Ceritasilat Novel Online

Neraka Gunung Dieng 2

Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng Bagian 2


tadi bahwa sewaktu-waktu murid-murid Aki Kilik Rogo
itu, dapat menjadi binatang pembunuh yang sangat
mengerikan. Hal ini sudah barang tentu dalam perhitungan si Jubah Hitam. Jika sewaktu-waktu Aki Kilik
Rogo membawa murid-muridnya ke Gunung Dieng untuk menemui gurunya, pada saat itulah si Jubah Hitam akan memanfaatkan tenaga murid-murid Aki Kilik
Rogo yang sudah berada dalam pengaruhnya. Tujuannya sudah jelas, yaitu untuk mendapatkan kitab rahasia yang merupakan kunci dari buku pusaka yang kini
dalam kekuasaannya...!"
Buang Sengketa nampak terperangah, dia benar-benar tak bisa membayangkan bagaimana jadinya
kalau apa yang dikatakan oleh Sri Pamuja pada akhirnya benar-benar menjadi kenyataan.
"Kasihan sekali Aki Kilik Rogo itu sesungguhnya. Tetapi bagaimana dengan laki-laki pesolek da-ri Gunung Pati itu...?"
Disebut-sebutnya laki-laki pesolek, membuat
Sri Pamuja bagai disengat kalajengking. Dia tiada menyangka kalau Pendekar Hina
Kelana telah mengetahui sedemikian banyak.
"Jadi anda telah melihat laki-laki pesolek dari Gunung Pati itu...?"
"Benar!"
"Heh, laki-laki itu juga termasuk kambratnya si Gemuk Bertopi Tanduk Kerbau.
Mereka ini juga memiliki tujuan yang sama dengan si Jubah Hitam. Dengan
Racun Linglung Raga, dia telah membuat botak kepala
murid-murid Aki Kilik Rogo!"
"Apa! Jadi orang-orang yang tiada berdosa itu
kini dalam cengkeraman dua kekuatan yang sangat
keji...!" "Agaknya begitulah!"
"Hal ini malah akan membahayakan keselamatan Aki Kilik Rogo?" tukas Buang Sengketa. Mengkhawatirkan keselamatan orang tua
berbadan pendek tersebut. Sri Pamuja nampak gelengkan kepalanya.
"Tidak, mereka merencanakan sesuatu untuk
dipakai dalam jangka waktu tertentu, hal itu tidak perlu dirisaukan. Yang
terpenting, kalau anda memang
benar-benar bermaksud menolong Aki Kilik Rogo dari
malapetaka yang tak pernah diduganya. Anda harus
mengejar Sadaki, sebab andai tidak maka anda akan
kerepotan dalam menghadapi lawan yang sedemikian
banyak dan tangguh pula!"
"Maksudmu orang yang sempat bentrok denganmu tadi...?" tanya Buang Sengketa agak bimbang.
"Betul, sebab dia juga merupakan kambratkambrat yang paling setia dari Kebo Selaksa Wisa atau yang bernama Dulimang
itu...!" "Ah, aku tak tahu pula di mana arahnya Gunung Bromo itu...!" menyela Buang Sengketa berterus terang. "Kalau anda mau,
saya bersedia menjadi penunjuk jalan anda...!" kata Pamuja menawarkan diri.
Sudah barang tentu tawaran itu tak mungkin ditolak
oleh si pemuda. Berjalan dengan seorang gadis cantik, sudah barang tentu akan
sangat menyenangkan ketimbang berjalan seorang diri. Itu makanya setelah pikirpikir sebentar dan garuk-garuk kepalanya, maka
dia pun mengangguk setuju. Lalu tanpa membuangbuang waktu lagi, kedua orang itu pun segera meninggalkan tempat itu.
* * * Pagi nan cerah, namun tiada makhlukmakhluk yang terbang di sekitar Pegunungan Dieng.
Suasana sepi nampak menyelimuti daerah sekitarnya,
tak seorang pun terlihat di sana. Sementara kabut putih yang menyelimuti sekitar
daerah itu semakin siang hari nampak semakin hilang sama sekali. Hanya
kegersangan saja yang ada di sana, pohon-pohon hutan
di sana sini nampak kering dan mati, sepintas suasana benar-benar berkesan
sangat angker. Tetapi jauh di lereng gunung tersebut, nampak sosok bayangan
berla- ri-lari begitu cepatnya menuju arah Utara. Tubuh
orang itu dengan gesit sekali berkelebatan di antara pohon-pohon kering yang
terdapat di sepanjang semak
yang dia lalui. Hanya dalam waktu sepemakan sirih,
orang itu pun telah sampai di suatu bangunan yang
sudah sangat tua. Bangunan yang terbuat dari batubatu kali itu sudah nampak rusak di sana sini. Untuk mencapai sebuah pintu utama
yang berukuran sangat
besar dan sudah rusak, terdapat sebuah tangga bertingkat yang jumlah keseluruhannya hampir mencapai
dua puluh anak tangga. Sama seperti tiang-tiang yang berdiri megah dan sudah
sangat tua itu. Maka anak
tangga tersebut, juga terbuat dari susunan batu kali yang diatur sedemikian
rupa. Perempuan berjubah hitam itu untuk sesaat lamanya nampak tercenung di
depan anak tangga pertama.
Memperhatikan anak tangga dan bangunan tua
yang hampir menyerupai sebuah kuil tersebut. Lamakelamaan dia teringat masa-masa tiga puluh tahun
yang lalu, di mana pada saat itu dia pernah tinggal di tempat itu selama hampir
empat puluh tahun. Teringat pula olehnya, tentang adik seperguruannya yang
sangat baik hati dan selalu bersikap mengalah. Lalu gurunya yang sudah sangat tua renta yang dikenal sebagai Empu Wesi Laya yang sangat memanjakan dirinya.
Saat itu Empu Wesi Laya begitu sangat memanjakan
dirinya, bahkan boleh dikata apapun yang dia minta
selalu saja dituruti. Sampai-sampai dalam hal menurunkan ilmu sakti saja, dia selalu diberi perhatian
yang lebih. Begitu pun sifatnya yang selalu tamak dan tak pernah kenal rasa puas
itu pada akhirnya meminta sesuatu yang lebih yaitu ingin memiliki kitab pusaka
Bendil Dieng. Salah satu kitab yang pada akhirnya dapat menimbulkan malapetaka
di permukaan bumi.
Sampai pada batas itu, sang guru nampaknya benarbenar sangat murka, lalu mengusir dirinya bagai seorang yang telah melakukan kesalahan terberat. Dia
yang sering hidup dalam kemanjaan, pengusiran sang
guru kiranya telah menimbulkan dendam kesumat.
Pergilah sang murid atau yang lebih dikenal sebagai
Batari Murti dengan membawa dendam yang membara. Tetapi beberapa purnama kemudian dia kembali lagi dengan tujuan untuk mencuri Kitab Bendil Dieng.
Perempuan itu ternyata memang berhasil dan melarikan kitab tersebut untuk dipelajari dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Tujuannya hanya satu, yaitu
menuntut balas atas kematian orang tuanya juga atas
pengusiran dirinya. Tetapi di luar dugaannya, ternyata kitab tersebut sangat
sulit untuk dimengerti isinya.
Melawan guru dengan kepandaian yang berasal dari
satu sumber, hal itu hanya berarti sebuah kesia-siaan belaka. Cara satu-satunya
adalah dengan jalan memanfaatkan tenaga adik seperguruannya. Aki Kilik Rogo, hal itu pun tidak mudah, mengingat dia juga pernah terlibat pertarungan sengit dengan adik seperguruannya tersebut. Ketika laki-laki berbadan pendek itu mencoba meminta
kembali Kitab Bendil Dieng
yang sudah berada di tangannya. Sebagai murid tersayang, sudah barang tentu Aki Kilik Rogo bukanlah
lawan Batari Murti yang sakti mandraguna itu.
Setelah kekalahannya itu Aki Kilik Rogo, seperti
diketahui lantas memilih tinggal di Gunung Kendeng,
dan mengambil orang-orang terlantar sebagai muridnya. Namun kiranya semua itu terus dalam pengawasan Batari Murti, yang pada akhirnya berhasil mengajarkan sebuah ilmu ganas pada murid-murid Aki Kilik
Rogo di luar sepengetahuan laki-laki tersebut. Dan kalau hari ini dia sampai di
tempat tinggal bekas gurunya tersebut, hal ini dia lakukan adalah dengan maksud
untuk mencari tahu, apakah gurunya yang sudah berusia lebih dari seratus sembilan puluh tahun itu masih ada atau tidak. Lebih
dari sekedar itu, dia pun
punya maksud untuk mencari tahu di manakah sesungguhnya kunci rahasia dari kitab yang dia curi itu disembunyikan oleh
gurunya. Kini dengan langkah
berhati-hati, si Jubah Hitam mulai menapakkan kakinya menaiki anak tangga demi anak tangga. Hingga
akhirnya sampailah si Jubah Hitam atau yang lebih
dikenal dengan Batari Murti, pada anak tangga yang
kedua puluh. Pintu tampak ternganga lebar, suasana
dalam ruangan nampak samar-samar dan tidak terawat. Si Jubah Hitam nampak melangkahkan kakinya
lebih ke dalam lagi, tiada apapun di sana. Hanya seekor burung hantu nampak
berkelebat ke luar manakala si Jubah Hitam melangkah ke dekatnya. Angin yang
berhembus dari luar jendela dan pintu terasa sangat
dingin sekali, si Jubah Hitam nampak mengucekngucek matanya. Semakin ke dalam dia melangkah,
suasana semakin gelap dan samar-samar. Sungguhpun wanita berusia lebih dari delapan puluh tahun itu dulunya sudah terbiasa
berada di tempat itu, akan tetapi berada di tempat itu seorang diri dan dalam
keadaan bersalah pula hal ini membuat dirinya menjadi
gelisah. Hemm! Ke manakah perginya sang guru,
mungkinkah sudah tiada. Kalau memang benar tetapi
mengapa tiada bekas-bekas mayatnya, tulangnya, atau
apa saja sebagai bekas suatu kematian. Akhirnya dia
memberanikan diri untuk memasuki kamar pribadi
Empu Wesi Laya. Hampir sampai di ruangan depan
kamar pribadi gurunya, dadanya terasa berdetak keras. Sementara sebuah pintu masih tetap utuh. Si Jubah Hitam kemudian menyentakkan gerendel yang
terdapat di pintu pribadi tersebut. Begitu terbuka,
keadaan di depannya semakin bertambah gelap luar
biasa. Si Jubah Hitam terpaksa menghidupkan suluh
yang terdapat di ruangan itu. Begitu suluh tersebut
menyala, maka terlihatlah suasana di sekitar ruangan.
Berpuluh-puluh ekor kelelawar nampak beterbangan
ke segala arah. Mungkin karena suasana terang yang
tiba-tiba, membuat binatang-binatang malam itu menjadi panik tak karuan. Sementara itu di salah satu sudut nampaklah kerangka
mayat Empu Wesi Laya dalam keadaan duduk bersila, melihat keadaan kerangka
yang sudah dipenuhi dengan debu, tahulah si Jubah
Hitam, bahwa mungkin saja Empu Wesi Laya sudah
meninggal selama lebih dari sepuluh tahun. Tiada rasa hormat maupun kesedihan
yang membayang di wajah
si Jubah Hitam. Malah sebaliknya manusia yang sudah setengah iblis itu nampak tersenyum penuh kemenangan. Lalu dipandanginya kerangka bekas gurunya itu dengan penuh kebencian. Kemudian dia pun
bergumam seorang diri.
"Guru, semestinya aku menghormatimu, tetapi
engkau terlalu sombong dengan tidak memberikan Kitab Bendil Dieng yang sangat luar biasa itu! Kini engkau mati dalam keadaan yang
sangat menyedihkan.
Mayatmu pun tak ada seorangpun yang mengurusnya,
aku tiada peduli. Aku datang ke mari hanya ingin
mencari kunci Kitab Bendil Dieng. Di mana guru... di mana...?" gumamnya sembari
memandang pada kerangka yang masih tetap dalam keadaannya.
Seusai dengan ucapannya itu, mendadak seisi
ruangan bagai dilanda gempa. Tubuh si Jubah Hitam
nampak terhuyung-huyung, suasana di sekitarnya
timbulkan suara bergemuruh. Namun hal itu hanya
sekejap saja, sedetik kemudian nampak pula berkelebatnya cahaya merah kebiru-biruan meninggalkan kerangka Empu Wesi Laya. Seiring dengan melesatnya
cahaya tersebut dari kerangka Empu Wesi Laya, maka
tulang belulang itu pun ambruk dari posisinya. Debu
mengepul memenuhi seluruh ruangan tersebut. Tulang
belulang Empu Wesi Laya nampak tumpang tindih,
sementara tengkorak kepalanya nampak menggelinding, berputar-putar, seolah protes atas kehadiran murid yang telah dikutuknya.
Tengkorak kepala tersebut pada akhirnya berhenti persis di depan si Jubah Hitam.
Anehnya tengkorak tersebut bagian mukanya
menghadap ke arah si Jubah Hitam. Hal itu sudah barang tentu membuat si Jubah Hitam menjadi berang.
Lalu dengan penuh kebencian ditendangnya tengkorak
kepala gurunya sendiri. Tengkorak kepala tersebut
nampak mencelat, lalu menabrak dinding kamar yang
terbuat dari batu pualam putih. Sehingga karena begi-tu kerasnya tendangan
tersebut, maka tengkorak kepala itu pun hancur berantakan.
Dan tiba-tiba keajaiban terjadi kembali. Ruangan bergetar hebat, seketika itu juga terdengar suara yang sangat dikenali oleh
si Jubah Hitam.
"Batari Murti, murid murtad dan sangat durhaka! Engkau benar-benar telah mengecewakan harapanku. Pengusiran ku dahulu bukannya membuat
engkau berpikir untuk memperbaiki kesalahanmu. Tetapi malah membuatmu menjadi manusia setengah iblis! Sampai di alam fana ini, arwahku tak akan pernah tenang, kukutuk engkau
dengan kematian yang paling
menyakitkan. Batari Murti, engkau akan mati di tangan seorang pemuda pengelana berperiuk, kepalamu
akan terlempar ke dalam kawah Dieng, badanmu akan
tercampak di laut hitam, sedangkan kaki dan tanganmu akan menggelantung di empat penjuru mata angin.
Kematianmu benar-benar sangat mengenaskan sungguhpun engkau manusia tersakti di bumi Jawa Dwipa
ini!" kata roh Empu Wesi Laya.
*** 6 "Hi... hi... hi...! Bagaimana orang yang sudah
mati bisa menjatuhkan kutuk kepadaku?" tukas si Jubah Hitam mencemooh.
"Sang Hyang Pencipta maha tahu. Satu saat
engkau pasti akan merasakannya. Engkau tak mungkin menghindar dari kutuk-ku...!"
"Bah. Engkau sudah mati, Empu Wesi Laya,
engkau tak mungkin mampu berbuat itu kepadaku,
tak mungkin mampu...." teriak si Jubah Hitam dengan suara melengking tinggi.
"Jasad kasar ku memang sudah mati, tetapi
rohku tak akan pernah mati. Itulah satu-satunya yang paling kekal...!" kata roh
Empu Wesi Laya penuh wibawa. Tak terkirakan betapa geramnya hati si Jubah
Hitam demi mendengar suara Empu Wesi Laya. Serta
merta dia kebutkan jubahnya mengarah cahaya merah
yang kini nampak di sudut ruangan. Selarik sinar hitam menderu dari jubah yang dikebutkan oleh pemi

Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liknya. Kemudian sinar beracun tersebut meluruk sinar merah, dari penjelmaan roh Empu Wesi Laya. Cahaya merah tersebut tidak bergerak dari tempatnya.
Namun begitu pukulan yang dilepas oleh si Jubah Hitam bagai meluruk dinding yang tiada pembatas saja
menembus cahaya tersebut.
"Plassss!"
Selarik sinar hitam yang dilepas oleh si Jubah
Hitam bagai menerpa sasaran yang kosong dan langsung melabrak langit-langit ruangan. Langit-langit
ruangan tersebut bobol, sehingga meruntuhkan langitlangit kamar pribadi Empu Wesi Laya. Si Jubah Hitam
sudah bermaksud melepaskan pukulan mautnya untuk yang kedua kalinya, namun mendadak terdengar
kembali suara Empu Wesi Laya:
"Apa yang akan engkau lakukan hanyalah merupakan pekerjaan yang sia-sia, Batari Murti. Aku dan engkau sudah berada dalam jarak dinding pemisah,
tak satu pun pukulan maut yang paling ampuh sekalipun yang mampu menghancurkan dinding tersebut.
Dinding alam gaib yang satu saat juga engkau akan
berada dan tinggal untuk selama-lamanya di sana.
Simpanlah pukulan maut mu itu untuk menghadapi
lawan-lawanmu yang kelak akan membinasakan
mu...!" "Plaaasss!"
Usai dengan ucapannya itu, maka cahaya merah tersebut lenyap tiada berbekas, bersamaan dengan itu, maka bau wangi bunga
kemboja pun menebar di
segenap ruangan itu.
"Sialan!" maki si Jubah Hitam. Cepat-cepat dia meninggalkan ruangan itu,
kemudian langkahnya telah terayun menuju ruangan rahasia yang dulu dia ketahui sebagai ruangan tempat menyepi bagi Empu Wesi Laya. Setelah melewati lorong-lorong yang panjang dan pengap, maka sampailah
dia pada ruangan yang
ditujunya. Ruangan itu nampak lebih lebar dan luas,
tetapi yang membuat heran si Jubah Hitam adalah karena semua pelita yang terletak di dinding ruangan
yang sesungguhnya merupakan sebuah gua yang sudah dirubah sedemikian rupa nampak tak pernah padam. Sepertinya setiap saat ruangan itu ada yang menjaga dan membersihkannya.
Hanya satu saja yang
agak berbeda, kalau ruangan itu lantainya dulu berla-piskan batu-batu mutiara.
Akan tetapi kini keseluruhannya telah berganti dengan batu pualam biru, sedangkan dari padanya menebarkan bau yang sangat
wangi lagi dingin. Sesaat tubuh si Jubah Hitam nampak menggigil, namun setelah mengerahkan sedikit tenaga dalamnya maka, rasa dingin itu pun sirna seketi-ka. Si Jubah Hitam segera
melangkah ke tengahtengah ruangan dan menghampiri sebuah meja yang
juga terbuat dari batu pualam. Di atas meja yang terbuat dari batu pualam
tersebut terdapat sebuah kitab tipis yang terbungkus dengan selembar kain
sutera. Merasa penasaran, maka si Jubah Hitam segera menyambarnya. Tetapi betapa terperanjatnya manusia setengah iblis tersebut begitu melihat tulisan yang terte-ra pada sampul kitab
tersebut. Yang bertuliskan sebagai di bawah ini:
"Siapa saja yang sampai di ruangan ini paling awal, itulah manusia paling
celaka. Seandainya dia lebih berani lagi membuka pintu rahasia yang terdapat di
balik dinding ini, maka kutukku akan berlaku pada seluruh keturunannya. Kunci
Kitab Bendil Dieng adalah sumber malapetaka. Tiada seorang pun yang dapat
menyentuhnya kecuali dirinya benar-benar seorang pendekar sejati.
Tertanda Penguasa Gunung Dieng
Empu Wesi Laya Bukan malah kecut hati si Jubah Hitam begitu
membaca tulisan tersebut, sebaliknya kedua bola matanya nampak berbinar-binar. Baginya kesempatan
untuk mendapatkan kunci buku tersebut, kini benarbenar telah berada di ambang mata. Maka tanpa membuang waktu lagi si Jubah Hitam langsung menghampiri sebuah pintu yang terbuat dari pada batu pualam.
Tak ada tanda-tanda untuk dapat masuk ke ruangan
seperti yang dimaksudkan dalam buku petunjuk tersebut. Namun si Jubah Hitam tiada mengenal putus
asa. Dengan sekuat tenaga didorongnya pintu tersebut.
Tetapi tetap saja pintu itu tiada bergeming sedikit pun.
Didorongnya kembali, berulang dan berulang. Sungguhpun ruangan itu berhawa dingin, namun peluh
mulai membasahi sekujur tubuhnya. Sementara nafasnya pun mulai ngos-ngosan. Pintu batu pualam
tiada bergeming! Lama-kelamaan si Jubah Hitam jadi
kesal sendiri. Hingga pada akhirnya dia terpaksa
menggunakan tenaga dalamnya yang sudah mencapai
tingkat kesempurnaan itu.
Sejurus dia memusatkan segenap perhatiannya, lalu didorongnya pintu batu pualam tersebut keras-keras. "Kreoott!" Pintu batu pualam membuka, namun begitu pintu itu menganga kira-kira
tiga jengkal, mendadak berhamburanlah puluhan anak panah berbisa
meluruk si Jubah Hitam. Cepat-cepat perempuan setengah iblis itu pun memutar tongkatnya yang berkepala serigala. Putaran tongkat yang bagai titiran tersebut menimbulkan angin
bersiuran. Dan anak-anak
panah tersebut berpentalan ke segala arah begitu menerjang tongkat kepala serigala yang dipergunakan sebagai perisai oleh si Jubah
Hitam. Perempuan berambut kecoklatan itu nampak memaki panjang pendek.
Lalu dengan sangat hati-hati dia mulai melangkah
kembali memasuki ruangan maut yang hanya berukuran dua kali delapan meter tersebut. Baru saja lima
langkah dia mengayunkan langkahnya, kembali dia dikejutkan oleh bunyi mendesis yang menebarkan bau
amis. Lalu bermunculan pula berbagai jenis ular berbi-sa dari berbagai ukuran.
"Sreeet!" Si Jubah Hitam cabut pedang pendek yang berwarna putih mengkilat. Lalu
begitu ular-ular tersebut menyerang ke arahnya, maka tak ampun lagi
si Jubah Hitam langsung babatkan pedangnya ke arah
ular-ular tersebut. Maka tak ampun lagi ular-ular penjaga tersebut berkutungan
karena terbabat pedang tajam milik si Jubah Hitam.
Darah memercik ke mana-mana, bangkai ularular berbisa itu pun berserakan di atas lantai batu pualam. Tak seekor pun dari
ular-ular tersebut yang di-biarkan hidup. Si Jubah Hitam tetap menggenggam
senjatanya, hal itu dia lakukan demi menjaga kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin saja
menghadang di depannya. Namun agaknya apa yang
dikhawatirkannya itu sudah berakhir, karena pada
langkah-langkah berikutnya dia sudah tidak mendapati hambatan apapun. Si Jubah Hitam nampak menarik
napas lega begitu berada di sudut ruangan. Yang merupakan tempat penyimpanan segala jenis kitab-kitab
berharga milik almarhum Empu Wesi Laya.
Lalu dengan sangat hati-hati dia pun mulai
membuka sebuah kotak besar yang berwarna merah.
Mendadak jantungnya terasa berdetak lebih cepat, darah menggemuruh sampai ke ubun-ubun. Lalu dengan
tangan bergemetaran dia pun mulai membuka kotak
yang berwarna merah tersebut.
Tak terbayangkan betapa terkejutnya si Jubah
Hitam, ketika seekor burung berwarna hitam, nampak
melompat dari dalam kotak tersebut. Anehnya lagi, sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, burung tersebut
telah menyambar sebuah kitab pada tumpukan paling
atas, burung tersebut langsung mengepakkan sayapnya. Hanya dalam sekedipan mata, burung yang tak
dikenal itu pun telah lenyap dari pandangan si Jubah Hitam bersama kitab yang
ada dalam cengkeraman
kakinya. "Kampret! Kiranya semua ini sudah diatur sedemikian rupa oleh Empu Wesi Laya...!" Dalam keadaan marah-marah seperti itu si
Jubah Hitam mulai
memeriksa buku-buku tersebut satu demi satu. Namun apa yang dia cari-cari sudah tak berada di tempatnya. "Sialan! Burung keparat itu benar-benar telah melarikan kunci Kitab
Bendil Dieng. Huh, ke mana lagi aku harus mencarinya!" batinnya pelan. Kemudian
setelah mengobrak abrik seisi peti yang berwarna merah itu, maka dengan sangat
tergesa-gesa dia keluar dari ruangan itu, langkahnya terus menuju ke arah lorong
tempat semula, sementara secara Lamat-lamat dia bagai mendengar apa kutuk yang dijatuhkan oleh Empu
Wesi Laya kepadanya. Tetapi dia tiada perduli, yang
ada dalam benaknya adalah bagaimana caranya mendapatkan kunci pembuka tabir rahasia yang menjadi
penunjuk pada kitab yang kini sudah berada di tangannya. * * * Setelah melakukan perjalanan berhari-hari, kini sampailah pemuda dan gadis itu di Gunung Bromo.
Matahari sudah berada di kaki bukit ketika mereka
sampai di depan rumah panggung milik Dulimang atau
yang lebih dikenal sebagai Kebo Selaksa Wisa. Kedua
orang ini sejenak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Suasana hanya sunyi belaka. Sungguhpun
begitu, Buang Sengketa merasakan ada beberapa pasang mata nampak memperhatikan kehadiran mereka
sejak awal tadi. Akan tetapi dia maupun Sri Pamuja
yang menyertainya tak tahu siapa sesungguhnya orang
yang berada di atas rumah panggung tersebut.
"Mungkinkah orang-orang yang mengintai itu
Kebo Selaksa Wisa dan orang-orangnya?" tanya si pemuda begitu pelannya.
"Kalau keadaannya sunyi seperti ini, biasanya
orang itu tak ada di rumah. Paling-paling hanya pembantunya saja, yaitu si raksasa tolol, dan juga si laki-laki pesolek."
"Tetapi menurutmu si laki-laki pesolek itu tidak tinggal di tempat ini?" tanya
si pemuda tak habis mengerti. Wajah Sri Pamuja nampak memerah begitu mendapat pertanyaan seperti itu.
"Maksud.... Maksudku.... Laki-laki pesolek itu
sesungguhnya merupakan gendaknya si Kebo Selaksa
Wisa...!" ucapnya tersipu-sipu. Sementara itu si pemuda nampak terperangah
kaget, bagaimana mungkin laki-laki kawin dengan laki-laki. Dan diam-diam dia pun merasa malu sendiri.
"Benar-benar manusia sesat...!" rutuk si pemuda.
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Sri Pamuja, lalu mengerling pada pemuda
itu dengan pandangan penuh arti.
"Kalau begitu, coba panggil orang-orang yang
berada dalam rumah bertonggak itu!" perintah Buang Sengketa. Lalu tanpa menunggu
diperintah dua kali,
Sri Pamuja mengerjakan apa yang diperintahkan oleh
si pemuda. "Manusia yang menyebut dirinya sebagai Kebo
Selaksa Wisa, harap keluar untuk menemui kami...!"
kata Sri Pamuja setengah memerintah. Tiada jawaban,
namun Buang Sengketa dapat melihat berkelebatnya
tubuh seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa
mendekati pintu rumah panggung tersebut.
"Hei, orang yang berada di dalam rumah. Kami
ingin bertemu dengan saudara Kebo Selaksa Wisa."
Namun tetap saja seperti tadi, tak seorang pun ada
yang keluar dari dalam pondok itu. Menunggu berlama-lama akhirnya membuat kedua orang itu sudah
tak sabaran lagi. Buang Sengketa sudah bermaksud
memasuki rumah bertonggak itu secara paksa, ketika
tiba-tiba saja pintu rumah panggung itu menguak.
Seorang laki-laki berbadan gemuk luar biasa dan seorang lainnya yang berdandan menyerupai perempuan,
nampak melongokkan kepalanya. Kemudian terdengar
langkah-langkah kakinya yang berat bergedebukkan di
atas tanah yang dilalui-nya.
Sesaat Pendekar Hina Kelana nampak meneliti
kehadiran dua orang itu. Seorang yang berbadan gemuk luar biasa, di bagian pinggangnya menjuntai pedang panjang bermata ganda. Laki-laki itu tiada mengenakan baju, jadi hanya bercawat saja. Sedangkan
rambut-rambut di kepalanya yang jarang-jarang itu
sudah mulai nampak memutih. Laki-laki berbadan
raksasa itu sesungguhnya sangat tolol, dia jarang bicara. Namun menurut
perintah, dia akan mengerjakan
apa saja asalkan sebelumnya telah diberi makan sekenyang-kenyangnya. Kaum persilatan mengenalnya sebagai si Raksasa Tolol Bertenaga Besar. Sedangkan
seorang laki-laki lainnya adalah merupakan orang
yang pernah dilihat oleh Buang Sengketa, di pekarangan rumah Aki Kilik Rogo di Gunung Kendeng. Lakilaki bertampang perempuan itu, nampak lebih galak
ketimbang si Raksasa Tolol yang memiliki sepasang
mata tak ubahnya bagai orang yang sedang mengantuk berat. Laki-laki itu kini berpakaian kembangkembang. Sedang di punggungnya terdapat selempangan senjata yang berupa kebutan yang terbuat dari
ekor buaya. Sekilas apabila di lihat laki-laki pesolek itu nampak seperti sedang
menggendong gergaji yang berukuran sangat besar.
Saat itu kedua orang tersebut nampak memperhatikan kehadiran Buang Sengketa dan Sri Pamuja
dengan pandangan penuh selidik. Akan tetapi setelah
merasa tidak pernah mengenal kedua orang ini, maka
laki-laki pesolek atau yang sering dipanggil Anggih cepat membentak.
*** 7 "Manusia-manusia tak diundang! Datangdatang berteriak-teriak bagai babi hutan. Ada keperluan apakah kalian mencari Kakang Kebo Selaksa Wisa...?" bentak Anggih sambil pelototkan kedua matanya. Melihat sikap si lakilaki pesolek yang galak itu, maka Buang Sengketa tertawa ganda. Sambil pencongkan mulut, maka dia pun berkata:
"Aku cuma numpang tanya, adakah Kebo Selaksa Wisa di rumah?"
"Aku tanya apa keperluanmu menanyakan Kakang Kebo Selaksa Wisa?"
Pendekar Hina, Kelana garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal!
"Kalian tidak punya hak untuk tahu apa yang
menjadi tujuan kami...!"


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sinting! Berani sekali engkau membentakbentak kami. Engkau pikir aku akan mengatakannya
pada kalian?" tukas Anggih.
Dan agaknya Sri Pamuja mengetahui bahwa
Kebo Selaksa Wisa memang tak sedang berada di tempat. Maka dia pun lalu berpura-pura:
"Kalau begitu kita pergi saja dari sini, Kelana!"
Si Anggih tanpa terduga-duga cepat melompat
menghadang, begitu melihat si pemuda dan si gadis
bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Eit, tunggu! Enak saja kalian datang dan pergi.
Kalau kalian tak mau terangkan apa tujuan kalian ingin menjumpai Kakang Kebo Selaksa Wisa, maka kalian harus dengan rela meninggalkan sebelah tangan
kalian sebagai kenang-kenangan!" bentak laki-laki pesolek itu. Seraya langsung
mencabut senjatanya.
"Tangan kami terlalu mahal untuk sebuah keterangan yang tiada harga, apalagi hanya untuk nyawa
seekor anjing Selaksa Wisa!" kata Buang Sengketa acuh. Sudah barang tentu ucapan
si pemuda yang membuat si Anggih dan Manusia Raksasa menjadi
murka. Si laki-laki pesolek yang sudah menghunus
senjatanya itu segera babatkan pedangnya, dengan
maksud membelah kepala si pemuda yang bermulut
lancang. Akan tetapi begitu si pemuda angkat tangannya, si Anggih nampak terkejut luar biasa. Pedang di tangan tak mampu dia
gerakan, dia merasakan ada
kekuatan besar yang menahan laju pedang yang sudah
dialiri tenaga dalam itu. Maka sadarlah si laki-laki pesolek itu, bahwa pemuda
yang berpakaian gembel itu
sesungguhnya memiliki kepandaian tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi dari yang dia duga. Dalam pada
itu si pemuda telah berkata pula;
"Manusia wajah kuntilanak.... He... he... he...!
Mengapa tak kau teruskan pedangmu untuk membacokku.... Lakukanlah...!"
Merah padam wajah si Anggih, dan sungguhpun Manusia Raksasa berambut jarang itu termasuk
orang yang memiliki kecerdasan setingkat lebih tinggi daripada seekor keledai.
Namun dia menyadari bahwa
kawannya sedang dipermainkan oleh lawan. Dia sangat marah sekali, kedua bola matanya yang seperti
orang tertidur itu pun nampak terbeliak lebar. Gigigiginya bergemeletukan.
"Eng... engkau... orang kurang ajar, Bocah! Kawanku engkau permainkan, aku mau balas...!" kertaknya ketolol-tololan.
Si pemuda hampir tertawa karena menahan geli! "Lakukanlah, hendak kulihat engkau mampu
berbuat apa...?"
"Sialan!" makinya, lalu dengan gerakan yang sangat berat si Manusia Raksasa
dengan tangan terkepal, kirimkan satu pukulan yang berupa sodokan
tinju kanannya.
Sungguhpun pukulan yang dilancarkan oleh si
Manusia Raksasa itu hanya mengan-dalkan tenaga besar belaka. Namun datangnya serangan itu sempat
menimbulkan suara bersiuran. Si Manusia Raksasa,
yang secerdik setingkat di atas keledai ini berharap.
Dengan sekali pukul saja, dada si pemuda akan melesak, atau paling tidak dadanya akan remuk karena tulang-tulangnya berpatahan. Namun di luar dugaan si
Manusia Raksasa tersebut. Dengan sedikit menggeser
kakinya dan miringkan badan sedikit. Buang Sengketa
dapat mengkelit pukulan lawan yang memiliki kekuatan ratusan kati tersebut. Praktis, pukulan tersebut mencapai sasaran yang
kosong. Sebaliknya si pemuda
masih mampu kirimkan satu sentilan pada bagian
pangkal lengan si manusia besar itu.
"Arrgggk!"
Manusia berbadan besar itu pun menjerit bagai
lenguh seekor lembu jantan yang terluka. Orang itu
nampak terhuyung-huyung, tangan kanannya yang dia
pergunakan untuk memukul itu pun tiba-tiba terasa
kaku dan sangat sulit untuk digerakkan. Si Manusia
Raksasa yang tidak pernah kenal kompromi ini nampak sangat marah sekali. Sungguhpun tangan kanannya sudah dalam keadaan kaku karena tertotok, namun dia kembali melakukan serangan.
Dalam kesempatan itu, si laki-laki pesolek itu
pun sudah mulai bergebrak untuk melakukan pengeroyokan. Dengan pedangnya yang mengkilat-kilat, dia
pun melompat dan kirimkan satu tusukan pada bagian
punggung si pemuda. Tetapi pada saat itu Sri Pamuja
juga tidak tinggal diam. Lebih cepat lagi dia memapaki bokongan yang dilakukan
oleh si Anggih.
"Trangg!"
Si laki-laki pesolek nampak terkejut, tiada menyangka kalau si gadis yang tadinya dia anggap lemah, kiranya memiliki
kepandaian juga. Bahkan tenaga dalamnya pun tidak bisa dianggap enteng.
"Monyet cantik muka kuntilanak, aku paling
benci pada manusia pembokong sepertimu. Marilah kita main-main sebentar...!" bentak Sri Pamuja sambil berdiri bertolak pinggang.
Si laki-laki pesolek nampak sangat geram sekali, apalagi tadi serangannya yang mendadak itu sempat digagalkan oleh gadis itu.
Si Anggih meludah ke tanah dengan memandang pada si gadis penuh kebencian.
"Betina sialan! Sesungguhnya aku pun lebih
benci lagi bertarung dengan seorang betina macammu.
Aku lebih suka berhadapan dengan bocah tampan itu.
Tetapi karena kau telah menggagalkan rencanaku,
maka aku harus menggusur mu ke liang kubur!"
"Bagus!"
"Haaaiiit.... ciaaat...!" Tanpa menggubris celoteh si gadis, si Anggih langsung
bergebrak dan kirimkan
serangan-serangan yang cukup mematikan. Maka dalam waktu sekejap saja pertarungan di kaki Gunung
Bromo itu pun berlangsung sangat seru dan menegangkan. Nampaknya masing-masing lawan memiliki
jurus-jurus pedang yang sangat ampuh. Terbukti setelah pertarungan berlangsung puluhan jurus, tak seorang pun di antara mereka yang berhasil mendesak
lawannya. Sementara itu, di lain pihak, pertarungan antara pendekar dari Negeri Bunian dan Manusia Raksasa
nampak lebih seru lagi. Apalagi ketika berulangkali si pemuda selalu gagal
memukul roboh orang tersebut,
bahkan meskipun dia telah mempergunakan pukulan
"Empat Anasir Kehidupan" yang tiada duanya itu. Ah, terbuat dari apakah manusia
berotak keledai ini. Batin si pemuda mengeluh! Dia kebal terhadap semua pukulan
yang sangat diandalkannya. Selamanya tak seorang pun yang mampu menahan pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang dimilikinya, seandainya tidak
terpukul mati, tetapi setidak-tidaknya akan terluka dalam yang cukup parah.
Tetapi kini manusia sebesar
gajah itu hanya tergoyang-goyang saja menerima pukulan yang dilepaskannya.
Hal ini saja sudah membuat si pemuda terkagum-kagum! Sungguhpun begitu dia tak ingin membuang-buang waktu percuma, kalau dengan pukulan
si raksasa itu tidak bisa kojor. Sekebal-kebalnya manusia sudah pasti ada titik
kelemahannya. Buang
Sengketa sudah berpikir-pikir untuk mempergunakan
pusaka Golok Buntungnya untuk mengatasi kesulitan
yang dia hadapi. Hal ini membuatnya tertegun sesaat
lamanya, namun kelengahan yang sekejap itu, bagi si Manusia Raksasa sangat besar
artinya. Lalu dengan
mengerang bagai seekor singa terluka, dia pun menerkam lawannya. Tiada kesempatan bagi si pemuda untuk menghindari terkaman yang begitu cepat datangnya. "Kreeep!"
Tahu-tahu tangan-tangan besar dan sangat kokoh itu telah mencekal tubuhnya begitu eratnya. Si
pemuda merasakan lehernya bagai hendak putus, nafasnya tersendat-sendat bagai tersumbat. Si pemuda
nampak menggeliat-geliat dan berusaha melepaskan
jepitan tangan yang semakin kuat itu. Si Manusia Raksasa mengekeh. Agaknya kali
ini si pemuda benarbenar segera menyongsong ajal, andai Sri Pamuja tidak melihat kejadian ini.
Sambil terus bertahan memben-dung serangan-serangan yang dilakukan si laki-laki
pesolek, Sri Pamuja meraba pinggangnya. Kemudian
tiga batang pisau beracun telah tergenggam di tangan kirinya. Secara cepat dia
melemparkan pisau beracun
tersebut pada bagian punggung lawannya.
"Wuuut!"
Lemparan yang berisi setengah dari tenaga dalam yang dia miliki, membuat pisau-pisau tersebut melesat laksana kilat. Tak
ampun, senjata beracun itu
pun menghajar punggung lawannya.
"Creeep!"
Salah sebuah pisau yang disambitkan si gadis
tepat mengenai sasarannya. Si Manusia Raksasa walau
seperti tidak merasakan tertembus pisau-pisau itu,
namun membuat dia menoleh. Kesempatan yang
hanya sesaat itu dipergunakan oleh si pemuda untuk
meronta. Sungguhpun rontaan yang tiba-tiba dilakukan oleh si pemuda. Namun tidak membuat dirinya
terbebas secara keseluruhan. Bagian lehernya memang
luput dari jepitan yang mematikan tersebut. Namun
tangannya yang hampir lolos itu masih dapat dicandak kembali oleh si Manusia
Raksasa. Jepitan kembali
mengeras, si manusia berotak keledai yang sudah terluka sedikit itu sangat marah besar.
Sesaat kemudian disentakkannya tubuh Pendekar Hina Kelana ke atas, tetapi tangan masih tetap dalam genggamannya. Tubuh
si pemuda mencelat laksana terbang, baru saja tubuhnya melambung ke udara, mendadak bagai ditarik setan bumi, tubuh itu pun kembali tersentak ke bawah.
Begitu hal itu terjadi berulang-ulang. Hingga pemuda itu merasakan persendian tangannya bagai tercabik-cabik. Dalam detikdetik yang sangat kritis itu, tiba-tiba dia teringat pada lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh. Sungguhpun dia merasa tubuhnya telah menjadi lunglai tiada daya,
tetapi dia merasa untuk menjerit mungkin dia masih mampu. Maka tak berpikir
panjang dia pun keluarkan jeritan yang sangat tinggi membahana. Suara jeritan
yang berkepanjangan dan bagai hendak meruntuhkan alam
sekitarnya itu, membuat telinga orang-orang yang berada di sekitar tempat itu bagai tercabik-cabik. Daun-daun yang menghijau nampak
berguguran, sementara
burung-burung walet yang secara kebetulan beterbangan di tempat itu, nampak runtuh ke bumi, menggelepar-gelepar sekejap lalu berkelojot-an mati. Bukan main akibat yang ditimbulkan
akibat lengkingan Ilmu
Pemenggal Roh itu. Apalagi pada saat melakukannya
Pendekar Hina Kelana dalam keadaan marah besar.
Mau tak mau demi merasakan sakit yang luar biasa,
Manusia Raksasa itu terpaksa melemparkan tubuh si
pemuda. Tubuh yang terasa lemah itu meluncur deras
untuk kemudian terhenti setelah menabrak batu sebesar kerbau yang terletak tak begitu jauh dari tempat itu. Batu tersebut hancur
berantakan ketika berbentu-ran dengan tubuh si pemuda. Pendekar dari Negeri
Bunian dan merupakan murid tunggal si Bangkotan
Koreng Seribu ini nampak menggeliat-geliat. Dia merasakan tulang belulangnya
bagai remuk. Dada sesak
dan nyeri, sementara kepalanya berdenyut-denyut bagai hendak pecah.
Cepat-cepat si pemuda menghimpun hawa
murni, dia terbatuk-batuk, lalu dari sela-sela bibirnya menggelogok darah
kental. Tak terbayangkan bagaimana jadinya andai orang biasa yang membentur batu
tersebut. Sudah barang tentu tubuhnya akan remuk
dan tewas seketika itu juga.
Beberapa saat kemudian setelah menghimpun
hawa murni, maka secara perlahan tubuhnya yang
pucat pasi itu secara perlahan kembali berangsur seperti sediakala. Namun baru saja dia bermaksud
bangkit kembali, si Manusia Raksasa yang hidung dan
kupingnya telah mengalirkan darah. Sudah memburunya dalam jarak yang begitu dekat. Tiada pilihan lain bagi pendekar ini
terkecuali berguling-guling di atas tanah berbatu demi menghindari terinjaknya
kaki-kaki raksasa tersebut. Si raksasa yang sudah terluka dalam akibat
lengkingan Ilmu Pemenggal Roh nampak semakin membabi buta begitu seranganserangan yang dilakukannya luput.
Sementara itu satu pikiran yang sangat baik
muncul di benak si pemuda. Kalau memang benar
raksasa itu kebal terhadap segala macam senjata,
mungkin bagian yang satu ini merupakan titik kelemahannya. Maka tanpa membuang waktu lagi Buang
Sengketa menyelinap ke arah bagian selangkangan si
raksasa. Cepat-cepat tangannya bergerak mencecar
pada bagian pusaka keramat milik si raksasa. Dicecarnya pusaka keramat yang
berukuran sangat besar itu
dengan jurus-jurus si Gila Mengamuk.
"Jroos! Jroos!"
Manusia Raksasa tersebut menjerit-jerit bagai
setan gila, pukulan maupun tendangan-tendangan kakinya yang sangat berbahaya itu menabrak apa saja
yang terdapat di dekatnya. Darah terus mengucur
membasahi cawatnya yang besar luar biasa, sementara
si pemuda masih terus bergerak di sela-sela selangkangan si manusia gajah itu. Hingga kemudian Buang
Sengketa pukulkan tangan kirinya ke arah pusaka keramat yang sudah terluka parah tersebut.
"Auuuuoooowwww.,.!"
Si Manusia Raksasa menjerit keluarkan suara
laksana merobek langit biru. Kedua tangannya menekap ke bagian yang sudah sangat rawan itu. Kesempatan itu dipergunakan oleh Buang Sengketa untuk melompat berdiri. Begitu dia telah tegak pada posisinya.
Tak ayal lagi kini di tangannya telah tergenggam Pusa-ka Golok Buntung yang
sangat menggemparkan itu.


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 8 Begitu pusaka itu berada dalam genggamannya. Terasa ada hawa hangat mengalir dan menjalari
tubuhnya. Sesaat dia merasakan tubuhnya semakin
membaik, walau tak bisa dibilang telah sembuh betul
dari luka dalam yang agak parah. Pendekar Hina Kelana nampak tersenyum kecut. Sesungging seringai
maut, membias di bibirnya yang masih meninggalkan
sisa-sisa darahnya sendiri. Pada saat itu baik lawan-lawannya maupun Sri Pamuja
nampak terkesima begitu melihat senjata di tangan si pemuda yang nampak
memancarkan sinar terang berwarna merah. Bahkan
pertarungan antara Sri Pamuja dan si laki-laki pesolek nampak terhenti untuk
seketika lamanya. Situasi itu sudah tidak dihiraukan lagi oleh si pemuda,
sepasang matanya yang mencorong merah, dan bunyi mendesis
yang keluar dari mulutnya menandakan bahwa pemuda ini benar-benar berada di puncak kemarahannya.
Sedetik kemudian setelah keheningan itu, dengan diawali dengan jeritan tinggi laksana merobek gendanggendang telinga. Tubuh pemuda itu pun berkelebat lenyap. Angin bersiuran mengitari tubuh si Manusia
Raksasa itu. Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Karena begitu Golok Buntung di
tangan si pemuda berkelebat, maka sedetik kemudian terdengarlah jerit kematian yang membuat bulu kuduk
berdiri menahan ngeri.
Kepala manusia gajah tersebut menggelinding
dengan mata melotot dan lidah menjulur. Sementara
tubuh yang sudah tiada berkepala itu nampak berputar-putar. Lalu ambruk dan timbulkan suara bagai pohon besar yang ditebang. Sesaat tubuh manusia kebal
itu berkelojotan untuk kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Si laki-laki pesolek yang sudah menghentikan pertarungan sejak beberapa saat yang lalu nampak sangat terkejut sekali. Nyalinya menciut. Bahkan dia tak berani memandang
pada si pemuda ketika pendekar ini menatap tajam padanya. Sementara itu Sri
Pamuja nampak melangkah mundur ketika pendekar
penegak keadilan ini melangkah mendekati si Anggih
atau si laki-laki pesolek. Sesaat dengan nada mengancam pemuda ini pun
membentak! "Aku telah banyak membuang waktu untuk melayani badut-badut semacam kalian. Kalau engkau tak
inginkan nasib seperti kawanmu itu, cepat katakan
padaku di mana Kebo Selaksa Wisa saat ini berada...?"
Semakin pucat wajah si Anggih demi mendengar pertanyaan seperti itu. Lalu dengan suara gemetaran dia pun menjawab
"Engkau tak bisa mengancam, sungguhpun
kau memenggal kepalaku sekalipun!" Tegas-tegas kemudian si laki-laki pesolek
berkata. Gusar bukan main
pendekar ini demi melihat sikap keras kepala si Anggih. "Bangsat! Aku tak akan memperlakukan mu
seperti itu, agaknya aku perlu membuntungi tangan
dan kakimu satu persatu. Ha... ha... ha...! Orang-orang keras kepala! Pedang di
tanganmu itu tiada guna,
mungkin hanya kebutan ekor naga di punggungmu saja yang mampu menandingi senjata golokku...!"
Belum lagi si Anggih hilang rasa keterkejutannya, tahu-tahu Buang Sengketa sudah kirimkan satu
pukulan dahsyat yang bersumber dari pukulan Empat
Anasir Kehidupan yang sudah tak asing lagi itu. Detik berikutnya nampaklah
serangkum sinar ultraviolet
menderu laksana satu sapuan gelombang angin puting
beliung yang membawa hawa panas luar biasa. Melesatnya pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa,
timbulkan suara menggaung bagaikan suara ribuan
lebah yang berusaha pindah dari sarangnya.
Si laki-laki pesolek nampak terkesima, dia menyadari pukulan itu jugalah yang tadi dipergunakan
oleh si pemuda untuk menggempur si Manusia Raksasa. Sungguhpun dia bukan termasuk seorang tokoh
sakti namun. Dia pun memiliki kekebalan yang tidak
jauh dibawah Manusia Raksasa. Walaupun begitu dia
tetap berusaha menghindari pukulan tersebut.
"Hiaaatt.... haiiiittt...!"
"Blaaam!"
Pukulan yang dilancarkan oleh si pemuda luput, dan menghantam tonggak-tonggak rumah bertonggak yang terbuat dari kayu meranti. Beberapa
tonggak yang menjadi penyangga nampak hancur berkeping-keping dilanda pukulan Empat Anasir Kehidupan. Rumah milik Kebo Selaksa Wisa nampak berkerekotan. Kemudian menjadi condong karena keseimbangannya hilang. Dalam kesempatan itu, Buang Sengketa
sudah mulai menduga kalau lawan yang kebal terhadap segala macam senjata. Hal ini semakin terbukti la-gi ketika jarak yang jauh,
melalui ilmu menyusupkan suara Sri Pamuja mengingatkan.
"Kakang.... Sebaiknya untuk tidak membuangbuang waktu. Engkau pergunakan saja senjatamu.
Manusia kuntilanak itu kebal terhadap segala pukulan...!" "Hmm, aku memang telah membuang waktu percuma melayani monyet cantik
itu...!" Tiba-tiba!
"Awas, Kakang...!"
Peringatan yang hanya sekejap itu, membuat si
pemuda itu melompat ke samping dan langsung berguling-guling ke tanah. Kiranya Buang Sengketa mempergunakan waktunya yang hanya sekedipan mata tadi
untuk bercakap-cakap dengan Sri Pamuja. Telah dimanfaatkan oleh si laki-laki pesolek untuk menyerang Buang Sengketa dengan
senjata mautnya yang berupa
sebuah kebutan yang terbuat dari ekor buaya yang
sangat besar dan panjang. Sungguh pun serangan pertamanya luput, namun dengan semangat yang menggebu-gebu dia kirimkan serangan-serangan lebih gencar lagi. Dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya
pemuda ini nampak selalu berhasil menghindari hantaman kebutan yang bergerigi tak ubahnya bagai gergaji raksasa. Namun di suatu kesempatan si Anggih
nampak mencecar pihak lawan dengan mempergunakan jurus Pesolek Aneh Memukul Monyet Kudisan. Jurus ini dilihat sepintas lalu sesungguhnya tidak memiliki keistimewaan
tertentu. Namun sungguh
pun jurus itu terasa begitu amat sederhana. Tetapi da-ri gerakan-gerakannya yang
sebat dan mantap, ditambah lagi dengan kebutan yang terbuat dari ekor buaya itu di tangannya. Hal itu
membuat si pemuda jadi kerepotan juga.
Beberapa jurus di depan si Anggih nampak berhasil mendesak lawan. Pendekar Hina Kelana jatuh di
bawah angin. Bahkan sesaat kemudian dia kena digebuk oleh lawannya dengan kebutan ekor buaya itu.
Sungguhpun pukulan itu tidak telak benar, tetapi ekor buaya yang menyerupai
gergaji itu telah membuat ba-junya robek besar, sementara kulit punggungnya
nampak memar dan lecet.
Nampak Pendekar Hina Kelana tak ingin mengambil resiko lebih jauh lagi. Apalagi dia sudah merasakan betapa hebatnya
kebutan tersebut mendera
punggungnya tadi. Andai saja tidak jauh-jauh sebelumnya dia telah melindungi dirinya dengan Hawa
Murni Sejati. Sudah dapat dipastikan tubuhnya akan
tercabik-cabik termakan kebutan. Tiada pilihan lagi, Pendekar Hina Kelana nampak
menyurut langkah begitu senjata di tangan si laki-laki pesolek itu hampir saja
menghantam bagian wajah. Dia mengumpat panjang pendek. Manakala dia meraba pada
bagian ping- gangnya, lalu dia menggerung. Kemudian sekejap setelahnya, tubuh pemuda itu pun telah berkelebat lenyap.
Hanya desiran-desiran angin saja yang menandakan
bahwa pendekar ini sedang berusaha menemukan titik
lemah pihak lawan. Saat itu pengaruh Pusaka Golok
Buntung yang berada di tangan si pemuda, mulai terasa bagi lawannya. Suasana dingin tiba-tiba menyelimu-ti daerah sekitar situ.
Padahal saat itu matahari bersi-nar terik. Hal ini membuat si laki-laki pesolek
meremang takut. Kemudian dengan satu jeritan keras dia
pukulkan kebutannya yang tajam bergerigi dan berat.
"Braaaak!"
Serangan yang hanya bersifat ayal-ayalan tersebut luput dari sasarannya. Mata si Anggih berputarputar mencoba mencari posisi
lawannya. Namun karena tubuh pihak lawan berkelebat laksana setan. Maka
terlalu sulit baginya untuk menyerang dengan tepat
sekali. "Sialan! Engkau hanya mengelak saja seperti setan! Apakah hanya itu
kebisaan-mu...?"
"Ho... ho... ho...! Jangan khawatir, Sobat, masih banyak lagi. Misalnya seperti
ini...!" Lagi-lagi tubuh si pemuda bergerak cepat. Tetapi golok di tangannya malah bergerak lebih cepat la-gi.
"Creees!"
Si laki-laki pesolek meraung keras begitu Pusaka Golok Buntung terasa begitu dingin menembus kulit lehernya. Anggih menekan pangkal tenggorok yang berlubang besar karena
dilanda ketajaman senjata lawan. Namun darah tak dapat terbendung. Terus menyembur, membasahi kedua tangannya. Meleleh bahkan mulai turun sampai ke baju. Hanya dalam sekejapan saja, pakaian si Anggih sudah berlumuran darah.
Tetapi benar-benar sungguh hebat daya tahan si lakilaki pesolek ini. Sebab sungguhpun dia sudah dalam
keadaan sekarat, tetapi masih saja bertahan pada posisinya. "Kakang! Orang itu takkan pernah mati, tebas-lah bagian ketiaknya...!"
seru Sri Pamuja. Pendekar ini sekejap tertegun, tetapi begitu dia ingat
peringatan tersebut maka dia pun gerakkan Golok Mautnya pada bagian yang dimaksud.
"Jroook!"
Tebasan golok membuat tangan si laki-laki pesolek terkutung. Kutungan tangan tersebut jatuh ke
tanah, bergerak-gerak sebentar lalu diam tiada berku-tik. Lalu sesaat
setelahnya. Nampaklah tubuh si laki-laki pesolek yang sudah tiada berdarah lagi
terhuyung-huyung, berputar, kemudian terjengkang dengan wajah tersungkur di atas tanah berbatu.
Mengetahui keberhasilan Buang Sengketa, Sri
Pamuja berlari menghambur ke depan pemuda yang
sangat dikaguminya itu. Sesaat memandang penuh
takjub tetapi Buang Sengketa memperhatikan tingkah
si gadis dengan sikap acuh. Sungguhpun hal itu hanya kepura-puraan belaka.
Karena hatinya pada saat itu
juga sedang berdebar keras tiada menentu. Selama
malang melintang di rimba persilatan. Baru sekali ini dia merasakan keanehan
seperti itu. Padahal cukup
banyak gadis-gadis cantik yang pernah dikenalnya. Tetapi tak pernah dia
merasakan kejadian seperti itu.
"Kakang hebat!" puji Sri Pamuja membubarkan lamunan si pemuda.
"Tanpa bantuan dan peringatanmu! Aku bukanlah apa-apa...!" kata Pendekar Hina Kelana sekilas lalu memandang pada mayat
si Manusia Raksasa dan
si laki-laki pesolek yang sudah membeku.
"Menurutmu, ke manakah perginya Kebo Selaksa Wisa...?" tanya si pemuda setelah teringat akan tugasnya.
"Kemungkinan orang itu kini sedang menuju
Gunung Dieng, Kakang Kelana...!"
Wajah Buang Sengketa mengkerut, tiba-tiba teringat pula olehnya tentang Aki Kilik Rogo yang pernah berencana untuk berangkat
ke gunung tersebut bersama murid-muridnya. Menurut laki-laki berbadan
pendek itu, hanya Empu Wesi Laya seoranglah yang
mampu mengobati penyakit yang diderita oleh muridmuridnya. Ah.... Mudah-mudahan Aki Kilik Rogo belum membawa murid-muridnya ke sana. Batinnya
berharap-harap cemas.
"Adik Pamuja...!" panggil si pemuda begitu mesra. Dan hal yang sesungguhnya saat
itu hati pendekar ini gelisah tak menentu, jantungnya terasa berdetak
lebih keras. Setiap menatap wajah si gadis, terasa ada sesuatu yang mengelus dan
membuat darahnya berde-sir. Atau inikah yang namanya jatuh cinta" Batinnya
lalu tersipu malu.
"Kakang bertanya apa?" tanya si gadis dengan sikap tak jauh beda.
"Emmm.... Masih jauhkah Gunung Dieng dari
tempat ini?"
"Lumayan jauh, mungkin bisa memakan waktu
lima hari perjalanan kaki...!" jawab si gadis. Dan sepasang matanya menatap
lekat-lekat pada wajah tampan
yang berdiri persis di depannya itu. Pendekar Hina Kelana mengalihkan
perhatiannya. Di langit sebelah Barat matahari hanya tinggal berupa semburat merah saja. Suasana di sekitarnya mulai me-rembang petang.
Tiada terdengar suara makhluk apapun di sana, tiada
kicauan burung dan nyanyian jangkrik menyambut
datangnya sang Dewi Malam. Dua orang muda yang
sedang dilanda cinta itu kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Kini yang ada
hanyalah desau angin dingin, dan mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Teronggok
begitu saja, tiada memiliki arti apa-apa.
Kala malam telah menjelang, saat itu Pendekar
Hina Kelana dan Sri Pamuja telah berlalu jauh meninggalkan lereng Gunung Bromo. Santai saja mereka
dalam perjalanan menuju Dieng untuk kali ini. Seseka-li mereka saling liriklirik mesra. Sedangkan tangan yang bergandengan itu tak pernah terlepas satu
sama lainnya. Agaknya kedua orang ini benar-benar telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Malam kian larut,
hanya kesunyian yang ada di sekitar tempat itu. Sesekali terdengar pula suara
burung hantu yang terasa
begitu menyeramkan. Kedua orang ini nampak menghentikan langkahnya. Saling berpandangan.
"Kita tak mungkin meneruskan perjalanan. Sudah beberapa hari kita tak pernah istirahat. Bagaima-na kalau kita bermalam di
tempat ini...?" tanya si pemuda mengajukan usul.
*** 9 "Semua itu terserah pada kakang saja!" jawab Sri Pamuja. Akhirnya tanpa banyak
kata lagi Pendekar Hina Kelana segera mengumpulkan ranting dan rumput-rumput
kering. Dalam waktu sekejap, alas untuk
tempat tidur itu telah tersusun sedemikian rupa. Si
pemuda kini telah duduk di atasnya, begitu pula Sri
Pamuja. Bulan purnama di langit malam sudah mulai
tertutup awan putih, sekejap cahayanya menghilang.


Pendekar Hina Kelana 10 Neraka Gunung Dieng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun sekejap kemudian sudah tampak lagi. Sementara itu dingin malam terasa menusuk sampai ke tulang belulang, embun-embun di dedaunan mulai menetes. Malam terus merangkak kian pasti. Namun saat
itu Buang Sengketa masih terduduk pada tempatnya
semula, sementara Sri Pamuja sudah nampak tertidur
dengan posisi terlentang dan tangan bersidakep ke da-da.
Lewat cahaya bulan yang kuning keemasan, si
pemuda untuk sesaat lamanya memandang pada gadis
jelita yang tertidur di sebelah tempat duduknya. Di
matanya gadis itu nampak sangat cantik sekali, kebaikan, tingkah lakunya yang
selalu menyenangkan. Cara
berpikirnya yang luas dan cerdas, semua itu ada pada gadis itu. Mendadak ada
sesuatu yang menyesak di dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih keras. Selama hidup dia belum pernah mengalami kejadian seperti itu. Rasa-rasanya dia ingin selalu berdekatan dengan gadis itu, tidak
terpisah walaupun hanya sekejap. Dia ingin melindungi dan menyayangi gadis itu
sepenuh hati, tak rela walau seekor nyamuk pun yang mengganggunya. Tiba-tiba dengan penuh kasih dibelainya
rambut si gadis yang panjang tergerai sebatas pinggang. Sri Pamuja menggeliat, lalu merintih manja.
Tangan pemuda itu nampak gemetaran, serta merta
dia menarik balik tangannya. Selama ini baru kali inilah dia punya perhatian
yang berlebihan terhadap
seorang wanita. Hatinya kian resah, jiwanya semakin
gelisah. Lagi-lagi dia menarik napas pendek. Namun
desahan nafasnya kiranya membuat Sri Pamuja terjaga
dari tidurnya. Gadis itu mengucek-ucek matanya, dan
sebelum si gadis menatap lekat padanya, dia telah
membuang pandangan matanya jauh-jauh. Ke arah
lain! "Engkau belum tidur, Kakang...!" tanyanya dengan pandangan penuh arti.
Bara Diatas Singgasana 4 Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Bukit Pemakan Manusia 9

Cari Blog Ini