Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang Bagian 2
gadis yang meronta-ronta dan berteriak ingin membebaskan diri. Lelaki berwajah beringas itu tertawa bergelak-gelak dan sesekali
menjilati dan menciumi wajah gadis itu. Tentu gadis itu bertambah benci dan
ketakutan. "Lepaskan! Tolooong...!"
"Perampok, Keparat..!" bentak salah seorang dari warga. Seorang lelaki tua
berusia sekitar enam puluh tahun berlari menuju lelaki berbadan besar dan
berkepala botak yang sedang menyeret gadis itu. "Lepaskan anakku!"
"He he he...! Jadi ini anakmu, Orang Tua?"
tanya lelaki berkepala botak sambil terkekeh. Senyumnya menampakkan kesinisan.
Kemudian dengan buas,
diciuminya wajah gadis itu.
"Lepaskan, Bajingan!"
"Tak akan kulepaskan, Cah Ayu. Kau harus
menurut padaku!"
"Kurang ajar! Lepaskan anakku!" bentak lelaki tua bertubuh kurus tampak berang.
Dia segera bergerak menyerang, tapi belum juga tubuhnya sampai, lelaki tinggi besar berkepala botak itu telah menghantamkan pukulan dengan tangan
kirinya. "Pergilah ke akherat sana! Hih!"
Wusss! Dugk! "Akh!"
Lelaki tua itu memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung ke belakang dengan wajah memucat. Dari
mulutnya meleleh darah segar, kemudian ambruk
dengan nyawa melayang.
"Ayah...!" jerit gadis dalam kekuasaan lelaki berkepala botak. Gadis bertubuh
langsing dan semam-pai itu terus meronta. "Lepaskan, Bajingan!"
"He he he...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar terkekeh. Semakin
bertambah buas menciumi wajah gadis cantik anak
orang tua yang telah tewas di tangannya.
Gadis berpakaian hijau tua itu terus merontaronta. Dari mulutnya terdengar caci-maki yang tajam, berusaha mengundang amarah
lelaki berbadan tinggi
besar yang terus mendekapnya.
"Iblis! Setan laknat, lepaskan!"
"Hua ha ha...! Benar katamu, Cah Ayu. Dia memang setan...!"
Tiba-tiba terdengar suara seorang pemuda turut menimpali caci-maki gadis itu. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu tersentak kaget mendengar ucapan
pemuda yang belum nampak batang hidungnya. Mata
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun ini memandang ke sekeliling tempat itu.
"Kurang ajar! Keluar kau!" bentak lelaki berkepala botak itu gusar.
"Hua ha ha...! Gendruwo busuk! Kepalamu persis semangka! Aha, ingin rasanya aku menjitaknya!"
seru suara pemuda itu. Kemudian tiba-tiba sebuah
bayangan berkelebat cepat, dan....
Pletak! "Aduh!"
Lelaki berbadan besar terpekik ketika kepalanya yang botak dijitak oleh seseorang. Seketika kepalanya terasa pening. Sehingga dekapannya pada gadis itu terlepas.
"Hua ha ha...! Enak sekali buah semangkamu,
Sobat!" pemuda gondrong dengan tingkah laku seperti orang gila itu tahu-tahu
telah berdiri tiga tombak di hadapannya. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu
tertawa cengengesan dengan tangan kanan menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan! Kau mungkin yang berjuluk Pendekar Gila! Kebetulan, kau memang harus mampus!
Anak-anak, serang dia...!" serunya memanggil anak buahnya. Seketika berdatangan
beberapa orang yang
langsung menyerang.
"Hi hi hi..! Kebo-kebo dungu ini mau minta kue apem. Baik, majulah! Hua ha
ha...!" Pendekar Gila segera bergerak dengan jurus 'Si
Gila Melepas Lilitan' menyambut kesepuluh orang yang menyerangnya. Tubuhnya
bergerak laksana baling-baling. Kemudian tangannya yang telah mencabut Suling Naga Sakti bergerak memukul ke arah kepala
orang-orang yang menyerangnya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wusss! Pletak! "Aaa...!"
"Aaakh...!"
Pekikan-pekikan kesakitan terdengar susulmenyusul dari kesepuluh perampok yang menyerang
Pendekar Gila. Mereka segera menjauh sambil meringis-ringis memegangi kepala yang benjol dan berdenyut-denyut "Hua ha ha...! Enak bukan...?" tanya Pendekar Gila sambil berjingkrakjingkrakkan seperti seekor ke-ra kegirangan. Hal itu membuat lelaki berkepala
botak yang menjadi pimpinan para perampok bertambah marah. "Bedebah! Bunuh dia...!" perintahnya dengan suara keras menggelegar.
"Heaaa...!"
Serempak anak buahnya kembali menyerang.
Namun lagi-lagi Pendekar Gila cepat menyambut dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Heaaa...!"
Wusss! "Wuaaa...!"
Kesepuluh perampok itu seketika lintangpukang tersapu angin dahsyat yang dilancarkan Pendekar Gila. Tubuh mereka beterbangan, kemudian jatuh dengan keadaan pingsan. Kalau saja Pendekar Gila mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya, tubuh mereka
akan hancur berantakan.
Pendekar Gila segera menghampiri salah seorang dari kesepuluh perampok itu. Lelaki tinggi besar berkepala botak pimpinan
para perampok yang dideka-tinya. "Katakan, siapa yang membuat rencana semua
kejahatan ini?" bentak Sena garang.
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki tinggi besar itu.
"Cepat katakan, siapa dalang semua ini"!" bentak Sena.
"Dia..., De... Dewa... Pe.... Akh!"
Belum usai lelaki berkepala botak itu menuntaskan kata-katanya, tiga senjata rahasia telah menancap di tubuhnya. Pendekar Gila tersentak, lalu segera berlari ke arah
sembilan anak buah lelaki berkepala botak itu.
Tapi mereka pun telah tewas.
"Kurang ajar! Jangan lari...!" seru mengejar sebuah bayangan merah yang berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
*** 6 Pendekar Gila segera melesat mengejar sosok
bayangan yang sempat dilihatnya. Sosok itulah yang
telah membunuh kesepuluh perampok itu. Sosok tubuh yang mengenakan pakaian rompi merah menyala
itu berusaha lari meninggalkan tempat itu dengan
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Namun Pendekar Gila yang tak ingin kehilangan
buruannya, segera mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Tubuhnya melesat laksana
terbang. Dan dalam sekejap, dia telah berada di depan lelaki berpakaian rompi
merah itu. "Hua ha ha...! Mau lari ke mana kau, Kecoa
Busuk!" bentak Sena mengejutkan lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Kau..."!" mata lelaki itu membelalak dengan wajah tegang.
"Hm.... Kau kaget, Kecoa Busuk! Katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan semua
ini" Dan kudengar, kau pun turut terlibat dalam serbuk iblis itu!"
bentak Sena dengan mata melotot.
Semakin bertambah pucat pasti wajah lelaki
muda berpakaian rompi merah mendengar pertanyaan
Pendekar Gila. Matanya membelalak tegang. Mulutnya
menganga bengong.
"Aha, kau seperti kaget, Kecoa! Kau harus kutangkap untuk kuserahkan pada Kanjeng Adipati," ancam Sena.
"Cuh! Tak mungkin kau bisa menjebloskan aku
ke penjara, Pendekar Gila"!" dengus lelaki berambut gondrong dengan ikat kepala
merah. "Aha, rupanya kau merasa yakin, Kecoa" Baik,
aku akan menangkapmu!"
Pendekar Gila baru saja hendak melangkah
maju untuk menangkap lelaki berbaju rompi merah,
tiba-tiba terdengar suara perintah untuk menangkap.
"Tangkap pemuda gila itu...!" Pendekar Gila tersentak.
Kepalanya dipalingkan ke arah suara itu. Seketika matanya membelalak kaget,
menyaksikan Senapati Kerajaan Sunda Layung dan prajurit-prajuritnya kini memburu dirinya.
"Edan! Permainan macam apa lagi ini?" tanya Sena kaget. Dia benar-benar tak
menyangka, kalau dia yang hendak menangkap penjahat justru akan ditangkap.
"Tangkap dia...!"
"Heaaa...!"
Pendekar Gila benar-benar tersentak kaget menyaksikan puluhan prajurit kini memburunya. Sena
benar-benar tak habis pikir, mengapa dirinya yang dijadikan sasaran" Padahal dia
bermaksud membantu
pihak kerajaan.
"Celaka! Ini pasti ada yang tak beres," gumam Sena lirih.
Sena hendak menghindari bentrokan dengan
pihak kerajaan, namun kini sekelilingnya sudah dikepung puluhan, bahkan ratusan
prajurit yang siap menyerangnya. Hm, benar-benar bukan sembarangan! Tentu
Dewa Pedang maksud pimpinan perampok itu yang telah membuat semuanya. Dan kulihat, mereka pun terlibat dalam urusan serbuk iblis! Gumam Sena dalam
hati "Tangkap dia...!" kembali Senapati Lembu Lambayu memerintah pada para prajuritnya agar menyerang. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Sorak-sorai dan pekikan para prajurit Kerajaan
Sunda Layung meramaikan tempat itu.
"Cincang dia...!"
"Tangkap hidup atau mati!"
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Gila, kecuali
menghadapi serangan para prajurit kerajaan yang bermaksud menangkap dan
membunuhnya. "Maaf! Terpaksa aku harus menghajar kalian!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila segera menghadapi para prajurit yang
menyerangnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari,
dengan sesekali tangannya bergerak menepuk ke arah
dada lawan Bugk! "Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari seorang prajurit yang terkena tepukan tangan Pendekar Gila. Seketika tubuh prajurit itu
terpental deras ke belakang,
menghantam prajurit-prajurit lainnya.
Wuttt! Wuttt! Dari arah belakang dan samping, para prajurit
menerjang maju dengan tusukan dan babatan senjata
mereka. Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh. Kakinya membuat gerakan cepat dan beruntun menendang lawan-lawannya yang telah mendekat. Sementara kedua tangannya dengan gerakan
yang tampak lamban terus menepuk dan meninju para
prajurit yang mengeroyoknya.
Plak! Bugk! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Jerit-jerit kesakitan keluar dari mulut para prajurit yang terkena hantaman dan tendangan Pendekar
Gila. Namun ibarat pagar betis, mereka bagaikan tak menghiraukan kematian temantemannya, terus merangsek menyerang.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos!" perintah Senapati Lembu Lambayu.
"Heaaa...!"
"Yeaaa!"
Kembali para prajurit kerajaan bergerak menyerang ke arah Pendekar Gila. Senjata di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk,
membabat dan membelah
ke arah tubuh Pendekar Gila.
Menghadapi serangan yang begitu gencar, Pendekar Gila tak mau mati percuma. Segera dikerahkannya jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak laksana baling-baling.
Tangannya terus bergerak
menghantam dan memapas setiap serangan yang datang. "Heaaa...!"
Wusss! Plak! Plak! "Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Kembali terdengar jeritan-jeritan kesakitan,
disusul dengan terpentalnya tubuh-tubuh lawan yang tadi menyerangnya. Kenyataan
itu membuat marah
dan jengkel Senapati Lembu Lambayu. Para prajurit
yang dipimpinnya merasa kewalahan dan tak mampu
menangkap Pendekar Gila.
"Bodoh! Menangkap seekor tikus busuk saja
tak becus! Bunuh saja dia...?" serunya memerintah.
Gelombang penyerangan kembali terjadi. Puluhan prajurit serentak merangsek dengan serangan serangan mematikan ke arah Pendekar Gila.
Pertempuran semakin bertambah seru. Pendekar Gila harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk
dapat menandingi kekuatan para prajurit yang kian
beringas. Bagaikan kesetanan, mereka terus menyerang dengan senjata yang bergerak cepat, membabat
dan menyodok tubuh Pendekar Gila. Suara pekikan
dan sorak-sorai ditingkahi bunyi benturan senjatasenjata mereka meramaikan suasana pertempuran itu.
Dalam keadaan begitu, tiba-tiba sesosok
bayangan hijau lumut berkelebat Sosok tubuh yang
ternyata lelaki bertubuh tegap dan bercaping itu bergerak cepat dan langsung
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk ke arena pertempuran
dengan pedang di tangan.
"Kubantu kau, Kisanak," kata lelaki bercaping itu sambil bergerak cepat memapas
dan menyerang pa-ra prajurit Pedang di tangannya laksana malaikat pencabut
nyawa. Setiap gerakannya yang menggunakan
jurus 'Malaikat Merobek Sukma', begitu cepat dan
dahsyat. Sehingga pedang yang mampu mengeluarkan
sinar putih keperakan di tangan lelaki bercaping itu tak nampak bentuknya. Itu
sebabnya dia mendapat julukan Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Terima kasih, Ki!" sahut Sena.
Kini keduanya bergerak saling berlawanan
arah. Dengan jurus-jurus andalan masing-masing, Malaikat Tanpa Bayangan dan Pendekar Gila membendung serangan membabi buta para prajurit kerajaan.
"Bedebah! Rupanya ada tikus lagi yang ingin
mencari mampus! Bunuh mereka...!" teriak Senapati Lembu Lambayu bertambah gusar
melihat kedatangan
Malaikat Tanpa Bayangan yang membantu Pendekar
Gila. "Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
"Tak ada waktu lagi bagi kita, Kisanak! Kita harus segera keluar dari kepungan
ini," ujar Malaikat Tanpa Bayangan.
"Tampaknya kau punya kepentingan denganku,
Kisanak" Ada apakah?" tanya Sena ingin tahu.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang yang utama bagaimana kita bisa mendobrak kepungan mereka dan meninggalkan tempat ini," kata Malaikat Tanpa Bayangan.
"Kita harus mengerahkan jurus inti, Ki."
"Ya! Itu salah satunya. Yang terpenting, keluarkan Suling Naga Saktimu,
Kisanak," perintah Malaikat Tanpa Bayangan. "Hanya dengan suling itulah kita
dapat mendobrak mereka."
"Hm, kau tahu tentang diriku, Kisanak. Siapakah kau sebenarnya?" tanya Sena dengan terus berusaha mengelak dan membalas
serangan para prajurit
dengan pukulan dan tendangan.
"Nanti ku jelaskan. Sekarang kita harus secepatnya keluar dari kurungan ini!" sahut Malaikat Tanpa Bayangan.
Srt! Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Sakti yang terselip di ikat pinggangnya. Kemudian
dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan', Pendekar Gila berusaha menggempur kepungan
para prajurit Suling
Naga Sakti didekatkan ke mulut, lalu segera ditiup.
Irama Suling Naga Sakti mengalun lembut,
mendayu, dan meratap. Para prajurit seketika terpana.
Mereka terdiam mematung. Irama suling semakin
mendayu, semakin sedih pula perasaan para prajurit
Irama suling itu seperti mengungkapkan betapa sengsaranya manusia-manusia yang buta hatinya karena
nafsu iblis. Seluruh prajurit seketika terisak, tersedu-sedu.
Mereka menangis!
"Kini saatnya, Kisanak!" ajak Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha! Benar! Hi hi hi...!"
Keduanya pun segera melesat meninggalkan
kepungan para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Dalam sekejap saja, keduanya telah menghilang dari
tempat itu. Ketika para prajurit sadar, mereka semua merasa bagaikan baru saja
terbangun dari mimpi yang menyedihkan.
"Setan alas! Kejar mereka...!" seru Senapati Lembu Lambayu, menyaksikan kedua
orang yang tadi
dikepung tahu-tahu telah menghilang dari pandangan
mereka. *** Jauh dari para prajurit Kerajaan Sunda
Layung, nampak Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa
Bayangan melangkah beriringan.
"Kisanak, kau telah tahu siapa diriku, tapi aku belum tahu siapa kau
sebenarnya," ujar Sena.
Malaikat Tanpa Bayangan membuka capingnya.
Di bibirnya terulas senyum lembut. Keduanya terus
melangkah, menyelusuri Hutan Balambu yang sepi
dan nampak masih perawan.
"Namaku Asem Gede, namun orang menyebutku Malaikat Tanpa Bayangan," tutur Ki Asem Gede memperkenalkan diri.
"Ah, jadi kini aku sedang berjalan dengan orang tua yang namanya cukup disegani
dan ditakuti...," gumam Sena, yang membuat Malaikat Tanpa Bayangan
kembali tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Namaku belumlah seberapa, bila dibandingkan
dengan namamu, Anak Muda. Pendekar Gila bukan
nama yang asing di telinga para pendekar. Seorang
pendekar yang mengabdikan jiwa raganya untuk kebenaran dan keadilan. Aku yang tua dan bodoh ini,
merasa malu sendiri," tutur Ki Asem Gede merendah
"Aha, tak usah kau begitu merendah, Ki! Aku
heran, kenapa para prajurit kerajaan tahu-tahu hendak menangkapku?" gumam Sena.
"Mudah sekali, Anak Muda."
"Hm, apa sebabnya?" tanya Sena cepat karena penasaran.
Ki Asem Gede menghela napas panjang. Sementara malam terus merayap menyelimuti bumi. Keduanya terus melangkah, menyelusuri hutan yang sunyi
dan gelap. "Kita harus mencari tempat istirahat, Anak Muda, ujar Ki Asem Gede.
"Baiklah. Bagaimana kalau kita memilih pohon
yang paling besar?" saran Sena,
"Itu lebih baik."
"Itu pohon besar. Hop!"
"Hops!"
Keduanya melesat begitu cepat, naik ke sebatang pohon besar. Dengan ringan sekali kaki mereka
hinggap pada sebuah cabang pohon.
"Lama sekali aku tak menginjak dunia luar. Baru kali ini aku merasakan kedamaian dan keindahan,"
desah Ki Asem Gede.
"Meski kedamaian dan keindahan itu harus kita cari di antara keresahan, Ki?" sambut Sena sambil tertawa.
"Ya ya.... Kau benar, Anak Muda. Ah, baiklah
aku akan menceritakan padamu, mengapa aku harus
keluar dari tempat persembunyian ku," ujar Ki Asem Gede.
"Aha, dengan senang hati aku akan mendengarkannya."
"Baiklah...."
Ki Asem Gede pun menceritakan hal ikhwal
mengapa dia keluar dari Perguruan Tapis Putih. Dua
purnama yang lalu perguruannya didatangi teman lamanya. Kedatangan sahabat lamanya itu, bermaksud
mengajak dirinya untuk memusuhi Pendekar Gila.
Namun rencana itu ditolak oleh Malaikat Tanpa Bayangan. Sahabatnya marah, lalu membunuh beberapa
murid Perguruan Tapis Putih. Bahkan sahabatnya itu
meninggalkan surat tantangan.
"Begitulah ceritanya, Anak Muda. Karena aku
yakin kau berada di pihak yang benar, aku pun mencarimu. Sampai tadi dalam kegelapan malam kujumpai
dirimu bertarung melawan para prajurit kerajaan. Aku yakin kaulah orangnya. Maka
aku tadi ikut mencam-puri urusanmu," tutur Ki Asem Gede, mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala.
Kini dia tahu, siapa sebenarnya yang dimaksud Malaikat Tanpa Bayangan. Tentunya
semua itu ada sangkut
pautnya dengan kejadian di Lembah Akherat (Untuk
lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Perjalanan ke
Akhirat").
"Baiklah, Ki. Tentunya kau pun ingin tahu siapa sebenarnya Sumantri yang dibela oleh gurunya.
Aku akan menceritakan semua kejadian yang terjadi...." Lembah Akhirat tiba-tiba menjadi ajang perebu-tan para pendekar. Tersiar
kabar kalau di lembah itu ada seorang bocah sakti. Barang siapa yang mendapatkan
bocah sakti itu, akan menjadi orang nomor sa-tu di rimba persilatan. Sumantri
pun mengerahkan
orang-orangnya untuk mendapatkan Supit Songong
yang sebenarnya kemenakannya sendiri.
"Jadi, ada masalah cemburu cinta?" tanya Ki Asem Gede terkekeh.
"Ah, benar juga apa yang kau katakan, Ki! Memang antara Anjasmara, Sambi, dan Sumantri telah
terjadi kemelut cinta."
"Bukankah Anjasmara, Sumantri, dan Sambi
merupakan murid Ki Badawi?" tanya Ki Asem Gede yang tahu karena Ki Badawi alias
Dewa Pedang. "Ya. Bahkan mereka bertiga dijadikan anak
angkatnya," sahut Sena.
Ki Asem Gede menganggukkan kepala, mulai
memahami apa yang telah terjadi.
"Lalu Ki Badawi membela Sumantri?"
"Begitulah...," sahut Sena.
"Hm.... Apakah Ki Badawi tahu siapa kedua naga di Danau Sambak neraka itu?" tanya Ki Asem Gede.
"Rupanya Dewa Pedang belum tahu hal itu," jawab Sena.
"Orang tua itu memang dari dulu keras kepala...," dengus Malaikat Tanpa Bayangan. Matanya memandang lepas ke kegelapan
malam yang menyelimuti
sekelilingnya. "Sudah kuduga ketika dia menceritakan padaku tentang dirimu."
Pendekar Gila terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang, sepertinya berusaha menenangkan perasaan hatinya. Matanya menatap sejenak pada pendekar muda di sampingnya.
"Lalu, apa hubungannya, hingga pihak kerajaan hendak menangkapku. Juga dengan perkumpulan pengedar serbuk iblis yang dapat menghancurkan
generasi muda?" tanya Sena ingin tahu.
"Tentunya karena merasa kecewa setelah aku
tak bersedia membantunya, Dewa Pedang pun menjadi
mata gelap. Dia akhirnya terjun di dalam kesesatan.
Dan kudengar, dia kini sebagai pimpinan Serikat Serigala Merah. Mereka bertujuan
mencari dan membunuhmu. Aku menaruh curiga pada kedai di Desa Piring Ceper," kata Ki Asem Gede.
"Aha, rupanya kita punya pikiran sama, Ki. Aku pun menaruh curiga kalau kedai
itu merupakan tempat jual beli mereka," sahut Sena.
"Hm.... Bagaimana kalau besok kita ke sana?"
tanya Ki Asem Gede.
Pendekar Gila terdiam sesaat. Kemudian tangan kanannya nampak menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir tersenyum-senyum.
"Apakah bukan berarti kita harus menghadapi
prajurit kerajaan?" tanya Sena kemudian.
"Terpaksa," sahut Ki Asem Gede. "Satu purnama lagi, aku harus pergi ke Bukit
Siluman," gumam Ki Asem Gede.
"Untuk apa?"
"Menghadapi Dewa Pedang. Dia telah menantangku. Kalau dalam tiga purnama belum juga selesai masalahnya denganmu, maka
dia mengundangku di
Bukit Siluman."
"Hm.... Kalau begitu secepatnya kita selesaikan tugas kita. Kita harus segera
bertindak menghancurkan Serikat Serigala Merah," kata Sena.
"Ya! Kita juga harus bisa menangkap orangorang kerajaan yang terlibat," kata Ki Asem Gede. "Ayo kita pergi!"
Keduanya pun melompat, kemudian berlari melesat meninggalkan Hutan Balambu.
*** 7 Kedai di sebelah timur Desa Piring Ceper yang
biasanya ramai dikunjungi orang, pagi itu masih tutup. Namun dari luar terdengar percakapan beberapa
orang di dalamnya.
"Kurasa, kita harus segera menemukan Pendekar Gila. Kalau tidak, ketua pasti akan menghukum ki-ta," terdengar suara lelaki
berkata. "Ya! Kita sudah bersumpah harus membunuh
Pendekar Gila," timpal lainnya.
"Hm.... Tugas kalian berat sekali. Mungkin kalian telah melakukan kesalahan yang berat," terdengar suara orang muda menyela.
"Ya! Kami ketahuan tengah menggarap seorang
gadis pecandu," sahut orang yang berbicara pertama.
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
yang sudah sampai di depan kedai itu mengerutkan
kening, mendengar percakapan mereka.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian susah-susah
mencariku" Aku ada di luar...!" seru Sena sambil tertawa tergelak-gelak.
"Kita masuk saja, Sena," ajak Ki Asem Gede.
"Ayo!"
"Heaaa...!"
Brak! Pintu papan kedai seketika hancur berantakan,
terkena tendangan keduanya. Sembilan orang yang
ada di dalam kedai seketika tersentak kaget. Dengan mata terbelalak, mereka
melompat mundur.
"Hua ha ha...! Mengapa kalian seperti tikus bertemu kucing?" tanya Sena sambil
berjingkrakan seperti seekor kera kegirangan.
"Setan alas! Kau memang kami cari! Kau harus
mampus, Pendekar Gila!" dengus Suroso sambil mencabut pedang. Kemudian dengan
cepat tubuhnya melompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kawannya tak
ketinggalan, segera menyerang Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Wuttt! Glarrr! "Eit! Hi hi hi...! Kalian main petas-petasan! Hi hi hi... " Dengan jurus 'Sambar
Geledek' dan jurus
'Serbuan Hujan' mereka langsung menggebrak Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka laksana hujan deras, menusuk ke bagian tubuh Sena. Sedangkan tangan- nya bergerak memukul dan menimbulkan desiran
angin deras disertai ledakan-ledakan seperti geledek.
Melihat lawan melakukan serangan dengan jurus-jurus berbahaya dari berbagai arah, Pendekar Gila tak hanya tinggal diam.
Dengan tingkah seperti kera, serangan-serangan itu dielakkannya. Setelah itu
dengan cepat pula melakukan serangan balasan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disatukan di depan dada, kemudian ditarik ke atas
dengan mengerahkan tenaga dalam. Lalu perlahanlahan kedua tangannya dibuka dengan telapak tangan
ke atas. Setelah itu ditarik ke belakang, hingga sejajar dengan pinggang
"Yeaaa...!"
Dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila
menghantamkan telapak tangannya bergantian ke dada lawan. Ketiga lawannya tersentak, lalu cepat ber-pencar mengelakkan serangan
yang dilancarkan Pendekar Gila. "Heaaa!"
"Yeaaah...!"
Dengan melakukan salto beberapa kali, ketiganya mengelakkan serangan gencar itu.
"Hati-hati, dia bukan lawan enteng!" seru Sugonggo. "Ya! Mari kita serang lagi!"
ajak Suroso. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketiganya kembali bergerak dengan cepat menusuk dan membabatkan pedang. Pendekar Gila segera bergerak menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
sambil sesekali tangannya menepuk dada lawan.
Wut! Wut..! "Heaaa..!"
Beberapa kali serangan lawan memburunya,
tapi dengan mudah dielakkannya. Tubuh Pendekar Gila yang meliuk-liuk laksana menari, mampu membuat
serangan pedang lawan meleset dan tak mengenai sasaran. Pertarungan Pendekar Gila dengan ketiga lawannya berlangsung seru. Belasan jurus telah dikeluarkan bahkan ketiga lawan itu
pun telah mengerahkan
jurus-jurus andalan mereka. Namun sampai sejauh
itu, belum juga mereka mampu melakukan serangan
yang berarti. Serangan mereka senantiasa dengan muda dapat dipatahkan Pendekar Gila dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Bahkan....
"Heaaa...!"
Bukkk! Suara pekikan tertahan terdengar ketika gerakan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila mendarat
ke dada lawan. Seketika tubuh lelaki yang terkena pukulan itu terdorong ke
belakang dan melayang. Tubuh lelaki berusia dua puluh sembilan tahun itu
terhenti ketika membentur dinding kedai, dan jatuh terbanting
di lantai. Dari mulutnya mengalir darah segar. Sesaat mengerang lirih kemudian
tak berkutik lagi. Tewas!
Brak! "Aaa...!"
Mata Lima Darah Bukit Perawan yang kebetulan ada di kedai itu terbelalak. Begitu juga Malaikat Tanpa Bayangan. Mereka
terkagum-kagum menyaksikan kehebatan pukulan Pendekar Gila, yang walau
tampaknya perlahan dan lemah, ternyata begitu dahsyat kekuatannya.
Lima Darah Bukit Perawan menjadi ciut nyalinya. Mereka bermaksud meninggalkan tempat itu,
namun Malaikat Tanpa Bayangan yang melihatnya segera menghadang.
"Mau ke mana kalian?"
"Minggirlah, kami tak punya urusan denganmu,
Ki!" dengus Getih Ireng.
"He he he...! Enak sekali kau berkata, Anak
Muda. Kau adalah teman dari tiga lelaki itu, tentunya kau pun ada sangkut
pautnya dengan Dewa Pedang,"
tukas Ki Asem Gede.
"Apa maksudmu, Orang Tua?" tanya Getih Bi-ru.
"Mudah saja. Tunjukkan di mana Dewa Pedang
berada kalau kalian ingin selamat!"
"Cuh! Enak sekali kau bicara. Tua Bangka! Jangan lancang mulut! Pimpinan kami bukanlah manusia rendah sepertimu!" dengus Getih Ireng sengit
"Ha ha ha...! Kau mengatakan pimpinanmu terhormat"! Lucu sekali...! Pimpinanmu tak lebih dari kecoa busuk yang hanya main
kucing-kucingan saja!"
ejek Ki Asem Gede, membuat Lima Darah Bukit Perawan semakin naik darah.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari penyakit,
Tua Bangka!" dengus Getih Merah penuh kebengisan.
"Ha ha ha...! Kalianlah yang mencari penyakit!
Kalian orang-orang keparat, membunuh bangsa sendiri dengan serbuk iblis! Karena
itulah, aku akan menangkap kalian!"
"Kurang ajar! Serang dia...!" perintah Getih Ireng. "Yeaaa...!"
"Heaaat...!"
Lima Darah Bukit Perawan yang sudah kepalang tanggung segera menyerang dengan sengit. Dengan pedang masing-masing, Lima Darah Bukit Perawan langsung menggebrak dengan serangan-serangan
gencar dan mengarah pada bagian tubuh yang mematikan. Wut! Wut..!
"Heaaa...!"
Melihat keberingasan kelima orang muda itu,
Malaikat Tanpa Bayangan tak tinggal diam. Lelaki tua itu dengan cepat bergerak
memapaki serangan lawan
lawannya. Meskipun belum mencabut senjatanya, Malaikat Tanpa Bayangan bergerak cepat dan lincah
mengatasi setiap serangan yang datang secara beruntun. Tangan dan kakinya terus bergerak menyerang.
Tubuhnya meliuk dan melompat ke sana kemari
menghindari serangan lawan. Pukulan dan tendangan
yang dilakukan begitu keras, hingga mampu mengeluarkan angin yang membuat lawan-lawannya tersentak
kaget Wut! "Uts!"
Celaka! Orang tua ini juga bukan sembarangan
Desis Getih Ireng dalam hati. Namun begitu, dia tak ingin menunjukkan rasa
takutnya di hadapan lawan.
Dengan nekat, Getih Ireng dan keempat adiknya terus menggebrak Malaikat Tanpa
Bayangan. "Heaaa!"
"Hiaaa...!"
Kedai yang semula tenang dan sepi, telah berubah menjadi ajang pertempuran yang riuh. Meja dan
kursi yang ada di kedai itu berantakan, hancur dan
patah terpukul atau terkena tendangan mereka. Sementara suara teriakan dan makian yang mengiringi
pertempuran itu terdengar memecah suasana pagi
yang dingin. Pendekar Gila masih meliuk-liukkan tubuhnya
bagaikan menari, mengelakkan serangan-serangan
yang dilancarkan kedua lawannya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Tubuh Pendekar Gila terus bergerak menghindari serangan pedang lawan yang selalu diikuti pukulan-pukulan 'Sambar
Geledek'nya. Sesekali tangan
Pendekar Gila bergerak menepuk ke arah dada lawan.
"Hih!"
"Heit!"
Dengan cepat Sugonggo menggeser tubuhnya
ke samping, mengelakkan serangan tepukan Pendekar
Gila. Secepat kilat pula Sugonggo balas menyerang
dengan sabetan pedangnya ke arah kepala Pendekar
Gila. "Heaaa...!"
Wuttt! "Uts!"
Pendekar Gila mendoyongkan tubuh ke samping, mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat kembali melancarkan serangan ke dada lawan. Gerakannya nampak lamban, namun tahu-tahu telapak
tangannya telah mendarat ke dada lawan. Suroso yang tersentak kaget berusaha
mengelak, tapi tangan Pendekar Gila ternyata lebih cepat. Dan....
Degk! "Aaakh...!"
Suroso terpekik keras, tubuhnya terlontar ke
belakang laksana anak panah yang dilepaskan dari
busur. Lesatan tubuh itu hampir saja menerjang tubuh pemilik kedai yang menggigil ketakutan. Kalau sa-ja lelaki tua itu tidak
segera lompat ke samping, tentu akan terhantam tubuh Suroso yang tegap dan
kekar. Wusss! Brak! "Akh...!"
Tubuh Suroso menghantam dinding kedai dan
terbanting ke lantai. Dinding kedai yang terbuat dari belahan papan itu jebol.
Dan tubuh kekar Suroso terkapar dalam keadaan sangat mengenaskan. Dada-nya
remuk dan gosong kehitaman.
Di pihak lain, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak memberi kesempatan sedikit pun pada kelima lawannya. Meski masih dengan tangan kosong, Malaikat
Tanpa Bayangan benar-benar mampu menunjukkan
nama besarnya. Dia bergerak bagaikan malaikat, cepat dan gesit sehingga
bayangannya tak terlihat.
Bukkk! "Aaakh...!"
Getih Ungu terpekik kesakitan ketika hantaman tangan Malaikat Tanpa Bayangan bersarang di
dadanya yang bidang. Dari mulut lelaki muda itu mengalir darah segar. Sesaat
tubuhnya mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
*** Menyaksikan kematian Getih Ungu, keempat
kawannya bukan semakin gentar. Mereka malah merangsek semakin gencar ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan. Mungkin mereka merasa tak ada jalan lain, kecuali harus menghadapi Pendekar Gila dan Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Bedebah! Kau telah membunuh saudara kami,
Tua Bangka Keparat! Kau harus mampus...!" dengus Getih Ireng dengan wajah merah
membara penuh amarah. "Hm.... Apa tak salah ucapanmu, Anak Muda Bejat"!" tanya
Ki Asem Gede. "Kalianlah yang harus segera disingkirkan!"
"Kurang ajar! Yeaaat...!"
Getih Ireng dan ketiga saudaranya segera menyerbu ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Bayangan
Menebas Lalat'. Pedang di tangan mereka bergerak laksana bayangan yang sangat
cepat, membabat dan menusuk ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Ki Asem Gede bergumam lirih. Kakinya digeser setindak ke belakang. Lalu
dengan cepat ditarik kembali ke samping. Tubuhnya direndahkan agak
ke bawah, kemudian dengan cepat tangannya bergerak
membabat dan menusuk ke lambung lawan
"Heaaa...!"
Wut! Trang! Benturan senjata mereka terdengar berdentang,
memercikkan bunga api. Empat anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu melompat mundur dengan mata
terbelalak. Mereka mendengus penuh amarah. Kemudian dengan didahului pekikan keras, keempatnya
kembali menyerang ke arah lawan dengan jurus
'Empat Pedang Penjuru Angin'.
"Heaaa..!"
"Yeaaa...!"
Wut, wut..! Empat pedang di tangan anggota Lima Darah
Bukit Perawan itu saling berkelebat cepat membabat
dari empat penjuru angin. Tubuh mereka bergerak
memutari Malaikat Tanpa Bayangan. Lelaki tua berjubah hijau lumut itu pun bergerak memutar dengan
sikap waspada penuh untuk menghadapi serangan keempat lawannya.
"Yeaaa...!"
Wut! "Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat menggerakkan pedang di tangannya dengan jurus pamungkas 'Malaikat Mencabut Nyawa'. Dengan gerakan memutar, secepat kilat pedangnya membabat lawanlawannya. "Heaaa...!"
Wrt! Jrabs! "Wuaaa...!"
Getih Biru memeluk, perutnya sobek tersambar
pedang milik Malaikat Tanpa Bayangan. Usus pun
memburai dari luka yang menganga. Sesaat Getih Biru mengerang lirih, tapi
kemudian ambruk dengan nyawa
melayang. Ketiga saudaranya melompat ke belakang. Mata
mereka terbelalak kaget merasakan desiran angin yang menderu di depan mereka
ketika pedang Malaikat
Tanpa Bayangan menyabet
Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi
Sugonggo, kini semakin berada di atas angin. Sugong-go semakin kewalahan
menghadapi Pendekar Gila yang
mengerahkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila terus meliuk-liuk laksana
menari, dengan sesekali melakukan tepukan. Sepintas tepukan itu nampak pelan
sekali, tapi angin yang menyertainya terasa sangat keras, menderu ke arah Sugonggo. "Haps!" Sugonggo segera membuang tubuh ke samping, mengelakkan serangan
Pendekar Gila yang
ternyata begitu keras dan cepat. "Ilmu siluman!"
Sugonggo semakin tegang menghadapi jurus
aneh yang dikeluarkan Pendekar Gila. Baru kali ini dia melihat jurus ilmu silat
yang aneh. Kelihatan sepintas sangat lambat dan lemah, tapi ternyata dua orang
rekannya terpental dihantam tepukan itu. Kedua temannya yang memiliki ilmu setaraf dengan dirinya
seakan hanya seekor lalat. Ditepuk dengan telapak
tangan hingga terbanting dan tewas.
"Hi hi hi...! Tinggal satu lalat lagi," seru Pendekar Gila sambil tertawa
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cekikikan. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu tubuhnya berjingkrakan. Setelah itu tubuhnya kembali bergerak, meliukliuk seperti menari dengan sesekali melakukan tepukan. Sementara itu pula Malaikat Tanpa Bayangan
tengah menggebrak dengan jurus andalannya,
'Malaikat Pencabut Nyawa'. Kembali suara menderu
terdengar, ketika pedangnya membabat dengan gerakan membentuk lingkaran. Ketiga lawannya semakin
kewalahan. Mereka kembali melompat mundur. Namun.... "Heaaa...!"
Wuttt! Bret! "Aaa...!"
Jeritan kematian terdengar dari mulut Getih
Merah, ketika pedang Malaikat Tanpa Bayangan menyambar perutnya. Tubuh gadis cantik itu terhuyung
beberapa langkah. Ususnya terburai dari luka di perutnya. Sesaat terdengar mulut gadis berpakaian merah itu mengerang kesakitan. Namun sesaat kemudian
tubuhnya ambruk dan tak bernyawa lagi.
"Bedebah! Kubunuh kau, Tua Bangka!
Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Getih Ireng dan Getih Putih dengan marah merangsek Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan menggumam tak jelas. Matanya yang tajam laksana
mata elang, menatap tajam sosok lelaki dan perempuan muda yang
menyerang dirinya. Lalu dengan gerakan melompat...
"Heaaa...!"
Wuttt..! Malaikat Tanpa Bayangan dengan cepat membabatkan pedangnya yang berwarna putih keperakan
ke arah kedua tangan yang melesat ke arahnya.
Wuttt! Wuttt! Crab, crab! "Akh!"
"Wuaaa...!"
Tubuh Getih Ireng dan Getih Putih yang melayang hendak menyerang, berpentalan jatuh ke lantai.
Mata mereka melotot dengan usus terburai dari luka
menganga lebar di perut mereka. Seketika keduanya
tewas berlumuran darah.
"Hm...," Malaikat Tanpa Bayangan kembali bergumam lirih, lalu disekanya darah
yang menempel di
mata pedang. Kemudian pedang putih keperakan itu
dimasukkan ke dalam warangka yang tersampir di
punggungnya. Matanya yang tajam memandang ke
tempat pertarungan Pendekar Gila dengan Sugonggo.
Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat' masih terus memburu lawannya yang tampak semakin kewalahan. Hingga pada sebuah langkah....
Plak! "Akh!"
Sugonggo memekik keras, tubuhnya terlontar
deras ke belakang. Kemudian membentur tembok kedai. Brak "Aha, habis sudah lalat iblis!" gumam Sena.
"Eh, ke mana orang tua pemilik kedai ini?"
tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Hei, dia pergi!" seru Sena,
Belum juga keduanya sempat berpikir ke mana
perginya pemilik kedai, tiba-tiba....
*** 8 "Orang yang ada di dalam, keluar kalian!" Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa
Bayangan tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar. Suara
itu sangat dikenali oleh Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan. Dialah
Senapati Lembu Lambayu,
Panglima Kerajaan Sunda Layung.
"Aha, pemilik kedai itu mengadukan pada pihak
kerajaan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Bagaimana langkah kita,
Ki?" "Hm..., tak ada jalan lain! Kita tetap berdiri pa-da kebenaran. Meski harus
menentang pihak kerajaan, terpaksa kita menghadapi mereka!" jawab Malaikat Tanpa
Bayangan, manggut-manggut
"Aha..., benar juga, Ki. Ayolah!" ajak Sena.
"Mari!"
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian dengan cepat
tubuhnya melesat keluar, diikuti Malaikat Tanpa Bayangan.
"Rupanya tikus-tikus buruk, yang telah membuat keonaran di sini!" dengus Senapati Lembu Lambayu. "Tangkap mereka...!"
Mendengar perintah sang Panglima, seketika
para prajurit Kerajaan Sunda Layung yang berjumlah
ratusan itu langsung menyerbu dengan senjata berupa tombak dan pedang. Ratusan
prajurit itu langsung
mengurung dan menyerang.
"Aha, kita main-main lagi dengan lalat-lalat kerajaan, Ki!" celetuk Sena.
Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti
yang dari tadi terselip di ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa dan
melompat-lompat berjingkrakan, Pendekar Gila langsung melesat bagaikan terbang. Dengan tubuh melayang di atas, Suling Naga
Sakti langsung dipukulkan ke arah kepala-kepala prajurit yang dapat
dijangkaunya. "Nih, kuberi hadiah untuk kalian! Hua ha ha...!"
Wut! Pletak! Pletak...!
"Akh?"
"Aduh!"
Jeritan kesakitan terdengar dari mulut tiga
orang prajurit. Tangan mereka langsung memegangi
kepalanya yang terasa benjol akibat sabetan Suling
Naga Sakti. "Hi hi hi...! Lucu sekali. Enak bukan..." Hua ha ha...!" Sambil tertawa
tergelak-gelak dan tangan kiri menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila terus
menge-brak. Tangan kanannya yang memegang Suling Naga
Sakti bergerak terus memukul kepala para prajurit.
Sedangkan kedua kakinya menjejak ke arah kepala
prajurit yang lainnya. Kepala mereka dianggapnya sebagai jembatan bagi langkah
Pendekar Gila yang terus bertingkah seperti kera.
"Kurang ajar!"
"Setan!"
"Kunyuk! Kepala diinjak-injak!" maki para prajurit sambil memegangi kepalanya
yang telah terinjak kaki Pendekar Gila. Mereka benar-benar marah, karena kepala
mereka dianggap sebagai titian bambu saja.
"Bunuh saja!" seru Senapati Lembu Lambayu semakin bertambah gusar melihat
tingkah laku Pendekar Gila yang menjengkelkan. Giginya beradu saling
bergemerutuk. Tangannya mengepal tegang menahan
amarah yang menggelegak di kepalanya.
Pendekar Gila semakin bertambah konyol tingkah lakunya. Dengan melompat-lompat seperti seekor
kera dan tertawa-tawa, Pendekar Gila terus menjejakkan kakinya di atas kepala
para prajurit "Hi hi hi..! Enak sekali main petak umpet, Kawan," kata Sena sambil memukulkan sulingnya ke kepala prajurit yang dapat
dijangkaunya dan bermaksud menyerangnya.
"Tembus dadamu, Bocah Kurang Ajar!"
"Kubikin sate tubuhmu, Setan!"
"Bangsat! Ku rencah tubuhmu!"
Caci maki para prajurit yang merasa kepalanya
diinjak-injak kaki Pendekar Gila terdengar. Mereka
langsung menyerang dengan sodokan senjata tombak.
Namun dengan cepat Pendekar Gila mengibaskan Suling Naga Sakti memapak serangan mereka.
"Hi hi hi...!"
Trang! Beberapa kali terdengar suara dentangan dari
benturan senjata dengan Suling Naga Sakti.
Pletak! "Aduh!"
"Wuaaa...!"
Kembali tiga orang prajurit mengerang kesakitan, karena kepala mereka benjol akibat jitakan Pendekar Gila. Dengan jurus 'Si
Gila Terbang Menerkam
Mangsa' Pendekar Gila terus bergerak cepat, menyerang dengan patukan-patukan sulingnya.
Sementara itu, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau tinggal diam. Dengan menggunakan tangan
kosong, lelaki tua berjubah hijau lumut itu bagaikan mengamuk dengan jurus
'Pukulan Tangan Malaikat'
nya. Sambil berputar cepat, tangannya menghantam
para prajurit yang hendak menyerang ke arahnya.
"Sikat..!"
"Cincang dia!"
Teriakan-teriakan penuh kemarahan terdengar
dari mulut para prajurit Mereka kembali mengurung
Malaikat Tanpa Bayangan. Namun dengan cepat lelaki
tua berjubah hijau lumut itu telah mendahului menyerang. "Heaaa!"
Bug! "Akh!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kesakitan dan kematian terdengar susul-menyusul dari mulut para prajurit Kerajaan Sunda Layung. Namun
sepertinya para prajurit itu tak me-rasakan sakit sedikit pun. Dengan semangat
menggebu, mereka terus merangsek ke arah Malaikat
Tanpa Bayangan.
"Jangan beri mereka kesempatan!" seru Senapati Lembu Lambayu terus memerintah
pada para pra- juritnya. "Aha, kenapa kau hanya bisa berkoar, Kebo
Dungu!" seru Sena sambil terus berkelebat di atas kepala lawan-lawannya. "Turunlah kemari! Bukankah ki-ta tengah berpesta"! Hua ha
ha...!" Pletak! "Aduh!"
Seorang prajurit yang terkena totokan Suling
Naga Sakti menjerit kesakitan. Kepalanya yang benjol dipegangi. Tubuhnya
berputar-putar karena pening,
dan jatuh pingsan.
Tubuh prajurit yang pingsan itu, seketika terinjak-injak temannya yang terus berusaha merangsek.
Kalau saja Senapati Lembu Lambayu menyadari bahwa bertempur seperti itu justru merugikan pihaknya, tentu dia akan segera menarik sebagian pasukannya. Namun karena Senapati
Lembu Lambayu tengah berada dalam pengaruh serbuk iblis, dia bagaikan tak peduli dengan semuanya.
Para prajuritnya dibiarkan menjadi korban pertempuran karena hasrat seseorang yang telah memperalat mereka untuk membunuh
Pendekar Gila. Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan
terus mengamuk, menyerang para prajurit yang berjumlah ratusan itu. Mereka bagaikan banteng murka,
setiap gerakannya membuat prajurit-prajurit menjerit kesakitan. Ambruk dan
akhirnya terinjak-injak temannya. Sementara suasana semakin terang. Matahari
di ufuk timur menyemburatkan cahaya merah tembaga, mengusir embun dan halimun pagi.
Banyak sudah korban berjatuhan dari pihak
Kerajaan Sunda Layung yang lalu menjadi korban injakan teman-temannya. Tempik sorak, caci maki, serta dentang benturan senjata
mereka semakin riuh terdengar. Suasana di depan kedai seketika berubah menjadi
berantakan. Malah kedai yang semula sudah rusak, kini hancur oleh terjangan para prajurit Seketika itu, dari dalam kedai
yang ambruk muncul anak-anak
muda yang ganas. Mereka yang telah menjadi budak
serbuk iblis itu marah. Tanpa tahu siapa yang menjadi lawan, pemuda-pemuda itu
langsung menyerang para
prajurit kerajaan.
"Heaaa...!"
Sebelah timur Desa Piring Ceper, kini menjadi
ajang pertempuran yang hebat. Bukan hanya pemudapemuda yang telah dibudaki serbuk iblis, tapi para
penduduk desa yang marah melihat tingkah polah para prajurit kerajaan turut menyerang mereka. Mereka telah tahu kalau di dalam
angkatan perang kerajaan
itu terdapat Serikat Serigala Merah.
"Pendekar..., kami membantu kalian!" seru warga desa itu.
Dengan berbagai macam senjata seperti cangkul, golok, klewang, penduduk desa yang sudah muak
atas tindakan para prajurit yang bersekongkol dengan Serikat Serigala Merah,
kini merangsek maju memberikan serangan.
Pertarungan semakin seru. Ratusan prajurit
kerajaan yang ditunggangi Serikat Serigala Merah, harus menghadapi pula ratusan
penduduk Desa Piring
Ceper yang dibantu pemuda-pemudanya.
"Serang...!" seru warga desa.
"Hancurkan serbuk iblis!"
"Hancurkan kerajaan yang tak adil!"
"Bunuh panglima perang iblis itu...!"
Para prajurit tersentak kaget Mereka melihat
para penduduk desa bahu-membahu menyerbu mereka. Mereka semakin kebingungan. Sementara untuk
meringkus Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan saja mereka masih kewalahan. Tiba-tiba mereka
harus menghadapi penduduk desa, ditambah para
pemuda pecandu madat yang seperti sekelompok
orang bingung turut menghambur ke dalam pertempuran itu. "Hadang mereka!" teriak Senapati Lembu Lambayu. Pertarungan besar itu
pun tak dapat dielakkan lagi. Mereka tampak menjadi satu, bertempur di depan
kedai yang keadaannya telah berantakan. Tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar
tempat itu banyak yang tumbang, terinjak atau tertabrak oleh mereka yang
semakin ganas. Pagi itu suasana Desa Piring Ceper yang semula
tenang, kini bergemuruh riuh dipenuhi jeritan dan pekikan yang membahana. Darah
membanjir, dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.
Dalam suasana kacau dan hiruk pikuk seperti
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, tiba-tiba dari utara Desa Piring Ceper terdengar suara teriakan
menggelegar. "Tangkap para pengkhianat kerajaan...!"
Seorang lelaki gagah bermata tajam dengan
rambut digelung ke atas tengah berdiri tegap tidak
jauh dari tempat itu. Dialah Patih Prameswari, patih gagah berani dari Kerajaan
Sunda Layung Telunjuknya mengarah ke para prajurit yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu. Mereka dianggap telah mengkhianati
kerajaan. "Tangkap para pengkhianat kerajaan! Tangkap
panglima iblis keparat itu...!" kembali Patih Prameswari berseru, memerintah
para prajuritnya untuk membantu penduduk desa.
*** Suasana pertempuran tiba-tiba bertambah seru. Perang telah meletus kembali dengan datangnya
para prajurit kerajaan yang masih setia pada rajanya.
Para prajurit pengkhianat yang dipimpin Senapati
Lembu Lambayu kini kian terdesak.
"Serbu...!"
Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara
menggelegar dari lima orang berpakaian merah yang
merupakan tangan kanan Dewa Pedang.
"Hancurkan mereka!" teriak Gajah Bedeg, orang kedua yang dihormati dalam Serikat
Serigala Merah setelah Dewa Pedang yang belum tampak di tempat itu.
Serentak anak buah Serikat Serigala Merah
yang berpakaian merah, menyerbu. Mereka membantu
para prajurit pemberontak yang selama ini membantu
mereka yang telah menjadi anggota Serikat Serigala
Merah. Trang! Trang...!
Crab! "Wuaaa...!"
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan kematian membahana, keluar
dari mulut orang-orang yang menjadi korban. Sementara suara gemuruh mulai terdengar ditingkahi dentang senjata tajam mereka.
Pendekar Gila yang melihat kedatangan pimpinan kedua Serikat Serigala Merah langsung melesat
meninggalkan arena pertempuran. Disusul oleh Malaikat Tanpa Bayangan, Patih Prameswari, serta beberapa pendekar yang hadir dalam
pertempuran itu.
Serentak mereka menghadang para tokoh rimba hitam yang tergabung dalam Serikat Serigala Merah pimpinan Dewa Pedang. Di
antara para pendekar yang
turut hadir dalam pertarungan itu, antara lain Dewi Jaladri, Gagak Putih, Kupukupu Emas, dan Resi Angling Mukti.
Sedangkan dari tokoh hitam yang tergabung
dalam Serikat Serigala Merah antara lain, Gonggo Gentro, Buta Cakra, Banaspati,
Ampel Gegel, Nyi Capis, Rana Jalna, dan Gempal Sudra.
Kini dari kedua golongan saling berhadapan satu lawan satu. Pendekar Gila langsung berhadapan dengan Gajah Bedeg. Malaikat
Tanpa Bayangan berhadapan dengan Gempal Sudra.
"Di mana Dewa Pedang?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan.
"Aha, mengapa pimpinan kalian bersembunyi"
Seperti seekor tikus yang ketahuan mencuri. Hua ha
ha...!" sambung Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Cuh! Jangan bermimpi kalian bisa menangkap
pimpinan kami! Kalian akan kami kirim ke neraka!"
dengus Gajah Bedeg.
"Aha, hebat sekali ucapanmu, Sobat! Kau kira
kau malaikat pencabut nyawa! He he he...! Apakah tak sebaliknya, kalianlah yang
akan mampus?" sahut Sena dengan tingkah laku konyol, yang menjadikan Gajah
Bedeg dan rekan-rekannya semakin bertambah marah.
"Pendekar Gila, kami memang mendapat perintah dari pimpinan kami untuk menyingkirkan mu!
Heaaa...!"
Melihat Gajah Bedeg telah mendahului menyerang, seketika rekan-rekannya pun turut menyerang.
Dengan jurus 'Serigala Menerkam dan Mengoyak
Mangsa' Gajah Bedeg melesat berusaha menerkam
Pendekar Gila. Tangan lelaki setengah baya itu membentuk cengkeraman kuat. Wajahnya membara diliputi
amarah. Wut! "Sobek kulitmu, Pendekar Gila!" dengus Gajah Bedeg. "Heits! Hua ha ha...!
Tangkap kodok itu, Serigala Tolol!" ejek Sena sambil melompat ke samping. Kaki
kanannya menekuk dan diangkat ke atas. Kemudian
dengan cepat menendang ke wajah lawan yang agak
merunduk. "Heaaa!"
Wut! "Eit! Setan...!" maki Gajah Bedeg sambil melompat ke belakang, mengelakkan
tendangan kaki Pendekar Gila. Lalu dengan geram dan marah, Gajah Bedeg
balas menyerang dengan cengkeraman ke dada dan
wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa mengikik, kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak ke
samping. Kaki kirinya ditekuk menyiku. Kemudian dengan jurus 'Si Gi-la Melempar
Batu' Sena balas menyerang.
Serangkum angin pukulan menderu keras ke
arah Gajah Bedeg, ketika tangan Pendekar Gila yang
bergerak seperti tengah melempar bebatuan menyerang ke arahnya. Lalu tiba-tiba merasakan tubuhnya
bagaikan dilempari bebatuan. Sekujur tubuhnya kesakitan. "Ilmu siluman!" maki Gajah Bedeg sambil bergerak mengelitkan serangan
lawan. Kemudian dengan
cepat, jurusnya dirubah menjadi jurus 'Lompatan Serigala Menerkam Mangsa'.
Tubuh Gajah Bedeg bergerak melompat dan
mencengkeram ke arah Pendekar Gila. Namun sebelum
tubuh itu sampai, begitu cepat Pendekar Gila berkelit dengan meliukkan tubuh.
Kemudian disusul gerakan
menepuk yang mengarah ke kepala lawan. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila
membuat Gajah Bedeg kembali tersentak.
"Heit! Ilmu Setan!" rungut Gajah Bedeg gusar sambil menarik serangannya,
menyaksikan serangan
Pendekar Gila yang begitu cepat
Sementara itu, di pihak lain pun kini tampak
para pendekar dapat menekan lawan mereka masingmasing. Para pendekar tak mau memberikan kesempatan lawan untuk mengembangkan gerak. Terlebih dengan Malaikat Tanpa Bayangan. Bagai banteng luka, dia memburu lawannya dengan
jurus 'Malaikat Sambar
Raga'. Tangannya yang membentuk cengkeramancengkeraman maut, terus memburu lawan.
"Celaka!" seru Gempal Sudra sambil melompat mundur, mengelakkan serangan
Malaikat Tanpa Bayangan yang datang bertubi-tubi. Lelaki tua berjubah hijau
lumut itu bagaikan tak memberi kesempatan baginya untuk membuka serangan.
"Mau lari ke mana, Iblis"!" dengus Malaikat Tanpa Bayangan yang marah setelah
melihat bagaimana pemuda-pemuda itu menjadi sosok-sosok yang menyedihkan. Pemuda yang menjadi budak serbuk iblis,
tubuhnya bagaikan tak berdarah.
Selain itu Malaikat Tanpa Bayangan telah telanjur marah dan tersinggung terhadap Dewa Pedang
yang kini menjadi pemimpin Serikat Serigala Merah.
Itulah sebabnya, mengapa Ketua Perguruan Tapis Putih ini keluar dari perguruannya setelah puluhan tahun tak ikut meramaikan rimba
persilatan. Ilmu-ilmu silat tangguh yang telah dikuasainya seperti 'Malaikat
Memburu Arwah', 'Gema Maut Pekikan Malaikat', terpaksa dikeluarkan dalam
pertempuran kali ini.
"Heaaa...!"
Dengan jurus 'Gencar Malaikat Memburu Arwah', yang mampu membunuh bangsa siluman, Malaikat Tanpa Bayangan mendesak lawan dengan gencar. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah lawan. Celaka! Dia bukan sembarangan. Julukan Malaikat Tanpa Bayangan bukanlah julukan kosong! Desis Gempal Sudra dalam hati.
Lelaki bertubuh gempal itu harus mengakui
kehebatan ilmu lawannya. Namun begitu, dia tak ingin menunjukkan rasa takutnya
di depan lawan. Gempal
Sudra terus berusaha mengelakkan serangan lawan,
sambil sesekali balas menyerang.
Tapi tampaknya Malaikat Tanpa Bayangan tak
memberi ruang gerak sedikit pun bagi lawan untuk
membalas menyerang. Tokoh tua itu terus mendesak
dengan serangan-serangan gencar. Dan...
Degk! "Hugk! Akh...!"
Tubuh Gempal Sudra terhuyung ke belakang
dengan mata melotot. Dari mulutnya meleleh darah segar. Sesaat tubuhnya
meregang, lalu ambruk tanpa
nyawa. "Malaikat Tanpa Bayangan! Pendekar Gila, ku-tunggu kalian di Bukit
Siluman...!" terdengar suara Dewa Pedang, tepat ketika tubuh Gempal Sudra
ambruk. "Keparat! Jangan lari, Pengecut!" seru Malaikat Tanpa Bayangan mengejar,
diikuti Pendekar Gila.
Melihat keduanya mengejar Dewa Pedang, Gajah Bedeg, dan rekan-rekannya pun memburu. Hal itu
membuat para pendekar yang berpihak pada Pendekar
Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan turut mengejar.
Kini di Desa Piring Ceper, tinggal para prajurit
yang masih bertarung sengit Namun tidak lama kemudian, prajurit pemberontak dapat dikalahkan oleh para prajurit Kerajaan Sunda
Layung pimpinan Patih Prameswari.
*** 9 Bukit Siluman yang terletak di sebelah selatan
Hutan Warangrang malam itu tidak begitu gelap. Angin bertiup kencang, seperti
akan terjadi badai. Bulan perlahan-lahan merangkak dari ufuk timur, menerangi
sekeliling Bukit Siluman.
Binatang-binatang malam terdengar merdu
berdendang, namun terasa membuat bulu kuduk berdiri. Terlebih suara burung hantu yang mengeluh, ditingkahi lolongan anjing
hutan yang menyayat dan
memilukan. Malam itu, merupakan malam purnama ketiga.
Malam yang dijanjikan Dewa Pedang untuk menantang
Malaikat Tanpa Bayangan, juga pada Pendekar Gila
yang dianggapnya telah membunuh muridnya.
Seorang lelaki berjubah putih dengan pedang
tersandang di punggungnya nampak berlari ke arah
Bukit Siluman. Lelaki tua yang tak lain Dewa Pedang itu nampaknya ingin
menunjukkan kalau dirinya bukan pengecut. Tantangan yang pernah diberikan pada
Malaikat Tanpa Bayangan, serta dendam pada Pendekar Gila akan dituntaskannya malam ini.
Tidak lama berselang, nampak dua orang lelaki
memburu ke arah Bukit Siluman. Seorang lelaki muda
berambut gondrong dengan baju rompi kulit ular, yang tidak lain adalah Pendekar
Gila. Sedangkan seorang
lagi lelaki bercaping daun pandan dengan baju panjang berwarna hijau lumut,
adalah Malaikat Tanpa Bayangan. Di belakang mereka sekitar sembilan orang tokoh
rimba hitam yang dipimpin Gajah Bedeg bergerak menyusul. Bukit Siluman yang
semula sepi dan terkenal angker, malam itu bagaikan tak berdaya menolak
kehadiran mereka.
Tak berapa lama kemudian, muncul para prajurit kerajaan yang dipimpin Patih Prameswari. Mereka nampaknya ingin
menyaksikan pertarungan seru antara Dewa Pedang melawan dua pendekar.
"Bagus! Kalian datang berdua! Dengan begitu,
tak sulit bagiku untuk mengirim kalian ke neraka!" se-ru Dewa Pedang dengan mata
menatap tajam pada
Pendekar Gila dan Malaikat Tanpa Bayangan yang masih tenang. Sedangkan Pendekar Gila yang konyol, kini tertawa tergelak-gelak
sambil berjingkrakan seperti ke-ra.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Orang Tua!
Mengapa harus main sembunyi-sembunyi. Ah, sungguh memalukan sekali! Dewa Pedang yang terkenal gagah berani, tak ubahnya seperti kecoa busuk!" seru Sena sambil menggaruk-garuk
kepala. Dewa Pedang mendengus. Matanya yang tajam
menatap Pendekar Gila. Kemudian tatapannya beralih
pada Malaikat Tanpa Bayangan yang tampak masih
bersikap tenang.
"Anak muda, menyingkirlah! Kami ada urusan.
Lagi pula, rasanya tak enak jika kita main keroyok,"
ujar Malaikat Tanpa Bayangan pelan.
"Aha, benar juga katamu! Mengapa kita mesti
berdua" Kurasa tikus tua itu cukup kau hadapi sendi-ri, Ki," sahut Sena dengan
cengengesan. Kemudian kakinya melangkah mundur untuk memberi kesempatan
pada Malaikat Tanpa Bayangan menyelesaikan masalahnya. "Dewa Pedang, aku telah datang memenuhi tan-tanganmu. Sebenarnya dari
dulu aku ingin mencarimu. Namun karena aku menghormatimu, maka niatku
ku urungkan. Nah! Apa yang hendak kau lakukan setelah menantangku?" tanya Malaikat Tanpa Bayangan dengan suara yang masih
terdengar tenang.
"Ki Asem Gede, seperti apa yang kutulis di pohon ara di depan perguruanmu, aku bersumpah akan
menyingkirkan mu dan Pendekar Gila yang telah
membunuh muridku!"
Ki Asem Gede alias Malaikat Tanpa Bayangan
tersenyum sinis, mendengar penuturan Dewa Pedang.
"Kau kira begitu gampang, Dewa Pedang?"
"Ya!"
"Anak muda, jelaskan padanya siapa sesungguhnya Sumantri dan kedua naga api," pinta Ki Asem Gede. "Aha, baiklah! Biar kau
tak penasaran, aku akan menjelaskannya, Dewa Pedang. Sumantri, murid
kesayangan mu itu tiada lain iblis yang berbentuk manusia. Dia tega-teganya
memfitnah Anjasmara...."
Kemudian dengan panjang lebar Pendekar Gila
menceritakan semua yang dialami di Lembah Akherat,
sampai dia tahu siapa sebenarnya Sumantri dan siapa pula kedua naga api. Tak
lupa juga Pendekar Gila
menjelaskan siapa adanya bocah sakti.
"Nah, semoga kau puas, Dewa Pedang!" seru Sena diikuti gelak tawanya, serta
tingkah lakunya yang konyol. "Cuih! Pintar sekali kau mengarang cerita, Bocah
Gila! Tapi Dewa Pedang tak semudah itu akan percaya! Rupanya kau takut
menghadapiku!" dengus De-wa Pedang sambil meludah. Matanya semakin tajam
menatap Pendekar Gila.
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Terserah! Kau memang tikus keras kepala
yang pengecut, Dewa Pedang. Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila"!"
maki Dewa Pedang gusar. Lelaki tua berjubah putih itu hendak menyerang ke arah
Pendekar Gila, tapi dengan cepat Malaikat Tanpa Bayangan menghadangnya.
"Urusanmu denganku belum beres, Dewa Pedang!" "Bagus! Rupanya kau memang ingin mampus lebih dahulu, Asem Gede!
Bersiaplah...!"
Sring! "Aku telah siap!" sahut Malaikat Tanpa Bayangan. Sring!
Kini kedua tokoh tua itu telah mencabut pedang masing-masing dari warangkanya. Dari kedua bilah pedang itu, mengeluarkan sinar merah dan putih
keperakan. Kaki keduanya menyurut ke belakang dengan langkah yang teratur. Mata mereka saling menatap tajam. "Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Dengan didahului pekikan keras menggelegar
yang memecahkan kesunyian malam di Bukit Siluman,
keduanya melesat saling menyerang dengan pedang di
tangan. Wut! Wut..!
Trang! Dewa Pedang yang telah bernafsu hendak segera membunuh Malaikat Tanpa Bayangan, tak segansegan mengeluarkan jurus 'Pedang Darah Mencabut
Nyawa'. Pedang yang mampu mengeluarkan cahaya
merah itu bergerak laksana kilat, memburu ke arah
Malaikat Tanpa Bayangan.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan membuka serangan dengan
jurus pamungkasnya, Malaikat Tanpa Bayangan pun
tak mau kalah. Dengan cepat dikerahkannya jurus
'Malaikat Mencabut Nyawa' yang merupakan jurus
pamungkas. "Heaaa...!"
Kedua jurus yang mereka keluarkan, merupakan jurus-jurus tingkat tinggi yang belum sama-sama mereka perlihatkan. Karena,
jurus-jurus itu mereka
ciptakan setelah keduanya berpisah selama tiga puluh tahun. Tubuh keduanya
melesat begitu cepat laksana
terbang. Pedang di tangan mereka bergerak cepat,
membabat dan menusuk tubuh lawan. Karena begitu
cepatnya gerakan yang dilakukan kedua tokoh tua itu, wujud mereka sampai tak
terlihat. Yang nampak hanya sinar putih keperakan dan merah menyala.
Trang! Benturan kedua pedang terjadi. Dentang nyaring disertai percikan bunga api keluar dari benturan pedang. Keduanya melompat
ke belakang dengan posi-si agak jongkok. Mata mereka saling tatap dengan tajam.
Kemudian dengan pekikan menggelegar, keduanya kembali melakukan serangan.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Malaikat Tanpa Bayangan terus berusaha memburu lawannya dengan tebasan dan tusukan cepat. Sinar putih keperakan bergulung-gulung, menyerang ke
arah Dewa Pedang. Sementara itu pula, di dalam tubuh Dewa Pedang tengah bergetar hebat karena menahan kekuatan gaib yang keluar dari pedangnya.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Kembali terdengar teriakan keras menggelegar
mengiringi serangan kedua tokoh tua itu.
Wut! Bet! Trang! "Heaaa!"
Setelah terjadi benturan keras, Dewa Pedang
membabatkan Pedang Darahnya ke kepala lawan. Malaikat Tanpa Bayangan yang melihat gerakan lawan,
dengan cepat merundukkan tubuh. Sehingga sabetan
pedang bersinar merah itu meleset beberapa jari saja di atas kepalanya. Kemudian
tanpa membuang waktu,
Malaikat Tanpa Bayangan langsung menusukkan pedangnya sebagai serangan balasan.
"Yeaaa!"
"Heit..!"
Dewa Pedang tersentak kaget, ketika tahu-tahu
pedang Malaikat Tanpa Bayangan meluncur deras ke
dadanya. Dewa Pedang pun langsung melompat cepat
ke belakang mengelakkan serangan berbahaya itu. Kemudian dengan gerak cepat Pedang Darahnya ditebaskan ke arah pedang lawan.
Trang! Pijaran bunga api keluar dari kedua pedang
sakti itu. Diikuti oleh melompatnya tubuh masingmasing ke belakang. Kemudian dengan didahului pekikan keras, keduanya kembali menggebrak.
"Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Dewa Pedang terus berusaha mengalahkan lawannya secepat mungkin. Pedang Darah di tangannya
yang mengandung kekuatan dahsyat memburu Malaikat Tanpa Bayangan, hingga pada suatu kesempatan.
Wut! Pedang Darah menderu ke arah Malaikat Tanpa
Bayangan. Dengan cepat lelaki tua berjubah hijau lumut itu merundukkan kepala,
berusaha menghindar.
Namun tak urung capingnya terbabat pedang lawan.
Cras! Malaikat Tanpa Bayangan tersentak kaget. Tubuhnya berguling mengelakkan sabetan pedang lawan.
Namun, Dewa Pedang yang sudah dikuasai kekuatan
dari Pedang Darah, terus memburu dengan tebasantebasan ke tubuh Malaikat Tanpa Bayangan yang terus berguling.
Dalam keadaan terpepet itu, tiba-tiba....
Trang! "Ukh...!" Dewa Pedang mengeluh, saat pedangnya berbenturan dengan senjata di
tangan Pendekar
Gila. "Kurang ajar! Rupanya kini bagianmu, Bocah Gi-la!"
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak sambil berusaha membantu Malaikat
Tanpa Bayangan bangkit berdiri.
"Kurasa kau terlalu sombong, Tua Bangka!"
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Heaaa...!"
*** Dengan penuh dendam dan amarah, Dewa Pedang segera melesat untuk menyerang Pendekar Gila
yang masih menarik Malaikat Tanpa Bayangan untuk
bangkit berdiri.
"Aha, rupanya kau tak sabar, Kecoa!" dengus Sena melihat serangan cepat yang
dilancarkan Dewa
Pedang. Dengan cepat didorongnya tubuh Malaikat
Tanpa Bayangan ke samping, sedangkan dirinya langsung bersalto mengelakkan serangan lawan.
"Yeaaa...! Tembus dadamu!"
Wut..! "Aha! Belum, Kecoa Busuk!" ejek Pendekar Gila sambil masih berjumpalitan di
udara. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak dalam jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Ayam'. Tubuhnya melayang laksana terbang sambil tangannya bergerak dengan jarijari membentuk cakar. Lalu menukik, mencengkeram
ke arah lawan. Wuttt..! "Heit! Setan alas!" maki Dewa Pedang sambil menggeser kaki ke samping. Lalu
disusul dengan tusukan pedangnya ke arah Pendekar Gila.
"Aha! Rupanya kau menganggapku sate, Kecoa
Busuk!" dengus Sena sambil menarik serangannya.
Kemudian dengan cepat dia bergerak mengelit. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, mengelakkan tusukan-tusukan yang dilancarkan Dewa Pedang ke arah
dada dan perutnya. Sesekali tubuhnya miring ke kanan, kemudian meliuk ke kiri. Sambil mengelakkan
tusukan pedang lawan, dengan cepat pula melakukan
gerakan menepuk ke dada lawan dalam jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'
"Heaaa...!"
Kaki mereka melangkah secara beraturan, saling berusaha menyapu ke arah kaki lawan. Sedangkan
tangan keduanya yang memegang senjata, juga turut
bergerak, berusaha memasukkan serangan ke tubuh
lawan. Sementara Pendekar Gila masih menghadapi
Dewa Pedang, tokoh-tokoh rimba hitam yang ada di
tempat itu nampaknya berusaha membantu Dewa Pedang. Namun, sebelum mereka sempat melangkah, para pendekar yang dibantu prajurit-prajurit kerajaan dengan cepat menangkap
mereka. Pertarungan antara Pendekar Gila melawan
Dewa Pedang bertambah seru. Dewa Pedang yang telah
terbakar dendam kesumat terhadap Pendekar Gila, terus menyerang dengan tusukan dan sabetan pedangnya. Tangannya yang bergerak begitu cepat membuat
pedangnya berkelebat begitu cepat memburu lawan.
"Wah! Gila...!" seru Sena sambil meliukkan tubuh ke kanan, terkejut mendapat
tusukan yang tibatiba dan cepat itu.
Dewa Pedang terus memburu dengan tusukan
dan sabetan pedang ke arah Pendekar Gila. Tubuhnya
melenting ke udara. Dan Pedang Darah yang mengandung kekuatan gaib pun bergerak cepat
"Heaaa...!"
"Heits! Hih...!
Dengan terus meliukkan tubuh, Pendekar Gila
melancarkan serangan dengan tepukan tangannya.
Namun rupanya gerakan 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang dilancarkannya telah dapat dibaca Dewa Pedang. Sehingga....
Wuttt! Dewa Pedang memburu cepat. Menusukkan pedangnya ke dada Pendekar Gila.
"Hah..."!"
Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan cepat tubuhnya meliuk untuk mengelak. Namun....
Bret! "Setan!" maki Sena, ketika dadanya yang tak tertutup rompi tergores Pedang
Darah. Dari goresan
itu, meleleh darah segar. Pendekar Gila segera melompat ke belakang dengan mata
melotot "Ha ha ha...!" Dewa Pedang tertawa tergelak-gelak, merasa telah mampu melukai
Pendekar Gila. "Kini saatnya kematianmu, Pendekar Gila!"
Pendekar Gila tampak cengengesan sambil menyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Sementara para pendekar dan prajurit Kerajaan Sunda
Layung nampak tegang. Mereka khawatir kalau Pendekar Gila akan kalah.
"Hi hi hi...! Hebat juga jurus pedangmu, Kecoa Busuk!" dengus Pendekar Gila.
"Kurasa aku memang harus berhati-hati menghadapi kecoa macammu.
Hm.... Mari kita lanjutkan!"
Terbelalak mata Dewa Pedang menyaksikan
Pendekar Gila tak apa-apa. Sepertinya pemuda berbaju
rompi kulit ular itu tak mempan oleh racun yang keluar dari pedangnya.
"Bocah gila! Rupanya kau memang harus mampus!" "Aha, kalau itu memang kau bisa, Kecoa!"
"Kurang ajar! Akan kubuktikan! Heaaa...!"
Dengan semakin bertambah marah menyaksikan Pendekar Gila tak terpengaruh sedikit pun oleh
racun Pedang Merah, Dewa Pedang kembali menyerang
Pendekar Gila dengan jurus gabungannya. Perpaduan
jurus 'Pedang Darah Mencabut Nyawa' dan jurus 'Geledek Sewu' yang merupakan jurus pukulan maut kini
dilakukan Dewa Pedang.
Dewa Pedang benar-benar bermaksud menghancurkan dan membinasakan Pendekar Gila. Itu sebabnya dia memadukan jurus-jurus pamungkasnya
dengan ajian tingkat tinggi.
"Heaaa...!"
Pekikan keras menggelegar mengiringi serangan
pedang Dewa Pedang.
Wut! Ctar! Sabetan dahsyat dan pukulan menggelegar keluar dari jurus-jurus Dewa Pedang yang tubuhnya telah kembali mencelat menyerang Pendekar Gila.
Mendapatkan serangan begitu, Pendekar Gila
segera merundukkan tubuhnya. Kemudian dengan cepat melompat ke kiri dan kanan. Dan ketika mendapat kesempatan, Pendekar Gila
segera balas menyerang
dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hosss!"
Kedua tangannya disatukan, kemudian direntangkan ke atas. Dengan mengerahkan tenaga dalam,
Pendekar Gila kembali menarik kedua tangannya sampai di pinggang. Lalu dengan diikuti pekikan menggelegar, Pendekar Gila bergerak menyerang dengan
pukulan-pukulan telapak tangannya.
"Keaaa...!"
Wut! Wut! Jlegar! Kalau saja Dewa Pedang tidak buru-buru menarik serangannya dan mengelak, tubuhnya akan hancur lebur terhantam serangan Pendekar Gila. Pukulan dahsyat jurus 'Si Gila
Melebur Gunung Karang' itu
menghantam tanah tempat Dewa Pedang tadi berdiri.
Seketika tanah bersemburan hingga terbentuk lubang
besar. Seketika tanah di Bukit Siluman bergetar hebat karena pukulan dahsyat
yang dilancarkan Pendekar
Gila. Dewa Pedang pun tersentak. Baru disadarinya
kini kalau lawan yang masih muda itu ternyata bukan pendekar sembarangan.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang marah akibat luka di da
Pendekar Gila 12 Pembalasan Dewa Pedang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
danya, kembali menyerang. Pukulan-pukulan dengan
jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang' dilontarkan untuk menggempur Dewa Pedang.
Mau tak mau Dewa Pedang harus melompat ke sana kemari dan sesekali melenting tinggi untuk menghindar. Dia tentu saja tak ingin tubuhnya hancur lebur
seperti tanah yang terkena hantaman pukulan Pendekar Gila.
Rupanya dia bukan sembarangan pendekar!
Gumam Dewa Pedang dalam hati. Namun dia tetap berusaha membendung serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, dengan sabetan dan tusukan
Pedang Darahnya.
"Yeaaa...!"
Pedang di tangan Dewa Pedang memburu cepat
ke arah Pendekar Gila, diikuti pukulan geledeknya
yang menggelegar.
"Heaaa...!"
Wut! Wut! Cletar...! "Heits! Hop! Heaaa...!"
Pendekar Gila melompat ke samping, lalu dengan cepat balas menyerang dengan pukulan-pukulan
jurus pamungkasnya.
Pertarungan semakin seru, ketika bulan purnama semakin naik dan tepat di atas kepala. Di bawah cahaya bulan purnama tampak
tubuh mereka berkele-batan saling menyerang. Teriakan-teriakan keras mengiringi
setiap serangan mereka.
Warna merah Pedang Darah di tangan Dewa Pedang bergulung cepat, melaju ke arah Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Pendekar Gila tersentak, lalu dengan cepat bergerak melompat
untuk menghindar. Namun
Pedang Darah bergerak lebih cepat Dan....
Bret! "Ukh! Setan...!" maki Sena, ketika pedang lawan kembali membabat tubuhnya.
Pundaknya yang tak tertutup pakaian kulit ular tergores. Darah meleleh keluar.
"Ha ha ha...!"
Dewa Pedang kembali tertawa tergelak-gelak
menyaksikan Pendekar Gila terluka oleh pedangnya.
Sementara, para pendekar kini membelalakkan matanya. Ada rasa khawatir di hati mereka menyaksikan
Pendekar Gila kembali tersambar Pedang Darah.
"Rupanya hanya segitu kepandaianmu, Bocah!"
ejek Dewa Pedang.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak.
"Aha, kurasa kau semakin keras kepala, Kecoa busuk!
Hhh...! Baiklah, kita tentukan siapa yang harus ming-gat dan dunia!"
"Kaulah yang akan ke akhirat, Bocah!"
"Aha, kita buktikan!"
Srt! Pendekar Gila mencabut Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya. Matanya menatap tajam pada Dewa
Pedang. Sulingnya digerakkan menyilang ke kiri, kemudian dengan tangan kiri menempel di dada, Pendekar Gila membuka gerakan.
"Ha ha ha...! Rupanya kau memang ingin mampus, Bocah!" ujar Dewa Pedang mengejek, menyaksikan jurus Pendekar Gila yang
seperti gerakan seekor monyet Kaki kanan Pendekar Gila ditarik ke belakang,
kemudian ditekuk membentuk siku. Matanya terpejam, lalu kaki kanannya
dilangkahkan ke depan dengan sentakan tangan kanan. Disusul dengan kaki kiri ditekuk, kemudian digeser
ke samping diikuti sentakan tangan kiri.
Jika saja Dewa Pedang tahu jurus apa yang sedang dikerahkan Pendekar Gila, lelaki tua berjubah
putih itu tak akan menganggap enteng. Itulah jurus
'Tamparan Sukma'. Sebuah jurus sakti yang kekuatannya mampu menghancurkan bangsa siluman dan meleburkan batu menjadi tepung.
"Heaaa...!"
"Mampuslah kau, Bocah!"
Merasa jurus yang kini dilakukan Pendekar Gila tak ada apa-apanya, Dewa Pedang yang sudah mabuk kemenangan, seketika mencelat hendak menyerang. Tubuhnya melayang ke atas dengan pedang terayun di udara. Pedang Darahnya digerakkan menusuk dan membabat ke arah lawan.
"Heaaa...!"
Wut! Pendekar Gila yang kini menggunakan mata batin segera mengangkat kaki kiri, kemudian menggeser
ke samping. Bersamaan dengan tubuh lawan yang meluruk ke bawah hendak menyerang, saat itu juga tangan kirinya digerakkan menampar ke arah lawan.
Dan.... Prat! Jlegar! "Aaakh...!"
Dewa Pedang melolong keras menyayat hati.
Tubuhnya yang hendak menyerang, seketika terlontar
ke belakang. Pada saat itu pula, dengan cepat Pendekar Gila meniup Suling Naga
Sakti dan mengarahkan
mata Naga Sakti ke tubuh Dewa Pedang yang sedang
bersalto. Maka....
Slarts! Slarts!
Dua larik sinar merah membara melesat keluar
dari mata Naga Sakti memburu tubuh Dewa Pedang.
Kemudian tanpa dapat dielakkan lagi, kedua sinar itu menghantam tubuh Dewa
Pedang. Jlegar! "Aaa...!"
Pekik kematian seketika terdengar, bersamaan
dengan hancurnya tubuh Dewa Pedang menjadi tepung yang beterbangan, ketika angin bertiup.
Sementara itu para tokoh di bawah pimpinan
Gajah Bedeg terbelalak kagum bercampur ngeri menyaksikan kedahsyatan ilmu yang dikerahkan Pendekar Gila. Mereka semakin ketakutan dan tergetar. Kemudian diam-diam mereka
meninggalkan tempat itu
dengan rasa takut.
"Kukuruyuuuk....!"
Hari pun menjelang pagi. Sambil tertawa bergelak-gelak dan berjingkrakan seperti orang gila, Pendekar Gila melangkah seiring
dengan para pendekar lain meninggalkan Bukit Siluman.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Naga Kemala 8 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Satu Jurus 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama