Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah Bagian 2
pertarungan. Tak lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah dengan mata
nyalang. Suaranya memecah kesunyian malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara
laksana amukan angin ribut
"Bagus, kau segera datang, Mangkara! Serang dia...!" perintah Ki Wangas Pati
pada binatang itu.
Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan kepala, seperti mengerti perintah
tuannya. Kemudian matanya yang merah laksana mengandung api, memandang ke arah
Warak Kendra. "Cuiiit..!"
Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian malam. Sayapnya dikepakkan lebarlebar. Lalu tubuhnya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk beberapa
saat, kemudian menukik untuk melancarkan serangan.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi matanya yang tajam, tetap waspada pada
serangan binatang raksasa itu.
"Kau adalah abdiku! Aku tuanmu.... Kau harus menurut padaku! Serang dia...!"
seru Warak Kendra dengan suara keras dan lantang.
Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali benar sosok tuannya dari dulu,
yaitu orang tua yang tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu
menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat matanya terasa sakit. Itulah bukti
bahwa pemuda itu pemilik mustika Pengubah Raga.
"Mangkara, jangan hiraukan...! Serang dia...!"
Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi binatang peliharaannya.
"Mangkara, kau harus turuti perintahku! Kalau kau membantah, maka kau akan
kukembalikan ke asal-mu!" ancam Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa ketakutan mendengar ancaman Warak
Kendra. Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut mencuit
keras. "Bagus! Rupanya kau mengerti! Nah, serang dan bunuh tua bangka itu...!" seru
Warak Kendra. "Cuit...!"
Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini mengangguk-angguk. Kemudian tatapannya
beralih ke arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh.
"Celaka...!" pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu hendak lari, namun tiba-tiba
binatang buas itu telah menghadangnya.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan kedua sayapnya yang keras dan
tajam. Kalau Ki Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling, sudah pasti
tubuhnya akan hancur!
"Edan! Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi!"
maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk mengelakkan sambaran dan
kepakan sayap Kelelawar Iblis Merah.
Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas itu melesat ke atas diiringi
teriakan keras. Tubuhnya berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali menukik
disertai pekikan membahana.
"Cuiiit...!"
"Iblis!"
Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan binatang itu. Tubuhnya berguling ke
tanah. Kemudian dengan cepat tangannya memukul ke tubuh
Kelelawar Iblis Merah.
Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan
menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat menyarangkan pukulan, dengan cepat
Kelelawar Iblis Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke angkasa sehingga
serangan Ki Wangas Pati luput.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya bergerak semakin cepat. Kali ini
kakinya tak tinggal diam, mencengkeram ke tubuh lawan.
Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali lagi melepaskan pukulannya ke
tubuh Kelelawar Iblis Merah.
Bukkk! Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu bagai tak mengalami apa-apa.
Serangannya malah semakin buas.
"Edan! Kalau begini terus, tenagaku bisa habis...!"
rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan serangan-serangan binatang itu.
"Ha ha ha...! Main-mainlah dengan Mangkara, Tua Bangka!"
Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang tua
itu pontang-panting diserang binatang peliharaannya sendiri.
"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka itu...!"
"Cuit..!"
Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti perintah tuannya yang baru.
Didahului cuitan keras,
binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan deras menyerang kembali.
Sayapnya menebas ke tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain melabrak
kepala orang tua itu.
Brat! Cras...! "Akh...!"
Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan menyayat terlontar dari mulut K i
Wangas Pati. Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas dari tubuh. Darah keluar deras
dari pangkal tangan yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu berusaha
lari dari tempat itu
"Mangkara, habisi dia...!' seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu melesat cepat ke arah Ki Wangas
Pati. Tidak lama kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua itu.
"Aaa...!"
"Ha ha ha...!"
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya segera melesat ke arah lolongan
kesakitan orang tua malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana kepala Ki
Wangas Pati berlumuran darah.
"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu di rimba persilatan! Ha ha
ha...! Mangkara, ayo kita pergi...!"
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang baru.
*** 6 Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan Ki Wangas Pati dengan Warak
Kendra, Sena Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati keindahan malam.
Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala tak berbatas, matanya menangkap
bayangan yang melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu dirasanya pernah
dikenal beberapa saat lalu. Sesaat kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa
sebenarnya bayangan itu.
"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-kan kedua alisnya.
Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, berusaha mendekati wilayah terbang
kelelawar itu. Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba
menghilang. Tapi dia tidak mengurungkan niat begitu saja.
Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan
sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-kan. Dari jubah yang
dikenakannya Sena dapat mengenali lelaki tua itu
"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa
orang tua aneh ini" Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"
Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati.
Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Ah, aku ingat sekarang!" serunya tiba-tiba.
"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah"
Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah membunuhnya."
Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan mendadak keningnya ditepuk, seolaholah benaknya ingat sesuatu kembali.
"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah binatang peliharaan Ki Wangas
Pati...?" gumamnya kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut kelelawar ganas
itu dari tangannya?"
Telapak tangan pemuda tampan itu menekan
dada Ki Wangas Pati.
"Masih berdenyut! Ah, masih hidup," ucapnya.
Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan memijit-mijit beberapa bagian
tubuh orang tua itu.
Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang masih mengucurkan darah.
Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki Wangas Pati tersadar. Matanya
membuka dengan berat, laki memandang pemuda di sampingnya dengan tatapan sayu.
"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah.
"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya Sena sambil memangku kepala
Ki Wangas Pati yang berlumur darah.
"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan kelelawar itu.... Ah, dia...."
Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan katakatanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang.
Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah
menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa bingung dengan kata-kata lelaki
tua itu. Mulutnya nyengir, persis kera gila.
"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?"
Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru jernih. Dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu kembali
bergumam.... "Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat berbahaya. Hm, apalagi kini
di tangan orang lain. Dan dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu
bukan orang baik-baik. Edan...! Bencana apa lagi yang akan melanda rimba
persilatan?"
Mata Sena masih memandangi langit. Tangan
kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajahnya cengar-cengir tak karuan.
"Dia..." Dia siapa?"
Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat
sulit. Dia sama sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika sakti yang
dikatakan Ki Wangas Pati.
Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan keji
terhadap Ki Wangas Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari Perguruan
Belibis Putih. "Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu...!"
"Ya! Mari kita tanyai!"
Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih mendekat ke arah Sena yang masih
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti orang gila!" bentak salah seorang
dari murid Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila dari
kebingungannya.
Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi besar dengan rambut digelung ke
atas. Di tangan
orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis dengan rantai panjang.
"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis Putih," sambut Pendekar Gila
sambil cengengesan.
Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
"Ya! kami dari Perguruan Belibis Putih! Kami datang untuk menangkapmu!" bentak
lelaki bertubuh tinggi besar itu
"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerutkan kening. Kemudian dengan tangan
menggaruk-garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa, Sena kembali berkata,
"Rasanya aku tak ada silang sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian
hendak menangkapku?"
"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui"
Kau telah membunuh saudara seperguruan kami sebulan yang lalu! Untuk itulah,
kami hendak menangkapmu!"
Tawa Sena semakin meledak mendengar
penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalahpahaman" Gumamnya dalam hati. Banyak
sekali kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-gelengkan, sementara tawanya
masih terdengar.
Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak kenal kalian semua. Aku hanya
mengenal perguruan kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa menuduhku
begitu?" tanya Sena masih dengan kepala menggeleng-geleng.
"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi tangan! Masih juga kau menutupi
kekejianmu membantai saudara-saudara seperguruan kami sebulan lalu, ketika
mereka mengejar seorang
saudara seperguruan kami yang berkhianat!" dengus lelaki tinggi besar yang
bernama Perkolo.
Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang masalah itu, semakin tergeiakgelak. Kepalanya digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak mengenal orang yang menurut kalian
telah kubunuh. Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis Putih. Itu saja. Dan perlu
kalian ketahui, aku bukan Ki Wangas Pati!"
Bertambah marah saja orang-orang Perguruan Belibis Putih mendengar penuturan
Sena. Mereka menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung jawabnya.
"Rupanya kau perlu diajar adat! Serang...!" perintah Perkolo sambil menggerakkan
tangannya. Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera mengurung Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah konyol.
"Celaka! Benar-benar celaka! Bagaimana mungkin orang-orang dari aliran lurus
memiliki sikap tidak terpuji begini?"
"Bedebah! Jangan bawa-bawa aliran!" bentak Perkolo, gusar.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Kepalanya
digeleng-gelengkan perlahan.
"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat."
"Diam! Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk kami bawa ke perguruan atau
kami bunuh"!"
Sena masih cengengesan. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya
tampak tercenung, seperti tengah berpikir.
"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya.
"Bagus! Ikat dia...!" perintah Perkolo.
Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera mendekati Sena yang diam, tapi
masih cengengesan.
Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila.
"Ayo jalan!" bentak Perkolo. "Kau harus ber-tanggung jawab di depan pemimpin
kami!" Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi orang-orang Perguruan Belibis
Putih. Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di lereng Gunung Pandalaras yang
subur dengan hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan.
Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih yang dipimpin oleh Ratih
Puri. Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita duduk di atas kursi. Wajah
wanita itu ditutupi cadar berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot mata
wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya ramping dan tak begitu tinggi.
Sedangkan kulitnya kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk bersila
murid-murid Perguruan Belibis Putih.
Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak melaporkan hasil tugasnya pada
Ratih Puri. "Kau telah datang, Perkolo" Bagaimana hasilnya?"
tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi.
"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo seraya menjura.
Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain putih itu menyipit mendengar
laporan murid utamanya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati Perkolo.
"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?"
"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."
"Kau telah menangkapnya?"
"Benar, Guru."
Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bawa dia kemari!" perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian berlalu meninggalkan ruangan
itu. Ratih Puri masih mengerutkan kening dan
menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum percaya dengan laporan murid
utamanya itu. Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-anginan itu
mudah ditangkap" Tanyanya dalam hati.
Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan.
Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan seekor kelelawar merah
raksasa. Ah, rasanya tidak masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja.
Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular.
Mata Ketua Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak, kemudian memandang
tajam pada Perkolo yang menjura padanya.
"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati."
"Perkolo...!" bentak Ratih Puri dengan keras.
Matanya melotot tajam penuh amarah pada
muridnya. "Apakah matamu buta"!"
Perkolo kebingungan. Sesaat matanya memandang Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki Wangas Pati."
Mata Ratih Puri semakin membelalak marah
mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian melangkah lebih dekat ke arah
Perkolo. Dengan gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar itu.
Plak! "Tolol...! Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau!
Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat kau tak tahu siapa dia"!" bentak
Ratih Puri penuh kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala.
Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam, mendadak tertawa tergelak-gelak.
Hal itu membuat mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya.
Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin tertawa keras. Menjadikan ruangan
itu laksana diguncang gempa.
"Ha ha ha...! Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi beringas kini pucat, Sobat?"
celoteh Sena, membuat wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah penuh amarah.
Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah tahu dan kenal siapa pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah
mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak untuk membuka tali yang mengikat
tangan pendekar muda itu.
"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri
setelah melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuhnya membungkuk untuk
menjura hormat.
Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak terikat menggaruk-garuk kepala.
"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang menjadikan manusia buta," ujar Sena
sambil matanya mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan tertunduk.
Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena melangkah seenaknya. Matanya
memandang Ratih Puri yang tak berani menatap Sena karena malu.
"Aku memang salah, mengapa harus berada di tempat itu. Tapi sebenarnya
kedatanganku ke Hutan
Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas Pati," tutur Sena dengan mulut
cengengesan. Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. "Sayang, orang yang hendak
kujumpai ternyata telah tewas."
Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan kesedihan.
"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui orang tua yang bersifat anginanginan itu?" tanya Ratih Puri hormat
Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala. "Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar Iblis Merah?"
"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri.
"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati untuk mengendalikan binatang
iblis itu?"
"Tepat!" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali murung, menunjukkan kesedihan.
"Sayang.... Rupanya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam keadaan sekarat.
Kepalanya retak, tangan kirinya buntung."
Ratih Puri membelalakkan mata mendengar
penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua berilmu tinggi itu bisa dikalahkan.
Selama ini, hanya lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-hadapinya.
Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan Pendekar Gila yang melakukannya, jadi
siapa yang membunuhnya" Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih itu dalam hati.
"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan yang bisa menandingi ilmu Ki
Wangas Pati. Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?"
tanya Ratih Puri masih belum yakin
"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang tua itu sekarat. Tapi setelah
kuingat-ingat, akhirnya aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang bisa
mengalahkannya."
Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Dia pun
membenarkan apa yang dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaannya yang
dapat mengalahkan orang tua angin-anginan itu.
"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri
lagi. "Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk kepala dengan tingkahnya yang aneh.
"Padahal menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan
Wandar." Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya tengah berpikir tentang
keanehan itu. Kalau Ki Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar, rasanya
tidak mungkin binatang piaraannya
menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu patuh terhadap orang tua itu.
"Ah, aku ingat...!" seru Ratih Puri, menyentakkan Sena dari keterpakuannya. "Hm,
sungguh berbahaya kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya dia telah
mendapatkan mustika Pengubah Raga..., sebab hanya dengan mustika itulah
Kelelawar Iblis Merah dapat dikendalikan."
"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena.
"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu
sebabnya aku memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama menangkap Warak
Kendra yang telah berkhianat dan yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas
Pati." "Celaka...!" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi yang akan melanda rimba
persilatan?"
"Kita harus mencegahnya! Jangan sampai kedua iblis itu membuat petaka," desis
Ratih Puri dengan mata menyipit.
"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku harus segera mencegahnya," ucap Sena.
Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu menjura. Lalu bagaikan kilat,
tubuhnya melesat dari tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang.
Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak lebar. Hanya Ratih Puri saja yang
kelihatannya tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Ck ck ck...! Benar-benar luar biasa! Pendekar Gila dengan ilmu yang gila!"
"Jadi...!" Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar, setelah mendengar siapa
pemuda bertampang gila tadi.
"Ya! Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas Ratih Puri. "Beruntung dia
tidak marah."
Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk.
"Perketat pengamanan! Tentunya murid murtad itu akan melakukan pembalasan...!"
perintah Ratih Puri.
"Baik, Guru...!" sahut semua muridnya.
*** 7 Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus tenang yang membelah
hutan. Jubah berwarna merah darah yang dikenakannya dipermainkan angin, seperti
juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya diikat kain berwarna merah pula.
Sementara di atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa yang juga berwarna
merah. Paduan warna merah itu, membuat keduanya terlihat angker dan garang,
seangker kobaran api neraka.
Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama
Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-nya karena tuah mustika
Pengubah Raga. "Mangkara, sebelum aku bertemu dengan Pendekar Gila, rasanya aku belum puas,"
kata Warak Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan dendam.
"Cuit..!"
Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu seperti memahami hasrat
tuannya. Kepalanya diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-bangkan laki
dikepak-kepakkan.
"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah orang yang paling sakti di rimba
persilatan! Ha ha ha...!" Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai tubuhnya
berguncang-guncang.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di atasnya kembali mencuit dengan keras,
mengem- bangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menyeringai, menunjukkan taring-taringnya
yang panjang dan runcing.
Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak.
Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya tajam mengawasi sekelilingnya.
"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari kedai?" tanya Warak Kendra pada
Kelelawar Iblis Merah.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras.
Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan menyetujui rencana tuannya.
"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya kau pun lapar, bukan...?"
"Cuit..!"
Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai
Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan membentang dari selatan ke
utara. Belum jauh mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang berlari dari
arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan segera menghentikan langkah.
Pendengarannya dipasang tajam-tajam.
"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga, Mangkara."
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari
sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya mengangguk-angguk, seolah-olah
membenarkan ucapan tuannya.
"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah Warak Kendra.
Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya
melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai raja langit Kepalanya
ditundukkan ke bawah, matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayapnya dipercepat. Setelah berputarputar beberapa kari di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang semakin
melengking. "Cuiiit...!"
Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik, namun bukan ke arah Warak Kendra.
Melainkan masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik rimbunan pepohonan.
Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya
menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya
terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh suara pekikan kematian.
Prak! "Akh...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke angkasa, di kedua kakinya
tercengkeram seorang lelaki dengan kepala pecah.
"Bagus...! Kau memang abdiku yang setia, Mangkara...!" seru Warak Kendra senang.
Kekejian itu dianggapnya sekadar hiburan ringan.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar beberapa kali dengan kaki masih
mencengkeram korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepalanya menganggukangguk. Sepertinya Kelelawar Iblis Merah yang bernama Mangkara itu tengah memberitahukan sesuatu pada Warak Kendra.
"Ya, aku mengerti! Mereka memang banyak dan
tengah menuju kemari...!" seru Warak Kendra.
Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa terbahak-bahak. Rupanya dia tak
memandang sebelah mata pun pada orang-orang yang akan datang untuk menyerangnya.
"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk,
Mangkara...!" serunya kembali dengan nada pongah.
Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah itu memang benar. Tidak lama
kemudian, dari dalam hutan muncul puluhan orang dengan pedang
terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala botak bernama Kerto Mandra yang
pernah bertarung melawan Pendekar Gila.
"Ha ha ha...! Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk yang datang...," seloroh Warak
Kendra untuk merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-dengus marah.
"Iblis...! Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga!
Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap mengejarmu!"
Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar
ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis
menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah Kerto Mandra lekat-lekat.
"Kecoa tolol...! Seharusnya kau bersembunyi, kalau kau masih ingin hidup! Tapi
rupanya kau nekat!
Katakan, siapa namamu"! Sebelum nyawa kecoamu kukirim ke neraka!"
"Sombong!" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira semudah itu kau membunuhku! Mungkin
nyawa iblismulah yang akan kukirim ke neraka! Seraaang...!"
Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan orang bertelanjang dada seketika
menghambur. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat,
membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra.
Serangan mematikan yang cepat itu tidak membuat Warak Kendra gugup. Malah dengan
tertawa keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi serangan mereka.
"Rupanya kalian mencari mampus! Heaaat...!"
"Yeaaah...!"
Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak menghadang serangan lawan-lawannya
yang ber-jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus, kemudian diangkat
tinggi-tinggi. Diteruskan dengan gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak
mau diam, bergerak menendang ke belakang dan depan. Itulah jurus 'Kelelawar
Merentang Sayap Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang dahsyat
"Heaaa...!"
"Remuk tubuhmu...! Yeaaa...!"
Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus dahsyat mematikan. Tangan
kanannya menghantam ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan kirinya
memukul kepala lawan yang di samping kiri.
Kedua kakinya menendang ke dada lawan di
belakang dan samping kanannya sekaligus.
Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra sangat cepat, membuat lawan-lawan
yang dijadikan sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa ampun lagi, empat
orang lawan harus menerima serangan mematikan itu.
Dukkk! Desss! "Aaakh...!"
Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan.
Seorang korban melolong dengan dada terbakar.
Sedangkan yang lainnya mengalami nasib
mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol oleh tendangan kaki Warak Kendra.
Sementara seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur dari mulutnya.
Kemudian mereka ambruk tanpa nyawa.
Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat
teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja.
Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan tegang ke arah Warak Kendra yang
tertawa tergelak-gelak.
"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa busuk yang tiada arti!" ucap Warak
Kendra sombong, membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke ubun-ubun.
"Phuih...! Sombong...! Jangan kau kira kami takut!
Serang dan cincang dia...!" perintah Kerto Mandra sambil melambaikan tangan.
Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak mengepung. Pedang di tangan
Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka teracung, siap menunggu perintah selanjutnya
Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak Kendra kembali tertawa bergelak
gelak. "Rupanya kalian benar-benar mencari mampus!"
Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali menggerakkan tangan dan kakinya.
Tangan kanannya diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar.
Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan telapak tangan di depan wajah.
Kakinya dibuka sedemikian rupa.
"Seraaang...!" Kerto Mandra kembali berseru.
"Heaaa...!"
"Cincang tubuhnya...!"
Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak
Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah merah itu. Namun dengan cepat
Warak Kendra memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang semula lurus di
atas, kini mencakar ke arah wajah lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan
kirinya ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak tangan menghajar lawan
sebelah kiri. Kakinya menendang ke depan dan menyepak ke belakang.
Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat,
membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran kembali harus menerima pukulan dan
tendangannya. Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan tusukan pedang dengan cara meliuk
dan melenting. "Hiaaa...!"
Degk! Crat! "Wuaaa...!"
Empat orang memekik keras. Tubuh mereka
ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban kesadisan serangan yang dilancarkan
Warak Kendra. *** Pertarungan semakin seru. Nampaknya orangorang Kerto Mandra kini benar-benar nekat.
Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka gentar. Bahkan mereka nampak
semakin beringas.
Serangan-serangan mereka semakin garang dan penuh nafsu membunuh.
Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta, tidak pernah membuat Warak Kendra
bingung. Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu memanfaatkan lawan-lawannya.
"Cuiiit..!"
Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah lama menghilang. Rupanya Mangkara
telah menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua kakinya. Setelah kenyang, kini
Mangkara kembali menemui majikannya.
"Awas...! Kelelawar itu jauh lebih buas...! Kita bagi dua...!" seru Kerto Mandra
ketika melihat kelelawar itu.
Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto Mandra yang jumlahnya puluhan itu
menjadi dua kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis Merah, sedangkan
yang separoh lain berusaha terus menyerang Warak Kendra.
Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat
melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah.
"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu!
Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini...!"
seru Warak Kendra.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah tuannya. Dengan mengeluarkan
cuitan keras, binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-putar di udara
beberapa saat, lalu menukik untuk menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan
kedua sayapnya.
"Cuiiit..!"
"Awas!"
Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha
mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang Iblis itu. Mereka serentak
merunduk, kemudian membalas dengan tebasan dan tusukan pedang.
Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti.
Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya,
tubuhnya telah melesat ke udara.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mengepakngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat.
Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan kedua
sayapnya yang mampu mengeluarkan angin besar.
Wusss! Prak! Cras...! Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap Kelelawar Iblis Merah. Seorang
dengan wajah tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala pecah, terpukul
kepakan sayap. "Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa, setelah melakukan serangan.
Kemudian setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya menukik kembali untuk
menyerang. "Awas...!"
"Serang...!"
Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa memperhitungkan baik buruknya, mereka
berusaha merangsek kelelawar raksasa itu.
"Yeaaa...!"
"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis...!"
Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti. Secepat
kilat tubuhnya melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos, Mangkara
menyerang kembali dengan sabetan dan kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawanlawannya yang belum siap harus menerima kenyataan pahit, terbabat dan terhantam
sayap Mangkara.
Cras! Prak! Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-menyusul dari mulut mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk tanpa nyawa.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan darah yang keluar dari tubuh
korbannya. Binatang iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian kemari.
Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan pekikan kematian dari mulut lawan.
Dalam sekejap saja, korban pun banyak berjatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan.
Wajah mereka tergores menyilang dengan darah meleleh. Ada pula yang kepalanya
pecah dan tangan buntung.
Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan segera berakhir. Terlebih Kelelawar
Iblis Merah tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun lolos. Ke mana lawan
pergi, kelelawar itu mem-burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra yang
putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai pengecut, lebih baik mati dalam
menghadapi makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas itu, ada kemungkinan
mereka dapat mengalahkannya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras.
Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini kembali menukik. Lalu dengan
deras sayapnya menghantam lawan.
"Aaa...!"
Kembali pekikan kematian terdengar, disusul ambruknya beberapa korban. Semakin
banyak darah yang membasahi sayapnya, semakin buas saja Kelelawar Iblis Merah.
Matanya yang laksana api,
kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya yang menyerang. Mulutnya yang
bertaring runcing pun turut ambil bagian.
Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi.
Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga orang, di antaranya Kerto
Mandra sendiri.
"Mangkara...! Bawa orang ini ke angkasa, lalu buang ke laut..!" seru Warak
Kendra sambil menunjuk Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya bergerak
menyerang dua lawan lain. Serangan cepat itu tak mampu dielakkan oleh kedua
lawannya. Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban
serangan ganas Warak Kendra.
"Cuiiit..!"
Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram tubuhnya, Kerto Mandra yang
sengaja dibiarkan hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan muka pucat
dia bermaksud melarikan diri.
"Ha ha ha...! Kejar dia, Mangkara!" perintah Warak Kendra sambil tertawa tawa.
"Cuiiitt...!"
Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram
kaki Mangkara. "Tidak...! Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra berusaha memohon pengampunan.
Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangannya digerakkan, menyuruh Kelelawar
Iblis Merah membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu.
"Ha ha ha...! Mangkara, kutunggu kau...!"
Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto
Mandra ke udara, melesat menuju selatan.
Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa, meneruskan langkahnya.
8 "Tolong...! Tolooong...!"
Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak meminta tolong. Saat itu Sena
Manggala tengah duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan sambil meniup
Suling Naga Saktinya dan berdendang.
Dia terkejut mendengar lolongan memelas di angkasa. Setelah menghentikan tiupan
suling, kepalanya mendongak kian kemari dengan kening berkerut Matanya yang
tajam mengawasi ke
sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya persis orang
bodoh, dengan mulut ternganga mencari asal suara itu.
"Heh, apakah aku tidak salah dengar" Bukankah tadi telingaku mendengar suara
orang meminta tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus
mencari ke setiap jurusan.
Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak tadi.
"Tolooong...!"
Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas telinga Sena menangkap jeritan
itu, tapi saat kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang menjerit itu
tak ditemukannya juga. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam.
"Cuiiit..!"
Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena.
Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa kagetnya Pendekar Gila,
setelah mengetahui kalau orang yang berteriak minta tolong berada dalam
cengkeraman kaki binatang iblis itu.
"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu kembali membuat keonaran! Hm,
tentunya Warak Kendra berada di sekitar tempat ini! Baik, aku akan mengikuti
binatang itu..."
Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya, kemudian dengan ilmu meringankan
tubuh, dia melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang.
"Cuiiit...!"
Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di kakinya tercengkeram Kerto Mandra
yang meronta-ronta dengan wajah pucat pasi
"Tolong...! Tolooong...!" Kerto Mandra yang semula gagah berani, kini tak lebih
dari seorang lelaki yang takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan
ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya
menggigil gemetaran.
Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan cepat. Segenap ilmu larinya
dikerahkan, berusaha menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto Mandra.
"Edan! Jika dibiarkan, korban akan semakin banyak! Tentunya Warak Kendra akan
mengumbar nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan.
Celaka...!" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan tetap berlari.
Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih
terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di depan.
"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena masih terus berlari. Dia berusaha
mempercepat ilmu larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan Kerto Mandra
dan cuitan binatang itu tetap semakin
jauh. Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang itu untuk berlomba dalam hal
kecepatan. Kemudian dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila mengerahkan
tenaga dalam untuk mempercepat larinya.
"Yeaaa...!"
Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin.
Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput.
Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari tingkat tinggi 'Sapta
Bayu'. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Pendekar Gila melesat laksana
tujuh kekuatan angin.
Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam sekejap saja, dia telah mampu
menyusul binatang itu.
"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?"
dengus Pendekar Gila.
Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget.
Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya telah terbentang lautan
lepas. "Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu dengan membawa manusia botak
ke tengah tautan?"
gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis Merah yang masih terus terbang
membawa tubuh Ke-to Mandra ke tengah lautan
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir, kemudian dengan gelak tawa
kakinya melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara, tubuhnya melompat
ke lautan "Yeaaa...!"
Kembali Pendekar Gila mengerahkan
kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air, dengan cepat Pendekar Gila
menyentakkan tubuh ke depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya
pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di permukaan air tanpa tenggelam!
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil
menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti orang gila, semakin lucu dengan
berlari di atas air.
"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu dengan membawa manusia botak
ke tengah lautan"
Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu....
"Yeaaa...!" Pendekar Gila mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang begitu
sempurna. Maka, tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut dan mengejar
Kelelawar Iblis Merah!
"Ha ha ha...! Enak juga lari di atas air," katanya sambil terus menggaruk-garuk
kepala. Sedangkan matanya terus mengawasi binatang Iblis yang membawa tubuh
Kerto Mandra. "Tolooong...!"
Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar Iblis Merah melepaskan
cengkeramannya. Tubuhnya yang gemuk itu langsung melayang ke bawah.
"Aaa... Tolooong...!"
Byurrr! Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar
tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang iblis itu berputar-putar di
angkasa, kemudian kembali melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang tengah
berjuang mempertahankan selembar
nyawanya. *** Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya
memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu terbang.
"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku akan ke sana. Tentunya manusia
botak itu tahu, ke mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena.
"Tolooong...!"
Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul tenggelam di permukaan samudera
yang hendak menelannya hidup-hidup.
Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar Gila yang memiliki jiwa pendekar
berusaha me-nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo Edan. 'Seorang
pendekar, akan berusaha menolong yang lemah. Walau musuh sekalipun!'
Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas, dengan cepat Pendekar Gila
menangkapnya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya tangan itu.
"Yeaaat..!"
Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air, seketika tertarik ke atas.
"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya
saya akan mati,"
kata Kerto Mandra dengan napas tersengal.
"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan.
Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan Pendekar...."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan kirinya yang tidak memegangi tangan
Kerto Mandra menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya.
Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu yang dalam kesusahan. Sekarang,
berpeganglah pada tanganku," ucap Sena kemudian.
Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan
Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal itu membuat mata Kerto
Mandra melotot heran bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu.
Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di atas air tanpa tenggelam!
"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto Mandra.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar
pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu.
Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan masih tersenyum berkata,
"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?"
"Tapi, Tuan..."
"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang pasti, kau harus selamat Hyang
Widhi belum mengizinkan kau mati."
Usai berkata begitu, dengan tawa yang menggelegar Pendekar Gila kian mempercepat
larinya. Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut Tidak lama kemudian, keduanya sampai
di pesisir. "Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana perginya Warak Kendra dengan Kelelawar
Iblis Merah itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut itu mengatur
napas dan melemaskan otot-ototnya.
"Ya! Kudengar mereka hendak ke Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.
"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan tersenyum, tangannya menggarukgaruk kepala. "Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas."
"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu bukan membalas dendam," sahut
Kerto Mandra, membuat Sena mengerutkan kening.
"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?"
"Ya."
"Maukah kau menceritakan semua yang kau ketahui, Ki?" pinta Sena.
"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah tadi sudah saya katakan, bahwa
sejak saat ini saya akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya hadapi, jiwa
raga saya akan saya serahkan pada Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk
kepala. "Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu.
Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak terjang Kelelawar Iblis Merah.
Dan ini yang harus kita pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui"
Kerto Mandra menghela napas. Matanya
memandang ke lautan yang membentang di hadapannya. Kalau saja pendekar muda di
hadapannya tak menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan penghuni lautan
itu sebabnya, meski pendekar muda itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra
berjanji akan mengabdi pada pendekar muda yang bertampang gila itu
Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada henti menggaruk-garuk kepala,
membuat Kerto Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya adalah pendekar
yang namanya belakangan ini tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski
ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak sedikit pun menggambarkan
kesombongan. "Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah saya ketahui, bolehkah saya
mengajukan satu pertanyaan?" tanya Kerto Mandra.
"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab.
Katakanlah."
"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra
dengan sinar mata kekaguman.
"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya aku yang masih bodoh ini
dengan sebutan yang terlalu besar itu..."
Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya memandang nanar ke laut lepas.
"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang
bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-besarkan orang saja."
"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di hadapan Sena. "Ampunilah semua
kesalahan saya, Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat bertemu dengan
Tuan." "Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak kusenangi dengan nama besar. Aku
bukan dewa, tak sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah kau hendak
menceritakan segala sesuatu yang kau ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?"
Kerto Mandra kemudian menceritakan segala
sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia menyelidiki tentang gegernya
Kelelawar Iblis Merah yang sering memakan korban, sampai bentrokan dengan Warak
Kendra. "Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjadi
orang nomor satu di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para pendekar.
Dia belum puas dan belum bisa
menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di rimba persilatan, sebelum
mengalahkan Tuan. Dan dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra mengakhiri
ceritanya. Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar penuturan Kerto Mandra.
Tingkahnya yang seperti orang gila, semakin membuat Kerto Mandra bertambah yakin
tentang jati diri pendekar muda itu.
Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat tubuh Sena bergerak seperti
seekor monyet sambil menggaruk-garuk kepala.
Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda bertingkah gila itu bukan pemuda
sembarangan. Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah
sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegeliannya menyaksikan tingkah aneh Sena.
"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya
masih menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi orang nomor satu di rimba
persilatan harus mengalahkan aku" Apalah artinya aku..." Ha ha ha...!
Bagaimana menurutmu, Ki?"
Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia tidak tahu harus menjawab
apa. Lelaki gemuk itu hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena kembali
tertawa, dan bertingkah seperti seekor monyet
"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi mencari kawan. Bahkan kalau
mungkin, lawan diajak untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum seberapa
dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi.
Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena.
Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata.
Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan.
Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto Mandra dalam hati, mengingat
segala perbuatannya selama ini.
Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar muda itu memiliki jiwa yang luhur.
Mulanya dia menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-benar gila. Tak
memiliki akal dan budi pekerti yang luhur.
"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri atau pemuas dendam. Namun kita
bertempur untuk membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab semua itu
adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena menambahkan
"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar
Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku selama ini. Tak tahu gunung
menjulang, tak mendengar badai berhembus."
"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka.
Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak yang mesti kita lakukan,"
tukas Sena menyadarkan Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya.
"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke Perguruan Belibis Putih," jawab
Kerto Mandra. "Tentunya dua Iblis itu telah ke sana."
"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha melampiaskan nafsu angkara murkanya.
Apakah kau telah siap, Ki?" tanya Sena.
"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus semua dosa dan kepicikanku selama
ini." Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan ucapan Kerto Mandra lucu.
Tingkahnya kembali seperti orang gila.
"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya tanpa dapat dimengerti oleh
Kerto Mandra. Apa hubungannya antara malam dengan bencana yang melanda rimba
persilatan dengan munculnya
Kelelawar Iblis Merah" Pikirnya dalam hati.
"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan datang menerangi bumi ini?" lanjut
Sena. Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama sekali tidak mengerti kata-kata Sena.
"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya meninggalkan pesisir selatan,
melangkah ke utara di mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak Laut
Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan gemuruh angin dan tembang camar di
angkasa. *** 9 Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa Perguruan Belibis Putih terdengar
suara cuitan memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan semua penghuni
bangunan Perguruan Belibis Putih tersentak. Yang telah terbuai mimpi,
terperanjat bangun.
"Kelelawar iblis itu telah datang...!" seru salah seorang murid Perguruan
Belibis Putih, menyentakkan penghuni perguruan.
"Siap pada tempat masing-masing...!" perintah salah seorang murid utama.
Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan masing-masing. Rupanya penyambutan
kedatangan Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-matang.
"Cuiiit..!"
Prak! Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur, terhantam sayap kelelawar raksasa
itu. Puing-puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beterbangan, laksana tersapu
angin topan. Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid Perguruan Belibis Putih yang berada
di bangunan utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri.
"Tenang...! Semua harus tenang...!" terdengar seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan
Belibis Putih. "Cuit...!"
Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,
lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng bangunan utama. Disusul oleh sabetan
sayapnya yang menghantam bangunan itu.
Brak! Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana. Disusul dengan
kehadiran seorang lelaki muda berjubah merah.
"Ha ha ha...! Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan mau menjadi istriku! Kalau
tidak, semua murid dan perguruanmu akan kuhancurkan...!" ancam Warak Kendra.
Kemudian tangannya bergerak meluncurkan selarik pukulan ke bangunan utama.
Wusss! Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat menuju bangunan utama. Dan
sebuah ledakan dahsyat pun tercipta.
Glarrr! Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksikan keadaan di tempat itu.
"Serbuuu...!"
Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat puluhan anak panah menghujani tubuh
Warak Kendra. Swing! Swing...!
"Ha ha ha...! Jangan kalian kira akan semudah itu mengalahkanku! Hiaaa...!"
Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-anak panah, Warak Kendra
mengirimkan pukulan ke arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-pekikan
kematian dari balik pepohonan yang rimbun.
"Mangkara, hancurkan semuanya...!" perintah Warak Kendra pada Kelelawar Iblis
Merah. "Cuiiit..!"
Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah
tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian menukik ke bawah. Lalu kedua
sayapnya dihantamkan ke arah bangunan perguruan.
Brak! Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu
penyangganya berhamburan.
"Seraaang...!"
Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat dari persembunyiannya. Dengan
pedang terhunus, mereka serentak menyerang Warak Kendra.
"Bagus! Kalian memang harus mampus! Heaaat..!"
Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk
menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut.
Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu.
Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul.
Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus menghantamkan kedua sayapnya ke arah
bangunan. Membuat bangunan utama hancur berantakan.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian melesat menyentakkan kedua
sayapnya ke arah bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih semakin dibuat
porak-poranda. "Cuiiit..!"
Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat terbang, lalu berputar-putar di
angkasa. Kemudian dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu kembali
melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar merah menyala menderu dari luar
perguruan ke arahnya.
Wusss! "Cuit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik keras, ketika melihat pukulan yang
dilontarkan seseorang.
Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke
angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari ke
arah perguruan.
"Mangkara, ada apa..."!" tanya Warak Kendra ketika menyaksikan binatang
piaraannya berhenti menyerang.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya digerak-gerakkan. Tampaknya
binatang itu hendak mengatakan sesuatu.
Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang telah terjadi, tiba-tiba dari luar
pagar perguruan melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi bertubuh gemuk dengan kepala
botak bertelanjang dada.
"Ha ha ha...! Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah ada pesta. Mengapa kita
tidak diundang?" seloroh pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain
Pendekar Gila Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri melompat keluar dari dalam bangunan.
Lain halnya dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah menyeringai.
"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini!
Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian mulutnya kembali mengumbar tawa
menggelegar. Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan lebih keras. Tangannya menggarukgaruk kepala. Tingkahnya persis seekor kera
"Ha ha ha...! Kisanak, kalau memang hendak mengadakan pesta, mengapa tidak
mengundang kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu.
"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam hidupmu! Bersiaplah untuk
mampus!" ancam Warak Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan
Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Gila. "Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di sini" Lucu sekali omonganmu,
Kisanak. Kau bukan Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup matinya
seseorang" Ha ha ha...!"
"Bedebah! Aku akan membuktikannya, Pendekar Gila! Mangkara, habisi dia...!"
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara.
Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya melesat dengan sayap mengepak
siap menyerang.
"Minggirlah! Kalian bantu mereka...!" ujar Sena seraya mendorong tubuh Ratih
Puri dan Kerto Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya.
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya berjarak satu tombak dari Pendekar
Gila. Kedua sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara Pendekar Gila berguling
ke samping, lalu dengan cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah
binatang itu. "Heaaa...!"
Begkh! Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh binatang itu. Namun pukulan itu
bagai tak berarti.
Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa tombak ke belakang. Bahkan
binatang iblis itu semakin bertambah beringas.
"Cuittt..!"
Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke
angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk
melancarkan serangan susulan.
"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada artinya"!" desis Sena. Kembali
tubuhnya berkelebat mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas itu.
Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar Iblis Merah, Pendekar Gila
menghantamkan pukulan
'Si Gila Membelah Awan'.
"Heaaat..!"
Debbb! Telak sekali pukulan itu menghantam dada
Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata
Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu ternyata tak mempan oleh pukulan
'Si Gila Membelah Awan'.
Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah berputar sesaat di udara,
tubuhnya kembali meluncur ke arah Pendekar Gila.
"Cuiiit..!"
"Heaaa...!" tubuh Pendekar Gila kali ini turut melesat, berusaha memapak
serangan binatang itu.
Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu
menukik dengan kedua sayap siap menyerang, sedangkan yang lain melesat naik
dengan jurus saktinya.
"Cuittt..!"
'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat..!"
Darrr! Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar Gila bertemu dengan sayap
Kelelawar Iblis Merah, tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah, sedangkan
binatang itu bagai tak mengalami sesuatu apa pun. Padahal pukulan yang baru saja
dilontarkan Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus
gila. "Uhk...!" Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan!
Binatang itu benar-benar setan!"
Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu telah menukik kembali, siap
menghancurkan tubuhnya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit kontan
terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit.
Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis Merah itu dengan pukulan
saktinya. Pukulan tingkat tinggi yang menjadi salah satu andalannya.
"Pukulan 'Inti Bayu'...! Heaaa...!"
Angin seketika keluar bergulung-gulung dari telapak tangan Pendekar Gila. Untuk
sementara, tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan.
Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan
pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak mengalami kesulitan
berarti. Bahkan kini sayapnya dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan sakti
Pendekar Gila. "Cuiiit..!"
Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan pukulan saktinya seperti menghantam
batu cadas. Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini binatang itu siap melabraknya
lagi. "Celaka...!" pekik Pendekar Gila seraya membuang tubuhnya ketika sosok merah
mengerikan itu kembali menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau memberi
kesempatan. Kepakan sayapnya terus mencecar tubuh lawannya.
Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering ditiup angin, berusaha
mengelakkan setiap sambaran sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda
itu membentur dinding benteng perguruan.
Kedudukannya kini benar-benar tersudut.
"Celaka...!" pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan untuk lepas dari serangannya.
Yang kumiliki tinggal Suling Naga Sakti."
"Cuit..!"
Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat
Pendekar Gila melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas ditiupnya tanpa
sempat bangkit. Diarahkannya lubang suling ke tubuh binatang itu.
Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin lama semakin memekakkan telinga.
Dari lubang suling, melesat sinar berwarna merah yang telak menghantam tubuh
binatang iblis itu.
Desss! "Cuiiit..!" Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan.
Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya membubung ke angkasa dan
menggelepar-gelepar liar di sana.
Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak berhenti sampai di situ. Terus
ditiupnya suling sakti itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-dayu
hingga menyentuh perasaan.
Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila, orang-orang yang tenaga
dalamnya rendah, seketika terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan air
mata. "Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun pekikannya tidak sekeras semula.
Suaranya semakin lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang yang melayang di
udara itu mengecil dan terus mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud
aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan!
Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak
Kendra seketika murka. Didahului pekikan menggelegar, lelaki berjubah merah itu
menyerang Pendekar Gila.
"Hiaaat..!"
Tangan Warak Kendra membentang ke samping, kemudian bergantian menyerang tubuh
Pendekar Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke arah wajah dan dada
lawannya. Sedangkan kedua kakinya bergerak menendang dan menyepak.
Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi
seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit.
Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk mengelakkan serangan-serangan lawan.
Meski gerakannya kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan yang
dilancarkan lawan dengan mudah dapat
dielakkannya. Merasa serangannya gagal, Warak Kendra
semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-sungkan lagi dikerahkan.
Tangan kanannya terangkat ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar.
Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping dengan jari-jari lurus. Kemudian
dengan gerak cepat, Warak Kendra kembali menyerang.
"Kau harus mampus, Pendekar Gila! Yeaaa...!"
Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan aneh yang dilancarkan lawannya
Dengan cepat dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus
'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung, dan bersalto ke sana
kemari. Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan orang yang dianggap
menjadi peng-halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-serangannya semakin
lama semakin keras dan
gencar. Bahkan....
Degk! Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang cepat, tak dapat dielakkan
Pendekar Gila. Pukulan itu telak menghantam punggungnya.
"Ukh...!" Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung akibat pukulan itu.
Belum lagi siap, kembali sebuah tendangan keras menghantam
punggungnya. "Hari ini kematianmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Begk! "Tuan Pendekar...!"
Semua orang dalam kancah pertarungan yang
telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti memekik, saat menyaksikan
Pendekar Gila terdorong keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke depan
dan hampir mencium tanah, kalau saja Pendekar Gila tidak segera menguasai
keseimbangan tubuhnya.
Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah segar. Matanya berkobar gusar.
Rasa sakit yang menderanya benar-benar telah memancing amarahnya. Wajah Pendekar
Gila seketika berubah
menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah membara. Dari ubun-ubunnya
terpancar sinar ungu.
Semua mata yang ada di tempat itu membelalak lebar, menyaksikan kejadian aneh
itu. Bahkan dari mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar gumaman takjub.
"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah penglihatanku?"
Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar Gila saat diusik rasa sakit sehingga
membuatnya murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya
menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan kemurkaan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya berteriak menggelegar, kemudian
tubuhnya melesat ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun Warak Kendra
yang merasa dirinya sebagai orang paling sakti setelah menelan mustika Pengubah
Raga, segera menyambuti serangan itu.
"Yeaaa...!"
Warak Kendra memusatkan pikirannya dan
membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar.
Berkat kesaktian mustika yang mendekam di
tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah menjadi kelelawar raksasa
berwarna merah dengan mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang menyeramkan.
Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak kaget menyaksikan kejadian itu.
Mata mereka membelalak ngeri dengan kaki menyurut mundur
ketakutan "Ilmu iblis...!" pekik mereka.
"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis!"
desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan kejadian yang aneh dan
mengerikan itu.
Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu
pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak cepat, sulit sekali bagi orangorang di tempat itu untuk mengikuti gerakan mereka.
"Cuiiit..!"
"Yeaaat..!"
Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan jurus 'Si Gila Menggusur Karang'.
Sementara Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini
mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian menukik untuk melakukan
serangan. Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak.
Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan
amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka hanyalah bertarung untuk
menentukan siapa di antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam ini.
Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-kannya ke samping, kemudian
dihantamkan lurus ke arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra.
Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya membentang, kemudian mengepak
ngepak, siap menampar tubuh lawan
Glarrr! Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis Merah melesat ke atas.
Sedangkan tubuh Pendekar Gila terhempas ke tanah dengan keras.
"Cuiiit..!"
"Ugkh...!"
Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang berat rupanya dialami Pendekar
Gila. Darah seketika menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara nyalang.
Tubuhnya semakin membara penuh amarah.
Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di tanah, persis seekor monyet
yang tengah mabuk.
Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang lebih menyeramkan.
Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara.
Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin berpendar terang. Bahkan kini
mengepulkan asap.
Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak
terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan sayup-sayup yang hanya
dapat ditangkap telinganya.
"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan amarahnya. Berpikirlah yang tenang.
Jangan mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis! Jika pendekar tak mampu
mengendalikan nafsunya, berarti dia telah kalah...."
"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila, tersentak.
Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa murni dari kedalaman batin untuk
menguasai kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan mengerikan itu surut
dalam sekejap, Pendekar Gila segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya.
"Cuiiit..!"
Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di angkasa, melesat cepat ke
bawah, untuk melakukan serangan ke arah Pendekar Gila.
Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Saktinya. Diarahkan lubang
suling ke tubuh Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke arahnya.
"Cuit, cuiiit..!"
Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya terasa menyentuh sukma. Menjadikan
murid-murid Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali menangis tanpa
sadar. Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya dengan irama mengiba. Itulah
ilmu suling 'Pelayung Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa sedih.
Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan meratap-ratap penuh kesedihan.
Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak menyerang Pendekar Gila, seketika
terdiam bagai terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras,
semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah sesuatu....
Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu mustika bersinar merah. Batu itu
melesat jauh entah ke mana.
Bersamaan dengan keluarnya batu mustika
Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis Merah terjadi. Kelelawar itu
kembali berubah menjadi sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar.
Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas.
Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. Setelah menyelipkan
kembali sulingnya di pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan luka dalam
di tubuhnya. Tidak lama kemudian tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri
Ratih Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang tengah mengerumuni mayat
Warak Kendra yang hangus.
"Ha ha ha...! Rupanya pesta telah berakhir!
Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto, mungkin kau bisa membantu membangun
kembali Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila.
"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata, ketika Pendekar Gila telah melesat
meninggalkan tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa sempat melanjutkan
kata-katanya. "Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik!
Ha ha ha...!" seru Pendekar Gila dari kejauhan.
Pendekar Gila 5 Kelelawar Iblis Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar Pendekar Gila...!" sungut Ratih Puri dengan wajah merah padam.
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pedang Asmara 5 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Pendekar Patung Emas 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama