Ceritasilat Novel Online

Malaikat Pedang Sakti 1

Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Bagian 1


MALAIKAT PEDANG SAKTI Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
episode Malaikat Pedang Sakti
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; 01.1290.50.6
1 LUDIRO meloncat dengan ilmu peringan tubuh yang
cukup sempurna. Pagar halaman Griya Teratai Wingit
itu cukup tinggi, tetapi Ludiro dapat meloncatinya
dengan mudah. Sementara itu, para penjaga Griya
Teratai Wingit masih tertidur semua. Malam begitu
gelap. Ludiro tidak membangunkan para penjaga. Ia
sengaja melakukan penyelidikan sendiri di luar pagar
bumi Griya Teratai Wingit. Ia mendengar suatu-suara,
seperti dengus nafas seseorang di kegelapan malam.
Karena itu ia berusaha memeriksanya dengan cermat.
Arah suara ada di samping kanan dari pintu gerbang
Griya Teratai Wingit.
"Siapa di sana"! Keluar!" bentak Ludiro tak terlalu keras. Tapi dari kegelapan
malam dan rimbunan semak
itu tetap tak ada jawaban.
Bagaimana pun sepinya tempat itu, Ludiro yakin ada
seseorang yang sedang mengintai di kegelapan sana.
Ludiro segera memegang pedang Jalak Pati warisan
Putri Ayu Sekar Pamikat itu. Tetapi tak jadi dicabut. Ia juga sudah bersiap
hendak melecutkan Cambuk Naga,
tetapi cambuk yang bergagang hitam dan menempel di
punggungnya itu tak jadi dicabut. Tak jadi dilecutkan.
Mata Ludiro masih memandang tajam mengawasi
sekeliling. "Hemm... tak ada gerakan sedikit pun dari semak kegelapan itu,"
pikir Ludiro. Namun, nalurinya tetap mengatakan ada seseorang atau lebih yang
bersembunyi di sana.
Maka secepat kilat Ludiro melemparkan senjata
rahasianya berupa mata pisau beracun. "Wess...
zzing...!" Bunyinya.
Lalu, terdengar suara, "triing...!"
Nah, senjata rahasia Ludiro ada yang menangkis.
Hebat. Pasti bukan orang sembarangan yang dapat
menangkis senjata rahasia dalam kegelapan itu. Paling
tidak pasti ia mempunyai kecepatan mencabut pedang
yang cukup lumayan.
"Keluar kau, Iblis!" geram Ludiro sengaja agak keras.
Ludiro baru saja hendak melangkah mendekati
semak yang gelap itu. Tahu-tahu nalurinya merasakan
ada sesuatu yang cukup membahayakan. Ada
hembusan angin tipis menuju ke arahnya. Segera
Ludiro meloncat sambil bersalto ke belakang. Dan ia
berdiri di dekat lampu obor penerang jalan. Ia
mendengar suara menceracap di dedaunan.
"Hemm... jarum beracun...." gumamnya sambil
manggut-manggut. "Pasti jarum beracun yang
menyerangku tadi, dan pasti pemuda sinting itu
pemiliknya. Siapa lagi yang mempunyai jurus jarum
beracun kecuali putri Sabdawana dan pemuda sinting
Prabima Wardana itu."
Kemudian tetap di tempatnya Ludiro berseru,
"Prabima! Keluar kau dari persembunyianmu, Bangsat!"
Sepi. Tidak ada suara, tidak ada gerakan.
Namun, beberapa saat kemudian Ludiro
berjumpalitan lagi di udara, dan menyumpah-nyumpah
tak karuan. Ada lima lembar daun kecil melayang ke
arahnya. Ludiro menghindari kelima lembar daun itu. Ia tahu, daun itu bukan
sembarangan daun, tapi
mempunyai tenaga dalam yang dapat memotong leher
atau menembus batok kepala.
Sambil melentik tinggi dan berguling di udara, Ludiro
sempat melepaskan senjata rahasianya ke arah
datangnya lima daun itu. Dari kegelapan itu terdengar
lagi denting senjata rahasia yang ditangkis oleh sebuah benda logam, mungkin
sebilah pedang.
Ludiro sudah berdiri dengan tegak. Badannya yang
pendek untuk ukuran seorang pendekar itu kelihatan
semakin legam, sebab kulit tubuhnya memang hitam.
Matanya menatap dengan tajam, tegang, mengawasi
tempat gelap itu dengan cermat. Ia segera mencabut
pedang Jalak Pati ketika dari arah lain muncul sebuah
serangan gelap. Serangan itu berupa sebuah senjata
berbentuk piringan bergerigi. Ukurannya sebesar tutup
gelas, dan warnanya putih logam berkilat.
"Trang...! Trang...!"
Dua kali senjata piring bergerigi itu melesat ke arah
Ludiro, dan dua kali pula Ludiro mengibaskan
pedangnya. Menangkis senjata itu sehingga tak tahu
mental ke mana. Kini Ludiro tahu, musuhnya tidak
hanya seorang, tetapi lebih. Bisa dua, bisa tiga, bisa juga banyak. Ia semakin
meningkatkan kewaspadaan,
mempertajam pandangan mata. Sebab kali ini
musuhnya tidak kelihatan karena bersembunyi di
tempat gelap. "Hei, Monyet-monyet...!" kata Ludiro dengan dongkol.
"Keluarlah dari persembunyian kalian! Jadilah seorang kesatria. Kalau mau mati,
matilah secara kesatria juga!"
Dari rimbunan daun lebar, muncullah seorang lelaki
berambut panjang. Putih rambutnya, putih juga jenggot
dan kumisnya. Ludiro sengaja mundur ke tempat
terang, supaya lelaki itu mendekat ke tempat terang.
Pancingannya mengena. Lelaki itu ternyata seorang
kakek berjubah merah. Rambutnya panjang, putih, dan
tanpa diikat, sehingga angin malam sempat membuat
rambutnya berserakan ke mana-mana. Ia membawa
sebatang tongkat sebesar lengan anak-anak. Bentuknya
seperti ular, berbintik-bintik dan sedikit mempunyai
lengkungan. Kepala tongkat itu juga seperti kepala
seekor ular sanca. Matanya sipit tapi tubuhnya masih
kekar, seperti tubuh anak muda saja.
"Siapa kau"!" hardik Ludiro menunjukkan
keberaniannya. "Aku ingin ketemu Sabdawana!" kata kakek itu tegas.
"Rama Sabdawana tak dapat diganggu. Ia sedang
repot!" jawab Ludiro yang tetap ingat pesan Sabdawana, ayah perempuan yang
bernama Kirana Sari itu. Ludiro
ingat, bahwa keamanan Griya Teratai Wingit itu
dipercayakan kepadanya selama Sabdawana masuk ke
kamar semedi. Rohnya akan melayang mencari di mana
Pendekar Pusar Bumi berada. Dan Sabdawana telah
wanti-wanti kepada Ludiro, agar selama ia semadi
jangan ada yang boleh masuk atau mengusiknya.
(dalam kisah Pedang Semerah Darah).
"Jangan halang-halangi langkahku, Orang bodoh!"
gertak kakek berambut putih itu. "Kalau kau nekad, kau akan mati dan ragamu akan
menjadi debu."
"Setiap orang kelak akan menjadi debu, sebab ia
tercipta dari debu pula. Kenapa aku harus takut mati?"
jawab Ludiro dengan tenang tapi tetap waspada, sebab
ia ingat di lain sisi masih ada pengintai lain yang
sewaktu-waktu dapat menyerangnya.
"Supaya kau ketahui," kata kakek itu. "Aku punya urusan dengan Sabdawana. Jadi,
aku hanya ingin
ketemu dia, bukan kamu. Mengerti?"
"Dan perlu kau ketahui, Kek... untuk menemui Rama Sabdawana harus melangkahi
mayat Ludiro dulu,
tahu?" seraya Ludiro. menepuk dadanya. Pedang Jalak Pati masih di tangan kanan,
tergenggam kuat.
"Hei, jangan panggil aku kakek, ya" Kurobek
mulutmu nanti. Panggil namaku... Begal Dogol!
Mengerti"!"
Kakek itu tampak marah dengan mata yang sipit
dilebarkan. Tapi Ludiro hanya tersenyum
menyepelekan. Ludiro bahkan berani berkata,
"Orang setua kamu sudah pantas dipanggil kakek."
"Kurang ajar. Kurobek betul mulutmu, hah..."!" Dan kakek yang mengaku bernama
Begal Dogol itu
menyerang Ludiro dengan satu pukulan tangan kirinya.
Ludiro sempat mengelak ke samping, sehingga
pukulan itu hanya lewat beberapa inci dari depan
hidungnya. Tapi pada saat ia memiringkan tubuh,
dengan cepat tangan kosongnya menghantam rusuk
Begal Dogol. Kakek tua itu tidak merasakan sakit,
kecuali hanya menahan nafas beberapa saat. Lalu,
dengan cepat tongkat ularnya menyodok perut Ludiro.
Ia menggunakan satu tangan untuk menyodokkan
tongkat itu. Dan oleh Ludiro yang mundur dua langkah
dengan cepat itu segera mengibaskan pedangnya,
menebas tongkat tersebut. Hanya saja, tongkat itu tidak patah. Bahkan terdengar
suara berdenting bagai besi
beradu dengan besi. Padahal menurut dugaan Ludiro,
tongkat itu hanya terbuat dari akar sebuah pohon yang
keras serta dibentuk seperti ular sanca. Aneh. Kok bisa berdenting" Pasti
dialiri tenaga dalam yang cukup kuat dan hebat.
"Mampus kau, Kunyuk...!" geram Begal Dogol. Ia memukulkan tongkatnya ke kepala
Ludiro. Tapi Ludiro
merunduk. Angin pukulannya sempat membuat rambut
Ludiro rontok beberapa helai. Pada waktu itu kaki
kanan Ludiro memutar dan menghantam tubuh Begal
Dogol. Sayang hanya mengenai bagian lengannya.
Tetapi sudah cukup membuat Begal Dogol hampir
terpelanting. Ia berhenti. Tidak menyerang. Nafasnya terengah dan
diaturnya setenang mungkin. Ludiro sendiri juga tidak
melanjutkan pertarungannya. Namun ia tetap sigap dan
waspada. Seorang pengintai masih bersembunyi di balik
semak kegelapan. Pengintai itu diperkirakan adalah
seorang pemuda yang bernama Prabima. Pemuda inilah
yang membuat Lanangseta pergi meninggalkan Kirana
Sari, putri Sabdawana yang kini menderita sakit karena kerinduan hati berubah
menjadi racun di dalam
darahnya. Ayah Kirana hanya bisa mencari tahu di
mana Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu,
dengan cara bersemadi, mengeluarkan roh dari raganya
untuk melayang-layang mencari Lanangseta. (dalam
kisah PEDANG SEMERAH DARAH)
"Sia-sia aku bertarung melawanmu, Kunyuk!" kata Begal Dogol. "Aku punya urusan
dengan Sabdawana! Ini urusan orang tua dengan orang tua. Kau tidak
mempunyai hak untuk turut campur dalam urusan ini."
Ludiro menyunggingkan senyum sinis. Ia
menyarungkan pedang Jalak Pati, dan berkata, "Aku diberi hak oleh Rama Sabdawana
untuk menangani
masalah seperti ini. Dan...."
Orang tak akan menyangka bahwa Ludiro yang
masih tenang berbicara dengan Dogol itu tiba-tiba
meloncat dan berjumpalitan ke udara. Ternyata ia
hanya menghindari serangan jarum beracun yang
datang dari arah semak kegelapan. Nalurinya begitu
kuat dan sangat peka. Sehingga, jarum-jarum beracun
yang jumlahnya lebih dari seratus itu melesat melewati tubuh Ludiro, lalu menuju
badan Begal Dogol. Seketika
itu pula, Begal Dogol pun kaget dan secara reflek
menggerakkan tongkatnya sambil melompat ke arah
kanan. Terdengar bunyi kayu dihunjam jarum bertubitubi. Dalam keremangan cahaya obor penerang jalan
Ludiro dapat melihat bahwa jarum-jarum itu menancap
pada tongkat milik Begal Dogol. Menancap dengan rapi
bagai disusun seseorang dengan tekun.
Ludiro tak tahu, apakah Begal Dogol sengaja
memancingnya bicara, dan mengurangi kewaspadaan
Ludiro supaya bisa diserang dengan tiba-tiba oleh orang yang bersembunyi itu,
atau memang sesuatu yang
kebetulan saja sifatnya" Tak peduli telah terjadi
persekongkolan atau tidak, tapi Ludiro terpaksa
mencabut Cambuk Naga untuk bisa memukul dari
jarak jauh. Cambuk Naga dilecutkan satu kali ke arah
semak kegelapan itu.
"Taar...!"
Sebuah cambukan biasa-biasa saja, tetapi ujung
cambuk itu mengenai seseorang yang bersembunyi di
sana, dan orang itu mengaduh tertahan. Ludiro hendak
mengejar orang tersebut, tetapi ia membatalkan
niatnya, sebab Begal Dogol bergerak melayang. Ia ingin masuk ke dalam Griya
Teratai Wingit dengan cara
melompati pagar tersebut yang tingginya dua kali
ukuran tembok. Karena itulah, maka tubuh Ludiro
akhirnya melayang juga ke arah pagar tinggi, dan
melemparkan Begal Dogol dengan hempasan tenaga
dalamnya. Tubuh Begal Dogol melayang bagai daun
terbang, dan jatuh di dekat semak kegelapan dengan
posisi berdiri tegak, kedua kakinya merenggang kokoh.
"Keparat...!" geram kakek berambut panjang itu.
Begal Dogol hendak menyerang, namun dari dalam
semak kegelapan itu keluarlah seorang pemuda yang
persis seperti dugaan Ludiro.
"Biar saya yang menghadapi, Guru!" kata Prabima kepada Begal Dogol.
"O, rupanya kau murid si tua bangka peot itu, ya"!"
ledek Ludiro dengan masih berdiri di atas pagar. Lalu ia melompat turun dan
tertawa dengan sinis.
Kokok ayam menjelang pagi terdengar di kejauhan.
Samar-samar sekali. Pada saat itulah, Prabima berlari
menyerang Ludiro dengan pedangnya. Ludiro sengaja
melompat ke belakang dengan bersalto dua kali. Begitu
kakinya menginjak tanah, cambuknya segera
dikibaskan. "Tarr...!" Cambuk itu melecut tangan Prabima.
Tangan itu berdarah, seperti dulu lagi. Pedangnya jatuh.


Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prabima menyeringai kesakitan.
Para penjaga terbangun. Dua orang membuka pintu
gerbang dan menghambur keluar. Melihat kedua
penjaga membuka pintu gerbang, Begal Dogol
tersenyum, kemudian berusaha masuk. Tetapi kedua
penjaga itu melarangnya dengan melancarkan pukulan
ke arah Begal Dogol. Tongkat Begal Dogol beraksi,
memukul tangan penjaga dengan keras, sehingga kedua
penjaga itu menyeringai kesakitan. Kemudian kaki
Begal Dogol mengibas, bagai menampar kedua penjaga
itu, sehingga kedua orang tersebut tersungkur ke
samping, Begal Dogol melangkah ke pintu gerbang.
Saat itu Ludiro berlari dan meloncat dengan kaki kiri
direntangkan ke samping. Kaki itu mengenai lengan
Prabima hingga pemuda bertampang ganteng itu
sempoyongan. Dan gerakan Ludiro dilanjutkan dengan
bersalto satu kali. Ia mendarat di belakang Begal Dogol yang hendak masuk ke
pintu gerbang. Cambuk Naga
dikibaskan, lalu berhasil membelit di leher Begal Dogol.
Sejenak kakek tua itu berusaha melepaskan lilitan
Cambuk Naga yang terbuat dari serat benang sutera
tipis namun mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Agaknya kakek berambut panjang merasa kesulitan
membuka lilitan cambuk, sehingga ia menghentakkan
kakinya kuat-kuat. Melayang dan bersalto ke belakang
dua kali. Kakinya mendarat di tanah dengan mantap,
dan kini posisinya berada di belakang Ludiro. Dengan
sekali hentakan kaki ke depan, Ludiro nyaris terdorong rubuh. Tapi tangannya
masih kuat memegangi gagang
cambuk. Dengan tenaga besar Ludiro menggeret
cambuknya, di sentakkan kuat-kuat sehingga tubuh
Begal Dogol terbawa ke depan. Dan pada saat itulah
kaki Ludiro menendangnya kuat sekali, sehingga Begal
Dogol terpental ke belakang setelah lehernya merasa
bagai tercekik, lalu seperti dibeset dengan benang
tajam. Leher itu berdarah. Begal Dogol segera meludahi
telapak tangannya, lalu mengusap leher yang terbeset
cambuk. Dalam sekejap, luka dan darah hilang dari
leher Begal Dogol. Ia tersenyum sinis kepada Ludiro.
Ludiro menggeletukkan gerahamnya. Pada saat itu,
tubuh Prabima melayang menyerang Ludiro dengan
kaki miring ke samping.
Kemarahan dan kebencian Ludiro meluap, maka ia
mengibaskan cambuknya dengan suatu luapan emosi
yang kuat. Dan akibatnya, sungguh mengerikan.
Cambuk itu mengenai pundak Prabima.
"Aaakhh...!" pekik Prabima kesakitan, karena pundak itu patah dan robek begitu
dalam. Darah mengucur banyak sekali. Begal Dogol khawatir kalau
luka itu sampai ke jantung, karenanya ia segera
menyerang Ludiro dengan lemparan senjata lempengan
bulat bergerigi tajam. Tanpa disadari, tangan Ludiro
bergerak sendiri, mencambuk-cambukan senjatanya
dengan salah satu kaki ditekuk hingga lututnya hampir
menyentuh tanah. Cambuk itu melecut sebanyak 7 kali,
sesuai dengan senjata bulat yang dilemparkan Begal
Dogol. Cambuk itu mengenai lempengan besi bergerigi,
dan membuat besi itu terpental ke mana-mana.
Ludiro dalam keadaan sibuk. Begal Dogol segera
mengangkat tubuh Prabima dengan gerakan yang tak
dapat diikuti oleh pandangan mata orang. Tahu-tahu ia
telah berada dalam jarak beberapa meter sambil
menggendong Prabima yang terluka parah itu.
"Tunggu! Tunggulah kehadiran muridku yang lain
yang akan melumatkan batang hidungmu, Kunyuk!"
teriak Begal Dogol. Ludiro hendak mengejar pada waktu
Begal Dogol pergi membawa kabur Prabima Wardana,
tetapi puncak Ludiro terasa ada yang menekannya
dengan berat sehingga ia tak jadi melangkah mengejar
Begal Dogol. Waktu Ludiro berpaling, ia terperanjat sedikit,
karena yang menekan pundaknya itu ternyata
Sabdawana sendiri. Agaknya Sabdawana telah selesai
bersemadi beberapa hari lamanya. Ludiro pun buruburu memberi sikap menghormat kepada lelaki tua itu.
"Jangan kau kejar dia. Berbahaya."
"Rama mengenal dia?"
Sabdawana mengangguk, matanya yang
memancarkan kharisma dan kewibawaan itu
memandang tempat kepergian Begal Dogol. Matahari
sudah mulai muncul, dan gumam Sabdawana terdengar
jelas. "Begal Dogol...! Hem, dia musuh lamaku."
"Agaknya dia cukup tangguh, ya Rama?"
"Seharusnya begitu. Berpuluh-puluh tahun dia
menghilang dari rimba persilatan setelah kukalahkan.
Tentunya ia mencari ilmu dan menambah kehebatan
dirinya untuk melawanku," tutur Sabdawana dengan
datar. "Jadi, kedatangannya ke mari adalah untuk
membalas dendam atas kekalahannya dulu?" tanya
Ludiro. "Ya," Sabdawana mengangguk. "Tapi agaknya ada keperluan lain juga, mengingat dia
telah bersekutu
dengan Prabima Wardana."
"Pemuda itu muridnya, Rama. Saya mendengar dia
memanggil Begal Dogol dengan sebutan 'guru'."
Sabdawana manggut-manggut sambil menggumam.
Kemudian ia melangkah masuk halaman Griya Teratai
Wingit, di mana ia tinggal di situ bersama anak
perempuannya dan para pelayan serta pengawal yang
berjumlah sepuluh orang.
"Bagaimana tentang Lanangseta menurut Rama?"
tanya Ludiro yang segera ingin mendengar bagaimana
keadaan Lanang.
Sabdawana diam beberapa saat, sepertinya
menyimpan keraguan. Ia duduk di atas tempat duduk
empuk yang berbentuk bunga teratai. Tempat duduk itu
terbuat dari batu cadas berukir dan dilapisi beberapa
kain yang dibungkus oleh mori putih bersih.
"Aku menemui kesulitan dalam melacak di mana
Lanangseta. Rohku hampir saja nyasar tak tentu arah."
kata Sabdawana dengan pelan. "Susah memastikan
apakah Lanangseta masih hidup atau sudah mati."
"Saya harap Rama jangan bicara terlalu keras, takut kalau putri mendengarnya,
dan akan semakin parah."
Setelah diam sejenak, Sabdawana bicara seperti
dalam sebuah gumam, "Dia... memang sudah parah."
Ludiro menghela nafas, merasa prihatin dan kasihan
terhadap anak gadis Sabdawana.
"Bagaimana selama kutinggal bersemadi?" tanya Sabdawana.
"Baru tadi ada gangguan, si tua bangka Begal Dogol dengan setan kencur Prabima
itu." "Putriku...?"
"Putri anda selalu menanyakan hasil semedi yang
anda lakukan, Rama. Ia benar-benar ingin mendengar
kabar tentang Pendekar Pusar Bumi itu."
Kini, Sabdawana yang menghempaskan nafas
panjang. "Tapi selama ini saya sudah mencoba dan selalu
mencoba mengalihkan perhatian serta pikirannya ke
arah lain."
"Berhasil?"
"Sesekali berhasil, sesekali ia ingat Lanangseta, lalu menangis lagi. Ah, saya
jadi tak habis pikir, putri anda yang tegar itu bisa berubah menjadi perempuan
cengeng dan lemah sekali," ujar Ludiro.
"Itulah keburukan racun yang sudah terlalu
bercampur dengan darahnya. Bahkan racun itu akan
membuat dia menjadi seperti anak kecil lagi,
kemudian... mungkin tak akan tertolong lagi." Kata-kata itu terlontar begitu
lirih dan membuat wajah
Sabdawana sangat murung.
"Kalau begitu," kata Ludiro setelah sama-sama berpikir beberapa saat. "... anda
katakan saja bahwa anda telah bertemu dengan Lanangseta dan hendak
kembali kalau sudah selesai urusannya. Mungkin
sebentar lagi. Begitu, Rama."
Sabdawana menggeleng. "Aku tak boleh bohong.
Kebohongan hanya akan merugikan diri sendiri. Aku
harus mengatakan yang sebenarnya. Kalau aku
berbohong dengan mengatakan seperti saranmu itu, dia
pasti akan bangga dan senang. Harapan untuk bertemu
Lanangseta akan semakin menggebu dan tak sabar.
Tapi jika sampai beberapa hari ternyata Lanangseta
tidak datang, ia akan kecewa. Semakin rindu dan
semaian tersiksa. Kerinduan yang sangat kuat itu akan
lebih meracuni darahnya, lalu dia akan mati. Kalau dia mati, berarti aku
kehilangan dia. Jelas akan
membuatku sangat menderita. Itulah sebabnya
kukatakan tadi, kebohongan akan merugikan diri kita
sendiri." Ludiro manggut-manggut, merasa menyesal juga
telah memberi saran tak sehat kepada Sabdawana.
Untung Sabdawana orang yang teliti, yang bisa
membedakan mana salah dan mana benar. "Hahhh...!"
Ludiro. mendesah bagai merasa gemas. Dalam hati ia
bertanya dengan jengkel, "Ke mana sebenarnya
Lanangseta itu"!"
*** 2 SINAR matahari menyorot ke bumi dengan tajam.
Ada bayangan yang berjalan dengan tegap. Bayangan
dari sesosok tubuh yang kekar, tegap dan seakan penuh
keyakinan atas dirinya. Bayangan itu tak lain adalah
milik Lanangseta, Si Pendekar Pusar Bumi, yang telah
mendapat gelar dari seorang guru, sehingga ia patut
menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti. Sebenarnya,
sudah pantaskah ia menyandang gelar agung itu"
Orang akan menilai suatu perbuatan dari orang lain.
Dan perbuatan, gerakan serta kemampuan Lanangseta
dalam memainkan jurus-jurus pedangnya itulah yang
akan membuat orang percaya, bahwa ia memang pantas
menyandang gelar Malaikat Pedang Sakti.
Meski sesekali langkahnya menjadi pelan karena
merasa ada yang mengikuti, namun Lanangseta tak
menunjukkan kecurigaannya. Ia tetap melangkah
dengan tegap, tenang dan mantap. Sampai pada suatu
saat, ia terpaksa harus berhenti karena melihat
pengemis yang duduk di bawah sebuah pohon, tak jauh
dari sebuah desa.
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan,"
pengemis itu mengulurkan tangannya dalam posisi
tengadah. Lanangseta memperhatikan sekilas. Tatapan
matanya cukup bersahabat. Pengemis muda yang kurus
kering dengan pakaian compang-camping itu
memperlihatkan wajah sedihnya.
"Sedikit sedekah, Tuan, semoga bisa menjadi berkah.
Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak
makan...."
Lanangseta merasa tertarik dengan keadaan
pengemis itu. Ia ingin memberikan saran sedikit kepada
si pengemis, "Kamu masih muda, kan" Usiamu tidak
jauh lebih tua dariku, bahkan lebih muda. Apa tak bisa cari kerja" Jangan malas,
bekerjalah. Kerja apa saja,
yang penting bisa buat hidup sendiri."
Pengemis muda itu cemberut, "Ini juga bekerja, kan"
Apa Tuan pikir mengemis itu bukan suatu pekerjaan?"
Senyum tenang Lanangseta mengembang di bibirnya.
"Yang kumaksud bekerja sebagai pengemis, berbeda
dengan bekerja sebagai pekerja atau buruh. Kamu
masih kuat mencangkul sawah, buruh tani apa saja.
Menggembala kambing milik orang kaya juga masih
mampu. Kenapa harus mengemis?"
"Yaah... mungkin sudah bakat."
"Apa kau punya cita-cita jadi pengemis?"
Pemuda kurus kerempeng itu menggeleng.
"Lalu, apa cita-citamu?"
"Mengetuai semua pengemis di dunia ini, Tuan."
"Hah... itu sama saja!"
"Lain, Tuan. Pendapatannya lebih besar. Saya tidak perlu merengek, menyusun kata
yang menyedihkan
supaya diberi berkat. Saya tinggal memberi perintah
kepada anak buah saya: hari ini si A mengemis di
wilayah sana, si B mengemis di wilayah sini... Besok si A ganti ngemis di sini,
si B di sebelah sana... Ah, cuma mengatur jalannya perngemisan dunia, apa
susahnya sih" Paling-paling saya memberi pelajaran bagaimana
menjadi pengemis yang sukses kepada anak buah. Kan
enak kalau begitu" Cita-cita yang agung kan?"
Lanangseta tertawa pendek, pelan. Ia menggeleng
samar. "Itu keliru. Itu tidak baik."
"O, jadi Tuan pendekar punya cara yang lebih baik tentang bagaimana mengatur
perkembangan pengemis
di dunia ini" Jadi, Tuan juga punya teknik mengemis
yang lebih tepat lagi, ya?"
"Tidak. Kau tidak mengerti maksudku. Kau...."
"Kalau begitu, beri sajalah saya sedekah biar Tuan tidak pusing-pusing
menasehati saya...."
"Aku tak ingin mendidik orang menjadi malas...."
kata Lanangseta seraya pergi meninggalkan pengemis
muda. Gerutu pengemis itu terdengar jelas, hanya katakatanya yang sukar dipahami. Tetapi Lanangseta tidak
peduli. Ia terus melangkah sambil menimbang-nimbang,
haruskah ia pulang ke Griya Teratai Wingit"
Ah, itulah yang membuat Lanangseta gelisah dalam
hati. Ia ingat Kirana kekasihnya, tapi ia juga ingat
pemuda Prabima yang memuakkan. Apalagi jika ia ingat
kata-kata Prabima yang memberitahu, bahwa Kirana
sudah menyerahkan keperawanannya kepada Prabima.
Bahwa pula, Kirana yang menyuruh Prabima datang


Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan melukai Lanangseta, supaya perkawinan Lanang
dan Kirana tertunda beberapa saat, sementara Kirana
ingin menikmati kemesraan dengan Prabima beberapa
saat lagi. Uuh... benci sekali Lanangseta mengingat
peristiwa itu (dalam kisah PEDANG SEMERAH DARAH)
Pada waktu itu, Kirana memang tidak ada di tempat.
Bahkan menghilang sampai beberapa saat. Hal itu pula
yang membuat kecurigaan Lanangseta semakin kuat,
bahwa Kirana memang ada main belakang dengan
Prabima. Dan sejak saat itu ia tidak pernah bertemu
lagi dengan Kirana, karena almarhum kakek Tongkat
Besi telah membawanya kabur ke Bukit Dewa. Dan
sampai sekarang, Lanangseta tidak tahu bagaimana
keadaan Kirana, bagaimana nasib Prabima dan
bagaimana kisah Griya Teratai Wingit sejak
kepergiannya sampai dua bulan lebih ini. Tak tahu.
Sungguh tak ada berita sedikit pun tentang hal itu yang masuk ke telinga
Lanangseta, atau si Malaikat Pedang
Sakti, alias Pendekar Pusar Bumi itu.
Langkah Malaikat Pedang Sakti terhenti sejenak,
seperti ada sesuatu yang mengejutkan. Ia belum
memasuki perbatasan desa, namun ia sudah bertemu
dengan seorang pengemis muda yang kini ada di
depannya dalam jarak kira-kira 20 langkah lagi. Dan
herannya, pengemis muda yang tadi juga yang
ditemuinya saat ini. Dalam hati Lanangseta berkata,
"Hebat juga kecepatan lari pengemis itu" Atau...
mungkin ia telah mendahului langkahku tanpa
kusadari" Mungkin pada saat aku melamun itulah ia
telah mendahuluiku?"
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanangseta sengaja berhenti dan memperhatikan
pengemis muda bertubuh kurus kerempeng dengan
pakaian compang-camping itu. "Ah, kata-katanya pun sama saja," pikir Lanang.
Pengemis itu memperlihatkan wajah dukanya, lesu dan murung. Ia mengucap kata,
"Sedikit sedekah, Tuan, semoga menjadi berkah.
Kasihanilah saya... sudah beberapa hari tidak
makan...."
"Persis!" gumam Lanangseta dalam hati. Persis seperti yang didengarnya tadi,
ketika bertemu pengemis muda itu di bawah pohon. Lanangseta bagai
menyimpan suatu rahasia. Ia tersenyum, lalu segera
meninggalkan diri. Pengemis itu menggerutu tak jelas
ucapannya. Namun pada saat ditinggalkan Lanangseta
ia tetap duduk di tempatnya bersila. Lanangseta lari
dengan cepat dan naik ke atas pohon dengan
menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Dan dari atas
pohon ia tetap melihat pengemis tadi duduk di
tempatnya. Karena jauhnya, sampai terlihat seakan
sebuah titik yang diam tak bergerak sedikit pun.
Kemudian Lanangseta turun dari pohon. Ia yakin
pengemis seusia adiknya itu masih duduk di
tempatnya. Ia segera lari ke arah rimbunan pepohonan,
di mana di balik rimbunan itu pasti terdapat sebuah
desa. Lanang sengaja melesat bagai bayangan cahaya
supaya cepat sampai di desa itu. Ia harus mencari kedai buat mengisi perutnya.
Tetapi ia terkejut lagi, karena ketika ia tiba di tepian desa, ia telah melihat
seorang anak muda berpakaian
compang-camping, duduk bersila menunggu orang
lewat. Itu si pengemis kurus kerempeng tadi.
"Sial! Dia sudah ada di depanku"! Padahal aku
sudah berlari tidak sekedar berlari. Jurus Badai
Menghembus sudah kugunakan. Tapi nyatanya aku
kalah cepat dengan pengemis itu. Ia tahu-tahu sudah
menghadangku di sana."
Lanangseta sengaja lewat tanpa berhenti di depan
pengemis muda itu. Ia berlagak tidak tahu kalau
pengemis itu ada di situ. Namun, tak urung ia tetap
mendengar ucapan pengemis itu seperti tadi juga:
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanang pura-pura tidak mendengar. Lalu pengemis
muda itu melanjutkan kata, "Sedikit sedekah, Tuan, semoga menjadi berkah.
Kasihanilah saya... sudah
beberapa hari tidak makan...."
Sambil berjalan terus tanpa berpaling, Lanangseta
berkata dalam hati, "Dia bukan pengemis sembarangan.
Anak muda itu pasti punya maksud tertentu di
depanku. Ah, biarlah, aku tak mau banyak urusan
dengannya."
Lanangseta tiba di depan kedai yang pengunjungnya
tak begitu banyak. Perutnya mengkerukuk menahan
lapar. Maka ia pun segera masuk ke kedai yang cukup
besar itu. Tapi baru tiba di depan pintu masuk, tahutahu ia melihat pengemis muda itu sudah duduk
bersila, seakan sudah dari tadi ia berada di situ. Gila!
Dan waktu Lanangseta hendak lewat di depannya,
Lanang sudah tahu apa yang ia dengar dari mulut
pemuda kurus itu.
"Berilah kami sedekah ala kadarnya, Tuan...."
Lanang segera menyahut, "Sedikit sedekah, Tuan,
semoga menjadi berkah... kasihanilah saya... sudah
beberapa hari tidak makan...."
Maksudnya Lanangseta mengejek pengemis itu,
menirukan kata-kata tersebut, sekaligus menunjukkan
bahwa ia sudah bosan mendengar ucapan si pengemis
muda. Tetapi di luar dugaan, ada pengunjung kedai
yang mendengar ucapan Lanangseta tadi. Sambil
menggerutu, pengunjung itu melemparkan sekeping
uang kepada Lanangseta, "Uhh... masih muda, gagah, kuat, kok mengemis. Nih, ala
kadarnya saja...!"
Tangan Lanangseta tak sadar menangkap sekeping
uang tersebut dengan mulut terbengong. Orang itu
mengira Lanang sedang mengemis kepadanya. Dan...
dan Lanang bingung dengan uang tersebut. Akhirnya ia
melemparkan uang itu, jatuh di tangan pengemis muda,
lalu Lanang segera mendekati orang berkumis yang
melemparkan uang tadi.
"Bukan saya yang meminta sedekah, tapi pemuda
it...." Lanangseta kebingungan sendiri. Pengemis muda itu menghilang dengan
cepat. Jari tangan Lanangseta
menunjuk tempat yang sudah kosong. Tentu saja orang
berkumis yang melemparkan uang kepada Lanang
hanya mencibir, seraya berkata, "Alaaah... pakai alasan segala. Ngemis ya
ngemis!" Tentu saja Lanangseta jadi salah tingkah. Hanya
gara-gara hal seperti itu, masa' ia harus berdebat
dengan orang berkumis. Nanti apa kata orang: Datangdatang dikira cari keributan. Maka, Lanangseta tak
menghiraukan kata-kata orang itu lagi. Ia segera
mencari tempat dan memesan makanan serta minuman
untuknya. Tetapi ia masih penasaran dengan pengemis
muda yang membuatnya terkecoh tadi. "Ke mana
perginya anak itu?"
Pemilik kedai menghidangkan nasi dengan dua
potong paha ayam goreng. Minumannya... segelas air
putih. Lalapnya, sambal terasi dengan daun kemangi
dan ketimun mentah. Tak lupa pemilik kedai juga
menyediakan kendi air yang diletakkan tak jauh dari
jangkauan tangan Lanangseta.
Mendadak Lanang membelalakkan mata, ia melihat
pengemis muda yang kurus kerempeng dengan pakaian
compang-camping itu duduk pula di salah satu meja
kosong. Letaknya di depan Lanang, agak serong ke arah
kiri. Menyudut. Lanangseta memperhatikan dengan
diam-diam. Perasaannya sedikit heran, mengapa
pengemis itu memperhatikan ia juga secara diam-diam.
Siapa dia sebenarnya dan apa perlunya"
"Hah..."!" Lanangseta hampir saja berseru kaget.
Karena pada saat itu, ia melihat air dalam cangkir yang belum diminum itu sudah
habis mendadak. Ia
mengangkat cangkir itu, kalau-kalau bocor. Ternyata
tidak. Lanangseta menuang air kendi ke cangkir itu, dan ia
segera makan dengan tenang. Tapi pada waktu ia harus
minum karena seret, tahu-tahu cangkir itu telah kosong lagi.
"Gila! Apa-apaan ini"!" pikir Lanangseta sambil melirik ke arah pengemis muda
yang memperhatikan
dari sudut sana. Tampak seulas senyum tipis mekar di
bibir pengemis berkulit hitam dan berambut tak teratur itu. Lanang menggumam
dalam hati, seperti menyimpan
suatu rencana. Lalu ia menuang kembali air kendi ke
dalam cangkirnya. Namun bersamaan dengan itu,
gerakan tangan cepat Lanang tak terlihat siapa pun
bahwa ia mencampurkan sedikit sambal terasi pada air
tersebut. Lalu, ia berlagak makan dengan tenang lagi.
Sesaat kemudian, ia mendengar suara orang terbatukbatuk dan megap-megap kepedasan. O, rupanya
pengemis muda itu kepedasan, padahal ia tak makan
nasi dengan sambal. Lanang melirik cangkirnya; O,
kosong! Sekarang Lanang sudah jelas, bahwa pengemis itu
memang bukan pengemis sembarangan. Ia mempunyai
ilmu yang di luar dugaan orang, ternyata cukup hebat.
Ia dapat meminum air di cangkir orang lain dari jarak
jauh. Buktinya ketika minuman Lanang diam-diam
dicampur sambal, pengemis muda itu yang kepedasan
dan megap-megap. Lidahnya dikipasi dengan tangannya
sendiri. Di samping itu, ia juga mempunyai ilmu
mempercepat gerakan tubuhnya. Buktinya, tiga kali
lebih Lanang menemukan dia masuk duduk bersila di
depan langkah Lanang. Padahal waktu tadi, Lanang
sudah mencoba berlari melesat menggunakan ilmu
Badai Menghembus, nyatanya pengemis kurus
kerempeng itu bisa melebihi kecepatan jurus Badai
Menghembus. Hemm... siapa dia sebenarnya" Apa maksudnya
memamerkan kehebatannya itu di depan Lanangseta"
Apakah ia tak tahu bahwa yang diikutinya itu murid
seorang dewa"
Lanangseta berpaling, seperti orang-orang itu,
melongok ke luar kedai. Di sana ada serombongan
manusia yang tengah mengarak seorang lelaki berikat
kepala kain batik warna hitam. Orang itu tidak
mengenakan baju, kecuali celana pangsi hitam. Kedua
tangannya diikat ke belakang. Dan ia berjalan dengan
didorong-dorong oleh beberapa orang bertampang galak.
Sesekali ia tersungkur rubuh, lalu diseret agar bangun lagi, dan berjalan
kembali. Selain orang-orang
bertampang galak, juga ada beberapa penduduk yang
mengikuti dengan wajah-wajah tegang dan perasaan
sedih yang tak sempat tercurah semuanya.
Salah seorang pengunjung kedai itu berkata kepada
temannya, "Wah, akhirnya mati juga Pak Lodang itu...."
"Memangnya kenapa sih?" tanya temannya.
"Gara-gara tidak membayar pajak ke Kanjeng
Adipati, akhirnya dia akan dihukum gantung, kan"
Padahal dia sudah kuingatkan, bayarlah pajak
penghasilan sawahnya kepada Kanjeng Adipati, supaya
ia tidak celaka. Eh, dia tetap tidak mau."
"Ck, ck, ck... kasihan dia, ya" Akhirnya nasibnya seperti Marjan dan mak Idah.
Digantung!" komentar yang lain.
"Tapi... anak dan istrinya kok tidak kelihatan?"
"Yah, mungkin mereka sengaja tidak diberitahu oleh kaki tangan Kanjeng Adipati
Legowo. Biasa, bikin
kejutan!" Istri pemilik kedai berlari-lari ke luar dari dapur dan bertanya kepada
suaminya, "Ada apa lagi itu, Pak?"
"Ada orang mau digantung."
"Hahh..."! Siapa"!"
"Pak Lodang...."
"Ya, Gustiii... kasihan amat nasibnya...." keluh istri pemilik kedai dengan
wajah sedih. "Lalu bagaimana nasib istri dan anak gadisnya, si Mahani itu..."
Ah, kasihan sekali dia."
Otak Lanangseta merekam semua pembicaraan yang
didengarnya. Hatinya sempat ikut terharu melihat lelaki kurus tanpa baju dengan
punggung dan dada membilur
biru akibat bekas cambukan itu, didorong-dorong oleh
beberapa orang bersenjatakan golok. Mereka kasarkasar, dan tak mengenal belas kasihan.
Karena orang-orang dalam kedai ikut ke luar,
mendekati rombongan tersebut, maka Lanangseta pun
demikian. Ia ke luar dengan mata memandang orangorang kasar, menghitung dalam hatinya. Ada yang
berpakaian seperti warok, serba hitam dan memakai
ikat kepala batik hitam dengan bentuk khusus,
menyerupai sepasang tanduk. Orang itu berbadan
besar, memakai gelang akar bahar, berkumis melintang
tebal, alisnya juga tebal, dan matanya lebar membelalak ganas. Ia mengenakan
ikat pinggang sepertinya dari
sebuah tali halus, besarnya hampir satu genggaman
orang dewasa. Pada kedua ujung sabuk itu terjulur ke
bawah, hampir sebatas lutut. Warnanya merah
berseling hitam. Ia berjalan pada barisan paling
belakang. Langkahnya mantap, gerakan matanya penuh
kecurigaan. Orang itu agaknya memegang peranan
dalam rombongan tersebut. Buktinya, ketika
rombongan sampai di bawah tiang gantungan di sebuah
alun-alun yang tak jauh dari desa itu, barisan orangorang kasar terbelah menjadi dua jalur, dan orang
berkumis melintang itu berjalan dengan tenang
mendekati Pak Lodang.
"Siapa dia?" bisik Lanang kepada salah seorang penduduk.
"Itu yang namanya Warok Sabuk Geni. Orang kuat di dalam dalem kadipaten. Dia kan
orang andalan Adipati
Legowo...."
Lanangseta mengangguk-angguk. Tiba-tiba dari arah
sampingnya nyeletuklah suara, "Namanya aneh, ya"
Nama kok pakai Borok. Ih, Borok Sabuk Geni. Sabuk
Geninya sih hebat, Boroknya yang menjijikkan."
Eh, ternyata pengemis muda yang kurus kerempeng


Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu yang seakan mengajak bicara Lanangseta. Pengemis
itu kelihatan biasa-biasa saja, tidak seperti orang asing, tidak juga
menunjukkan kesedihannya seperti waktu
mengemis. "Siapa yang namanya Borok?" Lanang sengaja
menimpali. "Orang berbaju serba hitam itu, kan" Tadi katanya bernama Borok Sabuk Geni."
"Bukan Borok, tapi... Warok! Warok Sabuk Geni."
"Ooo... tidak jadi Borok" Jadi sekarang diganti
Warok?" "Bego...!" geram Lanangseta.
"Lho, kok tahu nama saya?" kata pengemis muda itu sambil Cengar-cengir. "Sudah
kenal nama saya, ya"
Wah, kalau begitu saya ini orang terkenal, ya" Hebat
juga saya ini."
Lanangseta melirik sinis. "Siapa yang mengenal
kamu?" "Tadi..." Tadi Tuan memanggil saya: Bego... begitu.
Nah, mau mengelak nih...." Ia menuding-nuding
Lanangseta. "Mau menyanggah nih, ya" Tadi kan bilang: Bego. Itu kan memanggil
saya. Iya, kan" Iya toh"! Ah,
ngaku saja...!"
Ada beberapa mata sempat mengawasi pengemis
muda itu, sebab ia bicara dengan sedikit keras.
Lanangseta jadi tak enak. Ia semakin gemas jadinya,
tapi hanya ditahan kuat-kuat. Ia berkata setelah
pengemis muda itu diam.
"Memangnya namamu Bego?"
"Iya. Nama saya Jaka Bego. Tuan kenal dari mana"
Mungkin teknik mengemis saya Tuan kagumi ya,
sampai-sampai Tuan melacak nama saya dan... ingin
belajar, ya?"
Lanangseta tak banyak komentar. Diam dengan
meredam kedongkolan. Matanya memandang ke depan,
di mana mereka menyiapkan segala perlengkapan
untuk menggantung Pak Lodang. Lanangseta bergeser
dari antara kerumunan orang, lebih mendekati ke
depan, supaya jelas. Tapi pengemis yang mengaku
bernama Jaka Bego itu ternyata juga ikut bergeser ke
depan, terus mepet Lanangseta, bagai tak mau
berjauhan. "Kasihan orang itu, ya" Saya melihat wajah tak
bersalah sedang dikalungi tali gantungan...." bisik
pengemis itu. Sebenarnya Lanangseta tahu, pengemis itu berbicara
kepadanya, tapi ia berlagak tidak mendengar. Ia ada
yang mendorong dari belakang, hingga rombongan yang
ada di depannya sampai memisah dan Lanang bisa
masuk lebih ke depan lagi.
Pada saat itu, yang namanya Pak Lodang sudah naik
ke atas bangku bundar, lehernya sudah berkalung tali
gantungan, dua orang penjaga berbadan besar dan di
samping kanan-kirinya. Sementara itu, yang bernama
Warok Sabuk Geni berbicara kepada massa.
"Ingat, ini sebagai peringatan buat kalian. Barang siapa tidak membayar pajak
penghasilan sawah, atau
kebun, maka hukumannya adalah seperti Pak Lodang
ini. Digantung! Mengerti"!"
Tak ada jawaban satu pun dari penduduk yang
berkerumun, Masing-masing rupanya dicekam
perasaan sedih dan takut. Dan Warok Sabuk Geni tak
mau menunggu jawaban lebih lama lagi. Ia menganggap
semua penduduk sudah mengerti. Lalu ia perintahkan
kepada dua pengawal berbadan besar yang ada di
kanan-kiri Pak Lodang.
"Hukuman gantung... kerjakan!"
"Tunggu...!" Ada suara berseru, dan kedua pengawal tak jadi menyeret bangku yang
dipakai berdiri Pak
Lodang. Suara itu datangnya dari Lanangseta, yang
kemudian maju mendekati Warok Sabuk Geni.
"Berapa uang yang harus dibayar oleh orang itu
untuk melunasi pajaknya?" tanya Lanangseta dengan sopan dan hormat.
Warok Sabuk Geni kelihatan menggeram jengkel.
Matanya yang lebar dan memerah itu memandang
penuh curiga. Lalu jawabnya dengan kasar, "Lima ratus keping!"
Lanangseta memandang Pak Lodang sebentar, lalu
berkata, "Bebaskan dia, aku akan membayarnya
sebanyak enam ratus keping kepadamu, Ki Warok."
"Hahh"!" semua orang terperanjat, demikian juga Warok Sabuk Geni. Sementara itu,
Jaka Bego bertepuk
tangan kegirangan. Lalu, penduduk jadi ikut bertepuk
tangan semua. "Tidak bisa!" kata Warok Sabuk Geni. "Waktu pembayaran sudah terlambat, sekarang
yang ada waktu penghukuman!"
Jaka Bego berseru, "Huhhh...!" Orang-orang ikut berseru bersahutan, "Huhh...!
Huuhh...! Uuuhh...!"
*** 3 WAROK SABUK GENI membentak orang-orang yang
saling 'ha-hu, ha-hu' itu. "Diam...!"
Bentakannya cukup menggetarkan sekian banyak
orang yang ada dalam kerumunan itu. Mereka menjadi
bungkam mendadak bagai jangkerik terinjak. Sepi.
Wajah-wajah takut tergambar jelas dan Warok Sabuk
Geni semakin garang.
"Orang ini harus dihukum karena kesalahannya! Tak ada ampun! Tak ada tebusan!
Tak ada ganti rugi!" Mata Warok yang merah membelalak, bagai mau loncat,
memandangi mereka satu persatu. Lanangseta tetap
tenang, kedua tangannya dilipat di depan dada. Dengan
seenaknya ia berkata lagi, "Bagaimana kalau kutebus dengan uang tujuh ratus
keping?" suaranya pelan, tapi jelas. Semua telinga mendengarnya. Pengemis muda
yang mengaku bernama Jaka Bego menyahut, "Iya.
Tuh, sudah naik. Dari enam ratus keping menjadi
delapan ratus keping. Apa tidak buaaanyak yang
segitu?" Lanang melirik dengan dongkol. "Siapa yang bilang delapan ratus keping?"
"Lho, tadi katanya mau ditebus delapan ratus
keping?" Jaka Bego bertampang bingung.
"Tujuh ratus!" geram Lanangseta, seakan ingin sekali menampar mulut Jaka Bego.
"O, tujuh ratus" Kok nggak jadi delapan ratus?"
"Bayarlah sendiri kalau dia memang mau delapan
ratus." "Boleh saja," jawabnya di luar dugaan Lanang. Ia bahkan berkata kepada Warok,
"Bagaimana" Delapan
ratus?" Warok Sabuk Geni membentak kasar, "Tidak! Tidak
ada, penebusan, tau"!"
"Ya, sudah! Jangan ngotot!" Jaka Bego bagai tak sadar, ganti membentak Ki Warok.
Sudah tentu membuat Warok Sabuk Geni menjadi semakin marah.
Dengan langkah mantap dihampirinya Jaka Bego. Lalu,
ditamparnya keras-keras wajah Jaka Bego. "Plak...
plak...!" Kemudian ditinggalkan berdiri di tempat semula.
Jaka Bego meringis kesakitan sambil mengelus-elus
pipinya. Ia menyenggol lengan Lanangseta yang tetap
berdiri dengan tenang, memandang Pak Lodang yang
pucat pasi. Lanang bagaikan tak melihat kejadian itu.
Jaka Bego menyenggol lengan Lanangseta lagi dan
berbisik dalam sebuah rengekan.
"Saya ditampar...." ia bagai mengadu.
"Aku tahu," jawab Lanang dengan tetap pada posisi semula. Ia tidak berpaling ke
arah Jaka Bego sedikit
pun. "Sakit...."
"O, iya. Tentu sakit," jawab Lanang masih tanpa
memandang sedikit pun ke arah Jaka Bego.
"Kok tidak dibela?"
"Aku sedang asyik menantikan saat penggantungan
Pak Lodang itu." Senyum sinis mekar di bibir Lanang.
"Warok itu akan kecele! Pak Lodang tidak akan mati digantung."
"Kok bisa?"
"Lihat saja...!"
Pada saat itu, Warok berseru kepada kedua penjaga
yang bertugas menarik bangku tempat berdiri Pak
Lodang. Jika bangku itu ditarik, maka seketika itu
tubuh Pak Lodang akan tergantung, lingkaran tali akan
mengencang dan mencekik lehernya.
"Gantung dia! Kerjakan!"
Maka betul juga dugaan orang-orang, kedua penjaga
itu menarik dan mendorong kursi itu satu arah. Kaki
Pak Lodang terlepas dari bangku dan... dan anehnya
tubuh Pak Lodang tidak bergerak turun seperti dugaan
mereka semua. Tubuh Pak Lodang masih tetap, seperti pada saat ia
masih berdiri di atas bangku tadi. sudah tentu, tali
gantungan tidak menjadi kencang, dan tidak menjerat
leher.. Semua mata terperanjat kaget. Semua orang terpekik
seketika, kecuali Lanangseta yang tetap tenang.
Sedangkan Pak Lodang sendiri masih berkedip-kedip
matanya, ia bagai berdiri pada satu penopang kaki.
Bahkan ketika kedua pengawal yang menarik bangku
tadi kini menarik-narik kaki Pak Lodang, ternyata orang tua yang digantung itu
kakinya masih tetap tak mau
turun. Masih mengambang pada tempatnya. Dua orang
pengawal menarik kuat-kuat sampai mukanya merah
dan ototnya keluar semua. Tetapi tubuh Pak Lodang
tetap mengambang seperti orang terbang. Bahkan
sampai-sampai kedua pengawal bertubuh besar itu
bergelantungan pada kaki Pak Lodang, namun tubuh
tua tanpa baju itu tetap tak bergerak sedikit pun.
Warok Sabuk Geni mulai naik pitam. Giginya
gemeratak menahan luapan kemarahan. Matanya
semakin merah, kedua tangannya mengepal kuat-kuat.
Semua orang-orangnya sibuk menarik-narik kaki Pak
Lodang, tapi tetap saja mereka tidak bisa menurunkan
tubuh Pak Lodang. Gumam orang-orang seperti seribu
lebah hendak bertelur. Hal itu menambah kegeraman
dan kemarahan Warok Sabuk Geni.
Jaka Bego tertawa kecil. "Syukur...!" katanya seperti orang tak sadar berbicara.
Eh, tahu-tahu penduduk yang menyaksikan hal itu
saling bersahutan dan berseru, "Syukur...! Syukur...!
Syukurin...!"
Mereka tak tahu kalau Lanangseta sudah pergi
meninggalkan kerumunan itu. Jaka Bego sendiri masih
tak sadar kalau dirinya sudah tidak di samping
Lanangseta. Jaka Bego semakin bersemangat
meneriakkan kata, "Syukurr...!" Suaranya cempreng dan paling keras kedengaran di
telinga ki Warok.
Kontan, Ki Warok menamparnya dengan kemarahan.
Jaka Bego ketakutan, ia berlari menerjang sekumpulan
orang di belakangnya.
"Tangkap anak ingusan itu!" perintah Ki Warok dengan suaranya yang menggelegar.
Maka, anak buahnya yang bertampang kasar semua itu segera
berlarian mengejar Jaka Bego. Anehnya, semua orang
jadi ikut berlarian tak karuan. Mereka ketakutan
sendiri, dan lari tunggang langgang, bersimpang siur
tak karuan sehingga memusingkan para pengejar Jaka
Bego. Ada yang saling berbenturan dan sama-sama
nyungsep ke tanah.
Di tiang gantungan tinggal Pak Lodang dan Warok
Sabuk Geni. Diam-diam Warok juga ikut mencoba
menarik kaki Pak Lodang, tapi tidak berhasil. Sekali lagi Ki Warok mengerahkan
tenaganya untuk menarik
tubuh Pak Lodang biar turun dan tercekik tali, tapi
sampai berulangkali ternyata tak berhasil. Warok takut ketahuan penduduk
lainnya, maka ia segera bersikap
biasa-biasa saja, seolah-olah tidak pernah mencoba
menarik kaki Pak Lodang. Sedangkan ketika Warok
berjalan menjauhi tiang gantungan, Pak Lodang
berteriak-teriak antara ketakutan dan kebingungan.
"Tolong...! Tolong nasib saya ini bagaimana" Kalau mau mati ya matilah kalau mau
selamat ya selamatlah...!"
Tapi tak seorang pun yang mendengar teriakan Pak
Lodang. Ia bagai dikatung-katungkan di sana, antara
hidup dan mati. Sedangkan hiruk-pikuknya penduduk
masih bersimpang siur mengacaukan para pengejar
Jaka Bego. Pada waktu itu, Jaka Bego sendiri lari tak
tentu arah. Sampai akhirnya ia pun tersudut di suatu
tempat, dan tiga orang kasar menghadang serta
mengepungnya. "Jangan! Jangan sentuh aku...! Aku bukan gadis...!"
teriak Jaka Bego. Ketiga orang kasar itu makin
mendekat. Jaka Bego segera memungut batu. Ia
melemparkan batu itu dengan kuat-kuat. "Wess...!"
Batu berhasil dihindari oleh salah seorang pengejarnya.
Namun di luar dugaan, batu itu meluncur terus, dan
mengenai tali gantungan. Herannya lagi, tali itu putus seketika, dan tubuh Pak
Lodang pun jatuh ke tanah. Ia
meringis kesakitan, karena pantatnya terbentur tanah
dengan keras. Pada saat itu, Jaka Bego sedang mencoba menerobos
kepungan pengejarnya. "Bross...!" Dan ia berhasil menerobos kepungan itu,
kemudian lari tak karuan
arahnya. Kadang berlindung di balik pohon, kadang lari memutari seorang pengejar
lain, sehingga pengejar itu
jadi pusing sendiri. Akhirnya berhenti, tidak mengikuti gerakan Jaka Bego. Tapi
pengejar lainnya masih
berusaha menangkap Jaka Bego. Anak itu cepat larinya,
dan licin dipegangnya bagai belut sawah. Bahkan ia
sempat berhenti sebentar menghadapi pengejar dari kiri dan kanan. Lalu, ia
segera merunduk ketika kedua
pengejar itu berusaha menubruknya. Akibatnya, kedua
pengejar itu saling bertabrakan dan jatuh semua.
Kepala mereka sempat benjol akibat benturan sesama
kepala. "Tawanan hilaaang...! Tawanan hilaaang...!" teriak Ki Warok dengan keras. Semua
anak buahnya terkejut,


Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhenti mengejar Jaka Bego. Hal itu digunakan oleh
Jaka Bego untuk bersembunyi di balik sebuah pohon
besar. Para anak buah Ki Warok berdatangan mendekati
atasannya. Warok Sabuk Geni kelihatan memuncak
kemarahannya. Matanya melebar dan nyaris wajah itu
seakan menjadi mata semua, hidung dan mulutnya
bagaikan tertutup lebarnya mata.
"Tawanan kita, Si Lodang... mana dia" Mana, ha"
Hilang kan" Hilang...! Goblok semua!" Warok Sabuk Geni memarahi anak buahnya
yang berkumpul. "Kita
bisa ganti digantung Kanjeng Adipati Legowo kalau
begini caranya! Brengsek!"
Kemudian, ada anak kecil usia kurang dari 10
tahun. Anak itu berlari mendekati Ki Warok, dengan
berani anak itu berkata, "Ki Warok... tadi saya lihat orang yang mau digantung
lari...." "Lari ke mana" Ke mana"!" bentak Warok tak sabar.
"Ke sana...! Jauh," jawab anak kecil itu.
"Kejar ke sana! Cepat!"
"Tidak mau, ah...!" kata anak kecil.
"Aku tidak memerintahkan kamu, Tikus Kecil! Aku
menyuruh anak buahku itu! Goblok...!"
Anak kecil itu tersentak kaget ketika dibentak
terakhir kalinya. Kemudian, semua anak buah Warok
Sabuk Geni berlarian ke arah yang ditunjuk anak kecil
itu. Warok Sabuk Geni ikut ke arah itu dengan berjalan cepat. Dan... keadaan pun
menjadi sepi. Orang-orang
kasar telah pergi bersama pimpinannya. Jaka Bego ke
luar dari persembunyiannya. Matanya jelalatan kian-ke
mari, rupanya ia mencari Lanangseta yang telah
meninggalkan dia. Lalu, pikirannya teringat pada kedai dan nasi serta dua potong
paha ayam goreng yang tadi
belum sempat dimakan Lanangseta. Ia segera
menghampiri kedai yang tadi, untuk mengambil bagian
makanan Lanangseta.
Ketika sampai di kedai yang tadi, Jaka Bego
terbengong, sebab Lanang sedang duduk di tempat
semula. Malahan kali ini ia ditemani Pak Lodang. Dua
potong paha ayam goreng itu sudah di tangan Pak
Lodang yang tampaknya kelaparan.
"Lho, Pak Lodang sudah di sini" Tadi dicari-cari
sama Ki Warok tuh...." tegur Jaka Bego seakan sudah mengenal Pak Lodang dengan
akrab. Kemudian Jaka
Bego bergegas pergi, namun Lanangseta sempat
menegurnya cepat, "Hei, mau ke mana kamu"!"
"Mau memberi tahu Ki Warok kalau Pak Lodang ada
di sini. Mereka mencarinya ke sana, dikira Pak Lodang
lari ke sana. Tidak tahunya...."
Pak Lodang ketakutan, sedangkan Lanangseta segera
mengancam dengan kata-kata, "Larilah ke sana dan
beritahukanlah kepada Ki Warok, kalau kakimu ingin
patah keduanya. Silahkan."
Jaka Bego bersungut-sungut, dan kembali
mendekati mereka. Ia duduk di dekat Pak Lodang yang
berhenti makan, karena takut dengan tindakan Jaka
Bego. "Kenapa tidak jadi memberitahu Ki Warok?" tanya
Lanang. Jaka Bego menggeleng sambil murung, "Saya
diancam!" "Sama siapa?"
"Sama orang gila." lalu ia menggerutu, "Kaki bagus-bagus mau dipatahkan."
Lanangseta hanya tersenyum sinis. Lalu, kembali
berbicara dengan Pak Lodang.
"Tenangkan hati Bapak di sini." Pak Lodang
mengangguk. Lanang bicara lagi, "Keserakahan dan
kelaliman yang ada di desa ini anggaplah suatu selingan hidup. Jangan terlalu
ditakuti."
"Kenapa Ki Warok menolak uang tebusan pajak itu"
Bukankah Pak Lodang dihukum gantung karena tidak
membayar pajak penghasilan sawah?"
Pak Lodang menjelaskan kepada Jaka Bego,
"Sebenarnya bukan karena tidak membayar pajak
semata yang membuat saya digantung. Ada persoalan
lain antara saya dengan Kanjeng Adipati Legowo."
Lanangseta dan Jaka Bego saling pandang dan
manggut-manggut. Mereka mulai jelas apa sebenarnya
yang sedang terjadi di hadapan mereka.
"Persoalan apa itu, Pak Lodang?" tanya Lanangseta.
"Bukan karena pajak yang tak mau saya bayar,
melainkan karena Mahani, anak gadis saya yang tinggal
seorang itu," jawab Pak Lodang dengan menampakkan kemurungannya.
"Ooo... Jadi, Pak Lodang punya anak gadis"
Namanya Makroni...?" Jaka Bego menimpali, dan segera disergah Lanangseta.
"Hei, bukan Makroni. Namanya Mahani...! Budeg!"
"O, namanya tidak jadi Makroni" Siapa tadi..."
Mahani?" "Ya," jawab Pak Lodang setelah meneguk air minum.
"Dulu saya punya tiga anak, yang dua lelaki. Tapi nasib
mereka mati di tangan anak buah Warok Sabuk Geni.
Dan sekarang tinggal satu, perempuan. Mahani itu. Dia
akan diambil istri oleh Adipati Legowo, tepatnya akan
dijadikan gundiknya yang ke lima belas. Dan kami
sangat tidak setuju, kemudian kami menyembunyikan
Mahani demi keselamatan dirinya, demi masa depannya
juga." "Dan karena itu Pak Lodang dihukum mati?" sela Lanang.
Pak Lodang yang berwajah duka mengangguk.
Mengharukan sekali. Lanangseta menghela nafas,
demikian juga Jaka Bego yang dari tadi diam, bengong
melompong mendengarkan kisah Pak Lodang.
"Buat saya, lebih baik saya mati daripada hidup
Mahani hancur berkeping-keping."
"Sekarang di mana dia?"
"Ada dalam persembunyian. Kalau... kalau Ki Sanak tidak keberatan, saya mohon
diantar sampai di tempat
persembunyian kami...."
"O, tidak. Tidak keberatan sedikit pun," jawab Jaka Bego. Lalu. Lanang pun
mengangguk. "Ya, rupanya Jaka Bego itu bersedia mengantar Pak Lodang ke tempat
persembunyian, sementara itu saya
akan di sini sampai sementara waktu."
"Wah, kok saya...." ujar Jaka Bego.
"Yang bilang tidak keberatan kan kamu."
"Iya, maksudku... sekalian sama sampean...! Kalau saya sendirian, wah... ngeri.
Nanti di jalan kepergok Ki Warok, bisa ditampar dua kali lebih saya...."
"O, begitu" Kukira kau memang pemberani," ujar Lanang.
Pak Lodang membawa Lanangseta dan Jaka Bego ke
rumahnya. Tetapi mereka datang lewat jalan belakang,
karena takut di depan rumah sudah dijaga anak buah
Warok Sabuk Geni. Di belakang rumah itu, yang
agaknya berukuran lebar dengan bentuk bangunan
tergolong mewah, ada sebuah sumur tua yang sudah
tidak dipakai. Permukaan sumur itu ditutup oleh
dedaunan kering sehingga tampak kurang menarik. Pak
Lodang membuka dedaunan kering itu sehingga lobang
sumur terlihat jelas. Kotor dan lembab.
"Kita masuk lewat sini," kata Pak Lodang.
Jaka Bego terbelalak. "Kita disuruh bunuh diri?"
"Tidak, Jaka Bego... Ini jalan menuju persembunyian Mahani dan istri saya."
"Ooo...." Jaka Bego manggut-manggut.
"Mari, ikuti saya. Kita jangan sampai terlambat.
Takutnya kalau anak buah Ki Warok ada yang
melihatnya...."
Kemudian Pak Lodang menuruni tangga batu yang
menuju ke dasar sumur. Lanang memberikan
kesempatan kepada Jaka Bego untuk turun lebih dulu
setelah Pak Lodang.
"Aku takut tergelincir. Sumur ini biar tua tapi masih berair. Dan airnya kotor.
Saya tak bisa menyelam."
"Kalau begitu, kau tunggu saja di atas sampai aku dan Pak Lodang selesai
berbicara."
"Nanti kalau anak buah Ki Warok mengetahui aku di sini, terus bagaimana" Ah,
lebih baik aku turun saja
daripada ditampar lagi...." katanya seraya Jaka Bego pun ikut turun dengan hatihati. Rupanya mereka tidak harus menyelam di air
sumur. Sebelum mereka sampai pada permukaan air
sumur, mereka sudah harus masuk ke sebuah lobang
besar yang menembus dinding sumur. Ternyata itu
adalah pintu yang membawa mereka ke ruangan
rahasia di dasar sumur. Ruangan itu cukup luas, dan
agaknya dibangun dalam waktu lama. Mungkin sudah
dipersiapkan jauh-jauh hari. Ada meja dan kursi, ada
dipan berkasur, ada almari pakaian model kuno dan
ada barang-barang berharga atau perabot lainnya yang
menandakan bahwa ruangan rahasia itu dibangun
sudah sejak lama. Dipersiapkan khusus untuk
bersembunyi. Di situ ada tiga orang perempuan. Istri Pak Lodang
adalah perempuan berkebaya biru kusam, sedangkan
gadis yang bernama Mahani itu mungkin yang
mengenakan kain dodot sebatas dada yang dirangkapi
kebaya tipis. Mereka berdua sedang memeluk Pak
Lodang dalam tangis keharuan. Sedangkan seorang
perempuan lain, bertubuh pendek dan mengenakan
kain sedengkul serta kebaya lusuh itu, mungkin
pembantu keluarga Lodang.
Lampu minyak dan obor cukup menerangi ruangan
tersebut. Mata Jaka Bego menyapu ruangan itu dengan
terheran-heran.
"Seperti sarang penyamun saja, ya?" bisik Jaka Bego, tapi tidak ditanggapi
Lanangseta. Kemudian Lanangseta diperkenalkan dengan istri
dan anak gadis Pak Lodang: Mahani. Belakangan
kemudian diketahui bahwa perempuan berkain
sedengkul dengan kebaya lusuh itu adalah pelayan Pak
Lodang, yang khususnya melayani Mahani.
Jaka Bego bersalaman dengan istri Pak Lodang dan
Genduk, pelayan itu, secara cepat. Sedangkan waktu
bersalaman dengan Mahani sengaja diperlama. Bahkan
ia sempat cengar-cengir seraya meremat-remat jari
tangan yang lentik itu. Mahani meringis kesakitan,
Lanangseta menepak punggung Jaka Bego, kemudian
Jaka Bego melepaskan jabat tangannya itu.
Gadis bernama Mahani mempunyai bulu mata yang
lentik. Matanya sedikit lebar, namun kelihatan serasi
dengan bentuk hidungnya yang bangir. Mata itu
sesekali mencuri pandang dengan takut-takut ke arah
Lanangseta. Rambutnya yang terurai sepanjang
pinggang itu tampak indah. Hitam legam dan lemas.
Berkilau bagai permata hitam. Sesekali pula ia
membetulkan letak kebaya tipisnya agar tak kelihatan
bentuk belahan dadanya yang membusung padat itu. Ia
duduk di ujung meja, sementara Lanangseta duduk di
ujung meja yang satu, sehingga tak sengaja mereka
telah duduk saling berhadapan. Gadis berkulit sawo
matang dengan wajah desa yang lugu tapi manis itu
sesekali menghela nafas, entah ada perasaan apa yang
membuat nafasnya kelihatan sesak dan berat dihela.
Sedangkan Lanangseta yang mengetahui gerakan mata
indah itu, hanya diam saja. Lanangseta sengaja
bersikap tenang, seakan tidak menghiraukan gadis
manis itu. Ia berlagak lebih serius mengikuti
pembicaraan Pak Lodang yang menuturkan kisah
keluarganya dari sejak beberapa tahun lalu.
"Kami sebenarnya dari keluarga Adipati," kilah Pak Lodang yang membuat Jaka Bego
berbengong-bengong.
"Kakek kami adalah Raden Mas Panji Gading. Pada
masa itu, Kadipaten Branjangan Wilis ini diperintah
oleh beliau. Namun beberapa tahun kemudian, Legowo
muncul dan merebut tahta Kadipaten dengan
menghasut rakyat dan raja. Mungkin hal itu dilakukan
oleh Legowo untuk membalas dendam atas hukuman
Kaki Tiga Menjangan 8 Walet Emas Perak Karya Khu Lung Dendam Empu Bharada 3

Cari Blog Ini