya mengepak lebar, siap menyerang.
"Turunlah! Ha ha ha...! Rupanya kita akan main-main, Sobat..," Sena tertawa
sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dipantatinya binatang itu. "Nih...!"
"Cuit..!"
Suara Kelelawar Ibhs Merah semakin keras.
Sepertinya sangat marah sekali diledek begitu rupa oleh Pendekar Gila. Matanya
semakin berkilat-kilat merah menyala.
Setelah mengepak-ngepakkan sayapnya yang
lebar, binatang itu kembali menukik, siap menyerang.
"Bagus! Ha ha ha...! Kau benar-benar ingin main-main denganku!"
Pendekar Gila segera bergerak cepat, mengeluarkan jurus 'Kera Gila Melempar
Batu'. Tangannya bergerak cepat untuk menyambut serangan binatang itu.
Dari tangan Pendekar Gila, keluar gemuruh angin yang deras bergelombang. Angin
itu menderu ke arah Kelelawar Iblis Merah.
"Cuiiit..!"
Binatang raksasa itu mencuit keras. Sayapnya digerak-gerakkan kian kemari.
Nampaknya binatang, itu mengerti kalau pukulan lawan bukanlah pukulan
sembarangan. Terbukti dia mampu menahan tubuhnya.
Dahsyat sekali kepakan sayap Kelelawar Iblis Merah itu. Pukulan 'Kera Gila
Melempar Batu' seketika berantakan, tersapu oleh kepakan sayap binatang raksasa buas itu.
"Cuiiit...!"
Kini binatang buas itu telah bebas, sayapnya mengepak semakin keras. Kemudian
dengan cepat binatang itu menukik ke arah Sena.
"Celaka...! Binatang ini benar-benar bukan sembarangan binatang!" maki Sena.
Segera tubuhnya
dilemparkan ke belakang, mengelakkan serangan kelelawar itu.
Sayap Kelelawar Iblis Merah menderu keras, menghantam ke arah bawah. Beruntung
Pendekar Gila telah mengelak jauh. Kalau tidak, tubuhnya pasti akan remuk. Dan
dua pohon menjadi sasarannya.
Brak! Kraaak...! Bummm! Dua batang pohon besar tumbang, menimbulkan suara yang berdebum. Dahsyat sekali
akibat dari hempasan sayap binatang raksasa itu.
"Edan!" maki Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Tak
kusangka serangan binatang itu begitu dahsyat!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, membubung tinggi ke angkasa, berputar-putar
sesaat, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sepertinya binatang itu putus asa
setelah serangan-serangannya tak berhasil.
Sena menggaruk-garuk kepala sambil menggeleng-geleng. Kemudian setelah memandang
ke sekelilingnya yang berantakan akibat serangan binatang raksasa itu, Pendekar
Gila pun melangkah pergi.
*** 5 Malam merambahi permukaan bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut
halimun dingin berarak lambat, seperti gerak iring-iringan pengantar jenazah.
Menciptakan suasana malam yang men-cekam. Sayup-sayup terdengar suara burung
hantu, yang meningkahi suara binatang malam.
Sesosok tubuh nampak mengendap-endap, keluar dari dalam kamar sebuah gubuk,
tubuh itu bergerak menuju sebuah kamar lain. Sepertinya ada sesuatu yang hendak dilakukan orang itu di tengah malam begini. Kala sinar temaram lampu
minyak kecil menerpa wajah orang itu, maka dapat diketahui siapa dia sebenarnya.
Orang itu adalah Warak Kendra.
Kepala Warak Kendra sejenak menoleh ke kanan dan kiri. Sepertinya dia berusaha
membuktikan bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah yakin kalau Ki
Wangas Pati telah tidur, kakinya kembali melangkah menuju ruangan yang tadi pagi
dilihatnya. Ruangan di mana Ki Wangas Pati menyimpan mustika Pengubah Raga.
Sebuah mustika sakti yang menjadi dambaan setiap orang rimba persilatan.
"Syukurlah tua bangka itu telah tidur," gumam Warak Kendra perlahan.
Kaki Warak Kendra terus melangkah hati-hati. Ilmu meringankan tubuhnya
digunakan, agar jejakan kakinya tidak terdengar oleh gurunya.
Sesampainya di depan pintu ruangan yang dituju, kembali Warak Kendra
menghentikan langkahnya.
Matanya kembali beredar ke sekeliling tempat itu, meyakinkan diri kalau tak ada
seorang pun yang melihatnya.
Warak Kendra tersenyum setelah merasa yakin kalau Ki Wangas Pati benar-benar
telah tertidur.
"Tua bangka itu benar-benar tidur pulas. Rupanya ilmu 'Sirep' yang kutaburkan
sore tadi akhirnya mempan juga," gumam Warak Kendra dengan bibir menyunggingkan
senyum. Perlahan-lahan tangan Warak Kendra membuka pintu ruangan itu, berusaha agar
tidak terdengar suaranya. Kemudian matanya kembali menyapu ke sekelilingnya.
"Sepi... Aku akan berhasil mendapatkan mustika itu! Aku akan menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan!" desisnya girang.
Dengan penuh keyakinan kalau dia akan dapat mendapatkan mustika Pengubah Raga,
Warak Kendra segera masuk ke dalam ruangan itu.
Ruangan itu sangat gelap. Tak ada penerangan, meski sebuah obor kecil pun. Mau
tak mau Warak Kendra harus meraba-raba untuk mencari tiang yang menjadi tempat
penyimpanan mustika itu.
"Ini dia tiangnya," gumam Warak Kendra, setelah tangannya merasa menyentuh
sesuatu. Kemudian dengan tetap meraba-raba, tangannya berusaha menemukan lubang
penyimpanan mustika. Ditelusuri-nya tiang itu dari atas ke bawah hingga kembali
ke atas lagi. Sulit juga rupanya untuk mendapatkan mustika itu.
Hampir semua permukaan tiang itu rata, seperti tak ada lubang.
"Aneh, mengapa semuanya rata" Padahal tadi pagi kulihat sendiri mustika itu
disimpan di tiang ini,"
gumam Warak Kendra sambil terus berusaha
menemukan lubang di tiang tersebut. Namun belum juga ditemukannya.
Warak Kendra benar-benar cemas dan hampir
putus asa. Karena takut kalau-kalau Ki Wangas Pati mengetahui perbuatannya, dia
semakin gugup. "Hm, bagaimana ini" Mungkinkah aku salah lihat?"
tanyanya pada diri sendiri. "Ah, rasanya tidak. Tiang inilah tempatnya. Tapi di
mananya?" Warak Kendra terus meraba-raba permukaan
tiang. Tetap saja tak ditemukannya tanda-tanda tempat lubang penyimpanan itu.
"Ah, aku baru ingat sekarang! Jalan satu-satunya untuk membuka lubang itu adalah
dengan mengetuk-ngetuk permukaan tiang ini."
Dengan senyum mengembang di bibir, Warak
Kendra pun mengetuk permukaan tiang dengan perlahan. Dimulai dari bawah, terus
naik ke atas. Duk, duk...! Warak Kendra tersenyum.
"Rupanya di sini tempatnya...." Kemudian dengan menggunakan tenaga dalam,
ditotoknya permukaan tiang yang bunyinya lebih nyaring itu.
Benar juga. Ternyata setelah permukaan tiang itu terkuak, di dalamnya terdapat
kotak kecil tempat mustika itu tersimpan. Dengan tersenyum senang, diambilnya
mustika Pengubah Raga itu.
"Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan! Tak akan ada yang dapat
mengalahkanku! Ha ha ha...!"
Entah karena senang atau tak sadar, Warak
Kendra tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Ki Wangas Pati yang tengah tidur
tersentak kaget
"Siapa itu..."!"
Ki Wangas Pati segera melompat bangun.
Kemudian memburu ke arah kamar rahasianya.
Brak! Terdengar suara bilik dijebol dari kamar rahasianya, membuat Ki Wangas Pati
bertambah cemas. Dia sudah menduga, tentunya orang yang membuat keributan kecil
itu telah mencuri mustikanya.
Dengan cepat Ki Wangas Pati memburu keluar.
Terlihatlah sebuah bayangan berkelebat dari samping gubuknya.
"Hai, berhenti...!" bentaknya.
Orang yang tidak lain Warak Kendra itu berhenti. Di bibirnya tersungging senyum
sinis. "Warak Kendra, kau..."!" Ki Wangas Pati kaget setelah mengetahui pencuri mustika
Pengubah Raga itu. Matanya melotot marah. Sementara Warak Kendra tersenyum
semakin sinis. "Ya, aku! Kini akulah pemilik mustika ini! Akulah yang akan menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan! Sedang kau tua bangka lebih pantas mampus! Heaaat..!"
Usai berkata begitu, Warak Kendra menghantamkan pukulan ke arah Ki Wangas Pati.
Serangkum sinar berwarna kuning kebiru-biruan melesat ke arah tubuh orang tua
yang cepat menghindar dengan mulut mencaci-maki.
"Laknat..! Rupanya benar apa yang dikatakan Kidang Antikan! Kau benar-benar
iblis! Menyesal aku menolongmu!"
"Mengumpatlah sepuas hatimu, Tua Bangka!
Puaskan hatimu, sebelum kukirim ke neraka!
Hiaaat...!"
Ki Wangas Pati sebenarnya tak akan takut
menghadapi pemuda itu. Karena tingkat kepandaian
pemuda itu telah diketahuinya. Namun dengan mustika Pengubah Raga di tangannya,
Warak Kendra bisa saja melakukan hal-hal yang sulit untuk ditang-gulangi.
Tubuh orang tua itu terus bergerak, mengelakkan serangan-serangan yang
dilancarkan oleh Warak Kendra. Tangannya sesekali berusaha mengambil kembali
kotak mustika yang ada di dalam pakaian Warak Kendra. Namun rupanya Warak Kendra
tahu kalau lawan akan mengarahkan serangannya ke tempat itu. Dengan cepat Warak
Kendra berkelit, lalu balas menyerang.
"Hiaaat..!"
Seberkas sinar kuning kebiru-biruan kembali melesat dari telapak tangan Warak
Kendra, menderu ke arah Ki Wangas Pati yang tersentak.
"Edan! Dari mana pula dia memiliki pukulan 'Wisa Welang'?" rutuk Ki Wangas Pati
terkejut, setelah tahu pukulan apa yang baru saja dilontarkan oleh lawan.
Orang tua itu berusaha sedapat mungkin mengelakkan serangan-serangan yang
dilancarkan lawannya. Tubuhnya melenting ke sana kemari. Sesekali dia pun
membalas serangan lawannya.
"Heaaa...!"
Ki Wangas Pati balas memukul dengan pukulan sakti 'Wangas Geni'. Dari genggaman
tangannya keluar seberkas sinar merah membara yang menderu ke arah Warak Kendra.
Wussss! Warak Kendra tersentak kaget. Matanya membelalak menyaksikan seberkas sinar yang menderu ke arahnya. Langkahnya mati.
Tubuhnya tak mampu lagi mengelakkan pukulan itu. Akibatnya....
Desss! "Aaakh...!"
Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya
terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa kematiannya telah dekat.
Namun tiba-tiba diingatnya mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari
balik jubah, diambilnya mustika itu dan langsung ditelannya.


Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba.... Crasss! Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan tubuhnya, seketika padam bagai
tersedot kekuatan gaib.
"Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak penuh kesombongan.
Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksikan kejadian itu. Dia amat tahu
kesaktian mustika
'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat mustika itu ditelan Warak Kendra, dia
terkejut luar biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur.
Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan sinar mata gentar.
"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu! Aku Warak Kendra tak akan mundur! Ayo,
keluarkan semua ilmumu...!" tantang Warak Kendra, sombong.
Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari.
Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas Pati.
"Celaka! Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa pun tak akan mampu
mengalahkannya!" desis Ki Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang
telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki Wangas Pati tak mau
menunjukkan keciutan nyalinya.
Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali menyerang.
"Hiaaat..!"
Seberkas sinar merah membara kembali melesat mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi
tampaknya Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah pemuda yang telah
menelan mustika sakti itu mem-busungkan dada.
Desss! Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati menghantam telak dada Warak
Kendra. Namun....
Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benaknya tak mempercayai apa yang
terjadi di depan matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik dengan cepat ke
arahnya. Bahkan lebih cepat dibandingkan serangan tadi
"Celaka...!"
Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke samping, untuk mengelakkan serangan
balik pukulannya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api itu terus
menderu. Kemudian menghantam gubuknya.
Blarrr! Api seketika berkobar, menerangi malam dengan warna merahnya. Dalam sekejap,
rumah itu telah menjadi api unggun raksasa.
Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi menyaksikan tubuhnya mampu menahan
pukulan sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat dikembalikan ke tuannya,
sampai-sampai merepot-kan orang tua itu.
"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain"!
Keluarkan semuanya...!" tantang Warak Kendra dengan nada pongah.
Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak Kendra. Kini orang tua itu
berupaya untuk mencari titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum
mampu menemukannya.
"Mangkara...! Swuiiit..!" Ki Wangas Pati bersiul, memanggil kelelawar raksasa
peliharaannya. "Cuiiit..!"
Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar yang berada tak jauh dari kancah
Golok Bulan Sabit 11 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Siluman Goa Tengkorak 4

Cari Blog Ini