Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan Bagian 1
MISTERI SEPASANG PEDANG SETAN Oleh D. Affandy
? Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Misteri Sepasang Pedang Setan
1 Dengan ilmu mengentengi tubuh yang
sangat sempurna, mereka mulai mengepung
rumah besar itu dari segala penjuru. Di dalam terlihat terang benderang, tanda
bahwa semua penghuninya belum tidur semua. Seseorang dari pengintai itu, yang bertubuh agak
besar, mendekati seorang laki-laki berusia ti-ga puluh tahun. Tubuhnya sedang
dan wa- jahnya selalu berkerut.
"Ketua, apakah akan kita masuki saat
ini juga?" tanyanya menunggu perintah.
Orang itu diam sejenak dan kembali memperhatikan rumah itu. Beberapa saat kemudian
dia mengangguk pasti. Orang bertubuh besar
itu cepat bergerak memberi komando pada
beberapa orang kawannya. Tak berapa lama
terlihat beberapa orang yang memakai baju
hitam dengan lambing tengkorak di punggungnya, meloncat dari cabang-cabang pohon
serta dari balik semak-semak. Dengan mengendap-endap mereka melompati pagar. Lima
penjaga tersentak kaget. Seseorang membentak sambil membawa obor menerangi tempat
yang dicurigainya.
"Siapa itu"!"
Tak ada sahutan. Dia coba menegaskan sambil mendekati tepi pagar. Keempat
kawannya memperhatikan dari gardu mereka
dengan seksama.
"Aaaaaakh...!"
Orang yang membawa obor itu tiba-tiba
keluarkan jerit kematian. Tubuhnya limbung,
dan kemudian ambruk dengan leher hampir
putus. Melihat itu, tentu saja keempat kawannya cepat bergerak dan menghunus golok
masing-masing dan bersiaga menghadapi kemungkinan. Salah seorang diantara mereka
yang bertubuh besar dan bercambang bawuk,
keluarkan suara mengancam.
"Anjing-anjing geladak! Perlihatkan cecongor kalian ke sini biar bisa kuhadiahkan
kepalamu untuk Kanjeng Raden Nugraha Wisesa, karena kalian begitu lancang memasuki
rumah kediamannya!"
"Hi... hi... hi... hi...!" Terdengar ketawa mengikik tanpa ujud, dari kegelapan cabang
pohon yang tak jauh dari rumah ini. "Berani betul kau mengatai kami sebagai
anjing. Ju-lukan itu lebih tepat buatmu. Bukankah kalian yang menjaga di sini gunanya seperti anjing-anjing kelaparan yang bisanya
cuma me- nangkap seekor maling kelas teri"! He., he.,
he...! Lebih baik kalian gorok leher sendiri sebelum aku yang akan
menggoroknya!"
"Buangsaaaat...! Apa kamu pikir si
Alap-Alap Golok Terbang keder menghadapimu!" bentak orang yang bercambang bawuk
itu. "Keluarlah kau dan tunjukkan cecongor-mu!" "Ha... ha... ha... ha....! Jadi
engkau orang yang punya nama Alap-Alap Golok Terbang?" "Kalau sudah tahu, kenapa
tak cepat- cepat kabur"!"
"Ha... ha... ha... ha....!" Suara itu per-dengarkan suara halus yang lebih
panjang. Selesai ketawanya, tiba melesat beberapa
bayangan yang langsung menyerang keempat
penjaga itu. Masih untung keempat orang itu
telah siap, jadi mereka bisa langsung berkelit atau menangkis. Seorang diantara
mereka malah langsung balas menyerang.
"Ingin kulihat kemampuan si Alap-alap
Golok Terbang menghadapi murid-murid Perguruan Tengkorak Hitam tingkat ketiga!" lanjut suara itu lagi dengan suara yang
meman- dang rendah pada orang bercambang bawuk
itu. Direndahkan begitu, bukan main marahnya si Alap-Alap Golok Terbang yang bernama
Gondo Suramangun. Dengan cepat dicabutnya senjata yang berupa golok se-panjang dua
depa. Bagian atasnya nampak melebar dan
tajam mengkilat. Sepasang matanya liar dan
menatap bengis pada dua orang lawan yang
mengurungnya. Dengan teriakan keras, dia
mulai mainkan jurus Membelah Kayu Mencongkel Akar, yang merupakan jurus terdahsyat yang dimilikinya. Agaknya orang ini ingin membuktikan bahwa dirinya tak
bisa dipan-dang enteng begitu saja, dengan niat menjatuhkan dua orang penyerang yang mengaku
sebagai murid-murid Perguruan Tengkorak
Hitam. "Ciaaaat!"
"Trang! Trang!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan sebat, golok di tangan Gondo
Suramangun memapaki ayunan pedang lawan. Terlihat bunga api di malam yang kelam
ini. Namun alangkah kagetnya orang bercambang bawuk ini saat dia baru saja jejakkan kaki, terdengar jerit kematian. Ketika melihat, ternyata dua orang kawannya
tewas dengan leher hampir putus. Seorang lagi
nampak sedang terdesak hebat menghadapi
tiga orang pengeroyoknya. Dengan geram dan
gigi bergemeletuk, dia babatkan golok pada
lawan. Tapi dua orang pengeroyoknya itu bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar
ilmu silat. Meski mereka hanya murid-murid
tingkat tiga, tapi siapa yang tak kenal dengan Perguruan Tengkorak Hitam" Selain
ganas dan kejam, mereka juga terkenal dengan ilmu
pedangnya yang lihai dan jarang ketemu bandingnya. Sudah barang tentu hal ini sangat
menyulitkan Gondo Suramangun. Meski telah
kerahkan segenap kemampuan untuk cepatcepat membereskan lawan, tapi akhirnya malah dia sendiri yang pelan-pelan terdesak hebat. "Kurang ajar!" makinya saat ujung pedang salah seorang lawan nyaris memotes
le- hernya. Masih untung dia cepat memapaki.
Tapi tangannya kesemutan saat senjata mereka beradu. Dari situ saja sebenarnya dia telah mengetahui bahwa tenaga dalam
lawan setingkat lebih tinggi. Bagaimana mungkin
dia bisa mengalahkan kedua orang ini" Diamdiam orang bertubuh besar itu mengeluh di
hati. Serangan lawan dirasa semakin berat.
Satu serangan yang menusuk ke jantung berhasil dielakkannya. Namun yang seorang lagi
dengan cepat membabat pinggang.
"Trang!"
"Cras! Cras!"
"Wuaaaa...!!"
Gondo Suramangun coba memapaki,
namun alangkah kagetnya orang itu saat lawan yang seorang lagi sabetkan pedang ke
leher. Dengan mati-matian dia berusaha
mengelak. Namun tak urung, ujung pedang
lawan berhasil merobek lehernya sedalam tiga
senti. Kontan saja orang bercambang bawuk
itu menjerit kesakitan sambil pegangi lehernya. Belum lagi sempat menguasai diri, lawan
telah kembali ayunkan pedang, dan... cras!
Dalam sekali tebas, kedua pergelangan tangan dan batang lehernya putus seketika.
Orang itu tak sempat lagi keluarkan suara.
Tubuhnya limbung sesaat, kemudian ambruk tanpa bergerak lagi. Tanpa membuang
waktu, orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam itu menyerbu ke dalam setelah bersamaan dengan itu salah seorang kawannya si
Alap-Alap Golok Terbang yang tinggal seorang, dibuat mampus dengan leher putus.
"Berhenti...!" teriak seseorang yang berdiri di ambang pintu depan yang terkuak
pelan-pelan. Nampak seraut wajah berwibawa
dengan pakaian bagus layaknya seorang
bangsawan di jaman ini. Usianya sekitar tiga
puluh tahun. Sorot matanya tajam menatap
pada beberapa orang yang membawa-bawa
pedang di hadapannya pada jarak dua tembok. Orang-orang itu tertegun untuk beberapa saat. Bangsawan yang tak lain dari tuan
rumah yang bernama Nugraha Wisesa, lanjutkan ucapannya.
"Hemm, ternyata kalian orang-orang
Tengkorak Hitam. Ada keperluan apa malammalam begini menyambangi kediamanku dan
membuat onar?"
Salah seorang diantara mereka maju
dua langkah sambil hunuskan pedang. "Eng-kaukah yang bernama Nugraha Wisesa"!"
tanyanya sinis.
"Betul!"
"Bagus! Serahkan Sepasang Pedang Setan itu pada kami!"
"Pedang Setan?" Laki-laki berpakaian mewah itu kernyitkan dahi begitu mendengar
permintaan mereka. "Maaf, kisanak. Mungkin kalian salah alamat. Aku sama sekali
tak ta-hu menahu tentang pedang yang kau sebut
itu." "Jangan berpura-pura! Kau tahu betul tentang benda itu. Kakekmu,
Tumenggung Gandasena pernah menyimpan sepasang senjata itu. Masakan kau sebagai keturunannya
tak tahu menahu... Mustahil!"
"Kisanak, aku berkata yang sesungguhnya. Aku sama sekali tak tahu menahu
tentang senjata yang kau sebutkan tadi," sahut Raden Nugraha Wisesa masih
menahan sabar. "Ha... ha... ha... ha...! Apa yang kau katakan tak salah!" sahut satu
suara diiringi tawa yang menyeramkan. Saat itu juga melayang seorang bertubuh
sedang dari atas sebuah cabang pohon. Dia berdiri persis di hadapan pemilik rumah itu pada jarak satu
tombak. Wajahnya menyeramkan dengan sorot mata tajam. Meskipun sudah tertawa, tak
terlihat sedikitpun keramahan di wajahnya
itu. "Mungkin kau tak tahu menahu tentang sepasang senjata itu," lanjut orang itu,
"Tapi di sinilah letak muslihat yang dijalankan kakekmu itu. Dia sengaja memilih
eng- kau yang menyembunyikan Pedang Setan
agar orang-orang persilatan tak mencurigainya. Siapa yang tak mengenal Raden Nugraha Wisesa sebagai orang yang lemah lembut dan selalu menggeluti kesusteraan" Berbeda betul dengan kakek atau ayahmu si Arya
Sena itu. Mereka adalah orang-orang kerajaan
yang kasar dan perkasa. Setelah mereka tewas dalam peperangan, siapa lagi yang akan
mewarisi pedang itu kalau bukan engkau!"
"Kisanak, siapakah engkau ini" Kenapa
engkau begitu mengenal kakek dan ayahku?"
tanya Raden Nugraha Wisesa heran. Orang
itu tergelak sambil bertolak pinggang.
"Masakan engkau tak mengenal pamanmu sendiri" Bisa jadi si Arya Sena malu
menceritakannya. Tapi baiklah akan kuterangkan siapa aku sebenarnya! Namaku Suryudana" Dan ibuku adalah selir kakekmu
yang paling muda. Jadi antara aku dan
ayahmu ada pertalian saudara meski cuma
saudara tiri. Dengan begitu engkau masih
terhitung keponakanku."
"Ah, maafkanlah atas kelancanganku,
paman," sahut Raden Nugraha Wisesa sambil menjura hormat. "Memang benar. Ayah
tak pernah menceritakan tentang paman sedikitpun." "Sudahlah. Aku tahu betul tentang watak ayahmu. Dia sangat membenciku.
Tapi aku tak bisa berlama-lama, Nugraha. Kau sudah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"
"Apakah tentang Pedang Setan itu, paman?" "Betul!"
"Ah, sayang sekali. Aku sungguhsungguh tak mengetahuinya sedikitpun. Mengapa tak percaya juga?" sahut. Raden Nugraha Wisesa dengan suara lunak. Tapi
Duryu- dana agaknya brangasan dan mulai hilang
kesabarannya. Dengan suara yang agak ke
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ras, dia kembali berkata.
"Nugraha, jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu padaku. Katakan di mana
pedang itu berada dan aku akan segera pergi
dan tak akan mengganggu di sini lagi!"
Mendengar ucapan orang itu, tentu saja Nugraha Wisesa jadi merasa kurang senang. Kalaupun tadi dia mengakui begitu saja
orang ini sebagai paman tanpa selidik lebih
dulu, itu karena dia tak mau membuat masalah yang lebih panjang. Dengan diakuinya
orang ini sebagai paman, siapa tahu dia mau
urungkan niat jahatnya. Namun diperlakukan
begitu, tentu saja dia tak bisa terima. Masih dengan suara lunak, namun
mengandung ke-tegasan, dia menjawab.
"Paman, sekali lagi kutekankan pula
padamu, bahwa aku sama sekali tak tahu
menahu tentang pedang yang kau cari itu!
Maaf, aku tak bisa membantumu. Kalau kau
datang untuk bersilaturahmi, tentu aku akan
senang sekali. Tapi kalau kau datang untuk
mencari keributan, aku tak punya waktu meladeninya. Lagipula hari telah terlalu malam,"
sahut Raden Nugraha.
Tentu saja diperlakukan begitu amarah
Duryudana semakin memuncak. Lebih-lebih
saat dilihatnya tuan rumah bersiap-siap putar tubuh dan akan menutup pintu.
Dengan berang dan sekali tendang, daun pintu rumah
itu hancur ditendangnya. Dengus nafasnya
semakin kencang. Rahangnya bergemeletukan
menahan geram. Sepasang matanya menatap
tajam pada tuan rumah yang tersentak kaget
karena perbuatannya. Beberapa orang anak
buahnya telah siap dengan pedang terhunus
sambil mendekat pelan.
"Aku masih berlaku sabar padamu,
Nugraha. Katakan di mana pedang itu berada,
nyawa keluargamu pasti kuampuni. Tapi kalau kau membandel dan pura-pura tak tahu,
kau tahu sendiri akibatnya!" kata Suryudana sambil menjambak rambut Raden
Nugraha dan menyorongkannya ke salah satu pilar.
Dengan keras dihantamkannya batok kepala
itu hingga laki-laki bangsawan itu menjerit
kesakitan manakala darah mulai mengucur
dari batok kepalanya.
Pada saat itu, sekonyong-konyong keluar seorang perempuan berusia sekitar dua
puluh lima tahun dari salah sebuah kamar.
Wajahnya cantik jelita, rambutnya ikal
mayang. Dalam pangkuannya terdapat seorang bayi berusia sekitar enam bulan. Wajahnya terlihat pias dan jeritnya tak terbendung manakala dilihatnya Raden Nugraha
menjerit-jerit kesakitan.
"Kangmas....!!"
Raden Nugraha menatap lesu saat perempuan itu berlari mendekatinya. Tapi dia
berusaha memperingati dengan sekuat tenaga
yang dimilikinya.
"Ratiiiih, cepat selamatkan dirimu!
Jangan dekat-dekat ke sini! Ayo, selamatkan
dirimu! Jangan hiraukan aku!!"
Belum lagi sempat perempuan itu berpikir lebih lanjut, salah seorang murid Tengkorak Hitam telah melesat dan menyambar
tubuhnya sambil terkekeh pelan. Suryudana
hanya mendengus sambil memberi isyarat
pada anak buahnya itu.
"Jaga dia baik-baik dan yang lain, geledah seluruh isi rumah ini!"
"Baik, ketua!" sahut mereka. Suryuda-na kembali mendengus sinis pada Raden Nugraha. "Nah, kau lihat bukan" Aku bisa berbuat apa saja kalau kau tak menurut. Kau
masih punya istri yang cantik dan seorang
bayi. Kalau kau sayang jiwamu dan jiwa keluargamu, katakan di mana pedang itu berada. Kalau tidak, kau akan melihat mereka
mati satu persatu di hadapanmu!"
"Cuih! Bedebah! Meskipun aku tahu di
mana benda itu berada, tak nanti kau akan
kuberitahu!" meludah Raden Nugraha dan tepat mengenai Suryudana. Bukan main
kalap- nya orang itu. Lutut kanannya segera terayun
ke perut Raden Nugraha dengan keras. Lakilaki bangsawan itu menjerit setinggi langit.
Dari mulutnya muncrat darah segar.
Perempuan yang tak lain dari istrinya
itu kembali menjerit ketakutan dengan wajah
panik. Namun seorang murid Tengkorak Hitam yang memegangnya, memperkuat cekalan
ketika perempuan itu berusaha berontak.
"Jahanam keparat! Lepaskan istriku!"
maki Raden Nugraha. Suryudana tersenyum
sinis sambil melirik perempuan itu.
"Istrimu cantik juga, Nugraha..." katanya tersenyum sinis sambil mendekat dan
melepas jenggutannya di rambut laki-laki itu.
"Alangkah manisnya kalau dia ikut dengan-ku..." "Keparat! Hentikan niat busukmu
itu!" maki Raden Nugraha sambil menerjang ketua
Perguruan Tengkorak Hitam dengan kalap.
Tapi apalah dayanya. Laki-laki itu sama sekali tak mengerti ilmu silat. Sekali
Suryudana mendengar desir angin serangan, dia berkelit
dengan mudah. Kaki kanannya menggaet kaki
lawan. Tak ampun lagi, Raden Nugraha tersungkur dengan dagu menghantam lantai
rumahnya yang terbuat dari marmer keras.
Darah mengucur deras dari dagunya yang robek. Dia berusaha bangkit, namun kaki kanan Suryudana lebih cepat lagi menginjak
punggungnya. "Yang aku inginkan hanya sepasang
pedang itu, Nugraha. Tapi karena kau menutup-nutupinya, terpaksa aku menginginkan
segalanya. Termasuk istrimu yang cantik ini!"
kata Suryudana dengan senyum sinis. Sekali
dia memberi isyarat, anak buahnya itu mendorong tubuh perempuan itu setelah terlebih
dulu merenggut bayi dalam momongannya.
Karuan saja, bocah yang belum lagi berusia
setahun itu menjerit keras. Istri Raden Nugraha berusaha menyambarnya. Tapi Suryudana lebih cepat lagi bergerak memeluk perempuan itu dan mencumbuinya di depan
mata Raden Nugraha. Laki-laki itu memaki
garang. Teriakan-teriakan bayi serta istrinya yang ketakutan, seolah memberi
semangat untuknya. Dengan menggeram buas, dia berusaha bangkit.
"Bukk!"
"Aaaaakh...!"
Seorang anak buah Tengkorak Hitam
langsung menghajar dadanya dengan ujung
kaki. Laki-laki itu terjerembab sejauh satu
tombak. Ubun-ubun kepalanya membentur
tembok. Untuk sesaat Raden Nugraha tak bisa berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berat
dan darah menetes dari luka akibat benturan
yang dilakukan Suryudana tadi sebelumnya.
Samar-samar dia melihat istrinya diseret dengan paksa ke kamar yang pintunya sengaja
dibuka hingga mampu dilihatnya. Darah lakilaki itu semakin mendidih menahan amarah.
Dia berusaha bangkit saat pandangannya melihat istrinya sedang digeluti oleh ketua Perguruan Tengkorak Hitam itu. Namun
baru sa- ja dia mendongakkan kepala, satu tendangan
kembali menghajar wajahnya. Laki-laki bangsawan itu menjerit keras menahan sakit. Tapi
lebih sakit lagi hatinya mendengar istrinya
berteriak-teriak ketakutan tanpa daya.
Tapi bagai tak merasakan sakit yang
dideritanya, Raden Nugraha terus mencoba
melawan. Akibatnya sungguh sangat parah.
Beberapa orang anggota Tengkorak Hitam
yang telah melaporkan bahwa mereka tak
menemukan apa-apa di rumah ini, bertindak
beringas kepadanya akibat kemarahan Suryudana yang merasa niatnya mencari sepasang Pedang Setan itu tak ketemu. Ketua
Tengkorak Hitam itu memaki-maki habishabisan pada anak buahnya.
"Pergi cari lagi dan biarkan laki-laki itu merangkak-rangkak ke sini untuk
menolong istrinya!"
"Baik, ketua!" sahut mereka serentak.
Anak buahnya segera mengerti maksud ketua
mereka. Dengan sadis mereka membuat Raden Nugraha tak berdaya. Kedua kakinya dibuntungi, punggung ditendang berkali-kali
hingga beberapa tulangnya hancur. Wajahnya
dipermak habis-habisan. Setelah puas dan
merasa bahwa laki-laki bangsawan itu tak
mempunyai daya lagi, mereka meninggalkannya begitu saja. Raden Nugraha berusaha
bangkit sambil merangkak-rangkak mendekati Suryudana yang masih saja menggeluti istrinya yang telah dibuatnya tak berdaya setelah ditotok urat geraknya.
"Sekarang kau bisa merasakan akibat
kebandelanmu sendiri, Nugraha. Mestinya
aku tak memperlakukan kau begini rupa asal
kau sudi menunjukkan padaku, di mana Pedang Setan itu berada. Tapi tak apalah. Hitung-hitung dendamku terhadap keluarga kalian akan terbalas hari ini. Betapa ayahmu
sangat menghina padaku karena ibuku hanya
seorang selir dari kakekmu. Ayahmu memandang dan memperlakukanku bagai seekor
anjing. Kau dapat rasakan hal itu. Saat itu
aku tak berdaya, persis keadaanmu sekarang
ini. Kurasa kaupun tahu hal itu sebab usia
kita tak jauh berbeda. Nah, sekarang rasakanlah bagaimana aku merasakannya tempo
hari!" kata Suryudana sambil tergelak-gelak dan mencumbu perempuan itu dengan
seringai buas. Perempuan itu berteriak-teriak ketakutan sambil memaki-maki. Tapi mana mau
Suryudana melepaskan begitu saja. Apalagi
saat nafsu iblisnya mulai memuncak tatkala
pakaian perempuan itu mulai tak karuan diacak-acaknya. Tersingkaplah daerah-daerah
terlarang di bagian dadanya yang halus dan
montok. Darah Suryudana seolah mengalir
kencang dan tak beraturan. Dengan menggeram hebat, dia melucuti seluruh pakaian perempuan itu tanpa sisa. Setelah itu, dia sendiri membuka pakaiannya dengan terburuburu. Raden Nugraha tak kuat melihat pemandangan yang berada di depan matanya
itu. Dia berusaha bangkit, tapi untuk bergerak pun terasa sakit luar biasa. Kepalanya
tertunduk lesu manakala telinganya mendengar teriakan-teriakan istrinya yang akhirnya
mulai hilang dan berganti dengan dengus nafas Suryudana yang memburu bagai orang
berlari. Pandangannya pun mulai mengabur.
Ingatannya melayang entah ke mana. Suarasuara itu semakin samar di telinga, dan tibatiba terasa rumahnya panas bagai dikelilingi
api yang berkobar-kobar dengan hebat.
Apa yang dirasakan oleh laki-laki itu
ternyata tak salah. Setelah puas melampiaskan nafsu iblisnya, rupanya dendam kesumat Suryudana belum tuntas. Setelah pedang yang dicarinya tak diperoleh, dia memerintahkan anak buahnya untuk membakar
seluruh gedung ini berikut penghuninya.
Termasuk di dalamnya bayi yang belum berusia setahun itu. Raden Nughraha tak mampu
berbuat apa-apa. Selain tubuhnya yang terluka parah, diapun pingsan saat itu. Apalagi istrinya yang menderita tekanan batin
akibat perbuatan Suryudana. Saat itu juga tak sadarkan diri. Tinggallah bayi itu yang terus
menjerit ketakutan melihat kobaran api dan
kepanasan yang amat sangat.
Suryudana tergelak puas dan tinggalkan tempat itu seketika sambil berkelebat cepat. Tanpa sepengetahuannya, seseorang berkelebat ke dalam rumah yang sedang diamuk
api tadi dan menyambar tubuh bayi yang tergeletak di ranjang dan membawanya kabur
entah ke mana. Tepat saat itu, terdengar derak kayu dan genteng-genteng rumah yang jatuh. Rumah itu roboh beberapa saat kemudian dan mengubur dua orang penghuninya
saat itu juga. 2 Sesosok tubuh itu terus berlari dan
berlari dengan lincahnya sambil mengerahkan
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu mengentengi tubuh yang telah mencapai
tingkat sempurna. Kedua tangannya tampak
memomong seorang bocah yang berusia kurang dari setahun. Kalau melihat raut wajahnya di kegelapan itu, agak kurang jelas. Yang pasti dia memiliki tubuh ramping
agak tinggi dan berambut panjang dengan pengikat kepala. Tubuh itu terus berlari hingga mendekati kaki Gunung Sumbing. Dia berhenti sejenak sambil mengatur nafas. Wajahnya mendongak ke atas pada tebing-tebing terjal. Lalu dengan sekali genjotkan tubuh,
dia telah me- lesat seringan kapas dan berloncat-loncatan
melalui batu-batu yang menonjol di tebingtebing itu. Kira-kira sepeminuman teh sampailah sesosok tubuh itu pada sebuah dataran yang agak luas. Bertepatan dengan fajar
yang mulai tiba. Dia berlari-lari kecil mendekati sebuah pondok yang tak jauh
dari situ sambil berteriak-teriak memanggil seseorang
dari dalamnya. "Eyang...! Eyang...! Cepatlah keluar dan lihat apa yang kubawa ini!"
"Ulah apa lagi yang kau buat saat ini"
Apakah kau telah memenggal kepala penjahat
ternama?" Terdengar sahutan dari dalam
pondok tanpa orangnya keluar.
"Ayolah, Eyang...! Apakah kau tak berminat melihatnya?" sahut suara itu manja.
"Ya, ya! Aku mendengar tangis bayi.
Tapi dari mana kau dapatkan anak itu?"
"Bukan mendapatkannya, malah aku
menyelamatkannya!" Tubuh itu masuk dengan cepat ke dalam pondok. Di dalamnya tak
terlalu luas. Dua buah kamar tidur dan ruangan yang menembus ke dapur. Dindingnya
terbuat dari tepas dan beratap daun nira. Di
ruang depan terlihat seorang berusia sekitar
delapan puluh tahun sedang duduk bersila di
atas bale-bale. Kepalanya yang botak ditutupi oleh sorban putih. Janggutnya
panjang seda-da dan telah memutih. Wajahnya masih kelihatan bersih meski kerut merut telah nyata di sana sini. Wajahnya membiaskan
kekerasan, namun ada wibawa yang dipancarkan.
Sesosok tubuh itu yang kini mulai nyata ditimpa cahaya obor di ruangan itu ternyata seorang gadis jelita berusia sekitar duapuluh enam tahun. Dia segera memberi
hormat setelah meletakkan bayi itu di dekat si orang tua. "Roro Ningrum, dari mana saja
kau sejak subuh dan kembali subuh pula"!" tanya orang tua itu pelan namun
mengandung kete-gasan dan ancaman
"Ti... tidak dari mana-mana, Eyang,"
sahut gadis itu kecut. "Aku... aku hanya merasa kesepian di sini terus. Apakah
salah se- sekali turun gunung untuk berbaur dengan
dunia ramai?"
Mendengar jawaban itu, si orang tua
terdiam sejenak. Suaranya berubah lunak
dengan nada membujuk.
"Roro, sudah berapa kali Eyang katakan. Dunia ramai itu tak cocok untuk mu. Di
sana banyak kekejaman yang se-waktu-waktu
dapat merenggut jiwamu..."
"Eyang, duapuluh enam tahun aku berada di sini, apakah itu bukan suatu bukti
bahwa aku cukup bersabar diri dalam kesepian" Terkadang aku butuh kawan untuk
bercerita dan bercanda. Tapi hanya dengan
burung dan angin saja aku bisa bicara dan
mengadu. Salahkah bila aku bertemu dengan
orang-orang ramai, lalu bergaul dan berbuat
sesuatu yang bisa membantu mereka" Aku
sudah cukup besar untuk menjaga diri. Semua petuah Eyang rasanya tak pernah lupa
di benakku. Lalu apa lagi yang Eyang khawatirkan?" Orang tua itu hela nafas. Untuk sesaat
dia tak tahu apa yang harus dikatakannya.
Apa yang diucapkan gadis itu tak salah. Selama ini dia terlalu khawatir bila gadis itu turun gunung dan berbaur di dunia
ramai. Me- nurutnya dunia ramai itu penuh dengan tipu
muslihat dan kecurangan. Dia tak mau cicit
satu-satunya itu menjadi korban dari kelicikan orang-orang. Lebih-lebih saat kedua
orang tua gadis ini meninggal juga akibat dari kelicikan, semakin membuatnya
bertambah was-was. Karena tak mau lagi menyinggung tentang hal itu, si orang tua mengalihkan pembicaraan pada persoalan bayi itu. Roro Ningrum
pun menceritakan persoalan yang diketahuinya. Orang tua itu manggut-manggut.
"Maaf, Eyang. Aku patuh pada nasehat
Eyang, tapi kadang-kadang juga ada niat untuk berontak. Maka Eyang angkatlah bayi ini
kelak menjadi murid agar aku memiliki kawan hingga aku tak merasa kesepian lagi,"
kata Roro Ningrum mengajukan alasan.
"Hemm, aku paham maksudmu, Roro.
Tapi mengangkat seorang murid, buatku bukanlah persoalan mudah..."
"Kalau Eyang tak mau, biarlah aku
pergi saja dari tempat yang membosankan
ini!" potong gadis itu cepat sambil merajuk dan palingkan wajah. Orang tua itu
tak tahu harus berkata apa lagi. Dia cuma bisa hela
nafas pendek. "Baiklah! Baiklah! Aku akan turuti
permintaanmu, tapi dengan satu syarat, bahwa kau harus yakin bahwa bocah ini berasal
dari keluarga baik-baik, dan kau bersedia
menanggung akibat dari perbuatannya kelak
di kemudian hari!?"
"Sanggup!" sahut gadis itu cepat tanpa pikir panjang lagi. "Bukankah aku telah
katakan pada Eyang bahwa bayi ini anak seorang
bangsawan?"
"Orang bangsawan tak sama dengan
orang baik-baik! Siapa nama bangsawan itu?"
"Mana kutahu!" sahut Roro sambil
angkat bahu. "Kalau kau katakan bahwa orang tua
anak ini dibantai oleh mereka yang menjuluki
diri sebagai orang-orang Tengkorak Hitam.
Kenapa kau tak menolong kedua orang tuanya?" "Mana aku tahu. Pada saat itu kawa-nan itu telah pergi jauh dan lagi pula
Eyang berpesan bahwa aku tak boleh banyak ikut
campur dalam urusan orang-orang persilatan.
Aku turuti nasehat Eyang itu. Tapi menyelamatkan bayi ini, tentu tak melanggar pesan
Eyang, bukan?"
"Kau memang pandai sekali bicara!"
sahut orang tua itu sambil gelengkan kepala.
Gadis itu ketawa renyah.
"Jadi bagaimana, Eyang" Apakah
Eyang mengijinkan bayi ini tinggal di sini dan kelak Eyang angkat menjadi murid
pula"!"
"Kalau kau telah berjanji begitu, buat
apa pula aku ragu?"
"Oh, terima kasih, Eyang!" jawab gadis itu girang bukan main. "Kini aku punya
te-man dan tak kesepian lagi. Biarlah kurawat
dia bagai anakku sendiri," lanjutnya sambil mencarikan baju-baju yang tak pantas
untuk bayi itu. Siapakah sebenarnya orang tua yang
menghuni puncak Gunung Sumbing ini sebenarnya" Puluhan tahun yang lalu rimba persilatan pernah digemparkan oleh kemunculan
seorang pemuda perkasa yang ilmu silatnya
tinggi luar biasa. Tak seorang pun yang mampu mengalahkannya. Banyak sekali tokohtokoh sesat yang dibantainya dengan sepasang senjatanya yang berupa dua bilah pedang. Meski dia sendiri termasuk orang persilatan kaum lurus, namun tindakannya kejam
sekali dalam membantai musuh-musuhnya.
Semua itu tak lain karena pengaruh senjata
mustikanya itu. Lama kelamaan pemuda itu
akhirnya mulai menyadari kekeliruannya dan
melepaskan senjata itu dengan menitipkannya pada seorang kawannya yang bisa dipercaya. Dia sendiri akhirnya mengasingkan diri
di puncak Gunung Sumbing ini dan perlahanlahan namanya mulai dilupakan orang yang
menyangkanya telah tiada. Orang itu mempunyai gelar Malaikat Pedang Bertangan Seribu! 3 Waktu berjalan tanpa terasa dari hari
berganti hari dan bulan berganti tahun. Kehidupan terus berlangsung sebagaimana mestinya. Roda jaman seakan menggilas dan
menggelar berbagai peristiwa. Tak terasa, tujuh belas tahun telah berlalu sejak peristiwa itu. Di puncak Gunung Sumbing
seakan tak lewat dari hukum alam itu. Bayi perempuan
yang diselamatkan Roro Ningrum telah berkembang menjadi dewasa. Seorang gadis rupawan yang cantik jelita. Perempuan itu telah menganggapnya sebagai anak
sendiri. Kasih sayangnya tercurah bagai seorang ibu pada
anak kandungnya.
Pagi ini nampak orang tua yang bergelar Malaikat Pedang Bertangan Seribu gelisah
sekali seperti ada yang dipikirkannya. Belakangan ini bukan ulah Roro Ningrum yang
masih saja kelayapan di dunia ramai yang
dikhawatirkannya, melainkan ada sesuatu
yang lebih penting dari cerita yang dibawa cicitnya itu.
Sementara itu sepasang matanya tak
berkedip melihat dua orang perempuan yang
sedang berlatih ilmu silat tak jauh dari pondok. Kemajuan gadis itu pesat sekali. Roro
Ningrum seolah tak jemu melatih dan menunjukkan kesalahannya. Lagipula tutur bahasa
gadis itu lemah lembut dan tak terlihat kesan sebagai gadis binal. Hal ini
semakin membuat
orang tua itu bertambah suka padanya.
"Eyang tak memperhatikan kami berlatih?" sapa Roro Ningrum yang tiba-tiba telah berada di depan orang tua itu.
Perempuan yang kini berusia lebih empat puluh tahun itu duduk di sebelahnya dan
memperhatikan dengan seksama. Meski usianya telah mendekati setengah abad, namun tak terlihat kesankesan tua di wajahnya. Bahkan sepintas
orang akan melihatnya seperti gadis usia duapuluh tahun saja layaknya.
"Ada sesuatu yang Eyang pikirkan?"
tanya gadis yang bersama cicitnya itu dengan
lemah lembut. "Katakanlah, Eyang. Barangkali kami bisa membantu."
Orang tua itu menatapnya sejenak dan
tersenyum kecil. "Dewi Ambarwati, tahukah sudah berapa lama kau bersama kami?"
"Kalau tak salah tujuh belas tahun
Eyang." "Betul. Kurasa inilah saatnya aku harus berterus terang padamu..."
"Eyang, apakah itu perlu!" potong Roro Ningrum dengan wajah terkejut. Dia mulai
menduga-duga bahwa Eyangnya ini akan
membeberkan rahasia gadis itu, sebab selama
ini Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa
dia adalah ibunya dan orang tua itu adalah
kakek buyutnya. Kalaupun gadis yang bernama Dewi Ambarwati itu menanyakan tentang ayahnya, Roro Ningrum selalu mengatakan bahwa ayahnya telah tewas sejak dia masih dalam kandungan. Semua itu dilakukannya karena saking sayangnya dia pada gadis
itu dan tak ingin dia mendapat beban pikiran
jika mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya. "Tentang apakah gerangan, Eyang?"
tanya Dewi Ambarwati penasaran melihat
orang tua itu yang ragu sesaat.
"Eyang, kurasa hal itu tak perlu. Dewi
Ambarwati telah senang dan bahagia hidup
bersama kita. Kalau Eyang bermaksud menceritakan hal itu, sama artinya merusak kebahagiaannya," kata Roro Ningrum lebih lanjut. "Eyang hanya ingin mengatakan
sesua-tu tentang berita yang kau peroleh tempo hari di luaran sana..."
"Berita apa, Eyang?"
"Tentang Sepasang Pedang Setan!"
"Oh, apakah Eyang tertarik juga untuk
merebutnya"!"
"Tidak. Ada hal yang perlu kalian ketahui. Dahulu sekali saat aku masih muda,
nama Malaikat Pedang Bertangan Seribu sangat ditakuti orang-orang persilatan di delapan penjuru mata angin. Dia memiliki
sepasang
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang pusaka yang sangat ampuh. Kalau tenaga batin kita tidak kuat, maka jiwa akan
rusak dibuatnya. Sepasang pedang itu seakan
mendorong hati nurani kita untuk berbuat
kejam. Waktu itu si Malaikat Pedang Bertangan Seribu belum memiliki batin yang kuat
hingga sepak terjangnya begitu meresahkan
semua orang. Masih untung karena dia berpijak pada jalan lurus hingga dari sekian banyak tokoh persilatan yang menjadi korban
selalu tokoh-tokoh sesat. Tapi bukan berarti
bahwa tokoh-tokoh golongan lurus tak ada
yang menjadi korban. Semua itu karena dorongan dari sepasang pedang yang dimilikinya
yang sangat haus darah. Untunglah akhirnya
dia sadar dan melepaskan sepasang pedang
itu dengan menitipkannya pada seorang kawan yang bisa dipercaya...."
"Lalu apa hubungannya dengan Sepasang Pedang Setang itu, Eyang"!"
"Aku ingin kalian mendapatkannya dan
membawanya kemari!"
"Eyang, itu sama artinya Eyang menyuruh kami untuk terjun dalam dunia ramai
dan berhadapan dengan tokoh-tokoh persilatan"!" Orang tua itu mengangguk lesu. "Dulu mungkin orang tak percaya padamu,
namun setelah sekian lama kau membuktikan bahwa
dirimu sanggup menjaga diri, aku semakin
yakin bahwa kau bisa dipercaya. Lagipula
dengan ilmu silat yang kau miliki saat ini, tak sembarangan orang mampu
menjatuhkan-mu." "Eyang, apakah sepasang pedang itu begitu berarti buat Eyang?"
"Roro, sekaranglah aku berterus terang
padamu, dan juga kau Dewi Ambarwati," Sahut orang tua itu pelan setelah menghela
na- fas pendek. "Kalau aku menyuruh kalian untuk mengambil kembali sepasang pedang
itu, bukan berarti aku serakah. Tapi pedang itu
adalah milikku!"
"Jadi... jadi Eyangkah yang bergelar
Malaikat Pedang Bertangan Seribu"!" sahut Roro Ningrum seolah tak percaya. Orang
tua itu mengangguk pelan.
"Kenapa Eyang merahasiakannya pada
kami?" tanya Dewi Ambarwati.
"Karena aku tahu kelakuan ibumu. Dia
sering pergi ke dunia ramai dan aku tak mau
dia mendapat celaka karena orang mengetahui bahwa dia murid si Malaikat Pedang Bertangan Seribu!"
Untuk sesaat ketiganya membisu, namun cepat dipecahkan kembali saat orang tua
itu berkata, "Roro, sahabat yang kutitipkan pedang itu bernama Ki Wicaksana.
Tapi orang-orang persilatan mengenalnya sebagai
Pendekar Hati Suci. Sesuai dengan gelarnya
itu, dia memang memiliki hati yang bersih
dan selalu berbuat kebenaran dengan jalan
sebaik-baiknya. Disamping itu, dia memiliki
tenaga batin yang kuat saat itu. Namun akhirnya aku mendengar bahwa dia dibunuh
oleh muridnya yang bernama Parinka. Orang
itu banyak membuat keonaran dengan sepasang pedang yang dimilikinya, dan orangorang menjulukinya sebagai si Pedang Setan.
Mendengar berita itu, aku berniat merampas
kembali dari tangannya. Namun belum sampai niat itu kulaksanakan, kembali kudengar
berita bahwa si Pedang Setan berhasil dikalahkan dan tewas di tangan prang yang menamakan diri sebagai Raja Pedang Utara.
Orang itu adalah seorang pendekar asing dari
negri seberang. Entah bagaimana caranya,
saat kerajaan Puring Kencana menyerang negri itu, salah seorang tumenggung Kerajaan
bernama Gandasena berhasil membawanya
pulang. Orang itu berhati lurus dan cepat
mengetahui bahwa pedang itu selalu menuntut si pemegang untuk membunuh orang serta menghirup darahnya. Karena batinnya belum kuat, akhirnya dia menitipkan pedang itu
pada kawan dekatnya, seorang pembuat senjata-senjata tajam bernama Empu Pupulaka.
Namun sayang, orang tua itu akhirnya tewas
di tangan anaknya sendiri yang ingin menguasai kedua pedang itu. Sampai saat itu, Sepasang Pedang Setan itu raib entah ke mana.
Dan kini nampaknya mulai hangat kembali
beritanya. Untuk itulah kalian kutugaskan
merebutnya kembali!"
"Baiklah, Eyang. Aku mengerti sekarang kenapa Eyang selalu ingin menyendiri di
tempat ini. Pedang Setan itu telah membawa
bencana yang amat besar dan Eyang merasa
bersalah, bukan?"
"Itulah sebagian yang membuat hatiku
merasa tersiksa. Selama pedang itu berada di
tangan orang sesat, maka selama itu pula kekacauan akan kembali timbul. Pedang itu selalu berpasangan. Bila salah satu dimiliki,
cukup sudah membuat si pemiliknya menjadi
kejam dan hatinya penuh dengan niat-niat
jahat. Kalau batinnya tak kuat, maka dia
akan dikuasai pedang itu. Lalu bayangkan
pula bagaimana seandainya sepasang pedang
itu berada di tangan orang yang batinnya tak
kuat" Tentulah dunia ini akan kacau dibuatnya. Lebih-lebih bila orang itu sakti dan berilmu tinggi."
"Lalu bagaimana kami bisa membawanya jika pedang itu telah kami peroleh"
Bukankah nantinya pedang itu akan merasuki batin kita yang belum kuat?" tanya Roro Ningrum.
"Roro, kekuatan batinmu untuk saat
ini rasanya cukup. Tapi aku perlu menggodokmu lebih lanjut. Untuk itulah selama seminggu ini kau dan Dewi Ambarwati akan
kuberikan pelajaran untuk menguatkan tenaga batin yang kalian miliki," sahut orang tua itu. "Terima kasih, Eyang. Kami
akan berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh pedang itu kembali," sahut Roro Ningrum dan Dewi Ambarwati hampir berbarengan.
Setelah menjura hormat, mereka mulai mempersiapkan segala sesuatunya yang diperlukan
untuk latihan yang dimulai nanti malam.
Orang tua itu kembali menghela nafas agak
panjang. Di batinnya bergelora keyakinan
bahwa kedua cicitnya itu pasti mampu mengemban tugas yang diberikannya.
4 Seorang pemuda berbaju merah terlihat asyik duduk di bawah sebuah pohon besar sambil menyandarkan diri dan menikmati
dendeng ikan lumba-lumba dengan lahap,
yang selalu disimpannya dalam periuk besar
yang dibawanya ke mana saja. Pakaiannya
terlihat dekil dan kumal, namun begitu wajahnya sungguh sangat tampan, meski sedikit
agak lucu sebab dengan rambut yang dikuncir dan periuk besar yang selalu menyertainya dia nampak aneh. Siapa lagi pemuda
itu kalau bukan Buang Sengketa, atau si Pendekar
Hina Kelana. Sambil mengunyah makanannya dengan lahap, sesekali pemuda itu termenung
sambil memandang jauh ke depan pada hamparan rumput luas membentang. Pemandangan ini sama sekali tak mirip dengan tempat
di mana dulu dia dibesarkan oleh orang tua
super sakti bergelar Bangkotan Koreng Seribu. Orang tua yang telah membesarkan dan
mendidiknya, dan telah dianggapnya sebagai
orang tua sendiri. Ada kenang-kenangan indah yang tiada terlupakan tentang ombakombak dan debur laut serta burung-burung
camar di Pantai Karang Tanjung Api.
Dan manakala dia teringat tentang
orang tua kandungnya yang tiada pernah dijumpai, hatinya seolah terluka. Entah kenapa
hidup seperti ini harus menimpanya. Sejak
bayi tak mengetahui, siapa ayah ibunya, dan
setelah dewasa, barulah tahu bahwa ayahnya
adalah raja di Negri Bunian yang saat ini sedang menjalani hukuman karena menikahi
ibunya yang merupakan manusia biasa. Untuk bertemu pun tak mudah. Ayahnya yang
sedang bertapa dalam ujud seekor Ular Piton
raksasa, entah di dasar laut mana bisa ditemuinya. "Ah, sungguh malang benar nasibku
lahir di dunia ini..." desah pemuda itu tanpa sadar. "Sejak kecil tak berayah
dan beribu. Kini guruku pun entah bagaimana nasibnya...." Agak lama dia termenung begitu sampai telinganya yang sangat terlatih
mendengar derap langkah kuda yang sangat cepat mendekat ke arahnya. Cepat-cepat
pemuda itu bersembunyi di atas cabang sebuah pohon
dan mengintai para pendatang itu. Apa yang
didengarnya ternyata tak salah. Serombongan
orang berkuda memacu kudanya dengan cepat. Diantara mereka terdengar jeritan-jeritan seorang gadis yang terus mencacimaki. Pemuda itu tak cepat turun tangan. Dia ingin
mengetahui lebih dulu, apa persoalan yang
sebenarnya. "Keparat! Lepaskan aku! Lepaskaaaan...!" teriak gadis itu. "Kalau bapakku sampai tahu, kalian bisa berbuat
apa pa- danya. Dia pasti membantai kalian semua!"
"Siapa yang perduli pada bapakmu
itu!" Dia boleh datang ke sini kalau punya
keberanian," salah seorang yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Paras
wajahnya gagah dan tampan.
"Cuih! Orang-orang seperti kalian tiada
harganya di mata bapakku!" Maki si gadis yang sedang dalam keadaan tertotok dan
ikut di atas kuda pemuda itu.
"Nona, orang-orang Tengkorak Hitam
pantang dihina. Tapi karena urusanmu menyangkut perintah ketua, aku masih berbaik
hati tak turun tangan kasar padamu. Tapi kalau engkau terus memaki-maki, maka terpaksa aku harus menyumpal mulutmu itu!" kata si pemuda dengan nada mengancam.
"Kau kira bisa berbuat apa padaku"!
Ayo, lepaskan totokan ini dan kita bertarung
sampai seribu jurus!" tantang si gadis. "Kalau aku kalah, kau boleh pentang
bacot sesukamu!" "He... he... he....! Kalau engkau bisa mengalahkanku, tak
mungkin tadi engkau bi-sa kena totok."
"Kalau kau tak main keroyokan, mana
mungkin kau bisa mengalahkan aku!"
"Nona, engkau memang pandai bersilat
lidah. Tapi hari ini aku sedang tak bersemangat untuk meladenimu. Biarlah nanti bagaimana ketua yang akan menentukan. Apakah
engkau pantas dihukum, ataukah engkau
perlu diberi pelajaran karena mulutmu yang
terus memaki-maki itu!"
"Puih! Kau pikir aku takut!?"
"Tentu saja tidak. Tapi kalau engkau
kutelanjangi dan kusekap tiap hari di kamarku, apakah engkau berani?"
Mendengar itu si gadis langsung terdiam dan bergidik ngeri. Dia bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pemuda
ini nantinya. Apalagi karena dia tahu bahwa
orang-orang Tengkorak Hitam terkenal kejamkejam dan suka bertindak semaunya.
"Nah, bagaimana, nona" Apakah engkau masih berani juga?" Ledek pemuda itu sambil cengengesan.
"Sebenarnya untuk apa kalian menculikku?" tanya si gadis mengalihkan perhatian dengan suara yang lebih lunak.
Pemuda itu terkekeh pelan dan bukannya tak mengerti
maksud si gadis yang mulai ketakutan dengan ancamannya tadi. Tapi melihat parasnya
yang jelita dan kulitnya yang halus mulus,
serta tubuhnya yang montok, diam-diam pemuda ini suka pula padanya. Maka dengan
nada yang ramah pula dia menyahut.
"Apakah engkau mau membantu kalau
kuberitahu?"
"Kenapa tidak?"
"Baiklah. Sekarang atau nanti, toh sama saja. Ketuaku ingin tahu apakah keluargamu masih menyimpan Pedang Setan..."
"Pedang Setan....?" Suara gadis itu terdengar bingung dan tak mengerti. "Pedang
apa itu" Rasanya baru sekarang aku mendengar namanya!"
"Ah, sudahlah, nona. Ternyata engkau
sama sekali tak bisa membantu. Tapi tentu
saja kami tak bisa melepaskan engkau begitu
saja." Mendengar jawaban itu, lunglailah si gadis Rasanya tiada harapan lagi
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dirinya untuk lepas dari cengkraman mereka. Lebihlebih saat pemuda itu memerintahkan kawankawannya untuk memacu kuda lebih kencang
lagi. Namun pada itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan yang membuat kuda
tunggangan mereka meringkik panjang sambil berjingkat
tinggi. Beberapa orang malah terpelanting dari kudanya. Masih untung pemuda itu bisa
menguasai kuda dan merangkul gadis itu
dengan cepat. Dengan mengerahkan sedikit
tenaga dalamnya, dia mampu menjinakkan
kudanya yang tiba-tiba menjadi liar. Sepasang matanya menyipit dan menyorot
tajam manakala melihat seorang pemuda berbaju merah
kumal di depan mereka pada jarak dua tombak. Pemuda yang rambutnya dikuncir itu
membawa-bawa periuk besar yang membuat
penampilannya terasa aneh di mata orang.
"Kisanak, siapakah engkau" Kenapa tiba-tiba menghalangi perjalanan kami?" Tanya pemuda itu dengan nada pelan namun
menusuk dan mengandung ancaman. Beberapa
orang kawannya nampak bergemeletukkan
rahangnya menahan amarah. Tapi karena
pemuda itu yang saat ini memegang komando, mereka cuma bisa menunggu perintah saja. Padahal pada pemimpin-pemimpin rombongan lain tak ada yang selemah pemuda ini
dalam bertindak pada orang yang menghalangi niat mereka dalam bentuk apapun.
"Tentang aku, barangkali tak ada gunanya diketahui," jawab pemuda berpakaian kumal yang tak lain dari Buang
Sengketa. "Aku cuma seorang pengembara hina dina
dan tak berarti apa-apa. Tapi aku sama sekali tak suka melihat orang berlaku
seenaknya pada kaum yang lemah. Dan apa yang kalian
lakukan terhadap gadis itu adalah salah satu
contoh yang kukatakan itu."
"Sobat, maaf!" sahut pemuda penunggang kuda yang bernama Danu Umbara,
"Meski aku mengerti apa yang engkau katakan, tapi aku tak bisa menuruti
kesukaanmu. Aku hanya melaksanakan tugas dari ketuaku." "Kalau engkau punya otak, tentulah bi-sa engkau pakai dan dapat menilai,
tugas mana yang baik yang harus dikerjakan dan
mana yang buruk yang harus kau tinggalkan.
Dan apakah menurutmu menculik gadis itu
merupakan tugas yang baik?"
"Sobat, aku tak perduli apakah tugas
itu baik atau tidak, yang jelas aku hanya
menjalankan perintah. Dan engkau sebagai
orang luar, harap jangan turut campur urusan kami!"
"Umbara, kenapa engkau malah banyak omong segala!" teriak seseorang yang sudah tak sabaran dan mencabut
pedangnya. "Sudah tahu bahwa dia menghalangi kita,
buat apa diperdebatkan segala"! Sudah, ayo
cincang saja orang gila ini!"
Beberapa orang kawannya segera cabut
pedang dan turun dari kudanya masingmasing. Dan Umbara panas bukan main melihat itu. Dengan garang dia membentak, "Birawa! Apakah engkau pikir engkau yang
me- mimpin rombongan ini!?"
Orang yang dipanggil Birawa itu tak
kalah garang menjawab, "Danu Umbara, engkau terlalu lemah dalam bertindak, dan
sama sekali tak pantas memimpin rombongan!"
"Kurang ajar! Setelah urusan ini selesai, engkau akan mempertanggung jawabkan
hal ini di depan ketua!"
"Apa engkau pikir aku takut?"
"Diam kau jangan banyak bacot!" bentak Danu Umbara dengan suara menggelegar
yang aliri tenaga dalam tinggi. Beberapa orang anak buahnya yang lain termasuk
Birawa, tersentak kaget. Sesungguhnya mereka tahu,
meski Danu Umbara berusia sangat muda dibanding mereka, namun ilmu silatnya hampir
menyamai ketua. Dan dia sangat dipercaya
sebagai tangan kanan ketua mereka yang
memimpin rombongan untuk menghadapi tugas-tugas sulit dan berbahaya. Tapi melihat
sikapnya yang agak lemah dan terlalu mengasihani lawan, sama sekali bertentangan dengan mereka yang biasa kasar dan bertindak
semaunya. Setelah melihat bahwa semua anak
buahnya tundukkan kepala, Danu Umbara
palingkan wajah dan pada pemuda di hadapannya itu. "Nah, sobat. Maafkan. Engkau
sudah tahu bagaimana jawabanku, maka biarkan kami pergi tanpa menimbulkan perselisihan denganmu," katanya.
"Mungkin saja engkau tak apa-apakan
gadis itu, tapi tetap saja jiwanya terancam berada di lingkungan orang-orang
seperti ka- wan-kawanmu itu."
"Kisanak..." sahut Danu Umbara dengan suara tegas, "Jangan paksa aku berlaku kasar padamu. Sesungguhnya aku sudah
terlalu bersikap lunak. Tapi kalau engkau terus
memaksakan keinginan dan terlalu ikut campur dalam urusan kami, aku tak bisa menjamin anak buahku akan bersabar terus."
Mendengar itu Buang Sengketa ketawa
kecil. "Bajingan-bajingan seperti kalian memang pandai sekali bersandiwara,"
kata pemuda itu. "Segala apa yang kalian katakan dan perbuat pun penuh dengan
tipu muslihat. Aku sudah muak sekali melihat orangorang seperti kalian. Lepaskan gadis itu atau aku musti mengambilnya dengan
kekerasan!?" "Huh, agaknya engkau pun berminat pada pedang itu, atau barangkali
engkau ini sebangsa laki-laki hidung belang! Tapi selagi aku masih bernafas, jangan cobacoba mengambilnya dari tanganku," sahut Danu Umba-ra mulai marah. Dengan satu
isyarat, dia telah perintahkan anak buahnya untuk mengurung pemuda itu. Mereka yang sejak tadi tangannya sudah gatal melihat kelakuan pemuda
berpakaian seperti gembel itu, dengan cepat
mengurung dan kirim satu serangan kilat
yang cepat dan kuat serta mematikan.
"Cecunguk-cecunguk busuk ingin
mampus, terimalah ini!" Dengus Buang Sengketa sambil berkelit cepat dan mainkan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra
sambil balas menyerang.
"Ciaaat!"
Tubuh pemuda berkuncir itu melentik
ke udara dan menukik sambil kibaskan sebelah tangan ke batok kepala pengeroyoknya
yang terdekat. Keruan saja, orang itu ayunkan pedang. Buang Sengketa tarik mundur
tangannya dan kirim satu tendangan kilat ke
dagu lawan. "Takk!"
Orang itu tersungkur setelah terhuyung-huyung beberapa tombak. Beberapa
buah giginya tanggal. Buang Sengketa tak
membuang-buang kesempatan. Tubuhnya
berputar cepat dan kibaskan tangan kiri
menghantam dada lawan yang terdekat dengannya. Tapi orang itupun ternyata telah bersiap dengan ayunan pedangnya. Seperti tadi,
kembali pemuda berkuncir itu tarik pulang
tangannya dan sorongkan kaki kiri ke ulu hati lawan. "Bukk!"
Orang itu menjerit kesakitan sambil
mendekap ulu hatinya yang terasa pecah kena tendangan pemuda itu. Dua orang kawannya kalap bukan main dan ayunkan pedang
menebas pinggang murid si Bangkotan Koreng Seribu itu, tapi Buang Sengketa bersalto dua putaran ke atas sambil ayunkan
kedua tangannya ke batok kepala lawan.
"Plak! Plak!"
"Wuaaayyaaa....!"
Meski kelihatannya lemah, namun pukulan itu mengandung tenaga dalam yang
cukup membuat pandangan kedua lawannya
berkunang-kunang dan berdiri sempoyongan.
"Bangsaaat! Gembel keparat! Kau hadapi aku. Ciaaaat!" maki Birawa dengan amarah yang meluap. Pedang di tangannya
berke- lebat ke sana sini menimbulkan suara bercuitan. Buang Sengketa merasakan bahwa lawan
yang seorang ini memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dari kawan-kawannya yang
tadi. Tapi dalam tiga jurus berselang, dia mulai dapat
membaca gerakan lawan dan berbalik mendesak dengan hebat. Meskipun Birawa menyerang dengan menggunakan jurus andalannya,
tetap saja dia tak mampu bertahan lebih lama
menghadapi pemuda yang melawannya dengan tangan kosong itu.
"Hiaaaaat....!"
"Plak! Plak!"
"Wuaaaaa....!"
Dengan satu teriakan nyaring, dia kiblatkan pedang dengan ayunkan pedang dengan cepat ketika pemuda itu melesat ke arahnya. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba pedang di tangannya terpental dan dua pukulan
lawan menghantam dada dan pergelangan lawan. Tak pelak lagi. Tubuhnya yang tinggi besar itu terpental sejauh dua tombak sambil
muntahkan darah segar.
"Cukup...!" teriak Danu Umbara meng-hentikan beberapa anak buahnya yang penasaran dan kembali menyerang pemuda itu
dengan kalap. "Kisanak, siapakah engkau ini sebenarnya" Ilmu silatmu sangat tinggi dan lihai sekali. Pastilah engkau bukan orang
sembarangan. Sudilah engkau memberitahu dirimu," lanjut Danu Umbara dengan sikap sebagai seorang sahabat. Mendengar itu
Buang Sengketa tersenyum kecil sambil berkata.
"Kisanak, namaku tiada berguna bagimu. Tapi karena engkau terus mendesak,
baiklah kuberitahu. Aku yang hina ini bernama Buang Sengketa, tapi orang-orang menamaiku sebagai si Hina Kelana...."
"Ah, ternyata engkaulah pendekar muda yang akhir-akhir ini menggegerkan dunia
persilatan di delapan penjuru mata angin.
Sungguh beruntung aku bisa berhadapan
dengan pendekar terkenal sepertimu," kata Danu Umbara kagum. "Ilmu silatmu
dikha-barkan sangat tinggi dan lihai sekali, dan ternyata apa yang kusaksikan
hari ini tidaklah
berlebihan. Engkau memang pantas menyandang gelar itu. Tentulah engkau tak keberatan kalau barang sejurus atau dua
menunjuk-kannya padaku."
Buang Sengketa sungkan sekali dipujipuji begitu. Tadinya dia tak mau berlamalama dan tak mau meladeni ucapan pemuda
itu yang tak lain ingin menjajalnya. Tapi keti-ka dilihatnya pemuda itu langsung
meloncat dari pelana kuda dan kirim satu serangan kilat ke arahnya, mau tak mau Buang Sengketa
merasa urusan akan lebih panjang. Tanpa
buang waktu lagi, dia me-lompat memapaki
sambil keluarkan lengkingan ilmu Pemenggal
Roh dengan seperempat tenaga dalam yang
dimilikinya. "Heiiiiigggkkk....!"
Meski dikeluarkan dengan seperempat
tenaga dalamnya, tak urung Danu Umbara
tersentak kaget. Terasa lengkingan suara itu
mempengaruhi jalan darahnya untuk beberapa saat. Tapi itu sudah cukup bagi Buang
Sengketa untuk kabur setelah menyambar
tubuh gadis yang masih berada di atas pelana
kuda. Dengan menggunakan ajian Sepi Angin,
tubuhnya melesat cepat meninggalkan mereka. Tinggal Danu Umbara yang gelenggelengkan kepala dengan hati mangkel. Birawa malah menyumpah-nyumpah tak karuan
ketika akhirnya mereka meneruskan perjalanan sebab tiada gunanya mengejar pemuda
itu yang tak kelihatan lagi bayangannya.
5 Perempuan berusia kira-kira enam puluh tahun itu, marah bukan main saat mendengar laporan dari beberapa orang murid perihal hilangnya cucu kesayangannya diculik
oleh segerombolan orang. Tubuhnya yang
agak gemuk seolah bergetar hebat menahan
geram. Rambutnya yang hampir memutih digulung ke atas dengan beberapa tusuk konde
menghiasinya, ikut bergoyang-goyang manakala dia bangkit dari kursi. Sepasang matanya yang kecil, membelalak lebar. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terbuat dari kayu besi. Pada pangkalnya terdapat patung seekor ular naga sebesar kepala
manusia dewasa. Siapakah so benarnya nenek ini" Rimba persilatan mengenalnya sebagai Peri Kuning Tongkat Maut. Padahal nama
sebenarnya adalah Nyai Larasati
Perempuan tua ini termasuk tokoh kosen yang jarang ketemu tandingan. Sepak terjangnya di dunia persilatan tak pernah mengenal kompromi dalam membantai lawanlawannya. Tak jarang orang memasukkannya
ke dalam jajaran tokoh-tokoh sesat tingkat
tinggi. Sebenarnya dia tak memiliki perguruan yang tersendiri. Perempuan tua ini
hanya memungut sebelas orang murid yang semuanya terdiri dari perempuan, yang saat ini terlihat menundukkan kepala
mendengarkan amarah orang tua itu. Mereka menyadari,
bahwa ini kesalahan mereka sendiri yang tak
waspada hingga cucu kesayangan guru mereka sendiri mampu diculik tanpa mendapat
perlawanan yang berarti.
"Goblok! Tolol! Walau aku tak pernah
menyuruh kalian untuk menjaga Endang
Purwasih secara khusus, tapi setidaknya kalian punya perhatian terhadapnya. Bukankah
kalian mengetahui bahwa belakangan ini banyak pihak-pihak tertentu yang mengincar
Pedang Setan itu"! Dengan adanya berita
yang menyebar bahwa salah satu pedang itu
berada di tanganku, tentu mereka berusaha
mendapatkannya dengan cara apapun! Salah
satunya adalah Endang Purwasih yang pasti
akan dijadikan sandera!"
"Ampun, guru!" sahut salah seorang
murid tertua bernama Kusumawati. Usianya
sekitar duapuluh tahun. "Kami akan berusa-ha mencari Adik Endang Purwasih sampai
dapat walaupun itu harus dengan tebusan
nyawa kami sendiri."
"Huh, apa kalian kira mudah menyatroni orang-orang dari Perguruan Tengkorak
Hitam"! Tidakkah kalian mengetahui bahwa
mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu
tinggi. Apa yang bisa kalian perbuat"!" dengus perempuan tua itu sinis.
"Ibu, bukankah engkau mengenal ketuanya yang bernama Suryudana itu?" tanya seorang perempuan berusia empat puluh
tahun yang duduk di sebelahnya. "Kalau ibu mendatanginya, siapa tahu dia mau
berbaik hati dan melepaskan anakku."
"Jangan berpikiran bodoh, Banonwati!
Apa kau pikir si Suryudana itu menculik
anakmu untuk kesenangannya belaka" Dia
pun termasuk salah seorang diantara mereka
yang mengincar pedang itu. Sudah pasti dia
menggunakan anakmu untuk dijadikan sandera karena tak berani terus terang mendatangi tempat kita."
"Ibu, kalau dia tak berani berarti dia
takut pada ibu. Kenapa tidak ibu saja yang ke sana?" "Banonwati, ada hal yang
perlu kau ketahui. Bila si Suryudana telah berani menculik anakmu, berarti dia telah siap menyambut
kedatangan kita. Baik dengan tipu muslihatnya, ataupun dengan cara apapun. Dan bila
kita tiba-tiba datang, maka pancingannya
akan mengena. Kita belum lagi mengetahui
apa yang direncanakan orang itu," sahut Nyai Larasati. "Tapi yang jelas sekali,
setiap muridku yang lalai, pasti akan kena hukuman!"
lanjutnya dengan suara tegas berwibawa.
"Guru, aku bersedia menerima hukuman," sahut salah seorang murid yang bernama Parwati. "Aku yang bersalah tak
mam-pu menahan mereka saat menculik Adik Endang Purwasih."
"Bagus! Karena engkau telah mengaku
dan bersedia dihukum, aku akan meringankan hukumanmu. Engkau akan dicambuk seratus kali!"
Mendengar itu, jantung Parwati seolah
berhenti berdenyut. Hukuman cambuk sebanyak seratus kali, bukanlah main-main. Dulu
saja ada seorang murid yang melakukan kesalahan kecil dan dihukum cambuk sebanyak
duapuluh kali, tubuhnya di bagian punggung
tersayat sayat bagai diiris pisau tajam. Sakit
dan pedihnya bukan main. Sebulan penuh
murid itu tak bisa bangun. Bagaimana mungkin dia mampu bertahan dengan hukuman
cambuk sebanyak seratus kali"
"Kau telah siap, Parwati"!"
"Eh..., ng... siap, guru....!"
"Bagus!" sahut Nyai Larasati. Dia memandang pada Kusumawati, dan berkata.
"Siapkan tonggak di depan beserta cambuk!"
Tanpa berani membantah, perempuan
itu menjura hormat dan dengan cepat meninggalkan ruangan.
"Urusan Endang Purwasih, biar nanti
aku yang menyelesaikan dengan caraku sendiri. Pertemuan ini selesai dan kalian harus
melihat Parwati dihukum agar menjadi pelajaran untuk kalian semua, bahwa barang siapa
yang lengah, aku tak segan-segan menghukum kalian," kata Nyai Larasati selanjutnya.
Dengan langkah pelan dia beranjak dari
ruangan itu diikuti Banonwati dan muridmurid yang lain.
Parwati telah siap di halaman depan
itu. Kedua tangannya diikat dan digantungkan pada bambu di atasnya. Kedua kakinya
dibuka agak lebar, dan masing-masing diikat
pada tonggak kanan dan kiri. Gadis itu menatap sekilas pada Kusumawati, kemudian perlahan-lahan tundukkan kepala dengan wajah
lesu. Nyai Larasati telah siap dengan cambuk di tangan. Pandangannya menyapu semua murid yang berada tak jauh dari situ.
Beberapa orang palingkan wajah dan merasa
ngeri membayangkan apa yang bakal menimpa Parwati. Selain murid termuda, gadis itupun paling rendah ilmunya diantara mereka
semua. Pastilah dia tak akan sanggup bertahan sampai sepuluh kali cambukan. Apalagi
seratus kali. Tapi mereka semua tahu, bahwa
guru mereka tak pernah menarik kembali kata-katanya, dan sepertinya tak punya belas
kasihan barang sedikit pun. Meski nantinya
Parwati telah pingsan pada cambukan kesepuluh, pasti orang tua itu tak perduli dan terus melecutkan cambuknya hingga
hitungan- nya genap seratus. Entah apa jadinya tubuh
gadis itu nantinya.
Beberapa orang murid yang lain malah
tenang-tenang saja. Seolah kejadian itu bagi
mereka hal yang biasa. Lagipula mereka beranggapan bahwa itu salah gadis itu sendiri.
Kenapa dia sok jago menghadapi keroyokan
orang banyak sewaktu ingin menyelamatkan
Endang Purwasih. Padahal kalau dia berteriak
memanggil, sudah pasti semua murid akan
keluar dan membantunya.
"Ctaaaaaar....!"
Nyai Larasati melecutkan cambuknya
ke udara, seakan memberi isyarat pada Parwati untuk bersiap. Gadis itu tarik nafas dalam-dalam dan pejamkan mata. Namun baru
saja orang tua itu akan lecutkan cambuk ke
tubuhnya, sekonyong-konyong terdengar satu
jeritan panjang.
"Jangaaaaan....!?"
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun tergopoh-gopoh menghampiri tempat itu.
Di belakangnya terlihat seorang pemuda berbaju merah dan dekil. Wajahnya sangat tampan. Dengan rambut dikuncir dan periuk besar yang selalu dibawa-bawanya, pemuda itu
nampak aneh sekali. Siapa lagi pemuda itu
kalau bukan Buang Sengketa, atau lebih dikenal dengan nama Pendekar Hina Kelana.
"Endang, engkau tak apa-apa, nak"!"
teriak Banonwati sambil mengejar anak itu
dan memeluknya erat-erat. Nyai Larasati terpaksa undurkan hukuman itu untuk beberapa saat. "Nenek, sedang ada apakah di sini"
Kenapa kakak Parwati digantung" Apakah
nenek hendak mencambuknya?" tanya Endang Purwasih heran setelah melepaskan pelukan dari ibunya.
"Parwati pantas mendapat hukuman
karena lalai menjagamu!"
"Nenek, kakak Parwati membelaku mati-matian, kenapa malah nenek hendak
menghukumnya" Bukankah itu tidak adil"
Sekarang juga aku mohon nenek, agar melepaskannya."
Perempuan tua itu terpaku sejenak
sambil menghela nafas panjang. Lebih-lebih
saat cucunya itu mulai merajuk. Dia memang
teramat menyayangi cucu satu-satunya ini.
Bukankah karena kehilangannya tadi yang
membuatnya marah dan jatuhkan hukuman
pada Parwati" Dan sekarang cucunya telah
kembali dan meminta agar muridnya itu diampuni. "Ayolah, nek. Nenek tentu mau mengampuni kakak Parwati, bukan?"
"Baiklah, baiklah..." sahut orang tua itu pelan. Secepat itu pula Endang
Purwasih jejingkrakan dan mencium pipi orang tua itu.
Dia segera menyuruh beberapa orang murid
untuk melepaskan ikatan Parwati. Gadis itu
menatap cucu gurunya untuk beberapa saat
dengan pandangan berterima kasih, sebelum
akhirnya dia masuk untuk melaksanakan tugasnya masing-masing sebagaimana biasa.
"Siapa pemuda itu" Apakah dia salah
satu murid Perguruan Tengkorak hitam?" lanjut Nyai Larasati dengan pandangan
curiga. "Oh, iya sampai lupa!" seru gadis itu.
Dia memberi isyarat pada pemuda itu untuk
mendekat. "Nek, perkenalkanlah. Pemuda itu yang menyelamatkanku dari orang-orang
Tengkorak Hitam. Namanya Buang Sengketa.
Dialah si Pendekar Hina Kelana yang sangat
terkenal itu"
Begitu mendengar ucapan cucunya, perempuan tua itu agak terkejut. "Oh, engkaukah yang bergelar Pendekar Hina Kelana
itu, anak muda" Sungguh beruntung hari ini aku
dapat berkenalan denganmu. Atas semua keluarga di sini, aku mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan cucuku," kata Nyai Larasati dengan sikap hormat. "Kalau tak keberatan,
sudilah engkau mampir sejenak di gubuk kami, karena kami mengundangmu dengan segala kehormatan."
Melihat sikap yang berlebih-lebihan itu,
Buang Sengketa agak sungkan juga. Dia sudah menolak dengan halus dan berbagai macam alasan, namun mereka nampaknya agak
memaksa. Lebih-lebih Endang Purwasih yang
dengan sikap kekanak-kanakannya, menariknarik tangan pemuda itu ke dalam. Mau tak
mau Buang Sengketa tak punya alasan lain
buat menolak. Pemuda itu dijamu sebagaimana layaknya tamu terhormat saja. Lebihlebih saat keluarga itu memintanya menginap
barang sehari dua. Pemuda itu lebih sungkan
lagi. Selain sejak tadi diperhatikannya penghuni keluarga ini perempuan semua,
dia juga tak betah berlama-lama di satu tempat seperti ini. Namun mereka kembali memaksa.
Dia pun akhirnya merasa tak enak untuk menolak. Apalagi alasan mereka sangat tepat, sebab sebentar lagi malam akan tiba. Dengan
terpaksa Buang Sengketa menerima permintaan mereka untuk menginap di rumah itu.
6 Malam telah semakin larut. Rumah besar itu mulai terlihat sepi. Beberapa buah
kamar terlihat gelap, namun di ruangan utama Nyai Larasati beserta anaknya, Banonwati
dan cucunya, Endang Purwasih, masih terlihat obrolan-obrolan dengan tamu mereka,
yaitu Buang Sengketa. Lama kelamaan pemuda itu makin jengah saja berlama-lama di
sini. Sikap mereka terlalu berlebih-lebihan
dan penuh dengan basa basi yang memuakkan. Entah beberapa kali dia menguap untuk memberi isyarat pada tuan rumah bahwa
dia agak jemu mendengar ocehan mereka.
Agaknya tak dimengerti oleh mereka. Lebihlebih Endang Purwasih yang sejak tadi terus
Pendekar Hina Kelana 26 Misteri Sepasang Pedang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berada di dekatnya dengan sikap genit dan
kekanak-kanakkan.
"Kalau engkau suka, engkau boleh
tinggal di sini selamanya, Kelana," kata Nyai Larasati. "Kami semua akan
menerimamu dengan lapang dada."
"Betul, Kelana!" sahut Endang Purwasih bersemangat. "Kami akan suka sekali
menerimamu. Bukankah begitu, bu?"
Banonwati tersenyum kecil sambil anggukan kepala. Buang Sengketa jadi risih.
"Ah, kalian terlalu baik padaku..." sahut pemuda itu lirih. "Adalah suatu
kehormatan buatku menerima tawaran kalian ini. Tapi
aku hanyalah seorang pengembara biasa. Aku
telah terbiasa hidup beratapkan langit dan
berselimut angin. Rasanya tak pantas mendapat penghormatan ini."
"Engkau terlalu merendah, Kelana.
Dengan ilmu silat yang engkau miliki seperti
saat ini, siapa yang mampu menandingimu"
Engkau bisa hidup lebih layak sebenarnya.
Punya rumah, dan.... keluarga..." kata Banonwati sambil mengerling putrinya. "Eh, maaf. Barangkali engkau memang telah
ber-keluarga."
"Tidak! Siapa gadis yang sudi dengan
orang gembel sepertiku ini."
"Kenapa musti jauh-jauh" Di sinipun
pasti banyak yang suka padamu. Bukan begitu, Endang?"
"Ah, ibu bisa saja..." sahut gadis itu tersipu malu. "Siapalah pemuda yang suka
pada wajah buruk sepertiku?"
"Siapa bilang engkau punya wajah buruk?" tanya Buang Sengketa. "Kalau iya, barangkali murid si Tengkorak Hitam itu
tak akan tergila-gila padamu," lanjutnya sambil tersenyum kecil.
"Huh, siapa sudi pada orang seperti
itu!" dengus Endang Purwasih dengan ketus.
Ibu dan neneknya hanya tersenyum mendengar ocehannya. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh sikap si orang tua yang berubah serius.
"Seseorang sedang mengintai dari atas
genting. Sebaiknya bersikap biasa saja. Barangkali utusan dari Tengkorak Hitam," kata Nyai Larasati berbisik sambil
bangkit. Tanpa menimbulkan suara, tubuh perempuan tua itu melayang ke atas rumah
sambil kirim satu serangan kilat. Buang
Sengketa mendesah kagum. Ilmu mengentengi tubuh yang dimiliki orang tua itu sudah
sangat sempurna betul.
"Biarlah aku membantu nenekmu meringkus pengintai itu," kata Buang Sengketa.
Tanpa perduli jawaban kedua perempuan itu,
tubuhnya melesat ke atas wuwungan, persis
di lobang yang dibuat Nyai Larasati. Untuk
sesaat dia celingukan. Namun manakala sepasang matanya yang tajam menangkap dua
sosok tubuh di kejauhan, dengan cepat dia
memburu ke arah itu sambil mengerahkan
ajian Sepi Angin.
Tapi alangkah kagetnya pemuda itu
manakala melihat bahwa kedua bayangan itu
melesat dengan cepat. Padahal dia telah kerahkan separuh ilmu lari cepatnya, tapi kedua bayangan itu tak juga terkejar. Dengan
geram dia mengerahkan seluruh kekuatan
untuk mengempos ajian Sepi Angin. Tubuhnya melesat cepat bagai sliweran angin yang
berhembus kencang. Dengan mengambil jalan
memutar, dia bermaksud menjebak pengintai
itu. Setelah dirasa bahwa kedua bayangan itu
tertinggal jauh, Buang Sengketa menunggu
dari sebuah cabang pohon yang menurut per Anak Pendekar 16 Seruling Perak Sepasang Walet Karya Khu Lung Bentrok Para Pendekar 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama