Ceritasilat Novel Online

Kembalinya Siluman Harimau 2

Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang Bagian 2


kawan-kawannya satu golongan. Pokoknya ilmu Siluman Harimau Kumbang yang ada dalam kitab itu telah
sama-sama kita miliki. Kini tinggal niat kita saja untuk sama-sama menjaga arca
yang sangat berharga itu. Selanjutnya kita hancurkan semua kekuatan kaum golongan putih, dengan cara melakukan teror di manamana." kata Gembel Pengemis berpakaian compang
camping itu membuka pembicaraan.
"Lalu apa yang kita lakukan mulai saat ini,
Saudara Gembel...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi.
"Niat kita sudah jelas, jalan mudah untuk menguasai mereka tanpa bersusah payah adalah melakukan pada masing-masing perguruan. Setelah itu kita
adu domba mereka sehingga saling bertarung. sesamanya akibat kesalah pahaman. Setelah kekuatan mereka lemah, nah saat itu kita turun menyerang...!"
Gembel Pengemis mulai menanamkan gagasannya.
"Tapi, aku harus menagih hutang tanganku
yang dibuntungi oleh bocah hina yang sangat tangguh
itu. Grrttk.... Kalau saja aku sampai bertemu dengan orang itu, aku tak akan
mengampuni jiwanya...!" Menyela si Kembar Gemuk Pendek.
"Saudaraku juga benar, Saudara Gembel...! Sakit hati ini benar-benar harus dia bayar dengan sangat setimpal. Kami masih akan
terus penasaran selamanya
andai kami tidak dapat darahnya dan memakan pula
otaknya...!" Saudaranya yang paling tua ikut menimpali.
Gembel Pengemis dari Pulau Naga nampak tersenyum-senyum penuh kelicikan yang sangat tersembunyi. "Membinasakan pemuda yang menamakan dirinya sebagai Pendekar Hina Kelana adalah sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Aku
sendiri secara pribadi merasa sangat ingin menjajal
seberapa hebatnya Golok Buntung miliknya yang sangat menggemparkan itu...!" Berkata Gembel Pengemis dengan kesombongan selangit.
"Lalu sekarang ini apa yang akan kita tempuh...!" tanya si kembar gemuk pendek ingin sebuah kepastian. Gembel Pengemis
nampak terdiam, otaknya
berputar mencari kemungkinan terbaik, sementara kedua matanya memandang tiada berkedip pada lampu
minyak yang terletak di depannya.
"Baiknya kita berpencar, masing-masing dari
kita menuju ketiga penjuru mata angin...!" ujar Gembel Pengemis kemudian tanpa
mengalihkan perhatiannya
pada lampu yang terletak di depannya. Ke dua manusia kembar itu saling berpandangan sesamanya, sama
sekali mereka tak mengerti ke mana arah pembicaraan
Gembel Pengemis.
"Mengapa kita harus berpencar, saudara Gembel Pengemis...!" tanya si Kembar Gemuk Tinggi tiada mengerti.
"O wala dala... kalau kita tidak berserak, bera-pa tahun kita harus dapat
menguasai semua golongan
persilatan...?" Kedua kembar angguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Lagi pula, dengan cara berpencar begitu, teror yang kita lakukan justru akan
membingungkan semua
lawan-lawan kita." jelasnya lebih lanjut.
"Sebuah ide yang sangat tepat. He... he... he...!
Kami tiada menyangka kalau saudara Gembel meskipun sangat tua namun memiliki pandangan yang
awas...!" Puji Kembar Pedang Dewa hampir bersamaan.
"He... he... ho... ho... ho...! Lha wong aku kok...!
Tidak percuma aku jauh-jauh datang dari Pulau Naga...!" "Ta... tapi bagaimana agar keselamatan arca itu dapat terjamin, saudara
Gembel Pengemis...?" tanya si Gemuk Pendek agak meragu. Kiranya keraguan itu
sempat pula diketahui oleh Gembel Pengemis dari Pulau Naga. Maka cepat-cepat dia menyela:
"Saudara-saudara tak usah merasa takut, kalau arca biarkan saja aku yang membawanya. Sebab
kalaupun disimpan di tempat ini, aku tak berani menjamin keselamatannya. Biarlah aku yang membawabawa-nya ke mana pun aku pergi...!" ucap Gembel Pengemis berusaha meyakinkan.
"Baiklah, kami percaya sepenuhnya pada saudara Gembel Pengemis! Tapi kalaupun kita berpencar,
lalu untuk selanjutnya di mana kita harus bertemu
kembali?" tanya salah seorang si kembar. Gembel Pengemis nampak terbengongbengong, menurut pendapatnya pribadi tempat pertemuan akhir itu memang
pantas untuk diketahui mulai dari saat sekarang. Sebab apa pun yang bakal terjadi nantinya, mereka harus menentukan sebuah tempat yang pada akhirnya
merupakan ajang pertemuan di perbatasan antara Gunung Batu Siwak dengan lembah maut...?"
"Mengapa harus di sana, saudara Gembel Pengemis" Bukankah tempat itu merupakan sebuah tempat yang hampir sepanjang tahunnya dilanda gempa.
Pula merupakan daerah yang sangat berbahaya sekali...!" kata si gemuk tinggi merasa kurang setuju.
"Aku memilih tempat itu bukan sembarang pilih, perbatasan lembah Gunung Batu Siwak merupakan sebuah daerah yang tidak pernah dijarah oleh sia-pa pun. Kalau di sanalah
kita mengadukan pertemuan,
maka aku dapat menjamin tentang keamanannya...!
"Baik...! Kami akan menurutmu kalau itu memang kami anggap juga cukup baik untuk sebuah pertemuan yang sangat penting. Tetapi perguruan mana
saja yang harus kita teror...!" tanya si Gemuk Tinggi.
"Saudara Gemuk Pendek, menurutku lebih baik
menuju ke arah Utara, sepanjang jalan ke Utara seingatku ada tiga perguruan yang juga patut diperhitungkan di sana. Sementara
saudara kembar Gemuk Tinggi
sebaiknya menuju ke Tenggara. Di bagian Tenggara itu juga terdapat dua perguruan
yang sangat besar namun
memiliki pimpinan yang berjiwa lemah. Sementara aku
sendiri akan menuju ke arah Barat. Nah di sanalah
markas besar semua kaum golongan putih. Yaitu Perguruan Walet Merah."
"Hemm. Kami menyetujui semua gagasan mu
saudara Gembel Pengemis. Mudah-mudahan segala
apa yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan...!"
"Terima kasih, saudara kembar berdua atas segala kepercayaan yang anda berikan padaku...!"
"Kapan kita berangkat...!" tanya si Gemuk Pendek. Sementara si Gemuk Tinggi
mengangguk mengiyakan. "Ada baiknya kalau kita berangkat sekarang juga...!" kata Gembel Pengemis dari Pulau Naga tegas.
"Baiklah...!" Setelah mereka merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan maka
saat itu juga mereka segera berangkat meninggalkan tempat itu. Berpisah
dengan tujuan masing-masing.
* * * Angin siang hari berhembus sepoi-sepoi basah,
di saat itu Buang Sengketa dan Dewi Wening Asih yang sedang melakukan perjalanan
menuju Lembah Gunung Batu Siwak, atau setidak-tidaknya menjumpai
Ketua Perguruan Walet Merah. Melalui sebuah jalan
yang sangat sempit dan licin, sejak pagi hari mereka tiada henti-hentinya terus
melangkahkan kaki. Padahal saat itu sesungguhnya Buang Sengketa sudah merasa tak sabar lagi melihat cara jalan Dewi Wening
Asih yang sangat lambat dan mirip seekor siput.
"Jalan sedari tadi cuma muter-muter di sini saja!" gerutu Buang Sengketa.
"Ceriwis, kalau tak sabar tinggal saja...!" Dewi Wening Asih bersungut-sungut
sambil mencibirkan
mulutnya. "Wah jadi kau benar-benar ingin kutinggal sendirian...!"
"Ee... jangan...! Aku minta maaf. Bangsatbangsat itu membuat aku takut Kelana...!"
"Kalau begitu percepat sedikitlah langkahmu...!"
perintah Buang Sengketa setengah mempercepat langkahnya. Namun mendadak pemuda itu hentikan langkahnya begitu mendengar jeritan dan teriakanteriakan orang yang sedang melakukan pertarungan.
Atau lebih mirip lagi bila disebut sebuah pembantaian.
"Ada apa?" tanya Dewi Wening Asih ketika melihat Buang Sengketa malah mengendapendap me- ninggalkan jalan setapak yang mereka lalui. Sebaliknya dia melangkah ke arah semak-semak belukar yang
berada di sisi kanan jalan itu.
Tak lama kemudian setelah memperhatikan sesuatu yang berada di lereng bukit di bawahnya, maka
Buang Sengketa memberi isyarat pada Dewi Wening
Asih untuk men-dekat. Tanpa berfikir panjang, Dewi
Wening Asih segera mendekat lalu dia memperhatikan
ke arah yang ditunjuk oleh Buang Sengketa. Dewi
Wening Asih hampir terpekik begitu melihat beberapa
orang penduduk desa sedang menghadapi seekor Siluman Harimau Kumbang. Yang membuat terheranheran pemuda itu adalah karena harimau kumbang itu
hanya memiliki tiga buah kaki. Sejenak pemuda dari
Negeri Bunian ini nampak memperhatikan gerak gerik
serangan harimau kumbang yang sangat ganas. Mengherankan, walau kakinya cuma tiga buah, tapi harimau itu dapat bergerak secepat binatang normal. Teta-pi bila melihat caranya
membantai orang-orang itu
nampaknya harimau itu bukanlah harimau biasa.
Jangan-jangan....! Tetapi mungkinkan binatang itu ada
kaitannya dengan Siluman Harimau Kumbang. Kalau
benar sudah barang tentu harimau itu bermaksud untuk membunuh semua orang yang berada di tempat
itu. Aku harus mencegah semua perbuatannya yang
brutal itu. Batin Buang Sengketa dalam hati.
"Dewi...!" panggilnya. Dewi Wening Asih semakin mendekat.
"Ada apa...?" tanyanya begitu hampir di sebelah Pendekar Hina Kelana.
"Ikutlah aku, tapi jangan berisik, aku harus
menghalangi harimau yang mengganas itu. Kalau tidak
orang-orang yang tiada berdosa itu pasti akan terbantai habis...!"
"Jangan, siapa tahu harimau itu sengaja membalas dendam. Mungkin juga orang-orang itu merupakan golongan hitam. Untuk apa kau bersusah payah
membantu mereka, lebih baik kita meneruskan perjalanan saja...!" Buang Sengketa gelengkan kepalanya berulang-ulang.
"Tidak, kau lihatkah bahwa orang-orang itu merupakan petani biasa, mungkin juga mereka merupakan pencari rotan di hutan ini... aku harus menolongnya. Indera ku mengatakan
bahwa harimau itu hanyalah merupakan seekor siluman...!" ujarnya merasa
sangat yakin sekali.
"Kalau begitu marilah kita tolong mereka, aku
tak dapat berbuat banyak. Semua itu terpulang padamu, seandainya kau sampai celaka, maka nasibku juga tak akan lebih baik dari nasibmu...!" Dewi Wening Asih setengah mengingatkan.
Buang Sengketa hanya diam saja, sesaat kemudian dia sudah melangkah mendekati tempat pertarungan. Semakin lama langkah mereka semakin mendekat dan bertambah dekat. Begitu semuanya sudah
terlihat nyata, maka bukan main terperanjatnya pemuda dari Negeri Bunian itu. Di tempat itu lebih dari sepuluh orang mayat-mayat
tiada berdosa bergeletakan.
Keadaan tubuh mereka benar-benar sangat menyedihkan sekali. Buang Sengketa cepat-cepat mengalihkan
perhatiannya ke arah lain, maka nampaklah hanya
tinggal lebih kurang tujuh orang saja dengan senjatanya yang berupa beberapa batang golok dan tombak
mengepung harimau yang sangat ganas itu. Buang
menjadi geram karenanya, tanpa basa basi dia pun segera melompat memasuki kalangan pertempuran.
Kehadiran Buang Sengketa yang tiada terdugaduga itu membuat terkejut harimau kumbang maupun
beberapa orang penduduk desa yang sedang melakukan pengeroyokan.
* * * 8 "Minggirlah kalian semuanya, harimau kumbang ini nampaknya bukan harimau biasa...!" teriak Buang Sengketa pada orangorang itu. Tanpa menunggu diperintah dua kali, para penduduk desa itu pun
berlompatan mundur. Saat itu harimau kumbang tersebut demi mengetahui kehadiran Buang Sengketa,
mendadak berubah menjadi sangat beringas sekali.
Berulang kali dia mengaum, dengan raungan-raungan
yang sangat keras. Sepasang matanya yang menyorot
tajam dan liar memandang pada si pemuda dengan
dendam yang membara. Pendekar Hina Kelana jadi
terkesima karenanya. Kini dia yakin sudah bahwa harimau berkaki tiga itu tak lebih merupakan seekor siluman yang sedang membalas
dendam. "Hak... kek... kek...! Siluman Harimau Kumbang...! Melihat bentuk tubuhmu yang pendek dan
bertangan buntung, tak bisa ku sangkal. Engkau tak
lain merupakan kunyuk dari Pulau Bawean... he...
he... he...! Satu kesempatan yang bagus bagiku. Melihat tampangmu yang dapat berubah menjadi seekor
siluman, aku jadi merasa sangat yakin kalian pasti ada hubungannya dengan arca
yang hilang itu. Tapi...
eeee... tapi ke mana kembaran mu yang satu lagi...?"
"Grauuuuung!" Siluman Harimau Kumbang
yang merupakan penjelmaan si kembar Gemuk Pendek
menggerung marah dengan dendamnya yang terbangkit kembali. Apa sebabnya sampai terjadi pembantaian itu"
Seperti diketahui setelah masing-masing sekutu
telah mengetahui tugas-tugas-nya, maka berangkatlah
si Kembar Gemuk Pendek menuju ke arah Utara. Satu
perguruan kecil yang muridnya hanya berjumlah lebih
kurang tiga puluh orang saja telah berhasil dia obrak abrik. Selesai
menghancurkan satu perguruan milik
orang-orang golongan putih, maka dia bermaksud meneruskan perjalanannya untuk membasmi perguruan berikutnya. Namun bagi si Gemuk Pendek yang
sama sekali belum pernah melakukan perjalanan ke
Utara, merasa sangat kesulitan untuk menempuh jalan yang sesingkat mungkin. Berulang kali dia sempat kesasar, bahkan beberapa


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali dia cuma berputar-putar di sekitar hutan itu. Maka bertemulah dia dengan sekawanan pencari rotan di tengah-tengah hutan
itu. Tapi karena setiap pertanyaan selalu dijawab dengan kata-kata yang kurang
menyenangkan, maka mau
tak mau akhirnya dia pun sangat marah. Tak dapat dicegah lagi, si Gemuk Pendek yang selama ini menganggap bahwa setiap manusia selalu berada di bawah
tingkatannya. Dalam waktu sekejap saja telah merubah dirinya menjadi seekor Siluman Harimau Kumbang. Satu demi satu korban-korban pun berjatuhan,
semakin lama semakin bertambah banyak. Masih untuk dalam saat-saat yang sangat kritis itu muncullah Pendekar Hina Kelana.
Tetapi kemunculannya malah
semakin mengundang kemarahan Siluman Harimau
Kumbang, karena sesungguhnya dendamnya selama
ini hanyalah ditujukan pada pemuda yang dulu pernah
membuntungi tangannya (Dalam Episode Siluman Harimau Kumbang).
Saat itu baik pemuda muridnya si Bangkotan
Koreng Seribu, maupun Siluman Harimau Kumbang
penjelmaan si kembar gemuk pendek nampak saling
berpandangan. Namun sedetik kemudian Buang Sengketa sudah menyela:
"Aku tahu kalian sekarang pasti sedang melakukan teror. Kalian berpencar untuk mengelabuhi
orang-orang persilatan. Huh. Siapa pun dan sebanyak
apa pun Siluman Harimau Kumbang, aku tak akan
pernah merasa gentar. Kau harus mati di tanganku,
kali ini benar-benar tak akan kubiarkan lolos." geram pemuda itu selanjutnya dia
sudah bersiap-siap dengan
jurus tangan kosong si Gila Mengamuk. Siluman Harimau Kumbang menggerung bagai di rasuki setan iblis. Selanjutnya begitu dia menjejakkan kaki belakangnya, tahu-tahu tubuh
Siluman Harimau Kumbang
penjelmaan dari si Kembar Gemuk Pendek telah melayang menerjang Buang Sengketa yang sudah barang
tentu saja berkelit dengan sangat gesitnya. Serangan awal siluman penjelmaan si
Gemuk Pendek luput. Namun secepatnya dia sudah berbalik dan melakukan
serangan yang lebih gencar lagi dengan kuku taringnya yang panjang-panjang.
Sementara itu Buang Sengketa yang saat itu
mempergunakan jurus si Gila Mengamuk, masih kelihatan tenang-tenang saja, sekali dua dia nampak terhuyung-huyung bagai seorang pemabukan, di lain saat
dia tepuk-tepuk pantatnya atau bahkan menggaruknya. Gerakan silatnya memang kacau balau tak beraturan, bahkan pukulan maupun tendangan yang dilakukannya nampak selalu ngawur dan membuat geli
setiap orang yang melihatnya, tapi selalu saja pukulan-pukulan itu menghantam
telak pada sasarannya.
Sungguhpun begitu, nampaknya Siluman Harimau
Kumbang ini sangat kebal bahkan bagai tak merasakan datangnya pukulan maupun tendangan yang bertubi-tubi. Sebaliknya siluman harimau itu malah semakin bertambah buas dan terus melakukan serangan
balik dengan sangat cepat sekali.
"Grauuung...!"
"Kampret! Hampir saja...!" maki Buang Sengketa, seraya melipat gandakan
serangannya. Tapi sejurus selanjutnya siluman harimau berkaki tiga itu pun
dengan begitu nekadnya, menerkam Buang Sengketa dari
arah yang berlawanan.
"Krauuuk...!" Terdengar suara berkerokokan
manakala taring-taring harimau kumbang itu menyambut kepalan tinju Buang Sengketa yang mengarah ke bagian kepalanya.
"Sialan kau siluman sesat. Aku ini masih majikanmu, aku pangeran mu, karena aku juga masih merupakan makhluk alam gaib. Kau tak mau hormat padaku malah meminta tanganku. Kurang ajar...!" makinya sambil membetot-betot
tangannya yang berada
di dalam mulut harimau itu. Siluman Harimau Kumbang mempertahankannya. Walaupun makhluk itu
merasakan bahwa tangan lawannya telah berubah sekeras baja. Pendekar Hina Kelana akhirnya merasa tak sabar juga setelah tarik
menarik berlangsung lama.
Dia sudah mulai berfikir untuk melepaskan pukulan
maut Empat Anasir Kehidupan, atau yang lebih hebat
lagi si Hina Kelana Merana. Tapi bagaimana nantinya
dengan nasib tangan kirinya yang masih tetap tergigit di dalam mulut siluman
harimau itu. Mengeluarkan
Pusaka Golok Buntung. Hemm, rasa-rasanya hal itu
tidak perlu. Baiknya dengan mempergunakan lengkingan Ilmu Pemenggal Roh tangannya segera terlepas dari taring-taring lawannya.
"Hiiiikk!"
Terdengar gelegar berkepanjangan yang sambung menyambung tiada henti. Bumi tempat berpijak
seakan-akan runtuh. Satu kesalahan yang berakibat
sangat fatal secara tak sengaja telah dilakukan oleh pemuda itu. Yaitu dia lupa
mengingatkan penduduk
desa yang masih tersisa itu untuk menyumbat daun
telinganya. Tak dapat disangkal lagi, orang-orang itu menjerit dan jatuh terguling-guling. Gendang-gendang telinga mereka berantakan,
darah mengalir dari dalamnya. Sesaat tubuh-tubuh tumpang tindih itu berkelojotan lalu terdiam untuk selama-lamanya. Sementara itu Siluman Harimau Kumbang
nampak terpekik, serta
merta mulutnya membuka. Secepatnya Buang Sengketa menyentakkan tangan itu dari dalamnya. Siluman
Harimau Kumbang menggerung, tubuhnya terhuyunghuyung. Tapi bagai tak menghiraukan rasa sakit di bagian kuping dan dadanya,
Siluman Harimau Kumbang
itu kembali bersiap-siap membangun serangan.
"Sialan, gara-gara kau, aku sampai membuat
mereka yang ingin kuselamatkan malah mampus...!"
makinya. Selanjutnya tanpa banyak membuang waktu
percuma, tubuh Buang Sengketa berkelebat sangat cepat. "Heiiiit...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya ke
depan. Tanpa ampun lagi, selarik sinar berwarna Ultra Violet menderu menyambut
terkaman harimau kumbang yang datangnya berlawanan arah.
Sama sekali Siluman Harimau Kumbang itu
tiada menyangka kalau lawannya lepaskan pukulan
yang sangat berbahaya sekali. Secepatnya dia buang
tubuhnya ke samping kanan. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilepas oleh Pendekar Hina Kelana
mencapai sasaran kosong, namun terus melesat hingga menabrak sebatang pohon hingga menyebabkannya
tumbang menimbulkan suara berdebum.
"Grauuuuung!"
"Sialan sedari tadi cuma membuat aku semakin
kesal saja. Terimalah yang ini...!" jerit Buang Sengketa dengan suara
menggelegar. Maka apabila kedua tangannya terpentang ke atas. Dan saat mana
mulutnya mengeluarkan bunyi mendesis maka pada saat itulah
dia telah mulai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana, mulailah tubuhnya bergetar. Keringat mengalir deras membasahi tubuh dan
pakaiannya. Sementara itu,
Siluman Harimau Kumbang penjelmaan si kembar gemuk pendek juga nampaknya menyadari bahwa pendekar yang pernah membuat buntung tangannya itu
tak ingin bertindak ayal-ayalan untuk kali ini. Maka masih dalam ujud siluman,
dia segera mengerahkan
pukulan baru hasil ciptaan mereka. Pukulan itu adalah merupakan pukulan yang diberi nama Dendam Pedang Dewa Kembar.
"Hiaaa...!" teriak Buang Sengketa melepaskan pukulan andalannya.
"Grroaar...!" Sambil berlompatan Siluman Harimau Kumbang itu pun pukulkan kaki
depannya yang hanya sebelah itu. Satu gelombang sinar kuning melesat melebihi kecepatan anak panah, sinar berhawa
dingin itu terus melabrak menyongsong datangnya satu gelombang sinar merah yang telah dilepaskan oleh
Pendekar Hina Kelana.
"Weeer!"
"Blaaam!"
Dua tenaga sakti saling bertubrukan di udara,
tubuh orang itu sama-sama terpental tiga tombak.
Buang Sengketa meringis-ringis sambil memegangi dadanya yang terasa sesak luar biasa. Sementara itu siluman penjelmaan si Kembar
Gemuk Pendek setelah
muntah darah masih juga berusaha bangkit berdiri.
Namun nampaknya pengaruh lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, yang meninggalkan kerusakan pada bagian otaknya membuat siluman itu mulai kehilangan
daya tempurnya. Kini setelah bangkit berdiri dalam
keadaan sempoyongan dia kembali berusaha untuk
melakukan serangan susulan. Tapi luka dalam yang
dialaminya telah pula membuat gerakan-gerakannya
sudah tak stabil lagi.
"Grrr...!"
Gemetaran suara siluman itu.
"Hiaa...!" Tubuh Buang Sengketa berkelebat, sekali lagi dia lancarkan pukulan si
Hina Kelana Merana. Siluman Harimau Kumbang menggerung tanda
terkejut. Tapi pukulan yang dilepaskan oleh Buang
Sengketa datangnya laksana badai.
"Buuum!" Tubuh Siluman Harimau Kumbang
itu terbuntang dan tergulung-gulung dalam hawa yang
sangat panas menyakitkan. Binatang siluman itu melolong, tapi hanya sesaat saja. Begitu tubuhnya terhempas, maka perubahan pun
terjadi. Harimau kumbang
yang mati dalam keadaan hangus itu, secara perlahanlahan berubah ke dalam ujudnya semula. Hingga lama-kelamaan Buang Sengketa dengan jelas dapat
mengenali bahwa sesungguhnya orang itu tak lain merupakan si Kembar Pedang Dewa, yang dulu sempat
melarikan diri dari tangannya.
"Akhirnya kau harus mati dengan cara lebih
menyedihkan lagi, Orang sesat...!"
"Siapa dia...?" tanya Dewi Wening Asih yang secara tiba-tiba berada di sebelah
Buang Sengketa. Sejenak pemuda itu memandang pada si gadis, lalu ucapannya pelan. "Dia salah seorang lawanku...?" katanya.
Lalu tanpa basa basi lagi disambarnya tangan
gadis itu. Detik selanjutnya Dewi Wening Asih merasakan tubuhnya bagai melayang
bersama Buang Sengketa yang sedang mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian
Sapu Angin. * * * 9 Laki-laki berpakaian bangsawan itu terus melakukan perjalanan, sungguhpun tubuhnya sudah merasa tak kuat lagi untuk melanjutkan perjalanannya.
Racun Pukulan Iblis yang telah mengidap di bagian
dadanya kini telah menjalar ke mana-mana. Seluruh
persendiannya terasa sangat kaku, sementara rasa
dingin yang sangat luar biasa membuat jantungnya
seperti enggan berdenyut. Berjalanlah dia tak ubahnya bagai area kayu. Tegak dan
kaku sekali. Sungguh pun
begitu tiada sedikitpun rasa putus asa membayang di
wajahnya yang pucat dan berwarna kebiru-biruan itu,
dia terus melangkah. Sungguhpun dia harus jatuh
bangun, dia sudah tiada perduli lagi. Hingga sampai
akhirnya tubuh Rajenta terhempas, kemudian terguling-guling sambil merintih-rintih.
Sementara itu tak begitu jauh dari tempat Rajenta terkapar, nampak dua orang pejalan kaki yang
kelihatannya masih sangat muda. Seorang di antaranya adalah seorang gadis yang sangat cantik, sedangkan yang menyertainya adalah seorang pemuda
yang tak kalah tampannya bila dibandingkan dengan
kecantikan gadis yang berjalan bersama pemuda itu.
Tiada kata-kata yang terucap dari mulut mereka, manakala mereka berjalan berdampingan seperti itu. Dewi Wening Asih tenggelam
dalam lamunannya tentang
bagaimana nasib kedua orang tuanya. Sedangkan
Pendekar Hina Kelana sendiri merasa di sibuki dengan teror Siluman Harimau
Kumbang yang mulai merajalela di mana-mana. Mengherankan, di mana-mana terjadi pembunuhan secara keji dan nampaknya sangat berutal sekali. Aku merasa yakin bahwa pelaku dari teror
itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang saja, mungkin juga dua, tiga, lima, atau bahkan lebih. Tapi apa alasannya yang jelas
mereka sengaja memancing keki-sruhan, atau mungkin pula mempunyai maksudmaksud tertentu yang belum jelas. Arca itu juga sekarang ini entah berada di
tangan siapa. Batin pemuda
itu. Sedang tenggelam dalam lamunannya seperti
itu, tiba-tiba saja telinganya menangkap adanya suara rintihan seseorang. Dan
nampaknya Dewi Wening Asih
juga mendengar seperti apa yang didengar oleh Buang
Sengketa. "Nampaknya di sekitar sini seperti ada suara
rintihan seseorang...!"
"Aku juga mendengar suara yang sama, ee...
sepertinya berasal dari lereng di bawah itu...!" kata gadis itu, dengan hati
berdebar. "Ayo kita ke sana saja...!"
Lalu secara bersama-sama mereka menuruni
lereng itu, tak sampai lewat sepemakan sirih maka
Buang Sengketa melihat seorang laki-laki yang tiada
dikenalnya terkapar di atas semak-semak belukar. Sejenak dia meneliti, selanjutnya membalikkan tubuh la-ki-laki berpakaian
bangsawan itu. Saat itu Dewi Wening Asih menjerit tertahan, tubuhnya gemetaran, lalu tanpa dapat tertahankan
lagi dia langsung menubruk
Rajenta. "Ayah... mengapa sampai terjadi begini,
Ayah...!" jerit gadis itu sambil mendekap tubuh Rajenta yang sudah sangat dingin


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Sementara itu Buang sama sekali tiada menduga kalau laki-laki yang
berpakaian bangsawan itu kiranya merupakan ayah Dewi
Wening Asih. Lalu tanpa menghiraukan tangis gadis
itu, Buang Sengketa segera memeriksa nadi di pergelangan Rajenta. Luar biasa orang itu ternyata masih
hidup. Sungguhpun denyut jantungnya sudah sangat
lemah sekali. "Hentikan tangismu Dewi, nampaknya dia masih bisa di selamatkan. Ayolah bantu aku, tolong buka bajunya...!" kata Dewi
Wening Asih memberi perintah.
Selanjutnya dengan sangat cepat mereka membuka
pakaian Rajenta. Setelah pakaiannya terbuka nampaklah bagian dadanya yang membiru bekas terkena pukulan beracun yang sangat ganas. Buang memandang
pada Dewi Wening Asih sejenak saja, lalu:
"Dewi, cobalah kau berjaga-jaga di atas bukit
sana. Beritahukan padaku andai ada apa pun yang
mencurigakan. Aku akan menolong ayahmu ini, mudah-mudahan nyawanya masih tertolong...!" perintah Buang Sengketa. Dengan masih
terisak, Dewi Wening
Asih segera mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
Buang Sengketa.
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu
lagi, Buang Sengketa segera menempelkan telapak
tangannya pada bagian dada Rajenta, lalu dengan
mengerahkan segenap perhatiannya, Buang Sengketa
mulai mengerahkan sebagian tenaga dalamnya ke arah
telapak tangannya. Kemudian hawa yang sangat hangat pun mengalir pada telapak tangan Pendekar Hina
Kelana. Hawa murni itu terus mengalir ke bagian dada yang telah mengidap pukulan
beracun. Secara perlahan namun cukup pasti, hawa murni yang disalurkan
melalui tangan Buang Sengketa terus menjalar ke seluruh bagian tubuh Rajenta yang tadinya terasa sangat dingin dan kaku. Tubuh
pemuda itu telah bermandi
keringat, bahkan wajahnya sendiri semakin lama berubah menjadi merah padam, tubuh gemetaran demi
menahan hawa dingin beracun yang kadang memberontak ingin mengatasi hawa murni yang disalurkan
oleh Buang Sengketa. Semakin lama hawa murni yang
disalurkan oleh Buang Sengketa semakin dilipat gandakan, sehingga lama-kelamaan menaikkan hawa beracun dan melenyapkannya, sungguhpun tidak secara
tuntas. Rajenta mengerang manakala merasakan hawa
dingin dan hawa panas datang silih berganti. Walaupun begitu lama-kelamaan wajahnya yang pucat membiru itu nampak mulai mengalami perubahan sedikit
demi sedikit. Setelah segalanya dianggap telah memadai, maka Buang secara perlahan menarikan tangannya kembali. Selanjutnya pemuda dari Negeri Bunian
itu nampak duduk bersila, kedua tangannya menekur
terlipat di dadanya. Dia merasakan letih yang teramat sangat, dan apa yang dia
ingin lakukan untuk selanjutnya adalah mengembalikan semangat dan tenaganya yang telah terkuras demi menyelamatkan Rajenta, sekaligus merupakan orang tua kandung Dewi
Wening Asih. Namun sebelum Pendekar Hina Kelana
selesai dengan semadinya, mendadak Dewi Wening
Asih berlari-lari menuruni lereng yang tidak seberapa tingginya. Melihat mimik
wajahnya, nyatalah sudah
kalau dia kelihatan sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua.
"Cel... celaka, ada berpuluh-puluh penunggang
kuda datang ke tempat ini! Bagaimana ini Kelana...?"
lapornya tergopoh-gopoh dan wajah tegang. Seperti
tiada mendengar, pemuda itu masih juga menekur dalam semadinya. "Bagaimana ini, Kelana...! Cepatlah kau bangun, orang-orang itu sudah semakin mendekat ke sini...!" "Wah, aku belum lagi pulih tenagaku, seandainya ayah Dewi dan aku tetap bertahan di tempat
ini. Maka akan celakalah semuanya. Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak bisa diduga dari pihak kawan atau lawan. Tapi dalam
situasi seperti ini aku tak bisa berharap banyak pada pihak mana pun. Tenagaku
pun belum pulih betul. Hemm, apa pun yang bakal terjadi aku harus menghadapi mereka. Selanjutnya setelah menarik nafas panjang, pendekar dari Negeri Bunian ini beranjak berdiri, sesaat lamanya dia memandang pada Dewi Wening Asih yang saat itu sedang bersimpuh di dekat kaki ayahandanya.
"Kesehatan ayahmu akan segera pulih kembali,
tetaplah kalian di sini. Tapi larilah ke sebuah tempat yang aman, andai aku tak
sanggup menghadapi mereka." pesannya.
"Kelana! Tapi nampaknya kau sendiri masih dalam keadaan lemah, bagaimana mungkin engkau dapat mengatasi mereka yang jumlahnya mencapai puluhan orang?" Dewi Wening Asih nampak sangat khawatir sekali. Selanjutnya tanpa
menoleh-noleh lagi,
Pendekar Hina Kelana segera menjejakkan kakinya.
Tubuhnya sekejapan saja telah lenyap dari pandangan
Dewi Wening Asih.
Saat itu para penunggang kuda telah sampai
pula tidak begitu jauh dari lereng itu. Secara hampir serentak mereka menarik
tali kekang kuda, hingga
mengakibatkan kuda-kuda itu menghentikan larinya
secara mendadak pula. Adapun pemimpin penunggang
kuda tak lain adalah Luga Kencana Ketua Perguruan
Walet Merah. Sedangkan seorang yang berada di sebelahnya adalah seorang kakek tua renta yang merupakan guru dari Luga Kencana. Kakek itu seperti di jelaskan pada saat awal adalah seorang tokoh golongan
putih yang bernama Sandi Marta, atau yang lebih dikenal sebagai si Pedang Walet Merah. Kakek tua ini
sengaja menyertai perjalanan Luga Kencana, dengan
maksud ingin memberi bantuan pada muridnya dalam
menemukan kembali Arca Harimau Kumbang yang telah lama lenyap dari Perguruan Walet Merah sebagai
pihak penanggung jawab.
"Tidak ada tanda-tanda ada orang yang kita curigai melintas di tempat ini. Padahal korban-korban Siluman Harimau Kumbang
sudah terlalu banyak. Aku
merasa tak yakin kalau arca yang tercuri itu dapat lenyap begitu saja. Pula
sudah sangat lama aku tak pernah mendengar lagi kabar, ke mana larinya Gembel
Pengemis dari Pulau Naga yang telah melarikan arca
itu. Heh, kalaulah benar Gembel Pengemis dapat merubah dirinya menjadi seekor siluman, maka semakin
kuatlah dugaanku kalau Gembel Pengemis itulah pelakunya!" kata Luga Kencana.
Kakek renta berkepala botak yang merasa di
sampingnya masih juga terdiam. Tatapan matanya
menerawang jauh memandang pada semak-semak
yang membentang di hadapan mereka.
"Bagaimana pendapatmu, Guru...!" tanya Luga Kencana begitu melihat si Pedang
Walet Merah hanya
diam saja. Alis kakek tua itu menggerimit, dengan sudut matanya yang sudah mulai
lamur dia melirik sekilas. Lalu terdengarlah ucapannya yang berwibawa.
"Semua keputusan tentang perguruan yang kau
dirikan, semua ada di tanganmu, sedangkan aku hanyalah orang yang ingin melihat murid tunggalnya dapat menyelesaikan sesuatunya dengan sangat baik. Kita telah banyak membuang-buang waktu hanya ingin
mendapatkan arca itu kembali. Tapi pernahkah kau
menyadari bahwa sesungguhnya arca itu pun bukan
milik Perguruan Walet Merah. Asal usulnya tidak jelas,
dan selama aku malang melintang dalam dunia persilatan dulu, sama sekali aku tak pernah mengetahui
dari mana sesungguhnya asal usul Arca Harimau
Kumbang itu. Ketika kau datang mendadak kau mengatakan bahwa arca itu merupakan lambang persatuan kaum golongan lurus, keteranganmu juga semakin membuat aku bertambah bingung. Tapi akhirnya
aku tiada perduli. Hingga aku mengikutimu sampai ke
sini, kini juga keputusan kembali ku pulangkan padamu, dengan harapan kau dapat mengambil keputusan
yang terbaik buat kelangsungan dan kelanggengan
semua perguruan bergolongan lurus." katanya bijaksana. "Guru, dengan cara
bagaimana pun, arca itu harus kembali pada Perguruan Walet Merah. Lihat sajalah
buktinya, satu atau tiga purnama saja arca itu berada di tangan kaum sesat,
teror tentang harimau
kumbang telah merajalela di mana-mana. Kalau tidak
kita yang menghentikannya sepak terjang mereka, lalu siapa lagi...!" Si Pedang
Walet Merah tersenyum saja demi mendengar apa yang di katakan oleh muridnya.
"Dari caramu mengambil kesimpulan saja, sudah merupakan satu bukti bagiku, bahwa sebagai ketua perguruan ternyata juga kau memiliki pandangan
yang sangat sempit! Luga, janganlah merasa diri itu lebih hebat ketimbang
manusia lainnya di atas dunia ini.
Dengan hilangnya Arca Harimau Kumbang dari perguruan kalian, dan dengan bermunculannya siluman
yang mengganas di kalangan dunia persilatan. Hal itu sudah merupakan bukti lain,
bahwa kepandaian kalian untuk mengetahui tentang rahasia yang ada di dalam arca
itu tidak sampai. Munculnya siluman harimau yang tiba-tiba, bagiku merupakan sesuatu yang
pasti bahwa di dalam tubuh arca itu terdapat ajaran
yang di dalamnya membuat tentang ilmu Siluman Harimau Kumbang....!" kata si Pedang Walet Merah secara panjang lebar.
"Murid memang bodoh, Guru! Murid tak memiliki kepandaian apa-apa. Itulah makanya murid ingin
selalu memohon petunjuk guru...!" ucap Luga Kencana dengan nada merendah,
sungguhpun hatinya sangat panas sekali.
"Kalau belajar sejak dulu, kau tetap merupakan
murid yang tolol, tidak dapat berbuat apa pun, lebih baik Perguruan Walet Merah
yang besar itu kau bu-barkan saja. Setelah itu, jadilah manusia biasa agar
persoalan yang kau hadapi dalam hidupmu tidak terlalu berat dan membuat rontok
rambutmu...!"
"Sudahlah, Guru! Aku menghormati, aku tak
ingin berdebat dengan guru sendiri, takut, nantinya
aku dikata murid yang tak tahu adat...!" kata Luga Kencana dalam kemarahannya
yang tertahan-tahan.
Sandi Marta alias si Pedang Walet Merah hanya gelengkan kepalanya, dia merasa kesal menghadapi Luga
Kencana yang tak pernah memiliki pemikiran yang
luas. Saat itu di luar dugaan mereka, dari arah semak-semak yang agak tersembunyi terdengar pula suara tawa tergelak-gelak.
* * * 10 Suara tawa yang berkepanjangan itu kiranya
disertai tenaga dalam yang kuat, hingga membuat kelabakan murid-murid Perguruan Walet Merah yang
masih memiliki ilmu yang rendah. Sementara itu pemimpin mereka yang memiliki kepandaian di atas segala-galanya, cepat-cepat menutupi jalan pendengaran mereka. Dalam kegusarannya
itu, tiba-tiba Luga Kencana sudah membentak:
"Bedebah bau kencur! Perlihatkanlah tampang
mu, suara tawamu yang tak ubahnya bagai ringkik keledai itu membuat aku mau muntah. Kuperintahkan
pada setan yang tertawa, tampakkanlah wajah sebelum kami bertindak...!" teriak Luga Kencana dengan matanya yang jelalatan.
"Ha... ha... ha...! Luga Kencana, bukan aku
menyanjung gurumu yang sebelumnya tiada kukenal.
Tapi menurut penglihatanku yang bodoh ini, ternyata
gurumu yang berusia sudah sangat lanjut itu memiliki pandangan yang sangat luas!
Kalau aku jadi engkau
lebih baik aku jadi tukang sayur di pasar sana, dari pada menjadi ke tua
perguruan namun tak becus berbuat apa-apa...!"
"Bangsat! Kau benar-benar perlu mendapat pelajaran yang sangat setimpal!"
"Jangan bertindak gegabah, Luga! Kita masih
belum mengetahui siapa adanya orang itu." kata Sandi Marta memberi teguran.
Namun nampaknya Luga
Kencana merasa kurang senang dengan apa yang dikatakan oleh gurunya. Yang menurut pendapatnya sendiri bersikap terlalu lembek.
"Keparat pengintip, ku hitung sampai tiga, andai kau tak mau tunjukkan diri jangan salahkan aku
andai nanti aku bertindak salah...!"
Belum lagi Luga Kencana selesai dengan ucapannya, mendadak melayanglah sosok tubuh yang tak
lain Pendekar Hina Kelana adanya.
"Jliiik!"
Begitu ringannya Buang Sengketa menginjakkan kakinya di atas tanah berumput tak jauh di depan mereka yang masih tetap
duduk di atas punggung kudanya masing-masing.
Sejenak lamanya mereka saling berpandangan
satu sama lain, di antara mereka yang hadir di situ, nampaknya Luga Kencanalah
yang paling kaget dan
gusar. Bagaimana tidak, pemuda berpakaian kumal
dan selalu membawa-bawa periuknya ke mana pun dia
pergi. Manusia inilah yang telah membuat buntung
tangan kirinya. Dengan hilangnya tangan kiri itu dia harus berlatih demi
mengimbangi kekurangannya. Dia
sangat tersiksa dengan beban cacat yang di sandangnya selama ini. Lebih dari itu, menurut perhitungannya, pemuda gembel itu secara sengaja telah begitu berani melindungi anak
seorang musuh yang mungkin
juga merupakan otak pencurian arca itu. Hanya kali
inilah kesempatan baginya untuk membalas. Ya benarbenar harus dibalas dengan cara yang sangat setimpal dan menyakitkan.
"Guru, bocah inilah yang telah membuat buntung tanganku, dan si hina ini pulalah yang telah dengan sengaja melindungi anak
seorang tukang tadah
Arca Harimau Kumbang yang hilang...!" lapornya tanpa diminta. Sandi Marta
melirik pada pemuda itu, selanjutnya kembali pula perhatiannya pada Luga Kencana
muridnya. Lama sekali mata mereka saling beradu
pandang. Hingga akhirnya dia pun berkata tegas:
"Benarkah kau yang telah membuat buntung
tangan muridku itu, hei bocah asing...?"
"Tidak salah, akulah yang telah dengan sangat
terpaksa membuntungi tangan muridmu itu, Orang
tua...!" jawabnya mengakui.


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terpaksa karena dia telah menuduhku melindungi anak seorang tukang tadah arca yang sangat
menghebohkan itu, padahal, seperti yang kuketahui,
sama sekali aku tak pernah melihat ayahnya Dewi
Wening Asih menampung arca yang dicuri oleh Gembel
Pengemis dari Pulau Naga. Aku pernah datang ke rumahnya yang berantakan. Lebih dari itu, secara senga-ja atau tidak sengaja,
muridmu itu telah pula mengejar-ngejar Rajenta sampai ke Lembah Gunung Baru
Siwak. Tuduhan muridmu itu sama sekali tidak beralasan, Orang tua...!"
"Hemm, satu tindakan yang sangat tidak terpuji...!" ucap si Pedang Walet Merah merasa kurang senang. Bukan main marahnya
Luga Kencana demi
mendengar apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa,
secara tidak langsung di depan gurunya sendiri. Pemuda dari Negeri Bunian itu telah dengan sengaja
membongkar semua apa yang seharusnya tidak boleh
diketahui oleh orang lain.
"Jangan percaya, Guru...! Budak hina itu sengaja mencoba memutar balikkan fakta." teriak Luga Kencana dengan kemarahan yang
meluap-luap. "Diamlah kau, Luga. Toh pada saatnya tiba pula giliranmu untuk kutanya. Tukas Sandi Marta nampak merasa kurang senang. Kini dia kembali pada
Pendekar Hina Kelana yang tetap berdiri tegak di tempatnya. Sejenak dia
memperhatikan Pendekar Golok
Buntung itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Bocah, engkaukah yang berjuluk Pendekar Hina Kelana, dengan Pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayutonya yang sangat menggemparkan
itu...?" Tiada berkedip pandangan mata pemuda maupun Sandi Marta. Namun dengan
nada merendah akhirnya dia pun menjawab:
"Apalah artinya sebuah nama, hei orang tua.
Aku hanyalah manusia hina. Kepandaian yang kumiliki juga tidak seberapa, bila dibandingkan dengan kepandaian orang-orang yang selalu memiliki pandangan
yang sangat luas dan memiliki kesabaran yang sangat
luar biasa...!"
Semua yang hadir di situ, menjadi terdiam. Sebagian terperangah. Namun Luga Kencana semakin gelisah saja. Sementara gurunya sendiri merasa sangat
terkesan dengan apa yang dikatakan oleh pemuda itu.
Selanjutnya dia pun kembali menyambung.
"Menurutmu, apakah kata-kata muridku itu
dapat dipercaya...?" tanyanya membuat Buang Sengketa tersentak kaget, tiada
menyangka akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Namun dengan sangat hati-hati dia pun menjawab.
"Mengenai benar tidaknya ucapan seseorang itu
semua tergantung pada kejujurannya. Aku sendiri tidak dapat mengatakannya. Tapi orang tua juga kupikir-pikir bisa menanyakannya pada Sang Hyang Widi...!" Mendengar ucapan Buang Sengketa itu, Sandi Marta atau si Pedang Walet
nampak tergelak-gelak.
Luga Kencana sendiri merasa sangat heran, sebab selama ini dia belum pernah melihat gurunya tertawatawa sebebas itu. Dan kenyataan ini saja sudah membuktikan bahwa agaknya Sandi Marta merasa sangat
setuju dengan apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa. "Engkau masih begini muda, namun kau memiliki pandangan yang sangat luas tak salah kalau gurumu, manusia yang memiliki umur terpanjang. Yaitu
si Bangkotan Koreng Seribu telah mengangkatmu menjadi seorang muridnya...!" Menyela si Pedang Walet Merah di sela-sela gelak
tawanya. Terkejutlah Pendekar Hina Kelana, dia tiada menyangka kalau Sandi Marta
dapat mengetahui nama gurunya. Namun keterkejutan
itu tak berlangsung lama, karena sekejap kemudian
Sandi Marta telah berkata kembali.
"Bocah Hina Kelana adalah nama kebesaranmu. Siapakah namamu yang sesungguhnya...?"
"Namaku Buang Sengketa, Orang tua...!" Sandi Marta nampak angguk-anggukkan
kepalanya, lalu:
"Buang, katakanlah padaku yang telah lamur
ini, apakah kau mengetahui tentang arca itu...?" tanyanya penuh harap. Buang
Sengketa garuk-garuk
kepalanya yang tak gatal. Tetapi kemudian dengan jujur dia menjawab juga.
"Mengetahui arca secara keseluruhan memang
tidak sama sekali. Tetapi menurut dugaanku yang dapat dipertanggungjawabkan kan. Arca itu sekarang berada antara Gembel Pengemis dan salah seorang kembar dari Pulau Bawean...!" Alis laki-laki renta itu menggerimit, dia masih belum
dapat mengerti apa arti dari kata-kata Buang Sengketa.
"Apakah maksudmu...?"
"Orang tua kalaupun keteranganku ini agak
menyimpang, maafkanlah aku! Beberapa hari yang lalu
aku menjumpai salah seorang dari si kembar sedang
mengoyak-ngoyak mangsanya. Mereka hanyalah penduduk desa biasa, aku berpendapat mereka sedang
melakukan teror di kalangan persilatan. Lebih dari itu, sebelumnya mereka pernah
bertarung dan kemudian
sama-sama menghilang dengan Gembel Pengemis dari
Pulau Naga. Kuat dugaanku bahwa di dalam arca itu
terdapat sebuah kitab yang di dalamnya ada memuat
tentang rahasia ilmu siluman...!"
"Hemm. Kiranya dugaanmu tiada meleset
Buang, aku juga berpendapat demikian. Nah apakah
kau berhasil menemukan mereka semuanya...?"
"Saat ini hanya salah seorang dari mereka saja
yang dapat ku binasakan, namun dua orang lainnya
masih dalam pencarian ku...." Sandi Marta nampak menarik nafas lega. Selanjutnya
setelah menoleh pada muridnya, dia kembali berkata:
"Semua-semuanya sudah sangat jelas bagiku.
Aku percayakan pencarian arca itu padamu, tapi ingat setelah arca itu kau dapat
kembali, maka pulangkan-lah pada yang berhak. Aku sendiri setelah tahu duduk
persoalannya menjadi terang begini, telah memutuskan untuk kembali ke Bukit
Keramat...!"
"Tapi, Guru...! Luga Kencana yang sejak tadi
hanya diam saja kini ikut menyela.
"Tapi apa...?" tanya gurunya dengan pandangan kurang senang.
"Katanya guru ingin membantuku, tapi mengapa kini secara tiba-tiba saja memutuskan akan kembali ke Bukit Keramat...?" protes Luga Kencana.
Sandi Marta nampak terdiam sesaat lamanya,
sama sekali dia tiada mengerti, mengapa muridnya
yang kini sangat jauh berbeda dengan yang dulu. Cara berbicaranya pun sudah
sangat lain sekali. Ini yang
membuatnya semakin kecewa saja. Hingga akhirnya
dia mengambil keputusan yang sangat mengejutkan
bagi Luga Kencana.
"Sebuah kebenaran tidak dapat dicampur
adukkan dengan ketidak benaran. Kalau kau ingin
mencari jalan aman, bergabunglah dengan Buang
Sengketa dalam mencari arca itu. Namun kalau kau tetap menganggapnya sebagai seorang musuh, maka
kematianmu walau bagaimana pun ujudnya tidak
akan ku sesali, apalagi ku tangisi. Itulah pesanku, kau masih punya kesempatan
untuk menimbangnya, Lu-ga...! Nah, sekarang aku harus kembali ke Bukit Kramat... selamat tinggal semuanya yang ada...!" Usai berkata begitu, tanpa
menoleh-noleh lagi, Sandi Marta
melesat meninggalkan punggung kuda tunggangannya.
Lalu dengan mempergunakan ilmu lari cepat yang diberi nama Bayu Berhembus, dalam sekedip mata saja
laki-laki tua renta itu pun telah menghilang dari pandangan mata.
Seperginya Sandi Marta, Luga Kencana yang
memang tak pernah dapat memadamkan dendam
amarahnya nampaknya semakin bertambah berang saja melihat Buang Sengketa. Selanjutnya laki-laki setengah umur itu pun mencela:
"Kunyuk gembel, pandai betul kau bermain
sandiwara di depan guruku. Gara-gara mulutmu yang
seperti mulut dewa, guruku jadi memusuhi ku. Jadah,
kau kira dengan mundurnya Sandi Marta dalam membantuku, lalu aku juga akan mengikuti jejaknya" Puih, sekali-kali tidak. Hari
ini juga semua kemarahan akan aku lampiaskan padamu...!
"Luga Kencana. Kalau kau merupakan manusia
yang bijaksana, sudah barang tentu kau akan memburu Gembel Pengemis, atau salah seorang si kembar
yang jelas-jelas menjadi biang racun dari semua persoalan yang ada... namun karena memang dasarnya
kau ini sejenisnya keledai tolol. Nampaknya kau lebih mengutamakan dendam
pribadi dari pada harus menyelesaikan urusan demi kepentingan orang banyak...!" "Bangsaaat, kau tak perlu menggurui ku. Setelah membunuhmu aku pasti mencari mereka...!" maki Luga Kencana. Seraya langsung
memberi aba-aba pada
murid-muridnya yang berjumlah tidak lebih dari tiga
puluh orang. Sudah barang tentu, pendekar dari Negeri Bunian itu menjadi sangat gusar sekali melihat kekerasan hati Luga Kencana. Maka untuk yang terakhir
kalinya sekali lagi dia memperingatkan.
"Ketua Perguruan Walet Merah, ku ingatkan
padamu sekali lagi jangan kau teruskan niatmu untuk
bertarung denganku. Kalian semua akan mati siasia...!" menukas pendekar itu. Namun dengan tiada memperdulikan apa yang
dikatakan oleh Buang Sengketa, semua murid-murid Perguruan Walet Merah sudah mengepungnya. Rapat.
"Bocah hina, kerahkanlah segala apa yang kau
miliki. Andai tidak sekejap lagi nyawamu bakal melayang sia-sia...!"
"Serrbuuu...!" teriak salah seorang kepala murid pada kawan-kawannya. Tiada
berbendung lagi, tiga puluh orang murid itu akhirnya mengeroyok Pendekar
Hina Kelana dari segala penjuru.
* * * 11 Maka dalam sekejap saja pertarungan sengitpun sudah tiada dapat dihindari lagi. Buang Sengketa yang baru saja terkuras
tenaganya tak ingin mengulur-ulur waktu dengan percuma. Baginya salah satu jalan
untuk melumpuhkan kekuatan lawan adalah terletak
pada pimpinannya, kalau pimpinannya dapat dia lumpuhkan adalah hal yang sangat mudah untuk mengatasi segala sepak terjang murid-muridnya. Maka tanpa ayal-ayalan lagi, Pendekar
Hina Kelana melesatkan tubuhnya mengarah pada Luga Kencana yang masih duduk di atas punggung kuda tunggangannya. Nampaknya pemimpin ketua Perguruan Walet Merah ini tiada
pernah menyangka kalau Buang Sengketa berinisiatif
untuk menyerang dirinya. Dalam keterbatasan apa
yang dipikirkannya, tanpa buang-buang waktu dia melompat dari punggung kudanya.
"Hia...!" teriak Luga Kencana, lalu kirimkan pukulan Walet Merah Menyergap
Capung. Satu gelombang angin pukulan menderu, menyertai berkelebatnya sinar ungu yang dilepaskan oleh Luga Kencana.
Bagai seekor udang, Buang melentikkan tubuhnya.
Sebentar dia berjumpalitan di udara, namun begitu
tubuhnya menukik ke bawah satu pukulan yang berhawa sangat panas luar biasa menyambar dan menyambuti pukulan yang dilepaskan oleh Luga Kencana. "Wuuut! Blaaang!"
Tanah tempat mereka berpijak terguncang hebat, murid-murid Perguruan Walet Merah yang datang
mengepung dan menghantamkan senjatanya nampak
berpelantingan ke segala penjuru arah. Sementara Luga Kencana sendiri nampak terbanting tubuhnya setelah sempat bersalto beberapa kali. Pendekar Hina Kelana yang sempat terhuyung-huyung, dengan sangat
cepat sekali segera menghindari babatan senjata lawan-lawannya yang tanpa ampun terus melabraknya.
"Ciaaat...!"
"Wuuus...!"
Pendekar Hina Kelana kembali melepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang sangat ampuh
itu. Lalu dengan sangat cepat satu gelombang yang
berwarna ultra violet itu pun melabrak beberapa orang yang datang menyongsong
dengan senjatanya.
"Arrgghk...!"
Jerit dan lolongan maut membahana memenuhi
angkasa, manakala tujuh orang dari mereka sempat
tersambar pukulan maut itu. Nampak tubuh mereka
berpelantingan dengan keadaan hangus dan tercium
daging terbakar. Melihat kematian murid-muridnya
yang sangat mengenaskan itu, Luga Kencana yang sudah bangkit berdiri, kembali pada posisinya itu nampak semakin bertambah gusar saja dibuatnya.
"Keparat kau, Gembel berperiuk. Kau bunuh
murid-muridku dengan cara demikian keji. Kubunuh
kau...!" teriak Luga Kencana, dan saat itu juga Buang Sengketa se-dapat mungkin
menghindari serangan ganas yang dilancarkan oleh ketua Perguruan Walet Merah. "Haeeees...!"
Buang kembali berkelit, selanjutnya kirimkan
satu tendangan yang sangat telak ke arah bagian perut dan selangkangan Luga
Kencana. Namun di luar dugaan, Luga Kencana cabut pedang pusaka. Selanjutnya
pedang itu berkiblat dan menebas ke arah bagian kaki Buang yang meluncur hampir
mencapai sasarannya.
Buang Sengketa mengeluarkan seruan tertahan. Lalu
secepatnya tarik balik serangan yang dilancarkan oleh Luga Kencana.
"Weees!"
Serangan pedang itu luput, sebaliknya tanpa
terduga-duga Luga Kencana kirimkan satu pukulan
yang sangat cepat. Angin kencang menderu menyertai
berhamburannya pukulan Walet Berkabung yang dilepaskan oleh Luga Kencana. Nampaknya Buang Sengketa sudah tidak memiliki waktu yang cukup untuk
menghindari serangan yang datangnya sangat tiba-tiba itu.
"Haiiiit...!"
Tubuh Buang Sengketa berjumpalitan ke belakang, namun celakanya pukulan Walet Bergabung ma

Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sih terus saja memburunya. Pemuda itu kelabakan,
tapi dia masih sempat pukulkan tangannya untuk melepaskan pukulan si Hina Kelana Merana yang paling
sangat dia andalkan itu.
Tak dapat disangkal lagi, selarik sinar berwarna
merah menyala segera menyambuti pukulan yang berhawa panas dan berwarna keungu-unguan itu. Udara
di sekitar tempat pertarungan mendadak menjadi sangat panas luar biasa. Murid-murid Luga Kencana
nampak undur beberapa tindak, bahkan beberapa
orang di antaranya berloncatan menjauh. Saat itu dua pukulan bertenaga sakti tak
terhindari lagi sudah saling bertemu.
"Buuum!"
Tubuh Buang Sengketa terlempar hampir enam
tombak, dadanya terasa bagai remuk, sementara darah
pun menggelogok dari mulut dan hidungnya. Wajah
pemuda itu pucat sekali. Dia mengerang, namun katakatanya tak begitu jelas. Di lain pihak, keadaan yang sama buruknya juga terjadi
pada Luga Kencana. Tubuh ketua perguruan yang keras hati itupun sama terlempar, bahkan darah lebih banyak mengalir ketimbang apa yang dialami oleh Buang Sengketa. Namun
sungguh luar biasa kemampuan dan ketahanan tubuh
yang dimiliki oleh Luga Kencana. Sekejap kemudian
dia telah bangkit kembali. Lalu disekanya darah kental yang berlelehan dari
bibirnya, Selanjutnya dengan pedang terhunus, beserta murid-muridnya dia melakukan serangan kepada lawannya yang masih berusaha
mengembalikan kekuatannya.
Nampaknya kali ini tiada kesempatan lagi bagi
si pemuda untuk membebaskan diri dari serangan kilat yang datangnya dari berbagai penjuru itu. Sesungguhnya dia merasa sangat
panik sekali, namun nampaknya akal sehatnya masih dapat bekerja dengan
baik. Teringat pula olehnya akan ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang sangat luar biasa itu. Maka kesempatan yang sangat sempit itu cepat-cepat dia pergunakan untuk mengerahkan ajian
Ilmu Pemenggal Roh.
Sementara itu serangan lawan-lawannya hanya tinggal
dua jengkal saja di atas kepalanya. Bahkan Luga Kencana sendiri merasa sangat yakin dengan sekali saja
menebaskan pedangnya ke arah bagian leher si pemuda. Maka menggelindinglah kepala pemuda dari Negeri Bunian itu. Maka dengan semangat yang menggebu-gebu, dia pun semakin mempercepat gerakannya.
"Shaaaa...!"
"Heeiiiik...!"
Setinggi langit Buang Sengketa menjerit, lalu
bersamaan dengan jeritannya yang tinggi menggelegar, bahkan sampai membuat luruh
ranting, dan membuat
goyang tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Maka lebih dari sepuluh orang murid-murid dari Perguruan Walet Merah terkapar menemui ajalnya. Dari
telinga mengalir darah kental tiada henti, dan dari sekian banyaknya murid-murid
Perguruan Walet Merah
hanya tersisa lebih kurang enam orang saja. Ini adalah satu kejadian yang sangat
luar biasa bagi Luga Kencana. Selama hidupnya belum sekalipun dia melihat kejadian yang mengejutkan ini. Bahkan dia sendiri merasakan betapa jantungnya
sampai tergetar, sementara
kepalanya juga berdenyut-denyut sakit luar biasa. Andai saja dia tidak cepatcepat menutupi jalan indranya, sudah barang tentu dia juga menemui ajal seperti
yang dialami oleh murid-muridnya yang lain. Sungguhpun
begitu mana mau dia menyerah begitu saja, sudah
menjadi prinsip hidupnya. Lebih baik mati berkalang
tanah daripada hidup bercermin bangkai. Hatinya
memang keras bagaikan baja, tetapi perhitungannya
terhadap sebuah kenyataan yang terjadi selalu saja
membawanya pada prinsip yang salah.
Kini sungguhpun langkahnya masih terhuyunghuyung, dengan dibantu oleh beberapa gelintir muridmuridnya, dia kembali melabrak Buang Sengketa yang
sudah siap-siap dengan posisinya. Demi melihat kenekatan Luga Kencana, Pendekar Hina Kelana yang sudah merasa tidak sampai hati itu kembali memperingatkan: "Luga Kencana! Apakah engkau hendak men-gorbankan seluruh murid-muridmu
hanya demi ingin
melampiaskan dendammu yang tiada beralasan itu...?"
"Persetan...! Semuanya sudah kepalang basah,
Gembel berperiuk. Sungguhpun engkau memiliki kepandaian setinggi ilmu para dewa. Walaupun engkau
punya lengkingan suara yang dapat meruntuhkan batu gunung, jangan dikira aku akan mundur walau barang selangkah pun. Huh, katanya kau memiliki Pusaka Golok Buntung yang sangat kau andalkan, setansetan itu bilang kau juga memiliki Cambuk Gelap
Sayuto yang sangat hebat. Cek... cek... cek...! Aku jadi kepingin lihat sampai
di mana kehebatan pusaka yang
membuat namamu terkenal di mana-mana...!" teriak Luga Kencana menantang.
Pendekar Hina Kelana
hanya tersenyum getir demi mendengar apa yang dikatakan oleh Luga Kencana. Kemudian dengan nada
sangat berwibawa dia menjawab:
"Luga Kencana manusia tolol! Di dunia ini tiada manusia yang melebihi kepandaian
dewa. Kalau kau
ingin melihat bagaimana hebatnya Pusaka Golok Buntung, maka tak pernah seorang pun dari semua musuh-musuhku yang mampu melihatnya, karena sebelum maksudnya kesampaian orang-orang itu sudah
keburu mampus tanpa dapat mengerti apa sesungguhnya yang telah dan pernah terjadi pada dirinya...!"
"Kau terlalu menjunjung dirimu setinggi langit, Gembel hina! Mampuslah!"
Serentak dengan makian-nya itu, tanpa sungkan-sungkan lagi dia telah menggempur Pendekar Hina Kelana dengan semangat yang
menggebu-gebu. Buang secepatnya berkelebat menghindar, dengan mempergunakan jurus tangan kosong
si Jadah Terbuang dia melayani serangan-serangan
ganas yang dilakukan oleh Luga Kencana dan beberapa murid-muridnya.
"Kuperingatkan padamu sekali lagi, Ketua Perguruan Walet Merah! Urungkanlah seranganmu. Sekali
lagi... urungkan...!" teriak pemuda itu. Kini dia sudah mulai berpikir-pikir
untuk mempergunakan Pusaka
Golok Buntung yang terselip di pinggangnya.
"Hiaaat...!" Pedang di tangan Luga Kencana datang menggebu, begitu pun senjatasenjata muridnya.
"Wut! Wut! Wut!"
"Sriiiiiiing! Trang, craaaang...!"
Terlihat bunga api berpijaran manakala senjata-senjata mereka berpatahan begitu berbenturan dengan senjata yang ada di dalam genggaman Pendekar
Hina Kelana. Hanya tubuh Luga Kencana saja yang tidak terhuyung-huyung, sementara murid-muridnya
tunggang langgang.
Sementara itu di tangan Buang Sengketa kini
sudah tergenggam sebuah senjata yang memancarkan
sinar merah menyala. Tak salah lagi itulah Pusaka Golok Buntung yang sangat luar
biasa itu. Udara di sekitar tempat itu mendadak berubah dingin, tubuh lawan-lawannya terlihat menggigil. Buang Sengketa memandang tajam pada mereka ini, sementara dari bibirnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis bagaikan
seekor ular piton yang sedang marah.
"Inilah Pusaka Golok Buntung yang ingin kau
lihat itu, Luga Kencana! Sekarang bersiap-siaplah untuk menghadapi
ketajamannya." Seusai dengan ucapannya itu, tubuh Buang Sengketa berkelebat
cepat. Golok di tangannya menyambar-nyambar sehingga
menimbulkan angin menderu. Dalam waktu tidak lebih
sejurus saja, baik Luga Kencana dan murid-muridnya
menjadi kelabakan.
"Hiaat...!" Luga Kencana berusaha mengke-lit babatan senjata maut lawannya.
Cepat-cepat ditadahkannya pedang miliknya.
"Traaang!"
Senjata di tangan Luga Kencana terpental, dan
patah di beberapa bagian. Maka semakin bertambah
gugup sajalah Ketua Perguruan Walet Merah ini. Tetapi belum lagi dia sempat
menarik nafas, senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat mengarah pada bagian
lehernya. "Creees...."
Luga Kencana terhuyung-huyung. Kedua bola
matanya bagai mau melompat ke luar. Secara gelagapan dia berusaha menekap bagian tenggorokannya
yang sudah terputus itu. Namun darah tetap saja
membanjir tiada tercegah lagi, selanjutnya tubuh Luga Kencana terhuyung-huyung.
Kemudian tanpa mampu
berkata sepatah kata pun tubuh laki-laki tersuruk ke bumi dengan darah masih
berlelehan. Maka tewaslah
Ketua Perguruan Walet Merah yang sangat keras kepala itu dengan keadaan yang sangat menyedihkan sekali. Sedetik kemudian Buang memandang pada sisa-sisa
murid Perguruan Walet Merah yang hanya tinggal beberapa orang lagi.
"Siapa yang ingin menyusul gurunya...?"tanyanya dengan nada berapi-api. Secara serentak: "Ja... jangan bunuh
kami, Tuan pendekar! Ka-mi ini orang susah, berilah kami kesempatan untuk
hidup...!" seru mereka beramai-ramai. Alis Buang Sengketa menggerimik. Satu demi
satu Buang Sengketa memandang pada orang-orang yang duduk bersimpuh tidak begitu jauh di depannya. Dia merasa sangat iba sekali.
"Baiklah, aku akan mengampuni kalian! Sekarang cepat-cepat merat dari hadapanku sebelum pendirianku berubah...!"
"Terima kasih atas pengampunan pendekar.
Kami mohon diri...!" Setelah berkata begitu, secara serentak mereka segera
berlompatan di atas punggung
kudanya masing-masing. Secepatnya pula mereka
menggebrak kuda. Selanjutnya menghilang dari pandangan pendekar itu.
Lalu tanpa membuang-buang waktu lagi,
Buang Sengketa segera menuruni lereng bukit. Tetapi
setelah sampai di sana dia tidak melihat Dewi Wening Asih dan juga ayahnya.
Pemuda ini segera meneliti
tempat sekitar itu. Namun apa yang dicari-carinya juga tiada di tempat.
"Hemm. Agaknya dia sudah berangkat ke daerah lembah Gunung Batu Siwak!
Baiknya aku cepat-cepat menyusul mereka...!"
Maka melesatlah tubuh pendekar ini bagaikan anak
panah. Semakin lama gerakan larinya semakin bertambah cepat. Tak salah karena saat itu dia tengah
mengerahkan ilmu lari cepatnya ajian Sapu Angin.
* * * 12 Saat itu setelah merasa agak sembuh dari lukanya, Rajenta dan anaknya yaitu Dewi Wening Asih
segera meninggalkan lereng bukit. Mulanya Rajenta
merasa kurang setuju dengan apa yang diusulkan oleh
putri tunggalnya itu. Sebab sebagai orang yang telah ditolong, dia pun tak
menginginkan kalau penolongnya mengalami sesuatu yang tiada dikehendaki. Dia
sangat tahu betapa hebatnya Luga Kencana dan orang-orang-nya. Akan tetapi karena
Dewi Wening Asih memberitahu bahwa semua itu atas perintah Pendekar Hina Kelana, maka dengan berat hati akhirnya dia menurut
apa yang dikatakan oleh putrinya itu. Dalam keadaan
Buang Sengketa masih bertarung dengan Luga Kencana dan murid-muridnya, keduanya telah mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Tujuan memang tak salah lagi, yaitu ke lembah Gunung Batu Siwak. Karena
memang jarak antara lereng bukit dengan lembah Gunung Batu Siwak tidak seberapa lagi jauhnya. Maka
setelah mengerahkan ilmu lari cepatnya tidak sampai
sejam kemudian mereka telah sampai di perbatasan lereng Gunung Batu Siwak dengan lereng bukit tempat
Buang Sengketa sedang bertarung melawan Luga Kencana dan murid-muridnya.
Namun begitu sampai di perbatasan lembah
Gunung Batu Siwak betapa terkejutnya Rajenta begitu
melihat kehadiran orang yang tak asing lagi dalam hidupnya. Gembel Pengemis dari
Pulau Naga. Batin Rajenta merasa heran dan sangat penasaran. Namun
keyakinannya bahwa arca itu ada bersamanya semakin terbukti begitu melihat sebuah buntalan menggelantung di bahu dedengkot manusia sesat itu. Maka
tanpa sungkan-sungkan lagi begitu sampai di depan
Gembel Pengemis dia sudah langsung menukas:
"Saudara Gembel Pengemis, bertahun-tahun kita bersahabat. Sama sekali aku tiada menyangka kalau akhirnya kau malah membuat susah semua
orang...!"
Gembel Pengemis nampak sangat kaget sudah
lebih setengah hari dia menunggu kedatangan para
kembrat-kebratnya, yaitu si Kembar Pedang Dewa yang
sedang melakukan tugas mengobrak-abrik markas kau
golongan putih. Dia sendiri setelah tidak menemukan
murid dan guru ketua Perguruan Walet Merah segera
menghancurkan beberapa perguruan kecil golongan
putih lainnya. Lalu setelah segalanya terselesaikan dia segera menuju tempat
itu, Namun siapa sangka apa
yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan
yang dihadapinya. Maka kini tanpa sungkan-sungkan
lagi, dia langsung berhadapan dengan Rajenta bekas,
sahabat lamanya itu.
"Ah... ah... ah...! Selamat datang sahabat lama.
Tapi ada apakah gerangan sehingga kemarahan mu
membawa kemarahan yang tiada pernah kuperhitungkan...?" tanya Gembel Pengemis masih berpura-pura.
"Sialan, gara-gara Arca Harimau Kumbang itu,
keluargaku jadi berantakan. Istriku menjadi korban,
bahkan nyaris aku dan anakku juga...!"
"Hei... bicaramu ngelantur, Sobat. Aku tak tahu menahu tentang arca itu kau
jangan menuduhku yang
bukan-bukan...!"
"Saudara Gembel Pengemis, kalau engkau masih menghargai sebuah persahabatan, coba kau bukalah bungkusan yang menggelantung di pundakmu


Pendekar Hina Kelana 14 Kembalinya Siluman Harimau Kumbang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu?" perintah Rajenta sudah tak mampu menahan
kemarahannya lagi.
"Oh... oh... oh...! Permintaanmu itu tak mungkin dapat kulakukan, sebab benda ini merupakan barang titipan orang lain...!"
"Paling juga barang titipan si Kembar Pedang
Dewa yang telah mampus salah seorang di antaranya.
Lebih baik kau kembalikan saja arca itu padaku agar
area itu kukembalikan pada yang berhak...!" teriak Rajenta. "Hmm. Kalau begitu
kau bermaksud mengang-kangi arca yang kubawa ini maka baiknya aku harus
menyingkir jauh-jauh darimu...."
"Heiiit... mau minggat ke mana kau, Gembel
Pengemis...?" Berkata begitu dia langsung kirimkan sa-tu pukulan yang sangat
telak. Lalu tanpa tinggal diam dia pun melayani serangan gencar yang dilakukan
oleh Rajenta. Hawa dingin dan hawa panas saling memburu
dengan kecepatan yang sangat sulit untuk diukur.
"Blumm...!"
Dua-duanya terpelanting. Pukulan yang sangat
besar dan disertai tenaga sakti itu pun membuat keduanya langsung muntah darah. Sementara itu nampaknya Gembel Pengemis menyadari bahwa Rajenta
memang bermaksud ingin mencelakainya. Bagaimana
pun dia tidak ingin arca itu sampai terjatuh ke tangan orang lain.
"Rajenta, nampaknya kau benar-benar menghendaki pertarungan yang sangat berkesan dalam hidup kita. Baiklah, bagiku tiada pilihan lagi. Tapi ya-kinkah kau, bahwa
berhadapan denganku selamanya
kau tak mungkin menang...!" jerit Gembel Pengemis tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Hiaat...!"
Tongkat di tangan Gembel Pengemis yang berkepala Naga Merah berkelebat menyongsong datangnya
pukulan yang dilepas oleh Rajenta.
Maka tanpa dapat dicegah lagi, benturan keras
pun terjadilah. Lagi-lagi kedua-duanya sama-sama
terpental. "Sialan! Nampaknya kau tak mungkin mengulur-ulur waktu lagi. Aku merasa yakin kalau aku robah diriku dengan sosok
Siluman Harimau Kumbang, Rajenta pasti tidak dapat mengalahkan aku." batinnya
penuh harap. Tak ayal lagi ajian Siluman Harimau
Kumbang pun segera di rapalnya. Maka perubahanperubahan pun terjadilah. Selanjutnya dengan tiga kali berlompatan, saat Gembel
Pengemis menjejakkan diri,
tubuhnya telah berubah menjadi ujud Siluman Harimau Kumbang. Hanya Dewi Wening Asih saja yang nampak
sangat terkejut demi melihat perubahan-perubahan
yang terjadi. Sementara Rajenta sendiri nampak tersenyum sinis.
"Hemm. Tak salah dugaan pemuda itu, kiranya
kaulah yang selama ini membuat gempar dunia persilatan. Jangan kira aku pun tak dapat berubah sepertimu...! menggeram Rajenta. Selanjutnya dengan tubuh berlompatan, maka sekejap
kemudian setelah merapal
ajian Siluman Harimau Kumbang, tubuh Rajenta pun
telah berubah pula menjadi Siluman Harimau Kumbang. Dewi Wening Asih menjadi terbelalak karenanya, dia pun tidak pernah
menyangka kalau ayahnya juga
dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang.
Pada saat itu Buang Sengketa juga sudah sampai di
tempat itu, maka begitu menghampiri Dewi Wening
Asih, dia langsung bertanya.
"Mana ayahmu...?" tanyanya sembari memperhatikan kedua ekor siluman yang sedang terlibat pertarungan sengit.
"Kelana... maafkan ayahku, dia rupanya juga
dapat berubah menjadi Siluman Harimau Kumbang."
kata Dewi Wening Asih memelas. Mendengar ucapan
Dewi Wening Asih, Buang Sengketa tiada bereaksi. Sebaliknya dia memusatkan indra keenamnya untuk
menentukan sebuah kebenaran. Seperti diketahui
Buang Sengketa juga masih merupakan keturunan raja di alam kedua. Begitu pikirannya menyatu dengan
hatinya, maka terlihat jelaslah, bahwa Rajenta merupakan utusan guru para siluman, dan dia pun sudah
dapat memastikan yang mana Rajenta dan yang mana
Gembel Pengemis. Sekejap dia membuka matanya
kembali. "Aku harus segera turun membantu ayahmu..."!" katanya mantap.
"Tapi kau tak tahu yang mana ayahku yang
mana pula lawannya...!" menukas Dewi Wening Asih menukas dengan ketakutan.
"Diamlah, kebenaran nanti yang akan mengatakannya...!" Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi Buang Sengketa segera turun ke
kalangan pertempuran. Sebagai orang yang telah berpengalaman, Buang
Sengketa cukup menyadari bahwa lawannya akan sangat kebal dengan pukulan sakti apa pun. Dan dia pun
masih ingat pesan gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Bagian ekor setiap siluman adalah merupakan kepala dari manusianya, sedang bagian kepala adalah
merupakan kaki dari manusianya.
"Paman Rajenta, aku tahu engkau yang mana
di antara satu. Mewakili paman dan guru para siluman. Kuharap engkau mau mundur...!" teriak Buang Sengketa saat itu telah pula
menggenggam Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangannya.
"Grauuuung...!"
Serentak dengan raungannya itu, siluman penjelmaan Rajenta mundur, selanjutnya setelah berjumpalitan beberapa kali, maka dia kembali dalam ujudnya semula. Saat itu golok di tangan Pendekar Hina Kelana
telah menderu disertai suara-suara lecutan membahana. Saat itu juga begitu Cambuk Gelap Sayuto melecut di udara, maka bertiuplah
angin yang sangat kencang.
Petir dan halilintar saling sambung menyambung, suasana di sekitarnya mendadak menjadi gelap gulita.
Langit yang tadinya cerah kini telah gelap diliputi awan hitam. Kenyataan ini
membuat terkejut semua pihak
yang menyaksikan pertarungan itu. Tidak terkecuali
siluman penjelmaan Gembel Pengemis dari Pulau Naga. "Hoaaar.... Grauuuuung!"
Siluman Harimau Kumbang memekik marah,
tanpa perduli lagi akan keselamatannya dia langsung
menyongsong Pendekar Hina Kelana dengan taring dan
kuku-kukunya yang tajam. Satu kebetulan bagi Buang
Sengketa untuk segera dapat menghabisi lawannya.
"Grrrrr...!"
"Ctar... ctar...!"
Cambuk Gelap Sayuto kembali menyambut. Siluman Harimau Kumbang nampaknya menjadi kalap,
tanpa mengenal rasa takut dia menerjang kembali. Dalam kegelapan itu sinar merah yang memancar dari
senjata di tangan Buang Sengketa berkelebat menyambar pada bagian ekornya.
"Craass.... Sraaas...!" Harimau itu menggerung, tubuhnya menggelusur begitu
tersambar ketajaman
golok di tangan Pendekar Hina Kelana. Sesaat lamanya tubuhnya berkelojotan.
Perubahan pun terjadi kembali sehingga menjelmalah menjadi ujud yang sebenarnya.
Dalam pada itu terdengar suara Pendekar Hina Kelana
yang bergerak menjauh.
"Ambillah arca itu, kembalikan ke lembah Gunung Batu Siwak, agar karma yang menimpa segera
berakhir...!" Suara peringatan itu terdengar sayup-sayup bersama berhembusnya
angin dan lenyapnya
kabut tebal yang menyertainya.
Begitu suasana berubah menjadi terang kembali. Hanya terdapat tubuh Gembel Pengemis saja yang
terkapar dengan jiwa melayang. Rupanya mempergunakan kesempatan itu, Buang Sengketa telah pergi meninggalkan tempat itu.
"Dia telah pergi...!" Dengan lesu Rajenta berucap sambil mengambil Arca Harimau
Kumbang yang ada dalam bungkusan di punggung Gembel Pengemis
yang hampir putus batang lehernya.
"Mungkin kita tidak mungkin lagi bertemu dengannya ayah...!" keluh Dewi Wening Asih sendu.
"Memangnya kenapa...?" tanya Rajenta tanpa menoleh.
"Aku terlalu sering menyakiti hatinya, padahal... padahal, aku terlalu mencintainya...." kata gadis itu tertunduk sedih.
Setelah mengambil arca itu, kemudian Rajenta mengelus kepala anaknya.
"Ada kalanya orang-orang yang kita cintai begitu saja pergi. Tapi yakinlah suatu saat nanti juga kita akan bertemu
dengannya...!" ujar Rajenta. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, mereka segera
menuju lembah Gunung Batu Siwak untuk mengembalikan area itu.
TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Mybenomybeyes
Petualang Asmara 23 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Misteri Pulau Neraka 8

Cari Blog Ini